POLITIK

PDIP Sedang Mengigau Tentang Jokowi

By Asyari Usman Jakarta, FNN - PDIP bergolak. Banyak yang membanting-bantingkan kepala. Marah besar terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020. Ditetapkan dan mulai berlaku 31 Maret 2020. Lengkapnya, Perppu itu adalah tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”. Supaya tidak pusing menghafal judul ini, banyak yang sepakat menyingkatnya dengan “Perppu Corona”. Setidaknya, ada dua kader cemerlang PDIP yang dibuat keder oleh Perppu Corona ini. Pertama, Masinton Pasaribu. Kedua, Arteria Dahlan. Mereka ini adalah ‘rising star’ PDIP. Masinton mengamuk karena, kata dia, Perppu Corona adalah rangkaian peraturan yang seluruhnya untuk kepentingan oligarki. Oligarkhi adalah sekelompok kecil orang –boleh disebut beberapa orang— yang memegang kekuasaan di sebuah negara. Politisi senior PDIP ini sangat galak. Dia sebut Perppu Corona sebagai bentuk sabotase terhadap UUD 1945. Arteria mengutuk Perppu ini sebagai isyarat adanya “kekuasaan baru di atas kekuasaan Presiden”. Dia khawatir, Perppu Corona memberikan kewenangan tak terbatas kepada pemerintah dalam mengelola dana penangangan wabah Covid-19. Jumlah dana itu sangat besar: 405 triliun rupiah. Mungkin yang membuat resah Arteria adalah pasal 27 Perppu Corona. Di situ lebih-kurang disebutkan bahwa siapa pun yang melakukan kesalahan dalam penggunaan dana Covid-19 tidak bisa dikenai tuntutan pidana atau perdata. Arteria meminta KPK agar mengawasi dana Covid-19 agar tidak disalahgunakan. Yang menarik dari politisi muda yang pernah galak dan melecehkan Prof Emil Salim dalam siaran live televisi itu, dia khawatir Presiden Jokowi akan tersandera. Nah, mari kita bahas ‘dobrakan dahsyat’ kedua politisi hebat Partai Banteng ini. Pertama, tentang kegelisahan Masinton Pasaribu. Dia katakan, Perppu Corona adalah aturan yang dibuat untuk oligarki. Pertanyaan kita: apakah selama ini Jokowi bukan duduk untuk oligarki? Ke mana saja Anda, Bung Masinton? Kok sekarang baru sadar bahwa Jokowi menjadi presiden untuk kepentingan oligarki? Bukankah sejak 2014 oligarki itulah yang menguasai pemerintah dan negara ini? Mungkin Anda terlalu nyenyak tidurnya, Bung! Tapi, lumayanlah masih sempat Anda mengigau tentang Jokowi. Hanya saja, igauan itu biasanya tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk mengambil tindakan. Artinya, Anda harus puas dengan igauan itu saja. Pak Jokowi tidak akan ‘online’ dengan igauan Anda itu. Dia akan melenggang sebagai “presiden pilihan rakyat” sampai akhir hayat periode keduanya. Begitu juga dengan Arteria. Anggota Dewan Yang Amat Berhormat ini pun juga sedang mengigau. Sama seperti koleganya, Masinton. Kata Arteria, Perppu Corona menunjukkan keberadaan “kekuasaan baru di atas kekuasaan Presiden”. Teman saya, Hersubeno Arief, menyebutnya “Presiden di atas Presiden”. Lagi-lagi, kenapa baru sekarang politisi ‘rising star’ PDIP ini sadar. Padahal, sejak 2014 di negara ini sudah ada “Presiden di atas Presiden”? Bukankah fenomema ini sudah berlangsung lama dan sekarang memasuki tahun ke-6? Sama halnya, igauan Arteria itu hanya bisa dijadikan kepala berita saja. Tidak bisa dipakai untuk mengurai kekacauan dalam tatakelola pemerintahan. Juga tidak akan bisa menghentikan oligarki yang dikeluhkan kolegamu, Masinton Pasaribu. Igauan Anda itu tak mungkin pula bisa menyingkirkan “Presiden di atas Presiden”. Dia akan tetap ada di sana sampai 2024. Saran saya kepada Anda berdua begini. Anda tenang saja. Anda pergi menghadap Bu Mega. Tanyakan ke beliau: oligarki dan “Presiden di atas Presiden” itu, mau diapakan? Saya menduga, jawaban Bu Mega akan mengutip pepatah Inggris: “if you can’t beat them, join them” (kalau tidak bisa mengalahkan mereka, ikut saja gabung ke mereka”.[] 1 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

PDIP Bersiap Buka Pintu Darurat?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ada tanda-tanda yang cukup kuat PDIP sedang bersiap membuka pintu darurat (emergency exit). Jika pesawat terpaksa harus crash landing, mendarat darurat. Mereka bisa segera lompat dengan selamat! PDIP memang belum sepenuhnya bersiap melompat. Tapi mereka sudah membuat ancang-ancang. Tahapan menuju langkah tersebut telah dipersiapkan. Sedikit demi sedikit mulai dijalankan. Dimulai dengan pernyataan dari Masinton Pasaribu. Anggota Komisi III DPR RI itu secara mengejutkan menyebut Perppu No 1 Tahun 2020 merupakan kepentingan nyata oligarki. “Ini bukan Perppu. Ini sabotase konstitusi,” kecamnya dalam melalui cuitan di akun twitternya. Masinton tidak menyebut secara spesifik siapa yang dia maksud dengan oligarki.Sebagai pengusung utama, bahkan pemegang saham mayoritas pemerintahan Jokowi, publik memahami bila ada oligarki, maka PDIP adalah pilar dan bagian utama oligarki itu sendiri. Siapa yang dimaksud dengan oligarki oleh PDIP semakin jelas ketika Arteria Dahlan menyatakan kekhawatirannya, Perppu akan menciptakan “presiden di atas presiden.” “Ada ‘penguasa’ yang lebih berkuasa dari Presiden Joko Widodo,” ujar politisi PDIP itu dalam Rapat Kerja dengan Ketua KPK Firli Bahuri. Arteria curiga ada yang coba memanfaatkan sitausi pandemi untuk mengeruk keuangan negara melalui Perppu. Dalam Perppu N0 1 Tahun 2020 pemerintah diberi kewenangan menggunakan dana sekitar Rp 405,1 Trilyun tanpa ada pengawasan. Para pengguna juga tidak dapat dipidana bila terjadi salah penggunaannya. Dengan dana sebesar itu Arteria curiga ada orang atau kelompok yang ingin menguasai Indonesia secara instan. Tanpa kampanye, tanpa modal bisa menjadi Presiden Indonesia. “Pak ketua kita harus jaga Jokowi agar tidak tersandera. Yang bawa mobil orang lain, kalau nabrak dia yang bertanggung jawab,” ujarnya mengingatkan Ketua KPK. Soal penggunaan anggaran perang melawan Covid-19 ini sebelumnya sempat memunculkan polemik antara anggota DPR RI Adian Napitupulu dengan Meneg BUMN Erick Thohir. Adian mempertanyakan siapa yang dimaksud Erick sebagai mafia alat kesehatan (alkes). Adian curiga jangan-jangan dia termasuk yang dituding Erick. Erick sebelumnya menyatakan ketergantungan Indonesia pada alkes impor memberi peluang mafia beraksi. Mafia mendominasi impor alkes. (PDIP ditinggalkan) Berbagai pernyataan politisi muda PDIP di Senayan ini menunjukkan adanya gesekan dan perbedaan kepentingan antara PDIP dengan Jokowi.Pertama, PDIP sebagai pemegang saham mayoritas Jokowi ternyata memang benar, tidak menjadi pengendali pemerintahan Jokowi. Ada orang atau kelompok yang menjadi pengendali pemerintahan Jokowi. Soal ini sesungguhnya sudah ditangkap publik dengan melihat susunan kabinet kabinet Jokowi Jilid II. PDIP tidak mendapat pos yang cukup penting dan basah. Benar PDIP mendapat jatah kursi paling banyak. Dari 16 kursi jatah Parpol, PDIP menempatkan lima orang kadernya. Mereka adalah Menseskab Pramono Anung, Yasonna Laoly (Menkum HAM), Tjahjo Kumolo (Menpan RB), Juliari Batubara (Mensos), dan Gusti Ayu Bintang Darmavati (Menteri PPPA) . Kalau mau dilihat dari sisi kedekatan secara politis, PDIP juga mendapat pos Jaksa Agung. Posisi ini dijabat ST Burhanuddin adik kandung politisi PDIP TB Hasanuddin. Posisi menteri utama atau yang juga dikenal sebagai Trium Virat, Menhan, Menlu dan Mendagri dijabat figur non PDIP. Mereka lah yang akan mengambil alih kendali pemerintahan, bila Jokowi dan Ma’ruf Amien udzur dan berhalangan tetap. Bukan kader PDIP. PDIP ternyata juga gagal menyingkirkan dan menggantikan Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini dianggap sebagai Super Minister. Budi Gunawan orang dekat Ketua Umum PDIP Megawati ternyata harus cukup puas dengan posisi lamanya sebagai Kepala BIN. Padahal Budi Gunawan berperan penting dan sangat berjasa atas kemenangan Jokowi. Budi Gunawan pula yang berhasil mempertemukan Jokowi dengan Prabowo Subianto. Luhut gagal berkali-kali membujuk Prabowo. Kedua, PDIP tampaknya tidak dilibatkan, tidak kebagian bancakan dana Covid-19. Bahkan dibandingkan seorang Stafsus milineal yang kebagian dana Pra Kerja Rp 5,6 Triliun pun mereka kalah. Bukan hanya curiga, jangan-jangan sudah punya bukti, ada yang memanfaatkan dana Covid-19 untuk kampanye gratis. Polemik antara Adian dengan Erick Thohir juga menyiratkan ada yang panen besar dan ada yang tidak kebagian dari pengadaan alkes. Dengan memunculkan berbagai isu itu ke tengah publik, PDIP ingin memberi isyarat. Mereka tidak ikut bertanggung jawab bila terjadi apa-apa pada pemerintahan Jokowi. Mereka bisa cuci tangan dan melompat keluar dengan selamat melalui pintu darurat bila pemerintahan Jokowi harus crash landing. Terpaksa mendarat darurat dampak dari bencana pandemi. Kapan mereka mau melompat? Kelihatannya tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Berbagai pernyataan itu disampaikan oleh para politisi muda. Second layer, lapis kedua. Bukan para politisi senior. Belum jadi kebijakan resmi partai. Ibarat pemain silat, mereka diperintahkan melancarkan pukulan jurus kembang. Belum menggunakan jurus mematikan. Masih terbuka pintu-pintu negosiasi, tarik menarik, deal-deal politik memanfaatkan momentum pandemi. PDIP tidak mungkin begitu saja melepas aset sangat besar seperti Jokowi. Meminjam judul buku Andrew Ross Sorkin (2009) yang kemudian difilmkan Too Big to Fail, Jokowi terlalu besar dibiarkan gagal. Dampaknya terlalu besar, termasuk bagi partai banteng moncong putih itu. Mereka bisa kut terseret pusaran bencana. End. Penulis Wartawan Senior.

