POLITIK
Eks Timnas Sepak Bola Octo Maniani Gabung ke Partai Gelora
JAKARTA, FNN -- Mantan pemain tim nasional (timnas) sepak bola Indonesia, Oktovianus Maniani (Okto), resmi bergabung dengan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia. Ketua Bidang Rekrutmen Anggota DPN Partai Gelora Indonesia, Endy Kurniawan, mengatakan, Okto mengaku gembira dan bersemangat bisa bergabung dengan Partai Gelora. "Saya sempat berkomunikasi langsung melalui video call dengan Okto begitu mendapat kabar bahwa dia gabung ke Partai Gelora, Kamis (12/8) siang. Cerah wajahnya," kata Endy dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/8). Endy menyampaikan ucapan terima kasih kepada Okto yang mau bersedia gabung ke partai besutan Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfuz Sidik tersebut. Partai Gelora berpandangan, Okto yang kini berusia 30 tahun merupakan representasi dan semangat Indonesia Timur. "Kami berharap Okto bisa menjadi duta dan role model yang membawa aspirasi masyarakat yang berjuang bersama Partai Gelora," ujarnya. Endy juga mengapresiasi Dewan Pimpinan Wlayah (DPW) Papua yang secara gigih berhasil merekrut tokoh-tokoh Papua seperti Okto Maniani bergabung bersama Partai Gelora. "Saya juga mendengar akan cukup banyak nama atlet nasional dari Papua yang akan bergabung bersama Gelora, termasuk kolega-kolega Okto. Partai Gelora sebagai partai terbuka akan menyiapkan ruang partisipasi yang besar," jelas Endy. Oktovianus Maniani, lahir di Jayapura pada 27 Oktober 1990 silam. Sebelum pandemi Covid-19, Okto bermain untuk Persiba Balikpapan di Liga 2 pada 2020 lalu. Okto dipanggil untuk memperkuat timnas Indonesia U-23 di ajang SEA Games 2011 saat Indonesia menjadi tuan rumah. Pada Indonesia Super League (ISL) tahun 2010/2011, Okto dipinang oleh klub Sriwijaya FC yang dilatih oleh Ivan Kolev. Okto juga pernah memperkuat Arema Cronus, Madura FC, Perserang, Persewar Waropen, dan lain-lain. Okto juga pernah tergabung dalam Indonesia untuk persiapan Piala AFF 2010 di bawah asuhan Alfred Riedl. Ia pun masuk skuad pemain timnas senior dan memperkuat Indonesia dalam even-even internasional. (ant)
Pemkot Tanjungpinang Tanggapi Soal Arogansi Wali Kota dan Ajudan
Tanjungpinang, FNN - Pemerintah Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menanggapi pemberitaan soal arogansi Wali Kota Rahma dan ajudannya terhadap sejumlah wartawan yang hendak melakukan kegiatan wawancara pada Selasa (10/8). “Tidak seperti yang digambarkan pada pemberitaan yang ada, ajudan atau pengawalan hanya melakukan tugasnya agar wali kota segera ke lokasi kegiatan selanjutnya karena sudah terlambat,” kata Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokompim) Bobby Wira Satria, Kamis. Bobby juga menjelaskan bahwa saat itu tidak ada aksi dorong-dorongan untuk menghalangi kerja rekan-rekan jurnalis. Menurut dia, sang ajudan sedang fokus bekerja dengan menjalankan tupoksi sebagai pengawalan kepala daerah. Ia tak menampik terkadang bentuk profesionalisme pekerjaan saat petugas pengawalan kepala daerah melakukan tugasnya, dianggap menghalangi orang lain untuk mendekati atau mewawancarai kepala daerah yang sedang dikawalnya. “Saat itu protokol, ajudan dan pengawalan melakukan tugasnya dengan baik, tidak ada kekerasan atau bahasa yang tidak sopan. Mereka hanya mengarahkan agar wali kota segera masuk ke dalam mobil agar secepatnya menuju pada kegiatan berikutnya,” jelas Bobby. Sementara itu, Bobby juga menanggapi terkait penyebaran informasi mengenai agenda kepala daerah kepada publik. Pihaknya mengklaim selalu memberikan informasi mengenai jadwal harian kepala daerah, lengkap dengan waktu dan tempatnya. "Tetapi jika kegiatan bersifat konsolidasi internal atau rapat terbatas, tidak kami sebarkan kepada rekan-rekan jurnalis untuk dilakukan peliputan atas kegiatan tersebut,” ungkapnya. Lebih lanjut Bobby menyampaikan akan selalu mengevaluasi seluruh kinerja stafnya agar selalu mengikuti aturan, protap, dan mengedepankan pelayanan prima. "Kami menyampaikan permohonan maaf apabila masih ada sikap yang kurang berkenan pada saat pelaksanaan tugas dan kami senantiasa menerima kritik serta saran yang membangun dalam rangka evaluasi kinerja Prokompim," demikian Bobby. (sws)
