POLITIK
Kasihanilah Si Corona
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Jahat mana virus Corona atau para oligarki? Sekelompok orang yang mengendalikan bisnis dan kekuasaan di Indonesia. Kalau Anda sudah sempat membaca tiga regulasi yang baru diterbitkan pemerintah, pasti tidak akan ragu menjawab. Ketiganya adalah Perppu No 1 Tahun 2020 Tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan Keputusan Presiden (Keppres) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Dibandingkan dengan oligarki, virus Corona tidak ada apa-apanya. Cemen. Oligarki lebih mengerikan, lebih jahat berkali-kali lipat. Mereka lebih pandai memanfaatkan situasi. Memanfaatkan kekacauan, ketakutan publik. Menarik keuntungan di tengah kemalangan. Menjadikan Corona sebagai kambing hitam, menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada virus made in China itu. Padahal sesungguhnya dari mereka lah segala kekacauan negara ini bermula. Beda sekali dengan Corona. Sebagai mahluk Tuhan, dia hanya mengikuti “nalurinya.” Mencari inang, yang bisa menjadi induk tempat berkembang biak. Itu pun dia tidak berdaya ketika manusia disiplin menjaga jarak. Menjaga kebersihan. Dia hanya bisa melompat sejauh 1-2 meter. Kalau gagal, lama-lama dia akan mati sendiri. Para oligarki bisa masuk dan hinggap kemana-mana. Usianya juga sangat panjang. Berpindah dari satu penguasa-ke penguasa lainnya. Mengatur apa yang harus dilakukan oleh pemerintah. UU dan aturan mana yang harus diterbitkan, dan mana yang tidak. Siapa yang harus dikorbankan, dan siapa yang harus diuntungkan. Munculnya tiga aturan tadi, semakin membuka mata publik, ada pintu belakang di istana. Pintu yang digunakan lalu lalang, oleh orang-orang yang lebih dipercaya Presiden, dibandingkan para menterinya. Coba cermati kronologinya. Menko Polhukam Mahfud MD pada Jumat (27/3) menyatakan pemerintah sedang mempersiapkan Perppu tentang Karantina Wilayah. Empat hari kemudian, Selasa (31/3) Presiden Jokowi mengumumkan Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bukan Perppu Karantina seperti dikatakan Mahfud. Perppu justru diterbitkan untuk mengamankan kepentingan korporasi. Menjamin kepastian hukum bagi para pengambil kebijakan. Kesimpulan publik, omongan Mahfud tidak bisa dipegang. Toh dia hanya pembantu. Setiap saat bisa dipecat. Ada pembisik lain yang lebih didengar, dipercaya, dan sarannya dilaksanakan Presiden. Merekalah yang membiayai, mengantar, dan menjaganya agar tetap dalam tampuk kekuasaan. Menyelundupkan Pasal Selasa (2/4) Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menkumham Yasona Laoly menyerahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Perppu tersebut ke DPR. Hampir dapat dipastikan DPR akan menyetujuinya. Perppu akan segera berlaku secara efektif. Tinggal ketok palu. Selain tidak adanya oposisi yang kuat. Sudah menjadi rahasia umum, tangan-tangan oligarki menjangkau sangat jauh di parlemen. Mereka menempatkan pion-pionnya, sebagai proxy di gedung wakil rakyat. Mencermati pasal demi pasal dalam Perppu No 1 Tahun 2020, PP dan Kepres Corona, koalisi masyarakat sipil, pegiat pemerintahan yang bersih, atau siapapun yang masih waras, hanya bisa geleng-geleng kepala. Ada kesan kuat pemerintah memanfaatkan situasi krisis untuk memuluskan agenda terselubung. Menuai “berkah” di tengah musibah. Ada pasal-pasal di RUU Omnibus Law yang diselundupkan dalam Perppu. Pasal yang lebih menguntungkan dunia usaha dan banyak ditolak. Alokasi dananya juga tidak fokus pada pemberantasan virus. Tidak fokus pada penyelematan kesehatan. Yang lebih memprihatinkan, ada pasal yang disiapkan secara cerdik, untuk mengamankan para pemegang otoritas dan kebijakan. Mereka tidak bisa dijerat hukum manakala terjadi penyimpangan. Pasal penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), yang semula masuk di RUU Omnibus Law, ditarik ke Perppu. Pemerintah menurunkan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22%. Kemudian turun lagi menjadi 20% pada tahun berikutnya. Tarif ini berlaku mulai tahun ini, lebih cepat dari usulan awal yang dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Dalam rancangan Omnibus Law, penurunan baru akan dimulai pada 2021. Sikap pemerintah sejak awal konsisten. Lebih mementingkan ekonomi, ketimbang keselamatan dan nyawa rakyat, juga terlihat dari alokasi anggaran yang disediakan. Dari total Rp 405, 1 triliun yang dianggarkan, hanya Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan. Meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter. Yang terbesar justru anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun. Rp 70,1 stimulus perpajakan dan kredit usaha rakyat. Selebihnya sebesar Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial. Akar penyebab persoalan, yakni sektor kesehatan hanya mendapat porsi 18.5%. Selebihnya digunakan untuk mengatasi dampaknya. Sebagai konskuensi dari adanya anggaran baru tersebut pemerintah memperlebar defisit anggaran. Dari semula 3% menjadi 5.07%. Apa artinya? Pemerintah leluasa menambah utang baru. Utang yang sudah menjadi _life style_ pemerintah. Utang yang akan diwariskan pada pemerintahan berikutnya. Utang yang akan diwariskan kepada anak cucu kita. Corona benar-benar menjadi dewa penyelamat bagi pemerintah. Jauh sebelum wabah melanda, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah berkali-kali menyatakan defisit anggaran anggaran akan semakin melebar. Pada bulan November 2019 Sri Mulyani sudah mengingatkan defisit anggaran akan mencapai 2 sampai 2.2%. Dalam APBN 2019 dipatok 1.87%. Alasannya karena perlambatan ekonomi global dan melesetnya penerimaan pajak. Sekarang Corona yang menjadi alasan. “Berkah” lain yang dituai oligarki, sebagian dari mereka akan segera bebas dari penjara. Menkumham Yasona Laoly mengusulkan narapidana lansia berusia di atas 60 tahun dibebaskan. Usulan itu sudah disetujui Presiden. 300 orang napi koruptor, bersiap-siap menghirup udara bebas. Banyak diantara mereka adalah politisi, petinggi negara, dan kroninya. Kalau sudah begini, kita hanya bisa mengelus dada. Kasihan sekali kau Corona. Di seluruh dunia menjadi musibah. Ditakuti, menjadi momok yang menakutkan. Eh….di Indonesia malah menjadi blessing in disguise. “Berkah” yang tersembunyi bagi sekelompok oligarki. Dihadapan oligarki, Corona mati gaya. Dia tidak bisa menggugat karena namanya dicemarkan. Corona suatu saat akan mati. Oligarki tidak ada matinya. Please….kasihanilah Corona. End. Penulis Wartawan Senior.
Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Para Boneka?