Selamat, Dua Tokoh Golkar Raih Penghargaan PWI Jatim Award 2020

Oleh. M.H Minanan Jakarta, FNN - Dua nama tokoh Partai Golkar meraih penghargaan anugerah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur award 2020. Adalah Menpora Dr. Zainuddin Amali dan Ketum DPD Golkar Jatim Muhammad Sarmuji. Kedua tokoh tersebut menerima penghargaan bersama dengan 16 Tokoh di Kementerian/ Lembaga dan Pemda. Penghargaan ini diserahkan dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2020 dan HUT PWI ke-74. Acara yang rencananya diselenggarakan di Gedung Negara Grahadi, Jl. Gubernur Suryo - Surabaya pada Jum'at (20/03) tak bisa di gelar karena pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Karena agenda tahunan, anugerah penghargaan HPN dan HUT PWI hanya diumumkan. Penganugerahan itu diperoleh karena kedua Tokoh Golkar ini dinilai memiliki komitmen besar dalam melakukan perubahan untuk menjaga tata kelola pemerintahan dan kerja - kerja politik yang bersih, baik, transparan dan berhasil membangun zona integritas secara massif. Seperti kata bijak “Hasil tidak membohongi proses”. Kedua tokoh golkar ini pun tidak instan melalui proses berkarir. Hasil yang diperoleh hari ini karena latar belakang usaha dan pengorbanan yang tidak sedikit. Baik kedudukan, jabatan maupun dianugerahi penghargaan karena buah karya terbaik yang dipersembahkan bagi masyarakat bangsa dan negara. Sehingga bukan suatu kebetulan kedua tokoh partai berlambang pohon beringin ini memiliki segudang prestasi dalam karir yang signifikan. Menjadi para tokoh tersohor di partai, ini ukiran prestasi kedua tokoh partai golkar. ZA Gemilang Nakhodai Kemenpora Tak mudah menjadi pemimpin, Apalagi memimpin lembaga pemerintahan setingkat kementerian, yang terbuka diawasi publik. Dr. Zainuddin Amali dipercaya oleh Presiden Jokowi untuk menakhodai Kementerian Pemuda dan Olahraga pada 23 Oktober 2019. Dibawah kepemimpinan Dr. Zainuddin Amali Kementerian Pemuda dan Olahraga berhasil menciptakan suasana kondusif diantara organisasi olahraga, terutama hubungan antara KONI dan KOI. Selain itu, Mantan Anggota DPR RI empat periode ini melakukan pendekatan intensif pada penyelesaian sengketa Induk Cabang Olahraga (PB/PP) yang belum terselesaikan selama bertahun-tahun. Seperti, Cabor HOKI, Tenis Meja, Gulat dan beberapa cabang olahraga yang lain. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki olahraga nasional Indonesia kedepan jauh lebih baik. Ukiran prestasi pada Sea Games 2019 di Filipina, ada sentuhan tangan dingin dari seorang ZA yang terlibat langsung menjadi konsolidator dalam menargetkan perolehan medali emas. Pemerintah menargetkan perolehan medali emas 50 dan direvisi menjadi 60 saat awal menjabat sebagai Menpora, target perolehan medali emas itu menembus angka 72 medali berhasil diperoleh atlit Sea Games Indonesia akhir tahun lalu. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan. Pria kelahiran Gorontalo ini betul-betul melakukan perbaikan citra kementerian tersebut, selang dua Minggu penutupan Sea Games. Bonus peraih medali langsung diserahkan pada 72 peraih medali emas. Juga waktu relatif lebih cepat dari sebelum - sebelumnya. Selain itu, Mantan Ketua Komisi II DPR itu bersama stakeholder telah berhasil mendorong Kongres PSSI secara kondusif, tanpa ada insiden kekerasan seperti sebelumnya, berlarut-larut dan alot. Kini pemerintah tengah membantu PSSI untuk meningkatkan prestasi sepakbola Indonesia di kancah Internasional melalui Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2019 tentang Pembangunan Percepatan Persepakbolaan Nasional. Politisi Kawakan kuasai gelanggang. Anggota DPR RI Muhammad Sarmuji, satu nama yang sudah tidak asing ditelinga para politisi dan aktivis Indonesia itu memiliki segudang pengalaman organisasi. Cak Ji begitu akrab dipanggil, beliau termasuk politisi kawakan dengan berbagai prestasi. Memulai karir politik di PP AMPG sebagai Sekertaris Jenderal, Ketua Harian DPP Golkar hingga Ketua Umum DPD Golkar Jatim. Beliau termasuk salah satu tokoh muda, politisi kawakan yang menguasai gelanggang politik. Tak heran beliau sangat familiar diberbagai kalangan masyarakat. Sebagai orang yang belajar serta tumbuh-kembang dari organisasi mahasiswa, Cak Ji memiliki orientasi dan budaya politik yang sangat bersahaja. Bukan saja di segani lawan, namun beliau sangat dihormati kawan – kawan seperjuangannya. Untuk diketahui, Ketua Umum DPD Golkar Jatim ini bukan pertama kali mendapat penghargaan anugerah bidang politik, sebelumnya ia telah mendapatkan penghargaan anugerah politisi berdedikasi dari Mens Obsession saat 2018 lalu. Baginya, mendapat penghargaan PWI Jatim Award 2020 ini. merupakan kepercayaan untuk berbuat lebih baik lagi. Itu semacam titah, semacam perintah “teruslah berbuat, teruslah berkarya”. Pantas lah jika kedua tokoh partai golkar ini menyabet berbagai raihan prestasi. Salah satunya penghargaan dari PWI yang baru-baru ini di umumkan. Mereka termasuk para tokoh teladan yang mempuni secara kualitas dan kuantitas karya.

Luhut Panjaitan Sama dengan Trump, "Tidak Punya Empati"

