ALL CATEGORY
Sidang ke-11 Kasus “Jin Buang Anak”, Saksi Menganggap Tempat Pesugihan
Jakarta, FNN – Daniel hadir sebagai saksi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) pada lanjutan sidang ‘Jin Buang Anak’ di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Kamis, 7/7). Daniel merupakan ex-mahasiswa yang berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur. Dia melaporkan Edy Mulyadi ke Polda Kaltim, Senin (24/1) karena merasa sakit hati dengan pernyataan Edy ‘tempat jin buang anak’ yang didengar dari YouTube Bang Edy Channel berjudul \'Tolak Pemindahan Ibukota Negara Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat\'. “Saya marah dan merasa sakit hati karena dalam video tersebut terdapat kata-kata mengucilkan Ibu Kota Negara (IKN) sebagai tempat ‘jin buang anak’, kuntilanak, kemudian terdakwa juga menyebut petinggi negara, banyak lubang tambang, dan kata-kata Cina,” ujar Daniel Daniel mengartikan tempat jin buang anak itu sebagai tempat pesugihan. \"Menurut saya “tempat jin buang anak” itu merupakan tempat pesugihan, tempat makhluk halus, dan saya merasa sangat terhina, ini adalah tempat lahir saya, tempat yang membesarkan saya,” katanya penuh percaya diri. Beda dari saksi sebelumnya yang hanya melaporkan terdakwa satu sampai dua point, namun untuk saksi kali ini melaporkan terdakwa dengan banyak point seperti yang ia katakan di atas. Ia menyebut Edy membuat berita hoax dengan menyebut lubang tambang di IKN akibat perusahaan milik Luhut Pandjaitan. Di dalam persidangan Daniel mengaku pernah melalukan perjalanan ke IKN tepatnya ke titik nol km, tetapi Daniel tidak mengelilingi seluruh wilayah IKN tersebut. “Apakah Anda pernah melihat di seluruh wilayah IKN terdapat lubang tambang?,” tanya hakim. “Saya tidak melihat ada lubang tambang,” jawabnya. Hal ini membuat hakim mendalami jawaban Daniel tersebut, bagaimana bisa saksi mengatakan tidak ada lubang tambang di wilayah IKN, padahal ia tidak mengelilingi wilayah tersebut secara keseluruhan.(Lia)
Partai Gelora: Indonesia Bisa Jadi Model Kombinasi Agama, Demokrasi dan Kesejahteraan
Jakarta, FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta merasa prihatin dengan kondisi umat Islam sekarang, mayoritas namun kecil dari arti mindset-nya. Akibatnya, kondisi tersebut dimanfaatkan betul oleh partai politik (parpol) sebagai pendorong bagi mobil yang mogok dalam konteks berpolitik secara nasional. Namun, setelah mesin mobilnya bergerak, lalu begitu saja ditinggalkan. \"Sebagai kelompok mayoritas dari warga negara Indonesia, peran umat Islam belum dioptimalkan secara penuh, seperti hanya dibutuhkan sebagai pendorong mobil mogok, setelah jalan, lalu ditinggalkan,\" kata Anis Matta dalam diskusi Gelora Talks bertajuk: Politik Dorong Mobil Mogok: Menentukan Visi Baru Politik Keumatan, yang digelar secara daring, Rabu (6/7/2022) sore. Menurut Anis Matta, sudah saatnya umat Islam mengubah aksi kerumunan selama ini menjadi sebuah kekuatan dan mampu menciptakan perubahan besar dalam peta politik nasional. Hal itu, harus dilakukan umat Islam sekarang, kalau tidak mau lagi menjadi pendorong mobil mogok di Pemilu 2024 mendatang. \"Jadi jangan hanya ibarat badai yang berada didalam secangkir kopi. Orientasinya harus perubahan besar, dan harus konsolidasi dengan arah serta perjuangan bersama,\" ujarnya. Karena itu, kata Anis Matta, umat Islam perlu mengajukan visi baru masa depan Indonesia. Dalam pandanganya, ada Lima Visi Perjuangan Keumatan Indonesia sekarang ini. \"Jadi sebenarnya, umat Islam sudah menyadari agama bukan sekadar identitas, tetapi lebih serius dari itu. Umat Islam besar, namun kesejahteraan minim, dan dalam berdemokrasi juga tidak mengalami perubahan,\" katanya. Padahal potensi umat Islam begitu besar dalam mewarnai hajatan politik, termasuk dalam Pemilu 2024 mendatang. \"Umat muslim harus ambil alih atau berperan lebih besar dalam kepemimpinan. Jangan yang terjadi malah seperti minoritas, atau tukang tepuk tangan saja,\" tegas Anis Matta. Anis Matta ini berharap Indonesia bisa menjadi model pemberlakuan kombinasi antara agama, demokrasi dan kesejahteraan di tengah upaya perubahan sistem tatanan global baru sekarang. Kombinasi tersebut, akan menjadikan Indonesia sebagai kekuatan lima besar dunia. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Sunato atau yang akrab di panggil Cak Nanto ini menilai umat Islam sekarang tidak memiliki gagasan besar dan visi kebangsaan, Sehingga setiap kelompok tidak mencapai titik temu, termasuk dalam hal perjuangan visi politik. \"Inilah problem umat Islam sekarang yang harus diurai. Jadi kalau menurut saya, tidak hanya sebagai pendorong mobil mogok saja, tapi ini mobilnya juga rusak berantakan, karena setiap kelompok tidak memiliki titik temu,\" kata Sunanto. Sunanto menyadari bahwa untuk menjelaskan mengenai problematika umat Islam sekarang seperti mencari \"ayam dan telur \", duluan mana yang ada terlebih dahulu. \"Tapi yang paling penting sekarang adalah target utama membangun kerukunan, persatuan dan kesatuan. Kita tidak bisa lagi sekedar teriak-teriak, tapi tidak bisa mempengaruhi kebijakan,\" katanya. Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah ini mengatakan, umat Islam terus membangun kesadaran berpolitik dengan gagasan-gagasan yang berbeda dengan satu nilai kebangsaan, sehingga dapat mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintah. Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Raihan Ariatama menilai identitas politik dalam konteks ke-Indonesia-an juga harus dilihat dari keberagaman dan budaya lokal. Karena keberagaman itu, akhirnya melahirkan berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis dan lain-lain yang menghormati tradisi keagamaan di masing-masing daerah. \"Tentunya ini merupakan satu fakta yang harus kita ketahui, bahwasanya kekuatan politik di Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai wilayah dan berbagai macam konsep lain, selain dari Islam. Ada juga nasionalis demokratis dan segala macamnya. Inilah, inilah titik persoalan yang harus kita pahami hari ini,\" ujar Raihan Ariatama. Raihan sependepat dengan Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta, bahwa Umat Islam harus memiliki visi besar, tidak hanya untuk kepentingan Pemilu 2014 saja, tapi juga Indonesia Emas 2045. \"Kita tidak bisa lagi tonjolkan politik identitas, karena hanya menyebabkan polarisasi. Hari ini, Umat Islam harus memiliki visi besar hingga tahun 2045,\" katanya. Dai dan Muballigh Nasional Haikal Hassan Baras meminta umaI Islam harus cerdas sekarang. Tidak lagi menjadi korban politik parpol tertentu, yang dimanfaatkan untuk mendorong mobil mogok. \"Mobil yang didorong tidak hanya mogok, tapi sudah mobil rongsokan. Tidak pantas sebenarnya mereka didorong umat Islam. Umat Islam ini korban, dan itu jangan terjadi lagi di Pemilu 2024,\" katanya. Sebagai Dai dan Muballigh Nasional, Haikal Hasan menyadari bahwa dirinya dicap sebagai provokator tatkala menyampaikan berbagai komentar terkait berbagai permasalahan publik. Hal itu dia lakukan sebagai bentuk kecintaannya terhadap Pancasila dan NKRI. Sebab, Indonesia saat ini berada dalam cengkeraman para kapitalis nya dan oligarki kekuasaan. \"Saya ingin menyadarkann umat Islam, bahwa Pemilu 2024 diperlukan sebuah persatuan, dan persatuan itu akan mendatangkan kekuatan. Jadi gaya provokatif saya semata-mata untuk membangkitkan kesadaran karena yang datar-datar saja kadang-kadang tidak didengar oleh telinga,\" tandasnya. (sws)
Umat Islam Saatnya Ubah Kerumunan Jadi Kekuatan, Kalau Tidak Mau Dorong Mobil Mogok di Pemilu 2024
Jakarta, FNN – Anis Matta, Ketua Umum Partai Gelora Masyarakat (Gelora) Indonesia, prihatin dengan kondisi Islam saat ini, mayoritas namun kecil dari arti minsed-nya. Padahal dalam perkembangan saat ini, Anis mengakui bahwa berbagai survei menunjukkan umat Islam memiliki kesadaran agama yang jauh lebih baik. Dalam survei tersebut, menurutnya, tingkat kesadaran beragama di kalangan umat Islam lebih dari 70%. Partai politik (parpol) dinilai masih cenderung memanfaatkan masyarakat muslim seperti layaknya pendorong bagi mobil yang mogok dalam konteks berpolitik secara nasional. Setelah mesin mobilnya bergerak, lalu begitu saja ditinggalkan. Dalam diskusi Gelora Talks bertajuk: Politik Dorong Mobil Mogok: Menentukan Visi Baru Politik Keumatan, yang digelar secara daring, Rabu (6/7//22) sore, Anis Matta mengatakan sebagai kelompok mayoritas dari warga negara Indonesia, peran umat Islam belum dioptimalkan secara penuh, lantas hanya dibutuhkan sebagai pendorong mobil mogok, setelah jalan, lalu ditinggalkan, Hadir dalam diskusi tersebut Haikal Hassan Baras, Dai dan Muballigh Nasional, Sunanto, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, serta Raihan Ariatama, Ketua Umum PB HMI. “Umat Islam yang mayoritas ini harus mampu membuat perubahan besar dalam peta politik nasional. Jangan seperti badai dalam secangkir kopi. Jadi orientasinya harus perubahan besar, dan perlu konsolidasi dengan arah dan perjuangan bersama,” urainya. Hal itu, harus dilakukan umat Islam sekarang, kalau tidak mau lagi menjadi pendorong mobil mogok di Pemilu 2024 mendatang. Anis menegaskan diperlukan visi baru untuk melakukan upaya-upaya mencegah terjadinya medan tempur kekuatan global yang terjadi di Indonesia. Dalam pandanganya, ada Lima Visi Perjuangan Keumatan Indonesia sekarang ini. “Jadi sebenarnya, umat Islam sudah menyadari agama bukan sekadar identitas, tetapi lebih serius dari itu. Umat Islam besar, namun kesejahteraan minim, dan dalam berdemokrasi juga tidak mengalami perubahan,” kata Anis Padahal potensi umat Islam sangat besar untuk mewarnai hajatan politik, termasuk pada pemilu 2024 mendatang. “Umat Islam perlu mengemban atau berperan lebih besar dalam kepemimpinan. Jangan sampai terjadi sebagai minoritas, atau hanya tepuk tangan saja,” tegas Anis Matta. (Lia)
Gugatan Presidential Threshold DPD-RI Ditolak MK