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Minggu (29/03). Istilah "boneka" seringkali diasosiasikan untuk seseorang yang peran dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, seorang aktor atau artis dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara. Berarti mereka adalah boneka. Erving Goffman menggunakan mekanisme panggung ini untuk menganalisis dunia sosial. Ada panggung depan (front stage), ada panggung belakang (back stage). Panggung depan sering berbeda dengan panggung belakang. Bedanya bisa 180 derajat. Di depan para penonton seorang pelawak bisa ketawa. Padahal di hatinya ia sedang menangis karena konflik keluarga. Ini biasa terjadi. Inilah yang oleh Goffman disebut dengan dramaturgi. Teori dramaturgi ini menarik ketika dibawa ke panggung politik. Para pelaku politik (politisi) punya dua panggung. Panggung ketika mereka berhadapan dengan publik, dan panggung ketika mereka berada di lingkungan temen-temen politiknya. Di hadapan publik, para politisi akan bicara moral. Istilah nasionalisme dan NKRI menjadi khutbah hariannya yang berbusa-busa. Fungsi-fungsi pelayanan publik akan selalu dijadikan narasi indahnya. Apakah idealisme ini juga jadi narasi mereka saat berada di panggung belakang? Panggung belakang itu masuk wilayah otoritas Ketua Umum Partai. Anggota-anggota partai adalah serdadu yang bekerja untuk menerjemahkan dan menyampaikan keputusan partai. Terutama agenda dari Ketua Umumnya. Di depan media, mereka dalam posisi sebagai juru bicara partai, dengan gaya dan kemampuan inovatif masing-masing. Ini konteksnya anggota partai. Kalau staf istana, mereka akan bicara sesuai draf dari istana. Biasanya, juru bicara istana lebih hati-hati dan lebih teratur, agar tak terjadi kesalahan. Kalau salah, bisa fatal. Karena merepresentasikan nama istana. Sedikit lebih sakral. Berbeda jauh dengan juru bicara dari partai. Tampak lebih bebas, atraktif dan meledak-ledak. Seolah ia satu-satunya orang yang punya otoritas dan pemegang tongkat kebenaran. Semakin lantang dan keras ia bicara, akan dianggap sebagai orang yang kritis dan berani. Padahal, boneka juga. Di panggung belakang, Ketua Umum Partai sedang melakukan negosiasi. Tidak hanya anggota partai dan juru bicara istana. Bahkan para ketua umum partai dan para penghuni istana boleh jadi juga boneka. Itu jika mereka menduduki posisi tersebut, dengan bantuan dan peran kelewat besar dari orang atau kelompok di luar. Kadang, untuk menjadi politisi yang sukses diperlukan kemampuan yang baik untuk mengambil peran sebagai boneka. Makin berhasil ia keluar dari dirinya sendiri, dan menyerahkan kepada otoritas orang lain (mem-boneka-kan diri), maka peluang kesuksesan untuk menduduki posisi strategis juga semakin terbuka lebar untuknya. Era demokrasi seperti saat ini, seringkali lahir dan memproduksi para pemimpin boneka. Kepala daerah hingga presiden. Bahkan juga anggota DPR, juga paling banyak yang menjadi boneka. Sangat sulit untuk menghindari kebutuhan terhadap mekanisme ini. Untuk nyalon presiden, anda harus mau didandani. Tidak boleh "mau anda" sendiri. Seperti apa anda akan dicitrakan, mesti berbasis pada hasil survei. Survei dilakukan bukan hanya untuk mengukur popularitas dan elektabilitas anda saja, tapi terutama untuk mengidentifikasi "apa mau" masyarakat pemilih terhadap anda. Masyarakat suka capres itu pakai baju putih lengan panjang, berpakaian sederhana, dan suka blusukan, misalnya. Maka anda harus berpenampilan seperti itu. Mekanisme pencitraan seperti ini berlaku juga untuk calon kepala daerah dan caleg. Citra apa yang diinginkan dan disukai masyarakat harus dipenuhi oleh sang calon yang boneka itu. Selain pencitraan, proses politik juga butuh uang. Bahkan untuk pencitraan itu sendiri perlu biaya besar. Ketika anda nyalon presiden, nyalon jadi kepala daerah, atau nyaleg, anda butuh dana (logistik). Dana yang dibutuhkan juga nggak sedikit. Kalau dana dari kantong sindiri nggak cukup. Biasanya memang nggak cukup. Jalan alternatifnya harus cari bantuan. Dan anda tahu, bantuan itu nggak gratis. Pasti ada konsekuensi dan kompensasinya. Disitulah anda mulai menggadaikan (mem-boneka-kan) diri anda. Makin besar anda bergantung kepada bantuan seseorang atau kelompok, maka semakin besar pula tekanan dan kendali terhadap diri anda. Kalau anda sudah dikendalikan, maka itu artinya anda sudah menjadi boneka seseorang atau kelompok itu. Demokrasi yang awalnya dibuat dengan fungsi utamanya untuk memberi ruang partisipasi rakyat secara penuh dan meluas. Tujuanya, agar lahir para pemimpin yang ideal, independen dan berani tampil membela dan menyuarakan kepentingan rakyat. Namun pada akhirnya yang jadi justru para boneka. Menurut Robert Merton, demokrasi yang melahirkan boneka ini disfunction. Keluar dari tujuan utama demokrasi. Yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas, tetapi yang keluar jadi pemenang umumnya justru para boneka. Kenapa ini terjadi? Karena demokrasi berjalan dalam mekanisme penuh rekayasa dan manipulatif. Pertama, para calon dimanipulasi sikap dan perilakunya agar sesuai dengan persepsi masyarakat pemilih. Tentu, berbasis pada hasil survei. Kedua, sikap dan perilaku seperti ini didukung dan mendapat legitimasi dari mereka yang punya otoritas sosial di masyarakat. Milsanya para tokoh, pimpinan ormas, agamawan dan intelektual yang telah lebih dulu dapat bantuan dari para calon boneka. Ketiga, legitimasi ini disosialisasikan secara masif oleh tim buzzer yang dibayar secara profesional untuk menjalankan tugas ini. Keempat, suara para pemilih tidak lagi murni. Dibeli dan diberikan kompensasi. Kelima, terjadi pengendalian terhadap panitia pemilu dengan menjadikannya sebagai tempat bertransaksi. Dipecatnya dua komisionir KPU Pusat adalah bagian dari pembuktian tersebut. Keenam, hukum dan aturan tidak jalan. Bahkan cenderung dikendalikan untuk sebuah kepentingan seseorang atau kelompok. Terinspirasi dari teori fungsionalnya Robert Merton, sesungguhnya demokrasi dan hukum berfungsi untuk siapa? Faktanya bukan untuk rakyat, tetapi untuk mereka yang berhasil secara sistematis menjadikan kebanyakan dari para elit politik itu sebagai boneka. Kalau begitu, apa yang bisa diharapkan dari boneka-boneka tersebut? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Mandat Kuat Masyumi Reborn
Kini terpulang kepada para ulama para tokoh, apakah tugas ini dilanjutkan untuk melahikan kembali Masyumi atau dihentikan. Kalau para ulama dan tokoh umat memerintahkan berhenti, kami siap berhenti. Tetapi bila para ulama dan tokoh umat memerintahkan lanjut, kami juga siap melanjutkan. By Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN - Kelahiran kembali Masyumi adalah kebutuhan kekinian. Kalau PKI sekarang sudah kembali unjuk gigi, mengapa tidak dengan Masyumi. Inilah mandat paling kuat dari umat. Sabtu, 7 Maret 2020, Aula Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), di Jalan Kramat Raya No. 45 penuh sesak. Banyak yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Yang dating melimpah sampai pelataran gedung . Pada barisan dan kursi-kursi depan, tampak sejumlah tokoh nasional dan tokoh-tokoh sepuh. Di panggung depan, terpampang layar lebar yang menayangkan biorama perjuangan Partai Islam Masyumi, sejak lahir hingga bubarnya. Sementara di kiri-kanan layar itu, serta sebahagian besar dinding ruangan, menempel wall banner dari tokoh tokoh Masyumi seperti KH. Hasyim Ashari, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Natsir, Wahid Hayim, H. Agus Salim, Buya Hamka, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Roem, Burhanuddin Harahap, KH. Isya Ansyori dan lain-lain. Menariknya lagi, setiap wall banner dari tokoh itu disertakan pula kutipan pesan perjuangannya. Suasana itu membawa setiap hadirin yang berusia sikitar 70 tahun pada kenangan masa kecil ketika Partai Islam Masyumi masih ada. Suasana ini juga menumbuhkan kerinduan akan hadirnya masa lalu itu. Bagi genarasi di bawahnya, atau malah genarasi melenial, suasana tersebut tentu saj membangkitkan rasa ingin tahu tentang apa itu Partai Masyumi dan sepak terjangnya dalam perpolitikan nasional. Juga sekaligus menumbuhkan semangat untuk mengikuti jejak perjuangan Masyumi. “Umur kami mungkin tidak lama lagi. Tetapi kami tidak rela dipanggil Allah SWT ketika kami dan teman teman seangkatan kami yang pernah dididik oleh para tokoh Masyumi belum mewariskan ruh perjuangan Masyumi melalui jalur Politik formal. Kami membayangkan andaikan dulu Partai Masyumi tidak membubarkan