ALL CATEGORY
Gerakan Islam Antara Takut Celaan dan Trauma Masa Lalu
Oleh Dr. Ir. Masri Sitanggang Intelektual Muslim “MAU AKSI DAMAI TERUS APA MAU JIHAD?” Begitu seorang yang mengaku Abdullah Abdul Aziz memberi judul tulisannya di WAG, yang sampai juga ke hapeku menejelang Reuni 212. Dia tumpahkan “kekecewaannya” atau mungkin “kejengkelannya” itu dengan menulis begini : “Kita aksi damai terus, tapi ngak tau Ahok di mana, ... tapi pelaku penista terhadap agama Islam terus bertambah, …tapi aktivis Islam semakin banyak yg dipenjara, … tapi terjadi penginjakan Kitab Suci Al Qur\'an oleh oknum anggota BRIMOB di Mako Brimob tidak ada yg protes ,... Viktor Laskodat aman-aman saja, …perpu no 2 tahun 2017 disahkan jadi undang-undang, …banyak pengajian dibubarkan, …iklan penjualan Meikarta tidak ada yg bisa bendung, …berton-ton narkoba dari Cina masuk ke Indonesia, …ratusan ribu tenaga kerja ilegal Cina membanjiri ibu pertiwi, dst., …Kita aksi damai terus, tanpa ada arahan perjuangan yg jelas, …tanpa kita sadari negeri ini telah terjajah, ...dst…silahkan buat ribuan aksi lagi kalo itu memang dapat menyelesaikan persoalan negeri ini.” Tulisan itu ditutup dengan : “Salam jihad bil damai.” Senada dengan itu, Sri Bintang Pamungkas (SBP), di bawah judul “BARU JUGA KITA TAHU, BUNG…”, menulis : “Baru juga kita tahu, bahwa para Ulama, khususnya 411 dan 212, sebenarnya hanya suka dengan kebanggaan sewaktu-waktu. Padahal sejatinya mereka tidak berani melawan kezaliman hanya takut dikira intoleran dan radikal. Padahal kemenangan yang mereka dapat itu datangnya dari pertolongan Yang Maha Kuasa.” Dua tulisan itu bisa dinilai sebagai sindirian sinis untuk para alumni 212 yang sudah beberapa kali bereuni; bisa juga sebagai tumpahan kejengkelan dan kekecewaan akan respon umat terhadap situasi tak nyaman yang menerpa negeri dewasa ini; bisa pula sebagai luapan ketidaksabaran akan upaya-upaya perubahan. Tetapi bisa pula sebagai provokasi-motivasi kepada masyarakat untuk segera bertindak melakukan perubahan. Apa pastinya, hanya penulis dan Allah swt sajalah yang tahu. Yang pasti, tulisan itu boleh jadi mewakili banyak orang. Buktinya, banyak yang men-share, termasuk Bapak Sarwan Hamid yang Jendral Purnawirawan itu. SBP ada benarnya juga. Umat Islam –termasuk sebahagian ulamanya, sudah mengidap penyakit takut akan celaan. Mental umat memang sedang mengalami degredasi hebat akibat diserang dengan celaan-celaan seperti fundamentalis, radikal, intoleran, anti kebhinekaan bahkan isu teroris dan anti NKRI. Akibatnya, mereka lebih suka menghindari celaan itu dari pada tegak berdiri memperjuangkan kebenaran : persetan apa kata orang ! Mari kita bayangkan hal berikut. Bayangkan kita sedang memberikan materi diskusi tentang “Islam dan Persoalan Umatnya” pada satu majelis yang dihadiri seratusan jemaah yang peduli terhadap nasib umat. Tiba-tiba datang seorang non muslim dan duduk di antara jemaah, ikut mendengarkan. Bagaimana kemudian, kira-kira, jalannya diskusi itu ? Teruskah berlanjut dengan semangat yang sama seperti sebelum non muslim itu datang, atau berhenti ? Atau, diskusi berlanjut dengan tema yang diperhalus dan diperlunak ? Atau bahkan beralih ke tema lain ? Menurut pengalamanku, bila ada non muslim di majelis yang aku memberi ceramah, selalu saja ada jemaah atau panitia yang langsung membisikkan : “Bang, ada non muslim hadir di sini.” Pesan ini menghajatkan agar aku menyesuaikan isi ceramah dan gaya penyampaianku. Itu kalau yang hadir adalah non muslim biasa. Kalau dia pejabat kecamatan atau yang lebih tinggi, bagaimana jadinya kualitas diskusi itu ? Bayangkan, seratusan umat Islam harus menyesuaikan diri dengan satu orang ! Itulah mental umat Islam. Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian 87 % penduduk muslim Indonesia harus menyesuaikan diri dengan yang hanya 13 % itu. Ini semua karena takut dicela sebagai intoleran. Sebagai seorang dai, mestinya kita bersyukur bila ke dalam majelis ada non muslim hadir. Sebab, itu artinya, kita sedang memiliki kesempatan untuk mendakwahkan Islam kepadanya. Kalau pun ia tidak datang, dalam rangka dakwah, mestinya kita yang mendatangi mereka. Itulah tugas dakwah. Tapi lihatlah sekarang. Demi mendapat gelar toleran dan tidak radikal, banyak pejabat Islam yang bukan saja memperlunak dan memperhalus pesan dakwahnya, melainkan juga mengikuti cara-cara non muslim dalam bersikap dan berkomunikasi. Contoh paling sederhana adalah ucapan-ucapan salam berbagai agama yang disampaikan setelah “Assalamau ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” seperti “selamat pagi”, “salam sejahtera buat kita semua” dan seterusnya… Aku tidak yakin orang ini akan bisa merasa nyaman kalau satu ketika nanti ia tidak memberi salam dengan bermacam salam itu. Artinya, dia hanya bilang “Assalau alaikum warahmatullahi wa barakatuh”. Ia telah terbelenggu, mentalnya sudah kalah. Adakah ucapan salam yang lebih baik dari yang diajarkan Rasulullah bagi orang beriman ? Heboh Al-Maidah 51 memang telah membangkitkan semangat umat; dan dalam beberapa hal, telah memberikan hasil positip. Tetapi mungkin diskusi Al-maidah belum berlanjut ke ayat 54, sehingga mental takut celaan belum sembuh. Al-Maidah 54 menjelaskan bahwa generasi yang telah murtad, yang digambarkan pada ayat 51-53 surat itu, akan digantikan dengan suatu generasi baru yang sangat dicintai Allah. Karakter generasi pengganti yang dicintai Allah itu adalah : lemah lembut sesama orang beriman dan tegas terhadap orang kafir, senantiasa berjihad di jalan Allah dan tidak pernah takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela. Catat, secara khusus Allah menyebut “tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela”. Tidak takut, ya, tidak takut ! Mengapa begitu perlu Allah menyebut “tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela”? Tentu karena persoalan celaan ini begitu penting. Ia ternyata merupakan satu bentuk serangan dalam satu pertempuran. Musuh-musuh Islam menggunakan bentuk serangan ini. Sasaran serangan bukan fisik, melainkan mental. Tetapi serangan ini sangat efektif melumpuhkan musuh. Bila mental telah kalah, telah lemah, maka pertempuran fisik tinggal finishing saja. Ingat, Kita sedang bertarung ! Syukurlah pertempuran fisik di negeri ini belum terjadi. Allah masih sayang kepada kita dengan lebih awal menurunkan Ahok. Tetapi bagaimana pun juga perlu waktu untuk memperbaiki kembali mental mujahid yang sudah lemah ini. Tentu saja kelemahan mental akibat bombardir celaan radikal, intoleran, teroris dls itu bukanlah satu-satunya faktor mengapa umat Islam belum “melempar jumroh” seperti diharapakan banyak orang, setidaknya oleh Abdullah Abdul Aziz dan SBP. Ummat masih saja terus aksi damai, aksi super damai dan reuni damai. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah trauma masala lalu. Mohammad Natsir menggambarkan nasib umat Islam sebagai nasib pendorong mobil mogok. Ketika mobil telah berjalan, umat Islam ditinggal di belakang. Syukur kalau sopir masih melambaikan tangan tanda terimakasihnya. Atau, kata KH Jiteng Syarief, tokoh Masyumi di Medan yang menjadi guru ngajiku sejak aku kecil, seperti daun salam atau sereh. Kedua daun ini dicari ke manapun ketika seseorang ingin memasak gulai. Tetapi ketika gulai sudah siap untuk disantap, daun salam dan daun sereh dicampakkan sebagai sampah. Dalam perjalanan bangsa ini, umat Islam merasakan pengalaman itu. Umat Islam berjuang tanpa pamrih untuk Indonesia merdeka dari penjajah non Muslim. Tetapi setelah merdeka, mereka merasa ditinggal. Nilai-nilai yang memberi mereka kekuatan untuk berjuang melawan penjajah, yakni Islam, dipinggirkan. Zaman revolusi, agresi I dan II, memprtahanakan kemerdekaan, umat Islam juga begitu dirindukan perannya. Resolusi jihad dan takbir “ALlahu Akbar” menjadi pendorong menyingkirkan para agressor. Tapi lagi-lagi, nilai-nilai pendorong itu dan orang-orang yang mendorong itu, tertinggal di belakang atau dicampakkan bagai daun salam dan daun sereh. Begitu juga masa penumpasan PKI, ummat Islam ada di depan. Terakhir, di masa reformasi menggeser Orde Baru, peran Ummat Islam tidk kecil. Tetapi lagi-lagi, setelah berhasil, umat Islam justeru bukan saja di tinggal dan dicampakkan melainkan dijadikana target. Mereka dilabeli ektrim kanan, ditempatkan sebagai musuh seperti PKI yang berada di ekstrim kiri. Begitulah trauma masa lalu. Umat Islam terlalu polos dan jujur dalam berbangsa dan bertanah air. Mereka tertinggal atau ditinggal karena kejujuran dan keikhlasaannya. Itulah pengalaman memilukan dari teman sebangsa dan setanah air. Pengalaman yang tentu saja tidak boleh terjadi lagi. Oleh karena itu gerakan Islam haruslah hati-hati, pandai-pandai dalam melangkah. Pandai-pandai mencari teman seperjuangan. Di sini banyak orang tak jujur. Jalan yang tepat bagi gerakan Islam saat ini adalah bersabar mengonsolidasikan diri sembari menunggu keluarnya fatwa para ulama ! Wallahu a’lam bisshawab !
Rekaman CCTV Penembakan Brigadir Yosua Ditemukan
Jakarta, FNN – Perkembangan penyelidikan kasus polisi tembak polisi di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo semakin menemui titik terang, wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (21/7/22) di Jakarta, memaparkan terkait penemuan CCTV yang sempat dinyatakan hilang ataupun rusak. Titik terang kasus yang menewaskan Brigadir Nofriasyah Yosua Hutabarat itu berupa temuan CCTV di sekitar tempat kejadian perkara (TKP) yang ditemukan oleh tim khusus yang dibentuk oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit. “Kami sudah menemukan CCTV yang bisa mengungkap secara jelas tentang konstruksi kasus ini,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo saat konferensi pers, Rabu (20/7) CCTV itu sedang didalami oleh tim khusus yang dibentuk oleh Kapolri dan akan dibuka ke publik apabila penyidikan telah selesai. “CCTV ini sedang didalami oleh timsus yang nanti akan dibuka apabila seluruh rangkaian proses penyidikan oleh timsus sudah selesai. Jadi dia tidak sepotong-sepotong, juga akan menyampaikan secara komprehensif apa yang telah dicapai timsus yang ditentukan Bapak Kapolri,” ujar Dedi. Dia menyampaikan tim khusus saat ini tengah bekerja semaksimal mungkin. Polri juga berjanji akan menyerap aspirasi masyarakat dalam pengusutan kasus ini. \"Sekali lagi, Bapak Kapolri mendengarkan seluruh apa yang menjadi aspirasi di masyarakat dan juga komitmen dari pimpinan Polri dalam rangka menjaga independensi, transparan dan akuntabel. Tim menunjukkan kinerjanya yang maksimal,\" tegasnya. Dalam waktu yang sama, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui Kadiv Humas Polri menonaktifkan dua perwira, yakni Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto dan Karo Paminal Polri Brigjen Hendra Kurniawan. “Saya rasa kalau ini nanti sudah di tahap pengadilan, ini pak Kapolres Jaksel layak untuk menjadi saksi bahkan kemudian juga layak untuk diperiksa perannya,” kata Agi Betha Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga telah menonaktifkan Irjen Pol Ferdy Sambo dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri. (Lia)
Sudah Bisakah Brigadir J Disebut Korban “Pembunuhan”?
Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN Sejak persitiwa terjadi, tidak ada yang menggunakan kata “pembunuhan” untuk menyebut kematian Brigadir J. Media dan para wartawan sangat hati-hati. Begitu pula netizen di media sosial. Ini bisa dipahami karena orang takut terjerat pasal-pasal pidana jika terminologi “tembak-menembak” atau “baku tembak” yang digunakan Polri dalam keterbunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo –Kadiv Propam non-aktif— diubah menjadi “pembunuhan”. Sebab, pembunuhan bisa bermakna bahwa Brigadir J bukan tewas karena baku tembak. Pembunuhan akan, antara lain, mengesankan bahwa Brigadir J tidak bersenjata. Atau, bisa juga ada kesan bahwa Brigadir J bersenjata tetapi dia menghadapi lawan lebih dari satu orang yang semuanya melepaskan tembakan ke arah dirinya. Kepolisian sejak awal ingin menghindarkan sebutan “pembunuhan Brigadir J”. Ini dapat dimengerti. Karena “pembunuhan” berimplikasi bahwa si korban berada dalam posisi “tak berdaya” baik dari sisi posisi, senjata, jumlah lawan, dlsb. Nah, bagaimanakah suasana yang dihadapi Brigadir J ketika “tembak-menembak” atau “baku tembak” itu terjadi? Berdasarkan penjelasan resmi Kepolisian, Brigadir J berada di tengah banyak “musuh”. Isteri Ferdy Sambo, yaitu Putri Candrawathi, adalah “musuh” pertama Brigadir J. Dari dialah keluar teriakan histeris minta tolong yang mengawali “baku tembak”. Setelah itu, Bharada E tampil menjadi “musuh” berikutnya. Dia turun dari lantai atas rumah dinas untuk “menyelamatkan” istri Ferdy yang dikatakan Polisi sempat ditodong dengan senjata (pistol) oleh Brigadir J. Polisi juga mengatakan Brigadir J melakukan pelecehan terhadap Putri. Todongan senjata dan pelecehan itu otomatis menjadikan Ferdy Sambo sebagai “musuh” Brigadir J juga walaupun, seperti kata Polisi, Pak Kadiv tidak berada di rumahnya ketika peristiwa terjadi. Sebagai suami Putri, tentulah wajar –bahkan wajib— bagi Ferdy menunjukkan keberatannya, ketersinggungannya. Selanjutnya, “musuh” berikutnya adalah senjata api (senpi) yang digunakan Bhadara E, yaitu Glock 17 yang berpeluru 17. Seorang pengamat senjata mengatakan pistol jenis ini termasuk senjata tempur untuk membunuh. Artinya, senpi ini sangat ‘powerful’. Saat ini sedang menjadi polemik apakah, dan mengapa, Bharada E boleh menggunakan Glock 17. Padahal, sesuai aturan, pistol ini untuk perwira yang berpangkap AKP ke atas. Ada lagi “musuh” Brigadir J, yaitu lokasi tempat dia tewas. Rumah perwira tinggi, konon pula rumah dinas Kadiv Propam, adalah salah satu kediaman yang paling ketat pengamanannya di kalangan Kepolisian. Di situ banyak polisi yang berjaga. Banyak kamera CCTV yang juga “musuh” Brigadir J. Sedekat apa pun Brigadir J dengan keluarga Ferdy, tetap saja rumah dinas beliau ini menjadi “musuh” bagi si ajudan. Sebab, bagaimanapun juga, Sang Brigadir sedang berada di rumah Jenderal. Brigadir J pastilah punya rasa lebih lemah dibandingkan rasa sangat kuat di pihak Ferdy Sambo. Brigadir J berada di tempat yang asing baginya meskipun para penguninya begitu dekat dengan dia. Jadi, banyak sekali “musuh” Brigadir J. Boleh dikatakan semuanya “musuh”. Dan dia menghadapi situasi itu sendirian. Tidak mungkinlah bisa menang atau selamat. Dari sini, kematian Brigadir J dalam terminologi “baku tembak” atau “tembak-menembak”, tidak lagi memiliki landasan etimologi dan kriminologi yang kuat. Pencermatan psikologi sosial menunjukkan publik menghendaki agar kematian ini disebut sebagai “pembunuhan”. Apakah itu “pembunuhan berencana” seperti dicurigai tim kuasa hukum Brigadir J, atau “bukan pembunuhan berencana”, masih harus dibuktikan oleh tim penyidik. Tulisan ini hanya bertujuan untuk bertanya apakah kematian Brigadir J yang berada di tengah banyak musuh itu, yang berada dalam posisi serbah lemah dari berbagai sudut tinajauan di atas tadi, tidak bisa disebut sebagai “pembunuhan”? Apakah kita, khususnya media massa, masih akan mengikuti narasi Kepolisian yang menyebut Brigadir J tewas dalam tembak-menembak, atau sudahkah saatnya menggunakan kata “pembunuhan”? Ini sangat penting mengingat intuisi publik yang bisa diamati dari komentar-komentar di media sosial dan thread komentar media besar (mainstream). Sekali lagi, masyarakat yakin Brigadir J adalah korban pembunuhan.[]
Bau Amis Gerombolan Si Bengis
Kami mendukung tindakan Kapolri mencopoti perwira yang terlibat rekayasa perkara pembunuhan Brigpol Nofriansyah Yoshua Hutabarat ajudan bekas Kadiv Propam Mabes Polri, Ferdy Sambo. Ini adalah awal pembenahan besar-besaran di tubuh Polri sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Institusi Polri tidak boleh rusak oleh segelintir oknum bengis. Tidak semua polisi dan tentara bisa membunuh. Apalagi membunuh dengan cara menyiksa. Karena polisi dan tentara juga manusia yang pasti bakal mengalami tekanan emosional hebat jika harus membunuh spesiesnya sendiri. Polisi, terutama Resmob dan Reserse lapangan, dilatih mahir menembak dan membela diri untuk melumpuhkan penjahat. Tidak pernah dilatih seperti tentara. Tentara dilatih untuk membunuh musuh negara. Latihan tentara lebih mendekati keadaan perang nyata, kondisi dibunuh atau membunuh. Makanya mereka dilatih menusuk boneka atau karung pasir dengan bayonet. Ada juga latihan menusuk plastik atau balon berisi cairan merah supaya prajuritnya terlatih kecipratan darah. Tapi seekstrim-ekstrimnya latihan polisi atau tentara, tidak otomatis menjadikan mereka sebagai mesin pembunuh efektif (pembunuh berdarah dingin dan tidak terganggu kejiwaannya). Untuk menjadi pembunuh berdarah dingin, tidak cukup dengan latihan, tapi harus dengan praktik membunuh manusia secara nyata. Seseorang hanya bisa menjadi pembunuh berdarah dingin jika sering melakukannya, berulang dan berulang. Tentu karena ada penugasan jika dia seorang aparat negara. Tapi itu pun belum cukup menjadikan seorang pembunuh efektif menjadi pembunuh bengis (dengan penyiksaan). Untuk menjadi pembunuh bengis, moral seseorang harus dirusak dulu. Narasi tentang dosa, karma, hari pembalasan, larangan-larangan dalam kitab suci, harus dihapus dari memori otaknya. Kejiwaan dan rasa kemanusiaannya harus dirusak dengan mencabut keimanannya kepada Tuhan. Roh Tuhan yang ada dalam tubuh calon pembunuh bengis ini harus diganti dengan roh iblis. Caranya dengan dicekoki uang, materi, atau imbalan jabatan setiap kali mengikuti instruksi dengan baik. Persis seperti melatih anjing rumahan menjadi anjing pemburu. Pembunuh bengis seperti ini sudah tidak banyak di zaman damai. Perang betulan, di Timor Timur dan Aceh sudah selesai. Tinggal Papua. Itu pun malah banyak aparat kita yang terbunuh. Killer squad yang jadi momok masyarakat belakangan ini, orangnya atau komplotannya pasti yang itu itu juga. Kebengisan di KM 50 Tol Japek, kebengisan di kompleks Polisi Duren Tiga Jakarta Selatan, polanya sama. Korban disiksa dulu baru didor dalam jarak dekat. Tapi peristiwanya dinarasikan ke publik secara manipulatif. Seolah-olah pembunuhan tersebut bersifat force majeur, ada imminent danger, sehingga terpaksa dibunuh karena korban menyerang duluan atau melawan dengan senjata mematikan. Tapi kok ada bekas-bekas penyiksaan di tubuh sasaran? Kok CCTV rusak? Kok warga dan wartawan dilarang mendekati TKP? Sementara kalau menangkap teroris kok videonya lengkap? Bawa wartawan pula!! Oke. Untuk pembunuhan warga sipil, kalian bisa menjaga code of silence (tutup mulut seluruh institusi). Tapi untuk pembunuhan sesama polisi, jangan harap kalian bisa menutup mulut semua polisi. Pasti ada yang emosi jiwa. Pasti ada yang melawan dari dalam. Ada bau amis yang terus terus menyengat pada oknum-oknum berjiwa bengis. Komplotan kalian segera terbongkar!
