POLITIK

Anomali-Anomali Pelantikan Presiden

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI periode kedua (2019-2024) penuh dengan anomali. Aneh, ganjil dan banyak kelainan. Anomali pertama. Harusnya pelantikan ini menjadi pesta rakyat. Penuh sukacita. Bangsa Indonesia merayakan suksesnya pesta demokrasi. Rakyat malah dijauhkan. Diwaspadai. Ditakuti. Lihatlah apa yang terjadi di Jakarta hari ini. Suasananya sungguh tegang. Seperti mau perang. Negara dalam kondisi darurat. Aktivitas warga dibatasi. Polisi, tentara, sampai petugas Satpol PP bertebaran di sepanjang sudut kota. Banyak di antaranya mengenakan pakaian sipil, mengamati pergerakan warga dengan waspada. Jalan-jalan utama ditutup untuk umum. Ruas jalan di seputar gedung MPR/DPR, seputar istana presiden dan berbagai ruas jalan protokol yang menghubungkannya tak bisa dilalui. Jalan-jalan utama itu ditutup aksesnya untuk rakyat. Hanya petugas keamanan dan pihak yang berkaitan langsung dengan pelantikan presiden dan wakil presiden yang boleh melaluinya. Kegiatan car free day, olahraga pekanan warga Jakarta sepanjang jalan MH Thamrin dan Sudirman ditiadakan. Kawasan Monas juga ditutup untuk publik. Kawasan yang biasanya menjadi tempat hiburan murah rakyat kebanyakan itu dijaga ketat aparat keamanan. Lucunya beberapa kepala daerah di seputar Jakarta juga ikut-ikutan paranoid. Walikota Bekasi Rachmat Effendy juga meniadakan kegiatan car free day di jalan Ahmad Yani, Bekasi. Padahal lokasi sangat jauh dari arena pelantikan. Bupati Bogor Ade Yasin guru dan orang tua yang pelajar dan anaknya ikut unjukrasa menentang pelantikan. Anomali kedua. Polisi memberlakukan larangan unjuk rasa. Larangan berlaku hampir sepekan. Sejak Selasa (15/10) sampai saat pelantikan Ahad (20/10). Unjukrasa, menyampaikan ekspresi politik, pendapat secara lisan dan tulisan adalah hak konstitusional warga negara. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia dijamin konstitusi. Polisi tetap bersikeras melarang unjukrasa kendati Presiden Jokowi mempersilakan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan. Presiden malah sempat mengaku rindu didemo. Anomali ketiga, TNI dan peralatan tempur dikerahkan secara besar-besaran. Seperti darurat perang. Helikopter, pesawat tanpa awak (drone), pesawat militer dikerahkan untuk memantau keamanan dari udara. Sejumlah panser TNI juga diparkir di beberapa kawasan pusat perbelanjaan di Jakarta. Panglima TNI mengeluarkan ancaman. “Siapapun yang akan menggagalkan pelantikan kabinet, berhadapan dengan TNI.” Dalam negara demokrasi, tugas militer itu mengamankan negara dari ancaman musuh, negara asing. Bukan berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Situasi keamanan ketertiban masyarakat adalah domainnya polisi. Bukan militer. Sejak TNI back to basic, TNI harus menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik praktis. Sekarang malah diseret-seret kembali ke politik. Mengamankan rezim penguasa. Anomali keempat. Rakyat banyak yang tidak antusias menyambut pelantikan. Bahkan emak-emak menyerukan gerakan “tutup tv dengan taplak meja.” Di twitter seruan #BesokMatikanTVSeharian memuncaki trending topic. Mereka tak peduli, siapa yang mau jadi presiden, siapa yang mau jadi wapres, apalagi siapa yang mau jadi menteri. Situasinya berbeda jauh dengan Pelantikan Jokowi periode pertama. Saat itu rakyat mengelu-elukannya. Terjadi eforia. Di sepanjang jalan Sudirman dan MH Thamrin menuju istana rakyat berdiri berjajar sepanjang jalan. Jokowi bahkan sempat melepas jasnya dan turun dari kendaraan menyalami warga. Anomali kelima, ini merupakan kelainan terbesar demokrasi. Yakni bergabungnya partai oposisi ke dalam pemerintahan. Bahkan capres lawan Prabowo Subianto juga kemungkinan akan bergabung dalam kabinet. Mau dicari dalam buku teks demokrasi yang paling klasik sekalipun, tak ada ceritanya, oposisi kok bergabung dalam kabinet. Malah ikut berebut jatah kursi menteri. Tak heran bila banyak rakyat yang menyatakan kecewa. Baik dari pendukung Jokowi maupun Prabowo. “ Kalau begini ngapain harus pilpres segala?” Sudah menghabiskan anggaran negara trilyunan rupiah, masyarakat bermusuhan, gontok-gontokan, ratusan nyawa melayang sia-sia, akhirnya hanya bagi-bagi kekuasaan. Mengapa sejak awal tidak baku atur saja. Tak perlu melibatkan rakyat. Silakan atur negara ini suka-suka. Fenomena ini hanya bisa terjadi di Indonesia. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara. End