diri karena dipaksa bubar, mungkin NKRI sudah menjadi negeri Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghaffur. Semoga adik-adik yang menggagas Masyumi Reborn bisa meneruskan risalah ini dengan mengajak seluruh keluarga besar, anak cucu dan pecinta ideologi Masyumi secara ikhlas tanpa pamrih jabatan. Tidak terburu-buru, sistematis dan istiqomah. Semoga Allah SWT merestui ijtihad ini demi NKRI yang tercinta”. Itulah sebuah flyer berisi foto KH. A. Cholil Ridwan, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’I, Abdullah Hehamahua danTaufiq Ismail yang ditayangkan di layar lebar. Rangkaian kalimat yang menumpahkan kegelisahan hati para pejuang sepuh yang sadar tinggal menghitung hari untuk kembali menghadap Sang Khaliq. Hidmad dan sangat hidmat. Pandangan para hadirin tampak terpaku pada untaian kalimat di flyer tereebut. Tidak sedikit diantara mereka mengusap matanya karena haru berlinang air mata. Ini memang acara “Silaturrahmi Keluarga, Anak Cucu dan Pecinta Masyumi”. Themanya, “Masyumi Reborn, Masyumi lahir kembali”. Tidak hanya dari propinsi-propinsi yang ada di pulau Jawa yang hadir. Tetapi juga banyak dari luar Jawa. Tercatat misalnya, datang dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nanggro Aceh Darusalam, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bangka Belitung, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan. Kalimantan Tengah, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Menariknya, acara silaturrahmi ini diikuti dari berbagai lintas usia, dari usia senja 80-an tahun hingga yang disebut dengan melenial. Tidak kurang 20 orang tokoh dari kalangan ulama, politisi, akademisi, budayawan dan kalangan pergerakan ditampilkan di atas panggung. Mereka berbicara beberapa menit tentang Masyumi dan pandangannya terhadap Masyumi Reborn. Diantara tokoh-tokoh yang berbicara itu KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, Taufik Ismail, Dr. Abdullah Hehamahua, Prof Dr Fuad Amsyari, Ridwan Saidi, Dr. MS Ka’ban, Dr. La Ode Kamaluddin, Dr. Musni Umar, Drs. Lukman Hakim, Bachtiar Chamsah, Ustadz Khotot, Nurdiati Akma ,Egy Sujana, Joko Edy, Sri Bintang Pamungkas dan Chairul Anas “si robot pendeteksi kecurangan” yang mewakili kelompok melenial. Ada juga tokoh yang tidak bisa hadir karena berhalangan lalu menitipkan pesan tertulisnya untuk dibacakan. Diantara mereka adalah Dr. AM Saefuddin, Letjen (Purn) Syarwan Hamid dan Mohammad Siddik Ketua Dewan Dakwah. Ada juga yang hadir tapi tidak sempat memberi pandangan, namun memberikan dukungan penuh, karena harus segera menghadiri acara lain seperti Ustadz Zaitun Rasmin. Menjawab tantangan Dr. Masri Sitanggang, Ketua Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P-4II), semua pembicara yang tampil sepakat “perlu segera melahirkan kembali Partai Masyumi”. Dalam sambutannya Masri Sitanggang melaporkan bahwa selama empat bulan perjalanan P-4II, diperoleh kenyataan bahwa umat Islam mengelu-elukan lahirnya kembali Masyumi. Hampir Semua provinsi dan sebagian besar kabupaten kota telah memberikan dukungan. Masing-masing telah siap untuk membentuk membentuk komunitas di daerahnya. Tetapi P-4II tidak merasa puas sebelum menyelenggarakan pertemuan Silaturrahmi Akbar antara Anak Cucu dan Pencinta Masyumi untuk mendengarkan pendapat mereka. Kini terpulang kepada para ulama para tokoh, apakah tugas ini dilanjutkan untuk melahikan kembali Masyumi atau dihentikan. Kalau para ulama dan tokoh umat memerintahkan berhenti, kami siap berhenti. Tetapi bila para ulama dan tokoh umat memerintahkan lanjut, kami juga siap melanjutkan. Kami patuh kepada perintah para ulama dan tokoh umat. Namun bila kami boleh berpesan kepada para ulama dan tokoh umat, maka pesan kami adalah “Kalau PKI sekarang sudah unjuk gigi, mengapa tidak dengan Masyumi?”. Begitu pekik Masri Sitanggang yang disambut pekik takbir dari para hadirin. Pertemuan silaturrahmi di Aula Dewan Dakwah itu memiliki banyak arti penting. Pertama, ini merupakan mandat dari keluarga, anak cucu dan pecinta Masyumi kepada P-4II untuk melahirkan kembali Masyumi. Dengan demikian legalitas dan kinerja P-4II diakui oleh umat Islam secara luas. Setidaknya oleh keluarga dan pecinta Masyumi. Dengan demikian pula, tidak ada lagi partai selain yang dilahirkan oleh P-4II. Hanya P-411 yang dapat mengklaim dirinya sebagai (penerus) “ Partai Masymi”. Apalagi ternyata pertemuan silaturrahmi ini disenggarakan di Dewan Dakwah, sebuah lembaga yang ketahui sebagai “Pewaris Masyumi”. Kedua, undangan yang disampikan secara terbuka di berabagai media. Ini menunjukkan bahwa kegiatan ini juga terbuka bagi siapa saja yang merasa anak cucu dan pecinta Masyumi untuk menyampaikan pokok pirannya seputar Masyumi Reborn. Dengan demikian, bila kelak di belakang hari ada pandangan miring terhadap, atau bahklan mempertanyakan kelahiran Masyumi, maka itu tidak lagi pada tempatnya. Gugur dengan sendirinya. Ketiga, tampilnya sejumlah besar pembicara dari berbagai latar belakang disiplin menunjukkan bahwa upaya melahirkan kembali Masyumi bukanlah kemauan orang per orang. Bukan pula alasan kepentingan kelompok. Tetapi adalah hasil proses pengamatan dan pengkajian memadai dari kalangan yang memiliki spectrum yang luas. Pertemuan ini juga sekaligus menepis anggapan bahwa kelahiran kembali Masyumi adalah akibat perpecahan di kalangan elit partai tertentu. Sebaliknya, kelahiran kembali Masyumi dinilai sebagai kebutuhan mendesak di tengah situasi politik yang tidak menentu dan cenderung tidak menguntungkan umat Islam. Masyumi diharapkan dapat menjadi wadah pemersatu gerakan politik sekaligus gerakan dakwah umat Islam ke depan. Keempat, nama besar Masyumi ternyata masih melekat di hati umat dan masih dirindukan kehadirannya. Membludaknya peserta silatutrrahmi dan antusiasme umat dengan membentuk komunitas di berbagai daerah serta pokok-pokok pikiran yang terlontar dalam pertemuan yang dipandu oleh Dr. Ahmad Yani, membuktikan lekatnya Masyumi di hati ummat dan kerinduan akan kehadirannya kembali. Masyumi masih punya daya tarik yang sangat kuat. Bola salju telah bergulir. Para tokoh gerakan, ulama, politisi dan akademisi serta anak cucu dan pecinta Masyumi telah memberi mandat. Ketua Badan Penyelidik Usaha Pendirian Partai Islam Ideologis, KH Cholil Ridwan, telah memberi petuah bahwa cuma ada dua partai dalam perspektif Islam, yaitu “Hisbullah dan Hizbussyaithan”. Panitia pun telah pula bekerja keras menyiapkan segala perangkat. Kini tinggal menungu waktu yang tepat untuk memberi maklumat “wahai para politisi musafir, pulanglah, Masyumi telah lahir”. #MasyumiReborn. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P-4II).
Jika Gagal di Solo, Akankah Gibran Maju di Kota Blitar atau Surabaya?
Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ketua DPC PDIP Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo menyatakan, PDIP tetap solid mendukung pasangan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilkada Kota Solo 2020 mendatang. Walikota Solo itu menegaskan, pasangan Puguh ini merupakan bakal calon sah yang diusung oleh PDIP Solo. “Saya yakin pasangan pasangan bakal calon Puguh bisa memenangi Pilkada Solo,” ujar Rudyatmo di sela acara “Apel Satgas PDIP Surakarta” yang digelar di kawasan parkir Vastenburg Solo, Ahad, 8 Maret 2020. Rudyatmo menegaskan, dirinya sudah menyampaikan agar kader PDIP Surakarta tidak takut untuk mendukung pasangan bakal calon Puguh pada Pilkada 2020, 23 September 2020 nanti. Karena Puguh merupakan pasangan yang diusung DPC PDIP Solo. DPC PDIP hanya mengajukan satu pasangan ke DPD yang dilanjutkan DPP PDIP. Sementara itu, anak Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju melalui jalur DPD PDIP Jawa Tengah. Menurut Rudyatmo, semua Satgas dan pengurus partai di Solo tidak perlu khawatir. Ia yakin pasangan Puguh akan mendapat rekomendasi dari DPP PDIP. Meski demikian, dia meminta agar kader patuh dengan ketentuan partai. “Artinya, tegak lurus mengikuti apapun keputusan dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri tetap harus diutamakan,” kata Rudyatmo, seperti dilansir Tempo.co, Minggu (8 Maret 2020 15:32 WIB). Sebelumnya, Lembaga Survei Indo Barometer merilis hasil survei terbaru yang menunjukkan bahwa 67,5 persen masyarakat menerima Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Walikota Solo pada Pilkada 2020. Sementara 23,7 persen publik tidak mau menerima jika putra sulung Presiden Joko Widodo itu maju sebagai calon Walikota Solo. “Ada lima alasan publik tidak menerima. Paling besar karena menganggap Gibran belum berpengalaman dalam pemerintahan (37 persen),” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari di Jakarta, Minggu (16/2/2020). Empat alasan lain tidak menerima, yakni menciptakan dinasti politik (28,1 persen), masih banyak calon lain yang lebih kompeten (12,3 persen), masih terlalu muda (8,9 persen), dan dapat menimbulkan kontroversi publik (6,8 persen). Ada lima alasan publik dapat menerima, yakni semua warga negara berhak memilih dan dipilih (49,4 persen), hak ikut berdemokrasi (13,9 persen), dan tidak masalah jika memenuhi syarat pencalonan (13,9 persen). Mengutip GenPI.com, Minggu (16 Februari 2020 17:32), berikutnya, yaitu melanjutkan Jokowi yang pernah memimpin Solo (9,4 persen), Gibran mempunyai kepribadian dan kemampuan yang baik sebesar 7,7 persen. Hasil survei itu juga merilis, ternyata masih ada yang tidak mengetahui kalau Gibran akan mencalonkan sebagai walikota sebesar 39,3 persen, sementara yang mengetahui sebesar 51,4 persen. Survei nasional itu dilakukan Indo Barometer pada 9 – 15 Januari 2020 menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden dan memiliki margin of error lebih kurang 2,83 persen. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka responden menggunakan kuosioner dengan syarat responden WNI yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Mengapa Ditolak? Tidak semua warga Solo setuju dengan pencalonan putera pertama Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju pada Pilkada Kota Solo 2020. Warga Solo yang tergabung dalam Peduli Pemilu (PWSPP) menyatakan keberatan karena persoalan etika berpolitik. Mengutip HanTer.com, Rabu (11 Desember 2019 - 10:19 WIB), pada Pilkada Solo 2015, Gibran tidak memberikan hak suaranya alias Golput. Menurut Ketua PWSPP Johan Syafaat Mahanani, apabila orang yang tidak mau memilih (golput) diberikan kesempatan untuk memilih, maka bisa menjadi contoh generasi muda untuk bersikap egois hanya mementingkan kepentingan sendiri. “Sebaiknya Gibran maju Pilkada Kota Solo pada 2025 namun pada 2020 dia bersedia memilih,” kata Ketua PWSPP, Johan Syafaat Mahanani, di Solo, Selasa (10/12/2019). Menurut Johan, keberatan ini, sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat agar di kemudian hari orang yang tidak menggunakan hak memilih tidak menuntut haknya untuk dipilih. Syafaat, seperti dilansir Antara, mengakui pihaknya sudah mengajukan surat keberatan kepada partai politik atas pencalonan Gibran dalam Pilkada Kota Solo 2020. Gibran diketahui sempat menampakkan sikap ngototnya yang tetap berusaha maju dengan melawan keputusan DPC PDIP Solo yang mantap mengusung pasangan Puguh. Padahal, keputusan DPC PDIP Solo tersebut berdasarkan aspirasi akar rumput. Namun, keinginan Gibran untuk maju pada Pilkada Solo 2020 terkesan bukan atas dasar kepentingan rakyat. “Itukan seperti arogansi, seolah-olah berkata yang bisa menyejahterakan rakyat itu saya dan kelompok saya,” ungkap analis politik Universitas Islam Indonesia (UII) Geradi Yudhistira. Dalam manuver yang dilakukan sosok yang baru mendaftar sebagai kader PDIP beberapa waktu lalu itu terkesan arogan. Bahkan dinilai jauh dari kepentingan rakyat. Alih-alih dia menghormati keputusan DPC, Gibran justru tetap berkeinginan untuk mencalonkan diri dengan menghadap ke Ketum PDIP beberapa waktu lalu. Pengamat politik Universitas Diponegoro M Yulianto menilai, rencana Gibran maju pada Pilkada Solo 2020 dalam konteks demokrasi sah-sah saja. Namun, menurutnya, asalkan telah memenuhi kualitas, kapasitas, intergritas. “Sebenarnya dalam konteks demokrasi (Gibran maju Pilkada, red) sah dan boleh. Tetapi kalau kualitas, kapasitas, intergritasnya memenuhi tidak masalah,” ungkap Yulianto di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Namun, di sisi lain, menurutnya, pencalonan Gibran itu akan memberikan tren dinasti politik di keluarga (oligarki) penguasaan kelompok tertentu berbasis pada dinasti keluarga. “Karena itu juga bisa, itu juga ada di Sumatera. Kemudian di Solo dan nanti itu akan diikuti tokoh-tokoh politik dari PDI Perjuangan yang membangun plan-plan keluarga di situ,” ungkapnya. Menurutnya, hal ini merusak sistem yang sudah dibangun oleh PDIP yang dipertahankan dengan loyal oleh pengurus kabupaten/kota dan povinsi. “Ini artinya apa? Ini bagian dari manajemen partai yang harus dikritisi, jangan mentang-mentang atau jangan seolah-olah karena punya power yang besar kemudian merusak mekanisme sistem yang didesain oleh partai dengan baik,” tandasnya. Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan, publik akan kecewa kepada Presiden Jokowi ketika putera Gibran maju dalam Pilkada 2020. Ia menilai, publik kecewa karena ternyata keluarga Jokowi tidak mengambil jarak dengan dunia politik praktis. “Ini menambah bobot makin jauhnya harapan agar Jokowi menjadi salah satu figur yang mempraktekan politik dengan kultur baru,” ujar Ray, Selasa (10/12/2019). Terlebih lagi, selama ini Jokowi dicitrakan sebagai pembawa pembaruan yang tidak mempraktekkan politik dinasti dan nepotisme ketika menjabat sebagai presiden. Majunya Gibran saat Jokowi masih menjabat, menurutnya, menjadi titik yang menghapus semua citra baik yang selama ada di mata publik. “Artinya, dalam hal ini, Pak Jokowi tak memberi tauladan yang berbeda dari kebanyakan politisi Indonesia,” tambah Ray. Pengamat Politik, Hendri Satrio mengatakan, jika Gibran terpilih menjadi walikota karena menggunakan fasilitas Jokowi, maka masuk ke dalam kategori dinasti politik. Dan, lanjut dia, hal itu tentunya merusak nama Jokowi sendiri. Menurut Hendri, langkah Gibran terjun ke dunia politik bisa menorehkan tinta negatif sejarah. Karena, Gibran maju saat ayahnya, Jokowi, masih memimpin Indonesia. “Sekarang terserah Gibran tetap mau menjaga tinta positif sejarah Indonesia dalam berpolitik bagi Jokowi tentunya, atau berkontribusi menorehkan tinta negatif untuk ayahnya,” katanya di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Dia mengatakan, sejak Indonesia berdiri sampai saat ini belum ada anak presiden yang ikut dalam pesta demokrasi. Bahkan, pada era pemerintahan Presiden Soeharto tidak ada anaknya yang maju ke dalam kontestasi politik. “Karena akan dicatat sejarah sebagai presiden pertama yang anaknya maju ke perhelatan pilkada sebagai Walikota. Belum ada itu, Pak Harto saja 32 tahun nggak kayak gitu," kata dia, seperti dilansir Harianterbit.com. Jika pada akhirnya rekomendasi DPP PDIP jatuh ke pasangan Puguh, maka peluang Gibran maju Pilkada Serentak 2020 hanya ada di Kota Blitar atau Kota Surabaya. Kabarnya, pilihan untuk dua kota ini sedang dibicarakan di DPP PDIP. Tampaknya Gibran masih ngotot ingin maju Pilkada Serentak 2020, bukan? Akankah warga Kota Blitar dan Kota Surabaya menerima Gibran? *** Penulis wartawan senior.
Jokowi Siapkan Ahok Jadi Presiden?
Mungkinkah Anies Baswedan vs Ahok akan terulang di pilpres 2024? Tak ada yang tak mungkin. Jika itu terjadi, tentu akan jauh lebih panas dari pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019. Benturan sosial mungkin akan jauh lebih dahsyat. Politik identitas yang terakumulasi dengan kekecewaan terhadap kekuasaan akan memicu terjadinya gelombang aksi massa dan benturan sosial. By Tony Rosyid Jakarta FNN - Ahok, manusia satu ini gak ada matinya. Didemo tujuh hingga belasan juta orang, jatuh. Kalah di pilgub DKI dan dipenjara dua tahun. Keluarganya pun ikut berantakan. Keluar dari penjara, Ahok bangkit kembali. Kali ini jadi komisaris utama (komut) PT. Pertamina. BUMN yang aduhai duitnya. Protes dimana-dimana, Jokowi hitung. Ternyata hanya riak, bukan gelombang. Tak berbahaya. Rencana jalan terus. Rupanya, Jokowi punya keyakinan sendiri tentang Ahok. Keyakinan atau rencana? Itu yang sedang dalam banyak pengamatan. Rakyat membaca keyakinan atau rencana Jokowi itu. Kemana arah manuver Jokowi ini nantinya. Yang pasti, Ahok sudah menjadi komut PT. Pertamina. Ini tanda bahwa Ahok punya kesempatan untuk bangkit kembali. Tepatnya, dibangkitkan lagi oleh Jokowi. Belum tampak hasil kinerjanya sebagai komut di PT. Pertamina. Jokowi sebut-sebut Ahok akan jadi calon kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru. Sepertinya Ahok adalah calon terkuat. Meski ada nama Bambang Bridjonegoro, Abdullah Azwar Anas dan Tumiyana. Tiga nama yang disebut belakangan boleh jadi sekedar cadangan. Cadangan hanya akan dipakai jika Ahok gagal. Berpotensi gagal jika protes terhadap Ahok membesar jadi gelombang. Selama protes terhadap