Oleh : Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Rabu (15/04). Seru juga menyaksikan perdebatan seru antara wartawan yang ngepos di White House dengan Presiden AS Donald Trump dalam tayangan di CNN Internasional, belum lama ini. Di tengah wabah Covid19, wartawan tetap datang ke Gedung Putih menunaikan tugasnya mengabarkan informasi kepada khalayak luas. Saat ini orang yang paling dibenci rakyat Amerika adalah Presidennya sendiri. Betapa tidak, Trump tetap memaksakan keinginannya untuk membuka kembali semua kegiatan ekonomi dan bisnis sebelum 1 Mei 2020. Suara Trump ini berseberangan dengan aspirasi dan suara para gubernur negara bagian di AS yg menghendaki agar status keadaan darurat atau pembatasan kegiatan masyarakat masih tetap diberlakukan untuk mengurangi dampak penularan Covid19. Jumlah warga AS yang meninggal akibat Covid19 terus bertambah. Menurut data CNN Internasional, Rabu malam waktu Jakarta (pagi hari waktu AS), warga AS yg meninggal berjumlah 26.119 orang. Penduduk New York paling banyak yang meninggal akibat Virus Corona. Oleh karena itu Gubernur New York Andrew M. Cuomo selalu memberikan update info yang disiarkan secara langsung di CNN Internasional dan FOX News. Kata Cuomo, dalam 24 jam sebanyak 752 orang NY mati akibat Covid19. Berbeda dengan keprihatinan warga dan sejumlah gubernur negara bagian, Donald Trump justru mengutamakan bisnis, bisnis dan bisnis dan cenderung mengabaikan dan menganggap enteng terhadap ancaman kesehatan dan ancaman kematian massal rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia ? Berdasarkan data yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid19, Rabu (15/4), kasus pasien positif Covid-19 bertambah 297 kasus, total menjadi 5.136 kasus. Sebanyak 20 pasien dinyatakan sembuh dan 9 orang meninggal dunia, total 446 pasien sembuh dan 468 orang meninggal dunia. Dari 33.001 spesimen diterima, tercatat 27.865 kasus negatif corona. Jumlah ODP tercatat sebanyak 165.549 orang dan jumlah PDP tercatat sebanyak 11.165 orang. Di tengah peningkatan jumlah korban Covid19, masih ada pejabat pemerintah yang mengeluarkan kontraproduktif bahkan menyakiti hati dan perasaan masyarakat. Seperti diberitakan berbagai media, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menganggap masih kecil jumlah orang Indonesia yang meninggal akibat Convid19. "Buat saya tanda tanya jumlah meninggal itu gak sampai 500 (orang). Padahal jumlah penduduk 270 juta. Infected 4.000-an lebih. Katakan itu kali 10 itu 50 ribu," ujar Luhut sebagaimana dikutip Detik.com. Ucapan Luhut ini juga diberitakan media mainstream lainnya karena dia sengaja mengadakan jumpa pers melalui video conference. Di tengah wabah pendemi global ini, Luhut berulang kali membuat pernyataan yang menyakitkan masyarakat. Seharusnya dalam situasi seperti sekarang para pejabat negara mengeluarkan kata dan pernyataan yang menyejukkan dan menenangkan. Serta memberikan rasa aman dan kepastian untuk rakyat Indonesia. Saat ini rakyat butuh kerja sama untuk menangani wabah Virus Corona. Pejabat negara sebaiknya menghentikan pernyataan yang tidak etis dan akhirnya bisa memicu perdebatan maupun pertentangan publik. Alih-alih negara melindungi rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi, ini pejabat negara seperti Luhut Binsar Panjaitan menebarkan pernyataan provokatif yang menyakiti perasaan masyarakat. "Pernyataan itu seakan tidak menyisakan empati dan simpati kepada keluarga korban. Belum lagi, ada puluhan dokter dan tenaga medis yang juga meninggal. Kasihan keluarganya jika mendengar pernyataan seperti ini," kata Saleh Partaonan Daulay, anggota DPR RI Fraksi PAN, sebagaimana dikutip portal berita Liputan6. Kritik serupa disampaikan politikus PKS yang juga mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring. Menurut Tifatul, tidak selayaknya Luhut menyampaikan pernyataan seperti itu sebab yang diucapkannya itu menyangkut nyawa manusia. "Tapi ini kan nyawa manusia, bang. Manusia Indonesia. Abang nggak bisa lihat dari sisi statistiknya saja. Ini bukan bisnis bang," kata Tifatul dalam akun Twitternya, Rabu (15/4). Jika diamati sepintas, ada kemiripan pernyataan antara Luhut Binsar Panjaitan dengan Donald Trump. Keduanya sama sekali tidak mempunyai empati. Selama wabah global ini berlangsung, keduanya cenderung mengabaikan faktor nyawa manusia dan lebih mengedepankan urusan bisnis dan ekonomi. Trump ngotot untuk menghidupkan kembali semua kegiatan bisnis dan usaha, demikian juga Luhut sangat permisif dengan kedatangan ratusan TKA dari China yang mengerjakan proyek di Sulawesi. Padahal, sumber penyebaran virus Covid19 berasal dari China. Seandainya Luhut mau diajak berdebat seperti Presiden AS, Donald Trump, saya sangat berminat untuk mendaftar sebagai mantan wartawan Istana Kepresidenan di era Presiden Gus Dur. Jika menyaksikan perdebatan dengan Donald Trump, wartawan Gedung Putih dengan sengit mengritik dan mengajukan pertanyaan kritis dan tajam kepada Trump. Dan Sang Presiden pun melayani pertanyaan kritis dengan ucapan-ucapan yang juga tidak kalah seru. Editor BBC untuk Amerika Utara, Jon Sopel melukiskan Presiden Donald Trump membuat konferensi pers yang "paling membuat mulut menganga, mata terbelalak dan kepala pusing" pada Senin petang waktu setempat. Dalam jumpa pers ini, Trump mengklaim memiliki kewenangan "penuh" untuk mencabut kebijakan karantina wilayah atau lockdown tingkat nasional, yang bertentangan dengan sikap para gubernur dan pakar hukum. "Presiden AS memiliki kekuatan penuh untuk melakukannya," kata Trump dalam jumpa pers di Gedung Putih, yang diwarnai perdebatan dengan para jurnalis. Namun demikian menurut Konstitusi AS, negara bagian memiliki hak untuk menjaga ketertiban dan keamanan publik. Trump kerap memanfaatkan konferensi pers harian di Gedung Putih untuk menyerang media. Sebuah jaringan televisi menyebut konferensi pers pada Senin petang tersebut sebagai reaksi paling berlebihan yang pernah ditujukan oleh seorang Presiden AS. Donald Trump masuk ke ruangan dengan sejumlah isu yang perlu dia selesaikan dengan media, kata wartawan BBC Jon Sopel yang meliput di Gedung Putih. "Bukan tentang jumlah yang meninggal, yang sakit parah, orang yang takut tertular virus. Tapi (jumpa pers ini) tentang dia. Khususnya terkait kekesalannya terhadap media yang kritis atas penanganan pemerintahan AS terkait Covid-19," tulis Sopel. Di Indonesia , jika saya kilas balik ke era Presiden Gus Dur, ketika itu Presiden secara rutin juga mengadakan press meeting. Gus Dur sengaja membuat forum tanya jawab langsung antara dirinya dengan para wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan. Ketika itu sekitar tahun 2001, Gus Dur pernah marah dengan pertanyaan seorang wartawan yang menanyakan aksi Pro Gus Dur yang melakukan sejumlah demo bahkan sebagian melakukan perusakan di Kota Surabaya, Jawa Timur. Di era Gus Dur, media massa memang banyak menyerang dan mengritik pemerintahan Gus Dur karena dinilai banyak membuat pernyataan kontroversial serta pemecatan terhadap sejumlah menteri. Diantara menteri yang pernah dipecat Gus Dur adalah Menperindag Jusuf Kalla dan Menhakam/Pangab Wiranto. Setelah memecat JK, Gus Dur kemudian mengangkat Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Dulu di era Gus Dur, Menperindag Luhut Panjaitan lebih banyak "diam" dan tidak banyak berperan seperti sekarang. Sebelum jadi Menperindag, posisi Luhut sebagai Dubes RI di Singapura. Kembali kepada usulan adu debat antara wartawan dengan Luhut Panjaitan menyangkut percepatan penanganan Covid19, kemungkinan akan banyak media yang berminat mengirimkan wartawannya. Kok bukan dengan Presiden Joko Widodo seperti debat di AS dengan Presiden Donald Trump? Bukankah The Real Presiden' Indonesia Luhut Binsar Panjaitan? Wallohu a'lam bhisawab. Penulis Wartawan Senior