Jokowi “Akhirnya” Terbebas dari Sandera Politik!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Melihat persiapan pelantikan Presiden – Wakil Presiden Terpilih hasil Pilpres 2019, Minggu (20/10/2019) tampaknya bakal berlangsung aman dan lancar. Apalagi aparat keamanan yang sudah menyiagakan lebih dari 30 ribu anggota TNI-Polri. Dipimpin Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, aparat keamanan gabungan itu disiagakan di berbagai sudut kota dan sekitaran Gedung MPR-DPR Senayan, Jakarta, sejak sepekan ini. Tak hanya itu. Dukun pun diikutsertakan “pengamanan”. Dilansir Tempo.co, Jumat (18 Oktober 2019 12:05 WIB), dukun-dukun Pulau Belitung yang tergabung dalam Forum Kedukunan Adat Belitung menggelar ritual dan doa pada Kamis, 17 Oktober 2019, untuk kelancaran pelantikan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Ketua Forum Kedukunan Adat Belitung Mukti Maharip menyebut, ritual dan doa dilakukan dukun Belitung di Rumah Adat Belitong, Jl. Gajah Mada, itu untuk menghilangkan hal-hal negatif yang akan mengganggu pelantikan dan membuat situasi tidak kondusif. Jagad dunia maya juga kembali diramaikan dengan postingan video seorang lelaki dengan busana serba hitam yang disebutnya sebagai Ki Sabdo. Video berdurasi pendek sekitar 2 menit ini, membuat warganet bereaksi keras. Karena lelaki paroh baya ini menyampaikan pernyataan yang semakin membuat masyarakat terpecah dalam menyikapi peta politik Indonesia. Khususnya terkait dilantiknya Presiden dan Wapres Terpilih 2019-2024, Minggu, 20 Oktober 2019. Dalam video tersebut, terlihat Ki Sabdo duduk bersila atau bersemedi tepat di depan pintu gedung DPR/MPR Nusantara V. Hampir sekitar 20 detik lebih, Ki Sabdo bersemedi, sampai akhirnya menangkupkan kedua belah tangannya di wajah. Lantas, dirinya berdiri dan menyampaikan apa yang sedang dilakukannya. Setelah ada sebuah pertanyaan dari seseorang yang tak terlihat di dalam video. Ki Sabdo menyampaikan, bahwa dirinya sedang berada di gedung DPR dan melakukan gladi bersih. “Aku sedang cek anak buah saya. Ratu Selatan, Nyai Roro Kidul, Jin Kayangan dan lainnya. Semua sudah ada di dalam dan sekitarnya. Jadi untuk amankan pelantikan Joko Widodo,” ucap Ki Sabdo dalam video yang -posting Jumat (18/10/2019). Menurut Ki Sabdo Jagad Royo, begitulah dirinya dikenal, dari penglihatannya memang harus ada pengawalan secara spiritual untuk pelantikan Jokowi – Ma'ruf. “Harus ada pengawalan secara spiritual. Ini yang saya taruh di sini komplit sudah,” katanya. “Mulai Nyai Roro Kidul, Nyai Blorong, Jin Kayangan. Mantap sudah, pasti dilantik,” tegas Ki Sabdo. Dirinya juga menjawab, bila ada yang menghalangi pelantikan Jokowi – Ma'ruf, maka akan berurusan dengan Ratu Roro Kidul dan dirinya. “Urusan saya. Saya akan bereskan (bila ada yang menghalangi pelantikan, red),” ujar Ki Sabdo. Segawat itukah situasi dan kondisi Ibukota Jakarta jelang pelantikan Presiden – Wapres Terpilih? Mengapa sampai seperti itu pengamanannya? “Perang” Oligarki Apa yang membuat pengamanan begitu ketat jelang dan ketika pelantikan Jokowi – Ma’ruf sebagai Presiden dan Wapres 2019-2024? Sampai perlu melibatkan paranormal alias dukun segala? Sudah musyrikkah bangsa yang dikenal agamis ini? Tampaknya sekarang ini sedang terjadi persaingan (baca: “perang”) untuk berebut pengaruh sebagai pengendali Presiden Jokowi untuk Periode Kedua POTRI (President of The Republic Indonesia) dalam wujud Kabinet Kerja II. Sudah bukan rahasia lagi kalau selama ini ada Oligarki yang menguasai Presiden Jokowi. Selama Periode I jabatannya, “Sejumlah Jenderal”, CSIS, dan China dikenal sebagai Kaum Oligarki pengendali Jokowi, bukan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Kehadiran Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Koalisi Rekonsiliasi yang dibawa mantan Danjen Kopassus ini membuat mereka terancam posisinya sebagai pengendali Jokowi untuk Periode II sebagai POTRI. Karena akan terjadi penggusuran besar-besaran terhadap Oligarki di Istana yang selama ini mengendalikan Jokowi. Kaum Oligarki itu tidak rela kekuasaannya digusur, sehingga tidak bisa kendalikan Jokowi 2019-2024. Mereka pun menciptakan berbagai manuver agar tetap berkuasa, minimal tidak kehilangan semuanya. Tetapi, berbagai planning mereka mentok di tengah jalan. Dan, yang diharapkan tinggal satu: Darurat Sipil. Fakta yang terjadi (di luar putusan yuridis formal), mereka telah memanipulasi hasil Pilpres 2019 dengan kemenangan Jokowi – Ma’ruf, tunggangi KPK dengan sandera Ketum-ketum Parpol Koalisi Jokowi, dan mau Kuasai Kabinet Jokowi II. Sehingga, mereka bisa menjadi penguasa Jokowi Jilid II. Jika rencana pertama tak berhasil, maka mereka menciptakan anarkisme, demo mahasiswa, dan framming isu dengan membawa tuntutan Perppu KPK. Darurat Sipil akan menjadi pilihan akhir mereka. Itulah mengapa suhu politik jelang pelantikan Presiden – Wapres Terpilih, meski Pilpres 2019 sudah lama usai semakin membara. Ini karena Rekonsiliasi sudah bergulir dan UU KPK telah direvisi. Akibatnya, “mereka” terancam lengser dari penguasa rezim Jokowi Jilid I. Mereka ciptakan berbagai aksi massa, anarkisme, separatisme, dan seterusnya. Jika tak ada rekonsiliasi, maka tidak ada segala aksi massa, separatis, anarkis, teroris dan lain-lain itu. Jika tidak ada rekonsiliasi dan tidak ada revisi UU KPK maka mereka tetap menjadi penguasa rezim Jokowi Jilid II: Oligarki, kolaborator China sebagai penindas umat-rakyat. Jadi, semua aksi massa, anarkisme, gejolak, separatisme, terorisme, framming isu dan opini terjadi pasca rekonsiliasi itu adalah ciptaan “Sejumlah Jenderal” itu untuk bertahan menjadi penguasa rezim Jokowi Jilid II. Jika tetap gagal, mereka akan paksakan “Darurat Sipil” sebagai upaya terakhir. Pembusukan citra Polri dapat terjadi karena oknum pimpinan Polri adalah kader “Sejumlah Jenderal” itu. Momentum terbaik Darurat Sipil mereka itu adalah chaos pada aksi massa mahasiswa yang menuntut penerbitan Perppu KPK. Korban berjatuhan, polisi jadi sasaran amarah, Darurat Sipil diterapkan, TNI AD pegang komando, Kabinet disusun mereka. Jadi, sebagian rakyat, mahasiswa, elit Indonesia secara tidak sadar telah jadi korban tipu daya dan tunggangannya. Massa ikut-ikutan mendesak terbitnya Perppu, latah meminta Prabowo tidak masuk kabinet. Massa tak sadar sedang membantu mereka tetap jadi penguasa. Fungsi Darurat Sipil itu sama dengan Perppu KPK yakni alat bagi mereka untuk memaksakan kehendaknya dalam penyusunan Kabinet Jokowi II. Setelah berhasil susun Kabinet Jokowi II, mereka jadi penguasa rezim kembali, maka Darurat Sipil dicabut. Seandainya Megawati-Jusuf Kalla-Budi Gunawan-Prabowo tidak menggulirkan Rekonsiliasi – UU KPK tidak direvisi, maka tidak akan terjadi gejolak, anarkisme, sabotase separatisme, provokasi, framing isu-opini, dan lain-lain menjelang 20 Oktober 2019, karena mereka sudah pasti kembali jadi penguasa. Sikap Jokowi sendiri ditentukan oleh konstelasi politik terakhir, Minggu, 20 Oktober 2019. Yaitu: Pemenang Perang Proksi III antara: Kubu Rekonsiliasi Mega-JK-BG-Prabowo Cs versus “Sejumlah Jenderal”. Namun, sampai hari ini Kubu Rekonsiliasi jauh lebih unggul dari mereka, selama Prabowo konsisten di Kubu Rekonsiliasi. Selama UU KPK hasil revisi eksis (Perppu tidak diteken). Selama rencana chaos dapat digagalkan. Maka mereka pasti lengser dari penguasa rezim. Jika kemenangan Kubu Rekonsiliasi atas “Sejumlah Jenderal” tersebut terjadi, maka kabinet Jokowi II akan sangat berbeda dengan Kabinet Jokowi I. Kabinet Jokowi II mengakomodir representasi umat Islam, steril dari elit “Sejumlah Jenderal”. Prabowo-BG menjadi Duet Pengendali di kabinet dan pemerintahan. Jika Kubu Rekonsiliasi menang perang Proksi III, dominasi Liberal Sekuler – Anti Islam pada Kabinet Jokowi II akan diganti dengan Nasionalis-Islam. De-Islamisasi di KPK akan berhenti. Sekitar 70% penyidik KPK antek “Sejumlah Jenderal” – CSIS digusur. Mereka bakal diseret jadi tersangka dan napi korupsi. Itulah prediksi yang bakal terjadi dalam detik-detik jelang prosesi pelantikan Presiden Jokowi – Wapres Ma’ruf. ***

Islamophobia dan Deislamisasi

Oleh Daniel Mohammad Rosyid Jakarta, FNN - Sejak deklarasi war on terror oleh GW Bush pasca penyerangan terhadap the WTC, New York 2001, narasi islamophobia disemburkan sebagai justifikasi atas perang ilegal yang dilancarkan AS dan sekutunya atas Afghanistan, Irak, Libya dan Suriah. Narasi itu mengeras di Indonesia sejak Jokowi Presiden sekitar 5 tahun lalu. Peristiwa penyerangan atas Menkopolhukam Wiranto di Menes, Pandeglang, oleh Pemerintah langsung dikaitkan ke kelompok radikal ISIS. Padahal kita tahu, ISIS adalah hasil kreasi operasi intelijen CIA di Timur Tengah, sama seperti tuduhan pemilikan Weapon of Mass Destruction oleh Saddam Husein, semuanya untuk menjadi casus belli bagi aksi militer pre emptive AS dan sekutunya, sekaligus pasar bagi penjualan senjata oleh industri militer AS. Perlu dicermati, bahwa narasi yang menyudutkan Islam itu bukan hal baru bagi muslim yang hidup di kawasan seluas Eropa yg dulu pernah disebut Nusantara ini. Penjajah Belanda selalu menyebut para pejuang kemerdekaan itu kaum extrimist atau radikal. Terlebih karena para "pemberontak" itu lazimnya digerakkan oleh para ulama yang membina pesantren. Aksi militer Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan disebut sebagai aksi polisionil, atau aksi penertiban atas kaum pemberontak. Bahkan menghadapi ultimatum pasukan Sekutu di Asia Tenggara yang mengepung Surabaya, mbah Kyai Hasyim Asya'ari telah mendeklarasikan Resolusi Jihad. Rezim ini dan juga banyak pendukung fanatiknya yang sok NKRI, sok Pancasila secara sengaja melupakan banyak fakta bahwa NKRI didirikan oleh para ulama (Kyai Hasyim Asy'ari, Ki Bagoes Hadikoesoemo, H. Agoes Salim) yang bekerjasama dengan kaum nasionalis (Ir. Soekarno, Bung Hatta dkk) dan kaum Nasrani (AA. Maramis). Prajurit TNI dibentuk dari santri yang dilatih Jepang (PETA) yang diprakarsai oleh para ulama. Upaya deislamisasi adalah bagian tak terpisahkan dari proses sekulerisasi yang dipaksakan atas bangsa Indonesia terutama melalui persekolahan paksa massal sejak awal 1970an. Melalui persekolahan paksa massal itu secara perlahan tapi pasti, Pemerintah menggusur pesantren dan masjid sebagai pusat-pusat peradaban masyarakat Islam. Diperkuat dengan televisi, proses penyiapan masyarakat industri itu dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masiv. Secara perlahan, prosentase perolehan suara partai-partai Muslim dalam berbagai Pemilu selalu menurun. Saat ini kita menyaksikan bahwa masyarakat Indonesia didominasi oleh kaum abangan ( islamiyyun), sementara kaum santri ( muslimun) tetap minoritas. Jagad politik nasional dikuasai oleh "parpol tengah" nasionalis-sekuler. Sekulerisasi itu dimulai dengan mereduksi Islam menjadi sekedar "agama" yang hanya relevan bagi hidup sesudah mati, bukan sebuah cara hidup dengan semua dimensinya, termasuk ekonomi dan politik. Riba misalnya, yang jelas-jelas diharamkan Islam, dilunakkan sehingga bisa diterima sebagai praktek ekonomi yang "normal", darurat berkepanjangan, hingga hari ini. Akibatnya, masyarakat tidak saja miskin tapi juga sekaligus bodoh sehingga mudah dijadikan obyek politisasi para elite. Dakwah yang paling kuat adalah melalui kekuasaan politik dan ekonomi. Bahkan Bupati atau Gubernur yang adil adalah pendoa yang maqbul, lebih maqbul daripada doa kyai yang hanya berbicara di mimbar-mimbar masjid. Deislamisasi dilakukan dengan mengerdilkan masjid sebagai tempat ritual belaka. Khutbah politik dan ekonomi dilarang. Dakwan Islam juga mengalami demaritimisasi, mengasingkan ummat Islam dari kemaritiman sebagai tulangpunggung perdagangan dan jasa. Perdagangan adalah sektor ekonomi yang strategis sedangkan perdagangan global tidak bisa dibayangkan tanpa kemaritiman. Terdapat puluhan kesultanan Islam yang tersebar sejak Aceh hingga Papua yang menjadi pemain kunci dalam perdagangan di Nusantara maupun ke China dan Timur Tengah. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, demaritimisasi dakwah adalah a gigantic geostrategic mistake. Apa mungkin mempersatukan Indonesia tanpa kemaritiman? Stasiun Bandung, 17/10/2019

