POLITIK

Marketing Politik Haji Anies dan Haji Ganjar Menyejukkan

Jakarta, FNN - Beredar foto viral pertemuan dua bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo tampil bersama menggunakan pakaian ihram di sela rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Mekah, Arab Saudi, kemarin. Pertemuan itu memang tidak membahas masalah politik. Namun pertemuan dua bakal capres itu menjadi marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air. “Memang sama sekali tidak membahas masalah politik. Tapi pertemuan dua tokoh di Tanah Suci Mekah itu dalam perspektif komunikasi politik merupakan marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air,” kata analis komunikasi politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (28/6).   Menyejukkan, kata Selamat Ginting, karena pertemuan itu dapat menurunkan tensi politik sekaligus meniadakan fragmentsi politik yang berpotensi menimbulkan gesekan di antara para pendukung fanatik para kandidat bakal capres tersebut. “Marketing politik terhadap dua tokoh itu bertujuan mengemas pencitraan dalam kontestasi pemilihan presiden kepada masyarakat luas yang akan memilihnya. Tujuan marketing dalam politik sangat membantu partai politik atau koalisi politik dalam mengenalkan tokohnya kepada masyarakat,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu. Ummat Islam Menurut Ginting, sasaran marketing politik dalam foto kedua tokoh yang viral itu, tidak lain adalah ummat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Ini menyejukkan sekaligus untuk menetralisasi agar tidak terjadi polarisasi yang dapat menimbulkan perpecahan menjadi sel-sel politik yang tidak sehat.  “Polarisasi yang tercipta selama ini, Si A dipersepsikan lebih nasionalis. Sedangkan Si B lebih religius. Bahkan ada dikotomi Islamis dan Nasionalis. Seolah-olah jika Islam maka tidak nasionalis. Sedangkan jika nasionalis, kurang ke-Islam-annya,” ujar Ginting. Isu politik yang ingin dikemas dalam marketing politik tersebut, lanjut Ginting, mereka dipersepsikan sebagai tokoh yang cukup religius, karena sedang menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni menunaikan ibadah haji. Sehingga bagi tim suksesnya peristiwa di Tanah Suci memiliki segmentasi, target, serta posisi dalam marketing politik.  Dalam teori mareting politik, kata Ginting, segmentasi yang disasar dalam foto yang viral itu, tentu saja pemilih pemeluk Islam. Segmentasi sangat diperlukan untuk menyusun program kerja tim pemenangan kandidat, terutama cara komunikasi politik dan membangun interaksi politik dengan masyarakat. “Tanpa segmentasi, partai politik akan kesulitan dalam penyusunan pesan politik, program kerja politik, kampanye politik, sosialisasi politik, dan produk politik,” ujar Ginting yang 30 tahun menjadi wartawan bidang politik. Ginting mengemukakan, targeting politik memiliki standar jumlah dan besaran pemilih, wilayah, penduduk atau populasi yang dapat menjadi penyumbang suara terbanyak pada pemilihan umum. Sehingga target politik memerlukan bantuan tokoh penting yang dapat membentuk opini publik. “Jadi dalam marketing politik, memerlukan aktor politik yang dapat menjadi opinion leader dalam membentuk opini publik,” kata analis yang mengenyam pendidikan sarjana politik, magister komunikasi politik, dan doktoral ilmu politik.  Sedangkan positioning politik dalam marketing politik, kata Ginting, dapat membentuk image (citra) yang ditanamkan kepada pemilih, bahwa kandidatnya mudah diingat para pemilih. Sehingga membentuk citra politik memerlukan waktu yang tidak sebentar.  “Image politiknya, Haji Anies atau Haji Ganjar layak dipilih sebagai presiden, karena dekat dengan kalangan Islam. Hal ini harus terus dibangun dalam jangka panjang.  Sebab kesan positif itu membutuhkan konsistensi dalam jangka waktu yang lama,” pungkas Ginting. (sws)

