POLITIK
Rakyat Buntung, Ada Yang Ambil Untung
Oleh Tony Rosyid Jakarta, FNN - Soal covid, ada yang percaya, tapi cukup banyak yang gak percaya. Kabarnya ada 17 persen. Mau dijejali data kayak apapun, susah percaya. Orang-orang macam ini memang merepotkan. Gak peduli pada prokes. Bodoh amat, katanya. Ada yang setengah percaya. "fakta ada, tapi banyak manipulasinya. Data dilebih-lebihkan" katanya. "Hidup mati Tuhan yang menentukan, kenapa takut covid", tambahnya. Repot juga ngadepin orang-orang macam ini. Ada yang 100 persen percaya, tapi hari-hari lapar. Kalau gak keluar, gak bisa makan. Sementara, hidup mereka gak ada yang jamin. Kelompok ini paling banyak. Cash Flow-nya harian. Hari itu dapat duit, hari itu juga buat makan. Gak dapat duit? Kelaparan! Inilah para pedagang kecil yang berpotensi menciptakan gejolak sosial. Bicara kelaparan, gak pandang bulu pendukung siapa. Urusan perut, ini soal hidup mati. Mazhab politik gak berlaku. Disinilah pentingnya bantuan dan jaminan sosial. Harus segera, tepat waktu, cukup untuk hidup dan merata. "Yang ditertibkan itu kerumunannya, bukan dagangannya", kata salah seorang bupati. Cerdas! PPKM memang aturan pusat, tapi kepala daerah mesti "ijtihad" untuk menerjemahkan aturan itu di lapangan. Kalau hantam kromo, bisa menimbulkan gejolak sosial. Enak bagi yang punya gaji bulanan, atau yang masih ada tabungan. Pandemi memang ngaruh, tapi gak bikin mereka kelaparan. Dapur tetap ngebul, karena simpanan masih ada. Di tengah kas negara jebol, ekonomi terkonstraksi, banyak rakyat yang kelaparan, tapi ada yang beruntung. Jumlahnya sangat kecil. Apakah dana simpanan nasabah di bank bertambah jadi 666,7 trilliun dan jumlah orang kaya di Indonesia naik hingga 61,69 persen berasal dari sini? Mesti perlu dicek datanya. Siapa mereka? pemilik rumah sakit dan klinik, pengusaha obat-obatan, penjual suplemen, pedagang APD, mereka yang mendapat proyek bansos. Semuanya diuntungkan di masa pandemi. Pundi-pundi kekayaan semakin berlimpah. Ini hukum pasar. Demand naik, pasar ramai, otomatis keuntungan makin besar. Sesuatu yang alamiah. Yang gak alamiah ketika rumah sakit mengcovidkan pasien yang tidak covid, pedagang obat yang menaikkan harga obat gak kira-kira, pengusaha yang berkolaborasi di proyek APD dan bansos untuk maling uang negara. Ini yang jadi masalah. Ada minuman suplemen, diopinikan meningkatkan imun, diburulah oleh para pembeli. Rakyat "kelas tertentu" berlomba memborongnya. Hitungan hari, minuman itu hilang dari peredaran. Di super market dan mini maret mulai langka. Beberapa hari kemudian muncul, tapi harga di pasaran sudah naik 30-40 persen. Gila! Rakyat makin tercekik. Kerja keras pemerintah dan ketaatan rakyat terhadap prokes terciderai. Tidak sedikit yang lalu mengekspresikan kekecewaan dan kemarahannya dengan sikap dan tindakan yang tidak tepat. Apalagi dalam situasi galau seperti ini, mereka dipertontonkan video sejumlah oknum pejabat publik yang plesiran. Makin sakit, katanya. Dalam kondisi pemerintah dan rakyat yang sedang buntung, tega-teganya "seenak wudele" mereka ambil untung! Boro-boro berkurban untuk rakyat, rasa empati aja gak ada! Sungguh tak punya perasaan. Kepada mereka, negara mesti tegas: tertibkan! Orang-orang seperti mereka yang membuat bangsa ini sulit untuk kompak. Padahal, pandemi mestinya membuat kita makin kompak. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Yang Terjadi Bukan Sense of Crisis, Tapi Crisis of Sense
