POLITIK

Muncul Kandidat Independen, Pilwalkot Medan Bakal Seru

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Medan memang bukan Jakarta. Tetapi, dari aspek politik, setelah Jakarta jelas Medan di urutan kedua. Medan menjadi barometer kecerdasan umat Islam. Tetapi, bisa pula menjadi ‘argometer’ bagi kelompok-kelompok oportunis. Kalau Anda naik taksi non-online, tentu ‘argometer’ akan Anda tengok dulu sebelum mengeluarkan dompet. Setelah itu, barulah Anda buat transaksi dengan Pak Supir. Di pilkada mana pun juga di Indonesia ini, selalu ada tawaran ‘jasa dukungan’ yang memakai ‘argometer’. Tak terkecuali di Medan. Baik itu pilkada yang akan tayang bulan September-Oktober 2020 maupun pilkada-pilkada masa lalu. Umat sudah sangat muak dengan praktik tercela dalam pilkada Medan. Umat menjadi apatis. Sampai-sampai jumlah ‘turnout’ (yang datang ke TPS) di dua pilkada yang lalu (tingkat provinsi dan kota) turun ke level yang sangat rendah. Hanya 26% umat yang sudi mencoblos. Fakta ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan legitimasi kepala daerah. Sekarang, umat tak sabar dengan transaksi ‘jasa dukungan’. Umat ingin agar para rentenir dukungan politik itu segera dilenyapkan. Hanya dengan cara ini kepercayaan umat terhadap sistem politik bisa dipulihkan. Itulah sebabnya, koalisi keumatan Medan akan memajukan calon independen. Sebagai alternatif untuk cara-cara kotor yang merajalela selama ini. Itulah yang sedang diusahakan oleh para aktivis dan pimpinan berbagai ormas di Medan. Berbagai sumber koalisi keumatan Medan menyebutkan, mereka akan mengajukan dua tokoh umat yang memiliki integritas, kapabilitas, dan kapasitas yang lebih dari keperluan untuk mengubah Medan menjadi kota yang bermartabat dan berkeadilan. Dua tokoh umat yang terkerucut dari sekian banyak nama-nama “heavy weight” adalah Ustad H Azwir Ibnu Aziz dan Ustad Latif Khan. Tidak ada yang meragukan integritas Ustad Azwir. Dan tidak ada pula menyangsikan kapabilitas Ustad Latif Khan. Uztad Azwir adalah sosok yang ‘humble’ tetapi tegas dalam hal penegakan hukum dan keadilan. Ustad Latif Khan sangat memahami hiruk-pikuk perpolitikan. Beliau mampu menjelaskan dengan runtun dan detail mengenai apa-apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki suasana ekonomi-sosial-politik kota Medan. Sekarang ini, kita semua menyaksikan kasak-kusuk berbagai kelompok yang hanya mengedepankan syahwat kekuasaan. Mereka sangat bernafsu untuk berkuasa di Medan Umat bisa mengamati orang-orang yang ingin masuk dengan misi pribadi. Bukan misi rakyat. Ini tidak boleh dibiarkan. Para relawan koalisi keumatan telah bekerja keras untuk menyukseskan pencalonan Ustad Azwir dan Ustad Latif Khan. Sejauh ini, reaksi umat terhadap kehadiran mereka sebagai kandidat independen sangat positif. Kedua tokoh ini akan mampu membangkitkan semangat perjuangan untuk menyelamatkan kota Medan. Tantangan yang dihadapi pastilah berat. Tetapi, dengan tekad keras dan ketawakkalan kepada Allah SWT, tidaklah berlebihan kalau pasangan ini nantinya akan merebut simpati umat. Para pengamat politik di sini berpendapat, kehadiran kandidat independen pasti akan menjadi alternatif yang mampu mendorong umat untuk datang ke bilik-bilik suara. Karena itu, kemunculan Ustad Azwir Ibnu Aziz yang berpasangan dengan Ustad Latif Khan akan membuat pemilihan wali kota Medan menjadi seru.[] 5 Februari 2020 (Penulis adalah waratwan senior)