Jakarta Defence Studies Sambut Baik Kurikulum Sains Pertahanan Menhan
Jakarta, FNN - Kelompok kajian masalah pertahanan dan wacana-wacana strategis Jakarta Defence Studies menyambut baik langkah Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang mendorong kurikulum sains pertahanan di Indonesia. "Saya senang Pak Prabowo fokus kepada kurikulum sains pertahanan untuk sarjana di Universitas Pertahanan," kata Co Founder Jakarta Defence Studies Edna Caroline kepada wartawan di Jakarta, Kamis. Kendati demikian, ia menilai hal itu saja belum cukup. Sebab, Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih luas. Sebagaimana diketahui, saat ini Universitas Pertahanan memiliki program studi Kedokteran Militer, Farmasi Militer, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Militer, dan Fakultas Teknik Militer yang dibuka pada 2020 guna menyiapkan sumber daya manusia pertahanan negara serta merespons ancaman dan perang di masa depan, termasuk ancaman biologi. Edna Caroline mengatakan adanya kurikulum sains pertahanan penting untuk masa depan pertahanan negara, namun selama ini pemerintah masih terlihat enggan berinvestasi dalam bidang sumber daya manusia pertahanan negara. Edna mengakui investasi di sektor sumber daya manusia memang memakan waktu yang cukup lama. China misalnya, membutuhkan sekitar 50 tahun untuk membangun kualitas sumber daya manusia di sektor pertahanan yang mumpuni. "Kita butuh kerja sama tentang pendidikan. Negara atau produsen yang bisa membagikan ilmu teknologi pertahanan kepada kita. Jadi memang butuh pendekatan yang lebih komprehensif," ujar dia. Pada April 2020 Menhan Prabowo Subianto meminta Rektor Universitas Pertahanan Laksamana Muda TNI Amarulla Octavian untuk membuka kurikulum sains pertahanan guna menghasilkan para perwira Korps Kesehatan TNI yang cakap melaksanakan operasi militer, termasuk menghadapi wabah penyakit seperti COVID-19. "Perlu mencetak kader terbaik yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi, sekarang terjadi pandemi. Kita berupaya keras menguasai ilmu di bidang kedokteran," kata Prabowo. Harapannya, semakin banyak sarjana di bidang farmasi dan kedokteran yang nantinya bisa memproduksi obat di dalam negeri sehingga tidak bergantung kepada negara lain. (sws)
Menata Parlemen, Menguatkan Peran Civil Society
Oleh: Tamsil Linrung *) CHECK and balances. Dua kata ini acapkali menjadi pemanis dalam diskursus ketatanegaraan. Dengan prinsip saling kontrol dan saling imbang (check and balances) ini, lembaga-lembaga negara atau cabang-cabang kekuasaan dapat menghindari pemusatan kekuasaan yang sewenang-wenang. Semua negara di dunia selalu menerapkan prinsip check and balances. Pun Indonesia. Reformasi politik 1998 yang disusul reformasi konstitusi sebanyak empat kali amandemen UUD 1945 menyepakati diadopsinya prinsip check and balances ke dalam sistem pemerintahan. Tetapi, mekanisme check and balances tentu hanya dapat berjalan jika lembaga negara dimaksud punya kewenangan berimbang. Bila tidak, jangankan saling check, untuk balance saja jelas mustahil. Dari perspektif ini, prinsip check and balances antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan lembaga negara lainnya menjadi sulit tercapai karena kewenangan DPD begitu timpang ketimbang yang lain. Padahal, dalam sistem pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat sangat sentral. DPD dibentuk untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. DPD dibentuk juga agar prinsip check and balances dapat berlangsung paripurna. Tentu DPD berusaha maksimal menjalankan amanah ini. Namun dengan kewenangan terbatas, langkah-langkah politik menjadi terbatas pula. Mandat konstitusi kepada DPD hanya sebatas menyarankan, memberi pertimbangan dan dapat ikut serta saja. Konstitusi hanya memberikan fungsi perwakilan kepada DPR, yang tercermin dari kepemilikan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran yang secara kuat dimiliki DPR. Meski DPD juga memiliki fungsi tersebut, namun fungsi yang dimilikinya tidak bersifat otoritatif. Itulah sebabnya keberadaan DPD yang tadinya menjadi lembaga penyeimbang DPR justru hanya menjadi pelengkap dan bahkan subordinat DPR. Padahal, legitimasi anggota DPD sangat kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. DPD