ALL CATEGORY

Kejati Jatim Diminta Aremania untuk Mengembalikan Berkas Perkara Kanjuruhan

Malang, Jawa Timur, FNN - Ratusan suporter Arema FC, yang biasa dikenal dengan sebutan Aremania, menggelar unjuk rasa damai di depan Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang, Senin, menuntut Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mengembalikan berkas perkara tragedi Kanjuruhan ke pihak kepolisian.Pada unjuk rasa tersebut, ratusan suporter Arema FC tersebut mengenakan pakaian serba hitam dan membawa sejumlah poster yang menyuarakan tuntutan mereka. Sejumlah poster tersebut berisi tulisan, di antaranya adalah “RIP Hati Nurani”, “Nyanyian Rakyat! Suara Kejujuran,” dan lainnya.“Meminta kejaksaan tinggi menolak atau mengembalikan berkas perkara yang disampaikan oleh penyidik Polda Jatim,” kata salah satu perwakilan Aremania yang membacakan tuntutan tersebut.Pengembalian berkas tersebut, katanya lagi, perlu dilakukan karena dinilai tidak lengkap dan tidak sesuai dengan fakta hukum sebenarnya. Kejati Jatim diminta untuk menolak atau tidak melakukan P21 terhadap berkas perkara tragedi Kanjuruhan yang diserahkan oleh penyidik Polri. P21 merupakan istilah pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap.Dalam kesempatan itu, tuntutan lain yang disampaikan adalah meminta kejaksaan tinggi bersikap adil dan memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan penanganan perkara tragedi Kanjuruhan yang menelan korban 135 jiwa tersebut, dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. “Kemudian, memasukkan atau menerapkan pasal baru yakni Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP (tentang tindak pidana pembunuhan berencana),” katanya pula.Selain itu, meminta kejaksaan memastikan agar seluruh penyelenggara dan seluruh tenaga pengamanan yang terlibat langsung dalam melakukan penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan, untuk dapat diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menerima berkas perkara tragedi Kanjuruhan dari Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Timur, Selasa 25 Oktober 2022. Total ada tiga berkas perkara untuk enam tersangka yang diserahkan.Enam tersangka tersebut adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Ahmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Arema Malang Abdul Haris, dan Security Steward Suko Sutrisno.Kemudian, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, dan Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarman.Rencananya, unjuk rasa tersebut juga akan dilakukan di Kota Batu dan Kabupaten Malang, Jawa Timur dan menyerukan tuntutan serupa.(Ida/ANTARA)

Operasional Truk Batu Bara Kembali Dihentikan Sementara oleh Polda Jambi

Jambi, FNN - Operasional angkutan batu bara di Jambi kembali dihentikan untuk sementara waktu, dikarenakan Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Jambi akan melakukan perbaikan kerusakan jalan di jalur Muaratembesi-Muarabulian, Kabupaten Batanghari, Jambi.\"Banyaknya lobang di badan jalan menyebabkan angkutan batu bara dari arah Muaratembesi, Batanghari mengambil lajur kanan untuk menghindari lubang, sehingga akhirnya membuat kendaraan yang datang dari arah berlawanan ikut terjebak,\" kata Direktur Lalu Lintas Polda Jambi Kombes Pol Dhafi, di Jambi, Senin.Sejak Senin pagi, terjadi kemacetan parah di jalur Muaratembesi-Muarabulian disebabkan jalan rusak dan adanya truk yang patah as. \"Tadi pihak BPJN sudah saya hubungi. Dan hari ini mereka mau bekerja termasuk mau disedot genangannya,\" katanya menjelaskan.Terkait akan dilakukannya perbaikan jalan Muaratembesi-Muarabulian, Dhafi mengatakan pihak BPJN Jambi meminta agar tidak ada dulu kegiatan angkutan batu bara supaya mempermudah pekerjaan. \"Nanti kami koordinasi dengan Dinas Perhubungan dan seluruh pemilik tambang untuk hari ini mobilisasi angkutan batu baranya dipending dulu, karena ada perbaikan jalan di wilayah Sridadi, Kabupaten Batanghari,\" katanya menerangkan.Lebih lanjut, nantinya angkutan batu bara yang kondisinya sudah berada di jalan tetap diperbolehkan melintas. \"Kalau yang saat ini sudah di jalan, silakan melintas, nanti kami atur biar tidak macet,\" katanya lagi.Namun bagi angkutan batu bara yang masih berada di lokasi pertambangan atau sebelum Muara Tembesi, diminta untuk tidak melintas terlebih dahulu. \"Kami juga masih menunggu surat resmi dari BPJN. Kemungkinan dalam satu atau dua hari ini,\" katanya pula.Dia menerangkan, kerusakan jalan yang terjadi juga dipicu oleh tonase muatan angkutan batu bara yang berlebihan. Saat ini, pihak kepolisian masih terus melakukan pengaturan jalan mengurangi kemacetan di kawasan tersebut.(Ida/ANTARA)