Opung dan Vivere Pericoloso

Oleh Smith Alhadar (Direktur Eksekutif The Institute for Democracy Education-IDe) Jakarta, FNN - Orang Indonesia paling berani, sekaligus paling berkuasa, hari ini adalah Opung. Bayangkan, dia menakhodai sendiri bahtera Indonesia secara amatiran, menempatkan seluruh penumpang dalam keadaan bahaya. Manuver Opung yang lancang ini disebut orang sebagai vivere pericoloso: nyerempet-nyerempet bahaya. Penumpang cemas karena Opung bukan nakhoda yang resmi. Dia tak punya sertifikat ilmu pelayaran. Nakhoda yang resmi, Jae namanya, disuruh tidur. Jae pun senang disuruh tidur karena, meskipun memiliki sertifikat, ia tak tahu apa-apa tentang kapal, badai, dan samudera. Sertifikatnya juga abal-abal, diperolehnya secara tipu-tipu atas sokongan Opung dan bajak laut. Hanya sesekali Jae kaget, mengigau, lalu tenggelam kembali dalam mimpi-mimpi indah. Sudah sejak awal, ketika kapal berlayar lebih dari lima tahun lalu, Opung mengambil alih kemudi. Bahkan, amat sering ia mengerjakan tugas-tugas awak kapal juga. Pokoknya, semua urusan kapal ditanganinya sendirian sehingga seluruh awak dan nakhoda terlihat menganggur. Tapi realitas inilah yang membuat penumpang khawatir akan nasib kapal dan nasib mereka sendiri. Masalahnya, makin hari kapal makin oleng. Badai dan gelombang makin menjadi-jadi. Sementara pulau tujuan belum juga nampak. Melihat keadaan samudera dan kondisi kapal, sebagian penumpang tak yakin kapal akan sampai di tujuan dengan selamat. Ada juga satu-dua penumpang yang akal sehatnya masih tersisa, yang sejak awal mendukung Jae sebagai nakhoda resmi, mulai ragu. Mungkin juga siuman. Sisanya berlagak seperti bangau, yang ketika melihat bahaya, memasukkan kepalanya ke dalam pasir, lupa bahwa badannya masih nongol di permukaan. Sekarang terjadi kebingungan hebat di atas kapal sejak covid-19 menyerang. Satu demi satu penumpang yang terpapar virus jatuh sakit atau malah mati dan jenazahnya dibuang begitu saja ke laut. Ajaibnya, Opung -- yang sama sekali tidak pernah sekolah kedokteran -- malah maju memimpin penanggulangan wabah. Ia mengatur semaunya dengan mengabaikan nasihat ilmuan. Kapal mulai heboh. Yang sakit dan mati meningkat secara eksponensial. Sementara kebutuhan penumpang di kapal mulai berkurang. Mulai terbayang di benak mereka kisah tenggelamnya kapal Titanic. Kapal yang naas itu tenggelam secara tragis di Samudera Atlantik, membunuh semua awaknya yang merupakan orang kebanyakan, kecuali orang-orang kaya dan bangsawan. Bahtera Indonesia saat ini menyerupai Titanic. Segelintir awak kapal yang kompeten ingin membantu menyelamatkan kapal, namun kebijakan mereka dianulir Opung. Mengapa dalam situasi genting ini -- di saat semua awak perlu bersinergi untuk menyelamatkan seluruh penumpang tanpa kecuali -- Opung masih ngotot bereksperimen dengan ide-idenya yang sulit difahami orang. Bukan karena ide-ide itu begitu canggihnya sehingga tak mampu dicerna penumpang, tapi karena bertentangan dengan akal sehat dan sains. Sains mengatakan harus ada lockdown untuk memutus rantai penularan wabah sebagaimana dilakukan banyak negara dengan berhasil atau memperlihatkan gejala akan berhasil, seperti dialami Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Amerika, yang penanganannya menyerupai Indonesia, kini tampil sebagai negara dengan korban covid-19 tertinggi di dunia, dan belum ada tanda-tanda akan segera mereda. Karena tak yakin dengan cara Opung menangani wabah berbahaya ini, penumpang berspekulasi, jangan-jangan Opung memilih kebijakan herd immunity (kekebalan kelompok), ketimbang mengorbankan ekonomi. Dengan kata lain, biarkan 2-4% penumpang mati demi stabilitas ekonomi agar kapal tidak karam. Ini ide gila, kata para cerdik pandai di kapal. Menyelamatkan seluruh penumpang dengan menjaga kebutuhan dasar mereka merupakan hukum tertinggi di kapal. Bahkan, kalau perlu, nakhoda harus ikut mati bersama penumpang sesuai etika pelayaran sebagaimana matinya kapten Titanic. Yang membuat para cerdik pandai di kapal marah karena ide-ide Opung itu tidak sesuai dengan kapasitas kapal untuk mendukungnya. Juga tidak sesuai dengan keadaan samudera yang siap mengaramkan kapal reot ini. Tapi, Opung tidak peduli. Ia bahkan mengancam menghukum penumpang cerewet yang memprotes ide-idenya. Dengan kekuasaan besar di atas kapal, yang dilimpahkan Jae yang tak punya ide dan lebih memilih tidur, Opung menyetir kapal tanpa kompas dengan prinsip vivere pericoloso. Kekuasaannya begitu besar yang tak ada presedennya dalam sejarah modern negara Indonesia. Tak ada menteri yang menguasai mutlak presiden, kecuali pada rezim Jae. Bahkan kekuasaan Opung melebihi Perdana Menteri Gajah Mada. Ia tak perlu berkonsultasi dengan Jae dalam mengambil keputusan. Bahkan kebijakan awak yang brilian, seperti Wan Abood, sesuai wewenang dan keahliannya berkali-kali dianulir Opung. Bukan karena kebijakannya tak sesuai Pembatasan Sosial Berskala Besar, tapi Wan Abood terlalu hebat. Ide-ide cemerlangnya membuat Opung dan Jae sebagai nakhoda resmi terlihat kerdil terkait dengan penanggulangan wabah. Langkah Wan Abood selalu lebih cepat, terukur, dan akurat, serta menabrak kebijakan Opung yang sesat. Contohnya, Opung membatalkan kebijakan Wan Abood membatasi operasi transportasi sebagai konsekuensi dari kebijakan social distancing dari pemerintah. Contoh lain, Opung menganulir kebijakan Wan Abood melarang ojol mengangkut penumpang sejalan dengan PSBB. Opung membolehkan ojol mengangkut penumpang. Padahal itu menyalahi kebijakan physical distancing. Orang pun melihat kelakuan Opung ini bertujuan mengerdilkan awak yang terlalu pandai dan mewujudkan ide gilanya menyelamatkan ekonomi. Melihat kelakuan Opung yang overconfident dalam menguasai kapal, penumpang pun bertanya: apakah kita akan sampai di tujuan dengan selamat sentosa tanpa kekurangan suatu apa pun? Suara terpecah. Ada yang yakin, ragu, dan sama sekali tak yakin. Penumpang pun teringat pada Soekarno, orang cerdas yang populis, yang memperkenalkan prinsip vivere pericoloso. Pada era itu, Soekarno menakhodai Indonesia mengarungi samudera luas yang penuh bahaya. Dan dia gagal. Badai politik yang menerpa kapal tak sanggup ia kendalikan. Para penumpang yang dikendalikan seorang awak akhirnya mengambil alih kemudi kapal. Soekarno terhempas, dikarantinakan, kemudian hilang. Jasa besarnya redup dan baru dikenang kembali secara sayup-sayup di kemudian hari. Soekarno memang berhasil memerdekakan Indonesia. Namun, ia gagal memajukan dan menyejahterakan Indonesia. Lalu, bagaimana dengan nasib bahtera Indonesia di bawah Opung? Juga, bagaimana Opung sendiri? Entahlah. Tapi jelas kapal sedang tersesat di tengah badai di samudera luas tak bertepi. Di sana-sini mulai terjadi kebocoran. Ide-ide Opung dalam mengendalikan kapal banyak diprotes penumpang yang cerdas karena tidak berbasis ilmu dan tak sejalan dengan harapan penumpang. Maka kita melihat terjadi kekacauan di kapal, perbenturan antara Opung dengan awak, Opung dengan penumpang, dan antara awak dengan awak. Jae sempat terbangun oleh riuh-rendah di kapal, tapi kemudian tertidur lagi karena toh dia tak tahu apa yang mesti dilakukan. Apakah kemudian awak dan penumpang akan mengambil alih kapal sebagaimana yang terjadi pada rezim Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur? Itu bisa saja, mengingat Opung nampak bakal tak sanggup mengendalikan kapal, sementara penumpang makin kritis dalam menanggapi manuver Opung. Kalau pada akhirnya penumpang melihat kapal akan segera karam, tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali menyingkirkan Opung, juga Jae. Sebenarnya Jae tak salah karena tidak melakukan apa-apa selama ini, kecuali tidur. Bukankah kita tak adil meminta pertanggungjawaban pada orang yang tidak melakukan apa-apa? Yang melakukan semuanya kan Opung! Jadi, mintalah pertanggungjawban pada Opung, bukan aku. Tapi di situlah kesalahanJae karena tidak berbuat apa-apa di saat dia harus melakukannya sesuai konstitusi dan sesuai sertifikat yang dimilikinya sebagai kapten kapal. Kekacauan di atas kapal ini tidak direspons secara memadai oleh Opung atas nama Jae. Sebagian penumpang melihat Opung telah kelelahan dan tak bertenaga lagi, karena itu kemudi kapal harus segera diambil dari tangan Opung sebelum kapal benar-benar karam. Tapi sebagian lain berharap ada mukjizat dari Opung untuk menyelamatkan kapal. Apapun, banyak penumpang mulai menangis menghadapi situasi yang menyeramkan ini dan tak tahu harus berbuat apa. Nasib bahtera Indonesia kini terletak pada kaum cerdik pandai dengan dukungan mayoritas penumpang kapal. Dan sayup-sayup terdengar suara Tuhan: Aku tak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah nasib mereka sendiri! *****