sebagai kamar kedua tidak memiliki kewenangan memadai untuk mengontrol proses legislasi di DPR. Sebaliknya, DPR sebagai kamar pertama mempunyai kewenangan mengontrol secara penuh usulan RUU. Masalahnya, bukan tidak mungkin terjadi konflik kepentingan antara pemerintah dan partai-partai pendukung pemerintah yang begitu dominan di DPR. Ingatan kita tentu masih segar pada pengesahan UU Omnibus Law yang tempo hari diusulkan pemerintah. Di tengah berbagai kecurigaan rakyat atas proses legislasi UU Omnibus Law yang super kilat itu, DPD tidak bisa berbuat banyak. Ini hanya satu contoh kecil betapa ketiadaan double check antara DPD dan DPR harus dikritisi kembali, sebab konstitusi tegas menyerukan semangat check and balances. Namun kita terpaksa menegasinya karena ketimpangan kewenangan. Penguatan DPD Jawaban persoalan di atas sudah pasti penguatan kewenangan lembaga DPD melalui amandemen kelima UUD 1945. Namun, proses politik ini tidak hanya memerlukan persetujuan politik bersama antara DPR dan DPD, tetapi juga kemampuan melawan ego, syahwat, dan nikmat kekuasaan. Kini, terbuka jalan amandemen kelima menyusul digagasnya rumusan norma Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) oleh MPR. DPD tentu menyambut baik, dengan tetap mawas terhadap potensi penumpang gelap amandemen. Bila kotak Pandora amandemen sepakat kita buka, sekalian saja mengoptimalisasi konstruksi sistem parlemen yang ada. Kita berharap, DPR dengan segala kesadaran politik dan kerendahan hatinya menyambut baik gagasan itu. Namun, guna mendorong upaya politik ini lebih kencang, DPD perlu merangkul masyarakat sipil, sekaligus memberi jalan agar civil society bertumbuh menjadi faktor penyeimbang di parlemen. Jejaring masyarakat sipil bisa berperan melahirkan reformasi kelembagaan parlemen melalui pergumulan ide, gagasan, dan desakan kepada pemangku kebijakan. Pelibatan masyarakat sipil secara intens, sekaligus menambah energi agar cahaya demokrasi yang mulai meredup kembali berkilau. Bagaimana pun juga, institusi masyarakat sipil masih dipandang sebagai simpul pembela kepentingan rakyat. Artinya, pelibatannya masyarakat sipil secara tak langsung merupakan upaya melebarkan representasi rakyat secara optimal. Syukurnya, DPD belakangan terlihat intens bertukar pikiran dengan mereka. Tak hanya di Ibukota, dalam beberapa kesempatan, Ketua DPD didamping sejumlah Anggota DPD bahkan menyambangi institusi masyarakat sipil dengan melakukan roadshow ke daerah-daerah. Selain menyerap aspirasi daerah, roadshow ini juga menerima masukan urgensi penguatan DPD. Tidak sedikit diantaranya menginginkan strong bikameral, di mana kewenangan DPD sebanding dengan DPR. Pemikiran ini tentu sangat ideal. Namun, pemikiran ideal itu muncul dari harapan masyarakat yang menginginkan DPD melanjutkan perjuangan presidential threshold atau ambang batas pemilihan presiden 0 persen sehingga masyarakat dapat disajikan beragam pilihan calon presiden dan wakil presiden. Selama ini, DPD memang tengah memperjuangkan ambang batas 0 persen. DPD juga menggagas pemikiran calon presiden perorangan atau non partai. Dua cita-cita ini tidak hanya membutuhkan energi besar tetapi juga kewenangan yang memadai. Jadi, kata kuncinya kembali kepada penguatan DPD melalui amandemen UUD 1945. Syukurnya, dukungan masyarakat terlihat besar, baik personal maupun dari organisasi masyarakat sipil. Dukungan ini menjadi support moral bagi DPD untuk bekerja lebih maksimal menuju cita-cita itu. Saran lainnya, ada pula yang mengusulkan agar DPD menjadi satu fraksi di DPR, sebagaimana disampaikan pakar hukum tata negara Dr. Maruarar Siahaan. Ide ini cukup menarik. Jika konstitusi memberi ruang kepada DPD dalam konteks itu, maka segala hak dan kewenangan DPR juga melekat pada DPD, dari soal legislasi hingga hak mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Apapun formatnya, yang jelas penataan relasi kerja yang baik dan berimbang antara DPR dan DPD perlu dikaji ulang. Bila tidak, sulit mencapai kinerja parlemen yang efektif. Kata kuncinya ada pada frasa berimbang. Jika dua kamar dalam sistem parlemen bikameral ini dibiarkan terus-menerus tidak sebanding, mustahil berharap saling kontrol dan saling imbang (check and balances), baik antara parlemen dengan lembaga tinggi negara lainnya maupun di internal parlemen sendiri. Masalahnya, setiap kali isu penguatan DPD bergulir, maka di saat yang sama muncul anggapan adanya pengurangan kewenangan DPR. Padahal tidak demikian. Kuatnya DPD akan menguatkan parlemen secara keseluruhan karena saling kontrol dan saling imbang tentu berpengaruh pada kualitas produk legislasi yang dihasilkan. Terkecuali bila sudut pandangnya kepentingan kelompok, nah, itu beda lagi. *) Penulis adalah Anggota DPD RI