Tiki-taka Prabowo, Strategi Kuatkan Negara?!

Terjadi dua faksi istana yang bersitegang, yaitu Teuku Umar dan Gondangdia. Group PDIP-Golkar-Gerindra vs NasDem dan sejumlah jenderal, termasuk Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, apa keuntungan Gerindra? Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bagaikan permainan sepak bola, manuver safari politik Prabowo Subianto jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI berikutnya menarik untuk dicermati. Strategi tiki-takanya bisa jadi jalan keluar permasalahan bangsa dan negara saat ini. Tiki-taka adalah strategi dalam sepak bola. Intinya bermain manuver dengan umpan-umpan yang terukur, sehingga bisa mencapai tujuan alias goal. Manuver politik yang dilakukan Prabowo memang penuh dengan political shock yang tiba-tiba. Ending berbagai manuver Prabowo yang dimulai dengan pertemuan bersama Presiden Joko Widodo, dilanjutkan dengan Megawati Soekarnoputri, dengan Presiden Jokowi lagi, Surya Paloh, dan Muhaimin Iskandar, untuk mencari “solusi bangsa”. Terakhir, Prabowo juga bertemu dengan pimpinan Airlangga Hartarto di Kantor DPP Partai Golkar. Dalam konferensi pers seusai pertemuan, Prabowo mengaku kedatangannya ibarat pulang ke almamaternya dulu. “Saya hari ini kembali ke almamater saya, saya dulu lulusan Golkar. Golkar menyumbang banyak kader ke banyak institusi di republik ini,” kata Prabowo di DPP Golkar, Selasa, 15 Oktober 2019, seperti dilansir Tempo.co. Sebelum mendirikan Gerindra pada 2008, Prabowo memang bergabung dengan Golkar. Ia juga mengikuti konvensi Partai Golkar untuk menjadi capres pada Pemilu 2004. Prabowo kalah dari Wiranto – kini Menko Polhukam – dalam konvensi itu. Prabowo berujar dia pun tak merasa canggung kembali ke Golkar. Menurut dia, Gerindra dan Golkar memiliki banyak kesamaan. “Kami sepakat untuk menjaga negara dan bangsa yang kita cintai,” kata mantan Danjen Kopassus ini. Prabowo mengatakan Golkar dan Gerindra sepakat untuk bekerja sama di kemudian hari. Ia berujar komunikasi politik yang baik di antara para elit akan membawa suasana yang baik bagi terwujudnya stabilitas negara. Sebelumnya, Prabowo juga bertemu dengan mantan Kepala BIN Hendropriyono di kediaman mantan Pangdam Jaya ini. Semua “persoalan” yang selama ini menyangkut keduanya sudah cair. Tidak ada lagi “permusuhan” politik diantara keduanya. Menjadi oposisi – karena dalam sistem politik Indonesia memang tidak mengenal oposisi – tampaknya bukan menjadi pilihan politik Prabowo yang “kalah” dari capres petahana Joko Widodo pada Pilpres, 17 April 2019. Keputusan Ketum DPP Partai Gerinda Prabowo Subianto mengambil langkah politik dengan Koalisi Rekonsiliasi memang sulit dipahami oleh masyarakat, terutama para pendukungnya. Bagi Prabowo, ini adalah pilihan yang sulit. Kalau Prabowo memilih berada di luar pemerintahan, jelas segala apa yang dicita-citakannya menuju Indonesia Adil dan Makmur akan sulit tercapai. Satu-satunya jalan adalah Prabowo harus bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Salah satu contoh, yang mampu menghadang kekayaan Indonesia lari ke luar negeri hanya pemerintah, bukan “oposisi”. Karena, pemerintah-lah yang punya kewenangan melakukan pencegahan tersebut. Masuknya Prabowo dalam Koalisi Rekonsiliasi nanti justru bisa mewarnai kebijakan yang akan diambil Presiden dan Wapres Terpilih. Bisa jadi, jajaran kabinet Jokowi nanti bersih dari koruptor karena dipilih yang kapabel dan cerdas. Konon, Kabinet Cerdas ini tidak ada kader-kader dari partai-partai yang kadernya terlibat korupsi, walau dari Partai Koalisi Pilpres. Sekitar 40-45 persen komposisi Kabinet Kerja II berasal dari Koalisi Rekonsiliasi, sedangkan sisanya dari profesional. Penentuan siapa-siapa yang layak masuk dalam Kabinet Cerdas ini sudah atas konfirmasi Megawati. Namun, sebelum memutuskan, Jokowi diminta Megawati untuk membicarakan dengan Prabowo terlebih dahulu. Itulah hasil Koalisi Rekonsiliasi. Kabarnya, pertemuan Prabowo-Jokowi adalah forum bagi Jokowi meneruskan permintaan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono agar Megawati-Prabowo mau terima kader Demokrat duduk di kabinet meski hanya 1 orang. Dipastikan, Megawati-Budi Gunawan-PDIP menolak permintaan SBY tersebut. Sedangkan Prabowo cenderung mengulang kesalahan dengan memaafkan SBY, meski sudah beberapa kali dikhianatinya. Sehingga, mungkin masih ada kader Demokrat. Padahal, sebelumnya ada keputusan Koalisi Rekonsiliasi menempatkan Demokrat-Nasdem sebagai oposan pada rezim Jokowi Jilid II tentunya merupakan kiamat bagi SBY. Terlebih lagi, pasca segala upaya tekan Jokowi teken Perppu KPK kandas. Makanya, hingga Kamis, 17 Oktober 2019, batas akhir keputusan penandatanganan Perppu KPK, jika Presiden Jokowi tidak meneken Perppu KPK, maka Revisi UU KPK yang sudah diketok DPR RI sebulan lalu, akan tetap diberlakukan. High Politic Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rosyid menyebutkan, 99,99 persen Gerindra bergabung Istana. Tak ada lagi ruang untuk berpikir oposisi bagi Gerindra. Bicara Gerindra, maka tak ada ubahnya bicara Prabowo. Sebab, di tangan Prabowo semua keputusan Gerindra dibuat. Sama halnya dengan Demokrat, PDIP, dan NasDem. Otoritas partai mutlak di tangan ketua umumnya. Bagi para pendukung, ini sebagai bentuk penghianatan. Kenapa dianggap berhianat? Menurut Tony Rasyid, pertama, karena dari awal Prabowo berulangkali membuat pernyataan di depan pendukungnya point of no return. Intinya, akan terus membuat perlawanan terhadap Istana. Semula perlawanan massa. Lalu berubah jadi perlawanan hukum di MK. Kalah, kenapa terus bergabung? Kedua, para pendukung,termasuk barisan mantan jenderal, ulama dan emak-emak kompak menginginkan Prabowo membawa Gerindra sebagai oposisi. Wajar, kalah ya oposisi. Ini logika yang lebih waras. Harapan tinggal harapan. Tak digubris! Di sisi lain, bagi kader Gerindra, langkah Prabowo untuk gabung ke Istana dianggap sebagai strategi high politik, politik tingkat tinggi. Maksudnya? Jika masuknya Gerindra ke koalisi Jokowi itu dimaksudkan untuk memporak-porandakan kubu Jokowi, ini sudah berhasil. Terjadi dua faksi istana yang bersitegang, yaitu Teuku Umar dan Gondangdia. Group PDIP-Golkar-Gerindra vs NasDem dan sejumlah jenderal, termasuk Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, apa keuntungan Gerindra? “Tentu, kalau hanya dapat jatah tiga menteri itu bukan high politik. Itu politik ecek-ecek,” jelas Tony Rasyid dalam tulisannya yang tersebar di berbagai grup WA. Sehingga, terkadang tidak mudah untuk memahami manuver Prabowo. Dari beberapa pertemuan yang dilakukan Prabowo dengan pimpinan partai Koalisi Pilpres itu, yang menarik adalah pertemuan Prabowo-Paloh, Minggu (13/10/2019), malam yang menghasilkan tiga kesepakatan. Kesepakatan itu dibacakan Sekjen NasDem Johnny G Plate di hadapan Surya Paloh dan Prabowo serta wartawan, seusai pertemuan. Berikut tiga kesepakatan tersebut: Pertama, pemimpin partai politik sepakat untuk memperbaiki citra parpol dengan meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan lain. Dan menjadikan persatuan nasional sebagai orientasi perjuangan serta menjaga keutuhan bangsa. Kedua, pemimpin parpol sepakat untuk melakukan segala hal yang dianggap perlu untuk mencegah dan melawan segala tindakan radikalisme berdasar paham apapun yang dapat merongrong ideologi Pancasila dan konsensus dasar kebangsaan. Ketiga, pemimpin partai politik sepakat bahwa amandemen UUD 1945 sebaiknya bersifat menyeluruh, yang menyangkut kebutuhan tata kelola negara sehubungan dengan tantangan kekinian dan masa depan kehidupan bangsa yang lebih baik. Direktur The Global Future Institute Hendrajit menafsirkan poin kedua kesepakatan tersebut. Radikalisme ditujukan ke semua ideologi atau kelompok. Bukan spesifik ke Islam. “Seperti yang sering saya tulis selama ini, radikal itu peruncingan ideologis,” katanya. Bukan fundamentalisme ideologis. Sosialisme demokrasi kalau meruncing ke kanan, jadinya ya neoliberalisme. Kalau meruncing ke kiri, bisa jadi komunisme. Bahkan, nasionalisme pun kalau meruncing bisa jadi fasisme atau ultra nasionalis. “Mengenai poin ketiga, frase amandemen yang bersifat menyeluruh, saya menangkap kesan ini bisa kembali ke UUD 1945. Bukan sekadar mengamandemen beberapa pasal semata,” ujar Hendrajit. Artinya, Hendrajit melihat, ada indikasi ke arah tata ulang pengelolaan sistem kenegaraan. Istilah yang dipakai amandemen yang menyeluruh berarti secara teknis diarahkan kembali ke UUD 1945. “Jadi pahami dulu kerangka besar pandangan yang mendasari joint statement Prabowo-Paloh. Baru kita kritik atas dasar kerangka pemikiran itu,” tegas Hendrajit. Misalnya, kalau benar akan menuju amandemen menyeluruh atau kembali ke UUD 1945, bagaimana dengan masa jabatan presiden? Bagaimana menjabarkan pengertian “setelah itu dapat dipilih kembali”? Artinya kita mau opsi mana terkait masa jabatan presiden? Di Amerika Serikat cukup dua kali masa jabatan. Di Prancis satu kali jabatan, namun 7 tahun. Terus terkait pasal bahwa presiden dipilih melalui musyawarah untuk mufakat oleh MPR sebagai wujud kedaulatan rakyat yang tertinggi. Kira-kira bagaimana implementasinya. Menurut Hendrajit, justru pertemuan Prabowo-Paloh ini jauh lebih serius daripada selfa-selfi Jokowi-Prabowo di Istana beberapa hari lalu. “Pertemuan kedua tokoh ini justru pertemuan politis yang sesungguhnya. Dan substansial. Terlepas apapun hasilnya nanti,” tegasnya. Kalau memang benar Prabowo bergabung dengan Pemerintah, diharapkan nantinya bisa menjadikan Indonesia akan lebih baik. Indonesia Adil-Makmur! Namun, semua kembali pada niat Prabowo di dalam melakukan safari politiknya. Benarkah permainan tiki-takanya demi kebaikan bangsa dan negara di masa mendatang? Atau, hanya sekadar memenuhi hasratnya untuk ikut berkuasa, seperti yang kerap ditudingkan pihak-pihak yang berseberangan dengan Prabowo selama ini!