Dasar Pernyataan Kemlu Soal Pepemilikan Pulau Pasir Dipertanyakan oleh Ferdi

Kupang, FNN - Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat Laut Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT) Ferdi Tanoni mempertanyakan dasar pernyataan dari Kementerian Luar Negeri RI bahwa Pulau Pasir atau Ashmore Reef bukan milik Indonesia.“Kami meminta agar Bapak Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu L Amrih Jinangkung menjelaskan soal MoU Indonesia-Australia terhadap Pulau Pasir tahun 1974 itu dasarnya apa dan bagaimana?,” kata Ferdi Tanoni, di Kupang, Senin.Hal itu disampaikannya menanggapi pernyataan dari Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu L Amrih Jinangkung yang menegaskan bahwa Pulau Pasir adalah milik Pemerintah Australia.Ferdi mempertanyakan mengapa MoU itu dibuat pada tahun 1974 dan bukan pada tahun 1933 atau 1942 sesuai dengan pengakuan dari Amrih bahwa Pulau Pasir adalah milik Pemerintah Inggris.Ferdi yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu, juga mempertanyakan soal pernyataan Amrih bahwa gugusan Pulau Pasir tidak termasuk dalam kedaulatan NKRI karena tidak ada dalam catatan Kementerian Luar Negeri.Dia mengatakan bahwa sebelum adanya MoU antara Pemerintah Indonesia dan Australia soal gugusan Pulau Pasir, Pemerintah Kabupaten Kupang justru selalu menerbitkan surat jalan bagi para nelayan yang hendak bertolak ke gugusan Pulau Pasir untuk mengumpulkan teripang hingga tahun 1974. “Sebelum dicaplok Australia, nelayan Indonesia yang ingin ke Pulau Pasir wajib kantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Kupang,” ujar dia menegaskan.Dia menegaskan lagi, walaupun Kementerian Luar Negeri RI menyatakan bahwa Pulau Pasir itu milik Australia, pihaknya akan tetap melayangkan gugatan ke Pengadilan Commonwealth Australia di Canberra.Sebelumnya Kementerian Luar Negeri RI menegaskan bahwa Pulau Pasir atau Ashmore Reef bukan milik Indonesia, melainkan Australia.Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu L Amrih Jinangkung menjelaskan bahwa Pulau Pasir tidak pernah menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda, yang setelah Indonesia merdeka kemudian menjadi NKRI.Pemerintah Hindia Belanda juga disebut tidak pernah memprotes klaim atau kepemilikan Pulau Pasir oleh Inggris, yang kemudian mewariskan wilayah tersebut sebagai wilayah Australia. “Dalam konteks ini, Indonesia tidak pernah memiliki atau tidak punya klaim terhadap Pulau Pasir,” kata Amrih dalam pengarahan media di Jakarta, Kamis, (27/10).Informasi tersebut ditegaskan dalam Deklarasi Juanda Tahun 1957 yang kemudian diundangkan melalui UU Nomor 4 Tahun 1960, yang menyatakan bahwa Pulau Pasir tidak masuk dalam wilayah atau peta NKRI sejak tahun 1957, 1960, maupun pada peta-peta yang dibuat setelah periode itu.(Ida/ANTARA)

TNI AL Siapkan 12 KRI untuk Mengamankan KTT G20

Jakarta, FNN - Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan TNI Angkatan Laut telah menyiapkan 12 Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) untuk mengamankan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, 15-16 November 2022.  \"Ini untuk mengamankan pemimpin-pemimpin negara sehingga kita harus betul-betul menyiapkan kapal-kapal yang siap tempur,\" kata Kasal usai meresmikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar TNI (SPBT) Terpadu I di Markas Kodamar, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin.  Namun, Yudo tidak menjelaskan kapal apa saja yang akan dikerahkan untuk mengamankan kegiatan KTT G20 tersebut.   Menurut Yudo, 12 kapal perang TNI AL itu akan ditempatkan dalam jarak radius 12 mil di wilayah perairan Bali dan sekitarnya. \"Kemudian kita lapis lagi di luarnya dengan kapal yang lebih besar. Tentunya akan menjaga dari hal hal yang kemungkinan buruk terjadi dari laut lepas maupun dari ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif),\" ujarnya.  Selain kapal perang, jumlah personel yang dikerahkan sekitar 3.000 orang, termasuk awak KRI serta beberapa satuan, seperti Lantamal V Surabaya, Lanal Banyuwangi, Lanal Denpasar, Marinir, dan unsur gabungan lainnya dari Koarmada I, II, dan III. \"Termasuk, pesawat udara, semua KRI kombatan yang memiliki \'helideck\' saya perintahkan untuk membawa heli semuanya sehingga bisa terpadu, kemudian ada pasukan khusus dari Denjaka dan Kopaska yang \'on board\' di KRI tersebut,\" papar Yudo.  Mantan Panglima Kogabwilan I ini menambahkan dalam waktu dekat akan menggelar \"tactical floorgame (TFG) untuk mematangkan persiapan pengamanan KTT G20 tersebut. \"Saya selaku pembina, saya ingin tahu bagaimana Panglima Koarmada II Laksda TNI T.S.N.B. Hutabarat sebagai Komandan Satuan Tugas Laut (Dansatgasla) dalam menyelenggarakan pengamanan G20 dengan unsur-unsur gabungan dari armada 1, 2, dan 3 dengan personel marinir sehingga saya harus memastikan berapa jumlah yang diproyeksikan,\" kata Yudo.KTT Ke-17 G20 diselenggarakan di Bali pada 15-16 November 2022. KTT tersebut menjadi puncak dari proses dan usaha intensif seluruh alur kerja G20 (Pertemuan Tingkat Menteri, Kelompok Kerja, dan Engagement Groups) selama setahun Keketuaan Indonesia.Tema yang diangkat Indonesia dalam Presidensi G20 2022 adalah \"Recover Together, Recover Stronger\". Melalui tema tersebut, Pemerintah Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama, serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan. Tiga isu prioritas utama yang diangkat dalam pertemuan tersebut ialah arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, transformasi digital, dan ekonomi.  G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri atas 19 negara utama dan Uni Eropa. G20 merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan global, dan 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.  Anggota G20 terdiri atas Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Prancis, China, Turki, dan Uni Eropa. (Ida/ANTARA)