Menggugat Hegemoni Ambang Batas Calon Presiden
Presidential threshold nyata mengebiri peluang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon pemimpin negeri. Sebaliknya, calon perseorangan mengusung semangat meluaskan alternatif pilihan rakyat dalam menemukan pemimpinnya. Oleh: Tamsil Linrung PRESIDENTIAL threshold (PT) tidak hanya menggerogoti demokrasi, tetapi juga mengamputasi amanat konstitusi. Meski seringkali menjadi polemik, namun segala upaya korektif terhadap ambang batas pencalonan presiden tidak pernah mempan. Segenap gugatan ditolak, semua langkah hukum dimentahkan, dan seluruh analisa pakar menguap terbawa angin. Kita tidak mengerti, kekuatan apa di balik aturan ambang batas pencalonan presiden itu. Di belakangnya, konon, oligarki berkelindan dengan sejumlah klan politik, bahu-membahu mempertahankan presidential threshold. Tujuannya, sebagai siasat meloloskan pasangan capres-cawapres partai politik tertentu, sekaligus mengebiri pasangan kandidat dari parpol lain. Indonesia bukan milik kelompok tertentu. Indonesia milik kita, dibangun di atas pondasi demokrasi dan hukum. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menggaransi agar proses pengambilan keputusan akomodatif terhadap peran serta masyarakat. Sedangkan hukum menjadi aturan main. Hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik." Bunyi dan maknanya terang, sehingga minim potensi dipersepsikan keliru. Tegasnya, konstitusi membebaskan parpol memilih satu dari dua alternatif, hendak mengusung calon sendiri atau memilih bergabung bersama parpol lainnya. Tetapi aturan presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menginterpretasi berbeda. Untuk dapat mengusung calonnya sendiri, Parpol wajib memenuhi kuota minimal 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional. Kalkulasi suara tersebut berbasis pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Terlihat jelas, ada pertentangan antara dua pasal di atas. Karena konstitusi adalah sumber hukum tertinggi, maka aturan yang bertentangan di bawah harus dipandang inkonstitusional. Inkonstitusionalitas presidential threshold sekurangnya ada tiga. Pertama, presidential threshold mengekang kebebasan parpol mengajukan pasangan calon secara mandiri atau bersama, yang oleh UUD 1945, parpol justru diberi keleluasaan. Kedua, angka 20% jumlah kursi DPR dan 25% suara sah nasional terasa ajaib karena muncul secara tiba-tiba. Angka ajaib itu tidak punya cantolan kepada UUD 1945. Ketiga, jumlah minimal kursi DPR atau suara sah nasional disebut didasarkan pada pemilu sebelumnya. Ambil contoh Pilpres 2019. Dasar hitung-hitungan kuota partai untuk mengusung pasangan calon presiden berangkat dari hasil Pemilu 2014. Padahal, hasil Pemilu itu telah digunakan untuk pencalonan presiden 2014. Jadi, satu tiket dipakai untuk dua event berbeda. Lagi pula, bila kalkulasi suara didasarkan pada Pemilu periode sebelumnya, lalu bagaimana jika ada partai baru dalam rentang 5 tahun belakangan? Bagaimana dengan hak konstitusional mereka mengajukan calon? Jawabannya, hak konstitusional ini harus bertekuk lutut dalam kendali presidential threshold. Perlawanan DPD DPD (Dewan Perwakilan Daerah) selaku lembaga perwakilan rakyat tentu memiliki beban moral untuk ikut andil meluruskan kekeliruan presidential threshold. Ini sebuah kekeliruan berjamaah yang kemungkinan besar disadari oleh semua jamaahnya. Namun, langkah dan kepentingan politik jangka pendeklah yang mengharuskan sebagian pihak memunggungi fakta, lalu menundukkan hati pada kebatilan. Saya tak bermaksud mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkali-kali menolak uji materi pasal 222 UU Pemilu adalah batil. Bila dicermati, putusan penolakan MK diwarnai