ALL CATEGORY

Capres Alternatif Perlu Muncul untuk Mengatasi Kejenuhan Publik

Depok, FNN - Wacana calon presiden (capres) alternatif untuk Pemilu 2024 harus dimunculkan karena adanya kejenuhan publik terhadap nama-nama figur yang sudah lebih dulu populer saat ini, Direktur Eksekutif Lembaga Riset dan Konsultasi Publik Algoritma Aditya Perdana.Direktur Eksekutif Lembaga Riset dan Konsultasi Publik Algoritma Aditya Perdana dalam keterangannya di Depok, Rabu mengatakan masyarakat sejatinya tak sepenuhnya yakin dengan calon presiden yang populer saat ini yang selalu menghiasi seluruh media di tanah air.Dari survei yang dilakukan Algoritma, Aditya menjelaskan, meskipun beberapa bakal capres tersebut memiliki kesukaan dan elektabilitas tinggi, masyarakat belum yakin para bakal calon presiden Indonesia itu mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara yang saat ini tengah dihadapi.\"Di situlah kami punya keyakinan bahwa masih ada peluang bagi para capres lain yang sebenarnya mau mengatasi problem yang kita hadapi, seperti polarisasi masyarakat, pemberantasan korupsi, hukum, pemulihan ekonomi, kalau itu semua bisa dipenuhi, curilah ruang itu,\" kata Aditya.Menurutnya, masih ada ruang bagi para capres alternatif untuk muncul dan mengambil peran dan menjawab kegelisahan responden di atas serta peluang mengkapitalisasi kemampuan dan kapasitasnya sebagai capres.\"Maka saya berpikir seharusnya para capres alternatif ini perlu membuat skenario yang komprehensif dan sistematis untuk menantang calon yang ada sehingga dampaknya dapat dimonitor dengan baik. Tentu tantangannya tidak mudah, tapi perlu ada gerakan perlawanan,\" jelasnya.Koordinator Komite Pemilih (Tepi Indonesia), Jeirry Sumampow mengemukakan bahwa masyarakat sudah mengenal calon-calon presiden yang saat ini tinggi elektabilitasnya sejak 5 tahun silam. Maka, tokoh-tokoh tersebut sama seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu dan tidak ada perbedaan signifikan.“Itu tentu memperlihatkan ada kebosanan publik. Problemnya begini, media terlalu mempopulerkan nama tokoh, jadi publik ke arah sana, dan seolah-olah tak punya pilihan lain. Membuat figur-figur ini populer, dan populernya ini berpengaruh pada elektabilitasnya,\" ujarnya.Menurutnya, figur atau nama-nama capres yang lalu-lalang sekarang paling banyak adalah kepala daerah, militer, atau petugas partai. Orang-orang yang tampil sekarang memang orang-orang yang memegang jabatan publik, ada yang juga sengaja di-branding untuk maju sebagai calon presiden.Menariknya bahwa survei Algoritma beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa publik tak yakin para calon teratas itu mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan, seperti pembelahan dalam masyarakat, persoalan ekonomi, korupsi, dan lain-lain. \"Itu menunjukkan bahwa masyarakat mengharapkan adanya calon alternatif atau figur baru, bukan figur yang selama ini sudah muncul,\" harapnya.Beberapa figur alternatif yang bisa ditawarkan karena memiliki kemampuan dan kapasitas, seperti mantan Ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir, Mendagri Tito Karnavian, dan Cendekiawan Ilham Habibie.Ilham Habibie merupakan putra pertama dari Presiden Indonesia periode 1998–1999 B. J. Habibie, di mana Ilham memiliki background kepakaran bidang teknologi.\"Nama-nama ini sebetulnya cukup ok, tapi kurang mendapat perhatian media. Sehingga tak muncul ke permukaan. Kami berharap publik juga sebaiknya mengusulkan atau memunculkan nama-nama lain, dianggap punya kemampuan memimpin bangsa ini dan punya kapasitas untuk menyelesaikan persoalan yang ada,\" terangnya.Peneliti Formappi, Lucius Karus menyebut sudah sewajarnya publik merasa jenuh lantaran dominasi capres masih dipegang oleh nama-nama besar, yang selama ini aktif berkeliling menjajakan diri untuk menaikan elektabilitasnya. \"Belum lepas dari sini, banyak muncul figur lain, tapi sejauh ini tidak ada kenaikan signifikan dalam tingkat elektabilitas mereka menurut potret dalam survei,\" katanya. (Ida/ANTARA)

Azwar Anas Dilantik sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Abdullah Azwar Anas sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) di Istana Negara Jakarta, Rabu.\"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta akan menjalankan peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya demi darma bakti saya kepada bangsa dan negara,\" kata Azwar Anas mengucapkan sumpah jabatan dengan mengikuti pembacaan Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta.Pelantikan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden No. 91/B Tahun 2022 tentang Pengangkatan Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024 tertanggal 7 September 2022.\"Bahwa saya dalam menjalankan tugas jabatan akan menjunjung tinggi etika jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab,\" demikian sumpah tersebut diucapkan.Hadir dalam pelantikan tersebut, antara lain, Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2022-2027 Hasyim Asy\'ari, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI 2022-2027 Rahmat Bagja.Jabatan Menpan RB kosong sejak ditinggalkan Tjahjo Kumolo yang wafat pada 1 Juli 2022. Sejak 15 Juli 2022, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Menpan RB, sedangkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga sempat menjabat sebagai Menpan RB ad interim pada 4-15 Juli 2022.Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sebenarnya sudah memberikan nama-nama calon Menpan RB kepada Presiden Jokowi sejak pertengahan 2022, namun pelantikan Menpan RB belum kunjung dilaksanakan.  Saat ini Abdullah Azwar Anas menjabat sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP) sejak 13 Januari 2022. Azwar Anas pernah menjabat sebagai Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, selama dua periode, yakni periode 2010-2015 ketika diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan periode 2016-2021 diusung PDI Perjuangan. Sebelumnya ia pernah menjadi anggota MPR RI dan DPR RI. Ketika menjabat sebagai Bupati Banyuwangi, Azwar Anas dinilai berhasil mendorong pariwisata di kabupaten tersebut, termasuk dengan menyelenggarakan sejumlah kegiatan, seperti Tour de Ijen, Banyuwangi Festival, Banyuwangi Ethno Carnival, dan Banyuwangi Jazz Festival. Banyuwangi pun meraih penghargaan \"Innovation Goverment Award\" sebagai Kabupaten Terinovatif di Indonesia sejak 2018. (Ida/ANTARA)

