POLITIK

Guru Besar UNP: Megawati Pantas Dapatkan Gelar Profesor Kehormatan

Jakarta, FNN - Guru Besar Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatera Barat, Prof Ganefri menyatakan gelar profesor Guru Besar Tidak Tetap pantas diberikan kepada Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri oleh Universitas Pertahanan (Unhan). "Gelar profesor kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) dari Unhan pantas diberikan kepada Megawati," kata Ganefri dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu. Sebagai Rektor di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau LPTK, dan kapasitas serta kiprahnya lebih banyak bergerak dalam dunia pendidikan tinggi, Ganefri mengaku dirinya lebih banyak melihat kiprah Megawati dalam ranah pendidikan. Ketua Forum Rektor LPTK itu menyatakan, secara akademis, Universitas Negeri Padang telah memberikan gelar doktor honoris causa kepada Megawati dalam bidang Politik Pendidikan meliputi formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan. "Penganugerahan gelar ini telah melalui studi akademis yang akurat oleh tim promotor," kata Ganefri. Sebelumnya, Megawati juga pernah menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang yang berbeda-beda dari Universitas Waseda Jepang, Moscow State Institute, Korea Maritime and Ocean University, serta Universitas Padjadjaran Bandung. Secara historis, kepemimpinan Megawati selaku presiden, telah berhasil memberi dasar hukum bagi lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). "Sebagaimana diamanatkan konstitusi secara keseluruhan, baik isi, jiwa, dan semangat UU tersebut, merupakan pengejawantahan tuntutan jaman Reformasi 1998, terutama reformasi pendidikan yang bersifat sentralistis dan demokratis," jelas Ganefri. Secara institusional, UU Sisdiknas memberi dasar lebih kuat bagi profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan dengan standar-standar kompetensi yang diperlukan, termasuk standar penggajian. Dalam hal ini, UU Sisdiknas 2003 memiliki legitimasi kuat dalam mengimplementasikan amanat konstitusi tentang alokasi 20 persen dana APBN untuk pendidikan. "UNP sebagai salah satu LPTK tertua di Indonesia merasa paling bahagia menyambut kehadiran UU Sisdiknas 2003 tersebut," imbuhnya. Berangkat dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 di era pemerintahan Megawati, melahirkan pula UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Selanjutnya, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. "Ini telah menghadirkan demokrasi dalam sistem pendidikan kita, di mana tidak ada lagi dikotomi perguruan tinggi negeri dan swasta," katanya. Kepemimpinan Megawati menghasilkan sistem akreditasi dilaksanakan oleh BAN PT. Demikian juga sekolah/madrasah diakreditasi oleh BAN SM, dan BAN PNF (Pendidikan Non-Formal) melahirkan Paket A, untuk SD. B, untuk SMP, dan C untuk SMA. "Dengan demikian, penjaminan mutu pendidikan lebih dapat dipertanggungjawabkan," kata Ganefri. Menurut dia, UU Sisdiknas tersebut mempertegas dan mengimplementasikan Pasal 31 Ayat 4 UU Dasar 1945 yang mewajibkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. "Jika kita cermati lebih dalam tentang substansi yang terkandung dalam UU tersebut dan peraturan lain yang menyertai, maka kita akan melihat bahwa Dr. (HC) Megawati baik sebagai negarawan atau tokoh, sudah sangat layak diberikan Guru Besar Tidak Tetap," tegas Ganefri. Dia pun percaya Megawati memiliki potensi luar biasa untuk mengembangkan kepakaran di bidang keilmuan tersebut di Unhan RI dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi Unhan RI untuk menjadi "World Class Defense University". Sementara itu, Guru Besar Tetap di bidang Hubungan Internasional Universitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Sosial Tiongkok (University of Chinese Academy of Social Sciences/CASS), Xu Liping, juga menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap usulan Guru Besar Tidak Tetap di Unhan RI kepada Megawati. Peneliti Senior Institut Nasional Strategik Internasional (NIIS) itu mengaku telah mengenal dan mempelajari peranan yang bersejarah dari Megawati. Pada masa pemerintahan Megawati, Indonesia sedang mengalami masa transisi dimana banyak elemen tak pasti yang muncul. Namun Megawati terbukti tegas menjunjung tinggi Pancasila, melindungi kesatuan dan persatuan Indonesia sebaik-baiknya. Di tingkat regional, kata dia, Megawati mendorong anggota Asean dengan Tiongkok menandatangani code of conduct (CoC) untuk Laut China Selatan. Perjanjian ini sangat bermanfaat bagi perdamaian dan kestabilan regional. "Dengan adanya CoC, bekerja sama ASEAN dengan Tiongkok semakin meningkat secara pesat sampai sekarang ini, Doktor Honoris Causa Megawati Soekarnoputri berjasa bersejarah di bidang ini," kata Xu Liping. Berdasarkan pengalaman akademiknya sebagai dosen di bidang hubungan internasional dan peneliti senior di bidang strategi, dia menilai jasa dan kontribusi ilmiah Megawati Soekarnoputri sudah memenuhi syarat dan ketentuan untuk diusulkan menjadi Guru Besar Tidak Tetap di Unhan RI bidang keilmuan Kepemimpinan Strategik. Universitas Pertahanan (Unhan) dijadwalkan akan menggelar sidang senat terbuka dalam rangka pengukuhan gelar Profesor Kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) Universitas Pertahanan RI kepada Presiden Kelima RI, Megawati Soekarnoputri. "Pada hari Jumat (11/6) akan dilakukan sidang senat terbuka Universitas Pertahanan RI dalam rangka pengukuhan gelar Profesor Kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) Ilmu Pertahanan Bidang Kepemimpinan Strategik pada Fakultas Strategi Pertahanan Universitas Pertahanan RI kepada Ibu Megawati Soekarnoputri," jelas Rektor Unhan RI Laksamana Madya TNI Amarulla Octavian dalam siaran persnya, di Jakarta, Selasa (8/6). Octavian mengatakan, sidang senat akademik Unhan telah menerima hasil penilaian Dewan Guru Besar Unhan atas seluruh karya ilmiah Megawati Soekarnoputri sebagai syarat pengukuhan menjadi Profesor Kehormatan Ilmu Pertahanan bidang Kepemimpinan Strategik pada Fakultas Strategi Pertahanan. (sws)

Cagub Optimistis Partisipasi Pemilih 80 Persen di PSU Pilgub Kalsel

Banjarmasin, FNN - Calon wakil gubernur dari pasangan calon 01 Muhidin menyatakan optimistis partisipasi pemilih bisa mencapai 80 persen pada pemungutan suara ulang (PSU) Pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan (Pilgub Kalsel) yang berlangsung hari ini. "Alhamdulillah saya dan keluarga hari ini telah memberikan hak suara di PSU. Kita lihat antusiasme masyarakat juga tinggi jadi mudah-mudahan tingkat kehadiran masyarakat tinggi di TPS yaitu 80 persen sesuai target kami," kata Muhidin usai mencoblos di TPS 06 Kelurahan Pemurus Dalam, Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin. Muhidin jadi satu-satunya di antara empat kandidat dari dua paslon yang bertarung di Pilgub Kalsel ikut memberikan hak suaranya di PSU. Sedangkan tiga lainnya yaitu cagub paslon 01 Sahbirin Noor serta paslon 02 Denny Indrayana-Difriadi berada di luar wilayah PSU. Diakui Muhidin yang pernah menjabat Walikota Banjarmasin itu, rasa optimistis tingginya partisipasi pemilih berkaca dari antusiasme masyarakat mengurus kartu tanda penduduk (KTP) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Hal itu menurutnya membuktikan masyarakat ingin mencoblos menentukan pilihan calon pemimpin yang berakhir di medan PSU. "Kami berharap situasi tetap terjaga kondusif. Saya juga terus memantau sejak tadi malam jika ada gejolak yang tak diinginkan bisa segera diredam. Kita apresiasi masyarakat dengan perasaan gembira hari ini berbondong-bondong datang ke TPS," tuturnya. Sementara Denny Indrayana saat menggelar konferensi pers di rumahnya di Kota Banjarbaru pada Rabu pagi berharap PSU dapat berjalan lancar dan tetap berprinsip pemilu yang jurdil. "Kami mendukung tingkat partisipasi pemilih namun yang pasti harus sesuai aturan yaitu berdasarkan DPT atau termasuk Daftar Pemilih Pindahan (DPPh) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb)," jelasnya. PSU Pilgub Kalsel terdiri dari Kota Banjarmasin di 301 TPS di Kecamatan Banjarmasin Selatan. Sedangkan lima kecamatan di Kabupaten Banjar, yakni Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan Martapura, Kecamatan Mataraman dan Kecamatan Astambul ada 502 TPS. Kemudian 24 TPS di Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin. (sws)

Wakil Ketua BKSAP DPR: Pendidikan Jadi Pintu Masuk Kesetaraan Gender

Jakarta, FNN- Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Achmad Hafisz Tohir menyampaikan pendidikan dapat menjadi pintu masuk menyelesaikan persoalan kesetaraan gender. Hal itu disampaikan Hafisz seusai mengikuti Roundtable Discussion dengan tema "Generating Commitments To Build Forward", secara hybrid di Tangerang, Banten, Selasa (8/6). "Pendidikan lah pintu masuknya (kesetaraan gender)," ujar Hafisz dalam siaran pers yang diterima, di Jakarta, Rabu. Dia menjelaskan masalah kesetaraan gender, seperti ketertinggalan wanita, umumnya menjadi problem di negara-negara dunia ketiga, seperti di Afrika, kemudian di Asia khususnya Asia Tengah dan Asia Timur Tengah. Di negara-negara tersebut, kata dia, masih banyak persoalan pengklasteran bahwa perempuan tidak perlu untuk ikut bersama laki-laki dalam hal kesetaraan. "Banyak yang kita lakukan dewasa ini, khususnya wanita-wanita di parlemen, mereka menyatukan pendapat bahwa tidak ada persoalan yang harus kita kotak-kotakan antara kesempatan laki-laki dan kesempatan perempuan untuk mencapai tujuan kemajuan," ujar Hafisz. Dia memberi contoh bahwa sebetulnya yang kerap dipermasalahkan di parlemen bukan 20 persen atau 30 persen atau 50 persen keterlibatan perempuan di parlemen, melainkan semangat agar orang yang terpilih mempunyai kemampuan, entah itu perempuan atau laki-laki. "Saya pikir yang penting akses-nya, ketika suatu lembaga politik memberikan akses yang cukup kepada wanita, maka dia akan siap untuk bertarung di situ," tutur-nya. Lebih lanjut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menilai bahwa wanita mempunyai beberapa keterbatasan fisik, sehingga dalam segala hal akan sulit juga mengalahkan kaum adam yang fisik-nya memang lebih kuat. Namun, keduanya memiliki kesamaan dari sisi kemampuan berfikir ataupun sisi emosional. Oleh karena itu, dia berpandangan, pendidikan menjadi pintu masuk kesetaraan gender. "Saya sampaikan bahwa dengan pendidikan kita bisa melihat kemampuan-kemampuan ini akan diuji di sana, apakah dia akan kompeten ketika mewakili rakyatnya untuk menjadi Anggota DPR, apakah dia kompeten menjadi pimpinan-pimpinan di lembaga parlemen dunia. Jangan sampai salah arah bahwa seolah-olah emansipasi ini hanya memberikan kesempatan wanita sebesar-besarnya untuk menjadi karier politik, bukan begitu," ujar Hafisz. Dia menyampaikan bahwa sebetulnya akses pendidikan yang diberikan kepada perempuan harus sama dengan laki laki, dan tidak boleh dibedakan, termasuk juga kesempatan untuk menduduki posisi-posisi tertentu. "Maka dari itu, dalam sisi apapun saya kira dominasi laki-laki itu dia akan lebih determinasi dalam sisi fisik-nya, tetapi untuk yang lain-lain kami sepakat semua akses itu harus sama," tutur legislator dapil Sumatera Selatan I itu. (sws)

BNPT Gelar Dialog Kebangsaan dengan Tokoh Papua di Timika

Timika, FNN- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar pertemuan dialog kebangsaan dengan sejumlah tokoh Papua di Timika pada Jumat (11/6). Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar di Timika, Rabu, mengatakan dialog kebangsaan dengan para tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan sejumlah bupati di wilayah pegunungan Papua itu dalam upaya untuk mewujudkan kedamaian di Tanah Papua. "Damai itu dambaan dan cita-cita kita semua. Kami berharap ada kontribusi dari semua pihak untuk mewujudkan Papua yang damai," kata Boy Rafli. BNPT menggagas kegiatan dialog kebangsaan dengan para tokoh Papua itu menyikapi masih terus terjadinya aksi-aksi kekerasan, terutama kekerasan bersenjata di berbagai wilayah pedalaman Papua akhir-akhir ini. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata itu, demikian Boy Rafli, telah mengganggu rasa aman dan nyaman masyarakat. "Kita ingin ada semacam kesamaan persepsi bagaimana sebaiknya membangun Papua yang damai. Karena membangun Papua yang damai adalah cita cita kita semua. Kita ingin hidup damai dan rukun," ujar Boy Rafli. Mantan Kadiv Humas Polri yang pernah menjabat Kapolda Papua itu berharap pertemuan dialog kebangsaan yang berlangsung di Hotel Rimba Papua Timika itu nanti bisa melahirkan pandangan-pandangan positif untuk kepentingan pembangunan Papua yang jauh lebih baik, lebih bermartabat dan pada akhirnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat Papua ke depan. (sws)

Pilpres 2024 antara Pemimpin Plastik dan Pemimpin Otentik

Oleh: Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Di tangan pemimpin plastik, kompas bangsa Indonesia melenceng jauh dari tujuan bernegara, guna memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam bingkai keadilan sosial. Amanat reformasi, yang menubuatkan demokratisasi, penegakan supremasi hukum, dan pemberantasan KKN, pun dikorupsi. Tak ayal, keadaan Indonesia saat ini jungkir balik, compang-camping dalam banyak hal. Nyaris tidak ada yang luput dari pembusukan politik pemimpin plastik. Salah satu puncak pembusukannya, “arus deintelektualisasi” yang sangat deras disertai pengkhianatan kaum intelektual, yang telah merobohkan marwah dan integritas ilmiah dunia perguruan tinggi. Obral gelar kehormatan akademik kepada para politikus dan pejabat tinggi negara menjadi tradisi (sebagian) kalangan kampus. Contoh paling mutakhir, tanpa rekam jejak akademik dan karya ilmiah, Megawati menerima gelar profesor kehormatan bidang kepemimpinan strategis dari Universitas Pertahanan. Alih-alih memiliki prestasi luar biasa dalam bidangnya, Megawati justru menorehkan tinta hitam di atas lembaran sejarah politik Indonesia. PDIP, di bawah kepemimpinannya, telah melahirkan banyak koruptor dan “onggokan sampah pemimpin plastik,” yang menjadi sumber segala masalah di Indonesia. Kerusakan demi kerusakan terus dipertontonkan oleh pemimpin plastik, dan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Pasalnya, pemimpin serba minus ini dilahirkan dan dibesarkan demokrasi palsu, di bawah cengkraman oligarki dan tekanan mentalitas feodal. Ia tidak saja defisit wawasan kebangsaan dan kenegaraan, tetapi juga terhalang cahaya kebenaran dan keadilan. Untuk itu, dibutuhkan skenario penyelamatan Indonesia dari keterpurukan yang makin dalam, dengan menghadirkan pemimpin otentik. Sebagai anti-tesis pemimpin plastik, tipe pemimpin ini lekat dengan kesejatian karakter intelektual dan moral. Ia mengutamakan isi daripada kemasan yang penuh rekayasa, dan mampu menerjemahkan pikiran-pikiran besarnya ke dalam pilihan kebijakan. Mungkin tidak ada sosok yang secara sempurna memenuhi atribut pemimpin otentik. Namun, paling tidak, rakyat Indonesia berhak dipimpin oleh figur yang tidak terlalu berjarak dari kualitas tipe pemimpin ideal ini. Lantas, apa yang harus dilakukan untuk cipta pra-kondisi munculnya pemimpin otentik dalam kontestasi elektoral 2024 mendatang, sekaligus mencegah kembalinya tipe pemimpin plastik beserta anasir-anasir turunannya? Pada level sistem, dibutuhkan keberanian politik untuk meninggalkan demokrasi palsu, menuju “demokrasi substantif” yang egaliter, meritokratis dan sarat dengan nafas keadilan. Dan hijrah politik ini menuntut kesadaran rakyat, terutama kaum intelektual dan kelas menengah, mengambil peran dan tanggungjawab moral sebagai kelompok penekan (pressure group) dalam proses perubahan radikal. Selanjutnya, dalam menilai calon pemimpin, rakyat harus keluar dari jebakan realisme politik yang bergantung secara mutlak pada tiga variabel popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas. Dalam banyak kasus, tiga variabel politik ini dapat dimanipulasi melalui "proyek pencitraan" secara instan. Dengan pendekatan idealisme politik, saya mengajukan dua variabel penting, yaitu "kebutuhan politik” dan “kredibilitas politik", untuk mengeksplorasi aspek kapasitas, visi, dan integritas (calon) pemimpin, yang selama ini luput dari perhatian publik. Variabel kebutuhan politik (political desirability) membantu kita dalam memetakan tantangan utama pembangunan. Dari hasil pemetaan ini, potensi calon pemimpin dapat disandingkan dengan tantangan yang ada, kemudian diantara para calon pemimpin diperbandingkan secara relatif. Harus dipahami, tantangan utama pembangunan yang kita hadapi bukan pada aspek teknis-teknokratis, tetapi lebih soal sistem politik ekstraktif. Sistem politik yang tidak sehat ini bersekongkol dengan pony capitalism (kapitalisme palsu), meminjam istilah Joseph Stiglitz (2015). Hasil persilangannya menjadi lahan subur oligarki - pola persekongkolan jahat antara penguasa dan pemodal, untuk menguasai sumberdaya negara. Seperti yang diungkap Jeffrey Winters, seorang Indonesianis asal AS, para pemodal (oligark) lah yang paling berkuasa di Indonesia karena memiliki uang yang lentur dan serbaguna. Uang yang mereka miliki dapat dimanisfestasikan ke dalam bentuk kekuasaan lainnya, seperti jual beli jabatan dan produk hukum-politik. Para oligarki ini sangat ekstraktif, menguasai dan membiayai partai politik, media massa, perguruan tinggi, think-tank, ormas, lembaga keagamaan, dan lain lain. Monopoli penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik berakibat pada meningkatnya ketimpangan dan kemiskinan multidimensi (sosial, ekonomi dan politik). Ketiga aspek ketimpangan dan kemiskinan ini saling mempengaruhi secara negatif, seperti lingkaran setan. Alhasil, dari waktu ke waktu, yang terjadi bukan berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan, tetapi pemiskinan dan peminggiran rakyat kecil. Ratusan juta penduduk miskin dan tidak mampu makin menderita dengan kondisi ketimpangan yang sangat akut, di mana segelintir orang super kaya menguasai kekayaan negara hampir secara mutlak. Rakyat kecil makin tidak berdaya di hadapan para pengambil kebijakan dan pemodal, dan makin tersisih dari proses politik. Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, yang bermuara pada sistem dan pilihan kebijakan korup, dibutuhkan pemimpin yang tidak saja kompeten pada tataran operasional. Tetapi yang jauh lebih penting, memiliki visi alternatif, dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam pilihan kebijakan yang tepat. Selain itu, ia mempunyai tekad kuat untuk membongkar sistem ekstraktif yang tidak berkeadilan, dan melawan anasir-anasir jahat di balik sistem tersebut. Dan mampu memandu rakyat meninggalkan sistem politik ektsraktif menuju demokrasi sosial dan pendekatan pembangunan manusia, yang menempatkan rakyat sebagai agen pembangunan. Namun, pertimbangan kebutuhan politik tidak cukup untuk membangun pra-kondisi lahirnya pemimpin otentik, kecuali dibarengi pelacakan kredibilitas politik (political credibility). Variabel ini membantu kita untuk menelisik "rekam jejak" calon pemimpin dan kelompok di sekitarnya, termasuk parpol pengusung. Pemimpin yang sarat catatan negatif, dikelilingi para pemburu rente, dan didukung parpol sarang koruptor, tidak mungkin memiliki keberanian politik melawan arus. Besar kemungkinan terseret arus, bahkan menjadi pelaku utama praktik kebijakan korup yang menyengsarakan rakyat. Sebaliknya, pemimpin otentik tidak memiliki beban melawan arus, betapapun kuatnya arus tersebut. Sebab, ia tidak terjerat catatan negatif, dan bisa menjaga jarak dari para politikus busuk dan pialang politik. Dengan keseimbangan antara pendekatan idealisme dan realisme politik, diharapkan akan tampil, di atas pentas politik Indonesia, sosok yang paling dekat dengan tipe pemimpin otentik. Penulis, Ketua Dewan Pengurus IDe

Brutus di Sekeliling Jokowi, Sikat Saja

Istana yang kotor saatnya dibenahi. Ganti para penghuni dengan orang yang lebih cerdas, jujur, dan suci. Sekurang-kurangnya manusia yang memiliki hati nurani. Oleh M Rizal Fadillah Bandung, FNN - Ketika Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa korupsi kini lebih gila daripada masa Orde Baru, warga masyarakat berbicara dalam hati, ya berantas saja, Pak. Tugas Pemerintah itu bukan beropini atau membuat indikasi, tetapi dengan otoritas yang dimilikinya menumpas korupsi yang dilihat dan diketahuinya itu. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk memerintahkan seluruh perangkatnya termasuk aparat penegak hukum. Saat ini muncul pula pernyataan dari Jokowi Mania (Joman) bahwa Brutus korup berada di sekeliling Jokowi. Tentu saja mudah untuk dijawab sama dengan kepada Mahfud MD, yaitu tumpas dan singkirkan Brutus-Brutus itu. Jokowi sebagai Presiden punya kewenangan besar. Jika membiarkan mereka maka muncul dugaan bahwa Jokowi tersandera atau mungkin berada dalam komplotan yang sama-sama korup. Agar tidak menjadi yang terakhir, maka Jokowi harus berani dan punya nyali untuk menyingkirkan para pencuri itu. Bagus sebenarnya Joman pimpinan Noel menginformasikan keberadaan Brutus. Kiranya hal ini tersampaikan pada Jokowi. Aturlah strategi bagaimana mengatasi para Brutus itu. Prinsipnya tentu "kill or to be killed". Nah sebelum Jokowi yang disingkirkan maka tak ada jalan lain selain mereka yang harus segera disingkirkan Penghianat istana tentu berbahaya meski penghianat negara jauh lebih berbahaya. Siapapun, apakah pejabat negara biasa, anggota DPR, Menteri, bahkan Presiden jika melakukan korupsi, maka harus disikat. Kini KKN, sebagaimana sinyalemen Mahfud MD, sudah semakin menggila. Lucu dan sayangnya justru Pemerintah sendiri yang melemahkan sapu pembersih korupsi. KPK yang telah dikebiri habis. Jadi banci kemayu. Dalam drama Julius Caesar karya William Shakespeare digambarkan pemberontakan nyata orang sekitar istana. Julius Caesar terbunuh oleh penghianatan lingkungan. Caesar tidak menyangka temannya Brutus ikut dalam komplotan, sehingga kaget ketika mengetahui Brutus ikut membunuhnya "Et tu Brute ?" Bahkan, engkau Brutus ? Brutus Istana Merdeka yang dinilai korup sudah terdeteksi sejak dini baik identitas, karakter, hingga ambisinya. Pisau pembunuhnya pun sudah diketahui. Jadi berbeda dengan Brutus drama Shakespiere yang tak disangka dan mengagetkan Caesar sehingga ia harus berujar "Et tu Brute ?" Karenanya, ayo Pak Jokowi berantas habis itu Brutus Brutus korup penghianat Istana, penghianat negara, dan penggerus uang rakyat. Jangan biarkan mereka menggila, sebab kejahatannya sangat luar biasa. Membangun budaya yang merusak karakter dan moral bangsa. Jawab keraguan dan penilaian rakyat bahwa sebenarnya Pak Jokowi itu sama saja sebagai komplotan "destroyer" perusak negara. Karenanya deklarasikan segera pemberantasan KKN dan jalankan secara konsisten dengan keteladanan. Anak cucu famili dan kroni yang korupsi habisi. Rakyat akan mendukung operasi implementasi deklarasi. Akan tetapi jika itu hanya basa-basi, maka keraguan rakyat memang terbukti. Korupsi sudah ke sana-sini termasuk kepada diri sendiri. Tak ada pilihan lain selain harus bunuh diri. Caesar dibunuh dan Brutus pun akhirnya mati bunuh diri. Istana yang kotor saatnya dibenahi. Ganti para penghuni dengan orang yang lebih cerdas, jujur, dan suci. Sekurang-kurangnya manusia yang memiliki hati nurani. Bukan hewan yang buta dan tuli atau hantu yang hanya wara wiri di ruang tersembunyi. Tak berani membangun silaturahmi dengan rakyat yang lapar, miskin, menganggur. Berteriak serak menyampaikan aspirasi. Istana mendesak untuk dicuci atau direkonstruksi, penghuninya layak untuk segera diganti. Meliorem domum habitator--Perbaiki penghuni Istana ! Penulis, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Tidak Pernah Solid, Suara NU tak Boleh Diremehkan

Beberapa "oknum politisi" sering memainkan emosi warga NU dengan mengangkat isu-isu yang sensitif semacam ini. Misalnya: "dia Wahabi, dia nggak qunut, dia anti ziarah kubur, dan sederet lainnya". Setiap pemilu, isu ini suka ada yang mengangkatnya. Bagi warga NU, terutama di pelosok-pelosok desa, ini bisa berpengaruh sangat kuat pada pilihan politik. By Tony Rosyid Jakarta, (FNN) - SEJAK 1984, NU (Nahdlatul Ulama) kembali ke Khittah. Artinya, tidak terlibat lagi dalam politik praktis. Meski demikian, secara struktural, NU selalu digoda dan ditarik-tarik ke politik praktis. Dalam konteks Khittah, banyak yang menilai, PBNU dianggap kurang tegas. Banyak aktor struktural yang bermain mata dan terang-terangan terlibat dalam politik praktis. Terutama dalam proses pemilu. Kepada mereka, tidak ada teguran atau saksi organisatoris. Akan tetapi, inilah khas dan keunikan NU. Ikatan dan solidaritas sosial berbasis kulturalnya yang lebih kental. NU adalah organisasi terbesar di Indonesia. Jumlah anggotanya sekitar 108 juta atau 49,5 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut berarti 87,8 persen dari total jumlah umat Islam di tanah air. Termasuk diantaranya adalah aktifis eks FPI (Front Pembela Islam). Apakah mereka semua punya keanggotaan resmi organisasi? Tentu tidak. Secara politik, massa NU sangat cair. Tidak satu komando. Ribuan hingga jutaan ulama, masing-masing punya pengaruh. Termasuk dalam urusan politik. Gus Dur (alm) punya pengaruh, K.H. Maemoen Zubair (alm) punya pengaruh, Habib Luthfi punya pengaruh, Ustaz Abdussomad punya pengaruh, begitu juga ulama-ulama yang lain. Mereka semua yang masuk ulama NU. Sebagian berafiliasi ke PKB, sebagian ke PPP, dan ada yang pilih PKS. Ke partai-partai lain juga ada. Maka, PKB yang diklaim sebagai partainya wong NU, tidak sepenuhnya dipilih oleh warga NU. Perolehan suara PKB di Pemilu 2019 hanya 13.570.097 (9,69 %). Ini bukti, warga NU dalam urusan politik sangat heterogen. Maksudnya: tidak solid. Apakah ini karena faktor NU telah kembali ke Khittah? Tidak juga. Sebab, tahun 1955, partai NU juga tidak menang dalam pemilu. Hanya mendapatkan suara 6.989.333. Ini lebih disebabkan karena ikatan solidaritas dan emosional warga NU itu bersifat kultural. Tidak dalam komando struktural. Konsekuensinya, banyak tokoh yang masing-masing menggunakan pengaruhnya, baik secara lokal maupun nasional, terkait dengan urusan politik praktis. Akab tetapi satu hal, jangan pernah membuat tersinggung warga NU. Baik menyinggung organisasinya, ajarannya, ritualnya, atau tokohnya. Sekali Anda masuk dalam isu itu, kelar! Ini wilayah sakral dan sangat sensitif. Untuk empat isu ini, warga NU kompak. Partai dan para politisi sudah sangat memahami hal tersebut. Kalau tidak, ini akan jadi resistensi cukup berarti dalam relasi sosial dan politik. Beberapa "oknum politisi" sering memainkan emosi warga NU dengan mengangkat isu-isu yang sensitif semacam ini. Misalnya: "dia Wahabi, dia nggak qunut, dia anti ziarah kubur, dan sederet lainnya". Setiap pemilu, isu ini suka ada yang mengangkatnya. Bagi warga NU, terutama di pelosok-pelosok desa, ini bisa berpengaruh sangat kuat pada pilihan politik. Cairnya suara NU itu hal yang berbanding lurus dengan semangat Khittah. Hanya saja, godaan berpolitik praktis di struktural mesti dikendalikan, bila perlu ditertibkan. Ini bagian dari bentuk komitmen Khittah. Di samping permainan isu sensitif bagi warga NU yang semestinya dihindari, supaya tidak ada yang berselancar dan mengambil keuntungan dari isu ini. Sekaligus ini penting sebagai upaya menjaga hubungan baik dengan ormas dan kelompok di luar NU. Menjaga stabilitas ukhuwah kebangsaan dan memelihara keutuhan NKRI. ** Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Amandemen UUD 1945 Kebiri Hak Non-Partisan

SURABAYA, (FNN) -Amandemen ke-5 UUD 1945 yang diwacanakan Dewan Perwakilan Daerah (DPI) RI, merupakan sebuah ikhtiar untuk mengembalikan atau memulihkan hak konstitusional DPD RI dalam mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Sebab, amandemen yang sudah dilakukan empat kali (dari 1999 sampai 2002) telah mengebiri hak bagi non-partisan.maju sebagai calon RI1 dan calon RI-2. Hal tersebut disampaikan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam focus group discussion (FGD) di Universitas Airlangga, Surabaya, Selasa (8/6/2021). Para pembicara dalam acara tersebut antara lain Prof Kacung Marijan (Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga), Prof Badri Munir Sukoco (Direktur Sekolah Pascasarjana Unair) dan Dr Rahadian Salman (Koordinator Prodi Magister Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Unair). Senator yang mendampingi Ketua DPD Sylviana Murni (Ketua Komite III DPD), Bustami Zainudin ( Wakil Ketua Komite II), Eni Sumarni (senator Jawa Barat) dan Adilla Azis (senator Jatim). LaNyalla mengatakan, pihaknya mewacanakan amandemen UUD 1945 yang ke lima sebagai pemulihan. “Disebut memulihkan karena bila melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, hilangnya hak DPD RI untuk mengajukan kandidat capres-cawapres adalah kecelakaan hukum yang harus dibenahi,” tuturnya. Dijelaskan Senator asal Jawa Timur ini, sebelum amandemen UUD 1945 terdahulu, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon. Kemudian pada amandemen ketiga UUD 1945, DPD RI lahir menggantikan utusan daerah dan utusan golongan dihilangkan. “DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Maka, hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dikebiri. Termasuk hak mengajukan capres-cawapres,” ujarnya. Lagipula, kata LaNyalla, DPD memiliki legitimasi yang kuat. Menurutnya, bola Utusan Daerah dipilih secara eksklusif oleh anggota DPRD Provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. “Ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif Non-Partisan yang memiliki akar legitimasi kuat. Sehingga hak DPD untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah rasional,” tegas LaNyalla. Ketua DPD RI pun berbicara mengenai hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 lalu. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa 71,49% responden ingin calon presiden tidak harus dari kader partai. Sementara itu hanya 28,51% yang menginginkan calon presiden dari kader partai. LaNyalla menilai hasil studi tersebut harus direspons dengan baik. “Seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49% responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai. Makanya saya menggagas bahwa Amandemen ke-5 nanti, harus kita jadikan momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima FNN.co.id, Selasa, 8 Juni 2021. (SP) **

Menpan RB: Jabatan Wamen Tidak Perlu Jadi Polemik

Jakarta, FNN - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo mengatakan rencana penunjukan jabatan wakil menteri untuk kementerian tersebut tidak perlu menjadi polemik. “Tidak perlu dipolemikkan (tentang) perlu atau tidaknya posisi wamen. Pembantu presiden adalah jabatan politis, sehingga sah saja diambil dari unsur mana pun,” kata Tjahjo Kumolo dalam keterangannya di Jakarta, Senin. Tjahjo mengatakan Presiden Joko Widodo sudah mempertimbangkan hal penting dan mendesak apabila diperlukan posisi wakil menteri dalam kementerian. Tjahjo menyatakan pihaknya mempersiapkan kemungkinan adanya posisi wakil menteri, seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2021 tentang Kemenpan RB. “Terkait berita keluarnya Perpres Kemenpan RB yang sudah ditandatangani presiden pada prinsipnya Kemenpan RB mempersiapkan saja dulu sebagaimana arahan Sekneg,” jelasnya. Menurut dia, setiap perpres kementerian yang terdapat pasal terkait jabatan wamen bertujuan agar presiden dapat sewaktu-waktu menunjuk seseorang untuk mengisi posisi tersebut. “Memang semua perpres tentang kementerian negara diminta untuk mencantum jabatan wakil menteri, agar supaya sewaktu-waktu presiden mengangkat wakil menteri tidak perlu mengubah perpres,” tambahnya. Oleh karena itu, terkait kapan jabatan Wakil Menpan RB tersebut diisi, Tjahjo mengatakan hal itu merupakan hak prerogatif Presiden Joko Widodo. “Soal kapan adanya wamen dalam kementerian hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden. Kapan saja bisa terisi atau tidak,” tukasnya. Sebelumnya, Tjahjo menilai Perpres dan penugasan Wamenpan RB tersebut bertujuan untuk penguatan tugas Kemenpan RB dalam upaya mempercepat reformasi birokrasi. Sementara itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 47 Tahun 2021 tentang Kemenpan RB yang ditandatangani presiden pada 19 Mei 2021. Pada Pasal 2 Ayat 1 Perpres tersebut dijelaskan bahwa dalam memimpin Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menteri dapat dibantu oleh wakil menteri sesuai dengan penunjukan presiden. Tugas wamen, menurut perpres tersebut, adalah membantu menteri dalam perumusan dan/atau pelaksanaan kebijakan Kemenpan RB. Selain itu, wamen bertugas membantu menteri dalam koordinasi pencapaian kebijakan strategis lintas unit organisasi jabatan pimpinan tinggi madia atau eselon I di lingkungan Kemenpan RB. (sws)

Ketua DPD RI Sebut Empat Implikasi dari Presidential Threshold

Yogyakarta, FNN - Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan ada empat implikasi dampak dari presidential threshold yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). "Setidaknya ada empat implikasi dari presidential threshold. Pertama adalah bagaimana pemilihan presiden (pilpres) hanya akan memunculkan dua pasangan calon yang head to head," kata LaNyalla dalam siaran pers saat pada FGD dengan tema "Presidential Threshold: Antara Manfaat dan Mudarat" di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (5/6). Presidential threshold atau ambang batas capres merupakan syarat pasangan calon di pilpres, di mana pasangan harus diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Keadaan tersebut, kata Ketua DPD RI, dapat mempersempit kemungkinan lahirnya lebih dari tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). "Meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasangan calon, tetapi tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya, dalam pemilu yang lalu-lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon," kata LaNyalla. Dampak dengan hanya ada dua pasangan calon dalam pilpres, kata dia, adalah bisa menyebabkan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. "Kondisi itu masih dirasakan hingga detik ini, meski sudah ada rekonsiliasi. Tentu sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa dan negara ini," katanya. Menurut dia, implikasi kedua dari presidential threshold adalah menghambat putra-putri terbaik bangsa yang hendak maju di pilpres, tanpa naungan partai politik. "Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik," kata LaNyalla. Kemudian implikasi ketiga adalah bagaimana presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat, sebab dikatakan LaNyalla, pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih. "Peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi, karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju. Sehingga kedaulatan rakyat melemah digerus kedaulatan partai yang semakin menguat," katanya. Implikasi keempat dari presidential threshold, yakni tidak berdayanya partai kecil di hadapan partai besar mengenai pasangan calon yang akan diusung bersama. Padahal, partai politik seharusnya didirikan untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional. "Tetapi dengan aturan ambang batas presiden itu, maka peluang kader partai politik untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres," kata mantan Ketua Umum PSSI ini. Dari argumentasi tersebut, LaNyalla menganggap aturan presidential threshold sebenarnya lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Apalagi dalil bahwa presidential threshold disebut untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah. "Karena partai politik besar dan gabungan menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu, bukan di hilir," kata LaNyalla. LaNyalla menjelaskan, UU Pemilu sendiri merupakan buah dari amandemen UUD 1945 terdahulu. Menurutnya, amandemen konstitusi dari tahun 1999 hingga 2002 menjadi dasar lahirnya undang-undang yang menjadikan wajah Indonesia seperti hari ini. Oleh karenanya, senator asal Jawa Timur itu mengajak seluruh masyarakat untuk jujur menjawab dengan hati nurani, apakah arah perjalanan bangsa Indonesia semakin menuju kepada apa yang dicita-citakan oleh founding fathers bangsa ini atau semakin menjauh?. "Karena itulah, kenapa saya menggulirkan wacana amandemen ke-5, sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Sehingga kita harus mendorong MPR RI untuk bersidang dengan agenda amandemen, tetapi dengan suasana kebatinan untuk melakukan koreksi dan perbaikan atas amandemen yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002," katanya. Menanggapi presidential treshold, Rektor UMY Gunawan Budiyanto mengatakan bahwa hal tersebut tergantung dilihat dari aspek mana. Jika dilihat dari sisi kekuasaan tentu bermanfaat, karena sebagai sarana untuk menguasai kepentingan sebagai penguasa. "Kalau dari sisi rakyat tentunya ya dilihat sendiri. Banyak mudharatnya. Sebab adanya tirani kekuasaan akan menyebabkan kepentingan rakyat tertinggal," katanya. Sedangkan pembicara dalam FGD, Zainal Arifin Mochtar yang juga pakar hukum Tata Negara UGM mengatakan presidential threshold hanya untuk mengonsentrasikan kekuasaan untuk kepentingan tertentu. "Ini tidak bisa dilepaskan dari permainan oligarki. Yang kemudian kita takutkan adalah jangan-jangan kita dimainkan oleh sistem yang oligarki yang seakan-akan bagus dan dijamin MK (Mahkamah Konstitusi)," katanya. Meski demikian, menurut Zainal sebenarnya tidak perlu dengan amandemen guna menjawab soal Presidential Threshold, namun lebih mudah dengan Revisi UU tentang Pemilu, terutama pasal-pasal soal ambang batas itu. "Amandemen jangan sampai merusak sistem presidensiil. Presidensiil itu yang memilih presiden adalah rakyat. Jangan sampai presiden dipilih lagi oleh MPR atau parlemen," katanya. Dosen Fakultas Hukum UMY, Iwan Satriawan mengatakan banyak barikade-barikade yang harus dilalui dalam menggugat Presidential Threshold, karena pasti ada pihak-pihak yang menguncinya. "Semoga barikade itu bisa dibuka oleh DPD RI, tetapi DPD tidak bisa sendiri, harus dengan bantuan dari gerakan mahasiswa, organisasi-organisasi masyarakat atau civil society lainnya," katanya. Iwan sepakat semua partai harus bisa mencalonkan presiden, dan tidak dikunci dengan adanya ambang batas pencalonan presiden. "Kalau menurut saya, presidential threshold harus dihapuskan, agar muncul calon-calon potensial. Perlu tekanan publik yang kuat agar parpol memikirkan kepentingan negara bukan menghamba pada oligarki," katanya. (sws)