Pak Jokowi, Kenapa Pelantikan Dibuat Tegang?

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pak Jokowi, pelatikan presiden atau perdana menteri adalah saat-saat yang membahagiakan. Di mana pun di dunia ini. Seperti halnya pelantikan Panjenengan pada 2014 tempohari. Rakyat berbondong mengelu-elukan Anda. Berebut jabat tangan. Berlomba-lomba untuk selfi bersama Sampeyan. Semua orang ceria. Banyak tepuk gemuruh. Tapi, kali ini, kenapa suasananya akan berbeda? Kok dibuat tegang, Pak? Terasa seram sekali. Bakal ada pengerahan 27,000 personel keamanan. Tentara dan polisi dikerahkan untuk mengawal pelantikan Bapak. Hampir bisa dipastikan akan banyak “road block” dan kawat berduri di mana-mana. Kenapa, Pak Jokowi? What’s wrong, Sir? Bukankah pelantikan kedua ini momen yang luar biasa bagi Anda, Pak? Menang untuk periode kedua harusnya menandakan pengakuan rakyat terhadap kinerja Anda. Tapi, kok bukan itu yang akan terlihat. Kenapa ‘Njenengan malah membentengi diri di balik kawat berduri? Kenapa Anda harus dilantik di balik barikade barakuda? Di balik barisan keamanan bersenjata lengkap? Memangnya ada yang berani mengganggu Bapak? Siapa berani? Tak bakalan, Pak. Enggak mungkin! Rakyat oposisi takut semua sekarang. Takut dikatakan radikal atau teroris. Dan juga takut dikeroyok brutal. Takut dipentungi ‘gaspol’ dan ditendangi dengan sepatu laras. Terus, polisi mengatakan mereka tidak akan merespon pemberitahuan unjuk rasa (unras) oleh siapa pun. Intinya, tidak boleh ada demo. Mulai 15 Oktober sampai 20 Oktober 2019. Dengan alasan acara pelantikan panjenengan akan dihadiri para tamu VIP dari luar negeri. Karena ada tamu asing itu, perlulah ditunjukkan bahwa kita ini beradab dan santun. Ini yang dikatakan pejabat tinggi keamanan di Jakarta. Hanya saja, Pak, mengapa keberadaban dan kesantunan hanya diperlihatkan kepada para tamu asing saja? Kenapa begitu, Pak? Apakah di hadapan rakyat tidak perlu beradab? Tidak perlu santun? Maaf, Pak. Saya bertanya karena sewaktu berlangsung rangkaian unjuk rasa mahasiswa, pelajar dan komponen rakyat lainnya belum lama ini, tak terlihat aparat keamanan tampil beradab apalagi santun. Begitu, Pak Jokowi. Mungkin Panjenengan tahu juga ada korban yang pecah tempurung kepala. Ada yang wajahnya tak dikenali lagi. Bahkan ada yang langsung masuk surga, insya Allah. Jadi, sekali lagi saya bertanya, Pak Jokowi. Kenapa, pelantikan periode kedua ini terkesan sangar, Pak? Ada apa gerangan? Berbeda kontras dengan pelantikan 2014. Waktu itu, rakyat senang Anda menang. Sekarang, kok ada kesan rakyat tak tenang Anda menang. Mumpung masih ada waktu. Pak Jokowi bisa membuat pelantikan 20 Oktober nanti bersuasana rileks. InsyaAllah, bisa. Dibuat santai saja, Pak. Bukankah koalisi Bapak sekarang menjadi mayoritas besar dan solid? Tidak ada yang harus dicemaskan. Semuanya punya Sampeyan, Pak. Ketua MPR, orang Bapak. Ketua DPD, juga. Ketua DPR, apalagi. Seribu persen. Pak Probowo pun sudah all-out mendukung Panjenengan. Meskipun para pendukung beliau tak ikut. Artinya, yang tidak mendukung itu orang-orang lemah semua. Tak punya apa-apa. Jadi, sangat amanlah, Pak! Tak perlu baridake atau perintang jalan. Tak usah pakai kawat berduri. Karena kesannya mencekam. Terasa tegang, Pak. Ini hanya saran, Pak. Selebihnya terserah Panjenengan. [] 16 Oktober 2019

Prabowo Minta Jabatan?