By Asyari Usman Medan, FNN - Beberapa hari lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar para menterinya memiliki “sense of crisis” (rasa krisis). Agar ada perasaan bahwa negara ini sedang dilanda krisis. Krisisnya tidak satu sisi saja, tapi multi-dimensi. Krisis Covid, krisis ekonomi, krisis sosial, bahkan krisis politik. Kalau Jokowi meminta, itu berarti para menteri sedang tidak bisa merasakan adanya krisis. Tentu sangat parah kalau Presiden sampai meminta para menterinya menunjukkan “sense of crisis” itu. Mengapa ini bisa terjadi? Ada banyak kemungkinan. Pertama, para menteri sudah kehilangan rasa. Pada masa pandemi ini, orang yang kehilangan rasa boleh jadi terpapar Covid-19. Tidak bekerja lagi indera perasa mereka. Artinya, selain kehilangan rasa pedas, rasa asin, rasa asam, dlsb, para menteri itu kehilangan “rasa krisis” itu. Kedua, para menteri kemungkinan memegang teguh arahan Jokowi tempohari. Yaitu, tidak ada misi menteri. Yang ada misi presiden. Dari sini, bisa saja para menteri menafsirkan bahwa tidak ada itu “sense of crisis” menteri. Yang ada “sense of crisis” presiden. Akibatnya, hanya Presiden Jokowi saja yang punya “rasa krisis” itu. Ketiga, ini yang sangat serius. Presiden Jokowi, para menteri, dan para pejabat sernior lainnya sebetulnya sama-sama tidak punya “sense of crisis”. Kalau rasa krisis itu ada di dalam diri mereka, tak mungkin negra ini menjadi amburadul. Andaikata Jokowi punya “sense of crisis”, seharunya sejak kasus positif Covid mencapai angka ratusan ribu (akhir Juli 2020), beliau langsung mengambil tindakan “lockdown” total di sejumlah wilayah yang tinggi tingkat penularannya. Memang langkah ini berkonsekuensi besar dalam hal biaya. Pemerintah harus menyediakan keperluan hidup rakyat. Tapi, kalau tindakan ini dilakukan selama satu-dua bulan setahun yang lalu, sangat mungkin tingkat penularan hari ini yang mencapai 2.8 juta orang, tidak sampai terjadi. Sayangnya, Jokowi selalu menolak “lockdown” dengan alasan biaya. Padahal, dana penanganan Covid yang mencapai lebih 1,000 triliun, banyak terbuang sia-sia. Dalam arti tidak langsung diarahkan ke tindakan yang efektivitasnya telah teruji di banyak negara. Menakjubkan sekali. Untuk melindungi nyawa rakyat, Jokowi tega hitung-hitungan soal dana. Padahal, begitu banyak uang negara yang dipergunakan untuk proyek-proyek yang tidak urgen. Banyak pula yang dikorupsi. Kembali ke “sense of crisis”. Jokowi kecewa ada sejumlah menteri yang melakukan perjalanan ke luar negeri di tengah keadaan yang mencekam di dalam negeri. Di tengah PPKM Darurat dengan tingkat kematian Covid yang sangat memprihatinkan, Menko Perekonomian Arilangga Hartarto, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi, dan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, melakukan perjalanan ke luar negeri. Akhirnya, Jokowi mengeluarkan larangan. Tidak boleh pergi ke luar negeri kecuali Menlu. Menteri-menteri yang lain harus lebih dulu meminta izin langsung ke Presiden. Luar biasa, memang. Sepenting apa urusan yang harus dikerjakan para menteri yang pergi ke luar negeri itu? Mungkin mereka punya alasan kuat. Namun, Pak Jokowi sudah benar merasa kecewa. Tapi, sebetulnya, para menteri Jokowi bukanlah kehilangan “sense of crisis”. Melainkan mereka semua sedang dilanda “crisis of sense” (krisis rasa). Krisis kehilangan rasa di kalangan para pejabat. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa sedih, hilang rasa senasib sepenanggungan, dan rasa-rasa lainnya. Krisis rasa (crisis of sense) itu tak terlepas dari kepemimpinan Jokowi. Dari Jokowi sendirilah tumbuh dan berkembang “crisis of sense” itu.[] Penulis, wartawan senior FNN.co.id
PPKM Lanjut atau Jokowi Turun
By M Rizal Fadillah Bandung, FNN - PPKM Darurat berakhir hari ini dan sampai saat ini belum ada keputusan apa-apa. Sebelumnya telah muncul rencana perpanjangan hingga akhir Juli atau lebih sebagaimana dikemukakan Menko PMK Muhajir dan Menkeu Sri Mulyani. PPKM Darurat tidak menunjukkan hasil signifikan bahkan pembatasan paksa Pemerintah ini telah membawa penderitaan rakyat. Mahasiswa di beberapa daerah mulai meneriakkan kata lawan untuk perpanjangan PPKM. Agenda aksi mulai terlihat di media sosial. Aksi perlawanan ini adalah akibat tertekannya rakyat menghadapi pembatasan gerak. Sekat sana sekat sini, usaha kecil dilumpuhkan, lapak diobrak-abrik, serta kebijakan ketat di daerah yang tak jelas protokolnya. Bagusnya beberapa pendukung Presiden telah ikut teriak pula agar Jokowi tidak melakukan perpanjangan PPKM. Denny Siregar dan Ade Armando di antaranya. Entah sebagai proposal, kesadaran baru, atau