Pj Gubernur DKI Harus Sosok yang Berintegritas dan Berkomitmen

Jakarta, FNN - Ketua Badan Kerja Sama Parlemen Dewan Perwakilan Daerah, Sylviana Murni, menegaskan sosok yang bakal menjadi penjabat (Pj) gubernur DKI Jakarta harus memiliki integritas dan komitmen yang kuat untuk memajukan Jakarta.“Pj gubernur DKI tentu harus orang yang memiliki integritas dan komitmen yang kuat untuk kemajuan Jakarta. Terutama kita tahu bahwa status Jakarta saat ini bukan lagi ibu kota dan akan bermetamorfosa jadi kota global,” kata dia, dalam keterangan di Jakarta Rabu.Ia pernah ikut dalam kontestasi menjadi wakil gubernur DKI Jakarta dalam ajang Pilkada 2017 bersama Agus Yudhoyono. Pada Pilkada 2017 itu, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menang.Hal itu dia katakan mengingat masa jabatan Anies Bawedan akan berakhir pada Oktober 2022 mendatang. Meskipun muncul beberapa nama yang ramai diperbincangkan publik, perempuan politiku ini menilai bahwa penunjukan pj gubernur DKI menjadi kewenangan presiden atas rekomendasi Kementerian Dalam Negeri.  Lebih lanjut, wakil rakyat dari daerah pemilihan DKI Jakarta itu menyampaikan kurang lebih dua tahun masa jabatan pj gubernur DKI ke depan bisa disebut sebagai masa transisi dari ibu kota negara menjadi kota global. Menurut tia, hal itu akan menjadi tantangan tersendiri bagi pj gubernur DKI.  “Mau atau tidak, nantinya Pj akan punya tanggung jawab besar mengawal program gubernur yang sudah ditetapkan dalam RPJMD. Kan ketentuannya, antara lain bahwa Pj harus melanjutkan karena batu penjuru Jakarta sudah jelas,” katanya. Diketahui, tiga sosok yang saat ini ramai dibicarakan publik untuk menggantikan Anies Baswedan, di antaranya Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Marullah Matali, dan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, BahtiarSaat ditanya soal siapa yang pantas menggantikan Baswedan, Murni menyebutkan bahwa ketiganya merupakan sosok yang punya kapasitas dalam kepemerintahan. Menurut dia, setingkat eselon 1 sudah paling paham cara kerja pemerintah.“Kita tunggu saja presiden tentukan siapa, itu kan hak prerogatif presiden ya. Tapi yang pasti ketiganya punya kapasitas, sekelas eselon I itu sudah khatam lah cara berbirokasi dan berpemerintahan seperti apa,” kata dia.Sebelumnya, nama yang sering jadi perbincangan publik hanya dua orang, yakni Hartono dan Matali. Kemudian, muncul satu nama yang juga menjadi pembicaraan, yakni Bahtiar. Hartono memiliki pengalaman berdinas di DKI Jakarta. Pada masa Joko Widodo menjadi gubernur DKI Jakarta, dia dikenal dekat dengan Jokowi lantaran menjadi salah satu orang yang sering memberi masukan soal pembangunan di Jakarta. Sementara Matali merupakan putra Betawi yang saat ini tengah menjabat sebagai sekretaris daerah. Sedangkan Bahtiar pernah menjadi penjabat sementara gubernur Kepulauan Riau dan merupakan ASN yang lama berkarier di Kementerian Dalam Negeri. Bahtiar merupakan seorang birokrat yang memulai kariernya dari staf kelurahan, staf kecamatan, hingga puncaknya menjadi direktur jenderal di Kementerian Dalam Negeri atau pejabat eselon I. Ia juga dipercaya sebagai ketua umum Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia periode 2021 hingga 2026. (Ida/ANTARA)

Masanya Pesantren Berbenah!