Kasihanilah Si Corona

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Jahat mana virus Corona atau para oligarki? Sekelompok orang yang mengendalikan bisnis dan kekuasaan di Indonesia. Kalau Anda sudah sempat membaca tiga regulasi yang baru diterbitkan pemerintah, pasti tidak akan ragu menjawab. Ketiganya adalah Perppu No 1 Tahun 2020 Tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan Keputusan Presiden (Keppres) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Dibandingkan dengan oligarki, virus Corona tidak ada apa-apanya. Cemen. Oligarki lebih mengerikan, lebih jahat berkali-kali lipat. Mereka lebih pandai memanfaatkan situasi. Memanfaatkan kekacauan, ketakutan publik. Menarik keuntungan di tengah kemalangan. Menjadikan Corona sebagai kambing hitam, menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada virus made in China itu. Padahal sesungguhnya dari mereka lah segala kekacauan negara ini bermula. Beda sekali dengan Corona. Sebagai mahluk Tuhan, dia hanya mengikuti “nalurinya.” Mencari inang, yang bisa menjadi induk tempat berkembang biak. Itu pun dia tidak berdaya ketika manusia disiplin menjaga jarak. Menjaga kebersihan. Dia hanya bisa melompat sejauh 1-2 meter. Kalau gagal, lama-lama dia akan mati sendiri. Para oligarki bisa masuk dan hinggap kemana-mana. Usianya juga sangat panjang. Berpindah dari satu penguasa-ke penguasa lainnya. Mengatur apa yang harus dilakukan oleh pemerintah. UU dan aturan mana yang harus diterbitkan, dan mana yang tidak. Siapa yang harus dikorbankan, dan siapa yang harus diuntungkan. Munculnya tiga aturan tadi, semakin membuka mata publik, ada pintu belakang di istana. Pintu yang digunakan lalu lalang, oleh orang-orang yang lebih dipercaya Presiden, dibandingkan para menterinya. Coba cermati kronologinya. Menko Polhukam Mahfud MD pada Jumat (27/3) menyatakan pemerintah sedang mempersiapkan Perppu tentang Karantina Wilayah. Empat hari kemudian, Selasa (31/3) Presiden Jokowi mengumumkan Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bukan Perppu Karantina seperti dikatakan Mahfud. Perppu justru diterbitkan untuk mengamankan kepentingan korporasi. Menjamin kepastian hukum bagi para pengambil kebijakan. Kesimpulan publik, omongan Mahfud tidak bisa dipegang. Toh dia hanya pembantu. Setiap saat bisa dipecat. Ada pembisik lain yang lebih didengar, dipercaya, dan sarannya dilaksanakan Presiden. Merekalah yang membiayai, mengantar, dan menjaganya agar tetap dalam tampuk kekuasaan. Menyelundupkan Pasal Selasa (2/4) Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menkumham Yasona Laoly menyerahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Perppu tersebut ke DPR. Hampir dapat dipastikan DPR akan menyetujuinya. Perppu akan segera berlaku secara efektif. Tinggal ketok palu. Selain tidak adanya oposisi yang kuat. Sudah menjadi rahasia umum, tangan-tangan oligarki menjangkau sangat jauh di parlemen. Mereka menempatkan pion-pionnya, sebagai proxy di gedung wakil rakyat. Mencermati pasal demi pasal dalam Perppu No 1 Tahun 2020, PP dan Kepres Corona, koalisi masyarakat sipil, pegiat pemerintahan yang bersih, atau siapapun yang masih waras, hanya bisa geleng-geleng kepala. Ada kesan kuat pemerintah memanfaatkan situasi krisis untuk memuluskan agenda terselubung. Menuai “berkah” di tengah musibah. Ada pasal-pasal di RUU Omnibus Law yang diselundupkan dalam Perppu. Pasal yang lebih menguntungkan dunia usaha dan banyak ditolak. Alokasi dananya juga tidak fokus pada pemberantasan virus. Tidak fokus pada penyelematan kesehatan. Yang lebih memprihatinkan, ada pasal yang disiapkan secara cerdik, untuk mengamankan para pemegang otoritas dan kebijakan. Mereka tidak bisa dijerat hukum manakala terjadi penyimpangan. Pasal penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), yang semula masuk di RUU Omnibus Law, ditarik ke Perppu. Pemerintah menurunkan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22%. Kemudian turun lagi menjadi 20% pada tahun berikutnya. Tarif ini berlaku mulai tahun ini, lebih cepat dari usulan awal yang dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Dalam rancangan Omnibus Law, penurunan baru akan dimulai pada 2021. Sikap pemerintah sejak awal konsisten. Lebih mementingkan ekonomi, ketimbang keselamatan dan nyawa rakyat, juga terlihat dari alokasi anggaran yang disediakan. Dari total Rp 405, 1 triliun yang dianggarkan, hanya Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan. Meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter. Yang terbesar justru anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun. Rp 70,1 stimulus perpajakan dan kredit usaha rakyat. Selebihnya sebesar Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial. Akar penyebab persoalan, yakni sektor kesehatan hanya mendapat porsi 18.5%. Selebihnya digunakan untuk mengatasi dampaknya. Sebagai konskuensi dari adanya anggaran baru tersebut pemerintah memperlebar defisit anggaran. Dari semula 3% menjadi 5.07%. Apa artinya? Pemerintah leluasa menambah utang baru. Utang yang sudah menjadi _life style_ pemerintah. Utang yang akan diwariskan pada pemerintahan berikutnya. Utang yang akan diwariskan kepada anak cucu kita. Corona benar-benar menjadi dewa penyelamat bagi pemerintah. Jauh sebelum wabah melanda, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah berkali-kali menyatakan defisit anggaran anggaran akan semakin melebar. Pada bulan November 2019 Sri Mulyani sudah mengingatkan defisit anggaran akan mencapai 2 sampai 2.2%. Dalam APBN 2019 dipatok 1.87%. Alasannya karena perlambatan ekonomi global dan melesetnya penerimaan pajak. Sekarang Corona yang menjadi alasan. “Berkah” lain yang dituai oligarki, sebagian dari mereka akan segera bebas dari penjara. Menkumham Yasona Laoly mengusulkan narapidana lansia berusia di atas 60 tahun dibebaskan. Usulan itu sudah disetujui Presiden. 300 orang napi koruptor, bersiap-siap menghirup udara bebas. Banyak diantara mereka adalah politisi, petinggi negara, dan kroninya. Kalau sudah begini, kita hanya bisa mengelus dada. Kasihan sekali kau Corona. Di seluruh dunia menjadi musibah. Ditakuti, menjadi momok yang menakutkan. Eh….di Indonesia malah menjadi blessing in disguise. “Berkah” yang tersembunyi bagi sekelompok oligarki. Dihadapan oligarki, Corona mati gaya. Dia tidak bisa menggugat karena namanya dicemarkan. Corona suatu saat akan mati. Oligarki tidak ada matinya. Please….kasihanilah Corona. End. Penulis Wartawan Senior.

Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Para Boneka?

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Minggu (29/03). Istilah "boneka" seringkali diasosiasikan untuk seseorang yang peran dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, seorang aktor atau artis dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara. Berarti mereka adalah boneka. Erving Goffman menggunakan mekanisme panggung ini untuk menganalisis dunia sosial. Ada panggung depan (front stage), ada panggung belakang (back stage). Panggung depan sering berbeda dengan panggung belakang. Bedanya bisa 180 derajat. Di depan para penonton seorang pelawak bisa ketawa. Padahal di hatinya ia sedang menangis karena konflik keluarga. Ini biasa terjadi. Inilah yang oleh Goffman disebut dengan dramaturgi. Teori dramaturgi ini menarik ketika dibawa ke panggung politik. Para pelaku politik (politisi) punya dua panggung. Panggung ketika mereka berhadapan dengan publik, dan panggung ketika mereka berada di lingkungan temen-temen politiknya. Di hadapan publik, para politisi akan bicara moral. Istilah nasionalisme dan NKRI menjadi khutbah hariannya yang berbusa-busa. Fungsi-fungsi pelayanan publik akan selalu dijadikan narasi indahnya. Apakah idealisme ini juga jadi narasi mereka saat berada di panggung belakang? Panggung belakang itu masuk wilayah otoritas Ketua Umum Partai. Anggota-anggota partai adalah serdadu yang bekerja untuk menerjemahkan dan menyampaikan keputusan partai. Terutama agenda dari Ketua Umumnya. Di depan media, mereka dalam posisi sebagai juru bicara partai, dengan gaya dan kemampuan inovatif masing-masing. Ini konteksnya anggota partai. Kalau staf istana, mereka akan bicara sesuai draf dari istana. Biasanya, juru bicara istana lebih hati-hati dan lebih teratur, agar tak terjadi kesalahan. Kalau salah, bisa fatal. Karena merepresentasikan nama istana. Sedikit lebih sakral. Berbeda jauh dengan juru bicara dari partai. Tampak lebih bebas, atraktif dan meledak-ledak. Seolah ia satu-satunya orang yang punya otoritas dan pemegang tongkat kebenaran. Semakin lantang dan keras ia bicara, akan dianggap sebagai orang yang kritis dan berani. Padahal, boneka juga. Di panggung belakang, Ketua Umum Partai sedang melakukan negosiasi. Tidak hanya anggota partai dan juru bicara istana. Bahkan para ketua umum partai dan para penghuni istana boleh jadi juga boneka. Itu jika mereka menduduki posisi tersebut, dengan bantuan dan peran kelewat besar dari orang atau kelompok di luar. Kadang, untuk menjadi politisi yang sukses diperlukan kemampuan yang baik untuk mengambil peran sebagai boneka. Makin berhasil ia keluar dari dirinya sendiri, dan menyerahkan kepada otoritas orang lain (mem-boneka-kan diri), maka peluang kesuksesan untuk menduduki posisi strategis juga semakin terbuka lebar untuknya. Era demokrasi seperti saat ini, seringkali lahir dan memproduksi para pemimpin boneka. Kepala daerah hingga presiden. Bahkan juga anggota DPR, juga paling banyak yang menjadi boneka. Sangat sulit untuk menghindari kebutuhan terhadap mekanisme ini. Untuk nyalon presiden, anda harus mau didandani. Tidak boleh "mau anda" sendiri. Seperti apa anda akan dicitrakan, mesti berbasis pada hasil survei. Survei dilakukan bukan hanya untuk mengukur popularitas dan elektabilitas anda saja, tapi terutama untuk mengidentifikasi "apa mau" masyarakat pemilih terhadap anda. Masyarakat suka capres itu pakai baju putih lengan panjang, berpakaian sederhana, dan suka blusukan, misalnya. Maka anda harus berpenampilan seperti itu. Mekanisme pencitraan seperti ini berlaku juga untuk calon kepala daerah dan caleg. Citra apa yang diinginkan dan disukai masyarakat harus dipenuhi oleh sang calon yang boneka itu. Selain pencitraan, proses politik juga butuh uang. Bahkan untuk pencitraan itu sendiri perlu biaya besar. Ketika anda nyalon presiden, nyalon jadi kepala daerah, atau nyaleg, anda butuh dana (logistik). Dana yang dibutuhkan juga nggak sedikit. Kalau dana dari kantong sindiri nggak cukup. Biasanya memang nggak cukup. Jalan alternatifnya harus cari bantuan. Dan anda tahu, bantuan itu nggak gratis. Pasti ada konsekuensi dan kompensasinya. Disitulah anda mulai menggadaikan (mem-boneka-kan) diri anda. Makin besar anda bergantung kepada bantuan seseorang atau kelompok, maka semakin besar pula tekanan dan kendali terhadap diri anda. Kalau anda sudah dikendalikan, maka itu artinya anda sudah menjadi boneka seseorang atau kelompok itu. Demokrasi yang awalnya dibuat dengan fungsi utamanya untuk memberi ruang partisipasi rakyat secara penuh dan meluas. Tujuanya, agar lahir para pemimpin yang ideal, independen dan berani tampil membela dan menyuarakan kepentingan rakyat. Namun pada akhirnya yang jadi justru para boneka. Menurut Robert Merton, demokrasi yang melahirkan boneka ini disfunction. Keluar dari tujuan utama demokrasi. Yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas, tetapi yang keluar jadi pemenang umumnya justru para boneka. Kenapa ini terjadi? Karena demokrasi berjalan dalam mekanisme penuh rekayasa dan manipulatif. Pertama, para calon dimanipulasi sikap dan perilakunya agar sesuai dengan persepsi masyarakat pemilih. Tentu, berbasis pada hasil survei. Kedua, sikap dan perilaku seperti ini didukung dan mendapat legitimasi dari mereka yang punya otoritas sosial di masyarakat. Milsanya para tokoh, pimpinan ormas, agamawan dan intelektual yang telah lebih dulu dapat bantuan dari para calon boneka. Ketiga, legitimasi ini disosialisasikan secara masif oleh tim buzzer yang dibayar secara profesional untuk menjalankan tugas ini. Keempat, suara para pemilih tidak lagi murni. Dibeli dan diberikan kompensasi. Kelima, terjadi pengendalian terhadap panitia pemilu dengan menjadikannya sebagai tempat bertransaksi. Dipecatnya dua komisionir KPU Pusat adalah bagian dari pembuktian tersebut. Keenam, hukum dan aturan tidak jalan. Bahkan cenderung dikendalikan untuk sebuah kepentingan seseorang atau kelompok. Terinspirasi dari teori fungsionalnya Robert Merton, sesungguhnya demokrasi dan hukum berfungsi untuk siapa? Faktanya bukan untuk rakyat, tetapi untuk mereka yang berhasil secara sistematis menjadikan kebanyakan dari para elit politik itu sebagai boneka. Kalau begitu, apa yang bisa diharapkan dari boneka-boneka tersebut? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Mandat Kuat Masyumi Reborn

Kini terpulang kepada para ulama para tokoh, apakah tugas ini dilanjutkan untuk melahikan kembali Masyumi atau dihentikan. Kalau para ulama dan tokoh umat memerintahkan berhenti, kami siap berhenti. Tetapi bila para ulama dan tokoh umat memerintahkan lanjut, kami juga siap melanjutkan. By Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN - Kelahiran kembali Masyumi adalah kebutuhan kekinian. Kalau PKI sekarang sudah kembali unjuk gigi, mengapa tidak dengan Masyumi. Inilah mandat paling kuat dari umat. Sabtu, 7 Maret 2020, Aula Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), di Jalan Kramat Raya No. 45 penuh sesak. Banyak yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Yang dating melimpah sampai pelataran gedung . Pada barisan dan kursi-kursi depan, tampak sejumlah tokoh nasional dan tokoh-tokoh sepuh. Di panggung depan, terpampang layar lebar yang menayangkan biorama perjuangan Partai Islam Masyumi, sejak lahir hingga bubarnya. Sementara di kiri-kanan layar itu, serta sebahagian besar dinding ruangan, menempel wall banner dari tokoh tokoh Masyumi seperti KH. Hasyim Ashari, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Natsir, Wahid Hayim, H. Agus Salim, Buya Hamka, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Roem, Burhanuddin Harahap, KH. Isya Ansyori dan lain-lain. Menariknya lagi, setiap wall banner dari tokoh itu disertakan pula kutipan pesan perjuangannya. Suasana itu membawa setiap hadirin yang berusia sikitar 70 tahun pada kenangan masa kecil ketika Partai Islam Masyumi masih ada. Suasana ini juga menumbuhkan kerinduan akan hadirnya masa lalu itu. Bagi genarasi di bawahnya, atau malah genarasi melenial, suasana tersebut tentu saj membangkitkan rasa ingin tahu tentang apa itu Partai Masyumi dan sepak terjangnya dalam perpolitikan nasional. Juga sekaligus menumbuhkan semangat untuk mengikuti jejak perjuangan Masyumi. “Umur kami mungkin tidak lama lagi. Tetapi kami tidak rela dipanggil Allah SWT ketika kami dan teman teman seangkatan kami yang pernah dididik oleh para tokoh Masyumi belum mewariskan ruh perjuangan Masyumi melalui jalur Politik formal. Kami membayangkan andaikan dulu Partai Masyumi tidak membubarkan diri karena dipaksa bubar, mungkin NKRI sudah menjadi negeri Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghaffur. Semoga adik-adik yang menggagas Masyumi Reborn bisa meneruskan risalah ini dengan mengajak seluruh keluarga besar, anak cucu dan pecinta ideologi Masyumi secara ikhlas tanpa pamrih jabatan. Tidak terburu-buru, sistematis dan istiqomah. Semoga Allah SWT merestui ijtihad ini demi NKRI yang tercinta”. Itulah sebuah flyer berisi foto KH. A. Cholil Ridwan, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’I, Abdullah Hehamahua danTaufiq Ismail yang ditayangkan di layar lebar. Rangkaian kalimat yang menumpahkan kegelisahan hati para pejuang sepuh yang sadar tinggal menghitung hari untuk kembali menghadap Sang Khaliq. Hidmad dan sangat hidmat. Pandangan para hadirin tampak terpaku pada untaian kalimat di flyer tereebut. Tidak sedikit diantara mereka mengusap matanya karena haru berlinang air mata. Ini memang acara “Silaturrahmi Keluarga, Anak Cucu dan Pecinta Masyumi”. Themanya, “Masyumi Reborn, Masyumi lahir kembali”. Tidak hanya dari propinsi-propinsi yang ada di pulau Jawa yang hadir. Tetapi juga banyak dari luar Jawa. Tercatat misalnya, datang dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nanggro Aceh Darusalam, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bangka Belitung, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan. Kalimantan Tengah, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Menariknya, acara silaturrahmi ini diikuti dari berbagai lintas usia, dari usia senja 80-an tahun hingga yang disebut dengan melenial. Tidak kurang 20 orang tokoh dari kalangan ulama, politisi, akademisi, budayawan dan kalangan pergerakan ditampilkan di atas panggung. Mereka berbicara beberapa menit tentang Masyumi dan pandangannya terhadap Masyumi Reborn. Diantara tokoh-tokoh yang berbicara itu KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, Taufik Ismail, Dr. Abdullah Hehamahua, Prof Dr Fuad Amsyari, Ridwan Saidi, Dr. MS Ka’ban, Dr. La Ode Kamaluddin, Dr. Musni Umar, Drs. Lukman Hakim, Bachtiar Chamsah, Ustadz Khotot, Nurdiati Akma ,Egy Sujana, Joko Edy, Sri Bintang Pamungkas dan Chairul Anas “si robot pendeteksi kecurangan” yang mewakili kelompok melenial. Ada juga tokoh yang tidak bisa hadir karena berhalangan lalu menitipkan pesan tertulisnya untuk dibacakan. Diantara mereka adalah Dr. AM Saefuddin, Letjen (Purn) Syarwan Hamid dan Mohammad Siddik Ketua Dewan Dakwah. Ada juga yang hadir tapi tidak sempat memberi pandangan, namun memberikan dukungan penuh, karena harus segera menghadiri acara lain seperti Ustadz Zaitun Rasmin. Menjawab tantangan Dr. Masri Sitanggang, Ketua Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P-4II), semua pembicara yang tampil sepakat “perlu segera melahirkan kembali Partai Masyumi”. Dalam sambutannya Masri Sitanggang melaporkan bahwa selama empat bulan perjalanan P-4II, diperoleh kenyataan bahwa umat Islam mengelu-elukan lahirnya kembali Masyumi. Hampir Semua provinsi dan sebagian besar kabupaten kota telah memberikan dukungan. Masing-masing telah siap untuk membentuk membentuk komunitas di daerahnya. Tetapi P-4II tidak merasa puas sebelum menyelenggarakan pertemuan Silaturrahmi Akbar antara Anak Cucu dan Pencinta Masyumi untuk mendengarkan pendapat mereka. Kini terpulang kepada para ulama para tokoh, apakah tugas ini dilanjutkan untuk melahikan kembali Masyumi atau dihentikan. Kalau para ulama dan tokoh umat memerintahkan berhenti, kami siap berhenti. Tetapi bila para ulama dan tokoh umat memerintahkan lanjut, kami juga siap melanjutkan. Kami patuh kepada perintah para ulama dan tokoh umat. Namun bila kami boleh berpesan kepada para ulama dan tokoh umat, maka pesan kami adalah “Kalau PKI sekarang sudah unjuk gigi, mengapa tidak dengan Masyumi?”. Begitu pekik Masri Sitanggang yang disambut pekik takbir dari para hadirin. Pertemuan silaturrahmi di Aula Dewan Dakwah itu memiliki banyak arti penting. Pertama, ini merupakan mandat dari keluarga, anak cucu dan pecinta Masyumi kepada P-4II untuk melahirkan kembali Masyumi. Dengan demikian legalitas dan kinerja P-4II diakui oleh umat Islam secara luas. Setidaknya oleh keluarga dan pecinta Masyumi. Dengan demikian pula, tidak ada lagi partai selain yang dilahirkan oleh P-4II. Hanya P-411 yang dapat mengklaim dirinya sebagai (penerus) “ Partai Masymi”. Apalagi ternyata pertemuan silaturrahmi ini disenggarakan di Dewan Dakwah, sebuah lembaga yang ketahui sebagai “Pewaris Masyumi”. Kedua, undangan yang disampikan secara terbuka di berabagai media. Ini menunjukkan bahwa kegiatan ini juga terbuka bagi siapa saja yang merasa anak cucu dan pecinta Masyumi untuk menyampaikan pokok pirannya seputar Masyumi Reborn. Dengan demikian, bila kelak di belakang hari ada pandangan miring terhadap, atau bahklan mempertanyakan kelahiran Masyumi, maka itu tidak lagi pada tempatnya. Gugur dengan sendirinya. Ketiga, tampilnya sejumlah besar pembicara dari berbagai latar belakang disiplin menunjukkan bahwa upaya melahirkan kembali Masyumi bukanlah kemauan orang per orang. Bukan pula alasan kepentingan kelompok. Tetapi adalah hasil proses pengamatan dan pengkajian memadai dari kalangan yang memiliki spectrum yang luas. Pertemuan ini juga sekaligus menepis anggapan bahwa kelahiran kembali Masyumi adalah akibat perpecahan di kalangan elit partai tertentu. Sebaliknya, kelahiran kembali Masyumi dinilai sebagai kebutuhan mendesak di tengah situasi politik yang tidak menentu dan cenderung tidak menguntungkan umat Islam. Masyumi diharapkan dapat menjadi wadah pemersatu gerakan politik sekaligus gerakan dakwah umat Islam ke depan. Keempat, nama besar Masyumi ternyata masih melekat di hati umat dan masih dirindukan kehadirannya. Membludaknya peserta silatutrrahmi dan antusiasme umat dengan membentuk komunitas di berbagai daerah serta pokok-pokok pikiran yang terlontar dalam pertemuan yang dipandu oleh Dr. Ahmad Yani, membuktikan lekatnya Masyumi di hati ummat dan kerinduan akan kehadirannya kembali. Masyumi masih punya daya tarik yang sangat kuat. Bola salju telah bergulir. Para tokoh gerakan, ulama, politisi dan akademisi serta anak cucu dan pecinta Masyumi telah memberi mandat. Ketua Badan Penyelidik Usaha Pendirian Partai Islam Ideologis, KH Cholil Ridwan, telah memberi petuah bahwa cuma ada dua partai dalam perspektif Islam, yaitu “Hisbullah dan Hizbussyaithan”. Panitia pun telah pula bekerja keras menyiapkan segala perangkat. Kini tinggal menungu waktu yang tepat untuk memberi maklumat “wahai para politisi musafir, pulanglah, Masyumi telah lahir”. #MasyumiReborn. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P-4II).

Jika Gagal di Solo, Akankah Gibran Maju di Kota Blitar atau Surabaya?

Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ketua DPC PDIP Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo menyatakan, PDIP tetap solid mendukung pasangan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilkada Kota Solo 2020 mendatang. Walikota Solo itu menegaskan, pasangan Puguh ini merupakan bakal calon sah yang diusung oleh PDIP Solo. “Saya yakin pasangan pasangan bakal calon Puguh bisa memenangi Pilkada Solo,” ujar Rudyatmo di sela acara “Apel Satgas PDIP Surakarta” yang digelar di kawasan parkir Vastenburg Solo, Ahad, 8 Maret 2020. Rudyatmo menegaskan, dirinya sudah menyampaikan agar kader PDIP Surakarta tidak takut untuk mendukung pasangan bakal calon Puguh pada Pilkada 2020, 23 September 2020 nanti. Karena Puguh merupakan pasangan yang diusung DPC PDIP Solo. DPC PDIP hanya mengajukan satu pasangan ke DPD yang dilanjutkan DPP PDIP. Sementara itu, anak Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju melalui jalur DPD PDIP Jawa Tengah. Menurut Rudyatmo, semua Satgas dan pengurus partai di Solo tidak perlu khawatir. Ia yakin pasangan Puguh akan mendapat rekomendasi dari DPP PDIP. Meski demikian, dia meminta agar kader patuh dengan ketentuan partai. “Artinya, tegak lurus mengikuti apapun keputusan dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri tetap harus diutamakan,” kata Rudyatmo, seperti dilansir Tempo.co, Minggu (8 Maret 2020 15:32 WIB). Sebelumnya, Lembaga Survei Indo Barometer merilis hasil survei terbaru yang menunjukkan bahwa 67,5 persen masyarakat menerima Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Walikota Solo pada Pilkada 2020. Sementara 23,7 persen publik tidak mau menerima jika putra sulung Presiden Joko Widodo itu maju sebagai calon Walikota Solo. “Ada lima alasan publik tidak menerima. Paling besar karena menganggap Gibran belum berpengalaman dalam pemerintahan (37 persen),” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari di Jakarta, Minggu (16/2/2020). Empat alasan lain tidak menerima, yakni menciptakan dinasti politik (28,1 persen), masih banyak calon lain yang lebih kompeten (12,3 persen), masih terlalu muda (8,9 persen), dan dapat menimbulkan kontroversi publik (6,8 persen). Ada lima alasan publik dapat menerima, yakni semua warga negara berhak memilih dan dipilih (49,4 persen), hak ikut berdemokrasi (13,9 persen), dan tidak masalah jika memenuhi syarat pencalonan (13,9 persen). Mengutip GenPI.com, Minggu (16 Februari 2020 17:32), berikutnya, yaitu melanjutkan Jokowi yang pernah memimpin Solo (9,4 persen), Gibran mempunyai kepribadian dan kemampuan yang baik sebesar 7,7 persen. Hasil survei itu juga merilis, ternyata masih ada yang tidak mengetahui kalau Gibran akan mencalonkan sebagai walikota sebesar 39,3 persen, sementara yang mengetahui sebesar 51,4 persen. Survei nasional itu dilakukan Indo Barometer pada 9 – 15 Januari 2020 menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden dan memiliki margin of error lebih kurang 2,83 persen. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka responden menggunakan kuosioner dengan syarat responden WNI yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Mengapa Ditolak? Tidak semua warga Solo setuju dengan pencalonan putera pertama Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju pada Pilkada Kota Solo 2020. Warga Solo yang tergabung dalam Peduli Pemilu (PWSPP) menyatakan keberatan karena persoalan etika berpolitik. Mengutip HanTer.com, Rabu (11 Desember 2019 - 10:19 WIB), pada Pilkada Solo 2015, Gibran tidak memberikan hak suaranya alias Golput. Menurut Ketua PWSPP Johan Syafaat Mahanani, apabila orang yang tidak mau memilih (golput) diberikan kesempatan untuk memilih, maka bisa menjadi contoh generasi muda untuk bersikap egois hanya mementingkan kepentingan sendiri. “Sebaiknya Gibran maju Pilkada Kota Solo pada 2025 namun pada 2020 dia bersedia memilih,” kata Ketua PWSPP, Johan Syafaat Mahanani, di Solo, Selasa (10/12/2019). Menurut Johan, keberatan ini, sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat agar di kemudian hari orang yang tidak menggunakan hak memilih tidak menuntut haknya untuk dipilih. Syafaat, seperti dilansir Antara, mengakui pihaknya sudah mengajukan surat keberatan kepada partai politik atas pencalonan Gibran dalam Pilkada Kota Solo 2020. Gibran diketahui sempat menampakkan sikap ngototnya yang tetap berusaha maju dengan melawan keputusan DPC PDIP Solo yang mantap mengusung pasangan Puguh. Padahal, keputusan DPC PDIP Solo tersebut berdasarkan aspirasi akar rumput. Namun, keinginan Gibran untuk maju pada Pilkada Solo 2020 terkesan bukan atas dasar kepentingan rakyat. “Itukan seperti arogansi, seolah-olah berkata yang bisa menyejahterakan rakyat itu saya dan kelompok saya,” ungkap analis politik Universitas Islam Indonesia (UII) Geradi Yudhistira. Dalam manuver yang dilakukan sosok yang baru mendaftar sebagai kader PDIP beberapa waktu lalu itu terkesan arogan. Bahkan dinilai jauh dari kepentingan rakyat. Alih-alih dia menghormati keputusan DPC, Gibran justru tetap berkeinginan untuk mencalonkan diri dengan menghadap ke Ketum PDIP beberapa waktu lalu. Pengamat politik Universitas Diponegoro M Yulianto menilai, rencana Gibran maju pada Pilkada Solo 2020 dalam konteks demokrasi sah-sah saja. Namun, menurutnya, asalkan telah memenuhi kualitas, kapasitas, intergritas. “Sebenarnya dalam konteks demokrasi (Gibran maju Pilkada, red) sah dan boleh. Tetapi kalau kualitas, kapasitas, intergritasnya memenuhi tidak masalah,” ungkap Yulianto di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Namun, di sisi lain, menurutnya, pencalonan Gibran itu akan memberikan tren dinasti politik di keluarga (oligarki) penguasaan kelompok tertentu berbasis pada dinasti keluarga. “Karena itu juga bisa, itu juga ada di Sumatera. Kemudian di Solo dan nanti itu akan diikuti tokoh-tokoh politik dari PDI Perjuangan yang membangun plan-plan keluarga di situ,” ungkapnya. Menurutnya, hal ini merusak sistem yang sudah dibangun oleh PDIP yang dipertahankan dengan loyal oleh pengurus kabupaten/kota dan povinsi. “Ini artinya apa? Ini bagian dari manajemen partai yang harus dikritisi, jangan mentang-mentang atau jangan seolah-olah karena punya power yang besar kemudian merusak mekanisme sistem yang didesain oleh partai dengan baik,” tandasnya. Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan, publik akan kecewa kepada Presiden Jokowi ketika putera Gibran maju dalam Pilkada 2020. Ia menilai, publik kecewa karena ternyata keluarga Jokowi tidak mengambil jarak dengan dunia politik praktis. “Ini menambah bobot makin jauhnya harapan agar Jokowi menjadi salah satu figur yang mempraktekan politik dengan kultur baru,” ujar Ray, Selasa (10/12/2019). Terlebih lagi, selama ini Jokowi dicitrakan sebagai pembawa pembaruan yang tidak mempraktekkan politik dinasti dan nepotisme ketika menjabat sebagai presiden. Majunya Gibran saat Jokowi masih menjabat, menurutnya, menjadi titik yang menghapus semua citra baik yang selama ada di mata publik. “Artinya, dalam hal ini, Pak Jokowi tak memberi tauladan yang berbeda dari kebanyakan politisi Indonesia,” tambah Ray. Pengamat Politik, Hendri Satrio mengatakan, jika Gibran terpilih menjadi walikota karena menggunakan fasilitas Jokowi, maka masuk ke dalam kategori dinasti politik. Dan, lanjut dia, hal itu tentunya merusak nama Jokowi sendiri. Menurut Hendri, langkah Gibran terjun ke dunia politik bisa menorehkan tinta negatif sejarah. Karena, Gibran maju saat ayahnya, Jokowi, masih memimpin Indonesia. “Sekarang terserah Gibran tetap mau menjaga tinta positif sejarah Indonesia dalam berpolitik bagi Jokowi tentunya, atau berkontribusi menorehkan tinta negatif untuk ayahnya,” katanya di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Dia mengatakan, sejak Indonesia berdiri sampai saat ini belum ada anak presiden yang ikut dalam pesta demokrasi. Bahkan, pada era pemerintahan Presiden Soeharto tidak ada anaknya yang maju ke dalam kontestasi politik. “Karena akan dicatat sejarah sebagai presiden pertama yang anaknya maju ke perhelatan pilkada sebagai Walikota. Belum ada itu, Pak Harto saja 32 tahun nggak kayak gitu," kata dia, seperti dilansir Harianterbit.com. Jika pada akhirnya rekomendasi DPP PDIP jatuh ke pasangan Puguh, maka peluang Gibran maju Pilkada Serentak 2020 hanya ada di Kota Blitar atau Kota Surabaya. Kabarnya, pilihan untuk dua kota ini sedang dibicarakan di DPP PDIP. Tampaknya Gibran masih ngotot ingin maju Pilkada Serentak 2020, bukan? Akankah warga Kota Blitar dan Kota Surabaya menerima Gibran? *** Penulis wartawan senior.