karena ikut terobrak-abrik lapaknya akibat PPKM. Nyatanya penderitaan itu kini terasa menyeluruh. Luhut sang jagoan juga mencoba meminta maaf pada rakyat atas ketidakmampuan mengatasi pandemi. Jokowi kumat lagi penyakitnya dalam situasi darurat masih sempat melakukan akting pencitraan blusukan malam-malam bagi-bagi obat dan sembako. Mengagetkan pula ternyata Jokowi terang-terangan mencanangkan Herd Immunity. Pola penanganan dengan cara membiarkan masyarakat saling menularkan demi imunitas. Sungguh semakin kacau pola penanganan pandemi di bawah komando "panglima tertinggi" Jokowi ini. Semua coba-coba. PSBB, New Normal, PPKM Darurat, lalu apa lagi ? Perpanjangan PPKM atau ciptakan istilah baru SDSB, PPKI, PSSI, atau Warkop. Entahlah. Usul saja nih bagaimana jika sekarang penanggulangan pandemi kita coba dengan cara Jokowi turun. Negara tanpa Jokowi. Siapa tahu Coronavirus ikut pergi dan lari tunggang langgang. Herd immunity yang dicanangkan Jokowi sangat berbahaya. Dilarang WHO yang menurut pejabat WHO Dr. Mike Ryan manusia bukan kumpulan hewan ternak. Penularan tanpa kendali bisa terjadi untuk menciptakan tumbal yang meninggal bergelimpangan. Atau tumbal memang telah menjadi hal yang biasa sebagaimana pembantaian enam laskar FPI, pembunuhan sembilan pedemo Mei 2019, dan tewasnya 700 petugas KPPS ? Keadaan tidak boleh terus berada dalam ketidakpastian. DPR, DPD, dan MPR harus segera ambil tindakan dengan langkah-langkah politik yang penting dan berguna. Jangan diam seribu bahasa di tengah penderitaan rakyat yang semakin berat. Situasi telah sangat darurat. Indonesia terancam oleh kekuatan raksasa yang ingin segera menenggelamkan dan menghancurkan. Jahatnya, para penghianat di lingkaran elit kekuasaan sedang menari-nari mengikuti irama genjer-genjer. Bagai bersiap-siap untuk melakukan pembunuhan masal rakyat secara perlahan-lahan. PPKM Darurat bukan solusi tetapi hukuman mati. Karenanya wajar jika berlaku ultimatum PPKM lanjut atau Jokowi turun. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 20 Juli 2021
Rezim Jokowi Selalu Mengabaikan Situasi dan Kondisi
Dalam teori strategi perang situasi dan kondisi menjadi kunci pokok yang menentukan berhasil atau gagalnya peperangan. By Sugengwaras Bandung, FNN - Begitu pula pada tingkat pertempuran, operasional, taktik dan teknis yang tingkatannya lebih rendah, lebih sempit dan lebih sederhana, situasi dan kondisi tetap merupakan hal yang sangat urgen dalam penyertaan atau pertimbangan pemilihan cara bertindak. Demikian pula pada kepentingan dan tujuan non-militer, yang bersifat umum, baik dalam hal usaha maupun jasa, situasi dan kondisi juga menjadi bahan acuan dalam pencapaian tujuan atau sasaran. Situasi mengindikasikan keadaan cuaca dan waktu, sedangkan kondisi menengarai keadaan medan atau daerah, kekuatan dan kemampuan. Tampaknya hal ini diabaikan oleh rezim Jokowi yang sering melaksanakan kebijakan-kebijakan kontroversial yang seakan tidak memperhitungkan situasi dan kondisi yang sedang berlaku. Ambil contoh dalam hal keadilan dan penegakan hukum, penanganan dan tindakan hukum terhadap kelompok ulama yang dianggap melawan pemerintah, 180° berbeda dengan mereka yang pro-pemerintah. Bukan mencari masalah di tengah keprihatinan menghadapi pandemi, namun setidaknya kita tidak bisa melupakan begitu saja langkah tindak aparat penegak hukum yang berindikasi konspirasi antar badan. Pernyataan dan penguatan Komnasham RI atas pernyataan Polri tentang telah terjadinya tembak menembak antara laskar pengawal HRS dengan sekelompok bersenjata yang belakangan diakui dari petugas kepolisian, mengindikasikan adanya permainan sandiwara yang fulgar di mata rakyat. Arogansi, deskriminasi dan penyelingkuhan hukum secara terang terangan dilakukan oleh oknum penegak hukum secara massiv, sistematis dan terstruktur. Rezim ini dengan vulgarnya menangani kasus kerumunan dan kekarantinaan yang sangat timpang dengan pembiaran keterlibatan Mahfud MD sang Menkopolhukkam saat pembolehan penjemputan bagi fans HRS, termasuk