Pembatasan Kepemimpinan Ketua Umum Partai Politik

Oleh Sutrisno Pangaribuan -Presidium Kongres Rakyat Nasional BELUM lama berselang, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) membacakan putusan atas permohonan pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait sistem Pemilu yang semula terbuka, dimohonkan diubah menjadi tertutup. Dalam putusannya MKRI menolak seluruh permohonan para pemohon, sehingga Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Putusan tersebut sesuai harapan dan keinginan delapan (8) Fraksi DPR RI utusan 8 partai politik (Parpol) yang sempat menyampaikan ancaman evaluasi anggaran dan revisi UU tentang kewenangan, jika MKRI menerima permohonan penggugat.  Membatasi Masa Kepemimpinan Parpol  MKRI kembali menerima gugatan judicial review (JR) dari warga negara terkait kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia. Kali ini, para pemohon mengajukan  permohonan pengujian UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik. Permohonan diajukan oleh dua orang warga negara bernama Eliadi Hulu warga Nias, Sumatera Utara dan Saiful Salim warga asal Mantrijeron, Yogyakarta. Gugatan itu diterima MKRI pada Rabu (21/6/2023), dan didaftarkan kuasa hukum Leonardo Siahaan.  Para pemohon menyebut akar masalah  dalam beleid gugatannya adalah karena UU tersebut tidak mewajibkan AD dan ART Parpol mengatur batasan masa jabatan pimpinan Parpol. Akibatnya  berimplikasi pada kekuasaan yang terpusat pada orang tertentu dan terciptanya dinasti dalam tubuh parpol. Rancang bangun UU Parpol menjadikan Parpol sebagai organisasi superior tanpa adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak internal partai, terutama publik. Dalam permohonannya, Eliadi dan Saiful menggugat agar Pasal 23 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang semula berbunyi: \"Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART.\" Agar diubah menjadi: \"Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.\" Pro dan Kontra Masa Kepemimpinan Parpol  Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ikut buka suara soal gugatan terhadap aturan masa jabatan ketua umum partai dibatasi maksimal dua periode. Prabowo menilai hal itu merupakan ranah partai politik. Dia berkata batasan masa jabatan ketua umum partai diatur di internal partai politik. Ketua Badan Pembina Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi (BPOPKK) DPP Partai Demokrat Herman Khaeron juga merespons gugatan pembatasan masa jabatan ketua umum. Herman menyebut persoalan itu merupakan urusan internal partai dan tak bisa diatur oleh negara. Ketua DPP PPP Achmad Baidowi berharap Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan gugatan UU Partai Politik terkait masa jabatan ketua umum partai. Sebab, tidak seharusnya MKRI mengurus aturan main di internal Parpol. Parpol diberikan kemandirian untuk mengatur dirinya dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira juga tidak sependapat dengan gugatan tersebut. Menurut Andreas, kalaupun masa jabatan ketua umum harus diatur, maka cukup di AD dan ART Parpol.  Andreas menyatakan jika seluruh pasal dalam semua UU bisa digugat ke MKRI, maka sistem perundang-undangan Indonesia bisa celaka. Jika gugatan dikabulkan, Andreas mengatakan agar kewenangan membuat UU diserahkan kepada MKRI.  Sementara Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menganggap masa jabatan Ketum Parpol digugat hal yang wajar. Dia menilai masyarakat ingin ada sirkulasi kepemimpinan dalam organisasi Parpol. Dan sirkulasi kepemimpinan adalah hal yang sehat. Adagium power tend to corrupt, bahwa kekuasaan (jika terlalu lama) cenderung menyimpang punya pembenaran dalam sejarah.  Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui Juru Bicara DPP PSI Dedek Prayudi, menyatakan setuju ada pembatasan masa jabatan ketua umum Parpol. Parpol adalah \'rahim\' kehidupan politik dalam sistem demokrasi. Jabatan presiden, gubernur, dan walikota yang lahir dari rahim partai politik saja dibatasi, maka wajar jika ketua umum Parpol juga dibatasi. Parpol Milik Publik, Bukan Milik Pribadi Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Maka sejatinya Parpol adalah lembaga milik publik yang inklusif dan memenuhi kaidah dan ketentuan hukum sesuai karakter negara demokrasi Pancasila. Sehingga kebutuhan dan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara harus menjadi yang pertama dan utama diperjuangkan oleh Parpol. Eksklusivitas orang, keluarga atau kelompok tertentu dalam Parpol bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.  Penggunaan istilah adanya \"hak prerogatif\" dalam Parpol juga bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mensyaratkan representasi suara terbanyak. Maka seluruh keputusan Parpol harus melewati proses pengambilan keputusan secara berjenjang dan partisipatif. Pengambilan keputusan yang tanpa partisipasi orang banyak dalam Parpol pun tidak dibenarkan, sebab pasti subjektif dan kental nuansa \"like or dislike\" Segala Bentuk Kekuasaan Dibatasi  Penolakan pembatasan masa kepemimpinan dalam Parpol dengan alasan karena Parpol membiayai dirinya sendiri tidak benar. Negara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik wajib memberi bantuan keuangan kepada Parpol secara bertingkat dan berjenjang. Sehingga dalam APBN/ APBD Provinsi/ Kabupaten/ Kota wajib dialokasikan bantuan keuangan Parpol.  Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia mendukung sepenuhnya gugatan dari pemohon tentang pembatasan masa kepemimpinan (Ketum) Parpol. Alokasi anggaran untuk bantuan keuangan Parpol sebagai bukti bahwa negara terlibat dalam pengelolaan Parpol. Maka Parpol memiliki kewajiban mematuhi hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pembatasan masa kepemimpinan dalam Parpol, menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Praktik demokrasi harus dimulai di dalam Parpol sendiri, baru diperjuangkan dan diwujudkan dalam tata kelola pemerintahan. Fakta sejarah Indonesia menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi berakhir tragis, dipaksa tumbang oleh \"people power\". Maka segala bentuk kekuasaan absolut, termasuk dalam Parpol harus diakhiri. Jika Parpol tidak bersedia melakukan perubahan dalam masa kepemimpinan, maka bantuan keuangan yang bersumber dari keuangan negara baik APBN maupun APBD harus dihentikan.  Kornas meminta kepada MKRI agar mengabulkan permohonan JR Eliadi dan Saiful sehingga kekuasaan eksklusif, absolut dalam Parpol berakhir. Sebagai pilar demokrasi, maka wujud praktik demokrasi paling nyata adalah pembatasan kekuasaan. (*)

Anis Matta: Partai Gelora Tetapkan Empat Kriteria Capres yang akan Didukung

JAKARTA, FNN  -  Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia akan segera mengumumkan secara terbuka calon presiden (capres) yang akan didukung di dalam Pemilihan Presiden 2024 mendatang.  Partai Gelora telah membuat empat kriteria yang menjadi panduan bagi umat untuk menentukan pilihan seorang pemimpin dalam Pilpres 2024. Dimana dalam memilih pemimpin itu, pada dasarnya tidak memilih yang sempurna, tetapi memilih orang yang tepat.  \"Kita pasti akan menetapkan capres kita. Insya Allah dalam waktu tidak terlalu lama, Partai Gelora akan menetapkan capres, dan siapa calon presiden, kita telah membuat empat kriteria cukup sederhana dalam menentukan seorang pemimpin.\" kata Anis Matta dalam keterangannya, Selasa (27/6/2023). Hal itu disampaikan Anis Matta dalam Anis Matta Menjawab Episode #2 yang ditayangkan di YouTube Gelora TV setiap hari Senin sore pukul 16.30 WIB. Program Anis Matta Menjawab ini khusus dibuat untuk menjawab pertanyaan dari para netizen. Pada edisi perdana#1 lalu, Anis Matta Menjawab pertanyaan tentang \'Indonesia Emas dan Revolusi Pendidikan\'. Dalam menetapkan seorang capres , menurut Anis Matta, harus dijawab dan dijelaskan secara komprehensif dalam empat perspektif. Yakni perspektif agama, perpektif kepentingan nasional, perspektif geopolitik dan perspektif ancaman disintegrasi bangsa. \"Dalam perspektif agama, kita selalu menemukan masyarakat yang selalu menggunakan alasan agama dalam menentukan calon presiden\" katanya. Seorang pemimpin itu, pada dasarnya adalah seseorang yang kuat dan amanah, yang akan mengurus segala urusan orang, sehingga dia menerima gaji. \"Kalau di Islam, dipanggil Khalifah Amirul Mukminin. Dia mengurus segala urusan umat, tidak hanya urusan politik, tetapi urusan seluruh rakyat. Sehingga butuh kejujuran, integrasi, tidak ragu-ragu dan amanah. Urusannya sangat kompleks, semua urusan negara diurus,\" ujarnya. Sehingga untuk mengurus semua ini dibutuhkan pemimpin yang sabar,  berkarakter mampu mengurus rakyat, dan memiliki kelapangan dada, serta memiliki pengetahuan untuk mengambil kebijakan yang tepat. \"Tetapi kalau kita bicara manusia sempurna yang dibutuhkan, tentu akan banyak perdebatan. Namun di dalam literatur, cukup hanya dua syarat saja yang bisa dipenuhi,  tidak perlu keseluruhannya, yakni kuat dan amanah saja,\"  katanya. Di zaman Rasulullah SAW, kata Anis Matta, ada seorang sahabat yang meminta dikasih jabatan, namun Rasullah SAW menolak memberikan. Karena memilih pemimpin untuk jabatan publik itu, harus memilih orang kuat, karena kekuatannya berguna untuk menjaga amanahnya, sementara sahabat tersebut dilihat tidak begitu kuat. \"Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib itu memiliki karakter yang berbeda-beda, ada yang keras, dan lemah-lemah lembut. Tetapi semua karakternya kuat-kuat dan amanah,\" katanya. Artinya, memilih pemimpin itu dalam perspektif agama itu, orang tidak harus memilih yang sempurna pada dasarnya, tetapi memilih orang yang tepat.  \"Dan situasi sekarang juga berbeda di zaman Khulafaur Rasyidin. Yang tepat bisa jadi tidak sempurna, dan pada situasi sekarang, mencari kriteria sempurna itu, sudah susah ditemui sekarang,\" katanya. \"Jadi kalau dalam sejarah Islam itu nggak pernah ada yang kriterianya sesempurna pada masa Khulafaur Rasyidin. Kriteria ini tidak akan utuh sekarang, tidak bisa kita menggunakan dalil-dalil agama untuk menegaskan calon yang akan didukung, tapi siapa yang tepat untuk situasi sekarang,\" lanjutnya. Dalam perspektif nasional, itu pemimpin yang tepat diperlukan dalam situasi sekarang. Karena pemimpin sekarang itu, harus bisa mempertimbangkan situasi perspektif geopolitik global saat ini.  \"Pemimpin yang kita pilih sekarang harus bisa menghitung kepentingan geopolitik. Jangan pilih pemimpin yang akan menjadikan negara kita ini,  sebagai medan tempur negara lain. Ini penting saya tegaskan, karena kekuatan adidaya antara Amerika dan China ingin membawa konflik  ke kawasan Asia Pasifik,\" ujarnya. Jika perang terjadi di kawasan Asia Pasifik, maka yang paling terkena dampaknya adalah Indonesia. Karena Indonesia adalah menjadi daerah paling strategis untuk menjadi daerah konflik negara-negara lain.  \"Hari-hari sekarang, implikasi konflik kita sudah rasakan efeknya pada perekonomian. Karena konflik geopolitik mempengaruhi laju perputaran ekonomi dunia, inflasi luar biasa terjadi. Kalau situasi memburuk di tahun-tahun akan datang, maka akan membawa dampak serius bagi negara kita,\" katanya. Karena itu, kata Anis Matta, untuk mencari pemimpin di 2024  harus melihat dari sisi kepentingan nasional Indonesia, yakni mencegah terjadinya disintegrasi bangsa dan tidak menjadi medan tempur baru pasca perang Rusia-Ukraina.  \"Kita tidak ingin menakut-nakuti, tapi semua faktor yang membuat ancaman disintegrasi itu, apalagi kita memiliki populasi mencapai 200 juta dan dikenal sebagai negara kepulauan. Begitu tekanan ekonomi semakin berat, maka ancaman disintegrasi itu, akan semakin nyata,\" jelasnya.  Anis Matta menegaskan, ancaman terbesar dalam Pilpres 2024 mendatang adalah polarisasi politik yang mulai meningkat tajam, padahal kita sudah memiliki pengalaman di Pilpres 2019 lalu. \"Ancaman ini berbahaya bagi kita sekarang ini. Polarisasi politik di tengah situasi geopolitik global saat ini, bisa membuat ancaman disintegrasi bangsa. Indonesia bisa menjadi medan tempur negara-negara lain, kawasan Eropa, Afrika sudah, tinggal di kawasan Asia Pasifik. Jadi kita perlu kekuatan tengah yang kuat yang bisa menjadi faktor pemersatu,\" tegasnya. Dapat disimpulkan bahwa, Indonesia ke depan, lanjutnya, diperlukan capres yang kuat yang bisa mempersatukan semua kekuatan, bukan sebaliknya capres yang mempertahankan polarisasi dan membuat disintegrasi bangsa semakin nyata.  \"Jadi saya kira, saya telah menjelaskan kriteria ini cukup sederhana dalam empat perspektif ini. Seperti apa nanti capres Partai Gelora, Insyaallah tidak jauh-jauh dari referensi dan argumentasi kriteria tersebut. Siapa presidennya, ya kira-kira dari empat kriteria ini,\" pungkasnya. (*)

