FORUM-RAKYAT

Kejarlah Dinar dan Kau pun Kutangkap

PENGELOLA pasar muamalah di Depok, Zaim Saidi, tiba-tiba ditangkap penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, pada Selasa (2/2/2021) malam. Padahal, Zaim sudah mengelola pasar muamalah cukup lama, bahkan menggagas ide transaksi Dinar sudah melewati beberapa presiden. Mengapa di periode Presiden Jokowi justru ia ditangkap? Dalam konferensi pers, Rabu (3/2/2021), polisi mengatakan Zaim Saidi merupakan inisiator, penyedia lapak, dan pengelola pasar muamalah di Tanah Baru, Depok, Jawa Barat. Ia juga menyediakan wakala induk tempat menukarkan mata uang Rupiah ke Dinar atau Dirham sebagai alat transaksi jual-beli di pasar muamalah. Di pasar muamalah itu, seluruh transaksi perdagangan bukan menggunakan mata uang Rupiah, melainkan Dinar atau Dirham. Menurut temuan penyidik, Zaim Saidi membentuk pasar muamalah bagi komunitas masyarakat yang ingin berdagang dengan aturan dan tradisi pasar di zaman Nabi. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, Zaim dijerat dua pasal pidana. Pertama, yaitu Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (KUHP). Pasal itu menyatakan bahwa siapa saja yang membuat benda semacam mata uang atau uang kartal untuk dijadikan alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 15 tahun penjara. Kedua, Pasal 33 UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal itu menyebut setiap orang yang menolak pembayaran dengan mata uang Rupiah dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Polisi terus mendalami kemungkinan adanya cabang pasar muamalah di daerah lainnya. Ia mengatakan, polisi akan mengambil tindaka tegas jika ditemukan adanya pasar serupa di daerah lain. Wakil Presiden Ma'ruf Amin menilai praktik pasar muamalah merusak ekosistem ekonomi dan keuangan nasional karena transaksinya tak mengikuti peraturan yang sudah berlaku. Tujuannya mungkin untuk menegakkan pasar syariah, tetapi kan kita ada mekanisme dalam sistem kenegaraan. Sehingga, ketika itu kemudian ada suatu (praktik ekonomi) di luar itu, tentu itu akan merusak ekosistem daripada ekonomi dan keuangan nasional. Ma'ruf menilai, pasar muamalah tak bisa dibilang kegiatan untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah. Pasalnya, kegiatan tersebut harus sejalan dengan penguatan sistem ekonomi nasional. Menurutnya, kegiatan pasar muamalah yang bertransaksi menggunakan mata uang selain rupiah merupakan bentuk penyimpangan dari sistem yang sudah ada. Setiap kegiatan yang berkaitan dengan syariah harus memiliki rujukan yang jelas. "Perbankan syariah di Indonesia ada aturannya, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ada aturannya dan undang-undangnya, ada aturan pelaksanaannya, bahkan ada juga fatwanya dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)," kata Ma'ruf. Tentu saja penangkapan Zaim Saidi mengundang banyak tanya, terutama transaksi non-rupiah juga terjadi di mana-mana. Bahkan, transaksi di Tima Zone di mall-mall pun relatif sama dan sejenis, di mana anak-anak pengguna mainan di Time Zone harus menukar rupiah dengan logam buatan pengelola, lalu dengan logam ini sang anak bisa bermain di arena apa pun yang diinginkan. Transaksi e-toll card, e-busway, jak lingko, bitcoin, pun menggunakan mekanisme yang kurang lebih sama. Yakni menukar rupiah dengan poin yang kemudian di dalam kartu. Bahkan di Bali, para pelancong bisa bertransaksi dengan wepay, alipay, bitcoin untuk beberapa souvenir, ternyata aman-aman saja. Seolah ada diskriminasi yang berbau Islam harus dibumihanguskan, diberangus, ditangkap. Seolah pasar muamalah mengarah pada penerapan khilafah. Benarkah demikian? Tentu saja kita melihat penangkapan Zaim Saidi dengan pasar muamalahnya sangat berlebihan. Dalam kondisi ekonomi yang krisis, pasar muamalah justru dapat menggairahkan ekonomi setempat. Itu sebabnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mendukung pasar muamalah. Apalagi penangkapan Zaim dengan menggunaan sangkaan yang masih debatabel dan berlebihan. Semangat bersyariah tidak melulu dicita-citakan dan digandrungi masyarakat muslim, melainkan semangat bersyariah sudah dianggap sebagai sebuah "platform yang adil". Artinya semangat bersyariah menjadi pilihan banyak masyarakat yang tidak terbatas pada masyarakat muslim saja. Pimpinan beberapa bank syariah di Singapura atau beberapa negara lain tidak diisi oleh mereka yang muslim. Kenapa? Karena realitasnya ternyata ekonomi syariah menjadi platform ekonomi yang banyak menjadi pilihan di dunia. Selain itu, tudingan pelanggaran Pasal 9 UU No.1/1946 dianggap tidak tepat digunakan untuk menjerat salah satu aktivis Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu. Karena yang dilarang adalah membuat mata uang yang seolah-olah berlaku di Indonesia selain rupiah, tetapi faktanya, Zaim hanya membuat atau memesan emas dari PT Antam, sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Realitasnya yang dibuat atau dipesan dari Antam adalah batangan kecil emas yang diidentifikasi sebagai mata uang Dinar atau Dirham. Jika ini dianggap sebagai pidana, maka Antam pun sebagai harus ikut diminta pertanggungjawaban secara hukum. Termasuk jika yang dimaksud membuat semacam kupon atau bentuk barang yang diidentifikasi sebagai alat bayar, maka tafsir ini juga berbahaya. Sebab, banyak pusat perbelanjaan dan permainan yang menggunakan kupon atau semacam benda yang dapat digunakan sebagai alat bayar di kasir tertentu akan dilarang juga seperti Eat & Eat atau Time Zone. Demikian pula dengan sangkaan Pasal 33 UU No.7/2011 tentang mata uang, karena tersangka diduga tidak menggunakan rupiah sebagai alat pembayaran dalam transaksi, juga masih debatable. Alasannya, apakah kepingan emas yang digunakan dan didentifikasi sebagai mata uang itu benar produk sebuah negara dengan identifikasi seri mata uang atau hanya kepingan emas saja yang nilai tukarnya sama dengan berat ringannya. Jika benda yang disebut Dirham itu bukan produk negara yang mengeluarkan, maka polisi tidak bisa menjerat Zaim dengan ketentuan ini. Selain itu, jika tekanannya pada perbuatan mencari keuntungan, maka alat bayar di kasir tertentu akan dilarang juga seperti Eat & Eat atau Time Zone. Selain itu, jika tekanannya pada perbuatan mencari keuntungan, maka tidak tepat juga menerapkan pasal tersebut terhadap mata uang itu. Karena jika masyarakat yang membeli merasa dirugikan itu namanya penipuan, tetapi jika tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang menuntut, maka itu masuk pada ranah perdata perjanjian biasa sebagai sebuah kesepakatan, dan tangan pidana tidak dapat menjeratnya. Perbuatan ini baru bisa ditarik ke ranah pidana jika ada kepentingan umum yang dilanggar dalam hal ini 'menggunakan mata uang asing' dalam bertransaksi di Indonesia. Realitasnya belum tentu yang disebut Dinar itu masuk kualifikasi sebagai mata uang, yang pasti ia benda berharga, yaitu logam mulia. Hati-hati, jangan sampai timbul kesan bersyariah kok dipidanakan? Jangan-jangan suatu saat sholat, zakat, puasa dan haji pun dikriminalkan. Jangan memancing kemarahan ummat. **

Anies Baswedan Dinobatkan Sebagai Pahlawan 2021

GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan kembali mendapat penghargaan dunia. Penghargaan kali ini datangnya dari Transformative Urban Mobility Initiative (TUMI). Sebuah lembaga dunia dengan agenda mengubah mobilitas untuk kepentingan manusia dan lingkungan, dengan tujuan untuk masa depan. Anies dinobatkan oleh TUMI bersama sejumlah tokoh dunia lainnya menjadi, 21 Heroes 2021, untuk bidang transportasi. Sebagian besar yang mendapat penghargaan adalah para pejabat dari berbagai belahan dunia. Banyak di antaranya adalah wali kota, gubernur, dan menteri bidang transportasi. Yang menarik, di antara 21 orang Hero itu, terdapat nama Ceo Tesla Elon Musk. Musk dikenal sebagai penggiat yang gigih dalam pengembangan mobil listrik ramah lingkungan. Anies mendapat penghargaan karena dinilai berhasil memperbaiki transportasi untuk mobilitas warga. Selain mewujudkan sistem transformatif dan terintegrasi dari berbagai moda transportasi, Anies juga mewujudkan jalur sepeda sepanjang 63 Km. Penghargaan bidang transformasi ini bukan pertamakalinya bagi Anies. Pada November tahun 2020, kota Jakarta menjadi juara dunia dalam transportasi berkesinambungan. Jakarta mendapat juara Suistainable Transport Award (STA) 2021. Penghargaan itu diberikan sebuah lembaga yang berpusat di New York, AS. Berbagai penghargaan ini selain membanggakan, sekaligus menunjukkan kualitas kepemimpinan Anies diakui dunia. Dia bekerja nyata, dalam diam. Tidak perlu melakukan berbagai aksi pencitraan artifisial, agar disorot media massa. Sebuah aksi kosong, tak bermakna. Anies tidak belusukan ke gorong-gorong, apalagi bertemu para tuna wisma. Dia terbang melambungkan nama Indonesia di kancah dunia. Tampil berbicara dalam forum-forum dunia, menjadi representasi Indonesia. Sementara kota Jakarta dibawanya menjadi kota yang beradab, layak dihuni, sejajar dengan kota-kota maju dan modern di berbagai belahan dunia. Dia tampak berkilau, di bawah sorotan lampu kamera media-media internasional. Sejak di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia seperti negara paria di mata dunia. Tidak diperhitungkan. Presiden Jokowi selama lima tahun periode pertama, selalu absen menghadiri Sidang Umum Majelis PBB. Jokowi baru tampil pada Sidang Umum PBB tahun 2020. Itu pun karena dia tampil secara virtual. Pidato dari Jakarta. Tak harus duduk kikuk ketika bertemu pemimpin dunia. Bangsa Indonesia yang besar, merindukan kembali tampilnya pemimpin yang bisa dibanggakan di dunia internasional. Pemimpin yang bisa duduk dan berdiri sejajar, bercengkerama, dan berdialog dengan para kepala-kepala negara lain dunia. Pemimpin yang fasih berbicara menyampaikan gagasan besar Indonesia untuk dunia. Pemimpin yang cakap berdiplomasi memperjuangkan kepentingan Indonesia. Bukan pemimpin yang gagu, gugup, dan gagap ketika tampil di forum-forum dunia. Di masa lalu Indonesia selalu tampil dalam forum-forum dunia. Sebagaimana bunyi amanat konstitusi : "Ikut mewujudkan ketertiban, dan perdamaian dunia." Di masa Orde Lama, Presiden Soekarno adalah salah satu tokoh penggagas Gerakan Non Blok. Soekarno adalah Singa Podium di pentas dunia. Di masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia adalah Big Brother di Asia Tenggara. Indonesia juga tampil menjadi pemimpin negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kepemimpinan Indonesia itu berlanjut di bawah BJ Habibie, Abdurahman Wahid, sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Tampilnya Anies dalam pentas dunia, walaupun kapasitasnya sebagai seorang gubernur, seperti sebuah air sejuk yang mengobati dahaga bangsa Indonesia. Selamat kepada Gubernur DKI Anies Baswedan. Bukan hanya warga Jakarta, bangsa Indonesia juga patut bangga dan berterima kasih. Jerih payahnya mewujudkan kota Jakarta sebagai kota yang diakui dunia, membuat kami bangsa Indonesia, kembali berani menegakkan kepala, setelah sekian lama hanya mampu tunduk, menanggung malu. **

Robohnya Buzzer “Kami”

REZIM ini tampaknya tak nyaman lagi berada di bawah lindungan buzzer. Meski telat, kesadaran rezim tentang keberadaan buzzer yang hanya bikin gaduh, layak diapresiasi. Rezim ini pernah beruntung ditopang buzzer. Di era pertama Presiden Jokowi menjabat, buzzer sangat ampuh menyerang masyarakat sipil di media sosial. Maklum buzzer telah menjelma menjadi makhluk yang serba bisa. Mereka bisa membenarkan perilaku rezim yang salah dan menyalahkan perilaku masyarakat yang benar. Mereka pintar memelintir fakta. Bicara apa saja bisa, persoalan akan "tuntas" oleh mulut buzzer. Dari kontrak Freeport sampai harga BBM dari batubara hingga smelter. Mereka fasih bicara agama, yang tak sepaham mereka labeli dengan sebutan Kadrun. Mereka lancar mendegradasi umat Islam. Memelintir korban penembakan jalan tol menjadi pelaku adalah salah satu kreasi buzzer yang masif. Barisan pendengung ini telah sukses memalingkan sebagian masyarakat Indonesia dari yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Mereka setting sesuai permintaan penguasa. Modalnya cuma gaduh dan keras. Cocok di negeri yang cinta damai yang malas meladeni orang aneh. Dengan mendengungkan kegaduhan secara kontinyu, mereka eksis dan tumbuh subur. Dan nyatanya penguasa sangat menikmatinya sejak 6 tahun yang lalu. Buzzer telah menjadi aset rezim. Buzzer terbukti nyata telah menopang kekuasaan dari guncangan hebat. Benarkah sesuatu yang menguntungkan akan dibuang begitu saja? Jika masih punya uang tentu akan tetap dipertahankan. Maklum tarifnya sangat mahal. Mungkin menunggu gerakan wakaf nasional sukses dulu. Nyatanya, seiring perjalanan waktu, buzzer, influencer, atau pendengung, kini tidak bisa lagi dianggap alat yang efektif untuk menyerang oposisi dan menjilat penguasa. Faktanya terjadi kontraproduktif di masyarakat atas ulah mereka. Apa yang disampaikan pendengung kerap menjadi serangan balik bagi pemerintah. Mereka membela rezim secara ugal-ugalan di luar nalar. Apalagi buzzer kerap melanggar tata krama, etika, agama, dan hak asasi manusia. Maklum, mereka sepertinya ada yang menjamin tidak akan disentuh aparat berwajib jika melanggar undang-undang. Tapi, kini pemerintah sudah sadar dan secara hitungan politik Jokowi tak butuh lagi corong propaganda. Ditambah lagi, Jokowi sendiri mengaku tak punya beban politik di periode kedua ini. Berakhirnya kejayaan buzzer ditandai dengan dilaporkannya gembong buzzer paling radikal, Abu Janda alias Permadi Arya ke Bareskrim Polri oleh Ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), Haris Pertama pada Jumat 29 Januari 2021. Ia dilaporkan terkait cuitannya tentang mantan Komisioner Komnas HAM asal Papua, Natalius Pigai yang dinilai berbau rasisme. Di twitternya, Abu Janda mempertanyakan Natalius Pigai yang belum selesai berevolusi. Pernyataan yang sungguh tidak beretika. Hari berikutnya DPP KNPI kembali melaporkan Abu Janda terkait penistaan agama yang menuduh Islam agama pendatang yang arogan. Dukungan terhadap Haris menjebloskan Abu Janda ke penjara terus mengalir. Sejalan dengan tekad Haris Pertama yang sudah bulat dan menyatakan siap mundur dari jabatannya jika Abu Janda tidak ditangkap polisi. Menurutnya ini merupakan pertaruhan marwah KNPI dan harapan masyarakat Indonesia tentang penegakan hukum yang adil adalah dengan ditangkapnya Abu Janda. Abu Janda tak bisa leluasa lagi berulah. Ia kini kena batunya. Mungkin Tuhan mengabulkan doa-doa orang teraniaya yang telah dilecehkan oleh Abu Janda. Saking kesalnya hati masyarakat terhadap polah Abu Janda, banyak yang enggan menyebut nama buzzer bengis ini. Masyarakat lebih suka menyebutnya dengan sebutan “beliau” atau “makhluk ini”. Makhluk yang bernama Abu Janda tak hanya menyakiti umat Islam, belakangan orang-orang yang seirama dengan Abu Janda dalam mengawal rezim ini pun, mulai jengah. Mereka mulai menjauhi. Dukungan untuk menjebloskan mahkluk ini ke penjara juga makin banyak. Tak hanya itu, fraksi-fraksi di DPR RI kecuali PDIP sepakat agar kepolisian menangkap Abu Janda. Partai Nasdem mengatakan polisi harus segera tangkap Abu Janda. Gerindra ingatkan Abu Janda jangan merasa tak tersentuh hukum. PKB mengharapkan Abu Janda diproses polisi, tidak ada toleransi bagi perusak persatuan. PAN meminta polisi segera memproses Abu Janda. PKS mengharap polisi menindaklanjuti arogansi Permadi Arya. Partai Demokrat menyatakan tidak boleh seseorang kebal hukum, termasuk Abu Janda. PPP menyatakan saatnya hukum ditegakkan ke siapa pun. Dari Ormas atau perorangan juga banyak yang berharap kepada kepolisian agar segera menangkap Abu Janda. PP Muhammadiyah mengatakan Abu Janda harus segera ditangkap yang secara jelas keliru menafsirkan Islam. Yenny Wahid mengaku tidak kenal Abu Janda, tetapi Islam mengajarkan kasih sayang sesamanya. Politisi PDIP Arteria Dahlan mengatakan buzzer sudah menjadi antek penguasa kapital dan markus tanah. Mantan menteri KKP, Susi Pudjiastuti memutus pertemanan di medsos dengan Abu Janda. Banyak meme yang beredar, tangkap Abu Janda, tapi jangan lupakan Tragedi KM 50 Tol Cikampek. Dan masih banyak lagi. Apakah Abu Janda legowo? Tentu tidak. Di medsos, ia buru-buru memberi klarifikasi dan meminta maaf kepada ormas NU. Aneh, minta maafnya bukan kepada umat Islam, Natalius Pigai, dan rakyat Papua. Ia meminta maaf hanya kepada NU. Sesuatu yang tidak tepat sasaran. Tidak hanya itu, aktivis 98 siap memberi bantuan hukum bagi Abu Janda. Bahkan menyiapkan 1000 pengacara. Mereka menilai pelaporan Permadi Arya atau Abu Janda atas tuduhan rasisme oleh KNPI, Haris Pertama tidak sesuai fakta hukum dan terkesan memanaskan suasana. Ketua Ikatan Aktivis 98 Immanuel Ebenezer mengatakan akan menggalakkan dukungan kelompok-kelompok pro-demokrasi dan pro NKRI buat Abu Janda. Immanuel menuduh Haris Pertama tidak memiliki kapasitas untuk melaporkan Abu Janda atas dugaan penghinaan terhadap Pigai. Haris diminta cukup melakukan klarifikasi saja ke Abu Janda. Para pendukung Abu Janda tidak sadar bahwa kehadiran makhluk ini tidak ada faedahnya sama sekali bagi kesejahteraan rakyat. Mereka lupa bahwa jika bicara tentang rezim ini adalah bicara tentang utang yang menggunung, pertumbuhan ekonomi yang terseok, dan kemiskinan yang terserak di setiap langkah. Loyalis buta tuli Abu Janda tak bisa melihat jika bicara tentang parlemen hari ini adalah bicara tentang banyaknya mulut-mulut bisu menyaksikan aneka kezaliman, kesewenang-wenangan, dan apatisme. Anak muda zaman dulu bilang,"Emang Gue Pikirin". Apa hebatnya Abu Janda dibela mati-matian? Pengikut Abu Janda juga gagal paham melihat kondisi bangsa ini, dimana jika bicara tentang hukum hari ini adalah bicara tentang ketidakadilan, pilih kasih, dan utak-atik pasal serta penuntasan kasus-kasus korupsi yang terseok-seok. Apa yang bisa diharapkan dalam situasi seperti ini. Rasanya semua jalan menjadi buntu, karena pemerintah yang diharapkan mampu mengatasi keadaan, malah asyik menyusun strategi baru melanggengkan kekuasaan. Kita jadi ingat pesan Habib Rizieq tentang pentingnya revolusi akhlak. Sejurus dengan Habib Rizieq, ahli filsafat Rocky Gerung lebih nyata, tegas, dan lugas menyampaikan solusinya. Saat ini kata Rocky, syarat revolusi sudah terpenuhi. Biasanya sebelum revolusi rakyat masih sekadar olok-olok ke pemerintah. Pilihan ini hanya untuk mengendapkan energi yang tiba-tiba meledak. Kata Rocky, semua syaratnya sudah ada di depan mata kita, yakni ketidakadilan sosial, disparitas, GDP menurun, pendapatan pemerintah menurun, IQ menurun, dan korupsi yang meningkat. Jadi seluruh parameter revolusi sudah terpenuhi. Satu satunya yang naik di pemerintah saat ini adalah utang dan korupsi. Semua rakyat sudah tahu kondisi buruk rezim ini, tetapi mereka hanya bisa mengekspresikan dalam bentuk olok-olok. Sri Mulyani tak luput dari bahan olok-olok. Ia tahu dan dia tidak bisa marah karena tidak tahu harus marah kepada siapa. Kalau mau marah ya marahlah pada meme. Jokowi juga pernah dibikin meme oleh Majalah Tempo. Inilah orkestrasi buruk dari kabinet ini. Demikian kesaksian Rocky Gerung di channel YouTube-nya. Apakah dengan robohnya buzzer, roboh pula rezim ini? Entahlah. Yang jelas mengandalkan mulut dan jari buzzer untuk melanggengkan kekuasaan, tidak hanya bodoh, tetapi memang tidak kapabel. Posisinya lebih rendah atau minimal sama dengan buzzer itu sendiri. (SWS).

