ALL CATEGORY

Delapan Bupati Sepakati Ibu Kota Provinsi Papua Tengah

Jayapura, FNN - Anggota DPR RI Komarudin Watubun meminta delapan bupati yang nantinya masuk dalam Provinsi Papua Tengah agar duduk bersama dan menyepakati daerah yang akan menjadi ibu kota provinsi.  \"Silakan duduk dan sepakati bersama di mana ibu kota provinsi dan jangan sembunyi dibalik rakyat karena sebagai pemimpin, maka para bupati harus tegas dan tidak mementingkan ego pribadi,\" katanya, di Papua, Selasa..  Ia meminta para bupati jangan selalu bersembunyi dibalik masyarakat karena para bupati telah dipilih menjadi wakil mereka di pemerintahan. Anggota DPR RI Daerah Pemilihan Papua itu mengaku dari delapan daerah yang masuk di Provinsi Papua Tengah, dua di antaranya ingin ibu kota di Timika, yaitu Kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak, sedangkan kabupaten yang meminta Ibu Kota Provinsi Papua Tengah di Nabire,  yaitu Kabupaten Intan Jaya, Nabire, Deiyai, Dogiyai, Puncak Jaya, dan Kabupaten Paniai. \"Silakan duduk dan putuskan karena Komisi II DPR RI akan mendukung apa keputusan tersebut, \" kata Komarudin. Selain masalah Ibu Kota Provinsi Papua Tengah, kata dia, pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Papua diwarnai dengan penolakan Kabupaten Pegunungan Bintang masuk ke Provinsi Pegunungan Tengah Papua. \"Memang benar, Kabupaten Pegunungan Bintang menolak bergabung dengan Provinsi Pegunungan Tengah Papua dan tetap berada di provinsi induk, yakni Papua,\" katanya. Alasan yang diungkapkan Pegunungan Bintang, papar dia, karena lebih dekat ke wilayah Papua dibanding ke Pegunungan Tengah. Padahal, tambahnya, salah satu tujuan pemekaran adalah memperpendek rentang kendali dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah. Bupati Intan Jaya Natalis Tabuni menyatakan dukungannya bila Ibu Kota Provinsi Papua Tengah di Nabire dengan beberapa alasan. Selain merupakan kabupaten induk, ujar Tabuni, Nabire lebih dekat dibanding ke Timika dan sudah ada Jalan Trans Papua poros jalan Nabire-Enarotali (Kabupaten.Paniai) yang melintasi Kabupaten Dogiyai dan Deiyai.(Ida/ANTARA)  

Mengapa Aktif Perjuangkan Kedaulatan Rakyat, LaNyalla: Karena Kewajiban Sumpah Jabatan

Palembang, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan perjuangannya mengembalikan kedaulatan rakyat dilakukan setelah ia bertransformasi menjadi pejabat negara. Hal itu disampaikan LaNyalla menjawab pertanyaan publik berkaitan dengan sikap dan konsistensinya memperjuangkan kedaulatan rakyat yang disampaikan langsung kepadanya, baik melalui Whatsapp, maupun platform media sosial lain. Pertanyaan itu berkaitan dengan sikap dan konsistensinya memperjuangkan kedaulatan rakyat. Rata-rata mereka juga mempertanyakan mengapa baru belakangan ini Senator asal Jawa Timur itu bersikap kritis ketika mengupas persoalan yang dihadapi bangsa ini. \"Ada banyak pertanyaan dari beberapa kalangan, mengapa akhir-akhir ini saya kritis dengan narasi-narasi fundamental tentang negara. Dulu kemana saja? Begitu inti dari banyak pertanyaan jika saya simpulkan,” tutur LaNyalla saat menyampaikan keynote speech pada diskusi publik Simpul Jaringan Umat Institute (Sijarum Institute) Sumatera Selatan, Selasa (28/6/2022). Karena menurutnya, ia kerap dipandang sebagai preman atau stigma negatif lainnya, termasuk koruptor. Meskipun dirinya tidak pernah divonis sebagai terpidana kasus korupsi. Sehingga wajar muncul pertanyaan seperti itu. Padahal, menurutnya, kalau pun dirinya preman, adalah preman yang berpikir, dan preman yang bertransformasi menjadi pejabat negara dengan kewajiban sumpahnya. “Pertanyaan itu wajar bagi mereka yang tidak mengikuti perjalanan saya sejak dilantik menjadi Ketua DPD RI pada 2 Oktober 2019, dini hari, silam. Karena sejak saat itu, saya paham betul bahwa saya telah melakukan transformasi posisi dari sebelumnya aktivis organisasi menjadi pejabat negara. Sehingga saya wajib berbicara tentang negara,” papar LaNyalla. Karena sejak dilantik, dirinya memutuskan untuk keliling Indonesia, karena dirinya Ketua Lembaga Negara yang mewakili daerah. Dengan tujuan untuk melihat dan mendengar secara langsung aspirasi dari daerah. “Saya ingin lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah. Apalagi lembaga ini dibiayai dari APBN, meskipun jauh lebih kecil dibanding anggaran DPR RI,” jelas LaNyalla. Dari perjalanan itu, LaNyalla menemukan dua persoalan yang hampir sama, yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan. LaNyalla menyimpulkan jika dua persoalan itu merupakan persoalan fundamental bangsa ini yang tak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif. Ibarat di dunia medis, LaNyalla mengatakan persoalan tersebut hanya symptom dari sebuah penyakit dalam. Oleh karenanya, untuk mengurainya harus di hulu, bukan di hilir. Ini semua tentang arah kebijakan negara yang dipandu melalui konstitusi dan ratusan undang-undang yang ada. \"Saya sering mengatakan bahwa ini bukan soal pemerintah hari ini saja atau Presiden hari ini saja, tetapi persoalan kita sebagai bangsa,\" tegas LaNyalla. Oleh karena itu, saat DPD RI menjadi penyelenggara Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus 2021 lalu, LaNyalla mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang yang dihadiri semua lembaga negara saat itu, termasuk Presiden dan Wakil Presiden. “Sejak saat itu, saya terus menerus meresonansikan, bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa, karena negara ini semakin hari semakin sekuler, liberal dan kapitalis,” beber LaNyalla. Sebab itu, LaNyalla kerap menyatakan kepada semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan, bukan politisi. \"Negarawan tidak berpikir next election, tapi berpikir next generation,\" imbuhnya. LaNyalla pun menyampaikan terima kasih kepada Simpul Jaringan Umat Institute, untuk terus menggelorakan semangat merebut kembali kedaulatan rakyat dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini. Dengan begitu, rakyat tidak hanya menjadi penonton kesibukan para ketua umum partai politik yang saling berkunjung dan menggelar rapat-rapat tertutup untuk menentukan suksesi kepemimpinan nasional negara ini. \"Karena pada hakikatnya, demokrasi harus menjadi alat rakyat untuk mencapai tujuan. Karenanya tidak boleh terjadi, rakyat justru menjadi alat demokrasi. Rakyat adalah pemilik sah negara ini. Maka, sudah semestinya kedaulatan ada di tangan rakyat,\" tegas LaNyalla. LaNyalla rela menghabiskan waktunya, semata-mata agar rakyat berdaulat. Tak terbersit sama sekali hal itu dilakukannya agar ia bisa menduduki posisi Presiden RI kelak. \"Saya tegaskan, ini bukan karena keinginan saya menjadi Presiden. Saya tidak akan pernah meminta jabatan. Bagi saya, jabatan bukan urusan saya, tetapi menjadi urusan dan takdir dari Allah SWT. Dan saya sudah sampaikan di Bandung kemarin, jika saya ditakdirkan Allah SWT memimpin bangsa ini, maka pekerjaan besar yang saya lakukan adalah mengembalikan Kedaulatan rakyat kepada pemilik negara ini, yaitu rakyat Indonesia asli,” demikian LaNyalla. Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifuddin. Hadir pula Ketua Simpul Jaringan Umat Institute (Sijarum Institute), Khalifah Alam dan sejumlah akademisi, tokoh dan aktivis lintas elemen dan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Palembang. Sedangkan narasumber yang dihadirkan adalah Pengamat Politik Rocky Gerung, Guru Besar Sosiologi UIN RF Palembang Prof Abdullah Idi, Ketua Gerakan Reformasi Politik Indonesia Andrianto, Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan, Direktur Pusat Kajian Potensi dan Pembangunan Daerah Solehun. (mth/*)

