POLITIK

PKI Itu Bencinya Kepada Wahabi dan Salafi

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pluralisme pemahaman keagamaan adalah hal yang wajar sepanjang berbasis pada sumber nilai Al-Qur'an dan Al-Hadits. Bila sudah keluar dari kedua nilai tersebut, maka berlaku interelasi antar agama. Dalam beragama, yang sama tetapi meyakini dan mendakwahkan bahwa Al Qur'an tidak orisinil seperti faham Syi'ah atau ada nabi setelah Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam seperti Ahmadiyah, maka itu dikategorikan menyimpang atau sesat. Syi’ah dan Ahmadiyah bisa juga disebut menodai agama. Wahabi adalah pengikut Syekh Abdul Wahab yang menjadi dasar pemahaman keagamaan yang berkembang di Saudi Arabia. Bersumber dari madzhab Hambali. Salah satu pijakan madzhab utama selain Syafi'i, Hanafi, dan Maliki. Sementara Salafi itu adalah pengikut ulama-ulama terdahulu, para ulama Salaf. Seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam An Nasa-i. Mereka para Imam ini adalah sebagian dari ulama salaf. Tentu Salafi memiliki cabang pemahaman yang tidak satu pula. Benci pada Wahabi dan Salafi sama saja dengan benci pada yang berbau Arab. Itu juga artinya benci kepada daerah dimana Islam lahir dan tumbuh. Tempat Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam dan para Sahabat mengembangkan agama Islam. Dimulai di masa awal hingga agama yang hanif ini diterima dan dijalankan di Indonesia. Benci kepada Arab atas nama nasionalisme, kulturisme, atau etnosentrisme sesungguh adalah kebencian yang bukan saja tidak berdasar. Tetapi juga sebagai wujud dari kejahilan yang radikal. Adalah partai Komunis Indonesia (PKI) yang anti Arab dan pro Cina atau Rusia. Anti terhadap agama. Namun pro kepada komunisme-materialisme. PKI yang menyebut hal-hal berbau Arab dan Islami sebagai Kadrun. Sebutan sinis untuk Kadal Gurun. Bahkan PKI itu lebih dalamnya dipastikan sangat anti kepada Wahabi dan Salafi. PKI yang menuduh dan memfitnah agama sebagai candu, sehingga agaman harus dijauhi. Inilah perjuangan revolusi mental PKI yang hakekatnya mengindikasi adanya gangguan mental. Jika ada sebagian kaum Wahabi atau Salafi yang menyimpang, maka itu adalah prilaku oknum. Demikian juga dengan yang mengklaim Ahlus Sunnah wal Jama'ah, namun juga menyimpang. Kalau ada, maka itu juga oknum. Kalau ada yang menyimpang, maka harus diluruskan. Bukannya dibenci. Apalagi sampai mau dibasmi segala. Dimusuhi dan dituduh ini dan itu. Berlebihan jika menyebut Wahabi atau Salafi sebagai pintu masuk terorisme. Sebab terorisme bisa masuk dari tradisionalisme, konservativisme, modernisme, materialisme, liberalisme, dan lainnya. Menurut dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung, ketidakadilan dan kezoliman juga menjadi faktor tumbuh dan suburnya terorisme. Banyak faktor penyebab tumbuh dan suburnya terorisme. Baik itu yang bekaitan dengan masalah ekonomi, doktrin keagamaan, hingga permainan politik jahat yang merekayasa dalam rangka adu domba antar masyarakat. Stigmatisasi yang dibangun untuk meracuni fikiran jernih dan kohesivitas. PKI dahulu dan kelompok "PKI" kini memainkan siasat memecah belah umat Islam dengan memojokkan faham keagamaan tertentu. Serangan pada Wahabi dan Salafi menjadi arus utama propaganda tersebut. Isu ini menjadi bola mainan PKI yang sangat digemari dan dinikmati demi menciptakan hantu bernama radikalisme, ekstrimisme, maupun fundamentalisme. Wahabi dan Salafi bukan pintu masuk terorisme. Pengikutnya yakin seperti pengikut faham keagamaan lain dalam Islam , bahwa memahami agama seperti ini menjadi jalan untuk masuk Surga. Keyakinan itu karena menjalankan Al Qur'an dan Sunnah Rosul. Pintu masuk terorisme dapat juga dari dogmatisme, aroganisme, sinisme dan fulusisme. Yang terakhir ini adalah makna bahwa teror yang dilakukan itu sangat berhubungan dengan bantuan keuangan untuk diri dan keluarga. Atau paket proposal untuk proyek strategis. Termasuk biaya-biaya untuk mengarang cerita. Fulusisme dapat berskala nasional atau internasional. PKI yang berprinsip menghalalkan segala cara demi tujuan tercapai, akan menjadikan aspek keagamaan sebagai permainan. PKI telah membuktikan dalam sejarahnya sebagai partai teroris. Baginya Wahabi dan Salafi ringan saja dapat dijadikan bahan semburan fitnah. Demi sukses mencapai tujuan. Sukses klaim kebenaran. Sukses membuat hantu. Sukses untuk memperoleh dana operasional dan fee kesuksesan. Fulusisme adalah terorisme yang paling berbahaya dan berdaya ledak tinggi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Moeldoko Knock Out?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Upaya Moeldoko untuk sukses mengkudeta Ketua Umum Partai Demokrat Agus harimurti Yudhoyono (AHY) telah membentur tembok. Tiga tembok yang membuat Moeldoko sulit menembus . Pertama, perlawanan politik Soesila Bambang Yudhoyono (SBY) dan AHY. Kedua, rakyat yang tak suka dengan gaya kudeta. Ketiga, Menkumham yang menolak. Moeldoko akhirnya terkapar. Bukankah Moeldoko itu mendapat proteksi sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan Presiden Jokowi? Bukankah Menkumham itu adalah kader partai penguasa yang tugasnya memback-up Presiden Jokowi? Mengapa tidak mampu merealisasikan skenario sukses kudeta dengan memperoleh legalitas dari Kemenkumham? Disamping modal politik KLB yang rendah dengan sedikitnya DPC asli yang ikut. Banyak DPC gadungan yang ilit KLB, sehingga tidak sah sebagai peserta Kongres, juga kelemahan terberat Moeldoko adalah bukan kader Partai Demokrat. Sehingga Moeldoko sangat minim akses kepada para kader dan institusi partai di daerah-daerah. Semua kenyataan tentu saja berkonsekuensi pada ketidakmampuan Moeldoko dan timnya. Moeldoko tidak secara cepat melakukan pembelahan partai. Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab ditolaknya permohonan keabsahan KLB Deli Serdang, disamping masalah tidak terpenuhinya ketentuan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Pertama, Menkumham Yasonna adalah kader PDIP, yang dalam prakteknya Ketua Umum PDIP Megawati beradu pengaruh dengan Presiden Jokowi. Penolakan ini dibaca sebagai bagian dari peningkatan posisi tawar PDIP atas Jokowi. Orang Jokowi saja bisa digagalkan. Kedua, tidak tertutup kemungkinan AHY atau SBY memiliki "deal" tertentu dengan Jokowi. Apakah itu soal Pilpres atau Pilkada ke depan, atau kebijakan perundang-undangan tertentu yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Moeldoko bisa diabaikan untuk kepentingan Jokowi yang lebih besar. Termasuk kepentingan nasib masa depan Gibran nanti. Ketiga, baik PDIP maupun Jokowi keduanya "cuci tangan". Terkesan bersih pada tahap penentuan oleh Pemerintah. Moeldoko didorong maju ke proses hukum melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bisa saja secara diam-diam PDIP dan Jokowi membantu dan mendorong Moeldoko untuk "sukses di proses hukum" tersebut. Moeldoko ternyata belum KO. Kemungkinan hanya grogi sedikit saja. Lagi disiapkan untuk pulih kembali, baru kemudian bergerak terus untuk memenangkan pertarungan di ujung. Moeldoko tetap masih bisa tetap berperan strategis dalam posisi sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Itupun kalau ngga diganti dari jabatan KSP Sebenarnya Jokowi menghadapi pilihan sulit. Di satu sisi harus menggolkan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat, dalam upaya menyempurnakan koalisi partai. Namun di sisi lain terlalu lemah basis dukungan Moeldoko di internal Partai Demokrat. Demikian juga dengan publik yang tak suka pada cara kudeta vulgar melalui KLB yang terkesan dipaksakakan. Ketika kudeta gagal, belajar pada kegagalan PKI dahulu. Maka bukan mustahil akan berimbas pada guncangan kekuasaan Jokowi seperti jatuhnya Soekarno saat itu. Seluruh elemen rakyat menjadi musuh bersama dari kekuasaan otoriter. Koalisi pun akan ikut berbalik dukungan. Para pembisik Jokowi faham akan situasi ini. Oleh karenanya permainan layak diperpanjang melalui gugatan di PTUN. Moeldoko harus bersiap berlari maraton. Lari sprint telah gagal. Sebab di usia Moeldoko yang sudah 63 tahun masih kuatlah untuk berlari maraton? Jika berat, maka dipastikan Moeldoko akan terkapar lagi. Ada sindiran sebaiknya Moeldoko menyerah saja. Sebaiknya Moeldoko berjuanglah untuk menjadi Ketua DPC Partai Demokrat Deli Serdang saja dulu, di bawah kepemimpinan Ketum AHY. Itu akan lebih baik dan mudah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kekuasaan Itu Tak Kenal Agama

by Tony Rosyid Jakarta, FNN - Seringkali kita dengar kalimat "Islam disudutkan". Di Eropa, masyarakat Kristen juga merasa bahwa Kristen dipinggirkan. Terutama di Perancis yang sejak tahun 1905 secara ekstrem memisahkan negara dari gereja. Bergantung agama apa yang berhadapan dengan kekuasaan, seringkali merasa disudutkan dan dipinggirkan. Secara umum, bagi kekuasaan, agama tidak begitu penting kecuali sebagai alat legitimasi dan pemberi dukungan sosial. Agama apapun, Kalau memberikan dukungan sosial (social capital), didekati, diajak kerjasama dan dimanfaatkan. Memang, Islam di Timur Tengah dan Kristen di Eropa di masa lampau, serta Yahudi di Israel dan Islam di Arab Saudi saat ini, memiliki situasi dimana agama dan kekuasaan tidak saja harmonis, tapi menyatu. Keduanya bisa berbagi bersama karena saling membutuhkan dan saling meligitimasi. Namun, hubungan kekuasaan dan agama tak selalu akur. Bahkan seringkali memakan korban di sepanjang sejarah. Penindasan kekuasaan terhadap umat beragama (atau kelompok keagamaan) dan pemberontakan atas nama agama terhadap kekuasaan sering terjadi. Intinya, kekuasaan rukun dengan umat beragama jika agama itu dibutuhkan. Tapi, ketika agama jadi ancaman, cerita akan terlihat sebaliknya. Era pemilihan umum di banyak negara, agama sering menjadi bagian dari isu penting. Bergantung kecenderungan pemilih. Kalau pemilihnya punya fanatisme terhadap agama tertentu, maka para tokohnya direkrut dan dilibatkan sebagai vote getter. Narasi agama muncul menjadi penguat legitimasi. Semata-mata untuk mencari dukungan suara. Hal ini terjadi di Indonesia. Musim pemilu, ulama, kiai, ustaz, pendeta, dan tokoh-tokoh agama laris dan banjir proyek. Kontrak kampanye bertebaran. Selesai kampanye, the end. Sebaliknya, jika di negara dimana pemilihnya anti agama, maka isu agama dijadikan sebagai common enemy. Musuh bersama. Bukan karena calon penguasa tidak suka dan benci terhadap agama tertentu. Tidak! Tapi lebih pada upaya mendapatkan simpati dan dukungan pemilih yang phobi terhadap agama itu. Only that. Di Amerika, Australia, Perancis, dan beberapa negara Eropa lainnya, kampanye anti Islam seringkali muncul saat pemilu. Bukan karena calon presiden atau perdana menteri gak suka sama Islam. Tapi ini semua dilakukan untuk mengambil suara dari kantong pemilih yang anti dan phobi terhadap Islam. Setelah jadi presiden, mereka tidak benar-benar memusuhi Islam. Meski terkadang memang ada yang benci terhadap Islam. Ini cenderung sebagai oknum dan lebih bersifat kasuistik. Tidak bisa digeneralisir. Sebab dalam politik, kepentingan umumnya menetralisir hal-hal yang berkaitan dengan perasaan personal, termasuk rasa suka dan kebencian. Banyak orang mati rasa ketika jadi pemimpin. Sebaliknya, di Indonesia, capres-cawapres, para caleg dan calon kepala daerah, justru menggunakan narasi agama, bahkan melibatkan para agamawan, terutama ulama dan ustaz sebagai juru kampanye. Bukan karena mereka religius. Bukan lantaran mereka taat beragama lalu mengusung isu agama, tidak! Kampanye pakai peci, tapi gak shalat. Mengutip Alkitab, tapi gak pernah ke gereja. Ini hal biasa. Dan faktanya, saat menjabat, nyaris tak ada kepentingan agama, ulama dan umat yang diperjuangkan. Para politisi secara umum hanya memanfaatkan fanatisme keagamaan pemilih untuk meraih dukungan. Mungkin mengecualikan PKS, karena mendedikasikan sebagai partai dakwah. Melekat agama dalam perjuangannya. Sampai hari ini, nampaknya masih konsisten. Dalam proses kekuasaan, kalau agama itu resisten dan jadi ancaman bagi kekuasaan, ya disikat. Disingkirkan. Setidaknya dipinggirkan. Entah dengan cara dipreteli legitimasinya, dikurangi perannya, dibubarkan ormasnya, dikriminalisasi dan diteroriskan tokoh-tokohnya, atau diadudomba hingga dengan sendirinya porak poranda. Ini bukan karena penguasa benci dan tidak suka pada agama. Sama sekali tidak. Ini semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan dimana penguasa merasa terancam oleh aksi kelompok keberagamaan tertentu. Dalam konteks ini, menjadi tantangan bagi umat beragama untuk selalu mengasah kemampuannya membangun komunikasi dan bernegosiasi dengan kekuasaan, beradaptasi, atau setidaknya jika ingin berpolitik, bahkan beroposisi, dibutuhkan kemampuan strategi yang mampu memenangkan agama dalam dialektikanya dengan kekuasaan. Sehingga, agama akan selalu bisa eksis dalam dinamika kekuasaan yang terus bergilir dan berganti-ganti aktornya. Di sini butuh kemampuan menterjemahkan formalitas, nornalitas dan moralitas agama ke dalam konteks yang terus menuntut perubahan. Simbol, atribut, dan ajaran normatif dalam agama sangat penting, namun mesti dikemas dalam bentuk aksi perjuangan yang tepat dan lebih taktis. Sebab, agama tanpa strategi perjuangan yang tepat pada faktanya telah mengambil banyak risiko bagi nasib pemeluk dan eksistensi masa depan agama itu sendiri. Satu sisi, agama tidak boleh kehilangan prinsip dan nilai-nilai fundamentalnya, tapi disisi lain, untuk eksis dan punya pengaruh, meniscayakan langkah-langkah operasional yang strategis. Ekspresi keberagamaan rentan untuk berhadap-hadapan, bahkan bermusuhan dengan kekuasaan. Disinilah umat beragama seringkali mengambil risiko ketika kekuasaan sudah mulai merasa terancam. Relasi pro-kontra agama-kekuasaan dalam sejarah mesti mampu mematangkan umat beragama untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih strategis agar agama terus mampu mempertahankan eksistensinya dan punya ruang untuk menebarkan pengaruh sosialnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Secara Politik, Moeldoko Sudah Selesai!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Tak diakuinya hasil Kongres Luar Biasa “Partai Demokrat” di Deli Serdang oleh Pemerintah memberikan pukulan telak bagi kepengurusan di bawah kepemimpinan Moeldoko. Berharap mendapat “dukungan” Pemerintah karena Moeldokoada di lingkar dalam Istana. Moeldoko menjabat Kepala Kantor Staf Presiden.Namun, dalam kenyataannya berbanding terbalik. Alhasil olok-olok Jenderal kalah dengan Mayor pun mengemuka di publik. Posisi Moeldoko sebagai Kepala KSP pun ikut terjepit. Sebab, banyak kalangan menganggap dengan jabatannya sebagai Kepala KSP dan menjadi representasi Pemerintah, Moeldoko sudah memberikan coretan "arang" bagi Istana. Dan karena ulah Moeldoko pula hubungan antara Presiden Joko Widodo dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono bisa dan mulai retak. Pasalnya, hingga kini SBY, masih tetap tercatat sebagai pendiri dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Pemerintah telah memutuskan menolak pendaftaran hasil kongres luar biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang digelar sepihak oleh Moeldoko. KLB yang digelar Moeldoko Cs dinilai belum melengkapi sejumlah dokumen. “Dari hasil pemeriksaan dan atau verifikasi terhadap seluruh kelengkapan dokumen fisik, sebagaimana yang dipersyaratkan masih ada beberapa kelengkapan yang belum dipenuhi,” kata Menkumham Yasonna H. Laoly saat konferensi pers virtual, Rabu (31/3/2021). Dokumen yang belum dilengkapi antara lain soal DPC, DPD, hingga surat mandat. Oleh sebab itu, pemerintah menolak permohonan hasil KLB “Partai Demokrat” di Deli Serdang, Sumatera Utara, itu. “Dengan demikian, pemerintah menyatakan bahwa permohonan hasil kongres luar biasa di Deli Serdang tanggal 5 Maret 2021 ditolak,” ujar Yasonna. Sebelumnya, hasil KLB di Deli Serdang dan kepengurusan versi Moeldoko didaftarkan ke Kemenkumham pada pertengahan Maret 2021. Jubir DPP “Partai Demokrat” Moeldoko, Ilal Ferhard, mengatakan kubunya akan menerima apa pun hasil pengumuman yang dikeluarkan Kemenkumham. “Memang dari awal pasca-KLB berlangsung, kami dari kubu Pak Moeldoko, sebagai ketua umum kami, mengatakan apa pun yang terjadi, apa pun putusan-putusan Kemenkumham, jelas kami menerima dengan lapangan dada,” ucap Ilal. Menurut Yasonna, dari pemeriksaan dan verifikasi tahap pertama tersebut, Kemenkumham menyampaikan sempat mengirim surat pada 19 Maret lalu yang intinya meminta melengkapi kelengkapan dokumen. Dengan keputusan ini, maka pemerintah tetap menganggap kepengurusan Paratai Demokrat di bawah Ketum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai yang sah. Konferensi pers ini juga dihadiri oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Sebelumnya, Ketua “Dewan Kehormatan” Demokrat Moeldoko, Max Sopacua mengatakan akan langsung mengajukan gugatan ke PTUN jika Kemenkumham menolak mengesahkan kepengurusan mereka. “Ya saya kira prosesnya masih jalan. Jalan masih panjang (gugat PTUN). Proses berjalan terus karena kita ingin membuat demokratisasi terbangun di Partai Demokrat," kata Max, Rabu (31/3/2021). “Itu proses jalurnya ke sana (gugat PTUN). Kan Pak Laoly (Menkumham Yasonna Laoly) sendiri mengatakan pertarungan itu ada di PTUN, di pengadilan,” lanjut Max. Jika melinhat kenyataan politik seperti itu, sebetulnya Moeldoko sudah selesai jauh hari. Itu terlihat dari pernyataan petinggi-petinggi PDIP sebelumnya. Moeldoko sudah sowan ke Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri untuk mencari dukungan. Namun, kader-kader utama seperti Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tetap keukeuh menyatakan kabar tersebut bohong. Dia membantah bahwa sudah ada pertemuan antara Mega-Moeldoko. Keinginan Moeldoko agar Mega memerintahkan kader PDIP, Menkumham Yasonna, supaya mengesahkan Partai Demokrat versi “Kudeta Luar Biasa” itu pun sirna. Karena tak direspon Mega, Moeldoko pun menghilang bagaikan ditelan bumi. Upaya terakhirnya adalah bikin fitnah baru soal adanya pergeseran ideologi (radikalisme) di Partai Demokrat. Moeldoko tidak sadar. Ia berusaha merebut sebuah Dinasti yang dibangun SBY, sementara orang yang dimintai tolong yaitu Mega, orang yang melanggengkan Dinasti. Lebih parahnya lagi, Mega sudah mengalami trauma secara psikologis saat Relawan Jokowi pernah terang-terangan berwacana menaikkan Jokowi sebagai Ketum PDIP. Relawan Jokowi juga mengancam akan membentuk partai sendiri jika tujuannya tidak berhasil. Mega sendiri juga tahu soal rencana Hostile Takeover PDIP oleh loyalis Jokowi. Jadi, kalau merestui kudeta Moeldoko akan sama seperti Mega merestui kudeta kepada diri sendiri. Akibatnya, sebagai contoh, Maruara Sirait yang lebih memilih loyal kepada Jokowi daripad kepada Mega saja, langsung dihukum tendang dari Caleg nomor jadi ke nomor 9 dan dipaksa pindah konstituen. Otomatis Ara, begitu panggilan akrab Maruara Sirait, gagal masuk parlemen dan tersingkir dari lingkaran dekat Mega. Secara psikologis, SBY dan Mega akan saling mendukung kalau soal Politik Dinasti. Posisi Moeldoko sebagai Kepala KSP sekarang ini di ujung tanduk. Sudah saatnya Jokowi harus bisa mengembalikan Citra Presiden. Sebab, selama 2 bulan terakhir ini citra Presiden telah “dirusak” oleh Moeldoko. Atas perilaku dari Moeldoko itu, Pemerintah yang akan kena getahnya. Terutama Presiden Jokowi. Kali ini Jokowi benar-benar diuji! Dan, ujian itu sudah terjawab: Pemerintah tidak “merestui” kepengurusan “Partai Demokrat” Moeldoko Cs. Moeldoko terbukti telah khianati seniornya (SBY) dan yuniornya (AHY) dan terbukti nyata mengabaikan jiwa “korsa”. Sama-sama berlatar belakang militer, Moeldoko telah menelikung seniornya: SBY, dan juniornya: AHY. Kabarnya, Presiden Jokowi sebelum mengangkat Moeldoko sudah diperingatkan para alumni Lembah Tidar: Moeldoko berpotensi rusak citra Presiden di penghujung pemerintahan! Tapi, Presiden hanya berharap, alumni Lembah Tidar harus membantu Jokowi. Konon pula, dengan manuver Moeldoko yang telah merusak Citra Presiden ini, mereka sudah menyarankan agar Presiden Jokowi mencopot Moeldoko dari posisinya di KSP. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Moeldoko, Partai Demokrat dan Politik Nir-Etika

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Dari ksatria menjadi “pengkhianat”; dan dari tokoh protagonis menjadi antagonis. Ungkapan-ungkapan itu yang kini sedang “disandang” Kepala Sekretariat Presiden (KSP) Moeldoko. Semua julukan tersebut tidak lepas dari kiprah Moeldoko menjungkalkan Agus Harimurty Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketum Partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilangsungkan di Deliserdang, Sumatera Utara. KLB itu ditengarai tidak dilandasi etika, terutama etika keprajuritan. Apa yang melandasi “kudeta” Moeldoko terhadap AHY, dan juga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tentu hanya Moeldoko saja yang mengetahui. Namun, cara serampangan yang dilakukan Moeldoko Cs itu tak pelak telah membuat rakyat Indonesia geram. Moeldoko dianggap sebagai “anak durhaka”. Dibesarkan oleh SBY ketika menjabat sebagai Presiden RI untuk menduduki kursi KSAD, dan Panglima TNI, Moeldoko justru “bermain api” dengan ngobok-obok Partai Demokrat. Partai yang membesarkan dan dibesarkan SBY itu sekarang terbelah dua. Hanya pembuktian legalistik saja yang dapat menjawab siapa sesungguhnya yang berhak atas Partai Demokrat. Tidak hanya sekadar pembuktian de facto. Pembuktian secara de yure pun harus dilakukan. Coba kita lihat AD/ART Partai Demokrat hasil Munas 2020 yang telah disahkan Menkumham Yasonna H. Laoly. Pun kepengurusan DPP yang diketuai oleh AHY, putra sulung Presiden RI ke-6 SBY. Memang, dalam politik, ternyata dibutuhkan politik “silat lidah”. Itu dibutuhkan saat posisi terdesak. Segala jurus silat lidah harus dicoba. Tidak hanya jurus yang masuk akal. Jurus yang sesuai dengan AD/ART Partai Politik terbaru yang disahkan Menkumham. Namun, jurus silat lidah yang tak masuk akal pun bisa merangsang pengamat dan masyarakat untuk tertawa ngakak, juga perlu dicoba. Siapa tahu dari jurus tidak masuk akal itu, ternyata justru mendatangkan keberuntungan atas pelanggaran UU Parpol yang dimiliki NKRI. Terutama, yang dilakukan kelompok penyelenggara KLB Demokrat abal-abal di Deliserdang itu. Dan, itu yang terjadi dan digunakan oleh Ketum Partai Demokrat versi KLB Deliserdang, Moeldoko. Padahal, penyelenggaraan KLB Partai Demokrat itu melanggar AD/ART Partai Demokrat hasil Munas 2020, yang telah disahkan Menkumham Yasonna H. Laoly. Pun kepengurusan DPP yang diketuai oleh AHY. Moeldoko mengaku bersedia dipilih Ketum Partai Demokrat versi KLB Deliserdang, karena mengkudeta kepemimpinan AHY merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan negara. Menyelamatkan NKRI. Pertanyaan pengamat yang kini bertebaran di langit, apakah Partai Demokrat itu partai milik negara. Sehingga dikaitkan dengan keselamatan negara? Alasan Moeldoko terlalu mengada-ada hingga bisa diketawain pengamat. Kedua, jika tujuan untuk keselamatan negara, lalu siapa subyek yang mengancam NKRI? Mengapa harus "merampas" Partai Demokrat. Apa kaitan nalarnya antara merampas Partai Demokrat dengan keselamatan negara? Itu jelas sebuah argumen yang jauh nalar dari etika politik. Tak hanya itu, jika “merampas” Partai Demokrat dikaitkan dengan keselamatan negara, maka pendapat Moeldoko ini harus dibuktikan secara hukum. Jelas, pendapat tersebut, secara hukum sama dengan penilaian pribadi jika partai yang dibesarkan SBY itu merupakan “ancaman bagi negara”. Ironisnya, jika pendapat perampasan Partai Demokrat demi keselamatan negara, tak dapat dibuktikan secara hukum. Jika ingin menyelamatkan negara, seharusnya Moeldoko memilih parpol yang jelas-jelas ada niat untuk “memeras” Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Tak berani? Pensiunan Jenderal dan Panglima TNI koq tak berani “ambil-alih” parpol wong cilik itu. Bukan kemuskilan, tim pengacara demokrasi yang dipimpin Bambang Widjojanto tersebut berkesempatan untuk melakukan gugatan hukum pada Moeldoko sebagai Ketum Demokrat versi KLB Deliserdang. Atas ulah Moeldoko, DPP Partai Demokrat melalui tiga perwakilannya telah secara resmi melaporkan KSP Moeldoko ke Ombudsman RI pada Selasa (23/3/2021). Ketiganya adalah Taufiqurrahman, Ahmad Usmarwi, dan Parulian Gultom. Tiga politikus ini telah menuding bahwa Moeldoko telah melakukan pelanggaran yang dapat dikualifikasikan sebagai maladministrasi. Moeldoko diduga keras telah melanggar tugas, pokok, dan fungsi (Tupoksi) selaku KSP. Di mana seharusnya, KSP bertugas untuk menyelenggarakan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden perihal komunikasi politik. Seperti disebutkan dalam Pasal 3 huruf g Perpres 83 Tahun 2019 tentang KSP bahwa KSP menyelenggarakan fungsi sebagai pengelolaan strategi komunikasi politik dan diseminasi informasi. Namun faktanya Moeldoko turut menghadiri dan menerima penunjukan selaku Ketua Umum dari pertemuan di Hotel The Hill Sibolangit yang secara sepihak dinyatakan atau diklaim oleh panitia dan peserta sebagai KLB Partai Demokrat. Padahal, Moeldoko tidak pernah menjadi kader Partai Demokrat. Selain itu dia melalui siaran persnya telah membantah keterkaitannya dengan proses kudeta atau proses pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat. Moeldoko seperti dikutip Rmol.id juga sempat menyatakan bahwa dia tak tahu menahu sama sekali akan adanya kudeta atau pengambilalihan kepemimpinan di Partai Demokrat. “Berdasarkan fakta itu, terbukti secara meyakinkan bahwa Moeldoko patut diduga keras telah melakukan kebohongan publik,” urai Taufiqurrahman, Rabu (24/3/2021). Sementara jika dikaitkan dengan tupoksi Moeldoko sebagai KSP, maka yang bersangkutan patut diduga keras telah melanggar tupoksi sebagai KSP karena melakukan kebohongan publik, bahkan dengan mengenakan atribut selaku KSP. Moeldoko tidak pernah melakukan komunikasi langsung dengan pimpinan Partai Demokrat yang sah secara hukum dan telah memperoleh pengesahan atau persetujuan sebagaimana di dalam SK Kemenkumham pada 18 Mei 2020 dan telah diterbitkan dalam berita negara. Patut diduga keras juga bahwa komunikasi Moeldoko hanya dilakukan kepada pihak panitia dan penyelenggara pertemuan di Hotel The Hill Sibolangit yang sudah bukan kader Partai Demokrat. Artinya, Moeldoko diduga keras telah melakukan diskriminasi. Bahkan, “Patut diduga keras Moeldoko tidak pernah melaporkan kegiatan politiknya kepada Presiden Jokowi sebagai atasannya,” sambung Taufiq. Singkatnya, Moeldoko itu diduga keras telah melanggar Perpres KSP, menyalahgunakan wewenang karena di saat jam kerja melakukan kegiatan politik di luar tupoksi KSP, dan melakukan kebohongan publik. Moeldoko diduga telah melakukan komunikasi politik sepihak yang mengakibatkan keributan dan menimbulkan kerugian sangat besar bagi Partai Demokrat. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Sindroma Anak Raja & Pasangan Jokowi-Prabowo 2024

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Viral video dan foto kunjungan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono ke Solo. Ketika Menteri dan anggota rombongan lain mengambil posisi duduk di kursi. Sementara terlihat Gibran Rakabuming sang Walikota malah duduk di meja. Komentar di jagad media sosial atas video dan foto ini adalah "kurang adab". Memang terkesan Gibran Rakabuming ini adalah pejabat karbitan. Jabatan Walikota yang memang belum pantas untuk diemban Gibran. Akibatnya, pola penghormatan jabatan dan protokol diabaikan. Gibran lebih merasa anak Presiden yang tak harus hormat-menghormati. Mungkin merasa dirinyalah yang seharusnya dihormati. Ini yang namanya sindroma anak raja. Latar belakang sebagai pengusaha katering dan martabak tidak menjadi persoalan. Toh ayahnya Joko Widodo dulu juga pengusaha mebel. Masalahnya adalah miskin akan pengalaman politik, bahkan Gibran pernah menyatakan tidak akan terjun ke kancah politik. Namun di usia 33 tahun, tiba-tiba Gibran meniru jejak ayahnya maju dalam Pilkada Solo. Menjadi Walikota dengan proses instan melalui Fraksi Partai Dekorasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan didukung oleh mayoritas partai politik. Dengan lawan tanding yang hanya asal-asalan, sehingga nyaris melawan "bumbung kosong". Tidak bisa dipungkiri kalau orang melihat kemenangan dan suksesnya Gibran ditentukan oleh faktor orangtua Presiden Joko Widodo. Faktor ini yang membuat mayoritas partai politik ikut-ikutan mendukung Gibran. Oligarkhi politik istana dinilai sangat mempengaruhi. Gibran pun berhasil untuk tidak tersentuh dari keterkaitan korupsi yang menyeret mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Misalnya, soal goodie bag yang menjadi jatah anak Pak Lurah yang diramaikan. Goodie bag sebanyak sepuluh juta unit dengan harga Rp 15.000 per unit berhasil dikerjakan oleh PT Sritex melalui Penunjukan Langsung (PL). Padahal nilai proyek goodie bag tersebut adalah Rp 150 miliar. Sementara syarat dilakukan PL hanya untuk proyek dengan nilai Rp 200 juta ke bawah. Namun rupanya ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain. Tidak untuk anak Pak Lurah. Oligarkhi istana terus bergerak memastikan cengkramannya atas kekuasaan negara. Gibran digadang-gadang untuk menjabat Gubernur DKI pada Pilkada serentak 2024 nanti. Bahkan ada juga yang sampai mewacanakan dan memainkannya Gibran untuk ikut Pilpres 2024. Politik dinasti yang dibangun untuk menjadi warna budaya politik Indonesia kontemporer. Selagi kekuasaan masih berada dalam genggaman, semua bisa dilakukan. Toh semua bisa saja diatur-atur sesuai dengan selera kalau mau. Girban yang semula tidak ingin terjun ke politik, akhirnya mau juga menjadi Walikota Soloh. Wajar saja kalau ada keinginan untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Setelah itu ikut menjadi Calon Presiden (Capres) mengikuti jejak sang ayahanda. Pasangan Capres-Cawapres Presiden Joko Widodo yang berakhir masa jabatan pada Oktober 2024 memang sudah menyatakan hanya mau menjabat selama dua priode. Namun bukan berarti peluang menjabat lagi untuk tiga priode sudah hilang. Peluang tersebut masih tetap saja terbuka lebar. Apalagi amandemen UUD 45, khususnya pasal tentang pambatasan masa jabatan presiden hanya dua periode itu sedang diupayan untuk dijebol. Rencana untuk menjabat tiga lagi untuk periode ketiga sedang dikerjakan dengan sangat serius. Namun pekerjaan ini dilakukan dengan sangat senyap atau sembunyi-sembunyi. Masih malu-malu, dan khawatir kalau diketahui publik. Reaksi publik bisa sangat keras. Yang tampak ke permukaan adalah amandemen UUD 45 terkait dengan dimasukannya pasal tengang Garis-garis Besar Haluan Negara (GHBN). Yang nanti bakal diselundupkan adalah merubah pasal tentang masa jabatan presiden, yang tadinya hanya dua periode, menjadi tiga periode atau lebih. Karena pasal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan utama dilakukan amandeman UUD 45. Bukan hanya soal masuknya pasal tentang GBHN. Bisik-bisik di kalangan intelijen gadungan, besar kemungkinan yang menjadi Capres untuk priode ketiga nanti adalah Joko Widodo, yang berpasangan dengan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo Subianto. Begitulah kalau kekuasaan lagi mendesak atau menagih agar tetap dalam genggaman. Dengan duduk di atas meja, ini adalah pencitraan bahwa Gibran lebih tinggi dari siapapun, termasuk Menteri Basuki Hadimoeljono dan stafnya. Maklum saja ini anak raja. Menteri adalah bawahan "ayahku". Karenanya tidak masalah bahwa Walikota tidak menghormati Menteri. Apakah ini pencitraan? Mungkin juga iya. Karena persis sang ayah. Pola dan cara untuk mendapat dukungan politik dilakukan melalui pencitraan yang sebenarnya adalah kepalsuan semata. Banyak yang tidak sesuai antara omongan dengan perbuatan sebagai Kepla Negara dan Kepala Pemerintahan. Yang paling terakhir adalah “tiga tahun terakhir tidak pernah mengimpor beras”. Nyatanya omongan ini dibatah oleh data-data yang ada Badan Pusat Statistik, Kemnterian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Soal Giran duduk di atas meja ini telah dibantah oleh Sardono W. Kusumo. Konon itu bukan meja, tetapi kursi yang bertingkat dari panggung teater. Namun tetap saja orang bertanya-tanya, mengapa di depan itu ada "kursi lebar" yang lebih rendah? Mengapa kursi lebar itu tidak diduduki oleh Gibran? Selayaknya jika tujuannya untuk berdiskusi, maka Gibran akan duduk di samping menteri atau didepan di kursi panjang yang dapat langsung berhadapan dengan Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono. Sindroma anak raja memang penuh dengan kontroversi, disamping proteksi dan tentu saja buzzerisasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kapitra Ampera Berpikiran Keruh, Curiga Bom Makassar Terkait Sidang Online

by Asyari Usman Medan, FNN - Kepolisian RI memastikan bahwa bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar terkait dengan Jemaah Ansharud Daulah (JAD). Itu aritnya, tidak terkait dengan FPI, Habib Rizieq Syihab (HRS) maupun sidang online (daring). Kemarin, dalam siaran langsung (live) salah satu stasiun televisi nasional, mantan pengacara HRS yang juga politisi PDIP, Kapitra Ampera (KA), meminta agar polisi mendalami adanya pengaruh sidang online HRS dengan bom bunuh diri itu. Menurut Polisi, bom bunuh diri tsb terkait dengan kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Kata Kapitra, banyak yang memprotes sidang online HRS. Termasuk di Makassar. Kapitra curiga seperti itu sah-sah saja. Yang menjadi masalah adalah isi kepala Kapitra yang memicu kecurigaan dia itu. Orang ini hanya mengedepankan pikiran keruh di kepalanya. Miris melihat cara dia memposisikan diri agar terlihat oleh Presiden Jokowi. Tentu publik masih ingat ketika Kapitra menyodorkan dirinya kepada Jokowi untuk diangkat menjadi Jaksa Agung. “Saya jadi jaksa agung sajalah,” kata Kapitra kepada Suara-com pada 30 April 2019. Ingin sekali dia menjadi orang besar, masuk ke kabinet. Sebaiknya, Jokowi kasihlah kesempatan kepada Kapitra untuk menduduki kursi menteri. Supaya dia tidak bermimpi terus. Setengah tahun saja pun, lumayanlah. Ucapan Kapitra yang cenderung asal sebut tentang bom di Makassar, sangat luar biasa. Lupa diri beliau. Padahal, dia sangat kenal dengan karakter dan garis perjuangannya HRS. Kapitra hafal bahwa HRS adalah pribadi yang taat hukum. Tidak suka dengan cara-cara pengecut. Politisi PDIP ini tahu HRS akan melakukan cegah kemungkaran ketika jelas ada pelanggaran hukum yang berlangsung semena-mena. Seperti penjualan minuman keras tanpa izin atau rumah prostitusi. Untung saja Polisi tidak mengikuti jalan pikiran Kapitra tentang kemungkinan adanya kaitan bom bunuh diri Katedral dengan sidang online HRS. Semoga saja Kapitra tidak lagi ceroboh.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Politik Uang Memicu Ketegangan Politik Identitas, Residu Pilgub DKI Jakarta

by Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Stigmatisasi Islam politik di Indonesia makin mengemuka paska pilgub DKI 2017, dengan tumbangnya Ahok - ikon politik kelompok anti-demokrasi (hiper-nasionalisme, pluralisme represif, Islam-fobia, dan oligarki). Berada di barisan politik kekuasaan, berbagai varian kelompok anti demokrasi ini menggunakan segala cara, termasuk tindakan represif, untuk menyingkirkan Islam politik. Bermodal minoritas ganda dan dukungan kelompok anti-demokrasi, Ahok berhasil membangun citra korban politik identitas. Meluasnya oligarki, korupsi, kemiskinan, dan politik represif di DKI Jakarta ketika Ahok berkuasa tertutup citra palsunya sebagai korban politik identitas. Kekalahan Ahok di pilgub DKI 2017 juga ditimpakan pada peran sentral politik identitas. Hingga kini, isu politik identitas, yang disematkan pada kalangan Islam politik sebagai faktor utama kekalahan Ahok di pilgub DKI, dipelihara dan dimanipulasi kelompok anti demokrasi. Patut disayangkan, kaum intelektual dan para pengamat politik, termasuk sebagian kalangan Indonesianis, ikut memelihara citra palsu Ahok sebagai korban politik identitas. Mereka mengandaikan kemenangan Ahok pada pilgub 2017 jika tidak terjadi mobilisasi massa Islam anti-Ahok. Bagaimana Logika & Fakta Elektoral? Membaca data elektoral sebelum dan setelah pencoblosan, sentimen politik identitas bukan faktor penentu kekalahan Ahok. Lebih karena terkuaknya kebobrokan cagub petahana ini selama memimpin ibukota dan kecurangan dalam pilgub. Puncaknya, ketika tim Ahok tertangkap basah menebar paket sembako secara masif – bertruk truk di masa tenang, menjelang pencoblosan. Jadi, masuk akal, jika mayoritas swing-voters dan undecided-voters serta sebagian pemilih non-sosiologis Ahok-Djarot, dengan pertimbangan rasional, akhirnya menjatuhkan pilihan pada pasangan Anies-Sandi. Hal ini dapat dijelaskan dengan elektabilitas Ahok-Djarot, sebelum pencoblosan, tidak terpaut jauh dari pasangan penantang. Secara umum, selisih elektabilitas kedua pasangan ini masih dalam rentang margin of errors. Dengan kata lain, mereka dalam posisi seimbang. Survei Indikator pada awal April 2017, misalnya, mengungkap elektabilitas pasangan Ahok-Djarot sekitar 47 persen dan Anies-Sandi 48 persen. Survei Charta Politika menunjukkan tingkat keterpilihan pasangan Ahok-Djarot 47 persen, Anies-Sandi 45 persen. Survei-survei lain juga merekam elektabilitas kedua pasangan pada tingkat yang hampir sama. Kecuali dalam survei LSI, dukungan untuk pasangan Anies-Sandi mencapai 51 persen, unggul atas pasangan Ahok-Djarot yang hanya meraup 43 persen. Berdasarkan hasil final pilgub DKI yang diselenggarakan pada 19 April 2017, pasangan Anies Sandi menang telak dengan perolehan suara 58 persen, dan Ahok-Djarot 42 persen. Pasangan Anies-Sandi unggul di seluruh wilayah DKI Jakarta. Teori “bradley-effect”, yang dipakai untuk menjelaskan peran sentimen agama dibalik kekalahan Ahok, cenderung dipaksakan. Dengan teori ini, diduga pemilih muslim, saat survei elektabilitas, menyembunyikan antipatinya terhadap Ahok karena tidak mau atau takut dituding rasis. Dan ketika berada di bilik suara, sebagaimana diungkap Burhanuddin Muhtadi (2018), mereka urung memilih Ahok karena pertimbangan agama. Dalam hal ini, kemandirian dan keajegan pemilih berbasis politik identitas diabaikan. Sementara, pemilih tipe sosiologis ini tidak mudah mengalihkan dukungan karena alasan-alasan rasional dan pragmatis. Karakter mereka relatif stabil, tidak peduli dengan kinerja, atribut dan kualitas personal, tekanan sosial, dan iming-iming material. Kalaupun terpapar politik uang, tidak serta merta menjatuhkan pilihan pada calon yang tebar uang. Sejalan dengan tesis Francis Fukuyama, dalam bukunya “Identity: the demand for dignity and the politics of resentment” (2018), bahwa politik identitas merupakan ungkapan kebutuhan non-materi yang menuntut pengakuan dan penghargaan yang tidak dapat dipenuhi dengan instrumen ekonomi semata, tetapi membutuhkan respon menyeluruh dan non-diskriminatif. Fakta lain yang selama ini disembunyikan yaitu distribusi pemilih Muslim yang tidak terlalu timpang antara pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Sementara, mayoritas mutlak pemilih non-muslim menjatuhkan pilihan pada pasangan Ahok-Djarot. Artinya, proporsi non-muslim yang cenderung memilih atau tidak memilih berdasarkan sentimen agama jauh lebih besar dibandingkan kalangan muslim. Memang, kelompok Islamis sangat ekspresif dengan aspirasi dan orientasi politiknya, sehingga terkesan memonopoli permainan politik identitas. Sedangkan, kalangan non-Islamis dan non-muslim lebih bisa menyembunyikannya. Data elektoral di atas dengan sendirinya membantah impresi bias politik identitas ini. Politik uang sumber masalah dan memicu politik identitas Politik uang, yang dikenal dengan jual beli suara (vote-buying)) dalam literatur politik, merupakan praktik politik yang sangat “beracun”. Bank Dunia (2017) mencatat bahwa politik klientalistik [dimana politik uang menjadi komponen utama] merupakan sumber berbagai tantangan pembangunan global, mulai dari korupsi dan penyediaan layanan publik yang tidak memadai hingga kekerasan etnis dan penegakan hukum yang lemah. Politik uang menggerogoti demokrasi melalui berbagai jalur. Langsung atau tidak langsung, malpraktik politik ini mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Dalam jangka pendek, politik uang menggerus legitimasi penguasa. Selanjutnya, terjadi distorsi kebijakan publik yang berakibat pada ketimpangan sosial dan ekonomi. Hal ini bisa menjadi faktor pemicu menyeruaknya politik identitas dan kekerasan rasial. Fenomena ini bukan monopoli negara berkembang, tapi juga melanda negara-negara maju. Contoh paling mutakhir, menguatnya politik identitas dan hiper-nasionalisme disertai kekerasan rasial di Amerika Serikat merupakan akibat langsung dan tidak langsung dari komersialisasi politik. Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi asal AS, menyebut demokrasi di negaranya sebagai demokrasi "one dollar one vote" bukan lagi "one man one vote". Menurut Stiglitz, demokrasi one dollar one vote ini menjadi penyebab memburuknya ketimpangan sosial-ekonomi. Bagaimana dengan Indonesia? Melalui riset politik di Indonesia, dua profesor politik ANU, Edward Aspinall dan Ward Berencshot (2019) menunjukkan bahwa politik klientalistik adalah akar dari berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia. Sejak reformasi bergulir, terutama pasca pilpres langsung pertama 2004, praktik politik uang meningkat tajam. Sejumlah studi menemukan, pada pemilu 2009, sekitar 11 persen pemilih terpapar politik uang. Naik tiga kali lipat, mencapai sepertiga pemilih, masing-masing pada pemilu 2014 dan 2019. Pada saat yang sama, terjadi kemerosotan di berbagai bidang, mulai dari meluasnya korupsi, ketimpangan yang makin dalam, demokrasi dan kebebasan yang dibajak oligarki dan otoritarianisme, penegakan hukum yang diskriminatif, hingga menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta ketegangan sosial. Sebagai penutup, perlu digarisbawahi bahwa kita tidak menutup mata akan kebangkitan politik identitas dengan ragam ekpresinya, yang telah menjadi fakta sosio-politik Indonesia. Juga tidak mengenyampingkan dampak negatif politik identitas dalam dimensi ekstrimnya. Namun, akar masalahnya adalah sistem oligarkis yang bersenyawa dengan “onggokan sampah pemimpin plastik”, meminjam ungkapan Yudi Latif. Tipe pemimpin ini tidak saja minus wawasan kenegaraan dan kompetensi, tapi juga berjarak dari cahaya kebenaran dan keadilan. Politik uang menjadi jalur utama persenyawaan sistem oligarkis dengan pemimpin plastik, yang bermuara pada ketidakadilan. Pada gilirannya, ketidakadilan memperparah penderitaan dan ketersisihan (sebagian) rakyat, yang kemudian memicu ketegangan politik identitas. Penulis Ketua Dewan Pengurus IDem & Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-Korupsi.

Kudeta Demokrat, Harga Diri Keluarga SBY Dipertaruhkan

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Banyak kader Partai Demokrat yang kecewa. Terutama mereka yang tak lagi diakomodir di struktur kepengurusan partai dengan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY bin Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejumlah nama tokoh ada di dalam kelompok yang kecewa itu. Selain Marzuki Ali, ada Jhoni Allen Marbun dan Max Sopacua. Mereka berontak. Ingin melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) dalam rangka mendongkel dominasi keluarga SBY, bahkan mengambil alih Demokrat. Merasa tak mampu untuk menjatuhkan dominasi SBY, mereka lalu gandeng Moeldoko, yang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Berharap, dengan langkah ini akan dapat dukungan istana. Berharap dengan mendapat dukungan istana itu, KLB akan disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Ibarat "tumbu ketemu tutup". Moeldoko menyambutnya dengan sangat antusias. KLB pun diselenggarakan. Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Padahal bukan kader, tetapi Moeldoko orang istana. Apapun penilaian rakyat, KLB sudah terjadi di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara pada (6/3/2021). Saatnya sekarang bertarung di Kemenkumham untuk mendapatkan legalitas. Apakah Kemenkumham akan melegalkan Demokrat versi KLB Moeldoko? Kalau langsung dilegalkan, tentu saja akan muncul stigma negatif, kasar, dan dianggap super tega. Rakyat "sebagai pemilik suara dalam pemilu" tak akan simpati model permainan kasar yang seperti ini. Tetapi, kalau tidak dilegalkan, maka Mooldoko akan dikorbankan. Moeldoko akan jadi tumbal. Tumbal siapa? Setidaknya tumbal dari mereka yang memberi ijin, juga yang punya kepentingan dan ikut mendesign kudeta Partai Demokrat. Seandainya pun Moeldoko "dimenangkan", kemungkinan akan ada proses yang sedikit memakan waktu. Diayun dulu, agar lebih menarik. Supaya tidak terlihat vulgar. Perlu ulur waktu untuk meredakan "keriuahan publik yang suah terlanjur tak simpati". Boleh jadi kalah dulu di Kemenkumham. Lalu ke pengadilan, dan menang. Ini akan terkesan lebih manis. Seolah Moeldoko berjuang sendiri, tak ada intervensi siapapun dari kekuasaan. Tak ada yang tak mungkin. Politik itu bagaimana menggerkan irama permainan. Termasuk permainan isu, dan cara bagaimana mempengaruhi persepsi publik. Siapa yang memenangkan opini publik, dia yang akan jadi juaranya. KLB Partai Demokrat berupaya untuk mendapat dukungan publik. Lalu, bagaimana dengan nasib SBY? Bagaimana pula nasib karir politik putra-putranya? Apakah SBY akan membuat partai baru? Partai Demokrat Perjuangan, misalnya. Atau justru SBY akan membuat perhitungan-perhitungan lain? Yang pasti, tidak hanya nasib, tetapi harga diri SBY dan keluarga sedang dipertaruhkan. Selama sepuluh tahun menjadi presiden, lalu "dipermalukan" dengan kudeta partai yang dirintis dan dibesarkannya. Yang pasti, ini tak mudah bagi SBY dan masa depan politik bagi kedu putranya. Yang SBY perlu ingat, politik tak selebar konstitusi dan AD/ART Partai Demokrat. Politik memiliki dinamikanya sendiri. Seringkali tak bisa dikendalikan oleh pasal-pasal di dalam konstitusi partai. Apalagi cuma AD/ART partai. Sekarang lagi musimnya melanggar konstitusi. "Konstitusi boleh dilanggar untuk keselamatan rakyat", kata Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Apakah Kudeta di Partai Demokrat bagian dari tafsir konstitusional Mahfud itu? Kita akan lihat nanti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Jokowi Dihadapkan Pada Pilihan Sulit

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Cara kudeta kasar dan melabrak hukum yang dilakukan Kepala Kantor Staf Presiden (KPS) Moeldoko menempatkan Presiden Jokowi serba salah. Kelakuan Moeldoko sekarang berdampak pada pilihan sulit bagi Jokowi. Sebagai Presiden, Jokowi harus berpura-pura netral. Terpaksa berujar bahwa soal Konres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara adalah masalah intern Demokrat. Tuntutan agar menegur, bahkan memecat Moeldoko bukan hal mudah. Sebab sukses Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat dipastikan menguntungkan kepentingan politik Jokowi. Moeldoko bisa dipakai Jokowi untuk merealisaskan kepentingan politik jangka pendek, maupun jangka. Itu pun dengan catatan kalau Mooldoko diberikan SK Menkumham sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Memecat dan mengganti dengan pejabat lain sama saja dengan mengorbankan salah satu benteng Istana. Moeldoko adalah jagoan yang berani atau nekat dalam melangkah. Mantan Panglima TNI ini meski berambisi, tetapi tetap loyal kepada Jokowi. Trium Virat benteng kekuasaan bersama Hendro Priyono dan Luhut Binsar Panjaitan menjadi andalan Jokowi. Pada sisi lain, bila Jokowi mendukung langkah brutal Moeldoko melalui KLB, itu sama saja dengan melegalisasi pelanggaran hukum. Sama dengan membenarkan politik menghalalkan segala cara pada demokrasi kita yang berwajah buram di masa komunitas internasional. Menkumham Yasona Laoly ditempatkan di garda tedepan penguatan status kepemimpinan Moeldoko hasil KLB Deli Serdang, Sumatera Utara. Terhitung sejak Moeldoko mendaftarkan hasil KLB ke Kemenkumham, maka telah terjadi dualisme kepemimpinan Partai Demokrat. Moeldoko dapat bebas mengacak-acak Partai demokrat dengan bantuan penyandang dana dari oligarki dan konglomerat hitam, licik, culas dan picik. Gerombolan konglomeret yang tidak pernah puas menghisap darah. Berbeda dengan pola devide et impera pada partai-partai politik lainnya, Moeldoko yang menjadi pengurus sah di Partai Hanura mampu menjadi Ketum di Partai Demokrat. Padahal Moledoko adalah kepala KSP. Moeldoko orang dekat Presiden Jokowi. Bagi Jokowi, sorotan keras ini membuat posisinya menjadi sulit. Bagai harus makan buah simalakama. Simalakama nama latinnya adalah phaleria macrocarpa yang mengandung zat anti oksidan seperti alkaloid, flavonoid, polifenol, saponin, dan terpenoid yang berguna untuk menurunkan kadar gula darah, anti kanker, anti radang, juga anti alergi. Tetapi racun simalakama ini juga bisa menyebabkan sariawan, mabuk, dan kejang-kejang, berbahaya bagi ibu hamil. Memakan buah simalakama adalah pilihan sulit. Racun yang dapat menjadi obat, dan racun yang menimbulkan penyakit. Jadi, kaitan dengan politik kini apa yang dilakukan oleh Moeldoko dalam kudeta Partai Demokrat via KLB menjadi bagai makan buah simalakama bagi Jokowi. Pilihan yang tidak mudah. Pilihan yang serba salah. Di tengah kesulitan Jokwi itu, prinsip "bukan urusan saya" atau "sudah ditugaskan kepada Menteri" menyebabkan Jokowi sebenarnya melempar kesulitan itu justru kepada rakyat. Menciptakan kegaduhan untuk rakyat. Sikap itu yang sekaligus mengukuhkan predikat sebagai rezim sarat kegaduhan. Suka dan hobby memproduksi kegaduhan politik. Banyak yang merenung, apakah Presiden memang sedang memikirkan rakyat? Atau rakyat ini yang selalu dan selalu dibuat pusing untuk memikirkan prilaku Presiden? Pilihan Jokowi untuk menentukan kebijakan melegalisasi hasil KLB, yang berarti membunuh SBY atau menolak pengesahan KLB yang bermakna membunuh Moeldoko adalah kondisi berat sebagai ujian bagi masa depan dirinya. Ataukah seperti biasa, biarkan diambangkan saja lalu mengikuti instink untuk melompat ke tempat lain lagi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.