Sapaan Capres ke Prabowo sebagai Penghormatan kepada Tamu, Ujar Cak Imin

Jakarta, FNN - Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan sapaan calon presiden kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam acara “PKB Road to Election”, Minggu (30/10), merupakan bentuk penghormatan tertinggi kepada tamu.Meskipun demikian, Muhaimin ketika dikonfirmasi di Jakarta, Senin, mengatakan belum ada keputusan resmi dari PKB untuk capres dalam Pemilu 2024. “Tunggu pengumuman resminya (soal capres). Tapi itu penghormatan tertinggi dari kami kepada tamu,” kata Cak Imin sapaan akrab Muhaimin di Kompleks Istana Kepresidenan.Cak Imin mengatakan PKB masih memperhitungkan banyak hal untuk menetapkan capres pada Pemilu 2024. “Segera kita kabari kalau sudah. Kita masih menghitung segala macam,” kata Cak Imin.Prabowo merupakan calon presiden yang sudah ditetapkan oleh Gerindra dalam Rapimnas Partai Gerindra pada Agustus 2024. PKB dan Gerindra telah sepakat menjalin koalisi untuk Pemilu 2024.Dalam acara “PKB Road To Election 2024” di Senayan, Jakarta, Minggu (30/10), Cak Imin menyambut hangat kedatangan Prabowo Subianto. Dalam pidatonya, Cak Imin menyambut kehadiran Prabowo dengan menyebut sebagai calon presiden (capres).Sementara itu, Prabowo dalam pidatonya mengatakan kerja sama Gerindra dan PKB akan menjadi faktor penyejuk perpolitikan Indonesia.Prabowo mengapresiasi Cak Imin yang sejak dini sudah berani mengambil keputusan untuk bekerja sama dengan Partai Gerindra. \"Beberapa waktu lalu kita telah berkumpul di Sentul Bogor, dan kita telah mengambil keputusan untuk melaksanakan kerja sama politik. Kita telah memutuskan untuk menjadi kawan seperjuangan. Kita telah memutuskan untuk bahu-membahu berbakti untuk masa depan anak-anak cucu-cucu kita,\" ujarnya. (Ida/ANTARA)

Sidang Perkara Pembunuhan Joshua: Hakim Sebut Asisten Rumah Tangga Putri Bohong

Jakarta, FNN - Sebelas orang saksi dihadirkan dalam sidang pemeriksaan perkara terdakwa Bharada Richard Eliezer sebagai salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat. Sidang yang digelar di  Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 31 Oktober 2022  beragendakan pemeriksaan saksi yang dihadirkam Jaksa Penuntut Umum. Salah seorang dari 11  orang saksi yang dkhadirkan dalam persidangan, Senin, 31 Oktober 2022 adalah Susi yang menjadi ART (Asisten Rumah Tangga) Putri Chandrawathi. Dalam kesaksiannya Susi mengatakan,  Yoshua sudah menjadi ajudan Putri sejak pindah rumah ke Jalan Sagiling.  Yang dimaksud dengan rumah tersebut adalah salah satu kediaman pribadi Ferdy Sambo terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Joshua.  Rumah tersebut  berlokasi di Kompleks Pertambangan Jalan Saguling III, Mampang, Jakarta Selatan.  Kediaman pribadi Sambo dan Putri tersebut tidak terlalu jauh dari  rumah dinas Sambo, saat menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri,  di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Di rumah dinas inilah Joshua dibunuh dengan cara ditembak oleh Eliezer atas perintah Sambo.  Sambo juga didakwa turut menembak Joshua di bagian kepala.  “Sejak kapan Yosua menjadi ajudan dari Putri?” tanya Ketua Majelis Hakim,  Wahyu Imam Santosa.  “Siap yang mulia! Sejak pindah ke rumah Saguling.” kata Susi. Akan tetapi, dalam penjelasannya Susi  mengatakan tidak mengetahui siapa saja yang suka hadir di rumah Saguling. “Anda jangan mikir-mikir dulu. Kalau Anda mikir itu berarti Anda bohong.” kata Wahyu.  (Anw).

Haedar Nasir Versus LD-PBNU Dalam Merespon Program Deradikalisasi Rezim Joko Widodo

