ALL CATEGORY

Kehadiran FIFA Menjadi Langkah Positif Perbaikan Sepak Bola Indonesia

Jakarta, FNN - Pengamat olahraga dan sepak bola Gita Suwondo menilai kedatangan Presiden FIFA, Gianni Infantino, ke Indonesia terkait tragedi Stadion Kanjuruhan merupakan langkah positif untuk memperbaiki sepak bola Tanah Air.\"Langkah pemerintah melalui lobi Erick Tohir untuk menggandeng FIFA ke Indonesia dalam melakukan pembenahan total sepak bola nasional sudah sangat benar,\" kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.Diharapkan dengan kedatangan Gianni ke Indonesia, kejadian di Stadion Kanjuruhan tidak akan pernah terjadi lagi, harap dia.Kejadian di Stadion Kanjuruhan menjadi pelajaran yang penting bagi semua pihak. Tidak hanya untuk polisi, namun juga bagi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), PT Liga Indonesia Baru, klub bola, suporter dan pemangku sepak bola lainnya.Menurut dia, upaya atau lobi yang dilakukan Erick Thohir kepada Gianni Infantino juga untuk menyelamatkan Indonesia agar tetap bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 pada tahun 2023. \"Lobi ini untuk menyelamatkan sepak bola nasional. Sebab, Indonesia memiliki banyak talenta muda yang berpotensi besar mengharumkan nama bangsa dan negara,\" ujarnya.Sebelum FIFA datang ke Indonesia, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) sudah membuat dan menyerahkan rekomendasi perbaikan sepak bola Indonesia ke Presiden Jokowi.Salah satu rekomendasi yang dikeluarkan TGIPF ialah menuntut PSSI bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa di Stadion Kanjuruhan. Rekomendasi yang dibuat dinilai sudah bagus. Namun, untuk menjalankan rekomendasi itu dinilainya tidak akan mudah.Alasannya, PSSI terikat statuta FIFA yang melarang intervensi pemerintah dalam sepak bola di suatu negara. Jika PSSI mengadu ke FIFA mengenai adanya intervensi pemerintah, maka akan membuat Indonesia mendapat sanksi dari FIFA. \"Kalau ada pergantian pengurus PSSI harus dilakukan di KLB,\" ujar dia.Terakhir, ia meminta agar pemerintah menjalankan seluruh rekomendasi FIFA. Salah satu rekomendasinya ialah membuat stadion sepak bola yang menyediakan satu tempat duduk bagi satu orang penonton. \"Tujuannya untuk menjamin keamanan agar tidak terjadi kelebihan penonton,\" kata dia. (Ida/ANTARA)

Jaksa Hadirkan Tiga Ahli Dalam Sidang Farid Okbah

Jakarta, FNN - Sidang kasus teroris terdakwa  Farid Okbah digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Rabu, 19 Oktober 2022. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan tiga orang saksi ahli dalam persidangan tersebut. Seperti sidang sebelumnya, wartawan tidak dibolehkan meliput ke ruang persidangan. Mereka hanya mendengarkan melalui pengeras suara yang disediakan pihak PN Jaktim. Farid didakwa melakukan permufakatan jahat melakukan tindak pidana terorisme, dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan teror. Farid Okbah ditangkap Densus (Detasemen Khusus) 88 Antiteror Polri di Bekasi, 16 November 2021. Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia, Islah Bahrawi adalah saksi ahli yang pertama yang dimintai keterangan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua, I Wayan Sukanila itu. Menurut Islah, agama adalah ideologi yang paling mudah mempengaruhi orang lain karena adanya dogma. \"Saya tidak menyebutkan Islam saja di sini. Semua agama memiliki dogma,\"  ujarnya. Ia menjelaskan  mengapa agama adalah yang paling menarik untuk ideologi. Karena ada konsep kemartiran yaitu apabila seseorang mati untuk agama itu, maka ia akan masuk surga. \"Bukan hanya Islam, Kristen juga punya, Hindu juga punya, Buddha, Khonghucu. Dan semua keyakinan yang mengatasnamakan teologi pasti menggunakan konsep tersebut,\"  kata Islah menegaskan. Hakim Ketua,  I Wayan Sukanila dalam persidangan tersebut didampingi  dua anggota lainnya,  yaitu Novian Saputra dan Henry Dunant Manuhua. Adapun JPU dalam sidang ini adalah Jaya Siahaan. (Fer)

Ketua DPD RI Ungkap Kunci Utama Bangkitkan Perekonomian Indonesia saat Beri Kuliah Umum di Unitomo

Surabaya, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan kunci utama membangkitkan perekonomian nasional adalah kembali kepada sistem ekonomi Pancasila. Menurut LaNyalla, sebelum konstitusi diubah tahun 1999 hingga 2002, konsep sistem ekonomi Pancasila tertuang dalam Pasal 33 naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. \"Namun, bangsa ini sudah salah arah. Hanya demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi yang ekuivalen dengan Tax Ratio, mekanisme ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar. Dibiarkan tersusun dengan sendirinya. Bukan lagi disusun atas usaha bersama,\" kata LaNyalla dalam Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan dan Kewirausahaan di Universitas Dokter Soetomo, Surabaya, Jatim, Selasa (18/10/2022). Begitu pula posisi negara yang sudah tidak lagi menguasai secara mutlak bumi air dan kekayaan alam. Menurutnya, negara hanya berfungsi sebagai pemberi ijin atas konsesi-konsesi yang diberikan kepada swasta nasional yang sudah berbagi saham dengan swasta asing. \"Padahal, negara dengan keunggulan komparatif Sumber Daya Alam seperti Indonesia, seharusnya lebih mengutamakan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP,\" ujarnya. Ditegaskan LaNyalla, konsep atau Mazhab pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan pemasukan negara dari Pajak Rakyat atas Pendapatan Domestik Bruto di beberapa negara memang sukses diterapkan. Tetapi belum tentu dapat diterapkan untuk negara seperti Indonesia. LaNyalla mencontohkan Amerika Serikat. Puluhan perusahaan raksasa dunia semua berkantor pusat dan dimiliki oleh warga negara Amerika Serikat. Mereka semua tidak memindahkan kantor atau unit usahanya keluar dari Amerika Serikat. Sehingga miliaran US Dolar keuntungan mereka terdistribusi menjadi pemasukan Pajak bagi pemerintah Amerika Serikat. Begitu pula industri lainnya, seperti industri film Hollywood yang sampai hari ini mampu mencetak laba miliaran US Dolar dari monetize royalty atas pemutaran film-film produksi mereka di ratusan negara di dunia. Belum industri-industri lain, termasuk farmasi dan obat-obatan serta senjata. \"Bagi Amerika, konsep pajak sebagai sumber pemasukan utama bisa dilakukan. Tetapi bagi negara seperti Indonesia tentu tidak. Dan memang konsep pertumbuhan ekonomi yang dikampanyekan oleh masyarakat Global, berbeda dengan konsep pemerataan ekonomi yang dirancang para pendiri bangsa kita,\" paparnya. Menurut Senator asal Jawa Timur itu, konsep dan sistem ekonomi yang dirancang para pendiri bangsa dalam Penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Naskah Asli yang sudah dihapus total, harus kembali diterapkan. \"Kunci agar Indonesia maju dalam ekonomi adalah negara harus kembali berkuasa penuh atas bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Termasuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak,\" ungkap dia.   Kemudian tiga pilar ekonomi Indonesia yaitu koperasi atau usaha rakyat, perusahaan negara dan swasta, baik swasta nasional maupun asing melakukan  proses usaha bersama secara sinergis. Tentu dengan posisi pembagian yang tegas, antara wilayah public goods dan wilayah commercial goods, serta irisan di antara keduanya. \"Makanya saya menawarkan gagasan untuk kita mengingat dan membaca kembali pikiran para pendiri bangsa. Kita harus kembali kepada Pancasila. Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum agar kita tidak mengulang praktek penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena kita harus selalu belajar dari sejarah,\" tuturnya. Hadir Rektor Universitas Dr Soetomo, Dr Siti Marwiyah, SH. MH, Para Wakil Rektor, mantan Anggota DPR RI, Dr Achmad Rubaie, SH. MH, Para Dekan dan mahasiswa Unitomo. (mth/*)