Jakarta, FNN ---Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan DPD-RI terkait Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan atau Presidential Threshold (PT) dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. MK menilai DPD tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut. Dalam perkara yang sama, MK menerima kedudukan hukum Partai Bulan Bintang (PBB), namun dalam amar putusannya, MK menolak permohonan PBB untuk seluruhnya. Karena MK tetap pada pendapatnya, bahwa Pasal 222 UU Pemilu Konstitusional dan mengenai angka ambang batas yang ditetapkan, merupakan open legal policy policy (kewenangan pembuat Undang-Undang). Atas putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman pada Kamis (7/7/2022) pukul 11.09 WIB tersebut, Ketua DPD-RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan bahwa hal itu adalah kemenangan sementara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini. “Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh Oligarki,” tegas LaNyalla di Makkah, Saudi Arabia, Kamis (7/7/2022). Ditambahkan LaNyalla, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan Amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam. “Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik,” tukasnya. Hukum ada untuk manusia Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, LaNyalla mengaku heran ketika mejelis hakim MK yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi. “Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” tandas LaNyalla. Seperti diberitakan sebelumnya, saat menghadiri acara 25 tahun Mega-Bintang di Solo, Jawa Tengah, 5 Juni 2022 yang lalu, LaNyalla menyatakan MK layak dibubarkan jika membiarkan Oligarki Ekonomi menguasai negara melalui celah Presidential Threshold. “Karena Pasal 222 adalah pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan pimpinan nasional bangsa ini, sekaligus menyandera melalui kebijakan yang harus berpihak kepada mereka,” ujar Senator asal Jawa Timur itu. LaNyalla menjelaskan, Pasal 222 yang menyumbang besarnya biaya koalisi partai politik dan biaya pilpres, menjadi pintu bagi Oligarki Ekonomi untuk membiayai semua proses itu. Karena itulah, DPD RI menyalurkan aspirasi masyarakat melalui gugatan ke MK. (TG)
Pencabutan Izin ACT Tidak Proporsional
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN LANGKAH pemerintah, cq Mensos Muhadjir Effendi, mencabut izin operasional Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah tindakan yang tidak proporsional. Tidak adil. Alias Sewenang-wenang. Izin dicabut berdasarkan surat keputusan Kemensos tertanggal 5 Juli 2022. Super cepat. Padahal, semua kesalahan atau pelanggaran yang dituduhkan kepada ACT masih dalam kategori dugaan. Bukan kesimpulan audit. Bukan pula hasil investigasi final yang dilakukan secara resmi oleh lembaga penegak hukum. Laporan utama majalah TEMPO tentang kebocoran dana lembaga sosial ini seratus persen terfokus pada kejanggalan dalam sistem penggajian jajaran manajemen tinggi dan menengah di ACT. Tetapi, dalam waktu sehari saja tiba-tiba PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) muncul dengan sangkaan-sangkaan yang tendensius. Lembaga pemantau transaksi perbankan ini menyebutkan ada idikasi bahwa ACT mengirimkan dana ke berbagai pihak, khususnya penerima di luar negeri, yang berisiko digunakan untuk kegiatan terorisme. Nah, mengapa perluasan sangkaan penyalahgunaan dana ACT yang ditonjolkan? Bukankah masalah terbesarnya adalah soal penggajian? Hal-ihwal penggajian inilah yang harus diatasi. Dan, ternyata proses pelurusan sistem penggajian itu sudah dilakukan oleh manajemen baru yang mengambil alih pengelolaan ACT sejak 11 Januari 2022. Sekarang tidak ada lagi yang bergaji di atas 100 juta per bulan. Ini pun layak ditinjau ulang. Kalau fokus tindakan diarahkan ke soal penyeleweangan dana umat dalam hal besaran gaji pimpinan ACT, tentulah tidak perlu sampai pada pencabutan izin operasional lembaga sosial yang telah nyata kontribusinya untuk masyarakat yang mengalami kesusahan. Mengapa harus membakar lumbung kebaikan gara-gara satu-dua orang yang dikatakan bergaya hidup mewah di ACT? Mengapa harus diarahkan ke isu terorisme? Dan mengapa baru sekarang diarahkan ke isu ini? Wajarlah masyarakat menilai tindakan pemerintah membunuh ACT karena motif politik. Misalnya, lembaga yang lahir dari kesadaran filantrofis umat Islam ini menjadi besar dalam waktu singkat, hanya 17 tahun. Artinya, jutaan warga penyumbang percaya kepada ACT. Hingga lembaga sosial ini menerima donasi lebih dari setengah triliun (lebih 500 miliar) per tahun. Tindakan Mensos mencabut izin ACT pantas diduga karena termakan gorengan para buzzer bayaran. Para buzzer membully dan melecehkan habis ACT. Mereka menggambarkan lembaga ini sebagai musuh negara. Sangat keterlaluan. Tetapi, rundungan dari buzzer bayaran itu tidak mengherankan. Sebab, mereka akan menyerang apa saja yang terkait dengan kiprah positif umat Islam. Apa saja yang mengangkat