pengabaian terhadap kerumunan yang dilakukan Presiden Jokowi, Gibran , Kofifah dan lain lain. Sayangnya pihak HRS tidak berdaya menghadapi ini, bukanya kalah pintar tapi kalah kuasa. Di sinilah rezim ini lebih pantas disebut penguasa dibanding pemerintah. Rencana pemindahan Ibu kota negara ke Kalimantan juga mengindikasikan pengabaian situasi dan kondisi di mana rakyat sedang dalam cemas harap atas keterpurukan ekonomi, menggunungnya hutang negara, penanganan kasus korupsi kelas kakap yang abal abal serta meningkatnya penganggguran di satu sisi dan membanjirnya TKA Cina di sisi lain. Pengakuan KAPOLRI Jendral Listyo Sigit Prabowo terkait penghentian kasus penembakan di KM 50 Jakarta Cikampek, merupakan pengabaian terhadap situasi dan kondisi serta pelecehan terhadap nyawa manusia. Kapolri seharusnya memberikan contoh keteladanan dalam penegakan hukum. Kita paham tentang badan kepolisian yang berperan melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat sebagai hal yang mulia, tapi kita tidak berharap hukum ini mau dibawa kearah penyimpangan atau perselingkuhan. Kebijakan PPKM mengindikasikan abainya pemerintah terhadap situasi dan kondisi tentang kesulitan rakyat dalam memperjuangkan kelangsungan hidup. Maka jika pemerintah terus berulang dalam abai situasi dan kondisi, niscaya akan menjadikan blunder yang akan melilit pemerintah sendiri. ( Bandung, 19 Juli 2021, Sugengwaras )
Globalis vs Nasionalis
Menggapai obat penenang dalam menghadapi kepanikan dari sela sela peristiwa besar untuk mau mendengar dan memanfaatkan kemampuan sendiri. Oleh Sugengwaras Bandung, FNN - Peristiwa besar itu seperti Perang Dunia 1 dan 2, Revolusi Perancis, Perang Timor Tengah, Perang saudara di Amerika, terakhir runtuhnya Twin Tower di Amerika Serikat dan Kini Pandemi Corona Virus Deases 19 ( Covid - 19). Globalis adalah kumpulan dari para konspirator industri Virus dan Vaksin yang menjadi biang kerok yang berlatar belakang prestise, untung dan rugi. Nasionalis adalah mereka para penggila, pemberani, pengkreativitas dan pembangkang yang melawan dan ditakuti dalam menyingkap kegaduhan, histeria massal, kepanikan massal, ketakutan massal, dan stres massal yang mengakibatkan penurunan imunitas massal. Peristiwa besar Covid -19, telah memunculkan pengkajian-pengkajian namun belum melahirkan kesimpulan tentang awal muawalnya dan cara penanggulangannya. Sementara kepanikan, ketakutan dan stres massal telah menghinggapi pikiran manusia baik penguasa maupun rakyat yang di antaranya berwujud pemberian vaksin bahkan mewajibkan, massal, door to door, yang disertai pembatasan, intimidasi, bahkan hukuman dan denda. Sementara masih diperdebatkan oleh beberapa ahli tentang tepat atau kurang tepatnya pemberian vaksin itu dalam melawan virus yang ada. Jika kita cermati, siapa mereka yang panik, takut dan stres ini? Penguasa, rakyat atau semuanya, yang jelas manfaat vaksin perlu dikaji namun paksaannya sudah mendahului. Kepanikan ini bisa kita maklumi karena peristiwa besar pandemi Covid - 19 ini telah memporak porandakan stabilitas politik, ekonomi dan kelangsungan hidup orang banyak. Dari pandangan teori konspirasi bisa ditebak adanya suatu power atau kekuatan yang berambisi ingin menguasai dunia secara defacto. Maka sebaiknya, rezim Jokowi ini janganlah grusa-grusu atau serta merta bertindak, over acting, narsis, mengedepankan paksaan dan kekerasan, tekanan bahkan pemberian sangsi atau resiko yang semakin membuat rakyat nekad dan brutal. Semuanya perlu dinalar dan dipahami, agar tidak menambah beban moril dan fisik masyarakat dalam menghadapi cobaan ini. Kita harus pahami, untuk bekerja dalam bingkai ruang dan waktu, yang bertahap, berkesinambungan, berlanjut, terencana, terukur, terkoordinasi dan terpadu, tentang kemungkinan yang paling mungkin dan paling baik dalam menyikapi pandemi Covid - 19, yang belum pasti kapan berakhir. Niscaya, jika ini kita lakukan, akan terminimalisir, gesekan, singgungan maupun benturan antara pemerintah dengan masyarakat Penulis, Purnawirawan TNI AD.
