POLITIK

HUT ke 2 Partai Gelora Gelar Puluhan Perlombaan

Jakarta, FNN – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia akan menggelar 10 jenis perlombaan dalam rangka memperingati HUT ke-2 yang bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2021. Perlombaan ini terbuka untuk umum, tidak dipungut biaya dan berhadiah total ratusan juta rupiah. “Di HUT ke-2 ini, kita bikin sesuatu yang lebih menarik dan penuh keceriaan. Kita mengadakan 10 lomba dengan total hadiah uang ratusan juta dalam bentuk uang pembinaan,” kata Ahmad Yani, Ketua Panitia HUT ke-2 Partai Gelora dalam Rakornas VIII, pada Jumat (24/9/2021) malam. Ke-10 lomba tersebut adalah Gelora Science Competition, Lomba Video Anak ‘Impian dan Cita-citaku’, Lomba Group 28 ‘Semangat Gelora’, Lomba Desain Batik Gelora, Lomba Vlog YES UMKM, Lomba Foto YES UMKM, Lomba Sholawat, Lomba Bersih Pantai, Lomba Desain Mural dan Lomba Victory e-Sport Competition (Mobile Legends). “Kecuali Lomba Gelora Science Competition dan Mobile Legends akan ada penjurian khusus. Sedangkan lomba-lomba lainnya cukup di share di sosmed, misalnya YouTube, WhatsApp, TikTok, Instagram dan lain-lain yang akan ditentukan panitia,” katanya. Perlombaan dimulai pada awal Oktober hingga 25 Oktober 2021. Pendaftaran lomba bisa dilakukan di DPW dan DPD Partai Gelora se-Indonesia. Pemenang lomba akan diumumkan saat peringatan HUT ke-2 pada 28 Oktober 2021. “Peserta terbuka untuk umum, kita minta DPW dan DPD mensosialisasikannya ke masyarakat. Peserta misalkan upload video atau foto ke sosmed, nanti kita lihat share and comment yang banyak, itu yang jadi pemenangnya,” katanya. Yani mengatakan, semua peserta yang ikut lomba membuat video akan mendapatkan pembinaan berkelanjutan dari Deddy Mizwar, Ketua Bidang Seni Budaya dan Ekonomi Kreatif, yang juga artis senior yang terkenal dalam Naga Bonar dengan sebutan ‘Jenderal Naga Bonar’ ini. Selain mengadakan 10 perlombaan, Partai Gelora juga akan melauncing beberapa program saat HUT ke-2, yakni Festival Film Pendek, Pidato Caleg dan Cakada, Gerakan Bersih Pantai, Gerakan Tanam Pohon dan Virtual Walk Run Ride. Sedangkan Ketua Bidang Seni Budaya dan Ekonomi Kreatif Deddy Mizwar yang juga Penanggungjawab HUT ke-2 mengatakan, Partai Gelora sengaja menggelar acara dengan penuh keceriaan, warna-warni, merangkul semua dengan semangat kolaborasi. “HUT ke-2 ini yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda akan menjadi momentum bagi Indonesia menuju 5 besar dunia. Maka tema yang kita ambil adalah Kolaborasi Indonesia Menuju 5 Besar Dunia,” kata Deddy Mizwar. Sementara itu, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta menambahkan, peringatan HUT ke-2 kali ini lebih bernuansa festival, mengajak kolaborasi semua komponen bangsa dalam membangun Indonesia ke arah lebih baik lagi. “Ini sekaligus juga merayakan capaian-capaian kita dan kepercayaan diri kita dalam menghadapi Pemilu 2024. Kita merasakan respon publik dan elit luar biasa bagusnya,” kata Anis Matta. Anis Matta berharap agar Partai Gelora terus melakukan lompatan-lompatan besar dalam pencapaian target. Apabila ada target yang belum tercapai dalam tahapan sebelumnya, bisa dipenuhi dalam tahapan berikutnya. (sws)