Saya selalu melihat Pak Prabowo adalah orang yang tulus. Mencintai Indonesia lebih dari hidupnya. Pak Prabowo itu tidak pernah bisa melupakan kawan. Beliau juga bukan orang yang pendendam. Oleh Naniek S. Deyang Jakarta, FNN - Saya tahu persis Pak Prabowo itu orang yang malu bicara jabatan dan uang. Jadi ketika orang bilang Prabowo datang ke Istana, bertemu Bu Mega, bertemu Surya Paloh dan mungkin bertemu yang lain, saya yakin dia nggak minta jabatan. Bertahun-tahun, kalau saya bertemu Pak Prabowo, pasti yang dibicarakan adalah keutuhan bangsa. Kesedihannya atas nasib rakyat Indonesia, karena masih banyak yang miskin. Sumber daya alam yang tereksploitasi gila-gilaan, tetapi tidak dinikmati oleh rakyat. Pokoknya mau duduk sampai berapa jam pun dengan Pak Prabowo, yang diomongkan pasti seputar itu-itu juga. Bahkan suka sekali diulang -ulang lagi. Kalau sudah bicara tentang kesejahteraan rakyat, maka suaranya pasti bakal meninggi dan emosional. Saya bicara atau menulis ini tidak mewakili siapapun. Saya bukan orang Partai Gerindra. Saya juga tidak bekerja di perusahaan-perusahaan milik Pak Prabowo. Saya sangat mengagumi kecintaan Pak Prabowo yang luar biasa besar kepada Indonesia dan keutuhan NKRI. Namun demikian, dia juga memang bukan manusia yang sempurna. Ada juga sisi kelemahahan yang dimiliki oleh Pak Prabowo. Kelemahan itulah yang menjadi salah satu penyebab kekalahannya dalam beberapa kali pertarungan di Pilpres. Apa saja kelemahannya? Namun pada kesempatan ini, saya tidak tertarik untuk membahas sisi kelemahannya Pak Prabowo. Saya lebih tertarik membahas beberapa kelebihannya yang saya ketahui. Saya selalu melihat beliau adalah orang yang tulus. Mencintai Indonesia lebih dari hidupnya. Pak Prabowo itu tidak pernah melupakan kawan. Beliau juga bukan seorang yang pendendam. Jadi, meski Pak Prabowo keliling ke Surya Paloh, Bu Megawati, Ketua Umum PPP dan lain-lain, saya haqul yakin dia nggak akan pernah meninggalkan PAN dan PKS. Pak Prabowo itu punya hubungan perkawanan yang luar biasa istimewa dengan Ketua Dewan Syuro PKS, Ustazd Salim Segaf Al-Jufri. Demikian juga dengan Pak Amien Rais (pendiri PAN). Waktu Pak Amien diperiksa di Polda, dan lama tidak selesai-selesai, Pak Prabowo terlihat sangat pilu dan stress. Lalu semua orang -orang penting ditelepon, agar mengusahakan Pak Amien segera disudahi pemeriksaannya. Pak Amien sendiri kalau sama Pak Prabowo sadah seperti ke adiknya sendiri. Begitu juga hubungan Pak Prabowo dengan Pak SBY. Hormatnya sama Pak SBY minta ampun. Saat Pilpres lalu misalnya, setiap kali Pak SBY minta bertemu, maka Pak Prabowo memilih untuk mendatangi Pak SBY di rumanya. Padahal Pak Prabowo ketika itu adalah Capres. Meski dilarang banyak orang, Pak Prabowo nggak peduli. Pak Prabowo selalu bilang "Beliau Pak SBY itu mantan Presiden, dan senior saya. Biar saya saja yang mendatangi Pak SBY, "uajarnya. Lalu dengan ulama? Tidak bergeser sedikitpun sikap hormatnya. Pak Prabowo selalu hormat kepada ulama. Juga tidak pernah meninggalkan ulama. Makanya lihatlah sikapnya kepada Haeres, UAS, dan ulama lain. Apakah Pak Prabowo pernah menghujat ulama? Tidak kan? Ini hanya catatan pribadi saya, mau dibaca, ya monggo, nggak dibaca juga, ya silahkan saja. Nggak percaya juga nggak apa-apa. Bully saja terus Pak Prabowo. Soalnya kalau membully Pak Prabowo, pasti anda-anda juga nggak bakalan dilaporkan ke polisi. Jadi, bully saja sesuka hatinya teman-teman. Hitung-hitung buat pelampiasan, karena nggak bisa membully penguasa Penulis adalah Wartawan Senior

Pengorbanan Jari Kelingking Wiranto dan Jualan Narasi Radikalisme

Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Akhirnya publik mendapat petunjuk baru yang mencerahkan. Petunjuk itu berasal dari Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang baru saja menjenguk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Menurut Ical (sapaan akrab Aburizal Bakri) mengatakan bahwa jari kelingking Wiranto terluka karena menangkis serangan pelaku penusukan. Begitu ujar Aburizal seperti yang dikutip dari Antara, Minggu (13/10). Padahal, akibat luka jari kelingking Wiranto ini publik sejagat, jutaan rakyat Indonesia dibuat heboh, juga bingung. Pelaku awalnya diberitakan tukang mabok, tukang judi dingdong. Di pemberitaan yang lain dikabarkan taat ibadah, rajin sholat. Pelaku katanya terpapar ISIS, anggota JAD. Namun kemudian, muncul berita pelaku adalah korban penggusuran oleh Jokowi di Medan. Akibat luka jari kelingking Wiranto, Dandim Kendari dicopot dan istrinya dilaporkan polisi. Anggota TNI AU di Surabaya di sanksi. Muncul narasi bersihkan TNI dari radikalisme. Karena jari kelingking Wiranto, segenap elemen anak bangsa berubah menjadi sosok yang peduli pada kondisi negeri. Presiden langsung berdiri berpidato mengajak segenap elemen anak bangsa untuk menyatakan perang pada radikalisme, Menag, mengutuk radikalisme dan menekankan pentingnya reinterpretasi pemahaman agama. Ketua MPR mengutuk radikalisme, Prabowo mengutuk radikalisme, Megawati kirim karangan bunga untuk jari kelingking Wiranto, KSAD menjadi 'garang kepada dandim', penggerebekan dan penangkapan rakyat dilakukan oleh aparat di Bali, Bekasi dan Bandung. Bahkan, hingga Yakult selaku pimpinan Bani Majengjeng Hemereketehe ikut menebar fitnah dan tudingan berdalih narasi radikalisme. Padahal, untuk kasus Wamena itu yang luka bukan hanya jari kelingking. Bahkan, bukan hanya meninggal biasa, atau karena ditusuk kunai, tetapi meninggal karena dibakar hidup-hidup, ada yang mati setelah diperkosa. Mana suara Jokowi? Mana suara Menag? Mana suara ketua MPR yang kala itu juga ketua DPR? Mana karangan bunga Mega untuk korban Wamena? Mana suara Prabowo? Mana pidato KSAD yang tegas pada pelaku genosida Wamena ? Mana itu Yakult yang sok paling NKRI ? Terima kasih Bang Ical, terim kasih atas pencerahannya karena memberi kabar luka jari kelingking ini kami segenap rakyat Indonesia tak lagi khawatir tentang usus yang dipotong, darah mengucur 3,5 liter, dan yang lebih penting kami tidak perlu khawatir dan mengindahkan narasi radikalisme. Pengorbanan jari kelingking Wiranto ini layak untuk dikenang dan diapresiasi oleh segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kelak, jika Wiranto meninggal dunia di atas pusaranya perlu untuk dibangun 'Monumen Jari Kelingking', dalam bentuk patung jari kelingking berukuran besar. Di atas pusara Wiranto, ditulis pesan bagi segenap anak bangsa: " di sini telah ditanam jasad yang sangat berjasa mengorbankan jari kelingkingnya demi menjaga kedaulatan negara dari ancaman radikalisme." [].

