POLITIK

Perpanjangan Masa Jabatan Kades Harus Disertai Kualitas SDM

Jakarta, FNN - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengatakan perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun harus disertai dengan upaya peningkatan kualitas aparatur desa.\"Perpanjangan jabatan kepala desa harus diikuti dengan langkah nyata Pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas aparatur desa,\" kata Yanuar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.Dia menilai kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi problem terbesar di pemerintahan desa saat ini, di luar wacana perpanjangan masa jabatan kades yang kini sedang bergulir.\"Kita harus serius menata sistem yang kokoh untuk membangun kualitas manusia di desa. Sayangnya, Pemerintah tidak cukup serius tentang soal ini,\" imbuhnya.Menurut dia, kucuran dana desa yang besar melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) selama ini tidak diimbangi dengan program sistematis dan fokus dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk membangun kualitas aparatur desa.Akibatnya, lanjut dia, dana desa secara umum belum mempercepat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa karena cara pandang kepala desa maupun perangkat desa lebih tertuju pada pembangunan infrastruktur fisik.\"Ketika Pemerintah pusat mendorong ke arah pemberdayaan ekonomi, wirausaha, dan bisnis lokal, aparatur desa masih kebingungan bagaimana cara untuk memulai dan melangkahnya,\" jelasnya.Dia menggarisbawahi bahwa hal tersebut merupakan problem dari kualitas SDM dan bukanlah problem keterbatasan sumber daya ekonomi.\"Bahwa dalam beberapa kasus terjadi penyimpangan dana desa oleh kepala desa, maka ini hanya bukti bahwa kualitas mental kepala desa masih bermasalah, tidak ada kaitannya dengan masa jabatan,\" tuturnya.Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan kepala desa harus dilihat dalam perspektif lebih luas, menyeluruh, dan cocok untuk percepatan kemajuan desa.\"Pelatihan-pelatihan yang bersifat teknis-teknokratik tidak cukup, harus naik satu tingkat melalui pelatihan berbasis character building dan pemberdayaan pikiran,\" ujar Yanuar.(sof/ANTARA)

Partai Gelora Ingatkan Pergantian Sistem Pemilu 2024 dari Terbuka Jadi Tertutup Bisa Picu Revolusi