Betapa tolerannya umat Islam Indonesia, dengan adanya fakta telanjang, bahwa ada segelintir etnis lain dan beragama lain, atau minoritas etnik dan minoritas agama tapi bisa menguasai 50% (mayoritas) aset nasional negeri ini. Oleh: Budi Nurastowo Bintriman, Pengamat Sosial Politik BARU-baru ini, Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (LD-PBNU) mengadakan Rakernas. Tentu ada beberapa tema yang dibahas di dalamnya. Namun ada satu hal yang menarik perhatian publik, yaitu respon NU terhadap fenomena intoleransi, ektremisme, radikalisme, dan terorisme. Isu-isu tersebut juga menjadi perhatian bagi Haedar Nasir. Perhatiannya tersebut berwujud dalam pidato pengukuhan profesornya dalam bidang sosiologi. Ia memberi judul “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi”. Antara LD-PBNU dengan Haedar Nasir ternyata banyak perbedaan, bahkan pertentangan. Maka perbedaan dan pertentangan tersebut menjadi sangat menarik pula untuk diangkat ke publik. Semoga tulisan ini mendewasakan, mencerdaskan, dan mencerahkan bangsa ini, dan umat Islam ini. Atas rumusan-rumusan yang terpublikasi (yaitu: ekstremisme, radikalisme, dan terorisme) yang hendak diberantas, tampak nyata terasa, bahwa LD-PBNU lebih fokus menyasar ke Islam. Ini bisa dirunut dengan istilah-istilah yang dimunculkan, seperti: wahabi, takfiri, tuduhan bid\'ah, hijrah fest ataupun hijab fest. Ditambah lagi, LD-PBNU merujuk pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, bahwa ajaran wahabi sama sekali tidak cocok dengan corak, kultur, dan karakter umat Islam Indonesia. Dan ,Said Aqil Siraj menyatakan bahwa ajaran wahabi adalah pintu masuk terorisme di Indonesia. Sementara bagi Haedar, fenomena intoleran, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme mempunyai spektrum universal. Artinya, semua ajaran entah itu agama, kepercayaan, filsafat dan lain sebagainya mempunyai peluang yang sama untuk terhinggapi penyimpangan-penyimpangan tersebut. Itu bukan melulu ada dalam Islam saja. Di sini tampak jelas, bahwa LD-PBNU terlalu menyederhanakan persoalan. Akibatnya bisa terjadi distorsi yang justeru menyesatkan masyarakat. Haedar mengistilahkannya justeru terjadi “bias islamophobia”. Kemudian LD-PBNU mengusulkan pada pemerintah agar lebih menggencarkan lagi program deradikalisasi dengan istilah Da\'i Kamtibmas dan Satgas Da\'i Maritim. Dan, ke sini-sininya, LD-PBNU menawarkan kerjasama NU-Polri untuk program deradikalisasi pemerintah. Istilah “Da\'i Kamtibmas” dan “Satgas Da\'i Maritim” sangat berbau pendekatan keamanan-militeristik. Maka itu seolah mengkonfirmasi apa yang ditengarai oleh Haedar Nasir. Cara-cara rezim Joko Widodo dalam menghadapi isu intoleran, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme masih sama dengan cara-cara rezim Orla dan Orba, yaitu dengan pendekatan keamanan-militeristik. Haedar mengkhawatirkan bahwa kekerasan yang dihadapi dengan kekerasan justeru akan melahirkan kekerasan baru tanpa berkesudahan. Ini terbukti dengan sangat terang-benderang, bahwa fenomena intoleransi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme tak pernah tuntas, tak pernah ada kejelasan, dan justeru semakin samar serta misterius. Makanya Haedar malah menengara bahwa sebenarnya persoalan intoleransi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme itu sangat erat kaitannya dengan konspirasi global. Menurutnya semua itu pasti ada backing-nya, ada sponsor dan dana besar di belakangnya. Kekuatan global itu bermain dan berkelindan dengan kekuatan domestik. Tujuannya tentu untuk menangguk keuntungan besar-besaran material dari bumi Indonesia. Parahnya, Haedar menengarai, bahwa program deradikalisasi yang bias Islamophobia itu memang justru untuk terus diproduksi meskipun sejatinya obyeknya itu sendiri tak ada. Sebab program ini beraroma proyek. Maka pihak-pihak yang mudah goyah terhadap godaan rupiah pasti menjadi pendukung program tersebut. Menurut Haedar, rezim Joko Widodo yang menerapkan program deradikalisasi (beraroma islamophobia) sejatinya sedang merugikan bangsa sendiri, wabil khusus merugikan umat Islam. Maka Haedar mengajukan konsep “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dalam Perspektif Sosiologi”. Konsep yang nir kekerasan. Ini sejalan dengan nilai kasih-sayang yang ada pada semua agama yang ada di Indonesia. Karena bangsa Indonesia sudah teruji sebagai bangsa yang memiliki sifat adaptif dan akukturatif. Contoh ekstremnya adalah penerimaan bangsa ini terhadap agama Katholik atau Protestan yang menjadi agama kaum penjajah. Satu fakta lagi yang bisa diungkap untuk mengkonfirmasi analisis Haedar betapa baiknya dan betapa tolerannya bangsa Indonesia yang notabene mayoritas beragama Islam. Betapa tolerannya umat Islam Indonesia, dengan adanya fakta telanjang, bahwa ada segelintir etnis lain dan beragama lain, atau minoritas etnik dan minoritas agama tapi bisa menguasai 50% (mayoritas) aset nasional negeri ini. Untuk itu, kita tidak boleh lelah mendorong moderasi atau sikap tawasuth! Kita musti terus menyadarkan pihak-pihak yang menggelorakan program deradikalisasi yang beraroma islamophobia! Konsep deradikalisasi yang dilahirkan dari Barat. Yaitu bangsa Barat yang daam sejarah panjangnya (ratusan tahun) kotor oleh lumuran darah kekejian dan kedzaliman (sejak era merkantilisme hingga detik ini). Wallahu a\'lam bishshawwab... (*)

Anies itu Fakta, Bukan Citra

Menjual sesuatu yang menarik dan menggoda tapi sejatinya penuh kepalsuan. Berbeda dengan figur Anies yang asli dan genuin, figurnya merupakan fakta bukan citra. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI TOPENG itu tidak hanya untuk menutupi wajah. Topeng juga bisa dipakai menggelapkan jiwa dan raga. Etika dan moralitas menguap, terbang terusir oleh kepalsuan diri. Seluruh tubuh dan ruhnya, tenggelam oleh pesona dan kemolekan citra. Semu memang, meski terlihat indah sesaat. Tidak sekedar tanpa integritas, hadirnya juga tanpa kemanusiaan yang hakiki. Angin kebencian dan permusuhan terus menggelayuti kiprah Anies Baswedan sebagai pemimpin yang terus “flowering”. Seakan tidak pernah surut dari gelombang dendam sosial dan politik. Anies tetap bersahaja dan bergeming melewati badai isu, intrik dan fitnah yang ingin membunuh karakter kepemimpinannya. Prestasinya diabaikan, penghargaannya tak dinilai, begitulah upaya menjegal Anies dibawa sampai ke kedengkian hati oleh lawan-lawan politiknya. Amarah dan dengan disertai perilaku jahat yang kuat korelasinya dengan kekuasaan, tak pernah sepi dari perjalanan karir Anies. Asal bukan Anies dan kalau perlu Anies harus disingkirkan dari dinamika politik, terutama dalam menghadapi pesta demokrasi pada Pilpres 2024. Namun sayang sungguh sayang, upaya setengah mati dari konspirasi untuk  menyingkirkan Anies tak pernah berbuah manis. Selalu kegagalan dan jalan buntu menjungkalkan Anies yang dijumpai lawan politik, para pelaku tabiat buruk manusia yang berkolaborasi dengan setan. Menjadi budak kapitalis dan kacung komunis, gerombolan lingkaran dan sub koordinat rezim tersebut dengan segala cara ingin menjatuhkan Anies. Sebuah hawa nafsu jahat berbentuk sistem dengan sekumpulan orang, yang tidak ingin Anies tampil sebagai pemimpin yang mencerahkan bagi rakyat, negara dan bangsa serta agama. Kenapa upaya membegal Anies dengan pelbagai cara keji dan berbiaya mahal itu tak kunjung berhasil? Jawabannya sederhana, selain didukung rakyat, Anies selalu tampil apa adanya. Dengan kesederhanaan, ketulusan dan kejujuran dalam bertugas mengemban amanat rakyat. Tentu saja dengan kerja keras dan kerja cerdas, yang dibekali qua intelektual dan qua ideologi. Sikap rendah hati, terbuka dan egaliter juga menjadi penguat behavior cerdas dan santun yang dimiliki Anies. Kenyataan-kenyataan itu yang tak terbantahkan dan tak bisa dimanipulasi, oleh anasir kekuatan apapun yang tak ingin perubahan Indonesia yang lebih baik di bawah kepemimpinan Anies. Dengan tidak mengecilkan dan “under estimate”, kebanyakan sosok pemimpin lain yang ikut memeriahkan kontestasi capres ini, memang tak bisa ditutup-tutupi dan tidak bisa disembunyikan oleh para politisi dan pejabat kompetitor Anies. Karena, kebanyakan sudah tersandera, bahkan hampir semuanya terbelenggu dalam dosa politik dan catatan hitam sejarah. Ada yang terlibat skandal korupsi E-KTP, kasus Semen Mendem, tragedi Wadas hingga kejahatan terhadap perusakan lingkungan dan komunitas. Mirisnya lagi, bakal capres-capres mentereng dan penuh gaya itu, ternyata juga sering terlibat dalam pembajakan kostitusi, hingga berhubungan gelap dengan korporasi hitam dan mafia, serta pelbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. Betapapun populer dan eksentriknya bertingkah, bakal capres-capres yang sangat bergantung pada oligarki itu, sudah menjadi kartu mati di mata rakyat. Betapapun uang berlimpah dan fasilitas menggiurkan miliknya berupaya membeli demokrasi. Mengapa hal itu terjadi dan mengemuka untuk menelanjangi pemimpin yang cenderung disebut boneka atau wayang kekuasaan? Penilaiannya juga tidak terlalu rumit, mereka itu pemimpin palsu, pemimpin yang lahir dari demokrasi kapitalistik dan transaksional. Mereka yang membeli jabatan dengan uangnya tersebut, kemudian menghisap  kekayaaan negara sebesar-besarnya dengan menggunakan kekuasaannya itu. Uang untuk membeli dan membangun pencitraan itu sesungguhnya bertolak-belakang dengan realitas dirinya. Harta dan kewenangannya tersebut mungkin bisa menjadi bengkel yang dapat memperbaiki rupanya, tapi tak akan mampu mengobati dan menyembuhkan penyakit pikiran dan hatinya. Tetap menjadi virus berbahaya bagi demokrasi yang sehat, karena orientasi jahat dan distorsi tersebut adalah kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Bagus kemasannya, sangat buruk isinya, begitulah karakter beberapa bacapres yang tidak ada dalam figur Anies. Sekali lagi, isi lebih penting dan utama daripada kemasannya. Karena isi akan menemukan bentuknya, sebaliknya kemasan yang akan mencari bentuknya. Tidak ada kemasan tanpa isinya. Tak sekedar baik di luar, namun bobrok di dalamnya. Menjual sesuatu yang menarik dan menggoda tapi sejatinya penuh kepalsuan. Berbeda dengan figur Anies yang asli dan genuin, figurnya merupakan fakta bukan citra. Kepribadian Anies yang otentik, yang memiliki karakter dan integritas, jauh dari pencitraan. Ya, bukan pencitraan yang selama ini bertebaran dalam wujud banyak pemimpin penuh janji dan segudang kebohongan. Keji pula. Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 31 Oktober 2022/5 Rabi\'ul akhir 1444 H. (*)

Jokowi Mundur, Indonesia Maju

Kalau saja republik ini ingin tetap ada dan tercatat di peta dunia, seperti melalui “poin of no return” yang harus berani menghadapi perjuangan dan resiko apapun untuk Indonesia yang lebih baik. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI INDONESIA sepertinya sedang dipimpin oleh “gerombolan bromocorah”. Sekelompok manusia bermental korup juga bengis, bergabung dengan penjahat perampok harta negara dan pembunuh rakyat. Tak ketinggalan, perilaku seks bebas dan menyimpang ikut mewarnai pentas panggung politik para bajingan berdasi yang sering berdalih atas nama rakyat dan konstitusi. Semua kejahatan kemanusiaan itu begitu sempurna, seakan menggantikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ini bukan soal konstitusional atau inkonstitusional. Ini juga bukan soal sesuai masa jabatannya atau berhenti di tengah jalan. Ini menyangkut keselamatan dan masa depan NKRI. Tidak perlu menunggu sampai dua tahun, langkah-langkah preventif mutlak dilakukan agar republik ini tidak semakin hancur. Situasi dan kondisi negara ini sudah sama dengan penyakit yang kronis dan akut. Sistem ketatanegaraan yang semakin amburadul berbarengan dengan perilaku menyimpang para aparatur pemerintahan. Bukan sekedar distorsi kekuasaan, rezim semakin terang-benderang melakukan kejahatan terstruktur dan sistematik. Negara ini tidak boleh kalah oleh segelintir penghianat bangsa. Rakyat harus bangkit, melawan dan menyelamatkan Indonesia tercinta berapa pun besar dan mahalnya perjuangan tersebut. Bangsa Indonesia sejak dalam kepemimpinan hampir dua periode Jokowi, semakin mengalami kerusakan. Kecenderungan negara gagal sudah semakin terasa ketika kebohongan demi kebohongan terbukti dalam mengurus negara. Bukan hanya tak terbukti dalam mewujudkan janji kampanye ketika pilpres,  pemerintah lebih parah lagi, banyak menghasilkan kebijakan yang membuat rakyat sengsara dan menderita. Demokrasi ekonomi dan demokrasi politik hanya berbuah kekuasaan yang korup, tiran dan menindas. Tak ada lagi tempat bagi akal sehat, nurani, dan budi pekerti. Tak ada lagi sedikitpun celah bagi etika dan moralitas. Tak boleh ada keleluasaan untuk tumbuhnya kemanusiaan dan Ketuhanan. Kekacauan penyelenggaraan negara yang diselimuti dengan pelbagai kejahatan kemanusiaan. Bukan saja mengubur keyakinan rakyat terhadap keberadaan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Kebanyakan Pejabat dan sebagian besar pemimpin berubah menjadi psikopat politik yang karena orientasi materi, menghalalkan segala cara hanya untuk memenuhi dan memuaskan syahwat dunia. Rakyat menjadi terbelah, sebagian terpinggirkan dan frustasi, sebagian lagi mengikuti jalan sesat setan berwujud aparat negara. Banyak yang terus mengambil sikap kritis dan kesadaran perlawanan, namun tidak sedikit yang menghamba pada kekuasaan. Sudah banyak korban yang berjatuhan, teraniaya, dan bahkan menemui kematian karena konsisten menegakkan kebenaran dan keadilan. Begitupun ada yang mengambil posisi aman, menjilat dan ikut menikmati kue kekuasaan meski tenggelam dalam kemunafikan. Dengan krisis kepemimpinan seiring krisis moral yang berdampak pada krisis multidimensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia juga telah mengalami kehancuran nyaris di semua aspek. Kebudayaan kapitalistik yang hedon telah membuat rakyat tercerabut dari akar nilai-nilai spiritual dan religi. Keinginan mencari kesenangan hidup dan mengabaikan prinsip-prinsip ahlakul kharimah, membuat hampir seluruh rakyat Indonesia hanya menjadi bangsa yang sekedar beragama tetapi tak Bertuhan. Kebohongan demi kebohongan, fitnah keji dan pembunuhan sudah menjadi pemandangan biasa dalam pergaulan sosial dan interaksi kebangsaan. Rakyat Indonesia di bawah kepemimpinan rezim boneka dan aparat monster tersebut, layaknya populasi penduduk yang primitif dan barbar yang hidup di dalam era modern. Sejak rezim Jokowi memimpin, Indonesia menjadi negara terbelakang, bahkan tertinggal 100 tahun dari negara yang hanya ada di kawasan Asia Tenggara. Pembelahan sosial telah menimbulkan luka dalam dan sulit disembuhkan bagi persatuan dan kesatuan nasional. Kehidupan ekonomi dan politik yang membuat kehidupan rakyat dibebani oleh utang dan krisis keuangan, membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli di atas bangsa kuli. Begitu pula dengan kedaulatan negara, harga diri, kehormatan serta martabat bangsa yang semakin terpuruk. Indonesia menjadi sempurna menuju negara gagal, ketika ditambah sistem pertahanan dan keamanan menjadi begitu sangat lemah. Hal ini terbukti bukan hanya pada ranah sosial, ekonomi, dan politik, dalam penguasaan persenjataan konvensional dan biologis, militer Indonesia masih tergolong memiliki alutsista yang secara kualitatif dan kuantitatif masih jauh dari standar dan belum mampu menjamin keselamatan dan kesinambungan eksistensi NKRI. Pandemi Covid-19 beserta kontroversi dan eksesnya menjadi bukti yang tak terbantahkan, betapa rapuhnya Indonesia dalam skala lokal dan terlebih lagi global. Rasanya, ini bukan sekedar subyektifitas dalam melihat fenomena mirisnya Indonesia, yang sejatinya negara besar dan kaya. Republik yang sarat historis dan ideologis serta mumpuni menjadi bangsa pemimpin dan disegani di dunia, namun apa daya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rezim Jokowi, sebuah komunitas politik dengan pemimpin boneka didampingi birokrat hipokrit dan badut-badut buzzer yang konyol ini, Indonesia nyaris tenggelam oleh perilaku menyimpang dari kekuasaan rezim Jokowi yang tak ubahnya bagai penjahat berkedok aparatur negara dan dilindungi konstitusi. Sebuah entitas politik pemerintahan yang sanggup menerkam, mengoyak, dan mencabik-cabik Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Pada akhirnya tak ada pilihan lain lagi, yang terbaik bagi keselamatan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Kalau saja republik ini ingin tetap ada dan tercatat di peta dunia, seperti melalui “poin of no return” yang harus berani menghadapi perjuangan dan resiko apapun untuk Indonesia yang lebih baik. Maka menjadi keharusan yang wajib dilaksanakan, bahwasanya saatnya Jokowi mundur sehingga menjadikan Indonesia maju. Dari catatan pinggiran labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 30 Oktober 2022/4 Rabi\'ul Akhir 1444 H. (*)

Kritik Terhadap Survei Elektabilitas Partai Politik

Oleh: Agung Prihatna - Senior Pollster, Mantan Kepala Divisi Penelitian LP3ES  PADA September dan Oktober tahun ini ada tiga lembaga survei yang merilis hasil survei elektabilitas partai politik terkini. Ketiga lembaga yang dimaksud SMRC, Indikator dan Litbang Kompas. Dari sisi rekam jejak ketiga institusi ini baik dan kredibel. Membaca hasilnya, reaksi publik, terutama elit politik, tampak beragam. Ada yang bersorak gembira karena nilai keterpilihan partainya diprediksi meningkat drastis, ada yang cemas karena diperkirakan elektabilitas partainya di bawah angka ambang batas kecukupan kursi parlemen dan sebagian bingung karena hasil survei ketiga lembaga bervariasi nilainya. Memang sebaiknya setiap hasil survei tentang elektabilitas yang diperoleh dari data agregat nasional dengan mewawancarai duaribu sampai tigaribu responden tidak perlu direspon secara berlebihan. Tidak perlu terlalu eforia atau cemas melihat hasil survei seperti itu. Prediksi Meleset Secara empirik hasil survei tentang partai politik yang bersumber dari data agregat nasional tidak tepat menyajikan prediksi atau gambaran terkini yang sebenarnya. Peristiwa menjelang Pemilu 2019 menjadi pelajaran yang baik. Di bulan Maret 2019, sebulan menjelang pemungutan suara, ada 3 lembaga mengumumkan hasil survei. Ketiganya adalah Litbang Kompas, Charta Politika dan Vox Populi. Dibandingkan dengan hasil pemungutan suara resmi dari KPU hasil survei ketiga lembaga ini meleset terutama dalam memprediksi partaipartai yang besar dan lolos ke parlemen. Seharusnya prediksinya tidak meleset karena rentang waktu pengumpulan data survei dengan saat pemungutan suara hanya terpaut 1 bulan. Secara teoritik maupun secara empirik rentang waktu tersebut seharusnya tidak akan terjadi perubahan signifikan. Karena preferensi politik pemilih sudah berada pada keadaan mengkristal dan tinggal menunggu waktu disalurkan di TPS. Kecenderungan sama terlihat pada lembaga lainnya mengumumkan hasil surveinya sebelum Maret. Hasil survei lembaga-lembaga ini juga tidak tepat memprediksi perolehan suara partai politik. Tulisan ini mengambil contoh tiga lembaga ini karena pengumpulan datanya paling dekat dengan waktu pemungutan suara. Pernyataan bahwa hasil survei tentang elektabilitas partai politik meleset berdasarkan analisis yang bersumber dari data dalam tabel di bawah. Di dalam tabel terlihat, Litbang Kompas, Charta Politika dan Vox Populi sama-sama memberikan angka terlalu tinggi (overshoot) terhadap PDI Perjuangan. Jika dirata-ratakan prediksi ketiga lembaga meleset 6.84%. Sebaliknya hasil survei ketiga lembaga memberikan angka terlalu rendah (underestimate) kepada Partai NasDem dan PAN. Kedua partai politik ini diperkirakan mendapat dukungan rendah. Bahkan hasil survei Litbang Kompas menampilkan angka di mana kedua partai politik ini di bawah ambang batas kecukupan kursi parlemen. Dalam kenyataanya justru jauh berbeda. Partai NasDem dan PAN mendapat dukungan lebih dari 6% pemilih. Bahkan Partai NasDem tampil mengejutkan karena berada di urutan kelima di bawah PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Golkar dan PKB. Dalam tabel tampak nilai rata-rata kekeliruan prediksi terhadap Partai NasDem mencapai 5,12%.  Hasil survei tentang elektabilitas partai politik pada Pemilu 2019 menunjukkan, kekeliruan prediksi cenderung terlihat pada partai-partai yang lolos ambang batas kecukupan kursi parlemen. Sebaliknya tepat menunjukkan partai kecil yang tidak lolos. Jika dihitung rata-rata, kekeliruan (deviasi) memprediksi partai yang lolos ambang batas parlemen mencapai 3,59%. Angka ini di atas klaim margin of error ketiga lembaga. Inilah argumen mengapa hasil survei ketiga lembaga tentang elektabilitas partai politik dikatakan meleset. Mungkin akan ada pembelaan yang mengatakan bahwa kekeliruan disebabkan oleh jumlah responden yang belum menentukan pilihannya sehingga faktor ini yang menambah nilai dukungan partai politik yang mendapat prediksi rendah. Argumen semacam ini tidak bisa sepenuhnya diterima karena dua hal. Pertama, bantahan ini tidak bisa menjelaskan pertanyaan: (1) mengapa prediksi PDI Perjuangan (dan juga Partai Gerindra) terlalu berlebihan? (2) apakah kedua partai ini sama sekali tidak mendapat limpahan dari pemilih yang belum menentukan pilihan? (3) apakah pemilih PDI Perjuangan dan Partai Gerindra secara signifikan berpindah saat pemungutan suara? Tidak akan ada pembelaan yang rasional atas ketiga pertanyaan ini. Kedua, secara empirik pemilih yang belum menentukan pilihan dalam survei umumnya akan terdistribusi proporsional pada kontestan yang ada. Tidak akan terjadi secara ekstrim tumpah pada salah satu atau sebagian kecil pihak dan ada kontestan yang tidak mendapat limpahan sama sekali. Tidak Mengukur Survei