Political Genosida dan Perlawanan Partai Politik

Kami menggunakan istilah political genocide, karena begitu banyak institusi partai politik yang diberangus. Hampir 50 persen dari jumlah partai politik yang mendaftarkan diri diberangus. Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH, MH, Advokat Senior, Mantan Anggota DPR RI, Ketua Umum Partai Masyumi “KALAU partai-partai politik dikubur, yang berdiri di atas nisan kuburan itu diktator” (M. Natsir, Ketua Umum Partai Masyumi 1949-1959). Kita semua berharap pemilu yang Langsung, Bebas, Umum, Rahasia, Jujur, dan Adil. Kita ingin pemilu terselenggara dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Tentu itu harapan kita semua sebagai sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dan memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terutama sekali sebagai negara hukum dan negara ber-kedaulatan rakyat. Pemilu yang demokratis dan konstitusional adalah pemilu yang bersandar pada azas dan tujuan dari pemilu itu sendiri. Dimulai dengan cara-cara yang benar dan adil sesuai hukum yang berlaku. Dengan pemilu itu, setiap warga negara diberi kesempatan untuk berkompetisi memperebutkan suara rakyat, baik dalam pemilu legislatif, senator maupun presiden dan wakil presiden. Itulah hakikat dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecuali nya”. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu institusi yang diamanatkan UUD 1945 sebagai penyelenggara pemilu sesuai amanat UU itu, seyogyanya memiliki sikap demokratis dan konstitusional, serta menyiapkan segala kebutuhan untuk terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil serta konstitusional. Namun, patut disayangkan, lembaga negara (KPU) yang disebut sebagai pelaksana demokrasi justru tidak memahami hakikat dasar demokrasi Pancasila yang telah menjadi bagian dari nilai luhur bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin kebebasan konstitusional warga negara yang telah mengikuti prosedur untuk mendirikan suatu partai politik diberangus begitu saja tanpa menggunakan instrumen hukum yang berlaku. Terlihat jelas ketika KPU, mengeliminasi 16 partai politik secara sewenang-wenang, dan tidak dapat mengikuti tahap verifikasi administrasi atau tahap selanjutnya dengan sebuah surat, bukan surat keputusan. Tentu saja ini mengherankan bagi siapa saja yang belajar hukum Administrasi. Sesungguhnya kebebasan mendirikan partai politik tidaklah mudah. Perlu biaya dan tenaga yang maksimal untuk memperoleh syarat-syarat menjadi partai politik itu. Tidak mudah seperti semudah KPU menyatakan partai politik tidak memenuhi syarat dan diputuskan tanpa proses verifikasi administrasi. Lalu dengan alasan apa KPU menyatakan bahwa partai politik yang mendaftar secara resmi dan diserimonialkan sebagai peserta pemilu itu dinyatakan tidak lolos, padahal baru mendaftarkan diri? Pada 1-14 Agustus 2022 adalah saat proses pendaftaran partai politik peserta pemilu. Namun setelah selesai mendaftar tiba-tiba KPU menyatakan 16 partai politik tidak lolos tahap pendaftaran. Darimana KPU ini bisa menilai dokumen persyaratan parpol padahal belum melakukan verifikasi administrasi. Semua ini tidak lain adalah sebuah tindakan politik pemberangusan atau yang kami sebut sebagai Political Genocide. Dengan otoritas tanpa dasar hukum, 16 partai itu dinyatakan tidak lengkap syarat dan Dukumen sehingga tidak bisa ikut tahap selanjutnya yang pada akhirnya digagalkan menjadi peserta pemilu. Tidak diterbitkan berita acara dan surat keputusan seperti biasanya tindakan administrasi kelembagaan. Hanya pemberitahuan atau Surat Tanda Pengembalian Data dan Dokumen Partai Politik Calon Peserta Pemilu, tidak ditandatangani oleh Ketua dan Komisioner KPU. Sebagaimana dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) huruf d UU 7/2017: “Ketua KPU mempunyai tugas: d. Menandatangani seluruh peraturan dan keputusan KPU”. Ketentuan pasal 11 ayat (1) huruf d, tidak dilakukan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari, melainkan oleh pegawai KPU, bukan juga Anggota KPU. Tetapi akibat hukum dari tindakan itu membuat partai-partai politik yang dinyatakan tidak lengkap berkas, tidak bisa mengikuti tahap verifikasi. Sekali lagi saya katakan, ini politik genosida, di mana kebebasan setiap warga negara untuk membentuk partai politik dan melaksanakan ketentuan UU tentang Partai Politik “dihabisi” begitu kasar. Dasar Hukum Partai Politik Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa partai politik, maka demokrasi akan merosot menjadi tirani, dan mencegah partai politik untuk ikut pemilu tanpa alasan dan dasar hukum jelas tentu itu mewarisi sifat tirani itu sendiri. Keberadaan partai politik sebagai pilar demokrasi telah dijamin secara konstitusional melalui pasal 28 UUD 1945. Mendirikan partai politik adalah hak konstitusional setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan syarat untuk berdirinya Partai Politik. Syarat itulah yang juga menjadi syarat untuk mendaftar ke KPU. Yaitu, 100 persen tingkat provinsi, 75 persen tingkat kabupaten/kota, 50 persen tingkat kecamatan dan 1/1000 dari jumlah pemilih setiap kabupaten/kota, serta kepengurusan tingkat Pusat sampai daerah, 30 persen harus ada keterwakilan perempuan. Itulah syarat bagi partai politik untuk mendapatkan Surat Keputusan badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM. Syarat tersebut telah terpenuhi sehingga partai-partai politik mendaftar ke KPU dengan asumsi bahwa KPU lah yang akan  melakukan verifikasi administrasi dan faktual untuk partai baru sehingga dengan verifikasi itu partai dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai partai peserta pemilu atau tidak. Sesuatu yang tidak mudah bagi para pendiri partai untuk mendapatkan Surat Keputusan badan Hukum dari Menkumham, karena harus melewati proses pemenuhan syarat itu. Tentu bagi teman-teman yang mendirikan partai politik mengerti bagaimana tenaga, waktu, biaya