pertimbangan open legal policy, yang berarti kebijakan mengenai pasal dimaksud merupakan kewenangan pembentuk UU alias DPR. Selain itu, putusan MK juga disertai dissenting opinion. Pada uji materi pasal 222 UU Pemilu yang diajukan Rhoma Irama, Hakim Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat berbeda. Keduanya menilai ambang batas presiden 20% tidak adil. Sedangkan dalam putusan uji materi yang diajukan Rizal Ramli, ada empat hakim setuju gugatan pemohon, yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Manahan MP Sitompul, dan Enny Nurbaningsih. Sebagai hukum yang mengikat, yang menjadi acuan tentu saja amar putusan MK, bukan pendapat perseorangan hakim. Namun, situasi di atas kiranya memberi gambaran tersendiri tentang presidential threshold. Artinya, sangat beralasan DPD memutuskan melawan hegemoni presidential threshold dengan menawarkan gagasan ambang batas 0 (nol) persen, sebagaimana amanat konstitusi. Senapas dengan langkah tersebut, DPD sekaligus mencoba merumuskan rekonstruksi model penguatan sistem presidensiil melalui upaya alternatif pengajuan calon presiden dan wakil presiden non-partai atau perseorangan. Ide itu setidaknya berangkat dari dua pertimbangan. Pertama, sebagai upaya DPD membuka keran seluas-luasnya bagi partisipasi politik anak negeri untuk berkompetisi bagi kemajuan bangsa. UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mendefenisikan pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Melalui pemilu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi menyerahkan kedaulatannya kepada lembaga negara. DPD menjadi salah satu pemegang amanat itu, sehingga menjadi kewajiban DPD menghadirkan sistem pelaksanaan pemilu yang secara konsisten memijak UUD 1945. Presidential threshold nyata mengebiri peluang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon pemimpin negeri. Sebaliknya, calon perseorangan mengusung semangat meluaskan alternatif pilihan rakyat dalam menemukan pemimpinnya. Memang, yang harus dirumuskan kemudian adalah syarat calon presiden independen. Bobot, kualifikasi, dan prosedurnya harus sebanding dengan syarat calon presiden yang diusung parpol. Misalnya saja, bila calon presiden partai atau gabungan partai otomatis telah mendapat rekomendasi dan jaminan parpol, maka untuk sebanding dengan syarat ini, calon presiden independen harus melalui fit and proper test. Kedua, kalau usulan calon non partai dapat kita setujui, maka DPD diharapkan dapat mengajukan calon presidennya sendiri. Dulu, sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon. DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Meski Utusan Daerah tidak persis sama dengan DPD, namun hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak diamputasi. Termasuk hak mengajukan Capres-Cawapres. Lagi pula, DPD memiliki legitimasi kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. Dengan begitu, hak DPD mengajukan calon sendiri adalah rasional. Kini, semua berpulang pada satu hal, yakni terbukanya kotak pandora bernama amandemen UUD 1945. Di sanalah semua perjuangan ini bermula. * Penulis adalah Anggota DPD RI.
Soekarno-Hatta Ibarat Sayap Garuda yang Saling Menangkap
Jakarta, FNN - Cendekiawan Muslim, Yudi Latief menyebutkan, sosok proklamator Soekarno dan Mohammad Hatta diibaratkan sepasang sayap Garuda Indonesia yang saling melengkapi satu sama lain. "Termasuk di dalam ekspresi keagamaan keduanya yang kelak memainkan peran besar di dalam mencari cara rekonsiliasi dalam hubungan antara keislaman dan kebangsaan," kata Yudi Latief dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu, 11 Agustus 2021. Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tersebut mengatakan, Soekarno dan Hatta juga merupakan ikon perjuangan yang sangat penting bagi Indonesia. Menurut Yudi dalam Talk Show "Pekan Bung Hatta" yang digelar oleh BKNP PDI Perjuangan, yang ditayangkan di Channel Youtube BKNP PDIP, Bung Hatta merupakan seorang yang punya keyakinan keagamaan yang teguh. Tidak menyerang dan mengancam keluar, tetapi membawa berkah pada kehidupan. Sebuah ekspresi keagaaman yang Hatta gambarkan sebagai 'Islam garam' dan bukan 'Islam gincu'. "Kalau gincu, orang tahu dari kejauhan warna gincunya, tetapi tidak bisa merasakan. Akan tetapi, kalau