elektabilitas partai politik yang bersumber dari data agregat hasil wawancara sekian ribu responden secara nasional pada dasarnya tidak usah direspon secara serius. Sebab survei semacam ini tidak mengukur (dalam istilah ilmiah, tidak valid). Biasanya data semacam ini hanya pertanyaan ikutan dari kegiatan survei untuk kepentingan melihat elektabilitas calon presiden. Jadi motifnya separuhnya iseng belaka. Sebagian pollster mungkin tahu bahwa untuk menggambarkan berapa jumlah dukungan kepada setiap partai politik metodenya tidak bersumber dari data agregat nasional. Mengapa dikatakan tidak mengukur? Sebab bunyi pertanyaan survei dengan realitas sistem pemungutan suaranya berbeda. Pertanyaan survei umumya berbunyi: “jika pemilu dilaksanakan pada saat ini partai apa yang Bapak/Ibu pilih?” sedangkan realitas pemungutan suara di mana pemilih bisa memilih partai politik dan atau calon anggota legislatif dalam partai tertentu. Pertanyaan survei menghilangkan kemungkinan responden memilih karena caleg. Padahal dalam kenyataannya pemilih lebih cenderung memilih caleg ketimbang partai politik. Jika membuka data perolehan suara yang bersumber dari KPU, terlihat jelas, 85% - 90% pemilih mencoblos nama caleg, selebihnya hanya 10% - 15% yang memilih partai politik. Pertanyaan survei tentang elektabilitas partai politik yang umumnya diajukan lembaga survei, valid untuk sistem pemilihan umum proporsional tertutup dimana pemilih hanya diminta memilih partai politik. Pertanyaan survei tentang elektabilitas partai politik yang umumnya diajukan lembaga survei, valid untuk sistem pemilihan umum proporsional tertutup dimana pemilih hanya diminta memilih partai politik. Sebaliknya untuk sistem pemilihan umum proporsional terbuka pertanyaan survei yang demikian itu tidak mengukur secara benar. Sebagai alat ukur, rukun pertanyaan itu harus mengacu pada realitanya sehingga sensitifitas pengukuran tercapai. Kendati sama-sama timbangan, cincin emas yang kecil dan ringan tidak dapat terukur secara presisi jika ditimbang dengan timbangan beras. Kemungkinan ukuran beratnya kelihatan tetapi tidak presisi sehingga bersifat spekulatif. Itulah mengapa survei tentang partai politik yang hanya mengajukan pertanyaan ringkas sebagaimana yang diumumkan lembaga survei saat ini tidak mengukur secara benar. Cara memprediksi elektabilitas partai politik secara benar syaratnya agak berat. Survei harus dilakukan di setiap daerah pemilihan (Dapil) dengan sampel yang cukup. Hasil survei di setiap Dapil ini menjadi sumber data untuk proyeksi secara nasional. Meskipun berat namun cara itulah yang benar. Selain itu, hasil survei elektabilitas yang valid hanya bisa dilakukan jika penentuan caleg oleh KPU sudah final. Indikatif Hasil survei tentang partai politik yang bersumber dari data agregat nasional bukan berarti lantas tidak berguna. Informasi ini tetap bermanfaat namun harus diperlakukan secara proporsional. Sifat informasinya adalah indikatif. Seperti informasi berat cincin emas yang ditimbang di timbangan beras. Angkanya terlihat tetapi tidak menggambarkan kenyataan secara tepat dan selalu berbeda di setiap pengukuran. Perumpaan ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa hasil survei elektabilitas partai politik antara satu lembaga dengan yang lain bisa berbeda. Dalam wilayah etik, informasi indikatif sepatutnya tidak ditafsirkan berlebihan oleh pollster (pelaku survei opini publik). Tidak pada tempatnya pollster memberi analisis, misalnya, menyebutkan peningkatan elektabilitas partai tertentu disebabkan hal tertentu, demikian sebaliknya, penurunan partai tertentu karena sesuatu hal. Bagaimana mungkin sebagai peneliti menghubungkan dua peristiwa padahal salah satu peristiwanya diragukan kebenarannya. Jika ini dilakukan maka analisisnya bersifat spekulatif dan common sense. Tidak heran jika kemudian publik berbantah-bantahan mengenai hasil survei. Suasana seperti ini ujung-ujungnya mendegradasi kredibilitas pollster dan lembaga survei. Ini bukan soal lembaga mana yang kredibel atau tidak. Ini masalah siapa yang tertib dan tidak tertib metodologi. Siapapun yang menyelenggarakan survei opini publik lantas menjalankan secara serampangan tidak patut menjadi sumber referensi bagi publik. Pollster seyogyanya tidak bersembunyi dibalik popularitas dan kredibilitas lembaga atas keserampangannya. Saat ini pollster dan lembaganya sedang dalam posisi selalu dicurigai membawa agenda politik dari para kontestan pemilihan umum dan motif bisnis di dalamnya. Hampir tidak tersisa lagi kebanggaan sebagai peneliti opini publik. Satu-satunya jalan menyelamatkan muka pollster dan lembaga survei adalah tertib metodologi. Termasuk di dalamnya tidak membuat analisis dan tafsir berdasarkan data yang diragukan validitas dan reliabilitasnya. Cibubur, 28 Oktober 2022