Deklarasi Oposisi Rocky Gerung, Siapa Mau Bergabung?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Manuver dan pilihan politik Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo membuat Rocky Gerung “ingkar” janji. Tanpa menunggu pelantikan presiden, dia sudah mengumumkan sikapnya: Oposisi terhadap Prabowo! Rocky bahkan berjanji akan berkeliling Indonesia, mengajak para kampret (mantan pendukung Prabowo) bergabung bersamanya. “Benar. Deklarasi sebagai oposisi terhadap Prabowo terpaksa saya majukan,” ujar Rocky dalam tayangan perdana resonansi.tv ( berbasis youtube ) Selasa (15/10). Bagi yang tidak paham konteks dan sikap politiknya, keputusan Rocky ini agak membingungkan. Pada kampanye pilpres lalu Rocky berjanji. "Pak Prabowo akan saya kritik 12 menit setelah dia dilantik, catat jejak digital hari ini," kata Rocky di hadapan ribuan alumni perguruan tinggi pendukung Prabowo-Sandi di Gedung Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta Timur, Sabtu (26/1/2019). Apa lacur ternyata Prabowo kalah. Seharusnya tidak ada pelantikan. Seharusnya Prabowo tetap bersama kampret. Bersama Rocky menjadi oposisi. Mengkritik pemerintah. Bukan dikritik. Namun melihat manuvernya dalam beberapa hari terakhir, semakin meyakinkan publik, Prabowo tidak akan pernah menjadi oposisi. Tidak akan timbul tenggelam bersama rakyat, seperti yang dia janjikan. Safari politiknya menunjukkan dia telah menjadi bagian terpenting dari pemerintahan Jokowi. Menjadi aktor utama mewakili kepentingan Megawati dan Jokowi. Jumat (11/10) Prabowo bertemu dengan Jokowi di Istana. Saat itu dia mengaku memenuhi undangan Jokowi. Kepada media secara diplomatis Prabowo menyatakan siap membantu Jokowi bila dibutuhkan. Namun seandainya tidak berada di kabinet, Gerindra akan loyal sebagai penyeimbang. Bukan oposisi. Basi-basi politisi yang sudah basi! Setelah bertemu Jokowi, Ahad malam (13/10) Prabowo melanjutkan safari politiknya. Secara mengejutkan dia bertandang ke rumah Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Sebelumnya sulit membayangkan kedua figur ini bisa bertemu. Apalagi kemudian saling rangkul, peluk, tertawa bersama dan mengaku punya banyak kesamaan pandangan. Prabowo selama ini secara terbuka menyatakan ketidak-sukaannya terhadap Surya Paloh. Dia selalu menolak diwawancarai oleh Metro TV milik Surya. Prabowo menyebut Metro TV tidak punya akhlak dan pencetak kebohongan. Sebaliknya Metro TV juga selalu memberitakan Prabowo secara miring. Termasuk dalam editorialnya sebagai sikap resmi redaksi. Hubungan keduanya seperti anjing dan kucing. Seperti tokoh kartun legendaris Tom and Jerry. Tak pernah akur. “Permusuhan” keduanya terus berlanjut. Pada saat Prabowo bertemu Megawati dalam diplomasi nasi goreng, pada saat yang sama Surya menggelar pertemuan dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Setelah itu Surya maupun media miliknya Metro TV dan Media Indonesia mulai menyuarakan pentingnya oposisi. Surya juga mulai melakukan kritik dan bersuara miring terhadap beberapa kebijakan pemerintahan Jokowi. Pada pelantikan anggota DPR RI (2/10) terjadi drama politik yang cukup menarik. Mega tidak menyalami Surya. Padahal Surya sudah berdiri menyambutnya. Mustahil pertemuan Prabowo dengan Surya kali ini tanpa sepengetahuan dan restu Megawati. Mereka saat ini telah menjadi satu paket yang solid. Pemilihan ketua MPR adalah salah satu contohnya. Gerindra akhirnya sepakat mendukung Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR setelah Prabowo menemui Megawati. Padahal sebelumnya mereka ngotot mengajukan Ahmad Muzani. Sehari kemudian, Senin malam (14/10) Prabowo bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Setelah itu dia juga direncanakan akan bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Pertemuan Prabowo dengan para ketua umum partai pendukung Jokowi ini tentu saja sangat menarik dan menimbulkan tandatanya. Dalam kapasitas apa, dan apa pula kepentingannya? Prabowo tampaknya telah mendapat peran baru. Dia menjadi semacam mediator mempertemukan kepentingan Megawati sebagai pemegang saham mayoritas pemerintah, dengan para partner pemegang saham lainnya. Safari politik itu juga sekaligus menjadi semacam pemberitahuan resmi kepada partai-partai pendukung pemerintah. Bahwa saat ini dia yang mengendalikan permainan. Bila tidak mencapai titik temu, maka seperti dikatakan Rocky, bisa terjadi kampret mengusir cebong. Menjadi Perdana Menteri “Kelihatannya Prabowo akan menjadi semacam Perdana Menteri. Menjalankan peran yang selama ini dimainkan Luhut Panjaitan. Bahkan lebih besar,” ujar Rocky. Rocky mendapat informasi Prabowo akan menempati posisi sebagai Menkopolhukam, sesuai dengan latar belakang dan keahliannya. Bukan posisi Wantimpres seperti yang selama ini diduga. Dengan posisinya tersebut, Prabowo juga akan mengambil alih peran Wapres Ma’ruf Amin, termasuk dalam diplomasi internasional. Peran itu selama ini dijalankan oleh Wapres Jusuf Kalla dan tidak mungkin dimainkan Ma’ruf. Hanya saja dalam catatan Rocky kemungkinan besar Prabowo akan menghadapi persoalan, terutama catatan lamanya yang berhubungan dengan kasus HAM. Bila itu bisa diatasi, maka dia akan menjadi tokoh nomor dua di republik ini setelah Jokowi. Besarnya peran Prabowo itu tak lepas dari kepentingan politik Ketua Umum PDIP Megawati. “ Dia merasa lebih nyaman, dan sudah paham luar dalam soal Prabowo,” ujar Rocky. Megawati ingin mengamankan kepentingan politik dan keberlangsungan kekuasaannya pasca Jokowi. Prabowo merupakan sekutu politik yang paling tepat dibandingkan ketua umum partai lain, termasuk Surya. Pertemuan Prabowo dengan para ketum parpol menjadi semacam negosiasi, bagi-bagi kapling di kabinet. Pos-pos penting dan strategis secara politik dan menghasilkan uang dikuasai oleh Megawati dan Prabowo. Sementara pos-pos kabinet yang menghabiskan uang, silakan dibagi-bagi ke parpol lainnya. Baku atur, cincai di antara para oligarki. Tinggal rakyat bingung sendiri. Baik pemilih Jokowi, maupun Prabowo cuma bisa melongo. Akal sehat mereka tidak bisa mencerna. Mereka masih gontok-gontokan. Para politisi junjungan mereka rangkul-rangkulan, bagi kapling rezeki dan kekuasaan. Tak perlu ada oposisi, sehingga mereka bebas tanpa kontrol, melakukan apa saja. “Beli nomor 1, kok dapatnya nomor 2. Promo Berlaku Selama 5 Tahun.” Begitulah meme menggambarkan suasana hati rakyat. Getir dan bikin kita hanya bisa tersenyum kecut. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara! Tanpa representasi parpol sebagai oposisi di DPR, rakyat akan berhadapan langsung dengan pemerintah. Hanya dengan PKS sebagai oposisi, perannya tidak signifikan. “Bila situasi ekonomi dan politik memburuk, sulit terhindarkan munculnya DPR jalanan. Anak-anak STM bisa kuasai kabinet,” terang Rocky. Itulah pentingnya rakyat yang tetap berakal sehat bergabung. Menjadi kekuatan kontrol dan kritis terhadap pemerintah. Apakah Rocky Gerung bersedia menjadi pemimpinnya? End