telah dikeluarkan, namun dengan semudah itu oleh KPU dinyatakan tidak lolos disaat pendaftaran. Kami bisa maklumi kalau keputusan lolos atau tidak itu, berdasarkan hasil verifikasi yang telah dilakukan KPU. Namun, sebelum dilakukan verifikasi, langsung dinyatakan telah gugur, tanpa Surat Keputusan. Apakah ini yang dinamakan negara Hukum? Eksekusi Tanpa Keputusan Tindakan KPU sebagian besar tidak mengindahkan kaidah negara hukum. Dalam negara hukum semua harus bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Ini tidak terpenuhi, sepanjang mengenai pendaftaran dan verifikasi partai politik. Bayangkan saja, KPU membuat sebuah norma yang mewajibkan semua partai politik menggunakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Sipol bukanlah instrumen pendaftaran partai politik, dan tidak diatur sama sekali dalam UU 7/2017. Darimana datangnya Sipol ini? Sipol itu dari Peraturan KPU RI Nomor 4 Tahun 2022 diantaranya dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Artinya, Sipol ini dapat diartikan sebagai bentuk diskresioner dari KPU, dia tidak bisa dijadikan norma yang dapat mengikat calon Partai Partai Politik Peserta Pemilu, oleh karena KPU bukanlah pembentuk norma melainkan hanya pelaksanaan norma. Karenanya, keberadaan diskresioner tersebut (Sipol) tidak boleh melampaui kewenangan, dan tidak boleh juga memunculkan atau menciptakan keadaan hukum baru yang dalam sifatnya menghalangi hak Partai Politik atau menangguhkan hak Partai Politik sebagian atau seluruhnya sementara atau permanen, yang menimbulkan beban tambahan kepada Partai Politik. Yang lebih aneh lagi dan tidak bisa diterima nalar hukum yaitu PKPU Nomor 4 Tahun 2022 baru ditetapkan dan diundangkan pada 20 Juli 2022, itu artinya hanya 11 hari sebelum pendaftaran Parpol untuk mendaftar sebagai calon Partai Politik Peserta Pemilu (P4), akan tetapi KPU telah membuka Sipol dan memberikan Akun dan pasword Sipol kepada Parpol pada tanggal 24 Juni 2022. Sebelum Parpol resmi mendaftar di KPU. Tindakan KPU tersebut jelas sekali tanpa dasar hukum atau Abuse of Power. Dengan instrumen yang tidak memiliki dasar hukum itulah, KPU menyatakan 16 parpol dinyatakan tidak lolos tahap pendaftaran. Yang lebih aneh lagi, saat menyatakan tidak lolos, KPU tidak menuangkan dalam Berita Acara sebagai sebagaimana yang menjadi Standar Operasional Prossedur Pendaftaran Partai Politik. Bahwa setiap Partai yang dinyatakan tidak lengkap dokumen pendaftaran dituangkan dalam Berita Acara. Hal itu dinyatakan juga dalam pernyataan ketua KPU pada tanggal 16 Agustus dan Surat Bawaslu kepada KPU nomor: 258/PM.00/K1/07/2022 tanggal 29 Juli 2022. Berita acara itu tidak pernah ada, tidak pernah diterbitkan dan partai politik dinyatakan gugur tanpa Surat Keputusan. Ini menyalahi asas-asas umum pemerintahan yang baik. Upaya Hukum Kami sebagian besar partai politik yang tak lolos pemilu melayangkan gugatan ke Bawaslu RI untuk melakukan sidang Adjudikasi sengketa Proses. Namun, Bawaslu menyatakan gugatan kami tidak dapat diterima karena tidak memiliki objek. Kami merasa heran dengan keputusan Bawaslu tersebut. Seharusnya dari awal sebagai pengawas, Bawaslu menegur KPU, tapi itu tidak dilakukan. Maka kami menduga KPU dan Bawaslu secara bersama-sama melakukan upaya genosida politik terhadap partai-partai ini. Seharusnya dari awal Bawaslu mengingatkan KPU untuk mentaati prosedur dan ketentuan Undang-undang dalam proses pendaftaran Partai politik itu. Ini tidak terjadi sama sekali, lalu memutuskan bahwa gugatan kami tidak memiliki objek Hukum. Begitu juga ketika kami mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN. Pengadilan TUN menyatakan bahwa Surat dari KPU itu bukan objek sengketa, karena itu bukan Surat Keputusan. Artinya, tidak memenuhi syarat sebagai keputusan bersifat konkrit, individual dan final. Karena itu, kami menyadari ini bukan hanya persoalan proses pendafataran dan verifikasi, tapi ini persoalan yang lebih mendasar, yaitu pemberangusan kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk mendirikan partai politik. Genosida Politik Tibalah kami pada kesimpulan bahwa apa yang kami alami bukanlah sekedar persyaratan parpol. Toh, persyaratan tersebut telah dinyatakan terpenuhi oleh Menkumham. Ini adalah persoalan politik dengan menggunakan instrumen kekuasaan untuk menghalangi jalannya Demokrasi yang jujur dan adil. Sistem demokrasi tidak pernah membatasi keterlibatan warga negara dalam setiap agenda-agenda politik, semasih itu dalam tidak menyalahi Hukum. Meskipun 16 Partai politik itu sudah berusaha mengikuti aturan main yang diatur dalam Undang-undang, tetap juga diberangus dengan cara-cara otoritarianisme. Dalam sejarah, pemberangusan massal itu terjadi ketika Rezim fasis di Jerman dan Komunis di Uni Soviet berkuasa. Kedua negara itu menggunakan senjata untuk memberangus lawan-lawan politik dan membunuh setiap orang tanpa proses Hukum. Dalam demokrasi dan politik, kerap kita jumpai pembunuhan dalam bentuk lain. Yaitu memberangus kebebasan dengan cara-cara seperti yang lebih halus dengan memainkan aturan hukum. Maka kami melakukan deklarasi \"Gerakan Melawan Pilitik Genocide\". Bersama 6 parpol yang dinyatakan oleh KPU dan Bawaslu tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen pendaftaran. Ada Partai Masyumi (Dr. Ahmad Yani), Partai Perkasa (Eko Suryo Sancoyo), Partai Reformasi (H. Syamsahril Kamal), Partai Pandai (Dr. Farhat Abbas), Partai Pemersatu Bangsa (Dr. Eggy Sujana), Partai Kedaulatan (Denni Cillah). Kami menggunakan istilah political genocide, karena begitu banyak institusi partai politik yang diberangus. Hampir 50 persen dari jumlah partai politik yang mendaftarkan diri diberangus. Tidak ada keputusan Hukum, tidak ada instrumen demokrasi dan instrumen politik yang dilewati, tetapi tetap dieksekusi tanpa putusan. Kalau bukan genosida, lalu apa yang pantas untuk dilabelkan ke KPU selaku penyelenggara pemilu seperti itu? (*)