Babak Baru Horor dan Teror Kasus Polisi Tembak Polisi
Kerja pers mengharukan. Sebagian besar media mengambil risiko besar. Walau sempat dihadang oleh Dewan Pers, otoritas tertinggi dunia pers kita. Tetapi mereka melawan. Pada waktunya, memang hanya konstitusi dan kode etik profesi yang wajib dipedomani oleh wartawan kita. Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat “SEORANG pembunuh dianggap oleh dunia sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi bagi seorang pembunuh itu sendiri hanyalah manusia biasa. Hanya jika si pembunuh adalah orang baik maka dia bisa dianggap mengerikan.” (Graham Greene, penulis Inggris 1904-1991). Dalam berbagai tulisannya Graham Greene selalu menggambarkan bagaimana pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Dalam bukunya yang terkenal “The Power and The Glory”, ia menunjukkan bahwa kesabaran dan menjalani kesulitan adalah sebuah kebaikan. Karya-karyanya yang lain adalah “The Third Man”, “The Ministry of Fear” dan “This Gun For Hire”. Greene meninggal dunia pada 1991. Horor dan sekaligus teror peristiwa “Polisi Tembak Polisi” ternyata berhasil menyatukan publik. Sudah hampir dua minggu peristiwa itu: orang baik menembak orang baik di rumah orang baik. Orang baik yang saya maksud, adalah para polisi – para pengayom masyarakat, sesuai kedudukannya di dalam negara kita. Yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai alat negara, kedudukan dan posisi Polri mendapat tempat terhormat : langsung di bawah Presiden. Buka saja Pasal 7 ayat (2) TAP-MPR RI Nomor VII/MPR/2000. Artinya, seluruh perilaku polisi menjadi tanggung jawab presiden. Wajah polisi adalah wajah presiden. Saya tidak akan menguraikan lagi kronologi peristiwa berdarah itu karena sudah menjadi pengetahuan masyarakat luas. Termasuk dengan update dari sumber resmi maupun dari sumber tidak resmi. Bagaimana bisa mengungkap peristiwa di rumah perwira tinggi kepolisian, Irjen Pol Ferdy Sambo, Kepala Divisi Propam Polri? Ini adalah perkara rumit. Kunci untuk membuka “gembok” yang bisa menjawab berbagai pertanyaan keraguan masyarakat akibat pelbagai keganjilan, berada di dalam penguasaannya, minimal di dalam penguasaan korpsnya. Beruntung Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo bertindak tepat – meski terasakan sempat tersendat. Kapolri merespons masyarakat yang menuntut pihak yang berwajib mengusut tuntas horor itu. Yang tidak cukup dengan penanganan juridis formal kelembagaan, sebab muatannya berkaitan erat dengan masalah sosial dan mencedarai budaya bangsa. Lihat saja, praktis sejak peristiwa itu pelbagai spekulasi merebak di media sosial yang bahkan telah menganggap pendekatan juridis belaka omong kosong. Simak liputan mendalam seluruh media pers yang menggambarkan adanya jarak menganga antara pernyataan resmi polisi dengan fakta-fakta yang terurai dan telanjang, yang dengan mudah disimpulkan pun oleh orang awam. Kerja Pers Mengharukan Kerja pers itu mengharukan. Sebagian besar media mengambil risiko besar. Walau sempat dihadang oleh Dewan Pers, otoritas tertinggi dunia pers kita. Tetapi mereka melawan. Pada waktunya, memang hanya konstitusi dan kode etik profesi yang wajib dipedomani oleh wartawan kita. Pihak Dewan Pers pun menyadari kekeliruannya, yang mengimbau wartawan hanya menyiarkan keterangan resmi polisi. Ini jelas pernyataan dungu petinggi Dewan Pers. Tidak disadari justru itulah pemantik blunder dalam penanganan kasus memalukan bangsa ini. Selain imbauan itu sendiri berpotensi melanggar UU Pers 40/1999 dan berpotensi sebagai kejahatan (pidana) karena termasuk ikut menyembunyikan fakta peristiwa. Hanya berselang satu hari setelah imbauan Dewan Pers itu, Ketua Dewan Pers Prof. Azyumardi Azra dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang segera menyusulkan “joint statement” atau pernyataan bersama, yang berisi pesan sebaliknya. Justru mendorong seluruh wartawan melakukan “investigative reporting” atau liputan investigasi secara mendalam untuk menyingkap peristiwa tewasnya Brigadir Joshua di rumah atasannya. Saya harus mencatat dan memberi apresiasi kepada salah satu media yang menyajikan pertama kali liputan penunjuk titik terang, yaitu Kumparan. Dalam laporannya “Bukan Baku Tembak Biasa” (Senin, 18 Juli 2022), reportase Kumparan sangat kuat mengindikasikan pelaku adalah Irjen Ferdy Sambo sendiri. Kumparan bahkan menyebutkan di TKP (tempat kejadian perkara) ditemukan Cigar Cutter (pemotong cerutu), yang diasosiasikan sebagai alat pemotong jari Joshua, yang diungkapkan keluarganya kepada masyarakat. Presiden Jokowi Pun Terjaga Kapolri langsung membentuk tim khusus untuk mengungkap kasus itu dan menunjuk Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono sebagai pimpinannya. Langkah selanjutnya, Kapolri menonaktifkan Irjen Ferdy Sambo, Senin( 18/7) petang. Berlanjut Rabu (20/7) malam, menonaktifkan Karo Paminal Divisi Propam Polri Brigjen Pol Hendra Kurniawan dan Kapolres Metro Jakarta Selatan (Jaksel) Kombes Pol Budhi Herdi Susianto. Kabar menggembirakan berikutnya ialah pengumuman penemuan rekaman CCTV saat kejadian penembakan Brigadir Joshua di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo. Ibarat black box pesawat, CCTV akan menyingkap banyak fakta. Penemuan tersebut bersamaan dengan keputusan untuk melakukan otopsi ulang terhadap jenazah Joshua. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menegaskan, dengan penemuan itu (CCTV), maka tim khusus dapat melakukan penyelidikan secara mendalam untuk mengungkap konstruksi kasus secara jelas. “Kita sudah menemukan CCTV yang bisa mengungkap secara jelas tentang konstruksi kasus ini. Dan CCTV ini sedang didalami oleh timsus yang nanti akan dibuka apabila seluruh rangkaian proses penyidikan oleh timsus sudah selesai,” ujar Dedi, Rabu (20/7) malam. Apresiasi tinggi patut pula disampaikan kepada seluruh keluarga almarhum dan kuasa hukumnya Kamaruddin Simanjuntak yang telah bekerja profesional dan menakjubkan. Pandangan hukum Kamaruddin seakan menghidupkan kembali pandangan penulis yang juga aktor Graham Greene yang mengatakan “... jika si pembunuh adalah orang baik maka itu mengerikan”. Ungkapan kengerian itulah yang membuatnya mendapatkan dukungan publik yang luas, dan akhirnya Kapolri pun menyetujui hampir semua “arahannya” itu atas kesamaan harapan bahwa polisi itu harus tetap baik dan dipandang sebagai “orang baik”. Meskipun masih akan melalui proses panjang dan melelahkan untuk memenuhi kaidah “scientific crime investigation” namun kasus “Polisi Tembak Polisi” relatif sudah “rampung”. Kuncinya, karena orang-orang baik itu “mengakui” kasus “Polisi Tembak Polisi” adalah kejahatan besar yang menjungkirbalikkan nilai-nilai sosial dan budaya bangsa. Selamat untuk kita semua yang untuk sementara terlepas oleh horor dan teror angkara murka. (*)
Pertaruhan Bagi Pak Kapolri
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan Titik titik itu mulai merusak, tetes demi tetes nila merusak susu sebelanga. Penon-aktifan Kadiv Propam Irjen Pol Fredy Sambo, Karo Paminal Propam Brigjen Hendra Kurniawan, dan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto adalah titik-titik terang menuju pembuktian penyebab rusaknya susu sebelanga itu. Institusi Polri sedang menghadapi keruwetan akibat ulah anggota yang mengejutkan. Suara bising terus mendengung mengganggu agenda awal. Ada cerita tentang ambruknya skenario. Misteri 3 hari Jum\'at hingga Senin menyimpan banyak peristiwa. Sedikit demi sedikit terkuak akan keterlibatan banyak personal dan banyak jabatan. Baru tiga pejabat Polri yang dinon-aktifkan. Tuntutan pun masih terus berlanjut. Markas Besar mengalami guncangan akibat peristiwa Duren Tiga kelabu dengan tiga hari yang mengharu biru. Pemeriksaan dikualifikasi berjalan lambat. Untuk pembunuhan yang disana hanya ada 3 orang di samping korban yaitu Bharada E, Irjen Pol Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati Sambo maka tersangka tentunya adalah salah satu atau dua di antaranya. Apalagi telah diakui penembak mati korban yaitu Bharada E. Sekurangnya Bharada E cepat ditetapkan sebagai tersangka. Munculnya temuan yang diungkap keluarga adanya penganiayaan sadis kepada korban Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J yang diduga terjadi sebelum ditembak telah membuyarkan skenario tembak menembak dan bela diri. Situasi menjadi bertambah sulit dan berbelit. Ayo tetapkan cepat tersangka pembunuhan dan penganiayaan Brigadir J. Bharada E atau Irjen Sambo atau orang lainnya?Jangan dibuat lambat yang bergerak menuju ke peradilan sesat kelak. Ini kasus pertaruhan bagi Polri dan tentu juga Kapolri. Susu sebelanga terancam rusak. Kasus Duren Tiga atau Rumah Singgah Kadiv Propam ini telah menyita banyak perhatian. Bagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang telah mengambil langkah menon-aktifkan tiga pejabat struktural Polri patut mendapat apresiasi. Tindakan lanjutan sangat ditunggu termasuk memonitor pemeriksaan agar cepat, jujur dan terbuka. Menohok memang, huru hara ini terjadi di rumah dinas Kadiv Propam. Instansi yang menjadi benteng moralitas Kepolisian. Penjaga kejujuran, kedisiplinan dan keadilan. Biasa menghukum perbuatan tercela. Hukuman yang berbasis aturan bukan kesewenangan. Apalagi dengan kebrutalan atau kekejaman. Sayang kebrutalan atau kekejaman ini yang kini mungkin terjadi. Masyarakat mendukung langkah Kapolri tentang penuntasan kasus. Penanganan yang dilakukan secara transparan dan obyektif. Pertaruhan terlalu berat. Alangkah indahnya jika pada pertaruhan ini Pak Kapolri menegaskan dan memastikan akan kejujuran penuntasan dan jika masih ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk menutupi atau melakukan rekayasa, maka Pak Kapolri siap untuk meletakkan jabatan. Mundur. Kasus mengerikan telah terjadi di sebuah rumah besar yang telah merusak citra dari rumah yang lebih besar. Rumah kebangsaan kita terusik berat. Akankah perbuatan kriminal ini akan berdampak politik? Sejarah sedang mengamati. Bandung, 22 Juli 2022
Berkelana Jemput Ular
Oleh Ridwan Saidi Budayawan Berkelana, atau ngumbara, dalam Betawi, memerlukan perbekalan dan pengamanan. Tradisi berkelana kita mengenalnya setidaknya 3000 tahun lalu ketika bersentuhan dengan peradaban Maya. Tujuan berkelana ketahanan fisik dan menambah pengetahuan. Berkelana dengan berombongan biasanya dalam rangka migrasi. Untuk pengamanan biasanya mereka menbawa penjinak ular. Rombongan Queen of Sheba abad II berkelana ke Indonesia dari Axumite membawa wanita suku Naja, Afro. Mereka penjinak ular. Dalam pelatihan silat Guru Cit kampung Pecenongan, latihan ada tiga tahap: 1. Belajar jurus 2. Kena\'at, konservasi enerji 3. Ngumbara. Kena\'at menentukan murid bisa lanjut ke tingkat ngumbara atau harus berakhir sampai di situ. Dalam kena\'at murid a.l direndam di kali dan pas muncul kepalanya dipukul guru. Dalam ngumbara murid mencari sasaran exclusif, misal danau terpencil dan harus menempuh route yang banyak bahayanya seperti ular dan begal. Kalau sampai hari akhir ngumbara, yang telah ditentukan guru, bisa kembali dengan selamat, maka murid dinyatakan khattam, selesai. Guru-guru mengaji biasanya mengerti silat. Itu harus karena tempat mengajar kadang-kadang jauh dan ditempuh dengan berjalan. Guru tidak sendiri, biasanya ditemani mukitib, tukang membawa kitab. Saya tak dapat membayangkan dalam kegelapan malam diterjang hujan. Tapi itu mereka lakukan dengan ikhlas. (RSaidi)
Habib Rizieq Bebas, Siap Kembali Pimpin Perlawanan Oposisi
