POLITIK
PDIP Berjuang Bersama Rakyat (Lagi)
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) AKROBAT politik partai politik (Parpol) koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus kandas akibat tekanan publik. Pembangkangan konstitusi, pembelokan hukum, dan pembegalan demokrasi melalui revisi UU Pilkada layu sebelum berkembang. Pesan darurat berantai yang digerakkan secara massif oleh kelompok pro demokrasi membuat ketakutan para anggota DPR RI, hingga tidak berani hadir di ruang sidang paripurna. Akhirnya sidang paripurna DPR RI tidak memenuhi kuorum dalam pengambilan keputusan. Kemudian Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco, Fraksi Gerindra yang belakangan mendominasi pimpinan DPR RI, akhirnya menyerah lewat pernyataan pers. Dasco menyatakan Pilkada serentak tahun 2024 digelar berdasarkan putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 pada UU Pilkada. Dengan demikian PDIP terbuka untuk melakukan revisi terhadap semua surat tugas dan surat mandat yang diberikan kepada calon dan pasangan calon dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa PDIP dengan syarat baru (10%, 8,5%, dan 6,5%) dapat mengusung sendiri pasangan calon di berbagai provinsi, kabupaten dan kota. Peluang tersebut harus diambil oleh PDIP meski harus berhadapan dengan KIM Plus. Kedua, bahwa PDIP berpeluang besar mendapat dukungan dari rakyat akibat perlakuan kasar KIM Plus. Maka seluruh kerjasama yang sempat dibangun dengan Parpol anggota KIM Plus sebaiknya dibatalkan. Koalisi bersama rakyat lebih kuat dibanding koalisi dengan KIM Plus. Ketiga, bahwa PDIP harus mengakui secara terbuka bahwa MK dan rakyatlah yang menyelamatkan PDIP. Tanpa MK dan rakyat, maka PDIP akan dihabisi dengan tidak memiliki mitra koalisi untuk memenuhi syarat lama (20%). Keempat, bahwa mitra kerjasama politik (koalisi) PDIP yang utama adalah rakyat pro demokrasi dan Parpol kecil (non parlemen) yang bukan anggota KIM Plus, dan tidak tersandera “raja Jawa”. PDIP harus merangkul Partai Buruh, Partai Hanura, Partai Ummat, Partai Perindo, PPP, dan PKN. Kelima, bahwa pasangan calon yang diusung oleh koalisi PDIP harus kongruen (sebangun). Pasangan calon gubernur/ wakil gubernur dengan calon bupati/ wakil bupati, walikota/ wakil walikota harus berada pada kubu yang sama. Selain untuk memudahkan sosialisasi, pun untuk menegaskan perbedaan antara koalisi rakyat dengan KIM Plus. Keenam, bahwa tidak bermanfaat bagi PDIP mengusung dan mendukung calon kepala/ wakil kepala daerah kader Parpol anggota KIM Plus sekalipun berpeluang menang. Mengusung kader sendiri jauh lebih bermanfaat bagi PDIP meskipun akhirnya kalah. Ketujuh, bahwa untuk daerah yang tidak memenuhi syarat minimal jumlah kursi (10%, 8,5%, atau 6,5%) pun PDIP lebih baik mendukung calon yang maju lewat perseorangan (independen) daripada bekerjasama dengan KIM Plus. Kedelapan, bahwa PDIP harus berubah dengan menjadi alat perjuangan rakyat. Sikap- sikap eksklusif dan gaya elitis harus dihilangkan. Rangkul dan peluk rakyat secara jujur dan terbuka. Sebab ketika PDIP membuka diri kepada semua kebutuhan dan kepentingan politik rakyat, maka PDIP akan mendapat kesetiaan dari rakyat. Kesembilan, bahwa dalam waktu singkat dan terbatas, PDIP perlu membuka akses kepada rakyat untuk memberi masukan nama- nama calon kepala/ wakil kepala daerah yang diusung PDIP, sehingga calon- calon yang dikehendaki oleh rakyat akan memiliki kesempatan ikut bertarung melalui PDIP. Kegaduhan politik yang diakibatkan oleh KIM Plus harus menjadi amunisi tak terbatas bagi PDIP untuk meraih simpati dari rakyat. Sehingga kemenangan demi kemenangan dapat diraih bersama dan untuk rakyat. (*)
Putusan MK Membuyarkan Rencana Jahat Jokowi
Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Putusan MK No 60 dan No 70 pada 20 Agustus membuat rencana besar, dan jahat, Jokowi menjadi berantakan. Jokowi mau memborong pencalonan kepala daerah, menghancurkan salah satu partai politik, PDIP, agar tidak bisa mencalonkan sendiri kepala daerah. Jokowi mau menguasai kepala daerah di seluruh Indonesia, dengan memaksa partai politik bergabung ke koalisi atau kartel besar KIM Plus. PKS sudah menyerah. Nasdem sudah bertekuk lutut. PKB sedang digarap. Cak Imin akan digeser melalui PKB tandingan kalau tidak mau mendukung. Nampaknya, rencana jahat Jokowi untuk menguasai kepala daerah, dan Indonesia, akan berjalan mulus. Partai Golkar sudah dikuasai, untuk menjadi kendaraan yang nantinya akan memimpin kartel partai politik besar tersebut. Bukan Gerindra. Karena perolehan suara Golkar secara nasional lebih besar dari Gerindra. Tiba-tiba, Putusan MK membuyarkan rencana jahat Jokowi. Putusan MK membuat kartel partai politik Jokowi berantakan. PDIP sekarang bisa mencalonkan kepala daerah sendiri. Anies Baswedan yang sangat ditakuti oleh Jokowi menjadi “hidup” kembali. Anies sangat berpeluang besar memenangi Pilkada Jakarta. Tidak