Tragedi Kanjuruhan Diatasi dengan Pendekatan Proyek

Oleh: Tjahja Gunawan - Wartawan Senior FNN  IBARAT orang sakit kepala tapi dokternya memberi obat sakit perut. Jika pun ada yang demikian, dapat dipastikan itu dokter abal-abal alias palsu. Analogi ini sepertinya tepat untuk menggambarkan pilihan kebijakan yang diambil Presiden Jokowi dalam menyikapi terjadinya tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang pada tanggal 1 Oktober 2022. Sudah sangat jelas bahwa penyebab utama tewasnya 132 penonton dalam tragedi itu akibat tembakan gas air mata oleh aparat kepolisian, tapi Presiden Jokowi justru membuat keputusan aneh dan di luar nalar sehat yakni memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membongkar Kanjuruhan Malang dan membangun stadion baru. Untuk membenarkan keputusannya tersebut, Jokowi sengaja mengundang Presiden FIFA Gianni Infantino ke Istana Merdeka Jakarta. Walaupun sebenarnya FIFA juga memahami bahwa penggunaan gas air mata dilarang dalam menangani keributan dalam pertandingan sepak bola dimanapun. FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion. Sementara itu akibat penggunaan gas air mata  yang tidak sesuai prosedur, mengakibatkan suporter di tribun stadion Kanjuruhan Malang satu sama lain saling berdesakan mencari pintu keluar, sesak nafas, pingsan dan akhirnya saling bertabrakan. Hal tersebut diperparah dengan over kapasitas stadion dan pertandingan big match yang dilakukan pada malam hari. Itu loh Pak Presiden akar persoalannya!  Kenapa jalan keluarnya justru stadionnya yang dirobohkan ? Supaya ada proyek baru ? Sehingga dengan begitu nanti stadion lain yang belum memenuhi standar FIFA juga bisa dirobohkan dan dibangun baru lagi. Lalu dana untuk membongkar dan membangun stadion baru dari mana? Bukankah sekarang ada masalah urgent yang perlu segera ditangani pemerintah, misalnya  mengatasi jalan dan jembatan yang terputus akibat longsor dan hujan deras di berbagai akhir-akhir ini ? Kenapa cara berpikir seorang presiden selalu proyek dan proyek terus ya? Dulu Diresmikan Megawati Seharusnya menjelang berakhirnya masa jabatan sebagai Presiden, Jokowi bisa meninggalkan legacy bagi masyarakat Indonesia. Bukan malah justru mewariskan beragam persoalan bagi generasi mendatang. Jika kilas balik ke belakang, stadion Kanjuruhan, ternyata  diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 9 Juni 2004. Stadion tersebut dibangun sejak tahun 1997 dengan biaya lebih dari Rp 35 miliar.  Ketika Jokowi pergi ke Malang untuk mencari akar persoalan tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, sejak awal dia sudah \"menyalahkan\" pintu stadion yang kecil dan sebagian terkunci serta tangga stadion yang curam. Luar biasa seorang Presiden sudah seperti mandor proyek saja. Sekali kunjungan langsung bisa menyimpulkan penyebab tragedi kemanusiaan itu semata masalah teknis.  Lalu untuk apa dibentuk Tim Independen Gabungan Pencari Fakta (TIGF) yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD dengan wakilnya Menpora dimana para anggotanya terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang independen. Dan hasil temuan TIGPF sebenarnya sudah cukup obyektif dan telah memenuhi harapan masyarakat terutama para pecinta sepak bola. ****