Soal Penghilangan Patung, Kostrad Berkilah

Jakarta, FNN - Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) membantah menghilangkan sejumlah patung tokoh negara yang dipajang di Museum Darma Bhakti Kostrad. Patung yang dihilangkan itu, di antaranya terdapat patung Presiden Kedua RI Soeharto, patung Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, dan Jenderal AH Nasution. Kepala Penerangan Kostrad Kolonel Inf Haryantana dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin, menyatakan Kostrad tidak pernah membongkar atau menghilangkan patung sejarah (penumpasan G30S/PKI) Museum Dharma Bhakti di Markas Kostrad. "Tapi, pembongkaran patung-patung tersebut murni permintaan Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution sebagai pembuat ide dan untuk ketenangan lahir dan batin," kata Haryantana. Haryantana mengatakan hal itu untuk mengklarifikasi adanya pemberitaan dalam diskusi bertajuk "TNI Vs PKI" yang digelar Minggu (26/9) malam. Dalam diskusi itu, mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menduga adanya penyusupan kembali pendukung PKI ke tubuh TNI. Indikasi itu dibuktikan dengan diputarkannya video pendek yang menggambarkan hilangnya sejumlah bukti-bukti penumpasan G30S/PKI di Museum Dharma Bhakti di Markas Kostrad. Menurut Kol Haryantana, Kostrad tidak mempunyai ide untuk membongkar patung Presiden Kedua RI Soeharto, Letjen TNI Sarwo Edhie, dan Jenderal AH Nasution yang ada dalam ruang kerja Soeharto di Museum Dharma Bhakti, di Markas Kostrad. Ia menyebut ada permintaan sebelumnya dari Letnan Jenderal TNI Azmyn Yusri Nasution selaku pembuat patung-patung itu. Azmyn, menurut Haryantana, meminta langsung kepada Pangkostrad Letjen TNI Dudung untuk dapat menyerahkan patung-patung tersebut kepadanya. "Patung itu yang membuat Letjen TNI (Purn) AY (Azmyn Yusri) Nasution saat beliau menjabat Pangkostrad, kemudian pada tanggal 30 Agustus 2021 Pak AY (Azmyn Yusri) Nasution meminta kepada Pangkostrad Letjen TNI Dudung Abdurrahman untuk diserahkan kembali pada Letjen TNI Purn AY (Azmyn Yusri) Nasution," ujarnya pula. (ant, sws)

Panglima TNI Enggan Komen Soal Patung

Jakarta, FNN - Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mengaku enggan berpolemik soal dugaan penyusupan pendukung PKI di tubuh TNI. "Saya tidak mau berpolemik terkait hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tidak bisa suatu pernyataan didasarkan hanya kepada keberadaan patung di suatu tempat," kata Panglima TNI ketika dikonfirmasi wartawan, di Jakarta, Senin. Panglima TNI mengatakan hal itu menanggapi pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menduga adanya penyusupan kembali pendukung PKI ke tubuh TNI. Indikasi itu dibuktikan dengan diputarkannya video pendek yang menggambarkan hilangnya sejumlah bukti-bukti penumpasan G30S/PKI di Museum Dharma Bhakti di Markas Kostrad. "Masalah ini sebenarnya sudah diklarifikasi oleh institusi terkait," ujar Marsekal Hadi. Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) ini menganggap statement atau pernyataan Gatot Nurmantyo itu sebagai nasihat senior kepada para prajurit yang masih aktif untuk senantiasa waspada agar lembaran sejarah yang kelam tak terjadi kembali. "Saya lebih menganggap statement tersebut sebagai suatu nasihat senior kepada kami sebagai prajurit aktif TNI untuk senantiasa waspada agar lembaran sejarah yang hitam tidak terjadi lagi," tutur Panglima TNI. Sebagai institusi TNI, tambah dia, prajurit TNI selalu mempedomani bahwa faktor mental dan ideologi merupakan sesuatu yang vital. "Untuk itu, pengawasan intensif baik secara eksternal maupun internal selalu menjadi agenda utama, bukan saja terhadap radikal kiri, tetapi juga terhadap radikal kanan dan radikal lainnya," papar Marsekal Hadi Tjahjanto. Sebelumnya, Kepala Penerangan Kostrad Kolonel Inf Haryantana dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin, menuturkan bahwa Kostrad tidak pernah membongkar atau menghilangkan patung sejarah penumpasan G30S/PKI (patung Presiden Kedua RI Soeharto, patung Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, dan Jenderal AH Nasution) di Museum Dharma Bhakti di Markas Kostrad. "Tapi, pembongkaran patung-patung tersebut murni permintaan Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution sebagai pembuat ide dan untuk ketenangan lahir dan batin," ungkap Haryantana. Menurut dia, Kostrad tidak mempunyai ide untuk membongkar patung Presiden Kedua RI Soeharto, Letjen TNI Sarwo Edhie, dan Jenderal AH Nasution yang ada dalam ruang kerja Soeharto di Museum Dharma Bhakti di Markas Kostrad. Ia menyebut ada permintaan sebelumnya dari Letnan Jenderal TNI Azmyn Yusri Nasution selaku pembuat patung-patung itu. Azmyn, menurut Haryantana, meminta langsung kepada Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman untuk dapat menyerahkan patung-patung tersebut kepadanya. "Patung itu yang membuat Letjen Purn AY (Azmyn Yusri) Nasution saat beliau menjabat Pangkostrad, kemudian pada tanggal 30 agustus 2021 Pak AY (Azmyn Yusri) Nasution meminta kepada Pangkostrad Letjen Dudung Abdurrachman untuk diserahkan kembali pada Letjen Purn AY (Azmyn Yusri) Nasution," ucapnya. (sws, ant)