Sidang Johnny G. Plate: Bukan Hanya Gempa Bumi di Nasdem, tapi juga Partai-partai Penerima Aliran Dana

Jakarta, FNN - Hari ini, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) nonaktif, Johnny G. Plate dan dua terdakwa lain mulai menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (27/6/2023). Johnny merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastuktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tahun 2020-2022. Meskipun ini sidang perkara korupsi, tetapi nuansa politiknya sangat kental. Sementara itu, ada perkembangan berita terbaru yang juga menarik, yaitu soal PPATK yang saat ini sudah membekukan rekening perusahaan milik Puan Maharani, yang direktur eksekutifnya sudah menjadi tersangka. Selain itu, juga ada kehebohan baru di mana Sugiono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, mendapat dana miliaran, namun Sugiono sudah membantahnya. Tetapi, publik tetap sulit menepis anggapan bahwa ada trading influence dalam hal itu. Menanggapi keadaan tersebut, Rocky Gerung dalam Kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Selasa (27/6/23) mengatakan, “Kita coba lihat konstruksi dari peristiwa ini. Jelas itu di agenda pertama ini adalah agenda kekuasaan untuk membatalkan pencalonan Anies melalui kriminalisasi Johnny G. Plate. Tetapi, ada yang riil tentu, ada korupsi di dalamnya dan korupsi ini juga sudah kita dengar dari dua tiga tahun lalu.”   Pembuktian itu, lanjut Rocky, tentu pembuktian pidana. Tetapi, pikiran publik terbelah, apakah pembuktian pidana itu hanya akan menimbulkan gempa bumi di kalangan Nasdem, atau pembuktian itu nanti harus tuntas dengan melibatkan atau memeriksa mereka yang kena aliran 8 triliun itu. “Kan secara rasional nggak mungkin uang sebanyak itu beredar dalam satu dua orang. Pasti ada pembekalan-pembekalan, persiapan untuk menghalangi kasus itu dibuka. Dan satu persatu memang mulai diperlihatkan bahwa begitu banyak dana yang dikorupsi, begitu banyak dana juga yang dikumpulkan untuk menutupi kasus itu,” ujar Rocky. Menurut Rocky, kasus semacam ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia pasti melibatkan dimensi atau berlapis-lapis fasilitas kekuasaan. “Jadi, kita senang juga pada akhirnya ini bukan sekadar untuk membongkar skandal BTS ini melalui pentinggi Nasdem, tapi melibatkan paling  enggak dua partai yang disebut, yaitu Gerindra dan PDIP. Ini hal yang mungkin nggak diduga.  Bahkan Pak Jokowi juga mungkin tidak bisa memprediksi ke mana arah penyelesaian ini. Sementara publik menginginkan dibuka secara tuntas,” ungkap Rocky dalam diskusi bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu. Rocky juga mengatakan bahwa Prabowo tentu juga akan terganggu jika Sugiono sebagai Wakil Ketua Umum Gerindra klarifikasi dari awal. Demikian juga dengan suami Puan Maharani yang akhirnya dinyatakan bahwa rekeningnya dibekukan. “Dibekukan itu kan menunjukkan ada fraud di situ, ada kejahatan korporasi di situ, yang bisa terkait dengan pemeriksaan lebih awal, lebih jauh lagi tentang keterlibatan suami Puan,” kata Rocky. Pembekuan rekening perusahaan suami Puan Maharani, kata Rocky, artinya ada PDIP di situ. Suami Puan tidak mungkin mempunyai akses seperti yang diduga, kalau dia bukan suami Puan. Itu berarti bahwa di belakang itu ada PDIP. “Jadi, bagus kita buka saja ada tiga partai sekarang yang berkompetisi di dalam upaya untuk saling menyalahkan atau saling menyelamatkan muka. Tapi, di ujung semua pemberitaan ini, kita ingin supaya Pemilu tidak diganggu oleh tukar tambah politik atas kasus ini. Jangan sampai justru kasus ini jadi tukar tambah untuk mengatur hasil pemilu nanti,”ujar Rocky. Rocky juga mengatakan bahwa sebenarnya kasus ini sudah lama ada, tetapi baru dibuka setelah Nasdem mencalonkan Anies sebagai presiden. Kenapa tidak sibuka dari awal? “Karena kita tahu bahwa tidak mungkin uang sebanyak itu hanya ditelan sendiri oleh Johnny Plate. Pasti dia juga tabur-tabur di sana-sini. Atau hujannya pasti merata lah, bukan hujan lokal,”ujar Rocky. Dari pantauan Rocky  di banyak WA grup, terutama di kalangan aktivis, diketahui bahwa para aktivis ingin menjaga atau mengawal kasus ini supaya jangan dipetieskan. “Jadi ini kotak Pandora sudah dibuka dengan akibat yang macam-macam, karena nggak ada kekuasaan yang bisa mengendalikan lagi kalau isu ini masuk ke dalam wilayah publik di tahun politik,” ujar Rocky. Jadi, kata Rocky, keributan politik akan dimulai oleh kepastian pemeriksaan awal Johnny G. Plate dan ujungnya bisa kita pastikan bahwa hal ini akan dipakai oleh Pak Jokowi untuk memastikan bahwa seseorang yang disebut jangan dipilih memang tidak akan dilanjutkan pencalonannya. Tetapi, itu hanya ada dalam kepala Jokowi. Belum tentu publik mengiyakan skenario Jokowi untuk menghalangi seseorang. (ida)

Tiga Saksi Pelapor Al Zaytun Diundang ke Bareskrim

Jakarta, FNN - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri akan melakukan klarifikasi terhadap pelapor kasus dugaan pidana ujaran kebencian bermuatan SARA dan penistaan agama kepada pengasuh Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang.  Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) DivHumas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan mengatakan bahwa klarifikasi itu akan dilakukan terhadap 3 orang sebagai saksi dari pihak pelapor Ponpez Al Zaytun.  \"Ya (tiga orang saksi pelapor),\" ujar Ramadhan kepada awak media di Jakarta, Selasa.  Meski begitu, sambung dia, pemanggilan klarifikasi itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan proses penyelidikan kasus dugaan penistaan agama pengasuh Al Zaytun.  \"Kami undang untuk klarifikasi dalam rangka penyelidikan,\" tegasnya.  Sebelumnya pada Senin (27/6)n Kabareskrim Polri Komjen Pol. Agus Andrianto menyebut, pihaknya mendapatkan dukungan dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) dalam menangani kasus dugaan penistaan agama oleh pengasuh Pondok Pesantren Al Zaytun.  \"Nanti beliau (Menko Polhukam Mahfud MD)) akan membentuk tim untuk memperkuat tim yang ada di Bareskrim untuk memperkuat laporannya,\" kata Agus.Agus menyebut Menko Polhukam dan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo memberikan arahan langsung kepada dirinya dalam menangani kasus dugaan penistaan agam Al Zaytun tersebut.  Bareskrim Polri menerima satu laporan polisi dari masyarakat terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Panji Gumilang selaku pengasuh Ponpes Al Zaytun di Indramayu.  Dari penyelidikan itu, dia berharap apa yang menjadi keresahan masyarakat terkait adanya dugaan penistaan agama di ponpes tersebut bisa dibuktikan oleh pihaknya.  Menurut jenderal bintang tiga itu, secara sepintas ada dugaan tindak pidana penistaan agama di Ponpes Al Zaytun, namun hal itu harus dibuktikan terlebih dahulu dari penyidikan yang dilakukan.  Dalam penyelidikan ini, lanjut dia, pihaknya bakal memeriksa pelapor dan melengkapi-nya dengan keterangan saksi maupun saksi ahli.  Saksi ahli yang akan dimintai keterangan seperti dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan tokoh-tokoh agama lainnya.  Tidak hanya dari pelapor dan saksi ahli, penyidik juga bakal meminta keterangan dari pihak internal Ponpes Al Zaytun. Hal ini dalam rangka untuk menetapkan tersangka.  Bareskrim Polri menerima satu laporan polisi yang dilayangkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Forum Advokat Pembela Pancasila (DPP FAPP) terhadap Panji Gumilang, pada Jumat (23/6).Laporan dugaan penistaan agama terhadap pimpinan Ponpes Al Zaytun tercatat dengan laporan polisi nomor: LP/B/163/VI/2023/Bareskrim Polri tertanggal 23 Juni 2023.  Menurut Ihsan Tanjung dari Dewan Pimpinan Pusat Forum Advokat Pembela Pancasila (DPP FAPP), ada banyak hal kontroversi yang dilakukan Panji Gumilang di pesantren Al Zaytun yang mengarah pada penistaan agama, seperti Shalat Idul Fitri perempuan di saf sejajar laki-laki.  Selain itu, berdasarkan surat keputusan MUI terkait dengan beberapa ajaran yang diberikan oleh Panji Gumilang adalah sesaat.  Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada Sabtu (24/6), menggelar rapat terbatas dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan menyampaikan akan ada tiga langkah hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam penanganan polemik kegiatan Pondok Pesantren Al Zaytun.  Tiga langkah hukum itu, kata Mahfud adalah pidana, administratif serta tertib sosial dan keamanan.(ida/ANTARA)

Ketidakpastian Sistem Pemilu Menyebabkan Bakal Caleg DPR Belum Memenuhi Syarat

Jakarta, FNN - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyampaikan ketidakpastian sistem pemilu merupakan salah satu penyebab 89,7 persen bakal calon anggota DPR RI untuk Pemilu 2024 belum memenuhi syarat  dokumen.\"Iya, mereka menanti kepastian sistem pemilu yang sedang dalam proses uji materi,\" kata Anggota KPU RI Idham Holik saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.Idham menyampaikan saat pendaftaran bakal calon anggota DPR RI berlangsung pada 1-14 Mei lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memang sedang menggelar uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait sistem proporsional terbuka. Sehingga, lanjutnya, saat itu sistem pemilu memiliki potensi diubah menjadi proporsional tertutup.MK memutuskan Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka pada 15 Juli 2023 atau sebulan setelah penutupan pendaftaran bakal calon anggota DPR.Selain terkait sistem pemilu tersebut, Idham menambahkan sebanyak 9.260 orang atau 89,7 persen bakal calon anggota DPR belum memenuhi persyaratan dokumen pencalonan karena mereka dan partai politik pengusung terkendala waktu dalam menyiapkan berkas.KPU menetapkan peraturan terkait pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) beberapa hari sebelum libur dan cuti bersama Idul Fitri 1444 Hijriah, yakni pada 19-26 April 2023, dan pendaftaran bakal caleg dibuka pada 1-14 Mei 2023.Sebelumnya, Jumat (23/6), KPU telah selesai melakukan verifikasi administrasi terhadap dokumen persyaratan milik 10.323 bakal calon DPR RI yang diajukan 18 partai politik peserta Pemilu 2024.Hasilnya, terdapat 9.260 orang atau 89,7 persen bakal calon yang dokumen persyaratan pencalonannya belum memenuhi syarat serta 1.063 orang atau 10,29 persen bakal calon lainnya memenuhi syarat (MS).KPU menyerahkan data bakal calon DPR belum memenuhi syarat itu kepada masing-masing partai politik pada Sabtu (24/6). KPU lantas mempersilakan partai politik menyerahkan dokumen perbaikan mulai 26 Juni sampai 9 Juli 2023.(ida/ANTARA)

KPU-Bawaslu Diminta Mendefinisikan Sosialisasi di Luar Masa Kampanye

Jakarta, FNN - The Indonesian Institute (TII) mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendefinisikan secara jelas sosialisasi yang boleh dilakukan peserta Pemilu 2024 di luar masa kampanye.\"Berdasarkan kajian tengah tahun TII bertajuk Sosialisasi Peserta Pemilu dalam Kerangka Implementasi Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018 terkait Kampanye Pemilihan Umum Jelang Pemilu 2024, kami mendorong KPU dan Bawaslu membuat definisi yang jelas tentang sosialisasi di luar masa kampanye,\" kata Manajer Riset dan Program TII Arfianto Purbolaksono dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.Arfianto menyampaikan hal tersebut bernilai penting untuk dilakukan agar ada batasan jelas bagi para peserta Pemilu 2024 terkait hal-hal yang termasuk dalam pelanggaran saat mereka menyosialisasikan diri ke masyarakat.Hal itu didasarkan pada fakta di lapangan, seperti temuan usai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempertegas sistem proporsional terbuka tetap berlaku pada Pemilu 2024, yaitu banyaknya calon anggota legislatif (caleg) memasang sepanduk, baliho, atau poster di jalan raya.Hal tersebut, menurut dia, menunjukkan adanya ketidakjelasan definisi mengenai sosialisasi oleh peserta pemilu sekaligus lemahnya implementasi PKPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye. Dengan demikian, para caleg justru menjadikan sosialisasi sebagai ajang kampanye yang seharusnya belum dilakukan.Berikutnya, TII juga menemukan banyak caleg menyosialisasikan diri melalui media sosial, sehingga memicu persaingan ketat di internal partai politik yang membuka ruang bagi para bakal caleg berlomba memperkenalkan diri kepada pemilih.Terkait hal itu, TII juga mendorong KPU dan Bawaslu memberikan kejelasan terkait sosialisasi di media sosial.Selanjutnya, TII meminta KPU dan Bawaslu memperkuat sosialisasi kepada parpol peserta pemilu agar mereka tidak melanggar aturan tentang sosialisasi. Lalu, mereka juga mendorong Bawaslu melakukan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran.\"Sebagai organisasi pengawas, Bawaslu harus dapat menegakkan aturan dengan memberikan sanksi jika ada peserta pemilu yang melanggar batasan dalam sosialisasi di luar masa kampanye. Diharapkan sanksi yang dijatuhkan bersifat administratif sehingga dapat memberikan efek jera kepada peserta pemilu yang melanggar,\" ujar Arfianto.Terakhir, TII mendorong penguatan masyarakat sipil untuk mengawasi implementasi aturan sosialisasi di luar masa kampanye, yang salah satunya dapat dilakukan bersama Bawaslu dengan membuat pedoman bersama.(ida/ANTARA)

Petamaya Ungkap Isu Sistem Pemilu Terbuka Ternyata Penggiringan Opini Para Elite Parpol, bukan Rakyat

JAKARTA, FNN  - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) meliris program baru bernama Petamaya yang ditayangkan di kanal YouTube Gelora TV. Program tersebut memotret realita yang ada di dunia digital, kemudian dikonfrontasikan dengan dunia realita dan dibahas oleh narasumber kompeten. Pada pekan lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan Sistem Pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 adalah Proporsional Terbuka. Di media daring dan media sosial, perbincangan dan polemik telah berlangsung lama, berbulan-bulan ke belakang. Para politisi, petinggi partai politik, pemerintah dan legislatif memperdebatkannya. Ada yang pro dan kontra. Partai Gelora melalui Petamaya berusaha memetakan lanskap dunia maya untuk membaca semua itu, apakah data di dunia maya dengan pelaku para warganet itu relevan dengan suara dan opini masyarakat. \"Bekerjasama dengan lembaga riset digital CAKRADATA, kami menyajikan program menarik yang akan membuat kita memahami secara utuh perbincangan dan tema yang sedang hangat di dunia maya,\" kata Endy Kurniawan, Ketua Bidang Rekruitmen Anggota DPN Partai Gelora dalam keterangannya, Senin (26/6/2023). Menurut Endy yang bertindak sebagai host, dalam pembahasan topik seputar putusan MK ini, Petamaya mengamil tema \'Menyakapi Pemilu Terbuka Antara #Petamaya dan Realita Publik\'. Topik ini dibahas secara mendalam oleh Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah. \"Dalam tema perdana ini, kita mengangkap tema tentang Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 juni lalu yang hangat dibicarakan, karena terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2024,\" katanya.  Dalam temuan Petamaya, ungkap Endy, isu soal sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup ternyata hanya menjadi isu di kalangan elite nasional atau partai politik saja, termasuk para bakal calon anggota legislatif (bacaleg) yang akan bertarung di Pemilu 2024  \"Jadi triggernya soal ini sudah muncul pada awal Januari dengan munculnya pernyataan para ketua partai politik, dan makin kebelakang intens ada 8 partai politik mendukung Pemilu terbuka, serta pernyataan Denny Indrayana yang mengungkap ada kebocoran putusan MK\" katanya. Sebaliknya realita di lapangan, di kalangan bawah hal ini justru tidak menjadi pembicaraan publik masyarakat bawah secara serius, berbeda ketika ada pembicaraan soal pembatalan Piala Dunia U-20 beberapa lalu. \"Di mana kita mendengarkan langsung dari masyarakat apakah pengaruh terbuka dan tertutup ini terhadap akurasi politik mereka sebagai penyaluran aspirasi mereka dan masa depan mereka, kurang dapat perhatian. Tetapi prinsipnya mereka juga menginginkan Pemilu Terbuka,\" katanya. Head of Lembaga Riset digital CAKRADATA Muhammad Nurdiansyah mengatakan, riset dilakukan pada 14-19 Juni 2023 dengan melibatkan berbagai sumber di media darling, akun media sosial seperti Twitter, Facebook, Instragram dan YouTube, serta sumber-sumber di pemerintahan. \"Jadi topik ini, kita temukan ada penggiringan opini yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh politik sejak Januari 2023 hingga Juni menjelang putusan MK. Momen krusialnya adalah soal pernyataan  mantan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) akan ada chaos politik, serta tuduhan soal kebocoran yang disampaikan Denny Indrayana,\" kata Muhammad Nurdiansyah. Dadan, saapaan Muhammad Nurdiansyah mengatakan, pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua MK Anwar Usman sebelum putusan MK, juga menjadi running soritan, selain pernyataan Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta dan Wakil Ketua Umum Fahri Hamzah terkait putusan MK ini sebagai kemenangan demokrasi.  \"Uniknya Kanal-kanal YouTube juga menjadi sorotan seperti Kanal Official Rocky Gerung Jokowi kepada Megawati. Lalu, akun Official Refly Harun dikatakan MK Totak Gugatan Sistem Pemilu Tertutup, Denny Benar, MK Benar! Kok Bisa? karena dianggap unsur utama dalam  menekan putusan MK,\" katanya. Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan, Pemilu Terbuka akan mendorong partisipasi rakyat untuk membesarkan Indonesia.  \"Artinya untuk membesarkan Indonesia tidak saja tanggung jawab segelintir orang atau pemimpin saja, tapi tanggung jawab semua orang,\" kata Fahri Hamzah Sistem Terbuka, kata Fahri, juga mendorong lahirnya pemimpin yang transparan dan terbuka, sehingga Indonesia akan lebih maju lagi. Hal ini tentu saja menjadi harapan dari Partai Gelora sebagai partai yang mengusung perubahan dan menjadikan Indonesia Superpower baru. \"Pada akhirnya kita bersyukiur, bahwa MK mendukung esensi negara demokrasi. Demokrasi itu intinya ya terbuka, bisa dilihat secara transparan siapa pemimpinnya. Kalau tertutup kita tidak tahu siapa pemimpinnya, kita juga tidak tahu bagaimana karakter dan track recordnya,\" katanya. Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menambahkan, sepengetahuan dia tidak ada pembicaraan politik untuk kembali ke Sistem Tertutup. Permasalahan yang dibahas dalam Sistem Pemilu di DPR adalah menyangkut Pemilu Terbuka atau Pemilu Distrik. \"Karena perdepatan mengenai penggunaan model Pemilu Distrik ini, kalah dari Pemilu Terbuka, maka tetap gunakan Sistem Terbuka. Jadi tidak ada pembicaraan sama sekali soal Pemilu Tertutup. Opsinya hanya dua ketika itu, Proporsional Terbuka dan Sistem Distrik,\" katanya.  Dalam Sistem Pemilu Terbuka, Fahri menegaskan, negara sebagai Penyelenggara Pemilu akan membangun suatu Sistem Pemilu yang mengintegrasikan antara pemimpin atau yang mereka pilih dengan rakyat yang memilihnya. \"Sehingga akan mengembalikan hubungan yang luhur antara pemimpin dengan rakyatnya,\" pungkas Fahri Hamzah. (Ida)