Sehingga, ke depan pesantren dapat tampil sebagai institusi pendidikan yang berkwalitas tinggi. Bahkan lebih hebat dari sekolah-sekolah Istimewa lainnya yang selama ini mendominasi dunia pendidikan di Indonesia. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation DUA hari lalu saya menerima kiriman seorang teman cuplikan IG (Instagram) pengacara Hotman Paris tentang seorang Ibu yang sedang menangis meratapi kematian anaknya. Konon kematian anak yang juga santri itu terjadi karena penganiyaan yang terjadi di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Tulisan ini tidak bermaksud menempelkan kotoran, apalagi merusak institusi pesantren yang sangat saya hormati dan banggakan. Betapa tidak saya telah menjadi Syamsi Ali (Shamsi Ali) saat ini juga karena pondok pesantren. Saya adalah santri. Saya pernah mondok selama 6 tahun di pesantren. Tulisan ini lebih kepada mengajak kita semua, khususnya kalangan pondok pesantren, dari Pimpinan, guru, staf, hingga ke santri/santriyah untuk berani melakukan introspeksi. Bahkan berani mendobrak dan melakukan “self criticism” (koreksi diri), “self correction” (perbaikan diri), dan “self development” (pengembangan diri). Diakui atau tidak, memang salah satu penyakit pesantren dan Umat secara umum adalah mampu mengoreksi tapi pantang dikoreksi. Apalagi keinginan untuk mengoreksi diri sendiri. Inilah yang barangkali yang diingatkan oleh Al-Quran: “Kenapa kalian mengatakan apa yang kalian tidak lakukan?” (as-Shoff: 2). Pesantren dan Pendidikan Berbicara tentang pesantren, bagi saya pribadi itu tentu adalah sesuatu yang personal (pribadi). Selain karena saya memang tamatan pesantren seperti yang disebutkan di atas tersebut, juga saat ini saya masih terus berjuang untuk mewujudkan pondok pesantren pertama di bumi Amerika. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pesantren adalah “backbone” (tulang punggung) pendidikan Islam dalam dunia Islam. Di negara-negara luar Indonesia pesantren itu lebih dikenal dengan madrasah. Walaupun pastinya ada perbedaan mendasar antara keduanya. Tapi, baik pesantren maupun madrasah masih menjadi rujukan bagi pendidikan Islam generasi Umat. Bagi Indonesia secara khusus pesantren memang tidak bisa dipisahkan dari wajah pendidikan Islam di bumi Nusantara ini. Bahkan, eksistensi Islam di Indonesia secara umum. Dari pesantrenlah terlahir tokoh-tokoh nasional dan guru bangsa yang telah menjadi pilar bagi kelahiran dan kebangkitan nasional kita. Dua organisasi terbesar Indonesia terlahir dari karya dua Kiai besar tamatan pesantren. Tulisan ini tidak bermaksud memaparkan lagi kelebihan-kelebihan pondok pesantren. Tapi, intinya semua kelebihan sekolah-sekolah lain ada di dalam pesantren. Anda bisa menjadi hebat dalam matematika, fisika, biologi, dan berbagai keilmuan lainnya. Anda juga bisa menjadi ahli sosial, dan bahkan pengamat politik yang tajam dari pesantren. Tapi pesantren memiliki kelebihan-kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh institusi-institusi pendidikan lainnya. Satu di antaranya yang terpenting adalah bahwa pesantren tidak sekedar mengajarkan keilmuan. Tapi sekaligus mengajarkan tentang kehidupan. Santri itu adalah manusia yang telah matang untuk menjalani hidup. Pesantren Perlu Berbenah Dengan segala kelebihan dan keunikan itu tentu pesantren, sebagaimana institusi lainnya, bukanlah Institusi yang sempurna. Ada beberapa hal mendasar yang perlu terus dibenahi dan diperbaiki. Tentu ada sebagian pesantren yang bagus pada aspek lain. Tapi aspek lainnya perlu pembenahan dan perbaikan. Kali ini saya hanya menekankan urgensi pembenahan pada dua hal saja. Pertama, pentingnya pendekatan pendidikan yang imbang. Tentu banyak hal yang perlu diseimbangkan. Dua diantaranya yang terpenting adalah keseimbangan antara pendekatan imani (dogmatis), ‘aqli (rasionalitas) dan jismani (fisikal). Kerapkali pendidikan di pesantren menekankan kepada dogma-dogma dan hafalan yang kurang diimbangi dengan pemahaman aqli (rasionalitas). Akibat dari pendekatan itu bisa terlihat pada dua sisi yang ekstrim: 1) santri menjadi sangat dogmatis dalam beragama dan tidak menerima perbedaan. 2) mengalami keterkejutan mindset atau cara pandang ketika sudah terbuka dengan dunia luar. Akibatnya ada santri yang lebih sekuler dari mereka yang hanya tamatan sekolah umum. Hal lain yang memerlukan keseimbangan adalah pemahaman kepada adab menuntut ilmu yang kerap mengikuti petuah Imam Al-Gazali: “murid di hadapan gurunya bagaikan mayat”. Pemahaman adab dengan petuah Al-Gazali ini menjadikan kreatifitas dan daya inisiatif bahkan “self development” dari santri-santriyah menjadi lambang bahkan terhambat. Hormat pada guru dan mereka yang dituakan itu harus. Tapi kecenderungan mengkultuskan dan mengikut tanpa reservasi adalah salah. Para ustadz, kiai, atau apapun gelar dari guru-guru agama itu tidak menjadikan mereka terlepas dari eksistensinya sebagai manusia yang boleh benar/baik atau salah/buruk. Hal kedua yang ingin saya sampaikan adalah pentingnya melihat kembali dengan penglihatan jernih dan, bahkan, kritis berbagai aktifitas di pondok pesantren, termasuk pendekatan guru-guru dalam mengajar dan pergaulan yang terjadi di antara santri-santri atau santriyah-santriyah. Kasus yang baru saja terjadi di pesantren Gontor seharusnya menjadikan semua melakukan introspeksi bahwa apa yang ada di pesantren “not to be taken for granted” (bukan jaminan) seolah semua di pesantren baik-baik saja. Ada hal-hal yang perlu dicermati dan harus dikoreksi jika itu memang benar adanya. Guru-guru atau pengajar bisa menjadi guru atau pengajar yang baik bukan karena sekedar tamat pesantren. Bahkan bukan hanya karena gelar LC atau MA bahkan Dr atau PhD. Tapi memerlukan keahlian tersendiri. Dan karenanya pesantren seharusnya perlu mengadakan pelatihan guru-guru (teachers training) dari masa ke masa untuk memastikan bahwa metode dalam mengajar mereka sesuai dan tidak ketinggalan pesawat. Satu hal yang biasa terjadi dan masih sering terjadi adalah pemukulan murid oleh gurunya. Biasanya pemukulan ini memakai dalil pula (dan pukullah ketika berumur 10 tahun) dalam konteks mengajarkan sholat bagi anak-anak. Pemahaman literal dengan hadits ini sangat berbahaya. Persis sama ketika memahami secara harfi tentang penyelesaian pertikaian suami-isteri. Setelah ditelusuri ternyata kata ضرب yang secara sederhana diterjemahkan dengan “pukulan” memiliki lebih dari 23 arti. Sehingga setiap penempatan kata harus disesuaikan dengan konteks yang sesuai. Dalam konteks pendidikan kata “ضرب\" ini dapat diterjemahkan dengan kata “hukuman”. Karena memang pendidikan itu perlu dua sisi “reward” dan “punishment”. Walaupun yang kita pahami dalam Islam bahwa “tabsyiir” atau reward selalu dikedepankan. Karenanya saya ingin menekankan agar kebiasaan memukul Santri/santriyah di pesantren harus dihentikan. Guru yang biasa main tangan harus berhenti mengajar. Karena pendidikan dan kekerasan adalah dua hal yang paradoks. Selain guru atau pengajar yang biasa melakukan kekerasan, tidak jarang juga kekerasan terjadi di antara santri-santri, khususnya senior kepada junior. Biasanya hal ini terjadi karena bagian dari latihan kepemimpinan para senior diberi tugas untuk menertibkan/mengawasi santri-santri yunior. Karena perasaan tanggung jawab sebagai Pengawas atau pengurus (OSIS) itulah timbul rasa kekuasaan yang selanjutnya menimbulkan perilaku semena-mena. Yang menjadi masalah ketika otoritas itu diberikan kepada santri tanpa pengawasan yang baik dari guru atau Kiai. Kurangnya pengawasan itu juga biasanya berdalih mengajarkan independensi atau maturity (kedewasaan) kepada para senior di pesantren. Sebuah excuse (alasan) yang nampak masuk akal. Tapi, sangat reckless (tidak berhati-hati), bahkan dangerous (berbahaya). Pada akhirnya saya mendoakan semoga apa yang terjadi kepada seorang santri di Gontor (dan mungkin di tempat lain yang tidak terekspos) menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk melakukan introspeksi. Bahkan harusnya bisa menjadi motivasi bagi semua pesantren untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam segala hal. Sehingga, ke depan pesantren dapat tampil sebagai institusi pendidikan yang berkwalitas tinggi. Bahkan lebih hebat dari sekolah-sekolah Istimewa lainnya yang selama ini mendominasi dunia pendidikan di Indonesia. Masanya berhenti mengeluh dan menyalahkan. Masanya berbenah! New York City, 6 September 2022. (*)