Anggota DPR Minta Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Diaudit

Jakarta, FNN - Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menginginkan adanya audit investigasi terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, terkait dengan adanya laporan pembengkakan biaya konstruksi (cost overrun) sebesar Rp4,1 triliun. Herman Khaeron dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu, menyatakan bahwa hingga saat ini belum dilakukan pendalaman terkait penyebab pembengkakan biaya proyek kereta cepat tersebut. Untuk itu, ujar dia, perlu agar proyek tersebut segera diaudit oleh BPK RI dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sehingga usulan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang akan diberikan memiliki landasan hukum yang kuat. "Kami belum memutuskan untuk memberikan Penyertaan Modal Negara melalui PT Kereta Api. Syarat utama adalah adanya hasil pemeriksaan BPK dan BPKP," katanya. Dengan syarat utama tersebut, lanjutnya, maka ke depannya juga agar dapat clear and clean serta memenuhi unsur Good Corporate Governance. Namun, Herman menilai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung perlu tetap dilanjutkan meski target pembangunannya harus mundur. Untuk itu, ia mengutarakan harapannya agar proyek kereta cepat yang diproyeksikan dapat beroperasi pada 2023 itu ke depannya tidak membebani keuangan negara secara berkelanjutan. "Yang penting adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini harus betul-betul memiliki nilai manfaat bagi masyarakat," katanya. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan proses pengerjaan konstruksi kereta cepat Jakarta-Bandung telah mencapai 73 persen dan moda transportasi mutakhir itu akan menjalani uji coba pada akhir 2022. Jokowi mengharapkan proyek strategis itu dapat terintegrasi dengan moda transportasi lainnya seperti kereta cepat ringan (Light Rapid Train/LRT) dan Moda Raya Terpadu (MRT) di DKI Jakarta agar menciptakan efisiensi waktu dan jarak tempuh untuk meningkatkan daya saing kegiatan ekonomi. Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung juga diharapkan Presiden Jokowi untuk menyertakan transfer teknologi ke tenaga kerja domestik. (ant, sws)

Gaya Komunikasi Politik Airlangga Bisa Naikkan Elektabilitas

Jakarta, FNN - Head of Department of Politics and Social Change at Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes menilai gaya komunikasi politik yang dilakukan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto bisa menaikkan elektabilitas. "Komunikasi politik Airlangga dalam dua hari terakhir dinilai strategis, menyusul posisi Airlangga merupakan pimpinan dari partai besar dengan kursi terbanyak kedua di DPR," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad, 26 September 2021. Arya Fernandes mengatakan, situasi politik di Indonesia yang saat ini dinamis, komunikasi lintas partai harus menjadi agenda politik yang konsisten dilakukan oleh Airlangga. Sebelumnya, diketahui Ketua Umum Golkar Airlangga bertemu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Klaten. Selepas itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tersebut juga berolahraga dengan Muhaimin Iskandar di Jakarta. "Semakin sering mereka bertemu, maka di tingkat pemilih, di bawah, juga semakin baik dan tidak terpolarisasi. Masyarakat melihat mereka bisa berkomunikasi meski suatu saat juga berkompetisi," kata Arya, sebagaimana dikutip dari Antara. Situasi politik di Indonesia saat ini belum jelas menunjukkan siapa saja yang akan mendapatkan dukungan dari partai politik untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Oleh karena itu, komunikasi politik menjadi strategis untuk dilakukan. "Terutama komunikasi lintas partai," kata dia. Menurutnya, langkah Airlangga tersebut ditujukan untuk membaca kemungkinan-kemungkinan membentuk koalisi. Kedua, mencari chemistry atau kecocokan di antara tokoh-tokoh tersebut. Terakhir, untuk mencari kesamaan pandangan dan kebijakan. Golkar dalam agenda Pilpres 2024 diuntungkan karena memiliki sekitar 14 persen kursi di DPR. Artinya, partai berlambang pohon beringin tersebut hanya butuh sisa enam persen supaya bisa mencalonkan presiden. Dengan kata lain, kondisi itu membuat Golkar dan Airlangga sebagai partai dan figur yang menarik karena memiliki posisi tawar yang tinggi untuk bersaing di pesta lima tahunan tersebut. "Airlangga saya kira memiliki peluang supaya bisa maju dan bertemu banyak tokoh," kata dia. Dalam hitungan politik, sekarang waktunya sudah cukup dekat mulai membuat strategi dan program menuju 2024. Sehingga, wajar jika aktivitas politik dari tokoh seperti Airlangga mulai ditingkatkan. "Sekarang waktu yang ideal dan pas untuk melakukan mobilisasi politik, seperti yang dilakukan Airlangga. Semakin dini, calon itu melakukan sosialisasi politik ke masyarakat, akan semakin baik," ujarnya. Hal tu juga memberikan kesempatan bagi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2019-2024 tersebut bertemu dengan banyak orang dan menjalin komunikasi politik. Bahkan, potensial terus meningkatkan elektabilitasnya melalui sosialisasi. Di Pilpres 2024, ia melihat faktor partai menjadi penting. Apalagi, tidak ada calon petahana karena Presiden Joko Widodo secara konstitusi tidak bisa dicalonkan karena sudah dua periode. (MD).