citra umat, pasti akan segera dikeroyok. Mereka memang dibayar untuk itu. Para buzzer memang gerombolan anjing yang ditugaskan untuk menggonggongi kemaslahatan umat. Yang sulit dimengerti adalah tindakan sewenang-wenang Menteri Sosial Muhadjir Effendi. Mengapa beliau bisa masuk perangkat buzzer? Mengapa Pak Muhadjir bertindak berdasarkan gonggongan para buzzer itu? Kalau memang pemerintah mencurigai keterkaitan penyaluran donasi ACT dengan kegiatan terorisme, selayaknyalah diberi waktu untuk rangkaian penyelidikan yang menyeluruh. Bukan langsung mencabut izin operasional. Publik tahu manajemen ACT tidak mungkin bertindak sangat bodoh dengan mengirimkan donasi ke pihak-pihak yang terverifikasi melakukan kegiatan terorisme. ACT tidak mungkin menyembunyikan itu. Jadi, pemerintah tidak perlu berlebihan. ACT bisa diaudit kapan saja. Lakukan audit lengkap, bila perlu. Hanya dengan ini pemerintah memiliki landasan yang faktuql dan rasional dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus memulihkan status ACT agar mereka dapat segera melakukan kegiatan sosial yang sangat diperlukan masyarakat. Para penguasa tidak boleh bertindak berdasarkan asumsi yang dipaparkan oleh media yang kredibilitasnya justru bermodalkan asumsi juga.[]
Go Ahead ACT
Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa PRAHARA menimpa Aksi Cepat Tanggap (ACT). Hal biasa sebagai dinamika sebuah lembaga atau organisasi. Jatuh bangun, pasang surut, hadapi satu masalah ke masalah lain, semua ini diperlukan untuk mematangkan dan mendewasakan organisasi. Hari ini, Rabu 6 Juli 2022, ijin ACT untuk crowdfunding dicabut oleh Kemensos, dan 60 rekening di 33 bank dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Artinya, ACT tidak bisa lagi bergerak. Input dan outputnya ditutup. Sampai kapan? Semua berharap ini tidak akan lama. Segera ijin dibuka kembali, sehingga program-program ACT dalam membantu pemerintah mengatasi kemiskinan, menolong korban bencana maupun korban konflik tetap bisa dijalankan. Tidak kurang dari 281.000 kali ACT dengan 78 cabangnya melakukan aksi sosial di 47 negara. Ini prestasi yang harus juga jadi pertimbangan. Perlu diberi kesempatan bagi pihak berwenang untuk audit dan melakukan investigasi yang diperlukan. Semakin cepat, ini akan semakin baik. Supaya semua clear dan segera beroperasi kembali. Apa yang menimpa ACT jangan disikapi terlalu berlebihan. Perlu sikap obyektif dan bijak. Hindari semua bentuk opini yang keluar dari obyek dan fokus persoalan. Tidak perlu emosional, apalagi jika anda tidak punya data dan informasi memadai. Ibarat rumah, ada genteng rusak, itu biasa. Panas dan hujan terkadang membuat genteng itu rapuh. Tak ada yang abadi, dan tak ada juga yang sempurna. Kalau genteng retak, ganti dan perbaiki. Kalau cat kusam warna dan terkelupas, cat ulang. Jangan robohkan rumah, biaya terlalu besar dan belum tentu bisa membangun kembali. Begitulah dengan lembaga, termasuk ACT. Januari awal tahun ini ACT sudah mulai melakukan renovasi rumah. Ada penyesuaian-penyesuaian. ACT telah melakukan restrukturisasi. Wajar, setelah 17 tahun perlu melakukan rekonstruksi organisasi. Di antaranya ACT melakukan perbaikan manajemen, efisiensi karyawan dan anggaran operasional, serta rekruitmen SDM dengan skill yang dibutuhkan. Kita ingin ACT tetap eksis dan terus menebar manfaat buat umat manusia. Ada ratusan lembaga model ACT di Indonesia. Ketika kita tidak bisa terlibat, setidaknya tidak ikut memperkeruh suasana. Hari ini prahara sedang menimpa ACT, boleh jadi besok menimpa yang lain. Perlu saling menguatkan. Memang, setiap lembaga berbasis sosial dan keagamaan dituntut dengan standar moral dan integritas yang sangat tinggi. Bahkan kadang terlalu tinggi dan tidak rasional. Harus ikhlas terima gaji misalnya, meski pas-pasan atau bahkan kurang untuk kebutuhan normal bagi keluarga. Dianggap makruh punya rumah besar, haram pakai mobil mewah, pamali take home pay tinggi, dan sejenisnya. Salah dikit, ramai-ramai dihakimi atas nama pertanggungjawaban sosial dan integritas agama. Semoga mereka yang berjuang di lembaga-lembaga sosial berbasis agama kuat mentalnya. Apa yang terjadi di ACT mesti pertama, menjadi pelajaran bersama untuk bertindak lebih cermat dan penuh pertimbangan dalam mengelola dana amanah. Sebab, lembaga sosial akan selalu melibatkan publik untuk ikut aktif memantau semua kinerjanya. Ini konsekuensi logis yang harus diterima. Kedua, publik tidak hanya dituntut untuk melihatnya secara obyektif, tapi juga adil, arif dan bijak. Penilaiannya mesti berbasis pada banyak aspek yang lebih komprehensif. Tidak sepotong-sepotong yang justru bisa menggiring terciptanya public distrust. Ini malah jadi kontra-produktif. Ketiga, support publik dibutuhkan untuk mendorong lembaga-lembaga seperti ACT tetap eksis sesuai aturan dan harapan publik, agar semakin besar kontribusinya kepada bangsa dan dunia. Puncak Bogor, 6 Juli 2022
LaNyalla: Negara Ini Makin Sekuler, Liberalis dan Kapitalis!