Ahok tak masif, apalagi hanya riak-riak kecil di medsos, atau paling banter di acara ILC, peluang Ahok jadi kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru sangat besar. Protes tidak massif, artinya tak bakal membahayakan terhadap posisi Jokowi. Sebaliknya, jika protes mulai membahayakan, mungkin Jokowi akan berhitung lagi. Ahok bisa ditarik mundur selangkah. Seandainya pun Ahok gagal sebagai kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru, tak lantas karir Ahok berhenti di PT. Pertamina. Masih akan ada posisi-posisi strategis yang disiapkan untuk Ahok ke depan. Tentu, sebelum Jokowi turun dari kursi presiden. Jabatan komut PT. Pertamina diduga oleh banyak pengamat hanya sebagai batu loncatan untuk Ahok reborn. Analisis ini seolah mendapat pembenaran ketika Jokowi mengumumkan Ahok sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru. Clear! Tak lama setelah nama Ahok disebut sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru, lagi-lagi Jokowi membuat sebuah pernyataan mengejutkan. "Tidak masalah presiden Indonesia itu non-muslim". Publik ramai. Jokowi dianggap seolah-olah telah menyiapkan perahu politik untuk Ahok yang notabene non-muslim sebagai capres 2024. Analisis ini masuk akal mengingat belum ada nama kandidat yang potensial di luar Anies Baswedan. Survei elektabitas Tito Karnavian, orang dekat Jokowi, masih sangat rendah. Sementara Puan Maharani, Ganjar Pranowo dan Risma, selain masih sangat rendah, juga bukan calon Jokowi. Tiga kader PDIP itu milik Megawati. Kecil kemungkinan Jokowi berpatner dengan Megawati di pilpres 2024. Gabung dengan Mega, Jokowi pasca pensiun hanya akan jadi anggota biasa di PDIP. No pengaruh. Apalagi selama menjadi presiden, kabarnya Jokowi telah banyak mengecewakan Megawati. Maka, akan jauh lebih strategis jika Jokowi punya calon sendiri. Untuk sementara, hanya Ahok dan Tito Karnavian yang bisa dimainkan oleh Jokowi sebagai jagoannya. Jika kedua tokoh ini pun gagal dibranding, mendukung Anies bagi Jokowi jauh lebih rasional dari pada bergabung dengan Megawati. Ketika Jokowi bilang bahwa calon presiden boleh non-muslim, tentu sebagai presiden, Jokowi tak asal bicara. Soal langkah politik, Jokowi sangat terukur. Boleh orang meemehkan, tapi dua periode menjadi presiden bukan perkara mudah. Butuh kemampuan berpolitik kelas tinggi. Jadi, ucapan Jokowi bahwa presiden boleh non-muslim tentu punya arah. Ucapan Jokowi tersebut tidak keluar di ruang hampa. Artinya, bukan omong kosong. Komut PT. Pertamina, lanjut kepala Otorita Ibu Kota Baru, lalu nyapres adalah proses branding. Ahok sendiri baru-baru ini juga pernah menyatakan bahwa dia bisa jadi presiden. Bagaimana dengan aturan perundang-undangan? Semua bisa dirubah dan dikondisikan. Parlemen saat ini ada di genggaman Jokowi. Persoalan sesunghuhnya bukan di aturan, tapi begaimana hasil survei elektabilitas Ahok. Itulah yang akan jadi variabel untuk menentukan. Mungkinkah Anies Baswedan vs Ahok akan terulang di pilpres 2024? Tak ada yang tak mungkin. Jika itu terjadi, tentu akan jauh lebih panas dari pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019. Benturan sosial mungkin akan jauh lebih dahsyat. Politik identitas yang terakumulasi dengan kekecewaan terhadap kekuasaan akan memicu terjadinya gelombang aksi massa dan benturan sosial. Secara obyektif, berbasis pada pertama, analisis pilgub DKI 2017. Kedua, melihat psikologi dan karakter rakyat Indonesia, maka rivalitas Anies vs Ahok di pilpres 2024 tidak hanya akan membuat benturan social. Lebih dari itu akan berpotensi terjadinya perang saudara. Tentu, ini adalah prediksi. Bagi kelompok tertentu, Ahok dianggap ancaman. Tidak saja terhadap agama Islam yang dipeluk mayoritas rakyat, tetapi juga bangsa dan negara. Ini sebuah analisis yang baik, sekiranya disurvei datanya di lapangan. Bukan hanya survei elektabilitas berbasis kuantitatif, tetapi juga survei etnografis untuk membaca potensi konflik jika Ahok dipaksakan untuk nyapres. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Butuh Menko Perekonomian Yang Punya Kemampuan di Atas Rata-rata
By Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Krisis dan resesi ekonomi itu hampir pasti datang menghampiri kita. Penyebaran Covid -19 awal tahun 2020 berakibat pada aktivitas ekonomi China dan ekonomi dunia tertekan. Sangat tergantung pada berapa lama kasus ini dapat diatasi. Semakin lama virus ini merajalela, semakin parah pula tingkat kerusakan ekonomi yang ditimbulkan. Dalam kondisi ketidakpastian ini, ekonomi China dan ekonomi dunia dipastikan anjlok pada triwulan pertama tahun 2020. Bahkan ada yang memprediksi ekonomi China bisa mengalami pertumbuhan negatif. Dampaknya terhadap ekonomi Indonesia juga bissa fatal. Apalagi, nilai ekspor Indonesia ke China selama 2019 tercatat U$ 25,85 miliar. Dampak dari melemahnya pertumbuhan ekonomi China kepada Indonesia, juga sebagai akibat dari struktur ekonomi Indonesia yang memang sangat lemah, sehingga krisis sulit untuk dihindari. Diperkirakan kita akan berhadapan dengan dua macam krisis, yaitu krisis keuangan dan krisis ekonomi. “Krisis ekonomi kemungkinan akan berkepanjangan. Berujung pada resesi ekonomi. Pemulihannya tidak mudah. Penyebab dan perjalanan kedua krisis ini akan berbeda, “ujar Managing Director Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan (Watyutink.com 03/03/2020). Sedangkan krisis keuangan, akan berakibat pada anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Kondisi ini sebagai akibat dollar yang keluar (capital outflow) lebih besar dari dollar yang masuk (capital inflow). Dampaknya, cadangan devisa akan terkuras dan menipis. Permintaan dollar akan menjadi sangat besar, sehingga kurs dollar naik, sementara rupiah bisa anjlok atau terjun bebas. Larinya dollar ke luar negeri, sebagai akibat dari defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan yang sangat besar. Angkanya mencapai U$ 30 miliar pada tahun 2018 dan 2019. Kecil kemungkinan untuk tahun 2020 bisa lebih rendah. Bahkan bisa jadi lebih besar dari tahun 2018 dan 2019. Namun kita anggap saja sama, yaitu sebesar U$ 30 miliar. Walaupun kemungkinan itu tidak mungkin terjadi. Untuk menambal lubang defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang sangat besar itu, harus melalui dua cara. Pertama, investasi langsung (foreign direct investment) dan investasi portopolio (portopolio investment) pada saham dan surat utang. Foreign direct investment pada tahun 2018 hanya sebesar U$ 12,5 miliar. Sedangkan tahun 2019 hanya menghasilkan U$ 20 miliar. Dengan kondisi ekonomi global yang tidak menentu sekarang, kemungkinan foreign direct investment akan mengalami hambatan serius untuk masuk ke Indonesia. Paling banyak kita hanya bisa mendapatkan pemasukan devisa sekitar U$ 15 miliar dari foreign direct investment. Itupun butuh kerja super dari tim ekonomi. Tim ini harus punya kemampuan mamahami makro ekonomi dan lobby di atas rata-rata. Kemampuan mereka tidak boleh di bawah rata-rata. Sisanya sekitar U$ 15 miliar lagi harus didapat dari portopolio investment. Masalahnya, investor asing sekarang ada kecenderungan untuk menunda investasi di semua lini. Investor asing lebih cenderung menyimpan dana cash. Terbukti, menurut Bank Indonesia (BI), investor asing sudah keluar dan menukar dollar setara dengan Rp 30,8 triliun. Jumlah tersebut setara dengan U$ 2,2 miliar. Terdiri dari investor asing yang melepaskan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 26,2 triliun. Sedangkan penjualan saham sebesar Rp 4,1 triliun. Sisanya, sekitar Rp 500 miliar lagi dalam bentuk penjualan obligasi korporasi. Kedua, Indonesia tahun 2020 ini membutuhkan dollar dalam jumlah besar untuk membayar utang, baik dalam bentuk SUN maupun obligasi korporasi yangh jatuh tempo. SUN yang jatuh tempo diperkirakan Rp 428 triliun, atau setara U$ 31 miliar. Dari jumlah tersebut, yang dipegang investor asing sekitar 60% atau setara U$ 18,6 miliar. Pemerintah tentu tidak punya persediaan dollar yang cukup untuk membayar SUN punya investor asing, yang jatuh tempo 2020 tersebut. Dengan demikian, utang kepada investor asing yang jatuh tempo sebesar U$ 18,6 miliar itu harus dibayar dengan menerbitkan SUN baru. Resikonya, SUN yang baru diterbitkan pemerintah tersebut, harus dibeli oleh investor asing. Jika gagal, kemungkinan rupiah akan anjlok semakin dalam. Sebagai gambaran, dengan kondisi ekonomi global yang melemah, resiko gagalnya menarik hutang baru terbuka lebar. Apalagi pada Februari lalu, investor