garam, orang tidak bisa melihat seperti apa keagamaan kita, tetapi rasa dan manfaatnya bisa dirasakan oleh semua orang," kata Yudi dalam acara yang bertema "Hatta: Islam dan Kebangsaan". Hatta adalah cucu dari Syeh Batu Ampar yang merupakan pengamal Tarekat Naqsabandiyah. Tradisi keagamaannya dibangun dalam tradisi sufistik yang lebih menekankan dimensi-dimensi interior ketimbang eksterior. Lebih menekankan pula laku ketimbang hanya dari aspek formalisme ritualisme. "Bahkan, sejak awal saja namanya sudah menyiratkan nilai sufistik, yaitu Muhammad Hatta, diambil dari Muhammad Atha. Sama seperti pengarang dari kitab sufi terkenal al-Hikam bernama Muhammad Athaillah as-Sakandari," kata Yudi. Tradisi keagamaan Hatta dibantu oleh ekspresi tasawuf yang lebih menekankan pada aspek kerohanian ketimbang aspek-aspek formalistik. "Inilah yang telah menjadikan pribadi Hatta tumbuh menjadi seorang yang berkeyakinan keagamaan kuat. Akan tetapi, pada saat yang sama Hatta juga seperti garam," kata Yudi sebagaimana dikutip dari Antara. Hatta kemudian tetap bisa memiliki pergaulan yang luas tanpa pandang bulu. Dalam menempuh pendidikan di Eropa, Hatta tetap taat menjalankan ritual seperti salat wajib lima waktu. Namun, pada saat yang sama, Hatta mengembangkan pergaulan lintas, kultural, etnis, dan agama. "Hatta mampu bergaul dengan orang-orang dari Jawa, seperti Gunawan Mangunkusumo, Arnold Mononutu, A.A. Maramis, dan bahkan bersahabatkan dengan Jawaharlal Nehru, seorang penganut agama Hindu," kata doktor sosiologi politik dan komunikasi dari Australian National University itu. Bung Hatta juga memiliki kedekatan dengan para ulama pada eranya. Dia membangun jaringan yang luas dengan tokoh-tokoh pembaharuan di Sumatera Barat, seperti Jamil Jambek dan Abdullah Ahmad. Saat di Jawa, Hatta juga banyak menjalin relasi dengan tokoh-tokoh, seperti Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. "Latar belakang keagamaan yang kuat itulah yang menjadikan Hatta semacam jembatan penghubung antar berbagai identitas dalam mendamaikan konflik yang terjadi kala itu," ucap penulis buku "Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila" itu. Cendikiawan asal Sukabumi iitu juga mengisahkan sebuah fragmen menarik yang terjadi saat Hatta masih menjadi mahasiswa di Belanda. Pernah suatu ketika Hatta bersama teman-teman mahasiswanya sedang menunggu konser musik klasik di sebuah opera house di Jerman, mereka lalu pergi ke sebuah restoran. Saat teman-temannya memilih untuk memesan minuman beralkohol, Hatta tetap berpegang teguh pada keyakinannya untuk hanya memesan air es meskipun harga es di Eropa cukup mahal. "Hal ini menandakan betapa Hatta sangat memegang prinsip keyakinannya, namun tetap rileks menghadapi perbedaan," ucap Yudi. Berbicara soal relasi agama dan negara, Bung Hatta sudah jauh-jauh hari membayangkan apa yang sekarang disebut sebagai teori Twin Tolerations’ atau toleransi kembar. Menurut dia, agama dan negara tidak perlu dipisahkan, tetapi masing-masing harus tahu diri di mana posisinya yang tepat. Yudi berpendapat, agama tidak boleh memaksakan secara langsung hukum-hukumnya pada negara tanpa melewati proses-proses permusyawaratan yang diterima oleh semua kalangan. Pada saat yang sama, negara juga harus toleran terhadap agama dan tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga agama. "Inilah kemudian poin penting Hatta dalam membangun sebuah jembatan dialog antara pendukung paham nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler kala itu. Khususnya saat momen penghapusan tujuh kata di Piagam Jakarta," katanya. Saat momen penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta mengenai syariat Islam, Hatta sangat berperan dalam mempersuasi dan meyakinkan tokoh-tokoh Islam kala itu. Ia meyakinkan, penghapusan tujuh kata itu tidak akan mengubah secara fundamental nilai-nilai ketuhanan. "Track record, latar belakang, dan perilaku Hatta yang agamis inilah yang memberikannya legitimasi moral dan kredibilitas di antara tokoh-tokoh agama kala itu," kata Yudi. Gagasan ekonomi koperasi yang dicetuskan Hatta, kata Yudi Latief, juga memiliki kedekatan dengan ekonomi syariah yang dikenal saat ini, yaitu sama-sama menekankan semangat gotong royong. (MD).