Terbongkar: Ada Tim Spesialis Perusak CCTV di KM 50, Duren Tiga, dan Kanjuruhan

KABAR mengejutkan datang dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF yang mengungkap berbagai temuan soal CCTV yang merekam Tragedi Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, menyusul tewasnya 133 penonton Aremania. Salah satunya adalah adanya rekaman CCTV selama 3 jam saat kejadian yang sudah dihapus. Rekaman yang dihapus yaitu setelah pertandingan Arema FC melawan Persebaya pada 1 Oktober 2022. Usai pertandingan yang berakhir dengan skor 3 : 2 untuk Persebaya, penonton turun ke stadion, dan rangkaian Baracuda melakukan evakuasi terhadap tim Persebaya. “Dapat terekam melalui CCTV yang berada di Lobby Utama dan Area Parkir,” demikian tertuang dalam dokumen TGIPF Kanjuruhan yang sudah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 14 Oktober. Rekaman CCTV tersebut mulai dari pukul 22.21.30 dapat merekam peristiwa dengan durasi selama 1 jam 21 menit. “Selanjutnya rekaman hilang (dihapus) selama 3 jam, 21 menit, 54 detik,” tulis dokumen TGIPF. Rekaman baru muncul kembali kemudian, selama 15 menit saja. Walhasil, hilangnya durasi rekaman CCTV ini menyulitkan atau menghambat tugas tim TGIPF untuk mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi. Sehingga, TGIPF melaporkan bahwa mereka sedang berupaya untuk meminta rekaman lengkap ke Mabes Polri. Penghilangan (penghapusan) petunjuk rekaman CCTV di Stadion Kanjuruhan ini mengingatkan kembali “hilangnya” CCTV saat menjelang tewasnya 6 laskar Front Pembela Islam (FPI). Belakangan terungkap di persidangan Ferdy Sambo, tim JPU menyebut, nama Tim CCTV yang menghapus CCTV di rumah dinas Duren Tiga, sama dengan Tim CCTV KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Tak hanya itu. Sepertinya, penghilangan TKP KM 50 juga akan dilakukan atas Stadion Kanjuruhan. Konfirmasi soal ini sudah disampaikan Presiden Joko Widodo, dengan alasan disesuaikan dengan standar FIFA. Pengamat politik Rocky Gerung membahas soal ini dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Selasa (18/10/2022). Halo halo, apa kabar Anda semua. Semoga selalu dalam keadaan sehat walafiat. Ketemu kita di hari Selasa. Hari selasanya cerah ini karena melihat situasi politik  Indonesia yang makin dinamis. Saya memakai bahasa yang netral, makin dinamis. Ya, di luar cerah. Saya lagi di Denpasar karena mau kasih kuliah umum di Universitas Udayana. Serius nih, Anda bisa masuk di Udayana sekarang? Luhut effect. Jadi, mahasiswa sekarang merasa sudah cukup berani karena mengundang saya, Faisal Basri, dan Zainal Arifin. Dan, itu sebetulnya kan pikiran-pikiran yang pasti menghajar Jokowi lagi atau pemerintahan. Tapi, kita mau uji apakah kampus itu bisa memulihkan keyakinan bahwa poin akademis, pikiran akademis, tidak boleh dihambat oleh kepentingan politik. Mudah-mudahan. Tetapi, yang ingin kita melihat sekarang adalah peristiwa-peristiwa politik yang susul-menyusul. Betul tadi dinamis sekali tuh. Anies (Baswedan) mulai dipertanyakan ini mau continuity atau mau change sebetulnya. Oke. Kalau nggak salah sebulan yang lalu, Anda masih di tetangganya Bali sedikit, di Mataram Anda masih dicekal di kampus Universitas Mataram. Sekarang Anda sudah bicara di tengah kabinet dan di depan riil presiden gitu, jadi rupanya sekarang orang loh kalau di depannya Pak Luhut saja bisa bicara, kalau Gibran saja datang ke rumah, masa kampus enggak boleh. Gitu kira-kira ya. Betul. Selain persidangan ijazah, persidangan Sambo, macam-macam. Kan mesti ada persidangan akademis memang tempat orang bersidang akademis. Ngapain ditahan-tahan orang untuk bicara di kampus. Itu intinya tuh. Dan semua juga kampus yang lain melakukan hal yang sama. Demikian juga halnya tunjuk menunjuk Rektor, macam-macam itu, hilangin-lah. Rektor, semua calon pemimpin bisa diuji di kampus, mulai dari menguji pimpinan Universitas sendiri tuh. Jadi, money politic mesti dihilangkan. Oke Bung. Ini sekalian kita omongin supaya kalau ada mahasiswa yang mau mahasiswa PTN gitu yang menggunakan Anda enggak ragu lagi, karena dua pekan yang lalu kalau tidak salah saya dan Anda kan diundang bicara di UNJ, terus saya tanya sama mahasiswa “Ini serius, kalian mengundang saya sama Bung Rocky? Coba tanya rektornya dulu deh. Nggak lama kemudian dia bilang, oke, rektor setuju Pak Hersu, nggak ada masalah. Pemulihan politik memang mulai dari pemulihan akal sehat. Bung Rocky, kita ngomongin yang saya kira fokus publik kemarin bagaimana kepolisian kemarin sudah mulai berlangsung sidang dari Ferdy Sambo. Dan orang mencermati dengan jelas bagaimana bukan hanya konstruksi hukum, bahkan sampai gestur tubuhnya, pakaian yang digunakan, dan sebagainya itu diperhatikan orang. Itu artinya apa, memang publik betul-betul masih tetap mengawal apakah betul sudah ada keseriusan dari kepolisian untuk berubah setelah kemarin dipanggil, dimarahi oleh Pak Jokowi selama 15 menit. Ya betul. Dan efek yang bagus dari Pak Jokowi akhirnya diperlihatkan bahwa delegitimasi di dalam kepolisian itu berlangsung drastis. Walau Pak Jokowi di ujungnya itu masih memberi sinyal otoriter itu, hajar, tegas, segala macem. Presiden boleh kasih perintah melalui saluran institusi, bukan di depan publik meminta polisi untuk tegas dan dengan bahasa yang dihubungkan dengan pidato Pak Jokowi beberapa tahun lalu, bulan lalu, hajar mereka, kalau bisa door kalau sesuai dengan hukum. Itu dengan wajah yang pada akhirnya orang sambungkan, ya tidak begitu demokrasi. Demokrasi itu menuntut percakapan. Kalau bisa percakapan ngapain pakai senjata kan? Itu soalnya. Jadi, sekali lagi, ini persidangan-persidangan ini juga akan dipakai untuk memulihkan yang kita sebut akal sehat berpolitik. Nggak boleh ada saling mengintai lewat CCTV lalu kalau ternyata yang kena adalah bagian yang bisa jadi opini publik lalu disembunyikan CCTV-nya. Padahal CCTV itu dimaksudkan untuk memperjelas perkara, bukan untuk mengaburkan. Ya buat apa dikasih CCTV kalau akhirnya dikaburkan. Ya biarin saja kalau begitu. Jadi, soal-soal semacam itu yang saya…. Ini kemarin Anda menyinggung soal CCTV. Saya kira kalau soal persidangan Sambonya biar proses berjalan dan kemudian kita akan melihat fakta-fakta yang terungkap dan Anda mungkin sudah membaca di media-media lain. Tapi ada angle yang menarik yang tadi Anda sampaikan itu. Ternyata ada benang merahnya ini berkaitan dengan kepolisian. Kemarin terungkap dalam sidang-sidang Sambo bahwa itu sebenarnya tim yang menghancurkan CCTV di rumah dinas Ferdy Sambo itu ternyata sama dengan tim yang mengambil CCTV di KM 50. Itu media-media memberitakan semua seperti itu. Wah, saya jadi terkejut langsung, kita tahu benang merahnya. Tetapi, saya lebih terkejut lagi ketika TGIPF kemudian dalam dokumen yang menyebutkan bahwa CCTV di Stadion Kanjuruhan, di lobi Kanjuruhan, 3 jam lebih itu hilang, ada bagian yang hilang. Dan itu bagian yang sangat penting. Jadi, ini kelihatannya sudah menjadi semacam SOP. Nah, kalau ini baru SOP ini, setiap kali menghilangkan CCTV. Nah, menurut saya, ini sangat serius Bung Rocky. Wah, kalau itu betul-betul jadi SOP, ya dipublikasi dong bahwa polisi sekarang punya tim khusus CCTV gitu. Kan itu bahayanya, karena nanti orang nggak percaya lagi penegakan hukum. Ya, CCTV-CCTV itu kan barang bukti, kenapa dihilangkan? Menghilangkan barang bukti itu kriminal loh. Jadi, bagian-bagian itu juga mesti kita ingatkan bahwa polisi juga bisa diadukan sampai menghilangkan barang bukti. Yang lebih berbahaya, fungsi dari CCTV ini untuk menjelaskan duduk perkara yang itu bisa diedit kembali. Itu yang lebih gila lagi kan. Kalau ternyata edit- mengedit itu didasarkan pada kepentingan untuk menyelamatkan seseorang. Jadi, dalam negara demokrasi kita ingin agar semua kota kalau bisa dikasih CCTV, walau itu petanda buruk bahwa nggak ada lagi kebebasan manusia. Tetapi, justru kalau mau dibuat pengamanan, ya fair, dibuka saja apa yang tertangkap di dalam CCTV. Kan enggak ada sebetulnya rasa aman kalau di mana-mana ada CCTV. Sama seperti orang bilang di kampung gua ini aman banget, karena di mana-mana ada CCTV, di mana-mana ada polisi. Itu enggak aman artinya. Aman artinya ada kesederhanaan, ada kehangatan antara tetangga, itu fungsinya.  