asing terbukti menjual SUN dan obligasi korporasi U$ 2,2 miliar. Kenyataan ini memerlukan kerja tim ekonomi yang luar biasa ekstra. Tidak bisa asal-asalan, atau sambil mengurus organisasi partai dalam menghadapi pilkada 2020. Dari gambaran yang ada, terbukti neraca transaksi berjalan kita bermasalah atau merah. Neraca perdagangan kita juga merah. Neraca penerimaan sudah lebih dulu merah sebesar Rp 353 triliun. Pertanyaannya, berapa kemungkinan rupiah akan anjlok terhadap dollar? Seberapa besar rupiah bisa bertahan melawan dollar? Jawabannya tergantung pada seberapa besar cadangan devisa yang dipunyai Indonesia. Sebab, sangat terkait dengan naik-turunya cadangan devisa dari neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Lagi-lagi, untuk itu dibutuhkan komandan tim ekonomi yang punya kemampuan di atas rata-rata. Budiono dan Rizal Ramly Melihat gambaran tiga neraca keuangan kita yang semuanya merah, yaitu neraca transaksi berjalan , neraca perdagangan dan neraca penerimaan, maka Presiden Jokowi harus membuat keputusan yang terbilang radikal dan ekstrim. Presiden Jokowi harus secepatnya mengganti Menko Perekonomian, dengan yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Orangnya, harus sudah teruji menghadapi badai krisis ekonomi. Langkah ini pernah dilakukan Presiden SBY ketika berhadapan dengan krisis ekonomi 2008. Atas nama bangsa dan negara, SBY merunduk kepala kepada Budiono, dan meminta Budiono menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Menko Perekonomin. Aburizal digeser SBY ke Menko Kersra menggantikan Alwi Shihab. Padahal Aburizal ketika itu Ketua Umum DPP Partai Golkar, partai pemenang pemilu 2004. Alhamdulilaah, hasilnya sangat dan sangat menggembirakan. Indonesia berhasil keluar dari krisis ekonomi tahun 2008. Sebaliknya, bisa mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 4%. Padahal hampir semua negara di dunia, hanya mampu mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 2%. Amerika Serikat malah mencatat pertumbuhan ekonomi minus -1%. Luar biasa terobosan yang dilakukan SBY. Langkah seperti SBY ini yang perlu dilakukan Pak Jokowi sekarang. Mumpung belum terlambat. Selain mantan Wapres Budiono, anak bangsa yang juga mampu berhadapan dengan badai krisis ekonomi, dan mempunyai kemampuan di atas rata-rata adalah Rizal Ramly. Sebagai arsitek tim ekonomi Presiden Gus Dur, Rizal dengan timnya berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi 7,5% hanya dalam waktu 23 bulan pemerintahan Gus Dur. Saat Gus Dur menggantikan Presiden Habibie, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat minus -4%. Namun ketika Gus Dur jatuh, dan digantikan Presiden Megawati, ekonomi Indonesia telah mencatat pertumbuhan 3,5%. Dengan demikian, selama Gus Dur menjadi presiden 23 bulan, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 7,5%. Luar biasa Rizal Ramly dan tim ekonominya. Prestasi yang pernah dicapai Gus Dur, lebih besar dari prestasi tertinggi yang pernah dicapai Soeharto di akhir massa jabatannya tahun 1998. Namun prestasi Gus Dur, tentu saja bukan karena kemampuan Gus Dur di bidang ekonomi. Namun karena keberanian Gus Dur memberikan kewenangan kepada Rizal Ramly untuk memimpin tim ekonomi di pertengahan dan akhir masa jabatannya. Pada akhir tahun 1997, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 7,1%. Dengan angka pertumbuhan ekonomi 7,1% tersebut, berakibat pada Indonesia dimasukan ke dalam empat negara “Macan Ekonomi Baru di Asia”. Indonesia ketika itu bersama-sama dengan Singapura, Taiwan dan Korea Selatan. September tahun 1997, Rizal Ramly berani mengingatkan ABRI tentang kemungkinan Soeharto akan jatuh. Soeharto jatuh karena krisis ekonomi yang menghadang di depan mata. Ketika itu Rizal meminta agar ABRI segere mengantisipasi kemungkinan dari kejatuhan Soeharto. Peringatan Rizal kepada ABRI tentang kemungkinan kejatuhan Soeharto itu tidak disampaikan di sembarang tempat. Rizal menyampaikan warning tersebut di Markas Seskogab, Bandung. Disampaikan di depan pimpinan dan siswa-siswa Seksogab ABRI. Sekolah yang menyiapkan calon-calon jenderal dari Tiga Matra Angkatan (TNI AD, TNI AL, TNI AU) dan Polisi. Karakter Rizal juga terlihat sangat dominan adalah tidak mau didikte oleh siapapunm negara atau lembaga keuangan yang akan membantu Indonesia. Bantuan itu, baik dalam bentuk pinjaman maupun hibah. Sikapnya itu terlihat ketika memimpin pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI), lembaga donor bentukan Bank Dunia sebagai pengganti IGGI di Jepang tahun 2000. Lamanya waktu yang diberikan kepada anggota delegasi CGI yang mau ketemu empat mata dengan Rizal, sangatlah ditentukan oleh besar kecilnya nilai donor atau hibah yang akan diberikan. Jika nilai uanya besar, maka waktunya bisa lumayan lama ketemu dengan Rizal. Namun jika nilai komitmen itu di bawah U$ 100 juta, maka waktu yang tersedia tidak lebih dari 10 menit. Begitulah cara Rizal menunjukan kelasnya dalam bernegoisiasi. Demi harga diri bangsa dan negara Rizal tak mau membungkuk badan kepada negara atau lembaga keuangan manapun di muka bumi ini yang berjanji akan memberikan bantuan hibah atau pinjaman kepada Indonesia. Kemampuan sekelas Budiono dan Rizal Ramly itu yang hari ini tidak dimiliki oleh Airlangga Hartarto. Airlangga Hartarto hanya lulusan teknik mesin dari Fakultas Teknik UGM. Prestasinya selama menjabat Menteri Perindustrian juga tidak ada yang menonjol. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Airlangga tidak lebih baik dari Hartarto Sastrosoenarto, ayahnya yang menjabat Menteri Perindustrian selama sepuluh tahun (periode 1983-1993) di eranya Soeharto. Sebagai wartawan yunior, dari Harian Ekonomi NERACA, yang sering meliput bidang perindustrian di eranya Hartarto dan Tungki Ariwibowo Menteri Perindustrian, kemampuan Airlangga masih dua sampai tiga digit di bawah Hartarto dan Tungki. Pemahaman Arilangga terhadap makro ekonomi malah lebih para lagi atau minim. Bisa tiga sampai empat digit di bawah Hartarto dan Tungki. Untuk itu, tidak ada pilihan bagi Pak Jokowi, kecuali secepatnya mengganti Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan. Percayakan kepada anak bangsa yang sudah teruji dan terbukti menghadapi badai krisis ekonomi. Lepaskan dulu warna baju koalisi pendukung Pak Jokowi. Situasinya bisa saja bergerak lebih cepat dari yang diperkirakan. Sekarang urusan penyelamatan bangsa harus di atas segala-galanya. Jika lambat atau salah membuat keputusan, badai krisis ekonomi bisa mengulung Pak Jokowi bersama-sama koalisi partai pendukung. Ingat, tahun 1998 dulu itu, Soeharto sangat kuat-kuatnya memperoleh dukungan politik dari Golkar dan ABRI. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terbilang berhasil, yaitu sebesar 7,1%. Soeharto juga merencanakan untuk merombak kabinet. Namun semua langkah Soeharto itu, kalah cepat badai krisis ekonomi. Akhirnya, Soeharto bersama ABRI-nya tergulung juga, bersamaan dengan datangnya badai krisis keuangan global yang tidak bisa dibendung negara manapun. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Wartawan Senior
Mari Simak Dua Survei yang Bermisi Tenggelamkan Anies Baswedan
By Asyari Usman Jakarta, FNN.co.id - Pilpres 2024 masih jauh. Tapi, panggungnya mulai “crowded”. Penuh sesak. Dan dijamin akan makin semarak. Yang paling meriah adalah upaya para oportunis dan “brainless manipulator” untuk menghalangi Anies Baswedan. Segala cara mereka lakukan. Setelah banjir Jakarta, lem aibon, trotoar Tanah Abang, dlsb, gagal mereka gunakan untuk mendegradasi Anies, mereka keluarkan jurus lain. Banyak jurus yang mereka siapkan. Panjang daftarnya. Mungkin sudah dirancang sejak lama. Didukung oleh para cukong yang merasa terancam kalau Anies unggul di pacuan opini pilpres 2024. Gerombolan oportunis dan manipulator itu, cepat-cepat ganti taktik. Sekarang mereka gunakan lembaga-lembaga survei nir-reputasi. Yang tak punya kredibilitas. Tujuannya, tidak sulit ditebak. Mereka ingin menenggelamkan nama Anies. Karena memang “Gubernur Indonesia” ini tak terbendung lagi. Pada hari Ahad (23/2/2020), tiga lembaga peneliti merilis “hasil survei” yang memposisikan elektabilitas Anies sangat rendah. Lebih rendah dari elektabilitas Prabowo Subianto. Ketiga lembaga itu adalah Indo Barometer (IB) dan satu lagi Parameter Politik Indonesia (PPI) yang berkolaborasi dengan Politika Research (PR). Survei IB dengan 1,200 responden itu lebih tepat disebut survei internal Gerindra ketimbang survei publik. Apa alasannya? Pertama, kalau