HABIB Muhammad Rizieq Shihab bin Husein Shihab alias HRS resmi keluar dari tahanan Bareskrim Polri setelah menjalani masa hukuman atas vonis RS Ummi, Kota Bogor. HRS keluar tahanan sekitar pukul 6.30 menuju rumahnya di Petamburan, Tanah Abang Jakarta Pusat. HRS mendapatkan pembebasan bersyarat, karena divonis 8 bulan dalam kasus kerumuman di Petamburan. Dalam kasus ini HRS juga didenda Rp 50 juta. Sedangkan dalam kasus RS Ummi, HRS akhirnya divonis 2 tahun setelah pengajuan PK (Peninjaunan Kembali) ke Mahkamah Agung (MA) dikabulkan. Sebelumnya, kabar bebas bersyaratnya HRS disampaikan Koordinator Humas dan Protokol, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti. Bebas bersyaratnya HRS ini menjadi sorotan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Kamis (21/7/2022). Petikannya: Habib Rizieq Syihab kemarin akhirnya mulai menjalani pembebasan bersyarat. Biasanya orang yang menjalani pembebasan bersyarat berarti sudah menjalani dua pertiga dari hukuman. Karena kan dia ada dua hukuman, yang satu 8 bulan untuk Petamburan; satu lagi 2 tahun untuk swab di rumah sakit Ummi. Kalau kita itung-itung memang sekarang mungkin ditambah dikurangin remisi, sudah dua remisi Idul Fitri dan dua remisi kemerdekaan. Jadi sudah sekitar dua-pertiga karena dia ditangkap tanggal 30 Desember 2020. Dan, ternyata memang tetap saja Habib Rizieq menyedot perhatian banyak orang, meski belum bebas sepenuhnya. Saya kira itu yang kita sebut kasus yang agak absurd dan tiba-tiba ada soal pembebasan bersyarat. Dan itu secara teknis hukum memang pembebasan bersyarat, tapi rasa keadilan publik itu sudah nggak peduli mau bersyarat atau tidak bersyarat, tapi tetap dianggap itu tidak adil. Karena dalam perbandingan dengan tokoh-tokoh lain yang dengan gampang memanipulasi kesehatannya, nggak kena apa-apa. Jadi bagian itu sebetulnya yang dilihat publik. Bukan soal ya sudah dibebaskan bersyarat, ya itu orang sudah lupa apa yang disebut dengan peristiwa hukumnya. Yang orang ingat adalah peristiwa ketidakadilannya. Nah, sampai sekarang banyak betul orang dengan kondisi yang sama dengan apa yang dilakukan Habib Rizieq, hanya berbohong kecil, itu kena 2 tahun hukuman dan masih belum bebas sempurna; sementara aparat kekuasaan petinggi-petinggi itu melenggang kangkung berbohong berkali-kali. Jadi, kalau intinya berbohong kan tidak menimbulkan kehebohan waktu itu. Jadi heboh ketika ditangkap justru. Jadi orang masih ingat bahwa tidak ada kehebohan. Habib Rizieq hanya mengatakan secara jujur bahwa dia sehat. Bahwa kemudian secara teknis dinyatakan tidak sehat, itu bukan urusan Habib Rizieq karena dia merasa dia sehat. Tapi itu sudah kita selesaikan itu, dan sekarang Habib Rizieq akhirnya diasuh kembali oleh suasana politik dan memang itu sangat timely, tepat waktu, Habib Rizieq keluar, karena soal Islamofobia. Jadi tetap kita membayangkan, ini ada semacam diam-diam ada sedikit upaya tuker tambahlah, kira-kira begitu. Dan, pada saat sekarang ini juga lagi pada heboh yang soal polisi yang juga diindikasikan bagian dari tim yang menangani KM 50. Jadi tetap orang lihat bahwa apa sebetulnya di belakang pembebasan lebih spesifik, selain soal memang dia berhak untuk mendapat pembebasan bersyarat. Jadi spekulasi ini kemudian muncul. Karena itu, beberapa kalangan menganggap Habib Rizieq akan memimpin lagi demo-demo besar. Dan itu juga bisa kita anggap sebagai provokasi jebakan karena dalam kondisi pembebasan bersyarat itu enggak boleh ada kejadian yang memungkinkan dia kena delik dua kali dan itu artinya akan ada pemberatan. Jadi tetap, Habib Rizieq ini menjadi ukuran. Pertama dia ukuran tentang keadilan; yang kedua dia ukuran tentang stabilitas politik. Itu yang akan jadi pembicaraan publik mulai hari ini. Iya, karena bagaimanapun juga tetap saja Habib Rizieq ini salah satu figur yang saya kira signifikan dalam peta politik Indonesia dan kita tahu dia mewakili satu kelompok yang disebut sebagai Islam garis kanan. Karena cara dia ini kan di kanan luarlah gitu kalau kita menggunakan cara pembagian politik di Indonesia. Sekarang ini sebenarnya meskipun Pilpres masih dua tahun lagi tapi sudah mulai bermunculan kampanye-kampanye dan kita tahu bahwa bagaimanapun ada gerbong besar di belakang Habib Rizieq. Kalau saya baca survei, meskipun kita sering mengkritisi soal survei, yang agak mengejutkan nama Habib Rizieq itu masih muncul di sebuah lembaga survei, bahkan mengalahkan mereka-mereka yang selama terus-menerus berkampanye. Sementara Habib Rizieq sudah tidak bisa berkampanye. Ya jadi HRS, akhirnya orang akan ingat inisial itu, bagaimanapun dia hidup di dalam suasana politik yang transisional sekarang. Ketika orang kehilangan kepercayaan pada partai-partai politik, tokoh-tokoh, pembebasan Habib Rizieq justru menimbulkan harapan. Apapun analisis orang, Habib Rizieq itu melambangkan kejujuran, keinginan untuk menghasilkan kembali keadilan, lepas dari orang mengatakan ada soal kriminal, soal bau-bau seks segala macam. Oh, ya. Itu fakta manusia begitu. Tetapi tetap, lebih jauh orang menganggap bahwa pada diri Habib Rizieq ada harapan untuk memperbaiki Indonesia dari kalangan muslim garis kanan yang sangat luar ini. Dan itu sebetulnya yang membuat kekuasaan ragu-ragu kalau bebasin Habib Rizieq pasti akan memimpin kembali pergerakan. Kan pasti akan memimpin kembali dengan konsekuensi yang berhadapan langsung dengan kekuasaan yang makin lama makin otoriter. Jadi KUHP versus Habib Rizieq nanti. Kira-kira begitu kan kalau kita bayangkan keadaan itu. Dan begitu Habib Rizieq keluar, orang semacam Pak Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil ,segala macam, bahkan Ganjar Pranowo mungkin, mulai menghitung ulang potensi mereka untuk ditandingi oleh Habib Rizieq. Karena Habib Rizieq tetap orang anggap mengkonsolidasikan batinnya dan kepemimpinannya ketika ditahan itu. Kan itu selalu semacam simbol orang yang dipenjara itu dia bikin