Jadi, balik lagi pada soal tadi. Itu harus diterangkan, dijelaskan, kalau memang ada tim yang dilatih untuk memanipulasi CCTV, itu adalah kejahatan, lepas dari apapun. Nah, soal terorisme mungkin dijadikan dasar, tapi ya nggak ada terorisme di lapangan bola lah. Kira-kira begitu. Jadi, fungsi-fungsi security ini betul-betul harus diawasi justru oleh mata publik. Publik tahu, CCTV untuk kepentingan publik, bukan untuk memanipulasi peristiwa. Dan yang menarik, ini yang di KM 50 dan yang di rumah dinas Duren Tiga, itu timnya sama, dari Divisi Propam. Ini yang bikin kita kaget. Ini kan tugasnya dia juga mengawasi atau menjadi komisi etik dari polisi. Nah, kita belum tahu apakah yang terjadi di Stadion Kanjuruhan juga dilakukan oleh Divisi Propam atau tidak. Kalau itu terjadi, ini dobel-dobel ini, serius sekali Bung Rocky.  Ya, itu transparansi mestinya dari awal. Kalau kita merasa bahwa kita ingin propam itu melindungi kita dari perilaku aparat kepolisian, sekarang justru propam melindungi aparat kepolisian yang berupaya untuk mengkriminalisasi rakyat. Kan itu yang kita anti sebetulnya? Kita ingin betul-betul polisi melakukan hal dengan maksud yang sempurna, yaitu rasa aman publik. Rasa aman publik itu bisa terganggu oleh kelakuan oknum-oknum yang buruk. Nah, kelakuan itu yang harusnya di-wash oleh Propam. Kan gitu. Betul, dia adalah komisi etik dari kepolisian atau bahkan offersite commitee itu yang bisa melihat semua hal dengan perspektif kejujuran. Jadi, kalau Propam sendiri enggak jujur dan sekarang Propam menjadi masalah karena ada soal Sambo, orang menganggap bahwa ya sudahlah, kita perlu polisi memang, tapi lebih baik nggak ada polisi daripada polisi menghalang-halangi kejujuran. Jadi, sinyal tersebut mesti kuat ditangkap oleh Pak Kapolri supaya kalau ada reformasi polisi, bagian-bagian ini justru yang mesti diucapkan lebih dahulu, bukan soal anggaran, bukan soal persiapan untuk persenjataan. Enggak itu. Polisi tanpa senjata itu pasti dihormati rakyat. Kan itu yang kita contoh dari Jepang, dari Inggris segala macam. Polisi itu diam-diam di pojok saja tapi semua orang memberi salam, bahkan polisi di China itu dielu-elukan oleh rakyat. Jadi, hal ini yang mesti kita ulangi, yaitu civilian value, nilai-nilai sipil, harus melekat di dalam watak publik kepolisian. Watak publik artinya begitu dia keluar rumah, Pak Polisi itu tahu bahwa dia akan menghadapi berbagai macam kepentingan publik yang beragam, dan itu yang dianggap sebagai tugas dia, memelihara keragaman pikiran publik, bukan menyatukan dengan ancaman kekerasan.  Ya. Saya kira ini penting diseriusin. Orang mungkin tidak terlalu memperhatikan soal ini, tapi saya kira orang mulai tertarik begitu melihat benang merahnya, loh, kok ini sudah mulai ada modus yang sama, selalu seperti itu. Itu baru yang terungkap ke publik. Kita tidak tahu dalam kasus-kasus yang lain gitu. Dan, kebetulan kasus ini kan saya kira kasus-kasus besar yang mesti kita perhatikan dari kepolisian. Kasus KM 50, bagaimanapun itu juga masih jadi dark number karena itu walaupun sudah ada tersangkanya tapi dibebaskan. Itu juga bisa disebut dark number. Kemudian juga soal Sambo ini yang sudah mulai diadili. Nah, Kanjuruhan, kita belum tahu sampai sekarang bagaimana prosesnya. Hari ini, ketua umum PSSI yang juga polisi katanya akan dipanggil oleh kepolisian untuk diperiksa di Polda Jawa Timur. Akhirnya, satu-satu mulai terawasi. Bukan sekedar terbuka, tapi terawasi oleh publik. Publik kritis untuk melihat algoritma, di sana timnya ini, di sini timnya itu, sama, sasarannya CCTV. Jadi, ada tim khusus yang memang ahli CCTV, ahli untuk memanipulasi data. Kan itu yang ada di benak publik. Ini pertanda bahwa kita masuk di dalam republic of fears, republik kecemasan, karena diintai terus, dan bisa pengintaian itu dimanipulasi. Buku Republic of Fears itu menggambarkan aktivitas intelijen di zamannya Sadam Husein. Semua orang merasa ketakutan, semua orang merasa diawasi, tapi semua orang juga merasa ingin dilindungi. Jadi psikologi itu yang dimainkan oleh kekuasaan, ingin dilindungi supaya aman, tapi sebetulnya sedang diawasi sehingga kita cemas kan. Jadi, filosofi itu yang juga saya ingin sampaikan pada teman-teman polisi, supaya diperhatikan. Rakyat ingin dilindungi, bukan ingin diawasi. Itu soalnya. Oke. Kan sekarang orang mulai menagih gara-gara ini, ketiga di Komisi III Pak Sigit mengatakan ada novum, ada bukti baru pada kasus KM 50. Nah, orang mulai menghubungkan soal ini. Ini penting Pak Listyo Sigit. Dan kita tahu kan, setelah kemarin habis dikumpulkan di istana, itu semacam secara tidak langsung kita mendapat isyarat dari Pak Jokowi bahwa Pak Listyo Sigit aman dan diminta untuk meneruskan reformasi di Polri, memperbaiki situasi di tubuh Polri. Saya kira dengan mandat dari Pak Jokowi, walaupun sempat tidak disalami di HUT TNI, tapi tetap sekarang Pak Listyo Sigit saya kira ini untuk sementara reda, office politik ingin dongkel mendongkel Kapolri. Ya. Itu artinya orang melihat ya siapapun yang mengganti sama juga. Mending Pak Sigit saja yang nerusin. Jenderal Sigit yang paling mungkin diminta untuk memulihkan kepolisian. Ya sudah, kita harus terima kemudian Pak Sigit, tapi dengan satu alasan kuat bahwa Pak Sigit harus kembalikan polisi pada etika sipil, karena polisi itu datangnya dari orang sipil. Jadi bagian itu sebetulnya yang penting kita sampaikan kepada Pak Sigit. Yang kedua, mumpung Pak Sigit itu mungkin lagi dimusuhi oleh semua kelompok, kan semua kelompok musuhin Pak Sigit, ya sudah, tutup mata saja, jalan terus saja kan. Kan dimusuhi semua orang artinya nggak ada beban bagi dia. Lain kalau cuma dimusuhi satu pihak. Itu bahaya. Jadi, karena dia justru dimusuhi semua orang, dia ambil jalan lurus saja. Dan yang musuhan itu biarin saja berkelahi di belakang dia kan. Tapi dia ingin membenahi yang di depan tuh. Saya kira begitu masalahnya. Jadi, kalau memang masih ada perang antar geng, pasti terjadi itu. Karena yang diincar adalah kedudukan terakhir, yaitu Kapolri. Tetapi, justru dengan perang antar geng yang habis-habisan tadi, yang tersisa pasti mereka yang bersih kan. (sof/sws)