Jokowi ikut pilpres 2024, Indo Barometer menempatkan Presiden yang dimenangkan Mahkamah Konstitusi (MK) di Pilpres 2019 itu dengan elektabillitas 32.2% (tertinggi). Disusul Prabowo 17.5%, Anies Baswedan 9.7%, Sandiaga Uno 6.1%, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 4.3% dan Tri Rismaharini (walikota Surabaya) 3.6%. Kalau Jokowi tidak ikut, maka Prabowo berada di angka 22.5%. Anies Baswedan cuma 14.3%, Sandi Uno 8.1%, Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah) 7.7%, dan Tri Rismaharini (walikota Surabaya) 6.8%. Penyusunan urutan ini menyelipkan pesan bahwa Anies cuma bisa menjadi cawapres pada 2024. Dan peluang untuk terpilih sebagai wapres pun hanya bisa bersama Prabowo. Bahkan, politisi Gerindra, Desmond Mahesa, berani mengatakan bahwa untuk Pilpres 2024 ini, pasangan yang sangat pas adalah Prabowo-Anies. Artinya apa? Hasil survei ini bertujuan mematahkan semangat Anies untuk maju sebagai capres. Sambil mengelabui publik bahwa Prabowo masih berpeluang menjadi presiden nanti. Tapi, susunan ini juga menunjukkan bahwa Prabowo memerlukan Anies sebagai cawapres untuk bisa menang pilpres. Kalau Anies mau dipasangkan dengan Prabowo, orang-orang Gerindra merasa para pendukung Anies tak punya pilihan lain. Tentu saja Anies tidak sekonyol yang mereka inginkan. Kedua, survei IB ini disebut “survei internal Gerindra” dapat dilihat dari premis bahwa kalau Jokowi dihadapkan lagi dengan Prabowo di pilpres 2024 (secara konstitusional Jokowi tidak mungkin ikut kecuali UUD 1945 diubah), maka dia (Jokowi) akan menang 41.2% dibanding Prabowo yang dapat 36.3%. Ini merupakan bentuk penghormatan, rasa segan, dan rasa takut survei internal itu kepada Jokowi. Survei juga sekaligus menyertakan pesan terelubung bahwa Prabowo siap menjadi cawapres Jokowi di pilpres mendatang. Sekalian menyampaikan isyarat bahwa Gerindra akan mendukung amandemen UUD 1945 supaya Jokowi bisa menjadi presiden tiga periode asalkan Prabowo menjadi wapres untuk Jokowi. Bisakah skenario Jokowi-Prabowo 2024 itu muncul? Sangat besar kemungkinannya. Apalagi, sekarang ini ada gelagat yang sangat jelas tentang perseteruan Jokowi dengan Bu Megawati plus gerbong PDIP-nya. Bisa dilihat pula dari survei IB ini yang tidak menyertakan nama Puan Maharani (anak Bu Mega). Di front lain, Prabowo di berbagai kesempatan menunjukkan kekagumannya pada Jokowi. Begitu juga ketika akhir-akhir ini anak-menantu Jokowi mulai memperlihatkan antusias untuk menjadi walikota. Probowo menyambut positif. Ketiga, survei IB disebut “survei internal Gerindra” karena Prabowo, Anies dan Sandi selalu berurutan. Prabowo teratas, disusul Anies dan kemudian Sandi. Berikutnya, kita lihat sebentar survei PPI dan PR. Ini lebih jelas lagi bermisi untuk menenggelamkan nama Anies Baswedan. Dengan 2,200 responden, PPI dan PR menempatkan menempatkan elektabilitas Prabowo 17.3%, Sandi 9.1%, Ganjar Pranowo 8.8%, Anies hanya 7.8%, AHY 5.4% bahkan ada Ahok 5.2%, dst. Yang sangat tendensius, survei PPI-PR menunjukkan bahwa Ma’ruf Amin lebih kuat dari Anies Baswedan untuk posisi cawapres 2024. Ma’ruf bisa dapat 6.7% sedangkan Anies hanya 4.59%. Sadis! Ada yang memancing senyum dari kesimpulan survei PPI-PR. Mereka temukan bahwa publik sangat menyukai pasangan militer-sipil di Pilpres 2024 ketimbang kombinasi sipil-militer. Temuan ini terasa “sangat Bapak”. Menurut survei, kombinasi militer-sipil didukung 40.4% sementara pasangan sipil-militer hanya disukai 14.2% saja. Mana yang bisa dipercaya? Nah, ini pertanyaan yang jawabannya cukup mengasyikkan. Sebab, ada survei yang sangat layak dipercaya di luar IB dan PPI-PR. Yaitu, jajak pendapat online yang digelar oleh PollingKita-com sejak 3 Februari 2020. Polling ini diikuti oleh 28,650 responden. Mereka tidak bisa ikut polling lebih dari sekali karena registrasi suara dicatat berdasarkan IP-address. Artinya, yang mencoba memberikan suara ganda akan tertolak secara otomatis berdasarkan IP address itu. Hingga hari ini (26/2/2020), PollingKita mencatat dukunngan untuk Anies Baswedan 64.2%, Prabowo 8.1%, AHY 7.9%, Ganjar Pranowo 6.4%, Sandi 4.3%, Ahok 4%, Gatot Nurmantio 2.2%, Ridwan Kamil 1.82%, Khofifah IP 0.6%, dan Puan Maharani 0.3%. Kelihatannya, PollingKita-com lebih layak dipercaya. Sebab, hasil survei mereka mencerminkan dinamika politik yang ada. Lebih independen dan jumlah respondennya lebih 20 kali lipat jumlah responden IB. Kalau pun margin of error di sini (MoR) 25%, Anies masih dapat 48%. Masih terlalu besar? Sebutlah MoR 40%. Anies masih dapat 39%. Bukan angka cukongan di sekitar 9 persenan atau 14 persenan. Jadi, bagaimana dengan hasil survei IB dan PPI-PR? Kelihatannya, tidak keliru kalau Anda katakan MoR-nya 100%. Alias, tak bisa dipercaya sama sekali.[] 26 Februari 2020 Penulis wartawan senior.
Jokowi Korbankan Buruh Menanggung Beban Investasi Asing
Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi yang terkesan indah dan hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Banyak kendala yang dibuat oleh pejabat terkait perizinan.Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. By Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Sehubungan Pemerintahan Jokowi telah menyerahkan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja kepada DPR untuk dibahas, menurut saya ada 3 poin penting yang harus dicermati pemerintah, DPR dan publik. Pertama, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja didasari pada situasi di mana relokasi investasi di China ke Asia Tenggara kecuali Indonesia. Artinya tujuan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah untuk menarik investasi asing ke Indonesia. Pemerintah akan memberikan segala kemudahan dan kepastian dalam berinvestasi. Oleh karena itu pemerintah dan DPR sepatutnya fokus pada efisiensi perijinan dan incentive berinvestasi. Bukan menciptakan aturan-aturan yang mengorbankan kesejahteraan buruh. Bukan pula menaruh nasib buruh pada level yang lebih rendah dalam Omnibus Law. Jika demikian halnya, maka sama saja demi kepentingan investasi asing, Jokowi mengorbankan buruh. Jadinya buruh ikut menanggung beban investasi asing. Pemerintah dapat mengkreasikan aturan-aturan atau biaya investasi yang kompetitif dengan Vietnam, Thailand dan Malaysia. Pemerintah tidak perlu mengurangi apa yang telah didapat buruh selama ini. Yang sudah didapat oleh buruh, biarkan saja apa adanya. Pemerintah seharusnya mendorong investor dengan memberikan incentive progresif kepada investasi yang menggunakan tenaga kerja Indonesia di atas 80%. Atau incentive progresif untuk investasi yang export oriented, atau penggunaan bahan baku lokal di atas 80%. Kedua, perlu jaminan implementasi Omnibus Law ini. Bagaimana aturan teknisnya nanti benar-benar ciptakan efisiensi. Selama ini selain aturan yang tumpang tindih, biaya perijinan investasi tidak efisien, karena mental koruptif birokrasi, baik di pusat maupun daerah. Jadi, efektifitas Omnibus Law ini dalam menarik investasi akan sangat ditentukan oleh praktek birokrasi. Apa yang terkesan bagus dalam narasi, akan gagal jika birokrasinya masih koruptif. Selain itu, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus didukung penuh oleh para buruh dan pemerintah daerah. Jika akhirnya masih sering terjadi aksi pemogokan buruh, akibat dari Omnibus Law yang dipaksakan pemerintah pun tidak akan berhasil menarik investasi asing masuk. Kita harus belajar dari paket-paket ekonomi Jokowi di periode pertama pemerintahannya. Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi terkesan indah hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. Ketiga, jiwa RUU Omnibus Law ini jangan sampai menghidupkan kembali sentralisme pada pemerintah pusat. Sekarang kita sudah melangkah jauh dengan desentralisme otonomi daerah. Pemerintah daerah harus diajak terlibat dalam pembahasan RUU Omnibus Law. Tujuannya, agar Pemerintah Daerah dapat memahami betul isi dan tujuannya, sehingga implementasinya di daerah juga efektif dan seragam. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)
Defender of the Cukongs Mulai Kepanasan