Waduh BIN Door to Door
By M Rizal Fadillah Bandung, FNN - Bukan tidak mendukung optimalisasi seluruh elemen untuk sukses vaksinasi, akan tetapi menerjunkan anggota Badan Intelijen Negara untuk melakukan operasi "door to door" ke rumah warga untuk vaksinasi rasanya kurang pas. BIN bukan lembaga yang kurang kerjaan untuk berada di depan program vaksinasi. Presiden Jokowi yang telah memerintahkan penyebaran anggota BIN dari rumah ke rumah tersebut harus melakukan evaluasi kembali. "Out of the box" mungkin langkah ini. Akan tetapi BIN adalah badan intelijen bukan lembaga kemasyarakatan atau aparat yang biasa melakukan kegiatan terbuka untuk dikenal masyarakat. Bukan pula badan penanggulangan bencana. Sektor terdepan untuk kegiatan vaksinasi adalah Kemenkes bukan BIN. Kecuali jika dicurigai ada elemen masyarakat yang melakukan serangan teror senjata biologis, maka deteksi BIN mungkin tepat. Kekacauan penanganan pandemi Covid 19 di bawah pemerintahan Jokowi memang terbukti. Koordinator penanganan pandemi Jawa Bali adalah Menko Kemaritiman dan untuk luar Jawa Bali Menko Ekonomi. Mengapa bukan Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dimana Kemenkes berada di bawah koordinasinya ? Sejak awal dikeluarkan Perppu No 1 tahun 2020 tanda-tanda pengelolaan Covid 19 sudah terlihat bakal kacau. Ada nuansa legitimasi untuk segala hal. Terbukti korupsi besar dana bansos terjadi di Kemensos. Menteri pun menjadi pesakitan hukum. Lalu menggunakan alasan Covid untuk penguatan oligarkhi dan kriminalisasi. BIN yang melakukan "door to door" dalam kaitan vaksinasi tidak sesuai dengan Tupoksi BIN yang diatur dalam Perpres No 90 tahun 2012 tentang BIN. Fungsi utama BIN adalah penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan baik di dalam maupun luar negeri. Soal vaksinasi dapat dikerjakan dan oleh pegawai Kemenkes, Dinkes daerah, lembaga swadaya masyarakat, relawan masyarakat, atau organisasi lain yang relevan. Melibatkan BIN sama saja dengan melibatkan Densus 88 untuk vaksinasi. Belum lagi sebagaimana ulasan Majalah Forum Keadilan edisi Juli 2021 dalam konteks lain, akan adanya apa yang disinyalir dengan intelijen hitam. Nah betapa bahayanya jika ada operasi intelijen hitam dalam "door to door" vaksinasi ini. Lepas kendali resmi. Jika dibutuhkan bantuan BIN maka sifatnya tertutup dan bergerak sebagaimana lazimnya kegiatan intelijen. Ataukah ada anggapan kondisi negara ini sudah super darurat dimana instansi yang kompeten dianggap sudah tidak mampu lagi sehingga melakukan langkah luar biasa dengan menurunkan BIN ? Jika ini yang terjadi maka Presiden harus segera mengeluarkan Perppu untuk kemudian menjadi Undang-Undang melalui DPR. Sejak BIN dipimpin Budi Gunawan, maka ada hal yang perlu dievaluasi. BIN yang tertutup dibawa ke ruang terbuka. Secara psikologis tidak bagus melibatkan Intel mendatangi rumah ke rumah. Masyarakat tidak boleh ditakut-takuti. Intelijen adalah kegiatan yang lebih menekankan pada prinsip kerahasiaan, anonimitas, dan operasi klandestin. Bahwa benar Corona virus itu tidak kelihatan, namun penanggulangan bukan dengan operasi klandestin, kecuali jika kita yakin bahwa keberadaan Covid 19 adalah bagian dari serangan senjata biologis yang dikendalikan oleh negara asing yang melibatkan warga kita. BIN kompeten bergerak di depan. Betapa hebat sepenggal motto BIN yang menjadi pengingat untuk evaluasi atas kebijakan "door to door". "Berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tak akan dicari, mati tak ada yang mengakui". *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Panglima: Budayakan Bermasker dan Isolasi Mandiri untuk Lawan COVID-19