Anggota Dewan Berwatak Iblis

Mereka memang sudah tidak punya kemaluan. Jangankan rasa malu dan rasa takut karena semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih GEDUNG Parlemen dikepung massa yang menolak harga BBM naik, tapi DPR justru rayakan ulang tahu Puan Maharani dan setel Lagu Jamrud usai Rapat Paripurna di dalam gedung DPR. Momen dungu tersebut terjadi usai Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Dalam rapat tersebut, menggema lantunan lagu Jamrud berjudul \"Selamat Ulang Tahun\". Lagu tersebut diputar usai Pidato Ketua DPR RI Puan Maharani terkait HUT ke-77 DPR RI. Namun, lagu itu bukan diperuntukan merayakan ulang tahun lembaga DPR RI, melainkan pribadi Ketua DPR RI, Puan Maharani. “Kami seluruh peserta sidang dan undangan mengucapkan selamat ulang tahun untuk Ketua DPR RI, Ibu Doktor Honoris Causa Puan Maharani,” ucap pemandu rapat dalam sidang paripurna, Selasa (6/9/2022). Jika ada orang yang tidak berilmu dan ia tidak menyadari bahwa dirinya tidak berilmu, maka itulah dungu. Jauhilah dia, karena kedunguan itu bisa setiap saa menularimu. Lho ini mereka minimal sudah makan sekolah eS De (SD) tetapi hatinya sudah membatu, matanya buta, perasaannya sudah beku, bukan lagi sekedar dungu tetapi sudah pada level embah-nya dungu. Rakyat sedang bergolak karena kebijakan rezim yang sudah pasti akan menimpakan kesulitan hidupnya. Kesulitan hanya untuk bertahan hidup artinya kesulitan untuk mencari sesuap nasi harian. Mereka di mana-mana turun kejalan demo hanya sekedar meminta kepada rezim penguasa cabut kebijakan kenaikan harga BBM dan minta turunkan harga BBM karena dampak ikutan membuat kesulitan dan derita rakyat merambah dan meluas ke mana-mana. Di depan gedung DPR RI pintu gerbang sedang digoyang untuk dirobohkan: \"astaghfirullah\", di dalam gedung DPR mereka berjoged ria dengan alunan lagu jamrud yang mengumandang di ruang wakil rakyat yang dingin sejuk. Gaya makhluk Borjuis lengkap dengan dasi menempel dil ehernya – kebesaran pakaian jas masih menutupi di jasadnya, semua berjoged ria. Sementara rakyat di bawah panas terik matahari terus berjuang, berteriak dan agar wakil rakyat yang ada di dalam gedung segera keluar mendengar jeritan aspiranya. Yang terjadi makhluk yang mengaku wakil rakyat tidak keluar menyambut rakyat yang konon telah memberi mandat bisa sebagai anggota DPR, yang terjadi mereka. Ini kebiadapan yang nyata di muka bumi Indonesia. Mereka para bedebah yang mengaku wakil rakyat telah metamorfosa menjadi “jongos” kekuasaan yang dikendalikan oleh iblis Oligarki. Honor dan fasilitas yang melimpah bagi anggota DPR dan dibayar oleh uang rakyat ini, telah dimaknai itu adalah hak, soal kewajiban peran dan fungsi sebagai wakil rakyat kering dan menguap dalan diri mereka. Itulah watak iblis yang sebenarnya. Mereka dibayar dengan uang rakyat, bukan harta warisan nenek moyang para wakil rakyat itu. Tapi, mengapa mereka tidak tahu malu! Mereka memang sudah tidak punya kemaluan. Jangankan rasa malu dan rasa takut karena semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Benar kata Prof Salim Said, mereka semua adalah makhluk yang Tuhan saja sudah tidak ditakuti. Dalam Kitab Al Hikam karangan Syech Ahmad Ataillah diterangkan, mengapa Nabi Muhammad Saw disebut Abdihi Wa Rasulli. Karena, meski dirinya telah dinyatakan oleh Allah sebagai Rasul, namun hakikatnya dirinya hanyalah seorang hamba. Sifat seorang hamba yang berkedudukan sebagai Rasul sudah tentu wajib menjaga amanat “Tuhannya”. Melaksanakan perintah tanpa membantah, apalagi melawan. Sami’na wa ato’na (dengarkan perintahnya dan laksanakan tanpa argumentasi apa pun). Ini manusia biasa yang sering disebut sebagai anggota DPR berperilaku seperti iblis. Kalau sudah begini keadaannya tidak ada lagi kompromi untuk melawan dan musnahkan mereka. (*)