“If you have enemies, that means you stand for the right,” kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” By Asyari Usman Jakarta FFN - “Smoked out” artinya keluar dari persembunyian. Kepanasan. Terus, maki-maki. Defending the crooks. Bad enough, tentunya. But, that’s what you will expect from Zeng Wei Jian called “Ken Ken” by his fooled admirers. Ken Ken mencak-mencak gegara dua tulisan yang mengurai peranan para cukong dalam mendikte politik Indonesia. Dia buat tulisan konyol. Dia tunjukkan as if (seolah-olah) dia adalah kaki tangan para cukong parpol itu. Sungguh kasihan. Sebenarnya, banyak orang tahu Zeng “bukan penulis lepas”. Tangannya terborgol oleh keharusan untuk menjaga agar “debit card” itu bisa tetap berlaku di tempat-tempat nongkrong. Sebenarnya, pena yang dia gunakan untuk menulis sangat canggih. Tapi, ada “remote control”-nya. Pengamat politik, Hersubeno Arief, menguraikan siapa-siapa yang disebut sebagai cukong yang melakukan mafia politik. Yakni, mereka yang membeli parpol untuk kuasai Indonesia. Itu saja. Sekadar mengelaborasi “pengalaman” Ketua MPR Bambang Soesatyo bahwa para cukong alias pemodal, domestik maupun asing, membeli “Satu Partai Satu Triliun” untuk menguasai negeri. Celakanya, kalau Anda selami pikiran Zeng, Anda akan temukan di kepalanya bahwa beli parpol “is the thing right to do”. Beli partai itu bagus bagi Zeng. Hancurlah Indonesia. Mas Hersu dan teman penulis satu lagi hanya mencarikan perspektif yang tepat dari deklarasi Pak Bamsoet. Hersebeno menjelaskan siapa-siapa saja yang punya duit besar, yang mampu membeli parpol-parpol “in order to gain the real power” dalam mengelola kekayaan negara. Sangatlah logis kalau kemudian Hersubeno memperkenalkan kepada khalayak nama-nama taipan yang mungkin sekali berkepentingan untuk membeli kekuasaan politik. Lagi pula, nama-nama yang membuat Zeng naik tensi itu adalah mereka yang disebut oleh “Forbes” sebagai orang-orang terkaya di Kolam Susu-nya Koes Ploes. Hersu hanya mengutip “Forbes” itu. Nothing more. Zeng menjadi panik. Dia bela para cukong itu. Menuduh Hersu bebuat SARA. Baseless accusation. Tuduhan yang terbentuk dari “inability to understand the whole context of Hersu’s argument”. Tidak ada SARA. Yang diuraikan itu semata-mata fakta murni. Zeng keluar dengan cercaan yang menggelikan. Dia caci-maki kedua penulis that stand for the right. Zeng tidak rela pembeberan the truth of the day. Perilaku Zeng sangat memalukan, by all standards. Neither morality, nor journalism principles. Dapat dibaca dengan jelas arah tulisannya. Seratus persen menggonggong untuk the masters –para cukong itu. Pantas diduga, ada imbalan yang sangat menggiurkan di balik “pikiran sesat” Zeng. Reaksi ngawur Zeng Wei Jian sama sekali tidak mengherankan. Dia memusuhi tulisan-tulisan yang tidak sejalan dengan “money making process” yang dia punya. Zeng langsung terusik ketika ada yang coba menyentuh para cukong yang telah merusak semua sendi kehidupan bangsa ini. However, Mas Hersubeno dan teman penulis satu lagi tidak perlu terlalu hirau dengan jurus-jurus Zeng. Anda berdua paham tentang dia. Publik juga mengerti. Dan Anda berdua juga tahu mengapa Anda punya musuh. “If you have enemies, that means you stand for the right”, kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” Penulis adalah Wartawan Senior
Tembak Jokowi, Mega Menepuk Air di Dulang
Selain Gibran dan Boby, ada dua lagi keluarga Jokowi yang mengadu peruntungan di politik. Mereka adalah adik ipar Jokowi, Wahyu Purwanto, yang dikabarkan bakal maju dalam Pilkada di Gunung Kidul, Jawa Tengah, serta Paman Bobby Nasution, Doli Sinomba Siregar, yang berencana untuk maju sebagai calon Bupati Tapanuli Selatan. By Dimas Huda Jakarta FNN - Megawati Soekarnoputri mengeluarkan pernyataan yang cukup menohok bagi politisi yang tahu diri. Ketua Umum DPP PDI Perjuangan ini menunjukkan kekesalannya ketika menyebut tokoh politik yang memaksa anaknya menjadi pemimpin. Sementara anak tersebut tidak mampu memimpin. Seperti tidak ada orang lain saja. "Kalau enggak anak'e, kalau ndak istrine, kalau enggak ponakane,” sindir Mega pada saat memberi sambutan pengumuman Paslon Pilkada 2020 di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu (19/2). Sodokan Mega itu bisa diarahkan ke mana-mana. Maklum saja, politik dinasti saat ini memang sudah menjadi semacam tren. Sudah lazim, para politisi tua umumnya menyiapkan anak dan saudara-saudaranya masuk gelanggang politik. Sebut saja Joko Widodo. Anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri menjadi Walikota Solo. Menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, mencalonkan diri sebagai Walikota Medan. Jokowi sepertinya tengah membangun politik dinasti di keluarganya. Ibarat buah, Gibran dan Bobby masih mentah. Tak punya pengalaman di partai politik. Lantaran anak Jokowi, Gibran menjadi moncer. Begitu juga Boby. Hanya karena menjadi menantu presiden namanya menjadi dihitung. Elektabilitasnya oke. Soal kemampuan dalam memimpin, yaa, itu nanti saja dulu. Itu urusan belakangan. Jari Mega boleh jadi diarahkan ke Istana Jokowi. Soalnya, sampai detik ini, DPP PDIP belum mengeluarkan persetujuan atas pencalonan anak dan menantu presiden itu. Itu sebabnya, Gibran juga sadar bahwa keputusan dirinya maju sebagai calon Walikota Solo, bergantung pada Megawati. Gibran Rakabuming Raka telah mendaftarkan diri sebagai bakal calon Walikota Solo lewat DPD PDIP Jawa Tengah, setelah jajaran PDIP Solo menutup pintu pendaftaran. Selain Gibran dan Boby, ada dua lagi keluarga Jokowi yang mengadu peruntungan di politik. Mereka adalah adik ipar Jokowi, Wahyu Purwanto, yang dikabarkan bakal maju dalam Pilkada di Gunung Kidul, Jawa Tengah, serta Paman Bobby Nasution, Doli Sinomba Siregar, yang berencana untuk maju sebagai calon Bupati Tapanuli Selatan. Politik Dinasti Hanya saja, politik dinasti bukan monopoli Jokowi. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru mempelopori terlebih dahulu. Ia mendorong putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. AHY gagal, dan SBY mencoba mendorong-dorong AHY menjadi calon presiden atau calon wakil presiden pada Pilpres 2019 kemarin. Langkah ini pun gagal. SBY sepertinya ingin berkuasa kembali dengan membangun dinasti. Partai Demokrat dijadikan kendaraan. Selain AHY, ada Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang lebih dulu di PD. Kedua pangeran ini akan berebut kursi ketua umum pada kongres partai ini nanti. Jabatan ketua umum perlu dan penting karena menyangkut posisi mereka dalam peta politik 2024. "Kalau bukan presiden dan wakil presiden, kemudian jadi menteri misalnya,” ujar Wakil Ketua Umum PD, Syarief Hasan, Rabu (19/2). Politik dinasti memang sudah dianggap lumrah. Pada Senin (17/2) kemarin, lembaga riset Nagara Institute merilis hasil penelitian terkait perpolitikan di Indonesia. Penelitian itu menyebut oligarki dan politik dinasti menjadi ancaman terbesar bagi demokrasi Indonesia. Dari hasil penelitian lembaga riset yang baru didirikan eks anggota DPR F-NasDem, Akbar Faisal, ini mengungkap 17,22% hasil pemilihan DPR RI pada Pemilu 2019 terpapar dinasti politik. Itu bermakna 99 dari 575 anggota legislatif memiliki hubungan dengan pejabat publik. Anggota NasDem menjadi yang paling banyak. Sebesar 33,90% atau 20 dari total 59 kursi F-NasDem di DPR RI memiliki hubungan dengan pejabat publik. Di bawah NasDem, ada PPP dengan 31,58%, kemudian Golkar 21,18%, Demokrat 18,52%, PAN 18,18%, Gerindra 16,67%, dan PDIP 13,28%. PDIP nyatanya juga menjadi sarang politik dinasti. Ketika Mega mengarahkan satu telunjuknya ke politisi lain, maka ada empat jari yang mengarah padanya. “Saya enggak pernah. Anak saya, kamu jadilah sesuai dengan apa yang kamu jalankan," sergah Mega. Kandang banteng adalah tempat anak-anak dan keluarga besar Sukarno belajar sekaligus meniti karier politik. Puan Maharani salah satunya saja. Ia adalah politisi didikan langsung Sang Bunda. Aneh, Mega membantah itu. "Ada orang yang ngomong Mbak Puan jadi ketua DPR, itu saya yang angkat-angkat. Mana mungkin, memang (perolehan) suarannya gede. Enggak ada yang bisa nahan. Begitu. Janganlah. Yang namanya sudah. Mabok saya dengarnya," imbuh Presiden kelima RI itu. Jauh sebelum menambang suara paling banyak, Puan tentu saja tidak punya pengalaman sedikit pun di dunia politik, sebelum ia masuk kandang Banteng. Perempuan kelahiran Jakarta, 6 September 1973 ini tentu dihitung dan menjadi ngetop karena dia adalah putri Megawati. Boleh jadi, lantaran dia putri Mega pula, maka Jokowi menunjuknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada Kabinet Kerja (2014–2019). Banyak pihak menilai kinerja Puan sebagai Menko mengecewakan. Di PDIP cukup banyak kader-kader lebih baik dari Puan, namun dia tak tergantikan. Lewat pernyataannya itu Mega seakan-akan mencoba introspeksi diri bahwa politik dinasti tak bisa dihindari. Termasuk pada dirinya sendiri. Penulis adalah Wartawan Senior