ada tandingan. Meskipun harus melawan kartel partai politik besar rancangan Jokowi. Sebagai konsekuensi, rancangan jahat Jokowi lainnya, untuk menguasai kawasan ekonomi Jakarta dan sekitarnya yang dinamakan kawasan aglomerasi, juga ikut berantakan. Tidak heran, Jokowi yang merasa mempunyai kekuasaan tanpa batas, merasa bisa mengobrak-abrik partai politik dengan mudah, dengan menggunakan aparat penegak hukum untuk mengancam elit partai politik dengan kasus korupsi, melawan keras dan brutal Putusan MK tersebut. Jokowi dan kroninya di Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah merancang revisi UU Pilkada yang pada intinya menganulir Putusan MK, dan melanggar Konstitusi, untuk melanggengkan kekuasaan kartel partai politik rancangannya. Kali ini Jokowi dan kroninya terbentur beton rakyat yang sangat keras. Rakyat di seluruh Indonesia bangkit melawan. Beberapa gedung DPRD di daerah jebol, termasuk pagar depan dan pagar belakang gedung DPR/MPR di Jakarta, ikut jebol. Rakyat marah besar. Akhirnya, rencana rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada kemarin, 22/08/24, untuk melawan Putusan MK, batal. Istana (baca Jokowi) dan kroni Jokowi di Baleg DPR sekarang berkicau, akan taat pada Putusan MK. Tetapi, semua itu sudah terlambat. Niat jahat dan aksi kejahatan, mens rea dan actus reus, sudah terjadi, melalui rancangan revisi UU pilkada yang tidak jadi diundangkan. Untuk itu, rakyat tidak bisa melupakan betapa tirani rezim Jokowi ini. Rakyat tidak bisa memaafkan upaya pembegalan dan pembangkangan Konstitusi yang dilakukan Jokowi, dan kroninya, untuk membawa Indonesia ke rezim kekuasaan, yang akan menghancurkan masa depan Indonesia. Rakyat juga menuntut Jokowi mempertanggung-jawabkan semua dugaan penyimpangan kekuasaan yang dilakukannya selama 10 tahun menjabat presiden. https://news.detik.com/pilkada/d-7503421/istana-tegaskan-ikut-aturan-mk-selama-revisi-uu-pilkada-belum-sah https://nasional.kompas.com/read/2024/08/22/17441111/istana-tegaskan-akan-ikuti-putusan-mk-soal-pencalonan-pilkada. (*)
Bahlil Menghina Raja Jawa
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih BAHLIL layaknya seperti demit suruhan boneka Oligarki setelah berhasil mengkudeta Golkar, saat dikukuhkan sebagai ketua umum partai Golkar pidato dleming tanpa pakem yang jelas asal cuap cuap soal Raja Jawa. Penampilannya dekil, hitam pecicilan seperti demit yang baru nyangsang di pohon beringin. Pernyataan Bahlil Lahadalia soal Raja Jawa turut menyedot perhatian Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sri Sultan HB X dengan bijak mengaku tidak tahu maksud pernyataan sosok yang baru ditunjuk sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada gelaran Munas XI Golkar, urusannya apa (soal Raja Jawa), tutur Sri Sultan yang juga Gubernur DIY ini ( Rabu kemarin (21/8). Tidak perlu basa basi yang di maksud Raja Jawa oleh Bahlil adalah Jokowi yang selama ini dikenal sebagai boneka Taipan Oligarki. Kebodohan Bahlil adalah gambaran dalam otaknya tentang Raja Jawa (Jokowi) mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang bisa dipakai untuk menundukkan siapapun yang tidak patuh. Bahkan bisa mengerahkan kekuatan aparat hukum untuk memenjarakan siapapun yang melawannya. Tanpa rasa bersalah menggambarkan Raja Jawa itu representasi figur tertentu yang punya power, jabatan yang bisa menghukum atau melakukan tindakan kejam, bengis memenjarakan yang tidak mengikutinya. Kader-kader Golkar agar hati-hati kalau tidak nurut bahaya, ngeri loh. Sudah banyak yang masuk penjara. Bahkan mewanti-wanti agar pengurus Partai Golkar tak bermain-main dengan sosok yang ia sebut sebagai Raja Jawa. Menurutnya Raja Jawa merupakan sosok yang ngeri-ngeri sedap. Bahlil seperti demit kurang sajen mengancam para kader di Partai Golkar agar tidak berbuat macam-macam yang tidak disenangi sang Raja Jawa. Apa urusannya Golkar dengan hayalan Raja Jawa (Jokowi) yang sebentar lagi akan lengser dengan resiko hukum yang sangat berat harus di pertanggung jawabkan. Apalagi dalam nasab kehidupannya tidak memiliki trah darah biru (Raja). Beraninya mendikte Prabowo akan meneruskan kepemimpinan Jokowi bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai merupakan kelanjutan dari pemerintahan saat ini yang dipimpin Presiden Jokowi. Celakalah Golkar yang akan di pimpin demit yang sempit wawasan politik sebagai negarawan bahkan tercermin dengan jelas kedangkalan politik Bahlil yang sering disebut sebagai penjilat. Ucapan Bahlil sebenarnya menggambarkan ketakutan Bahlil yang tidak berkutik dipimpin Jokowi yang lalim dan bengis saat bersamaan harus menerima tugas sebagai demit begal politik pohon beringin. Pidato Bahlil tidak bisa hanya dianggap kelakar politik tetapi merupakan penghinaan terhadap eksistensi Raja Jawa, karena ketololannya sebagai penjilat. (*)
Pembangkangan Konstitusi oleh Badan Legislasi DPR Tidak Bisa Ditoleransi