Memahami Langkah AS Menerbitkan UU Menurunkan Inflasi

Oleh: Dr Arcandra Tahar | Mantan Menteri dan Wakil Menteri ESDM. SAAT ini banyak negara sedang berjuang untuk menurunkan tingkati inflasinya. Amerika Serikat (AS), salah satu negara dengan inflasi tertinggi di dunia, pada bulan Juli 2022 berada di level 8,5%, baru saja mengesahkan undang-undang (The Inflation Reduction Act)untuk menekan laju inflasi. Pemerintah AS kelihatannya sangat serius dalam menangani inflasi yang terjadi tahun 2022 ini. Tak dapat dipungkiri bahwa akar dari lonjakan inflasi di dunia berawal dari naiknya harga energi seperti minyak dan gas (migas) dan batubara yang kemudian diikuti oleh naiknya harga komoditi lain. Karena masalahnya bermula dari sektor energi, maka penyelesaiannya juga akan banyak menyentuh sektor strategis tersebut. Dengan kata lain, jika sektor energi berhasil dibenahi maka inflasi dengan sendiri bisa dikendalikan. Begitulah kira-kira cara berpikir pemerintah AS. Secara makro, inflasi di AS akan dikendalikan dengan cara pembelanjaan pendapatan negara lebih sedikit daripada yang dikumpulkan lewat pajak misalnya.  Dalam jangka waktu tertentu jumlah uang yang beredar menjadi lebih sedikit.  Perbaikan di Sektor Energi Namun secara mikro,  pemerintah AS akan melakukan beberapa perbaikan di sektor energi di antaranya: Pertama, meningkatkan penawaran blok-blok migas baru kepada investor. Harapannya, kegiatan eksplorasi migas akan kembali bergairah dan penemuan cadangan baru akan semakin terbuka. Inisiatif ini akan memberikan sinyal positif kepada pasar bahwa kegiatan migas tetap menjadi fokus pemerintah AS. Sentimen ini tentu akan ditangkap oleh pelaku bisnis migas dan mungkin bisa membantu menurunkan harga minyak dunia. Memang terkesan agak berlebihan. Apa betul dukungan pemerintah AS lewat penawaran blok migas mampu menurunkan harga minyak dunia? Waktu yang akan menjadi saksi atas inisiatif ini. Hemat kami, strategi inibdalam jangka pendek mungkin bisa membantu menurunkan harga ditengah polarisasi antara pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan penggunaan energi fosil. Kedua, memberikan insentif pajak yang lebih besar dengan harapan mampu menggairahkan investasi di sektor migas dan membuka lapangan pekerjaan. Salah satu insentif pajak yang tertuang dalam UU ini adalah mempercepat depresiasi dari belanja modal (capital expenditure-Capex). Yang sangat fenomenal diantaranya adalah drilling expenses sudah bisa dibiayakan sampai 80% pada tahun pertama. Akibatnya, pendapatan yang kena pajak (taxable income) akan kecil dalam tahun-tahun awal beroperasi. Penghematan dari pajak ini bisa digunakan untuk menambah kegiatan eksplorasi atau menambah sumur produksi. Insentif pajak ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perbaikan sektor energi dalam mengendalikan inflasi di AS tidak bisa dilihat sebagai masalah sektoral.  Sinergi di antara pembuat kebijakan sangat dibutuhkan sehingga punya daya dorong yang lebih masif. Ketiga, menyelaraskan pengembangkan EBT dengan pengembangan energi fosil. Presiden AS Joe Biden yang berasal dari Partai Demokrat sangat mendorong percepatan pengembangan EBT dan membatasi pengembangan energi fosil. Komitmen pemerintah AS untuk mencapai target net-zero emisi pada tahun 2050 perlu agenda aksi. Namun demikian perusahaan energi AS sebagai pelaku agenda aksi lebih memilh strategi dekarbonisasi, dimana cara ini lebih menekankan kepada pengurangan emisi bukan beralih (diversifikasi) pada bisnis EBT. Dua strategi mainstream (dekarbonisasi versus diversifikasi) dalam masa transisi menuju net-zero emisi perlu dicarikan jalan tengahnya. Disinilah ide cemerlang dari pembuat kebijakan di AS muncul lewat beleid ini. Untuk masa 10 tahun yang akan datang, setiap tanah pemerintah federal yang digunakan untuk pengembangan listrik tenaga surya (PLTS) atau tenaga bayu (PLTB) harus diikuti oleh penawaran blok-blok migas baru. Untuk di darat, tidak akan ada izin penggunaan lahan (right of way) untuk PLTS dan PLTB kecuali sudah ada sekitar 2 juta acres lahan untuk explorasi migas ditawarkan dalam waktu 120 hari sebelum izin untuk PTS dan PLTB dikeluarkan. Semangat untuk pengembangan PLTS dan PLTB di laut juga hampir sama. Strategi in mengajarkan kepada kita bahwa pengembangan EBT memang harus dilakukan dengan cermat, teliti dan cerdas. EBT dalam masa transisi belum mampu memenuhi kebutuhan energi dunia. Ini merupakan salah satu penyebab terjadi inflasi tinggi di banyak negara. Karena itu jalan kompromi harus ditempuh untuk mengendalikan inflasi lewat kegiatan ekplorasi dan produksi migas. Keempat, menaikan royalty dari kegiatan migas untuk blok-blok baru. Minimum royalty yang dulunya hanya 12,5% sekarang naik menjadi 16,67%. Kemungkinan besar, kenaikan royalty dipicu oleh windfall profit yang didapat oleh pelaku usaha migas akibat harga crude yang sangat tinggi. Dana (cash) yang terakumulasi di perusahaan minyak sangat besar sekali. Dana ini banyak digunakan untuk membayar deviden ke pemegang saham atau membeli kembali (buyback) sahamnya di pasar modal. Deviden ini ditengarai juga sebagai penyumbang inflasi di AS. Strategi menaikan royalty ini untuk jangka pendek mungkin bisa member dampak yang positif. Namun untuk jangka panjang dengan fluktuasi harga minyak bisa berakibat pada berkurangnya minat perusahaan migas untuk melakukan bisnis migas. Sebagai penutup, UU yang diterbitkan oleh pemerintah AS diharapkan bisa menjadi obat mujarab yang mengobati penyakit dalam hal ini inflasi tinggi. Namun, jika kemudian langkah strategis itu hanya mampu mengobati symptom (gejala), tentunya reaksi cepat dari pemerintah AS ntuk menangani inflasi tinggi tetap perlu kita apresiasi. ****

