HUKUM

KPK Panggil Dua Anggota DPRD Lampung Utara Terkait Kasus Gratifikasi

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin memanggil dua Anggota DPRD Kabupaten Lampung Utara Arnold Alam dan Nurdin Habim dalam penyidikan kasus dugaan gratifikasi di Pemerintah Kabupaten Lampung Utara, Lampung. Keduanya dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Akbar Tandaniria Mangkunegara (ATMN) selaku Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga adik mantan Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara. "Senin, bertempat di Kantor BPKP Perwakilan Provinsi Lampung, tim penyidik mengagendakan pemanggilan saksi untuk tersangka ATMN," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Senin. Selain dua anggota DPRD tersebut, KPK juga memanggil seorang saksi lainnya untuk tersangka Akbar, yaitu Hanizar Habim selaku wiraswasta/Direktur CV Abung Timur Perkasa. Dalam konstruksi perkara, KPK menyebut tersangka Akbar sebagai representasi (perwakilan) dari Agung Ilmu Mangkunegara selaku Bupati Kabupaten Lampung Utara periode 2014-2019, berperan aktif untuk ikut serta dan terlibat dalam menentukan pengusaha yang mendapatkan bagian alokasi proyek yang ada di Dinas PUPR Lampung Utara untuk kurun waktu 2015 sampai dengan 2019. Agung diketahui telah ditetapkan tersangka oleh KPK dalam perkara suap terkait proyek di Dinas PUPR dan Dinas Perdagangan Kabupaten Lampung Utara dan saat ini perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. Dalam setiap proyek tersebut, tersangka Akbar dengan dibantu oleh Syahbudin, Taufik Hidayat, Desyadi, dan Gunaidho Utama sebagaimana perintah dari Agung dilakukan pemungutan sejumlah uang (fee) atas proyek-proyek di Lampung Utara. Realisasi penerimaan "fee" tersebut diberikan secara langsung maupun melalui perantaraan Syahbudin, Raden Syahril, Taufik Hidayat, dan pihak terkait lainnya kepada tersangka Akbar untuk diteruskan ke Agung. Diketahui, Syahbudin merupakan mantan Kepala Dinas PUPR Kabupaten Lampung Utara. Sementara Raden Syahril adalah orang kepercayaan Agung. Selama kurun waktu 2015-2019, tersangka Akbar bersama-sama dengan Agung, Raden Syahril, Syahbudin, dan Taufik Hidayat diduga menerima uang seluruhnya berjumlah Rp100,2 miliar dari beberapa rekanan di Dinas PUPR Kabupaten Lampung Utara. Selain mengelola, mengatur, dan menyetor penerimaan sejumlah uang dari paket pekerjaan pada Dinas PUPR untuk kepentingan Agung, tersangka Akbar diduga juga turut menikmati sekitar Rp2,3 miliar untuk kepentingan pribadinya. Atas perbuatannya, Akbar disangkakan melanggar Pasal 12B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 KUHP. (sws)

BNN Jambi Tangkap Dua Pelaku Jaringan Narkoba Antarprovinsi

Jambi, FNN - Petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Jambi menangkap dua pelaku narkoba jaringan antar-lintas provinsi dengan barang bukti dua kilogram sabu dan ratusan pil ekstasi. Penangkapan bandar dan kurir sabu dan ekstasi di jalan Lintas Timur Sumatera tepatnya di kawasan Merlung, petugas sempat menutup jalan dengan menggunakan kendaraan mobil truk dan mengeluarkan belasan tembakan peringatan kepada pelaku karena mencoba melarikan diri putar balik ke arah Pekanbaru, Riau, kata Kabid Berantas BNN Provinsi Jambi, Guntur Ario Tejo, melalui keterangan resminya yang diterima di Jambi, Senin. Aksi penangkapan kurir dan bandar besar sabu-sabu oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jambi, di Jalan Lintas Timur Sumatera, perbatasan Jambi-Riau, Suban, Tungkal Ulu, Minggu (28/11). Kedua tersangka yang berhasil ditangkap tersebut adalah Beni Haryanto (kurir) dan bosnya bernama Jon Kuswadi alias Wadi (bandar/pemilik sabu dan ekstasi). Kedua pelaku berhasil dibekuk petugas BNN di dua lokasi berbeda setelah berjibaku melakukan pemantauan sejak Sabtu dan akhirnya pada Minggu malam berhasil menangkap kedua pelaku dengan barang bukti 2 kg narkotika jenis sabu-sabu dan 100 pil ekstasi. Di lokasi awal, tidak jauh dari Pos PJR Unit VI Ditlantas Polda Jambi, petugas terlebih dahulu menangkap tersangka Beni pada pukul 01.37 WIB. Saat itu, Beni bersama satu orang rekannya melaju dari arah Pekanbaru menuju Jambi dengan mengendarai mobil Pajero Sport. Mendapat informasi, tim bergerak cepat, laju kendaraan keduanya dihentikan dengan truk yang langsung diparkir melintang di badan jalan, tepat di depan Pos PJR, dan dibantu oleh satu Personel PJR Polda Jambi. Melihat kondisi tersebut, Beni yang saat itu mengendarai mobil langsung memutar arah, dengan kecepatan tinggi, kendaraan nya langsung masuk ke kawasan perumahan warga, namun, petugas yang saat itu sedang melakukan pengejaran langsung menghalangi laju kendaraan Beni. Beni berhasil dibekuk tanpa perlawanan berarti dan dilokasi, petugas langsung melakukan pengembangan dan diketahui pemilik dua kg sabu-sabu dan pil ekstasi tersebut sedang menunggu dan berada di sebuah 'base camp', di wilayah Merlung. Tim kembali bergerak sekira 30 menit dari TKP dan berhasil menangkap Jon Kuswadi alias Wadi bersama empat orang lainnya, yang diduga sebagai anak buah dari Wadi. Di lokasi petugas turut amankan sejumlah timbangan digital dan timbangan manual. Usai memeriksa seluruh isi Base Camp, petugas langsung membakar 'Base Camp' tersebut, yang diakui Wadi merupakan 'Base Camp' pribadinya. "Ya jadi kita amankan kurir dan bandar dua kg sabu-sabu dan ribuan pil ekstasi, yang dimana diketahui barang tersebut dijemput dari wilayah Pekanbaru," kata Guntur Aryo Tejo yang memimpin langsung operasi penangkapan itu. (sws)

Kanwilkumham Jatim Pindahkan 34 Narapidana Risiko Tinggi

Surabaya, FNN - Kanwil Kemenkumham Jatim memindahkan 34 warga binaan pemasyarakatan atau narapidana risiko tinggi ke Lapas Nusa Kambangan. "Ada 34 orang dan semuanya kategori risiko tinggi atau high risk. Proses pemindahan dilakukan sejak Sabtu (27/11)," ujar Kepala Kanwil Kemenkumham Jatim Krismono dalam siaran pers yang diterima di Surabaya, Senin. Krismono menjelaskan bahwa pemindahan ini menjadi langkah strategis yang dilakukan jajarannya untuk menjaga keamanan dan ketertiban di lapas atau rutan. Sebelum ke Nusa Kambangan, kata dia, para narapidana dikumpulkan di Lapas I Madiun sebagai tempat transit. Para narapidana kemudian dikawal Tim Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jatim. "Yakni lima petugas Lapas I Madiun dan 1 peleton pasukan Batalyon C Sat Brimob Polda Jatim Pelopor Madiun," ujarnya. Ia mengatakan, tim dipimpin langsung Kepala Lapas I Madiun Asep Sutandar dan dipindahkan dengan menggunakan armada bus pariwisata 60 tempat duduk. "Narapidana sekitar pukul 22.00 WIB diberangkatkan dari Lapas I Madiun ke Nusa Kambangan," lanjut Krismono. Para narapidana tersebut berasal dari berbagai lapas atau rutan di Jatim di antaranya Lapas I Malang, Lapas IIA Pamekasan, Lapas Narkotika IIA Pamekasan, Lapas IIA Jember, Lapas Lumajang, dan Rutan I Surabaya. "Sebanyak 26 di antaranya merupakan narapidana kasus narkotika dan sisanya adalah pelaku kriminal umum," ujarnya. Pemindahannya, lanjut Krismono berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-PK.01.05.08 - 1516 Tanggal 11 November 2021 dan Nomor PAS -PK.01.05.08 - 1590 Tanggal 22 November 2021. "Kantor Wilayah sebelumnya sudah mendapatkan persetujuan dari Ditjen Pemasyarakatan," ujarnya. (sws)

Keributan TNI-Polri di Timika Karena Salah Paham Berakhir Damai

Jakarta, FNN - Kapolda Papua Irjen Pol Marthinus D Fakhiri mengatakan insiden perkelahian antara anggota Polri dan TNI di Tembagapura, Timika, telah diselesaikan secara damai. Ia menyebutkan, insiden tersebut hanya kesalahpahaman saja, bukan bentrok atau keributan besar. "Tidak ada bentrok, salah paham saja itu. Sudah diselesaikan, sudah berdamai," ujar Marthinus saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin. Video diduga keributan antar anggota TNI tergabung dalam Satgas Nanggala Kopassus dan anggota Polri dari Satgas Amole di Kabupaten Mimika beredar di media sosial. Menurut Mathinus, Satgas Nanggala dan Satgas Amole, sama-sama berada di bawah Operasi Satgas Nemangkawi. "Nanggala juga kan itu di bawah Kapolda, karena di bawah Operasi Nemangkawi. Amole juga sama di bawah Kapolda, sudah diselesaikan langsung," kata Marthinus. Marthinus tidak merinci soal adanya korban dalam perkelahian tersebut, namun dia memastikan permasalahan sudah diselesaikan. "Korban luka-luka biasa saja. sudah diselesaikan. Tidak masalah ya. Insyaallah aman-aman saja," katanya menerangkan. Berdasarkan siaran pers Humas Polda Papua, peristiwa kesalahpahaman tersebut terjadi Sabtu (27/11) bertempat di Ridge Camp Pos RCTU Mile 72 tepat di depan Mess Hall, Timika, Papua. Kesalahpahaman tersebut berawal dari enam personel Satgas Amole Kompi 3 yang berada di Pos RCTU Ridge Camp Mile 72 yang sedang berjualan rokok. Selanjutnya tiba Personel Nanggala Kopassus sebanyak 20 orang membeli rokok dan komplain mengenai harga rokok yang dijual personel Amole Kompi 3 Penugasan. Selanjutnya dan pengeroyokan dengan menggunakan benda tumpul dan tajam terhadap enam Personel Amole Kompi 3 Penugasan. Dalam keterangan pers tersebut, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal mengatakan kasus tersebut merupakan kesalahpahaman antara personil Satgas Nanggala Kopassus dengan Satgas Amole. Pimpinan masing-masing setelah menerima laporan, langsung berkoordinasi untuk menyelesaikan kesalahpahaman tersebut. Saat ini permasalahan tersebut telah diselesaikan secara damai. "Selanjutnya, tindakan disiplin terhadap mereka yang terlibat perkelahian akan tetap dilakukan," kata Kamal. Pasca kejadian tersebut situasi di Kabupaten Mimika khususnya di Ridge Camp Pos RCTU Mile 72 tepat di depan Mess Hall, Timika, Papua aman dan kondusif. (sws)

Polisi Kejar Otak Pertikaian Mahasiswa Bone-Luwu di Makassar

Makassar, FNN - Pihak kepolisian tengah mengejar pelaku serta otak dari pertikaian antarmahasiswa asal Bone dan Luwu Raya yang berujung pada perbuatan kriminal, penyerangan disertai pembakaran hingga penganiayaan di asrama masing-masing pada Minggu (28/11) di Makassar, Sulawesi Selatan. "Segera menindak tegas oknum pelaku saat kejadian kemarin malam maupun yang sebelumnya (di kampus UIN Alauddin Samata) ," tegas Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol. Witnu Urip Laksana di Makassar, Senin. Guna mengantisipasi kejadian tersebut tidak berulang, kata dia, diperintahkan tim berpatroli termasuk mengungkap dan menangkap otak dibalik penyerangan asrama itu dilakukan orang tidak dikenal sesegera mungkin. Kapolrestabes juga menyampaikan turut prihatin dan menyesalkan kejadian saling serang antara oknum mahasiswa yang mengatasnamakan dari Palopo (Luwu) dan Bone, sehingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. "Kami mengimbau kepada mahasiswa yang merasa ketakutan, agar tetap tetap tenang. Jangan mudah terpengaruh oleh isu-isu tidak benar, " ujarnya. "Saya minta kepada para tokoh dari kedua belah pihak, hentikan pertikaian ini. Apabila masih terjadi, saya akan mengambil tindakan tegas dan terukur," kata Witnu kembali menegaskan. Penegasan itu disampaikan menyusul kejadian penyerangan orang tak dikenal pada Minggu (28/11) dini hari ke Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu (IPMIL) Palopo di Jalan Sungai Limboto, diduga buntut dari kejadian penganiayaan seorang mahasiswa Bone di kampus UIN Alauddin Samata Gowa. Imbasnya, seorang mahasiswa taruna pelayaran yang tidak bersalah saat itu berada di dalam asrama mengalami luka berat, pergelangan tangan kirinya terputus terkena sabetan parang. Selang beberapa jam kemudian, Asrama Kesatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (KEPMI) Bone di Jl Gunung Salahutu Makassar, pun menjadi sasaran OTK. Pelaku melempari asrama itu dengan batu disertai bom molotov hingga membakar ruangan. Beruntung tidak ada korban saat kejadian tersebut sekitar Minggu (28/11) subuh. Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto pada pertemuan dengan tokoh dari Luwu dan Bone beserta unsur Forkopimda memerintahkan, semua camat , lurah segera mengantisipasi eskalasi perkelahian antarkedua mahasiswa organisasi itu. Semua asrama dan tempat kos mereka dijaga ketat dan dipantau 24 jam. "Camat, lurah terus menjaring informasi serta tetap melaporkan perkembangan ke Kesbangpol dan pihak kepolisian. Diharapkan camat, lurah berperan menenangkan kelompok yang bertikai. Dan tidak provokatif apalagi menyebarkan berita hoaks," papar Danny Pomanto. Sebelumnya, sejumlah tokoh asal Luwu, Palopo dan Bone beserta pihak TNI-Polri termasuk Wali Kota Makassar mengelar pertemuan untuk mencari solusi atas pertikaian kedua mahasiswa itu agar tidak meluas dan berlarut-larut. Aparat Kepolisian bersama TNI pun memastikan kondisi Makassar sangat kondusif. (sws)

Membaca Perlahan Putusan MK Soal UU Cipta Kerja

Jakarta, FNN - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (26/11) telah memutuskan bahwa Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) bila tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun. Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut diajukan pada 15 Oktober 2020 ke kepaniteraan MK dan diperbaiki pada 24 November 2020 ataju membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk dibahas oleh sembilan orang hakim MK. UU Ciptaker sendiri baru resmi disepakati dalam rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020 dan diundangkan pada 2 November 2020 yaitu setelah Presiden Joko Widodo menandatangani naskah undang-undang tersebut hingga ditetapkan sebagai UU No 11 tahun 2020 dengan nomor Lembaran Negara (LN) 245 dan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN) 6673. Hanya butuh waktu 22 hari bagi para pemohon untuk mengajukan gugatan uji formil ke MK. Memang sejak awal dicetuskan dalam pidato pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019 di hadapan DPR, UU Ciptaker yang bersifat "Omnibus Law" tersebut memang sarat pro dan kontra. Presiden Jokowi dalam rapat terbatas 15 Januari 2020 memang menargetkan pembahasan "omnibus law" Cipta Kerja dapat dilakukan hanya dalam 100 hari kerja di DPR. Namun pembahasan UU Ciptaker mendapat penolakan dari banyak pihak termasuk berbagai demonstrasi yang dilakukan ribuan orang yang terdiri dari buruh, pelajar, mahasiswa maupun masyarakat. Aksi masa terjadi di Jakarta, Bekasi, Purwakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Semarang, Surabaya, Bengkulu, Lampung, Medan, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah hingga Papua Barat. Polri pun mencatat ada 3.862 orang yang ditangkap dalam rangkaian aksi unjuk rasa tersebut. Putusan MK Ada enam pihak yang terdiri dari individu maupun kelompok masyarakat yaitu Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas (mantan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), Ali Sujito (mahasiswa), Muhtar Said (dosen), Migrant Care, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau yang mengajukan gugatan uji formil UU Ciptaker ke MK. Para penggugat mengatakan UU Cipta Kerja yang menerapkan konsep "Omnibus law" yang terbagi atas 11 klaster sebagai penggabungan dari 78 UU itu tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 (Cacat formil/Cacat Prosedur) karena terdapat pelanggaranpelanggaran yang dilakukan secara terang benderan dan secara nyata diketahui oleh publik. Pelanggaran tersebut adalah pertama, format susunan peraturan dari UU Ciptaker bertentangan dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kedua, UU Ciptaker bertentangan dengan sejumlah asas yang diatur dalam UU 12/2011, yaitu asas "Kejelasan Tujuan", "Kedayagunaan dan Kehasilgunaan", "Kejelasan Rumusan" serta "Keterbukaan. Ketiga, pemohon menilai adanya perubahan materi muatan pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden Jokowi bertentangan dengan pasal 20 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 72 Ayat (2) UU 12/2011. Dalam putusannya, hakim MK menyatakan dua pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan yaitu Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas dan Ali Sujito (pemohon I dan II) sehingga hanya pemohon III, IV, V dan VI yaitu Muhtar Said, Migrant Care (diwakili Wahyu Susilo selaku ketua dan Anis Hidayah selaku sekretaris), Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat (diwakili Yuzirwan Rasyid Datuak PGP Gajah Tongga selaku Ketua Umum dan Yulizal Datuak Rajo Bagindo selaku Sekretaris Umum) dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau (diwakili oleh Irwansyah Datuak Katumanggungan, selaku Ketua) yan gdinyatakan punya kedudukan hukum. Setidaknya ada lima poin utama dalam putusan hakim MK mengenai uji formil UU Cipta Kerja. Pertama, MK menyatakan pembentukan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan". Kedua, menyatakan UU Ciptaker masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu 2 tahun. Ketiga, MK memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional secara permanen. Keempat, dalam masa 2 tahun perbaikan tersebut maka pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Ciptaker dinyatakan berlaku kembali. Kelima, MK menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sembilan orang hakim MK yaitu Anwar Usman selaku ketua, Aswanto,Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh menguraikan alasan putusan MK tersebut dalam dokumen setebal 448 halaman. Pertama terkait dikabulkannya pengujian formil atau pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang tersebut (bukan menguji materi undang-undang). Menurut hakim konsitusi, MK berhak melakukan uji formil suatu UU berdasarkan pasal 22A UUD 1945 sehingga penyimpangan atas tata cara pembentukan suatu UU yang telah ditentukan dalam UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Majelis Hakim MK menyebut penilaian terhadap tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif. Dalam hal ini, jikalau minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Artinya, cacat formil undang-undang sudah cukup dibuktikan apabila terjadi kecacatan dari semua atau beberapa tahapan atau standar dari semua tahapan atau standar," jelas hakim MK. UU No 11 tahun 2020 disebut telah nyata menggunakan nama baru yaitu UU tentang Cipta Kerja sehingga MK dapat memahami apa yang menjadi persoalan inti para pemohon yakni adanya ketidakjelasan apakah UU Ciptaker merupakan UU baru atau UU perubahan karena tidak sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hakim konstitusi menilai karakter metode "omnibus law" dalam UU Ciptaker berbeda dengan pembentukan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dan UU 7/2017 tentang Pemilu. UU Pemerintah Daerah dan UU Pemilu dijadikan contoh oleh pemerintah terkait proses pembentukan UU Ciptaker. Hal tersebut terlihat dari jumlah UU yang dilakukan penyederhanaan yaitu berjumlah 78 UU dengan materi muatan yang saling berbeda satu sama lain dan seluruh UU yang digabungkan tersebut masih berlaku efektif kecuali pasal-pasal yang diubah dalam UU 11/2020. Oleh karena itu tidak 'apple to apple' apabila dibandingkan dengan penyederhanaan UU yang dilakukan dalam UU 32/2004 dan UU 7/2017. Dengan melihat perbedaan tersebut, menurut hakim konstitusi, model penyederhanaan UU yang dilakukan oleh UU 11/2020 menjadi sulit dipahami apakah merupakan UU baru, UU perubahan atau UU pencabutan. Mahkamah dapat memahami tujuan penting menyusun kebijakan strategis penciptaan lapangan kerja beserta pengaturannya, dengan melakukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang. Namun, yang menjadi persoalan adalah tidaklah dapat dibenarkan dengan mengatasnamakan lamanya waktu membentuk UU maka pembentuk UU menyimpangi tata cara yang telah ditentukan secara baku dan standar demi mencapai tujuan penting tersebut. Hal tersebut tidak sejalan dengan maksud "asas kejelasan rumusan" dalam UU 12/2011 yang menghendaki agar setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Jika terdapat kebutuhan baru sesuai dengan dinamika kondisi kekinian yang berkembang dalam pembentukan peraturan perundangundangan, menurut hakim konsitusi, maka terbuka ruang untuk melakukan perubahan terhadap Lampiran UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, ihwal teknis atau metode tersebut dirancang untuk selalu dapat mengikuti atau adaptif terhadap perkembangan kebutuhan, termasuk jika akan dilakukan penyederhanaan peraturan perundang-undangan dengan metode apapun, termasuk metode "omnibus law". Apabila proses melakukan perubahan atas suatu UU tidak dapat terselesaikan sesuai dengan yang direncanakan dan penyelesaian tersebut baru dapat dilakukan ketika dibentuk UU 11/2020, hal tersebut tidak berkorelasi sematamata dengan persoalan waktu yang lama sebagai penyebab tidak terselesaikan RUU yang telah direncanakan, melainkan terdapat sebab-sebab lain. Namun sebab lain tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk mengambil "jalan pintas" pembentukan UU dengan tidak menggunakan ketentuan tata cara pembentukan UU yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 sebagai panduan atau pedoman baku atau standar. Persoalan salah ketik dan salah kutip. MK menemukan setidaknya 8 fakta hukum perbedaan antara naskah RUU Ciptaker yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dengan UU 11/2020 setelah disahkan/diundangkan. MK juga mendapati satu kesalahan pengutipan rujukan pasal. Salah kutip tersebut yaitu: 1. Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah beberapa ketentuan UU No 20 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terdapat perubahan atas Pasal 46. Namun, pada halaman 227-228 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan), pasal 46 tersebut tidak termuat lagi dalam Perubahan UU 22/2001. 2. Pada halaman 388 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) mengubah UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat perubahan atas ketentuan Pasal 7 ayat (8) yang semula berbunyi "Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah". Namun pada halaman 610 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 7 ayat (8) diubah menjadi "Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil". Perubahan tersebut menghilangkan kata "menengah". 3. Pada halaman 390 RUU Cipkater (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah Pasal 153D ayat (2) UU 40/2007, yaitu "Direktur berwenang menjalankan pengurusan …" namun pada halaman 613 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 153D ayat (2) diubah menjadi berbunyi "Direksi berwenang menjalankan pengurusan...", artinya mengganti kata "Direktur" menjadi kata "Direksi" 4. Pada halaman 391 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah Pasal 153G ayat (2) huruf b UU 40/2007 semula berbunyi "jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir", namun pada halaman 614 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) Pasal 153G ayat (2) huruf b menjadi "jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah berakhir”. Sehingga menghilangkan frasa "anggaran dasar" menjadi "pernyataan pendirian". 5. Pada halaman 390 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah pasal 153 UU 40/2007 semuila "Ketentuan mengenai biaya Perseorangansebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penerimaan negara bukan pajak", namun UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 153 diubah menjadi "Ketentuan mengenai biaya Perseroan sebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak", artinya mengubah kata "Perseorangan" menjadi "Perseroan" 6. Pada halaman 374 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) mengubah pasal 100 UU No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, semula berbunyi "Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 bertujuan untuk …” dan pasal 101 berbunyi "Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 meliputi …". Namun pada halaman 586-587 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) rujukan Pasal 100 diubah menjadi "Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 bertujuan untuk …”. Selanjutnya, rujukan ketentuan Pasal 101 diubah menjadi berbunyi "Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 meliputi …". 7. Pada halaman 424 RUU Cipkater (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, terdapat angka 3 yang berbunyi "Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab yaitu Bab VIIA. Namun terdapat ketidaksinkronan antara angka 3 dengan judul Bab yang selanjutnya pada halaman 669 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan). 8. Pada halaman 492-494 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) mengubah UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah terdapat angka 1 mengenai perubahan terhadap ketentuan umum Pasal 1 angka 11 dan angka 19 UU 8/2019 yang selanjutnya ditulis lengkap Pasal 1 Ketentuan Umum perubahan UU 8/2019 menjadi sebanyak angka 1-20. Namun, dalam UU 8/2019 yang asli terdapat ketentuan umum mulai dari angka 1-28 sehingga adanya perubahan tersebut menghilangkan kepastian hukum atas keberlakuan Pasal 1 Ketentuan Umum mulai angka 21-28. Sementara salah pengutipan dalam rujukan pasal terjadi pada pasal6 UU 11/2020 yang menyatakan "Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:...”. Sementara, materi muatan Pasal 5 menyatakan "Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait". Terlepas dari konstitusionalitas, menurut hakim MK, norma ketentuan UU 11/2020 yang seharusnya dijadikan rujukan terdapat dalam Pasal 4 huruf a yang menyatakan "Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup UU ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi: a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;...". "Dengan demikian, hal ini membuktikan telah ada kesalahan pengutipan dalam merujuk pasal sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan asas 'kejelasan rumusan' yang menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya," ungkap hakim MK. Ketiga, terkait dengan asas "keterbukaan", dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. "Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang a quo sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020. Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat," kata hakim konsitusi. Maka MK berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Namun ada empat hakim konsitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Pendapat berbeda pertama diajukan dua hakim yaitu Arief Hidayat dan Anwar Usman yang menyatakan tidak ada alasan untuk menolak penerapan metode "omnibus law" meskipun belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut Arief Hidayat dan Anwar Usman, penggunaan pembentukan undang-undang melalui metode 'omnibus law' boleh dilakukan tanpa memasukannya terlebih dahulu ke dalam ketentuan UU No 12 tahun 2011 tentang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. "Namun dalam pembangunan hukum nasional, terutama dalam hal pembentukan undang-undang di masa berikutnya dan demi memenuhi asas kepastian hukum, maka diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesegera mungkin guna mengakomodir metode 'omnibus law' dalam pembentukan undang-undang ke depan," kata hakim konsitusi. Baik Arief Hidayat maupun Anwar Usman sependapat bahwa materi muatan dalam UU Ciptaker ada yang perlu dikabulkan, terutama ihwal hukum ketenagakerjaan. "Sebab, hal ini berkaitan erat dengan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fullfil) hak konstitusional buruh, yakni terkait dengan upah, pesangon, outsourcing, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)," tambah hakim konstitusi. Pendapat berbeda kedua diajukan oleh hakim konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya berpendapat bahwa sepanjang sejarah berdirinya MK belum terdapat adanya penilaian yuridis terkait metode apa yang baku dan bersesuaian dengan UUD 1945. "Artinya, metode lain dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk metode omnibus, dimungkinkan pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional manakala dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi beberapa materi muatan sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan dalam mengatasi kebuntuan berhukum," kata hakim konsitusi. Baik Manahan Sitompul maupun Daniel Yusmic mengatakan proses pembentukan UU Cipta Kerja telah dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik sesuai dengan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 96 UU No 12 tahun 2011 "Mahkamah menyatakan UU a quo adalah konstitusional karena UU No 12 tahun 2011 sama sekali tidak mengatur metode 'omnibus', walaupun dalam praktik pembentukan undang-undang sudah digunakan dan di sisi yang lain Mahkamah seharusnya tidak menutup mata adanya obesitas regulasi di mana di antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang-tindih sehingga menciptakan ego sektoral yang berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya," ungkap hakim konsitusi. Respons putusan Terhadap putusan MK tersebut, pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah menghormati dan mematuhi putusan dari MK serta akan melaksanakan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan putusan MK yang dimaksud. Airlangga juga menilai putusan tersebut memerintahkan agar pemerintah tidak menerbitkan peraturan baru yang bersifat strategis sampai dilakukan perbaikan atas pembentukkan UU cipta kerja. Menurut Airlangga, dengan demikian peraturan perundangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku. Selanjutnya pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan MK tersebut. Melalui penyiapan perbaikan undang-undang dan melaksanakan sebaik-baiknya arahan MK lainnya sebagaimana dimaksud dalam putusan MK tersebut. (sws, ant)

Jaksa Yang Profesional Tidak Akan Menunda Sidang

Jakarta, FNN - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan tidak ada alasan bagi jaksa untuk menunda agenda sidang pembacaan tuntutan apabila jaksa tersebut bekerja profesional. Menurut Burhanuddin, sejatinya tidak ada alasan penundaan sidang selain karena hal teknis, seperti tidak hadirnya saksi atau ahli mengikuti persidangan. "Untuk itu saya tidak mau lagi mendengar ada penundaan sidang pembacaan tuntutan, terlebih dengan alasan rentut (rencana tuntutan, red.) belum turun dari pimpinan," kata Burhanuddin dalam keterangan tertulis Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang diterima di Jakarta, Ahad, 28 November 2021. Burhanuddin memberikan pengarahan dalam kunjungan kerja di Sumatera Selatan menegaskan bahwa integritas dan profesionalisme harus sudah menjadi standar minimum yang dimiliki setiap insan Adhyaksa. "Saya ingatkan kepada kepala satuan kerja untuk mencermati hal ini, karena penundaan dapat mengindikasikan adanya potensi perbuatan tercela dan saya tidak segan untuk mengevaluasi jika masih ada jaksa yang menunda sidang pembacaan tuntutan tanpa ada alasan yang sah," kata Burhanuddin, sebagaimana dikutip dari Antara. Terkait integritas dan profesionalisme seorang jaksa, Burhanuddin pernah menyampaikan bahwa dirinya tidak membutuhkan jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral, dan tidak butuh jaksa yang cerdas tetapi tidak berintegritas. "Yang saya butuhkan para jaksa yang pintar dan berintegritas," ujarnya. Integritas seorang jaksa, kata Burhanuddin, adalah segala tindakan yang menggambarkan kejujuran dan kewibawaan seseorang dalam menjalankan tugasnya. Integritas sendiri dapat dilihat dari mutu, sifat, dan keadaan seseorang sehingga seseorang yang memiliki integritas bisa diberi kepercayaan karena selalu bertindak transparan, konsisten, bertanggung jawab, dan objektif. Burhuddin menekankan kepada seluruh insan Adhyaksa bahwa integritas bukan hanya sebuah "tagline" semata, integritas harus dilaksanakan baik melalui ucapan, tingkah laku, tindakan nyata, dan tingkatkan pengawasan melekat secara intensif oleh pimpinan kejaksaan kepada setiap anggota. Menurut dia, apabila ada anggota kejaksaan yang melakukan perbuatan tercela, maka yang akan dievaluasi hingga dua tingkat ke atas, dalam arti pimpinan jaksa tersebut ikut dievaluasi. Hal ini tertuang dalam Surat Jaksa Agung Nomor: R-95/A/SUJA/09/2021 tentang Peneguhan Komitmen Integritas, ujar Jaksa Agung. Jaksa Agung mengingatkan sudah banyak pegawai yang ditindak dan dipidanakan karena menggadaikan integritas dan martabat institusi. Penindakan itu tentunya terkandung maksud untuk memberikan efek jera bagi semua. "Karena saya tidak ingin jika sikap dan perilaku saudara mencoreng doktrin Tri Krama Adhyaksa," kata Burhanuddin. Burhanuddin menekankan seorang jaksa tidak hanya berintegritas dan profesional, tapi harus memiliki hati nurani untuk mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. (MD).

Kecerobohan UU Omnibus Law Memakan Banyak Korban

Jakarta, FNN – Pemaksaan pemberlakuan UU Omnibus Law telah menghasilkan dampak negatif yang sangat serius. Apalagi setelah diteliti oleh Mahkamah Konstitusi (MK), UU tersebut ternyata inkonstitusional. Ini tertuang dalam putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 dalam perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menyikapi putusan MK, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menghimbau agar semua pihak patuh dan taat kepada putusan MK tersebut, di mana MK secara konstitusional adalah lembaga yang merupakan benteng terakhir penjaga konstitusi negara Indonesia (Code of Conduct kepada MK). Rilis Presidium KAMI yang ditandatangani oleh Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo, Prof. DR. Rochmat Wahab, dan Prof. DR. M. Din Syamsuddin menyatakan bahwa pemberlakuan UU Omnibus Law merupakan kecerobohan pemerintah yang nyata. “Ini merupakan kecerobohan pemerintah dalam menegakkan hukum dengan menangkap dan menahan warga negara sehingga mengalami penderitaan lahir dan batin,” katanya kepada FNN.co.id (Sabtu, 27/11/2021) di Jakarta. KAMI menegaskan terkabulnya uji formil Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuktikan bahwa substansi gugatan yang merupakan protes, kritik, dan masukan dari masyarakat luas terhadap Undang-Undang tersebut adalah benar secara konstitusional. Dengan demikian sikap pemerintah yang tidak aspiratif sejak sebelum Omnibus Law menjadi Undang-Undang dapat dinilai sebagai suatu kesalahan. KAMI menyarankan, untuk menyelamatkan konstitusi, sudah seharusnya masyarakat ikut berpatisipasi, seperti yang dilakukan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja. Tanpa ada kritik dan masukan dari masyarakat, maka sama saja dengan kita membiarkan UU yang melanggar konstitusi dan nilai-nilai demokrasi terus dipergunakan. Partisipasi masyakat ini harus dipandang sebagai fungsi check and balance yang masih berjalan, bukan sebagai ancaman bagi kekuasaan pemerintah. Berbagai aksi protes terhadap UU Cipta Kerja di berbagai daerah hingga menimbulkan kerusakan fasilitas umum, korban jiwa dan penangkapan-penangkapan juga harus dilihat sebagai konsekuensi dari sikap keras pemerintah yang memaksakan UU Cipta Kerja segera diberlakukan meskipun negara masih dalam kondisi krisis dan rakyat sangat menderita akibat pandemi Covid-19. Pemerintah seharusnya beritikad baik untuk segera menghentikan proses peradilan, dan memvonis bebas Aktivis KAMI seperti Jumhur Hidayat dan Anton Permana, serta merehabilitasi nama dan kehormatan aktifis KAMI Syahganda Nainggolan yang telah divonis dan dipenjarakan secara semena-mena. Selayaknya pemerintah juga merehabilitasi nama dan kehormatan para korban lainnya yang meninggal dunia akibat kekerasan aparat saat berlangsungnya aksi massa memprotes UU Cipta Kerja, atau yang telah ditangkap, diadili dan dipenjarakan oleh negara karena dianggap sebagai penghalang berlakunya UU Cipta Kerja, demi tegaknya kembali kewibawaan pemerintah di dalam sistem negara hukum. (sws)

Sleman Sosialisasi Cukai Rokok Melalui Olahraga dan Budaya

Sleman, FNN - Pemerintah Kabupaten Sleman bersama dengan Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta mengadakan sosialisasi berbagai informasi tentang cukai rokok melalui kegiatan olahraga dan budaya di halaman Kantor Kelurahan Purwomartani, Kapanewon (Kecamatan) Kalasan, Sabtu. Dalam kesempatan tersebut sosialisasi disampaikan kepada komunitas senam, komunitas sepeda ontel, serta komunitas jemparingan (panahan tradisional). Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa mengatakan bahwa kegiatan sosialisasi cukai tembakau ini merupakan salah satu program yang menggunakan dana dari pengembalian cukai tembakau Kabupaten Sleman pada tahun 2021. Pada tahun ini, kata Danang, Sleman mendapatkan pengembalian cukai tembakau dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp1,6 miliar yang juga akan dimanfaatkan untuk sosialisasi dalam berbagai program. "Selain dana bagi hasil cukai hasil tembakau itu untuk kesehatan, kami pergunakan juga untuk kegiatan kemasyarakat seperti saat ini dan juga dalam bentuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat tidak mampu. terutama buruh pabrik dan petani tembakau di daerah ini," katanya. Ia menjelaskan tujuan sosialisasi tersebut untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap cukai tembakau ilegal sehingga turut serta membantu mengoptimalkan penerimaan negara di sektor cukai tembakau. "Harapannya dana bagi hasil ini bisa dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk program-program kemasyarakatan sehingga dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat Sleman," katanya. Selain itu, lanjut dia, yang paling penting masyarakat akhirnya sadar dan ikut menyosialisasikan tentang cukai rokok ini. "Ternyata kemasan sosialisasi seperti ini banyak dijadikan percontohan oleh daerah lain di luar Kabupaten Sleman. Sebelumnya kami sempat mengadakan sosialisasi lewat pertunjukan ketoprak. Banyak daerah lain melihat bahwa kemasan seperti ini sangat bagus dan menarik untuk ditiru dan diterapkan," katanya. Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta yang diwakili Andrias Wunika Susi Lestyarini mengatakan bahwa kegiatan sosialisasi tersebut merupakan salah satu upaya memberikan pemahaman kepada komunitas masyarakat atau masyarakat secara luas terkait dengan cukai legal yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. "Sosialisasi agar memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa tembakau yang kemudian menghasilkan dan memberikan pendapatan bagi daerah, dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui kegiatan positif olahraga, seni, kebudayaan, dan lainnya," katanya. Ia menegaskan bahwa memperjualbelikan rokok ilegal merupakan tindakan melanggar hukum. Dengan membeli rokok yang legal, dapat berkontribusi terhadap dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang nantinya akan disalurkan kembali untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan sosialisasi ditutup dengan pelepasan keberangkatan komunitas sepeda ontel yang dilepas langsung oleh Danang Maharsa, kemudian olahraga senam yang diikuti oleh Ketua TP PKK Kabupaten Sleman Ny. Sri Hapsari Suprobo Dewi, dan diakhiri dengan kegiatan jemparingan bersama. (sws)

Ditjenpas Optimalkan Pemberian Remisi Atasi "Over" Kapasitas di Lapas

Jakarta, FNN - Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjenpas Kemenkumham), Thurman Saud Marojahan Hutapea mengatakan pihaknya mengoptimalkan pemberian remisi untuk mengatasi kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan. “Ditjenpas melakukan optimalisasi pemberian remisi, ada remisi umum, remisi khusus, remisi lansia, remisi sakit permanen, remisi anak, dan remisi dasawarsa bagi pidana umum,” ujar Thurman Saud Marojahan Hutapea. Hal tersebut dipaparkannya dalam webinar nasional bertajuk “Keadilan Bercita Hukum Pancasila dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan dan Pemasyarakatan di Indonesia” yang disiarkan langsung di kanal YouTube Official Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dipantau dari Jakarta, Sabtu. Melalui optimalisasi pemberian remisi itu, lanjut Thurman, hak-hak warga binaan diharapkan pula menjadi tidak terabaikan sepanjang mereka memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam regulasi untuk mendapatkan remisi. Di samping langkah tersebut, menurut Thurman, Ditjenpas juga melakukan upaya-upaya lain untuk mengatasi persoalan “over” atau kelebihan kapasitas di lapas. Upaya selanjutnya adalah mengoptimalkan pemberian pembebasan bersyarat (PB), cuti bersyarat (CB), cuti menjelang bebas (CMB), dan asimilasi rumah, yaitu pembinaan narapidana dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat di lingkungan rumah. Di samping itu, tambah Thurman, Ditjenpas juga menggencarkan koordinasi dengan pihak penegak hukum untuk menerapkan keadilan restoratif, yakni penyelesaian perkara yang adil dengan menekankan pada pemulihan seperti keadaan semula. Lalu, ada pula langkah pembangunan lapas baru dan penambahan kapasitas hunian yang disesuaikan dengan anggaran dari pemerintah. “Kita juga sudah melakukan redistribusi narapidana dari lapas yang over kapasitasnya luar biasa ke lapas yang dimungkinkan masih bisa menampung mereka,” tambah Thurman. Sebelumnya, diketahui lapas di Indonesia mengalami persoalan kelebihan kapasitas penghuni. Berdasarkan data dari Ditjenpas Kemenkumham per Maret 2021, tercatat total penghuni lapas mencapai 255.435 orang, sedangkan kapasitasnya hanya mampu menampung sebanyak 135.647 orang. Dari data itu, artinya, lapas di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas sebanyak 88 persen dari kapasitas yang ada. Oleh karena itu, Ditjenpas semakin gencar melakukan upaya untuk mengatasi kelebihan kapasitas di lapas Indonesia. (sws)