DPR Mendorong Ganja untuk Medis Dibahas Dalam Revisi UU Narkotika

Jakarta, FNN - Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mendorong penggunaan ganja untuk medis dibahas dalam revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang sedang dibahas Komisi III DPR RI.\"Kami akan mengambil langkah-langkah untuk mendorong Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR yang kebetulan sedang membahas revisi UU Narkotika,\" kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.Hal itu dikatakan Dasco usai menerima audiensi seorang ibu bernama Santi Warastuti yang berjuang untuk melegalkan ganja bagi medis untuk pengobatan anaknya Pika yang menderita celebral palsy.Dasco menjelaskan RDP tersebut akan dilaksanakan secepatnya yaitu pada pekan ini atau paling lambat sebelum masa reses DPR yang dimulai pada pekan depan.\"Kalau sempat RDP pada pekan ini, namun kalau tidak maka sebelum reses dilaksanakannya,\" ujarnya. (Ida/ANTARA)

Ketua DPD RI: Yang Menolak Perjuangkan Kedaulatan Rakyat adalah Pengkhianat

Palembang, FNN - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan komitmennya untuk berjuang mengembalikan kedaulatan rakyat. Menurut LaNyalla, seluruh elemen bangsa sudah seharusnya mendukung perjuangan tersebut. \"Mereka yang tidak setuju atau menolak perjuangan mengembalikan kedaulatan rakyat adalah pengkhianat rakyat,\" tegas LaNyalla, saat diskusi publik Simpul Jaringan Umat Institute (Sijarum Institute) Sumatera Selatan, Selasa (28/6/2022). LaNyalla menjelaskan, perjuangan mengembalikan kedaulatan rakyat dalam terminologi Islam bersifat fardu ain, bukan fardu kifayah. Dan kedaulatan rakyat harus dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Senator asal Jawa Timur itu mengungkap, kedaulatan rakyat semakin hilang dan terkikis karena ada persoalan serius di dalam konstitusi kita. Karena kita telah meninggalkan sistem demokrasi perwakilan sebagaimana didesain para pendiri bangsa. “Kita telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag negara ini. Puncaknya terjadi saat kita melakukan amandemen konstitusi secara ugal-ugalan pada tahun 1999 hingga 2002,\" tutur LaNyalla, pada diskusi Poros Perubahan yang bertema \'Oligarki, Demokrasi dan Konstitusi\' itu. Menurut LaNyalla, sejak saat itu bangsa tercerabut dari akar sejarahnya. Falsafah Pancasila dalam sistem demokrasi Indonesia diganti dengan demokrasi ala Barat. Begitu pula dengan peraturan perundangan-undangan, sejak amandemen tersebut banyak melahirkan peraturan perundangan yang menyumbang ketidakadilan dan kemiskinan struktural. Hal itu pula yang ditemukan LaNyalla selama berkeliling ke 34 provinsi dan lebih dari 300 kabupaten/kota. \"Hal itu terjadi karena kita telah meninggalkan mazhab ekonomi pemerataan. Kita juga telah meninggalkan demokrasi Pancasila yang dicirikan dengan prinsip keterwakilan semua elemen bangsa sebagai pemilik kedaulatan negara ini,\" tutur LaNyalla. Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu mengatakan, sejak amandemen konstitusi, tak ada lagi ruang partisipasi elemen non-partisan untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini. Perjalanan bangsa diserahkan ke partai politik sebagai penentu tunggal. \"Negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya oligarki ekonomi dengan oligarki politik. Mereka menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka,\" papar LaNyalla. Itulah pentingnya kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini, bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali, karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Untuk mengurai persoalan itu, LaNyalla menegaskan harus dibenahi dari hulu, bukan hilir. Oleh karenanya, untuk memperbaiki Indonesia harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. \"Kita harus kembalikan demokrasi yang selama ini dibajak kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, yang bermoral dan yang berbudi pekerti luhur,\" tegas LaNyalla. Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin. Hadir pula Ketua Simpul Jaringan Umat Institute (Sijarum Institute), Khalifah Alam dan sejumlah akademisi, tokoh dan aktivis lintas elemen dan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Palembang. Sedangkan narasumber yang dihadirkan adalah Pengamat Politik Rocky Gerung, Guru Besar Sosiologi UIN RF Palembang Prof Abdullah Idi, Ketua Gerakan Reformasi Politik Indonesia Andrianto, Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan, Direktur Pusat Kajian Potensi dan Pembangunan Daerah Solehun. (mth/*)