Kenaikan BBM, Subsidi Rakyat atau Subsidi Korporat?

Jakarta, FNN – Aza El Munadiyan, pengamat kebijakan publik, menganalisis permasalahan terkait ketidaksesuaian penerima subsidi dalam diskusi publik pada Selasa (06/09/22). Diskusi ini juga menghadirkan beberapa pemantik lain, diantaranya M. Sigit (Pengamat Energi dan Migas) dan Muhammad Yuza Augusti (Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia), diselenggarakan di Teater Terbuka, Universitas Negeri Jakarta. Sebagai analis kebijakan publik, Aza menyadari bahwa pendapatan negara Indonesia diperoleh dari utang dan pajak. Ia menyoroti subsidi BBM yang dilaporkan sebanyak 500 triliun rupiah perlu dibedah, baik berdasarkan jenis subsidi maupun penerimanya. “Jadi, 500 triliun itu gak pure 500 triliun. Tapi, ada subsidi BBM, terus Elpiji, dan subsidi terhadap PLN. Nah, kita harus bedah satu-satu. Apakah benar-benar ini subsidi untuk rakyat atau subsidi untuk korporat? Nah, itu perlu diperhatikan. Kalau kata pemerintah, ya ini sama. Subsidi itu ada subsidi eksplisit sama subsidi implisit,” katanya. Aza juga memaparkan berbagai permasalahan yang seharusnya menjadi fokus untuk memperbaiki substansi pemerintah. Ia mengatakan, pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tentang aturan subsidi secara tegas yang seharusnya dapat diutamakan kepada transportasi umum. “Pemerintah tidak pernah secara tegas membikin kebijakan yang di mana, yang miskin itu disubsidi, yang kaya itu tidak disubsidi,” ujarnya. “Yang disubsidi itu seharusnya adalah transportasi umum. Karena apa? Karena secara umumnya ini yang akan berpengaruh terhadap bagaimana masyarakat itu mengubah pola masyarakat kita,\" tambah Aza. Kemudian, Aza mengaitkan target subsidi BBM diberikan kepada transportasi yang berhubungan dengan perdagangan dan masyarakat kecil dengan cara mengklasifikasikan berdasarkan tahun keluaran untuk kendaraan pribadi. Di akhir pernyataannya, pengamat kebijakan publik itu menyimpulkan bahwa negara tidak punya uang. Oleh karena itu, pemerintah mengurangi subsidi BBM. “Maka seharusnya kita tidak perlu ribut-ribut soal subsidi. Tapi yang paling utama penjelasan di awal tadi, negara ini gak punya duit. Maka apa? Ketika negara ini gak punya duit, dia (pemerintah) mikir cara paling gampang dapat duit adalah dengan kurangi aja subsidi BBM,” simpul Aza. Seperti yang diberitakan, penetapan kenaikan harga BBM, Sabtu (03/09/22) memunculkan penolakan dari masyarakat. Penolakan ini didasarkan atas belum pulihnya perekonomian masyarakat pasca pandemi ditambah kenaikan bahan pokok yang akhir-akhir ini terjadi. (oct)