Analis: UUD 45 Tidak Mengatur Detail Waktu Pelaksanaan Pemilu

Semarang, FNN - Analis politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono mengatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur detail bulan atau tanggal pelaksanaan pemilihan umum, sebagaimana konstitusi Amerika Serikat. "Jadi, bulan dan tanggal fleksibel pada Pemilu Presiden/Wakil Presiden RI dan pemilu anggota legislatif pada tahun 2024," kata Dr. Teguh Yuwono, M.Pol. Admin. di Semarang, Kamis. Menurut alumnus Flinders University Australia itu, yang penting begitu habis masa kerja presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sudah harus ada pejabat baru yang dilantik. "Jadi, mau Februari, April, atau Mei, bahkan Juni 2024 tidak berpotensi melanggar konstitusi. Namun, yang penting pada bulan Oktober atau November harus sudah ada pelantikan," kata Teguh Yuwono yang juga Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang. Begitu pula dengan pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi 2013—2015 Hamdan Zoelva. Menurut pakar hukum tata negara ini, yang terpenting adalah disesuaikan dengan masa jabatan untuk jabatan yang dipilih melalui pemilu, yaitu presiden/wakil presiden serta DPR, DPD, dan DPRD. "Yang penting masih dalam range 5 tahun tidak ada masalah," Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin meminta DPR, Pemerintah, KPU, dan Bawaslu RI perlu berhati-hati dalam menentukan jadwal Pemilu 2024. Said Salahudin di Jakarta, Senin (20/9), mengemukakan bahwa mengubah waktu pelaksanaan pemilu berpotensi inkonstitusional karena UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22E Ayat (1) tegas menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Said menjelaskan bahwa frasa "lima tahun" itu mudah sekali menghitungnya, yaitu 12 bulan dikali 5. Kalau pada tahun 2019 Pemilu dilaksanakan pada bulan April, 60 bulan berikutnya jatuh pada bulan April 2024. Menurut dia, semestinya semua pihak patuh dan konsisten pada perintah konstitusi karena negara harus dibangun dengan sistem yang ajek agar agenda kenegaraan lima tahunan bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya. (sws, ant)