Jakarta, FNN - Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mendorong masyarakat di Tanah Air membudayakan penggunaan masker dan menjalani isolasi mandiri sebagai upaya melawan pandemi COVID-19. "Mari kita jadikan menggunakan masker dan isolasi mandiri sebagai budaya untuk melawan musuh yang tidak kelihatan yaitu COVID-19," kata Panglima TNI Hadi Tjahjanto melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu. Hal tersebut disampaikan Panglima TNI saat meninjau posko PPKM darurat, peninjauan gudang obat dan pelepasan bantuan sembako bagi masyarakat terdampak PPKM darurat di Gedangan Sidoarjo, Jawa Timur. Saat tiba di lokasi, Panglima TNI dan rombongan menerima penjelasan terkait mekanisme penerimaan paket obat bagi yang melaksanakan isolasi mandiri oleh Kepala Puskesmas setempat. Kepada Kepala Puskesmas setempat, Panglima TNI menyampaikan penentuan atau peruntukan paket obat gratis dari pemerintah tersebut ditentukan oleh Kepala Puskesmas. "Ibu yang menentukan dengan melakukan triase mana yang ODG, OTG yang ringan atau berat," ujar dia. Personel Babinsa dan Bhabinkamtibmas bukan tenaga kesehatan sehingga Kepala Puskesmaslah yang menentukan termasuk nanti bila ada pasien baru terpapar COVID-19. Dalam kesempatan tersebut, Panglima TNI menerima penjelasan dari Babinsa Peltu Ismail terkait keadaan warga di Desa Sawotratap, dimana kesembuhan warga setempat meningkat dari 81 orang yang melaksanakan isolasi mandiri, 45 orang dinyatakan sembuh. Saat berkunjung ke Kodim 0816/Sidoarjo, Panglima TNI dan rombongan juga menerima penjelasan dari Bintara penjaga gudang obat Serka Malik Ibrahim dan Serma Sanuri. "Jangan lupa catat obat masuk dan awasi obat keluar serta harus sesuai dengan permintaan," kata dia. Di akhir kunjungannya, Panglima TNI melaksanakan kegiatan pendistribusian 70.000 paket sembako dan obat-obatan untuk masyarakat yang terdampak COVID-19 dan kebijakan PPKM darurat. Dalam rangka perang melawan COVID-19, bangsa Indonesia menerapkan strategi ofensif dan defensif. Strategi ofensif yaitu menyerang musuh yang tidak kelihatan tersebut. Strategi itu adalah tugas tenaga kesehatan di antaranya testing (melakukan tes), tracing (pelacakan) dan treatment (penanganan). Sedangkan strategi defensif bisa dilaksanakan secara perorangan dan kelompok. Secara perorangan yakni dengan menggunakan masker, menjaga jarak fisik, mencuci tangan pakai sabun dan juga vaksinasi. "Oleh sebab itu, apabila strategi defensif dan ofensif dilaksanakan bersama-sama dan secara semesta, Insya Allah kita bisa mengalahkan perang melawan COVID-19," ujarnya. (sws)
Jokowi, Belajarlah dari Pak Harto
Rezim Jokowi, harus mau belajar dari pengalaman Pak Harto! Bandung, FNN - Menengok kronologis, jelang tragedi dan reformasi 1998, tentang pengkianatan Cina yang link up dengan pengkianat hitam, seharusnya tidak boleh dilupakan apalagi diulang. Dua puluh tahun, Pak Harto membesarkan pengusaha-pengusaha Cina dengan segala kemudahan, keistimewaan, dan bantuan dari pemerintah RI hingga menjadi besar ( konglomerasi). Pak Harto baru tersadar setelah ditolak mentah-mentah oleh konglo Cina (100 pengusaha Cina yang tergabung dalam Prasetya Mulya), ketika Pak Harto meminta agar konglo Cina menyisihkan 1 -- 2,5 % dari laba bersih, untuk dana pembinaan pribumi, terutama UMKM. Komunitas bisnis Cina yang semula dianggap sebagai mitra dan bagian integral bangsa Indonesia untuk memajukan ekonomi Indonesia, ternyata musuh dan tetap menjadi bangsa asing yang tidak peduli dengan bangsa Indonesia. Pak Harto meskipun menyesal atas pengkianatan Cina, namun cepat mengambil keputusan penentu, yaitu mendorong lahirnya HIPMI sebagai wadah kader pengusaha pribumi dengan Abdul Latif sebagai Ketua Umum, menyusul pengusaha pribumi lain seperti Siswono, Arifin Panigoro, Aburizal Bakri, Fahmi Idris dan Fadel Muhamad. Di sisi lain, konspirasi dari tokoh-tokoh Cina, Centre for Strategic and International Studies (CSIS ) dan Jendral Merah, justru menyeret Pak Harto untuk memusuhi umat islam, dan berakhir mundurnya Pak Harto. Dari pelajaran di atas, seharusnya pemerintah Jokowi mempertimbangkan kerja sama dengan Cina dan menghutang ke Cina yang tidak bisa diharapkan pengertiannya terhadap bangsa Indonesia. Seharusnya presiden lebih mengutamakan dan memberdayakan pribumi, bukan justru lebih mengutamakan TKA Cina. Juga dalam hal kriminalisasi terhadap ulama dan umat Islam, harus diambil pelajaran berharga dari Pak Harto, agar bisa menjadi andalan, kepercayaan rakyat bukan dituntut mundur. Meskipun demikian, kita tidak bisa terlalu cepat mengatakan tidak belajar dari Pak Harto, bisa jadi memang disengaja dan dibuat seperti ini Walahu Alam ! Sugengwaras, Purnawirawan TNI AD.