Jakarta, FNN - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Muttalitti menegaskan, perjuangannya mengembalikan kedaulatan rakyat setelah ia bertransformasi menjadi pejabat negara. Menurut wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Hersubeno Point, Rabu (6/7/2022), hal ini disampaikan LaNyalla untuk menanggapi banyak pertanyaan dan komentar di media Sosial baik itu grup WA maupun di Twitter atau media sosial lainnya. Ada banyak pertanyaan dari beberapa kalangan, mengapa LaNyalla akhir-akhir ini kritis dengan narasi-narasi fundamental tentang negara ini. Dulu-dulu LaNyalla kemana? “Begitu inti dari pertanyaan jika saya simpulkan,” tutur La Nyalla, selasa, 28 Juni 2022. Berikut petikan jawaban LaNyalla yang disampaikan melalui Hersubeno Point secara lengkap: Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar terutama bagi mereka yang tidak mengikuti perjalanan saya sejak dilantik menjadi ketua DPD RI pada tanggal 2 Oktober 2019 dini hari yang lalu. Karena sejak saat itu saya menyadari betul bahwa saya telah melakukan transformasi posisi dari sebelumnya pengusaha menjadi pejabat negara dari sebelumnya aktivis organisasi di ormas menjadi pejabat negara di Lembaga Negara yang mewakili daerah maka sejak saat itu saya putuskan untuk keliling ke semua daerah di Indonesia. Untuk apa? Untuk melihat dan mendengar langsung suara dari daerah. Agar lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah apalagi Lembaga ini dibiayai dari APBN meskipun jauh lebih kecil dibanding DPR RI. Hampir satu tahun awal masa jabatan saya terus berkeliling daerah bahkan diawal Covid dan apa yang saya temukan ada dua persoalan yang hampir sama yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit dilepaskan. Dari temuan itu, saya simpulkan bahwa dua persoalan tersebut adalah persoalan yang fundamental. Tidak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif ibarat di dunia medis persoalan tersebut hanya simtom dari sebuah penyakit dalam Saya berdiskusi dan berdialog dengan banyak orang kolega di DPD RI dan sahabat memang benar persoalan tersebut ada di Hulu bukan di Hilir. Ini tentang arah kebijakan negara yang dipandu melalui konstitusi dan ratusan undang-undang yang ada, sehingga sering saya katakan ini bukan persoalan pemerintah hari ini saja atau Presiden hari ini saja. Tetapi persoalan kita sebagai bangsa. Oleh karena itu saat DPD RI menjadi penyelenggara sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2021 yang lalu saya mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang yang dihadiri semua lembaga negara saat itu. Termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Sejak saat itu saya terus-menerus meresonansikan bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa karena negara ini semakin hari semakin sekuler, liberal dan kapitalis. Karena itu saya juga sampaikan berulang kali bahwa saya mengajak Semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan bukan politisi karena negarawan tidak berpikir Next Election. Tetapi berpikir Next Generation. Saya menyadari betul bahwa sebagai pejabat negara saya disumpah untuk taat dan menjalankan konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi sebagai manusia saya dibekali akal untuk berfikir dan qalbu untuk berzikir. Sehingga saya selalu memadukan akal, pikir dan zikir. Saya melihat ada persoalan di dalam konstitusi kita dimana kedaulatan rakyat di dalam sistem demokrasi perwakilan yang didisain oleh para pendiri bangsa sudah terkikis dan hilang bahkan kita telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag negara ini. Puncak dari semua itu adalah saat kita melakukan amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam dengan cara yang ugal-ugalan dan tidak menganut pola adenddum, sehingga kita menjadi bangsa yang lain. Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM dari hasil penelitian akademiknya menyimpulkan bahwa amandemen 1999 hingga 2002 silam bukanlah amandemen atas konstitusi tetapi penggantian konstitusk. Saya tidak perlu mengulas panjang lebar di sini silakan dibaca sendiri hasil penelitian tersebut.. tetapi yang pasti sejak amandemen itu semakin banyak lahir undang-undang yang menyumbang ketidakadilan dan kemiskinan struktural dan itulah yang saya temukan setelah saya berkeliling ke 34 provinsi di Indonesia. Mengapa itu terjadi? Karena telah meninggalkan madzhab ekonomi, pemerataan dan meninggalkan perekonomian yang disusun atas azas kekeluargaan dengan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar. Kita telah meninggalkan ciri utama dari demokrasi Pancasila dimana semua elemen bangsa ini yang berbeda-beda harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara ini. Kita telah meninggalkan sistem demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar dan DNA bangsa yang super majemuk ini dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus bukan dengan pendekatan mayoritas. Akibatnya tidak ada lagi ruang bagi elemen Civil Society nonpartisan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini, karena hanya partai politik yang pada prakteknya menjadi penentu. Sehingga Pancasila sekarang seperti zombie, Walking Dead atau istilah lainnya Pancasila Not Found dan negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya oligarki ekonomi dengan oligarki politik. Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah durhaka kepada para pendiri bangsa, telah durhaka kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati ! Sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Padahal itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan pada tanah air dan demi satu harapan mulia agar tumbuh generasi yang lebih baik. Tetapi hari ini yang tumbuh adalah oligarki ekonomi yang menyatu dengan oligarki politik yang menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka. Bagi saya untuk memperbaiki Indonesia harus dimulai dengan murnikan kembali demokrasinya artinya mengembalikan demokrasi yang selama ini digenggam kalangan oligarkis yang rakus kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual, kaum yang beretika, kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur yaitu para pendiri bangsa kita bukan partai politik, karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah wakil presiden Muhammad Hatta mengeluarkan maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu pun diberi Restiksi yang sangat jelas dan tegas bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan, mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan rakyat. Sehingga maknanya jelas \"Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini, di mana reksinya jelas tercantum di alinea kedua Pembukaan konstitusi yaitu untuk menjadi negara yang merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur, sedangkan misi negara juga jelas tertulis di alinea keempat Pembukaan konstitusi kita yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia perdamaian abadi dan keadilan sosial\". Saya meyakini masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme yang sangat ideologis dengan platform perjuangan partainya tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak maka mereka seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya. Saya juga meyakini masih ada anggota DPR RI yang masih memiliki idealisme yang sangat ideologis dengan Papua perjuangan partainya tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recal, serta ancaman PAW tentu melemahkan perjuangan tersebut. Dan bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata Republik yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam yakni Res publica yang artinya kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya. Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali, karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Silakan partai politik sibuk menyusun koalisi tetapi rakyat juga berhak menyusun polisi yaitu kualisi rakyat bersatu untuk perubahan Indonesia yang lebih baik. Saya berharap para mantan aktivis progresif yang sekarang menjadi komisaris-komisaris di BHMN dan pejabat negara tidak berubah menjadi taqlid buta sehingga menjadi pejuang anti perubahan dan menjadi politisi yang berpikir keras tentang Next Elextion. (mth/sws)
I am Ready Imam!
Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundations MUNGKIN masih pada ingat? Beberapa waktu lalu saya menulis sekaligus mengirimkan video masuk Islamnya seorang pasien di sebuah rumah sakit di Kota New York. Pasien ini oleh Dokter telah divonis akan hidup hanya beberapa hari lagi. Beliau menderita penyakit kanker darah dan telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Bahkan telah memakan sel-sel vital jantungnya. Beberapa kali saya berkunjung kepadanya untuk memberikan motivasi sebagai bagian dari tugas saya sebagai “spiritual care provider” (pelayanan spiritulitas) di sebuah rumah sakit di kota ini. Pada kunjungan ketiga atau keempat itulah beliau tiba-tiba ingin masuk Islam. Padahal selama ini saya tidak pernah bicara mengenai agama. Hanya memberikan motivasi umum agar kuat, sabar, dan optimis. Walau memang beliau tahu kalau saya Muslim dan seorang Imam. Sekitar empat bulan lalu itulah dalam keadaan lemah, suara hampir tidak terdengar lagi, bahkan sesungguhnya beliau tidak lagi mampu bergerak. Seringkali ketika saya datang, beliau meminta agar tangannya dipegang seolah ingin menyampaikan sesuatu. Alhamdulillah walau ketika itu Dokter memvonis akan hidup singkat (beberapa hari saja) ternyata bertahan hingga empat bulanan. Di rumah sakit itupun beliau dipindahkan beberapa kali di antara ruang ICU dan ruang lainnya. Minggu lalu sekembali saya dari Indonesia, saya kembali menjenguk beliau. Walau masih sebagai tugas profesional saya, namun kunjungan saya sejak beliau masuk Islam terasa sebagai silaturrahim kepada saudara. Hari Jumat lalu, sekitar pukul 10 pagi saya menjenguk beliau. Saya melihat beliau seperti tertidur. Tapi saya tetap mendekat. Ketika masuk ruangannya saya salam dengan suara yang agak besar/nyaring. Ternyata beliau seperti merespon. Beliau tidak berkata apa-apa. Tapi, tangan beliau seolah bergerak meminta saya mendekat. Saya menyentuh tangannya dan terasa agak dingin. Ketika saya memegang tangan itu saya memperhatikan wajahnya. Dari mata beliau nampak meneteskan airmata. Saya bisa menangkap beliau ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak bisa lagi berkata-kata. Saya kemudian mendekat dan membisik: “Brother, say Laa ilaaha illallah…”. Saya menuntun beliau secara pelan. Beliau nampak tenang dan seperti tertidur. Saya tuntun mengucapkan “tahlil” itu hingga 30 menit lebih. Karena saya harus bersiap ke Jum’atan saya berbisik menyampaikan bahwa saya akan ke masjid sholat Jum’at. Sayapun berjanji akan mendoakan secara khusus di masjid nanti. Beliau tampak berusaha ingin menggerakkan tangannya seolah ingin bersalaman. Tapi beliau tidak mampu lagi. Saya hanya melihat beliau kembali meneteskan airmata. Saya tidak ketemu lagi dengan beliau hingga Selasa kemerin. Karena Sabtu dan Minggu libur. Lalu Senin juga adalah hari libur Nasional Amerika. Maka saya tidak masuk kerja. Kemarin ketika saya masuk kerja tiba-tiba saja saya teringat beliau. Segera bergegas menemuinya tanpa mengecek daftar pasien rumah sakit pagi hari. Ternyata ketika saya sampai di depan ruangan kamarnya, ruangan itu telah kosong. Saya segera ke tempat perawat. Bertanya tentang pasien di Kamar yang dimaksud. Jawaban mereka: “he died last Friday around 7 pm” (dia meninggal dunia Jum’at lalu sekitar jam 7 sore). Saya merasa bersalah. Karena seharusnya saya tetap mendampinginya hari Jum’at itu. Saya sebenarnya merasakan betapa tangannya di hari Jumat itu telah dingin. Tapi, Allah menentukan lain. Semoga kalimat “Laa ilaaha illallah” yang saya bimbingkan ke beliau menjadi kunci akhir hayatnya dengan husnul khatimah. Hanya satu yang selalu saya ingat. Empat bulan lalu setelah saya bimbing bersyahadat, beliau dengan suara yang hampir tidak kedengaran berkata ke saya: “I am ready Imam!”. Selamat jalan Saudaraku. Kepulanganmu adalah sesuatu yang dirindukan banyak orang beriman. Semoga kita ketemu di syurga kelak. Amin! New York, 6 Juli 2022. (*)
Tahun 1540 Yahudi Serbu Pasuruan
Oleh Ridwan Saidi - Budayawan FERDINAND Mendez Pinto menulis karya jurnalistiknya setebal 602 halaman \"Adventures\" yang ditulis semasa, pas peristiwa. Ini makan korban, dari total rombongan satu brigantine, 5 tewas, hidup 3 termasuk Pinto. Surat tugas dan biaya dari raja Portugal. Raja Portugal dapat info bahwa Yahudi Achem di Aljier Barat akan serang kekuatan Islam di timur. Cukong mereka Sherif, Yahudi Mesir kaya. Rombongan Achem di jalan terus-terusan mengangkut tentara bayaran. Sampai selat Malaka pecah dua. Ada yang ke Trengganu dan kemudian ke Rao, dan rombongan lain ke Jawa. Tahun 1539 Trengganu Malaya diserang, sukses. Sultan terusir lalu mengumpulkan seluruh kekuatan Melayu di Malaya dan Indonesia. Sementara Yahudi terusir dan lari ke Rao. Rao diserang Yahudi yang membuat raja wafat. Permaisuri ambil tongkat komando dan balik menghantam Yahudi. Yahudi menyerah dan Aladin pemimpinnya dihukum mati dengan menggodot lehernya sendiri. Begitu hukumnya. Kalau terhukum habis tenaga sedangkan nafas masih di kandung badan, maka baru algojo berikan finishing touch. Model hukum mati macam ini juga dilaporkan Ibnu Batuthah di lokasi sama abad-abad sebelumnya. Kontingen yang ke Jawa ada yang bernama Unus. Tapi orang Achem biasa saling sapa dengan sebutan Pate. Di sini menjadi Fatah di kemudian harinya. Tahun 1540 Yahudi Achem serbu Demak. Demak dari damak: pesta air. Damak biasanya di Koban Batur (Serambi Cuba), Demak. Demak dikalahkan, lalu Achem siap menyerang Pasuruan. Pasuruan zona ekonomi yang kaya, pemimpinnya Pambekel. Pambekel merupakan pendidikan sekolah militer Champa. Ringkas cerita ribuan pasukan yang dipimpin Yahudi dihancurkan. Yang selamat lari sipat kuping ke Sumedang dan Jakarta. Pemimpin mereka ditangkap dan dihukum mati dengan potong leher swadaya. Yang lari ke Jakarta pada 1540 bikin onar dan digebah ke luar Jakarta. Yang lari dan merusak Sumedang ditumpas pasukan Mataram. (RSaidi)
Negara Koplak!
Paseban di negeri Pandawa langsung diambil-alih oleh Prabu Kresna. Bahwa yang disampaikan Bagong benar. Bahwa kita tidak bisa campur-tangan negara lain, walaupun itu saudara kita. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih DALAM percakapan di istana Ngamarta, Prabu Dwarawati mengabarkan negara Ngastina sedang ada pageblug akibat ulah Oligarki. Perintah kepada Prabu Yudistira harus bantu menyingkirkan pageblug. Dengan mengingatkan jika pemimpinnya koplak pageblug akan semakin merajalela. Prabu Duryudana sejak awal menjadi raja memang terlalu lemah kapasitas dan kemampuannya. Oligarki dianggap remeh, bahkan larut di dalamnya karena hutang Budi atas jasanya sebagai sponsor saat akan naik menjadi Raja. Sekarang oligarki makin merajalela, orang-orang mulai panik, bahkan sudah bisa menguasai semua kaum Brahmana, Ksatria, Nalindra, semua terjangkiti wabah ini. Satu persatu jatuh tersungkur dalam perangkapnya. Prabu Duryudana malah petentang-petenteng mengatakan bahwa pageblug oligarki dianggap sebagai penolongnya, bisa membantu untuk mencari utangan, mendatangkan investasi dan tenaga kerja asing ke negaranya. “Dasar Duryudana koplak!” umpat Bagong di hadapan semua bendara Ngamarta. Semua sontak kaget mendengar Bagong berkata dengan nada tinggi. Dan, seperti biasa mata Bagong melotot kalau berbicara. Prabu Werkudara lantas mengingatkan Bagong supaya menjaga kata-katanya. “Bagong, kalau berbicara yang sopan. Di sini ada bendara-bendaramu. Yo wis ben (biarin) aku tidak peduli sinuwun. Semua orang sudah tahu bagaimana sikap Duryudana, yang telah menjadi cecunguk-cecunguk-nya, pageblug oligarki merajalela di negeranya. Semar hanya mesam-mesem membiarkan anaknya si gendut Bagong petakilan di depan bendaranya. Gareng ikut nimbrung “ampun sinuwun Prabu Yudistira, saya bukannya lancang. Ini memang harus diluruskan. Durjudana memang budi pekertinya candala, selalu memupuk angkara murka,” jawab anak Semar yang bungkring tersebut. “Kamu tahu darimana kalau Duryudana tidak baik?” Tanya Prabu Yudistira . Dengan wajah dan mimik cengar-cengir melirik dapat bocoran dari Prabu Kresna - Dwarawati,” Bagong menunjuk ke arah Kresna. Prabu Kresna hanya melirik dengan senyum kecut, infonya bocor. Menurut Bagong, Prabu Duryudana saat ini tidak memiliki wibawa sama sekali di depan wong cilik. Semua perintah-perintahnya tidak digubris. Bahkan para tumenggung di wilayah negara sudah tidak manut dengan perintahnya. “Dasar Duryudana memang koplak,” Bagong kembali mengumpat - kalau bicara cocot dia asal njeplak - suka bohong lagi .. Sama koplaknya dengan Sengkuni, setelah semua jabatan penting negara diserahkan malah negara tambah parah. Menjadi tangan kanan raja jadi pembisik dan cecunguk yang koplak. Duryudana sebenarnya bukan raja asli. Tetapi sok-sokan menjadi raja. Dia setengah raja setengah cecunguk. Dia menduduki dampar kerajaan karena bapaknya Destarata merebut dari raja pewaris asli yakni Pandu dengan bantuan pada bandit oligarki. Sang Raja merasa berada di atas awan. Apalagi memiliki pelindung oligarki yang digdaya dan dapat mengalahkan Pendawa. Kini semua urusan negara diserahkan ke Sengkuni si koplak dan sontoloyo itu. Sengkuni dibantu Pendita Durno mengambil kebijakan nyeleneh. Di tengah wabah oligarki, negara dibuka untuk tentara Ngalengka dengan dalih tenaga kerja asing. Tambah koplak itu pasukan Ngalengka yang sudah sejak lama akan menguasai Ngastina. Bayangkan betapa kacaunya negara itu. Negara koplak karena pemimpinnya koplak,” seru Bagong. Duryudana juga tidak punya tatakrama, siapapun yang beda pendapat langsung ditangkap. Setiap hari hanya menciptakan bermacam-macam ketakutan pada rakyat, yang sedang kesulitan mencari makan. “Mereka bikin hoax, bikin tipu muslihat, bikin kebohongan, bikin kepanikan,” jelas Bagong. “Gong, hoax itu apa?” Sang Ajuna bertanya. Semar meminta ijin para bendaranya terpaksa menjelaskan bahwa hoak itu kepalsuan. Bilangnya semua pajak dan utang rakyat akan ditangguhkan. Buktinya mana? mbelgedhes, semprul. koplak, kentir, njambal Bagong. Malah bakul gorengan dan pulsa kena pajak juga. Gareng nimbrung, itu gara-gara perbuatannya yang selalu memupuk angkara murka, rakyat menjadi korbannya. Di sana banyak ksatria tangguh yang siap perang, tandas Gareng yang diamini Semar dan anak-anak lainnya. Cengkeme Duryudana tidak bisa dipercaya. Selalu beda dengan kenyataan. Antara cangkeme dan kasunyatan mesti berbeda. Urusan agama negara malah mengajak orang meninggalkan Sang Hyang Jagad. Ini cara-cara licik Duryudana menjauhkan orang-orang dari keyakinan. Werkudara sempat menegur Semar. Wah anak-anakmu pinter-pinter dadi oposisi, Petruk sempat menyela Bagong dilawan - apalagi Bapakku apapun tahu sak durunge winara, dengan gaya sombongnya membela Bagong. Paseban di negeri Pandawa langsung diambil-alih oleh Prabu Kresna. Bahwa yang disampaikan Bagong benar. Bahwa kita tidak bisa campur-tangan negara lain, walaupun itu saudara kita. Biarkan saja kalau akhirnya rakyat akan memberontak. Wejangan Prabu Kresna menutup Paseban Ngati Ngati menawa lagi kuasa - aja ngumbar angkara murka lan ngati-ati ngugemi amanah dan tenan aja nganti gawe larane ati para kawulo. (*)