Rakyat Diperas Habis

TIDAK ada lagi yang diharapkan selain meminta bantuan dari rakyat. Tidak ada lagi alasan, selain membuka diri dengan selebar-lebarnya kepada rakyat bahwa keuangan negara berada di zona merah. Coba diikuti betapa pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin kini sedang dihadapkan pada situasi yang amat sulit. Berada dalam keadaan sulit di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), juga dialami negara lain. Akan tetapi, yang membedakannya dengan Indonesia adalah karena pemerintah tetap ingin mengandalkan rakyat. Tidak mau memberlakukan penguncian atau lockdown, karena tidak ada uang yang bisa diberikan kepada rakyat untuk belanja kebutuhan hidup mereka. Pemerintah seolah-olah berupaya iba kepada rakyat, sambil terus memeras penghasilan rakyat, terutama rakyat menengah ke atas. Anda bisa bayangkan, di tengah kesulitan dan penderitaan ekonomi yang dirasakan rakyat, pemerintah masih mengajak mereka yang memiliki tabungan uang di atas Rp 100 juta agar belanja. Rakyat disuruh belanja dengan uangnya sendiri. Wow, keren sekali. Hebat sekali perhatian pemerintah terhadap rakyatnya. Mestinya pemerintah mengguyur uang ke rakyat, terutama rakyat memengah ke bawah, lalu disuruh membelanjakan uang itu habis-habisan. Anda tidak percaya ajakan berbelanja itu? Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Ekonomi Airlangga Hartarto. Katanya, masyarakat menengah ke atas cenderung menambah deposito atau tabungannya, ketimbang belanja. Padahal, belanja oleh rakyat menengah ke atas sangat diharapkan dapat membantu menggerakkan ekonomi. Akan tetapi, di balik ajakan halus itu, ternyata terselip juga akal busuk. Anda kan tahu, kalau belanja dalam jumlah besar, apalagi belanjanya di mal atau pasar modern, Anda pasti dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Wow, hebat kan. Ibarat kata pepatah, ajakan Airlangga itu adalah, "Sambil menyelam, minum air." Kalau ajakan itu diiringi dengan penghapusan pajak bolehlah. Akan tetapi, penghapusan PPN dan PPh saat ini hanya berlaku terhadap produk yang bersentuhan dengan kesehatan. Di luar itu tidak! Nah, itu baru cara menarik pajak dari kalangan menengah ke atas lewat ajakan berbelanja. Ajakan yang hampir sama juga dialamatkan kepada rakyat berpenghasilan bawah, dan bahkan berpengasilan pas-pasan. Ini menyangkut keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akan menarik pajak atas pulsa telefon, kartu perdana, token listrik, dan voucher yang mulai berlaku hari ini, Senin, 1 Februari 2021. Meski mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu sudah menjelaskan, pemajakan itu tidak berpengaruh terhadap harga item tersebut, namun masyarakat sudah terlanjur tidak percaya. Rakyat tidak percaya yang dikenakan pajak adalah operator dan distributornya. Artinya, yang kena pajak adalah pelaku usahanya, bukan konsumennya. Apa iya, pelaku usaha mau menalangi pajak itu? Apa ia, jika seorang pedagang pulsa telefon, misalnya beromset Rp 100 juta per bulan, mau mengurangi keuntungan dengan membayar pajak yang mestinya ditanggung konsumen atau pembeli? Penarikan pajak yang dituangkan dalam PMK Nomor 06/PMK.03/2021 itu pun menjadi pembicaraan di berbagai tempat. Bahkan, menjadi olok-olokan, karena Sri Mulyani menyebutkan tidak terpengaruh pada harga pembelian pulsa, kartu perdana, token listrik dan voucher, karena selama ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas sejumlah item tersebut sudah berjalan. Pertanyaannya, kalau selama ini sudah berjalan, mengapa mengeluarkan aturan baru lagi? Lucu juga ya, si Ratu Utang ini. Tidak hanya ajakan belanja dan rencana pengenaan pajak pada pulsa atau kartu perdana, token listrik, dan voucher, pemerintah pun meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Gerakan ini merupakan salah satu program pengembangan ekonomi syariah guna mendukung percepatan pembangunan nasional. Peluncurannya dikakukan Presiden Joko Widodo. Ia menyebut potensi wakaf uang bisa mencapai Rp 188 triliun. Total wakaf uang yang ada di bank mencapai Rp 328 miliar hingga 20 Desember 2020, sedangkan project base wakaf sebesar Rp 597 miliar. Saat konprensi pers di Istana Negara secara virtual, Senin, 25 Januari 2021, Jokowi menyebutkan potensi wakaf sangat besar, mencapai Rp 2.000 triliun per tahun. Potensi wakaf uang, bisa menembus Rp 168 triliun. Luar biasa potensinya, sehingga perlu meluncurkan gerakan. Akan tetapi, lagi-lagi masyarakat sinis atas gerakan ini. Padahal, gerakan ini bernilai ibadah. Tahun 2002 Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai dibolehkannya wakaf uang. Masyarakat malah mengeluarkan nada mengolok-olok. "Kalau uang wakaf mau, uang umat mau. Tetapi, umat seringkali dituduh macam-macam, dituduh radikal dan intoleran," demikian antar lain kalimat yang dapat dibaca di dunia maya. Padahal, sekali lagi wakaf itu bagian dari ibadah. Akan tetapi, rakyat terutama sebagian besar umat Islam terlanjur tidak percaya. Umat Islam lebih percaya wakaf langsung disalurkan ke ormas Islam yang juga membangun sarana pendidikan dan ke majelis taklim. Umat Islam lebih senang menyalurkan wakaf, infak dan sedekah pada pembangunan sarana ibadah masjid dan musala, seperti yang selama ini dilakukan. Toh, kalau ditotal-total, sudah berapa banyak dana wakaf, infak dan sedekah yang terkumpul selama ini. Anda hitung saja jumlah masjid dan musola yang ada, jumlah pesantren dan sarana pendidikan Islam lainnya. Dari wakaf tanah saja, nilainya tidak hanya beribu-ribu triliun rupiah, tetapi bisa puluhan ribu triliun rupiah, dan bahkan ratusan ribu triliun rupiah. Belum lagi nilai bangunannya, dan sarana pendukungnya. Kok wakaf uang ditolak umat? Ya, karena momentum peluncuran gerakan itu tidak tepat. Tidak mau beribadah dengan wakaf uang juga menyangkut ketidakpercayaan umat kepada pengelola keuangan negara. **

Ada Apa di Antara Hendropriyono, Abu Janda, dan Pigai?

PUBLIK negeri ini dibikin terkaget-kaget. Tidak ada hujan, tidak juga ada angin. Namun Abu Janda secara masif dan terang-terangan menyerang habis-habisan tokoh pegiat Keadialn dan Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, dengan prilaku yang sangat rasis. Anehnya, Pigai tidak sedikitpun menyerang balik Abu Janda. Pigai membiarkan publik untuk menilai sendiri prilaku Abu Janda yang sebenarnya. Abu Janda selama ini dikenal sebagai figur yang dekat dengan lingkaran Istana. Sehingga prilakuknya yang kadang melanggar hukum sekalipun, sulit disentuh aparat penegak hukum. Apalagi Abu Janda selalu memperkenalkan diri sebagai figur terdepan kader Banser, organ Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Selalu menonjolkan diri sebagai yang paling Nahdatul Ulama (NU) melebihi orang NU asli. Perseteruan Abu Janda dengan Natalius Pigai bermula dari kritik Pigai kepada mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jendral TNI (Purn.) Kehormatan (Hor.) Hendropriyono di twitternya. Sebagai pegiat Keadilan dan HAM, Pigai mempertanyakan kapasitas Hendropriyono yang menyatakan “organisasi lain yang melindungi eks Front Pembela Islam (FPI) tunggu giliran”. “Organisasi pelindung eks FPI dan para provokator, tunggu giliran”, cuit Hendropriyono di akun twitternya. Walaupun demikian, dia tidak menyebutkan nama organisasi pelindung FPI yang dimaksud. Hendropriyono yakin masyarakart lega dengan pembubaran FPI. “Tanggal 30 Desember 2020 rakyat Indonesia merasa lega, karena mendapat hadiah berupa kebebasan dari rasa takut yang mencekam selama ini”, ujar Hendropriyono. Mennggapi pernyataan Hendropriyono yang bercitarasa ancaman ini, sebagai pegiat Keadilan dan HAM, Pigai mempertanyakan kapasitas Hdnropriyono sebagai Apa? Apakah sebagai Penasehat Presiden atau pengamat? “Ortu, maksudnya orang tua, mau tanya. Kapasitas bapak di negara ini sebagai apa ya? Penasehat Presiden? Pengamat? Aktivis? “Biarkan saja negara diurus oleh gen abad 21 yang egaliter, humanis, dan demokrat”, ujar Pigai. Pigai mengatakan, pernah ditawari Hendropriyono jabatan sebagai Wakil Kepala BIN dan Duta Besar. Akan tetapi tawaran tersebut ditolaknya. “Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua. Sebab itulah, tawaran sebagai Wakil Kepala BIN dan Duta Besar yang bapak tawarkan, saya tolak mentah-mentah. Maaf”, kata Pigai. Menanggapi pernyataan Pigai di akun twitternya inilah yang membuat Abu Janda naik pitam. Melalui akun twitternya @Permadiaktivis1, Abu Janda menaggapi Natalius Pigai yang mempertanyakan kapasitas dalam sebuah berita berjudul “Pigai ke Jendral Hendropriyono, apa kapasitas Bapak di negeri ini”. Abu Janda kemudian memaparkan sejumlah jabatan yang pernah dijabat Hendropriyono, baik semasa pemerintahan Presiden Soeharto, BJ. Habibie dan Megawati. Misalnya, sebagai Direktur BAIS di eranya Soeharto, Menteri Transmigrasi di eranya Habibie. Abu Janda lantas mempertanyakan kapasitas Pigai dalam ciutannya. Kau @NataliusPigai, apa kapasitas kau? Sudah selesai evolusi belum kau? Pernyataan Abu Janda soal “sudah selesai evolusi belum” inilah yang memicu kemarahan dari Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI). Ketua Umum DPP KNIP Haris Pratama bersama sejumlah pengurus lainya melaporkan Abu Janda ke Bareskrim Polri. Laporan DPP KNPI lantas mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat, terutama kaum Nahdiyin dan Parai Politik. Tidak kurang dari mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015, KH As’ad Said Ali memberikan tanggapan atas prilaku Abu Janda. Selaku Ketua Dewan Penasehat GP Ansor, KH As’ad pernah mempertanyakan kepada pimpinan GP Ansor tentang Abu Janda setelah melihat Abu Janda bicara di televisi tentang NU. KH As’ad yang mantan Wakil Kepala BIN untuk tujuh Kepala BIN, sejak dari Letjen TNI. Moetayib di era Soeharto, sampai Letjen TNI Marciano Norman di akhir eranya Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, berkesimpulan bahwa Abu Janda adalah orang yang sangaja disusupkan ke dalam Ansor dan NU. Untuk itu, perlu ditelusuri kenapa Abu Janda bisa ikut Pendidikan dan Latihan (Diklat) kader Asnor dan Banser. Setelah dicek, ternyata tidak ada rekomendasi dari Wilayah dan Cabang Ansor dan Banser untuk Abu Janda. Padahal rekomendasi Wilayah dan Cabang adalah syarat untuk bisa diterima sebagai peserta kaderisasi Ansor dan Banser. Namun setelahb ditelusuri lebih lanjut, Abu Janda diterima atas rekomendasi dari seorang tokoh penting NU. “Saya kira rekomendasi dari tokoh NU itu dengan peritmbangan prasangka baik. Tanpa mengecek ke dulu belakang siapa sebenarnya Abu Janda. Pimpinan Banser sudah menegur Abu Janda untuk tidak lagi bicara tentang NU atas nama Ansor. Beberapa media nasional juga sudah diingatkan untuk tidak lagi menggunakan Abu Janda untuk bicara atas nama NU. Masalahnya, Abu Janda suah terlanjur memakai seragam Banser di media. Sehingga publik menyangka dia bagian dari NU. Padahal fikrah dan akhlaknya bukan sebagai pengikut Ahli Sunnah Wal Jamaah (Aswaja). Dampak provokasi yang ditimbulkan di lingkungan NU selama ini cukup besar. Beberapa Pondok Pasantren sampai terusik. Ada yang sampai menjauh (mufarakah) dari struktur NU. Menurut KH As’ad, beberapa Pondok Pasantren di Daerah Bogor mufarakah dari struktur NU, karena yang disampaikan Abu Janda bertolak belakang dengan fikrah an nahdiyah. KH. As’ad mensinyalir masih ada Abu Janda-Abu Janda lain, yang berpura-pura membela NU melalui medosos. Tetapi sesuangguhnya meraka adalah musang berbulu ayam. Keras dan tegas sikap KH. As’ad kali ini. Padahal sebagai orang intel, KH As’ad jarang bicara ke publik. Namun sebagai nahdiyin asli, terpaksa KH As’ad memberikan saran kepada PBNU. “Bahwa sudah saatnya PBNU bersikap tegas secara resmi terhadap Abu Janda. Sebab dia memanfaatkan nama besar NU untuk kepentingan pribadi. Kondisi ini kalau dibiarkan, akan merusak keutuhan NU”, kata KH As’ad. Pertanyaannya, siapa orang yang telah berhasil menyusupkan Abu Janda ke tengah- NU? Sampai-sampai bisa mengakibatkan terjadinya mufarakah di internal NU? Lalu siapa juga orang yang berhasil meloby tokoh penting NU, sehingga bisa memberikan rekomendasi kepada Abu Janda untuk mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) Banser? Jangan cepat-cepat dulu berprasangka buruk (su'udzon). Meskipun Abu Janda sangat mengagumi Hendropriyono, yang biasa disapa dengan “Om Eddo” tersebut, sampai menyerang Natalius Pigai dengan tidak pantas. Namun belum tentu “Om Eddo” sebagai orang yang menyusupkan Abu Janda ke NU, sehingga berhasil menciptakan perpecahan di internal NU. Berprasangka baik (husnudzon) juga penting. Sebaiknya juga jangan dulu ber-su’udzon kepada “Om Eddo”, karena berburuk sangka itu adalah dosa. Mungkin lebih baik bertanyalah saja kepada tokoh penting NU yang memberikan rekomendasi kepada Abu Janda mengikuti Diklat Banser. KH As’ad tentu saja yang paling tau siapa tokoh penting NU tersebut?

Pejabat Pemerintah Harus Divaksin Antikorupsi

HARI ini Presiden Jokowi dijadwalkan akan disuntik vaksin Covid-19 tahap kedua. Sebelumnya orang nomor satu di Indonesia ini sudah disuntik tanggal 13 Januari lalu dan menjadikan dia orang pertama di negara ini yang divaksin Covid-19. Rencananya, sepanjang tahun ini ditargetkan 181,5 juta orang Indonesia divaksin. Jokowi sendiri menargetkan vaksinasi kepada 30.000 orang setiap hari. Namun, setelah dua pekan berjalan jumlah orang yang sudah divaksinasi baru mencapai 179.000 orang. Jokowi mengajukan diri menjadi orang pertama yang divaksin karena menyakini hal itu adalah kunci kebangkitan ekonomi nasional. “Pengendalian pandemi, terutama melalui vaksinasi adalah game changer, adalah kunci yang sangat menentukan agar masyarakat bisa bekerja kembali, anak-anak kita bisa belajar di sekolah lagi, dan agar kita bisa kembali beribadah dengan tenang, dan juga agar perekonomian nasional kita bisa segera bangkit,” ujar Jokowi dua hari setelah menerima vaksin pertama. Apa benar begitu? Faktanya jauh sebelum pandemik Covid-19 melanda Indonesia di awal Maret tahun lalu, ekonomi Indonesia sebenarnya sudah mengalami kemerosotan dari tahun ke tahun. Sejak awal pemerintahannya, 6 tahun yang lalu, Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur secara masif dengan harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia (pada tahun 2015 cuma 4,79%) bisa meroket di atas 7%. Dengan begitu Indonesia diharapkan sudah menjadi negara maju (advanced economies) tahun 2025. Untuk mengejar impian Jokowi tersebut, sepanjang periode 2015 hingga akhir 2019, pemerintah telah menggelontorkan anggaran sebanyak Rp 1.675,4 triliun atau rata-rata Rp 207 triliun per tahun. Tetapi, apa hasilnya? Ternyata dengan penggelontoran dana sebesar itu pertumbuhan ekonomi periode 2015 hingga 2019 tetap stagnan. Menurut data Biro Pusat Statistik, pertumbuhan ekomoni Indonesia tahun 2015 adalah 4,79%, tahun 2016 (5.03%), 2017 (5,07%), 2018 (5.17%) dan tahun 2019 (5,02%). Artinya, pembangunan infrastruktur yang digembar-gemborkan akan menyebabkan ekonomi meroket ternyata bohong belaka. Malah pada tahun 2019 perekonomian mulai menukik ke bawah posisi tahun 2016. Praktis dengan dan tanpa pembangunan infratruktur yang dikampanyekan hampir setiap hari oleh Jokowi pun ternyata perekonomian Indonesia biasa-biasa saja. Yang jadi masalah sekarang prioritas pembangunan infrastruktur ini ternyata justru menambah warisan utang luar negeri yang luar biasa besar untuk generasi yang akan datang. Bagaimana tidak, pada akhir tahun 2014, utang luar negeri pemerintah Indonesia cuma Rp 2. 608 triliiun. Pada akhir tahun 2019 sudah mencapai Rp 4. 779 triliun. Jadi selama 5 tahun masa pemerintahan pertama Jokowi, sudah menambah utang Rp 2. 171 triliun atau rata-rata Rp 432,2 triliun per tahun. . Dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan penambahan utang yang meroket, sebetulnya keuangan rezim sudah kolaps sebelum datangnya pandemik covid-19. Karena pinjaman asing lebih.Rp 432 triliun per tahun itu ternyata sama sekali tidak mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Padahal, rata-rata pertumbuhan ekonomi sepanjang era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014) mencapai 6%. Untuk menembus pertumbuhan ekonomi setinggi itu selama 10 tahun berkuasa, SBY hanya menambah hutang Rp 1. 309 triliun. Jadi, ke mana saja larinya pinjaman luar negeri sebanyak Rp 2. 171 triliun selama 5 tahun pertama Jokowi itu? Ini adalah tugas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) untuk mengusutnya. Era SBY bukan tidak ada korupsi. Akan tetapi, faktanya pertumbuhan ekonomi bisa menembus di atas 6%. Logikanya, jika korupsi di era Jokowi bisa diminimalisir seharusnya pertumbuhan ekonomi dengan suntikan utang luar negeri yang sangat besar sepanjang 2015-2019 sudah bisa menembus di atas 7%. Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Penambahan utang luar negeri sepanjang era Jokowi akan menjadi beban anak cucu kita ke depan. Apalagi, setelah Indonesia mengalami resesi ekonomi sepanjang tahun 2020. Berdasarkan data per Desember 2020, posisi utang luar negeri Indonesia sudah Rp 6.074,66 triliun. Jadi, sepahang tahun 2020, pemerintah sudah menambah utang luar negeri sebanyak Rp 1. 295 triliun. Semestinya, dengan pinjaman sebesar itu pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak minus sepanjang tahun 2020. Karena dengan penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), roda perekonomian tetap bergerak di masyarakat. Buktinya tingkat penjualan BBM Pertamina selama tahun 2020 tidak mengalami pengurangan signifikan dibanding sebelum pandemik. Akan tetapi, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 berada pada kisaran minus 1,7% sampai minus 2,2%. Jadi, apa manfaatnya utang luar negeri sebanyak Rp 1.295 triliun itu? Alhasil kunci kebangkitan perekonomian Indonesia ke depan bukan ditentukan apakah penduduk Indonesia sudah divaksin covid-19 atau belum. Yang diperlukan sekarang adalah meminta pertanggungjawaban presiden terhadap pengunaan pinjaman utang luar negeri yang begitu besar, tetapi ternyata sama sekali tidak menggairahkan perekonomian Indonesia selama 6 masa pemerintahannya. Jika tidak ada kemauan untuk mengaudit ke mana larinya uang sebanyak itu ada baiknya kita mulai memikirkan pergantian presiden sesegera mungkin. Bayangkan, tahun 2020 saja rezim ini sudah menambah pinjaman asing hampir Rp 1.300 triliun. Dengan melihat pengungkapan kasus korupsi di BPJS Ketenagakerjaan baru-baru ini, menyusul setelah terungkapnya kasus-kasus mega korupsi di Jiwasraya dan penyaluran Bansos Covid-19, jangan harap ekonomi akan membaik setelah semua rakyat divaksin Covid-19. Sesungguhnya, yang menghancurkan perekonomian Indonesia adalah virus korupsi. Oleh karena itu, seluruh pejabat pemerintah harus divaksin antikorupsi. Tentu, Presiden Jokowi harus menjadi orang pertama yang divaksin antikorupsi itu. **

Tri Risma, Tiga Menguak Takdir

TIGA Menguak Takdir di sini bukan buku kumpulan puisi tiga sastrawan legendaris, Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Akan tetapi, tentang sosok Risma dan pejabat lainnya yang ternyata ditakdirkan sebagai pejabat unik, lucu, dan kasihan. Unik karena sosok Tri Rismaharini selalu menjadi perbincangan. Lucu karena, meski perempuan, tingkahnya enerjik, sepak terjangnya apik. Kasihan karena ia selalu menjadi sorotan kamera ke mana pun melangkah. Ia dicitrakan sebagai pendobrak, tahan banting, dan manusia paling peduli. Maka, ia dituntut untuk selalu memproduksi kehebohan demi kehebohan. Ia harus menampilkan peran itu secara kaffah, total. Tanpa rasa malu. Saat menjadi Wali Kota Surabaya Risma tak pernah sepi heboh. Dari heboh soal mencaci-maki stafnya yang tak becus memprogram komputer hingga heboh mengatur lalu lintas di tengah hujan. Jika cuma menyapu jalanan adalah hal yang biasa. Masyarakat Surabaya sudah mafhum. "Wali kota edan kok," begitu komen arek Suroboyo bercanda. Risma juga membikin heboh saat meninjau banjir di salah satu sudut Kota Surabaya. Dia katakan banjir itu disebabkan oleh air yang sedang mengantre masuk selokan. Pernyataan ini serius, bukan sedang berkelakar. Wajar jika kemudian warganet pun heboh memberi komentar. Di media sosial, Risma dibully habis. Logikanya tentang banjir mengejek akal sehat. Pun demikian, Risma tetap melaju kencang dengan kehebohannya, tak peduli salah atau melanggar kepatutan. Kehebohan kedua adalah ketika Risma berkomentar soal erupsi Gunung Semeru yang disebabkan oleh global warming (pemanasan global). Komentar konyol ini melahirkan cibiran masyarakat. Bagaimana hubungan pemanasan global dengan gunung meletus? “Gunungnya gak pakai rumah kaca sih,” begitu salah satu komentar. Kehebohan berikutnya, saat Risma ditugasi Jokowi sebagai Menteri Sosial. Minggu pertama menggantikan posisi Juliari Peter Batubara yang ditangkap KPK karena korupsi dana bantuan sosial (Bansos), Risma langsung bikin gebrakan. Aksi heroik Risma adalah menyantuni gelandangan yang mengemis di Jalan Sudirman Jakarta. Dalam dialog dengan gelandangan, Risma berjanji akan membelikan rumah. Dermawan sekali. Tapi apakah tawaran itu membuat masyarakat berdecak kagum? Tidak. Yang terjadi justru, masyarakat ramai-ramai ingin menjadi gelandangan biar dibelikan rumah oleh menteri. Tentu saja ini sindiran yang sangat menohok. Aksi petakilan Risma ini bukan melahirkan simpati masyarakat, tetapi sebaliknya, ia diserang oleh warganet sebagai tukang tipu adegan. Publik jelas menampakkan kesinisannya. Julukan drakor (drama kotor) menempel pada sosok Risma. Apalagi diketahui belakangan, ternyata pengemis yang dipasang di pinggir jalan, cuma dijadikan model belaka. Risma nyomot tukang koran yang berjualan di sekitar Manggarai. Di sini Risma ditakdirkan sebagai orang yang tidak paham situasi. Ia bermaksud meraih simpati atas tingkahnya yang sok peduli, tetapi salah setting dan salah tempat yang akhirnya salah kaprah. Ada pula yang berpendapat Risma ingin menampar wajah Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Dengan adegan itu, Risma ingin mengajak masyarakat ramai-ramai memojokkan Gubernur DKI Jakarta yang dianggapnya tidak peduli terhadap gelandangan yang ada di jalan protokol. Akan tetapi apa yang terjadi, justru Rismalah yang tertampar. Ia seharusnya malu telah berbuat gaduh dan naif di daerah yang belum satu bulan ia tempati. Risma tak pernah membayangkan bakal terjadi persepsi publik yang menyesalkan ulah dirinya. Sebagai orang beradab, mestinya Risma minta maaf telah melakukan sesuatu yang memalukan dirinya. Akan tetapi, permintaan maaf itu tak pernah ada. Apakah karakter pemimpin bangsa ini memang egois dan sulit meminta maaf? Risma hanyalah salah satu dari banyak pejabat di negeri ini yang agak sulit mengakui kekeliruannya. Boro-boro menyesali perilakunya lalu memperbaikinya, meminta maaf saja amat sulit. Ia tetap melenggang dengan kenaifannya. Toh, lama-lama masyarakat melupakannya. Tabiat buruk pejabat kita bertolak belakangan dengan pejabat di negara lain. Lihat saja Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe. Ia memilih mengundurkan diri dari jabatannya pada Jumat 28 Agustus 2020 karena sakit. Mundur dari sebuah jabatan menjadi hal yang lumrah, bahkan dianggap sebagai langkah terakhir menjaga 'kehormatan' sebagai pemimpin. Hal yang boleh dikatakan tak pernah dilakukan pemimpin di Indonesia. Michael Bates salah satu menteri utama di Inggris mengundurkan diri hanya gara-gara telat satu menit dalam sebuah rapat. Bates memilih mundur karena merasa malu atas ketidaksopanan yang telah ia lakukan. Semua peserta rapat menyatakan ketidakrelaan dan penolakan atas aksi pengunduran diri Bates ini. Menurut mereka, permintaan maaf darinya sudah cukup dan semua mengapresiasi rasa tanggung jawab besar yang dia miliki. Bayangkan kalau di Indonesia, jangankan terlambat, tidak hadir dalam rapat saja sudah menjadi hal biasa. Bahkan, di gedung parlemen kita sering melihat bangku kosong saat rapat-rapat penting, bahkan saat rapat paripurna. Masih di Inggris, mantan menteri Inggris David Blunkett, juga mengundurkan diri dengan alasan malu lantaran ketahuan membantu mantan pacarnya dalam mengurus visa. Padahal, bantuan itu berkaitan dengan kemanusiaan pengasuh bayi sang mantan pacar. Karena pingin cepat, mantan pacar David minta bantuan mengurus paspornya. Namun sayang aksi “mempercepat” visa ini sudah tercium publik, yang mengakibatkan David memilih mengundurkan diri. Di Indonesia, jangankan membantu mengurus paspor, membantu mendudukkan anak dan menantunya menjadi wali kota saja, ogah mundur. Ada saja cara untuk mencari permakluman agar tidak dipaksa mundur. Berapa jumlah pejabat Indonesia yang telah mengundurkan diri? Ada, tapi sangat sedikit, terutama yang tersangkut kasus korupsi, seperti Andi Malarangeng, Idrus Marham, dan beberapa orang lainnya. Mereka bersedia mundur jika terbukti korupsi tangkap tangan. Jika masih ada celah untuk berkilah, mereka akan gunakan jurus itu untuk tetap bercokol di pemerintahan. Pencitraan tampaknya telah menjadi ritual wajib rezim ini. Karena dengan pola inilah wajah pejabat kita akan selamat. Mereka tidak malu. Padahal rasa malu akan mencegah manusia dari perbuatan yang tidak layak dan tercela. Rasa malu membuat manusia tidak suka mengada-ada dan bertindak berlebihan. Oleh karena itu, orang yang memiliki rasa malu tidak akan pernah bermain sandiwara untuk menutupi kekurangannya. Tidak hanya Risma, banyak pejabat lain melakukannya. Sang presiden pun tak pernah lupa membangun citra. Jika citra itu dibangun atas dasar realita, tentu tidak masalah. Yang bikin mual dan eneg adalah ketika citra itu dibangun atas dasar settingan, sandiwara, dan kepalsuan. Kepalsuan itu dikemas dengan biaya mahal secara demonstratif sarkastik. Rakyat telah muak sebenar-benar muak. Benarkah pejabat di negeri ini ditakdirkan tak punya malu? **

Menanti Terobosan Ekonomi

AWALNYA, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 ini sebesar 4,5 sampai 5,5 persen. Target yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa, 1 September 2020 itu kemudian direvisi menjadi 4,5 sampai 5 persen, pada awal Januari 2021. Merevisi sebuah target pertumbuhan ekonomi nasional adalah sesuatu yang wajar dilakukan. Apalagi di tengah gonjang-ganjing ekonomi global yang masih belum menentu akibat corona virus disease 2019 (Covid-19). Tidak ada kepastian kapan pandemi ini berakhir. Seiring dengan itu, tidak ada kepastian ekonomi global membaik atau pulih seperti semula. Harapan tetap ada, walaupun hal itu masih jauh dari kenyataan. Revisi target pertumbuhan telah dilakukan. Target pertumbuhan ekonomi yang baru itu tetap menunjukkan sikap optimis. Bahkan, angka itu terlalu ambisius, mengingat pertumbuhan tahun 2020 yang berkisar minus 1,7 persen sampai minus 2,2 persen. Biar bagaimanapun, sikap optimistis harus ditunjukkan pengelola negara kepada rakyatnya. Sebab, jika pemerintah pesimistis, apalagi putus harapan, bisa diperkirakan berdampak lebih buruk bagi rakyat. Revisi dan sikap optimistis bisa disatukan dengan kerja keras semua pihak. Namun, yang pasti ujung tombak keberhasilannya kembali kepada pemerintah dalam mengelola negara dan berbagai aspeknya. Pemerintah dituntut memberikan arahan yang jelas dan tegas, sehingga fokus pengelolaan ekonomi tidak melenceng. Diperlukan kebijakan ekonomi yang benar-benar hebat dalam menyapu berbagai kendala yang dihadapi. Kebijakan ekonomi tidak perlu dikeluarkan berjilid-jilid. Ingat, di masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019), ada 16 jilid kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah. Harapannya, pertumbuhan ekonomi bisa tujuh persen sesuai janji kampanyenya. Akan tetapi, kebijakan itu hanya mampu menahan agar pertumbuhan ekonomi tida melorot di bawah lima persen. Kesalahan dalam mengambil kebijakan ekonomi bisa berakibat fatal. Bisa-bisa berakibat semakin tertekannya kehidupan masyarakat. Jika tekanan kehidupan masyarakat semakin dalam, semakin susah, tidak menutup kemungkinan keresahan sosial terjadi. Akibatnya bisa diprediksi. Pemerintahan yang sudah goyang, akan terus digoyang. Keresahan sosial bisa menjadi gejolak sosial yang berujung dapat menjatuhkan pemerintah. Menurut kalangan ekonom, terutama ekonom Amerika Serikat, jika suatu pemerintah membuat kebijakan ekonomi dalam masa pandemi sama dengan kebijakan ekonomi sebelum pandemi, maka pemerintahan itu menjadi bagian dari masalah, bukan pemecah masalah. Hal tersebut menunjukkan di masa pandemi, masalah utama terletak pada efektivitas kepemimpinan, kebijakan, dan agenda pemerintahan. Ini menegaskan bahwa kewibawaan pemerintah, terutama presiden dipertaruhkan pada saat sekarang, ketika Covid-19 masih mengganas. Yang dapat dibaca sekarang, pemerintah masih mempertontonkan drama berseri kepada rakyat. Mulai dari drama ketidaktegasan pemerintah melakukan lockdown, drama tambahan utang yang terus-menerus, drama pembangunan infrastruktur, dan drama korupsi dana bantuan sosial yang melibatkan Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial pada Kabinet Kerja Jokowi. Termasuk drama penegakan hukum yang tidak adil. Rakyat sudah mulai bosan dengan sejumlah drama itu. Oleh karena itu, tidak salah jika di tengah masyarakat seringkali terdengar suara-suara sumbang atas kebijakan pemerintah, terutama dalam menangani Covid-19. "Utang lagi. Utang lagi. Ke mana saja utang itu digunakan," demikian kalimat sinis yang direkam dalam perbincangan di pangkalan ojek, warung kopi hingga di perkantoran elit. Wajar rakyat bersuara sinis seperti itu mengingat utang yang sudah mencapai Rp 6.000 triliun. Apalagi sebagian utang itu digunakan untuk penanganan Covid-19 yang justru dikorupsi. Akan menjadi masalah, jika suatu saat utang pemerintah didominasi mata uang asing, katakanlah 40 persen obligasi dipegang asing dan 20 sampai 30 persen utang dalam mata uang asing. Jika posisinya seperti itu, maka pemerintah berada dalam posisi rentan, dalam arti pemerintah mudah dijatuhkan karena persoalan utang dan ekonomi. **

Pola Orde Baru Bangkit Melalui Perpres No.7/2021

KEKUASAAN Orde Baru memang telah berakhir dengan sikap Presiden Soeharto yang menyatakan berhenti sebagai Presiden pada 21 Mei 1998. Sejak itu segala organ kekuasaan penopang Orde Baru yang terkenal represip kepada kelompok opisi berakhir. Kebebasan bependapat, terutama untuk mengkritik penguasa hidup dan mendapatkan tempat yang luas. Sayangnya kebebasan mengkritik penyelenggara negara itu mau dibungkam kembali dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penaggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme. Ahli Huku Tata Negara dari Universitas KhairunTernate Dr. Margarito Kamis menybutnya dengan nama “Perpres RAN PE”. Dulu, Orde Baru kokoh dan kuat selama 32 tahun. Karena didukung instrumen hukum dan senjata yang selalu mengawalnya. Instrumen sejata di tangan tentara, dengan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Panglima Kopkamtib (Pangkopkamtib) pernah dijabat Jendral TNI Soemitro, Laksamana TNI Sudomo dan Jendral TNI Benny Moedani. Belakangan, menjalang kejatuhannya, lembaga Kopkamtib diganti namanya dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Kerjanya masih sama. Kepala Bakorstanas secara ex officio dijabat Panglima ABRI. Kepala Bakorstanas pernah dijabat Jendral TNI Try Sutrisno, Jendral TNI Edi Sudrajat, Jendral TNI Feisal Tanjung dan Jendral TNI Wiranto. Tugas dan kerja Bakorstanas tetap sama dengan Kopkamtib. Cuma namanya yang disederhanakan agar tidak terkesan seram-seram dan menakutkan. Tugas pertama adalah mengawasi semua gerak-gerik, dan sepak-terjang kelompok masyarakat sipil (civil society) yang selalu kritis kepada penguasa. Apalagi yang berseberangan dengan kekasaan Orde Baru. Untuk kelompok yang pertama ini ada ex dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), pimipinan Prof. Sumitro Djoyohadukumo. Orde baru biasanya menyebut kelompok dengan “Sosialis Kanan atau Soska”. Sama dengan “Soska”, ada lagi kelompok “Ekstrim Kanan atau Eka”. Eka ini sebutan untuk kelompok Islam yang berlawanan dengan Orde Baru. Gabungan “Soska dan Eka”, sebagian tokoh-tokohnya terhimpun lagi dalam “Kelompok Kerja Petisi 50”. Beberapa jendral yang terkenal tidak sejalan, bahkan kritis kepada pemerintahan Soeharto bergabung di Petisi 50. Tercatat nama Lentnal Jendral TNI (Mar.)Ali Sadikin, Jendral TNI Abdul Haris Nasution, Jendral Polisi Hoegeng Iman Santoso, dan Letnal Jendral TNI HR. Dharsono. Perlakuan kekuasaan Orde Baru kepada kelompok sipil yang kritis seperti Soska, Eka dan Petisi 50 adalah “garap dan ajak orang-orangnya untuk bekerjasama dengan kekuasaan Orde Baru”. Kalau tidak mau diajak bekerjasama, maka langkah selanjutnya adalah jebloskan ke penjara. Karena keberadaan meraka dapat mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Lalu apa pelanggaran pidana yang dilakukan kelompok Soska, Eka dan Petisi 50 itu? Soal itu sangat gampang dan sepele? Pasal itu tugas dan urusannya Kopkamtib, Bakorstanas, Polisi, Jaksa dan Hakim untuk cari dan menemukan pasalnya. Paling kurang sudah tersedia di Undang-Undng Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subvensi, penggalan Presiden Soekarno, yang dibuat pada tahun 1963. Mungkin UU ini tujuannya untuk membungkam kelompok kritis. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1963 ini, meski dibuat oleh Sokarno, namun dipakai dengan sangat sempurna oleh Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya selama 32 tahun. Baru setelah BJ. Habibie berkuasa menggantikan Soeharto, setahun kemudian, tanggal 19 Mei 1999 undang-undang suversif ini resmi dicabut. Hebat dan mengagungkan Presiden Habibie yang ahli pesawat terbang ini. Tugas Kopkamtib atau Bakorstanas yang kedua adalah mengawasi sepak terjang dan kegiatan mantan aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Termasuk mengawasi para anak dan cucunya PKI Untuk kelompok yang kedua ini sandinya “ekstrim kiri atau Eki”. Harus dihalang-halangi dengan segala cara untuk tidak masuk menjadi anggota partai politik di Golkar, PDI dan PPP. Tidak sampai di situ saja. Simpatisan Eki juga dihambat dengan segala cara untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai di Badan Usama Milik Negara (BUMN) dan anak-cucu perusahaan BUMN. Stempel yang diberikan kepada anggota dan simpatisan Eki dengan para anak-cucunya adalah “tidak bersih lingkungan”. Ini stempel yang paling mengerikan, karena menjadi kematian perdata. Kini Presiden Jokowi membuat Perpres Nomor 7 Tahun 2021. Mungkin Jokowi saja anggap ektrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme semakin meningkat. Peningkatan itu tampaknya telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam rasa aman dan stabilitas nasional. Bigitu kira-kira justifikasi sosiologis Presden Jikoiwi menerbitkan Perpres bercitarasa Orde Baru tersebut. Namun bila dicermati lebih lanjut, kebijakan Jokowi membuat Kepres Nomor 7/2021 ini bukan murni soal hukum dan ekstrimisme. Ini sepenuhnya masalah politik. Ini soal kalkulasi untung-rugi, selamat atau tidak mengahadapi datangnya situasi dan kemungkinan terburuk. Apalagi politik tidak mengenal benar atau salah. Politik itu urusan ketepatan mengkalkulasi perhitungan. Salah menghitung politik, bisa bernasib buruk. Bisa terjerembab ke jurang yang dalam. Nasib Jokowi mungkin saja tidak berbeda jauh dengan Soekarno, Soeharto dan Gus Dur di akhir masa jabatan. Untuk itu, Perpres Nomor 7/2021 ini tidak terbatas hanya ditujukan kepada mereka yang pernah dihukum karena melakukan pidana terorisme. Targetnya dari Perpres tersebut sangat luas. Karena terminologi ekstrimisme dalam Perpres ini sama sekali tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun tentang Pemberantasan Tindah Pidana terorisme. Dengan demikian siapapun orangnya, yang karena keyakinannya berbicara kritis terhadap kebijakan pemerintah, maka siap-siaplah untuk dicap sebagai “orang ekstrim”. Perpres Nomor 7/2021 ini akan menempatkan siapapun kelompok masyarakat yang kritis kepada kekasaan Jokowi, akan diberikan stempel sebagai “orang ekstrim”. Kebijakan yang seperti ini sudah diprektekan oleh kekaisaran Yunani kuno dan manusia yang mengaku diri Tuhan Fir’aun di jaman bahula dulu. Namun kini dicoba untuk dihidupkan kembali. Kebijakan mengamankan kekuasaan ini diteruskan di Inggris, Francis dan Jerman di akhir 1800-an. Pada di awal tahun 1900-san pola ini dipakai lagi oleh Musolini, Stalin, Hitler, Yuri Andropov, Konstantin Chernenko, dan Joseph Broz Tito. Masa kebijakan dari kekuasaan yang primitif dan bar-bar seperti ini mau dipakai Pak Jokowi di era modern dan revolusi industri 4,0 (four point zero) lagi? Sebenarnya Presiden Jokowi tidak perlu membuat “Kepres Kepanikan” seperti ini untuk mengamankan kekuasaannya. Kalau saja tata kelola negara negara berjalan dengan baik dan benar sesuai konstitusi dan tujuan bernegara. Kalau Pak Jokowi tidak gagal dan berantakan mengurus pandemi covid-19. Kalau saja ekonmi di era Pak Jokowi tidak resesi, sehingga terjun bebas dengan pertumbuhan ekonomi minus. Kalau saja anak bangsa tidak dibelah kekuasaan menjadi pendukung pengausa dan bukan pendukung penguasa. Kalau saja Hukum berdiri tegak untuk semua anak bangsa. Kondisi ini semakin diperparah dengan persiapan dinasti politik di keluarga di Pak Jokowi. Apalagi dugaaan adanya “Anak Pak Lurah”, dan lingkaran istana yang terlibat korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) trilunan rupiah. Balum lagi kenyataan ini semakin diperparah dengan korupsi yang meningkat di era Pak Jokowi. Kader-kader partai penguasa terlibat masif atas kacaunya penyaluran Bansos dengan data data fiktif dan NIK ganda 17.760.000 orang, dengan nilai korupsi Rp. 5,238 triliun. Ada lagi korupsi Jiwasraya Rp. 16,8 triliun, korupsi Asabri Rp 17 triliun. Belakangan korupsi BPJS tenaga kerja Rp 43 triliun. Mungkin saja masih banyak lagi. Namun belum terungkap saja. Perpres Nomor 7/2021 mengkonfirmasi kepanikan Pak Jokowi untuk menyelamatkan kekuasaannya. Kepanikan itu telah didahului dengan penangkapan-penakapan terhadap aktivis dan tokoh krtis seperti Habib Rizieq Shihab (HRS), Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana, Ustazah Kingkin Anida dan para aktivis lainnya. Membungkam kelompok kritis melalui UU ITE rupanya belum cukup. Sehingga masih perlu Perpres Nomor 7/2021. Padahal cara ini telah dilakukan Soeharto untuk menyelamatkan singgasananya. Namun tidak berhasil. Akhirnya Soeharto tumbang juga. Maka belajarlah dari kejatuhan presiden yang sudah-sudah. Yang perlu untuk diingat juga adalah Soekarno dan Soeharto itu jatuh dari kekuasaannya saat Partai Demokrat berkuasa di Amerika. Partai Demokrat adalah wadah politik berkumpulnya para politisi dari kalangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Partai Demokrat sangat konsen dan pedulu terhadap masalah-masalah demokratisasi, Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan, korupsi, buruh dan kearipan lokal. Sedangkan Partai Republik, tempat berkumpulnya para politisi dari kalangan pengusaha. Partai Republik ada pengusaha senjata, pengusaha minyak, gas (oil and gas) dan pertambangan umum. Kelompok pengusaha pasar keuangan dunia yang bermarkas di bursa saham Wall Steert juga bergabung di Partai Republik. Semoga bermanfaat.