Subsidi BBM Salah Sasaran Karena Pengawasan Sangat Lemah

Jakarta, FNN – Tata kelola Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi oleh PT Pertamina (Persero) dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sangat lemah, sehingga terjadi kebocoran di sana-sini yang mengakibatkan BBM bersubsidi salah sasaran. Menurut Salamudin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), mengungkapkan Pemerintah cenderung melakukan pembiaran yang massif, sehingga BBM bersubsidi, seperti solar bersubsidi, lebih dinikmati industri sawit dan tambang batubara. Hal ini dipicu oleh adanya disparitas harga solar bersubsidi dengan solar industri yang mencapai Rp 8.800 per liter. Seperti diketahui, harga solar bersubsidi sebesar Rp 5.150, sedangkan harga solar industri mencapai Rp 13.950, sehingga para pengelola industri sawit dan industri batubara berburu solar bersubsidi. “Semua terjadi karena pengawasan yang lemah, bahkan cenderung terjadi pembiaran,” kata Salamuddin dalam sebuah diskusi yang digelar di Kantor Sekretariat ProDEM pada Selasa (6/9). Kalau Pertamina dan Kementerian BUMN melakukan pengawasan yang ketat dan peduli soal penggunaan solar bersubsidi itu, tentu tidak akan terjadi penyimpangan. Seperti diketahui, 85% pengguna solar subsidi adalah kendaraan industri sawit dan batubara. Sisanya, 15% digunakan oleh rakyat kecil. Bahkan, industri ada yang menimbun solar subsidi untuk kebutuhan jangka panjangnya. Demikian juga Pertalite yang masuk kategori BBM bersubsidi yang memiliki disparitas harga seharusnya Rp 14.450 per liter, harga jual ecer hanya Rp 7.650 per liter, sehingga ada selisih harga Rp 6.800 per liter. Pertalite hanya dinikmati 20% masyarakat miskin. Selebihnya 80% dinikmati orang-orang mampu yang memiliki mobil dan motor, sehingga terjadi salah sasaran. Menurut Salamudin, kebijakan BBM bersubsidi adalah kebijakan Pemerintah. Pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian BUMN dan Pertamina, yang juga perpanjangan tangan Pemerintah. Sehingga, kalau terjadi salah sasaran dan bahkan pembiaran, maka itu adalah bagian dari kesalahan Pemerintah. “Jadi Pemerintah mengoreksi kebijakannya sendiri yang sangat lemah dalam pengawasan,” ujarnya. Sementara itu Ridwan Iman, Koordinator Pergerakan Semesta Selamatkan Indonesia (PSSI) menuntut Pemerintah untuk lebih kreatif ketimbang harus menaikkan harga BBM. Menurutnya, saat ini pemerintah merasa dirinya adalah dewa penyelamat bagi masyarakat karena telah memberikan subsidi BBM. Lalu pada akhirnya pemerintah mengatakan, “Kita telah terbebani APBN”. Ridwan pun membalas, “Padahal faktanya, subsidi itu juga uang rakyat. Itu hasil dari pajak rakyat. Ini kan alasan klasik yang dipakai dari rezim ke rezim.” Sebelumnya, Ridwan pun sempat menyinggung pernyataan dari ekonom Anthony Budiawan terkait data pemerintah yang tidak sama dengan yang sesungguhnya. Nilai subsidi BBM hanya Rp 11 triliun, tetapi Pemerintah mengklaim nilai subsidi BBM (ditambah dana kompensasi BBM) mencapai Rp 502,4 triliun. “Dalam APBN 2022 hanya ada nomenklatur BBM bersubsidi Rp 11 triliun, sementara nomenklatur kompensasi BBM tidak ada disebut. Jadi, ini penyesatan informasi,” kata Anthony Budiawan. Dalam diskusi ProDEM yang dilakukan pada Selasa (30/8/2022), Anthony berpendapat bahwa temuannya berbeda dengan pernyataan Jokowi mengenai subsidi BBM yang mencapai Rp 502 triliun. Anthony mengatakan bahwa subsidi dalam UU APBN hanya Rp 11 triliun. Ridwan berani menantang pemerintah jika memang data yang disampaikan oleh Anthony Budiawan salah. “Kalau yang dikatakan Anthony Budiawan salah, maka tangkap dong! Karena pemerintah bisa membuktikan bahwa data-data itu tidak benar,” tegas Ridwan. Martin Lauren selaku pembicara terakhir juga menyatakan pendapat terkait BBM. Menurutnya, apapun kebijakan yang diberikan oleh pemerintah, sudah pasti tidak akan memihak masyarakat. Ia mengaku bahwa tak ada satupun fakta yang tersedia bahwa pemerintah melalui skema BBM akan melindungi rakyat, baik ekonomi maupun kesejahteraan. Ia menjelaskan bahwa ini semua juga disebabkan oleh kegagalan rekayasa sosial kita sebagai masyarakat Indonesia. Berikutnya, lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif juga turut disalahkan karena telah membuat kondisi kita seperti saat ini. Ia berpendapat bahwa buzzer kini telah menjadi determinan sosial yang baru. Di mana para pemimpin dan tokoh intelektual seharusnya yang menjadi determinan sosial. (Ferd)

