ALL CATEGORY

What's In a Name? Tapi Nama Jangan Dikorting

Oleh Ridwan Saidi - Budayawan  Saat jaman Orde Lama ada anjuran bagi WNI Tionghoa untuk ganti nama,  seniman panggung dan film Tan Tjeng Bok, juga econom Kwik Kian Gie tidak ganti nama. Juga beberapa orang bekend yang lain. Tan Tjeng Bok humoris. Ia kelahiran Jakarta Buay, Cengkareng, yang kini dikenal dengan Rawa  BuayA. Buay bahasa Tagalog. Mungkin migran Philipine rayonisasinya  di Buay. Apalah artinya nama, kata Shakespeare. Di Jakarta ganti nama mesti sedekahan bubur merah bubur putih. Kalau korting nama? Tergantung konteksnya. Dalam keresmian administrasi negara nama seseorang harus disebut lengkap. Seperti untuk dokumen resmi nama, dan kalau diperlukan bin, harus disebut lengkap. Nitisemito, Mangunsarkoro, Sastroamijoyo lazimnya bukan nama yang berdiri sendiri, biasanya ada nama depannya. Mirip family name. Purbotjaroko itu nama yang berdiri sendiri. R. M. Ng Purbotjaroko, begitu mahaguru ini menulis namanya. Kita harus menyebut, atau menulis, nama   secara lengkap, dalam event resmi, sebagaimana orang itu menuliskannya.  Fulan bin Fulan sebutan untuk orang yang tidak diketahui namanya. Fulan bin Fulan ungkapan dalam obrolan Betawi, bukan di depan petugas pencatat pernikahan yang sejak diberlakukannya Ordonantie Kawin Bertjatat jaman Belanda sudah melekat mandat pada dirinya sebagai mewakili gemeente, pemerintah. Karena itu menyebut nama subjek mesti lengkap karena menyangkut juga hukum waris, bukan semata hukum munakahat. Sejak era goa hingga pembentukan peradaban 3000 tahun lalu nenek moyang Indonesia tidak memberi nama pada alat-alat kelamin. Nama-nama yang disebut sementara masyarakat adalah bahasa resapan dari luar. Goa tempat mereka berhuni diberi nama, misal goa Leang-Leang, SulSel, Liang Bo, Jakarta. Tak tertutup kemungkinan sejak era cave life nama untuk orang sudah ada. Nama itu, administratif dan sosiologis, segalanya. (RSaidi)

Menggugat Posisi Dominan Dalam Presidential Threshold

PKS dan DPD akan mengajukan Judicial Review Pasal 222 Undang-Undang Pemilu (Presidential Threshold). Apakah Mahkamah Konstitusi akan memeriksa dan memutus permohonan tersebut? Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. - Ketua Umum HRS Center ATURAN Presidential Threshold menyebutkan syarat perolehan kursi DPR paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pileg sebelumnya untuk dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Persyaratan yang sebenarnya tidak sulit untuk dimaklumi, tetapi demikian sulit dipahami. Terkait dengan hal ini sejumlah pihak mengatakan ambang batas tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Keberlakuannya semakin menguatkan hegemoni Parpol Politik tertentu dan sekaligus menghambat demokrasi yang fair dan kompetitif.  Partai Politik yang berkoalisi dengan perolehan (kumulasi) suara lebih dari 50% (lima puluh persen) pada Pilpres sebelumnya memiliki posisi dominan sebab aturan ambang batas tersebut. Kondisi demikian akan terus berlanjut pada setiap Pilpres. Posisi dominan menunjuk pada adanya pembatasan pasangan Capres dan Cawapres. Disisi lain kontestan yang memiliki posisi dominan dapat dipastikan tidak akan mempunyai pesaing yang berarti.  Sebagai referensi perbandingan, posisi dominan dalam Undang-Undang Anti Monopoli dicirikan salah satunya adalah menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar. Penguasan tersebut menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Dengan demikian syarat perolehan kursi DPR atau perolehan suara Partai Politik akan melahirkan posisi dominan. Terlebih lagi Pileg dan Pilpres dilakukan secara bersamaan, maka posisi dominan sangat ditentukan oleh gabungan Partai Politik pengusung Capres dan Cawapres. Menjadi lain halnya jika Pileg dan Pilpres dilakukan secara terpisah. Presidential Threshold telah banyak diajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konsitusi, namun selalu saja kandas. Alasan ditolaknya permohonan adalah karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, sebagaimana dialami oleh Partai Ummat. Menurut Mahkamah Partai Ummat belum dapat dinyatakan sebagai Partai Politik peserta Pemilu sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional. Perihal yang sama juga berlaku pada permohonan sejumlah tokoh antara lain, Tamsil Linrung dkk, Lieus Sungkharisma dan Gatot Nurmantyo. Perkembangan terbaru, Partai Keadilan Sejahtera dan Dewan Perwakilan Daerah akan melakukan hal yang sama. Perkembangan ini menarik untuk dicermati, mengingat keduanya berbeda dengan pemohon sebelumnya. PKS adalah Partai Politik peserta Pemilu sebelumnya, sedangkan DPD adalah lembaga tinggi negara. Mahkamah Konstitusi akan kesulitan untuk menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.  Penulis mencatat adanya beberapa pertentangan antara Pasal 222 Undang-Undang Pemilu dengan UUD 1945.  Pasal a quo telah menyeleksi Partai Politik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Disini terjadi konflik norma dengan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Sejalan dengan ketentuan ini, maka jaminan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus mendasarkan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Tidak berhenti disini, Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dengan demikian ambang batas yang berlaku sebagai norma pembatasan (penyeleksian) merupakan bentuk penyimpangan terhadap “persamaan yang adil atas kesempatan” dan “persamaan yang adil atas atas kemanfaatan”. Norma tersebut juga bertentangan dengan prinsip “kepastian hukum yang adil” dan “perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Salah satu bentuk kepastian hukum yang adil adalah perolehan kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya persamaan dan keadilan. Pemenuhan hak harus diterima sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Dengan demikian norma ambang batas tersebut menjadi tidak bermakna dan oleh karenanya tidak memiliki kepastian hukum. Lolosnya Partai Politik untuk mengikuti Pemilu merupakan suatu prestasi yang seharusnya diberikan kemudahan dan perlakuan khusus guna memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Lebih lanjut, konstitusi sebenarnya menghendaki pasangan Capres dan Cawapres lebih dari dua, baik yang diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Oleh karena itu, Pasal 6 UUD 1945 tidak membatasi perolehan suara Partai Politik atau perolehan kursi DPR dalam Pileg sebelumnya untuk menjadi syarat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Sistem seleksi yang dianut bersifat alami, penentuannya diserahkan kepada rakyat.  Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan perolehan suara paling sedikit 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi dengan lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia berlaku sebagai penyeleksian lanjutan. Dimaksudkan ketika tidak ada pasangan Capres dan Cawapres yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen). Untuk kemudian dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali. Lain halnya jika terdapat Capres dan Cawapres yang mendapatkan suara mayoritas, yakni 50% + 1 (lima puluh persen plus satu) dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi, maka dinyatakan sebagai pemenang. Demokrasi mengandung agregasi antara Partai Politik, Capres dan Cawapres yang diusung dan konstituen adalah satu kesatuan. Dengan demikian demokrasi bukan hanya persaingan secara adil dan kompetitif antar Partai Politik, namun jauh lebih penting adalah perluasan partisipasi rakyat guna menilai dan memberikan keputusan atas persaingan tersebut. Hal ini adalah sebagai aktualisasi demokrasi politik dalam perspektif kedaulatan rakyat. Mahkamah Konstitusi sebagai “the guardian of constitution” sepatutnya mengambil posisi progresif berparadigma konstruktivisme. Mengingat persyaratan ambang batas berpotensi pada praktik “unfair competition” dengan munculnya posisi dominan yang berkelanjutan. Konstitusionalitas Pemilu yang berasaskan “jujur dan adil”, memerlukan jaminan pemenuhan keadilan substansial yang berdiri tegak di atas kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi harus memeriksa dan memutus perhohonan Uji Materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Tidak ada alasan lagi. Mencari alasan akan melahirkan kekecewaan yang berkelanjutan. (*)

Menegakkan Kembali Negara Preambule UUD 1945

Sementara penguasa bergelimang kemewahan, membangun dinasti politik, Anggota DPR dan DPD hanya sebagai pekerjaan untuk mencari kenikmatan kehidupan pribadi dan golongannya. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila KEGALAUAN kita sebagai bangsa hari hari ini semakin membuncah, semakin gemas dengan tingkah pola para pemimpin yang tidak pantas lagi diteladani, korupsi, intrik-intrik politik yang mengkristal bersetubuh dengan Oligarki tak memberi energi positif, justru sebaliknya menjadikan bangsa ini carut-marut dan puncaknya hilangnya rasa kepercayaan sesama anak bangsa. Hilangnya jatidiri berbangsa dan bernegara, suramnya masa depan dengan bayang-bayang Oligarki yang bertemali di bawah bayang-bayang penjajahan China. Hutang yang semakin menggunung, negara tergadaikan, hilangnya kedaulatan sebagai bangsa. Apa ya begini negara yang kita inginkan sejak UUD 1945 diamandemen dan kedaulatan rakyat dirampok oleh partai politik, maka negara ini sudah tidak lagi berdasarkan Pancasila, diganti Super Liberal dan Super Kapitalis! Semua serba untung-rugi dan lahir pilkada pilpres, pemilu dengan biaya yang besar, maka sistem politik seperti ini butuh logistik yang besar. Akibatnya semua dipertaruhkan dengan transaksional yang serba uang tidak peduli negara ini tergadaikan lahirlah bandar-bandar politik, yang mengkristal menjadi oligarki yang menguasai jagat Indonesia. Marilah kita merenungkan kembali apa yang pernah dipidatokan oleh Bung Karno pada peringatan 17 Agustus 1963 sebagai berikut. ……“Dan sinar suryanya! Pada waktu kita berjalan, Proklamasi menunjukkan arahnya jalan. Pada waktu kita lelah, Proklamasi memberikan tenaga baru kepada kita. Pada waktu kita berputus asa, Proklamasi membangunkan lagi semangat kita. Pada waktu diantara kita ada yang nyeleweng, Proklamasi memberikan alat kepada kita untuk memperingatkan si penyeleweng itu bahwa mereka telah nyeleweng. Pada waktu kita menang, Proklamasi mengajak kita untuk tegap berjalan terus, oleh karena tujuan terakhir memang belum tercapai. Bahagialah rakyat Indonesia yang mempunyai Proklamasi itu; bahagialah ia, karena ia mempunyai pengayoman, dan di atas kepalanya ada sinar surya yang cemerlang! Bahagialah ia, karena ia dengan adanya Proklamasi yang perkataan-perkatannya sederhana itu, tetapi yang pada hakikatnya ialah pencetusan segala perasaan-perasaan yang dalam sedalam-dalamnya terbenam di dalam ia punya kalbu, sebenarnya telah membukakan keluar ia punya pandangan hidup, ia punya tujuan hidup, ia punya falsafah hidup, ia punya rahasia hidup, sehingga selanjutnya dengan adanya Proklamasi beserta anak kandungnya yang berupa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu, ia mempunyai pegangan hidup yang boleh dibaca dan direnungkan setiap jam dan setiap menit. Tidak ada satu bangsa di dunia ini yang mempunyai pegangan hidup begitu jelas dan indah, seperti bangsa kita ini. Malah banyak bangsa di muka bumi ini, yang tak mempunyai pegangan hidup sama sekali! Dengarkan sekali lagi bunyi naskah Proklamasi itu: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Dan dengarkan sekali lagi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Demikianlah bunyi Proklamasi beserta anak kandungnya yang berupa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Alangkah jelasnya! Alangkah sempurnanya ia melukiskan kita punya pandangan hidup sebagai bangsa, - kita punya tujuan hidup, kita punya falsafah hidup, kita punya rahasia hidup, kita punya pegangan hidup! Declaration of independence kita, yaitu terlukis dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia apa prinsip-prinsip kita itu. Proklamasi kita adalah sumber kekuatan dan sumber tekad perjuangan kita, oleh karena seperti tadi saya katakan, Proklamasi kita itu adalah ledakan pada saat memuncaknya kracht total semua tenaga-tenaga nasional, badaniah dan batiniah-fisik dan moril, materiil dan spirituil. Declaration of independence kita, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam memperkembangkan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita. Maka dari itulah saya tadi tandaskan bahwa Proklamasi kita tak dapat dipisahkan dari declaration of independence kita yang berupa Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pembukaannya itu. “Proklamasi” tanpa “declaration” berarti bahwa kemerdekaan kita tidak mempunyai falsafah. Tidak mempunyai dasar penghidupan nasional, tidak mempunyai pedoman, tidak mempunyai arah, tidak mempunyai “raison d’etre”, tidak mempunyai tujuan selain daripada mengusir kekuasaan asing dari bumi Ibu Pertiwi. Sebaliknya, “declaration” tanpa “proklamasi”, tidak mempunyai arti. Sebab, tanpa kemerdekaan, maka segala falsafah, segala dasar dan tujuan, segala prinsip, segala “isme”, akan merupakan khayalan belaka, - angan-angan kosong-melompong yang terapung-apung di angkasa raya. Tidak, Saudara-saudara! Proklamasi Kemerdekaan kita bukan hanya mempunyai segi negatif atau destruktif saja, dalam arti membinasakan segala kekuatan dan kekuasaan asing yang bertentangan dengan kedaulatan bangsa kita, menjebol sampai ke akar-akarnya segala penjajahan di bumi kita, menyapu-bersih segala kolonialisme dan imperialisme dari tanah air Indonesia, - tidak, proklamasi kita itu, selain melahirkan kemerdekaan, juga melahirkan dan menghidupkan kembali kepribadian bangsa Indonesia dalam arti seluas-luasnya: Kepribadian politik, kepribadian ekonomi, kepribadian sosial, dan kepribadian kebudayaan, dengan pendek kata kepribadian nasional. Kemerdekaan dan kepribadian nasional adalah laksana dua anak kembar yang melengket satu sama lain, yang tak dapat dipisahkan tanpa membawa bencana kepada masing-masing”..... Sekali lagi, semua kita, terutama sekali semua pemimpin-pemimpin, harus menyadari sangkut-paut antara Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: Kemerdekaan untuk bersatu, kemerdekaan untuk berdaulat, kemerdekaan untuk adil dan makmur, kemerdekaan untuk memajukan kesejahteraan umum, kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kemerdekaan untuk ketertiban dunia, kemerdekaan perdamaian abadi, kemerdekaan untuk keadilan sosial, kemerdekaan yang berkedaulatan rakyat, kemerdekaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, kemerdekaan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, kemerdekaan yang berdasarkan persatuan Indonesia, kemerdekaan yang berdasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, kemerdekaan yang mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, semua ini tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, anak kandung atau saudara kembar daripada Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagi orang yang benar-benar sadar kita punya proclamation dan sadar kita punya declaration, maka Amanat Penderitaan Rakyat tidaklah khayalan atau abstrak. Bagi dia, Amanat Penderitaan Rakyat terlukis cetha wela-wela (sangat nyata dan jelas) dalam Proklamasi dan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi dia, Amanat Penderitaan Rakyat adalah konkrit-mbahnya-konkrit. Bagi dia, - dus bukan bagi orang-orang gadungan -, melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat adalah berarti setia dan taat kepada Proklamasi. Bagi dia, mengerti Amanat Penderitaan Rakyat berarti mempunyai orientasi yang tepat terhadap rakyat. Bukan rakyat sebagai kuda tunggangan, tetapi rakyat sebagai satu-satunya yang berdaulat di Republik Proklamasi, sebagai tertulis di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. (Cuplikan Pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1963 di Istana Negara). Pidato ini sungguh masih sangat relevan untuk direnungkan keadaan bangsa yang carut-marut sejak reformasi dan mengamandemen UUD 1945, tatanan kenegaraan telah diubah tanpa mau memperdalam apa yang menjadi kesepakatan bersama yaitu Pembukaan (Preambule) UUD 1945, di sanalah tercantum Pandangan hidup, Falsafah hidup, Tujuan hidup, Cita-cita hidup. Para pengamandemen UUD 1945 telah lupa dan sengaja melupakan apa yang menjadi jatidiri bangsanya, menenggelamkan sistem berbangsa dan bernegara, dengan mengganti Demokrasi Liberal, demokrasi yang tidak berdasar pada Preambule UUD 1945. Demokrasi yang menjadikan rakyat hanya sebagai kuda tunggangan, rakyat hanya sebagai “tambal butuh“ yang hanya diberi sekedarnya, diberi sembako, setelah itu semua janji-janji manis dilupakan, akibatnya Amanat penderitaan rakyat terus akan berlanjut tanpa cita-cita. Sementara penguasa bergelimang kemewahan, membangun dinasti politik, Anggota DPR dan DPD hanya sebagai pekerjaan untuk mencari kenikmatan kehidupan pribadi dan golongannya. Partai politik hanya sebagai gerombolan manusia tanpa ideologi kebangsaan, ini semua bisa kita ukur dari  jati diri bangsa, bisa diukur ketika “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan“ diganti dengan demokrasi kalah menang, demokrasi banyak-banyakan, demokrasi kuat-kuatan. Dampaknya tidak bisa dibantah dengan semakin merajalelanya Korupsi, sebab Partai Politik memang dibiyayai dengan hasil korupsi, begitu juga petinggi partai bergelimang kemewahan hasil korupsi. Sekali lagi Penderitaan rakyat akan terus berlanjut karena korupsi menjadi ideologi partai politik. Politik yang dipertontonkan bukan politik yang mempunyai tujuan mensejahterakan rakya, politik tanpa moral, politik dibangun tanpa jati diri yang hanya bertujuan untuk kekuasaan pribadi dan golongannya, saling intrik, saling hujat, bahkan menggunakan kekuasaan hanya untuk kekuasaan yang tanpa risih. Sekali lagi, rakyat hanya sebagai kuda tungganggangan, rakyat disewa untuk demontrasi, dan percaturan politik Indonesia memasuki era oligarki, segala sesuatu tidak lagi untuk kepentingan bangsa dan negara tetapi untuk kepentingan dan kemauan oligarki. Negara bangsa ini sudah murtad pada Pancasila, UUD 1945, dan Proklamasi  Kemerdekaan NKRI. Tidak ada jalan selamat kecuali rakyat melakukan perubahan sendiri, memperbaiki nasibnya sendiri, amanat penderitaan rakyat harus kita tanggulangi sendiri, Jalan keselamatan harus dibangun dengan Gotong-royong, dengan kebersamaan, dengan persatuan , dengan senasib seperjuangan, menegakkan kembali Negara Preambule UUD 1945. Membangun kesadaran baru bahwa negeri ini didirikan dengan falsafah hidup, tujuan hidup, pegangan hidup, cita-cita hidup, hanya kembali pada cita-cita Negara Proklamasi yang berdasarkan pada Pembukaan UUD 1945 kita bangsa ini akan selamat. Kembali menegakkan Marwa Pancasila dan UUD 1945 ori adalah jalan keselamatan bagi bangsa dan negara ini. Marilah kita bangun kesadaran kita sebagai anak bangsa, Bangunlah jiwa mu, Bangunlah Badan mu, Untuk Indonesia Raya. Kita bisa membangun negeri ini jika kita punya jati diri bangsa oleh sebab itu kembali pada Preambule UUD 1945 dan berjuanglah untuk mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 ori. (*)

Anti Arab OK, Anti Cina Ano!

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Ini adalah salah satu keanehan negeri yang dipimpin Jokowi bin Notomihardjo. Betapa gencar dan maraknya ungkapan-ungkapan sinis hal-hal yang berbau Arab, mulai dari pakaian hingga bahasa do\'a. Pernyataan Tuhan bukan orang Arab pun muncul. Di sisi lain menyinggung etnis China sedemikian peka. Menyebut pengusaha China dikatakan rasis, bahkan mewaspadai kedatangan TKA asal China saja dapat dilaporkan ke Polisi.  Adalah mantan Gubernur DKI Sutiyoso yang mengingatkan bahaya kedatangan ribuan TKA China yang dipastikan tidak akan kembali ke negaranya. Mereka akan beranak pinak di Indonesia. Sutiyoso mengkhawatirkan jika hal ini dibiarkan Indonesia akan menjadi seperti Singapura dimana etnis China akhirnya menguasai negara. Melayu menjadi minoritas. Sikap kewaspadaan mantan Kepala BIN ini sebenarnya pernah diungkapkan juga oleh mantan Kepala BAIS Letjen Purn Yayat Sudrajat. Sayangnya ditanggapi ngawur oleh Jubir Partai Garuda Teddy Gusnaidi yang meminta agar Sutiyoso diproses hukum. Ini fenomena aneh, saat menyinggung China muncul pembela dan membawa-bawa proses hukum segala. Tahukah Partai Garuda bahwa rakyat di negara Garuda ini juga sudah sangat khawatir dengan serbuan TKA China ?  Itu baru kaitan dengan TKA apalagi jika mengkritisi keberadaan etnis keturunan China yang memiliki status sosial, ekonomi, maupun politik yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pribumi. Ini bukan persoalan diskriminasi tetapi menyangkut kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik. Negara harus peduli dengan dampak dari kesenjangan etnik tersebut. Tidak boleh ada konflik.  Di sisi  lain sikap anti Arab sepertinya mendapat proteksi atau sekurang-kurangnya pembiaran. Apakah kasus Habib Rizieq Shihab, Habib Bahar, Farid Oqbah atau keturunan Arab lainnya murni hukum atau berdimensi politik diskriminatif ?  Sebutan kadal gurun (kadrun) dipopulerkan untuk menyebut orang Arab, keturunan Arab, atau umat Islam yang lebih tampil dalam sikap keagamaan.  Gubernur DKI Anies Baswedan juga diserang habis-habisan dikaitkan dengan aspek etnis ini. Penyerangnya bebas-bebas saja tanpa sanksi perundang-undangan. Terkesan rezim Jokowi mengkhawatirkan akan peluang Anies Baswedan menjadi penggantinya. Oleh karena itu l\"kadrunisasi\" dibiarkan bahkan diproteksi.  Buzzer Istana mendapat perlindungan politik maupun hukum saat mereka menyatakan sikapnya yang anti Arab, berteriak berisik soal ras dan etnik, bahkan mengaitkan dengan radikalisme dan terorisme. Ormas diadu domba dengan mensupport kelompok anti Arab. Penyakit Islamophobia rezim Jokowi bin Notomihardjo menguatkan nativisme dengan sikap anti terhadap hal yang berbau Arab. Benci pada Arab adalah pintu masuk untuk benci pada Islam yang berujung benci pada Rosulullah SAW. Bahaya atau serangan keagamaan seperti ini ternyata tidak disikapi dengan tegas. Adanya tokoh yang menyatakan bahwa budaya Indonesia lebih mulia daripada budaya Arab menunjukkan semangat anti Arab tersebut.  UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis digunakan untuk melindungi sikap kritis terhadap etnis China sekaligus dibuat tumpul bagi penyerang atau kelompok-kelompok anti Arab. UU diaplikasikan secara diskriminatif. Sebenarnya etnis China tidak direndahkan hanya minta diwaspadai dan diteliti sementara etnis Arab justru direndahkan.  Dahulu PKI yang selalu menyerang Arab dalam rangka menentang kekuatan Islam. Dahulu PKI lah yang mendapat dukungan dan berkolaborasi dengan China. Dahulu PKI lah yang ingin mengubah ideologi negara dan dahulu PKI pula sebagai kelompok politik yang menghalalkan segala cara.  Kini PKI sudah tiada, akan tetapi sikap anti Arab terus diwariskan dan etnis China tetap dimanjakan. PKI baru tidak boleh muncul dan bangkit kembali. Komunis tetap menjadi bahaya laten.  Jika Indonesia ingin selamat. (*)

Delman dan Latar Belakang Dihukum-matinya Bang Puasa

Oleh Ridwan Saidi - Budayawan  Delman angkot roda dua dengan tenaga kuda. Delman hadir setelah gerobak. Gerobak diperkirakan XVII M. Sebelum gerobak angkutan barang andalan géték, via air.  Delman, juga gerobak, penamaan yang biasanya tak ada arti. Kusir, pengendali delman, artinya belakang. Posisi pengendali di belakang kuda. Tana Kusir tana belakang. Posisinya di belakang arteri Pondok Indah. Gombongan kuda adalah fasilitas umum yang disediakan untuk minum kuda. Bangunan bertinggi  kurang dari semeter berbentuk circle dengan diameter 5 meter. Material batu dan semen. Posisi gombongan strategis di sekitar Jakarta.  Biasanya di dekat gombongan ada tukang kopi dan kue pancong. Kusir pada nongkrong di situ.  Pada tahun 1821 ada true story menyangkut crime legendaris yang melibatkan seorang kusir nama Sami\'un.  Adalah Dasima perempuan Kuripan, Parung, yang tadinya kerja di Legok, Tangerang, menjadi bini piara orang Inggris karyawan Raffles nama William. William kasi modal pada bini  piara untuk berdagang emas. Istilah waktu itu untuk wanita pebisnis emas: cengkaw. Suatu sore jelang gelap  seusai bisnis emas Dasima pulang ke rumahnya di Pejambon dengan delman. Setiba di jembatan Pejambon kusir hentikan delman dan rampas petiman (kotak tempat emas) yang dibawa Dasima. Dasima melawan dan dibunuh. Jenasah dibuang ke kali. Esoknya Belanda temukan jenasah Dasima di kolong jembatan belakang Istiqlal sekarang. Sebelumnya polisi Belanda sudah terima pengaduan Tuan William bahwa dia punya bini piara tidak pulang. Polisi bekerja dan berhasil tangkap pelaku seorang kusir delman nama Sami\'un. Sami\'un di-onderzoek dan mengaku. Pemeriksaan klaar. Tak lama berselang pemeriksa kembali meminta Sami\'un ubah pengakuan. Ia bukan dader (pelaku) tapi mede dader (pembantu pelaku). Kalau OK, Sami\'un cuma kena bui 8 tahun. Sami\'un bingung dan girang. Belanda siapkan dader Puasa putra Gg Mendung, Kwitang. Ia seorang jago dan guru maen pukulan yang sudah lama dicurigai Belanda karena banyak murid2nya anak Indo Kebon Siri. Puasa juga mengajar teratur di Mester Kornelis, termasuk Demang Mester muridnya.  Empat tahun setelah ini murid2 Puasa terlibat Perang Diponegoro 1825-1830 yang dikenal sebagai  Kontingen Mester Kornelis. Suatu pagi di tahun 1821 di depan Museum Seni Rupa, sekarang, Bang Puasa menjalani dengan tabah hukum gantung sampai mati. Emang salah apa? (RSaidi)

Polemik TKA Asal China dan Ancaman Pemilu 2024

Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Lintas Provinsi menduga hal yang sama. Mereka khawatir TKA dari China berpotensi mengacaukan dan mengintervensi Pemilu/Pilpres mendatang. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI SETELAH lama tak terdengar, wacana TKA China kembali menggelegar. Adalah Letnan Jenderal TNI Purn Sutiyoso pemantiknya. Di tengah kasak-kusuk koalisi partai politik menuju 2024, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyatakan kekhawatirannya melihat TKA China yang terus berdatangan. Dalam pidatonya yang viral itu, Sutiyoso meyakini TKA China yang datang itu tidak akan kembali ke negaranya. Mereka akan beranak pinak di Indonesia, sehingga berpotensi menjadi mayoritas. Dia mencontohkan Malaysia yang kini departemennya banyak dipimpin warga keturunan China. Demikian pula di Singapura yang sekarang penduduknya mayoritas keturunan China. Kekhawatiran Sutiyoso tentu layak menjadi kekhawatiran kita juga. Beliau bukan orang sembarangan. Sebagai mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Sutiyoso tentu punya kepekaan lebih menyangkut potensi ledakan sosial atau ancaman kedaulatan negara. Dugaan Sutiyoso belum tentu benar. Tapi juga belum tentu salah. Sulit mencari kebenarannya karena selama ini pemerintah cenderung tertutup. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah tenaga kerja asing di Indonesia sebesar 88.271 pada 2021. Dari jumlah ini, TKA asal China mendominasi yakni sebanyak 37.711 atau sekira 42 persen. Namun, TKA tersebut menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal, adalah data TKA yang terdaftar dan memiliki skill. Sementara pada tahun 2018 saja, KSPI mengaku menemukan 157.000 buruh kasar asing atau unskill workers. Harap dicatat, itu empat tahun lalu. Saat ini angkanya tentu saja mungkin semakin membengkak. Malasahnya, TKA asal China bukan hanya tenaga profesional. Sebagian adalah tenaga kasar yang tidak memerlukan skill. Tak perlu diulang-ulang. Sudah begitu banyak yang bercerita tentang ini, termasuk ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri. Sayangnya, negara tidak konsisten dan terkesan melindungi TKA asal China. Begitu ada masalah yang mengedepan, rakyat sepertinya berhadapan dengan penguasa. Penerapan kebijakan bahkan cenderung diskriminatif. Di saat pelarangan mudik masa pandemi Covid-19 misalnya, lebih dari 300 TKA China dibiarkan mendarat di Bandara Soekarno Hatta, selama 4-8 Mei 2021. Jika dibiarkan masuk terus-menerus, dalam jangka panjang TKA asal China jelas mengancam kedaulatan negara. Dalam jangka pendek, populasi tambahan ini berpotensi pula mengganggu Pemilihan Umum 2024. Dulu, jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, foto e-KTP milik Warga Negara Asing (WNA) yang juga TKA asal China pernah menghebohkan jagad maya. Temuan ini mengejutkan karena pemilik e-KTP berinisial GC di Kabupaten Cianjur memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. KPU Kabupaten Cianjur mengakui ada kesalahan saat input data NIK milik WNA asal China yang terdata di DPT. Diketahui, NIK tersebut sama dengan NIK atas nama Bahar, yang juga penduduk Cianjur. Kekeliruan input data memang dapat saja terjadi. Satu-dua kali, itu hal yang manusiawi. Namun, kita harus semakin waspada. Fakta itu menunjukkan, ada celah yang dapat mengganggu atau bisa dimanfaatkan oknum tertentu untuk bermain-main dalam pendataan Pemilu 2024. Dan celah itu adalah TKA (ilegal) asal China yang jumlahnya kita tidak tahu. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Lintas Provinsi menduga hal yang sama. Mereka khawatir TKA dari China berpotensi mengacaukan dan mengintervensi Pemilu/Pilpres mendatang. Kekhawatiran rakyat harus dijawab pemerintah. Kita tahu, telah menjadi rahasia umum bahwa Pemilu atau Pilpres seringkali menjadi ajang bagi adu strategi kecurangan. Sekecil apapun celahnya, tetap berpotensi dimanfaatkan. Lalu apa solusinya? Yang paling jitu adalah memulangkan TKA asal China ke negaranya secara berangsur, khususnya TKA non skill atau mereka yang berada di luar daftar TKA resmi pemerintah. Untuk apa mereka di Indonesia kalau bidang pekerjaannya dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia. Ombudsman RI menyatakan sebagian besar TKA China adalah buruh kasar. Pernyataan tersebut diungkapkan Ombudsman berdasar hasil investigasi penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka penempatan dan pengawasan TKA di Indonesia yang dilakukan pada Juni-Desember 2017. Seharusnya pemerintah lebih peka dan menunjukkan keberpihakan terhadap buruh-buruh lokal. Terlebih, pandemi Covid-19 telah meluluh lantakkan ekonomi masyarakat. Stop sumber masalah, pulangkan TKA asal China. (*)

Anggota DPR Minta Menko Luhut Fokus Urus Minyak Goreng

Jakarta, FNN - Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus meminta Menko Maritim dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Panjaitan untuk fokus mengurus pengendalian harga minyak goreng dan tidak melebar ke berbagai bidang, termasuk melakukan audit terhadap lahan dan perusahaan sawit.\"Ini kok jadi aneh, merembet ke mana-mana, seharusnya urus dulu bahan baku minyak goreng dan distribusinya,\" kata Deddy di sela Pameran Festival Kopi Nusantara, di Senayan, Jakarta, Sabtu.Menurut dia, hal itu tidak ada kaitannya dengan upaya menjamin pasokan dan mengendalikan harga minyak goreng, seperti penugasan dari Presiden Joko Widodo.Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini menyebutkan, bila Luhut hanya mau tahu berapa produksi CPO dan minyak goreng, sebenarnya sangat mudah, yakni tinggal mengaudit pabrik kelapa sawit (PKS), periksa dokumen ekspor dan faktur penjualan perusahaan.Sedangkan Luhut sendiri diketahui akan melakukan audit terhadap lahan atau konsesi perusahaan sawit.\"Hal ini sebenarnya bukanlah tugas Menko Marinves. Itu tugasnya Kementerian Kehutanan-LH, Kementerian Keuangan, Kementerian ATR,\" papar Deddy dalam keterangannya.Kedua, melakukan audit lahan, menurut Deddy, bukan saat yang tepat untuk dilakukan saat ini. Selain tidak ada kaitannya dengan urusan pengadaan minyak goreng, juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan atau \"conflict of interest\".\"Nanti Pak Luhut malah sibuk urus lobi-lobi pengusaha sawit yang selama ini mencaplok lahan negara di luar HGU nya. Terus kapan selesainya urusan minyak goreng ini,\" ujarnya.Oleh karena itu, anggota DPR RI dari daerah pemilihan Kalimantan Utara ini meminta agar Luhut fokus saja pada urusan minyak goreng karena hingga hari ini pasokan dan harga minyak goreng belum bisa dikatakan normal, juga tidak ada jaminan persoalan kelangkaan dan harga minyak tidak terulang di masa depan.\"Baiknya Pak Luhut fokuslah dulu, uruslah minyak goreng dan tidak melebar menjadi mengurus industri sawit,\" ujar Deddy.Dia mengaku sudah lama mengetahui tentang praktek kotor para pengusaha sawit. Banyak dari mereka yang menguasai lahan di luar HGU, menipu rakyat dengan sistem plasma yang memiskinkan petani, manipulasi pajak dan sebagainya.Tetapi menurut Deddy, itu masalah lain dan biarlah diselesaikan oleh kementerian teknis. Menurutnya, hal itu setelah tata niaga dan sistem distribusi minyak goreng dapat diatasi secara sistemik dan jangka panjang.\"Kita harus terbiasa bekerja sesuai sistem, mekanisme dan regulasi. Tidak baik kalau selalu ad hoc dan bertindak seperti pemadam kebakaran. Audit lahan dan perusahaan itu harus sesuai kewenangan, regulasi, transparan dan tidak menimbulkan rumor miring,\" tuturnya.Jangan nanti dikira Pak Luhut sedang mengacak-acak industri sawit untuk kepentingan dan tujuan tertentu, demikian Deddy Yevri Sitorus. (mth/Antara)

Formappi Minta Pj Kepala Daerah dari TNI-Polri Aktif Segera Dikoreksi

Jakarta, FNN - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus minta penunjukan TNI/Polri aktif sebagai penjabat (Pj) kepala daerah mesti segera dikoreksi. \"Saya kira ini babak-babak awal. Kalau ini tidak segera dicegah, apa yang sedang terjadi dengan memberikan semacam peluang kepada TNI/Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil,\" kata Lucius dalam keterangan di Jakarta Sabtu. Hal itu dia ungkapkan untuk menanggapi penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. \"Saya kira ini babak yang di 1998 lalu juga ditakutkan oleh publik ketika kemudian TNI/Polri menduduki jabatan sipil,\" kata dia. Lucius menegaskan pemerintah dan DPR harus segera memastikan jabatan sipil tidak disandang oleh anggota TNI/Polri aktif. Ia juga mengungkap potensi yang bisa muncul jika anggota TNI/Polri aktif semakin bebas menduduki jabatan sipil. \"Saya kira penting untuk sejak awal mendesak, mendorong pemerintah dan DPR untuk memastikan tegaknya aturan terkait dengan jabatan sipil yang tidak boleh disandang TNI/Polri,\" kata dia. Lucius mengatakan penunjukan itu tidak sesuai dengan semangat dan amanat reformasi. Selain itu, katanya juga melanggar aturan. Lucius khawatir penunjukan itu hanya menjadi awal dari penunjukan Pj kepala daerah yang tidak sesuai aturan. Menurutnya menjelang kontestasi 2024 aroma politik semakin hangat. Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani meminta pemerintah melakukan proses seleksi secara transparan dan terbuka bagi partisipasi publik. Puan menekankan agar proses tersebut bebas dari kepentingan politik. “Siapkan sarana yang memadai apabila masyarakat hendak memberi masukan dan lakukan penyaringan secara terukur dan terbebas dari kepentingan politik,” ujar Puan. Sementara itu, Ray Rangkuti, pendiri Lingkar Madani menyatakan pengangkatan anggota TNI aktif melanggar UU No.5 tahun 2015 pasal 20 ayat 3 tentang jabatan sipil yang boleh diemban adalah yang berada pada instansi pusat dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. UU melarang TNI menduduki jabatan sipil, di luar 10 institusi. Institusi yang tertuang diantaranya Kemenkopolhukam, Kemenhan Lembaga Sandi Nasional, dan Mahkamah Agung. “Setidaknya 8 dari 10 yang diberikan untuk duduk di posisi masih berkaitan dengan fungsi mereka sebagai pertahanan. Pelibatan TNI aktif dalam Jabatan sipil tidak boleh jauh dari fungsi pokok mereka sebagai lembaga yang berurusan dengan pertahanan negara,“ ujar Ray. (mth/Antara)

50 Tahun Lebih Dewan Da'wah Masuk Pedalaman

Jakarta, FNN - Ketua Umum Dewan Da\'wah Islamiyah Indonesia Dr. H. Adian Husaini M.Si mengatakan selama ini Dewan Da\'wah identik sebagai lembaga pendidikan dan dakwah pedalaman. Menurut Adian, meski saat ini banyak lembaga Islam yang juga turut berdakwah di pedalaman, tetapi hal ini tidak membuat Dewan Da\'wah kehilangan ciri khasnya.  Selama ini Dewan Da\'wah dikenal sebagai lembaga yang konsen dakwah di pedalaman.  Hal itu disampaikan Adian saat memberikan sambutan pada Haflah dan Silaturahim Idul Fitri 1443 Hijriah di aula Masjid Al Furqan Dewan Da\'wah, Kramat Raya 45, Jakarta Pusat, Sabtu (28/5/2022). \"Itu banyak sekali organisasi-organisasi Islam lembaga-lembaga yang terjun dakwah di daerah pedalaman. Tapi dakwah di pedalaman tidak bisa lepas dari Dewan Da\'wah. Sudah 50 tahun lebih Dewan Da\'wah menjalankan dakwah di pedalaman,\" ungkap Adian. Dikatakan Adian, langkah para pendiri Dewan Da\'wah mengirim dai-dai ke daerah pedalaman merupakan langkah strategis. Apalagi saat ini dilanjutkan dengan pola kaderisasi yang tersistem di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir. \"Alhamdulillah, STID Mohammad Natsir sudah berkiprah 20 tahun lebih.  Sudah meluluskan lebih dari 700 dai tingkat S1. Sekarang kita masih mendidik 885 kader dai tingkat S1,\" jelas Adian. Adian melanjutkan, STID Mohammad Natsir ini bisa disebut sebagai satu-satunya pusat kaderisasi dakwah nasional untuk tingkat S1. Bahkan, keberadaan dan kiprah STID Mohammad Natsir mendapat apresiasi dari YADIM, yayasan dakwah yang berada di bawah pemerintahan Malaysia. Potensi Umat Sementara itu Ketua Pembina Dewan Da\'wah Islamiyah Indonesia KH Didin Hafidhuddin menilai selama ini umat terlalu fokus membahas problem-problem internal.  \"Kita lebih banyak berbicara masalah, problem. Seolah-olah kita hidup ini penuh dengan masalah. Tidak ada jalan keluar bagaimana mengatasi masalah,\" ungkap Kiai Didin.  Menurut Kiai Didin, umat Islam memiliki berbagai macam potensi. Dengan sibuk membahas dan menggali potensi umat, maka rasa optimisme dalam memperjuangkan Islam terus membara. \"Sebenarnya kita ini adalah umat yang memiliki berbagai macam potensi. Jadi umat Islam itu di dalam Alquran disebut dengan ummatan wasathan, sebagai umat pertengahan,\" kata Kiai Didin. Ketika potensi umat ini tergali, jelas Kiai Didin, maka ini menjadi solusi mengatasi problem-problem internal umat.  \"Dengan potensi itu Insya Allah, dengan ketekunan,  dengan pertolongan Allah kita akan mengatasi masalah masalah problematika yang kita hadapi,\" jelas Kiai Didin. Salah satu potensi umat yang bisa digali adalah ekonomi syariah. Sebagai ajaran komprehensif, Islam mengatur aspek kehidupan seperti politik hingga ekonomi. Dikatakan Kiai Didin, saat ini negara-negara di dunia tengah mengalami kebangkrutan ekonomi karena praktek ekonomi ribawi. \"Allah menghancurkan riba dan menghidupkan sodaqoh. Allah akan mengembangkan sodaqoh. Sodaqoh yang bisa kita lakukan,\" ungkap Kiai Didin. (TG)

Negara Butuh Strong Leader, KAHMI Pare-Pare Dukung LaNyalla Jadi Presiden

Jakarta, FNN  - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, dinilai tepat untuk menjadi presiden. Pasalnya, Indonesia membutuhkan sosok strong leader seperti LaNyalla.  Penilaian itu disampaikan Pengurus KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) Kota Pare-Pare saat beraudiensi dengan LaNyalla, di kediaman Ketua DPD RI, Jakarta, Sabtu (28/5/2022). Hadir dalam pertemuan itu Muh. Salim Sultan (Ketua Harian KAHMI Pare-Pare), HM. Nur Azis T ( Ketua Dewan Penasehat), Ja\'far (Ketum HMI Kota Pare-Pare), Agussalim Alwi (Majelis Nasional KAHMI), Andi Tobo (Ketua Pakar KAHMI Sulsel) dan H.A Rahman Saleh (Presidium KAHMI). Sedangkan Ketua DPD RI didampingi Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan staf ahli Ketua DPD RI Baso Juherman. Ditegaskan oleh Muh. Salim Sultan, kondisi bangsa Indonesia yang semakin memprihatinkan saat ini, dibutuhkan  pemimpin yang kuat. Hanya dengan itulah bangsa ini bisa keluar dari krisis. \"Bangsa ini butuh strong leader. Sosoknya ada pada diri Pak LaNyalla. Kami melihat Bapak seorang yang punya keberanian, ketegasan dan sangat berpihak pada rakyat. Makanya kami mendukung Bapak sebagai Presiden,\" ujarnya. Realitasnya, lanjut Muh. Salim Sultan, ada aturan yang membungkam upaya tersebut. Yaitu ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold 20 persen. Terkait hal itu juga, KAHMI Pare-pare menyampaikan persetujuannya dengan langkah Ketua DPD RI yang mengajukan mengajukan judicial review pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.  \"Dalam pandangan kami, Presidential Threshold 20 persen merupakan tirani. Parpol sangat berkuasa. Akhirnya oligarki semakin mencengkeram dan bisa  menentukan kebijakan karena mereka masuk di lingkar kekuasaan,\" ucapnya.  Dalam kesempatan itu, KAHMI Pare-Pare juga ingin mengundang LaNyalla untuk hadir dalam Musyawarah Daerah yang akan dilaksanakan pada Juni mendatang. Dalam rangkaian acaranya KAHMI akan menyelenggarakan diskusi terkait PT 20 persen tersebut. Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyampaikan perjuangan DPD RI di Mahkamah Konstitusi. Harapannya MK menyadari bahwa lembaga tersebut didirikan untuk menjaga tegaknya konstitusi. \"Jadi kalau ada Undang-undang yang melanggar Konstitusi seharusnya MK membatalkannya,\" tukas dia. Menurut LaNyalla, UUD 1945 pasal 6A tidak mengatur ambang batas 20 persen pencalonan Presiden. Namun, pemerintah dan DPR yang merupakan representasi partai politik malah membuat adanya ambang batas 20 persen untuk Presiden yang dituangkan di pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. \"Kita masih menunggu MK untuk menghapus pasal yang tidak derivatif dari Konstitusi tersebut. Akan jadi pertanyaan besar jika MK tak mau menghapusnya.  Yang menggugat saat ini lembaga DPD RI loh. Tidak main-main,\" ucap LaNyalla. LaNyalla juga berharap Presiden Jokowi menunjukkan sikap pro konstitusi. Menurutnya Presiden dalam hal ini Pemerintah dan DPR adalah pihak yang membuat UU tersebut.  \"Maka sudah seharusnya Presiden menunjukkan sikap yang tegas ikut menegakkan Konstitusi dengan meninjau kembali Undang-Undang yang tidak sesuai konstitusi itu,\" tegasnya. (sws)