Faizal Assegaf Layak Wakili Maluku & Reformis di Kabinet

Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Sudah 41 tahun lebih, tidak ada putra Maluku yang duduk di kabinet sebagai menteri di NKRI ini. Putra Maluku terakhir yang duduk di kabinet adalah Profesor Dokter Gerrit Augustinus Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan di tahun 1978. Kalau boleh bertanya, ‘apa salah dan dosa kami orang Maluku dan Maluku Utara kepada NKRI ini Pak Jokowi? By Kisman Latumakulita Tinggal enam hari lagi. Tepatnya hari Minggu depan, tanggal 20 Oktober, entah jam berapa, Pak Jokowi akan dilantik menjadi presiden Indoneia. Dan ini adalah periode kedua Pak Jokowi menjabat sebagai presiden. Baru Pak Jokowi lah yang menyamai rekor yang dicapai oleh Jendral Kehormatan TNI Purnawirawan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden Indonesia di era reformasi. Menjawab pertanyan wartawan di Istana Negara Jumat lalu 11 Oktober 20, Pak Jokowi memastikan bakal ada putra Papua yang duduk di kabinet. Pak Jokowi juga memastikan anggota kabinet bakal segera diumumkan setelah dilantik sebagai presiden. Bisa saja di hari yang sama. Namun bisa juga diumumkan pada hari-hari berikutnya. Soal pengumuman dan penyusunan anggota kabinet adalah kewenangan mutlak Pak Jokowi sebagai presiden. Khusus untuk kewenagan presiden yang satu ini, dipastikan hampir semua komponen bangsa sudah mengerti dan memahaminya. Semua dapat menerimanya sebagai hak presiden yang tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun . Istilah kerennya, disebut dengan “Hak Proregatif Presiden”. Menjadi hak mutlak Pak Jokowi juga untuk memastikan bakal ada wakil dari Papua di kabinet. Namun bagimana dengan wakil dari Maluku dan Maluku Utara. Sekedar mengingatkan saja, bahwa dua daerah ini menjadi pemegang saham pendiri republik ini Pak Jokowi. Dua daerah ini juga adalah satu diantara sepuluh provinsi yang mendirikan republik ini tahun 1945. Jong Ambon juga ikut menandatangani deklarasi “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Bersama-sama dengan Jong Java, Jong Sumatera, Jong Selebes, Jong Borneo, yang mendeklarasikan “Sumpah Pemuda” sebagai cikal-bakal kemerdekaan Negara Indonesia. Sedangkan Papua itu baru menjadi bagian dari Indonesia pada 58 tahun yang lalu Pak Jokowi Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Maluku dan Maluku Utara melalui Kesultanan Tidore juga menyumbangkan sepertiga wilayah kekuasaanya masuk ke dalam Indonesia. Jadi, sepertiga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekarang ini adalah kontribusi dari kami orang Maluku dan Maluku Utara, (ketika dulu masih menjadi satu provinsi). Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Tanpa harus menepuk dada bahwa kita bernegara dengan Pancasila dan UUD 1945 hari ini adalah karya putra Maluku Johanes Latuharharhary. Hampir saja kita menjadi Negara Indonesia khilafah sejak bedriri tahun 1945. Kalau saja anak Maluku J. Latuharhary dan A.A. Maramis tidak mengancam Bung Karno dan Bung Hatta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dicoret. Ancamannya adalah Maluku dan Minahasa akan berpisah dari Indonesia. Dua daerah ini mau merdeka mendirikan negara sendiri, jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak dicoret dari Dasar Negara Pancasila. Pertanyaannya, apakah Maluku dan Maluku Utara masih bagian dari NKRI Pak Jokowi? Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Selian sebagai pendiri bangsa ini, sejak awal tahun 1800-san Kapitan Pattimura sudah tampil memimpin perlawanan kepada penjajah. Begitu juga dengan Sultan Nuku dari Kesultanan Tidore. Sultan Nuku yang terkenal dengan sebutan “Jou Barakati”, dana nama remajanya adalah Muhammad Amiruddin tersebut, telah memimpin pertempuran melawan penjajah sejak masih remaja (sebagai Kapita). Salah satu alasan utama Bung Karno memasukan Papua menjadi bagian dari NKRI, karena Papua adalah wilayah kekuasaan Sultan Nuku. Cerita ini bisa dibaca di risalah sidang-sidang Badan Usaha Persiapan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Adalah Muhamad Yamin, salah satu anggota PPKI dan BPUPKI ketika itu yang paling ngotot memasukan Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Papua baru secara resmi menjadi dari NKRI 58 tahun yang lalu. Sedangkan Maluku dan Maluku Utara ikut mendirikan NKRI ini sebagai pemegang saham utama. Pemegang saham pendiri. Bahkan Pancasila yang hari ini kita pakai sebagai dasar Negara adalah hasil revisi dari putra Maluku Johannes Latharhary. Sebelumnya adalah Piagam Jakarta Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Sudah 41 tahun lebih, tidak ada putra Maluku yang duduk di kabinet sebagai menteri di NKRI ini. Putra Maluku terakhir yang duduk di kabinet adalah Profesor Dokter Gerrit Augustinus Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan di tahun 1978. Kalau boleh bertanya, ‘apa salah dan dosa kami orang Maluku dan Maluku Utara kepada NKRI ini Pak Jokowi? Bukan itu saja Pak Jokowi. Kabinet Kerja yang enam hari lagi akan berakhir ini, ada sedikitnya dua puluh lima menteri berasal dari suku Jawa. Tiga menteri lagi berasal dari suku Sunda. Tujuh orang menteri berasal Sumatera, termasuk Aceh. Dua orang menteri berasal dari suku Bugis-Makasar. Satu berasal dari suku Bali. Satu lagi berasal dari suku Papua. Pelaku Reformasi Jika Pak Jokowi berkenan meningikutkan putra Maluku sebagai anggota kabinet, maka menurut saya Faizal Assegaf lebih layak dan pantas. Faizal Assegaf, salah satu tokoh reformasi 1998 yang berasal dari Maluku. Tokoh reformasi asal Maluku lainnya adalah Wahab Talaohu dan Haris Rusly Moti Tidak ada putra Maluku yang lebih berkeringat di Gerakan Reformasi 1998, selain tiga orang ini. Mereka bertiga ketika itu tampil menjadi aktor utama yang berhadap-hadapan dengan moncong senjatanya Wiranto di semua sudut Jakarta dan Yogyakarta. Mereka bersama-sama dengan Adian Napitupulu, Mashinton Pasaribu, Fahri Hamzah, Rama Pratama, Andi Rahmat, Bernat dan lain-lain. Resikonya adalah ditangkap atau ditembak dengan laras senjata dari anak buahnya Wiranto ketika itu Berkali-kali Pak Jokowi mengatakan akan melibatkan anak-anak muda untuk duduk di kabinet sebagai menteri. Rencana tersebut merupakan kebijakan yang sangat tepat dan strategis. Bahkan bisa dibilang sangat keren dan berkelas. Karena perubahan peradaban di muka bumi ini tidak pernah dimpimpin oleh orang tua. Perubahan selalu saja dimotori oleh anak-anak muda sebagai aktor utama. Sampai di sudut itu, menurt hemat saya, Faizal Assegaf yang paling memenuhi syarat menjadi anggota kabinet Pak Jokowi untuk periode kedua. Selain dari kalangan muda, pelaku dan aktor utama gerakan reformasi 1998, Faizal Assegaf juga adalah putra Maluku, yang lahir di Negeri Geser, Kabupaten Seram Bagian Timur, dan besar di Namlea Pulau Buru. Pak Jokowi adalah presiden yang lahir sebagai buah dari Gerakan Reformasi 1998. Tokoh-tokoh lain dari Maluku dan Maluku Utara, tidak ada yang berkeringat di Gerakan Reformasi 1998. Malah, sebaliknya menentang Gerakan Reformasih 1998. Kebetulan saya menjadi saksi pelaku, maupun wartawan yang mencatat dan menyasiksikan peristiwa reformasi tersebut dari meni ke menit, jam ke jam dan hari ke hari. Pada rangkaian pilpres kemarin, Faizal Assegaf, bersama-sama dengan Lanyala Mahmud Mataliti, yang sekarang Ketua DPD RI ikut berkeringat memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin di daerah Jawa Timur sebagai tim pemenangan. Penulis adalah Wartawan Senior Asal Maluku & Maluku Utara