 Jakarta, FNN - Pro kontra perdebatan penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup dalam Pemilu 2024 kembali mencuat dan meruncing. Sehingga hal ini membuat elit di tanah air mengalami kegalauan dalam menentukan jalan demokrasi yang benar. Wakil Ketua Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah saat menjadi narasumber dalam diskusi Moya Institute bertajuk \'Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi\' di Jakarta, Jumat (20/1/2023) sore, mengatakan, atas kegalauan tersebut, maka para elit kita ingin menciptakan narasi demokrasi yang khas Indonesia. \"Dugaan saya, ini didrive (dipaksa) dua tren global tentang efektivitas dalam pengelolaan negara. Disatu sisi  melihat demokrasi dan kemajuan Tiongkok (China), disisi yang lain melihat demokrasi liberal barat yang berasal dari Prancis dan Amerika Serikat,\" kata Wakil Letua Umum Partai nomer urut 7 ini dalam keterangannya, Sabtu (21/1/2023). Ketika melihat efektivitas penerapan dua sistem demokrasi tersebut plus minusnya, maka ada semacam keinginan dari para elit kita untuk menciptakan sistem demokrasi tersendiri ala Indonesia.  \"Menurut saya, kita tidak perlu canggung untuk mengusulkan demokrasi yang utuh agar sebagai bangsa kita ada capaian yang jelas, sehingga kita tuntas. Sebagai bangsa kita tidak boleh seperti bangsa baru yang terus mengalami kegalauan,\" katanya. Wakil Ketua DPR Periode 2004-2019 ini, lantas menjelaskan, pada awal Kemerdekaan RI 1945 hingga 1950, Indonesia pernah menerapkan Demokrasi Terpimpin dan Parlementer/Liberal pada era Orde Lama (Orla) semasa Bung Karno (Presiden Soekarno RI ke-1). Namun, pada masa Orde Baru (Orba) selama 32 tahun saat mantan Presiden Soeharto RI ke-2 berkuasa, Demokrasi Terpimpin kemudian diganti Demokrasi Pancasila. \"Pak Harto kemudian jatuh tahun 1998, karena Demokrasi Pancasila dianggap menyumbat kekuatan rakyat. Dan sekarang hal itu diajukan kembali pertanyaan tersebut, setelah adanya amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali itu dianggap kebablasan,\" katanya. Karena itu, para elit kita kata Fahri, terus berusaha untuk mengikat atau menambal lubang demokrasi di mana-mana.  \"Tapi saya mau mengingatkan, kalau demokrasi itu pakaian kita, maka jangan salah tambal. Yang kita tambal itu auratnya saja, kalau yang bukan aurat ditambal juga, itu nanti menjadi kacau,\" katanya. Menurut Fahri, dalam konteks demokrasi, pemilihan terbuka itu, aurat. Sehingga demokrasi atau pemilihan langsung kepada orang seperti sekarang sudah benar, tidak perlu diubah lagi. \"Itu yang harus ditambal, dalam pengertian tidak boleh diubah. Itu sudah tertambal tidak boleh dibuka, karena itu aurat dari demokrasi kita. Kalau aurat kita tutup dalam pengertian dalam demokrasi tertutup, itu sudah tidak demokratis namanya,\" ujar Fahri. Dalam demokrasi, lanjut Fahri, rakyat lebih penting dari negara atau institusi. Karena itu, partai politik (parpol tidak boleh mengambil alih peran rakyat. Sebab, rakyat  adalah unit paling penting dalam demokrasi, bukan institusi atau negara. \"Makanya parpol itu, penyelenggara negara, diluar. Tidak boleh dia masuk ke dalam sistem dan mengambil alih pertanggungjawaban individu atau orang. Ini nilai-nilai dasar dalam konstitusi kita,\" katanya. Fahri berharap para elit sekarang menghargai jasa-jasa para fouding fathers yang memiliki keberanian luar biasa mengubah sistem kerajaan (daulat tuanku) menjadi republik (daulat rakyat).  \"Luar biasa keberanian founding fathers kita mengalihkan ke republik dari kerajaan. Padahal sudah ada imperium di dalamnya, sudah ada kerajaan dan kesultanan yang sudah jalan. Tidore itu penguasa pasifik, belum lagi kalau kita bicara Sriwijaya atau Majapahit, dan dikampung saya ada Kerajaan Sumbawa. Itu semua kerajaan hebat, puluhan, bahkan ratusan tahun berkuasa di Indonesia,\" katanya. Namun, para founding fathers saat itu, sadar bahwa feodalisme kerajaan sulit untuk diajak bersatu. Namun, dalam perkembangannya, feodalisme justru digunakan Orba agar terus berkuasa dengan merampas kebebasan rakyat. \"Tetapi ada upaya dari elit kita untuk mengembalikan  feodalisme, karena itu hati-hatilah terhadap kemunculan satu generasi yang tiba-tiba tidak paham dengan elitnya. Tiba-tiba bosan sama elitnya, itu mesti kita hati-hati, jangan sampai dijatuhkan seperti Pak Harto tahun 1998,\" katanya. Fahri menegaskan, upaya untuk mengubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup bisa menyebabkan ketidaksinambungan antar generasi  dan memicu revolusi lagi. \"Jangan percaya partai politik yang mengusulkan sistem proporsional tertutup akan aspiratif itu, bohong. Biarkan rakyat mengkombinasi sendiri siapa wakilnya. Jadi demokrasi terbuka tidak boleh diubah,\" tegasnya. Fahri menilai carut marutnya sistem Pemilu di Indonesia, lebih disebabkan pada manajemennya, bukan sistemnya. Seperti terjebak pada pelaksanaan Pemilu Serentak, yang harusnya dipisah antara pemilihan legislatif dengan eksekutif, termasuk pemilihan kepala daerah. \"Kita sendiri yang menciptakan keruwetan Pemilu, menciptakan politik transaksional (politik uang), menciptakan kelelahan menumpuk sehingga petugas Pemilu sampai 800-an meninggal pada Pemilu 2019 lalu.  Itu semua menurut saya, bukan sistemnya, tapi karena buruknya manajemen,\" tegasnya. Fahri beranggapan, bila pada Pemilu 2024 Indonesia kembali menerapkan sistem proporsional tertutup, maka akuntabilitas politik akan rusak.  Sebab menurut Fahri, transaksi politik antara rakyat dan pemimpin harus dilakukan secara langsung, tidak melalui perantara partai politik. \"Mandataris hanya bisa muncul kalau pemberi dan penerimanya bisa saling berhubungan langsung,\" ujarnya. Fahri kembali menegaskan, bahwa sistem proporsional terbuka yang dipakai dalam beberapa pemilu terakhir sudah tepat.  \"Sistem demokrasi langsung memilih orang itu sudah benar. Itu auratnya demokrasi. Aurat itu harus dijaga, jangan malah yang tidak penting ditutup,\" pungkas Fahri. (sws)

Prof. Hafid Abbas: Sejarah Mencatat ketika Komunis Berkuasa Terjadi Pembantaian Massal

Jakarta, FNN – Pro- kontra- tentang Keppres Nomor 17 tahun 2023 sampai saat ini masih kontroversial. Bahkan, sejumlah purnawirawan mulai mempersoalkan Kepres ini, karena dianggap justru mereka yang sekarang dipersalahkan. Mereka mempertanyaan kalau kemudian Pak Jokowi atas nama negara minta maaf, itu minta maaf kepada siapa. Kepada orang-orang komunis atau PKI yang menjadi korban atau terhadap korban-korban dari kalangan ulama dan TNI yang menjadi korban kekejaman PKI. Profesor Hafid Abbas, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, yang pernah menjadi ketua Komnas HAM dan banyak terlibat dalam berbagai aktivitas hak asasi manusia dunia menyampaikan hasil riset beliau tentang hal tersebut. Hasil riset beliau menunjukkan bahwa di negara-negara komunis terjadi banyak sekali pembantaian massal. Mengutip hasil penelitian Profesor Ramos dari Hawai University dan Cheryl Ramos University, diketahui bahwa sepanjang abad ke-20 ada ratusan juta orang menjadi korban pembantaian oleh rezim penguasa dan 70% terjadi di negara-negara dengan pemerintahan komunis atau diktator komunis. Seandainya dalam pertikaian politik antara dua kekuatan, yaitu PKI dan TNI Angkatan Darat yang didukung oleh sebagian besar umat Islam, tahun ‘65 PKI dimenangkan PKI, apakah mungkin juga terjadi pembantaian seperti yang terjadi di negara-negara komunis, termasuk China, yang pada waktu itu menjadi poros Jakarta Beijing. Dalam uraian yang dimuat dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Jumat (20/01/23), Prof. Hafid Abbas, mengutip Prof. Ramos, menyampaikan bahwa abad ke-20 merupakan abad yang penuh luka. Sepanjang abad ke-20 (dalam satu abad), ditemukan 212 juta penduduk dunia yang dibantai secara sia-sia karena ada kekuasaan yang diselewengkan. Tetapi, begitu muncul publikasi itu, banyak teman profesor lain dari Harvard University dan yang lain mengatakan bahwa data itu salah, karena ada lagi 48 juta penduduk yang juga dibunuh. Bukan hanya oleh satu negara, tapi ada negara lain yang membantu negara tersebut untuk menghabisi penduduk di negara itu. Jadi, jumlah korban jiwa sekitar 272-400 juta atau rata-rata 336 juta.  Masalahnya, 70% dari 336 pembantaian itu terjadi negara-negara berhaluan politik komunis, bukan di negara-negara berhaluan politik kapitalis. Jika dihitung lagi maka setiap hari terjadi 6.438 pembantaian di negara-negara komunis. Itulah sebabnya mengapa Kofi Annan menyebut abad ke-21 haruslah menjadi abad yang penuh cahaya, abad damai. Tetapi, sampai saat ini, di tahun ke-23 abad ke-21, situasi damai belum juga terwujud. Mengapa negara-negara komunis ini senang membantai orang? Kita ambil contoh misalnya China. Tragedi Tiananmen pada 4 Juni tahun 1989, di China, mengakibatkan  lebih dari 10 ribu orang meninggal. Mereka tidak mau ada perbedaan sehingga kalau ada yang menentang suara Beijing, suara pemerintah, maka dibantai. Kemudian kasus pembantaian yang terjadi di Uighur (2016-2021) yang mengakibatkan lebih dari satu juta orang meninggal; 1,8 juta orang dimasukkan di camp (seperti penjara terorisme); dan  ratusan ribu anak-anak tidak bisa bertemu orang tuanya karena harus dicuci otaknya menjadi anti-Islam. Bahkan, berdasarkan data yang dipublikasikan oleh US Department of State, sebanyak 16.000 masjid diratakan dengan tanah. Dari pengalaman Prof. Hafid berkeliling ke berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang pernah dilanda oleh kekejaman pelanggaran HAM berat, seperti Uganda, Prof. Hafid  melihat langsung sebuah gedung besar yang isinya tengkorak. Ternyata pembantaian di Pnomh Penh  itu dibantu oleh China. Jadi ada koalisi dengan negara lain untuk membantai penduduk yang ada di negara itu. Jumlahnya cukup besar,yaitu 1,8 juta. Jadi China memfasilitasi pembantaian untuk menghabisi 1,8 juta penduduk di sana. Berdasarkan buku yang ditulis oleh Ponco Sutowo yang terkait Untold Story mengenai Pak Harto, Prof. Hafid menceritakan bahwa ketika peristiwa lubang buaya, yaitu 7 jenderal dibuang, ternyata ditemukan bahwa senjata yang dipakai adalah senjata yang diselundupkan dari China. Jadi ada penyelundupan senjata.(sof)

Fight Back ke Megawati Dimulai, Koordinasi Intelijen Diserahkan ke Menhan, Jokowi Politisasi BIN

Jakarta, FNN – Saat ini, agak sulit membaca manuver politik apa yang sedang dilakukan oleh Pak Jokowi, karena seperti ada sinyal yang mendua dari Pak Jokowi. Di satu sisi, ada sinyal dari para relawan Jokowi yang menunjukkan bahwa Pak Jokowi sudah tidak akan maju lagi. Projo, misalnya, sudah menyatakan penolakannya terhadap ide 3 periode dan penundaan Pemilu. Di daerah, relawan juga sudah mulai mengusulkan dan mendeklarasikan Ganjar untuk menjadi capresnya.  Tetapi, di sisi lain Pak Jokowi masih blusukan terus dan bahkan makin intensif. Selain itu, Jokowi juga sepertinya mulai menunjukkan fight back dengan menginstruksikan agar kendali orkestrasi laporan intelelijen dipegang oleh Menhan. “Ini perang bubat, bener-bener. Jadi, Pak Jokowi memang waktu dia diomelin Ibu Mega, dan kita, FNN, membuat dugaan kuat bahwa Jokowi akan fihgt back. Dan betul terjadi. Sebetulnya, Megawati akhirnya mau dipreteli kekuasaannya,” ujar Rocky Gerung dalam sebuah pembahasan di Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Sabtu (21/01/23). Menurut Rocky, BIN yang diketuai oleh Budi Gunawan bisa dikatakan berada di bawah kekuasaan Megawati, sedangkan yang “punya” Jokowi adalah KPK. “Jadi, di dalam persaingan politik, lembaga-lembaga yang potensial untuk melakukan mobilisasi intelijen, mobilisasi opini, akhirnya mesti dipangkas oleh Jokowi,” ujar Rocky. Masalahnya, kata Rocky, kalau kita sebut sistem intelijen negara maka dia centralis, supaya BIN ini betul-betul profesional dan usernya adalah negara. Presiden adalah pengguna dari data BIN. Data BIN sendiri tidak boleh membuat kesimpulan, tetapi hanya membuat indikasi lalu diputuskan di tingkat yang paling tinggi, yaitu presiden. “Tetapi, kalau dia dipindahkan ke Pak Prabowo, artinya fungsi BIN itu berhenti. Jadi, sinyal utama yang terbaca adalah Pak Jokowi nggak ngerti fungsi intelijen dan kedudukan BIN sebagai pengatur informasi,” ujar Rocky. Departemen Pertahanan tidak boleh punya fungsi BIN karena bisa membuat mereka bersikap mendua, lanjut Rocky. Misalnya, jika Departemen Pertahanan mendapat informasi tentang ancaman negara, dia mesti call BIN. Kalau kondisinya seperti sekarang, dia sendiri yang mesti lakukan itu. Artinya, tidak ada semacam second opinion.  “Jadi, sekali lagi, Pak Jokowi hanya karena ingin balas dendam pada Ibu Mega maka kekuasaan Ibu Mega dipreteli di BIN,” tegas Rocky. Pak Jokowi menganggap bahwa kalau dipindahkan ke Dephan maka Pak Prabowo akan menguasai informasi strategis.  Sepertinya Pak Jokowi panik karena tidak ada lagi peralatan untuk bertempur dengan Mega, lalu dia bujuk Pak Prabowo, tambah Rocky.   “Dan yang lebih penting adalah Jokowi akhirnya mempolitisai BIN,” tandas Rocky. Jadi, hal yang sudah dipastikan dalam undang-undang sekarang ini fungsinya secara langsung atau tidak langsung dipindahkan ke Departemen Pertahanan. Padahal, Departemen Pertahanan adalah user dari BIN, pengguna informasi BIN. Bukan dia yang mengumpulkan informasi, dia pengguna. “Ini kacau. Peta-peta diplomasinya berantakan dan yang paling senang adalah intelijen asing. Mereka akhirnya tahu bahwa BIN sudah berantakan. Jadi, Pak Jokowi membocorkan kelemahan intelijen kita pada intelijen asing dengan mempreteli BIN-nya. Ini semua terjadi karena ambisi Pak Jokowi untuk jadi 3 periode dihalangi oleh Bu Mega,” ujar Rocky.(ida)

Rencana Penerapan ERP Diminta untuk Dikaji Ulang

Jakarta, FNN - Wakil Ketua Komisi V DPR RI Muhammad Iqbal meminta rencana pemberlakuan jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP) itu sebaiknya dikaji ulang. \"Rencana ERP itu sebaiknya dikaji ulang. Terlebih, transportasi publik di wilayah Jakarta dan sekitarnya tidak merata,\" kata Muhammad Iqbal di Jakarta, Jumat. Menurut dia cakupan layanan transportasi publik bagi warga Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) menuju Jakarta masih perlu diperbanyak. Hal itu utamanya bagi pekerja di Jakarta.\"Perlu keseriusan lebih melakukan pembenahan transportasi publik. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Jabodetabek perlu bekerja sama memikirkan masalah ini,\" kata dia.  Diketahui melalui ERP, kendaraan yang melintas di beberapa ruas jalan pada waktu tertentu akan dipungut biaya berkisar Rp5.000 sampai Rp19.900. Hal tersebut juga akan berlaku untuk pengendara sepeda motor. \"Kondisi ekonomi masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih setelah pandemi COVID-19. Retribusi ini bisa memberatkan mereka, apalagi ojol,\" kata Iqbal. Ia pun mengingatkan mengenai ancaman krisis keuangan global yang diprediksi akan terjadi pada tahun ini, sebagaimana sering disampaikan Presiden Jokowi. \"Ditambah masyarakat harus membayar retribusi ERP, beban hidup masyarakat jadi bertambah,\" kata dia lagi.  Kemudian, dia menilai rencana kebijakan ERP di 25 ruas jalan di Jakarta tersebut tidak tepat untuk mengatasi kemacetan ibu kota. Malahan, menurut Iqbal penerapan ERP akan membuat masalah baru.  \"Rencana pelaksanaan electronic road pricing di beberapa ruas jalan di Jakarta ini tidak menyelesaikan masalah kemacetan ibukota. Justru sama dengan memindahkan kemacetan di jalan yang tidak berbayar,\" ujar Iqbal.(ida/ANTARA)

Autogate di Terminal Bandara Soetta Diaktifkan Kembali

Tangerang, FNN - Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno-Hatta (Soetta) kembali melakukan uji coba pengaktifan autogate di Terminal 3 Bandara Internasional guna meminimalisir perlintasan dokumen palsu dan lolosnya penumpang yang masuk daftar cekal.Kepala Bidang (Kabid) Teknologi Informasi dan Komunikasi Imigrasi Kelas I Soetta, Habiburrahman di Tangerang, Jumat mengatakan bahwa dengan pengaktifan kembali autogate di Terminal Bandara Internasional ini sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 44 tahun 2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.\"Dan autogate difungsikan baik kedatangan maupun keberangkatan, itu diuji coba sejak 3 Januari 2023 kemarin,\" katanya.Ia menjelaskan, dalam penggunaan autogate ini penumpang hanya perlu melakukan scan paspor diawal. Kemudian, jika sudah terverifikasi melalui tes biometrik seperti sidik jari dan face recognition selanjutnya dapat melintas.Dia mengaku, autogate ini sebelumnya sudah pernah aktif pada tahun 2018, namun karena pandemi COVID-19 autogate tersebut harus di non-aktifkan pada tahun 2020.\"Untuk mengurangi penyebaran virus COVID-19, karena memang harus buka masker dan cek sidik jari,\" jelasnya.Sementara itu, Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno Hatta, Muhammad Tito Andrianto, menambahkan sejak uji coba dimulai hingga 18 Januari 2023 telah melintas melalui autogate sebanyak 44.536 orang.\"Terdiri dari 18.501 orang melalui autogate keberangkatan dan 26.035 orang melalui autogate kedatangan, Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta,\" ujarnya.Berdasarkan angka tersebut terlihat masyarakat sangat antusias dengan teknologi ini. Terlebih lagi Direktur Jenderal Imigrasi saat ini sangat fokus dengan digitalisasi dan juga peningkatan pelayanan.(ida/ANTARA)

Kominfo Diminta Memblokir Konten 'Ngemis Online' di TikTok

Jakarta, FNN - Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo) untuk melakukan pemblokiran atau take down konten yang meresahkan masyarakat, salah satunya adalah fenomena viral ngemis online melalui TikTok.\"Atas fenomena ini, DPR mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika memberikan atensi khusus. Dalam hal ditemukan pelanggaran terkait konten, Kominfo harus mengambil tindakan pemblokiran/take down,” ucap Christina dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.Christina berpandangan, kalau pun Kominfo merasa konten tersebut tidak terkait hal dilarang seperti terorisme, pornografi, judi online, radikalisme, hoaks, dan misinformasi, Kominfo tetap perlu melihat lebih jauh konten tersebut sebagai sesuatu yang meresahkan masyarakat.\"Kominfo harus responsif terhadap banyaknya pengaduan masyarakat yang melihat aksi tersebut sebagai sangat tidak terpuji, merendahkan martabat manusia, dan tidak mendidik. Hal-hal bersifat eksploitatif harus dinilai sebagai konten yang perlu untuk dilakukan pemblokiran,\" tuturnya.Christina mengatakan bahwa pihaknya mendukung langkah Kepolisian yang mengambil tindakan memproses kasus ini ke ranah hukum.Harapannya, sambung Christina, untuk memberikan pelajaran agar masyarakat lebih bijaksana dalam memanfaatkan media sosial.\"Kami juga menghimbau masyarakat untuk terus meningkatkan kearifan bermedia sosial. Kasus semacam ini membuktikan literasi digital kita masih rendah. Konten creator maupun warga net perlu untuk terus belajar. Saya mengapresiasi bentuk koreksi spontan dari sesama pengguna media sosial ketika menemukan hal-hal yang dianggap tidak pantas dan cenderung merusak,\" ucapnya.Saat ini ramai pemberitaan mengenai \"ngemis online\" melalui Tiktok. Hal ini banyak dilakukan dengan cara mandi lumpur yang melibatkan anak muda maupun orang tua yang menimbulkan polemik terkait eksploitasi.(ida/ANTARA)

Komisi IX akan Memberi Masukan RUU Omnibus Law Kesehatan

Jakarta, FNN - Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo mengatakan komisi nya akan memberi masukan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan yang saat ini tengah berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.\"Bisa jadi dalam rangka memberikan masukan, dalam rangka untuk harmonisasi boleh-boleh saja Komisi IX untuk melakukan suatu koordinasi untuk memberikan masukan kepada Baleg,\" kata Rahmad ketika dihubungi di Jakarta, Jumat.Ia menjelaskan bahwa Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan dan ketenagakerjaan belum melakukan pembahasan terkait RUU Omnibus Law Kesehatan karena saat ini proses legislasi nya masih bergulir di Baleg DPR RI.\"Kalau secara Komisi IX memang belum pernah dibahas terhadap isu ini,\" ujarnya.Meski demikian, Rahmad menyebut anggota Komisi IX DPR RI yang menjadi perwakilan fraksi dan duduk di Baleg DPR RI sedianya dapat menyampaikan pula masukan terkait draf RUU Omnibus Law Kesehatan.\"Saya kira Baleg yang dari unsur-unsur Komisi IX ya pasti akan menyampaikan menyuarakan penyempurnaan, perbaikan dan mendengarkan aspirasi untuk disampaikan di dalam draf rancangan usulan menjadi satu kesatuan dalam usulan DPR,\" tuturnya.Selain itu, ia mengatakan Baleg DPR akan menerima masukan dari masyarakat selama proses pembahasan dan penyusunan draf RUU Omnibus Law Kesehatan.\"Karena ini adalah pembahasannya di ranah Baleg, tentu Baleg yang menjadi lokomotif untuk memunculkan draf atau masukan di bawah kendali Baleg,\" tuturnya.Ia mengatakan masukan-masukan terhadap draf RUU Omnibus Law Kesehatan juga dimungkinkan karena tahapan nya masih digodok parlemen, sebelum akhirnya mencapai kesepakatan dengan Pemerintah.\"Masih dibahas dari unsur pengusul dalam hal ini parlemen, masih dalam proses yang sangat panjang untuk membahas dengan pemerintah. Jadi saya kira ketika saat ini, kita menjadi satu kesatuan untuk dibahas di bawah Baleg yang mengkoordinasikan orkestranya,\" ucap Rahmad.Untuk diketahui, Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan (Omnibus Law) Dalam Perubahan Ketiga 2020-2024 Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Kesehatan Nasional masuk sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2023.(ida/ANTARA)

Masih Terus Blusukan ke Pasar, Kerahkan ASN, Jokowi Belum Menyerah Kejar 3 Periode

Jakarta, FNN – Sampai saat ini, Pak Jokowi masih saja blusukan. Terakhir, Jokowi blusukan di Pasar Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Kamis (19/1/2023). Dalam blusukannya tersebut Jokowi berkeliling menyapa pedagang untuk membagikan bantuan sosial (bansos) sembako dan bantuan tunai. Momen blusukan ini juga dimanfaatkan Presiden Jokowi untuk memeriksa harga-harga sembako. Tetapi, beredar kabar di Whatsapp dari para pimpinan di sana bahwa para Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) diminta mengerahkan ASN dan tenaga harian lepas untuk berpura-pura menjadi pembeli di pasar. Dengan demikian pasar tampak sangat hidup dan mereka pasti akan menjadi tim hore-nya Pak Jokowi. Ini bisa membuat Pak Pak Jokowi terlena dan merasa bahwa dirinya masih dielu-elukan. Beliau tidak tahu bahwa itu adalah bagian dari rekayasa di tingkat bawah. “Lepas dari segala macam kontroversi, Pak Jokowi tetap ingin 3 periode, karena itu dia blusukan terus. Bahkan, mengerahkan aparat untuk seolah-olah mendukung. Karena itu menunjukkan bahwa elektabilitas beliau sebetulnya sudah nggak ada, endorsement powernya sudah tidak ada, ngapain blusukan lagi,” ujar Rocky Gerung dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Jumat (20/01/23). Dalam sebuah pembahasan yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu Rocky mengatakan bahwa kondisi di Indonesia ini sangat kontras dengan negara Vietnam, negara komunis yang seharusnya memupuk kekuasaan, tetapi presidennya menganggap bahwa dirinya bersalah. “Ini pelajaran utama bahwa kekuasaan itu harusnya sadar diri. Presiden Vietnam sadar bahwa dia tidak mampu untuk menyelesaikan korupsi, malah makin tinggi. Oleh karena itu dia minta berhenti,” tambah Rocky Gerung.   Demikian juga di New Zealand, lanjut Rocky. Perdana Menteri New Zealand, Jacinda Ardern, perempuan usia muda berhasil menjadi simbol pemberantasan covid di era pandemi 2 tahun kemarin.Dia sukses, tetapi dia tidak mau memperpanjang suksesnya. Bahkan, sebelum pemilu dia sudah mengatakan bahwa dia akan meletakkan jabatan. Menurut Rocky, Jacinda adalah contoh bagaimana di negera barat kekuasaan ditumbuhkan secara etis.  Presiden Vietnam adalah contoh negara komunis di mana kekuasaan diperlihatkan secara etis. “Di Indonesia, Presiden Jokowi terus blusukan karena ingin memperpanjang jabatan. Padahal, seluruh data ekonomi menunjukkan Presiden Jokowi gagal membawa Indonesia bahkan ke taraf yang disebut negara menengah,” tegas Rocky. Data terakhir menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam daftar 100 negara termiskin di dunia. Itu artinya Jokowi gagal. “Kalau gagal, ngapain memperpanjang, ngapain masih blusukan, bahkan di Minahasa terlihat bahwa memang ada mobilisasi,” ujar Rocky. “Saya kenal sifat-sifat kekuasaan yang berupaya untuk terus mendekatkan diri pada rakyat, tapi dengan cara yang masuk akal. Kalau yang ini tidak masuk akal. Jadi, kita tahu di mana Jokowi berkumpul di situ rakyat berkumpul, tetapi rakyat yang dimobilisasi, bukan rakyat yang datang karena pengetahuan dia tentang sukses Jokowi,” tandas Rocky. Jadi, lanjut Rocky, kepalsuan itu ada pada politik Indonesia dan Presiden Jokowi sebetulnya dia paham bahwa di sekitar dia ada kamera yang merekam. Mestinya Pak Jokowi bisa minta untuk menyingkirkan kamera, tetapi sudah tidak bisa karena beliau sudah tidak punya endorsement power. Dan di saat-saat terakhir, beliau justru menghidupkan kembali apa yang dilakukan 7 tahun lalu, blusukan sambil melempar-lempar hadiah. Dia tidak mengerti bawa orang sudah jengkel. Tetapi, lanjut Rocky, orang-orang di sekitarnya tetap mengelu-elukan Jokowi. Mereka bilang Bapak Presiden dicintai, Bapak Presiden masih pakai baju sutera yang disulam dengan benang emas, tapi semua orang yang punya akal sehat tahu bahwa beliau sebetulnya telanjang. Jadi itu yang kita mau bikin kontras antara kepemimpinan yang paham tentang etika dan kepemimpinan yang boros politik tapi justru miskin etik.(ida)

Muatan Keppres 17 Tahun 2022 Bisa Menyasar ABRI dan Bung Karno?

Oleh Sri Widodo Soetardjowijono - Wakil Pemimpin Redaksi FNN Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) kembali menyelenggarakan diskusi strategis dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang beberapa hari lalu mengeluarkan Keppres 17 tahun 2022, dimana ada 12 kasus terkait pelanggaran HAM berat masa lalu mulai tahun 1965 s/d 2019. Tentu lahirnya Keppres ini membuat kaget banyak pihak, khususnya para sejarawan, aktivis HAM, dan tokoh bangsa. Karena, bagi yang paham sejarah pasti akan langsung menangkap ke mana arah rezim hari ini sebenarnya.  Hadir sebagai narasumber antara lain sejarawan Dr Anhar Gonggong, mantan Ketua Komnas HAM Prof. Hafids Abbas, pakar politik dan juga dosen UI Dr Mulyadi,  budayawan sepuh Taufik Ismail, dan sebagai clossing penutup Panglima TNI 2017-2019 Jenderal Gatot Nurmantiyo. Prof. Hafids menyatakan, sebenarnya tak perlu lagi pemerintah menerbitkan Keppres yang justru kemungkinan akan menjadi masalah baru, khususnya masalah tragedi 30/S/PKI tahun 1965. Karena ketika beliau menjabat sebagai Ketua Komnas HAM telah menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat ketika itu, namun yang terjadi adalah konflik horizontal dua kelompok yang pro komunis (PKI) dan yang anti Komunis. Dan itu sudah clear secara standar hukum hak asasi manusia.  Sejarawan Anhar Gonggong juga menambahkan, mustinya kalau mau jujur, yang dipermasalahkan tidak saja tragedi tahun 1965-66 saja, akan tetapi harus dimulai sejak tahun 1961. Anhar menegaskan Soekarno yang jadi Presiden ketika itu berniat baik menyatukan kelompok Nasionalis, Agama dan Komunis, namun di kalangan arus bawah hal ini tidak terjadi. Justru yang terjadi, adalah pembunuhan dan kriminalisasi oleh kelompok PKI terhadap kalangan agamais seperti NU, dan para pejabat bupati hingga polisi.Keinginan Soekarno menyatukan Nasakom, kata Anhar termotivasi pikirannya tahun 1926. Anhar Gonggong menambahkan bahwa sesungguhnya yang paling menjadi korban dari kebiadaban PKI ini adalah warga NU. Ribuan santri dan kiyai dibunuh oleh PKI di Jawa Timur, tragedi sumur koco sebagaimana yang tertulis dalam buku “Banjir Darah PKI”. Semua kebiadaban itu terjadi di tahun 1961-1965. “Artinya, tragedi pembunuhan terhadap antek PKI tahun 1965 adalah balas dendam dari kelompok Islam (NU) dan nasionalis terhadap PKI yang gagal Kudeta 1965,\" tegas sejarawan senior yang juga mengajar di Lemhannas RI tersebut. Begitu juga dengan pernyataan Dr Mulyadi. Dalam perspektif ilmu politik, Presiden Jokowi harus hati-hari terhadap Keppres yang dikeluarkannya. Karena diduga bukan menyelesaikan masalah, namun justru akan menambah masalah baru. Mulyadi menambahkan ada faktor geopolitik global  saat ini, maupun korelasinya dari masa lalu dari dua kekuatan besar global yang selalu ingin mengadu domba sesama anak bangsa sampai hari ini. Kalau tahun 1965 ada perang dingin, sedangkan sekarang hampir sama oleh dua kekuatan tersebut. Mulyadi wanti-wantai agar jangan sampai justru lahirnya Keppres no 17 ini, Jokowi secara tak langsung memobilisasi para musuhnya bertambah banyak. Sedangkan, permasalahan itu sebenarnya sudah selesai. Jangan sampai Keppres ini untuk jadi ajang “balas dendam” satu kelompok.  Apalagi, kata Mulyadi ada 9 dari 12 kasus tersebut melibatkan sebuah institusi dan personal yang sebagian besar dari kalangan militer dan bapak bangsa.  Sementara budayawan Taufik Ismail meski sudah sepuh, namun semangatnya akan nasib bangsa ini ke depan masih begitu luar biasa. Ia selalu beraoi-api jika bicara soal kekejaman komunis. Dengan lugas tanpa basa-basi, Taufik Ismail yang berdarah Minangkabau ini membacakan data-datanya, “Di Moskow ada gereja terbesar yang di tutup saat ini kemudian dijadikan masjid besar yang juga diresmikan oleh walikotanya langsung dengan meriah. Di Inggris ada 500 gereja ditutup, lalu 423-nya juga di jadikan masjid. Dan ada 9 kota yang walikotanya adalah dari muslim,\" paparnya. Artinya, lanjut Taufik di Eropa antara komunitas Islam dan Barat baik itu dengan Katolik dan bahkan sosialis-komunis khususnya di Rusia sudah hidup damai dan mesra. \"Ini adalah fakta hari ini yang begitu indah sekali,,\" kata Taufik. Taufik Ismail lalu memaparkan banyaknya korban di pihak atas kebiadaban komunis masa lalu. “Di satu sisi, dalam catatan sejarah, ada tragedi di 74 negara dalam 76 tahun lamanya terjadi pembunuhan terhadap umat muslim sebanyak 4000 jiwa setiap hari. Hal ini kalau kita simpulkan ada 108 juta jiwa umat Islam dibantai dalam sejarah komunis berkuasa di dunia,\" paparnya. Apa yang mesti kita ambil pelajaran dari itu semua, bahwa di belahan dunia barat dan Eropa, pertumbuhan Islam sangat luar biasa. \"Mereka (kelompok komunis) terdesak dan tidak laku lagi di sana. Akhirnya melihat Indonesia, sebuah negara muslim terbesar yang sedang merangkak bangkit. Makanya mereka (kelompok komunis) itu bersepakat untuk masuk secara diam-diam ke Indonesia untuk menguasai Indonesia. Kita mesti paham ini! Demi Allah umat Islam mesti sadar dan paham akan ancaman ini, “ kata budayawan itu dengan mata berkaca-kaca penuh khidmat. Sebagai penutup diskusi yang hangat dan menarik tersebut, Jenderal Gatot Nurmantiyo menyampaikan kesimpulan dari catatannya bahwa Presiden Jokowi harus hati-hati terhadap para pembisiknya. “Pak Jokowi hati-hati dan menganalisa kembali apa yang sudah diterbitkan. Karena, kalau berbicara negara minta maaf kepada korban PKI, berarti institusi negara yang akan menerima kesalahan itu adalah ABRI (TNI/POLRI) dong? Apa salah ABRI? Dan ini berbahaya, karena dunia internasional akan mengucilkan ABRI, generasi muda yang belajar sejarah yang sudah diputarbalikkan. Mereka akan menghujat ABRI. Sedangkan ABRI adalah tulang punggung  negara. Kalau ABRI di hancurkan nama baiknya, itu sama saja menghancurkan negara demi kepentingan satu kelompok,\" tegas Gatot. Gatot mengingatkan tragedi 1965-1967 siapa presidennya ketika itu? Siapa Panglima besar tertinggi saat itu? Ya jelas Soekarno kan? Apa rela bangsa ini, mengorbankan nama besar Bapak Pendiri Bangsa. Kita semua dikorbankan jadi penanggung jawab semua kejahatan kemanusiaan di masa beliau Presiden. Karena secara hukum humaniter hal itu tak akan dapat dipisahkan. Jenderal Gatot juga melanjutkan, “Setelah ada korban, tentu ada penjahatnya. Lalu penjahatnya siapa? ABRI? Umat Islam? Bung Karno? Pak Harto yang menerima mandat dari Soekarno dengan Supersemar? Lalu yang dibantai PKI pada tahun 1961-1965 bagaimana? Termasuk pahlawan revolusi? Belum lagi nanti akan muncul ribuan atau bahkan jutaan orang yang mengaku jadi korban dan minta uang ganti rugi? \"Untuk itu pada kesempatan ini, saya melihat justru Keppres ini bukam saja menusuk bahkan mengoyak-ngoyak luka lama berdarah kembali. Kalau bicara rekonsoliasi, toh secara alamiah sebenarnya hal itu sudah terjadi. para anak ex PKI hak politiknya sudah kembali. Ada yang jadi menteri, kepala daerah, dan anggota dewan. Kurang apa lagi coba? \" tegas mantan Pangkostrad dan KSAD ini. Diskusi yang dipandu wartawan senior FNN Hersubeno Arief ini disiarkan live streaming di kanal Forum News Network dan kanal Refly Harun.  Tampak juga hadir di studio politisi dan advokat Dr Ahmad Yani, mantan Jubir Gus Dur Adhi Massardi, Said Didu, Anton Permana, Hendri Harmen, dan para aktifis serta Mahasiswa. (*)