perenungan batin. Dan perenungan batin itu akan diucapkan begitu dia keluar. Jadi Habib Rizieq mungkin lagi bersabar karena statusnya masih bersyarat, tetapi untuk konsolidasi akan jalan terus. Maka Petamburan akan kembali jadi markas perhimpunan Islam yang disebut Islam kanan, tapi sebetulnya Islam kanannya sudah dibubarin, FPI itu. Jadi nggak ada alasan lagi pemerintah untuk melokalisir Habib Rizieq semata-mata sebagai tokoh FPI. Dia sudah diterima pada akhirnya sebagai tokoh oposisi kan? Selamat datang bergabung dengan tokoh oposisi itu. Jadi, kalau kita mau fair, kita musti bilang bahwa Habib Rizieq pasti akan memimpin gerakan oposisi, apapun warnanya. Dan rasanya kita sulit membayangkan bahwa orang seperti Habib Rizieq Syihab itu ditahan dipenjara, terus kemudian dia tunduk pada kekuasaan. Ya, itu agak susah kalau kita bayangkan figurnya yang betul-betul orang yang menganggap bahwa oke, dirinya itu memang dituntun oleh sejarah ini untuk memimpin. Kan dalam evaluasi kita begitu. Mau orang nggak percaya dengan itu urusan lain. Tapi Habib Rizieq sendiri menganggap bahwa dia dituntun oleh sejarah untuk memimpin. Karena itu kecelakaan-kecelakaan politik akan dia hadapi itu. Dan dia betul-betul secara gampang mengatakan saya ini sudah pernah ditahan sebagai kriminal oleh SBY. Dan saya terima itu, saya warga negara. Jadi selalu dapat hukuman ya. Jangan lagi dikait-kaitkan. Sekarang juga dia katakan hal yang sama, saya juga dihukum, dan saya dibebaskan sekarang, walaupun bersyarat. Jadi, seluruh persyaratan untuk memimpin sebetulnya ada pada Habib Rizieq kan? Sudah masuk keluar penjara, ada kriminal ada yang politis segala macam. Jadi dia lengkap sebetulnya. Dan orang mulai merasa bahwa ada yang jujur pada Habib Rizieq. Berkali-kali dikenai tindakan pidana, tetap dia merasa bahwa dia bisa pulih kembali dengan kejujurannya. Kan orang hanya pingin lihat memang jujur Habib Rizieq, wong tidak pernah korupsi. Apa yang cacat di dia tuh selain bahwa itu mengusulkan supaya ada wacana-wacana Negara Islam segala macam. Itu wacana begitu biasa saja tuh. Kita bisa bikin wacana-wacana. Tetapi integritas orang dinilai berdasarkan kemampuan dia untuk membaca keadaan itu. Tentu tetap kita akan berdiskusi secara tajam dengan Habib Rizieq dan saya kira beliau juga sanggup untuk ikut dalam diskusi debat yang kadangkala keras dalam soal-soal yang bersifat idiologis. Oke, jadi bagaimana kita harus menempatkan orang seperti Habib Rizieq Syihab ini dalam peta politik Indonesia seperti yang sekarang ini. Ya pasti establishment menganggap Habib Rizieq ini outsider sebetulnya, dan jangan sampai dia masuk ke wilayah politik formal. Kalau dia masuk dalam politik formal maka seluruh parameter akan berubah. Strategi taktik oligarki akan berubah. Tetapi itu nggak mungkin dicegah. Apalagi kalau kita lihat misalnya akibatnya ini sebetulnya mempersulit kita untuk minta dinolpersenkan. Karena, orang akan lihat kalau 0% itu berarti Habib Rizieq bisa masuk dalam politik formal. Kan begitu? Partai-partai Islam yang tadinya agak ke Istana mungkin menganggap wah ini ada figur nih. Lalu berkumpullah jadi 20 persen. Nah itu sebetulnya dilema buat kita. Tapi kita minta Habib Rizieq untuk oke silakan maju dalam politik, langsung saja bilang saya ingin menjadi presiden, tapi saya ingin presidensial threshold 0%. Tentu itu lebih mudah dan orang menganggap oke Habib Rizieq bisa bersaing secara fair dan orang mungkin justru kasih poin bahwa dengan cara semacam itu diujilah apakah betul Habib Rizieq akan didukung oleh partai Islam atau partai Islam memang mengiginkan kader dari kalangan partai sendiri. Ini juga ukuran tentang kematangan politik dari kalangan partai-partai Islam ini. Tapi dari pernyataan Anda, Anda tidak sepakat ya dengan banyak pengamat, saya membaca juga beberapa pengamat dari luar negeri yang memperkirakan bahwa kekuatan Habib Rizieq sekarang ini tidak akan kembali seperti dulu, karena bagaimanapun sekarang organisasi dia sudah dibubarkan, dalam hal ini FPI. Tapi sebenarnya kita tahu dia sudah punya lagi front persaudaraan Islam, singkatannya juga FPI. Orang semacam Habib Rizieq itu dengan mudah mengembalikan followers-nya itu. Jadi kalau dia buka akun baru orang balik lagi. Jadi dengan mudah sebetulnya kekuasaan itu mengevaluasi. Dan sekarang kekuasaan di Istana lagi memantau dengan cermat potensi Habib Rizieq untuk kembali jadi pemimpin massa. Kan yang ditakutkan adalah kemampuan Habib Rizieq untuk berorasi dan memberi sinyal kepada kekuasaan dengan kekuatan massa. Itu yang ditakutkan oleh kekuasaan. Dan itu nggak mungkin, nggak. Karena watak Habib Rizieq ya begitu. Dia orang massa yang dihidupkan suasana massa saja. Suasana demonstrasi, suasana gelar umat. Dan, itu memang watak dia. Jadi nggak mungkin dia berubah. Akan berlanjut kebiasaan dia sebelum dipenjara. (Ida/mth)
Tolak SKB Dicabut, Pengurus Tenaga Kerja Bongkar Muat Pelabuhan Mengadu ke Ketua DPD RI