Jokowi Siapkan Ahok Jadi Presiden?

Mungkinkah Anies Baswedan vs Ahok akan terulang di pilpres 2024? Tak ada yang tak mungkin. Jika itu terjadi, tentu akan jauh lebih panas dari pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019. Benturan sosial mungkin akan jauh lebih dahsyat. Politik identitas yang terakumulasi dengan kekecewaan terhadap kekuasaan akan memicu terjadinya gelombang aksi massa dan benturan sosial. By Tony Rosyid Jakarta FNN - Ahok, manusia satu ini gak ada matinya. Didemo tujuh hingga belasan juta orang, jatuh. Kalah di pilgub DKI dan dipenjara dua tahun. Keluarganya pun ikut berantakan. Keluar dari penjara, Ahok bangkit kembali. Kali ini jadi komisaris utama (komut) PT. Pertamina. BUMN yang aduhai duitnya. Protes dimana-dimana, Jokowi hitung. Ternyata hanya riak, bukan gelombang. Tak berbahaya. Rencana jalan terus. Rupanya, Jokowi punya keyakinan sendiri tentang Ahok. Keyakinan atau rencana? Itu yang sedang dalam banyak pengamatan. Rakyat membaca keyakinan atau rencana Jokowi itu. Kemana arah manuver Jokowi ini nantinya. Yang pasti, Ahok sudah menjadi komut PT. Pertamina. Ini tanda bahwa Ahok punya kesempatan untuk bangkit kembali. Tepatnya, dibangkitkan lagi oleh Jokowi. Belum tampak hasil kinerjanya sebagai komut di PT. Pertamina. Jokowi sebut-sebut Ahok akan jadi calon kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru. Sepertinya Ahok adalah calon terkuat. Meski ada nama Bambang Bridjonegoro, Abdullah Azwar Anas dan Tumiyana. Tiga nama yang disebut belakangan boleh jadi sekedar cadangan. Cadangan hanya akan dipakai jika Ahok gagal. Berpotensi gagal jika protes terhadap Ahok membesar jadi gelombang. Selama protes terhadap Ahok tak masif, apalagi hanya riak-riak kecil di medsos, atau paling banter di acara ILC, peluang Ahok jadi kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru sangat besar. Protes tidak massif, artinya tak bakal membahayakan terhadap posisi Jokowi. Sebaliknya, jika protes mulai membahayakan, mungkin Jokowi akan berhitung lagi. Ahok bisa ditarik mundur selangkah. Seandainya pun Ahok gagal sebagai kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru, tak lantas karir Ahok berhenti di PT. Pertamina. Masih akan ada posisi-posisi strategis yang disiapkan untuk Ahok ke depan. Tentu, sebelum Jokowi turun dari kursi presiden. Jabatan komut PT. Pertamina diduga oleh banyak pengamat hanya sebagai batu loncatan untuk Ahok reborn. Analisis ini seolah mendapat pembenaran ketika Jokowi mengumumkan Ahok sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru. Clear! Tak lama setelah nama Ahok disebut sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru, lagi-lagi Jokowi membuat sebuah pernyataan mengejutkan. "Tidak masalah presiden Indonesia itu non-muslim". Publik ramai. Jokowi dianggap seolah-olah telah menyiapkan perahu politik untuk Ahok yang notabene non-muslim sebagai capres 2024. Analisis ini masuk akal mengingat belum ada nama kandidat yang potensial di luar Anies Baswedan. Survei elektabitas Tito Karnavian, orang dekat Jokowi, masih sangat rendah. Sementara Puan Maharani, Ganjar Pranowo dan Risma, selain masih sangat rendah, juga bukan calon Jokowi. Tiga kader PDIP itu milik Megawati. Kecil kemungkinan Jokowi berpatner dengan Megawati di pilpres 2024. Gabung dengan Mega, Jokowi pasca pensiun hanya akan jadi anggota biasa di PDIP. No pengaruh. Apalagi selama menjadi presiden, kabarnya Jokowi telah banyak mengecewakan Megawati. Maka, akan jauh lebih strategis jika Jokowi punya calon sendiri. Untuk sementara, hanya Ahok dan Tito Karnavian yang bisa dimainkan oleh Jokowi sebagai jagoannya. Jika kedua tokoh ini pun gagal dibranding, mendukung Anies bagi Jokowi jauh lebih rasional dari pada bergabung dengan Megawati. Ketika Jokowi bilang bahwa calon presiden boleh non-muslim, tentu sebagai presiden, Jokowi tak asal bicara. Soal langkah politik, Jokowi sangat terukur. Boleh orang meemehkan, tapi dua periode menjadi presiden bukan perkara mudah. Butuh kemampuan berpolitik kelas tinggi. Jadi, ucapan Jokowi bahwa presiden boleh non-muslim tentu punya arah. Ucapan Jokowi tersebut tidak keluar di ruang hampa. Artinya, bukan omong kosong. Komut PT. Pertamina, lanjut kepala Otorita Ibu Kota Baru, lalu nyapres adalah proses branding. Ahok sendiri baru-baru ini juga pernah menyatakan bahwa dia bisa jadi presiden. Bagaimana dengan aturan perundang-undangan? Semua bisa dirubah dan dikondisikan. Parlemen saat ini ada di genggaman Jokowi. Persoalan sesunghuhnya bukan di aturan, tapi begaimana hasil survei elektabilitas Ahok. Itulah yang akan jadi variabel untuk menentukan. Mungkinkah Anies Baswedan vs Ahok akan terulang di pilpres 2024? Tak ada yang tak mungkin. Jika itu terjadi, tentu akan jauh lebih panas dari pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019. Benturan sosial mungkin akan jauh lebih dahsyat. Politik identitas yang terakumulasi dengan kekecewaan terhadap kekuasaan akan memicu terjadinya gelombang aksi massa dan benturan sosial. Secara obyektif, berbasis pada pertama, analisis pilgub DKI 2017. Kedua, melihat psikologi dan karakter rakyat Indonesia, maka rivalitas Anies vs Ahok di pilpres 2024 tidak hanya akan membuat benturan social. Lebih dari itu akan berpotensi terjadinya perang saudara. Tentu, ini adalah prediksi. Bagi kelompok tertentu, Ahok dianggap ancaman. Tidak saja terhadap agama Islam yang dipeluk mayoritas rakyat, tetapi juga bangsa dan negara. Ini sebuah analisis yang baik, sekiranya disurvei datanya di lapangan. Bukan hanya survei elektabilitas berbasis kuantitatif, tetapi juga survei etnografis untuk membaca potensi konflik jika Ahok dipaksakan untuk nyapres. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa