FORUM-RAKYAT

Hati-Hati, GAR ITB Menyerempet Isu SARA

ADA yang menduga Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni ITB adalah “mainan” yang sengaja diciptakan untuk mengacaukan ketenangan di kampus. Ada kelompok kecil orang dengan latar belakang etnis dan agama tertentu yang dijadikan pion-pion pengacau. Akhir-akhir ini mereka mempersoalkan kemenonjolan aktivitas dan peranan civitas academica yang berlatar belakang Islam. Ini sangat berbahaya. Tidak pernah ada persoalan di antara semua orang dari latar belakang apa pun, selama ini. Jumlah civitas academica Institus Teknologi Bandung (ITB) mayoritas adalah warga muslim. Baik di kalangan dosen maupun mahasiswa. Tentu tidak ada masalah dengan proporsi ini. Sebagian besar perguruan tinggi, baik PTN (perguruan tinggi negeri) maupun PTS (perguruan tinggi swasta), pastilah memiliki fakta demografi (kependudukan) yang sama seperti di ITB. Sebab, memang seperti itulah fakta kependudukan Indonesia. Inilah statistik proporsional yang tak terelakkan. Adalah fakta juga bahwa warga muslim menyandang keperluan-keperluan relijiusitas yang khusus selama mereka berada di lingkungan kampus. Misalnya, mereka memerlukan masjid atau surau. Mereka melaksanakan kegiatan pengajian di masjid maupun surau. Banyak pula yang harus melaksanakan berbagai aktivitas bersama (berjemaah) pada bulan Ramadan di masjid kampus termasuk berbuka puasa, dll. Rata-rata dalam implementasi keperluan khusus itu, para civitas academica muslim di mana pun juga nyaris tidak pernah mengalami masalah dengan sesama warga kampus yang non-muslim. Selama puluhan tahun telah terbangun pengertian di antara segenap komponen non-muslim di kampus-kampus tentang keperluan khusus relijiusitas dimaksud. Selama puluhan tahun itu pula tidak pernah ada gesekan yang bernuansa SARA. Pengertian yang terbangun itu sangat sesuai dengan dasar negara Indonesia –Pancasila. Negara ini memang bukan negara agama. Tetapi negara ini harus diisi oleh orang-orang yang memegang sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Para pendiri negara ini bersepakat bahwa KYME merupakan sila terpenting yang harus mendasari proses pembangunan bangsa di segala aspek. Bagi warga muslim, KYME itu adalan pelaksanaan ibadan sholat lima kali dalam sehari. Kalau KYME biasa disebut sebagai esensi Pancasila, maka sholat lima waktu sehari adalah esensi KYME itu. Untuk tetap bisa menjaga esensi Ketuhanan itu, diperlukanlah tempat sholat yang layak dan nyaman. Secara historis, tempat sholat inilah yang menjadi bagian integral dari kegiatan akademik sejak awal-awal Indonesia mengenal pendidikan tinggi modern. Masjid-masjid kampus boleh dikatakan sama usianya dengan perguruan tinggi setempat. Sesuatu yang telah integral sifatanya berdasarkan fakta demografis dan faktor filosofis (Pancasila), tentunya sudah menjadi baku dengan sendirinya di kampus-kampus. Belakangan ini berkembang sesutau yang terasa sangat tidak natural. Ada elemen-elemen yang mencoba mengutak-atik “kesepakatan” historis ini. Dan cara mereka mempersoalkan fakta sejarah ini sangatlah tendensius. Cara itulah yang sedang dipresentasikan oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). GAR masuk melalui isu yang sangat seksi saat ini. Yaitu, radikalisme. Isu ini tidak saja seksi tetapi juga sensitif bagi kaum muslimin. Sebab, di tengah gelombang islamofobia akhir-akhir ini, GAR “menembak” Prof Din Syamsuddin dengan tudingan radikalisme. Tetapi, akal sehat yang ada di semua pihak membuat pembunuhan karakter (character assassination) terhadap Pak Din tidak berhasil. Tidak ada pihak yang memberikan peluang kepada GAR ITB. Tentu ini bukan karena faktor Din Syamsuddin sendiri yang terbukti bukan seorang radikal seperti ditudingkan oleh gerakan alumni itu, melainkan juga karena semua pihak memahami fakta domografis dan fakta historis bangsa ini. Penolakan terhadap argumentasi GAR ITB tentang Pak Din merupakan isyarat bahwa mereka adalah gerombolan yang sangat berbahaya. Semua pihak memahami bahwa jika skenario gerombolan ini dibiarkan, maka akan terbuka kemungkinan munculnya percikan konflik SARA yang tak perlu terjadi. Kalaulah pembunuhan karakter Din Syamsuddin sukses, GAR ITB diperkirakan akan menulari kampus-kampus lain. Sengaja atau tidak, sangat mungkin akan berlangsung orkestrasi kegaduhan yang berpunca dari fakta demografis dan historis kampus-kampus Indonesia yang selama ini sudah sangat lazim dengan keperluan khusus para civitas academica (dosen dan mahasiswa). GAR ITB tidak hanya mempersoalkan “keradikalan” Pak Din, tetapi juga program Beasiswa Perintis 2021 yang diberikan oleh perusahaan kosmetik Wardah produksi Paragon milik Nuhayati Subakat –salah seorang anggota Majelis Wali Amanat (MWA) ITB. Program beasiswa ini bekerja sama dengan pengelola Masjid Salman ITB. GAR mencecar habis soal ini. Mereka mempertanyakan mengapa beasiswa itu diberikan kepada para calon mahasiswa muslim saja. Melihat latarbelakang para inisiator GAR ITB, tak salah kalau orang menyimpulkan kelompok alumni itu berangkat dari niat buruk. Lagi-lagi, masalah ini sangat peka (sensitif) dari kaca mata hubungan antargolongan. Jadi, dari dua hal di atas, patut diduga GAR ITB telah menyiapkan misi yang menyerempet isu-isu SARA. Semua pihak harus berhati-hati.

Jaksa Pinangki, Lincahnya Melampaui Laki-Laki

IMPIAN Pinangki Sirna Malasari untuk mendapatkan vonis ringan, sirna sudah. Ia justru diganjar 10 tahun penjara, denda 500 juta subsidair 6 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 10 Februari 2021 lalu. Dua setengah kali lebih besar dari tuntutan jaksa yang cuma menuntut 4 tahun penjara. Pun demikian, vonis tersebut masih dianggap terlalu ringan. Pinangki seharusnya dipenjara hukuman seumur hidup seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Pinangki agaknya sosok yang gesit, tangguh, dan pantang menyerah. Berbeda dengan perempuan pada umumnya. Ia lahir di Jogjakarta, 21 April 1981. Tanggal kelahirannya yang sama dengan RA Kartini, tampaknya mengilhami sepak terjangnya untuk keluar dari kegelapan. Jejak langkahnya ingin sejajar dengan laki-laki sebagaimana RA Kartini dulu terus menggelora. Hanya saja Pinangki salah langkah, sehingga bukan menjadi pahlawan wanita, tetapi justru menjadi makelar kasus yang berlabuh di balik jeruji. Kegesitan Pinangki terlihat sejak kuliah di Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Begitu lulus ia langsung bekerja di Kejaksaan Agung pada tahun 2005. Tak puas hanya berbekal S1, ia pun kerja sambil kuliah S2. Kampusnya ia pilih yang lebih bergengsi dan berbobot, Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang ia selesaikan dalam dua tahun. Belum puas, ia kemudian melanjutkan studi S3 ke Universitas Padjadjaran, Bandung. Singkat cerita Pinangki sukses meniti karier sebagai jaksa di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Profilnya yang lincah, supel, dan cantik membuat ia mudah menjalin komunikasi di seputar lembaga peradilan. Petualangan Pinangki berakhir ketika ia menekuni makelar kasus Djoko Soegiarto Tjandra alias Tjan Kok Hui yang buron belasan tahun karena menilep duit Bank Bali Rp 940 miliar. Ia dijanjikan Tjan Kok Hui uang USD 1 juta atau sekitar Rp14 M. Duit suap itu diberikan agar Pinangki mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejagung agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Tjan Kok Hui berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi. Alhasil Tjan Kok Hui tidak perlu menjalani hukuman saat tiba ke Indonesia. Baru separoh uang yang dijanjikan Tjan Kok Hui diterima, Pinangki keburu tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia digelandang ke rumah tahanan dan kemudian diadili. Pengadilan mengungkap penghasilan Pinangki tak sebanding dengan besarnya harta yang dimilikinya. Gaji bulanan Pinangki sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejagung sebesar Rp 18.921.750. Sedangkan gaji suaminya, AKBP Napitupulu Yogi Yusuf, yang merupakan aparat penegak hukum, sekitar Rp 11 juta per bulan. Sementara pengeluaran Pinangki mencapai Rp 70 juta setiap bulan. Selama kurun 2019-2020, Pinangki tidak memiliki penghasilan tambahan resmi dan tidak memiliki penghasilan dari sumber lain. Jika penghasilan Pinangki dan suaminya digabung, tak akan mampu memenuhi kebutuhan pribadi Pinangki yang glamour. Tercatat, Pinangki selama tahun 2019 melakukan perjalanan ke luar negeri dengan pesawat first class sebanyak 11 kali. Hanya dua kali yang diizinkan kantor, sisanya tentu saja mangkir. Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea geleng-geleng kepala ketika ia tahu selama 14 tahun berturut-turut Pinangki merayakan hari spesial di restoran berbintang 3 di New York, Perseny. Pengadilan menemukan Pinangki menyamarkan asal-usul harta kekayaannya yang berasal dari Tjan Kok Hui korupsi itu dengan cara menukarkan uang USD 337.600 atau senilai Rp 4,7 miliar di money changer. Pinangki juga meminta suaminya, AKBP Napitupulu Yogi Yusuf, menukarkan mata uang USD 10 ribu atau senilai Rp 147,1 juta. Nilai total keseluruhan penukaran mata uang yang dilakukan Pinangki pada periode 27 November 2019 sampai dengan 7 Juli 2020 adalah sebesar USD 337.600 atau Rp 4.753.829.000. Uang tersebut dibelanjakan sejumlah barang untuk menutupi hasil korupsinya. Pada kurun waktu itu Pinangki secara radikal, masif, dan terencana membelanjakan uangnya untuk membeli 1 unit mobil BMW X5 senilai Rp 1,7 miliar, sewa apartemen Trump International di Amerika Serikat sebesar Rp 412,7 juta, pembayaran dokter kecantikan di Amerika Serikat yang bernama dokter Adam R Kohler sebesar Rp 419,4 juta, pembayaran dokter home care atas nama dr Olivia Santoso untuk perawatan kesehatan dan kecantikan serta rapid test sebesar Rp 176,8 juta. Pinangki juga melakukan pembayaran kartu kredit di berbagai bank berturut-turut, Rp 467 juta, Rp 185 juta, Rp 483,5 juta, Rp 950 juta. Ia juga melakukan pembayaran sewa apartemen The Pakubuwono Signature sebesar USD 68.900 atau setara Rp 940,2 juta dan pembayaran sewa apartemen Darmawangsa Essence senilai USD 38.400 atau setara Rp 525,2 juta. Jumlah keseluruhan uang yang digunakan oleh Pinangki sebesar USD 444.900 atau setara Rp 6.219.380.900 dengan tujuan untuk menyamarkan asal-usul harta kekayaannya yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi. Sebelum kasus Tjan Kok Hui mencuat, Pinangki juga pernah terlibat makelar kasus kepengurusan grasi mantan Gubernur Riau, Annas Maamun. Annas merupakan terpidana kasus korupsi terkait alih fungsi lahan di Provinsi Riau yang pernah mendapat grasi dari Presiden Jokowi pada September 2019. Grasi itu membuat masa hukuman Annas berkurang satu tahun. Ia kini telah bebas sejak 21 September 2020. Saat SMA, Pinangki pernah terjerat kasus narkoba. Memasuki masa kuliah, Pinangki menjadi pelakor alias perebut laki orang. Media massa ramai memberitakan bahwa Pinangki merebut suami dari Indri, bernama Djoko Budiharjo, Kepala Kejaksaan Tinggi di Pekanbaru Riau. Djoko menjalin asmara dengan Pinangki saat kuliah di Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Kepada istrinya, Djoko mengakui Pinangki sebagai anak temannya yang membutuhkan biaya kuliah. Kepada rekan-rekannya di kantor, Djoko mengakui Pinangki sebagai keponakan. Belakangan Indri mengetahui kalau Pinangki telah menikah siri dengan suaminya, hingga Indri pernah melabrak Pinangki di rumahnya yang dibelikan Djoko Budiharjo. Saat dilabrak, Pinangki bilang bahwa dirinya rela menjadi istri kedua Djoko karena butuh biaya kuliah. Indri sendiri kemudian pulang ke rumah orangtuanya di Lampung setelah Djoko menikahi Pinangki hingga dirinya memutuskan bercerai. Indri hanya bisa mengelus dada sambil mengatakan ,"becik ketitik, olo ketoro". Dan apa yang dikatakan Indri beberapa tahun yang lalu, hari ini menimpa Pinangki. Djoko sudah meninggal dunia. Dari almarhum, Pinangki mendapat banyak warisan. Status inilah yang dijadikan alibi Pinangki bahwa hartanya bukan dari korupsi tetapi merupakan pembagian gono-gini dari mendiang suami terdahulu. Namun hakim punya penilaian sendiri. Pinangki berkilah dan berbelit-belit yang justru memberatkan posisinya. Hal lain yang memberatkan adalah bahwa ia seorang ASN yang seharusnya menjadi teladan baik. Ia justru berkhianat sebagai abdi negara. Pinangki adalah seorang Jaksa di Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang seharusnya merupakan negarawan sejati dan steril dari perbuatan tindak pidana korupsi. Langkah korupsi Pinangki memang terhenti. Tetapi ia masih beruntung tidak dipecat dari ASN. Ia hanya dicopot dari jabatannya. Padahal seharusnya ia dipenjara seumur hidup, dimiskinkan, dan dipecat dengan tidak hormat, sebab sebagai jaksa ia telah memperjualbelikan jabatannya. Di samping melanggar sumpah jabatan, ia juga telah mencoreng lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Sebagai pengawal utama keadilan yang merupakan fundamental dan higher law sistem peradilan, Pinangki seharusnya mengharamkan setiap usaha siapa pun yang ingin menodai asas-asas hukum di Indonesia. Ibarat peribahasa "Pagar makan tanaman" yang berarti seorang pelindung yang malah memanfaatkan orang yang dilindunginya untuk memuaskan hasrat pribadinya. Ibarat tukang parkir, Pinangki malah membawa kabur motor di parkiran yang dijaganya. Kasus Tjan Kok Hui jangan hanya berhenti pada Pinangki semata. KPK harus meringkus semua yang terlibat dalam makelar kasus ini, termasuk King Maker yang diungkap Pinangki di sidang pengadilan. (SWS).

Pandemi Membuat Orang Kaya Makin Kaya

WABAH Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) belum bisa diprediksi kapan berakhir. Padahal, virus yang berawal dari Wuhan, RR China itu jelas telah memporak-porandakan berbagai sendi kehidupan masyarakat, terutama ekonomi dan sosial. Jumlah penduduk miskin dan rentan miskin pun diperkirakan terus bertambah. Padahal, Covid-19 atau virus China baru setahun mewabah. Bagaimana jika virus ini berlangsung dua tahun atau bahkan diperkirakan 5-10 tahun? Atau yang terburuk, sulit atau tidak bisa diprediksi kapan berakhir. Yang pasti, virus China ini telah mengakibatkan angka penduduk miskin dan rentan miskin sudah naik dan akan naik. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada 2020 tercata 26,42 juta jiwa. Angka ini naik 5,09% dibandingkan tahun sebelumnya yakni 25,14 juta. Tahun 2021, angka kemiskinan diperkirakan naik menjadi double digit, 10,5 persen. Naik jika pemerintah tidak melakukan berbagai upaya nyata dan lebih giat lagi untuk menanganinya. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menghabiskan APBN ratusan triliun rupiah tidak cukup kuat menahan laju penurunan konsumsi masyarakat, terutama masyarakat miskin dan rentan miskin. Seperti diketahui, anggaran program PEN tahun 2021 menjadi Rp 627,96 triliun. Program PEN ini meliputi anggaran kesehatan, perlindungan sosial, kegiatan sektoral, pemerintah daerah, dan Kementerian/Lembaga (K/L). Kemudian anggaran untuk mendukung Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Lalu ada juga untuk pembiayaan korporasi, dan untuk kegiatan usaha dalam bentuk insentif pajak. Semua berharap, stimulus program perlindungan sosial merupakan salah satu kunci menyelamatkan perekonomian masyarakat dari resesi. Besaran dana yang dikucurkan oleh pemerintah untuk program tersebut akan sangat menentukan apakah masyarakat akan jatuh ke dalam jurang kemiskinan yang semakin dalam atau tidak. Hanya saja sangat disayangkan, baru tahun pertama stimulus program perlindungan sosial dijalankan (2020), dananya sudah dikorupsi Menteri Sosial Julian Peter Batubara dan kawan-kawannya. Mereka melakukan korupsi secara beramai-ramai. Bantuan sosial yang sangat dibutuhkan orang miskin mereka rampok. Oleh karena itu, tuntutan masyarakat agar politisi PDIP itu dihukum mati adalah wajar, pantas dan tepat. Nah, pandemi juga telah menyebabkan jurang antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Hal tersebut adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal itu bisa dilihat dari angka-angka, bukan sekedar kata-kata. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat terjadinya peningkatan tabungan masyarakat di perbankan. Akan tetapi, meningkatnya dana simpanan masyarakat hingga akhir 2020 bisa menjadi indikator tertahannya aktivitas konsumsi masyarakat. Padahal, idealnya setiap akhir tahun, dana simpanan masyarakat turun. Walaupun peningkatan simpanan masyarakat berdampak positif pada kecukupan likuiditas, pertumbuhan dana pihak ketiga di periode akhir 2020 perlu diwaspadai karena mengindikasikan tertahannya konsumsi masyarakat. Fluktuasi ekonomi disinyalir membuat masyarakat masih melihat dan menanti untuk melakukan konsumsi. Berdasarkan laporan LPS, simpanan masyarakat pada 109 bank umum per Desember 2020 naik 10,86% secara year on year (yoy) menjadi Rp 6.737 triliun atau tumbuh 0,53% secara bulanan (month on month/MoM). Rincian berdasarkan nominal, simpanan di bawah Rp 100 juta naik 2,76% secara MoM atau 8,06% secara tahunan menjadi Rp 954 triliun. Di sisi lain, simpanan dengan nominal di atas Rp 5 miliar terpantau turun 1,32% MoM, walau secara yoy masih naik 14,19% menjadi Rp 3.207 triliun. Walau simpanan dengan nominal turun, tetapi nilai keseluruhan masih mendominasi. Jadi, meningkatnya jumlah simpanan masyarakat di bank, selain mengindikasikan tertahannya konsumsi, juga sekaligus memperlihatkan ketimpangan ekonomi. Artinya, di saat jumlah penduduk miskin bertambah, orang kaya juga naik. "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin." Lirik lagu Rhoma Irama tersebit kini semakin relevan. **

Pembunuhan KM 50, Kapolri & Kapolda Metro Jaya, Sebaiknya Mundurlah

PORTAL berita Divisi Humas Polri tanggal 11/2/2012 menyajikan berita menarik. Bareskrim Polri masih mempelajari temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait investigasi peristiwa di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) yang menewaskan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI). Saat ini berkas temuan masih dipelajari oleh penyidik Bareskrim Polri. Karo Penmas Hamas Polri, Brigjen Rusdi Hartono menyebut, terdapat dua hal yang akan jadi fokus Polri terkait hasil investigasi dari Komnas HAM. Yang pertama, kejadian penyerangan terhadap anggota Polri yang sedang bertugas. Yang kedua, permasalahan unlawfull killing. “Yang diterima Polri dalam hal ini adalah hasil investigasi dari Komnas HAM yang berjumlah lebih kurang 60 halaman,” papar Brigjen Rusdi di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (11/2/2021). Rusdi juga mengemukakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti barang bukti yang sampai saat ini masih berada di Komnas HAM. Penyidik akan berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk dapat meminta barang bukti. “Karena barang bukti ini menjadi sesuatu yang penting bagi Polri untuk dapat menindaklanjuti daripada hasil investigasi Komnas HAM yang baru diterima penyidik hari Jumat (29/1) yang lalu. Penyidik sedang mempelajari dan akan dilaksanakan rapat pembahasan besok antara penyidik dengan pengawasan internal,” ujar Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian, Selasa (2/2/202 Sudahlah Pak Argo, dan Pak Rusdi, agar tidak dinilai sedang melucu dan membanyol, sebaiknya berhenti bicara sikap Polri dalam kasus ini. Masa sudah begini lama masih terus pelajari. Yang benar aja deh. Sikap Polri tidak ditentukan oleh, maaf bapak berdua. Sikap Polri, kami yakin sepenuhnya ditentukan oleh Kapolri. Yang perlu bapak berdua lakukan adalah beri saran kepada Kapolri untuk segera berkordinasi dengan Presiden Jokowi. Kasus ini, kami nilai dirumitkan oleh lilitan politik. Orang-orang berakal sehat, dan bernurani beres, kami yakin akan menertawakan argumentasi yang menyatakan ada kerumitan teknis penyidikan kasus ini. Pak Argo dan Pak Rusdi, apa polisi yang menembak, sebut saja empat laskar itu, apa sudah berubah menjadi hantu? Pasti tidak kan? Jadi, apa susahnya menyidik? Sudahlah, berhenti bicara kasus. Serahkan soal ini sepenuhnya ke Pak Kapolri. Biarkan dia yang bicara. Toh penyidik-penyidik dibawah kepemimpinan Sigit saat jadi Kabarekskrim, telah lebih dahulu menyidik kasus ini. Tidakkah penyelidikan itu terlihat memiliki kesesuaian signifikan dengan pernyataan Irjen Fadil Imran, Kapolda Metro Jaya yang disampaikan dalam konfrensi Pers? Penyelidikan atau penyidikan yang berlangsung saat Sigit jadi Kabareskrim telah sampai melakukan rerkonstruksi. Kala itu penyidik telah memeriksa 83 orang saksi. Apakah itu hebat atau konyol yang sekonyolnya? Rasanya semut hitam di dinding-dinding bagunan rest area akan geleng-geleng kepala keheranan menilai penyelidikan itu. Semut pasti tak mampu bilang respon Kabarerskrim kala itu ngawur. Semut juga pasti tak bilang respon Sigit saat ini lebih ngawur lagi. Mengapa lambat menyidik? Jangan sodorkan kendala teknis. Sebab nanti cacing yang mendadak bergoyang mengolok-olok anda. Tunggu barang bukti dari Komnas HAM? Apakah semua barang bukti ditaruh di Komnas Ham? Masuk akalkah ini? Tidakkah laporan investigasi Komnas Ham disusun setelah memeriksa sebagian barang bukti yang ada di Polda Metro Jaya? Dimana Komnas HAM memeriksa mobil Avanza, Xenia, towing, dan landcruiser? Apakah dii Polda Metro atau di gunung lawu? Apa pakaian yang dikenakan laskar ketika terbunuh itu ditaruh di Komnas HAM? Apakah Surat tugas kepada para petugas Polisi yang menembak laska FPI itu ditaruh di Komnas HAM? Apakah voice note yang diperoleh dari HP korban sejumlah 172 rekaman dan 191 transkripsi juga ditaruh di Komnas HAM? Jangan cari pembenaran untuk menyatakan dua orang laskar FPI yang mati di KM 50 itu lawfull killing. Betul, Komnas HAM dalam keterangan pers Nomor: 003/Humas/KH/2021 tanggal 8 Januari 2021, tidak menyatakan kedua almarhum itu mati secara unlawfull killing. Karena tidak disebut unlawful killing, maka anda mau menjadikan kenyataan itu sebagai celah untuk menyatakan kedua almarhum mati secara lawfull killing? Sudahlah, logika laskar FPI menyerang petugas Polisi tidak logis. Paling mungkiin itu hanya logis bagi Irjen Pol. Fadil Imran, Kapolda Metro. Mengapa? Oke mobil Avanza Silver K 9134 EL, Xenia B. 1519 UTI dan B 1542 POI serta Land Cruiser, dalam temuan Komnas HAM telah diakui sebagai mobil polisi. Tetapi soalnya adalah apakah mobil-mobil ini punya ciri fisik sebagai mobil polisi? Petugas Polda Metro pakai mobil bernomor polisi K 9134 EL? Komnas HAM juga menemukan mobil B. 1739 PWQ, dan B 1278 KJD terlibat aktif dalam pembuntutan rombongan Habib Rizieq. Tetapi mobil-mobil ini tidak diakui sebagai mobil petugas Polda Metro Jaya. Pak Kapolri dan Pak Fadil Imran, apakah itu mobil hantu? Disopiri oleh kuntilanak dan ditumpangi cacing? Pak Kapolri, tanyakanlah ke Fadil Imran, siapa orang di mobil yang tak jelas itu? Tanyakan juga ke Kapolda Metro, apakah petugas-petugas yang teridentifikasi pakai seragam Polisi? Sudahlah Pak Kapolri, hentikan semua pembicaraan yang bernalar ada penyerangan polisi oleh laskar FPI. Berhentilah. Kura-kura hutan bisa jingkrak-jingkak lalu berlari layak kijang, bila wacana itu terus disajikan. Komnas HAM saja tak mampu mengindentifikasi sebagian mobil itu, lalu dengan cara apa logika atau rasio FPI tahu atau harus tahu mobil-mobil itu adalah mobil polisi? Berpenung polisi di dalamnya? Kalau bukan mobil polisi, dan petugas polisi tidak berseragam, bagaimana membangun nalar laskar FPI seharusnya tidak berusaha menghalangi atau tidak menghalangi petugas-petugas itu? Pak Kapolri dan Imran Fadil harus tahu laskar FPI itu bukan ahli nujum. Fadil Imran, sang Kapolda hebat ini, memang top. Kasus habib Rizieq baru tahap penyelidikan, tetapi telah diintai. Tersangka saja belum, tetapi telah diintai, dipantau secara intensif. Fadil benci habib Rizieq dan FPI atau disuruh Presiden membenci habib Rizieq dan FPI? Fadil memang top. Pak Kapolri biarkan saja “pernyataan laskar menyerang polisi” itu milik Fadil Imran seorang diri. Dilansir Detik.com (4/12/2020) Fadil pernah memberi pernyataan yang sangat bernilai. Kami, katanya, terus melakukan penegakan hukum, khususnya terhadap ormas-ormas yang berperilaku seperti preman." Mantan Kapolda Jawa Timur ini mengatakan tidak ada ruang bagi pelaku premanisme di Indonesia, khususnya di Jakarta. "Negara ini tidak boleh kalah dengan premanisme, radikalisme, dan intoleransi," imbuh Fadil Imran. Pihaknya tidak akan memberikan toleransi terhadap ormas yang berlaku preman. Ormas preman bakal ditindak tegas. "Semua ormas yang berperilaku seperti preman akan kami tindak tegas," tegas Fadil Imran lagi (detikcom, 4/12/202). Fadil Imran yang Irjen Polisi ini, sekali lagi, hebat. Dia bukan preman. Dia Kapolda Metro Jaya. Dia tidak menyebut FPI sebagai ormas berperilaku khas preman. Tetapi tiga hari saja setelah suara Fadil menggetarkan alam hukum dan politik Jakarta, Ormas FPI, yang personil-personilnya mengawal Habib Rizieq mati dibunuh. Mereka ditembak dalam mobil, dan baku-tembak. Hebat Irjen Fadil Imran ini. Setelah nyawa-nyawa itu melayang, Fadil segera maju ke depan memberi penjelasan. Sikap Fadil khas seorang pemimpin. Dengan meyakinkan, Fadil menyampaikan kepada masyarakat bahwa enam nyawa laskar FPI yang melayang itu akibat melawan petugas. Top coi. Apa sekarang nurani Fadil sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala, Yang Maha Tahu dan Maha Adil, yang tahu semua hal yang tersembunyi, tidak menggoda Fadil untuk sejenak saja menyadari bahwa seisi alam ini terluka, merasa dibohongi? Sungguh hebat bila Fadil tidak merasa ada kebohongan yang begitu telanjang dalam pernyataannya itu. Politik memang memungkinkan Fadil, yang tidak sama dengan Kapolda sebelumnya, mencari mimpi perkara ini berputar-putar tak karuan. Dengan begitu tidak ada petugas yang terluka karirnya, termasuk Fadil sendiri. Itu politik. Itu juga bukan alam semesta yang punya cara menertawakan dan mengolok-olok kenyataan itu. Tetapi andai Fadil memiliki mimpi itu, rasanya beralasan. Toh Kapolri, dalam kenyataan sejauh ini hanya mampu berucap indah, seindah pelangi disenja hari ketika mengucapkan, semacam janji di Komisi III DPR, akan menindaklanjuti kasus ini. Apa salah, andai orang waras menempatkan anda berdua, Kapolri dan Kapolda Metro Jaya, sebagai dua orang yang berada pada titik centrum tanggung jawab penuntasan kasus ini? Sekonyol apa andai orang waras membayangkan anda berdua segera tinggalkan jabatan yang sedang dipangku saat ini? Mundurnya anda berdua, kami bayangkan, menjadi sumbangan besar naiknya penghormatan yang pantas kepada Polri. Mundur akan menjadi cara terbaik merayu semesta untuk tak terus-terusan mencibir dan mengolok-olok anda berdua kini, esok, hingga akhir jabatan Presiden Jokowi nanti. Panggillah bimbingan moral dari lautan nurani anda berdua. Mungkin itu akan jadi bimbingan penentu. Tak akan ada yang bisa lebih jelas dari itu, apalagi lebih kuat. Sehebat apapun seorang manusia, tak pernah sehebat semesta menghormati ruh-ruh manusia, termasuk ruh enam laskar FPI yang telah melayang, tertembak peluru itu. Kebesaran nurani itu mahkota orang besar. Orang besar selalu kaya dan ringan menemukan cara besar dan anggun menyelesaikan soal. Orang besar melukis kebesarannya dengan tanggung jawab, karena tanggung jawab adalah teman seia-sekata kejujuran. Dunia terlalu canggih melukis godaan, membuatnya indah dan manis. Sehingga orang-orang kecil terlena, hanyut dan tenggelam dalam pelukannya. Pangkat dan jabatan selalu indah untuk pendaki dunia. Sayangnya pendaki tak selalu aman dari tipuannya. Mundurlah agar terhormat kelak.

Robohnya BUMN Asuransi Kami

TAHUN 2021 adalah tahun paling menyedihkan buat industri asuransi, mengingat raksasa-raksasa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi kita terancam menderita kerugian ratusan triliun. Lebih celaka lagi potensi kerugian itu dilakukan oleh orang dalam, yakni direksi dan komisaris bekerjasama dengan para rent seeker, pemburu rente, yang menggerogoti BUMN asuransi kita secara sempurna. Bagaimana itu bisa terjadi? Tiga bulan lalu sahabat yang rajin menulis isu asuransi, yakni Irvan Raharjo, mengbarkan baru merampungkan buku Robohnya BUMN Kami. Secara filosofi judul tersebut memang datang dari kami, sehingga beliau secara pribadi mengucapkan terima kasih atas inspirasi judul buku terbarunya. Kabar yang menggemberakan dari praktisi asuransi itu, hadirnya buku itu tentu saja disambut meriah buat kalangan industri asuransi, karena telah hadir satu buku baru dibidang asuransi yang diakui sangat sulit dan tidaklah mudah membuatnya. Kabar buruknya justru apa yang diceritakan dalam buku itu menggambarkan betapa buruknya pengelolaan BUMN asuransi kita yang rerata beraset besar dan sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Memang sangat menyedihkan, rakyat Indonesia disuguhkan praktik kepemimpinan asuransi yang adigang adigung adiguno, ugal-ugalan, norak dan cenderung koruptif massif. Dengan kedekatan pertemanan direksi dan komisaris berhasil menjebol kocek asuransi BUMN yang kita cintai ini. Celakanya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bak macan ompong, tak mampu membendung proses perampokan dana asuransi baik yang secara terang-terangan maupun tersembunyi, lewat financial engineering, mark up atau mark down aset, maupun lewat goreng menggoreng saham di pasar modal. Lihat saja jejak potensi kerugian asuransi BUMN itu. Menurut Kejaksaan Agung, Asuransi Jiwasraya yang awalnya diduga menderita kerugian Rp17 triliun melonjak menjadi Rp37,4 triliun. Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) harus menanggung potensi lonjakan kerugian dari Rp22 triliun menjadi Rp23,7 triliun. Selain itu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, masih menurut Kejaksaan Agung, harus menderita potensi kerugian hingga Rp20 triliun. Sebelum itu asuransi kumpulan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang walaupun bukan BUMN asuransi, tapi merupakan municipal insurance atau asuransi kumpulan, dimana setiap pemegang polis sekaligus pemegang saham, harus menanggung negative spread Rp20 triliun. Yakni selisih antara aset Rp10,1 triliun dengan kewajiban yang harus ditanggung Rp30,1 triliun. Kalau diperhatikan, modus kejahatan BUMN asuransi itu terjadi setahun dua tahun sebelum dan sesudah Pilpres. Mengapa? Kalau proses perampokan yang terjadi sebelum Pilpres berlangsung, diduga digunakan untuk dana politik jelang Pilpres. Sementara kalau proses perampokan terjadi setelah Pilpres, itu pertanda sang Pilpres terpilih sedang menggunakan kekuasaannya untuk mengeruk dana asuransi lewat modus operandi yang berbagai macam tadi. Robohnya BUMN asuransi ini memang dahsyat dan itu terjadi dimasa kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir. Celakanya aliran dana BUMN asuransi tersebut ada yang menyasar di saham milik keluarga besar Erick Thohir, secara moral harusnya beliau mengundurkan diri atau mempersilakan aparat untuk menelusuri atau bahkan menyelidiki kasus tersebut. Lebih celaka lagi, dalam kasus Jiwasraya dan ASABRI melibatkan ahli goreng saham di pasar modal, yakni Benny Tjokrosaputro. Penulis menduga yang bersangkutan juga berperan dalam cawe-cawe dana BUMN asuransi lainnya, yakni Jiwasraya. Dalam kasus Jiwasraya, Benny Tjokro yang merupakan pihak eksternal yang sudah divonis seumur hidup dan penyidik menyita 33 hektare tanahnya di Rangkas Bitung, tentu saja ia melakukan banding. Sedangkan dalam kasus ASABRI peran Benny Tjokro sedang dalam penyelidikan. Ada lagi nama Heru Hidayat, Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk, yang ikut menjebol dana ASABRI, diketahui ikut berperan menggerogoti dana ASABRI. Jaksa Agung telah menyita 20 unit kapal tanker miliknya, dimana dalam sehari kapal-kapal tanker tersebut mendapat tarif sewa mencapai Rp437 juta per hari. Ada nama Harry Prasetyo, mantan Dirut Jiwasraya yang sempat mampir menjadi Deputi di Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia menjabat sebagai menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis. Harry diduga berperan besar dalam pembobolan dana Jiwasraya, sehingga hadirnya Harry di Istana benar-benar mencoreng nama baik KSP, Itu sebabnya Moeldoko sempat merasa kecolongan. Bagaimana cara mereka membetot dana BUMN asuransi tersebut, tentu bervariasi. Ada yang digunakan untuk menggoreng saham perusahaan yang owner-nya memiliki kedekatan dengan direksi dan komisaris BUMN asuransi itu. Ada juga yang mengakuisisi aset tanah dan bangunan dengan harga mark up, disamping juga ada modus penempatan dana dalam perusahaan, bank atau emiten, kemudian dana itu diolah sedemikian rupa sehingga merugikan perusahaan asurangi tersebut. Yang menyedihkan ada direksi yang sengaja membuat klaim palsu atau klaim atau perusahaan yang sudah selesai masa asuransinya (replanting claim), sehingga dana asuransi itu pun terbang entah kemana. Yang paling besar tentu dengan cara menggoreng saham emiten tertentu sampai setinggi langit, kemudian saham itu jatuh serendah-rendahnya sehingga investasi BUMN asuransi itupun hancur. Sayangnya kelanjutan penyelidikan aliran dana ke partai politik, yang diperkirakan menjadi penyebab utama korupsi itu terjadi, tidak berlanjut. Penyeleidikan mentok di tokoh-tokoh internal asuransi dan petinggi perusahaan emiten. Nama-nama yang mengarah ke parpol seperti Harun Masiku hilang lenyap tanpa jejak. Hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa perampokan dana-dana BUMN asuransi itu adalah, pertama, betapa budaya pemerasan BUMN sejak zaman Orde Baru hingga kini masih berpangsung dengan derajat yang makin brutal dan massif. BUMN menjadi sapi perah itu ternyata nyata, bukan mitos, dan belum berhenti. Kedua, peristiwa penggangsiran likuiditas BUMN asuransi makin hari makin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Sehingga efek kerugian yang diciptakan semakin besar. Ketiga, penelusuran rekening dan keterlibatan tokoh hanya berhenti pada direksi, komisaris dan pihak swasta yang terlibat saja. Ketika ada indikasi mengarah ke tokoh politik langsung dihentikan. Keempat, dengan masih amannya aktor intelektual yang nota bene para politisi dalam proses perampokan dana BUMN asuransi, maka besar kemungkinan proses itu masih berlanjut, karena tidak ada efek jera. Kelima, kita memang membutuhkan pimpinan yang kuat, tegas dan berwibawa untuk menghentikan proses penggarongan BUMN asuransi. Bahwa proses penggarongan dana BUMN asuransi masih terus berlangsung, membuktikan bahwa kepemimpinan yang ada benar-benar lemah, tidak tegas dan jauh dari berwibawa. Itulah nestapa yang menimpa BUMN asuransi kita, dimana perusahaan asuransi itu adalah peninggalan para founding father bangsa ini. Saat mendirikan mereka berharap BUMN asuransi kita bisa menyejahterakan rakyat Indonesia. Oleh karena rendahnya amanah dan rendahnya rasa takut pada Tuhan, maka proses penggarongan itu terjadi dan masih berlangsung. Disaat kita sibuk meratapi penggarongan BUMN asuransi, perusahaan asuransi asing justru sedang berpesta pora menikmati kinerja dan laba yang bersinar seperti Prudential, Manulife, Allianz, Zurich, dan lainnya. Itu sebabnya penulis memperkirakan BUMN asuransi kita akan tergilas oleh zaman, tergusur oleh waktu, terkubur oleh sifat rakus, tamak dan sombong. Apakah BUMN asuransi kita benar-benar akan roboh? Semua berpulang pada kesadaran rakyat Indonesia dalam memilih pemiimpinnya. Wallahu ‘alam!

Soal Inkonsistensi Jokowi Juaranya

ALIANSI Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) baru saja memberikan penghargaan penting untuk Presiden Joko Widodo. Namanya, "Juara Umum Lomba Ketidaksesuaian Omongan dengan Kenyataan." Presiden Jokowi baru saja dinobatkan sebagai figur yang inkosisten. Karena itu dalam bahasa lain, dia baru saja mendapatkan : Inkonsistensi Award! Orang Jawa menyebut figur semacam ini dengan sebuah idiom “Isuk dele, sore tempe.” Berubah-ubah dengan sangat cepat. Tidak konsisten. Pagi bicara A. Sore harinya tiba-tiba berubah B. Figur yang tidak bisa dipegang kata-katanya. Masalahnya menjadi jauh lebih serius karena Jokowi adalah seorang presiden. Seorang Kepala Negara. Seorang figur yang kata-katanya harus dipercaya oleh seluruh bangsa Indonesia. Orang yang punya otoritas besar, karena ucapannya bisa menjadi hukum. Sangat berbahaya bila ada seorang presiden, seorang Kepala Negara ucapannya tidak bisa dipegang. Tidak satu kata dengan perbuatan. Dalam agama Islam, figur semacam ini masuk kategori munafik. Yakni seseorang yang bila berkata, berdusta. Bila berjanji, tak pernah ditepati. Bila diberi amanah, dia berkhianat! Sebuah judgement, penilaian yang sangat berat. Tentu kita seharusnya tidak boleh memberi penilaian yang sangat berat semacam itu terhadap seorang presiden. Seorang munafik biasa saja sudah berbahaya. Apalagi seorang munafik menjadi pemimpin sebuah bangsa. Bakal cilakalah bangsa tersebut. Oleh karena itu, penghargaan yang diberikan oleh Aliansi Mahasiswa UGM ini tidak boleh dianggap main-main. Tidak boleh dianggap sekadar lucu-lucuan. Penghargaan itu sangat serius. Pertama, penghargaan itu diberikan oleh mahasiswa dari kampus yang menjadi almamater Presiden Jokowi. Harusnya UGM bangga karena seorang alumni menjadi presiden. Tapi alih-alih bangga. Penghargaan itu menunjukkan betapa mereka sangat kecewa dengan seorang seniornya yang kini menjadi presiden. Kedua, yang memberikan penghargaan adalah aliansi mahasiswa. Sebuah entitas sepanjang sejarah bangsa ini selalu menjadi motor perubahan. Secara tidak langsung melalui penghargaan ini mereka menyampaikan mosi tidak percaya kepada Jokowi. Orang yang tidak satu kata dengan perbuatan, adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Jokowi dinobatkan sebagai juara lombanya. Padahal, dalam sebuah negara demokrasi, basis legitimasi seorang penguasa, adalah kepercayaan publik. Kepercayaan yang mereka titipkan dalam siklus lima tahunan yang digelar melalui Pemilihan Umum. Ketiga, Jokowi dinobatkan sebagai juara lomba. Artinya ada semacam penilaian, di kalangan para pejabat negara sedang terjadi lomba inkonsistensi. Dengan penghargaan itu, Aliansi Mahasiswa UGM secara tidak langsung menyatakan bahwa pemerintahan di bawah kendali Jokowi tidak bisa dipercaya. Para pejabatnya bukan hanya tidak inkonsisten. Tapi justu saling berlomba menjadi juara dalam inkonsistensi. Cilakanya, juaranya adalah Jokowi. Seorang presiden, seorang Kepala Negara yang harusnya menjadi contoh bagi semua para pejabat di bawahnya. Juga menjadi contoh bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam situasi semacam ini kita menjadi teringat ujaran dari filsuf Yunani Marcus Tullius Cicero. Ikan membusuk mulai dari kepalanya. Ketika seorang Kepala Negara berperilaku busuk, maka kebusukan sebuah bangsa tinggal menunggu waktu. Kita tentu tidak mau hal itu terjadi. Penghargaan dari Aliansi Mahasiswa UGM itu hendaknya menjadi semacam peringatan. Peringatan bahwa anak-anak muda dari kampus almamater Pak Jokowi ini sangat mencintai bangsanya. Mereka pasti juga sangat mencintai almamaternya. Tidak mau nama baiknya tercoreng. Mereka pasti bangga dengan seorang seniornya yang sangat sukses di dunia politik, menjadi Presiden Indonesia. Presiden Jokowi dan jajaran pemerintah harus menganggap penghargaan ini sebagai alarm keras yang membangunkan mereka. Sudah terlalu banyak inkosistensi yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi. Terlalu panjang bila harus dijabarkan kembali satu persatu. Publik sudah sangat hafal dengan perilaku tersebut. Oleh karena itu, tidak perlu heran ketika presiden minta agar masyarakat mengkritik pemerintah, banyak orang yang tertawa-tawa geli. Tak percaya. Publik makin tertawa lebar ketika Mensekab Pramono Anung meminta pers mengkritik pemerintah sekeras-kerasnya. Kritik yang sangat pedas kepada pemerintah. Publik telanjur tidak percaya. Kebetulan pada saat bersamaan, penyidik senior KPK Novel Baswedan menyentil perlakuan polisi terhadap usataz Maher. Dia tewas di tahanan. Novel langsung dilaporkan ke polisi. Pelapornya hampir dapat dipastikan adalah ormas pendukung rezim pemerintah. Inkonsistensi yang berimbas pada meluasnya ketidakpercayaan publik, menjadi pekerjaan rumah yang sangat serius bagi pemerintah. Dalam situasi semacam ini perlu diingat kembali pepatah lama “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak dipercaya.” **

Labelisasi Teroris Kembali Digunakan

ISLAM politik yang semakin menguat akhir-akhir ini membuat para penguasa islamofobia merasa terancam. Pilkada DKI 2017 beserta prolognya memberikan kesempatan besar bagi Islam politik untuk berekspansi. Kontestasi jabatan Gubernur DKI yang berakhir dengan kekalahan Basuk Tjahja Purnama alias Ahok menjadi lonceng peringatan bagi para penguasa. Dan mereka kebingungan. Gerakan umat yang menghadirkan jutaan orang dalam setiap kali ‘kumpul Monas’ antara akhir 2016 hingga akhir 2019 adalah salah satu simbol kebangkitan Islam politik. Para penguasa eksekutif dan para pengawal mereka di legislatif melihat ancaman Islam politik akan semakin besar kalau terus dibiarkan. Gerakan umat sangat solid dan kuat. Para penguasa tahu gerakan umat itu tak terbendung. Gelombang gerakan itu semakin membesar. Ini yang membuat para penguasa menjadi “disoriented”, kehilangan arah. Mereka tidak paham bagaimana cara menghadapinya. Para penguasa tidak paham karena mereka merasa tidak ada masalah dengan diri mereka. Di sinilah simpul persoalannya. Rakyat, khususnya umat, sudah sangat muak melihat cara-cara yang dilakukan para penguasa. Tidak saja muak, rakyat harus memikul beban berat akibat kesewenangan yang bermodalkan non-kompetensi. Para penguasa tidak kompeten mengelola negara besar ini, tetapi mereka terus mabuk dengan cara sewenang-wenang. Di tengah kesewenangan dan non-kompetensi inilah Islam politik menggumpal dan merajut kekuatan. Tak dapat dipungkiri, Habib Rizieq Syihab (HRS) adalah episentrum Islam politik itu. HRS kemudian menjadi ‘iconic figure’ (tokoh simbol). HRS bisa melakukan peran ini karena dia dilihat memiliki semua teladan yang dicari umat untuk gerakan Islam politik yang ideal. Umat mendambadakan kejujuran, kesederhanaan, keberanian dan konsistensi. Habib Rizieq memperlihatkan karakteristik ini. Umat memerlukan kecerdasan dan aksetabilitas dalam kebinekaan, HRS telah menunjukkan itu sejak lama. Umat mendambakan ketegasan dalam “mutual respect and tolerance” (saling menghormati dan toleransi), HRS pun sudah melakukan hal itu dari dulu. Ketika seluruh kompenen rakyat menuntut pembasmian korupsi dan pemulihan kedaulatan yang telah tergadai, HRS bisa diterima semua pihak. Singkat cerita, HRS bisa meyakinkan semua orang, kecuali oligarkhi politik dan bisnis, bahwa dia tidak punya agenda pribadi atau kelompok ketika meneriakkan penegakan hukum dan keadilan tanpa pilih kasih. Sejak itulah HRS tidak punya akseptabilitas di kalangan para oligarkhi rakus, para koruptor dan pengkhianat. Rating HRS menjadi nol di mata para penguasa laknat. Tidak hanya minus akseptabilitas dan rating di depan oligarkhi jahat dan para penguasa zalim, HRS kemudian dijadikan musuh yang berbahaya. Musuh yang mengancam kenikmatan mereka dalam mengobrak-abrik negara dan kekayaannya. Mau tak mau, HRS harus menghadapi kolaborasi kekuatan para penguasa zalim dan para penggarong. Inilah yang sekarang “on display” (sedang dipajang). HRS akan dikejar habis. Dengan segala cara. Apa saja yang bisa ditimpakan kepada dia pasti akan dilakukan. HRS tidak akan diberi ruang sedikit pun. Bagi para penguasa zalim yang didukung oleh oligarkhi, Habib Rizieq jangan lagi bisa mengganggu mereka. Kepulangan HRS dari Arab Saudi membuat mereka merasa terganggu. Itulah sebabnya begitu ada kekeliruan kecil yang dilakukan HRS, para penguasa langsung menjadikan itu sabagai kesempatan untuk memukul. Kesalahan sepele itu, termasuk kerumunan Petamburan dan Megamendung, serta ‘swab test’ di RS Ummi Bogor, memberikan justifikasi untuk menginteli gerak-gerik HRS. Dari sinilah bermula peristiwa KM-50 yang berujung pembunuhan 6 pengawal HRS pada 7 Desember 2020. Setelah peristiwa itu, situasi berbalik. Kesalahan kecil HRS tenggelam oleh pembunuhan sadis ke-6 anak muda FPI itu. Para penguasa zalim balik dikejar oleh opini publik. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi. Komnas menyimpulkan ada pelanggaran HAM. Penguasa terpojok. Bakal ada proses hukum terhadap para pembunuh. Tentunya ini sangat aib. Sayangnya, Komnas HAM yang semula berapi-api dalam penyelidikan pembunuhan ini akhirnya bisa jinak dan terkooptasi. Pernyataan-pernyataan yang kemudian keluar dari para petinggi Komnas terutama ketuanya, Ahmad Taufan Damanik, berbalik menyudutkan para korban, HRS, dan FPI. Habib dijebloskan ke penjara lewat kasus kerumunan Covid yang sebtulnya sudah terjadi ribuan kali di tempat-tempat lain. Termasuk ketika berlangsung kampanye pemilihan Wali Kota Solo. Penguasa mulai menjalankan taktik pembunuhan karakter terhadap HRS dan FPI. Labelisasi teroris adalah salah satu pembunuhan karakter yang sangat ampuh. FPI sedang digiring ke sini. Labelisasi teroris ini pula sekarang dijadikan taktik untuk mengubur kasus pembunuhan sadis 6 anggota FPI. Agar kasus ini tak jadi dibawa ke pengadilan. Labelisasi teroris juga akan mejadi pedang mermata dua. Taktik ini sekaligus akan membungkam umat Islam. Tidak hanya membungkam HRS dan para mantan pengurus FPI. Umat akan diam. Tak lagi keras menyuarakan pembunuhan yang telah dinyatakan sebagai “unlawful killing” (pembunuhan sewenang-wenang) oleh Komnas HAM. Belakangan ini, para penguasa terlihat mencari-carikan cara untuk menghubungkan FPI dengan aksi terorisme. Meskipun publik mencatat bahwa FPI tidak pernah terlibat tindakan teror. Pada 15 Desember 2020, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Irjen (Purn) Benny Mamoto, mengatakan ada 37 anggota atau mantan anggota FPI (yang waktu itu FPI masih belum dibubarkan) yang terlihat langsung dengan kelompok teroris di Indonesia. Meskipun dia seorang polisi, Benny Mamoto sebagai Ketua Harian Kompolnas tidak layak mengurusi orang-orang yang trindikasi ini dan itu. Itu bukan urusan dia. Kompolnas seharusnya mengurusi kinerja kepolisian dan melayani keluhan masyarakat terhadap kepolisian. Sebagai contoh, di Inggris ada Independent Police Complain Commission (IPCC) yang bertugas mengawasi profesionalisme polisi. Mereka melayani pengaduan masyarakat terkait tindakan polisi yang melanggar hukum. Bukan menjadi jurubicara kepolisian seperti yang dilakukan oleh Mamoto. Akan teapi, begitulah Indonesia. Hal-hal yang kontradiktif atau aneh, sudah menjadi sesuatu yang lazim. Dikritik pun, tidak akan dihiraukan. Baik, kembali ke labelisasi teroris untuk membungkam para aktivis FPI dan umat Islam pada umumnya. Permainan ini sangatlah kasar. Sangat mungkin nantinya akan ada vonis bahwa FPI terkait dengan ISIS (Islamis State of Iraq dan Syria, yaitu Negara Islam Irak dan Suriah). Pada 6 Januari 2021, Polda Makassar menangkap 19 orang yang dikatakan sebagai anggota Jemaah Ansharud Daulah (JAD) yang selama ini dilabel teroris. Setelah mereka dibawa ke Jakarta pada 4 Februari 2021, Karo Penmas Polri Birgjen Rusdi Hartono mengatakan ke-19 orang tersangka teroris ini adalah anggota FPI. "Semua terlibat atau menjadi anggota FPI di Makassar. Mereka sangat aktif dalam kegiatan FPI di Makassar," kata Rusdi dalam konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta ketika para tersangka mendarat dari Makassar. Beberapa hari lalu, mantan petinggi FPI, Munarman, “berhasil” dikaitkan dengan ISIS. Dikatakan, seorang anggota FPI Sulawesi Selatan mengaku bahwa dia dibaiat sebagai pengikut ISIS dengan disaksikan langsung oleh Munarman. Jika sudah tersemat bahwa FPI terhubung dengan ISIS, maka para mantan pemimpin FPI dan anggota mereka otomatis bisa disebut teroris oleh para penguasa. Bila sudah “resmi” teroris, maka bisa dengan mudah dipropagandakan oleh para penguasa bahwa 6 orang yang terbunuh itu pun termasuk yang terkait dengan teroris ISIS. Sehingga, rekomendasi Komnas HAM agar pembunuhan para pengawal HRS itu dibawa ke pengadilan, bisa diabaikan. Alasannya, organisasi mereka telah dipastikan oleh para penguasa sebagai kelompok yang mendukung teroris. Propaganda para penguasa akan didukung oleh media massa penjilat. Mereka akan beramai-ramai dan serentak menggaungkan bahwa FPI adalah organisasi teroris. Inilah yang telah dan sedang dilakukan oleh para penguasa zalim. Mereka kembali menggunakan labelisasi teroris untuk membungkam umat. Taktik usang yang sangat mudah dibaca.**

Ustad Maaher Mati di Rutan Bareskrim, Kapolri Sigit Mundurlah

DITENGAH sikap, entah apa namanya, Polri dibawah Jendral Listyo Sigit, yang tidak juga menyidik anak buahnya dalam peristiwa pembunuhan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Namun Indonesia disentak lagi dengan satu kematian. Ustad Maaher, yang semasa hidupnya kritis terhadap pemerintah. Setidaknya kritis kepada pendukung-pendukung pemerintah, mati. Ustad Maaher mati pada hari Senin (8/2/2021), usai ba’da maghrib. Almarhum mati di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Almarhum ditahan di rutan ini, karena disangka melakukan tindak pidana menyebarkan berita yang dapat menimbulkan gangguan Suku, Agama Ras dan Antargolongan (SARA). Bareskrim yang pada saat itu dipimpin Listyo Sigit, sekarang Kapolri terlihat hebat. Sangat responsive. Segera setelah menerima laporan, anak buah Sigit menindaklanjutinya. Almarhum ditangkap di rumahnya di Bogor. Penangkapan dilakukan dini hari. Sigit sangat sensitive terhadap kasus almarhum. Sigit yang Kabareskrim kala itu memang top markotop. Mati tiba-tiba? Tidak begitu juga. Mabes Polri telah memberikan penjelasan seputar meninggalnya Ustad Maaher. Dilansir dari Republika,.co.id, adapun perkara almarhum sudah masuk tahap dua, dan sudah diserahkan ke kejaksaan. Tetapi sebelum tahap dua dilaksanakan yang bersangkutan mengeluh sakit. Kata Argo Yuwono, "kemudian petugas rutan, termasuk tim dokter membawanya ke RS Polri Kramat Jati. Setelah diobati dan dinyatakan sembuh, yang bersangkutan dibawa lagi ke Rutan Bareskrim". Setelah tahap dua selesai, barang bukti dan tersangka diserahkan ke jaksa, namun Maaher kembali mengeluh sakit. Lagi-lagi, petugas rutan dan tim dokter menyarankan agar dibawa ke RS Polri, tetapi yang bersangkutan tidak mau, sampai akhirnya meninggal dunia. "Soal sakitnya apa, tim dokter yang lebih tahu. Jadi, perkara Ustad Maaher ini sudah masuk tahap dua, dan menjadi tahanan jaksa," terang Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Argo Yuwono, Senin (8/2). Dilansir RMol (9/2/2021) Argo Yuwono menegaskan, "ini karena sakit meninggalnya. Saya enggak bisa sampaikan sakitnya apa. Karena sakit yang sensitif ini bisa berkaitan dengan nama baik keluarga almarhum," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (9/2). Tidak bisa kasih keterangan tentang sakitnya almarhum, tetapi ko bisa menyatakan sakitnya sensitif? Hebat sekali tuan Argo Yowono ini. Logika tuan ini mungkin hanya bisa dimengerti oleh tuan sendiri dan Kapolri. Yang lain seperti kami-kami ini tidak bisa memahami. Orang menderita sakit, lalu mati, dan sakitnya bisa berkaitan dengan nama baik keluarga? Top juga logika bos Argo ini. Apakah logika ini muncul setelah dirinya memperoleh arahan dari Kapolri, Jendral Listyo Sigit? Hanya Allah Subhanahu Wata’ala, malaikat dan mereka berdua yang tahu. Pak Argo dan Pak Kapolri, sudilah dapat memberi jawaban otoritatif terhadap pertanyaan kecil berikut ini. Sahkah secara hukum kalau ada orang sembunyikan penyakit postif Covid-19? Kalau ada orang yang selesai diperiksa di Rumah Sakit, misalnya rumah sakit Omni di Bogor, Rumah Sakit yang Habib Rizieq Shihab (HRS) pernah memeriksakan kesehatannya. Orang itu positif Covid-19, tetapi yang bersangkutan tidak mau beritahukan kepada siapapun, karena menyangkut nama baik keluarganya, bisakah tindakannya itu dikualifikasi melakukan tindak pidana? Pak Argo dan Pak Kapolri, tolonglah beri jawaban yang otoritatif juga. Sekarang mari beralih kesoal yang agak teknis. Ya perkara almarhum, semoga Allah Subhanahu Wata’ala, yang Maha Pengampun, dengan ampunannya yang tak memiliki ujung, merahmati, telah dinyataklan P.21. Apa makna hukumnya? Makna hukumnya adalah tanggung jawab hukum atas tersangka beralih dari penyidik ke Kejaksaan. Itu satu soal. Soal kedua, tanggung jawab terhadap fisik Ustad Maaher dan segala yang terkait fisik tersangka. Ya tentu saja kesehatan dan lainnya masih ada pada pihak Rutan. Nah. Rutan dalam kasus ini adalah Rutan Bareskrim. Jadi petugas Rutan tak bisa lepas tanggungg jawab. Namun sudahlah, itu soal kecil. Terlalu kecil untuk didiskusikan. Petugas Rutan itu tak berpangkat Jendral bintang dua atau tiga. Mereka, kami duga, tidak punya wewenang bikin kebijakan untuk tahanan, yang jelas-jelas top, karena sikap kritisnya terhadap pemerintah. Para petugas Rutan ini, tak mungkin tak berada dibawah perintah Bos-bosnya. Dalam urusan tahan-menahan ini, Bos terbesarnya tidak mungkin lain selain Kabareskrim dan Kapolri. Di luar itu tidak ada. Wahai Jendral Listyo Sigit, sang Kapolri pilihan Presiden Jokowi. Tidak adakah kearifan kemanusiaan pada dirimu yang terlihat jago dan hebat ketika menjalani fit and proper test di Komisi III DPR? Sehingga setelah dari Rumah Sakit, almarhum masih harus ditahan juga? Beginikah cara tuan Kapolri memahami penegakan hukum dan soal-soal kemanusiaan pada sila kedua dan kelima dari Pancasila? Kalau almarhum telah sehat, mengapa mati? Berapa lama waktu antara almarhum mengeluh sakit hingga mati? Dia mengeluh sakit, tetapi tidak mau dibawa lagi ke rumah sakit, sehingga atas dasar itu, pantaskah almarhum harus terus berada dalam Rutan? Hebat betul postur penegakan hukum yang tuan sajikan sejauh ini untuk republik kita. Padahal belum cukup sebulan tuan Kapolri menjalani fit and proper test di DPR, yang terlihat seperti mengagumkan, menjanjikan harapan perbaikan dunia hukum ke depan. Tuan Kapolri, apakah tuan tak punya secuil rasa? Tuan Kapolri, segersang inikah dunia hukum untuk mereka yang kritis terhadap pemerintah? Beginikah politik penegakan hukum yang tuan sajikan dalam kepemimpinan tuan sebagai Kapolri? Tuan kencangkan demarkasi lawan dan kawan pemerintah sebagai basis kebijakan penegakan hukum? Safari tuan ke Ormas-ormas Islam, Kejaksaan Agung, KPK, dan lainnya, terus terang, tidak disambut sebagai perubahan penegakan hukum. Bukan omong kosong, tetapi apa yang dapat diambil dari situ untuk melukis seindah-indahnya postur penegakan hukum? Apa yang bisa tuan argumentasikan bahwa safari itu merupakan variable penentu perbaikan postur penegakan hukum? Tuan mau sodorkan safari itu sebagai penanda penegakan hukum dibawah tuan akan menjauh dari diskriminasi? Tuan rajin bersafari, hingga kasus kilometer di 50 tol Japek menjadi cerita pilu yang terus mengeras di memori orang-orang berbudi pekerti. Tuan keringkan cinta kasih dengan cara membiarkan selama mungkin kasus itu? Tuan juga akan gersangkan akal budi atas kematian almarhum Ustad Maher ini? Tuan Kapolri punya kuasa besar, yang selain Presiden. Tidak seorang pun yang bisa mengubah sikap tuan Kapolri. Tuanlah panglima penegakan hukum, dalam banyak hal. Tuan punya kuasa menggunakan senjata. Tuan juga punya kuasa mengarahkan hukum. Tuan bisa bikin apa saja semau tuan dan Presiden. Sungguh tega sekali, entah tuan sendiri atau dengan yang lain. Tuan menolak permohonan istri almarhum agar bisa ditangguhkan penahanannya. Sungguh kami tak mampu merenungkannya. Hati ini terluka, tercabik-cabik. Terlalu berat untuk dibayangkan, dan terlalu menusuk cita rasa kemanusiaan untuk diingat. Entah bagaimana cara tuan memahami sila kedua dan kelima Pancasila yang sarat dan penuh dengan muatan kemanusian yang berdab itu? Apakah hanya menjadi lipstik semata? Rasanya bukan soal cinta, yang menjadi dasar dia, sang istri untuk memohon penangguhan. Toh almarhum memang nyata-nyata sakit. Tidakkah kenyataan itu beralasan secara hukum? Subhanalllah, walaupun musim hujan dan banjir terjadi dimana-mana, namun sungguh kering dan gersang hukum di negeri ini menjiwai makna keadilan yang beradab, terutama ketika dipimpin Presden Jokowi. Ya Allah Ya Rabbii, tunjukanlah kearifan-Mu yang tak terjangkau oleh mahluk apapun itu kepada Tuan Kapolri Sgit dan Tuan Presiden Jokowi. Cerahkan mereka berdua dengan Nur Mu yang mulia, agar bangunan hukum di negeri ini, tidak terus-terusan menjauh dari Sila Pertama Pancasila. Juga sila kemanusiaan yang adil beradab, dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sungguh kami lelah mengarungi samudra hukum dalam pemerintahan Jokowi. Merana, hampir menjadi teman disetiap menit yang kami lalui dalam dunia hukum. Kami hampir tak mampu lagi menemukan jawaban untuk semua ini. Sungguh kami merasa keangkuhan telah menjadi ciri hukum di negeri ini. Pak Kapolri, timbanglah dirimu. Temukanlah jawaban yang jujur. Apakah Tuan Kapolri memang orang yang tepat untuk memimpin Kepolisian? Terus terang kami tak mampu menaruh kepercayaan atas kepimpinan Tuan. Sebab Tuan telah memimpin Bareskirm. Dalam masa Tuanlah terjadi perisitwa pembunuhan enam laskar FPI. Dalam kepemimpinan Tuan jugalah terjadi penangkapan dan penahanan, almarhum dan lainnya. Mereka adalah Jumhur Hidayat, Sahganda Nainggolan, Anton Permana, Ibu Kinkin, Habib Rizieq, Ustad Sobri Lubis dan lainnya. Itulah kepempinan Tuan selama di Bareskrim. Ini nyata. Bukan mengarang bebas.com. Ini tidak bisa untuk disepelekan. Terus terang, itu sebabnya sukar sekali kami memberi kredit poin yang positif kepada tuan. Sudahlah Pak Kapolri, sudilah tinggalkanlah jabatan itu. Tuan memang punya konsep Presisi yang sepintas terlihat hebat, entah sebagai tandingan konsep Promoter atau tidak, itu tidak lagi penting. Namun Presisi, tetapi ada orang yang mati di dalam tahanan Bareskrim itu sangat menggelikan dan buruk.

Menonton Rezim Coba-Coba

ADA tontonan menarik dari iklan televisi era tahun 2000-an. “Buat anak kok coba-coba.” Demikian harapan seorang nenek kepada ibu muda tentang obat gosok yang tepat untuk cucunya. Pesan iklan minyak angin ini bisa ditebak bahwa untuk urusan anak kecil jangan gegabah mengambil keputusan. Sebab bila salah bisa fatal akibatnya. Pesan mulia ini seharusnya dihayati dan diamalkan oleh rezim ini, bahwa segala sesuatu harus dipertimbangkan dengan matang, agar tak menyesal di kemudian hari. Mengelola negara tidak boleh grusa-grusu, serampangan, dan coba-coba. Di tengah pandemi Covid-19 yang semakin meningkat ini, masyarakat sebetulnya menunggu-nunggu kebijakan rezim yang proaktif dan tepat sasaran. Tetapi yang terjadi justru kebijakan gonta-ganti, tambal sulam dan bongkar pasang. Akibatnya banyak sekali kebijakan rezim yang menghasilkan output yang kurang baik. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) misalnya. Ini adalah kebijakan banci dari pelaksanaan lockdown, yang dilakukan oleh beberapa negara lain di seluruh dunia. Pemerintah tak mau keluar duit jika harus lockdown, maka dipilihlah istilah PSBB. Kebijakan setengah hati ini belum berjalan dengan baik, apalagi kemudian anggarannya dikorupsi oleh Menteri Sosial, tiba-tiba berganti nama dengan istilah PPKM (Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Anehnya, kebijakan PPKM ini dibebankan ke kelompok masyarakat paling bawah yakni RT dan RW. Namanya PPKM Skala Mikro. "Berdasarkan Keputusan Presiden kita, bahwa mulai tanggal 9 Februari 2021 ini akan dilaksanakan PPKM skala mikro. Artinya harus ada posko di desa, posko yang mendampingi Puskesmas, yang mendampingi tim pelacak," kata Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Nasional Alexander Kaliaga Ginting dalam siaran pers di twitter BNPB, Jumat 5 Februari 2021. Kebijakan coba-coba juga dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Gubernur andalan PDIP itu awalnya mewajibkan warga Jateng untuk ndhekem (mengurung diri) di rumah selama 2 hari Sabtu-Minggu. Perintah dilakukan secara masif, terstruktur, dan kilat melalui Pemkab dan Pemkot. Surar diedarkan, brosur disebar, video diviralkan, medsos dikerahkan, dan media massa digerakkan. Nyatanya masyarakat Jateng keberatan dengan perintah sang gubernur. Mereka beralasan, akhir pekan justru waktu yang tepat untuk mencari nafkah ketika para pekerja kantoran berbelanja. Pedagang kaki lima, asongan, warung kecil, dan pekerja lepas, lebih banyak mengais rejeki di akhir pekan. Tak hanya itu, penolakan juga datang dari Kusdinar Untung Yuni Sukowati, Bupati Sragen. Ia khawatir, PPKM Sabtu-Minggu justru akan meningkatkan jumlah orang hamil. Maklum pada Juni 2020, jumlah kehamilan di Kabupaten Sukoharjo meningkat 10 persen gara-gara diam di rumah. Ganjar pun menyerah, perintah gubernur diubah hanya sekadar himbauan. Aksi coba coba juga dilakukan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto. Politisi PAN itu menutup aktivitas Kota Bogor pada Sabtu-Minggu. Perintah yang tak dibarengi dengan kompensasi itu diprotes masyarakat. Akhirnya perintah diubah menjadi tindakan persuasi, yakni setiap kendaraan yang hendak ke Bogor diminta putar balik. Lain lagi mantra coba-coba yang dideklarasikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sadar persediaan uang negara tinggal recehan, ia memotong anggaran insentif untuk tenaga kesehatan. Perintah tidak populis ini langsung ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia dan komunitas tenaga kesehatan seluruh Indonesia. Buntutnya Sri Mulyani membatalkan kebijakan yang tidak bijak itu. Hobi coba-coba tak hanya menyerang walikota, gubernur atau menteri. Jantung kekuasaan juga terkena virus coba-coba. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko mencoba berikhtiar ingin menguasai Partai Demokrat untuk kemudian bisa menjadi calon presiden. Namun, ikhtiarnya tampak sekali dilakukan dengan cara kasar dan gegabah. Sebelum libido kekuasaan bisa direngkuh, ia tercium hendak mengkudeta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), pucuk pimpinan Partai Demokrat. Beruntung AHY sigap dan responsif. Ia menggelar konferensi pers menelanjangi kudeta yang gagal yang dilakukan oleh 4 orang mantan kader Demokrat yang kecewa dan 1 orang istana yang ambisius. Moeldoko pun malu dan antiklimkas. Rezim ini tidak sekadar suka coba-coba, tapi juga semaunya bikin aturan. Rakyat dianggap bebek yang bisa diarahkan ke mana saja tunjuk penggembala mau. Tabiatnya sangat bertentangan dengan iklim demokrasi yang lebih fair dan elegan. Rezim tampaknya harus kucing-kucingan dengan masyarakat. Mereka sadar, banyak kebijakan yang diabaikan oleh masyarakat. Maka, banyak kebijakan yang dilakukan secara sembunyi- sembunyi dan dipaksakan. Bahkan tidak aneh, ada keputusan yang dilakukan pada tengah malam. Coba kita simak. Pandemi tak terkendali, yang diurus malah sertifikat tanah. Sistem sekolah jarak jauh yang harus dibenahi, yang disorot malah seragam sekolah. Ekonomi nyungsep, hutang meroket, pengangguran merajalela, yang dibombardir malah aktivis Dinar dan Dirham. Umat Islam butuh keadilan, yang ditangani malah gerakan wakaf nasional. Rezim tak sadar, bahwa saat ini tengah berjangkit fenomena low trust society. Begitulah rezim yang mendewakan strategi coba-coba. Semua berjalan setengah hati, mogol, dan mangkrak. Pun demikian Anda jangan coba coba kritis terhadap rezim, Anda akan dituduh pembangkang, makar, kadrun, radikal, antiNKRI, intoleran dan pejuang khilafah. Label yang tak berdasar dan menyakitkan. Buah yang kita petik hari ini adalah buah yang ditanam 6 tahun yang lalu saat presiden masih jadi gubernur. Ketika itu terjadi kampanye massif di kalangan marhanenis bahwa telah datang ratu adil yang kita tunggu-tunggu. Sosoknya sederhana, polos, jujur, dan rakyat biasa. “Kita akan coba Jokowi jadi presiden. Kita pernah punya presiden militer, kyai, perempuan, dan tekhnokrat. Sekarang kita coba rakyat jelata.” Demikian bisikan yang terdengar di kuping-kuping wong cilik. Urus negara kok coba-coba. (SWS)

Tidak Realistis Prediksi Pertumbuhan Ekonomi 5%

PEMERINTAH menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 sampai 5 persen dalam tahun 2021. Target tersebut sangat ambisius dan sangat berlebihan, di tengah prahara perekonomian dunia yang masih kencang. Tidak jelas apa dasar pemerintah membuat target pertumbuhan seperti itu. Apakah hal itu dilakukan hanya sekedar menggembirakan hati rakyat yang sudah semakin sesak napas akibat semakin sulitnya kehidupan yang dialami kian hari? Apakah pemerintah tidak jengah atau malu menampilkan angka pertumbuhan seperti itu pada saat hampir semua sendi-sendi perekonomian masih lumpuh. Terlebih lagi melihat prediksi yang dikeluarkan Bank Dunia yang menyebutkan, dibutuhkan waktu hingga lima tahun untuk "menyembuhkan" ekonomi Indonesia agar kembali seperti sebelum Covid-19. Belum lagi jika dikaitkan dengan capaian pertumbuhan ekonomi tahun 2020 lalu yang minus 2,07 persen. Ini tentu sangat berdampak pada pertumbuhan yang akan dicapai tahun ini. Perkiraan yang disampaikan Direktur Bank Dunia, Mari Elka Pangestu bukan tidak berdasar. Jika perekonomian Indonesia baru benar-benar pulih seperti sebelum pandemi Covid-19 dalam waktu lima tahun, apakah angka lima persen tahun ini realistis? Anggap saja pulih seperti pada pertumbuhan 5 ,02 persen tahun 2019. Apa ia angka 5 persen bisa tercapai tahun ini? Atau angka pesimis (paling rendah yang disodorkan pemerintah) 4,5 persen bisa tercapai? Rasanya, menaikkan pertumbuhan ekonomi dari minus 2,07 persen tahun 2020 menjadi 4,5 sampai 5 persen tahun 2021 hanyalah sebuah mimpi dan hayalan. Mengubah pertumbuhan dari negatif ke positif bukanlah pekerjaan mudah seperti membalikkan kedua telapak tangan. Mengerek ekonomi hingga tumbuh dan pulih seperti sebelum pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) bukanlah pekerjaan yang mudah. Terlebih lagi perkiraan bahwa virus tersebut baru berakhir secara global dalam jangka waktu tujuh tahun. Sedangkan di Indonesia, wabah corona diperkirakan baru berakhir dalam jangka waktu 10 tahun. Mengacu pada berbagai perkiraan itu, ditambah lagi penanganan yang dilakukan pemerintah sangat lemah dan sangat 'banci", maka sangat sulit diharapkan ekonomi Indonesia tumbuh 4,5 sampai 5 persen. Dengan membaca fakta pertumbuhan yang dicapai minus 2,07 persen tahun lalu, maka tahun 2021 ini ekonomi Indonesia diperkirakan bangkit pada angka 2,5 sampai 3,5 persen. Itu pun sangat berat untuk dicapai. Mengapa sangat berat? Tentu karena faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal jelas karena ekonomi dunia masih "ngesot", sehingga komoditas Indonesia sulit diekspor. Terlebih lagi komoditas pertanian yang menjadi andalan sebagian besar rakyat Indonesia. Untuk komoditas tertentu, sudah volume ekspornya turun, harganya juga turut merosot. Sedangkan faktor internal menyangkut tidak adanya wibawa pemerintahan Joko Widodo- Ma'ruf Amin dalam menjalankan roda pemerintahan. Ini bisa dibuktikan dari seringnya Jokowi memarahi menterinya. Dalam penanganan Covid-19, ia menyebutkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak efektif. Padahal, yang mengumumkan adalah menterinya sendiri. Lucu kan, kebijakan yang dikeluarkan anak buah dikritik sendiri. Apakah sebelum keputusan dikeluarkan, menterinya tidak menyampaikan laporan kepada Jokowi? Faktor internal lainnya adalah tingginya kegaduhan politik, timpangnya penegakan hukum (penegakan hukum yang tidak adil), serta berbagai usaha pecah-belah bangsa yang justru banyak dilakukan buzzer bayaran. Semua itu akan menjadi faktor penyebab lambatnya pemulihan ekonomi nasional. Kegaduhan yang terjadi dan yang sering dilakukan oleh para menteri Joko Widodo juga bisa memperlambat pemulihan ekonomi, dan bahkan dapat mengacaukan keamanan nasional. Apakah pertumbuhan 4,5 sampai 5 persen bisa dicapai tahun ini? Kelihatannya itu hanya mimpi. Angka tersebut tidak realistis, jika dikaitkan dengan keadaan sektor-sektor ril yang sebenarnya, terutama UMKM yang biasanya pendongkrak daya beli masyarakat. Misalnya, semakin banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang bangkrut. Tahun ini, sekitar 50 persen atau 20.000 usaha warung tegal (warteg) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) akan bangkrut karena omset yang terus merosot hingga 90 persen. Pengelola warteg tidak mampu membayar sewa tempat. Itu contoh UMKM. Masih banyak UMKM lainnya yang sudah lama gulung tikar. Sedangkan di usaha besar, sudah banyak pabrik yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Membatasi jam dan hari kerja, hanya cara mempertahankan usaha. Di sektor pendukung parawisata misalnya, kebangkrutan sudah terjadi. Faktanya, sejumlah pemilik hotel di Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan kota lainnya sudah menawarkan penjualan. Harganya, mulai dari puluhan miliar rupiah sampai Rp 2,8 triliun. Jadi, kalau pemerintah mau pertumbuhan ekonomi sampai lima persen tahun ini bisa. Asalkan dana stumulusnya ada, dan penggunaannya tepat sasaran. Dana stumulus yang dibutuhkan untuk mencapai angka lima persen itu paling sedikit Rp 2.000 triliun. Bukankah selama tahun 2020 pemerintah sudah menggelontorkan dana sebesar Rp 695,2 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN)? Akan tetapi, dana yang nyaris Rp 700 triliun itu tidak mampu memulihkan ekonomi nasional. Dana itu hanya mampu menahan supaya pertumbuhan ekonomi tidak lebih jeblok lagi dari angka 2,07 persen. Artinya, dana PEN yang habis tahun 2020 itu tidak memiliki efek yang cukup berarti terhadap pemulihan ekonomi. Hal itu bisa terjadi karena penyaluran PEN yang tidak tepat sasaran. Atau bisa juga angka Rp 695,2 triliun itu hanya di atas kertas. Bisa jadi faktanya tidak sebanyak itu, karena uang negara tidak ada, apalagi dikaitkan dengan defisit APBN 2020 yang mencapai Rp 1.000 triliun lebih atau 6,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). **