Demokrasi dan Rule of Law, Cara Oligarki Kendalikan Penguasa

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN - State regulatory body atau commission, yang dalam studi tata negara juga disebut “auxelarry body”, bukan badan yang diatur UUD. Sama sekali bukan. Badan yang status organiknya bersifat independen ini, merupakan temuan terhebat oligarki Amerika. Badan ini disodorkan oleh kelompok penghisap seluruh sumberdaya ekonomi sebagai cara mereka melepaskan diri dari pengawasan langsung pemerintah. Dalam kasus Amerika, hambatan non tarif dagang antar negara bagian, monopoli angkutan barang, dan diskriminasi harga, semuanya tersambung dengan perilaku korporasi. Rockeffeler dengan standard Oilnya, berada di jantung utama menjadi salah satu sebab pembentukan Interstate Commerce Commission Act (ICC) tahun 1887. Sebab lain adalah adanya kenyataan korporasi telah megambil watak “trust.” Konsep yang saat itu belum menggema di Amerika, merupakan temuan hebat J.P. Morgan. Kombinasi sebab-sebab itu dipakai oleh Grover Cleveland (1885-1889), sang Presiden pro bisnis besar Sherman Act 1890. UU ini melarang semua bentuk monopoli, kombinasi, konspirasi pengaturan harga antar beberapa orang atau monopoli perdagangan di negara-negara bagian. Sukses? Tidak juga. Standar Oil jatuh tahun 1911 bukan karena UU ini. Investigasi Ida Tarbel, investigasi wartawan kawakan Majalah McLure’s menjadi sebab utamanya. Kala itu investigasi khas Ida Tarbel disebut “muckraker.” Terbuai dengan ide institusionalisasi, muncul lagi gagasan mengontrol lebih keras kelakuan para oligarkis ini. Korporasi terlihat seolah-olah mau dipukul habis melalui penciptaan sejumlah UU. Nyatanya yang terjadi adalah UU yang dibuat dalam masa krisis ekonomi hebat 1913-1921 itu justru menebalkan cengkeraman korporasi besar. Itulah dekorasi utama pemerintahan Woodrow Wilson. Wilson dan kongres merespon kenyataan itu melaui gagasan Federal Trade Commission (FTC 1914). Ini diatur dalam Clayton Act (Hendry Clayton, chairman house judiciary committee sebagai pemrakarsa). Nama resmi UU ini adalah Anti Trust Act. Sukseskah? Tidak juga. Korporasi naik lagi bersamaan dengan datangnya krisis ekonomi hebat tahun 1929-1933. Pemerintahan Franklin Delano Rosevelt (FDR) merespon krisis itu. Sangat agresif. Berbeda jauh dengan Herbert Hoover. Franklin D. Rosevelt, memang bukan kaki tangan oligarkis. FDR segera melukis pemerintahannya dengan Monetary dan Reconstruction Finance Corporation Policy. Kerbijakan itu diawali dengan pembentukan The Banking Act 1933. Belum cukup mengeliminasi laissez-faire ineviciency, dua tahun kemudian UU ini direvisi. Kongres segera membentuk The Banking Act 1935. Reymon Moley, Rex Tugel, Adolf Berle yang dilebeli “Brain Trust” dan “Trust Busting”, berada dibalik lahir kebijakan itu. Berle misalnya mengadvokasi pembentukan The Banghkin Act 1935. Menututnya, itu merupakan cara tepat menyingkirkan infesiensi ekonomi, khususnya di bidang keuangan. Berputar disekitar monetary policy untuk macro economy stabilization, pemerintah FDR segera keluarkan kebijakan yang terlihat melindungi masyarakat. Disodorkanlah kebijakan-kebijakan penukaran emas dengan surat berharga. Surat berharga itu dapat diuangkan di bank. Tetapi, ini yang menarik. Ketika surat-surat berharga itu dibawa ke bank, mereka menemukan kenyataan Bank telah diliburkan. Ini dikenal dengan “Bank Holiday”. dikenal juga sebagai “massacre day”. Kemana saja perginya emas-emas itu? Pergi ke Bank of England. Korporasi terus berpesta. Dengan dalih memukul omong kosong free market, Kongres segera membentuk The Securities and Exchange policy. Segera dibentuklah The Securities and Exchanges Commission (SEC; 1934). Kebijakan itu dikokohkan dengan Federal Deposit Insurance Corporation. Juga Federal Home Bank Loan, Federal Saving and Loan Insurance Corporation, Federal Kredit Union, dan the National Mortage Association. Semua kebijakan di atas melengkapi Federal Homes Loan Bank Act 1932 yang diteken oleh Hoover. Pemerintah FDR mengeluarkan Home Owners Loan Act (HOLA). Dalam HOLA ini, diatur pembentukan Federal Housing Administration. Terlihat manis, pemerintah FDR segera mengidfentifikasi komunikasi sebagai satu masalah di tengah putaran waktu krisis itu. Ini harus dibereskan. Kongres merespon. Kongres membuat the Federal Communication Commission (FCC 1934). Ini dituangkan dalam Federal Communication Act. Tahu bahwa kekacauan sosial selalu memanggil partner utamanya, yaitu instabilitas politik, maka masyarakat harus diberikan perhatian. Itulah gagasan yang harus dimengerti dari “Social Infrastructure Policy.” Dalam kerangka itulah dibentuk Social Security Act, dan lainnya yang sejenis dalam sifatnya. Memang secara teknis, Social Security Act itu bertujuan