Hakim Ketua Sidang Edy Mulyadi Meragukan Keterangan Saksi

Jakarta, FNN -  Mei  Chidayanto hadir sebagai saksi keenam yang diajukan jaksa penuntut umum di lanjutan sidang \'Jin Buang Anak\' di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Selasa,28/6). Saksi merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjabat sebagai Inspektur Tambang Ahli Muda di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan sudah bertugas di Kalimantan Timur sejak tahun 2016 hingga saat ini. Di awal persidangan, Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar membuka pertanyaan dengan bertanya terkait tugas pokok dan fungsi (tupoksi) saksi sebagai inspektur tambang. “Apakah saudara mengetahui apa saja tupoksi sebagai inspektur tambang?” tanya hakim. “Iya saya mengetahuinya.” jawab saksi yang lupa tanggal berapa ia di BAP penyidik di kantornya. Sayangnya meski mengaku paham tupoksi sebagai inspektur tambang, pernyataan saksi banyak tidak dimengerti oleh majelis hakim dan membuat bingung. Seperti bahwa saksi mengaku tidak pernah meninjau langsung lokasi berdirinya Ibu Kota Negara (IKN) apakah ada lobang galian bekas tambang atau tidak, padahal itu adalah wilayah kerjanya. “Saya tidak pernah melakukan perjalanan dinas untuk meninjau lokasi Ibu Kota Negara (IKN), tetapi saya melihat lobang galian tambang menggunakan citra satelit.” ungkap saksi. Dalam pertanyaan-pertanyaan berikutnya saksi juga memberikan jawaban-jawaban yang membingungkan hingga hakim memperingatinya. “Saya meragukan keterangan saudara sebagai inspektur tambang karena saksi hanya mengetahui berdasarkan citra satelit.” tegas hakim. Menanggapi hal tersebut, hakim menasehati saksi untuk mempelajari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari jabatannya. “Ini oleh-oleh dari Jakarta ya pak, saudara diamanahi oleh pemilik negara ini yaitu rakyat, saudara ini mulia tugasnya menjaga lingkungan dengan tupoksi-tupoksi yang jelas. Jaga amanah itu pak, jaga Kalimantan Timur itu pak, turun ke lapangan, laksanain tugas dengan baik,\" tegas Hakim Adeng. (Lia)

Dukung Anies Tutup Holywings

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  BLUNDER iklan Holywings berakibat fatal. Reaksi keras umat Islam atas promosi minuman keras dengan melabel atau menggratiskan orang yang bernama \"Muhammad dan Maria\" telah menyeret 6 karyawan Holywings ke proses hukum. Polres Jakarta Selatan cepat menetapkan keenamnya sebagai tersangka. Titel tuduhannya adalah ujaran kebencian, menimbulkan keonaran dan penistaan agama. Desakan agar ada tindakan lebih jauh atas promosi outlet di bawah PT Aneka Bintang Gading milik Eka Wijaya dan Ivan Tanjaya dengan tiga produk Holywings Club, Holywings Restaurant, dan Holywings Bar yang tersebar di berbagai tempat di Jakarta, Bekasi, Bandung, Surabaya, Medan hingga Makasar ini berbuah hasil. Gubernur DKI Anies Baswedan memelopori penutupan seluruh outlet di Jakarta.  Berdasarkan atas rekomendasi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (DPPKUKM) maka Gubernur DKI Anies Baswedan mencabut izin usaha 12 outlet Holywings di Jakarta. Alasan hukumnya adalah di samping tidak memiliki Sertifikat Standar KLBI 56301Jenis Usaha Bar terverifikasi, juga melanggar penjualan minuman beralkohol yang hanya bisa dibawa pulang. Tidak diminum di tempat.  Pencabutan izin usaha atau penutupan outlet Holywings di Jakarta patut didukung karena Gubernur DKI mengambil langkah cepat dan tanggap merespon keluhan masyarakat terhadap perilaku pengusaha Holywings yang telah membuat keonaran akibat penistaan agama. Diharapkan muncul sikap serupa di berbagai daerah yang lain. Model Holywings tak layak hidup.  Nikita Mirzani yang katanya salah satu pemegang saham, mengkritisi pencabutan izin oleh Anies sebagai menutup hak hidup ribuan pekerja Holywings.  Mirzani lupa bahwa hal itu di samping konsekuensi dari usaha jorok juga sebenarnya banyak hak hidup pekerja pribumi yang jumlahnya ribuan atau ratusan ribu pun telah diambil oleh TKA asal China. Dan Nikita diam saja.  Bagi muslim yang memiliki kesadaran keagamaan yang baik tentu tidak akan bekerja di restoran atau bar yang membuka peluang untuk perilaku mabuk-mabukan. Minuman keras beralkohol adalah barang haram.  Dukungan kepada Anies itu penting, sekurangnya untuk tiga hal  : Pertama, agar perlawanan terhadap kebijakan konsisten Gubernur DKI tidak menciptakan kegaduhan atau kekacauan. Sikap melawan hukum harus diredam dengan ketegasan dan sanksi yang memberi efek jera.  Kedua, dukungan adalah kristalisasi dari rasa keadilan yang dirasakan masyarakat khususnya umat Islam. Adalah zalim siapapun termasuk pemerintah yang membiarkan penistaan agama itu marak atau masif.  Ketiga, dengan dukungan nyata dari masyarakat maka Anies Baswedan akan semakin kuat untuk menjalankan amanat sebagaimana sumpah jabatannya. Menerobos kultur dusta dan khianat yang merajalela di kalangan para pejabat kita.  Jangan beri kesempatan kelompok anti agama atau nir-moral untuk terus menerus mengganggu dan menciptakan instabilitas melalui keberanian untuk menyentuh aspek-aspek peka keagamaan. Musuh agama adalah musuh negara. Musuh ideologi bangsa.  Setelah penutupan Holywings di Jakarta, maka tutup semua outlet Holywings di seluruh Indonesia.  Sayap suci palsu itu telah menodai kesucian ibu pertiwi.  Bandung, 28 Juni 2022