Oleh Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MHKAMAH Konstitusi memutus tiga hal terkait uji materi tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 20 Agustus 2024. Pertama, partai politik bisa turut mencalonkan kepala daerah, termasuk gubernur dan wakil gubernur, meskipun tidak memperoleh kursi di DPRD. Putusan ini sangat penting bagi tonggak demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta untuk memenuhi asas demokrasi seperti dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD: “…kepala pemerintah daerah …. dipilih secara demokratis.” Karena, suara rakyat yang diberikan kepada partai politik, tetapi tidak mendapat kursi di parlemen (daerah), tidak boleh diabaikan atau dihilangkan begitu saja dalam pencalonan kepala daerah. Kedua, ambang batas pencalonan kepala daerah diubah dari 25 persen perolehan suara atau 20 persen perolehan kursi di DPRD menjadi antara 6,5 sampai 10 persen perolehan suara, tergantung dari jumlah pemilih. Putusan MK ini sebagai konsekuensi dari Putusan pertama, agar partai politik yang tidak mendapat kursi dapat berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah, sehingga ambang batas perolehan kursi menjadi tidak relevan, dan ambang batas perolehan suara tidak terlalu jauh berbeda atau diskriminatif dibandingkan dengan pencalonan kepala daerah dari jalur perseorangan (independen) yaitu antara 3 sampai 6,5 persen dari dukungan rakyat. Putusan MK ini sesuai prinsip kesetaraan hukum seperti bunyi Konstitusi Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan …”, dan kepastian hukum yang adil dan setara bagi semua pihak, seperti bunyi Pasal 38D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Ketiga, MK menegaskan batas usia kepala daerah untuk tingkat provinsi paling rendah 30 tahun pada saat penetapan calon, sesuai dan konsisten dengan penyelenggaraan pilkada sebelum-sebelumnya. Konsistensi batas usia minimum ini sangat penting untuk memberi kepastian hukum, seperti perintah Konstitusi, Pasal 28D ayat (1). Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat bagi semua pihak, termasuk wajib ditaati oleh DPR dan Presiden, sesuai bunyi Konstitusi Pasal 24C ayat (1): “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, …..” Mahkamah Konstitusi diberi wewenang oleh Konstitusi untuk mengadili dan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut harus dimaknai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari Konstitusi. Karena itu, bersifat final dan mengikat. Bagi pihak yang tidak setuju dengan Putusan Mahkamah Konstitusi hanya bisa minta Mahkamah Konstitusi menguji kembali Putusannya yang sudah menjadi undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tetapi, Badan Legislasi (Baleg) DPR kemudian mempertontonkan manuver yang sangat nyata-nyata masuk kategori pembangkangan terhadap Putusan MK, pembangkangan terhadap konstitusi, demokrasi dan kedaulatan rakyat. Manuver pembangkangan konstitusi oleh Baleg ini tidak bisa ditoleransi karena akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia. https://nasional.tempo.co/amp/1906712/mkmk-sebut-baleg-lakukan-pembangkangan-konstitusi/ Baleg merumuskan, ambang batas pencalonan kepala daerah antara 6,5 sampai 10 persen dari jumlah pemilih hanya berlaku bagi partai politik yang tidak mempunyai kursi di DPRD. Sedangkan untuk partai politik yang mempunyai kursi di DPRD tetap 25 persen dari perolehan suara atau 20 persen dari jumlah kursi di DPRD. Rumusan Baleg ini bukan saja melanggar Putusan MK yang bersifat final dan mengikat seperti bunyi Konstitusi Pasal 24C ayat (1), tetapi juga melanggar Konstitusi secara nyata dan brutal, melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Rumusan Baleg tersebut secara telanjang mata melakukan diskriminasi terang-terangan terhadap partai politik (yang mempunyai kursi dan non-kursi), serta melanggar Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya adalah partai politik. Oleh karena itu, rumusan Baleg tersebut tidak ada pijakan hukum sehingga wajib batal. Semua pihak yang terlibat dalam perumusan pembangkangan konstitusi tersebut wajib diusut dan dapat dituduh sebagai pengkhianat negara. Kemudian Baleg juga merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pelantikan. Baleg DPR menggunakan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (MA), yang memerintahkan Peraturan KPU untuk menetapkan batas usia minimum pada saat pelantikan. Tetapi, Putusan MK yang menegaskan bahwa batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pendaftaran telah menggugurkan interpretasi UU oleh MA, dan dengan sendirinya juga menggugurkan Putusan MA terkait batas usia minimum pencalonan kepala daerah tersebut. Perlu dipertegas, MA hanya mengadili peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. MA bisa mengadili Peraturan KPU tentang pilkada terhadap UU pilkada. Tetapi, MA tidak bisa mengadili atau mengubah undang-undang (pilkada). MA mengartikan, batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pelantikan karena di dalam UU pilkada tidak disebut secara eksplisit bahwa batas usia minimum dimaksud pada saat pendaftaran, sehingga MA bisa mengartikan seenaknya atau sesuai orderan. Karena faktanya MA tidak mempertimbangkan norma umum dan praktek-praktek sebelumnya bahwa batas usia pada umumnya ditetapkan pada saat pendaftaran. Ketika ada Putusan MK yang mempertegas batas usia minimum calon kepala daerah ditetapkan pada saat pendaftaran, maka tidak ada interpretasi lain lagi, bahwa batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pendaftaran. Sebagai konsekuensi hukum, Putusan MA terkait batas usia pencalonan kepala daerah pada saat pelantikan menjadi gugur dan batal demi hukum. Rumusan Baleg yang menetapkan batas usia minimum calon kepala daerah pada saat pelantikan, dengan menggunakan dasar hukum Putusan MA yang secara hukum sudah tidak sah, secara otomatis juga menjadi tidak sah, dan melanggar Putusan MK, melanggar Konstitusi Pasal 24C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) terkait kepastian hukum. Maka dari itu, rumusan Baleg terkait UU pilkada tersebut merupakan pembangkangan konstitusi, pelanggaran konstitusi, pengamputasian demokrasi dan kedaulatan rakyat, yang tidak bisa ditoleransi, karena akan membawa Indonesia menjadi negara kekuasaan dan otoritarian yang akan menghancurkan bangsa Indonesia. —- 000 —-
PDKN Desak Reformasi Jilid Kedua untuk Menyelamatkan Bangsa dan Negara
Jakarta | FNN - Situasi politik makin panas, rezim makin ugal-ugalan mencari upaya melanggengkan kekuasaan. Tak hanya itu, demokrasi dalam NKRI di ambang kehancuran oleh para pengkhianat penyelenggara negara karena demokrasi suara rakyat tidak mendapat saluran lagi dan tidak terdapat kesamaan dalam hukum. Demikian disampaikan Dr.Rahman Sabon Nama, Ketua Umum PDKN/Wareng V Adipati Kapitan Lingga Ratuloli kepada FNN Kamis, (22/8/2024) di Jakarta. Oleh karena itu Rahman mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi jilid dua. Rahman menyebut PresidenJoko Widodo telah mengkangkangi demokrasi dengan menyalahgunakan wewenang dan jabatannya melakukan pembegalan terhadap konstitusi negara dengan bermain politik dua kaki untuk menghambat pengalihan kekuasaan 20 Oktober terkait pelantikan presiden terpilih 2024. Pembangkangan konstitusi atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/2024 sehingga memaksa Reformasi Jilid dua 2024 perlu segera dilakukan. Karena diperkirakan Joko Widodo dapat memberlakukan Darurat Sipil untuk memperpanjang kekuasaannya. Oleh sebab itu, solusi yang ditawarkan Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) Parpol Non-Kontestan Pemilu 2024 partai yang mewadahi para Raja Sultan Kerajaan Nusantara pemilik awal negeri ini, memandang perlu untuk segera menyelamatkan bangsa dan negara dari kehancuran. \"Maka reformasi jilid kedua sangat urgent dilakukan dengan meminta Panglima TNI (TNI/Polri) kesetiaannya sebagai alat negara mengamankan agenda Penyelamatan Konstitusi UUD 1945 bangsa dan negara,\" papar mantan Staf KSP tersebut. Bersamaan dengan itu Rahman meminta agar: (1) Bubarkan MPR/DPR dan bubarkan semua partai politik, (2) Bentuk pemerintahan peralihan/pemerintahan sementara dengan tugas sbb: (a).Presiden peralihan mengeluarkan Dekrit Presiden kembalikan Naskah Asli UUD 1945 dan Pancasila 18 Agustus 1945.Bahwa sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk segala kewenangan kekuasaan oleh presiden peralihan dengan bantuan Panitia Penyelamat Negara. (b) Dalam rangka pendemokrasian serta disertai itikad baik presiden peralihan mengeluarkan Maklumat dengan membentuk MPRS/DPRS melalui pengangkatan/penunjukan dengan beranggotakan 1000 orang direkrut dari Ormas nasional dan Orsinalmas nasional serta para raja/sultan tergabung dalam PDKN. Dan menganjurkan pembentukan/penyaringan partai-partai politik baru dengan restriksi bahwa parpol2 itu tidak mengganggu keutuhan nasional. (c) Presiden peralihan diberikan kewenangan membentuk kabinet sementara bertanggung jawab pada panitia penyelamat negara. (d) Membentuk anggota DPA sementara direktur dari akademisi/guru besar perguruan tinggi negeri/swasta. (e).Selenggarakan pemilu dipercepat paling lambat enam bulan. Untuk menghindari gesekan massa yang lebih tajam, Rahman meminta masyarakat dan tokoh bangsa membangun kesadaran, demi negara kita tercinta. (*)
Putusan MK Soal Partai Non Seat Bisa Mencalonkan Membuat Suara Rakyat Lebih Dihargai
Jakarta | FNN - Pada Selasa (20/8/2024), Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait uji materi Undang-undang (UU) Pilkada yang dimohonkan oleh Partai Buruh dan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. \"Kami menghargai putusan MK soal ini yang memberikan kesempatan pada partai yang tidak punya kursi (non seat) untuk mencalonkan,\" kata Mahfuz Sidik, Sekretaris Jenderal Partai Gelora dalam keterangannya, Rabu (21/8/2024). Selama ini, kata Mahfuz, hanya partai politik yang punya kursi di DPRD yang bisa mencalonkan, sementara yang tidak punya kursi, tidak bisa. \"Sekarang yang tidak punya kursi juga dikasih kesempatan. Kami menyampaikan apresiasi putusan MK soal ini,\" katanya. Namun, dalam putusannya, MK yang mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, justru memutuskan norma baru pengaturan persyaratan pendaftaran calon kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Mahfuz mengatakan, Partai Gelora sebagai salah satu pihak pemohon menyikapi putusan tersebut. Partai Gelora menyampaikan 5 sikap terhadap putusan MK itu. Pertama menerima putusan MK tentang dihapusnya ketentuan dalam UU Pemilihan Kepala Daerah pasal 40 ayat 3 yang mengatur bahwa pengusulan pasangan calon kepala daerah \"hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD\". \"MK menyatakan hal ini bertentangan dengan konstitusi. Hal ini adalah pokok materi gugatan dari Partai Gelora,\" kata Mahfuz Kedua, Partai Gelora mempertanyakan putusan MK yang menghapus ketentuan tentang ambang batas (treshold) syarat pencalonan kepala daerah, yaitu 20% kursi dan atau 25% suara. Kemudian MK membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai. \"Hal ini sama sekali tidak ada dalam permohonan uji materi,\" katanya. Ketiga Partai Gelora menilai bahwa MK telah melakukan tindakan Ultra Petita dengan memutus obyek perkara yang tidak diajukan oleh pemohon (pada pasal 40 ayat 1 UU Pilkada). \"Keempat pengaturan norma baru oleh MK tentang persyaratan pencalonan kepala daerah menimbulkan ketidakpastian hukum baru,\" katanya. Kelima, dalam menyikapi putusan MK yang membuat Ultra Petita baru tersebut, hingga menimbulkan ketidakpastian hukum, Partai Gelora mendorong DPR melakukan langkah-langkah legislasi. \"Menyikapi putusan MK tersebut, yang kami nilai Ultra Petita dan menimbulkan ketidakpastian hukum, maka Partai Gelora mengusulkan agar DPR RI dan KPU RI melakukan langkah-langkah legislasi segera,\" pungkasnya. Seperti diketahui, Partai buruh dan Partai Gelora mengajukan permohonan uji materi pasal 40 Ayat 1 UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU (Lembaran Negara RI Tahun 2016 Nomor 130, tambahan Lembaran Negara RI No5898 terhadap UUDNRI 1945. Permohonan uji materi disampaikan ke MK pada tanggal 20 Mei 2024, dengan menunjuk Said Salahudin MH dan Imam Nasef SH, MK dkk sebagai kuasa hukum. Permohonan tersebut, mendapatkan tanda terima bernomor NO.68-1/PUU/PAN.MK/AP3. Diterima Rifqi Setiadi petugas pendaftaran perkara di MK pada Selasa, 21 Mei 2024 pukul 13.53 WIB. (*)
Indonesia Akan Diterpa Guncangan
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih KERATON Surakarta dikenal sebagai Keraton Kasunanan Surakarta, adalah istana resmi dan tempat tinggal keluarga kerajaan Surakarta atau yang sering disebut dengan istilah Kasunanan Surakarta. Bangunan keraton ini memiliki arsitektur tradisional Jawa dan juga ada sebuah bangunan yang mempunyai cerita mistis zaman dahulu. Di dalam keraton tersebut terdapat sebuah bangunan Panggung Sanggabuwono tempat pertemuan Raja Kasunanan Surakarta dengan Kanjeng Ratu penguasa Pantai Selatan yang terletak di Keraton Wetan. Sedangkan Bandengan adalah tempat para Raja Kasunanan Surakarta bertapa mohon petunjuk Allah untuk kesejahteraan dan ketenteraman serta kedamaian para kawula di seluruh Nusantara. Panggung Sangga Buwana berasal dari kata panggung yang memiliki arti panggung atau bangunan yang tinggi, lalu “sangga” yang berarti diangkat atau ditahan dari bawah, dan “buwana” yang berarti jagat atau dunia alam semesta. Di tempat inilah seorang abdi dalem rutin melakukan meditasi pada hari hari yang sudah ditentukan. Di awal tahun 2023 mendapatkan sinyal untuk meditasi cukup panjang. Tiba waktunya pada sepertiga malam dalam meditasinya datanglah sosok yang mengaku Suharto (mantan presiden RI kedua) memberi tahu bahwa \"Jokowi akan menerima \"karma nya\" karenanya akibat dalam mengelola negara telah keluar dari pakem seorang Raja adil yang harus menciptakan keadilan, ketenangan, kerukunan dan kemakmuran rakyatnya. Abdi dalem sudah paham sesuai ajaran Islam diyakini yang menemuinya bukan Suharto yang telah meninggal dunia tetapi \"Jin Qorin nya\" (mahluk gaib yang mendampingi manusia selama hidupnya). Qorin dipercaya memiliki wujud, sifat, kepribadian, dan bahkan hobi serupa dengan manusia yang menjadi objeknya. Makna karma pun dipahami dengan wajar segala perbuatan yang dilakukan baik atau buruk akan memiliki akibat pada pelaku di masa selanjutnya (di dunia atau di ahirat). Kejadian ini cukup lama dirahasiakan karena kebenarannya hanya milik Allah SWT, dan karena tidak ingin info tersebut menjadi polemik di masyarakat yang harus tetap tenang dalam kehidupannya. Dalam rentang waktu cukup lama, barusan petinggi kerajaan sekadar napak tilas ke Gumuk Pasir Parang Kusumo (Parangtritis). Siapapun yang sudah terbiasa dan paham sekalipun tempat tersebut agak jauh dari gelombang laut. Ada sinyal air laut akan datang pada tempat tersebut, dan benar gelombang air datang pada tempat tersebut, membuat semua basah kuyup diterpa gelombang air tersebut. Sebagai petinggi keraton sangat paham langsung semedi secukupnya untuk mengetahui ada info apa. Tertangkap sinyal ghaib bahwa negara dalam kondisi tidak baik, segala kemungkinan akan terjadi. Tidak perlu ditafsirkan macam macam tetapi fakta Jokowi sebagai kepala negara dalam mengelola negara yang menyimpang dari pakem seorang raja yang semestinya bersifat dan berperilaku adil mengayomi rakyatnya, seperti info dari Jin Qorin sebelumnya. Lepas kebenaran info tersebut akan menjadi tanggung jawab Jokowi sendiri untuk menerima akibatnya di saat akan mengakhiri jabatannya. Dan tidak terjadi petaka dan guncangan yang akan menelan korban yang masyarakat yang tidak berdosa Selebihnya hanya pada kuasa Allah SWT yang mengetahuinya Wallaahu\'alam. (*)
Perppu Keluar, Rakyat Berontak "Jakarta Lautan Api"
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan TELAH diputus dan berkekuatan tetap \"final and binding\" Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 sebagai kejutan politik di penghujung masa jabatan Jokowi dan di hari-hari menuju pendaftaran Pilkada. Pintu demokrasi mulai dibuka. Sungguh spektakuler karena threshold 20 % yang sudah lama di masalahkan rakyat, kini bobol di ruang Pilkada. Meski belum 0 %. Bravo MK. Ini hadiah kemerdekaan untuk proses demokrasi di daerah, khususnya Jakarta. Jakarta sedang menjadi sorotan atas ambivalensi rezim Jokowi. Katanya pindah Ibu Kota Negara tetapi Jakarta harus dipegang juga. Dasar kampret. Melalui KIM Plus telah dideklarasikan dukungan 12 partai politik kepada Ridwan Kamil-Suswono. Anies dibungkam bahkan dibunuh hak politiknya. Musuh Kamil-Suswono (KASUS) hanya pasangan Independen \"boneka\" atau kotak kosong. Kamil-Suswono di atas angin sudah menang sebagai Gubernur Wakil Gubernur DK Jakarta. Lawan beratnya Anies Baswedan sudah \"masuk kotak\". Makar oligarki sepertinya berjalan mulus, lancar bebas hambatan. Jokowi tentu senang bukan kepalang. Tinggal Jawa Tengah bersiap untuk menyongsong sukses Kaesang. Makar Allah terjadi, MK yang sepertinya lolos dari pengawalan, berhasil bermain sendiri dan memutus hukum dengan obyektif. Sorak kemenangan pasukan KIM Jakarta terhenti sesaat, demikian juga nasib Kaesang di Jawa Tengah ikut goyah. Batas usia Kaesang dengan Putusan MK No 70/PUU-XXII/2024 menjadi tidak memenuhi syarat. Jokowi dan partai-partai politik geram atas putusan tak terduga ini. Jokowi bisa mempersiapkan Perppu, sedang partai politik bersekutu di DPR dengan merancang revisi UU pilkada yang esensinya menganulir Putusan MK 60. Skenario kolaborasinya adalah Perppu Presiden bermuatan Pilkada \"anulir\" MK dan langsung disetujui DPR. Perppu tanpa negara dalam keadaan genting dan memaksa (staatsnood) melanggar konstitusi. Sebagaimana biasa hampir semua Perppu yang dikeluarkan Jokowi melanggar dan menginjak-injak konstitusi. Jika sekarang atas Putusan MK 60 Jokowi menyempurnakan pelanggarannya dengan menerbitkan Perppu, maka rakyat tidak bisa dan tidak boleh membiarkan. Rakyat wajar jika melakukan perlawanan dan pemberontakan atas rezim Jokowi. Rakyat berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk merebut kembali Ibu Kota yang ditinggalkan Jokowi ke Kalimantan. Begitu juga Istana Negara telah dikosongkan oleh Jokowi yang punya Istana baru yang \"tidak berbau kolonial\". Rakyat bergerak memerdekakan dan menduduki \"Istana kolonial\" Jakarta. Protes keras dan aksi besar-besaran atas penginjak-injakan konstitusi oleh Perppu oligarki pimpinan Jokowi. Rakyat marah dan berontak. Potensial menjadi api revolusi. Jika Jokowi berfikir jernih dan menghormati perasaan rakyat, maka instruksinya adalah laksanakan Putusan MK, akan tetapi jika sudah buta dan linglung ia nekad terbitkan Perppu diktatorial. Akhirnya Perppu keluar dan rakyat pun berontak. Jakarta menjadi saksi sejarah atas peristiwa \"Jakarta lautan api\". Sejarah tragis menggores. Jokowi bersama rezimnya dipaksa turun dan harus menerima hukuman rakyat. Sejarah selalu berulang.L\'histoire se repete..! (*)
DPR dan Presiden Wajib Taat pada Putusan MK yang Bersifat Final, Mengikat dan Berlaku Seketika