melakukan “stabilisasi ekonomi makro”. UU ini menyediakan jaminan untuk meraka yang tidak mempunyai pekerjaan, unemployment insurance, jaminan bagi para pensiunan, bantuan kepada anak-anak, dan program jaminan sosial lainnya. UU dalam gagasan awalnya dirancang sebagai cara memberi kepastian berkerlanjutan dan permanen terhadap peningkatan stok rumah secara nasional. Program ini tampak memungkinkan semakin banyak orang memiliki rumah. Ditujukan terutama kepada mereka yang berusia diatas 33 tahun. Bahu-membahu dengan pemerintah, Felix Frankfurther, Tomy Corcoran, James Landis dan Ben Cohen, eksponen utama “korporatis group,” seperti Merle dan kawan-kawan mengadvoksasi pembentukan National Labor Relation Act. Canggih cara kerjanya. Sebab mereka hanya mengadvokasi, dan Senator Robert Wagner yang memprakarsai pembentukan UU itu. Itu sebabnya UU sering disebut Wagner Act. UU ini memberi pekerja priveleg. UU ini mengatur apa yang dikenal dengan Labour Relation Board, yan bersifat independen. Apakah kehidupan berubah setelah itu? Mereka tetap saja buruh. Upah tetap saja menjadi soal. Satu-satunya yang terlihat hebat dari UU ini adalah buruh diberi kebebasan berserikat. Itu saja. Tidak lebih. Itulah demokrasi dan rule of law khas kaum oligarki. Pembaca FNN yang budiman, The Bankin Act 1933-1935 benar-benar merupakan cara licik oligarki mengisolasi, membatasi dan memotong ruang lingkup jangkauan kewenangan presiden. Kewenangan presiden itu dipotong dengan cara memberi sifat “independen” pada badan yang disebut regulatory body atau commission itu. Tidak mengherabnkan American Bar Aassociation (ABA) menemukan kenyataan New Deal Policy adalah cara pemerintah federal, yang bekerja dibawah kendali oligarki memperluas kekuasaan pemerintahan federal. Administrative agency, termasuk badan-badan independen itu diidentifikasi sebagai siasat institusional pemerintah pusat memperluas kekuasaannya. ABA atas dasar penilaian itu segera membentuk special committee on administrative law. Mereka memeriksa semua UU itu. Enam tahun mereka bekerja, adminsitrative agency segera diidentifikasi sebagai “administrative absolutism.” Amerika di sepanjang periode ini, dalam identifikasi mereka, ditarik dan dijatuhkan ke dalam totalitarianism. Roscou Pound, sosiolg kenamaan yang pandangannya tentang hukum begitu populer di Indonesia, kala itu bertindak sebagai salah satu chair-nya. Pound menyangkal independent commission yang diagungkan para politisi, karena diisi oleh para expert. Dalam kenyataan, Pound menilai tidak ada korelasi signifikan antara para expert dengan eksistensi independent commission. Pembaca FNN yang Budiman. Pemerintahan Franklin D. Rosevelt dengan New Dealnya dikenal juga sebagai “pemerintahan korporatis”. Bukan demokrasi, periode ini dilebel dengan korporatokrasi. Begitulah demokrasi dan rule of law di negara demokrasi sekelas Amerika. Rakyat menari dengan demokrasi sejauh bicara-bicara di satu sisi. Pada sisi oligarki, demokrasi memungkinkan mereka mendikte pemerintah membuat kebijakan dan menulis huruf-huruf dalam setiap UU. Bagaimana dengan demokrasi dan rule of law dinegeri kita? Mirip dalam banyak aspek. Kemiripan ini terlihat pada tampilan emprik KPK. Badan ini dirancang sedemikian canggih sehingga harus benar-benar berada di luar jangkauan UUD 1945 dan kekuasaan Presiden. Pembaca FNN yang berbahagia. Konsep independen untuk badan yang disebut regulatory body sejenis KPK dan Bank Indonesia itu, dalam sejarahnya digagas oleh Kolonel Edward Mandel House, mentor politik Presiden Wodroow Wilson. Orang ini juga yang berada dibalik gagasan Internatization liberty, pijakan kebijakan“self determination” untuk negara-negara yang hingga tahun 1919 itu masih terjajah. Konsep independent itu diambil dari pengadilan, dan disematkan untuk pertama kalinya pada The Fed. Sebagai konsekuensinya Presiden tidak bisa mengurus urusan-urusan pemerintahan itu. Ini yang di tahun 1935 ditunjukan oleh special committee American Barr Association sebagai totalitarianism dan administrative absolutism. Di jalan itulah Indonesia mutakhir merenda dengan takdir demokrasi dan rule of law-nya. Rakyat terus berpesta dengan kritik demi kririk kepada pemerintah di satu sisi. Namun di sisi lain pemerintah terus asyik dengan nadanya sendiri. Sistem politik, setidaknya sistem pengisian anggota DPR, terdekorasi manis sekali dengan diskriminasi yang level primitifnya begitu telanjang. Diskriminasi tersebut diinstitusionalisasi ke dalam parlementary treshold dan presidential treshold. Hukum itu? Namun sama busuknya. Mempertahankan hak, mulai kehilangan pijakan keabsahannya. Itulah sumbangan kecil mematikan dari UU Cipta Lapangan Kerja. Konyol sekali bangsa ini. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

Amandemen Bukan Sesuatu yang Tabu, Tapi Harus Komperhensif

Jakarta, FNN - Amandemen UUD 1945 bukan sesuatu yang tabu. Menjadi lumrah jika pikiran dan wacana itu secara periodik mewarnai dinamika politik Indonesia. Mengingat sudah dua dekade usia amandemen terakhir. Namun jika amandemen ingin direalisasikan, maka tidak bisa hanya parsial. Amandemen harus komperhensif. Merefleksikan kepentingan bangsa dan negara. Bukan kepentingan kelompok yang temporer. Pandangan itu disampaikan oleh Koordinator Panitia Musyawarah DPD, Tamsil Linrung dalam sambutannya ketika membuka agenda focus group discussion (FGD) Panmus DPD di Bandung. Menurut senator asal Sulawesi Selatan ini, diantara problem yang hangat jadi sorotan di tengah wacana amandemen adalah soal presidential threshold dan penataan kewenangan DPD. "Setting aturan menggiring skenario pembatasan kontestan Pilpres, mengakibatkan polarisasi politik yang sangat tajam. Masyarakat terbelah. Sistem politik menciptakan dinamika yang bising tapi tidak subtansial," papar Tamsil. Padahal, dengan membuka ruang kontestasi seluas-luasnya, termasuk melalui jalur capres independen, republik ini diuntungkan. Kontestasi lebih kompetitif. Selain itu, imbuhnya, bakal muncul banyak kandidat serta mencegah keterbelahan politik. Ketua Kelompok DPD di MPR ini juga menyoroti sistem ketatanegaraan yang dinilai tidak pada format ideal. Menurutnya, demokrasi perwakilan bikameral masih jauh dari harapan. Hasil kajian MPR selama 10 tahun terakhir, bahkan merekomendasikan penataan kewenangan DPD. “Para ahli yang telah kita ajak berdiskusi di MPR, juga memandang kiprah DPD sebagai representasi daerah perlu diberi ruang proporsional. DPD dapat menguatkan legitimasi produk legislasi serta meneguhkan peran pengawasan dan akuntabilitas budgeting yang diputuskan parlemen," imbuhnya. Tamsil memandang wacana Amandemen UUD jadi momentum untuk mengkomunikasikan hal tersebut secara politik. Sejauh ini, DPD terus melakukan roadshow ke kampus-kampus. Berdialog dan mendengar pendapat serta masukan para rektor, pakar dan akademisi. Pakar hukum tata negara, Indra Perwira yang hadir sebagai narasumber berpendapat, DPD tidak harus berlomba dalam membuat UU. Tapi fokus pada pengawasan hak-hak daerah. Akademisi Universitas Padjajaran ini juga menyoroti banyak kewenangan daerah yang ditarik lagi ke pusat, sehingga terkesan ada upaya menyeragamkan semua daerah melalui keputusan-keputusan politik pemerintah pusat. Menurutnya, pemerintah harus menjaga keberagaman daerah. Karena eksistensi bangsa Indonesia adalah kerelaan daerah yang beraneka ragam untuk menjadi NKRI. Sementara itu, pengamat hukum Universitas Pasundan, Atang Irawan menilai wacana amandemen dengan agenda utama Pokok Pokok Haluan Negara berpotensi mempersempit ruang gerak DPD. "PPHN menjadi monolitik. Milik MPR," imbuhnya. Karena itu, Atang menyarankan agar DPD menimbang lagi wacana PPHN yang kini bergulir di kajian internal MPR. (JD)