Kembalikan POLRI ke Khittahnya: Melindungi, Mengayomi, dan Melayani

Dengan melakukan Muhabalah Rakyat yang terzolimi memohon keadilan pada Allah, sehingga berbagai kejadian yang tidak patut kita lihat pada hari-hari ini diperlihatkan oleh Allah. Oleh: Anhar Nasution, Anggota DPR RI Periode 2004 s/d 2009 UNDANG-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang  Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Preambul MENIMBANG, poin b. Bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia; Niat luhur yang terkandung di dalam makna dasar Undang-undang tersebut amatlah sangat manusiawi dan humanis, seharusnya ada sebuah departemen yang khusus mensosialisasikan dan memberikan pemahaman secara terus- menerus kepada masyarakat, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara akan mencapai masyarakat madani Baldatun Toyyibatun warobbun Ghofur sangatlah mudah untuk diwujudkan. Namun, kenyataan hari ini kita dapatkan adalah sebuah lembaga kepolisian lebih mengarah kepada Militeristik dengan mengedepankan tindakan Represip melalui lembaga Brimob, Densus 88, dan belakangan oleh Tito Karnavian saat menjabat Kapolri dibentuk lagi Satgassus Merah Putih yang masyarakat tidak tahu jelas fungsi dan tugasnya. Jangan disalahkan kalau kemudian rakyat menilai berbagai kekacauan dan kerusuhan baik mulai penanganan aksi-aksi demo masyarakat, mahasiswa dan kaum buruh yang melakukan kritik kepada pemerintah yang merupakan hak-hak berdemokrasi selalu berujung pada bentrokan dan kerusuhan. Penangkapan-penangkapan kelompok yang dilabelkan Teroris begitu represif dan brutal belakangan kita dengan kasat mata menyaksikan penangkapan para Ustadz/ulama yang dilabelkan Radikal dan para aktivis yang bersuara kritis ditangkap dengan sangkaan melanggar Undang-Undang pasal karet yang membuat rasa keadilan dan kesamaan hukum di Negara ini sudah tidak didapatkan lagi oleh rakyatnya. Belakangan kita menyaksikan terungkapnya berbagai kasus yang menggradasi dan memperburuk Citra Polri sampai ke titik nadir sangatlah membuat hati kita perih dan miris. Berbagai kasus yang tidak perlu saya uraikan berulangkali kita saksikan  menjadi titik balik dari kesalahan penerapan Undang-undang yang digagas begitu sangat luhur bagaimana seharusnya peran dan tugas Polri ditengah-tengah masyarakat. Saya masih teringat ketika mengikuti Latihan Bela Negara dalam hal Kamtibmas sekitar tahun 1996 yang dilakukan oleh Binmas Polri, pelatihan Kamtibmas bagi Aktivis Generasi muda dan Mahasiswa selama 1 bulan di Kelapa Dua amat sangatlah besar manfaatnya kami rasakan. Kami sangat memahami tugas-tugas dan fungsi Polri, sehingga membuat para aktivis saat itu betul-betul menyatu dengan Polri dan secara sadar kami ikut mensosialisasikannya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Sayangnya saat ini Lembaga Binmas Polri itu nyaris tak terdengar lagi. Kalau pun ada di tingkat Kelurahan bernama Binmas yang kadangkala di setiap kelurahan di Jakarta hanya ada 2 atau 3 personil saja aparat kepolisian ditempatkan di sana dan itupun kita sering mendengar guyonan aparat yang ditempatkan di Kelurahan tersebut adalah petugas-petugas yang tidak punya prestasi dan Relasi dengan atasan. Yang seharusnya merekalah yang menjadi Etalase Polri, yang menjadi contoh teladan dit engah-tengah masyarakat yang mampu Melindingi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat. Seharusnya anggota Polri yang ditempatkan di setiap kelurahan tersebut sekurang-kurngnya 1 regu kader-kader terbaik Polri dalam bidang Kemasyarakatan dengan berbagai Disiplin Ilmu. Ironisnya masyarakat selalu ditampilkan dengan wajah-wajah bengis personil Brimob dengan senjata lengkap saat menangani aksi-aksi demo mahasiswa dan masyarakat. Wajah-wajah tegang dari Anggota Densus 88 ketika mereka menangkap orang yang dilabelkan teroris, begitu juga saat menangkap Ulama/ Ustadz dan para Aktivis. Sudah saatnya hal ini segera diakhiri, sudah banyak korban, hal-hal buruk dan berbagai rekayasa yang diciptakan mungkin hanya untuk mendapatkan tambahan anggaran APBN atau pembenaran hanya untuk mencari dana-dana talangan yang tidak sah dan melanggar Undang-undang dibenarkan dengan payung hukum Kedaruratan. Banyak sudah kesalahan dan penzoliman terhadap rakyat, ulama, dan para aktivis yang dipertontonkan pada kita hukum duniawi sudah tidak lagi bisa diharapkan rakyat, sehingga rakyat menyerahkan dan memohon turunnya Hukum Allah yang Maha Adil. Dengan melakukan Muhabalah Rakyat yang terzolimi memohon keadilan pada Allah, sehingga berbagai kejadian yang tidak patut kita lihat pada hari-hari ini diperlihatkan oleh Allah. Jangan sampai semua rakyat, khususnya ummat Islam, ber-muhabalah, sehingga kejadian-kejadian yang lebih dahsyat akan menimpa negara kita tercinta ini. Allah tidak rela limpahan Rahmad atas Bangsa ini dirampas oleh segelintir manusia-manusia Serakah yang Zolim. (*)

Menyongsong 2030, Indonesia Perlu Pemimpin Ekonom

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Ekonomi Indonesia di ujung tanduk. Kurs rupiah mendekati, bahkan tembus, Rp15.500 per dolar AS, menuju Rp16.000. Pemerintah sepertinya tidak berdaya. Ini baru tahap awal. Kondisi ekonomi akan lebih buruk di tahun-tahun mendatang, menjelang pemilu dan pemilihan presiden (pilpres) 2024. Ekonomi dunia akan masuk resesi, mungkin bisa berkepanjangan, hingga tahun 2024. Karena suku bunga dunia, termasuk Indonesia, akan terus naik hingga inflasi terkendali. Kenaikan suku bunga akan menekan ekonomi, investasi akan turun, konsumsi akan turun. Ekonomi menuju kontraksi. Apakah calon presiden yang akan ikut kontestasi pilpres 2024 menyadari bahaya ekonomi tersebut? Apakah mereka dapat mengatasinya dengan cepat? Apakah mereka siap mengatasi ekonomi yang akan masuk resesi, serta mengatasi utang pemerintah yang naik terus, mendekati Rp9.000 triliun pada akhir 2024?  Masa depan Indonesia di ujung tanduk. Sistem politik presidential threshold 20% menghalangi para calon pemimpin nasional terbaik untuk ikut partisipasi dalam pilpres. Memalukan dan sekaligus menjadi skandal besar bangsa ini. Tantangan utama Indonesia dalam beberapa tahun ke depan adalah ekonomi. Maka itu, pemahaman ekonomi sangat kritikal bagi calon presiden 2024, agar dapat membawa bangsa ini keluar dari resesi secepatnya. Salah satu orang tersebut adalah Rizal Ramli, yang memiliki semua persyaratan dan kualifikasi sebagai calon presiden. Yang tidak dimiliki olehnya hanya kuota presidential threshold 20%. Sekali lagi, sungguh memalukan, dan skandal besar, kalau Rizal Ramli tidak dapat ikut kontestasi pilpres 2024, akibat sistem demokrasi “kriminal” presidential threshold 20%. (*)

