POLITIK
Tegur Walikota Surabaya? Pangdam: Stop Drama!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Baru kali ini Pangdam V Brawijaya Mayor Jenderal TNI Widodo Iryansyah bersuara keras. Ia minta kepala daerah di Surabaya Raya, yakni Wali Kota Surabaya, Bupati Sidoarjo, dan Bupati Gresik lebih bersungguh-sungguh menangani wabah Virus Corona atau Covid-19. Mayjen Widodo menyampaikan hal tersebut karena melihat sampai saat ini kurang adanya keseriusan para kepala daerah, sehingga jumlah kasus Covid-19 justru terus meningkat di ketiga wilayah ini. “Saya minta untuk menyelesaikan masalah Covid ini jangan cuma pakai data, fakta, atau drama dan sebagainya. Mari kita real semuanya,” tegas Pangdam ketika memberi arahan dalam rapat koordinasi PSBB di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Seperti dilansir JPNN.com, Selasa (09 Juni 2020 – 06:45 WIB), selama ini upaya yang telah dilakukan TNI dan Polri dalam penanganan Covid-19 seperti biasa saja karena tampak seperti tidak ada keseriusan dari pemerintah daerah. Dia mencontohkan, tidak adanya aturan tegas dari Perwali atau Perbup yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam penanganan Covid-19. Akibatnya, ketika terjadi pelanggaran hanya diperingatkan biasa dan kesalahan yang sama akan diulang kembali oleh masyarakat. Tidak hanya itu, penerapan kampung tangguh juga dinilai masih kurang masif dilakukan oleh pemerintah daerah padahal itu bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tangguh dalam menghadapi virus. Seperti halnya di RW 8 salah satu kampung di Gresik yang masih menjadi zona hijau, meski dikelilingi oleh kampung yang sudah zona merah. “Apa yang dimiliki TNI-Polri kami berikan semuanya. Maka, berilah aturan Perwali dan Perbup dengan tegas dan kami siap mengawal. Masyarakat susah didisiplinkan padahal sangat sederhana untuk mengurangi covid-19, gak usah lain-lain,” katanya. Tidak hanya itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, telah memberikan arahan khusus untuk membantu daerah dalam rangka operasi pendisiplinan di tempat-tempat keramaian dari tanggal 1-14 Juni 2020. Maka, ini perlu ada dukungan pula dari pemerintah daerah untuk sama-sama ikut memerangi Covid-19. Menurut Mayjen Widodo, kerjasama yang baik akan sangat baik bagi percepatan penanganan Covid-19, sebab per hari ini saja ada tambahan sebanyak 365 kasus baru di Jatim, tertinggi secara nasional. Kapolda Jatim Irjen Mohammad Fadil Imran juga meminta hal yang sama kepada pemerintah daerah. “Kita hilangkan ego, kita harus hilangkan kepentingan sektoral, kita ikhlas sehingga masyarakat kita bebas dari Covid-19,” ungkapnya. Sebab, dibutuhkan kerjasama semua pihak dalam memerangi Covid-19 agar tidak menyebar semakin masif di masyarakat. TNI dan Polri telah memberikan perhatian penuh kepada Jawa Timur untuk segera mengatasi masalah Covid-19. Kapolda mencontohkan, seperti dukungan tenaga kesehatan dan perlengkapan kesehatan dari TNI dan Polri, kemudian adanya dukungan anggaran maupun bentuk fisik untuk mendukung keberadaan kampung tangguh. “Saya harap reaksi cepat agar dari hulu bisa kita perbaiki dan bila perlu yang disampaikan panglima perlu komitmen dan pernyataan intergritas bersama,” pungkasnya. Drama Risma Peringatan keras Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Widodo Iryansyah saat Rakor PSBB di Gedung Negara Grahadi itu rupanya diarahkan ke Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang videonya viral di berbagai media, Jum’at, 29 Mei 2010. Dalam video berdurasi 52 detik itu, Risma tampak sedang duduk menelpon seseorang dari dalam sebuah tenda, Jumat 29 Mei 2020. Mengenakan rompi hitam dan kaos merah dan berjilbab merah, Risma duduk dan dikelilingi beberapa anak buahnya. Melansir Vivanews.co.id, Jumat (29 Mei 2020 | 16:47 WIB), Risma terlihat betul-betul marah dengan pengalihan dua mobil BNPB untuk warga Surabaya yang dialihkan ke daerah lain itu. Tidak jelas dengan siapa ia berbicara di telepon genggam. Mengetahui 2 mobil PCR permintaannya “diserobot” Gugas Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, Risma pun melaporkan langsung pada Kepala BNPB Doni Monardo, pihak yang dimintai bantuan secara langsung oleh Risma. “Dapat sms, dapat WA-nya pak Joni, Kohar. Kalau itu untuk Surabaya. Opo-opoan (Apa-apaan) gitu lo pak, kalau mau boikot jangan gitu pak caranya,” ungkap Risma dengan nada emosional dalam percakapan di telepon genggam itu. “Saya akan ngomong ini ke semua orang. Pak, saya ndak terima lo pak. Betul saya ndak terima pak. Saya dibilang ndak bisa kerja. Siapa yang ndak bisa kerja sekarang,” kata Risma berang. Kemarahan Risma itu terkait bantuan 2 unit mobil Polymerase Chain Reaction (PCR) BNPB yang, konon, diserobot Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim. Risma berbicara dengan nada keras. Risma mengamuk karena dua mobil PCR bantuan dari BNPB untuk Surabaya justru diserobot Gugus Tugas (Gugas) Covid-19 Jatim dan dialihkan ke daerah lain. Yang sangat menarik perhatian tentunya saat Risma juga dengan lantang menyebut dua nama petinggi PDIP yang kini menjabat di pemerintahan pusat, yakni Puan Maharani (Ketua DPR-RI) dan Pramono Anung (Sekretaris Kabinet). “Kalau mau ngawur nyerobot gitu. Siapa yang ndak bisa kerja. Boleh dicek ke Pak Pramono Anung. Boleh ditanya ke Mbak Puan,” tegas Risma. Kepada wartawan, Risma membeberkan bukti chatting dirinya dengan Kepala BNPB Doni Monardo soal permintaan bantuan mobil PCR secara khusus untuk warga Surabaya. “Teman-teman lihat sendiri kan, ini bukti permohonan saya dengan pak Doni, jadi ini saya sendiri yang memohon kepada beliau. Kasihan pasien-pasien yang sudah menunggu,” kata Risma. Ternyata, amarah Risma itu salah alamat. Mobil laboratorium Bio Safety Level 2 (BSL-2) itu, menurut Doni, dikirim ke Jatim untuk membantu pemeriksaan spesimen. “Pengiriman 2 unit mobil BSL-2 ini bisa membantu Pemprov Jatim,” tegas Doni. Di sini jelas sekali, itu bukan untuk Surabaya! Jadi, kemarahan Risma terkait bantuan 2 unit mobil Polymerase Chain Reaction (PCR) dari BNPB yang, konon, diserobot Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim itu “salah alamat”. Dipastikan, Risma tidak mendapat informasi akurat dari bawahannya. Inikah yang dimaksud Pangdam Brawijaya itu sebagai “drama” penanganan Covid-19 tersebut? Seperti kata Pangdam Brawijaya, mari kita real semuanya. “Jangan cuma pakai data, fakta, atau drama dan sebagainya!” Penulis Wartawan Senior.
Golkar Garindra Nasdem Demokrat, Kembalilah ke Jalan Yang Benar
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (10/06). Empat Partai Politik yang mempunyai Fraksi di Parlemen yaitu Golkar, Gerindra, Demokrat, dan Nasdem memiliki akar dan keberangkatan yang sama. Sama-sama punya sejarah menjadi bagian dari Golkar. Sementara Golkar dilahirkan untuk melawan upaya membelokan haluan dan idelogi Negara dari Pancasila ke komunis. Ketua Umum dari tiga Partai, yaitu Prabowo, SBY, dan Surya Paloh memiliki kesejarahan politik yang sama. Pernah berkiprah atau menjadi bagian dari Golkar. Bahkan Surya Paloh pernah menjadi Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar, Prabowo pernah ikut Konvensi Partai Golkar, dan SBY dari jalur A (ABRI) keluarga besar Golkar karena pernah menjadi Kasospol ABRI. Adapun Partai Golkar, yang awalnya adakah Sekber Golkar itu, didirikan untuk mengantispasi dan melawan eskalasi politik komunis-PKI di masa Orde Lama. Orde kekuasaan yang sangat dekat dan mengakomodasi aliran politik komunisme melalui perjuangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai yang ingin mengganti idoelogi Negara dari Pancasila ke komunis. Agak ironis ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang oleh publik dan masyarakat awam disebut berbau Komunis dan Orde Lama. Namun empat Partai tersebut, baik Golkar, Gerindra, Demokrat, maupun Nasdem justru mendukung disahkannya RUU HIP sebagai inisiatif Dewan. Padahal konten dari RUU HIP ini, terbaca secara kasat mata dapat disebut "nyeleneh" dan "mundur ke belakang". Mengancam eksistensi ideologi Pancasila. Semua tahu dalam RUU HIP ini Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 yang berhubungan dengan PKI dan larangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme telah di "outkan" dari Konsiderans. Lalu Pancasila, Trisila, Ekasila tertuang secara eksplisit dalam Pasal, serta nilai-nilai Agama dan Ketuhanan yang diberi alas Kebudayaan. Agama yang direndahkan setara dengan kebudayaan. Jika tetap berjalan mulus skenario politik bahwa wujud RUU HIP ini menjadi Undang-Undang, maka keempat partai di atas tentu dapat dipandang oleh rakyat dan bangsa Indonesia telah berubah seperti "kacang yang lupa dari kulitnya". Lupa terhadap cita-cita mulia kelahiran Sekber Golkar dulu. Lupa bahwa komunis pernah menjadi musuh utama Pancasila. Lebih berat predikatnya adalah” telah menghianati" misi awal dari kelahirannya. Kelahiran yang anti terhadap bahaya PKI dan komunisme. Nilai reljjiusitas yang dihormati dan dijunjung tinggi telah diabaikan. Sekularisme dan pragmatisme politik telah menjadi pilar utama dalam membuat setiap keputusan penting menyangkut keselamatan bangsa dan negara. Saatnya Golkar, Gerindra, Demokrat dan Nasdem melakukan koreksi diri. Koreksi terhadap sikap politik yang mengentengkan atau menggangp remeh masalah. Sehingga RUU HIP yang sangat kental bernuansa Orde Lama, dan komunis-PKI ini dapat lolos dengan mudah di senayan. Jika telah menjadi Undang-Undang, maka dipastikan akan menjadi masalah baru. Dapat dijadikan sebagai landasan untuk melakukan sosialisasi Pancasila dalam versi yang keluar dari makna dan rumusan 18 Agustus 1945. Konsensus tentang Pancasila yang dicapai dengan susah payah itu, akhirnya justru hancur. Konflik ideologi pun terpaksa harus terjadi lagi. Energi besar bangsa ini akan tersita untuk membicarakan kembali persolan ideologi Negara. Masalah yang sudah disepakati oleh para pendiri bangsa 75 tahun silan. Kesepakatan yang dibuat pada tanggal 18 agustus 1945. Akibatnya, pembangunan di bidang ekonomi untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain menjadi terabaikan kembali. Padahal tujuan kita bernegara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Golkar, Gerindra, Demokrat, dan Nasdem kembalilah ke jalan yang benar. Jalan adil dan konsensus. Bukan terbawa arus permainan kekuasaan yang menyandera. Koalisi adalah hal yang wajar, tetapi kemandirian ideologis harus tetap terjaga. Sayangnya, RUU HIP telah membuat langkah goyah dalam perspektif ideologi Pancasila yang mulai tersimpangkan. Pancasila jangan sampai dibarter dengan angka dan kekuasaan. Jangan karena sejumput kekuasaan telah mengubah pendirian dan belok dari prinsip dan cita-cita perjuangan. Lalu terjajah oleh dinamika. Akhirnya rakyat merasa dikorbankan oleh permainan yang sebenarnya tidak menyentuh kepentingan rakyat. Aspirasi rakyat yang menolak RUU HIP semoga ditangkap. Muatan Haluan Ideologi Pancasila bukan porsinya Undang-Undang, tetapi menjadi Ketetapan MPR. Keliru menurunkan Pancasila menjadi nilai instrumental. Rakyat menolak karena ada "down grade" kewibawaan ideologi Pancasila. Undang-Undang itu bukan tempat yang tepat untuk mengatur "staats fundamental norm". Moga pada tahapan ini, pilihan cerdas dan jernih dapat diambil. Segara tarik dan hentikan pembahasan RUU HIP tersebut. Bawa permasalahan idelogi Negara ini ke ruang yang lebih terhormat dan tepat menurut Konstitusi. Tempat untuk menuangkan "Haluan Ideologi Pancasila" sebagai produk hukum yang paling tepat adalah di MPR. Harus dibuat dalam bentuk Ketetapan MPR. Bukan keputuan DPR dan pemerintah. Untuk itu, kembalilah ke jalan yang benar. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Waspadai Ganjar Pranowo!
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Senin (08/06). Siapapun yang berniat menjadi presiden, mulai sekarang harus mewaspadai Ganjar Pranowo. Termasuk internal PDIP yang berminat menjadi penerus Jokowi. Dia bakal menjadi penantang yang cukup serius. Bila kita jeli mengamatinya, mesin politik Gubernur Jawa Tengah ini sudah mulai bekerja. Bukan lagi sekedar dipanaskan. Silakan perhatikan aktivitasnya di media sosial. Sangat aktif. Mulai dari bertemu warga, sidak ke berbagai aktivitas perkantoran, inspeksi jalan, sampai aksinya turun dari mobil, mengatur lalu lintas, ketika terjadi kemacetan. Di musim pandemi Corona, Ganjar juga terlihat eksis. Dia bahkan tak sungkan menjadi host di channel akun youtubenya. Mewawancarai virolog, tenaga medis Dll Tampil super santai. Mengenakan kaos oblong dengan tulisan “Bersama Lawan Corona.” Memakai sarung kain batik dan hanya mengenakan sandal kulit. Sangat informal. Beberapa hari berselang Ganjar juga terlihat terjun langsung ke Bandara Ahmad Yani, Semarang. Dia memberi petunjuk teknis secara detil agar calon penumpang diatur tidak bergerombol. Kesan yang ingin dibangun, Ganjar sangat responsif dan merakyat. Tak segan turun tangan langsung ke lapangan. Barangkali karena aktivitasnya itu lembaga survei Indikator Politik menyebut Ganjar sebagai kepala daerah yang elektabilitas naik di tengah pandemi. Pada Februari 2020 elektabilitas berada di 9,1 persen. Pada Mei 2020, naik menjadi 11,8 persen. Sebagai capres, dia berada di posisi kedua setelah Prabowo yang elektabilitasnya anjlok dari 22,2 persen menjadi hanya 14,1 persen. Sebaliknya Gubernur DKI Anies Baswedan yang kiprahnya menangani pandemi dipuji komunitas internasional, elektablitasnya malah turun. Dari semula 12,1 persen menjadi 10,4 persen pada Mei 2020. Itu kalau kita percaya dengan data yang dilansir oleh Indikator Politik. Sebab survei lembaga lain menunjukkan angka sebaliknya. Survei Indobarometer pada akhir Februari melansir data elektabilitas Gubernur DKI Anies Baswedan paling tinggi. Sangat jauh dibandingkan kepala daerah di Jawa. Termasuk Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Gubernur Jatim Khofifah. Dia menjadi kepala daerah terkuat sebagai capres. Angkanya 31,7 persen. Sementara Ganjar yang berada di urutan kedua angkanya terpaut sangat jauh, hanya 11,8 persen. Lembaga survei Median merilis data akhir April lalu menempatkan Anies sebagai gubernur yang paling jitu menangani Corona. Angkanya juga jauh di atas Ganjar. Selisih lebih dari satu digit. Anies Baswedan 24,1 persen, sementara Ganjar hanya 9,6 persen. Biasanya kepuasan atas kinerja, berbanding lurus dengan elektabilitas. Tapi biarlah itu menjadi urusan lembaga survei. Sejauh ini toh publik sudah sama-sama maklum, lembaga survei banyak digunakan sebagai bagian dari strategi pemenangan. Yang bisa kita simpulkan saat ini, Ganjar dan timnya, atau setidaknya sekelompok orang yang menjagokannya, sedang serius bekerja. Mereka tampaknya sangat menyadari bencana pandemi Covid bisa berubah menjadi bencana politik. Tak ada salahnya bergerak cepat, tanpa harus menunggu Pilpres 2024. Jangan sampai terlambat. Meniru track Jokowi Bagaimana kira-kira skenario yang disiapkan untuk Ganjar? Kalau kita amati cara mainnya tidak akan beda jauh dengan kemunculan Jokowi pada Pilpres 2014. Tracknya akan sama, namun dengan berbagai modifikasi dan berbagai penyesuaian. Saat itu sebagai Ketua Umum PDIP Megawati menginginkan kembali maju Pilpres. Namun Megawati dikepung dan dibombardir dengan hasil survei, opini pengamat, dan pemberitaan media. Megawati di fait-accomply bila PDIP ingin memenangkan pemilu sekaligus memenangkan pilpres, maka Jokowi lah yang harus dicalonkan. Bukan dia. Megawati yang biasanya kukuh pada pendirian, berani menentang arus, akhirnya tunduk juga. Dia menyerahkan tiket ke Jokowi. Capres yang diusung PDIP itu menang Pilpres 2014, tapi suara PDIP kendati menjadi partai pemenang, tidak melonjak seperti yang digembar-gemborkan pengamat dan lembaga survei. Celakanya dalam perjalanan waktu, Jokowi juga tidak sepenuhnya berada dalam kendali PDIP. Ibarat kata dia yang menanam, orang lain yang panen raya. Megawati terpaksa harus sering mengingatkan bahwa Jokowi adalah “petugas partai.” Skenario serupa bisa kembali digunakan Ganjar. Sampai sejauh ini naga-naganya Megawati ingin mengajukan putrinya Puan Maharani. Dia disebut-sebut akan dipasangkan sebagai cawapres Prabowo Subianto. Keinginan yang sangat wajar bila Megawati tetap ingin mempertahankan trah Soekarno dalam tampuk kekuasaan nasional. Apalagi sebagai Ketua umum partai, dia sudah memegang tiket. Mosok harus diserahkan ke orang lain. Tragedi pencalonan pada Pilpres 2014, jangan sampai kembali terulang. Masalahnya berbeda dengan Megawati, figur Puan tidak sekuat ibunya. Berbagai lembaga survei juga tidak pernah menempatkan nama Ketua DPR itu sebagai kandidat yang diperhitungkan. Sangat mudah bagi siapapun, termasuk Ganjar dan timnya untuk mendowngrade dan kemudian menyingkirkan Puan dari perebutan tiket yang dimiliki PDIP. Sementara figur Prabowo yang bakal dipasangkan dengan Puan juga tidak kuat-kuat amat. Benar saat ini dia termasuk kandidat dengan elektabilitas yang tinggi, namun dengan trend yang terus menurun. Bila benar Ganjar yang akhirnya mendapat tiket PDIP, maka dia akan menjadi kandidat yang harus diperhitungkan oleh siapapun, termasuk Anies. Sebagai kandidat dari partai nasionalis, mengendalikan Jateng sebagai salah satu lumbung suara di Indonesia, dia tinggal mencari cawapres yang tepat. Gubernur Jatim Khofifah akan menjadi salah satu calon yang sangat ideal digandeng Ganjar. Koalisi PDIP-PKB sudah cukup untuk mengajukan calon sendiri. Duet mereka akan menjadi perpaduan sempurna. Nasionalis-Islam, lelaki-perempuan. Jangan lupa jumlah suara Jatim dan Jateng secara nasional menempati posisi kedua dan ketiga terbanyak. Modal mereka sangat kuat. So, mulai sekarang waspadai lah Ganjar Pranowo. Jangan anggap remeh. End. Penulis adalah Wartawan Senior.
Partai Gelora Indonesia Bisakah Bergelora?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Krisis dan bencana tampaknya “berjodoh” dengan Anis Matta. Tak heran bila kalangan dekatnya menjulukinya sebagai Sang Nakhkoda di Tengah Badai. Tampil ke puncak pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ketika partai tersebut mengalami goncangan besar. Dilanda krisis dan bencana kepemimpinan. Kini dia muncul kembali mendirikan partai baru, di tengah bangsa mengalami bencana dan krisis akibat pandemi. Menkumham Jasonna Laoly Rabu (2/6) menyerahkan SK badan hukum Partai Gelora Indonesia yang didirikannya bersama sejumlah mantan elit PKS. Mereka tinggal mengikuti verifikasi faktual dari KPU, maka resmilah menjadi salah satu kontestan Pemilu 2024. Dalam dunia manajemen, figur seperti Anis Matta disebut sebagai turnarround artist. Figur yang mengambil alih manajemen ketika perusahaan sedang mengalami krisis, dan berhasil membalikkan situasi. Dari perusahaan yang semula nyaris bangkrut, menjadi perusahaan yang menguntungkan dan tumbuh berkembang. Akhir Januari 2013 Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penerima suap dalam impor daging sapi. Kasus ini mengguncang PKS dan menghancurkan citranya sebagai partai yang mengusung slogan : Bersih dan Peduli. Anis terpaksa meninggalkan zona nyamannya sebagai Sekjen PKS yang telah diduduki sejak partai berdiri. Dia ditunjuk sebagai Presiden PKS baru. Tugasnya sangat berat. Memulihkan citra PKS. Pada saat bersamaan dia juga harus bisa menyelamatkan suara PKS. Pemilu 2014 sudah didepan mata. Tugas itu dilaksanakan dengan baik. Total suara PKS naik, namun dari sisi prosentase dan jumlah kursi turun. Hasil tersebut mengejutkan banyak pengamat. Semula banyak yang memperkirakan PKS bakal babak belur. Isu korupsi sangat telak menghujam jantung citranya sebagai partai dakwah yang bersih. Sejarah kemudian mencatat Anis bersama sejumlah elit PKS seperti Fahri Hamzah dan Mahfudz Siddiq, keluar dari PKS. Mereka mendirikan Partai Gelora Indonesia atau lebih dikenal sebagai Partai Gelora. Bergerak lebih ke tengah Dilihat dari ideologi Partai Gelora yang mengusung Pancasila, Anis dkk tampaknya konsisten dengan gagasan lamanya. Dia ingin mendorong PKS lebih ke tengah. Perpaduan antara Islam dan nasionalis. Bukan kanan luar yang selama ini dianut PKS. Pada Mukernas 2008 di Bali, Anis dkk mengumumkan keterbukaan PKS. Mereka membuka diri untuk bekerjasama dengan komponen lain bangsa Indonesia, bukan hanya umat Islam. Di beberapa provinsi, PKS mengusung anggota legislatif non-muslim. Namun gagasan ini secara internal tidak sepenuhnya diterima. Banyak yang menentangnya. Kini gagasan lama itu diwujudkannya melalui Partai Gelora. Mereka melangkah lebih jauh mengusung semangat kolaborasi dengan mengutamakan agenda kebangsaan. Gagasan itu sejauh ini cukup mendapat sambutan. Mereka berhasil membangun jaringan di beberapa provinsi non-muslim yang selama ini cukup sulit ditembus. Secara mengejutkan dalam waktu yang cukup singkat mereka berhasil mendirikan sebuah partai. Padahal syarat pendirian partai di Indonesia saat ini dikenal sebagai paling sulit di dunia. Harus memiliki 100 persen pengurus di seluruh provinsi. 75 persen di kota/kabupaten, dan 50 persen kecamatan. Saat ini Indonesia terdiri 34 provinsi, 514 kota/kabupaten, dan 7.904 kecamatan. Ibarat seorang bayi, Gelora dilahirkan melalui proses yang normal, bukan melalui operasi sesar. Mereka membangun sendiri jaringan di seluruh Indonesia, dengan susah payah. Bukan melalui jalan pintas. Mengakuisisi partai yang sudah berbadan hukum. Padahal mekanisme semacam itu sangat dimungkinkan, dengan biaya yang nota bene lebih murah pula. Perlu dicatat, hal itu mereka lakukan di tengah masa pandemi. Dari situ kita bisa mendapat gambaran militansi, soliditas, kekuatan jaringan yang mereka bangun dan miliki. Publik kini tengah mengamati, apakah Anis bisa membuktikan kesaktiannya kembali. Bukan “hanya” sekadar membenahi perusahaan yang mau bangkrut. Namun membangun sendiri “perusahaan” yang dapat tumbuh dan bersaing dengan parpol lain yang sudah ada. Tantangannya sangat berat, di tengah masyarakat Indonesia yang terbelah cukup dalam. Meminjam istilah mantan Presiden AS George W Bush Jr, kondisi masyarakat Indonesia saat ini berada dalam situasi “Either you are with us, or you are with the enemy.” Melihat reputasi figur para pendirinya, Menkumham Jasonna Laoly memprediksi Gelora akan menjadi partai penantang yang serius, pada Pemilu 2024. Bisakah semangat kolaborasi dan mengedepankan agenda kebangsaan yang mereka usung menjadikan Partai Gelora Indonesia sebagai partai yang bergelora? End Penulis Wartawan Senior.
Menatap Masa Depan Bangsa "Era New Normal"
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz telah menandatangani perdamaian pada 20 April lalu untuk membagi kekuasaan. Permusuhan mereka selama belasan tahun sirna. Sebagai Yahudi, mereka mungkin adalah orang yang paling keras kepala di dunia ini. Namun, Coronavirus membuat mereka mengerti bahwa persatuan bangsa Yahudi di atas segalanya. Itu di belahan dunia Timur Tengah. Di kawasan Asia Selatan/Asia Pusat, Ashraf Gani, Presiden Afghanistan, melepas 900 tahanan Taliban. Ini bagian dari pelepasan 100.000 tahanan Taliban. Musuh berbuyutan puluhan tahun. Bahkan Taliban suatu waktu dalam sejarah adalah tempat bermukimnya Al Qaeda, organisasi yang ditudih teroris terbesar di dunia.Permusuhan rezim non Taliban vs Taliban segera berkahir. Itu hikmah Coronavirus. Di balik hikmah Coronavirus, peran Amerika dalam "setting" latar pada politik mereka cukup kuat. Di mana ada Amerika berpengaruh, kelihatannya tema perdamaian dalam masa pandemik ini terjadi. Sebalinya, di negara-negara yang besar pengaruh RRC China di dalamnya, pergolakan dan permusuhan tetap berlangsung. Masa pandemik Coronavirus tidak membuat refleksi adanya kepentingan bersama yang lebih besar. Ketegangan sosial politik di Malaysia dan Indonesia, sebagaimana kita fahami cenderung terpengaruhi RRC selama ini, tetap panas dan tak kunjung mengakhiri ketegagan sosialnya. Apalagi di Hongkong, Taiwan, Tibet, di mana China dominan, kekerasan dan kerusuhan terus berlangsung. Ketegangan sosial di Indonesia selama ini berlangsung sejak Jokowi "running for President", lebih tepat lagi saat maju menjadi gubernur Jakarta. Pembelahan sosial terjadi antara kaum sekuler vs. Islami. Kaum sekuler mencoba mendegradasi kenyamanan konsep mayoritas-minoritas yang selama ini berlangsung. Di mana, mayoritas dianggap melindungi dan minoritas menghormati. Pendegradasian dilakukan dengan konsep baru "Multi-Minoritas", di mana, menurutnya, bangsa ini sebenarnya merupakan fenomena persatuan minoritas, jika kita bedah lebih dalam. Konsep Indonesia asli ataupun pribumi hanyalah imaginasi pendiri bangsa, sebab menurut mereka, pada dasarnya semua orang Indonesia adalah pendatang dari China Selatan. Sehingga, eksistensi pasal 6 UUD45 asli, bahwa Presiden wajib orang Indonesia asli, tidak diperlukan lagi. Orang setengah Indonesia maupun orang seluruhnya bukan pribumi, seperti Ahok, misalnya, berhak untuk jadi Presiden. Tentu saja reaksi datang dari ummat Islam. Singkat cerita, ummat Islam yang selama ini nyaman dengan pola lama merasa terganggu. Terutama ketika Ahok menggantikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta, beberapa simbol2 keislaman daan tradisinya mengalami marginalisasi. Dan reaksi ini bermuara pada gerakan perlawanan ummat Islam, yang dikenal sebagai gerakan 212, dengan Habib Rizieq sebagai simbol perlawanannya. Pertarungan Segitiga Ketika pertama sekali kasus Covid-19 mendapat perhatian besar masyarakat, Jokowi dan rezimnya berusaha mengangkat isu kepulangan eks ISIS dan keluarganya sebagai isu tandingan. "Apakah anda setuju jika pemerintah mengizinkan anak-anak ISIS pulang ke Indonesia? ", demikian berbagai media mainstream. Pengembangan isu teroris ini agak ganjil, sebab masa pandemik di seluruh dunia isu terorisme menjadi sirna. Berbagai gerakan "social distancing", "physical Distancing" dan "#StayHome" membuat transportasi dan mobilitas manusia terhenti, termasuk teroris dan kriminal, khususnya di masa awal pandemik. Selain itu, di Jakarta, Rezim Jokowi memperlihatkan kebijakan yang selalu berseberangan dengan Anies Baswedan. Sebagaimana kita ketahui, Jakarta adalah epicenter coronavirus di Indonesia. Anies berusaha bekerja keras sesuai standar WHO dan ahli epidemiologi. Namun, sebagai mana diberitakan dalam media Australia, Sidney Morning Herald, rencana Anies untuk menerapkan transparansi soal covid-19 ini terhalangi sikap rezim Jokowi yang ingin terus menutupi adanya virus ditahap awal, setidaknya bulan Januari-Februari. Standar umum internasional yang diinginkan Anies adalah segera memakai masker, memperbanyak lab-lab pemeriksaan Covid-19, meliburkan sekolah, menutup mal, menghentikan/membatasi transportasi massal, mengerahkan seluruh tentara dan polisi untuk mendisiplikan warga, ditahap awal, dll. Pertarungan keinginan Anies ini berakhir dengan kompromi PSBB, yakni menyatakan Covid-19 sebagai Bencana Nasional Sektor Kesehatan, di mana tanggung jawab utama dibebankan kepada kepala daerah, sedangkan ijin dilakukan Menteri Kesehatan. Beban yang dimaksud adalah kemampuan anggaran daerah memberi bansos sebagai faktor penting persetujuan PSBB. Sedangkan rezim Jokowi ditahap awal tetap menganggap ini bukan persoalan besar. Rakyat tidak perlu pake masker. Tidak perlu "panic buying", bahkan Jokowi pada tanggal 12 Februri 2020, menelepon dan menawarkan bantuan kepada Xi Jinping untuk Indonesia ikut memerangi coronavirus di China. Penyepeleaan ini, dalam istilah Jusuf Kalla, kehilangan "Golden Time". Pertentangan di tingkat narasi dan kebijakan serta implementasi yang terjadi antara rezim Jokowi vs Anies, yang mana Anies dianggap representasi kaum Islam, membuat gerakan pertentangan diakar rumput, khususnya di media sosial, mempertahankan situasi keterbelahan bangsa yang sudah berlangsung lebih 5 tahun belakangan ini. Ditambah lagi seperti kasus kriminalisasi yang diarahkan pada pengkritik rezim Jokowi, seperti yang dialami M. Said Sidu dalam kebijakan immigran China ditengah pandmeik serta pengiriman Habib Bahar Bin Smith ke penjara Nusakambangan karena orasi politiknya yang anti kekuasaan, dan berbagai kasus anti demokrasi rezim Jokowi yang terus berlanjut. Alhasil pertarungan di Indonesia saat ini berlangsung dalam skema pertarungan segitiga, yakni Rezim Jokowi - Kaum Oposisi - Covid-19. Jadi satu pihak merasa harus memusuhi dua pihak lainnya. Era New Normal Jokowi kemarin sudah mencanangkan akan membuka ratusan mal pada bulan Juni. Secara simbolik Jokowi mendatangi Mal Sumarecon di Bekasi. Secara bersamaan Jokowi memerintahkan 340.000 tentara dan polisi melakukan disiplin warga ke depan, ketika aktifitas perekonomian dimulai lagi. Kebijakan Jokowi ini dilakukan dengan sebelumnya Jokowi mengumumkan bahwa kita harus berdamai dengan covid-19. Namun, Jokowi belum melakukan evaluasi tentang keberhasilan PSBB. Hal ini dibuktikan dengan sikap Anies Baswedan dan Walikota Bekasi yang tidak menyetujui langkah Jokowi akan membuka mal diwilayah kekuasaan mereka. Sebagai perbandingan, Gubernur New York dalam rangka memasuki New Normal, membentuk sebuah dewan ahli yang disebut "The New York Forward Reopening Advisory Board" yang berisi para pengusaha, para ahli, dan tokoh2 masyarakat. Selain itu dia, dibidang pendidikan, juga membuat "New York’s Reimagine Education Advisory Council", yang berisikan tokoh2 pendidikan, orang tua dan para ahli. Jadi kolaborasi negara dengan "civil society" menjadi kunci kapan New Normal ditentukan dan bagaimana menjalaninya. New Normal di negara2 lain umumnya dianggap sebagai masa kehidupan baru setelah "flaten the curve" atau kurva kasus baru sudah menurun. Di Wuhan China, di Lombardi Italia, di Prancis, di Malaysia, di Singapura dlsb, pengendalian disiplin masyarakat melalui tentara dan polisi dalam skala nasional berhasil menekan laju penyebaran virus tersebut. Disamping kesiapan mereka melakukan pembenahan manajemen rumah sakit, keterbukaan informasi penyebaran pandemik dan kesiapan dana untuk kesehatan dan pangan. Istilah New Normal tanpa "flaten the Curve" mungkin hanya ada di Indonesia, sebagaimana kita ketahui penyebaran virus bahkan sudah menjadikan Surabaya dan Jawa Timur sebagai epicenter baru, menggantikan Jakarta. Dengan demikian maka coronavirus sebagai bencana nasional akan tetap hidup sepanjang penemuan vaccine covid-19 ini tidak ada. Sedikitnya berbagai ahli pesimis produksi massal vaccine itu terjadi hingga akhir tahun 2021. Tantangan Ekonomi Dampak ekonomi coronavirus ini telah kita rasakan bersama. Klaim negara besar selama ini, yang coba menawarkan RRC bantuan penanganan covid-19, sirna. Realitasnya adalah ketidakmampuan negara bertanggung jawab meredakan beban ekonomi masyarakat ditengah pandemi. Sejak diumumkannya kasus Covid-19 pertama, pada 2 Maret, terlihat kapasitas pemerintah hingga saat ini, dua bulanan, tidak berdaya lagi. Di New York, Gubernur Cuomo jujur mengatakan bahwa State of New York sudah kehabisan uang. Sudah tidak berdaya dan membutuhkan bantuan donasi atau sumbangan masyarakat. Padahal APBD New York 177 milyar dollar lebih besar dari APBN se Indonesia. Hancurnya sebuah negara adalah keniscayaan. Semua negara-negara di dunia runtuh. Mal mal, misalkan, tidak mampu bayar cicilan kredit dan bunganya ke bank, sebab penyewa mal tidak punya kas lagi karena tidak ada yang belanja. Bank-bank kesulitan uang untuk membayar tarikan nasabah karena peminjam uang bank mulai pada menunggak. Alhasil Bank Indonesia mengurangi 50% Giro Wajib Minimum Bank-Bank agar bank bisa hidup. Namun sampai kapan Bank Central, Bank-bank, Mal-mal, pabrik-pabrik, dlsb tidak bangkrut? Bank-bank dan korporasi yang mengalami kesulitan likuiditas maupun kehancuran bisnis secara keseluruhan tidak mungkin membayar pajak. Sehingga penerimaan pajak negara akan berkurang drastis dalam porsentase dominan. Dalam berbagai krisis sebelumnya, sebuah proyeksi "cashflow" negara dapat dilakukan, karena krisis yang terjadi bersifat regional dan sektor keuangan/moneter. Sedangkan krisis ditengah wabah, membuat selalu situasi ketidak pastian, sehingga proyeksi sulit dilakukan. Sementara beban negara untuk belanja anggaran tentara, polisi dan pegawainya tetap besar. Begitu juga anggaran sektor kesehatan dan pangan. Wabah ini sendiri memukul semua negara, khususnya negara kaya, sehingga mengharapkan bantuan pembiayaan dari negara kaya sulit dilakukan. Bagaimana bantuan lembaga multilateral seperti IMF? Selain 160 negara berharap meminjam pada IMF, 10 negara kontributor utama IMF saat ini mengalami resesi dan membutuhkan uang juga. Sehingga, sulit sekali mengobral surat hutang negara ke lembaga keuangan dunia. Negara- negara kaya seperti Amerika bisa mencetak uang dollar dengan beban inflasi ditanggung seluruh dunia. Karena hampir seluruh negara menggunakan dollar sebagai uang kedua selain mata uang sendiri. Negara2 kaya lainnya mempunyai tabungan. Belanda dan Kuwait, misalnya, mempunyai "Sovereign Wealth Fund" dari hasil menabung selama bertahun2. Sehingga, mereka punya cash bertahun2 ke depan sampai masalah pandemi selesai. Nasib Negara Indonesia ke depan berhadapan bukan dengan teroris atau oposisi, namun bagaimana negara mampu berhemat. Jika anggaran negara dan birokrasinya bisa di sesuaikan dengan pemasukan pajak yang sangat kecil, maka negara masih akan bertahan. Tantangan kesejahteraan masyarakat tentu sudah di luar kemampuan negara. Masyarakat harus mampu menemukan sendiri jalan kehidupan ekonominya. Dalam sebuah ilustrasi yang rumit, masyarakat di Mesopotamia, Iraq/Syiria, karena situasi perang, berusaha membangun solodaritas ekonomi sesama manusia. Mereka mendirikan "People's Economy" (lihat: mesopotamia.coop) yakni koperasi. Jalan koperasi ini saling mendorong dan melindungi masyarakat untuk mampu berusaha ekonomi. Tantangan Kaum Oposisi Rezim Jokowi meyakini bahwa isu terkait anak-anak eks ISIS, isu Habib Rizieq Sihab, isu Habib Smith, isu Said Didu, isu Rizal Ramli, isu Rocky Gerung, isu Din Syamsudin dan berbagai nama oposisi serta gerakannya adalah pinggiran. Hal ini juga terjadi dengan kekuasaan daerah, seperti Jakarta, yang dijalankan pemimpim umat. Kita sudah menjelaskan diawal, bahwa sekeras keras kepalanya Jahudi, Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz melakukan perdamaian. Presiden Afghanistan dan Taliban juga melakukan perdamaian. Dengan strategi itu mereka menentukan musuh besarnya adalah Coronavirus. Jokowi dan rezimnya tentu berkuasa atas struktur negara. Namun, dalam teori sosial, sebuah negara diambang krisis, kunci bertahannya hanyalah pada partisipasi dan kolaborasi. Social Capital bisa jadi lebih penting dari kapital itu sendiri. Kembali pada sisi kaum oposisi, seperti Habib Rizieq, Din Syamsudin, Rizal Ramli, Said Didu, Iwan Sumule, Haris Rusli Moti, Dr. Ahmad Yani dan seterusnya, kunci sukses adalah mengkonsolidasikan solidaritas keummatan yang ada. Tentu saja pekerjaan ini bukan pekerjaan gampang, namun sekali saja terjadi "trust" dan "partisipasi" membangun kekuatan ekonomi dan ketahanan pangan bagi kaum oposisi bisa dilakukan dengan baik. Perlu tiga kunci sukses dalam menjalankan itu. Pertama adalah membangun organisasi. Organisasi ini maksudnya adalah centrum of Trust. Centrum of Trust adalah organisasi dalam pengertian wadah perjuangan, pikiran/konsep "New Life" yang ditawarkan dan sistem interaksi sosial ke depan. Sistem interaksi sosial masa pandemik harus diatur dalam standar ketat. Kedua, adalah pembiayaan. Pada masa lalu saya menawarkan istilah "Habieb Rizieq Trust Fund", sebuah pusat penggalangan dana dari anggota. Ketiga adalah kaum professional. Jika People's Economy of Mesopotamia bisa sukses, seharusnya gerakan oposisi kedepan bisa sukses menolong rakyat yang saat ini sedang kelaparan dan kemiskinan. Penutup Peradaban yang runtuh, negara yang runtuh dan kemiskinan rakyat akan menjadi fenomena ke depan di era covid-19 ini. Era New normal versi Indonesia yang penuh resiko, menciptakan kepastian ke depan tidak ada sehingga meramalkan sukses sebuah rezim sulit dilakukan. Rezim Jokowi yang mengambil posisi tetap bermusuhan dengan kelompok-kelompok oposisi, telah menjadikan adanya segitiga pertarungan dalam situasi sekarang ini, yakni rezim Jokowi vs. Oposisi vs. Coronavirus. Jokowi yang menguasai negara selain harus menghegemoni oposisi, mengalami pelemahan negara akibat dampak ekonomi buruk pandemik telah merontokkan sistem perekonomian. Mengharap bantuan asing juga sulit, sebab mereka juga kesulitan keuangan. Mengobral surat hutang juga sulit karena hutang kita telah terlalu besar. Kelompok-kelompok oposisi yang mempunyai tanggung jawab sosial melindungi masyarakat yang dinaunginya, sudah selayaknya bekerja cepat mengkonsolidasikan solidaritas. Solidaritas itu menyangkut perlindungan rakyat dari kemiskinan dan kelaparan. Gerakan koperasi, sebagaimana dicontohkan "people's economy of Mesopotamia" berhasil menaungi rakyat di daerah Tigris Iraq tersebut. Pemimpin2 kita yang sudah terbiasan dalam setting solidaritas tentunya mampu melakukan hal yang sama dengan membangun organisasi (centrum of Trust). Pertarungan segitiga yang juga dihadapi kaum oposisi, selain menghadapi rezim Jokowi sekaligus Covid-19, harus dimaknai dua hal, pertama rezim Jokowi juga semakin lemah karena dampak coronavirus dan kedua, situasi saat ini justru kelompok2 non kapitalis yang lebih adaptasi dalam menyelamtakan rakyatnya. Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle
Perlawanan Politik Ruslan Buton
By Asyari Usman Jakarta, FNN.co.id - Sekarang ini, sedang viral ‘perlawanan politik’ yang dilakukan oleh Ruslan Buton. Dia adalah seorang tentara yang diberhentikan dari TNI AD. Kesalahannya, menurut Mahkamah Militer Ambon, terlibat pembunuhan. Selain dipecat, Ruslan juga dihukum penjara 22 bulan. Dia bebas pada akhir 2019. Kalau mahkamah militer memvonis Ruslan sebagai pembunuh, tidak begitu halnya di mata warga Kecamatan Lede, Kabupaten Pulau Taliabu, Provinsi Maluku Utara. Warga menganggap Ruslan sebagai ‘pahlawan’. Menurut berbagai tulisan online, termasuk BeritaFajarTimur-Com edisi 10 Juni 2018, Ruslan berhasil ‘menghentikan’ kesewenangan seorang penjahat. Namanya LG. Yang dikatakan punya kelompok sadis. Inilah ‘background’ singkat Ruslan Buton. Mantan kapten AD yang berpostur tegap itu, saat ini menunjukkan bahwa dia ingin menyelamatkan Indonesia. Tak tanggung-tanggung. Dia menulis surat terbuka yang divideokan. Video itu kemudian viral sejak 18 Mei 2020. Di dalam orasi video itu, Ruslan meminta agar Presiden Jokowi mengundurkan diri. Dikutip dari CNNIndonesia, Ruslan berkata, "Namun bila tidak mundur, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat, seluruh komponen bangsa dari berbagai suku, ras dan agama." Gara-gara surat ini, Ruslan berurusan dengan kepolisian. Kemarin, 28 Mei 2020, dia dibawa polisi. Penangkapan ini sangat ‘high profile’. Sampai-sampai Densus 88 ikut turun. Ada sejumlah pamen polisi dan militer yang mendatangi rumahnya di Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Nah, bisakah dipercaya bahwa Ruslan sedang melakukan ‘perlawanan politik’? Mungkinkah ada ‘X-factors’ dalam drama ini? Bagi saya pribadi, saya bersangka baik saja. Saya yakin Ruslan adalah bagian dari banyak orang, bisa jutaan atau puluhan juta, yang sedang resah melihat cara negara dan pemerintahan dikelola. Kalau jutaan orang lainnya memilih diam membisu dalam ketidakberdayaan, Ruslan tampil beda. Dia langsung ‘menghadap’ Jokowi. Bisa dipahami. Di dalam dirinya pastilah masih mengalir berliter-liter darah yang tak mengenal takut. Karena itu, saya tidak skeptis tentang motif Ruslan. Saya tak percaya ada ‘faktor-faktor X’ yang memantik perlawanan politik warga Kecamatan Lede ini. Menurut hemat saya, Ruslan memang murni merasa tak nyaman dengan situasi akhir-akhir ini. Mungkin dia telah melakukan observasi yang serius dan panjang terhadap hiruk-pikuk politik Indonesia. Sangat mungkin pula, Ruslan telah mengumpulkan banyak catatan buruk tentang penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, tentang keanehan-keanehan yang terkait dengan investasi China. Tentang tenaga kerja China yang masuk ke negara ini dengan legal maupun tidak legal. Tentang utang yang menumpuk. Tentang jebakan utang China. Dan tentang pengaruh China yang semakin besar di Indonesia. Boleh jadi Ruslan mengikuti berita, laporan, komentar, dlsb, mengenai makin banyaknya impor produk makanan, pertanian, dan manufaktur yang datang dari China. Sehingga, seperti dikatakan banyak orang, Ruslan pun berkesimpulan bahwa apa saja yang diperlukan Indonesia didatangkan dari China. Sehingga pula, kedaulatan negara ini bagaikan berpindah ke genggaman China. Bisa jadi juga Ruslan banyak mengamati diskusi dan diskursus tentang komunisme dan gejala kebangkitan PKI di negeri ini. Tentang sisa-sisa PKI yang semakin percaya diri, dll. Tentang pemameran lambang atau simbol PKI dan komunisme yang semakin sering terjadi. Di berbagai pelosok negeri. Mungkin pula Ruslan ikut mengamati ketimpangan dalam penegakan hukum dan keadilan. Boleh jadi mantan tentara ini sependapat dengan banyak orang bahwa hukum hanya dibuat untuk mengikat rakyat jelata. Tidak untuk elit politik dan elit ekonomi-bisnis. Tidak untuk para pengusaha dan konglomerat rakus yang mengeruk kekayaan Indonesia tanpa syarat, tanpa batas. Barangkali, semua ini membisikkan kekhawatiran ke telinga Ruslan. Yang kemudian, mungkin, menggiring pikirannya untuk menyimpulkan bahwa kedaulatan rakyat atas NKRI ini sedang terancam. Wallahu a’lam. Lantas, apakah Ruslan Buton sendirian? Tampaknya tidak. Sekarang ini sudah bermunculan tagar-tagar yang bertajuk dukungan untuk Pak Kapten.[] 29 Mei 2020(Penulis Wartawan Senior)
Bamsoet Kok yang Paling Sibuk Dalam "Konser Prank", Ada Apa?
Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Acara konser berbagi kasih bersama para seniman dan musisi yang digelar akhir pekan lalu, masih menyisakan sejumlah tanda tanya meskipun masalah lelang motor listrik sudah bisa diatasi. Pemenang lelang sudah dialihkan dari warga Jambi M. Nuh pada anaknya pengusaha media Hary Tanoe. Sejak acara konser digelar hingga pelaksanaan lelang susulan pada hari Jumat lalu, Bambang Soesatyo terlihat orang yang paling sibuk. Padahal, pelaksana kegiatan konser ini adalah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lembaga yang berada langsung di bawah Presiden. Lalu dalam acara tersebut Bambang Soesatyo kapasitasnya sebagai apa? Sebagai Ketua MPR-RI? Atau sebagai pengusaha karena dalam acara konser itu Bamsoet juga menggandeng Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani. Justru unsur pimpinan MPR-RI periode 2019-2024, tidak ada satu pun yang hadir di acara tersebut. Kecuali diantaranya hadir secara virtual. Dalam acara press conference sekaligus klarifikasinya, Bamsoet menyebut dirinya sebagai penanggungjawab acara konser tersebut. "Jujur saya tidak enak hati dengan Presiden Jokowi, karena saya yang meminta beliau. Beliau tidak tahu apa-apa. Untuk itu saya sebagai penanggung jawab, atas nama panitia mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Presiden Jokowi sekaligus ucapan terima kasih yang luar biasa atas keikhlasannya memberikan bantuan motor listrik yang ditandatangi sendiri oleh beliau," kata Bamsoet ketika mengawali pernyataan klarifikasnya pada wartawan. Jika menyimak narasi dan diksi yang disampaikan Bamsoet, jelas dia bukan dalam kapasitas sebagai Ketua MPR-RI. Sebab dalam praktek ketatanegaraan, posisi Ketua MPR-RI sesungguhnya lebih tinggi dari Presiden. Sehingga dalam berbagai acara kenegaraan, Ketua MPR-RI lazimnya menyebut kata "saudara" kepada Presiden. Tajir melintir Nah kalau bukan sebagai Ketua MPR, masyarakat bisa saja menduga Bamsoet sedang menjadi EO atau penyelenggara kegiatan konser yang diadakan BPIP. Tapi masyarakat pun bisa bertanya lagi: Pantaskah seorang Bamsoet yang nota bene sebagai Ketua MPR merangkap sebagai EO ? Bagaimanapun jabatan dan pangkat itu tetap melekat pada diri seseorang. Nama Bamsoet tidak bisa dilepaskan dari jabatannya sebagai Ketua MPR-RI. Kok bisa sih dia menjadi EO? Bukankah Bamsoet sudah tajir melintir, dimana berdasarkan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tahun 2018, harta kekayaan Ketua MPR-RI dari Fraksi Golkar ini sebesar Rp 98.019.420.429 (Rp 98 milyar lebih). Sebagian besar harta kekayaan Bamsoet berupa tanah dan bangunan yang bernilai Rp 71.217.095.000. Sementara itu, harta berupa alat transportasi dan mesin berjumlah Rp 18.560.000.000. Tercatat, ada 13 kendaraan yang ia miliki, seperti motor Harley Davidson, mobil Rollsroyce Phantom Sedan, dan lain-lain. Dengan kata lain, kalaupun Bamsoet mau membantu masyarakat yang terdampak atau menjadi korban dari wabah Covid19, maka dia pribadi sebenarnya bisa memberikan sumbangan langsung kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan. Cara lainnya, bisa saja Bamsoet menggelar acara lelang sendiri dengan misalnya melelang sebagian kendaraan mewahnya untuk disumbangkan bagi kepentingan penanganan wabah Covid19. Atau katakanlah dalam acara konser BPIP itu dia ingin berpartisipasi lebih, maka Bamsoet bisa saja ikut menawar motor listrik yang dilelang itu. Ini kok seperti sengaja dibuat drama yang akhirnya berujung pada tragedi. Karena kemudian menjadi bahan cemoohan masyarakat setelah lelang motor listrik tersebut berhasil di prank oleh M. Nuh, seorang buruh yang tinggal di Jambi. Celakanya, Bamsoet menuding komentar dari para netizen sebagai gorengan. Padahal, yang terjadi justru acara konser tersebut seperti sebuah dagelan politik yang tidak lucu. Tragedi konser BPIP justru menunjukkan kepada dunia bahwa para pemimpin di Indonesia ini tidak kompak dalam menghadapi pandemi covid-19 ini. Kebijakan yang telah dibuat dalam menghadapi pencegahan penyebaran Covid19 kemudian dirubah sendiri oleh pemerintah. Belum lagi koordinasi antara pemerintah pusat dengan Pemda yang sangat buruk. Manajemen pemerintah yang menyedihkan ini kemudian ditambah dengan persoalan "Konser Prank" BPIP yang amburadul. Keadaan ini semakin menambah ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan para pemimpin di negeri ini. Dalam Konser BPIP tersebut bukan hanya telah terjadi acara lelang kaleng-kaleng alias tipu-tipu, tapi acara tersebut juga telah memberikan contoh yang jelek kepada masyarakat di tengah wabah Covid 19. Dimana pada akhir acara konser itu, Bamsoet bersama para seniman dan artis yang hadir berfoto bersama di atas panggung tanpa mengindahkan aturan soal Physical Distancing. Walaupun kemudian Bamsoet meminta maaf atas kejadian tersebut, namun masyarakat sudah terlanjur tidak simpatil dan kecewa dengan gelaran konser tersebut. Konser bertajuk resmi berbagi kasih ini akhirnya menjadi ambyar setelah terjadi keanehan dan kekacauan dalam acara lelang. Saya jadi penasaran, sebenarnya ada target politis apa yang hendak dicapai Bamsoet melalui konser tersebut? Kepentingan politik apa dibalik pelaksanaan Konser BPIP tersebut? Pertanyaan ini wajar diajukan karena Bamsoet adalah seorang politisi, sehingga setiap langkahnya tentu berdampak politis juga. Wallohualam Bhisawab. Penulis Wartawan Senior.
Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (6): Non Muslim Jangan Mengusik Umat Islam
Di satu sisi diserang dengan kata intoleran, tetapi kenyataan di lapangan jauh berbeda. Ini membuat musuh FPI dan umat Islam kewalahan. Mereka terus berusaja mencari kelemahanFPI. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, (FNN) - YA, jangan sekali-kali mengusik lebah di sarangnya. Lebah akan kompak mengejar dan menggigit dengan racunnya yang ganas siapa pun yang mengusiknya. Demikian juga Islam. Jangan sekali-sekali ada orang yang menghinanya. Jangan ada orang, kelompoķ dan golongan yang mencoba-coba melukai perasaan umatnya. Mereka akan kompak melakukan pembelaan baik secara fisik maupun non fisik. Penistaan agama oleh Basuki Tjahya Purnama alias Ahoķ merupakan salah satu bukti betapa umat Islam tidak akan tidur ketika agamanya dilecehkan. "Jangan bangunkan macan dari tidurnya," demikian pepatah yang sering kita dengar. Pepatah ini pun ramai muncul ketika Ahok mengungkit Surat Al-Maidah ayat 51. Kenapa umat Islam marah kepada Ahok? Pertama, Ahok seorang kafir yang seenaknya mengutip ayat Al-Qur'an. Kedua, orang kafir tidak memiliki kapasitas untuk mengutip ayat Al-Qur'an demi ambisi politiknya. Ketiga, masyarakat Jakarta, khususnya umat Islam sudah muak dengan tingkah lakunya dalam mengurus Jakarta. Sebab, di awal ia mengurus Jakarta, sudah terang-terangan melarang penyembelihan hewan kurban di sekolah. Artinya, penyembelihannya tidak boleh dilihat anak-anak, karena menurutnya sadis. Padahal, penyembelihan yang disaksikan anak-anak itu merupakan pembelajaran bagi mereka tentang hewan kurban. Kemudian Ahok jugalah yang melarang penjualan hewan kurban di pinggir jalan. Alasannya, kotor. Padahal, cuma setahun sekali. Dia tidak melihat pedagang ikan basah di beberapa tempat di pinggir jalan yang tiap hari menjajalan dagangannya. Sudah pasti jorok dan bau setiap hari, sepanjang pedagang ikan berjualan. Umat Islam marah ke Ahok, bukan marah kepada pengikut Kristen apalagi orang Cina. Hanya saja, banyak pendukungnya yang Kristen dan agama lain, serta keturunan Cina, termasuk dari kalangan Islam yang juga membelanya secara mati-matian dan membabi-buta. Risiko perjuangan Pergerakan melawan Ahok dan kroninya berawal dari markas FPI Petamburan yang langsung dikomandoi Habib Rizieq. Tentu, pergerakan itu juga merupakan rangkaian dari kejelian seorang pejuang Islam, Buni Yani, yang menyebarkan pidato Ahok tentang Al-Maida ayat 51 itu. Buni Yani lah yang membangunkan umat Islam dari tidurnya. Risikonya, ya Buni Yani juga dipenjara. Semoga semua yang dilakukannya membawa keberkahan bagi umat Islam dan Buni Yani beserta keluarganya. Karena pergerakan berawal dari Markas FPI Petamburan, maka sangat wajar juga Ahok dan barisannya atau Ahoker membenci FPI. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan, setiap waktu dan setiap saat mereka akan terus menyerang FPI dengan kata-kata intoleran, anti Pancasila, anti NKRI, pendukung khilafah serta syariah dan berbagai macam kata-kata lainnya. Mereka tidak tahu dan tidak sadar betapa umat Islam, termasuk FPI sangat toleran, membela NKRI dan Pancasila. Bukti FPI sangat toleran bisa kita lihat ketika demo terjadi, ada pasangan Kristen yang melakukan perkawinan di gereja dekat Masjid Istiqlal. Malah Laskar Pembela Islam yang merupakan pejuang/pengamanan di FPI membukakan jalan kepada pasangan pengantin dan rombongannya. Jika FPI intoleran, sudah dipastikan agama lain itu tidak akan bisa menembus kerumunan massa hingga sampai ke gereja. Itulah hebatnya FPI. Di satu sisi diserang dengan kata intoleran, tetapi kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Ini membuat lawan FPI dan umat Islam semakin kewalahan. Mereka terus mencari kelemahan FPI. Maka, berbagai usaha memojokkan dan membubarkan FPI pun terus dilakukan. Kelakuan busuk terus dipertontonkan oleh kaum kafir dan munafik terhadap FPI yang tegas dalam mencegah kemungkaran.(Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior.
Ramai-Ramai Membunuh Politisi
Oleh Hersubeno Arief Buta yang terburuk adalah buta politik— Berthold Brecht (1898 – 1956)— Jakarta, FNN - Andai saja saat ini dilakukan survei opini publik: Profesi apa yang paling dibenci di Indonesia? Bisa diduga politisi akan menempati salah satu yang teratas. Khususnya mereka yang kini duduk di kursi DPR. Silakan melongok ke berbagai media sosial. Bermacam-macam tagar muncul. Mulai dari #DPRbunuhdiri, #DPRbudakistana, sampai #Killthepolitician meramaikan dunia maya. Keriuhan di dunia maya itu menggambarkan frustrasi publik. Kemarahan di tengah tekanan pandemi dan dampaknya secara sosial dan ekonomi. Mereka perlu katarsis. Pelampiasan. Marah, frustrasi terhadap para politisi di tengah pandemi, bukan hanya monopoli rakyat di Indonesia. Di AS kebencian terhadap Presiden Trump dan para pendukungnya kian memuncak. Acakadutnya penanganan bencana Corona oleh pemerintah menjadikan Trump, bulan-bulanan kemarahan publik. Di Indonesia frustrasi dan kemarahan publik, selain karena kebijakan pemerintah yang tak jelas, buang badan. Juga didorong sikap DPR. Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat, DPR hanya membebek. Menyetujui, mendukung apapun yang dilakukan pemerintah. Padahal kebijakan itu dinilai merugikan masyarakat. Mengamputasi dan mengebiri fungsi DPR. DPR juga dicurigai bermain mata, berselingkuh dengan kepentingan para taipan, korporasi besar yang berpesta pora, memanfaatkan bencana.Mereka bergerak cepat. Diam-diam mengesahkan berbagai perundangan. RUU yang sebelumnya jelas-jelas ditolak publik. Mumpung publik lengah. Mumpung civil society sibuk dengan berbagai persoalan lain. Mumpung mahasiswa tidak bergerak. Mumpung media fokus ke bencana dan direpotkan oleh problem kehidupan sehari-hari. Semuanya dikebut. Ketok palu. Langsung diundangkan. Tak peduli tata tertib DPR dilanggar. UU itu bertentangan dengan konstitusi. Bertentangan dengan nalar publik! Yang penting order dari para bohir. Para cukong politik sudah dilaksanakan. Invoice, tagihan bisa dicairkan. Mari kita inventarisir berbagai perundang-undangan yang disahkan DPR di tengah bencana. Yang paling banyak mendapat sorotan adalah pengesahan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Covid. Dari 9 fraksi, hanya PKS yang menentang. Disahkan secara aklamasi. Keberatan publik sudah banyak dibahas. UU ini dinilai lebih mementingkan menyelamatkan kepentingan korporasi dibanding kepentingan rakyat. UU Minerba disahkan. Hanya Demokrat yang tidak setuju. Posisi Demokrat bergantian dengan PKS yang ikut menyetujui. Padahal UU ini dinilai akan menyengsarakan rakyat di sekitar penambangan dan merusak lingkungan. Lagi-lagi UU ini juga hanya menguntungkan korporasi, pengusaha besar. Jika dirunut ke belakang, sangat banyak UU yang disahkan DPR, bertentangan dengan nalar publik. Salah satunya adalah revisi UU KPK yang dianggap menguntungkan dan berpihak kepada koruptor. Dikendalikan para cukong Tudingan bahwa partai politik (Parpol) sudah dikendalikan oleh para cukong, ini bukan asal ngomong. Bukan sekedar sikap curiga dan paranoid. Politisi Golkar yang kini menjadi Ketua MPR Bambang Soesatyo pernah menyampaikan bocoran. Untuk menguasai sebuah Parpol, biayanya sangat murah. Cukup dengan modal Rp 1 Triliun, posisi ketua umum bisa direbut. Setelah itu cukong politik tinggal order kepada sang Ketum. Mengamankan kebijakannya di DPR. Jika ada anggota dewan yang mbalelo, tinggal recall. Ada mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Betapa luar biasanya para taipan, cukong politik itu. Mereka inilah yang bekerjasama dengan penguasa, politisi, penegak hukum disebut sebagai kelompok oligarki! Mereka adalah sekelompok kecil elit yang mengendalikan kekuasaan, politik, dan ekonomi.Kamus Merriam-Webster mendifinisikan oligarki sebagai “kelompok kecil orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri mereka sendiri”. Di medsos saat ini sedang viral pernyataan pengamat politik senior Fachri Aly. Dia menyatakan politik Indonesia saat ini dikuasai oleh pengusaha. Disebutnya para kapitalis. Kekuatan modal, kata Fachri Aly, saat ini jauh membayang-bayangi dalam sistem demokrasi. Jauh lebih berbahaya dibandingkan pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, penguasa yang menciptakan kapitalis. Dan penguasa bisa mengontrol pengusaha. Sebaliknya pengusaha juga hormat kepada pengaturan penguasa. Di masa Soeharto pengusaha tunduk pada penguasa. “Tapi begitu kekuasaan Soeharto rontok, maka para kapitalis itu lah yang menguasai negara,” tegas Fachri. Pernyataan Fachri ini disampaikan dalam sebuah seminar tahun 2015. Namun nampaknya kembali diviralkan karena sangat tepat menggambarkan situasi saat ini. Berharap pada partai dan politisi baru Dengan situasi semacam itu apakah kita harus mengikuti anjuran netizen membunuh para politisi? #Killthepolitician? Membubarkan Parpol karena mereka sudah terbeli dan menjadi alat kepentingan para taipan? Tak ada yang bisa dipercaya? Kembali meminjam pernyataan Berthold Brecht yang dikutip diatas. “Buta paling buruk, adalah buta politik!” Lengkapnya penyair dan dramawan Jerman itu mengatakan: Buta paling buruk, adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik." Dalam negara demokratis, untuk menyampaikan aspirasi tersebut, maka saluran legalnya adalah parpol. Melalui Parpol kita boleh merebut kekuasaan secara legal dan konstitusional. Menentukan harga, dan menentukan siapa yang berkuasa. Jika semua orang baik menolak berpolitik karena dianggap kotor, maka parpol akan hanya diisi orang-orang jahat. Para politisi yang menggadaikan jabatannya menjadi hamba pengusaha. Dengan semangat semacam itu, kita perlu sambut hadirnya parpol baru. SK dari Kemenkumham Partai Gelora yang didirikan duet Anis Matta-Fahri baru saja terbit. Mereka menjadi salah parpol baru pertama yang resmi berbadan hukum. Tinggal mengikuti verifikasi dari KPU. Pendiri PAN Amien Rais juga akan segera mendirikan Parpol baru. Diperkirakan bakal terjadi bedol desa dari PAN. Sebelumnya juga sudah ada wacana menghidupkan kembali Partai Masyumi. Politisi Ahmad Yani menggagas Masyumi Reborn. Dilihat dari latar belakang pengurusnya, semua berakar dari gerakan Islam. Hanya Gelora tampaknya mencoba bergeser ke tengah. Islam-Nasionalis. Eksperimen politik Gelora ini cukup menarik. Mereka mencoba memadukan dan mengakhiri ketegangan politik Islam dan Nasionalis. Polarisasi semacam itu selalu mewarnai perjalanan politik bangsa sejak Indonesia berdiri. Banyak membuang energi bangsa. Partai sempalan PAN, bila dibaca dari statemen Amien Rais tampaknya akan bergerak lebih ke kanan. Lebih Islami. Menjadikan Al Quran sebagai acuan moralnya. Sementara Masyumi Reborn dari namanya punya niat membangkitkan kembali partai Islam yang sempat berjaya di masa lalu. Mudah-mudahan parpol baru ini bisa menjadi parpol alternatif bagi publik yang kecewa dan dikecewakan parpol yang ada saat ini. Bagaimana bila mereka juga ternyata mengecewakan? Silakan saja bila ingin kembali gemakan tagar #Killthepolitician. Bersikaplah santai, sambil mengingat kembali ucapan negarawan asal Inggris Winston Churcill. “Dalam perang Anda hanya bisa terbunuh sekali, tapi dalam politik Anda bisa mati berkali-kali.” Nahhhhhhhh. End Penulis Wartawan Senior.
Soekarno Mencela Muktamar Alim-Ulama Tahun 1957 "Komunis Phobia"
By Prof. Dr. K.H. Buya Hamka Cerita dari almarhum BUYA HAMKA ini, telah dipublikasikan oleh Majalah Panjimas dari tahun 1967-1981, terbitan Pustaka Panjimas halaman 319. Dan telah dirilis kembali oleh Islam Media. Jakarta, FNN - Senin (18/05). Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh dengan tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur dalam menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya. Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden Soekarno bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia”. Dan itu adalah suatu perbuatan yang amoral. Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan. Terdiri dari Parpol dan Ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa syarat (reserve). Malanglah nasib Alim-Ulama yang berkonferensi di Palembang itu. Karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, Bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden Soekarno. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh Alim-Ulama yang berkonferensi di Palembang itu. Disebabkan kurangnya publikasi atau tidak ada yang berani mendukung konferensi Alim-Ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencaci maki Alim-Ulama kita. Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali? Agar menyegarkan ingatan Umat Islam, dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke-IV yang berlangsung bulan Juli tahun 1966 lalu. Sebab Muktamar Alim-Ulama yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa : Ideologi-ajarant komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, dan kafirlah dia. Orang tersebut tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam. Tiada pusaka mempusakai, dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam. Bagi orang-rang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme seperti PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain dengan keyakinan dan kesadaran, mka sesatlah dia. Wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut. Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang tahun 1957 itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. Muhammad Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian itulah, para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presiden Soekarno sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar). Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, Alim-Ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Akibatnya, K.H. Muhammad Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi tersebut, pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan, selama kurang lebih empat tahun. Dan banyak lagi Alim-Ulama yang terpaksa menderita di balik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi. Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda, bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua penderitaan itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Disamping itu, ada "ulama” lain, yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu. Bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom. Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita. Dalam indoktrinasi pidato-pidato Soekarno, Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Ulama yang dipandang kontra revolusi, yang telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dalam setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan. Namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat, karena anti Soekarno, dan anti komunis. Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis. Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia, sebelum Allah membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh Alim-Ulama itu. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan ,dan bersyukur dalam kemenangan. Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme /Marxisme /Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”. Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang Alim-Ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para Alim-Ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Sebagai ulama, mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan. Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para Nabi. Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya. Seperti yang dialami Nabi Ibrahim A.S. yang dipanggang dalam api unggun yang besar dan bernyala-nyala, ataun seperti yang dialami Nabi Zakariya A.S. yang gugur karena digergaji dan lain-lain. Bgitulah para Nabi utusan Allah itu. Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu. Karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petik bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama yang lama. Namun hanya dari peristiwa sejarah yang lalu.