KPU Diminta Hati-Hati Tentukan Jadwal Pemilu 2024

Jakarta, FNN - Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin meminta DPR, Pemerintah, KPU, dan Bawaslu supaya berhati-hati dalam menentukan jadwal Pemilu 2024. Sebab, jadwal Pemilu ditetapkan oleh UUD 1945, sehingga mengubah waktu menyebabkan pelaksanaannya berpotensi inkonstitusional. "Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah tegas menyatakan 'Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali'," kata Said di Jakarta, Senin, 20 September 2021. Dia menjelaskan, frasa "lima tahun" itu mudah sekali menghitungnya, yaitu 12 bulan dikali 5, sehingga kalau pada tahun 2019 Pemilu dilaksanakan di bulan April, maka 60 bulan berikutnya jatuh di bulan April 2024. Menurut dia, semestinya semua pihak patuh dan konsisten pada perintah konstitusi. Sebab, negara harus dibangun dengan sistem yang "ajeg" agar agenda kenegaraan lima tahunan bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya. "Kalau ada alasan yang bersifat force majeure, seperti bencana alam atau bencana non-alam yang terjadi di seluruh Indonesia atau ada unsur kedaruratan serta alasan khusus lainnya, itu bisa saja dijadikan sebagai pertimbangan untuk memajukan atau memundurkan jadwal Pemilu sehingga tidak harus dilaksanakan di bulan April," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Antara. Namun menurut dia, kalau alasannya hanya karena ada Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak 2024, itu tidak masuk akal karena jadwal Pilkada serentak nasional di bulan November 2024 hanya diatur di level undang-undang. Dia menjelaskan, berbeda halnya dengan Pemilu yang jadwalnya ditetapkan langsung oleh UUD 1945. Hal itu sudah menjadi konvensi yaitu selalu dilaksanakan di bulan April sejak empat kali Pemilu terakhir. "Jika Pemilu dilaksanakan di bulan Februari atau Mei 2024 seperti wacana yang muncul selama ini, itu artinya Pemilu tidak genap dilaksanakan setiap lima tahun sekali," katanya. Dia khawatir bisa muncul permasalahan hukum yang serius jika jadwal Pemilu yang diatur dalam UUD 1945 dikalahkan oleh jadwal Pilkada yang hanya diatur di level undang-undang. Kalau terpaksa harus ada yang "dikalahkan", semestinya jadwal Pilkada yang dimundurkan, bukan jadwal Pemilu. Dia menjelaskan, kalau pelaksanaan Pilkada pada bulan November dianggap terlalu dekat dengan pelaksanaan Pemilu di bulan April, bisa saja jadwal Pilkada dimundurkan oleh DPR dan Pemerintah melalui revisi undang-undang. "Atau cukup dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) oleh Presiden dalam hal ada unsur kegentingan yang memaksa," ujarnya. Artinya, perubahan jadwal Pilkada lebih mudah dilakukan ketimbang mengubah jadwal Pemilu. Sebab, jika Pemilu tidak dilaksanakan lima tahun sekali, maka MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) harus bersidang untuk melakukan amendemen Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. (MD).

Anggota DPR Minta Penyelenggaraan Pemilu 2024 Dilaksanakan Minimalis

Jakarta, FNN - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang meminta agar penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) serentak 2024 diselenggarakan secara minimalis, sebagai upaya untuk menghemat anggaran yang harus ditanggung negara. Menurut dia, semakin lama tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang terdiri dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) akan semakin besar anggaran negara nantinya yang dihabiskan. "Anggaran penyelenggaraan pemilu ini harus kita perhatikan, karena menyangkut situasi ekonomi sekarang. Sehingga sebaiknya penyelenggaraan tahapan pemilu dibuat minimalis saja. Menyangkut anggaran semakin lama tahapan maka akan semakin tinggi anggaran yang dihabiskan," tutur Junimart di Jakarta, Kamis. Dia mengatakan, dalam tahapan Pemilu 2024 sebaiknya untuk masa kampanye Pilpres dan Pileg penyelenggaraannya dapat dipersingkat menjadi 3 bulan dan untuk masa kampanye Pilkada cukup selama 45 hari saja. Menurut dia, hal itu dengan pertimbangan bentuk dukungan kita terhadap Pemerintah dalam menurunkan penyebaran kasus COVID-19. Selain itu dia juga menyoroti terkait potensi konflik yang terjadi pasca-pemilu yang sebelumnya menjadi alasan bagi KPU, Bawaslu, dan DKPP meminta agar tahapan penyelenggaraan pemilu diselenggarakan dengan durasi panjang seperti Pemilu 2019. Junimart menilai hal tersebut hanya sebatas produk politik yang semestinya dapat dicegah agar tidak terjadi pada Pemilu 2024. "Terkait konflik politik dan irisan-irisan yang terjadi pasca-pemilu, menurut saya ini adalah sesuatu yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Dan irisan-irisan atau konflik ini sebenarnya juga bisa kita antisipasi agar tidak terjadi," ucap dia. Dia juga menilai seharusnya penggunaan anggaran pada Pemilu 2024 lebih dioptimalkan peruntukannya kepada pembayaran honor dari para tenaga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Sebelumnya KPU mengusulkan masa kampanye pemilihan umum (Pemilu) 2024 diperpanjang menjadi 7 bulan. Ketua KPU Ilham Saputra beralasan, masa kampanye perlu diperpanjang untuk menyesuaikan dengan waktu persiapan distribusi logistik ke tempat-tempat pemungutan suara (TPS). (mth)