FORUM-RAKYAT

Negara Tidak Boleh Kalah Hadapi Bencana

KEMARIN, Presiden Jokowi gagal berkunjung ke Majene salah satu episentrum gempa bumi di Sulawesi Barat. Alasannya, karena jalan menuju ke lokasi terputus akibat longsor. Seorang kepala negara gagal mengunjungi korban bencana alam jelas sangat memalukan. Apalagi kalau alasannya cuma karena kendala transportasi. Padahal, mempunyai helikopter kepresidenan? Kalau helikopter tersebut ditinggal di Jakarta bukankah presiden bisa meminjam helikopter dari Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin, Makassar? Kenyataan ini membuat kita menjadi miris mengingat belakangan ini sering terdengar slogan “Negara Tidak Boleh Kalah” yang digembar-gemborkan oleh beberapa pejabat dan ormas tertentu. Slogan tersebut adalah bahasa politik yang merujuk pada sebuah ideologi tertentu untuk yang menyudutkan sebuah kelompok tertentu dalam masyarakat yang berujung pada pembubaran Front Penyelamat Islam (FPI) baru-baru ini. Baru-baru ini kita saksikan “negara” begitu gagah dan percaya diri membubarkan FPI, menangkap pemimpinnya Habieb Rizieq Shihab, bahkan membekukan semua rekening bank yang terkait dengan FPI. Akan tetapi, sekarang kita melihat presiden gagal menuju ke lokasi bencana hanya karena kendala transportasi. Artinya, negara saat ini begitu lemah ketika menghadapi bencana alam. Padahal ribuan korban gempa menunggu kedatangan presiden agar mendapat perhatian sungguh-sungguh. Negara kita sekarang ini memang terlihat kuat kalau menghadapi hantu. Iya namanya juga hantu, sesuatu yang tak terlihat tetapi menakutkan. Akan tetapi, anehnya begitu menghadapi realitas, tiba-tiba negara menjadi lemah. Lihat saja bencana alam di awal tahun ini begitu beruntun, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa, angin puting beliung hingga gunung meletus. Kita saksikan betapa rakyat harus berjuang sendiri menghadapi alam yang ganas. Banyak yang marah-marah kepada pemerintah karena terlambat mendatangkan bantuan logistik, kesehatan dan segala pertolongan pertama yang dibutuhkan para korban. Bencana alam adalah takdir yang dihadapi Indonesia dari tahun ke tahun. Harusnya kita sudah siap menghadapi setiap kali bencana datang. Dunia internasional sudah lama menetapkan Indonesia sebagai negara paling rawan bencana. Segala perhatian dan bantuan keuangan internasional sudah banyak mengalir ke negeri ini. Kendala transportasi harusnya bukan menjadi alasan lagi bagi negara agar segera memberikan bantuan dan harapan hidup bagi rakyat yang tertimpa musibah. Uang hibah dari dunia internasional selama ini ke mana saja larinya? Itu yang jadi pertanyaan rakyat sekarang. Tahun lalu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus menyewa helikopter Chinook dari Amerika Serikat untuk mengatasi kebakaran hutan dan penanggulangan Covid-19. Artinya, BNPB dari dulu butuh alat angkut berat lintas udara untuk memaksimalkan tugas mereka sebagai leading sector di bidang bencana alam. Akan terapi, badan yang kini dipimpin Doni Monardo itu cuma bisa menyewa. Kalau masa sewa habis ya harus dikembalikan. Nah ketika bencana alam terjadi beruntun di bulan Januari ini, helikopter itu tidak nongol di pusat bencana besar seperti banjir besar di Kalsel dan gempa hebat di Sulbar ini. Helikopter angkut raksasa sekelas Chinook adalah urgensi bagi Indonesia. Sudah banyak stake holder atau pemangku kepentingan kebencanaan yang memimpikan Indonesia memiliki helikopter serba guna ini. Namun, sampai sekarang tidak kesampaian. Konon karena harga dan biaya perawatannya mahal. Ada yang bilang lebih baik menyewa saja. Masalahnya, kalau menyewa, perlu waktu untuk mendatangkannya dari luar negeri. Sementara bencana dan korban perlu pertolongan secepat mungkin. Sekarang bandingkan urgensinya dengan proyek LRT dan bandara internasional yang digeber habis-habisnya beberapa tahun terkahir. Faktanya LRT Palembang dan Bandara Soekarno- Hatta tidak diminati masyarakat. Bandara Internasional Kertajati dan Silangit sepi total. Semua proyek ini merugi dan mungkin pinjamannya sulit dibayar. Padahal, proyek tersebut tidak mendesak dibangun. Tidak ada juga masyarakat setempat yang mendesak kepada pemerintah agar membangun proyek itu. Tarulah misalnya BNPB tidak punya anggaran untuk membeli dan merawat pesawat ini. Namun, anggarannya bisa dialokasikan untuk alat angkut di bawah penguasaan TNI atau Polri. Dalam keadaan perang, pesawat tersebut terbukti efektif sebagai alat angkut maupun artileri udara. Dalam keadaan damai pesawat ini sangat handal digunakan untuk operasi kemanusiaan. Tidak usah jauh-jauh, Singapura pernah mengirim armada heli Chinook-nya saat membantu bencana tsunami di Aceh, 26 Desember 2004. Helikopter inilah yang mengirim logistik dan mengevakuasi korban dari wiayah-wilayah yang tak terjangkau alat transportasi lain. Heli ini harganya mahal. Namun sangat efektif dan tangguh. Bisa mengangkut 50 personil, 12 ton barang, jarak jelajahnya pun luar biasa, bisa sampai 700 km lebih. Singapura yang luasnya cuma 700 km persegi saja punya pesawat ini. Mereka membelinya tentu bukan sekedar untuk menjaga wilayahnya yang secuil itu. Pembeliannya, jelas karena punya misi kemanusiaan, TNI-AD sejak tahun 2018 sudah berniat membeli helikopter ini. Tapi sampai sekarang tidak jelas kelanjutannya. Untuk tahun anggaran 2021, TNI dan Polri masing-masing mendapat pagu anggaran sebesar Rp 140 triliun dan Rp 120 triliun yang menempatkan mereka sebagai tiga besar penerima APBN selain PUPR. Tapi tidak terlihat rencana kongkrit mereka untuk menganggarkan pembelian alat transportasi serba guna ini untuk alat angkut personil maupun misi kemanusian. Negara tidak boleh kalah. Kita butuh TNI dan Polri yang memiliki daya gentar terhadap musuh negara. Namun, kita jadi sedih sekarang karena melihat TNI dan Polri begitu sigap mencopoti baliho FPI, tapi tak berdaya ketika harus segera memberi pertolongan kepada rakyat yang tertimpa bencana. **

Jokowi Tidak Sial di Hari Rabu

TAMPAKNYA hari Rabu adalah segalanya bagi Presiden Jokowi. Segala aktivitas pentingnya harus diawali pada hari Rabu. Perihal keistimewaan hari Rabu ini pun sudah menjadi rahasia umum. Publik memperbincangkannya dengan beragam penilaian. Sejak menjadi presiden periode pertama, Jokowi selalu memilih hari Rabu sebagai hari andalan untuk menandai peristiwa-peristiwa penting, mulai dari peresmian proyek, penentuan kabinet, dan terakhir penyuntikan perdana vaksin Covid-19. Sebagian masyarakat menganggap apa yang dilakukan Jokowi adalah praktik klenik, sebab semua hari adalah baik, tak perlu cari hari baik, tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa itu budaya Jawa yang sudah turun temurun. Faktor kehati-hatian menjadi patokan masyarakat Jawa. Oleh karena itu pentingnya menentukan hari baik. Mengapa yang dipilih hari Rabu, sebab Jokowi sendiri lahir pada Rabu, 21 Juni 1961. Hari ini dalam tradisi Jawa memiliki makna khusus. Masyarakat Jawa percaya, jika seseorang ingin punya hajat tidak mencari hari baik, maka akan tertimpa kemalangan atau kesialan. Jokowi tampaknya ingin semua kebijakannya berjalan baik, lancar, dan terhindar dari sial. Ia menyandarkan hari baik itu pada hari Rabu. Benarkan ritual hari Rabu ini menyelamatkan Jokowi? Mari kita telusuri catatan ke belakang. Pada awal jabatannya sebagai Presiden, Jokowi melakukan pelantikan pertama Kabinet Gotong Royong pada Hari Rabu (22/10/2014). Dua bulan kemudian, Jokowi memilih hari Rabu akhir Desember 2014, untuk boyongan ke Istana Bogor. Namun sial, dua tahun kemudian Jokowi merombak kabinet besar-besaran pada Rabu, 27 Juli 2016. Ternyata ada yang salah dari orang-orang yang difilternya. Perombakan ini dilakukan lantaran banyak menteri yang tidak punya kapabilitas. Jokowi mengutak-atik 11 posisi kementerian di Kabinet Kerja jilid II. Satu setengah tahun kemudian, Jokowi kembali merombak susunan kabinet juga pada Rabu, 17 Januari 2018. Saat itu ia mengganti posisi Menteri Sosial, Kepala Staf Presiden, menambah anggota Wantimpres dan pelantikan KSAU. Pada awal 2019 Jokowi melakukan pertemuan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) usai pencoblosan Pilpres kala itu. Jokowi maunya di hari Rabu, yakni 22 Mei 2019. Toh setelah itu tidak ada komunikaai yang baik di antara keduanya. Pada periode kedua, Presiden Jokowi juga melakukan pelantikan Kabinet Indonesia Maju pada hari Rabu (23/10/ 2019). Tapi sial, satu tahun kemudian, tepatnya pada Rabu, 25 November 2020, Kabinet Jokowi tertimpa musibah. Orang yang dipilihnya berkhianat. Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus ekspor benur lobster. KPK menangkap Edhy, sepulang dari lawatannya ke Amerika Serikat bersama istrinya di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada Rabu dini hari. Ndilalahnya, Edy tertangkap hari Rabu juga. Tamparan keras buat Kabinet Jokowi. Tak hanya itu, 12 hari kemudian tepatnya pada Sabtu (5/12/2020) anggota kabinet yang sudah diritual dengan “Rabu Baik”, juga dicokok KPK. Dia adalah Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial termuda. Politisi PDIP ini harus berurusan dengan hukum dalam kasus dugaan suap pengelolaan dana bantuan sosial penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020. Konon uang yang dikorup mencapai Rp 3 triliunan. Ini korupsi yang sangat memalukan dan jahat. “Rabu Sakti” yang diistimewakan Jokowi ternyata tak mampu menjaga dari sambikolo, sial, dan wirang. Akan halnya dengan pelaksanaan penyuntikan vaksin Covid 19, di mana Presiden Jokowi adalah orang yang pertama kali divaksin. Momen penting ini juga dipilih hari Rabu sebagai “Hari Baik” bagi Jokowi, tepatnya pada 13 Januari 2021. Acaranya demonstratif, disiarkan langsung oleh banyak stasiun televisi, dari teras Istana. Pesan utama yang ingin presiden sampaikan adalah, vaksin sinovac aman, halal, dan suci. Sialnya, rakyat Indonesia kadung skeptis. Apalagi pro-kontra soal vaksin ini tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dari pemerintah. Rakyat bahkan tidak percaya, karena merasa terlampau sering dibohongi penguasa. Adegan heroik Jokowi disuntik vaksin, justru berubah jadi olok-olok. Berbagai macam keraguan muncul. Rakyat, antara lain, mempertanyakan apa betul yang disuntikkan itu vaksin Sinovac? Bukannya cuma vitamin biasa? Keraguan dan penolakan datang dari banyak kalangan, termasuk dari partai pendukung utama rezim. Adalah Ribka Tjiptaning anggota DPR dari PDIP terang-terangan menolak vaksin untuk dirinya dan anak cucunya. Ribka yang satu partai dengan Jokowi bahkan menuding di RRC vaksin sinovac adalah barang rongsokan. Ribka memilih jual mobil untuk membayar denda, ketimbang tunduk divaksin. Penolakan Ribka jelas menohok Jokowi. Jokowi jadi wirang karena kolega separtainya membangkang. Sial memang. Tak hanya Ribka, Trimedya Panjaitan juga menohok Jokowi dengan telak. Politisi PDIP itu bukan mencela soal vaksin, tetapi soal Listyo Sigit Prabowo, calon Kapolri pilihan Jokowi sebagai polisi yang tidak punya prestasi. Dari sisi pendidikan kepolisian Sigit bukanlah peraih Adhi Makayasa seperti Tito Karnavian. Sepanjang karirnya sebagai jenderal polisi, Sigit hanya menjabat sebagai Kapolda Banten (2016-2018), bukan Polda kelas A seperti Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Metro Jaya. Jokowi dilanda sial karena banyak perlawanan dari dalam lingkungan Jokowi sendiri. Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menolak Jokowi yang akan menunjuk Kabareskrim Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri baru pengganti Jenderal Polisi Idham Azis yang akan pensiun 25 Januari 2021. “Karena itu, demi masa depan NKRI, Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo, tidak layak diusulkan apalagi dipilih jadi Kapolri 2021 ke depan,” kata Petrus. Koor pembangkangan sedang nyaring dinyanyikan oleh PDIP yang mustinya atau komando mendukung kebijakan Jokowi. Perihal hari Rabu, kita masih ingat kejadian 2 Mei 1992 di Jogjakarta. Bambang Wahyu Nirbito dan Ambar Widyatmoko keduanya 27 tahun, mahasiswa Akademi Akuntansi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (AA-YKPN), harus mendekam di Polresta Jogjakarta hanya gara-gara Hari Rabu. Lelucon yang ia mainkan di depan sekitar 500 mahasiswa menuai badai. Saat mengisi acara di Radio Geronimo Yogya mereka memelesetkan bagian ayat Quran. "Wa laa taqrabuzzinaa...". Ayat ini sebenarnya berarti "jangan mendekati zina". Namun, oleh mereka, dipelesetkan menjadi, "Jangan berzina di hari Rabu. Jadi, boleh berzina pada hari lainnya. Maka, marilah kita berzina sepuas-puasnya." Buntutnya, mereka harus mendekam di kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan pelecehannya. Kini, apakah ritual Jokowi “Rabu Baik” itu membawa kedamaian bagi bangsa Indonesia? Apakah kesejahteraan rakyat tercipta berkat “Rabu Baik?” Apakah utang luar negeri berkurang, pertanian subur, harga harga terjangkai, pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen, hukum tegak, ulama dan umat terlindungi, semua gara-gara “Rabu Baik?” Tampaknya, Jokowi hanya merasa nyaman dan damai di hari Rabu. Hari-hari lain ia pusing cenderung frustasi menghadapi suara suara kritis di masyarakat. Apalagi suara langit yang dikumandangkan peramal Mbak You bikin merinding rezim Jokowi yang diteropong akan jatuh pada 2021. Untuk mengurangi ketegangan rezim, Mbak You pun buru-buru meralat ramalannya, Jokowi bukan lengser 2021 tetapi akan turun pada 2024. Padahal, Mbak You tidak meramal, ia cuma merangkai peristiwa, membaca medsos, dan mengira- ira saja. Tetapi Jokowi yang kadung percaya dengan dunia ghaib dan “Rabu Baik”, tampaknya sangat percaya ramalan Mbak You. Jika pemimpin percaya ramalan dan utak-atik gathuk, maka kebijakannya pun tambal sulam, sporadis, dan sesukanya. Jika tabiat ini tidak diubah, maka hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan Jokowi. *)

BI Cetak Uang Rp 300 Triliun

INI kabar menarik dan teranyar dari Bank Indonesia (BI). Bank sentral yang berkantor pusat di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat itu dikabarkan akan segera mencetak uang kartal Rp 100 triliun sampai Rp 300 triliun. Tentu, BI mengordernya ke Perum Peruri (Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia). Langkah tersebut harus diambil karena keadaan darurat keuangan negara yang semakin kritis. Keadaan terpaksa, itulah yang diambil oleh otoritas moneter nanti. Sebab, jika tidak buru-buru mencetak uang, dalam beberapa bulan ke depan tidak ada lagi dana untuk membayar gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri. Apa betul sudah mulai tidak ada uang negara? Bisa benar, jika melihat kejadian terlambatnya pembayaran gaji ASN di beberapa daerah, pada Januari 2021. Biasanya ASN, sudah menerima gaji tanggal 1, tapi bulan ini ada yang mundur sampai tanggal 8. Ini dialami ASN di DKI Jakarta dan Banten, misalnya. Terlambat, karena alasan ada perbaikan sistem. Kok perbaikan sistem di DKI Jakarta dan Banten bisa kompak. Jangan-jangan daerah lain juga sama sehingga gaji ASN terlambat. Bahkan, info yang diperoleh, gaji TNI juga terlambat. Bisa jadi perbaikan sistem secara bersamaan itu benar dalam arti, dari yang biasanya ada uang menjadi tidak ada. Makanya, terlambat bayar. Rencana mencetak uang antara Rp 100 triliun sampai Rp 300 triliun kelihatannya tidak main-main. Berdasarkan kabar yang diperoleh, Gubernur BI Perry Warjiyo sudah membahas rencana tersebut dengan pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari Kemenkeu kabarnya baru diwakili pejabat setingkat Eselon I. Sedangkan dari OJK juga belum diikuti oleh ketuanya. Bisa jadi, karena ini pembicaraan awal, Menteri Keuangan dan Ketua OJK masih mengutus wakil. Akan tetapi, dalam pertemuan tersebut, Perry sebagai tuan rumah alias pengundang menggambarkan situasi keuangan negara yang semakin kritis. Sebab, dari sisi penerimaan pajak tahun 2021 ini sangat jauh dari harapan. Hal ini berkaca pada pengalaman penerimaan pajak tahun 2020 yang juga tidak sesuai target. Selain penerimaan pajak yang seret, investasi juga tidak mencapai target, sementara penerimaan negara juga meleset dari target. Padahal, pengeluaran pemerintah semakin besar. Mengharapkan utang atau pinjaman juga semakin sulit. Sebab, semua negara lebih fokus pada pemulihan ekonomi masing-masing. Semua tahu, pinjaman bilateral, multilateral dan institusi keuangan global cukup ketat. Penerbitan SBN atau Surat Berharga Negara mulai jenuh, sehingga satu-satunya jalan sebagai solusi penambal APBN adalah mencetak uang. Jika mencetak uang sampai Rp 300 triliun merupakan alternatif yang diambil, itu sangat berisiko. Sebab, mencetak uang di luar batas-batas yang telah ditetapkan oleh undang-undang, jelas mengundang berbagai dampak dan masalah. Dampak paling jelas dan mengerikan adalah inflasi akan naik tidak karu-karuan. Inflasi bisa terbang meroket. Ingat, tahun 1998, inflasi mencapai 77,63 akibat kerusuhan yang terjadi di berbagai kota di tanah air, saat berakhirnya era Orde Baru. Saat itu tidak ada cetak uang kartal. Yang ada justru penjarahan uang negara oleh 48 bank melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebanyak Rp 144,5 triliun. Dari jumlah itu, Rp 138 triliun atau 95 persen berpotensi dikorupsi atau diselewengkan. Jika BI pada akhirnya mencetak uang kartal sampai angka Rp 300 triliun atau bisa jadi lebih besar dari itu, selain memicu inflasi jelas merembet ke lainnya, terutama daya beli masyarakat yang semakin tertekan, karena harga terus membubung/melambung. Ditambah lagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin terpuruk. Jika ekspor berjalan bagus, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu tentu bagus. Akan tetapi, ekspor Indonesia, terutama yang dihasilkan petani masih jalan di tempat. Mencetak uang kartal dengan maksud pemulihan ekonomi bukanlah sebuah jalan keluar yang tepat. Apalagi, ketika awal Mei 2020 yang lalu, Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menolak mentah-mentah usulan DPR agar mencetak uang kartal Rp 600 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19. Apakah penolakan itu merupakan bentuk sikap dari BI dan pemerintah yang tidak mau didikte oleh DPR? Semua masih menunggu jawaban. Mencetak uang kartal dalam jumlah ratusan triliun rupiah, bukan merupakan praktik kebijakan yang lazim dan prudent dilakukan oleh sebuah bank sentral. Dengan catatan, kecuali kepepet dan mendapatkan tekanan dari penguasa. Ini ibarat pepatah buah simalakama. "Dimakan mati ayah, tidak dimakan mati ibu." Cetak uang membuat daya beli masyarakat terpukul, tidak mencetak lebih terpukul lagi. **

Lima Episode Drakor Vaksin Rongsokan

DI negeri kita, apapun harus jadi drama. Pencopotan baliho dilakukan pasukan tempur terlatih. Pembubaran FPI pakai SKB enam menteri dan pejabat tinggi. Pemindahan Habib Rizieq Shihab (HRS) dari tahanan Polda Metro ke Bareskrim Polri dikawal aparat bersenjata laras panjang, layaknya menjaga pentolan teroris, bos mafia, atau gembong narkoba. Sementara itu, saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini membantah adanya tudingan blusukan politik yang dilakukan Mensos. Risma membantah dengan mata berkaca-kaca, suara bergetar, dan bersumpah dengan nama Tuhan. Penyuntikan vaksin perdana produksi Sinovac jadi drama teranyar besutan Istana. Rabu Wage 13 Januari 2021 ditetapkan sebagai hari baik. Selanjutnya, asesoris disiapkan. Emergency use authorization dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dikeluarkan. Fatwa halal dan suci dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sertifikat halal dari BPJPH. Lakon pun dimulai. Presiden Jokowi disuntik pertama. Publik memelototi detik-detik jarum suntik menusuk lengan kiri Presiden. Aneh juga. Prof. Abdul Muthalib, Wakil Ketua Tim Dokter Kepresidenan, yang sudah sangat berpengalaman, terlihat gemetar juga. Padahal Prof. Abdul Muthalin adalah dokter yang sangat senior. Seorang dokter di Cirebon mempersoalkan ukuran volume spuit yang cuma 1 cc. Posisi penyuntikan yang tidak tegak lurus, alias tidak intra-muskular. Sebagian cairan vaksin tertinggal di spuit. Memang PB IDI buru-buru membantah klaim anggotanya itu. Tetapi publik sudah kadung punya alasan kuat untuk meragukan adegan tersebut. Judul dramanya, “Jangan-jangan Ada Dusta di Antara Kita”. Mood publik soal vaksin tambah rusak gegara polah tak senonoh pesohor Raffi Ahmad. Setelah paginya didapuk ikut menerima vaksin perdana mewakili milenial, malamnya Raffi kedapatan bersuka-ria dalam sebuah pesta pribadi bersama sejumlah sosialita Jakarta, termasuk Ahok. Pesta dilaksanakan di sebuah rumah di kawasan elit Prapanca, tanpa protokol kesehatan. Istana kena tampar keras tepat di wajah. Kalau pemidanaan tidak dilakukan terhadap Raffi dan Ahok, bisa dipastikan publik mendapat satu bukti lagi bahwa pemidanaan HRS yang berawal dari sangkaan melanggar prokes, bukan soal penegakan hukum, melainkan dendam kesumat politik. Sampai di sini, judul dramanya “Habis Berkah, Terbitlah Musibah”. Sejatinya skenario drama sudah kacau sejak H-1. Dr. Ribka Tjiptaning, kader PDIP, yang statusnya sama dengan Pak Jokowi, yaitu petugas partai, dalam Raker dengan pemerintah yang diwakili Menteri Kesehatan, frontal menolak vaksin Corona. Walaupun klaim-klaim yang dia kemukakan vaksin banyak menimbulkan masalah. Vaksin polio menyebabkan lumpuh layu, vaksin filariasis menewaskan 12 orang. Vaksin Sinovac belum melewai uji klinis tahap III. Jelas saja tidak valid. Tetap saja publik menikmati sensasi aktingnya yang berapi-api. Apalagi di Raker lanjutan, sehari sesudah vaksinasi perdana, Ribka menuding vaksin Sinovac adalah barang rongsokan. Publik jadi bertanya-tanya, apa maksud tersirat dibalik lakon yang dipentaskan oleh dr. Ribka Tjiptaning tersebut? Bisa jadi ini kode keras dari PDIP, yang tidak diajak dalam proses pengadaan vaksin. Padahal konon anggaran yang disediakan untuk pengadaan Vaksin Sinovac bernilai besar, yaitu USD 1,49 miliar, atau setara dengan Rp. 20,9 trilyun. Bisa juga ini adalah upaya PDIP membangun kesan peduli pada urusan rakyat, untuk memperbaiki citranya yang babak belur sebagai parpol terkorup. Apalagi setelah Juliari Batubara dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam urusan korupsi Bantuan Sosial (Bansos). Di sini judul drama berganti jadi “Sekali Bersuara Lantang, Dua-Tiga Aib Tertutupi”. Ternyata drakor vaksin Covid-19 tidak hanya pentas di panggung utama. Panggung samping pun punya cerita. Brasil merevisi tingkat efikasi vaksin Sinovac, dari 78%, menjadi hanya 50,4%. Artinya, cuma sedikit di atas batas minimum yang ditetapkan WHO. BPOM memang merilis data interim efikasi 65,3%. Tapi insider informan berbisik, angka sesungguhnya di bawah 50%. Menurut epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengatakan, efikasi yang rendah itu menunjukkan bahwa vaksin Sinovac tidak cukup efektif untuk mencegah dan mengendalikan penularan Covid-19. Bahkan media asing memberitakan, Presiden Indonesia telah disuntik vaksin yang hasil uji klinisnya mengecewakan. Artinya, pemerintah memang membeli barang rongsokan. Untuk apa? Atau lebih tepatnya, untuk menguntungkan siapa? Episode ini judulnya “Belilah Daku, Kau Kutipu”. Masih ada satu episode lagi. Profesor Hukum dari kampus Bulak Sumur, yang baru seumur jagung jadi Wamenkumham, Edward Hariej mengancam “rakyat yang menolak vaksin bisa dipidana hingga satu tahun penjara dan/atau denda sampai 100 juta rupiah”. Lalu ramai orang mengkritik dan menghujat newbie di kabinet ini, mulai dari pakar hukum, hingga mantan komisioner Komnas HAM. Bahkan Bung Natalius Pigai mempertanyakan di mana Hariej sekolah? Sampai Hariej tidak mengerti penerapan UU Kekarantinaan Kesehatan. Yang parah, beberapa pejabat negara pun menafikkan pernyataan Hariej, termasuk bosnya, Menkumham Yasonna Laoly. Menkes Budi Gunadi Sadikin juga mengatakan, Hariej sudah ditegur di Rapat Kabinet. Nah, episode drama yang ini enaknya diberi judul “Tebar Ancaman, Tuai Hujatan”. Lama-lama rakyat jadi biasa, dan menerima saja peran Istana sebagai penulis skenario, sekaligus sutradara, drakor, alias drama kotor, yang tak ada habisnya. Termasuk dalam urusan vaksin kaleng-kaleng buatan China ini. Bahkan bisa jadi mereka ketagihan, menunggu-nunggu kelanjutannya, sekedar untuk memancing tawa, agar imunitas meningkat dalam menghadapi virus Corona. Jangan-jangan memang itulah tujuan Istana menggelar drakor ini. Agar rakyat senang, dan bisa terbahak bersama, sehingga melupakan enam jiwa warga negara yang melayang di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek (Japek), anggaran penanganan Covid-19 yang jadi bancakan partai-partai, dan demokrasi kriminal mahal yang dikendalikan para taipan.

Jokowi Yang Disuntik, Anak Tokoh PKI Curiga

PERISTIWA yang paling ditunggu publik adalah bagaimana reaksi medik terhadap kesehatan tubuh Presiden Jokowi setelah menjalani suntikan pertama vaksin Sinovak (asal China) di lengan kirinya, Rabu (13/01) lalu. Sebagian masyarakat dengan tingkat kecerdasan tertentu, menunggu dengan amat sangat. Malah ada yang cemas, dan itu mungkin saja. Sementara kelompok masyarakat lain dengan kecerdasan berbeda, lebih kritis, akan bersikap tenang. Tidak gupuh-gapah dan bingung. Karena sudah bisa menebak, pasti tidak terjadi apa-apa dengan Presiden Jokowi. Tidak akan jatuh sakit, pingsan misalnya. Apalagi sampai mati. Tidak mungkin itu. Jokowi agaknya, tengah memainkan trik propaganda “menang atau benar” di belakang. Sehingga lebih memiliki kualitas kebenaran tinggi. Bahkan lebih berarti. Sehingga tertancap opini publik, bahwa Jokowi adalah orang benar. Apalagi ini Presiden. Pandangan itu didasarkan pada penilaian dari khabar yang tersiar jauh hari sebelumnya, jika Jokowi dan beberapa pejabat tinggi negara ogah disuntik pertama kali vaksin dengan penangkal Covid-19 buatan negara komunis China itu. Bahkan pakar hukum Tata Negara, Refly Harun, dan beberapa kritikus lain sempat berlontar kata, Jokowi sebagai pemimpin harus bisa menjadi tauladan. Harus sanggup menjadi orang pertama yang bersedia disuntik vaksin. Nah, peristiwa Rabu lalu, penyuntikan Jokowi oleh Wakil Kepala Tim Dokter Kepresidenan, seakan-akan sebagai konfirmasi bahwa Jokowi bukan pengecut. Bukan juga pengkhianat. Jokowi adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya. Disini muncullah pembentukan opini publik, "Jokowi adalah pemimpin tulen. Berani mengambil resiko kematian sekali pun". Luar biasa hebatnya. Buktinya, tudingan miring para pengamat dan kritikus ternyata meleset semua. Tak terbukti. Namun begini. Segala hal yang berkaitan dengan penanganan sesuatu oleh pihak yang memiliki profesi tertentu, yang terjadi adalah sebuah kondisi dimana cuma pihak yang memiliki profesi yang menguasai persoalan. Sedangkan sisi pihak yang meminta tolong hanya bersandar kepada kenyataan “bergantung”. Karena memang tidak mengerti. Juga tidak mudeng. Misalnya, seseorang bermaksud memperbaiki sepeda motornya yang rusak. Entah kenapa, karena bukan ahlinya, maka motor itu dibawa ke sebuah bengkel motor. Padahal ngadatnya motor tersebut cuma karena businya yang sowak. Harganya murah. Apalagi kalu mau membeli sendiri. Namun karena pemilik motor bukan ahlinya, dibilang sama mekanik bengkel misalnya, kerusakan terjadi pada piston. Atau onderdil lain bagian dalam mesin. Pemilik motor dipastikan tidak tahu. Jangankan untuk memegang barang yang rusak. Melihat saja belum pernah. Maka pemilik motor tidak memiliki opsi lain, kecuali mengiyakan. Dalam praktek dunia suntik menyuntik. Pasti dilakukan oleh tenaga ahlinya, dokter atau para medis lainnya. Tidak ada pasien yang mengerti, obat atau cairan apa yang disuntikkan. Berapa cc seharusnya? Bagaimana reaksinya? Serta seluk-beluk dunia kedokteran lainnya. Semua tidak dikuasai oleh pasien. Nah, cairan yang disuntikkan ke lengan Presiden Jokowi itu apakah benar Sinovac? Boleh jadi itu cuma vitamin biasa yang memang tidak berefek frontal. Pingsan atau mati misalnya. Sebab, dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah plasebo. Plasebo adalah sebuah teknik pengobatan yang tidak memiliki dampak apa-apa. Lain kata, plasebo itu tindakan medis secara palsu yang bertujuan mengontrol efek dari pengharapan. Bisa jadi, Jokowi tengah berafirmasi. Atau melakukan testimoni di hadapan publik tentang mujarabnya Sinovac pabrikasi China komunis itu. Dengan harapan, setelah dia disuntik rakyat pun berbondong minta suntik tanpa rasa khawatir. Terlebih usai diinjeksi Jokowi bilang, "tidak terasa apa-apa". Anak tokoh PKI sekalipun mencurigai Presiden Jokowi terkait dengan persuntikan vaksin sinovac itu. Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, dr. Ribka Tjiptaning, anak gembong PKI, Soeripto Tjondro Saputro, menuding bahwa cairan yang disuntikkan ke tubuh Jokowi dan para tokoh lainnya, boleh jadi, bukanlah vaksin Sinovac. (law-justice.co, 14/01). "Bisa saja itu bukan Sinovac. Yang dikasih kan kita enggak tahu semuanya. Jangan ada dusta diantara kita," kata Ribka. Ribka pun mengaku sempat ditegur partainya, PDIP, terkait pernyataannya itu. Pandangan tersebut disampaikan Ribka, berlatar pengalamannya saat mengetahui adanya vaksinasi polio beberapa tahun lalu. Saat itu, kata Ribka, masyarakat sehat malah menjadi mati sebanyak 12 orang setelah mendapat vaksinasi polio. Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menstempel tentang kehalalan vaksin Sinovac. Namun, kembali ke atas. Halal atau tidak halal itu otoritas MUI. Sedangkan rakyat tidak pernah tahu, apakah barang tersebut benar-benar halal. Andai pun halal, bagaimana kemanjurannya? Publik dan kader-kader PDIP sangat faham kalau Ribka Tjitaning adalah kawan baik Presiden Jokowi. Apalagi separtai di PDIP. Namun jika kawan baik saja mencurigai perilaku Jokowi, itu pertanda Sinovac memang serius untuk dicurigai. Sementara, ahli epidemiologi, dr. Tifauzia Tyassuma, menurut repelita.co, 12/1, menolak injeksi vaksin Sinovac. Akademisi dan peneliti dari Lembaga Ahlina Institute ini mengaku hanya bersedia divaksin buatan dalam negeri, yakni Vaksin Merah Putih. Ke NKRI-an dokter cantik ini sangat mengagumkan. "Lebih baik saya mati setelah disuntik Vaksin Merah Putih. Daripada mati dalam suntikan vaksin lain (Sinovac)," tegasnya. Sebab itu, seandainya dia mati atas Vaksin Merah Putih setidaknya kematiannya bernilai kebangsaan. Menggerakkan si peneliti vaksin untuk memperbaiki kualitas temuannya, agar tak terjadi ulang pada pihak lain. Vaksinasi Covid-19 belum tamat hanya sampai pada Presiden Jokowi disuntik. Kita tunggu bersama kisah vaksinasi ini pada peristiwa lanjutan. Apakah normal-normal saja? Baik-baik saja? Ataukah berefek tragis yang menimbulkan korban jiwa seperti yang pernah terjadi di vaksinasi polio beberapa tahun lalu itu? Vaksin folio itu juga terjadi masih dalam kepemimpinan Jokowi.

Seberapa Penting Posisi “Ketua Umum” Polri

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) secara resmi mengajukan Komisaris Jenderal (Komjen) Listyo Sigit Prabowo, Kabareskrim, sebagai calon Kapolri ke DPR. Pengajuan calon tunggal ini mengisyaratkan Jokowi tidak ingin orang lain. Kecuali DPR menolak. Kelihatannya, kecil kemungkinan ditolak. Seperti biasa, setiap kali ada pergantian Kapolri, semua mata tertuju ke situ. Menjadi kepala berita di mana-mana. Banyak orang berkomentar. Semua media besar menurunkan laporan analisis tentang siapa yang pantas dan tak pantas menjadi pimpinan kepolisian. Macam-macam komentar publik. Kalau Komjen X atau Komjen Y yang duduk sebagai Kapolri, maka situasi Indonesia akan menjadi baik atau makin buruk. Jokowi pun diperingatkan tentang figur yang cocok untuk duduk sebagai orang nomor satu di kepolisian itu. Belakangan ini, Kapolri menjadi orang yang sangat penting setelah presiden. Teramat penting dalam konstelasi kekuasaan di Indonesia ini. Sangat krusial dalam perpolitikan di negeri ini. Terasa polisi ada di semua lini kehidupan. Sekarang ini, semua hal diurus oleh polisi. Apalagi menyangkut pemberangusan oposisi. Polisi sangat cepat hadir. Surat panggilan akan meluncur dalam hitungan jam. Polisi juga cepat tanggap ketika ada yang memerlukan penghapusan “red notice” Interpol. Juga kalau ada yang perlu surat jalan domestik plus pendampingan tingkat bintang. Bisa diatur. Misi pengayoman Polri memang luar biasa. Kalau Anda mau dikawal jogging, silakan telefon Pak Polisi. Mobil Patwal (Patroli Pengawal) siap 24 jam. Bagaimana dengan urusan Politik? Nah, malah ini yang sangat “lucrative” alias subur selama enam tahun belakangan. Tepatnya, sejak Jokowi menjadi presiden 2014 dan terpilih kembali pada 2019. Misi pengayoman polisi diperluas dengan tugas tambahan. Yaitu, mengamankan pencapresan Jokowi. Terbukti aman. Dan itu tidak mengherankan. Karena Polri memiliki jaringan kekuasaan yang menjangkau sampai ke lorong-lorong kampung, ke dusun-dusun di gunung. Di seluruh Indonesia. Sehingga, setiap TPS pasti “aman” di tangan polisi. Suara rakyat juga “diamankan” polisi. Begitu amannya, sampai-sampai Jokowi memberikan hadiah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada Tito Karnavian. Dia sukses mengamankan pencapresan si Bapak sampai terpilih lagi menjadi presiden. Termasuk mengamankan orang-orang yang memprotes hasil pilpres. Mahasiswa padam dibuat Tito. Anak-anak muda yang mencoba lempar batu, akhirnya benjol-benjol bercucuran darah. Bahkan, ada yang diamankan permanen. Begitulah dahsyatnya polisi. Kekuasaan mereka sangat besar. Polisi boleh dikatakan bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Polisi bisa menjinakkan orang-orang yang vokal. Polisi juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Yang tak ada, bisa menjadi ada. Yang ada, bisa menjadi tak ada. Buku Merah bisa berubah menjadi Buku Putih, orang melek bisa menjadi buta. Air lembut bisa menjadi air keras. Begitulah hebatnya Polri. Tidak heran, sebenarnya. Di sana banyak doktor alias S3. Bahkan, Polri di masa Tito dipimpin oleh seorang profesor. Satu-satunya Kepolisian di muka Bumi yang dikepalai oleh seorang gurubesar. Profesor Doktor Jenderal Tito Karnavian. Bayangkan! Beliau memang ‘guru’ yang berjasa besar. Tito berhasil menggurui Polri tentang penegakan hukum yang mensejahterakan seluruh rakyat, khususnya rakyat Trunojoyo. Tito pula yang berhasil mengembangkan Polri menjadi “partai politik” di Indonesia. Kok dikatakan partai politik? Apakah benar Polri berpolitik? Kalau Anda ragu, mari kita balik pertanyaan ini: apakah Polri tidak ikut berpolitik di era Jokowi ini? Apakah Polisi tidak ikut dalam misi memenangkan Jokowi di pilpres 2019? Apakah Anda lupa kegundahan AKP Sulman Aziz, mantan Kapolsek Pasir Wangi di Garut, yang mengatakan atasannya mengeluarkan perintah penggalangan dukungan untuk Jokowi? Jadi, sudah jelas sepak-terjang politik Polri. Rekam jejaknya ada di mana-mana. Tak salah organisasi kepolisian disebut sebagai Partai Polri. Terasa lebih pas, lebih relevan. Partai Polri tidak hanya eksis melainkan juga ada pada posisi sebagai partai politik terkuat di Indonesia. Lihat saja, parpol mana yang memiliki struktur yang rapi, terkomando, dan sistematis hingga ke tingkat kecamatan? Parpol mana yang setiap tahun mendapat dana negara 100 triliun? Tentu tidak ada. Dalam konteks sebagai “parpol” terkuat itulah, maka pemilihan “ketua umum” Polri di era Jokowi ini selalu menarik perhatian. Sebab, posisi “ketum” polisi sangat strategis. Karena “ketua umum” bisa mengeluarkan komando yang pasti akan terlaksana sampai ke pelosok-pelosok, serentak dan seragam. Karena itu, figur “ketua umum” Polri akan selalu diselaraskan dengan kepentingan “Ketua Dewan Pembina”-nya yang saat ini dijabat oleh Presiden Jokowi. Termasuk kepentingan pilpres atau pilkada. Nah, bagaimana nanti kalau Listyo Sigit Prabowo disahkan menjadi “ketua umum” Polri? Apakah Polri tetap menjadi parpol? Seratus persen tidak akan berubah Partai Polri.**

Kejar Terus Korupsi Bansos

DALAM pertemuan dengan Menteri Sosial Tri Rismaharani awal pekan ini, KPK membeberkan fakta yang sangat mengejutkan publik. Menurut hasil kajian KPK, dari 97 juta orang yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), ditemukan sebanyak 16,7 juta orang (17,21 persen) yang tidak memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan). Selama ini NIK adalah atribut utama untuk memfilter kualitas data DTKS. Pusat data milik Kemensos itu terus diverifikasi dan divalidasi setiap dua tahun. Setiap rakyat di pelosok daerah yang mau mengklaim penyaluran bansos kepada pengurus RT/RW-nya juga dianjurkan lebih dulu melakukan pengecekan data di situs https://dtks.kemensos.go.id/ dengan syarat wajib memasukan NIK-nya. Bagi mereka yang tidak punya NIK, jangan harap muncul sebagai penerima bansos dari pemerintah pusat. Jadi memang aneh jika ada orang tanpa NIK bisa masuk dalam DTKS. Lebih-lebih lagi DTKS bukan disusun berdasarkan survei acak yang memungkinkan adanya batasan kesalahan (margin error) sekitar 1 hingga 5 persen. DTKS adalah pusat data orang/keluarga tidak mampu seluruh Indonesia yang disusun berdasarkan data kependudukan di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) dan pemerintahan daerah. Kalau melihat tingkat keberhasilan Kemendagri dalam melakukan perekaman e-KTP hingga mencapai 99 persen warga negara wajib ber-KTP hingga tahun 2020, maka terjadinya kesalahan input yang mencapai 17,21 persen dalam DTKS, jelas sebuah kesalahan statistik yang tidak dapat ditoleransi. KPK telah mendesak Mensos untuk menghapus data penerima bantuan sosial fiktif tersebut. Mensos berjanji akan segera memperbaikinya untuk menyempurnakan penyaluran bansos Covid-19 di tahun 2021 ini. Akan tetapi, apakah persoalan ini kita anggap sudah selesai? Masalahnya bagaimana pertanggungjawaban pemerintah atas semua anggaran perlindungan sosial yang telah digelontorkan secara besar-besaran oleh pemerintah sepanjang tahun 2020 itu? Menurut data Kemenkeu per November 2020, pemerintah telah menetapkan pagu perlindungan sosial sebesar Rp 234,33 triliun. Anggaran ini merupakan porsi terbesar dari total anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam rangka penanganan bencana nasional Covid-19 yang totalnya Rp 695,2 triliun. Persoalannya sekarang, apakah berarti sebanyak 17,21 persen (lebih Rp 40 triliun) anggaran perlindungan sosial itu telah diserahkan kepada penerima fiktif alias tidak nyata? KPK harus mengejar hasil temuan awal ini. Kasus ini tidak akan selesai dengan hanya mendesak Mensos menghapus data penerima bansos fiktif dari DTKS. Karena ada indikasi kuat telah terjadi tindak pidana korupsi secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) seiring rampungnya penyaluran perlindungan sosial tahun anggaran 2020. Sedangkan pemerintah bulan ini mulai mengeksekusi program Bantuan Sosial Tunai (BST) untuk 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) masing-masing sebesar Rp 300.000 setiap bulan untuk empat bulan. Nah jangan sampai kita kebobolan lagi. Indikasi terjadinya korupsi “TSM” dalam penyaluran bansos tahun 2020 ini sudah ada petunjuk kuat dengan ditangkapnya Mensos Juliari Batubara oleh KPK di awal Desember 2020. Sejauh ini memang hanya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena menerima gratifikasi sebesar Rp 17 miliar dari perusahaan swasta yang menjadi vendor pengadaan sembako dalam paket bansos Covid-19. Apa yang telah diungkapkan KPK kepada publik sejauh ini menurut beberapa sumber masih sebagian kecil dari nilai total korupsi yang sesungguhnya dalam penyaluran bansos Covid-19 tahun lalu. Faktanya, jumlah kontrak vendor bansos Covid-19 tersebut ternyata bukan satu kontrak, melainkan mencapai 272 kontrak. Sementara para tersangka yang ditangkapi KPK sekarang ini baru berasal dari 1 kontrak. Seorang pengusaha yang pernah menawarkan diri menjadi vendor packaging bansos mengaku langsung mundur begitu diminta uang cashback sebesar Rp 30 miiar untuk paket 1 juta bansos. Padahal dia cuma menawarkan diri sebagai pihak yang berperan mengemas sembako dari vendor lain ke tas bansos bertanda Banpres warna merah putih itu. Artinya, penyaluran bansos Covid-19 ini sejak awal memang sudah sarat dengan modus-modus korupsi di berbagai lini. Berangkat dari kasus yang sudah di-OTT KPK ini, maka wajar saja rakyat juga menduga telah terjadi korupsi dengan modus mark-up data penerima bansos. Ini adalah tugas KPK untuk mengurai data dan mengejar ke mana saja larinya dana bansos itu dari hilir ke hulu. Kita berharap KPK menuntaskan kasus korupsi bansos ini secara terang benderang. Faktanya korupsi ini terjadi di tengah kesusahan rakyat yang didera pandemik Covid-19 yang berkepanjangan dan belum jelas kapan akan berakhir. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mencantumkan pasal-pasal yang memungkinan KPK penerapan tuntutan pidana hukuman mati bagi oknum-oknum yang melakukan tindak pidana korupsi di tengah negara dalam situasi bencana. Ini momentum terbaik KPK untuk membuat jera para calon koruptor. KPK harus berani, tegas, dan jangan mau dibohongi seorang anak kecil yang pernah bilang kalau mau korupsi carilah di proyek yang gede, yaitu di PLN, Pertamina dan jalan tol, bukan di proyek bansos. Ini jelas penyesatan publik. Karena proyek bansos ini menyangkut proyek sangat besar yang menelan anggaran sebesar Rp 234 triliun yang sebagian dibiayai dari hutang. **

KM 50, Jokowi dan Bencana Demokrasi

DULU, ada SDSB yang diplesetkan menjadi Soeharto Dalang Segala Bencana atau Sudomo Datang Sisca Bahagia. Plesetan yang kedua itu merujuk pada Sudomo, Menteri Tenaga Kerja di masa orde baru yang memperistri Sisca, walau akhirnya cerai. Padahal, SDSB adalah singkatan dari Sumbangan Dana Sosial Berhadiah. SDSB yang sebenarnya adalah lotre atau perjudian berkedok mengumpulkan dana dari masyarakat. Tidak jelas juga dananya mengalir ke mana dan kepada siapa. Hadiahnya cukup besar, mulai puluhan ribu sampai Rp 1 miliar. Sebagai daya tarik agar masyarakat mau membeli SDSB, pemenang utama selalu ditampilkan fotonya sedang menerima hadiah di belakang kertas SDSB yang akan diundi pekan berikutnya. Terkadang, tukang becaklah yang ditampilkan fotonya sedang menerima hadiah Rp 1 miliar. Padahal, hadiah-hadiah besar itu bohong. Yang benar ada hanyalah hadiah-hadiah kecil dan paling tinggi Rp 10. 000.000. Ya, kalau tukang becak tiba-tiba dikasih uang Rp 10 juta sebagai konpensasi foto sedang menerima hadiah, pasti mau. Soeharto Dalang Segala Bencana merupakan plesetan SDSB yang disuarakan aktivis prodemokrasi. Ya, karena banyak bencana menimpa, baik bencana alam maupun bencana terhadap demokrasi, aktivis dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Para aktivis menyebut Soeharto dalang segala bencana karena memerintah tanpa demokrasi, sangat represif. Nyawa manusia sangat murah, ditangkap, diculik, dan ada yang dibunuh tanpa proses peradilan. Ingat peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Utara, peristiwa Talang Sari, Lampung. Sejumlah Aktivis Petisi 50 ditangkap, hanya karena mereka mengeluarkan pendapat yang dianggap berbeda dengan Soeharto. Aktivis prodemokrasi ditangkapi. Pokoknya, yang tidak sepaham dengan rezim orde baru dibungkam, diculik dan ada yang dibunuh. Peristiwa di era Soeharto, kini mirip terulang. Bencana demokrasi kini terjadi. Aktivis kritis ditangkap dan diintimidasi. Berbagai kegiatan aktivis dimata-matai. Bencana di pemerintahan Jokowi bisa dirunut. Bencana bangsa ini dimulai dengan sejumlah janji kampanye yang tidak bisa ditepati atau dilaksanakan. Paling nyaring didengar adalah ketika Jokowi memperkenalkan mobil Esemka yang menjadi icon terpilihnya ia di periode pertama tahun 2014. Ya, mobil Esemka yang katanya akan menjadi mobil nasional, kini terdengar sayup-sayup, antara ada dan tiada. Apalagi, di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah menyebabkan produksi mobil di Indonesia terjun bebas. Banyak yang menganggap mobil Esemka itu sebagai kebohongan dan tipu-tipu belaka. Candaan, dan bahkan olok-olokan tentang mobil Esemka pun bertebaran di dunia maya. "Khan Esemka udh mendunia, Malah ini populer di dua dunia, Dunia nyata maupun Maya," cuit bnu Sholh @IbnuSholh. "Mobnas Vietnam mendunia. Esemka melangit sampai sulit kembali kedunia," komentar PANGGILGUAKADRUN (MSyD64)@almarhum080864. Bencana demokrasi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) juga semakin sering terjadi. Masih ingat peristiwa bulan Mei 2019, saat masyarakat berdemo di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Massa berdemo karena menuntut keadilan terhadap hasil pemilihan presiden (Pilpres). Akan tetapi, demo itu dijawab dengan kekerasan oleh aparat kepolisian atas nama undang-undang. Gas air mata, pentungan, dan peluru karet pun digunakan untuk membubarkan massa. Massa pendemo dikejar-kejar sampai ke pemukiman penduduk. Banyak yang luka-luka, dan bahkan ada yang meninggal dunia. Yang ditangkap juga banyak. Semua yang dilakukan aparat polisi itu adalah atas nama undang-undang, karena menurut polisi semua tindakan tersebut sudah sesuai prosedur yang berlaku. Bencana demokrasi dan hukum semakin terasa kian hari. Aparat kepolisian semakin refresif dalam membubarkan demostrasi. Sejumlah aktivis, seperti Syahganda Nainggolan, Djumhur Hidayat, dan lain-lain ditangkap dan dipenjara. Mereka ditangkap hanya karena perbedaan pendapat. Para aktivis yang mengeluarkan pendapapat kritis pun dituduh ingin menggulingkan pemerintah. Tidak hanya menangkapi aktivis, aparat kepolisian pun kemudian menembak enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50. Enam laskar yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) menuju pengajian keluarga inti di Karawang dihabisi Senin 7 Desember 2020. Awalnya, polisi mengaku menembak mereka karena melawan dengan menggunakan senjata api. Keterangan kemudian berubah, mereka ditembak karena mau merebut senjata polisi. Keterangan polisi yang disampaikan Kapolda Metro Jaya, Fadhil Imran itu pun jika dicocokkan dengan rekonstruksi yang dilakukan polisi sendiri, sangat berbeda pula. Keterangan Fadhil pun disanggah oleh FPI. Melalui Sekretaris Umum sekaligus pengacara FPI, Munarman, pihaknya justru mengaku enam laskar itu hilang diculik orang tidak dikenal. Laskar, kata Munarman, tidak dibekali senjata tajam, apalagi senjata api. Tidak sampai tewasnya enam laskar, HRS pun dijadikan tersangka kerumuman di Petamburan ditahan. Masih belum puas sampai penahanan, HRS juga menjadi tersangka kerumuman di Pesantren Agrokultur Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Persoalan lahan di pesantren ini pun kemudian diungkit pihak PTP Nusantara VIII melalui somasi. Setelah kasus lahan, praperadilan tentang SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dalam kasus dugaan chat mesum pun tiba-tiba dimenangkan oleh penggugat di PN Jakarta Selatan. Tidak jelas kapan sidang atas gugatan nomor 151 itu. Padahal, praperadilan yang diajukan kuasa hukum HRS atas sangkaan kerumunan di Petamburan bernomor 150 saja baru disidang sejak Senin, 4 Januari 2021 dan Selasa, 11 Januari 2021 diputuskan. Puncaknya, pembubaran FPI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dan tiga pejabat setingkat menteri. Tidak jelas dasar hukum pembubaran yang ditandatangani oleh enam orang itu. Banyak pihak yang menyorotinya, termasuk mantan Ketua MPR Amien Rais. Badan Eksekutif Mahasisa Universitas Indonesia (BEM UI) juga menyampaikan kecaman keras. Belum puas, pemerintah pun memblokir rekening bank FPI dan rekening bank orang-orang yang berafliasi dengan ormas ysng berdiri 17 Agustus 1998 itu. Terakhir, ada 68 rekening yang dibukukan, termasuk tujuh rekening anak HRS. Jumlah rekening yang dibekukan itu kemungkinan bisa bertambah, karena yang dilakukan adalah kekuasaan yang otoriter, bukan pendekatan pemerintahan yang demokratis. Teranyar, HRS pun dijadikan terdangka dalam kasus Ruma Sakit Umi, Bogor, Jawa Barat. Entan berapa kali lagi ulama bersuara lantang dan keras itu akan dijadikan tersanga oleh polisi. Amien Rais yang juga salah satu tokoh reformasi mengatakan, pembubaran FPI itu sama saja menghabisi demokrasi di Indonesia. Sedangkan BEM UI dalam pernyataan sikapnya antara lain meminta agar pemerintah mencabut SKB pembubaran FPI. Sikap BEM UI itu bukan merupakan bentuk dukungan atau pro pada FPI. Akan tetapi, pembubaran itu dinilai mencederai hukum dan demokrasi karena dilakukan tanpa proses peradilan. Banyak yang menganggap pembubaran FPI itu sebagai pengalihan isu atas kegagalan pemerintah dalam menangani ekonomi, menangani Covid-19, dan berbagai persoalan lainnya yang dihadapi bangsa ini. Bahkan, pembubaran FPI yang sekaligus "membidik" HRS dari berbagai penjuru mata angin disinyalir sebagai upaya pengalihan isu korupsi yang menimpa dua menteri Jokowi di dalam Kabinet Kerja. Keduanya adalah Edy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditangkap oleh petugas KPK di Bandara Soekarno-Hata, ketika pulang dari Amerika Serikat. Ia ditangkap dalam kasus izin ekspor benih lobster. Kemudian Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial yang ditangkap KPK dalam kasus korupsi bantuan sosial terhadap rakyat terdampak Covid-19. Juliari Batubara yang juga Wakil Bendahara Umum PDIP itu diduga menerima suap Rp 17 miliar. Ada dugaan, dana yang dirampok Juliari dan rombongannya jauh lebih besar lagi. Nah, guna menutupi dua kasus korupsi yang sangat mempermalukan Jokowi itulah, pengalihan isu dilakukan. Apalagi kasus Juliari itu disebut menyeret Gibran Rakabuming, anak Joko Widodo. Jadi, yang dilakukan untuk menghabisi HRS dan FPI adalah bencana. Ya, bencana hukum, bencana demokrasi dan bencana terhadap HAM. Yang pasti, perampokan uang negara yang dilakukan Juliari Batubara jelas bencana kemanusian , karena mengkhianati dan mengambil hak rakyat yang tertindas. **

Mengapa CCTV Kilometer 50 Tol Japek Dihapus?

Jakarta FNN – Ahad (10/01). Dalam dunia kejahatan, para pelaku kita ketahui sering membuang atau memusnahkan apa pun, yang terkait tindak dan jejak kejahatannya. Upaya itu dimaksudkan untuk 'menghitamkan' tindak kekurangajaran yang mereka lakukan. Tak terkecuali barang apa pun, yang dicurigai kemudian bisa menjadi alat bukti. Jejak perbuatan yang kemungkinan menjadi alat bukti, akan dibikin lenyap pelaku. Supaya tidak ketahuan kesalahannya. Itu cara paling dasar yang dianggap efektif sebagai upaya menghilangkan jejak. Jika barang bukti itu berwujud benda (barang mati), maka pelenyapannya bisa dengan cara membuang ke mana saja. Bisa ke sumur, sungai atau laut bebas. Bahkan ada yang dengan membakar. Bisa pula menyembunyikannya. Atau dengan seribu satu cara berdosa lainnya. Disebut sebagai petunjuk atau alat bukti, itu jika berupa barang mati. Lantas bagaimana cara melenyapkannya bila 'alat bukti' tersebut berupa manusia hidup? Saksi mata yang melihat, yang mendengar dan mengalami sendiri? Tidak ada cara lain, kecuali nyawa “alat bukti” itu lah yang musti dan perlu dilenyapkan pelaku. Supaya tidak bisa menjadi saksi mata. Kemudian masalahnya menjadi aman. Karena tidak ada yang melihat, mendengar dan merasakan sendiri kejadian itu. Setelah titu berjalan meninggalkan lokasi kejadian. Setelah sebelumnya menebas-nebaskan kedua telapak tangannya, sebagai tanda “saksi sudah beres atau aman”. Seperti yang kita sering dengar, baca dan tonton di siaran berita. Tak sedikit pelaku pencurian misalnya, yang tega membunuh korban (pemilik rumah) hanya gara-gara memergoki aksi pencuriannya. Membunuh korban, bagi pencuri, itu bukan target utama. Bukan juga sasaran utama. Hanya semacam “batu lompatan”, agar korban tidak dapat berfungsi sebagai saksi mata yang melihat, mendengar dan menyaksikan sendiri kejadian pencurian. Sebab sangat membahayakan “keselamatan” pelaku. Semua itu manakala yang melakukan kejahatan itu adalah warga sipil biasa. Lantas bagaimana jika yang bertindak sebagai pelaku kejahatan tersebut adalah aparatur negara? Anggota Polri misalnya? Tentu saja lebih rapi. Sebab Polri merupakan supra struktur negara. Institusi tersebut punya otoritas. Disitulah publik memahami, bahwa segala apa yang dilakukan Polri, akan dianggap sebagai wewenangnya. Akan tetapi ada filosofi bahwa “tidak ada kejahatan yang dapat dilakukan dengan sempurna”. Sekalipun yang melakukannya itu adalah “pemilik hukum”. Ungkapan itu sudah populer di masyarakat. Tidak ada yang tidak paham ungkapan tersebut. Dalam bahasa jawa, yang kerap dituturkan para orang tua sebagai materi wejangan moral untuk anak anaknya, “becik ketitik, olo ketoro”. Mengutip pernyataan yang pernah disampaikan Kriminolog dan Pengamat Kepolisian, Profesor Adrianus Meliala, di acara talk show sebuah televisi swasta beberapa tahun silam, bahwa psikologis polisi dan bandit itu tidak beda jauh. Itu memberi arti, bahwa siapa saja bisa melakukan tindakan yang salah dan tercela. Termasuk Polri, TNI atau PNS. Siapapun itu bisa saja terjadi. Sekedar contoh, rekayasa tindak kejahatan yang dilakukan anggota Polri, meski serai apapun akhirnya ketahuan juga. Misalnya, sebanyak delapan anggota Satserse Narkoba Polres Padang Sidempuan merekayasa ganja seberat 327 kilogram hasil rampasan dari Daftar Pencarian Orang (DPO), namun yang dilaporkan ke atasannya sebagai barang temuan di areal perkebunan PTPN III (Viva.co.id, 30/12/2020) Padahal ganja tersebut nyata-nyata bukan hasil temuan. Melainkan hasil rampasan dari DPO. Namun dilaporkan sebagai hasil penemuan. Karena delapan anggota polisi tersebut ingin melindungi pemilik asli ganja tersebut, yang memang sudah terjadi kesepakatan sebelumnya dengan pemilik ganja. Terkait kasus di Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikapmpak (Japek), yang menurut detik.com edisi 08/01/21, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan, saksi mata penembakan oleh polisi terhadap enam anggota FPI hingga gugur semuanya, mendengar perintah polisi agar menghapus hasil rekaman CCTV di areal tempat kejadian. Selain itu, menurut Portalislam.id edisi 19/12/2020, yang mengutip hasil investigasi Tempo.com, semua hand phone milik masyarakat yang berada di sekitar lokasi rest area kilometer 50 (tempat penembekan) diperiksa oleh polisi. Itu dimaksudkan guna memastikan, pada telepon seluler masing-masing warga tidak boleh ada foto, video, tulisan atau apa pun yang dapat mengarah terbongkarnya peristiwa sebenarnya. Setelah itu, semua warga masyarakat yang akhirnya berkerumun di rest area tersebut, setelah adanya penembakan, diusir polisi. Masyarakat juga diwanti-wanti supaya tutup mulut. Warga di sekitar lokasi itu, jangan omong apa-apa tentang kejadian tersebut. Meminjam terminologi pengendara sepeda motor yang tidak membawa SIM C dan STNK Motornya. Sang pengendara harus berbalik arah, lantaran takut adanya operasi kelengkapan surat-surat bermotor yang sedang dilakukan oleh Polantas. Bagi sang pengendara motor, mengapa harus takut dan putar arah, jika tidak merasa bersalah. Mengapa mesti begini dan begitu, manakala dirinya sudah beres berkendara SIM C dan STNK asli? Begitu juga polisi. Mengapa polisi memerintahkan menghapus CCTV milik warga sekilar lokasi kejadian. Begitu juga vidoe, foto dan tulisan di lepepon seluler milik warga. Mengapa mengoreksi privasi warga, dengan merazia seluruh telepon seluler? Mengapa meminta warga tutup mulut? Toh yang dilakukan polisi di kilometer 50 itu, semuanya sudah sesuai stantar dan prosedur yang yang terukur kan? Publik negeri ini tentu saja belom lupa dengan kejadian “Buku Merah” di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan dua tiga Perwira Menengah (Pamen) Polisi Roland Renaldy, Harun dan Rufyanto Maulana Yusuf. Mereka bertiga terlibat menghapus (tipp ex) buku yang disita KPK dari kantornya Basuki Hariman terkait skandal suap uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada catatan pengeluaran kekuangan Basuki Hariman tersebut, tercatat adanya aliran uang ke sejumlah pejabat negara. Diduga salah satunya adalah mantan Kapolti Tito Karnavian, sekarang Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Namum catatan Basuki Hariman itu terjadi ketika Tito Karnavian masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya. Perbuatan Roland dan Harun (tipp ex) “Buku Merah” tersebut terekam dengan jelas di CCTV di ruang Kolaborasi lantai 9 gedung KPK pada tanggal 7 April 2017, menjelang pukul 20.00 WIB. Pertanyaan yang mengelitik adalah, sepenting apa apa sampai Roland dan Harun perlu tipp ex halaman-halaman dalam Buku Merah? Toh, Tito Karnavian hampir dipastikan tidak terlibat ini. Begitu pula yang terjadi dengan skandal pendapingan dan pengawalan Perwira Tinggi (Pati) Polri kepada Djoko Tjandra (Joker). Peristiwa ini menyeret tiga Pati Polri, yaitu Irjen Pol. Napoleon Bonaparte, Brigjen Pol. Prasetijo Oetomo dan Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo. Bahkan Napolen dan Prasetijo kini telah duduk di kursi terdakwa. Nah, pada gilirannya yang seharusnya dibubarkan itu yang membunuh, atau yang dibunuh? Yang harusnya dihukum maling ayamnya (pelaku), atau pemilik ayamnya (korban). Teramat sulit rasanya memisahkan antara kasus kilometer 50 tol Japek (6 anggota FPI gugur ditembak polisi, Senin 7/12), dengan pembubaran Ormas FPI oleh SKB 6 petinggi negara di ujung tahun lalu. Ini seperti omongan klasik “buruk muka, namun cerminnya yang dihancurkan”. Padahal yang salah adalah tampangnya sendiri yang memang jelek. Tampak yang tidak menarik. Namun karena merasa tidak terima mukanya “dijelek jelekin” oleh cermin, jadilah cerminnya yang dibanting, dan hancur. Sikap yang umumnya dilakukan oleh preman ini, baik itu premanisme maunpun banditisme sangat membahayakan cermin-cermin yang lain. Sebab cermin-cermin yang lain kemungkina juga akan mengalami hal yang sama, yaitu terancam dihancurkan.

Polisi Siber & Polisi GESTAPO Nazi Hitler

Jakarta FNN – Ahad (10/01). Merujuk CNN Indonesia.com Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan pemerintah akan mengaktifkan kembali polisi siber."Jadi saya katakan kita aktifkan polisi siber. Bukan membentuk, (tapi) aktifkan. Karena polisi siber kita gampang kok," kata Mahfud seperti dikutip dari kanal YouTube Dewan Pakar KAHMI Official, Senin (28/12). Mahfud menyebut hoaks yang beredar tak lepas dari persoalan politik. Menurutnya, ada kelompok yang kerap menghantam pemerintah. Sehingga apapun yang dikerjakan oleh pemerintah selalu saja dianggap salah (CNN Indonesia, com. 28/12/2020). "Kalau ada orang mengancam-ancam jam delapan pagi, jam 10 sudah ditangkap, bisa kok sekarang. Dan itu banyak sudah dilakukan," kata Mahfud dalam Webinar KAHMI, Senin (28/12/2020) lalu. "Polisi siber kita bisa untuk hal-hal yang kriminil, membahayakan seperti itu," tambahnya. (Tirto.co.id, 31/12/2020). Ya Polisi Siber, diaktifkan. Jelas sudah. Ini sikap pemerintah yang cukup dapat diyakini. Tidak bakal bisa ditawar. Apapun alasan yang mungkin dan rasional, yang coba digunakan untuk menawarnya, bisa dipastikan tidak diterima pemerintah. Akankah Polisi Siber kelak bermetamorfosa menjadi Polisi Politik. Layaknya Gestapo di masa Nazi Hitler? Apakah Polisi Siber ikut menyadap telepon? Tidak hanya orang-orang kritis diluar pemerinthan. Tetapi juga aparatur pemerintah? Semakin sempitkah kebebasan berekspresi kita? Semakin represifkah pemerintahan ini? Pertanyaan-pertanyaan hipotetik itu layak kita ketengahkan. Karena satu kenyataan kecil. Profesor Mahfud memungkinkan FPI lama berubah dengan menggunakan nama lain. Tetapi, Polisi disisi lain justru hendak membubarkan bila FPI baru tidak didaftarkan. Sikap Polisi tercermin dari pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono. Dia menyatakan ketiadaan legalitas tersebut dalam hal ini,polisi diperbolehkan untuk membubarkan organisasi itu setiap kali melakukan kegiatan di setiap wilayah. "Jika tidak mendaftarkan, artinya di sini ada kewenangan dari pemerintah untuk bisa melarang dan membubarkan, " ujar Rusdi di kantornya, Jakarta Selatan, pada Selasa, 5 Januari 2021 (Tempo.oc.id, 5/1/2021). Polisi Siber, terlihat dari pernyataan Mahfud, sang Profesor Tata Negara yang pernah anggota DPR dan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, canggih. Jam 8 pagi seseorang mengunggah pikirannya di medsos, lalu kontennya dinilai kriminal, jam 10, dua jam setelah itu sudah dapat ditangkap. Sangat canggih. Menyanggah kebijakan ini, dengan cara mengambil dari gudang gagasan Rule of Law, Human Right, Due Process of Law. Lalu mengualifikasi kebijakan ini khas rezim tirani, totaliter, otoriter dan fasis, boleh jadi akan ditertawakan. Sebagai menteri yang dari mulutnya kebijakan ini terpublikasi, boleh jadi Mahfud, professor yang dua kali jadi menteri di pemerintahan Gus Dur itu, muncul sebagai orang yang paling lincah dalam pemerintahan Jokowi, membantahnya. Dunia menyediakan beragam kenyataan tercabik-cabiknya rule of law dan HAM. Demokrasi? Sama juga. Begitulah tampilan rule of law dan demokrasi mutakhir. Paradoksnya seburuk itu sekalipun tampilan praktis keduanya, ilmuan revisionis selalu mampu menyebut rule of law dan demokrasi. Sejumlah rezim demokratis menempatkan ketertiban dan keamanan di jantung demokrasi dan rule of law. National Security Act telah eksis dalam khasanah rule of law dan demokrasi. Tidak ada rezim mutakhir yang mau menyebut demokrasi di negerinya dengan sebutan pseudo demokrasi, hanya karena National Security Act eksis. Apa rakyat Indonesia punya keberanian untuk menyatakan Profesor Mahfud, yang hampir jadi calon wakil presiden Jokowi pada pilpres kemarin tidak baca buku Clinton D. Rositer, yang berjudul Constitutional Dictatorship? Beranikah seseorang mengatakan Profesor tata negara, yang sangat kaya argumen ini, tidak baca artikel Constitutional Dictatorship: Its Dangger and Its Design dari Lynford A. Landner? Diktator, ambil misalnya Hitler, memasuki kekuasaan melalui Pemilu 1933. Dan pemilu itu diatur dalam “Konstitusi Wirmar 1919”, yang dikenal sangat demokratis dan menjamin hak asasi manusia. Setelah kekuasaan diraih, berada dalam genggamannya, konstitusi dan demokrasi itu dicampakan. Keragaman khas “Konstitusi Wimar 1919” hilang. Diganti keseragaman, yang diusahakan secara serampangan. Semua aspek kehidupan diseragamkan. Ras dan politik diseragamkan. Kritik disambut rezim sebagai ancaman berbahaya dengan efek merusak yang tak terperkirakan. Pengawasan, penangkapan, penculikan, penempatan di kamp konsentrasi, bahkan pembunuhan, extra court killing, segera naik menandai tipikal rezim Hitler. Rakyat, bahkan aparatur pemerintah menemukan diri berada dalam orbit pengawasan tiranis pemerintah. Untuk mengefektifkannya, Hitler, dengan bantuan Herman Gorring, mantan perwira Ankatan laut ini, segera membentuk “Geheime Staatpolizie (GESTAPO)”. Ini terjadi pada 1933, tahun naiknya Hitler ke tampuk Cancelor. Mark Neoleus menyifatkan GESTAPO dengan Secret State Police. Polisi rahasia. Sekuritisasi Jerman Nazi, yang dikemudikan Hitler, terus bergerak maju. Ini menjadi alasan utama mengapa pada tahun 1936, Hitler memekarkan struktur Kepolisiannya. Untuk kepentingan ini, Hitler mengangkat Himler mengepalai Kepolisian German. Naik dengan tiket memperkaya strukturr Kepolisian, Himler dalam kedudukannya sebagai Kepala GESTAPO, segera membentuk lagi dua devisi. Dua devisi baru ini disebut Himler dengan Ordnungpolizie (Orpd) dan Sieherheitspolizie (Sipo). Setelah itu dibentuk lagi Kriminalpolizie (Kripo). The Security Police dipimpin oleh Reinhard Heiydrich. Pada saat bersamaan, pria ini juga memimpin Sichersheitdients (SD). Unit keamanan organisasi partai Nazi. Sekuritisasi terus bergerak naik seiring perang yang mulai dikobarkan Hitler. Tahun 1939, security police dan Unit Keamanan Partai (SD) diintergrasikan ke dalam Reichssicherheitshauptamt, atau Reich Security Head Office (RSHA). Praktis Hitler punya Sipo, Kripo, Orpo, Gestapo, SS, SD dan lainnya, yang semuanya, dalam pandan Neuclous, mencerminkan ketidak-jelasan dan kebingungan visi menangani keamanan. Pada Hitler’s War, ditulis oleh David Irving, terlihat jelas tampilan kebingungan itu. Irving menulis, salah satu pengawasan senjata terpenting di Kepolisian negara Hitler, dikendalikan oleh Herman Goring, bukan Himler, yaitu Forschungsamt atau departemen penelitian. Didirikan April 1933. Departemen ini memonopoli operasi “penyadapan” (tanda petik) redaksi telephon. FA, tulis Irving lebih jauh, merupakan sumber inlelijen polisi, ekonomi, dan politik tingkat tinggi. Artikel tercabing-cabik yang berhasil diselamatkan menunjukan efisiensi yang mengancam, menempatkan hasil penyadapan rutin terhadap actor-aktor kacangan. Gubernur Julius Stricher, Nona Unity Mitford, Putri Strefanie Holenlohe, wanita simpanan Gobles, propagandis top ini, semua disadap. Tentu oposisi, jauh lebih ketat berada di orbit penyadapan. GESTAPO, Nazi Secret State Police, dalam kerja penyamarannya, tentu tak berseragam. Ada di mana-mana di setiap sudut Jerman Nazi. Itulah potret kecil tampilan mereka. Menghimpun informasi di setiap sudut politik, sosial, ekonomi Jerman, itu pula kerja kecil lainnya dari GESTAPO. Berwenang penuh membuka dan memerika surat menyurat rakyatnya. Menyadap percakapan telehone, menghukum, bahkan membunuh tanpa proses peradilan. Dikenal dengan extra judicial killing. Itulah Gestapo. Polisi rasis, dengan semua tindak-tanduknya, jelas dikenang sebagai Polisi paling horor. Jerman Hitler diingat sejarah sebagai rasis, dengan Gestaponya di front terdepannya. Alhasil GESTAPO, yang Hitler andalkan menjadi Polisi Politik, dengan semangat rasis, yang kebejatannya berserakan dimana-mana, merasuk ke semua aspek kehidupan. Metode itu membuat Hitler nyaman dari serbuan kritik. Hasilnya jelas, Hitler itu Jerman. Hitler itu Nazi, dan Hitler itu hukum. Ini persis Raja Louise ke 14 ketika berkuaa di Perancis. Raja Louise yang terkenal dengan D’tate et’s moi (negara adalah saya). Tampilan macam itukah yang kelak akan tersaji dalam memori politik bangsa ini setelah Polisi Siber dibentuk? Yang Profesor Mahfud nyatakan diaktifkan, efektif bekerja? Apakah Polisi Siber akan bermain dalam kesamarannya, sehingga bermetamorosa menjadi Polisi politik? Sejarahlah nanti yang akan maju sebagai narasumber otoritatif untuk semua pertanyaan hipotetik itu. Pertanyaan-pertanyaan hipotetik itu, kita ajukan semata-mata karena kita ingin Republik Indonesia tercinta, kelak tak semakin menodai pembukaan UUD 1945, hanya oleh sebab-sebab picik kecil. Cukuplah korupsi Bansos, yang mengakibatkan Juliardi Batubara, Menteri Sosial, kader PDI-P itu ditahan KPK. Cukuplah itu menodai cita-cita luhur pendiri bangsa ini. Cukup sudah kematian tragis enam orang anggota Lankar Front Pembela Islam (FPI), pengawal Habib Rizieq, semuanya atau sebagian mati ditangan Polisi, menjadi penanda arogansi hukum yang kerdil dalam usaha sekuritisasi bangsa ini. Mari mulai beranjak dewasa. Segeralah pemerintah membiasakan diri berpikir dan bertindak dengan bijak. Bijaklah menedefenisikan keamanan. Kita tak mau “keamanan” dijadikan tameng kerdil dan picik. Untuk kegagalan kita menggunakan akal sehat dan nurani republik. Itu saja. Wallaahualam bishawab.