PDIP Baru Tahu Enaknya Menjadi Penindas

RATA-RATA, orang-orang PDIP hanya berkomentar normatif tentang pembunuhan 6 anggota FPI dan tentang pembubaran FPI. Tidak ada kritik terhadap pemerintah maupun Polri. Kritik manis saja pun tidak ada, apalagi kritik pedas. Anggota DPR dari PDIP, I Wayan Sudiarta, malah memuji tindakan polisi. Dia mengatakan, langkah melindungi diri oleh Polisi dengan menembak 6 pemuda FPI, sudah benar. Meskipun dia meminta agar pembunuhan itu diusut lebih dalam, tapi Sudiarta cenderung senang dengan tindakan Polisi menembak mati anggota FPI tsb. Kolega Sudiarta, yaitu Arteria Dahlan, juga ikut setuju ‘tindakan tegas’ terhadap FPI dan Habib Rizieq Syihab (HRS). Arteria mengatakan, ada kesan HRS tidak patuh hukum. Pada 11/12/2020, Arteria mengatakan HRS pantas menjadi tersangka pidana kerumunan Covid. Namun, pada 11/01/2029 politisi PDIP ini menyatakan ikut berduka terhadap kematian 6 anggota FPI. Hanya Tuhan yang tahu apakah itu benar dukacita atau ‘duka citra’. Setelah itu, politisi PDIP lainnya yang juga ketua Komisi III DPR, Herman Herry, menyatakan dukungan terhadap tindakan pemerintah membubarkan FPI. Kemudian, puncak sikap PDIP keluar dari mulut Ketum Megawati Soekarnoputri. Bu Mega menyerahkan sepenuhnya masalah FPI kepada pemerintah. Dari komentar Bu Mega ini dan dari berbagai komentar para politisi PDIP di atas, bisa disimpulkan bahwa Partai Banteng tidak begitu peduli ada atau tidak pelanggaran HAM berat maupun ringan terhadap anggota FPI. Mau ditembak atau dibunuh dengan sadis, PDIP tak ambil pusing. Ada atau tidak kriminalisasi terhadap para ulama, biarkan saja. Bukan urusan. Mengapa PDIP bersikap seperti itu? Ringkas saja jawabannya. Karena mereka tampaknya ikut menikmati penindasan yang dilakukan oleh para penguasa sekarang ini. Khususnya sejak “petugas partai” mereka mengemudikan pemerintahan. Mereka senang bisa menjadi bagian dari penindasan itu. Persis sama seperti pengalaman Golkar yang sangat menikmati penindasan yang dilakukan para penguasa Orde Baru, dulu. Waktu itu, Golkar menjadi pendukung setia sekaligus stempel penguasa. Dan yang ditindas pada masa itu termasuklah PDIP sendiri. Hari ini, PDIP adalah pendukung setia penguasa. Sekaligus pendukung terkuat. Seharusnya Bu Megawati dan PDIP menentang kesewenangan. Mereka memiliki kuasa besar untuk mencegah itu. Dan mereka sudah merasakan sakitnya di bawah penindasan. Sangat antagonistik. Sudah mengalami dan paham betul penderitaan di bawah kekuasaan otoriter Orba, tapi PDIP seperti lupa semuanya. Bahasa tubuh Bu Mega dan PDIP menunjukkan mereka tidak berkeberatan dengan cara sewenang-wenang yang dipraktikkan penguasa hari ini. Sulit dipahami mengapa blok politik terkuat menjadi begitu. Wallahu a’lam. Bisa jadi sekarang ini orang-orang PDIP baru tahu betapa enaknya menjadi penindas. Seperti kenikmatan Golkar menindas rakyat di era Orba. Mereka bisa melakukan apa saja. Bisa mengatur semua yang diinginkan. Apa indikasi lain yang menunjukkan PDIP menikmati kekuasaan sewenang-wenang? Sangat mudah melihatnya. Indikasi itu adalah kekompakan Partai Banteng dengan Golkar. Kedua blok politik ini terlihat akrab dan saling memahami. PDIP sudah merasa seperti Beringin di masa lalu. Sedangkan Golkar tampaknya memahami bahwa saat ini wajar saja PDIP mendapatkan kesempatan menindas. Sekarang mereka berkoalisi. Golkar membiarkan saja apa yang dilakukan oleh PDIP. Mereka seakan saling lirik. Yang satu mengatakan, “Sekarang giliran kami ya, Mas.” Sementara yang satu lagi menjawab, “Silakan, Mbak. Tidak masalah.” PDIP tak pernah lagi melihat Golkar sebagai musuh yang pernah menjadi mesin politik yang mendukung penindasan Orba. Banteng sudah berdamai dengan Beringin. Seakan sudah ada “memorandum of understanding” (MoU) antara mereka. Yaitu, pakta saling pengertian yang menjadi dasar agar Golkar memahami giliran PDIP yang menjadi mesin pendukung penindasan yang dilakukan penguasa. Sekarang, ke mana-mana bergandengan tangan dengan Golkar. Sama-sama mendukung tindakan sewenang-wenang pemerintah Jokowi. PDIP kelihatannya terinspirasi oleh riwayat Golkar sebagai partai penindas. Dengan mendukung penguasa otoriter, PDIP bisa mendapatkan akses ke sumber-sumber yang mereka perlukan. Jadi, itulah ‘berkah’ memberikan dukungan penuh kepada penguasa yang mempraktikkan penindasan. Itulah dulu yang diperankan Golkar. Sekarang PDIP sedang menikmati itu.[]