Mendes PDTT Sebut Belum Ada Pengakuan Resmi untuk Desa Adat
Jakarta, FNN - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengatakan, hingga saat ini, belum ada desa adat yang diakui secara resmi oleh pemerintah. “Belum ada satu pun desa adat yang diakui secara resmi oleh pemerintah melalui penerbitan register desa adat oleh Kementerian Dalam Negeri,” kata Gus Menteri, sapaan akrab dari Abdul Halim Iskandar, ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Rabu. Padahal, lanjut Gus Menteri, perubahan status desa administrasi (non desa adat) menjadi desa adat dapat memudahkan pemerintah dalam memenuhi hak-hak masyarakat adat, termasuk dalam melakukan penataan desa adat. Selama ini, penetapan status desa adat dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. “Pasal 98 ayat (1) UU No 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,” ucap Gus Menteri. Akan tetapi, Gus Menteri melanjutkan, dalam UU No 6 Tahun 2014 pun masih terdapat kendala yang dihadapi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Desa PDTT, dalam memfasilitasi pergantian status dari desa administrasi menjadi desa adat agar keberadaannya diakui. Salah satu kendala yang dihadapi adalah pemenuhan ketentuan desa adat yang tercantum dalam Pasal 101 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, yakni kejelasan pada batas wilayah. Pasal tersebut mengharuskan perubahan status dari desa administrasi menjadi desa adat disertai dengan lampiran peta batas wilayah. “Prasyarat pembentukan desa adat adalah adanya kepastian wilayah adat sebagai ruang berlakunya hukum adat,” tutur Gus Menteri menjelaskan. Adapun kesulitan dalam menentukan batas wilayah diakibatkan oleh pemberlakuan hukum adat di wilayah desa administrasi yang tidak menyeluruh. Hal ini yang menjadi kendala dalam pembuatan peta batas wilayah desa adat. Tanpa adanya kejelasan wilayah berlakunya hukum adat, sambung Gus Menteri, maka tidak dapat ditentukan batas-batas wilayah desa adat. Oleh sebab itu, desa-desa yang berpotensi mengubah statusnya menjadi desa adat harus memiliki kepastian batas-batas wilayah berlakunya hukum adat mereka. “Apabila kesatuan masyarakat hukum adat beserta wilayah adatnya sudah jelas, maka pembentukan desa adat dapat difasilitasi,” kata Gus Menteri. (sws)
PSI Instruksikan Kader Gencarkan Bantu Rakyat Saat Perpanjangan PPKM
Jakarta, FNN - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menginstruksikan seluruh pengurus dan kader menggencarkan Program Rice Box PSI untuk membantu rakyat pada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diperpanjang sampai dengan 16 Agustus 2021. Pelaksana Tugas Sekjen DPP PSI Dea Tunggaesti dalam keterangan di Jakarta, Rabu, mengharapkan program tersebut dapat meringankan beban masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. “Dengan rice box (nasi kotak), PSI berharap bisa meringankan beban saudara-saudara kita yang terdampak karena dirumahkan, tak bisa leluasa mencari nafkah, atau dampak lain. Di masa perpanjangan PPKM ini, kami minta pengurus dan kader memasifkan program rice box,” kata dia. Dea mengatakan PPKM memang kenyataan pahit yang harus diterima bersama. Namun, dampaknya bisa diminimalkan jika ada rasa solidaritas sesama. “Dari Pemerintah sudah ada paket-paket bantuan sosial yang disalurkan, tapi itu niscaya belum mencukupi. Sebagai sesama warga negara, kita selayaknya juga mengulurkan tangan, membantu dengan apa yang kita punya,” ujar Dea. Program Rice Box PSI sudah dilaksanakan sejak April lalu. Awalnya, kata dia, hanya pengurus, kader, dan anggota legislatif yang berkontribusi. Namun sejak pertengahan Juli lalu, lanjut Dea, PSI juga membuka partisipasi publik setelah mengetahui banyak pihak yang ingin terlibat. “Dengan bantuan para donatur berhati mulia, kami berharap 1 juta rice box bisa dibagikan di 100 kota dan kabupaten,” kata Dea. Menurut dia, dalam menjalankan program tersebut, PSI selalu bekerja sama dengan pengurus RT dan RW setempat untuk memastikan bantuan tepat sasaran. “Sementara, nasi dan lauk-pauknya dibeli dari warung atau pengusaha UMKM kuliner yang juga terdampak PPKM. Sekali melangkah, dua hal bisa dicapai, yaitu membantu rakyat dan menggerakkan UMKM,” ujar Dea pula. (sws)
Paskibra Upacara HUT Kemerdekaan RI Kabupaten Penajam Hanya Tiga Orang
Penajam, FNN - Pasukan pengibar bendera atau paskibra yang akan bertugas pada upacara peringatan HUT ke-76 Kemerdekaan RI di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dalam kondisi pandemi COVID-19 hanya tiga orang. "Kondisi pandemi saat ini, petugas pengibar bendera hanya tiga orang," ujar Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Sodikin di Penajam, Rabu. Hasil evaluasi pelaksanaan upacara, ujar dia, pemerintah kabupaten mengurangi jumlah pasukan pengibar bendera, mengingat masih mewabahnya COVID-19. Berbeda dari tahun sebelumnya, dipersonel paskibra sebanyak 17 orang, terdiri dari kelompok delapan dan pasukan 14 orang, tahun ini (2021) formasi paskibra hanya tiga orang dan dua cadangan. Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara bakal tetap melaksanakan upacara peringatan HUT ke-76 Kemerdekaan RI tahun ini. Upacara bendera tersebut rencananya digelar di halaman Kantor Bupati Penajam Paser Utara pada Selasa (17/8). "Hasil rapat sepakat upacara bendera tetap dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi COVID-19 sesuai instruksi pemerintah pusat," ujar Sodikin. "Tamu undangan dan peserta pada upacara HUT ke-76 RI akan sangat dibatasi agar tidak terjadi kerumunan," katanya pula. Jumlah tamu undangan upacara peringatan HUT Kemerdekaan tahun ini hanya 40 orang, dan peserta upacara 40 orang. Pelaksanaan upacara memperingati kemerdekaan RI tersebut menurut Sodikin, juga menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Protokol kesehatan yang diterapkan, yakni memakai masker, mencuci tangan, dan jaga jarak untuk mencegah penularan COVID-19. (sws)
Mendes PDTT: Pembangunan Desa Masih Terfokus Pada Infrastruktur
Jakarta, FNN - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyatakan bahwa pembangunan desa masih terfokus pada pembangunan infrastruktur desa. Fokus pada pembangunan infrastruktur mengakibatkan upaya pemberdayaan masyarakat adat belum terwujud secara maksimal, ujar Gus Menteri, sapaan akrab dari Abdul Halim Iskandar, ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Rabu. Sebagai upaya agar pemberdayaan masyarakat adat di desa administrasi (non desa adat) dapat terwujud, maka secara khusus dalam Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa telah dibuka peluang pendayagunaan sumber daya pembangunan desa untuk pemberdayaan masyarakat adat. “Caranya adalah menambah tujuan SDGs (Sustainable Development Goals, Red),” kata Gus Menteri. Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan program yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk diimplementasikan di seluruh negara anggota PBB demi mencapai kesejahteraan bersama yang berkelanjutan. Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang berlaku secara global, terdapat 17 tujuan yang saling berkaitan dan menjadi acuan bagi Pemerintah untuk membuat kebijakan. Sedangkan, dalam rangka memberdayakan masyarakat adat, Kementerian Desa menambahkan satu tujuan lagi. “SDGs Desa ke-18 adalah Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif,” ujarnya pula. Sedangkan, 17 tujuan lainnya diadaptasi dari 17 tujuan global, Desa Tanpa Kemiskinan, Desa Tanpa Kelaparan, Desa Sehat dan Sejahtera, Pendidikan Desa Berkualitas, Keterlibatan Perempuan Desa, Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi, Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan, Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, dan Infrastruktur dan Inovasi Desa Sesuai Kebutuhan. Selanjutnya, terdapat Desa Tanpa Kesenjangan, Kawasan Permukiman Desa Aman dan Nyaman, Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan, Desa Tanggap Perubahan Iklim, Desa Peduli Lingkungan Laut, Desa Peduli Lingkungan Darat, Desa Damai Berkeadilan, dan Kemitraan untuk Pembangunan Desa. Adapun dasar pemikiran dari SDGs Desa ke-18 adalah untuk menghargai keberadaan bangsa Indonesia yang sangat beragam dalam agama, budaya, bahasa, adat istiadat, dan lain-lain. Dasar pemikiran lainnya adalah untuk menampung kearifan lokal masyarakat dan kelembagaan desa yang produktif agar bertahan, bahkan berkembang. Gus Menteri mengatakan bahwa upaya pencapaian SDGs Desa ke-18 saat ini sedang difasilitasi ke desa-desa oleh Kementerian Desa PDTT. Hal ini menunjukkan komitmen kementerian dalam mengutamakan pemberdayaan masyarakat adat dalam Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. “Semoga dengan kebijakan ini, masyarakat adat yang ada di desa-desa di Indonesia dapat memperoleh kesejahteraan hidup yang lebih baik,” kata Gus Menteri menyampaikan harapannya. (sws)