POLITIK

Airlangga Hartarto, Antara Etika Politik & Kekuasaan

Sebelumnya Bank Dunia pada 9 September 2019 lalu, telah membocorkan prediksinya atas ketahanan ekonomi Indonesia. Lembaga keuangan duinia ini meperkirakan ekonomi Indonesia akan memburuk ke depan. Tetapatnya pada tahun 2020 nanti kondisi itu terjadi. By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Setelah ditunjuk jadi Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto (AH) berencana mempertahankan kekuasaannya untuk memimpin Partai Golkar (PG). Perebutan Ketua Umum PG ini telah menjadi kosentrasi utama AH belakangan ini. Setidaknya mungkin untuk beberapa saat. Namun bisa juga untuk selama lima tahun ke depan. Pembicaraan kita pada tulisan ini adalah melihat sisi moral politik atau etika dari AH. Seharusnya sisi moral dan etika ini dimiliki oleh AH sebagai pejabat tinggi Negara. Sebab yang saat ini AH bertanggung jawab menyelamatkan ekonomi 260 juta rakyat Indonesia. Mengapa isu ini harus harus dimunculkan? Karena begitu penting dan strategis. Kenapa dia harus membelah segala energi dan kosentrasinya. Sebagai kepala kementerian di bidang ekonomi, AH harus mengurus perekonomian nasional. Namun sebagai Ketua Umum PG, dia juga harus memikirkan kemenangan partainya Golkar pada Pemilu 2024 nanti. Itulah permasalahan yang sangat krusial Krisis Ekonomi Professor Stiglitz, eks ekonom legendaris World Bank, dalam wawancaranya dengan Euro News TV, pada 14 November 2019 lalu, mengatakan bahwa ekonomi dunia, di mana-mana sedang stagnan. Dia merespon pertanyaan pewawancara terkait padangan presiden Prancis, Macron, yang menyebut ekonomi dunia dalam keadaan krisis (unprecedented crisis). Ketika Stiglitz ditanya apakah akan kembali mengabdi pada politik?, dia menjawab ya. Jika Capres Partai Demokrat mengalahkan Trump, di pemilu presiden Amerika tahun depan. Secara moral, Stiglitz menunjukkan bahwa orang-orang hebat harus turun gunung memberi konsultasi pada sebuah pemerintahan, agar situasi ekonomi dapat membaik. Krisis ekonomi dunia maupun stagnan dalam istilah Stiglitz telah menjadi pembicaraan seluruh tokoh-tokoh dunia, dan ekonom kelas dunia. World Bank-IMF telah memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya sekitar 3%, tahun ini. Turun dari 3,6% tahun lalu. Sebuah survei telah dilakukan terhadap 226 ekonom, dan ahli seluruh dunia. Penyelenggara survey adalah “The National Association of Bussiness Economics". Lembaga ini menyatakan bahwa 38% meyakini resesi terjadi tahun depan di Amerika. Sedangkan 34% lagi meyakini resesi akan terjadi di nanti pada tahun 2021. China sendiri sudah memasuki perlambatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi China diprediksi hanya sekitar 5,8%. Jauh dari kejayaan lama China yang selalu dua digit. Kedua negara adidaya ini punya hubungan ekonomi, perdagangan, investasi dan politik yang kuat dengan Indonesia. Bagaimana Ekonomi Indonesia? Sebelumnya Bank Dunia pada 9 September 2019 lalu, telah membocorkan prediksinya atas ketahanan ekonomi Indonesia. Lembaga keuangan duinia ini meperkirakan ekonomi Indonesia akan memburuk ke depan. Tetapatnya pada tahun 2020 nanti kondisi itu terjadi. Entah karena Airlangga Hartarto sibuk dengan Golkar. Namun lihatlah fenomena ini, Deputi yang mewakili AH memberi ceramah progresif pada Indonesia Bussiness Forum, 20 November 2019, menyatakan bahwa Indonesia akan mengejar pertumbuhan ekonomi 7% selama 5 tahun "steady growth". Dan akan mencapai total GDP U$ 7 Triliun (https://en.tempo.co/read/1274589/indonesia-pursuing-us7tn-gdp-7-growth). Ini adalah sebuah ironi akal sehat. Karena seluruh dunia dan pelaku bisnis terkait Indonesia, justru sedang kosentrasi melihat rilis bocoran Bank Dunia tersebut. Bahwa ekonomi Indonesia tidak mencapai 5% tahun ini. Setelah itu menurun lagi tahun depan 4,9%. Lalu menurun lagi tahun 2022 hanya 4,6%. Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Manejemen Universitas Indonesia (LPEM UI) juga dalam Economy Outlooks 2020 memperkuat sinyal perlambatan ekonomi Indonesia ini. Kondisi ini diperparah dengan indikasi yang dikeluarkan pemerintah terkait buruknya pendapatan pajak. Buruknya ekonomi kita ke depan menunjukkan pemimpin negara harus mempunyai "senses of crisis". Pengertian tentang sense of crisis adalah : Pertama, memikirkan penghematan anggaran (Austerity Policy). Apakah menggemukkan kementerian dengan belasan Wamen itu bukan simbol penghamburan uang pembayar pajak? Apakah mengangkat stafsus Presiden kelas magang, bukan simbol pemborosan? Kedua, membuat program-program yang realistis. Projek-proyek mercusuar sudah harus di stop. Ketiga, berorientasi pada pwenciptaan lapangan kerja. Sebab krisis ekonomi akan menghantam sisi lapangan kerja. Pemerintah harus bekerja keras memikirkan projek-proyek yang tepat untuk "labor intensive" selama situasi krisis. Keempat, harus bebas dari Korupsi. Pemerintah harus meningkatkan ancaman terhadap koruptor yang lebih keras lagi. Bila perlu dengan memberlakukan hukuman mati kepada para pejabat negara yang terbukti melakukan koruptor dalam masa lima tahun ke depan. Etika Airlangga Hartarto Kenapa kita persoalkan masalah etika ini? Isu etika politik telah dibahas sejak lama. Sejak jaman Aristotles, Plato dan Socrates. Yang paling ekstrim dalam soal etika adalah Machiavelli, dari Florence. Namun, semua pembicaraan mereka penting untuk dikaitkan dengan kebajikan seseorang dalam ruang publik. Moralitas politik seseorang tidak lagi miliki hak individual ketika orang tersebut telah menjadi pejabat publik. Professor Emeritus Arthur Dobrin dalam "3 Approaches to Ethics: Principles, Outcomes and Integrity" (psychologytoday. com) mengetengahkan tiga jenis etik yang perlu kita lihat, yakni "Virtue Ethics, Consequentialist Ethics dan Deontological Ethics". Virtue Ethics terkait kebajikan yang ingin dicapai seseorag, secara pribadi. Consequentialist Ethics terkait pertanyaan "What is good". Etik jenis ini sudah menyangkut hubungan perbuatan kita terhadap orang lain. Apa dampak perbuatan kita itu pada masyarakat. Sedang Deontological Ethics terkait pertanyaan "What is rights”? Hal ini berhubungan dengan pertanyaan: "What duties do I owe? How do I decide between conflicting duties”? Etik jenis ini juga sudah berhubungan dengan perbuatannya terhadap orang lain. Jadi, urusan etika bukan hanya urusan pribadi seseorang, melainkan juga urusan kita semua. apalagi untuk pejabat publik seperti Airlangga Hartarto yang menjabat Menteri Koordinator Perekonomian. Urusan Airlangga Hartarto menjadi penting kita kaitkan dengan etika untuk melihat integritas dan moral politik dia dalam kehidupan publik. Dahulu, ketika Hatta Rajasa, merangkap Menko Perekonomian dan Ketua Partai, selama 2010-2014, trend pertumbuhan ekonomi terus menurun selama lima tahun. Ironisnya, sebaliknya pencapaian jumlah suara partainya meningkat. Namun, situasi ekonomi saat itu masih "menguntungkan". Karena trend ekonomi dunia belum seburuk saat ini. Lalu, apakah tega seorang Airlangga Hartarto membagi kosentrasinya untuk 260 juta rakyat yang membutuhkan kepastian dan kestabilan ekonomi, dengan urusan partai yang membutuhkan perhatiannya untuk memenangkan pilkada 2020 dan berbagai urusan lainnya? Jika melihat peliknya situasi ekonomi ke depan, fokus Airlangga seharusnya tertuju pada penyelamatan ekonomi naisonal. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila 100% kehidupan dia ditujukan pada usaha itu. Quote terkenal dari Manuel Quezon, mantan Presiden Filipina, "My Loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins". Quote ini sangat penting menunjukkan integritas dan moralitas politik seseorang pejabat publik. Namun, sayangnya, tetap saja bagi orang politik. Godaan etika politik ajaran Machiavelli, "rebut dan pertahankan kekuasaan dengan segala cara", sangat menggoda. Penutup Situasi ekonomi dunia memburuk. World Bank sudah memprediksi pertumbuhan ekonomi kita juga terus menurun. Pada saat bersamaan ADB (Asia Development Bank) merilis 20 juta rakyat kita kelaparan. Lalu apakah etik menteri kordinator perekonomian memecah kosentrasinya antara urusan bangsa versus urusan partai? Dimana etika Airlangga dalam politik kekuasaan? Kita lihat segera ke depan. Apa yang akan dipilihnya? Apakah dia tetap bertahan untuk maju sebagai calon ketua umum Golkar pada Munas Golkar bulan Desember 2019 ? Ataukah memilih kosentrasi pada penyelamatan ekonomi bangsa? Hal itu terpulang pada seorang Airlangga Hartarto. Namun, ingatlah bahwa manusia pada akhirnya akan lebih dikenang integritas dan moral politiknya, ketimbang politisi tanpa etika Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Anies Baswedan, Dipuji Tidak Terbang, Dicaci Tidak Tumbang

Oleh Hudzaifah Jakarta, FNN - Nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan belakangan menjadi viral. Oleh sebab berbagai cacian, cemoohan, bahkan tudingan diarahkan kepadanya. Namun prestasi demi prestasi yang muncul dan pengakuan dari berbagai kalangan mengenai sosok membanggakan sekaligus sarat cacian ini. Konon sejumlah lembaga survei terkemuka di tanah air mencoba menggelar survei terbatas dan tertutup mengenai sosok siapakah yang paling digemari jika hari ini digelar Pemilihan Presiden. Jawabannya mengejutkan, ternyata rerata hasil survei lembaga survei tersebut menunjukkan nama Anies Baswedan dengan tingkat elektabilitas 40%. Sementara pilihan warga terhadap tokoh-tokoh lain yang beredar seperti Prabowo Subianto, Sandiaga Salahudin Uno, Risma Harini, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Budi Gunawan, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono, Khofifah Indarparawansa, Airlangga Hartarto, sampai Muhaimin Iskandar, rerata di bawah 10%. Survei non publish ini menunjukkan bahwa nama Anies tak terbendung. Dia meninggalkan nama-nama kuat untuk Pilpres 2024. Sampai di sini wajar kalau Anies menjadi trending topic yang terus menghiasi, terutama media-media sosial, sementara media mainstream cenderung mengabaikan, bahkan tak memberi space sama sekali. Sosok Penuh Pujian Jika menengok berbagai penghargaan yang diterima Anies selama ini memimpin kota Fatahillah ini sungguh sangat membanggakan. Mulai dari predikat hasil audit wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan Pemprov DKI sejak dipimpinnnya pada 2017 dan 2018. Mengapa membanggakan? Oleh karena sejak Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta mulai 2014, sampai diganti oleh Basuki Tjahaja Purnama 2017, laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta hanya berhenti pada level wajar dengan pengecualian (WDP). Jelas Anies sangat piawai menyusun, menggunakan dan melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Makanya agak aneh dan terkesan dibuat-buat, seolah-olah penyusunan RAPBD 2020 dituding oleh kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) disusupi niat buruk terkait adanya anggaran Aica Aibon mencapai Rp82 miliar, anggaran ballpoint Rp124 miliar, anggaran kertas Rp213 miliar. Termasuk anggaran untuk influenzer Rp5 miliar dan jalur sepeda Rp73 miliar. Padahal itu baru dummy anggaran, artinya belum dapat dikategorikan RAPBD, utak-atiknya masih bersifat internal, dan oleh karenya masih terbuka peluang untuk diubah hingga 100% alias dihilangkan. Bahkan Anies sendiri yang memimpin koreksi dan evaluasi anggaran-anggaran aneh tersebut dalam satu rapat internal. Tapi situasi ini didramatisasi, di-push oleh buzzer-buzzer piaraan PSI, eks Ahoker, seolah-olah sebagai temuan korupsi. Bahkan tak puas sampai di situ, tim buzzer ini mengirim bunga ucapan terima kasih di depan Balai Kota seolah pengungkapan korupsi ini layak dikasih award. Satu hal yang PSI dan para buzzernya lupa, pengungkapan yang tidak tepat untuk sesuatu yang masih moving target (masih bergerak) itu bukan menjatuhkan kredibilitas Anies, tapi justru melambungkan nama Anies dan menjadi trending topic yang manis. Bahkan sebaliknya, menepuk air didulang, terpercik muka sendiri. William Aditya Sarana, alias William Aibon, yang berharap menjadi hero pembongkaran korupsi, malah diperiksa Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta. William sang politisi muda PSI, yang tentu saja masih ingusan, dianggap melanggar etika terkait isu anggaran. Harusnya William teriak dan berjibaku setelah dummy anggaran itu disisir oleh internal Pemprov DKI Jakarta masuk dalam RAPBD 2020, bersama anggota DPRD lainnya. Di situlah seharusnya ia bisa tampil jadi pahlawan, sayangnya sequences ini tak dipahami oleh para politisi ingusan PSI. Wajar kalau Anies yang justru mendapat applause luar biasa. Selain itu Anies juga mendapat kado istimewa karena gugatan para taipan soal pencabutan izin reklamasi Pantura Jakarta dimenangkan oleh Anies di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Reklamasi yang digagas Ahok bersama para taipan dianggap ilegal karena tidak mengurus IMB dan Amdal dengan benar. Tentu saja hal ini membuat pengikut Ahok dan para taipan berang tak karuan dan tentu saja berusaha menjegal kepemimpinan Anies dengan menghalalkan segala cara. Tak hanya sampai di situ, Anies juga berhasil membangun Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter, Jakarta Utara dengan Badan Usaha Milik Daerah BUMD melalui PT Jakarta Propertindo. ITF ini adalah tungku penampung sampah yang dengan sistem tertentu keluarannya berubah menjadi energi listrik. Ini adalah cikal bakal kemandirian energi sekaligus menyelesaikan persoalan sampah DKI Jakarta selama ini. Raihan prestasi Anies tak berhtenti sampai di situ, belum lama ini World Cities Summit and Mayors Forum (WCSMF) 2019 menobatkan Jakarta sebagai kota terbaik dalam perbaikan sistem transportasi dan mobilitas kota (Sustainable Transport Award—STA) di Forteleza, Brazil. Anies juga dianugerahi sebagai Gubernur Merah Putih oleh Majalah Warta Ekonomi dan Rakyat Merdeka karena keberpihakan dan kecintaannya pada warga DKI Jakarta lewat aneka program sosial dan pembangunan. Belum lagi DKI Jakarta menjadi kota pertama di Asia Tenggara yang diberikan penghargaan Geo Innovation Award pada ESRI (Environmental System Reasearch Institute). Penghargaan tersebut diterima Gubernur Anies, menambah panjang penghargaan. Terkhir keluarga besar Anies Baswedan pada 10 November mendapat penghargaan atas kepahlawanan sang kakek Abdul Rahman (AR) Baswedan oleh Presiden Jokowi di Istana Negara. Makin menjejakkan kapasitas dan kredibilitas Anies terhadap NKRI. Berkat upaya kerasnya, Anies juga berhasil merealisasikan janji politiknya soal kepemilikan rumah dengan uang muka (down payment—DP) 0%. Membuat kecintaan warga Jakarta terhadap Anies makin membuncah. Atas segala kerja kerasnya, DKI Jakarta berhasil tumbuh 6,23%, di atas rata-rata pertumbuhan nasional yang baru saja memperoleh laju pompa ekonomi hanya 5,02%. Prestasi demi prestasi, tidak semuanya terekam dalam tulisan ini, tapi tak membuat Anies terbang melayang dibuatnya. Anies tetap tersenyum simpatik, terus bekerja dan terus berprestasi di tengah badai cacian, umpatan dan cemoohan kaum pembenci. Pendek kata, Anies tidak serta merta terbang melayang oleh aneka pujian, award dan pengakuan. Tak tumbang dicaci Pada saat yang sama Anies bukanlah tipe manusia yang baperan, gampang ngambek, marah-marah, atau mentalnya tumbang hanya karena cacian. Majalah Tempo (Editor dan tabloid Detik) yang pernah dibela Anies bersama teman-temannya saat mahasiswa karena dibreidel Pemerintah Soeharto, pun ikut mengkritik Anies terkait kasus lem Aibon. Menjadi cover majalah Tempo dengan sudut pandang yang negatif tidak membuat Anies marah-marah. Anies malah memuji majalah Tempo karena kekritisannya. Saat masih mahasiswa Anies Baswedan memimpin demo mahasiswa atas penutupan majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik. Ketiganya di breidel oleh Pemerintah Soeharto karena getol mengkritik kebijakan Pemerintah yang aneh. Hari ini, setelah 25 tahun reformasi, Tempo mengkritisi kisruh lem Aibon di APBD Pemprov DKI, Anies pun menghormati kebebasan pers sambil memberi konfirmasi apa yang terjadi sesungguhnya. Anies malah berterima kasih pada Tempo demgan mengatakan: "Terima kasih Tempo telah menjalankan tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi. Semoga perbaikan sistem yang sedang berjalan bisa segera kami tuntaskan. Terus awasi kami yang sedang bertugas di pemerintahan. Karikaturnya boleh juga. Kalau tidak begitu bukan Tempo namanya." Tak hanya Tempo, sosok seperti William Aditya Sarana, Rian Ernest Tanudjaja, Ade Armando, Deny Siregar, Abu Janda, dan barisan Ahoker dan Jokower lainnya tak henti-henti mengkritik Anies. Kritikan diarahkan dari berbagai sudut lemah maupun sedang, tapi sejauh ini tak ada kritik yang kuat. Tapi Gubernur DKI itu menganggap santai aneka kritikan yang datang secara bertubi-tubi itu. "Memang parpol, anggota DPRD punya hak untuk bicara dan publik bisa menilai. Apakah dia bicara menyelesaikan masalah, memperumit masalah atau hanya aktualisasi diri," tutur Anies. Bahkan politisi PSI Tsamara Amany yang sangat vokal terhadap Pemprov DKI dibuat surprise oleh Anies. Anies dan istri datang ke pernikahan Tsamara dan Ismail Fajrie di hotel Fairmont sebagai bentuk sikap kenegarawanan Anies terhadap lawan politiknya. Tidak baperan, apalagi bermental pecundang. Anies tetap taft memimpin DKI Jakarta, meski dikritik Ade Armando dengan meme ‘Gubernur Jahat, Berawal Dari Menteri Yang Dipecat’. Anies dengan santai mengatakan tak akan menanggapi tudingan kelas rendah tersebut, walaupun anggota DPD Fahira Idris mengadukan Ade ke kepolisian. Tak luput Deny Siregar mengkriti soal proyek bambu getah getih yang hanya menguntungkan segelintir orang. Anies juga dengan enteng menjawab, daripada menghadirkan besi impor dari Tiongkok, masih lebih baik menguntungkan para UKM lokal. Karuan saja Deny Siregar mati angin tak karuan. Pendek kata, Anies bukan tipe yang mudah terbang mengawang-awang ketika dipuji. Bahkan mentalnya tak segera tumbang meski dicaci maki. Inilah modal pemimpin masa depan, gigih, ulet, tahan banting, dan terus berprestasi. Ayo, siapa lagi mau memaki? Anies siap menghadapi...! End. Penulis adalah wartawan senior.

Surya Paloh Tak Perlulah “Baperan Seperti Anak TK”

By Kisman LatumakulitaPenulis Kader Partai Nasdem & Wartawan Senior Jakarta, FNN - Bapak Surya Paloh. Yang kalau kita lihat, malam hari ini beliau lebih cerah dari biasanya. Sehabis pertemuan beliau dengan Pak Sohibil Iman di PKS. Wajahnya cerah setelah beliau berdua berangkulan dengan Pak Sobibul Imam. Saya tidak tahu maknanya apa? Tetapi rangkulannya tidak seperti biasanya. Tidak pernah. Tidak pernah saya dirangkul oleh Bang Surya seerat beliau merangkul Pak Sohibul Imam. Inilah penggalan pidato yang mengawali sambutan Prasiden Jokowi di ulang tahun Partai Golkar, di Hotel Sultan Rabu malam (06/11/2019). Hadirin terlihat bersemangat bertepuk tangan, disertai suara gemuruh. Tampak banyak hadirin yang tertawa, dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Presiden Jokowi tampak senyum-senyum sambil melanjutkan sambutannya. Penggalan sambutan Presiden Jokowi itu, sebagai respons atas pertemuan DPP Partai Nasdem dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di kantor PKS Senin (04/11/2019). Dari gambar foto yang beredar di media massa, tampak Surya Paloh berangkulan dengan Presiden PKS Sohibul Iman. Sekilas yang bisa terbaca oleh nalar, sambutan Presiden Jokowi pada bagian yang khusus kepada Ketua Umum Partai Nasdem adalah candaan biasa-biasa. Walaupun demikian, publik bisa membacanya dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya, dilihat sebagai peringatan yang biasa-biasa saja dari Jokowi. Sebaliknya, bisa juga bukan peringatan yang bukan biasanya. Surya Paloh menanggapi cadaan Jokowi dengan retorika yang khas, ketika membuka Munas ke-II Partai Nasdem di Jakarta Internasional Expo Kemayoran. Dengan gaya pidatonya yang biasanya menguasai panggung, Surya Paloh menanggapi sindiran Presiden Jokowi dua hari sebelumnya. Kata Surya Paloh “tingkat diskursus politik yang paling picisan di negeri ini. Hubungan rangkulan, tali silaturrahmi dimaknai dengan berbagai tafsir dan kecurigaan (detiknes 8/11/2019). Tepuk tangan kader Nasdem gemuruh dan membahana di arena kongres. Paloh menjelaskan, bangsa Indonesia sudah lelah dengan segala intrik yang mengundang sinisme satu sama lain. “Bangsa ini juga sudah lelah dengan kecurigaan satu sama lain. Sehingga ketika kita berkunjung ke kawan pun mengundang kecurigaan. Ini bangsa model apa yang seperti ini," tanya Paloh dengan bertanya-tanya. Tepuk tangan kader Nasadem kembali membahana. Berkoalisi dengan Prabowo Suka atau tidak, bahwa tanggapan Paloh ini tertuju pada pidato Presiden Jokowi dua hari sebelumnya di Holtel Sultan. Paloh sepertinya tidak terima candaan dari Presiden Jokowi itu. Padahal, jika dicerna dengan nalar yang jernih dan bersih, candaan Jokowi sangat terpuji, santun, indah dan berkelas. Mungkin Surya Paloh pura-pura budeg, bahwa pemerintah Presiden Jokowi periode kedua ini dibangun di atas rekonsiliasi yang basah keringat dan berdarah-darah. Banyak luka dan pilu yang sampai hari ini masih membekas dan menganga. Pemilu 2019 yang menghasilkan diameteral yang tajam di masyarakat, sampai sekarang belum pulih. Fakta politik di masyarakat ini, makin diperparah dengan pertumbuhan ekonimi Indonesia yang mandheg di angka 5%. Perang dagang raksasa ekonimi dunia Amerika vs Cina membuat Indonesia dan negara berkembang terjepit di tengah. Kenyataan ini diperparah dengan Shortfall pajak dalam negeri juga jauh dari target yang ditetapkan APBN 2019. Semua fakta politik dan ekonomi ini membuat Jokowi harus korbankan egoisme pribadinya. Jokowi perlu membuka tangan selebar-lebarnya, dan mengajak rivalnya Prabowo masuk dalam pemerintahnya lima tahun ke depan. Langkah Jokowi ini sebagai upaya awal mendinginkan suhu politik. Sehingga diharapkan berdampak secara sistemik kepada stabilitas pertumbuhan ekonomi ke depan. Sayangnya, di tengah Jokowi bekerja keras meyakinkan investor dunia untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Caranya, dengan mengajak Prabowo masuk sebagai anggota koalisi, Surya Paloh malah bertingkah seperti anak kecil. Surya Paloh membangun aliansi strategis dengan PKS. Padahal PKS sudah memantapkan posisinya sebagai oposisi. PKS berada di luar pemerintahan Jokowi untuk lima tahun ke depan. Bagi PKS yang dominan warna-warna ke-Islaman, kedatangan Surya Paloh dan Nasdem tentu saja diterima dengan senang hati. Tafaddol, dan ahlan wasahlan. Politisi yang bukan Islam saja diterima PKS dengan tangan terbuka. Apalagi yang datang ini masih sesama Islam. Walaupun berbeda garis politik, PKS tak mungkin menolak kedatangan Surya Paloh dan Nasdem. Garis politik PKS adalah nasionalis religius. Sedangkan Nasdem nasional sekuler. PKS sebagai partai da’wah juga mau bilang kepada publik bahwa “al-Islaamu rahmatal lil ‘aalamin”. Artinya, Islam itu rahmat untuk seluruh isi alam. Sehingga PKS membuka diri dan pintu lebar-lebar kepada siapa saja yang mau bersilaturrahmi ke PKS. Bukan sebaliknya “al-Islaamu rahmatan lil muslimin. Artinya, Islam itu bukan hanya rahmat untuk kaum mulimin. Koalisi Rapuh Sebagai anggota koalisi pemerintah, langkah liar Surya Paloh dan Nasdem menggalang kemitraan strategis dengan PKS bisa menimbulkan pertanyaan di ruang publik. Investor tentu bertanya-tanya tentang kemungkinan rapuhnya pemerintahan koalisi Jokowi di awal-awal. Langkah Paloh ini bisa membuat investor mengambil posisi wait and see untuk masuk ke Indonesia. Pemerintah Jokowi saat ini membutuhkan investasi asing dalam jumlah besar. Untuk itu dibutuhkan iklim politik yang kondusif dan sejuk. Sehingga tidak membuat investor ragu. Langkah pertama adalah berkoalisi dengan rivalnya Prabowo. Sebab, faktanya belum lama ini sekitar 60 lebih perusahaan besar yang keluar dari Cina,. Namun sayangnya, tidak satupun yang mau mampir ke Indonesia. Untuk itu, Paloh agar lebih dewasa dalam berpolitik. Paloh harus lebih wise sebagai politisi di usianya yang sudah uzur itu. Tidak perlulah “baperan” (bewah perasaan) kaya anak Taman Kanak-Kanah (TK). Perbedaan yang terjadi di dalam koalisi, sebaiknya didiskusikan atau dibicarakan saja ke dalam. Jangan hanya karena keinginan untuk mendapatkan pos jabatan atau kementerian tententu tidak bisa dipenuhi Pak Jokowi, lantas berulah seperti anak kecil. Seperti anak yang masih Taman Kanak-Kanak. Kebiasaan anak-anak kecil itu, kalau ada perminataannya atau keinginannya yang tidak bisa dipenuhi orang tuanya, suka bertingkah aneh-aneh. Suka lempar rumah, dan tidak mau pulang ke rumah. Kalau pulang ke rumah pun, tidak mau makan. Terdengar kabar yang mungkin saja tak benar validitasnya, Surya Paloh meminta kepada Jokowi agar Nasdem tetap di posisi Jaksa Agung. Selain itu, minta agar Kementerian ESDM diberikan kepada Nasdem. Kementerian ESDM ini sebagai kompensasi hilangnya Kementerian Perdagangan dari genggaman kader Nasdem. Kalau mau belajar tentang kedewasaan, maka sebaiknya balajarlah dari kami orang Maluku. Sudah lebih 41 tahun, kami orang Maluku tidak dikasih posisi menteri di kabinet. Menteri terakhir yang dari putra Maluku adalah dokter Gerrit Augutinus Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan di tahun 1978. Padahal kami orang Maluku adalah pemegang saham pendiri bangsa ini. Satu di antara delapan provinsi yang mendirikan bangsa Indonesia ini di tahun 1945 adalah Maluku. Toh, kami orang Maluku tidak baperan tuh. Kami tidak juga meminta untuk dilakukan referendum. Tidak berupaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun sebaliknya, kami orang Maluku tetatp setia dan mencintai NKRI ini. Pagi Tempe Sore Dele Sebagai politisi senior, Surya Paloh juga harus konsisten dengan ucapannya. Kalau dalam bahasa agama harus lebih tawaddu dengan yang diucapkan. Agar bisa diteladani dan dikenang sebagai politisi yang berkarakter. Sebab banyak perilaku politik Surya Paloh yang tak sesuai dengan ucapannya. Contoh yang paling nyata bisa dlihat di manifesto politik Partai Nasdem. Awalnya, Nasdem menolak Pilkada dilakukan secara langsung. Berbagai alasan dikemukakan sebagai dalil pembenar atas sikap politik Partai Nasdem tersebut. Namun setelah memiliki kursi di DPR. Giliran Partai Nasdem yang paling getol dan menikmati Pilkada langsung tersebut. Tagline Partai Nasdem ketika itu adalah “Pilkada Tanpa Mahar atau Politik Tanpa Mahar” Tahun 2014, Surya Paloh mengatakan di depan pertemuan kader Partai Nasdem di Ancol membuat pernyataan yang luar biasa hebat. Ketika itu Surya Paloh bilang “kalau tidak masuk tiga besar, dipastikan Nasdem tidak mengajukan calon presiden”. Namun, baru hari pertama Pemilu 2014, dan masih dalam hitungan cepat lembaga survei, Nasdem ketika itu di urutan 9 partai yang lolos ke DPR. Hari itu juga Nasdem dan PDPI sudah mengadakan pertemuan di kantor Nasdem untuk mengajukan Jokowi sebagai calon Presiden. Begitu juga ketika mengajukan Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2017. Salah satu alasan mencalonkan Ahok yang sering dikemukakan kader-kader Nasdem adalah menolak politik identitas. Dengan alasan itu juga, stasiun televisi milik Surya Paloh, Metro TV tidak memberitakan kegiatan Reuni Akbar 212 2018. Acara yang diperkirakan dihadiri sekitar 13 juta manusia itu sepi dari pemberitaan Metro TV. Kegiatan Reuni Akbar 212 tidak diberitakan Metro TV, karena dianggap berkait erat dengan politik identitas. Padahal secara personal, orang-orang PKS adalah bagian penting, bahkan sangat kental dalam kegiatan Reuni Akbar 212 tersebut. Kumpulan politik identitas inilah yang memenangkan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta 2017. Setelah itu kumpulan politik identitas juga yang berdiri di belakang dan mencalonkan Prabowo Subianto sebagai calon presiden melawan Jokowi di Pilpres 2019. Kini giliran Surya Paloh dan Partai Nasdem berangkulan erat dengan Presiden PKS Sohibul Imam. Fakta inilah yang mendorong Presiden Jokowi mengomentarinya, dengan berbagai sudut pandang. Padahal tidak bisa dipungkiri, bahwa PKS sejak kelahirannya sudah kental warna politik identitas. Itu kenyataan dan fakta yang ada. Kalau prilaku politik Surya Paloh, yang “pagi tempe sore dele” begitu bisa berdampak negatif. Apa kata dunia Bang Surya Paloh? Bagaimana juga dengan puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu kader Nasdem yang sudah ikut sekolah Akademi Bela Negara Nasdem (ABNN) itu? Janganlah warisi perilaku yang tidak konsisten, yang kurang bijak seperti itu kepada generasi muda bangsa ini. Abang Surya Paloh kan politisi senior yang hebat. Abang juga wartawan senior yang hebat. Kalau perilaku politik Bang Surya Paloh yang berubah-ubah dan kekanak-kanakan tersebut, karena faktor umur, yaa bisalah dipahami dan diterima. Namu jangan juga sampai “janji satu sebelas yang meleset bang”. End

Lem Aibon: Kenapa Kalian Makin Sinting?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Sulit dimengerti. Tiba-tiba William Aditya Sarana dijadikan pahlawan. Karangan bunga simpati dikirimkan kepada anggota DPRD DKI dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu. Cukup banyak papan bunga yang terpampang di dekat gedung Dewan. Isinya memuji-muji William. Dia dianggap berjasa “membongkar” kejanggalan isian e-budgeting anggaran belanja pemprov DKI. Ada lem Aibon 82 miliar dan pena ballpoint 124 miliar. Kedua-duanya tak masuk akal. Janggal. William seolah menemukan korupsi yang akan dilakukan Gubernur Anies Baswedan. Padahal, semua orang tahu bahwa yang justru menyisir keanehan itu adalah Anies sendiri. Anies yang lebih dulu mempersoalkan itu. Bukan William. Cuma dia tidak berkoar-koar. Tidak seperti Ahok ketika menemukan anak-buahnya bersalah. Tapi, temuan William yang sifatnya “kesiangan” itu dijadikan simbol heroik oleh sejumlah orang. Sangat sukar dipahami. Tak bisa dipahami kenapa temuan William yang tak bermakna sedikit pun itu dielu-elukan dengan karangan bunga pujian? Kenapa kesalahan staf Anies itu dipelintir menjadi kesalahan Gubernur? Seolah Gubernur sedang menyiapkan korupsi? Heran sekali. Heran, mengapa kalian semakin sinting? Luar biasa Anda. Tak masuk akal rasanya kalau kalian tak punya akal. Sungguh reaksi kalian lewat karangan bunga untuk William itu akan memberikan pendidikan politik aliran sesat. Padahal, kalian mengaku partai milenial. Partai yang kalian bentuk dengan tujuan untuk menampung pikiran sehat generasi muda. Sekarang, bagaimana mungkin publik akan mengakui keakalsehatan kalian? Yang kalian lakukan justru kebalikannya. Kalian menunjukkan diri kakian semakin kacau. Sangat disayangkan mengapa dari hari ke hari kalian makin sinting. Seharusnya karangan bunga itu mewakili akal sehat. Tapi, kalian jadikan itu pertanda kesintingan.[] Penulis adalah wartawan senior.

Wacana Ngawur Larangan Cadar dan Celana Cingkrang

Oleh Dimas Huda Jakarta, FNN - Islam mengajarkan serahkanlah urusan pada ahlinya. Dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan bahwa Nabi bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Seorang sahabat bertanya; “bagaimana maksud amanat disia-siakan?“ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” Di era kini, dikenal dengan istilah the right man in the right place. Secara sederhana kalimat itu dimaknai menempatkan orang sesuai keahliannya. Suatu tim akan mampu bergerak lebih cepat kalau orang di dalamnya mengurusi hal-hal sesuai keahliannya. Nyatanya, konsep ini mudah dikatakan tapi tidak selalu mudah diterapkan. Tengok saja susunan Kabinet Indonesia Maju atau KIM. Apakah Presiden Joko Widodo sudah menjalankan prinsip the right man in the right place? Untuk menilai hal itu tentu kita patut bersabar. Beri kesempatan dulu mereka, para menteri itu, bekerja. Okelah kalau begitu! Hanya saja, terhadap Fachrul Razi yang diamanahi sebagai Menteri Agama rasa-rasanya sulit bagi publik Muslim, untuk bersabar. Fachrul Razi sudah sangat berisik, cerewet dan menguras emosi umat. Publik membaca Menteri Agama yang mengaku hanya bisa menghafal juz ke-30 atau juz amma dari kitab suci Alquran, itu tak membaca secara benar tentang sejarah lahirnya kementerian agama. Bukti bahwa Fachrul Razi tidak memahami sejarah kementerian agama cukup jelas ditunjukkan ketika ia mengatakan bahwa dirinya bukan menteri agama Islam dan dia ditugaskan untuk melawan radikalisme. “Mengatakan bukan menteri agama Islam adalah pernyataan ahistoris. Sebab sejarah mencatat, bahwa aspirasi umat Islam diakomodir dengan terbentuknya kementerian itu,” tulis Dr. Ahmad Yani, Dosen FISIP dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Apa yang ditulis Yani dan viral di media sosial itu sangat berdasar. Kementerian Agama dibentuk pada 1946 sebagai kompromi politik atas hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Sebagai pengingat, setelah proklamasi 17 Agustus 1945, umat Islam melalui tokoh-tokoh politiknya merelakan tujuh kata demi keutuhan bangsa. Pengorbanan umat Islam ini menjadi perhatian utama bagi pendiri bangsa. M. Yamin, berkata, "Tidak cukuplah jaminan kepada agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja, melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri. Pendek kata menurut kehendak rakyat, bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, wakaf dan masjid, dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu yang kita namai Kementerian Agama." Pernyataan M. Yamin itu menjadi bukti sejarah bahwa Kementerian Agama adalah dibuat khusus untuk umat Islam dalam mengakomodir segala kepentingan umat Islam. Selain itu, Kementerian Agama juga yang menjadi titik temu antara nasionalis sekuler dan nasionalis agama. "Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara," ucap Kiai Wahid Hasyim suatu ketika. Pemerintah mengumumkan berdirinya Kementerian Agama setelah disepakati secara aklamasi di Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Agama Pertama. H.M. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern dan di kemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah. Setelah itu, Kementerian Agama selalu diisi tokoh-tokoh Islam dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya. Di era Orde Baru Menag memang pernah dijabat pensiunan tentara. Mereka adalah Alamsyah Ratu Perwiranegara dan Tarmizi Thahir. Nama kedua tentara tapi memiliki latarbelakang pengetahuan agama yang memadai. Lagi pula, tidak ada dokumen yang mencatat Alamsyah dan Tarmizi pernah bilang bahwa dirinya bukan menteri agama Islam. Hanya pada era kinilah, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, yang begitu. Inilah pentingnya Fachrul belajar lebih banyak lagi. Lagi pula, kewajiban belajar itu tidak mengenal usia. Belajar dari ayunan sampai ke liang lahat, begitu agama mengajarkan. Cara dan Celana Cingkrang Neta S. Pane dalam akun Facebooknya memosting foto dirinya dan aktor film Keanu Reeves yang mengenakan celana cingkrang. Neta menulis: Nyantai aje ye.....kata teman teman aye....aye ude terpapar.....Terpapar ape ye. Terpapar kek Keanu Reeves kali ye. Sama sama penggemar celana cingkrang. Toh kagak masalah....baik aye maupun Keanu....bukan PNS ato ASN. Jadi kami asyik asyik aje terpapar bercingkrang ria.....btw kurasa lebih gaunteng aye ketimbang Keanu.....Kurasa lho...xixixixixixj ngeri ngeri sedaplah pokoknye... Status satir Ketua Presidium IPW (Indonesia Police Watch) itu jelas ditujukan kepada Menteri Agama, Fachrul Razi. Meme yang lebih menohok lagi bertebaran di media sosial belakangan ini. Fachrul boleh jadi adalah menteri yang banyak mendapat reaksi negatif dari publik sejak ia dilantik menjadi Menag. Parahnya, Fachrul cenderung over acting yang boleh jadi untuk menutup kelemahannya. Sepertinya, Menag, Fachrul Razi, gagap. Ia terjebak pada kata “memerangi radikalisme” sebagai prioritas kerjanya sehingga dia tak tahu mesti memulai dari mana. Tiba-tiba ia melempar wacara larangan cadar dan celana cingkrang bagi PNS. Wacana yang kebablasan. Ngawur dan bikin gaduh. Dibilang ngawur, karena apa yang diwacanakan Fachrul memberi kesan bahwa cadar dan celana cingkrang adalah bagian dari radikalisme. Melarang cadar dan celana cingkrang bermakna memerangi kaum radikal. Ia lupa bahwa persoalan pelarangan cadar bukan cuma soal agama, tapi juga sudah soal hak asasi manusia (HAM). Pemerintah seharusnya tidak mencampuri ranah privat setiap warga negara. Sebab, privasi warga itu hal yang paling prinsip. "Sebaiknya Menteri Agama lebih hati-hati dalam melontarkan wacana,” ucap Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, belum lama ini. Wajar saja, jika politisi PAN, Hanafi Rais, curiga jangan-jangan wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah itu dimunculkan untuk menutupi masalah kapasitas Fachrul. Di sisi lain, banyak masalah yang belum beres di Kementerian Agama. Itu yang mestinya menjadi prioritas. Misalnya persoalan haji, pendidikan agama, dan isu-isu yang lain. Menag lebih baik bicara yang lebih konkret dan lebih nyata di masyarakat, ketimbang bicara masalah remeh temeh soal celana cingkrang. “Itu jangan-jangan malah menutupi kapasitasnya sendiri yang mungkin tidak bisa atau tidak mampu," sindir Hanafi. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, juga meminta kepada seluruh pihak untuk tidak mengaitkan tampilan celana cingkrang dan berjenggot dengan radikalisme. Radikalisme merupakan pandangan ideologi bukan tampilan berpakaian. "Tidak bisa kita lihat dengan cara tata busana, kemudian berjenggot, celana cingkrang, tapi itu masalah ideologi," kata Suhardi, Jumat (1/11). Bukan melindungi tiap warga negara untuk memeluk agama berdasar keyakinannya, Fachrul justru sukses menyedot emosi umat. Maka pantas saja Presiden Joko Widodo merasa perlu turun tangan. "Kalau saya ya, yang namanya cara-cara berpakaian, cara berpakaian kan sebetulnya pilihan pribadi, pilihan personal, atau kebebasan pribadi setiap orang," ujarnya. Persoalan bangsa ini sudah sangat menumpuk. Kita berada pada pintu multi krisis: krisis ekonomi, krisis moral, dan krisis kepercayaan. Ironis, masih ada pejabat tinggi yang kuper, kurang pergaulan: sibuk mempermasalahkan celana cingkrang. Pantas saja jika ada menyindir: celana cingkrang dan cadar yang diyakini sebagai perintah agama dimasalahkan, celana mini suit... suit … Penulis adalah wartawan senior.

Mengintai 24 Jam, Musuh Gubernur Anies Seperti Piranha Lapar

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Mereka berlomba-lomba mau menjadi pahlawan untuk menjatuhkan Gubernur Anies Baswedan. Kali ini, amunisinya adalah soal anggaran untuk membeli lem Aibon sebesar 82 miliar dan pena ballpoint sebesar 124 miliar. Jumlahnya memang tak masuk akal. In kesalahan besar. Semua sepakat. Tetapi, harap diingat, jumlah ini baru pada tahap pengajuan. Pengajuannya pun asal-asalan saja. Kepala SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang tidak cermat. Bisa jadi juga malas. Bahkan, mungkin saja ada yang sedang menjalankan misi untuk menjelekkan Anies. Tapi, anggaplah ini kekeliruan Anies. Tidak masalah. Akan menjadi pelajaran bagi Gubernur santun ini ke depannya. Agar tidak lagi percaya 100 persen kepada staf yang memasukkan angka-angka anggaran ke dalam sistem e-budgeting. Yang harus diingat tiap saat oleh Anies adalah bahwa dia diincar 24 jam oleh orang-orang yang tidak suka padanya. Para musuh politik Anies menunggu kesalahan itu bagaikan ikan piranha yang sedang lapar. Begitu ada aroma yang mirip bau darah, ikan-ikan piranha itu langsung meluncur secepat kilat ke TKP. Memang mengerikan. Inilah yang harus diwaspadai oleh Gubernur Anies. Dia harus awas 24 jam juga, sebagaimana para musuh mengincar 24 jam. Khusus soal anggaran belanja, persoalannya sangat sensitif. Pasti menjadi fokus intipan musuh-musuh politik yang ingin sekali melihat Anies diserang dari segala arah. Sekali lagi, mereka itu mengintai 24 jam. Anies harus semakin hati-hati lagi. Dan ini tentunya bagus sekali. Alhamdulillah, Gubernur Anies sangat sigap. Dia mengumpulkan stafnya untuk membicarakan keanehan anggarapan lem Aibon dan ballpoint itu pada 23 Oktober. Jauh sebelum para musuh politiknya menggelar jumpa pers PSI yang kental untuk cari panggung. Rapat yang dipimpin Anies untuk membicarakan keanehan mata anggaran itu baru diunggah ke kanal YouTube pemprov pada 29 Oktober. Seperti dijelaskan oleh Gubernur, dia tidak mau mengumumkan itu kepada publik. Apalagi sambil menunjukkan kemarahan di depan kamera. Atau sambil memaki-maki staf yang didapati bersalah. Anies cukup mengatakan bahwa mereka yang tak berniat kerja dengan profesional akan dikeluarkan dari barisan. Tidak harus membentak-bentak. Tidak harus tunjuk-tunjuk pertanda jagoan, dlsb. Jadi, ke depan nanti Bung Anies hendaklah ekstra hati-hati. Tak salah kalau diturunkan staf yang khusus bertugas untuk mengawasi angka-angka yang dimasukkan ke sistem e-budgeting. Percayalah, ada orang yang terus-menerus mengincar kesalahan Gubernur Anies. Anda tidak perlu merasa terganggu oleh insiden lem Aibon dan ballpoint itu. Bukan Anda yang membuat kesalahan itu, kok. Semua orang paham. Itu hanya ulah gerombolan piranha yang sedang lapar. 31 Oktober 2019 Penulis Adalah Wartawan Senior

Jokowi Apakan Itu Partai-Partai Non DPR dan NU?

Sekarang bukan waktunya meminta mereka memahami sekali lagi kesulitan dari Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi sudah menjadi Presiden. Keadaan mutakhir memperlihatkan arus kecil membawa Pak Jokowi ke suatu perspektif klasik dalam politik. Perspektif itu adalah mereka telah bersama-sama dengan Pak Jokowi mencapai tujuan menjadi presiden. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Urusan apa dan dengan siapa? Urusan dengan partai politik tertentu, dan Nahdatul Ulama (NU). Mereka tak diperlakukan sama dengan partai-partai lain. Sampai sejauh ini tanpa ada penjelasan dari Pak Jokowi. Entah kenapa demikian? Apakah hanya karena mereka tidak memiliki kursi di DPR, atau ada hal lainnya? Juga tidak jelas. Serba gelap. Kenapa mereka tak diangkat menjadi menteri atau diberikan jabatan lain? Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian memang terbatas. Tetapi kenapa juga tidak menggunakan keterbatasan tersebut untuk memprioritaskan mereka? Kenapa hanya memprioritaskan yang lain? Lalu juga dengan mereka yang tidak berpartai? Tak ada penjelasan yang selayaknya dari Pak Jokowi. Telah Bekerja Dilihat dari sudut pandang hukum, cara pembentukan kabinet dalam sistem presidensial, memang berbeda dengan parlementer. Sistem presidensial menyerahkan kewenangan pembentukan kabinet sepenuhnya pada presiden secara personal. Partai tidak diikutkan dalam urusan yang satu ini. Beda betul dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, ini partai-partai, tentu saja yang memiliki kursi di DPR, yang sedari awal berkoalisi dengan Pak Jokowi, ikut membicarakan masalah menteri di kabinet. Dalam makna partai ikut menentukan formasi kabinetnya Pak Jokowi. Tetapi soalnya tidak disitu. Ini bukan soal hukum. Ini persoalan politik. Penentuan mengenai siapa, dan dapat apa, itu adalah soal politik, dan bukan hukum. Mengapa sebagian partai, bukan hanya diikutkan, tetapi dijatahi jabatan. Sementara sebagian partai yang lain tidak dijatahi jabatan? Toh dalam kenyataannya, mereka telah menjadi lebih dari Jokowi dan Kiyai M’ruf. Sepanjang jalan dalam pelaksanaan kampanye yang bergelombang dan berat, mereka telah memperlihatkan kesungguhannya untuk memenangkan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Lagi-lagi, ini bukan masalah hukum. Namun ini sepenuhnya masalah politik. Merekalah yang menyukseskan Pak Jokowi menjadi presiden. Pada merekalah Presiden berhutang. Hutangnya pasti sangat tak bisa diperhitungkan. Mereka telah bersekutu, setidaknya menjadi pendukung non ideologis Pak Jokowi dengan segala emosinya. Mereka bukan sekutu asal-asalan. Mereka sekutu yang paling top. Apalagi sayap NU. Politik memang dunianya tersendiri. Dunia yang bisa saja sangat kejam. Dunia ini, seperti Churchil, pria yang pernah menjadi PM Ingris pada perang dunia kedua dulu. Pria yang sangat bergairah menghadapi tantangan. Terkadang mengabaikan yang detail. Churchil juga mudah mengubah kebijakan lukiskan sebagai dunia yang membuat seseorang bisa mati berkali-kali. Disitulah bedanya dengan perang, katanya. Dalam perang orang hanya mati sekali. Sementara dalam politik, bisa mati berkali-kali. Itukah yang sedang dipaksa untuk dialami partai-partai ini dan NU? Diabaikan setelah bekerja, tanpa adanya penjelasan? Padahal mereka adalah fungsionaris-fungsionaris utama partai-partai yang berkelas lebih dari kubu pendukung Pak Jokowi. Orang-orang ini terlihat jelas dalam semua hal. Mereka telah tampil paling depan untuk berbicara dalam banyak tingkatan isu aktual. Mereka juga arif dalam banyak hal. Apakah mungkin karena mereka arif itulah, sehingga menjauhkan mereka dari hasrat menjadi lawan untuk Pak Jokowi sepagi ini? Kearifan mereka, mungkn dapat diharapkan tidak membuat mereka mempertalikan politik dengan harga diri. Ketika politik dan harga diri dipertalikan. Atau politik dilihat sebagai permainan yang melibatkan harga diri, emosi dan fanatisme, maka goresan kecil sekalipun terhadap mereka, sama dengan memanggil badai datang secepat kilat. Begitulah yang tersirat dari kata-kata bijak,” satu lawan menjadi terlalu banyak dari seribu kawan”. Rumit Memang Partai-partai ini dan NU pasti tidak meminta jabatan apapun, dalam pemerintahan Pak Jokowi. Saya sangat yakin itu. Itu dapat dipastikan. Toh dulu, hampir setiap saat mereka secara terbuka mengatakan memberikan bahwa dukungan yang mereka berikan kepada Pak Jokowi tanpa syarat. Apalagi harus memegang jabatan ini atau itu. Mereka, saya menduga, juga tidak sedang menyuruh dengan cara yang khas agar Pak Jokowi memahami mereka. Betapa politik tidak pernah terlepas dari kredo “kami berikan apa dan apa imbalannya”. Mereka adalah orang-orang yang sangat tahu bahwa dunia politik tidak pernah cukup jauh dari permainan siapa yang menunggangi siapa? Walaupun demikian, saya cukup yakin bahwa mereka sangat tahu politik juga bukan dunia yang tidak terjalin dengan kebijakanaan dan kearifan. Politik sangat membutuhkan sisi kebijakan dan kearifan tersebut. Disitulah Jokowi seharusnya berada. Rumit memang. Tetapi serumit itu sekalipun, Pak Jokowi harus menemukan cara solusi untuk dapat menyenangkan mereka. Pemecahan yang menyenangkan itu tidak berbentuk meminta mereka untuk memahami kesulitan Pak Jokowi. Sudah terlalu lama. Bahkan terlalu sering selama kampanye, mereka memahami Pak Jokowi. Juga memahami Kiyai Ma’ruf. Sekarang bukan waktunya meminta mereka memahami sekali lagi kesulitan dari Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi sudah menjadi Presiden. Keadaan mutakhir memperlihatkan arus kecil membawa Pak Jokowi ke suatu perspektif klasik dalam politik. Perspektif itu adalah mereka telah bersama-sama dengan Pak Jokowi mencapai tujuan menjadi presiden. Pak Jokowi pasti sangatlah mengetahui itu. Dan politik sangat mengharuskan presiden untuk tahu tentang keinginan mereka. Sebab faktanya mereka sudah bekerja siang dan malam, dan tertatih-tatih untuk menjadikan Pak Jokowi menjadi Presiden. Haruskah memberikan mereka jabatan? Padahal mereka juga tidak meminta. Namun apa iya? Apa Pak Jokwi tak mengetahui bahwa bagi partai politik, berada dalam kekuasaan pemerintahan itu menjadi sejenis kehormatan. Ini memang gengsi yang kecil. Soal ini memang sangat krusial. Karena semua kementerian telah terisi. Jabatan lain juga sudah terisi. Berhentikan mereka yang sedang menjabat? Apa alasannya? Mereka juga, dengan cara yang minimal sekalipun telah bekerja membawa Pak Jokowi menjadi Presiden. Bentuk lembaga baru untuk mereka? Oke saja. Tetapi duit sedang susah. Hutang sedang terus digali. BPJS kesehatan sudah dinaikan. Kerumitan-kerumitan kecil itu, dalam kenyataannya berhimpit dengan formasi kabinet yang jauh dari segaris dengan kearifan konstitusional selama bertahun-tahun. Kearifan konstitusional itulah yang membuat PP Muhammadiah dan PB NU bertahun-tahun berada pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama. Kini kedua ormas terbesar di Indonesia itu tersingikir dari dua kementerian tersebut. Padahal NU, setidaknya melalui sayapnya, seperti juga partai-partai sudah habis-habisan di sepanjang jalan kampanye pilpres yang berat. Pantaskah NU harus menemukan kenyataan yang pahit ini? Yaitu tersingikir dari puncak Kementerian Agama? Akankah semua kerumitan itu menghasilkan jalan terjal bagi Pak Jokowi? Yang bisa dijelaskan, urusan Pak Jokowi dengan mereka jauh dari selesai. Memecahkannya sangat rumit. Namun tidak segera memecahkannya juga lebih rumit lagi. Bembiarkannya, sama saja dengan membuat spektrum politik menjadi serba negative ke depan. Rumit, tapi tidak kusut memang. Akankah Pak Jokowi mendatangi mereka dengan paket pemecahan masalah yang menyenangkan? Dan apakah selaras dengan keadaan bangsa ini? Infrastruktur tak punya hati. Manusia punya hati yang bisa merasa. Juga punya emosi dan punya mimpi. Terburu-buru akan menghasilkan solusi yang rapuh. Tetapi berlama-lama justru dapat memanggil fenomena James Comey, Direktur FBI yang disingkirkan Trump dari jabatannya. Anda tahu? Comey muncul di depan Komite Inteljen DPR menjahit secara rapih berbagai cerita tentang isu keterlibatan Rusia dalam pemilu yang menghasilkan Trump sebagai Presiden. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

PKS Dalam Pelukan Surya Paloh

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Picture of the week! Foto Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpelukan erat dengan Presiden PKS M Sohibul Iman, layak dinobatkan sebagai “Foto pilihan pekan ini.” Foto keduanya dalam pose berpelukan ala teletubbies, beredar secara cepat di medsos. Lengkap dengan berbagai komentar. Komentar yang muncul kebanyakan mengundang senyum. Ada juga yang membuat meme. Foto itu disandingkan dengan foto Prabowo sedang berwelfie ria bersama Megawati dan Puan Maharani. Captionnya: Cinta yang tertukar! Secara visual, foto yang diabadikan ketika Surya Paloh berkunjung ke kantor DPP PKS itu memang sangat kuat. Apalagi tafsir politiknya. Jauh lebih menarik dan multi tafsir. PKS adalah satu-satunya partai yang sejak awal menyatakan oposisi terhadap Jokowi. Sementara Nasdem partai pendukung Jokowi yang berkali-kali menyatakan siap menjadi oposisi. Walau akhirnya tetap masuk kabinet, dan menempatkan tiga orang menteri. Dari sisi positioning, secara politis keduanya berada dalam kubu berseberangan. Sebelumnya sulit membayangkan mereka akan berpeluk-ria, apalagi sampai membuat beberapa kesepakatan. Tapi itulah fenomena politik kontemporer Indonesia. Tempat adagium bahwa politik sebagai the art of possibility benar-benar diterapkan. Kemungkinannya bahkan jauh melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Beyond our imagination. Prabowo saja bisa masuk kabinet Jokowi dan menjadi Menhan. Mengapa pula Surya Paloh dan Sohibul Iman tidak bisa berpeluk-mesra dan membuat blok baru oposisi? Gak perlu baper Pertemuan antara Surya Paloh dan Sohibul Iman ini kian menyadarkan kita, jangan terlalu baper dalam melihat politik Indonesia. Ojo kagetan. Ojo gumunan. Dengan begitu kita tidak perlu kaget, marah, apalagi sakit hati ketika tiba-tiba tokoh atau partai yang kita dukung berubah haluan di tengah jalan. Woles saja. Namanya juga politisi. Mari kita simak beberapa fakta dan fenomena berikut ini: Pertama, batas antara penguasa dan oposisi sangat kabur. Bisa saja oposisi kemudian bergabung dengan penguasa. Sebaliknya yang berada dalam pemerintahan karena kepentingannya kurang/tidak terakomodasi, berancang-ancang menjadi oposisi. Kedua, karena adanya kepentingan yang sama, pemerintah dan oposisi bisa saling bahu membahu dan saling mendukung. Tidak peduli suara pemilih, suara rakyat. Pengesahan UU KPK adalah contoh nyata. Semua fraksi di DPR sepakat mendukung, kendati mendapat perlawanan keras dari masyarakat, mahasiswa dan pelajar. Imbalannya semua fraksi mendapat jatah kursi wakil ketua MPR, termasuk PKS. Caranya dengan mengubah Pasal 15 UU Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Ketiga, kabinet besar dan gemuk Jokowi berpotensi pecah di tengah jalan. Kabinet yang dimaksudkan membuat semua happy, “disini senang, dis senang,” berubah menjadi “di sini senang, di sana berang.” Banyak yang tidak puas dengan pembagian jatah kursi di kabinet. Nasdem sudah menyatakan secara terbuka. Mereka keberatan dengan masuknya Gerindra, apalagi mendapat pos penting sebagai Menhan. Keempat, Jokowi tampaknya harus sudah bersiap-siap menghadapi oposisi yang cukup kuat di DPR, termasuk dari partai pengusungnya. Nasdem sudah mengisyaratkan kemungkinan akan menjalin kerjasama dengan PKS di DPR. PDIP juga tampaknya tidak puas dengan pembagian jatah kursi di kabinet. Apalagi Luhut Panjaitan ternyata masih berperan besar di pemerintahan. Bukan tidak mungkin PDIP juga akan menjadi oposisi terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Oposisi di DPR akan kian besar dengan tidak diakomodasinya PAN dan Demokrat di kabinet. Kelima, tiga tahun, atau paling lambat dua tahun jelang Pemilu 2024 sudah mulai terbentuk konfigurasi kekuatan politik baru. Parpol pendukung Jokowi bisa bubar jalan, atau setidaknya mulai mencari jagoan masing-masing. Pertemuan PKS dan Nasdem bisa menjadi indikator mulai terbentuknya embrio baru koalisi parpol pada Pilpres 2024. Pertemuan ini bisa dilihat sebagai sebuah lanjutan dari pertemuan Surya Paloh dengan Gubernur DKI Anies Baswedan beberapa waktu lalu. Waktu dan kepentingan politik akan menentukan apakah kemesraan ala *_teletubbies_* itu berlanjut sampai 2024, atau hanya manuver sesaat. Publik pasti belum lupa bagaimana Prabowo dan Surya Paloh juga baku rangkul menjelang pembentukan kabinet. Saat itu Surya menyatakan kepentingan negara di atas kepentingan parpol. Ternyata Nasdem menyabot kursi Menteri Pertanian yang sudah lama diincar Gerindra. Sebaliknya Gerindra yang mematok harga mati kursi Mentan, tetap bersedia masuk kabinet dengan kompensasi kursi Menteri Kelautan dan Perikanan. end

Menteri “Bernoda” Korupsi (2): Halim Iskandar dan Ida Fauziyah?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Selain nama Mendagri Tito Karnavian dan Menteri BUMN Erick Thohir, nama Abdul Halim Iskandar, kakak Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar yang menjabat Mendes PDTT dan Menaker Ida Fauziah, ternyata “bernoda” korupsi juga. Keduanya adalah politisi PKB pimpinan Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Sayangnya, kedua politisi PKB itu pernah “berurusan” dengan KPK. Meskipun mereka diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi. Ini dibenarkan oleh pihak KPK. Menurut Jubir KPK Febri Diansyah, Halim Iskandar dan Ida Fauziyah itu pernah dipanggil dan diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang berbeda. Beberapa orang memang pernah diperiksa KPK sebagai saksi dalam sejumlah perkara terpisah. “Saya kira itu juga sudah terbuka ya informasinya,” kata Febri seperti dilansir RMOL.id. Halim Iskandar pernah diperiksa dalam kasus dugaan gratifikasi dari kasus pencucian uang Bupati non-aktif Nganjuk Taufiqurrahman. Sedangkan Ida Fauziyah terkait kasus dugaan korupsi pelaksanaan Haji 2012 sampai 2013 untuk tersangka eks Ketum PPP Surya Darma Ali. Mantan Menteri Agama ini pun sudah divonis Pengadilan Tipikor Jakarta. “Ada beberapa kasus yang berjalan saat itu, seperti suap dan gratifikasi Bupati Nganjuk dan juga kasus korupsi haji yang melibatkan Menteri Agama sebelumnya,” ujar Febri, mengutip Law-justice.co, Rabu (23/10/2019 08:30 WIB). “Memang ada beberapa nama yang kita tahu terkait dengan beberapa kasus korupsi yang pernah ditangani KPK. Namun, mereka memang baru diperiksa sebagai saksi sejauh ini,” ungkap Febri. Halim Iskandar Jejak digital Abdul Halim Iskandar yang “bernoda” korupsi masih terekam. Terkait dirinya yang pernah dipanggil KPK, Halim Iskandar menyatakan sudah clear dan ia tidak terlibat. “Semua clear, enggak ada masalah,” ujarnya, mengutip Kompas.com. Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (22/10/2019), dirinya sempat berurusan dengan KPK pada 2018. Dia dipanggil sebagai saksi terkait penyidikan perkara tindak pidana pencucian uang dengan tersangka mantan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman. Seperti dilansir Liputan6.com, Selasa (22 Okt 2019, 15:09 WIB), “Ya saya kenal, waktu di Jombang ya, sudah,” ujar Abdul Halim usai diperiksa di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 31 Juli 2018. Halim Iskandar tidak menampik kerap bertemu dengan mantan Bupati Nganjuk tersebut. Namun, menurut Ketua DPW PKB Jawa Timur itu, perkenalan dan pertemuannya dengan Taufiqurrahman hanya sebatas kaitan sebagai pengurus partai. “Dia kan orang Jombang. Dia (Bupati Nganjuk Taufiqurrahman) aktif di Golkar, saya di PKB. Kenal sebagai pengurus partai. Sudah itu saja,” kata Halim Iskandar. Taufiqurrahman sendiri merupakan tersangka penerimaan gratifikasi terkait proyek-proyek di Nganjuk. Taufiqurrahman yang diduga KPK menerima gratifikasi Rp 5 miliar selama 2013-2017. Nama mantan Ketua DPRD Jatim periode 2014-2019 itu sempat pula secara tersirat sebagai “kerabat” Muhaimin Iskandar yang sedang digadang-gadang agar maju dalam bursa cagub Jatim 2018. Makanya Ketum PKB ini sedang membutuhkan logistik. Hal itu terungkap dari pengakuan terpidana kasus suap proyek infrastruktur Musa Zainuddin yang menyeret Muhaimin Iskandar dalam pusaran perkara yang membelitnya. Seperti dikutip Tempo, Sabtu (19/10/2019), Muhaimin dituding terima duit fee Rp 6 miliar. Selain dituding menerima duit, Muhaimin disebut juga berupaya menggagalkan permohonan justice collaborator (JC) kadernya tersebut. Awal Oktober lalu, 3 penyidik KPK memeriksa Musa. “Saya diperiksa atas surat permohonan sebagai JC,” kata Musa. Kepada Tempo, Musa mengatakan penyerahan uang itu merupakan respons atas percakapan bersama Jazilul beberapa bulan sebelumnya. Saat itu, Sekretaris Fraksi PKB Jazilul Fawaid mengatakan Muhaimin Iskandar sedang membutuhkan logistik untuk mendorong kader PKB agar maju dalam bursa cagub Jatim 2018. Nama yang sedang digadang-gadang saat itu adalah kerabat Muhaimin. Ternyata, kerabat ini tidak lain adalah Abdul Halim Iskandar, kakak Muhaimin Iskandar yang belakangan batal maju dalam kontestasi Pilgub Jatim 2018. Surat JC Musa yang diperoleh Tempo menyebutkan sebagian besar uang dari para pengusaha itu diserahkan kepada Jazilul. Jumlahnya jauh lebih besar dari uang yang ia terima, yakni Rp 6 miliar. “Yang di tangan saya cuma Rp 1 miliar,” ujar Musa. Musa menjalani hukuman selama 9 tahun karena terbukti menerima suap sebesar Rp 7 miliar untuk meloloskan proyek infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Maluku dan Maluku Utara Tahun Anggaran 2016. Setelah anggaran diketuk, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir menemui Musa. Abdul Khoir mengaku tertarik menggarap proyek pembangunan jalan Taniwel-Saleman, Maluku, senilai Rp 56 miliar. Mantan anggota Komisi Infrastruktur Dewan Perwakilan Rakyat dari PKB itu ditahan sejak Februari 2017. Uang tersebut berasal dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, kontraktor proyek, yang lebih dulu dihukum Pengadilan Tipikor Jakarta. Musa mengatakan penyidik ingin mengkonfirmasi surat permohonan menjadi JC Musa yang diajukan pada sekitar Juli 2019. Musa juga membuka kronologi aliran dana suap Rp 7 miliar yang selama ini tak terungkap di pengadilan dan pemeriksaan. Belakangan, Musa mengaku duit suap itu tidak dia nikmati sendiri, tapi mengalir ke sejumlah koleganya di PKB, termasuk ke Muhaimin. Berbeda dengan keterangan di persidangan, aliran dana suap dari Abdl Khoir ternyata tak berhenti di tangan Musa. Musa mengaku menutupi peran para koleganya lantaran menerima instruksi dari dua petinggi partai. Keduanya menekan Musa agar menutupi keterkaitan uang itu dengan para petinggi PKB. Mereka mengatakan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar berpesan agar kasus suap itu berhenti di Musa. “Saya diminta berbohong dengan tidak mengungkap peristiwa sebenarnya,” ucap Musa. Imin – panggilan akrab Muhaimin – kini menjabat Wakil Ketua DPR. Ida Fauziah Selain Abdul Halim Iskandar, jejak digital serupa yang “bernoda” korupsi juga mengarah ke Ida Fauziah, politikus PKB yang diangkat Presiden Joko Widodo menjabat Menaker dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) 2019-2024. Pada medio 2014, Ida Fauziah yang saat itu anggota Komisi VIII DPR pernah diperiksa KPK terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pelaksanaan Haji 2012 sampai 2013 yang mengarah kepada Komisi VIII DPR. “Diperiksa untuk tersangka SDA (Surya Dharma Ali, mantan Menag saat itu),” tulis Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, melalui pesan singkat, Senin (18/8/2014). Selain Ida, KPK juga turut menjadwalkan memeriksa Anggota Komisi VIII Fraksi Demokrat, Muhammad Baghowi, Soemintarsih Muntoro (Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Hanura), dan bekas Ketua Komisi VIII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini. Kemudian, mantan Direktur Jenderal Pelaksanaan Haji dan Umrah Anggito Abimanyu buat kesekian kalinya juga diperiksa sebagai saksi. Dalam kasus tersebut, ketika itu KPK baru menetapkan seorang tersangka yaitu mantan Menag SDA. Tetapi uniknya, dalam surat perintah dimulainya penyidikan tercantum kalimat “SDA dan kawan-kawan”. SDA disangka melanggar pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana. Praktik korupsi yang mereka lakukan ditengarai terjadi di berbagai lini. Seperti: pengadaan penginapan, transportasi, dan katering. Selain itu, diduga SDA juga menyalahgunakan kuota Panitia Pelaksanaan Ibadah Haji serta memanipulasi Sistem Komputerisasi Haji. Apakah kedua menteri asal PKB ini akan diproses KPK hingga pengadilan Tipikor Jakarta, seperti mantan Menpora Imam Nahrawi? ***

Gagasan yang Menyulitkan Nadiem Makarim

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Karena sesuatu hal, baru sekarang bisa menuliskan tanggapan. Mohon maaf kalau dirasakan telambat. Pada hari pelantikan kabinet Jokowi, seorang pemilik akun FB bernama Sahat Siagian, memperlihatkan rasa senangnya terhadap penunjukan Nadien Makarim sebagai menteri pendidikan. Sahat mengatakan, inilah kesempatan baik bagi Nadiem untuk membongkar masjid-masjid yang berada di komplek sekolah. Sahat jelas-jelas memperlihatkan kegusarannya terhadap busana muslimah yang dipakai oleh para siswi. Dia menginginkan agar Nadiem ‘menetralkan’ pakaian muslimah yang sangat dibencinya itu. Tersirat keinginan Sahat agar pakaian yang menutup aurat dilarang di semua sekolah. Sahat berharap banyak pada Nadiem. Dia membayangkan Mendiknas yang baru ini akan melancarkan gebrakan untuk membasmi suasana islami di lingkungan sekolah dan kampus. “Habiskan semua, Bung. Luluhlantakkan mereka,” tulis Sahat. “Tidak boleh lagi ada yang menaungi pendidikan. Sebab, belajar adalah sebuah upaya untuk membebaskan diri dari tahyul atau kepercayaan apa pun,” kata Sahat lagi. Luar biasa pedas kalimat-kalimat Sahat. Dia meminta agar Nadiem memberangus suasana islami di sekolah dan kampus. Sahat tak menyembunyikan kebenciannya pada Islam. Kehidupan Nadiem sangat disenangi oleh Sahat. Dia melihat prinsip hidup Nadiem sangat cocok untuk ditiru oleh umat Islam. Misalnya, Sahat mengatakan bahwa dia tidak terkejut ketika dia tahu istri Nadiem beragama Katolik. Dan dia sangat senang pula mendengar anak-anak Nadiem dibaptis. Tetapi, Sahat lupa bahwa Nadiem tidak akan mampu mengubah satu orang pun perempuan yang telah teguh dengan keislamannya. Nadiem akan membentur tembok keras jika dia mencoba mengganggu umat Islam yang menerapkan syariat secara wajar, damai dan konstitusional. Akibat benturan itu boleh jadi akan sampai ke wajah Sahat. Kita yakin Nadiem tidak akan mengutak-atik masjid atau surau yang ada di sekolah. Hampir pasti kaum muslimin akan menafsirkannya sebagai upaya kelompok lain untuk mengganggu umat Islam. Kenapa? Karena Sahat terlanjur mengatakan bahwa istri Nadieam beragama Katolik. Seharusnya Sahat tidak menyebutkan itu dalam tulisannya yang berjudul “Bung Nadiem”. Memang terasa enak menyebutkan itu. Tetapi, menjadi sangat sensitif ketika suatu hari nanti Nadiem mengeluarkan kebijakan yang frontal terhadap umat Islam. Kalau Nadiem tiba-tiba membongkar semua masjid atau surau dari komplek sekolah, tentulah salah satu yang terlintas di pikiran kaum muslimin adalah Katolik. Istri Nadiem yang bergama Katolik. Jadi, tulisan Sahat itu sesungguhnya sangat berbahaya. Gagasan Sahat menyulitkan Nadiem. Bisa memunculkan kecurigaan antargolongan. Seharusnya tidak diumbar di depan umum tentang kekatolikan istri Nadiem. Apalagi di media sosial beredar foto-foto keluarga Nadiem yang tampak sedang mengikuti acara di gereja. Sahat seharusnya menyembunyikan kekatolikan istri Nadiem itu. Supaya umat Islam tidak curiga kepada Nadiem. Jika kelak beliau menghantam umat Islam sebagaimana diinginkan oleh Sahat Siagian.[] 28 Oktober 2019