Anies Akan Ditanya Soal Keuntungan Formula E

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (7/9/22) pagi. Anies dipanggil untuk dimintai keterangan mengenai ajang balap Formula E yang digelar beberapa waktu lalu di Ancol, Jakarta. Berdasarkan pantauan FNN TV, Anies mendatangi gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan pukul 09.25 WIB tanpa pendampingan. Anies terlihat mengenakan baju dinas dengan membawa map biru dan hanya mengucapkan terima kasih. “Cukup ya, cukup, terima kasih. Saya ke atas dulu,” kata Anies kepada wartawan, di Gedung KPK, Setia Budi, Jakarta Selatan, Rabu (7/9/22). Selanjutnya Anies masuk ke lobi untuk mengisi buku tamu di resepsionis. Diketahui, kedatangan Anies ke KPK yaitu untuk dimintai keterangan terkait dugaan korupsi di penyelenggaraan ajang Jakarta E-Prix atau Formula E di DKI Jakarta. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, Anies akan ditanya soal keuntungan pelaksanaan Formula E, yang digelar 4 Juni lalu. Selain itu, soal penganggarannya bakal dikonfirmasi ke Anies. Alex juga akan menanyakan terkait masa jabatan Anies yang akan habis Oktober mendatang. KPK akan menanyakan soal pertanggungjawaban dan commitment fee Formula E saat Anies tidak lagi menjabat sebagai Gubernur. Sebagai informasi, KPK telah melakukan penyelidikan kasus ini sejak akhir 2021. Sejumlah pihak telah dimintai keterangan, seperti Ketua DPRD DKI sekaligus politikus PDIP Prasetyo Edi Marsudi dan Syahrial. (Lia)

BBM Naik, Aksi Naik: BBM Turun, Jokowi Ikut Turun

Hari Kemerdekaan bulan Agustus lalu bertema \"Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat\". Nampaknya menjadi sinyal bahwa kondisi aktual yang sedang dihadapi saat ini adalah \"Mulih Lebih Cepat, Ungkit Lebih Kuat\". Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan MAHASISWA di berbagai daerah seluruh Indonesia kembali menggeliat melalui aksi unjuk rasa penolakan atas kenaikan harga BBM. Gerakan serentak pasca pandemi Covid 19 ini mengejutkan. Mungkin Pemerintah Jokowi menganggap biasa soal kenaikan harga BBM, toh selama ini berkali-kali menaikkan harga juga nyatanya tidak ada reaksi yang berarti. Tokoh yang dulu suka menangis juga kini sudah ikut menyetujui dan menikmati. Gelombang aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa ini tentu saja mendapat dukungan masyarakat. Kenaikan harga BBM telah mencekik dan menyesakkan nafas rakyat. Saatnya rakyat berontak untuk menolak kebijakan yang dipaksakan. Aksi serentak dan masif akan disikapi dengan dua kemungkinan. Tetap bertahan dengan meningkatkan pengamanan atau mengikuti tekanan publik dengan menurunkan kembali harga BBM. Bagai makan buah simalakama atas kedua pilihan tersebut. Bahwa kebijakan kenaikan yang didalihkan pahit dan sulit itu telah menciptakan kondisi bagi pemerintah yang lebih pahit dan lebih sulit. Kekecewaan rakyat kepada Pemerintahan Jokowi menemukan momentum. Kenaikan harga BBM menaikkan gelombang aksi. Akan bereskalasi dari hari ke hari. DPR RI dan DPRD di tiap daerah menjadi titik kumpul aksi. Istana dan Pemerintahan di Daerah menjadi sasaran aspirasi. Pagar-pagar mulai digoyang-goyang. Pemerintahan Jokowi mulai bergoyang. Suara kabinet mengikuti ritme suara partai dan hebatnya soal BBM partai itu justru berlomba untuk cari selamat. Artinya, Kabinet melemah dalam daya ikat. Sekoci masing-masing sedang disiapkan untuk melompat. Takut berhadapan dengan gerakan aspirasi dan tuntutan rakyat. Demi wibawa atas pengambilan keputusan, maka Pemerintah akan bertahan dengan harga BBM yang sudah diumumkan naik. Gelombang aksi membesar dan Jokowi menjadi sasaran pertanggungjawaban. Pengamanan diperkuat. Namun gelombang lebih kuat dan dahsyat. Ketika Pemerintah tak mampu mengendalikan aksi, tak ada pilihan bagi Jokowi selain mundur. Turun dari kursi. Pemerintah mungkin saja melunak bahkan melemah, demi membendung aksi dengan menurunkan kembali harga BBM, maka sejarah akan mencatat pula, kemenangan aksi yang dimotori mahasiswa itu. Kemenangan itu yang berlanjut untuk untuk Omnibus Law, RKUHP, IKN dan lainnya. Artinya Jokowi terus terdesak juga. BBM yang turun menjadi sebab dari turun Jokowi pula. Dilema telah dibangun oleh kebodohan dan keserakahan. Keangkuhan dan ketidakpedulian. Penindasan yang berbuah perlawanan. Istana itu berkisah tentang dusta dan angkara murka. Cerita yang akan berujung duka. Seperti cerita Sambo yang merana. Kini dari Sambo menuju Pak Jokowi. Hari Kemerdekaan bulan Agustus lalu bertema \"Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat\". Nampaknya menjadi sinyal bahwa kondisi aktual yang sedang dihadapi saat ini adalah \"Mulih Lebih Cepat, Ungkit Lebih Kuat\". Pak Jokowi ayo cepat mulih, rakyat sedang bergerak kuat untuk mengungkit. Bandung, 7 September 2022. (*)