Haji Giring Berulah Lagi: Serang Anies Dengan Isu Agama

Jakarta, FNN - Sesudah agak lama tak terdengar aksi kontroversialnya, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia PSI Haji Giring Ganesha Djumaryo kembali berulah. Apalagi kalau bukan aksinya menyerang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Jadi, wajarlah kalau PSI belakangan ini dapat julukan sebagai Partai Seputar Ibukota. Sebab, “Jika melihat aktivitas para petingginya mulai mantan Ketum yang kini jadi Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie sampai Giring Ganesha selalu saja mencari celah untuk mendiskreditkan Anies Baswedan,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Senin (27/6/2022). “Khusus soal Haji Giring Ganesha Djumaryo ini tidak ada kapok-kapoknya walaupun sudah dapat dipastikan buliannya terhadap Anies itu akan jadi bumerang, dia bakal balik dibuli oleh netizen,” lanjutnya. Hersu, panggilan akrab Hersubeno Arief, menyebut, kali ini menjadi bahan serangan Haji Giring adalah isu lama Pilkada DKI 2017 yang menurut dia ini adalah bukti nyata bahwa Anies Baswedan itu adalah figur yang intoleran dan figur politisi yang menggunakan strategi politik identitas dan politisasi agama melalui akun twitter-nya, Sabtu sore, 25 Juni 2022. Giring mencuit, “Nama jalan almarhum nenek Hindun ini lebih tepat untuk diperjuangkan menjadi nama jalan baru di Jakarta untuk mengingatkan kita ada seorang warga yang menjadi korban jahatnya politik identitas politik agama.” Cuitan itu disertai dengan sebuah foto dengan tulisan Jalan Nenek Hindun. Dalam cuitan lainnya Giring menulis begini: “Masih ingat pidato saya akhir tahun 2021? PSI ingin menarik garis tegas, tidak ada tidak berkompromi dengan orang yang menghalalkan segala cara, termasuk dengan memperalat agama main mata, bergandeng tangan dengan kelompok intoleran, menggunakan ayat untuk menjatuhkan lawan”. Cuitan itu disertai dengan link berita “Pernah memanfaatkan politik identitas Anies Baswedan diprediksi susah nyapres”. Jadi, “Clear bahwa kedua cuitan dari Haji Giring Ganesha Djumaryo ini untuk menyerang Anies Baswedan dengan isu tunggal, yakni sebagai seorang politisi ia memanfaatkan dan sekaligus memanfaatkan politisasi agama.” Ada apa sebenarnya di tengah kemeriahan Ulang Tahun Kota Jakarta yang ke-495 ini Haji Giring tiba-tiba mengungkit-ungkit kasus lama, sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa sebagai partai pendukung PSI itu sampai sekarang belum move on karena figur yang didukungnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kalah pada Pilkada DKI 2017 lalu. “Rupanya ini dia dapat momentum menyerang ini dengan ada kaitanya dengan keputusan Anies mengubah nama beberapa ruas jalan di Jakarta dan diberi nama baru, yakni dengan nama sejumlah tokoh Betawi,” kata Hersu.   Ada 22 ruas jalan yang diubah namanya oleh Gubernur Anies yang tersebar di berbagai wilayah Jakarta, seperti Jakarta pusat, Jakarta Selatan, Timur, Utara termasuk juga di Kepulauan Seribu. Nama-nama yang dicantumkan itu terdiri dari nama budayawan, tokoh agama, wartawan senior, pahlawan Betawi, dan bahkan, ada juga nama komedian terkenal di Betawi yang disematkan di nama jalan baru itu. Sebut semisal, nama komedian Mpok Nori dan Haji Bokir anak-anak sekarang mungkin banyak gak kenal. Ada juga nama Ustadzah terkenal Tuti Awaliah, wartawan dan politisi Mahfud Junaedi dan banyak nama-nama besar lainnya. “Kalau melihat lokasinya memang cukup menyebar tapi saya cermati tidak ada yang berlokasi di kawasan Karet Setiabudi, Jakarta Selatan, tempat di mana almarhumah nenek Hindun dulu tinggal. Jadi, siapa sih sebenarnya nenek Hindun ini dan apa maksudnya Haji Giring kembali mengungkit kasus ini?” tanya Hersu.   Nenek Hindun ini adalah seorang janda yang tinggal di tempat tak jauh dari mushola Al Mukminun di kawasan Karet Setiabudi, Jakarta Selatan. Di tengah-tengah memanasnya Pilkada DKI 2017 saat itu yang diwarnai isu penistaan agama oleh Ahok itu di mushola Al Mukminun tidak jauh lokasinya dari rumah nebek Hindun dipasang sebuah spanduk dengan tulisan “mushola ini tidak menshalatkan pendukung dan pembela penista Agama”. “Ini jelas yang dimaksud itu adalah Ahok karena kita tahu gara-gara Ahok itu dianggap menistakan Agama di Pulau Seribu dan kemudian muncullah aksi yang saya kira dari sisi pengerahan massa belum pernah terjadi di sepanjang era politik pasca Orde Lama bahwa ada jutaan orang berkumpul di Jakarta di Monas karena memprotes sikap dari Ahok atau pernyataan Ahok ini,” ungkap Hersu. Hersu mengakatan, di tengah ketegangan politik di Jakarta menjelang putaran kedua ketika pasangan Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat harus berhadapan dengan pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno inilah nenek Hindun meninggal dunia. “Isunya sangat-sangat sensitif dan menjadi santapan media, apalagi buzzer. Jangan tanya lagi ya, karena muncul sebuah info kabar burung bahwa nenek Hindun itu ditolak disalatkan di musala karena dia adalah pendukung Ahok dan Jarot,” katanya. Bagaimana fakta sesungguhnya, ada dua versi soal ditelantarkannya jenazah nenek Hindun ini. Semuanya ternyata bertolak belakang. Tapi nanti Anda bisa menyimpulkan sendiri ya. Versi keluarga seperti yang disampaikan oleh putrinya nenek Hindun, Neneng, itu pada waktu putaran pertama pencoblosan ini karena nenek Hindun sakit dan tidak bisa datang ke TPS maka ada 4 orang petugas KPPS yang datang ke rumahnya. Kemudian mereka itu menyodorkan kertas suara dan meminta nenek Hindun mencoblos. Nah, ini kelihatannya terjadi penyimpangan atau penyalahan atau kesalahan prosedur karena nenek Hindun diminta mencoblos bukan di tempat yang tertutup seperti kalau kita datang ke TPS tapi nenek Hindun mencoblos kertas yang disodorkan oleh petugas KPPS. “Nenek Hindun yang saat itu sedang sakit rupanya dia mencoblos pasangan Ahok-Djarot dan itu dilakukan di depan para petugas KPPS,” ungkap Hersu. Sejak itu tersebar berita dari mulut ke mulut bahwa nenek Hindun adalah pendukung penista agama. Ini stempel yang sangat berat karena kawasan tempat tinggal nenek Hindun itu dikenal sebagai penentang Ahok. “Saya tidak bisa mendefinisikan apalagi apakah ini dia basis nya Anies-Sandi atau bukan karena sebelumnya ada tiga pasang Agus Harimurti dan Sylviana Murni yang kemudian tersingkir tapi kalau nanti kita lihat-lihat baca-baca ke belakang ternyata memang ini adalah basis dari pendukung Anies-Sandi,” ujar Hersu. Tapi, yang menjadi pertanyaan apakah benar nenek Hindun ini pendukung Ahok-Djarot? Menurut putri nenek Hindun yakni Neneng ini gak juga. Sebagai orang yang sudah tua dan sakit-sakitan nenek Hindun itu kelihatannya asal coblos saja, dia gak begitu tahu siapa calon-calon yang harus didukungnya. Bagaimana soal penolakan menyolatkan ini? Ini versi Neneng, mereka memang menginginkan jenazah nenek Hindun ini disalatkan di mushola Al Mukminun, namun pada waktu itu ditolak oleh pengurus dengan alasan tidak ada warga yang menyolatkan dan tidak ada yang menggotong jenazah ke mushola dari rumahnya. Itu karena banyak warga yang belum pulang dari kerja, di kawasan ini ada yang kerja kantoran tapi banyak juga yang pedagang. Karena nenek Hindun meninggalnya sekitar pukul 13.00-an itu ya banyak yang belum pulang kerja. Menurut Neneng, alasan tidak ada menyolatkan ini tidak masuk akal, karena ada keluarga yang kebetulan semuanya perempuan. Apalagi, nenek ini juga seorang janda dan dia katanya punya tiga atau empat orang anak perempuan juga dan semuanya juga janda, jadi tidak ada laki-lakinya. Namun pada waktu itu katanya ada empat orang laki-laki warga lainnya yang akan ikut menyolatkan. Pengurus mushola Ustadz Ahmad Safi\'i itu kemudian mendatangi rumah nenek Hindun. Ia memandikan, mengkafani dan kemudian menyolatkan. Selain karena pertimbangan tidak ada yang menyolatkan dan menggotong jenazah, pertimbangan lain mengapa kemudian disholatkan di rumah itu karena menurut Ustadz Ahmad Safei, petugas pemakaman sudah meminta agar jenazah segera diberangkatkan untuk dimakamkan. Karena waktu itu sudah sore, bahkan menjelang malam, sekitar pukul 18.30. Jadi kelihatannya para petugas juga ingin segera mengakhiri siftnya pada hari itu dan ingin segera pulang. “Soal inilah kemudian digoreng habis sebagai bukti bahwa para pendukung Anies dan tentu saja karena pendukungnya begitu, Anies sendiri juga adalah kelompok intoleran. Itulah kesimpulannya. Ahok sempat datang ke rumah nenek Hindun dan juga menyampaikan bela sungkawa,” ucap Hersu. Pertanyaannya apakah benar bahwa jenazah nenek Hindun ini ditelantarkan, tidak disalatkan di mushola karena dia pendukung Ahok? Ternyata kalau kita baca-baca nggak sepenuhnya benar. Sebab yang memandikan dan mengkafani serta menyolatkan nenek Hindun ternyata kader PKS. Sementara ambulans yang digunakan untuk membawa jenazah nenek Hindun itu milik Gerindra yang di-branding jadi Anies-Sandi. Jadi clear ini dua-duanya yang menyolatkan dan mengurusi jenazahnya sampai ke pemakaman adalah pendukung dari Anies dan Sandi. Bahkan, sebelum menggunakan ambulans dari tim Anies-Sandi ini, keluarga nenek Hindun katanya mencoba menghubungi ambulans milik Partai Golkar dan PDIP tapi tidak tersedia. Fakta bahwa yang mengurus jenazah mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan mengantarkan ke pemakaman ini lengkap. Tampaknya ini tetap diabaikan oleh para buzer oleh media yang menggorengnya. “Dan oleh PSI sekarang ini ternyata tetap saja itu dipelihara dan kemudian dilekatkan sebagai stempel bahwa Anies itu intoleran karena pendukungnya pernah menolak untuk menyolatkan jenazah seorang pendukung Ahok,” ujar Hersu. Dus, dengan kembali mengungkit kasus nenek Hindun ini Haji Giring lantas  mengusulkan nama nenek Hindun ini menjadi nama jalan. Dan tampaknya dia berusaha menjadikan momentum nenek Hindun ini sebagai Monumen adanya sikap intoleran pada Anies dan para pendukungnya. “Namun seperti sudah diduga cuitan Giring ini kembali menuai bulian. Kalau Anda ikuti di medsos Twitter itu banyak sekali yang membuli Giring Ganesha,” lanjutnya. Haji Giring ini kelihatannya gak kapok-kapok dia menjual dagangannya yang sesungguhnya tidak laku. Yakni soal intoleransi, alih-alih men-downgrade Anies Baswedan dan atau kemudian dampaknya menaikkan elektabilitasnya sendiri. Menurut Hersu, ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Popularitas Anies malah kian moncer. Sebaliknya citra Haji Giring dan tentu saja PSI itu makin jeblok. Ini dia dianggap politisi yang tidak punya narasi. Politisi ecek-ecek itu yang mengeksploitasi kebencian terhadap satu kelompok lain atau kebencian terhadap tokoh lain. “Ini bukan karena yang membela atau yang membuli Giring ini kalau saya amati tidak semuanya itu adalah pendukung Anies. Tapi itu karena memang banyak juga yang tidak sepakat dengan cara-cara Haji Giring berpolitik yang mempolitisasi isu-isu agama dan politisasi kebencian semacam ini,” lanjutnya. Berbagai aksi Haji Giring ini sesungguhnya memang lebih banyak merugikan PSI sendiri. Kalau soal pribadi dia sih ya sudahlah itu jadi tanggungjawab dan risikonya. Ketua PSI DKI Michael Sianipar sudah sering menyampaikan keberatannya dengan aksi Haji Giring, bahkan dia juga pernah menyatakan secara terbuka berkali-kali bahwa dia sempat mengkritik Giring dan itu terkesan tendensius kepribadi Anies Baswedan. Sebagai Ketua DPW DKI Michael pasti sangat sadar dampak aksi-aksi Giring menyerang personal Anies yang ini akan merugikan PSI secara keseluruhan. Bagaimanapun Jakarta ini adalah barometer nasional dan pemilih PSI terbesar juga di Jakarta. Jadi secara nasional maupun secara khususnya untuk PSI DKI aksi-aksi ini akan merugikan partai secara keseluruhan apalagi yang melakukan adalah seorang ketua umum partai lagi. (mth/sws)

Rakyat Menuntut MK (2): Batalkan UU IKN No.3/2022, Tunjukkan MK Bebas Moral Hazard

Oleh Marwan Batubara, PNKN Pada tulisan pertama PNKN telah menguraikan berbagai alasan objektif, logis, dan faktual mengapa UU IKN No.3/2022 harus dibatalkan. Proses pembentukan tidak sesuai konstitusi dan kaidah hukum berlaku. Karena itu, PNKN telah meminta MK memutus Permohonan Uji Formil UU IKN yang diajukan PNKN, terregistrasi sebagai Perkara No.25/PUU-XX/2022 sesuai tuntutan, yakni membatalkan UU IKN. PNKN telah mengingatkan MK untuk bersikap adil, independen, konsisten, objektif, transparan, demokratis, serta taat hukum dan konstutusi. Jika prinsip-prinsip bernegara ini dijadikan pedoman, maka PNKN sangat yakin bahwa MK *otomatis* akan membatalkan UU IKN, karena proses pembentukannya inskonstitusional.  Jika akhirnya putusannya justru meloloskan UU IKN, maka PNKN yakin ada masalah besar dengan MK dan Para Yang Mulia Hakim-Hakim MK. Tulisan ini sedikit mengungkap sebagian isu yang diduga terjadi seputar hakim-hakim tersebut. Tapi tulisan ini sekaligus ingin mengingatkan Para Yang Mulia untuk memutus Perkara No.25 sebagaimana seharusnya. Pada tanggal 20 Juni 2022, MK telah menolak Permohonan Uji Formil & Materil UU MK No.7/2022. Putusan MK atas uji formil dan materil UU MK tersebut merujuk pada Putusan Perkara-perkara No.90, 96, 100/PUU-XVII/2020 dan No.56/PUU-XX/2022. Dari putusan tersebut, minimal publik perlu paham dan mendapat sedikit gambaran tentang siapa, serta bagaimana sepak terjang dan “profil” Para Yang Mulia Hakim MK. Dalam perkara *Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020*, Para Yang Mulia telah menyatakan menolak tuntutan para pemohon. Prinsipnya, Para Yang Mulia menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku, dengan berbagai alasan dan argumentasi tidak relevan. Padahal proses pembentukan UU MK berlangsung melawan konstitusi dan kaidah hukum yang berlaku. Pembentukan UU MK tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan tidak pula didukung naskah akademik yang seharusnya dipersiapkan sesuai perintah UU No.12/2011.  Revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over dan azas pembentukan peraturan yang baik. Bahkan, diduga terjadi penyelundupan hukum, memasukkan norma yang sebelumnya tidak dibahas dalam RUU, dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Penyeludupan norma hukum  ini diduga terjadi karena didorong kepentingan pragmatis para penguasa oligarkis. Proses pembentukan UU MK berlangsung tertutup, tergesa-gesa, dan memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang mengalami pandemi Covid-19, para pemegang kekuasaan seolah bertindak seperti mengail di air keruh. Pembentuk UU telah merampas hak-hak konstitusional rakyat, mengabaikan koridor formil, melanggar konstitusi dan merampas hak partisipasi publik. Tampaknya pembentuk UU telah bertindak otoriter dan prilaku sarat moral hazard. Dalam perkara Permohohonan Uji Materil UU MK No.7/2020, norma-norma yang digugat antara lain termaktub dalam  Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22 jo Pasal 23 ayat (1) huruf d jo Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf a dan b.  Khusus Pasal 87 huruf a yang digugat adalah norma tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, sedang *Pasal 87 huruf b yang digugat adalah norma batas usia hakim*, akhir masa jabatan hakim MK sampai usia 70 tahun atau paling lama menjabat 15 tahun. Terkait Pasal 87 huruf a, mayoritas hakim MK mengabulkan permohonan uji material UU MK, bahwa ketua dan wakil ketua MK tidak bisa otomatis melanjutkan masa jabatan hingga lima tahun. Dengan putusan MK ini, maka ketua dan wakil ketua MK harus dipilih kembali paling lama 9 bulan sejak putusan dibacakan. Sebelum berubah menjadi lima tahun (dalam UU No.7/20202), masa jabatan ketua/wakil Ketua MK dalam UU No.24/2003 adalah 2,5 tahun. Kita tidak yakin akhirnya akan terjadi perubahan pimpinan MK, jika kepentingan sempit berpran lebih dominan. Terkait Pasal 87 huruf b, semua hakim MK, kecuali hakim Wahiduddin Adam, telah menolak gugatan para pemohon. Artinya, meskipun bermasalah, mayoritas Yang Mulia Hakim MK tersebut setuju dan jusru mendukung norma atau “fasilitas” menguntungkan yang diatur dalam UU MK No.7/2020. Mereka akan mendapat kenikmatan, bisa menjabat hingga mencapai usia 70 tahun, atau paling lama menjabat hingga 15 tahun. Padahal mestinya masa jabatan hakim MK adalah lima tahun, sebagaimana berlaku untuk jabatan presiden dan wakil presiden atau anggota DPR. Karena aspek politik dalam lingkup tugas sangat dominan, dan mayoritas hakimnya dipilih lembaga politik (Presiden dan DPR), maka sangat relevan membatasi jabatan hakim MK selama lima tahun dan bisa dipilih satu periode lagi.  Terlepas dari persoalan lingkup tugas MK, pada dasarnya seperti disinggung di atas, masalah “fasilitas” peningkatan batas usia jabatan hakim MK sejak semula memang tidak dibahas atau tercantum dalam naskah akademik UU MK. Norma tersebut, out of the blue, tiba-tiba masuk dalam RUU. Telah terjadi penyeludupan norma hukum yang tampaknya sengaja direkayasa: memberi fasilitas kepada para hakim MK dengan tujuan agar MK terpengaruh, dapat dikendalikan atau berhutang-budi kepada pemberi fasilitas, sehingga berpotensi gagal bersikap independen.  Rakyat bisa saja menilai telah terjadi suap-menyuap atau gratifikasi jabatan atau tindakan menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan. Dengan adanya kenikmatan/gratifikasi yang diperoleh, Para Yang Mulia Hakim MK bisa terpengaruh, sehingga gagal membuat putusan-putusan yang adil, objektif, konstitusional, dan sesuai kepentingan rakyat. Namun pada saat yang sama, putusan tersebut akan menguntungkan para oligarki kekuasaan, karena tampaknya itulah tujuan gratifikasi atau norma peningkatan usia masa jabatan tersebut. Faktanya, meskipun proses pembentukannya cacat konstitusional dan diduga sarat moral hazard dan conflict of interest, secara sadar MK telah menolak Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020 yang. MK menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku. Tampaknya MK sangat menikmati fasilitas yang disediakan para pembentuk UU yang diduga sarat kepentingan oligarki tersebut. Sikap MK yang berwenang mensahkan aturan untuk diri sendiri ini, meskipun sarat conflict of interest, bukan saja menyangkut aspek kenegarwanan, tetapi yang jauh lebih penting adalah menyangkut aspek moralitas.  Apakah “nasib” Permohonan Uji Formil UU IKN No.3/2020 sama seperti Uji Formil UU MK No.7/2020, akhirnya akan ditolak MK? Apakah MK akhirnya akan menerbitkan putusan yang akan menyatakan UU IKN No.3/2020 akan tetap berlaku? Jawabannya kemunginan besar YA! Meski demikian, sebelum putusan diambil, kami dari PNKN ingin mengingatkan Para Yang Mulia Hakim MK untuk menyadari bahwa mayoritas rakyat sudah paham “what is going on”, apa yang terjadi. Para Yang Mulia Hakim MK harus ingat akan Sumpah Jabatan, memihak kepentingan rakyat dan adanya pengadilan sesudah kematian. Tulisan kami dari PNKN ini lebih ditujukan untuk berfungsi sebagai pengingat: friendly reminder.[] Jakarta, 28 Juni 2022.

KAMI Lintas Provinsi Minta DPD RI Memproses dan Mengawal Pemakzulan Presiden Jokowi

Palembang, FNN – Di tengah-tengah acara “Diskusi Publik Simpul Jaringan Umat Institute Sumatera Selatan Koalisi Rakyat Untuk Poros Perubahan”, di Palembang, 28 Juni 2022, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menerima surat dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Listas Provinsi. Kepada DPD RI, KAMI Lintas Provinsi meminta memproses dan mengawal aspirasi untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo.   Meniru KAMI Lintas Provinsi, bahwa telah banyaknya perbuatan melanggar UU oleh Presiden Jokowi, diantaranya menerbitkan UU yang bertentangan dengan UUD 45 diantaranya PERPPU Nomor 1/2020 Kartu Prakerja, Pendirian LPI (Lembaga Pengelola Investasi); UU KPK (melanggar independensi KPK), BI membeli SUN di pasar primer (UU Keuangan Negara dan UU BI), UU IKN (berpotensi melanggar UUD), Penentuan Anggaran Proyek Kereta Cepat (memakai APBN) tanpa prosedur anggaran secara benar serta proyek-proyek tol BUMN yang membengkak tanpa ada audit investigasi. Bahwa Presiden Jokowi berpotensi merugikan Negara dalam jangka panjang. Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Indonesia menjadikan Negara Indonesia dalam jangka panjang berutang ke China tanpa keuntungan. Itu akibat dari kurangnya penumpang dan biaya perawatan yang tinggi. Menurut kajian banyak ekonom Indonesia, proyek kereta cepat ini tidak akan mencapai titik impas hingga 30-40 tahun, sehingga ke depan proyek ini akan menambah lebih banyak utang luar negeri bagi Indonesia. Bahwa, UU pengampunan pajak (tax amnesty) yang diberlakukan dari Juli 2016 hingga Maret 2017 sangat menguntungkan oligarki, menguntungkan pengusaha, dan anggota partai politik. “Pada kenyataannya merupakan Pemutihan uang gelap,” ungkap tokoh Mega-Bintang Mudrick SM Sangidu dari KAMI Jawa Tengah. KAMI Lintas Provinsi juga menyoroti Pemerintahan Jokowi yang melakukan pembiaran Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin terbuka. Dengan kebijakan mengangkat pengusaha menjadi penguasa dan sebaliknya. Sehingga banyak kebijakan berpihak kepada pengusaha, yang bisa merugikan rakyat dan negara (APBN). Contoh Kebijakan penetapan harga tes covid yang sangat mencekik rakyat dan APBN, kebijakan ini secara langsung menjadikan penguasa merangkap pengusaha menjadi pemilik perusahaan tes covid. “Bahwa, UU Cipta Kerja yang kelahirannya sangat tidak partisipatif, sangat berpihak kepada pengusaha. Dengan alasan penciptaan lapangan kerja, pada akhirnya merugikan kaum pekerja,” lanjut Mudrick Sangidu. KAMI Lintas Provinsi menilai, UU ini akan menghambat upaya pemberantasan kemiskinan, dan akan memperlebar kesenjangan sosial. Kaum kaya semakin kaya, kaum miskin tetap miskin. “UU Cipta Kerja yang sudah diputuskan inkonstitusional oleh MK, tapi masih tetap dipertahankan. Secara terang benderang Presiden Jokowi menunjukkan arogansi melawan UUD 45,” tambah Daniel M Rasyid dari KAMI Jawa Timur. Bahwa, Pemerintah Jokowi memanfaatkan dan membiarkan kroni pejabat menikmati proyek anggaran bernilai puluhan hingga ratusan triliun rupiah selama pandemi Covid. Seperti proyek Kartu Prakerja, proyek bantuan sosial, atau proyek atas nama pemulihan ekonomi nasional. Sementara UU Nomor 2 Tahun 2020 telah sengaja disiapkan oleh pemerintah untuk mengebiri wewenang budgeting DPR, mengamputasi KPK dan BPK di bidang pengawasan, serta lembaga peradilan untuk memeriksa dan mempertanggungjawabkan anggaran pandemi ribuan triliun, dengan memberikan imunisasi berlebihan kepada pejabat eksekutif yang mengelola dana pandemi tersebut. KAMI Lintas Provinsi menilai, Presiden Jokowi membiarkan para menterinya dan relawannya (PROJO) melakukan orkestrasi pembentukan opini secara terang-terangan bertujuan untuk melanggar UUD dengan memperpanjang masa jabatan Presiden dan keinginan 3 periode, dengan rekayasa berbagai cara. Tanpa memberikan sanksi dan melarang secara tegas, hanya memberikan alasan berwacana di alam demokrasi tidak bisa dilarang. Padahal niat dan keinginan serta tindakan tersebut sangat jelas melanggar UUD. Bahwa Presiden semestinya sangat tahu bahwa pengusaha besar bermasalah yang membantu usaha keluarga terutama anak-anaknya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, yang merupakan dugaan tindak pidana money laundering, semestinya kewajiban Presiden memberikan larangan terhadap keluarganya, dan secara tegas seharusnya meminta KPK untuk melakukan penyelidikan. Walaupun itu terhadap anak sendiri. Menurut KAMI Lintas Provinsi, Presiden Jokowi semestinya sangat paham UU Kehakiman terutama Hakim MK yang sangat terkait dengan permasalahan hukum  pemerintahan, sehingga mustinya tidak membenarkan adanya konflik kepentingan terjadi pada insitusi terhormat tersebut. Karena UU melarang hakim punya hubungan keluarga/ipar dengan eksekutif. “Presiden diam tanpa bersikap berarti dengan sengaja melanggar UU,” lanjut Daniel Rasyid. Bahwa dari kajian tersebut diatas KAMI Lintas Provinsi berpendapat bahwa Presiden Jokowi diduga terbukti telah melanggar hukum secara berat. Untuk hal tersebut berdasarkan Pasal 7A Undang-undang Dasar atau UUD 1945, presiden bisa diberhentikan/ dimakzulkan oleh MPR. “Karena DPD-RI adalah Lembaga Tinggi Negara sejajar dengan DPR-RI dan merupakan bagian dari MPR-RI, Kami menyampaikan aspirasi kepada DPD-RI melalui Ketua DPD, untuk memproses dan mendalami serta mengawal aspirasi yang kami himpun dari denyut nadi berbagai kalangan masyarakat di daerah,” tegas Sekretaris KAMI Lintas Provinsi, Sutoyo Abadi. (mth)