Jokowi di Negara Hukum Yang Compang-Camping

Tak terasa putaran waktu pelaksanaan Undang-Undang ITE telah membawa negara hukum mengingkari moralitasnya sendiri. Nurani dan moralitas negara hukum demokratis tersingkir jauh. Negara hukum demokratis menjadi sangat angkuh. Terlalu kuat membentengi jalan pulang ke moralitas intinya. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Pak Jokowi telah menulis jejak kepresidenannya dalam memimpin pelaksanaan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan. Sebentar lagi Pak Jokowi akan kembali menulis jejak baru dalam memimpin pelaksanaan Undang-Uundang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan. Pak Jokowi akan menulisnya disepanjang garis pemerintahannya lima tahun yang akan datang. Semua yang telah ditulisnya sepanjang hampir lima tahun ini tersaji begitu telanjang. Semuanya dapat dilihat, dan dinilai. Juga dapat diberi warna setegas dan sejelas mungkin. Bagaimana Pak Jokowi melihat dan menilai? Bila mungkin, semua pelaksanan hukum yang telah ditulisnya sendiri, itu satu perkara. Itu juga perkara Pak Jokowi sendiri. Pentingkah Pak Jokowi mengetahui, menilai dan menimbang semua yang telah ditulis itu? Mungkin ya. Apakah penilaian itu membawa dirinya menyangkal kenyataan yang menyajikan pada level yang cukup terang. Bahwa tampilan pelaksanaan hukum selama hampir satu periode sejauh ini cukup buruk? Pak Jokowi bisa menyanggahnya. Andai Pak Jokowi menyanggah kenyataan saat ini, Pak Jokowi berpapasan dalam penilaian yang berbeda begitu dalam, antara dirinya dengan rakyat. Jelas tidak memungkinkan keduanya bertemu pada titik yang sama. Pak Jokowi, tidak mungkin diminta mengambil langkah manis mengubah, atau mewarnai pelaksanaan hukum dimasa akan datang dengan menyisipkan moralitas ke sisi-sisi intinya. Berubah Total Pak Jokowi, entah mengeluh atau justru mengungkapkan fakta tak terbantahkan. Telah menyatakan dalam sebuah kesempatan belum lama ini, bahwa perusahaan-perusahaan yang keluar dari Cina, tidak masuk ke Indonesia. Mereka pergi ke negara lain, sepperti Vietnam, Malaysia dan lainnya. Pada negeri-negeri itulah mereka menaruh uangnya. Sayangnya, Indonesia tak dilirik oleh mereka. Padahal Indonesia sekarang ini, dengan Pak Jokowi sebagai pemimpinnya, sangat membutuhkan uang. Apakah Indonesia sedang menerima atau sedang dihukum oleh kapitalis-kapitalis rakus tersebut? Sebagi akibat dari ketidakonsistenan menerapkan hukum di bidang investasi? Apakah ketidakkonsistenan itu menghasilkan birokrasi korup. Boleh jadi iya. Kapitalis disepanjang garis politik hukum barat, memang tak mengenal rugi. Mereka hanya dan harus terus untung. Untuk urusan untung, kelompok penghisap paling mematikan ini memang selalu begitu. Mereka meminta dengan cara yang khas kepada semua pemerintah untuk menciptakan birokrasi yang menguntungkan mereka. Titik. Begitulah kelakuakan mereka di semua negara. Bila keinginannya tidak dipenuhi, mereka bakal menghukum dengan cara yang selalu tipikal. Tetapi menariknya, negara-negara yang sedang melarat selalu didapati meratapi kepergian mereka. Kelompok ini, tidak bisa diharapkan bicara tentang hal-ihwal kemanusiaan. Mereka juga tidak bisa diharapkan bicara hukum yang tak pilih kasih. Itu tidak bisa. Tidak usah menggelengkan kepala, karena kelompok ini tidak bakal terusik pemilu yang acak kadul. Juga tak usah meminta mereka bicara kematian ratusan petugas PPS pada pemilu yang menghasilkan Pak Jokowi sebagai presiden terpilih. Mustahil meminta kelompok ini mendesak Pak Jokowi mengusut tuntas peristiwa memilukan itu. Jangan bermimpi mereka menantikan peradilan atas kasus-kasus itu. Sudahlah, itu lain perkara. Perkara menjijikan dalam konteks negara hukum demokratis adalah orang gila. Orang yang tiba-tiba muncul dan berulah ditengah musim pemilu. Jijik karena, entah bagaimana, mereka tahu orang hendak ke masjid, menyerang dalam kadar sebagai orang gila. Orang gila tak bisa dihukum, tentu saja. Jadilah seperti cerita fiksi politik dan hukum gila-gilaan. Berlalu, hilang begitu saja. Kenyataan ini muncul di tengah semua orang memimpikan negara ini harus memperbaiki moralitas berhukum. Impian itu seharusnya membawa negara semakin muncul dengan jaminan berkelas untuk rakyat memperoleh rasa aman. Sial, entah bagaimana, malah tercipta lagi fenomena lain. Negara menjadi begitu sangat terampil dan energik melaksanaan hukum dalam Undang-Undang ITE. Padahal Undang-Undang ini cukup menyengsarakan. Betul jangan main fitnah. Sebab fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah itu juga pekerjaan orang-orang yang mati hatinya. Tak terasa putaran waktu pelaksanaan Undang-Undang ITE telah membawa negara hukum mengingkari moralitasnya sendiri. Nurani dan moralitas negara hukum demokratis tersingkir jauh. Negara hukum demokratis menjadi sangat angkuh. Terlalu kuat membentengi jalan pulang ke moralitas intinya. Politik terus berproses dalam negara hukum demokratis. Dalam tampilan empiris yang berubah, dan beralih menjadi negara hukum tak lagi demokratis. Setidaknya menjadi compang-camping. Terminologi penghinaan juga menjadi begitu jamak. Pernyataan tidak simpati terhadap satu peristiwa, apalagi ada korbannya, bisa bermakna “fitnah.” Setelah difitnah, lalu datanglah derita untuknya. Akan diterkam dalam Undang-Undang ITE. Membuat dan menyebarkan sebuah vidio berisi peristiwa yang belum terang hukumnya, bisa juga menghasilkan derita. Didatangi oleh kekuasaan yang namanya Undang-Undang ITE. Tampilan empiris negara hukum semakin terasa tak demokratis. Mengkristal dengan laju yang tidak biasanya. Demonstran terlihat menjadi musuh hukum. Boleh jadi paling berbahaya. Demonstran main keras, hukum main keras. Demonstran mesti luka-luka dan maaf, mati. Itu yang terjadi pada demo tolak hasil pemilu Mei lalu dan demo tolak RUU KPK akhir September kemarin. Sangat Susah Konstitusi tidak berubah. Itu sudah jelas. Tetapi meja politik sedang berubah drastis. DPR tak lagi terbelah. PAN dan PKS, dua partai ini jelas tidak bakal bisa mengubahnya. Pengambilan posisi sebagai oposisi, tidak bakal membawa mereka menjadi penantang. PAN dan PKS, saya cukup percaya, tidak bakal bisa menggoda kawan sebelah untuk main keras secara konstitusi mengubah hukum yang tak demokratis menjadi demokratis. Itu sangat tidak mungkin bisa terjadi. Rintangan politik yangbukan hukum, melampaui modal yang mereka punyai. Berat meminta negara hukum tak demokratis berubah menjadi negara hukum demokratis lima tahun akan datang. Unifikasi di tubuh DPR, tak memungkinkannya. DPR suka atau tidak, juga telah terunifikasi dengan pemerintah. Pengawasan mau disuarakan dari jalan? Negara hukum demokratis sekalipun selalu kaya menyediakan dalam gudang tersembunyinya begitu banyak cara menjinakan. Untuk front negara hukum modern – negara kesejahteraan- yang juga digariskan dalam UUD 9145, rakyat baru saja dikagetkan dengan Inpres kenaikan iuran BPJS. Tidak bisa berkelit. Ada sanksi menyertainya. Peserta BPJS tidak bisa apa-apa. Harus tunduk. Nantinya kalaupun tarif dasar listrik meminta untuk disesuaikan, rakyat pun hanya bisa menggerutu. Tetapi harus capat-cepat berhenti menggerutu. Apalagi menuangkan gerutuannya ke medsos. Ingat, ada monster yang setiap saat bisa dipakai pemerintah untuk mengejar mereka yang bergerutu di medsos. Monster itu bernama Undang-Undang ITE. Atas nama negara hukum dimasa depan, hukum akan ditempatkan pada rangking teratas di meja kebijakan pengelolaan semua soal negara ini. Negara bisa saja selalu benar. Rakyat benar? Nanti dulu. Bisakah negara dengan hukum seperti itu berpacu dalam percaturan beradab dan bermartabat memanusiakan rakyat? Itu soal yang paling rumit. Negara hukum tak demokratis bisa lebih angkuh memproduksi diskriminasi. Membebek pada pluralisme dan toleransi konyol khas Amerika. Lalu apa? Seperti Amerika dan Barat di sepanjang front kampanye pluralisme dan toleransi. Langit dan cuaca sosial politik lima tahun mendatang mungkin didominasi saja oleh streotipe-streotipe yang busuk. Streotipe-satreotipe tersebut bisa berupa anti pluralism, intoleran, radikal dan sejenisnya. Gerak kompleks politik dan ekonomi, seperti dituliskan dalam sejarah negara ini di tahun 1966, tentu di tengah kerumitan. Akan membawa negara hukum semakin tak demokratis. Semakin compang-camping. Hukum pada saatnya nanti tampil dengan moralitas rendahan. Keadilan menjadi sangat khas. Seperti barang bagus yang susah untuk didapat rakyat. Tragisnya, kondisi ini menjadi hal yang biasa-biasa saja. Tersaji sebagai takdir politik yang tak dapat dielakan. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate