POLITIK

DPR Tak Bisa Diharapkan, Berarti Rakyat Langsung Ambil Alih?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kecurangan pilpres berjalan sepurna, DPR diam. KPK dimandulkan, DPR malah setuju. Iuran BPJS dinaikkan, DPR diam juga. Malahan MA yang membatalkan. Sekarang dinaikkan lagi melawan pembatalan MA, DPR lagi-lagi tak perduli. Perppu Corona yang membuka peluang korupsi, disahkan oleh DPR. Hanya PKS yang menolak. Kemudian, UU Minerba yang diduga hanya akan menguntungkan para pengusaha tambang besar, disahkan oleh DPR. Tidak lagi istilah isi perut bumi untuk kemakmuran rakyat. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (OLCLK) yang, menurut para pakar hukum dan pemerhati bisnis, hanya akan menguntungkan para pemodal tampaknya juga akan disetujui oleh DPR. OLCLK ditentang oleh serikat-serikat pekerja. Semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, khususnya bumi NKRI, paham bahwa DPR itu dibentuk dengan tujuan untuk mewakili rakyat dalam mengawasi pemerintahan. DPR seharusnya berfungsi membela kepentingan rakyat. Seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat. Namanya pun Dewan Perwakilan Rakyat. Nah, mengapa sekarang DPR malah menjadi stempel penguasa? Mengapa semua yang diinginkan Presiden dan para menterinya langsung diiyakan oleh DPR? Apa gerangan yang membuat para anggota Dewan bisa didikte oleh pemerintah? Banyak sekali pertanyaan yang menunggu. Tetapi, tanpa tulisan ini pun, sebetulnya rakyat sudah hilang kepercayaan terhadap DPR. Bahayanya, kalau kepercayaan sebagai wakil untuk mengawasi jalannya pemerintahan telah sirna, dikhawatirkan rakyat akan mencari cara lain untuk menjalankan fungsi itu. Fungsi pengawasan langsung. Kalau rakyat langsung turun tangan, pasti semua pihak akan repot. Mislanya, di mana mereka akan bersidang? Terpaksa di jalanan, bukan? Karena mereka tak punya gedung. Dan tak cukup juga untuk ditampung di gedung. Maklum, ‘parlemen jalanan’. Para ‘anggota’-nya bisa 10 ribu, 100 ribu, atau bahkan sejuta orang. Kalau mereka bersidang di jalanan, berarti suasananya bisa riuh. Tidak ada pimpinan yang definitf. Tidak ada mikrofon yang tertata rapi. Semua orang bisa melakukan interupsi, dsb. Yang gawatnya, parlemen jalanan itu semuanya ingin cepat-cepat. Cepat diputuskan, cepat dieksekusi. Kalau ada rintangan cepat disingkirkan. Dengan cara jalanan juga. Sebab, mereka mungkin kena terik panas. Tak dapat makan dan minum. Berkeringat-keringat. Jalan kaki ke mana-mana. Dan lain-lain. Jadi, mereka ingin semuanya kontan. Karena itu, DPR sebaiknya tidak ‘mengembalikan’ fungsi pengawasan itu kepada rakyat. Bisa sangat memalukan semua pihak. Terutama Pak Presiden. Kalimat aktifnya: memalukan bagi Pak Presiden. Kalimat pasifnya: Presiden dipermalukan. Aktif atau pasif, sama-sama tak bagus. Pastilah Pak Presiden tidak mau dipermalukan. Iya ‘kan? Tapi, susah juga. DPR sendiri tak serius. Terkesan mempermainkan mandat rakyat. Mungkin mereka lebih nyaman membiarkan para penguasa sekehendak hati. Mungkin saja DPR pun sama seperti kita-kita ini. Tak berdaya mau melawan oligarki. Cuma, bedanya: kita tak berdaya karena memang tak punya otoritas. Sedang DPR tak berdaya karena otoritasnya hilang. Tercecer sewaktu jumpa dengan para oligarki itu.[] 15 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

Bunuh Diri Massal Anggota DPR RI

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - DPR RI baru saja mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020. Di media sosial (Medsos) bergema tagar #dprbunuhdiri, #dprkartumati, #dprbudakistana. Seruan netizen itu tidak salah. Dengan mengesahkan Perppu Covid —begitu media menyebutnya— DPR mengamputasi dirinya sendiri secara sukarela. Tiga fungsi utama DPR sebagai lembaga negara dibabat habis. Fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan. Secara formal DPR tetap ada. Tapi tanpa tiga fungsi tersebut, secara kelembagaan DPR sesungguhnya antara ada dan tiada. Sepertinya hidup, tapi sesungguhnya sudah mati. Mereka melakukan harakiri. Bunuh diri dengan sukarela dan gembira ria. Langkah distruktif DPR tidak hanya sampai disitu. Mereka juga mengesahkan dan memberi legitimasi langkah pemerintah menabrak berbagai peraturan, terutama yang sangat fundamental, melanggar konstitusi negara. Fungsi berbagai lembaga negara lainnya ikut diamputasi. Fungsi pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), fungsi lembaga penegak hukum, dan kekuasaan kehakiman yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) juga ikut dipangkas. Melalui pengesahan Perppu Covid, bencana kesehatan Corona diubah menjadi berkah bagi pemerintahan Jokowi. Para pejabat negara, bebas menentukan anggaran dan menggunakannya sesuka hati, tanpa persetujuan dan pengawasan. Mereka juga tidak perlu khawatir terhadap konskuensi hukum secara pidana, perdata, maupun tata negara. Semua bebas merdeka! Tidak berlebihan bila ada penilaian, pengesahan itu juga menunjukkan fungsi DPR sebagai budak kekuasaan. #budakistana. Sebuah stigma yang jauh lebih keras ketimbang anggapan yang selama ini berkembang, DPR tak lebih hanya stempel penguasa. Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli sampai kehabisan kata. “Mohon maaf teman-teman DPR, Anda memalukan!” ujarnya menahan geram. Langkah DPR ini sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Sudah bisa diduga. Konstelasi politik pasca pemilu dan pilpres membuat pemerintahan Jokowi sangat perkasa. Tanpa kontrol. Baik partai pendukung, maupun lawan politik dalam pilpres berbondong-bondong masuk dalam kubu pemerintah. Tidak perlu kaget bila kemudian dari 9 fraksi DPR, hanya PKS yang konsisten menolak Perppu. Fraksi Demokrat yang tidak ikut kebagian kursi di pemerintahan, secara mengherankan juga ikut-ikutan mendukung. Tampaknya mereka tersandera masa lalu, ketika masih menjadi penguasa. Melampaui UUD 45 Ada beberapa UU yang ditabrak oleh Perppu yang sudah disahkan tersebut. Dalam pasal 23 UUD ayat 1, 2 dan 3 dinyatakan APBN dibahas setiap tahun dan harus mendapat persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Apabila tidak disetujui maka Presiden menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Dengan UU Covid (Pasal 12 ayat 2) APBN cukup diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Pemerintah juga sudah langsung menyusunnya selama 3 tahun ke depan. Hal itu juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 dan 3 UU No 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara. Selain mereduksi kewenangan DPR, UU Covid berpotensi melanggar konstitusi terkait pengawasan dan imunitas pengambil kebijakan. Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Dengan pasal tersebut fungsi dan peran BPK sebagai badan pengawas keuangan negara ditiadakan. Pada Pasal 27 ayat 2, mengatur anggota KSSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 27 ayat 3 juga menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal ini bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum. UUD 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. Pasal 1 ayat 3 UUD dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D. Bisa dibayangkan betapa luar biasanya kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah dengan pengesahan UU Covid. Mereka bebas mengatur keuangan negara tanpa kontrol lembaga lain seperti DPR dan BPK. Mereka juga tidak akan terjamah oleh hukum, karena diberi kewenangan UU mengesampingkan peran lembaga kekuasaan lembaga penegak hukum dan kekuasaan kehakiman. Bila UU Covid diundangkan dan dibiarkan tanpa perlawanan publik, yang terjadi bukan hanya anggota DPR bunuh diri massal. Eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi juga terancam mati. End Penulis Wartawan Senior

Luhut Memang Hebat, Megawati dan PDIP Tak Berkutik

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) boleh-boleh saja tak disukai banyak orang. Tapi, harus diakui beliau adalah politisi yang hebat. Dengan halus dan tak terasa, Pak Luhut membuat Banteng PDIP tak bisa berbuat apa-apa. Tak berkutik. Sekarang, nyaris tidak ada lagi pengaruh partai terbesar di koalisi Indonesia Kerja itu terhadap Presiden Jokowi. Jokowi boleh dikatakan sudah lepas sepenuhnya ke pangkuan LBP setelah berlangsung tarik-menarik selama 2-3 tahun ini. Itulah kehebatan Pak Luhut. Dalam istilah bisnis, Pak Luhut kini menjadi ‘share holder’ (pemegang saham) tunggal atas Jokowi. Pak Luhut memang lihai. Piawai berpolitik. Ketika Jokowi memerlukan kendaraan untuk pilpres 2019, Luhut membiarkan Jokowi berinteraksi intensif dengan PDIP, khususnya dengan Bu Ketum Megawati Soekarnoputri. Luhut mengkondisikan seolah-olah hubungan Jokowi-Mega akrab apa adanya. Ini membuat Bu Mega merasa yakin bahwa Jokowi masih ada dalam genggamannya. Jokowi pun sangat ‘pintar’ bermain. Selama proses prakampanye dan masa kampanye pilpres 2019, Jokowi menunjukkan dirinya adalah ‘orang PDIP asli’. Semua arahan Bu Mega dia ikuti. Ketika terjadi sengketa hasil pilpres, Jokowi sangat memerlukan Bu Mega. Sampai akhirnya Jokowi menang di MK. Perananan politik Bu Mega dan PDIP sangat besar dan sentral. Harus diakui pula bahwa Jokowi berhasil memainkan drama yang membuat Bu Mega dan PDIP terpukau. Akting Jokowi sempurna sekali. Ketika Jokowi memerlukan legitimasi dari Prabowo Subianto (PS), peranan Bu Mega sangat krusial. Prabowo selalu menolak ketika Luhut mencoba merangkulnya. Tapi, ketika Bu Mega yang membujuk, Prabowo langsung mengekor. Itulah kehebatan Bu Mega. PS bersedia berdamai. Bahkan bersedia menjadi bawahan Jokowi. Luhut tidak akan mampu menaklukkan PS sebagaimana Bu Mega bisa melakukan itu tanpa hura-hura. Ini kehebatan Bu Ketum. Jadi, kedua politisi ini sama-sama hebat. Tetapi, semua kehebatan politik pilpres 2019 ternyata ada di tangan Pak Luhut. Bukan di tangan Bu Mega. Begitu Jokowi dilantik, mulailah berjalan strategi LBP. Perlahan tapi pasti, Jokowi menunjukkan bahwa dia tidak lagi memerlukan Bu Mega. Hajat Jokowi sudah tercapai. Jabatan presiden sudah di tangan, dan Prabowo sudah dijinakkan oleh Bu Mega. Jalan Jokowi menjadi lempang dan mulus. Hari ini, PDIP berteriak-teriak bagai orang protes. Mereka dongkol terhadap Jokowi yang terlalu besar memberikan kekuasaan kepada Pak Luhut. Kebetulan, ada isu yang bisa mereka mainkan. Yaitu, Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang penanganan Covid-19 dengan segala akibat ekonomi dan keuangan yang bakal muncul. Orang menyebutnya Perppu Corona. Dua politisi ‘outspoken’ di PDIP, Masinton Pasaribu dan Arteria Dahlan, menyerang Perppu Corona. Mereka mengutuk keras Perppu itu. Kata Masinton, Perppu ini bulat untuk kepentingan oligarki –sekelompok kecil orang yang berkuasa. Arteria mengatakan, Perppiu itu menunjukkan ada ‘penguasa baru di atas presiden’. Ada semacam ‘presiden di atas presiden’. Pak Luhut dan Jokowi tak menghiraukan teriakan keras PDIP itu. Tentu saja LBP punya kalkulasi politik yang cermat. Beliau tidak sembarangan. Pak Luhut tahu persis bagaimana cara mendiamkan PDIP. Dia sudah siapkan langkah-langkah yang terukur untuk membuat Bu Mega dan PDIP tak berkutik. Jokowi juga ada pada posisi ‘nothing to lose’ --posisi tanpa beban. Dia tak perlu lagi memikirkan dukungan PDIP. Toh, Jokowi tidak bisa mencalonkan diri lagi menjadi presiden pada 2024. Seandainya pun Banteng keluar dari koalisi Indonesia Kerja, tidak masalah bagi pemerintahan Jokowi. Koalisi Jokowi-Luhut tidak akan goyang. Jokowi tak perlu mengkhawatirkan dukungan politik di parlemen selama 4 tahun ke depan. PDIP tak mungkin melakukan manuver untuk menggoyang Jokowi sebelum selesai periode kedua. Bu Mega tak akan berani. Besar risikonya. Pertama, manuver untuk menggoyang Jokowi belum tentu didukung oleh kekuatan-kekuatan politik lain. Bisa-bisa PDIP akan dipermalukan. Sendirian menggoyang Jokowi. Dan itu ‘mustahil’ bisa tembus. Tidak ada jaminan partai-partai lain mau ikut. Sebab, sejarah mencatat hampir semua parpol hanya memikirkan diri dan misinya sendiri. Kedua, kalau PDIP dan Bu Mega nekat menggoyang Jokowi, mereka akan dianggap merongrong demokrasi. PDIP akan dilihat sebagai musuh demokrasi. Bisa menjadi catatan buruk. Ketiga, kalau PDIP dan Bu Mega mencoba melengserkan Jokowi, mereka akan dikutuk sebagai partai yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini tak mungkin dilakukan PDIP. Mereka adalah partai besar yang harus memberikan keteladanan berpolitik. Jadi, Luhut dan Jokowi paham betul ketidakberdayaan PDIP saat ini. Itulah sebabnya, Jokowi ‘cuek’ saja mengambil kebijakan yang tak menyenangkan Bu Mega dan PDIP. Duet Jokowi-Luhut tahu persis bahwa Bu Mega tidak akan bisa berbuat apa-apa. Karena itu, harus diakui kehebatan strategi Pak Luhut dalam mengawal dan mengarahkan Pak Jokowi. Bu Mega dan PDIP bisa digiring ke posisi ‘gigit jari’ sambil dongkol tetapi dipaksa untuk tetap mendukung Jokowi.[] 6 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

Jika Kritik Dipidana, Demokrasi Akan Tumbang

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (04/05). Diantara ciri negara demokrasi itu adalah adanya kebebasan berpendapat. Tanpa kebebasan berpendapat, negara tak lagi layak disebut sebagai penganut demokrasi. Entah apalah namanya. Yang pasti bukan negara demokrasi. Bukan kebebasan tanpa batas. Ada undang-undang sebagai dasar aturan. Siapa yang buat undang-undang? Tentu saja anggota DPR yang terhormat. Soal ini, di buku SD sudah dipelajari. Hanya saja, anak-anak SD nggak pernah tahu kelau "banyak oknum" anggota DPR suka terima order ketika lagi buat undang-undang. Dari mana? Banyak pengusaha berseliweran di sana. Anak SD belum sampai kesitu otaknya. Yang mereka tahu semua anggota DPR adalah orang-orang terhormat. Baru sadar ketika anak-anak SD itu sudah berada di kampus. Kuliah maksudnya. Tapi, ketika sudah jadi mahasiswa, mereka harus berhadapan dengan rektor. Saat ini, rektor sudah "semacam" jadi titipan dan tangan panjang pemerintah. Kampus juga sepertinya palan tapi pasti sudah memastikan posisinya menjadi Kantong Cabang Pemerintah. Ini karena para rektor dipilih oleh menteri. Dan menteri adalah pembantu presiden. Berani macam-macam, rektor bisa ambil tindakan terhadap mahasiswa. Bisa keluarkan dari kampus. Demokrasi di kampus juga akhirnya terkubur. Sejauh menteri pilih rektor, rektor pilih dekan, dan dekan bersama rektor awasi mahasiswa, maka demokrasi out dari kampus. Yang tersisa tinggal pers. Tapi, media milik para pengusaha. Soal pajak, banyak juga yang bermasalah. Berani macam-macam kepada pemerintah, pasal tentang manipulasi dan tunggakan pajak bisa jadi malapetaka. Nurut pasti lebih selamat. Sekarang tampil rakyat yang tanpa identitas. Mereka lebih berani melakukan kritik. Tapi ingat, ada banyak pasal yang juga mengintai mereka. Kepeleset dikit saja, anda akan bernasib seperti Jonru dan Ahmad Dani cs. Bisa masuk sel. Makanya Jangan ceroboh! Tidak mudah hidup dalam situasi dimana demokrasi sedang banyak masalah. Silahkan kritik, tapi harus waspada. Anda pasti paham maksud saya? Jangan asal menyerang tanpa menghitung pertahanan. Jangan pakai emosi, tapi gunakan akal sehat. Dan tetap mengutamakan obyektifitas. Lihat saja kasus Said Didu. Minta maaf, atau proses hukum? Said Didu yang berdah Bugis-Maksar ini pilih menghadapi proses hukum. Wajah tegak berdiri karena merasa benar. Gentel sekali Said Didu! Hukum harus ditegakkan. Sepakat itu. Tetapi, jangan sampai atas nama penegakan hukum, martabat dan keadilan diabaikan. Atas nama hukum atau kekuasaan? Tanya saja publik. Soal martabat? Itu harus. Seorang pejabat, tidak boleh tidak bermartabat. Diantara ciri pejabat yang bermartabat adalah tahan banting terhadap kritik. Anies Baswedan adalah contoh pejabat bermartabat itu. Kritik, fitnah, bullyan dan caci maki, semua dilewati Anies dengan senyum. Semua itu diterima Anies sebagai vitamin yang menyegarkan imun tubuh. Anies menghadipinya dengan terus bekerja dan menatap masa depan. Jika di otak seorang pemimpin berisi tentang nasib rakyat, maka dipastikan tak ada tempat yang tersisa di kepala untuk mengurusi cacian dan hinaan terhadap dirinya. Begitu kata pepatah. “Saya tidak khawatir dibully, dikritik, diftinah dan dicaci maki. Medsos itu umurnya pendek. Hari ini dicaci, besok sudah berganti lagi. Tapi saya takut kalau berbuat salah, karena akan dicatat oleh sejarah dan dibaca oleh generasi bangsa. Begitu kata Anies”. Sebagai pejabat publik, bersiaplah-siaplah anda untuk setiap saat dikritik. Bahkan siap pula untuk difitnah dan dicaci-maki. Fitnah tak akan menjatuhkan anda jika anda punya data untuk klarifikasi. Beres itu. Publik akan menaruh simpati dan mengapresiasi anda. Reaksi berlebihan terhadap kritik hanya akan menghancurkan martabat anda sebagai seorang pejabat. Anda kehilangan martabat bukan karena kritik dan fitnah. Tapi anda akan kehilangan martabat jika anda berlebihan merespon kritik dan fitnah itu. Sekali anda laporkan pengkritik itu, rakyat akan berada di belakang dan membela sang pengkritik. Saat itulah anda akan kehilangan martabat dan simpati dari rakyat. Ketika Walikota Surabaya, Risma melalui Biro Hukumnya melaporkan seorang ibu dari Bogor yang "diduga" menghinanya, saat itu pula nama Risma tenggelam. Rakyat yang balik menghukumnya. Begitulah kalau pejabat yang resiten terhadap kritik dan hinaan. Nama yang baik dan harum saja bisa hancur jika anda rapuh terhadap kritik. Apalagi mereka yang dikenal tak punya nama baik di mata rakyat. Pasti akan makin berantakan. Saya tidak kasihan sama Said Didu. Mantan sekmen BUMN ini. Ia sadar risiko perkataan dan sikapnya. Apalagi rakyat memberinya dukungan. Jalani saja... Rasa kasihan justru layak ditujukan kepada pihak pelapor. Di mata publik, pasti martabatnya sebagai pejabat akan dipertaruhkan. Lebih kasihan lagi jika pelapor pun tak peduli soal martabat itu. Ada cara yang lebih bijak dan bermartabat. Pertama, klarifikasi. Kalau anda punya data, cukup klarifikasi. Clear. Masalah selesai, dan anda bisa tersenyum karena dapat simpati. Dan ini yang terus berulang dilakukan Anies Baswedan. Hasilnya, Anies dibanjiri simpati. Kepada para pejabat, belajarlah menghadapi kriti, fitnah, bullyan dan caci-maki kepada Anies jika ingin punya karir yang lebih baik ke depan. Jika ingin bermartabat dan harum di mata rakyat. Bagi seorang pejabat, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan dalam bersikap. Kedua, memaafkan. Ini cara yang paling diapresiasi oleh publik. Siapapun senang melihat seorang tokoh punya kematangan seperti ini. Lapang dada untuk setiap kritik terhadapnya. Itulah ciri dari pejabat yang bermartabat, berkelas, bernilai dan mengagumkan. Jangan hanya karena ada undang-undang, kita bisa tuntut "siapa saja yang lemah" tanpa memikirkan bagaimana nasib demokrasi di negeri ini. Kalau semua pejabat terlalu tipis telinga, maka satu persatu orang-orang yang kritis akan tumbang. Rakyat tidak hanya takut, tapi akan kehilangan simpati dan kepercayaan. Saat itu, demokrasi mati dan negara akan semakin rapuh. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Bahaya, Ada Misi Orde Lama di RUU Ideologi Pancasila

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (03/05). Tidak lama lagi akan ada pembahasan di DPR RI mengenai draft Rncanagan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila. Disebut saja RUU HIP. Tentu saja bukan HIV sebagai virus yang juga berbahaya itu. Meski demikian, nampaknya ada virus juga yang berusaha masuk ke dalam dan menentukan RUU GIP, yaitu Virus Orde Lama (Orla). Ada misi dan narasi yang memang nyata-nyata mau diseludupkan ke dalam draft RUU HIP tersebut. Untuk itu, RUU HIP ini merlu mendapat perhatian, kewaspadaan pengawalan ketat dari seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Jangan sampai Pancasila justru diperalat dan dijadikan tunggangan untuk ideologi lain, termasuk ideologi Sosialis dan Komunis. Pertama, janggal karena dalam draft RUU HIP yang memfokuskan pada ideologi Pancasila. Namun di dalam konsiderans RUU HIP ini, sama sekali tidak memasukkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Organisasi Terlarang, dan Larangan Menyebarkan dan Mengembangkan Faham Komunisme, Marxisme-Leninisme. Ini berbahaya. Persoalan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 menjadi penting bagi semua anak bangsa. Tidak bisa dihapus atau ditiadakan begitu saja. Upaya penghapusan atau meniadakan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dari konsiderans draft RUU HIP justru menimbulkan kecurigaan. Patut diduga, akan misi-misi khsus yang mau diperjuangkan secara terselubung. Kedua, dubious kata "gotong royong" dalam makna kebersamaan atau ideologi ? Kata ini juga terkesan mau selundupan. Baik pada Ketentuan Umum maupun Pasal. Contoh saja pada kalimat, "kelima prinsip dasar merupakan jiwa dan penggerak perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia yang mencerminkan kepribadian bangsa lndonesia yaitu gotong royong". Kalimat ini adanya di Pasal 3 draft RUU HIP. Ketiga, menafikan peran Agama sebagaimana pengaturan bahwa sendi pokok Pancasila adalah "Keadilan Sosial" dan bidang-bidangnya adalah politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, hankam. Peran Agama terlihat diminimalisasi. Ketika konten agama itu ada, ternyata posisinya disejajarkan dengan rohani dan kebudayaan (Pasal 22). Bahkan pada Misi dari Masyarakat Pancasila butir a sampai terakhir f, sama sekali tidak tersentuh aspek Ketuhanan dan Keagamaan (Pasal 11). Keempat, ciri dari Manusia Pancasila yang dikaitkan dengan beriman bertakwa pun harus "menurut dasar" kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsepsi Ketuhanan yang berdasar kemanusiaan. Kekuasasn Tuhan Yang Maha Esa yang mau didegradasikan ke tingkat ukuran kemanusiaan. Ada ancaman pada otoritas hukum-hukum Tuhan (Pasal 12). Kelima, sinkretisme dan pencampur adukan entitas. Keadilan dan kesejahteraan yang merupakan "perpaduan prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik, dan ekonomi dalam kesatuan" (Pasal 7 ayat 1). Ada nuansa "pemerasan" dan keinginan untuk kembali kepada cara pandang masa lalu Orde Lama, ala Soekarnoisme. Keenam, ternyata eksplisit misi Soekarnoisme yang kemudian pernah bermetamorfosa menjadi "Nasakom" yang diawali dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Ini sangat terang-terangan pada Pasal 7 draft RUU HIP. Bunyinya begini, "(2) Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio nasionalisme, sosio demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong". Nah, tentu disini bukan porsi untuk mengurai rincian dari pasal-pasal Draft RUU HIP yang terdiri dari X Bab dan 60 Pasal ini. Yang menjadi Ketua Panja RUU HIP ini adalah Rieke Dyah Pitaloka (PDIP). Hanya nampaknya materi draft RUU ini berisi virus-virus politik yang pautu diduga sangat berbahaya. Apalagi untuk dijadikan pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Terhadap konsep RUU HIP seperti ini, rakyat dan bangsa Indonesia kelak harus menolaknya. Jangan sampai menjadi undang-undang. Sebab RUU HIP jika nanti digodok oleh DPR RI, patut untuk diduga ada "hidden agenda" terselubung di dalamnya. Bukan mustahil, akan ada kekuatan-kekuatan penunggang gelap yang akan memanfaatkan RUU ini. Siapa saja penunggang-penunggang gelap tersebut? Siapa lagi, kalau bukan paham Komunis dan teman-temannya? Semoga anggota DPR lebih mampu mengendus dan mewaspadai RUU HIP ini. Meski anehnya, draft RUU berasal dari penggunaan Hak Usul Inisiatif dari DPR sendiri. Semoga saja DPR secara kelembagaan, bahkan keseluruhan menolak draft RUU yang mau menghidupkan kembali cara pandang Orde Lama, ala Soekarnoisme ini. Bahaya berada di depan bangsa dan negara Indonesia. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

PDIP Sedang Mengigau Tentang Jokowi

By Asyari Usman Jakarta, FNN - PDIP bergolak. Banyak yang membanting-bantingkan kepala. Marah besar terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020. Ditetapkan dan mulai berlaku 31 Maret 2020. Lengkapnya, Perppu itu adalah tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”. Supaya tidak pusing menghafal judul ini, banyak yang sepakat menyingkatnya dengan “Perppu Corona”. Setidaknya, ada dua kader cemerlang PDIP yang dibuat keder oleh Perppu Corona ini. Pertama, Masinton Pasaribu. Kedua, Arteria Dahlan. Mereka ini adalah ‘rising star’ PDIP. Masinton mengamuk karena, kata dia, Perppu Corona adalah rangkaian peraturan yang seluruhnya untuk kepentingan oligarki. Oligarkhi adalah sekelompok kecil orang –boleh disebut beberapa orang— yang memegang kekuasaan di sebuah negara. Politisi senior PDIP ini sangat galak. Dia sebut Perppu Corona sebagai bentuk sabotase terhadap UUD 1945. Arteria mengutuk Perppu ini sebagai isyarat adanya “kekuasaan baru di atas kekuasaan Presiden”. Dia khawatir, Perppu Corona memberikan kewenangan tak terbatas kepada pemerintah dalam mengelola dana penangangan wabah Covid-19. Jumlah dana itu sangat besar: 405 triliun rupiah. Mungkin yang membuat resah Arteria adalah pasal 27 Perppu Corona. Di situ lebih-kurang disebutkan bahwa siapa pun yang melakukan kesalahan dalam penggunaan dana Covid-19 tidak bisa dikenai tuntutan pidana atau perdata. Arteria meminta KPK agar mengawasi dana Covid-19 agar tidak disalahgunakan. Yang menarik dari politisi muda yang pernah galak dan melecehkan Prof Emil Salim dalam siaran live televisi itu, dia khawatir Presiden Jokowi akan tersandera. Nah, mari kita bahas ‘dobrakan dahsyat’ kedua politisi hebat Partai Banteng ini. Pertama, tentang kegelisahan Masinton Pasaribu. Dia katakan, Perppu Corona adalah aturan yang dibuat untuk oligarki. Pertanyaan kita: apakah selama ini Jokowi bukan duduk untuk oligarki? Ke mana saja Anda, Bung Masinton? Kok sekarang baru sadar bahwa Jokowi menjadi presiden untuk kepentingan oligarki? Bukankah sejak 2014 oligarki itulah yang menguasai pemerintah dan negara ini? Mungkin Anda terlalu nyenyak tidurnya, Bung! Tapi, lumayanlah masih sempat Anda mengigau tentang Jokowi. Hanya saja, igauan itu biasanya tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk mengambil tindakan. Artinya, Anda harus puas dengan igauan itu saja. Pak Jokowi tidak akan ‘online’ dengan igauan Anda itu. Dia akan melenggang sebagai “presiden pilihan rakyat” sampai akhir hayat periode keduanya. Begitu juga dengan Arteria. Anggota Dewan Yang Amat Berhormat ini pun juga sedang mengigau. Sama seperti koleganya, Masinton. Kata Arteria, Perppu Corona menunjukkan keberadaan “kekuasaan baru di atas kekuasaan Presiden”. Teman saya, Hersubeno Arief, menyebutnya “Presiden di atas Presiden”. Lagi-lagi, kenapa baru sekarang politisi ‘rising star’ PDIP ini sadar. Padahal, sejak 2014 di negara ini sudah ada “Presiden di atas Presiden”? Bukankah fenomema ini sudah berlangsung lama dan sekarang memasuki tahun ke-6? Sama halnya, igauan Arteria itu hanya bisa dijadikan kepala berita saja. Tidak bisa dipakai untuk mengurai kekacauan dalam tatakelola pemerintahan. Juga tidak akan bisa menghentikan oligarki yang dikeluhkan kolegamu, Masinton Pasaribu. Igauan Anda itu tak mungkin pula bisa menyingkirkan “Presiden di atas Presiden”. Dia akan tetap ada di sana sampai 2024. Saran saya kepada Anda berdua begini. Anda tenang saja. Anda pergi menghadap Bu Mega. Tanyakan ke beliau: oligarki dan “Presiden di atas Presiden” itu, mau diapakan? Saya menduga, jawaban Bu Mega akan mengutip pepatah Inggris: “if you can’t beat them, join them” (kalau tidak bisa mengalahkan mereka, ikut saja gabung ke mereka”.[] 1 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

PDIP Bersiap Buka Pintu Darurat?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ada tanda-tanda yang cukup kuat PDIP sedang bersiap membuka pintu darurat (emergency exit). Jika pesawat terpaksa harus crash landing, mendarat darurat. Mereka bisa segera lompat dengan selamat! PDIP memang belum sepenuhnya bersiap melompat. Tapi mereka sudah membuat ancang-ancang. Tahapan menuju langkah tersebut telah dipersiapkan. Sedikit demi sedikit mulai dijalankan. Dimulai dengan pernyataan dari Masinton Pasaribu. Anggota Komisi III DPR RI itu secara mengejutkan menyebut Perppu No 1 Tahun 2020 merupakan kepentingan nyata oligarki. “Ini bukan Perppu. Ini sabotase konstitusi,” kecamnya dalam melalui cuitan di akun twitternya. Masinton tidak menyebut secara spesifik siapa yang dia maksud dengan oligarki.Sebagai pengusung utama, bahkan pemegang saham mayoritas pemerintahan Jokowi, publik memahami bila ada oligarki, maka PDIP adalah pilar dan bagian utama oligarki itu sendiri. Siapa yang dimaksud dengan oligarki oleh PDIP semakin jelas ketika Arteria Dahlan menyatakan kekhawatirannya, Perppu akan menciptakan “presiden di atas presiden.” “Ada ‘penguasa’ yang lebih berkuasa dari Presiden Joko Widodo,” ujar politisi PDIP itu dalam Rapat Kerja dengan Ketua KPK Firli Bahuri. Arteria curiga ada yang coba memanfaatkan sitausi pandemi untuk mengeruk keuangan negara melalui Perppu. Dalam Perppu N0 1 Tahun 2020 pemerintah diberi kewenangan menggunakan dana sekitar Rp 405,1 Trilyun tanpa ada pengawasan. Para pengguna juga tidak dapat dipidana bila terjadi salah penggunaannya. Dengan dana sebesar itu Arteria curiga ada orang atau kelompok yang ingin menguasai Indonesia secara instan. Tanpa kampanye, tanpa modal bisa menjadi Presiden Indonesia. “Pak ketua kita harus jaga Jokowi agar tidak tersandera. Yang bawa mobil orang lain, kalau nabrak dia yang bertanggung jawab,” ujarnya mengingatkan Ketua KPK. Soal penggunaan anggaran perang melawan Covid-19 ini sebelumnya sempat memunculkan polemik antara anggota DPR RI Adian Napitupulu dengan Meneg BUMN Erick Thohir. Adian mempertanyakan siapa yang dimaksud Erick sebagai mafia alat kesehatan (alkes). Adian curiga jangan-jangan dia termasuk yang dituding Erick. Erick sebelumnya menyatakan ketergantungan Indonesia pada alkes impor memberi peluang mafia beraksi. Mafia mendominasi impor alkes. (PDIP ditinggalkan) Berbagai pernyataan politisi muda PDIP di Senayan ini menunjukkan adanya gesekan dan perbedaan kepentingan antara PDIP dengan Jokowi.Pertama, PDIP sebagai pemegang saham mayoritas Jokowi ternyata memang benar, tidak menjadi pengendali pemerintahan Jokowi. Ada orang atau kelompok yang menjadi pengendali pemerintahan Jokowi. Soal ini sesungguhnya sudah ditangkap publik dengan melihat susunan kabinet kabinet Jokowi Jilid II. PDIP tidak mendapat pos yang cukup penting dan basah. Benar PDIP mendapat jatah kursi paling banyak. Dari 16 kursi jatah Parpol, PDIP menempatkan lima orang kadernya. Mereka adalah Menseskab Pramono Anung, Yasonna Laoly (Menkum HAM), Tjahjo Kumolo (Menpan RB), Juliari Batubara (Mensos), dan Gusti Ayu Bintang Darmavati (Menteri PPPA) . Kalau mau dilihat dari sisi kedekatan secara politis, PDIP juga mendapat pos Jaksa Agung. Posisi ini dijabat ST Burhanuddin adik kandung politisi PDIP TB Hasanuddin. Posisi menteri utama atau yang juga dikenal sebagai Trium Virat, Menhan, Menlu dan Mendagri dijabat figur non PDIP. Mereka lah yang akan mengambil alih kendali pemerintahan, bila Jokowi dan Ma’ruf Amien udzur dan berhalangan tetap. Bukan kader PDIP. PDIP ternyata juga gagal menyingkirkan dan menggantikan Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini dianggap sebagai Super Minister. Budi Gunawan orang dekat Ketua Umum PDIP Megawati ternyata harus cukup puas dengan posisi lamanya sebagai Kepala BIN. Padahal Budi Gunawan berperan penting dan sangat berjasa atas kemenangan Jokowi. Budi Gunawan pula yang berhasil mempertemukan Jokowi dengan Prabowo Subianto. Luhut gagal berkali-kali membujuk Prabowo. Kedua, PDIP tampaknya tidak dilibatkan, tidak kebagian bancakan dana Covid-19. Bahkan dibandingkan seorang Stafsus milineal yang kebagian dana Pra Kerja Rp 5,6 Triliun pun mereka kalah. Bukan hanya curiga, jangan-jangan sudah punya bukti, ada yang memanfaatkan dana Covid-19 untuk kampanye gratis. Polemik antara Adian dengan Erick Thohir juga menyiratkan ada yang panen besar dan ada yang tidak kebagian dari pengadaan alkes. Dengan memunculkan berbagai isu itu ke tengah publik, PDIP ingin memberi isyarat. Mereka tidak ikut bertanggung jawab bila terjadi apa-apa pada pemerintahan Jokowi. Mereka bisa cuci tangan dan melompat keluar dengan selamat melalui pintu darurat bila pemerintahan Jokowi harus crash landing. Terpaksa mendarat darurat dampak dari bencana pandemi. Kapan mereka mau melompat? Kelihatannya tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Berbagai pernyataan itu disampaikan oleh para politisi muda. Second layer, lapis kedua. Bukan para politisi senior. Belum jadi kebijakan resmi partai. Ibarat pemain silat, mereka diperintahkan melancarkan pukulan jurus kembang. Belum menggunakan jurus mematikan. Masih terbuka pintu-pintu negosiasi, tarik menarik, deal-deal politik memanfaatkan momentum pandemi. PDIP tidak mungkin begitu saja melepas aset sangat besar seperti Jokowi. Meminjam judul buku Andrew Ross Sorkin (2009) yang kemudian difilmkan Too Big to Fail, Jokowi terlalu besar dibiarkan gagal. Dampaknya terlalu besar, termasuk bagi partai banteng moncong putih itu. Mereka bisa kut terseret pusaran bencana. End. Penulis Wartawan Senior.

Selamat, Dua Tokoh Golkar Raih Penghargaan PWI Jatim Award 2020

Oleh. M.H Minanan Jakarta, FNN - Dua nama tokoh Partai Golkar meraih penghargaan anugerah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur award 2020. Adalah Menpora Dr. Zainuddin Amali dan Ketum DPD Golkar Jatim Muhammad Sarmuji. Kedua tokoh tersebut menerima penghargaan bersama dengan 16 Tokoh di Kementerian/ Lembaga dan Pemda. Penghargaan ini diserahkan dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2020 dan HUT PWI ke-74. Acara yang rencananya diselenggarakan di Gedung Negara Grahadi, Jl. Gubernur Suryo - Surabaya pada Jum'at (20/03) tak bisa di gelar karena pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Karena agenda tahunan, anugerah penghargaan HPN dan HUT PWI hanya diumumkan. Penganugerahan itu diperoleh karena kedua Tokoh Golkar ini dinilai memiliki komitmen besar dalam melakukan perubahan untuk menjaga tata kelola pemerintahan dan kerja - kerja politik yang bersih, baik, transparan dan berhasil membangun zona integritas secara massif. Seperti kata bijak “Hasil tidak membohongi proses”. Kedua tokoh golkar ini pun tidak instan melalui proses berkarir. Hasil yang diperoleh hari ini karena latar belakang usaha dan pengorbanan yang tidak sedikit. Baik kedudukan, jabatan maupun dianugerahi penghargaan karena buah karya terbaik yang dipersembahkan bagi masyarakat bangsa dan negara. Sehingga bukan suatu kebetulan kedua tokoh partai berlambang pohon beringin ini memiliki segudang prestasi dalam karir yang signifikan. Menjadi para tokoh tersohor di partai, ini ukiran prestasi kedua tokoh partai golkar. ZA Gemilang Nakhodai Kemenpora Tak mudah menjadi pemimpin, Apalagi memimpin lembaga pemerintahan setingkat kementerian, yang terbuka diawasi publik. Dr. Zainuddin Amali dipercaya oleh Presiden Jokowi untuk menakhodai Kementerian Pemuda dan Olahraga pada 23 Oktober 2019. Dibawah kepemimpinan Dr. Zainuddin Amali Kementerian Pemuda dan Olahraga berhasil menciptakan suasana kondusif diantara organisasi olahraga, terutama hubungan antara KONI dan KOI. Selain itu, Mantan Anggota DPR RI empat periode ini melakukan pendekatan intensif pada penyelesaian sengketa Induk Cabang Olahraga (PB/PP) yang belum terselesaikan selama bertahun-tahun. Seperti, Cabor HOKI, Tenis Meja, Gulat dan beberapa cabang olahraga yang lain. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki olahraga nasional Indonesia kedepan jauh lebih baik. Ukiran prestasi pada Sea Games 2019 di Filipina, ada sentuhan tangan dingin dari seorang ZA yang terlibat langsung menjadi konsolidator dalam menargetkan perolehan medali emas. Pemerintah menargetkan perolehan medali emas 50 dan direvisi menjadi 60 saat awal menjabat sebagai Menpora, target perolehan medali emas itu menembus angka 72 medali berhasil diperoleh atlit Sea Games Indonesia akhir tahun lalu. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan. Pria kelahiran Gorontalo ini betul-betul melakukan perbaikan citra kementerian tersebut, selang dua Minggu penutupan Sea Games. Bonus peraih medali langsung diserahkan pada 72 peraih medali emas. Juga waktu relatif lebih cepat dari sebelum - sebelumnya. Selain itu, Mantan Ketua Komisi II DPR itu bersama stakeholder telah berhasil mendorong Kongres PSSI secara kondusif, tanpa ada insiden kekerasan seperti sebelumnya, berlarut-larut dan alot. Kini pemerintah tengah membantu PSSI untuk meningkatkan prestasi sepakbola Indonesia di kancah Internasional melalui Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2019 tentang Pembangunan Percepatan Persepakbolaan Nasional. Politisi Kawakan kuasai gelanggang. Anggota DPR RI Muhammad Sarmuji, satu nama yang sudah tidak asing ditelinga para politisi dan aktivis Indonesia itu memiliki segudang pengalaman organisasi. Cak Ji begitu akrab dipanggil, beliau termasuk politisi kawakan dengan berbagai prestasi. Memulai karir politik di PP AMPG sebagai Sekertaris Jenderal, Ketua Harian DPP Golkar hingga Ketua Umum DPD Golkar Jatim. Beliau termasuk salah satu tokoh muda, politisi kawakan yang menguasai gelanggang politik. Tak heran beliau sangat familiar diberbagai kalangan masyarakat. Sebagai orang yang belajar serta tumbuh-kembang dari organisasi mahasiswa, Cak Ji memiliki orientasi dan budaya politik yang sangat bersahaja. Bukan saja di segani lawan, namun beliau sangat dihormati kawan – kawan seperjuangannya. Untuk diketahui, Ketua Umum DPD Golkar Jatim ini bukan pertama kali mendapat penghargaan anugerah bidang politik, sebelumnya ia telah mendapatkan penghargaan anugerah politisi berdedikasi dari Mens Obsession saat 2018 lalu. Baginya, mendapat penghargaan PWI Jatim Award 2020 ini. merupakan kepercayaan untuk berbuat lebih baik lagi. Itu semacam titah, semacam perintah “teruslah berbuat, teruslah berkarya”. Pantas lah jika kedua tokoh partai golkar ini menyabet berbagai raihan prestasi. Salah satunya penghargaan dari PWI yang baru-baru ini di umumkan. Mereka termasuk para tokoh teladan yang mempuni secara kualitas dan kuantitas karya.

Luhut Panjaitan Sama dengan Trump, "Tidak Punya Empati"

Oleh : Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Rabu (15/04). Seru juga menyaksikan perdebatan seru antara wartawan yang ngepos di White House dengan Presiden AS Donald Trump dalam tayangan di CNN Internasional, belum lama ini. Di tengah wabah Covid19, wartawan tetap datang ke Gedung Putih menunaikan tugasnya mengabarkan informasi kepada khalayak luas. Saat ini orang yang paling dibenci rakyat Amerika adalah Presidennya sendiri. Betapa tidak, Trump tetap memaksakan keinginannya untuk membuka kembali semua kegiatan ekonomi dan bisnis sebelum 1 Mei 2020. Suara Trump ini berseberangan dengan aspirasi dan suara para gubernur negara bagian di AS yg menghendaki agar status keadaan darurat atau pembatasan kegiatan masyarakat masih tetap diberlakukan untuk mengurangi dampak penularan Covid19. Jumlah warga AS yang meninggal akibat Covid19 terus bertambah. Menurut data CNN Internasional, Rabu malam waktu Jakarta (pagi hari waktu AS), warga AS yg meninggal berjumlah 26.119 orang. Penduduk New York paling banyak yang meninggal akibat Virus Corona. Oleh karena itu Gubernur New York Andrew M. Cuomo selalu memberikan update info yang disiarkan secara langsung di CNN Internasional dan FOX News. Kata Cuomo, dalam 24 jam sebanyak 752 orang NY mati akibat Covid19. Berbeda dengan keprihatinan warga dan sejumlah gubernur negara bagian, Donald Trump justru mengutamakan bisnis, bisnis dan bisnis dan cenderung mengabaikan dan menganggap enteng terhadap ancaman kesehatan dan ancaman kematian massal rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia ? Berdasarkan data yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid19, Rabu (15/4), kasus pasien positif Covid-19 bertambah 297 kasus, total menjadi 5.136 kasus. Sebanyak 20 pasien dinyatakan sembuh dan 9 orang meninggal dunia, total 446 pasien sembuh dan 468 orang meninggal dunia. Dari 33.001 spesimen diterima, tercatat 27.865 kasus negatif corona. Jumlah ODP tercatat sebanyak 165.549 orang dan jumlah PDP tercatat sebanyak 11.165 orang. Di tengah peningkatan jumlah korban Covid19, masih ada pejabat pemerintah yang mengeluarkan kontraproduktif bahkan menyakiti hati dan perasaan masyarakat. Seperti diberitakan berbagai media, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menganggap masih kecil jumlah orang Indonesia yang meninggal akibat Convid19. "Buat saya tanda tanya jumlah meninggal itu gak sampai 500 (orang). Padahal jumlah penduduk 270 juta. Infected 4.000-an lebih. Katakan itu kali 10 itu 50 ribu," ujar Luhut sebagaimana dikutip Detik.com. Ucapan Luhut ini juga diberitakan media mainstream lainnya karena dia sengaja mengadakan jumpa pers melalui video conference. Di tengah wabah pendemi global ini, Luhut berulang kali membuat pernyataan yang menyakitkan masyarakat. Seharusnya dalam situasi seperti sekarang para pejabat negara mengeluarkan kata dan pernyataan yang menyejukkan dan menenangkan. Serta memberikan rasa aman dan kepastian untuk rakyat Indonesia. Saat ini rakyat butuh kerja sama untuk menangani wabah Virus Corona. Pejabat negara sebaiknya menghentikan pernyataan yang tidak etis dan akhirnya bisa memicu perdebatan maupun pertentangan publik. Alih-alih negara melindungi rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi, ini pejabat negara seperti Luhut Binsar Panjaitan menebarkan pernyataan provokatif yang menyakiti perasaan masyarakat. "Pernyataan itu seakan tidak menyisakan empati dan simpati kepada keluarga korban. Belum lagi, ada puluhan dokter dan tenaga medis yang juga meninggal. Kasihan keluarganya jika mendengar pernyataan seperti ini," kata Saleh Partaonan Daulay, anggota DPR RI Fraksi PAN, sebagaimana dikutip portal berita Liputan6. Kritik serupa disampaikan politikus PKS yang juga mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring. Menurut Tifatul, tidak selayaknya Luhut menyampaikan pernyataan seperti itu sebab yang diucapkannya itu menyangkut nyawa manusia. "Tapi ini kan nyawa manusia, bang. Manusia Indonesia. Abang nggak bisa lihat dari sisi statistiknya saja. Ini bukan bisnis bang," kata Tifatul dalam akun Twitternya, Rabu (15/4). Jika diamati sepintas, ada kemiripan pernyataan antara Luhut Binsar Panjaitan dengan Donald Trump. Keduanya sama sekali tidak mempunyai empati. Selama wabah global ini berlangsung, keduanya cenderung mengabaikan faktor nyawa manusia dan lebih mengedepankan urusan bisnis dan ekonomi. Trump ngotot untuk menghidupkan kembali semua kegiatan bisnis dan usaha, demikian juga Luhut sangat permisif dengan kedatangan ratusan TKA dari China yang mengerjakan proyek di Sulawesi. Padahal, sumber penyebaran virus Covid19 berasal dari China. Seandainya Luhut mau diajak berdebat seperti Presiden AS, Donald Trump, saya sangat berminat untuk mendaftar sebagai mantan wartawan Istana Kepresidenan di era Presiden Gus Dur. Jika menyaksikan perdebatan dengan Donald Trump, wartawan Gedung Putih dengan sengit mengritik dan mengajukan pertanyaan kritis dan tajam kepada Trump. Dan Sang Presiden pun melayani pertanyaan kritis dengan ucapan-ucapan yang juga tidak kalah seru. Editor BBC untuk Amerika Utara, Jon Sopel melukiskan Presiden Donald Trump membuat konferensi pers yang "paling membuat mulut menganga, mata terbelalak dan kepala pusing" pada Senin petang waktu setempat. Dalam jumpa pers ini, Trump mengklaim memiliki kewenangan "penuh" untuk mencabut kebijakan karantina wilayah atau lockdown tingkat nasional, yang bertentangan dengan sikap para gubernur dan pakar hukum. "Presiden AS memiliki kekuatan penuh untuk melakukannya," kata Trump dalam jumpa pers di Gedung Putih, yang diwarnai perdebatan dengan para jurnalis. Namun demikian menurut Konstitusi AS, negara bagian memiliki hak untuk menjaga ketertiban dan keamanan publik. Trump kerap memanfaatkan konferensi pers harian di Gedung Putih untuk menyerang media. Sebuah jaringan televisi menyebut konferensi pers pada Senin petang tersebut sebagai reaksi paling berlebihan yang pernah ditujukan oleh seorang Presiden AS. Donald Trump masuk ke ruangan dengan sejumlah isu yang perlu dia selesaikan dengan media, kata wartawan BBC Jon Sopel yang meliput di Gedung Putih. "Bukan tentang jumlah yang meninggal, yang sakit parah, orang yang takut tertular virus. Tapi (jumpa pers ini) tentang dia. Khususnya terkait kekesalannya terhadap media yang kritis atas penanganan pemerintahan AS terkait Covid-19," tulis Sopel. Di Indonesia , jika saya kilas balik ke era Presiden Gus Dur, ketika itu Presiden secara rutin juga mengadakan press meeting. Gus Dur sengaja membuat forum tanya jawab langsung antara dirinya dengan para wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan. Ketika itu sekitar tahun 2001, Gus Dur pernah marah dengan pertanyaan seorang wartawan yang menanyakan aksi Pro Gus Dur yang melakukan sejumlah demo bahkan sebagian melakukan perusakan di Kota Surabaya, Jawa Timur. Di era Gus Dur, media massa memang banyak menyerang dan mengritik pemerintahan Gus Dur karena dinilai banyak membuat pernyataan kontroversial serta pemecatan terhadap sejumlah menteri. Diantara menteri yang pernah dipecat Gus Dur adalah Menperindag Jusuf Kalla dan Menhakam/Pangab Wiranto. Setelah memecat JK, Gus Dur kemudian mengangkat Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Dulu di era Gus Dur, Menperindag Luhut Panjaitan lebih banyak "diam" dan tidak banyak berperan seperti sekarang. Sebelum jadi Menperindag, posisi Luhut sebagai Dubes RI di Singapura. Kembali kepada usulan adu debat antara wartawan dengan Luhut Panjaitan menyangkut percepatan penanganan Covid19, kemungkinan akan banyak media yang berminat mengirimkan wartawannya. Kok bukan dengan Presiden Joko Widodo seperti debat di AS dengan Presiden Donald Trump? Bukankah The Real Presiden' Indonesia Luhut Binsar Panjaitan? Wallohu a'lam bhisawab. Penulis Wartawan Senior

Opung dan Vivere Pericoloso

Oleh Smith Alhadar (Direktur Eksekutif The Institute for Democracy Education-IDe) Jakarta, FNN - Orang Indonesia paling berani, sekaligus paling berkuasa, hari ini adalah Opung. Bayangkan, dia menakhodai sendiri bahtera Indonesia secara amatiran, menempatkan seluruh penumpang dalam keadaan bahaya. Manuver Opung yang lancang ini disebut orang sebagai vivere pericoloso: nyerempet-nyerempet bahaya. Penumpang cemas karena Opung bukan nakhoda yang resmi. Dia tak punya sertifikat ilmu pelayaran. Nakhoda yang resmi, Jae namanya, disuruh tidur. Jae pun senang disuruh tidur karena, meskipun memiliki sertifikat, ia tak tahu apa-apa tentang kapal, badai, dan samudera. Sertifikatnya juga abal-abal, diperolehnya secara tipu-tipu atas sokongan Opung dan bajak laut. Hanya sesekali Jae kaget, mengigau, lalu tenggelam kembali dalam mimpi-mimpi indah. Sudah sejak awal, ketika kapal berlayar lebih dari lima tahun lalu, Opung mengambil alih kemudi. Bahkan, amat sering ia mengerjakan tugas-tugas awak kapal juga. Pokoknya, semua urusan kapal ditanganinya sendirian sehingga seluruh awak dan nakhoda terlihat menganggur. Tapi realitas inilah yang membuat penumpang khawatir akan nasib kapal dan nasib mereka sendiri. Masalahnya, makin hari kapal makin oleng. Badai dan gelombang makin menjadi-jadi. Sementara pulau tujuan belum juga nampak. Melihat keadaan samudera dan kondisi kapal, sebagian penumpang tak yakin kapal akan sampai di tujuan dengan selamat. Ada juga satu-dua penumpang yang akal sehatnya masih tersisa, yang sejak awal mendukung Jae sebagai nakhoda resmi, mulai ragu. Mungkin juga siuman. Sisanya berlagak seperti bangau, yang ketika melihat bahaya, memasukkan kepalanya ke dalam pasir, lupa bahwa badannya masih nongol di permukaan. Sekarang terjadi kebingungan hebat di atas kapal sejak covid-19 menyerang. Satu demi satu penumpang yang terpapar virus jatuh sakit atau malah mati dan jenazahnya dibuang begitu saja ke laut. Ajaibnya, Opung -- yang sama sekali tidak pernah sekolah kedokteran -- malah maju memimpin penanggulangan wabah. Ia mengatur semaunya dengan mengabaikan nasihat ilmuan. Kapal mulai heboh. Yang sakit dan mati meningkat secara eksponensial. Sementara kebutuhan penumpang di kapal mulai berkurang. Mulai terbayang di benak mereka kisah tenggelamnya kapal Titanic. Kapal yang naas itu tenggelam secara tragis di Samudera Atlantik, membunuh semua awaknya yang merupakan orang kebanyakan, kecuali orang-orang kaya dan bangsawan. Bahtera Indonesia saat ini menyerupai Titanic. Segelintir awak kapal yang kompeten ingin membantu menyelamatkan kapal, namun kebijakan mereka dianulir Opung. Mengapa dalam situasi genting ini -- di saat semua awak perlu bersinergi untuk menyelamatkan seluruh penumpang tanpa kecuali -- Opung masih ngotot bereksperimen dengan ide-idenya yang sulit difahami orang. Bukan karena ide-ide itu begitu canggihnya sehingga tak mampu dicerna penumpang, tapi karena bertentangan dengan akal sehat dan sains. Sains mengatakan harus ada lockdown untuk memutus rantai penularan wabah sebagaimana dilakukan banyak negara dengan berhasil atau memperlihatkan gejala akan berhasil, seperti dialami Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Amerika, yang penanganannya menyerupai Indonesia, kini tampil sebagai negara dengan korban covid-19 tertinggi di dunia, dan belum ada tanda-tanda akan segera mereda. Karena tak yakin dengan cara Opung menangani wabah berbahaya ini, penumpang berspekulasi, jangan-jangan Opung memilih kebijakan herd immunity (kekebalan kelompok), ketimbang mengorbankan ekonomi. Dengan kata lain, biarkan 2-4% penumpang mati demi stabilitas ekonomi agar kapal tidak karam. Ini ide gila, kata para cerdik pandai di kapal. Menyelamatkan seluruh penumpang dengan menjaga kebutuhan dasar mereka merupakan hukum tertinggi di kapal. Bahkan, kalau perlu, nakhoda harus ikut mati bersama penumpang sesuai etika pelayaran sebagaimana matinya kapten Titanic. Yang membuat para cerdik pandai di kapal marah karena ide-ide Opung itu tidak sesuai dengan kapasitas kapal untuk mendukungnya. Juga tidak sesuai dengan keadaan samudera yang siap mengaramkan kapal reot ini. Tapi, Opung tidak peduli. Ia bahkan mengancam menghukum penumpang cerewet yang memprotes ide-idenya. Dengan kekuasaan besar di atas kapal, yang dilimpahkan Jae yang tak punya ide dan lebih memilih tidur, Opung menyetir kapal tanpa kompas dengan prinsip vivere pericoloso. Kekuasaannya begitu besar yang tak ada presedennya dalam sejarah modern negara Indonesia. Tak ada menteri yang menguasai mutlak presiden, kecuali pada rezim Jae. Bahkan kekuasaan Opung melebihi Perdana Menteri Gajah Mada. Ia tak perlu berkonsultasi dengan Jae dalam mengambil keputusan. Bahkan kebijakan awak yang brilian, seperti Wan Abood, sesuai wewenang dan keahliannya berkali-kali dianulir Opung. Bukan karena kebijakannya tak sesuai Pembatasan Sosial Berskala Besar, tapi Wan Abood terlalu hebat. Ide-ide cemerlangnya membuat Opung dan Jae sebagai nakhoda resmi terlihat kerdil terkait dengan penanggulangan wabah. Langkah Wan Abood selalu lebih cepat, terukur, dan akurat, serta menabrak kebijakan Opung yang sesat. Contohnya, Opung membatalkan kebijakan Wan Abood membatasi operasi transportasi sebagai konsekuensi dari kebijakan social distancing dari pemerintah. Contoh lain, Opung menganulir kebijakan Wan Abood melarang ojol mengangkut penumpang sejalan dengan PSBB. Opung membolehkan ojol mengangkut penumpang. Padahal itu menyalahi kebijakan physical distancing. Orang pun melihat kelakuan Opung ini bertujuan mengerdilkan awak yang terlalu pandai dan mewujudkan ide gilanya menyelamatkan ekonomi. Melihat kelakuan Opung yang overconfident dalam menguasai kapal, penumpang pun bertanya: apakah kita akan sampai di tujuan dengan selamat sentosa tanpa kekurangan suatu apa pun? Suara terpecah. Ada yang yakin, ragu, dan sama sekali tak yakin. Penumpang pun teringat pada Soekarno, orang cerdas yang populis, yang memperkenalkan prinsip vivere pericoloso. Pada era itu, Soekarno menakhodai Indonesia mengarungi samudera luas yang penuh bahaya. Dan dia gagal. Badai politik yang menerpa kapal tak sanggup ia kendalikan. Para penumpang yang dikendalikan seorang awak akhirnya mengambil alih kemudi kapal. Soekarno terhempas, dikarantinakan, kemudian hilang. Jasa besarnya redup dan baru dikenang kembali secara sayup-sayup di kemudian hari. Soekarno memang berhasil memerdekakan Indonesia. Namun, ia gagal memajukan dan menyejahterakan Indonesia. Lalu, bagaimana dengan nasib bahtera Indonesia di bawah Opung? Juga, bagaimana Opung sendiri? Entahlah. Tapi jelas kapal sedang tersesat di tengah badai di samudera luas tak bertepi. Di sana-sini mulai terjadi kebocoran. Ide-ide Opung dalam mengendalikan kapal banyak diprotes penumpang yang cerdas karena tidak berbasis ilmu dan tak sejalan dengan harapan penumpang. Maka kita melihat terjadi kekacauan di kapal, perbenturan antara Opung dengan awak, Opung dengan penumpang, dan antara awak dengan awak. Jae sempat terbangun oleh riuh-rendah di kapal, tapi kemudian tertidur lagi karena toh dia tak tahu apa yang mesti dilakukan. Apakah kemudian awak dan penumpang akan mengambil alih kapal sebagaimana yang terjadi pada rezim Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur? Itu bisa saja, mengingat Opung nampak bakal tak sanggup mengendalikan kapal, sementara penumpang makin kritis dalam menanggapi manuver Opung. Kalau pada akhirnya penumpang melihat kapal akan segera karam, tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali menyingkirkan Opung, juga Jae. Sebenarnya Jae tak salah karena tidak melakukan apa-apa selama ini, kecuali tidur. Bukankah kita tak adil meminta pertanggungjawaban pada orang yang tidak melakukan apa-apa? Yang melakukan semuanya kan Opung! Jadi, mintalah pertanggungjawban pada Opung, bukan aku. Tapi di situlah kesalahanJae karena tidak berbuat apa-apa di saat dia harus melakukannya sesuai konstitusi dan sesuai sertifikat yang dimilikinya sebagai kapten kapal. Kekacauan di atas kapal ini tidak direspons secara memadai oleh Opung atas nama Jae. Sebagian penumpang melihat Opung telah kelelahan dan tak bertenaga lagi, karena itu kemudi kapal harus segera diambil dari tangan Opung sebelum kapal benar-benar karam. Tapi sebagian lain berharap ada mukjizat dari Opung untuk menyelamatkan kapal. Apapun, banyak penumpang mulai menangis menghadapi situasi yang menyeramkan ini dan tak tahu harus berbuat apa. Nasib bahtera Indonesia kini terletak pada kaum cerdik pandai dengan dukungan mayoritas penumpang kapal. Dan sayup-sayup terdengar suara Tuhan: Aku tak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah nasib mereka sendiri! *****