Anis Matta: Aksi Kekerasan Aparat Harus Dihentikan, Bisa Memicu Krisis Politik
Jakarta, FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menyatakan prihatin, kecewa dan sedih menyaksikan berbagai tindakan kekerasan kepada warga di beberapa daerah yang dilakukan oleh aparat dalam penegakan aturan disiplin kepada publik di tengah pandemi Covid-19. Tindakan disipilin tersebut dalam rangka menegakkan aturan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) guna menurunkan lonjakan penyebaran kasus Corona di tanah air . "Apapun alasannya tindakan kekerasan seperti itu tidak akan berujung dengan hasil yang baik. Warga kita sekarang ini, sedang menghadapi tekanan hidup yang berat," kata Anis Matta dalam keterangannya, Sabtu (17/7/2021). Menurut Anis Matta, masyarakat saat ini sedang menghadapi tekanan hidup yang sangat berat. Tindakan kekerasan tersebut, akan menciptakan suasana jiwa yang sangat buruk yang akan menambah kesedihan kecemasan, ketakutan dan Frustrasi. "Ini semua bisa berkembang menjadi kemarahan dan akhirnya menjadi ledakan sosial yang tidak terkendali dan sangat mungkin juga bahkan berkembang menjadi krisis politik," katanya. Hal ini tentu saja tidak diinginkan semua pihak akan terjadi peristiwa tersebut. Sebab, pandemi Covid-19 sekarang telah berkembang menjadi krisis ekonomi hingga menjadi krisis berlarut. "Tentu saja Ini memberikan beban yang berat bagi pemerintah dan apalagi bagi rakyat kita secara keseluruhan. Jangan sampai hal ini ditambah dengan kemarahan rakyat, yang bisa berujung pada ledakan sosial dan krisis politik," katanya. Agama Islam, lanjut Anis Matta, telah mengajarkan bahwa pentingnya kelembutan dalam menyelesaikan segala urusan, daripada menonjolkan kekerasan karena akan menyebabkan kerusakan. Sehingga semua pihak perlu mencari ilham dalam mengatasi masalah pandemi Covid-19 ini. Sebab, pandemi Covid-19 tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh belahan dunia. "Kelembutan akan membuat tujuan kita tercapai, sedangkan kekerasan akan membuat tujuan kita tidak tercapai. Dengan kelembutan, kita akan mendapatkan pahala, sementara kekerasan akan membuat kita berdosa," katanya. Karena itu, Ketua Umum Partai Gelora ini berharap agar aparat mengedepankan akhlak dan kelembutan dalam menegakkan aturan disipilin PPKM Darurat, serta meninggalkan tindakan kekerasan. "Tidak ada di antara kita yang bisa memprediksi, memperkirakan kemana krisis ini mengarah dan kapan akan berakhir. Semua dilanda ketakutan, kemarahan dan frustasi. Khususnya kepada para aparat, berlaku santulah dan lembut kepada rakyat yang sedang menghadapi tekanan hidup yang sangat berat," tegas Anis Matta. Seperti diketahui, penolakan dan kericuhan yang melibatkan aparat dan warga masih kerap terjadi sebagai buntut dari penegakan disiplin PPKM Darurat, yang akan berakhir pada Selasa (20/7/2021). Di Jawa Timur, Sabtu (10/7/2021), puluhan warga menyerang petugas yang melakukan patroli protokol kesehatan di Kecamatan Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur. Peristiwa berawal saat petugas menemukan satu warung yang masih buka melebihi ketentuan jam malam. Alhasil petugas memberikan sanksi penyitaan KTP dan tabung LPG 3 kilogram di warung tersebut. Warga sekitar pun langsung bereaksi. Mereka menolak dengan meneriaki petugas dengan kata-kata kasar. Mereka bahkan melempar dan menyerang mobil operasional petugas. Kericuhan selama penertiban PPKM Darurat bahkan terjadi sejak berlaku 3 Juli 2021. Sejumlah pedagang di Pasar Klitikan, Notoharjo, Solo sempat mengintimidasi petugas Satpol PP yang melakukan penertiban PPKM Darurat pada Minggu (4/7/2021). Namun, para pedagang menolak kegiatan jual-belinya karena dinilai melanggar aturan dan terlibat cekcok dengan petugas Di hari pertama bahkan penolakan penertiban itu terlihat di beberapa titik penyekatan PPKM Darurat. Misalnya, di pertigaan Lampiri, Kalimalang, Jakarta Timur. Titik yang menjadi perbatasan antara Bekasi ke Jakarta itu dipadati pemotor yang menolak disekat oleh petugas. Mereka berdebat dengan aparat yang berjaga dan membuat kemacetan yang sangat panjang. (sws)
Haul Mbah Moen PPP Doakan COVID-19 Segera Berakhir
Jakarta, FNN - Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) menggelar Haul Ke-2 K.H. Maimoen Zubair secara virtual dengan acara doa bersama agar bangsa Indonesia bisa melewati masa pendemi hingga situasi kembali normal. Ketua Majelis Syariah PPP K.H. Musthafa Aqil Siraj dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, menyebutkan bahwa Mbah Moen (K.H. Maimoen Zubair) merupakan sosok yang sangat dekat dengan semua kalangan. Menurut dia, Mbah Moen tidak pernah membeda-bedakan tamu, baik dari kalangan kaya maupun miskin. Semua disambut dengan sama, terbuka dan akrab. "Mbah Moen merupakan tokoh yang membuat orang merasa dekat dengannya. Semua santrinya merasa dekat dengan beliau. Bukan hanya para santri, melainkan banyak kalangan,” kata K.H. Musthafa. Kiai Haji Musthafa juga berpesan agar pandemi COVID-19 menjadi sarana bagi semua orang untuk bermuhasabah. Selama ini mungkin banyak orang melupakan Allah. Maka, dengan pandemi ini membuktikan bahwa Tuhan itu ada. "Pandemi ini mengingatkan kembali bahwa Allah itu ada dan hadir dalam kehidupan kita. Sebelumnya kita mungkin sudah diingatkan dengan musibah gempa dan lainnya. Maka, pandemi ini makin mengingatkan kita akan keberadaan Allah di tengah-tengah kita," kata K.H. Musthafa. Ia meminta masyarakat untuk berikhtiar agar tetap sehat di tengah masa pandemi, di antaranya dengan pengikuti protokol kesehatan berupa menggunakan masker, menghindari kerumunan, dan lainnya. Selain Haul Ke-2 K.H. Maimoen Zubair, DPP PPP juga memperingati 7 hari wafatnya K.H. Zainuddin Djazuli pengasuh Pondok Pesantren Ploso Kediri, Jumat (16/7) malam. Sekjen DPP PPP Arwani Thomafi mengatakan bahwa acara yang didahului Khotmil Quran bil ghoib oleh Jamiyyatul Qurro wal Huffadh (JQH-NU DKI) upaya mengenang dua tokoh ulama yang selama hidupnya konsisten berjuang untuk agama dan bangsa. Para ulama, menurut dia, adalah penerang alam semesta yang perlu diteladani dan dicontoh umat. Acara bertajuk Mujahadah Merawat Persatuan ini juga menjadi sarana berdoa bersama agar bangsa Indonesia mendapat solusi untuk bisa melewati masa pendemi hingga situasi yang lebih baik dan lebih sehat. "Wafatnya para ulama seperti K.H. Maimoen Zubair dua tahun lalu dan K.H. Zainuddin Djazuli serta ratusan ulama lainnya pada masa pandemi ini merupakan sebuah kematian alam semesta," kata Arwani. Ia menilai Mbah Moen adalah sosok yang paripurna dalam dua hal, yakni sebagai ulama yang alim yang mempunyai ilmu agama yang berlimpah dan memiliki wawasan kebangsaan yang sangat luas. "Mbah Moen hingga akhir hayatnya mencontohkan tentang cara berjuang yang konsisten yang di antaranya dicontohkan dengan terus bersama PPP hingga akhir hayat," kata Arwani. Acara yang berlangsung secara virtual ini diikuti para pengurus dan kader PPP di seluruh Indonesia. Acara istigasah dipimpin oleh Habib Ahmad Idrus alHabsy. Sementara itu, doa disampaikan oleh K.H. Ahmad Mahin Toha, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Unit Darussalam yang juga merupakan Wakil Ketua Majelis Syariah DPP PPP. (sws)