Jakarta, FNN - Jajaran pengurus Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan mendatangi Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, di ruang kerjanya, Lantai VIII Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen Senayan, Kamis (21/7/2022). Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim (Kalsel), Fachrul Razi (Aceh), Bustami Zainuddin (Lampung) dan Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin. Dari TKBM, hadir Agus Budianto (Sekretaris Inkop), TB Rahmat (Wakil Sekretaris Inkop), Asep Selamet (Inkop TKBM), Saipul Islam (Inkop TKBM), Basri Abbas (Inkop TKBM). Para pengurus TKBM menemui LaNyalla untuk mengadukan nasib organisasi berbadan hukum koperasi yang posisinya semakin terancam, imbas rencana pencabutan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat di Pelabuhan. \"SKB itu akan dicabut dan rencananya akan diganti dengan Peraturan Presiden (Perpres). Perpres membuat pengelolaan TKBM yang sebelumnya dikelola Koperasi TKBM menjadi dikelola Badan Usaha Pelabuhan (Pelindo) dan Perusahaan Bongkar Muat (PBM),\" kata Sekretaris Inkop, Agus Budianto. Dikatakan Agus, pencabutan SKB yang ditandatangani dua dirjen dan satu deputi itu berdampak terhadap hilangnya eksistensi, peran dan fungsi Koperasi TKBM sebagai pengelola TKBM di pelabuhan. \"Terkait rencana mitigasi risiko pemindahan kewenangan pengelolaan TKBM ke Pelindo/PBM memperjelas dan memperkuat argumentasi kesiapan pencabutan SKB untuk menghilangkan eksistensi, peran dan fungsi Koperasi TKBM sebagai pengelola TKBM di pelabuhan,\" jelas Agus. Agus melanjutkan, 75 persen output hasil evaluasi Aksi Pelabuhan Stranas PK Tahun 2022 sudah menyepakati pencabutan SKB tersebut. Sudah pula dilakukan kajian oleh Kemenaker, Kemenkop UKM dan Kemenhub terkait hal tersebut. \"Selain itu, ada pula kajian dari Kemenhub dan Pelindo untuk proses penerapan tools Sistem Monitoring (Simon) TKBM sebagai supporting sistem pemindahan kewenangan pengelolaan TKBM,\" katanya. Wakil Sekretaris Inkop, TB Rahmat menambahkan, rencana pencabutan SKB tersebut tentu bertentangan dengan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. \"Kami dituduh penyebab high cost dan dwelling time. Ini sudah injury time. SKB ini akan dicabut. Kami butuh perlindungan. Kami meminta Pak Ketua untuk membantu kami memfasilitasi hal ini. Kami akan menggelar Rakornas untuk menyikapi hal ini,. Kami ada 120 TKBM di seluruh Indonesia,\" tutur Rahmat. Rahmat meminta agar eksistensi, peran dan fungsi Koperasi TKBM dipertahankan sebagai pengelola pelabuhan. \"Kami meminta agar SKB itu tidak dicabut dan mengalihkan kewenangan pengelolaan TKBM ke Pelindo/PBM,\" ujar Rahmat. Menanggapi hal itu, Senator asal Lampung, Bustami Zainuddin, menegaskan bahwa koperasi merupakan soko guru ekonomi dan amanat konstitusi serta spirit dari ekonomi Pancasila. Sementara Senator Aceh, Fachrul Razi, menekankan bahwa pihaknya mendukung modernisasi pelabuhan sebagaimana program pemerintah. \"Tetapi tak boleh mengkambinghitamkan TKBM bahwa TKBM menghambat proses modernisasi dan lain sebagainya. Kami mencium ada kepentingan swasta yang ingin mengambil alih pengelolaan pelabuhan,\" kata Fachrul Razi. Senator Kalsel, Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim, mengatakan, DPD RI di bawah kepemimpinan LaNyalla terus bergerak agar cita-cita para pendiri bangsa dapat tercapai. \"Kita tuan rumah secara ekonomi. Bukan diatur oleh penguasa besar kapitalis, atau oligarki,\" tutur dia. Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai akar persoalan dari karut marut pengelolaan bangsa ini dimulai pasca-konstitusi kita diamandemen pada tahun 1999-2002. \"Sejak saat itu falsafah bangsa ini berubah total. 95 persen isi konstitusi kita sudah diganti,\" tutur LaNyalla. Senator asal Jawa Timur itu sependapat jika koperasi harus terus dipertahankan. Sebab, katanya, koperasi merupakan semangat yang direpresentasikan Pancasila dalam dinamika politik dan ekonomi. \"Kedaulatan rakyat kita sudah bergeser. Ruh ekonomi kita adalah ekonomi Pancasila. Saat ini sudah beralih ke kapitalisme,\" kata LaNyalla. Oleh karenanya, LaNyalla menegaskan jika bangsa ini perlu untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli untuk kemudian disempurnakan dengan adendum secara benar. \"Saya pribadi sudah berkomitmen untuk memimpin pengembalian kedaulatan rakyat. Kita sudah mulai gerakannya dari MA. Nanti akan kita lanjutkan kepada lembaga negara lainnya,\" papar LaNyalla. Saat ini, di bawah sistem ekonomi yang mengedepankan kekuatan modal, bangsa ini mulai mengerdilkan yang lemah. Padahal, konsep dasar perekonomian kita sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa adalah mengedepankan ekonomi Pancasila. \"Kita sekarang sudah dijajah bangsa sendiri. Tugas kita adalah menyejahterakan rakyat. Kalau kita lihat yang berkuasa sekarang itu adalah partai politik. Padahal partai politik tak berjuang memerdekakan bangsa ini. Mereka yang punya saham bangsa ini adalah civil society seperti tokoh-tokoh pejuang, ulama, aktivis, agamawan, pemuda, tokoh-tokoh daerah, kerajaan, dan elemen lainnya,\" tutur alumnus Universitas Brawijaya Malang itu. Oleh karenanya, dalam waktu dekat, LaNyalla akan membantu TKBM dengan memfasilitasi pertemuan dengan Kementerian terkait. \"Setelah masa reses dan masa sidang, segera kami akan panggil kementerian terkait untuk dipertemukan dengan TKBM membahas hal ini. Saya berharap persoalan ini dapat segera dituntaskan, di mana koperasi dapat tetap hidup di tengah-tengah masyarakat dan menjadi nafas perekonomian rakyat,\" kata LaNyalla. (mth/*)
Biden Berharap Bicara dengan Xi Jinping Beberapa Hari Mendatang
Pangkalan Andrews, FNN - Presiden AS Joe Biden berencana berbicara dengan timpalannya dari China, Xi Jinping, dalam beberapa hari mendatang pada saat ketegangan yang memanas antara kedua negara.\"Saya pikir saya akan berbicara dengan Presiden Xi dalam sepuluh hari ke depan,\" kata Biden kepada wartawan saat dia kembali dari perjalanan terkait iklim ke Massachusetts.Panggilan yang telah lama direncanakan antara kedua pemimpin itu akan datang pada saat yang genting mengingat ketegangan yang sedang berlangsung atas status Taiwan.Ketegangan itu juga dipicu oleh pemerintahan Biden menaikkan pajak atau bea barang-barang yang diimpor dari China untuk membantu mengurangi tekanan inflasi pada konsumen Amerika.Biden menyatakan keraguannya soal rencana perjalanan yang konon akan dilakukan oleh Ketua DPR Nancy Pelosi untuk mengunjungi Taiwan bulan depan.Biden mengatakan, \"Saya pikir militer menganggap itu bukan ide yang baik sekarang, tetapi saya tidak tahu apa status perjalanan itu.\" (mth/Antara)