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), No 60 dan No 70, cukup mengguncang gravitasi politik Indonesia. Pertama, MK memutuskan partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPRD dapat ikut mengusung calon pasangan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikoeta). Kedua, MK juga menurunkan threshold atau ambang batas pencalonan kepala daerah dari 25 persen perolehan suara atau 20 persen jumlah kursi di DPRD menjadi persentase degresif tergantung dari jumlah pemilih daerah: semakin besar jumlah pemilih, semakin rendah persentase ambang batas pencalonan. Untuk pemilihan kepala daerah Provinsi Jakarta, ambang batas pencalonan cukup 7,5 persen dari perolehan suara. Ketiga, MK juga putuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur tetap 30 tahun pada saat penetapan calon. Putusan MK tersebut dibacakan atau diputus pada 20 Agustus 2024. Putusan MK ini sangat baik bagi demokrasi Indonesia, karena meminimalisir kemungkinan kartel politik yang akan membawa Indonesia menjadi negara tirani yang dikuasai partai politik. Putusan MK ini lebih sesuai dengan amanat Konstitusi Pasal 18 ayat (4), bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis: semakin rendah ambang batas pencalonan kepala daerah, maka semakin baik tingkat demokrasi. Tampaknya, Putusan MK yang pro demokrasi dan kedaulatan rakyat tersebut disikapi berbeda oleh sekelompok masyarakat, khususnya elit politik istana dan kroninya. Tersiar berita, Presiden Jokowi dan kroninya di DPR akan melakukan “perlawanan” terhadap Putusan MK tersebut. Berita liar ini tidak mempunyai dasar hukum, alias bertentangan dengan konstitusi. Berita liar pertama, Presiden Jokowi akan mengeluarkan PERPPU untuk menganulir Putusan MK tentang ambang batas Pilkada tersebut. Tentu saja manuver ini tidak mungkin bisa dilakukan secara hukum. Karena, PERPPU yang setara UU tidak bisa menganulir Putusan MK, karena kedudukan hierarki PERPPU (dan UU) berada di bawah Putusan MK yang wajib dimaknai sebagai bagian dari Konstitusi. Sebaliknya, MK bisa menganulir UU atau pasal dalam undang-undang yang dianggapnya bertentangan dengan Konstitusi, seperti Putusan MK No 60 ini yang mengubah atau menganulir Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Artinya, kalau Jokowi nekat menerbitkan PERPPU yang bertentangan dengan Putusan MK tersebut, apalagi mengembalikan UU atau pasal dalam UU yang inkonstitusional dan sudah dikoreksi oleh MK, maka secara nyata-nyata Jokowi melanggar Putusan MK dan artinya melanggar Konstitusi. Untuk itu, Jokowi bisa seketika itu juga dimakzulkan, seperti diatur di dalam Konstitusi. Berita liar kedua, DPR akan membuat UU Pilkada baru secara kilat, untuk menganulir Putusan MK. Berita ini juga hanya ilusi, dan secara hukum tidak dimungkinkan. Berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan No 12 Tahun 2011, pembentukan UU harus melewati beberapa tahapan yang tidak mungkin bisa selesai hanya dalam satu minggu. Selain itu, materi muatan UU Pilkada baru tidak boleh bertentangan dengan Putusan MK. Dalam hal ini, ambang batas untuk pencalonan gubernur dan wakil gubernur Pilkada Jakarta, misalnya, tidak boleh lebih dari 7,5 persen dari perolehan suara. Apabila dipaksakan proses pembuatan UU Pilkada baru tersebut dibuat super cepat, melanggar UU NO 12/2011, dan materinya bertentangan dengan Putusan MK, maka DPR secara nyata melakukan pelanggaran konstitusi, atau lebih tepatnya makar konstitusi. Berita liar ketiga, DPR akan menafsirkan Putusan MK tersebut berlaku untuk Pilkada berikutnya, yaitu 2029. Hal ini tidak benar secara hukum dan konstitusi. Apabila KPU tidak menerima pendaftaran pencalonan kepala daerah sesuai Putusan MK, maka Pilkada akan menjadi tidak sah, karena melanggar Putusan MK dan karena itu melanggar Konstitusi. Dalam hal ini, KPU secara nyata melakukan makar konstitusi. Alasannya, pertama, Putusan MK berlaku final dan mengikat, dan berlaku seketika (pada saat dibacakan, pada 20 Agustus 2024), kecuali dinyatakan lain secara eksplisit di dalam Putusan MK tentang masa berlakunya. Karena, pada dasarnya, Konstitusi wajib berlaku seketika untuk memberi kepastian hukum. Dengan kata lain, UU atau Pasal dalam UU yang bertentangan dengan konstitusi wajib batal seketika pada saat dinyatakan inkonstitusional atau direvisi oleh MK. Hal ini sudah terbukti dan sudah ada yuris prudensinya ketika MK memutus batas usia minimum capres dan cawapres 40 tahun atau pernah menjabat sebagai Kepala Daerah, yang kemudian membuat Gibran bisa dicalonkan sebagai wakil presiden, meskipun Peraturan KPU belum diubah, dan masih menggunakan Peraturan KPU lama, dengan batas usia minimum 40 tahun. Artinya, Putusan MK No 90 tersebut berlaku seketika, dan menganulir semua peraturan dan UU yang bertentangan dengan Putusan MK. Karena, Putusan MK lebih tinggi dari Peraturan KPU atau UU yang direvisinya. Kalau KPU tidak merevisi Peraturan KPU sesuai Putusan MK, maka KPU melanggar kode etik seperti tercermin dari Putusan DKPP, tetapi tidak membatalkan pencalonan yang sesuai Putusan MK. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi DPR atau Presiden selain taat dan tunduk pada Putusan MK. Apabila DPR atau Presiden nekat melawan Putusan MK, maka berarti DPR atau Presiden melanggar Konstitusi, atau melakukan perbuatan makar Konstitusi. Hal ini pasti akan memicu chaos, dan mengundang amarah rakyat yang sudah muak melihat demokrasi dan kedaulatan rakyat diinjak-injak segelintir orang. Sudah menjadi hak dan kewajiban rakyat untuk melindungi konstitusi dan merebut kedaulatan rakyat, dengan cara apapun. John Locke: Revolt is the right of people. —- 000 —-