Setelah Mega, Anies Bakal Menghadapi Tragedi Demokrasi Konstitusi

Hanya Soekarno dan Soeharto yang mampu menampilkan demokrasi yang bersumber dari pikiran, ucapan dan tindakannya sendiri. Dua figur pemimpin besar yang menjabat presiden Indonesia itu, bahkan menjadi superior di atas konstitusi dalam proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Soekarno dengan demokrasi terpimpin, Soeharto identik dengan demokrasi semu. Pun demikian, sejarah melukiskan kedua  pemimin sipil dan militer itu, cenderung sama-sama memiliki karakter anti demokrasi. Mereka merupakan putra-putra terbaik Indonesia yang berhasil menaklukkan sekaligus menjadi korban demokrasi konstitusi. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI  PASCA kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, terutama di ujung berakhirnya kekuasaan orde baru. Politik Indonesia berupaya menampilkan transisi kekuasaan yang otoriterian menuju kehidupan rakyat yang lebih demokratis. Selain karena tekanan politik, ekonomi, hukum dan keamanan, geliat perubahan mengemuka juga dipengaruhi oleh bangkitnya  kesadaran dan gerakan \"civil society\". Isu HAM, demokratisasi, penerapan Pancasila dan UUD 1945 serta tema-tema strategis lainnya, begitu deras mengalir hingga bermuara pada kelahiran era reformasi. Banyak catatan historis dan ideologis yang mewarnai kehidupan rakyat, negara dan bangsa Indonesia terutama setelah lepas dari cengkeraman orde baru dan orde lama. Meskipun pada akhirnya rakyat merasakan betapa iklim reformasi tak luput mengalami distorsi. Apa yang kemudian diperjuangkan terkait penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa, bebas dari praktek-praktek KKN, supremasi hukum, profesionalitas birokrasi dan militer.  tanpa eksplotasi sumber daya alam yang berlebihan dll. Ternyata tak lebih baik dapat diwujudkan dalam era reformasi. Bahkan kecenderungan semakin merosotnya kualitas dan kuantitas kehidupan rakyat, terlihat begitu kentara. Rezim reformasi jauh lebih bengis dan lebih buruk ketimbang  pelbagai gugatan dan perlawanan rakyat yang pernah dilakukan pada era orde lama dan ode baru. Simbol Perlawanan Rakyat Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, biar bagaimanapun sejarah pernah menjadi saksi bahwasanya kehudupan demokrasi di Indonesia pernah menghadirkan Megawati Soekarno Putri seorang figur yang gigih memperjuangkannya. Mega sedikit pemimpin di jamannya yang mampu bersikap tegas dan mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan rezim saat itu. Sebagai pegiat demokrasi dan pemimpin partai politik, Mega telah melewati masa-masa sulit dan mengambil  beragam resiko dari pandangan dan sikap politiknya. Putri sulung Bung Karno itu harus mengalami teror, intimdasi, hujatan dan fitnah langsung dari rezim dan anasir kekuasaannya. Bukan hanya diselimuti rasa permusuhan dan kebencian. Mega juga ditempatkan sebagai lawan berbahaya pemerintahan dan telah menjadi musuh negara versi rezim. Begitupun dengan Anies Rasyid Baswedan, tak pernah lepas  dari pengalaman-pengalaman yang sama yang pernah dialami Megawati Soekarno Putri. Baik Anies yang lebih banyak menyelami dunia pendikan, maupun Mega yang lebih intens dengan partai politik. Keduanya tak pernah bisa menghindari pusaran politik yang memikul beban hajat hidup orang banyak. Secara empiris, keduanya bisa dibilang matang bersentuhan dengan dunia politik dan birokrasi di Indonesia. Menariknya,  antara Mega dan Anies memiliki irisan yang kuat yang berkorelasi erat dengan dinamika dan konstelasi politik nasional. Mega sebagai ketua umum PDIP yang menjadi \"the rolling party\" dan memiliki kader  sebagai presiden Indonesia sekaligus petugas partai. Di lain sisi, Anies sebagai figur pemimpin masa depan yang memangku jabatan  gubernur Jakarta dan capres potensial yang tidak memiliki partai politik. Mega dan Anies seperti sebuah hubungan sosial yang saling kenal, tidak jauh tapi tidak dekat juga, sewaktu-waktu bisa intim  dan tidak berjarak untuk bertemu dan saling berinteraksi. Pada akhirnya bukan hanya \"inner circle\" Mega dan Anies, lebih dari itu seluruh rakyat Indonesia akan menanti sejaumana episode hubungan  keduanya. Apakah sebatas hubungan politik praktis kontemporer yang hanya bisa jenghasilkan koalisi atau oposisi semata di antara keduanya, atau akan ada hubungan antar dua figur negarawan. Mega dan Anies akan bertemu dalam konstelasi dan konfigurasi pilpres 2024.  Akankah karakter sejati keduanya bertemu dalam hubungan yang hangat dan mesra menjadi sinergi dan harmoni. Menjadi kedua kekuatan politik yang bukan sekedar berkolaborasi, akan tetapi mendorong  Mega dan Anies sebagai faktor penting dan berengaruh menghasilkan solusi problematika negara dan bangsa. Mega yang pernah menjadi harapan dan simbol perlawanan rakyat terhadap kedzoliman rezim, akankah berubah setelah memiliki kekuasaan. Sanggupkah Mega melihat figur Anies seperti dirinya sendiri  yang pernah berjuang untuk tegaknya demokrasi dan kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik. Mungkinkah Mega menjadi ahistoris dan kontra revolusioner, terus memelihara dendam sejarah dan dendam sosial ke panggung politik nasional. Akankah Mega terjebak pada demokrasi konstitusi yang pernah menjadi tragedi dalam kehidupan pribadi dan rekam jejak politiknya.Kalau itu tak akan terjadi, besar kemungkinan karakter simbol perlawanan rakyat tak akan hilang dan tetap diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Siapa pemegang estafetnya yang mumpuni dan layak mengemban amanat itu?. Tak harus biologis yang penting ideologis, sebagai pemimpin rvolusioner bagi kepentingan nasional dan internasional. Setidaknya nilai-nilai dan kepribadian itu ada pada Anies yang ideologis Soekarno, dan bisa saja Puan yang biologis Mega yang  mendampinginya. Keduanya mungkin saja menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk yang ada pada etalase kepemimpinan nasional. Minimal mampu menghindari tirani dan tragedi demokrasi konstitusi atau pseudo demokrasi. Terlihat samar-samar dalam lampu temaram republik,  rakyat Indonesia belum punya kemampuan mengambil keputusan politik dan masa depannya sendiri. Kecuali hanya bisa pasrah dan menyerahkan nasibnya pada takdir sejarah. Wallahu a\'lam bishawab. Munjul-Cibubur, 28 Juni 2022.