Capres Tolak Mundur sebagai Pejabat Negara, Timbulkan Konflik Kepentingan

Jakarta, FNN - Analis politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting menilai jika pejabat negara akan maju dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), namun menolak mengundurkan diri, akan menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan negara. Sulit dibedakan posisi sebagai pejabat negara atau bakal calon presiden atau wakil presiden (capres/cawapres). “Menjadi bias, apakah Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan atau sebagai bakal capres? Apakah Ganjar Pranowo sebagai gubernur atau sebagai bakal capres? Jika sebagai Gubernur Jawa Tengah, mengapa banyak beraktivitas di Jakarta? Ini yang saya sebut sebagai konflik kepentingan,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas di Jakarta, Selasa (27/6). Selamat Ginting memberi contoh jelang pilpres 2014 Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan maju sebagai bakal cawapres, mengundurkan diri sebagai menteri kabinet. Saat itu Hatta Rajasa didampingi bakal capres Prabowo Subianto menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai menteri. “Apa yang dilakukan Hatta Rajasa pada 2014 lalu, mestinya sekarang diikuti Prabowo, Ganjar maupun para menteri yang akan mengikuti kontestasi pilpres. Apa yang dilakukan Presiden SBY mestinya juga ditiru Pesiden Jokowi. Tirulah yang bagus dan bukan berkelit mencari celah,” kata Ginting. Contoh baik lainnya, kata Ginting, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala daerah. Alasannya, Viktor akan maju sebagai anggota DPR periode 2024-2029 dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem).  “Pengunduran diri Viktor Laiskodat sebagai Gubernur NTT, karena persyaratan untuk maju sebagai caleg. Itu kan bagus dan bisa menjadi contoh baik. Mengapa tidak diikuti Ganjar,” ujar Ginting. Memang lanjut Ginting, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan menteri yang ingin maju sebagai capres atau cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya. Putusan ini berdasarkan permohonan dari Partai Garuda yang menguji Pasal 170 ayat (1) Undang Undang tentang Pemilu.  “Keputusan MK yang ambigu, karena tidak sepenuhnya dikabulkan. Apalagi uji materi itu diajukan partai di luar parlemen dan partai itu tidak memiliki menteri. Dalam keputusan itu tetap dengan catatan harus mendapatkan izin dari Presiden. Masalahnya justru di sini, jika presiden bersikap tidak netral, atau cawe-cawe karena memiliki kandidat untuk pilpres, bagaimana?” ungkap Ginting. Conflict of interest Ginting mengemukakan, conflict of interest atau konflik kepentingan akan mencemari keputusan seseorang yang memiliki wewenang sebagai pejabat negara. Patut diduga pejabat tersebut mempunyai kepentingan pribadi dalam kewenangannya, sehingga akan mempengaruhi kualitas kinerja, termasuk dalam pelayanan kepada masyarakat. “Kepentingan pribadinya tidak akan bisa dihindari. Termasuk menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik praktisnya dalam meraih kekuasaan. Cara meraih kekuasaan seperti ini tidak elok dari segi etika politik,” ujar kandidat doktor ilmu politik itu. Menurutnya, dalam Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan konflik kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan keputusan dilatari kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi, seperti ingin menjadi presiden atau wakil presiden, masuk dalam kategori konflik kepentingan. “Conflict of interest itu akan berujung pada gratifikasi atau suap untuk meraih kekuasaan. Maka kelemahan sistem jika pejabat negara menolak mundur saat maju dalam kontestasi pilpres, harus diperbaiki,” kata Ginting yang 30 tahun menjadi wartawan bidang politik.  Mana mungkin, lanjut Ginting, pejabat negara yang juga berperan sebagai bakal capres maupun cawapres bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen, dan akuntabel. Jelas kental sekali niat politiknya untuk meraih kekuasaan daripada menuntaskan pekerjaan utamanya sebagai pejabat negara dan pelayan masyarakat. “Penyalahgunaan wewenang yang tidak sesuai dengan tujuan pekerjaannya akan melampaui batas kewenangan dalam mengutamakan kepentingan publik, karena lebih kental kepentingan politik peibadi dan golongannya” tegas Ginting. Pejabat negara itu, lanjut Ginting, setidaknya harus mengutamakan empat hal. Pertama, bekerja untuk kepentingan publik dan bukan bekerja memikirkan keuntungan pribadi dari jabatannya. Kedua, menciptakan keterbukaan dalam penanganan dan pengawasan, sehingga memiliki integritas tinggi. Ketiga, bertanggungjawab dan menjadi contoh teladan. Keempat, mampu menciptakan budaya kerja yang menolak konflik kepentingan.  “Jika empat hal itu tidak sanggup dilaksanakan, sebaiknya tidak usah berpikir untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, seperti presiden atau wakil presiden,” pungkas Ginting. (sws)

Koalisi Sipil Mendorong Peserta Pemilu Menghadirkan Kampanye Edukatif

Jakarta, FNN - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kampanye Pemilu yang Informatif dan Edukatif mendorong para peserta Pemilu 2024 menghadirkan kampanye yang informatif dan edukatif.  \"Kami mendorong partai politik, calon presiden, calon legislatif, dan calon kepala daerah untuk berkampanye secara informatif dan edukatif,\" ujar perwakilan koalisi itu Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.  Koalisi yang terdiri atas sepuluh organisasi masyarakat sipil itu menyampaikan kampanye yang informatif dan edukatif itu, di antaranya, kampanye yang tidak menyebarkan hoaks dan tidak menggunakan ujaran kebencian dengan memanfaatkan isu suku, agama, ras, dan antaragama (SARA), serta identitas lainnya yang memunculkan bahaya atau ancaman bagi warga rentan dan marjinal, seperti kelompok agama minoritas Ahmadiyah, Syiah, Kristen, kelompok disabilitas, dan kelompok ragam gender.  Lebih lanjut, Adinda menjelaskan kampanye dengan menyebarkan hoaks ataupun menggunakan ujaran kebencian itu dapat menyebabkan keresahan dan meningkatkan diskriminasi serta memicu konflik di masyarakat.  \"Oleh karena itu, kami menolak keras eksploitasi materi dan konten kampanye, termasuk di media sosial yang mendiskreditkan atau merendahkan martabat kelompok rentan dan marjinal,\" kata dia. Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kampanye Pemilu yang Informatif dan Edukatif itu mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyusun kode etik bagi para peserta Pemilu 2024 dalam berkampanye di media sosial (medsos).  \"Kami juga mendorong Bawaslu untuk menyusun code of conduct (kode etik) kampanye di media sosial,\" ujar Adinda.  Dia menyampaikan koalisi itu menilai kode etik tersebut bernilai penting untuk dimunculkan agar kampanye Pemilu 2024 di media sosial memiliki acuan yang jelas.  Di samping itu, tambah dia, kode etik itu diperlukan untuk mengantisipasi masifnya kemunculan disinformasi, ujaran kebencian, dan berita bohong dalam kampanye di media sosial. Ia menyampaikan berkaca dari pengalaman Pemilu 2019 berdasarkan data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), hoaks bertema politik, dan ujaran kebencian mendominasi unggahan di media sosial.  Penyebaran hoaks dan ujaran kebencian itu menyebabkan masyarakat terbelah atau terpolarisasi, bahkan ada pula yang berujung dengan konflik antarpengguna media sosial.  Menurut Adinda, kekacauan sosial itu berpotensi terjadi kembali di Pemilu 2024 sebagaimana data Mafindo yang menunjukkan bahwa menjelang Pemilu 2024 peredaran hoaks di media sosial meningkat enam kali lipat dari biasanya.(sof/ANTARA)