Bubarkan DPR RI
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Inisiator Reformasi Jilid Terakhir REAKSI cepat dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melakukan revisi UU Pilkada, membuatnya kehilangan legitimasi moral sebagai perwakilan rakyat. Sehari pasca putusan MK dibacakan, DPR RI yang mayoritas berasal dari partai politik yang tersandera membahas revisi UU Pilkada secara kilat dengan pemerintah. DPR RI melakukan pemufakatan jahat bersama pemerintah melakukan revisi UU Pilkada, melawan putusan MK. pembangkangan konstitusi dan penyesatan hukum dilakukan secara bersama dan sengaja oleh DPR RI dan pemerintah. Bersama Pemerintah, DPR RI mengubah UU Pilkada pasca putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 dibacakan. Putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas atau threshold calon kepala daerah. Sedangkan putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait batas usia calon kepala atau wakil kepala daerah yakni hitungan umur 30 tahun dilakukan saat penetapan calon kepala dan wakil kepala daerah. Konsekuensi putusan tersebut harusnya mutlak bahwa partai yang memiliki threshold di bawah 20 persen dapat mengajukan calon kepala daerahnya. Di DKI Jakarta, misalnya, PDIP yang hanya memiliki 15 kursi atau setara 14% dari total kursi di DPRD DKI Jakarta sebanyak 106. Sesuai dengan putusan MK, untuk mengajukan calon di Pilkada dengan jumlah pemilih tetap di 6 juta-12 juta cukup memiliki 7,5% kursi di DPRD. Dengan putusan MK tersebut, maka PDIP memiliki peluang besar untuk mengusung calonnya sendiri pada Pilkada 2024. Sementara putusan 70/PUU-XXII/2024 justru berdampak kepada putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kaesang terancam tidak dapat menyalurkan ambisi politiknya, untuk maju sebagai calon wakil gubernur (Cawagub) Jawa Tengah maupun DK Jakarta. Namun bagi DPR RI dan pemerintah, semua hal dapat dilakukan demi kepentingan politik Jokowi dan keluarga. Akhirnya putusan MK ditafsir sendiri oleh DPR RI dan pemerintah meski putusan MK tidak butuh tafsir, tetapi harus dipatuhi dan dijalankan. Terkait ambang batas minimum yang diputuskan oleh MK kepada semua Parpol, oleh DPR RI ditafsir hanya kepada Parpol non parlemen. Sedang terkait usia minimum sebagai syarat pendaftaran, DPR RI dan pemerintah mengabaikan putusan MK, lalu menggunakan putusan MA sebagai rujukan. Maka terkait tindakan DPR RI dan pemerintah yang melakukan pembelokan hukum, pembangkangan konstitusi, kami menyatakan sikap sebagai berikut: Pertama, bahwa tidak terdapat hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk melakukan revisi UU Pilkada. Maka kami menolak perubahan UU Pilkada, baik sebagian maupun keseluruhan. Kedua, bahwa putusan MK final dan mengikat semua, baik negara, lembaga negara dan warga. Sehingga putusan MK harus dijadikan rujukan bagi pasal- pasal yang terkait treshold dan batas usia calon di Pilkada serentak 2024. Ketiga, bahwa perubahan terhadap pasal- pasal yang telah diuji dan diputuskan oleh MK tidak lagi dapat dikoreksi atau diubah oleh lembaga negara mana pun, baik MA maupun DPR RI. Keempat, bahwa DPR RI sama sekali tidak pernah secara kilat melakukan revisi UU kecuali untuk kepentingan kekuasaan politik. Tidak ada UU tentang kepentingan dan kebutuhan rakyat yang dibahas secara kilat seperti UU Pemilu, UU MD3, dan UU Pilkada. Kelima, bahwa saat MK mengubah pasal syarat usia dalam UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI bersama pemerintah tidak melakukan revisi UU. Putusan MK serta merta berlaku karena calon yang semula tidak memenuhi syarat akhirnya lolos sebagai calon dan kemudian terpilih. Revisi perlu dilakukan jika UU tidak memenuhi kepentingan politik dan sebaliknya. Keenam, bahwa melakukan perubahan UU Pilkada tanpa memasukkan putusan MK secara utuh dalam perubahan adalah pembelokan hukum, pembangkangan konstitusi. Tindakan tersebut masuk kategori kejahatan negara, dan termasuk perbuatan melawan hukum. Ketujuh, bahwa demi dan atas nama negara, perbuatan pembelokan hukum dan pembangkangan konstitusi yang dilakukan oleh DPR RI harus diberi sanksi hukum berupa pembatalan revisi UU Pilkada yang dibahas pasca putusan MK. Konsekuensi hukum dan politik berikut adalah “Bubarkan DPR RI periode 2019- 2024, segera diganti DPR RI hasil Pemilu 2024”. Kedelapan, bahwa pembelokan hukum dan pembangkangan konstitusi akan dilawan oleh pembangkangan sipil. Rakyat dan mahasiswa akan merebut kedaulatannya akibat pembelokan cita- cita reformasi yang dilakukan oleh elit politik, dan penguasa. Indonesia sebagai negara hukum harus menjadikan hukum sebagai panglima. Maka seluruh upaya pembelokan hukum dan pembangkangan konstitusi harus berhadapan dengan pengadilan rakyat sebagai hukum tertinggi. (*)