Ha Ha Bunga Karangan Lagi

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SAMBUTAN luar biasa masyarakat saat Anies Baswedan melakukan acara perpisahan sebagai Gubernur DKI 16 Oktober 2022 menjadi fenomena menarik. Dalam sejarah mungkin baru kali ini terjadi dan ini memberi pelajaran bagi kepala daerah siapa dan di manapun agar perjalanan jabatannya dapat diakhiri dengan baik atau \"husnul khotimah\".  Penjabat pengganti Anies sebagai Gubernur DKI yaitu Heru Budi Hartono Kepala Sekretariat Presiden penunjukannya sangat sarat kritik. Karena di samping ia \"orang Istana\" juga sebagai teman Ahok. Netralitas yang diragukan. Heru juga diduga terkait dengan kasus Sumber Waras, Tanah Cengkareng dan Mark Up pembelian Bus Trans Jakarta.  Sambutan pada Heru Budi Hartono tentu tidak seantusias perpisahan Anies Baswedan. Posisinya rentan.  Skeptisme publik dijawab dengan pernyataan Heru \"kerja kerja kerja\" mengingatkan pada slogan Jokowi pada awal menjabat. Mantan Walikota Jakarta Utara dan Komisaris BTN ini waktu itu nyaris menjadi Wagub Ahok.  Yang menarik pasca pelantikannya sebagai Pj. Gubernur DKI adalah banyaknya karangan bunga ucapan selamat. Sesuatu yang tidak lazim untuk seorang Penjabat yang baru ditunjuk dan ditetapkan secara tidak demokratis. Bukan pilihan rakyat. Bahkan mungkin hanya sebagai \"petugas Istana\". Empati, simpati atau apresiasi lewat karangan bunga menjadi karakter dari rezim pencitraan.  Teringat banyak kiriman karangan bunga di depan Markas Kodam Jaya setelah sukses \"luar biasa\" Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurahman memimpin pencopotan Baliho Habib Rizieq Shihab. Bak pahlawan Dudung diapresisi dengan karangan bunga. Apresiasi gambaran kepalsuan, rekayasa dan eforia kekanak-kanakan.  Demikian juga saat Ahok Djarot kalah di Pilgub, banjir karangan bunga ucapan terimakasih dan penghargaan. Tidak tanggung-tanggung jumlahnya hingga 1500 an karangan bunga. Netizen berkomentar bahwa karangan bunga itu dibuat oleh kubu Ahok sendiri. Dikirim oleh satu dua pemesan. Penghormatan itu dinilai sekedar pencitraan dan bohong-bohongan.  Kini Penjabat tunjukan Jokowi dan dilantik Tito Karnavian dibanjiri karangan bunga lagi. Heru Budi Hartono tidak pantas mendapat apresiasi tanpa bukti keringat untuk masyarakat Jakarta. Ia belum bekerja apa-apa, baru teriak \"kerja, kerja, kerja\".  Karangan bunga adalah cermin Istana dan orang-orang Istana yang bekerja dengan karangan, kepura-puraan, serta dibanjiri oleh prestasi palsu. Bunga-bunga itu adalah wajah dari sebuah kemunafikan. Heru Budi hanya menjadi tangan dari kepentingan rezim yang ingin mempertahankan, mengamankan atau memperpanjang kekuasaan.  Pengiriman karangan bunga rekayasa adalah kerja yang memuakkan dan menipu diri sendiri. Memperkokoh warna rezim dari hulu ke hilir yang tidak ajeg. Membohongi rakyat dengan wajah yang tidak satu. Bunga tamparan dari sebuah kebodohan. Hal buruk sebagaimana diingatkan oleh sebuah quotes : \"Aku sangat membenci orang yang memiliki dua muka, akan sulit bagiku untuk memutuskan wajah mana yang akan aku tampar terlebih dahulu\". Nah.  Bandung, 19 Oktober 2022

Sukarno Numpang di Rumah Orang?

Oleh Ridwan Saidi Budayawan  Tidak. Melihat watak da kepribadiaan BK. BK bukan tukang tebeng.  Ayahnya itu seorang guru yagg aktif dalam gerakan freemason (Rickleff, Indonesia Modern History). Koneksi cukup luas. Waktu Sukarno HIS ia dengan orang tua di Blitar. Waktu HBS di Surabaya. Ia sering ke HOS Tjokro tapi bukan numpang. Ia ngekos di tempat lain. Saat THS di Bandung BK ngekos di rumah Bu Inggit, lalu itu ibu dia kawinin. Pertama BK dibui awal 1930-an di Banceuy, Bandung. Fasilitas buruk. MH Thamrin berjuang pindahkan ke Suka Miskin.  Bebas dari Suka Miskin ia terus berpolitik sambil cari nafkah dengan membuka Biro Arsitek.  Sukarno ditangkap lagi dan dibuang ke Endeh. Ia sendirian. Cuma ada teman korespondensi:  A. Hassan Bandung yang suka ngirim biji mede kegemaran BK. Bebas dari Endeh, Sukarno balik Ke Bandung. Perkawinannya dengan Inggit berakhir dalam time frame ini. Lalu ia ditangkap lagi dan dibuang ke Bengkulu.  Februari 1942 ke Jakarta. Mula-mula bertinggal di rumah Jl Diponegoro yang kelak jadi  rumah Ruslan Abdulgani..  Lalu BK dan Ibu Fat pindah ke Pegangsaan Timur 56. Februari 1949 ditangkep lagi sebagai Presiden dan Syahrir selaku PM. Mereka dibuang ke Parapat, Sumut. Soekarno hobby nyanyi lagu Belanda. Ia suka menyanyi di tempat buangan. Als de orchiideen bloeien Dan denk ik terug aan jouw Syahrir tak suka. Tak akurlah mereka. Didatangkanlah Agus Salim dari tempat ia dibuang di Brastagi. Mereka akur lagi.  Tapi sekembali dari Parapat, Syahrir dan Sukarno tak lagi saling bertemu, kecuali sekali dan yang terakhir di bulan Agustus 1960 tatkala pimpinan Partai Sosialis Indonesia diminta BK untuk bubarkan diri. Masyumi juga, tapi pertemuan dengan BK dalam waktu berbeda.  Usai Parapat Syahrir sebagai PM diganti Muhammad Hatta. Syahrir wafat 1966 di Eropa ketika jalani perawatan di rumah sakit dalam status tahanan politik. Dari kronologi di atas mustahil BK nebeng-nebeng (numpang) di rumah orang seperti qisoh yang diceritakan ahli-ahli vermakt sahibul hikayat menjadi sejarah. Saya selalu menuturkan sejarah Sukarno tanpa kebencian., Begitu pula terhadap Suharto. Mereka orang besar yang membangun tanpa mangkrak dan mubazir.   Untuk hal-hal yang  kuantitatif mereka tak pernah berkhayal. Semisal, dalam bidang econ Indonesia akan jadi 7 besar dunia. Sejatinya kini termasuk 28 negara yang jadi pasien IMF. Suatu hari di rumah guruku M. Natsir saya diberi nasihat yang tak terlupakan.  Saidi, berpolitiklah tanpa kebencian.  Kukerling wajah Natsir yang lembut seraya membersit kasih sayang, padaku. (RSaidi).