Sri Mulyani dan Janji Asal Janji Jokowi

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Berita mengejutkan hari-hari ini adalah Sri Mulyani menyatakan janji kampanye Jokowi tentang pemberian uang pengangguran. Janji yang didengungkan Jokowi tempo hari adalah janji omong kosong. Apakah janji omong kosong itu? Janji omong kosong adalah janji yang dibuat Jokowi hanya untuk kepentingan kampanye alias memberi harapan palsu pada rakyat. Memberikan harapan palsu, yang kata anak melinial disebut “PHP”. Karena kemungkinan untuk merealisasikan janji-janji itu jauh dari kenyataan. Jauh dari kenyataan karena Jokowi menyadari bahwa tidak ada kemampuan untuk merealisasikan, khususnya pendanaan, bagi perealisasian janji itu. Lalu apa itu janji palsu? Janji palsu adalah janji yang tidak direalisasikan Jokowi. Jika sebuah janji direalisasikan, tapi tidak berhasil, maka itu bukan janji palsu. Namun, jika sejak awal janji itu sekedar pencipta harapan bagi rakyat, tanpa mungkin merealisasikannya, maka janji itu sejak awal sudah palsu. Lalu apakah janji Jokowi tentang pra kerja itu janji palsu? Janji Jokowi pemberian kartu pra kerja adalah satu dari tiga kartu yang dijanjikan Jokowi ketika kampanye. Selain kartu pra kerja adalah KIP (Kartu Indonesia Pintar) Kuliah dan Kartu Sembako Murah. Kartu Pra Kerja ditafsirkan berubah-berubah sejak janji itu dikeluarkan Jokowi kala kampanye itu. Penafsiran awal kartu itu ditujukan kepada dua juta pencari kerja. Dalam kartu itu akan diberikan uang pengangguran. Tafsir itu berkembang kemudian dengan pernyataan Jokowi bahwa paska pilpres yang dia maksud adalah kartu itu akan diberikan pada dua juta pengangguran atau pencari kerja. Untuk mereka termasuk pra kerja diberikan vokasi atau training hingga mereka bisa mendapat kerja. Penafsiran berkembang lagi bahwa kartu itu akan mempunyai peran selain untuk training juga peserta atau pemilik kartu akan dafat insentif setelah training. Lalu ada penafsiran lain dating dari Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), kartu itu akan menyasar ke pengantin yang baru, menikah tapi belum memiliki kerja. Berputar putarnya penafsiran kartu pra kerja itu, tentu terkait dengan informasi yang dibocorkan Sri Mulyani bahwa janji Jokowi tentang kartu pra kerja tidak direncanakan sejak awal. Dari sinilah awal mula pembicaraan hari-hari ini tentang janji bohong kartu pra kerja. Dalam situasi ekonomi negara yang sulit, dan kegelisahan pembayar pajak atas kehati-hatian penggunaan uang negara, kunci kepercayaan rakyat pada kepemimpinan nasional adalah penyusunan program secara hati-hati. Uang Rp 10 Triliun yang direncanakan untuk Kartu Pra Kerja, akan jadi bumerang, jika uang itu miskelola atau bahkan kalau tidak tepat sasaran. Tanpa perencanaan yang kuat, yang berbasis pada pencapaian Jokowi pada priode sebelumnya, maka pemerintah kesulitan menentukan siapa jumlah dua juta orang yang disasar kartu pra kerja. Karena jumlah pengangguran kaum muda sekitar 61% dari total pengangguran terbuka. Tahun 2019 lalu, sekitar tujuh juta jiwa pengangguran. Artinya, sasaran dua juta dari sekitar empat juta jiwa. Apakah nantinya pemberian kartu memakai metode "lotre"? Dalam situasi rakyat yang semakin susah saat ini, apalagi program pemangkasan subsidi mulai dijalankan rejim Jokowi, dipastikan pengangguran dan kemiskinan baru akan semakin besar. Pada Januari, 2019, Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro mengatakan ada 53 juta jiwa masyarakat rentan miskin. Sayangnya, pada Januari 2020, World Bank mengatakan ada 115 juta jiwa penduduk Indonesia yang rentan terhadap miskin. Dengan demikian rencana kartu pra kerja menjadi taruhan besar Jokowi saat ini. Jokowi harus bekerja keras untuk benar-benar bisa merealisasikan janjinya. Janji Jokowi terkait kartu pra kerja tentu belum dapat dikatakan janji palsu. Namun, janji-janji Jokowi 2014, terlalu banyak yang tidak terealisasi. Antara lain, janji pertumbuhan 7%, janji Land Reform, janji kabinet dan jaksa agung profesional, janji tidak rangkap jabatan, janji berantas korupsi, janji penuntasan kasus HAM, janji rupiah meroket, janji mengusut pelanggaran HAM masa lalu, dan masih banyak lagi. Kita anggap saja sementara ini janji Jokowi tentang pra kartu kerja masih omong kosong. Kita perlu menanti apakah janji itu palsu atau tidak. Untuk itu, kita tunggu sebaiknya kita tunggu saja. Mudah-mudahan bisa terealisasi sebelum berakhir 20124. Bocoran Sri Mulyani Bocoran Sri Mulyani tentang janji omong kosong Jokowi disampaikan di forum World Bank. Tentu saja kita tidak bisa menyepelekan pembocoran ini diantara orang-orang asing. Misbakhum, anggota DPR RI, misalnya, marah dengan pernyataan Sri Mulyani ini. Menurutnya hal itu tidak pantas dibocorkan orang terdekat Jokowi yang anggota kabinet. Namun, bagi kita pembocoran informasi ini penting untuk melihat berapa banyak sebenarnya janji-janji Jokowi yang mirip kartu pra kerja? Jokowi tidak boleh menjadi pemimpin, yang dalam sindiran SBY beberapa waktu lalu, "jangan jadi pemimpin kumaha engke, tetapi engke kumaha". Artinya, pemimpin itu jangan asal membuat janji. Untuk itu mungkin Misbakhum dan kalangan DPR RI perlu masuk pada substansi yang diperlukan rakyat. Rakyat butuh apa-apa saja yang merupakan janji-janji Jokowi yang dianggap Sri Mulyani membuat dia sampai sakit perut. Penutup Beberapa hari lalu, melalui kejujurannya atau pembocoran sengaja tentang janji pilpres Jokowi , Sri Mulyani memberitahu forum diskusi World Bank dan rakyat Indonesia bahwa program dan janji-janji Jokowi dalam kampanye banyak yang omong-kosong. Omong kosong maksudnya janji itu disampaikan tanpa mempunyai perhitungan dan kelayakan dari seorang presiden sebuah republik. Janji itu hanya untuk sekedar meraup suara. Antara lain program kartu pra kerja itu. Hal ini tentu menjadi bencana besar bagi sebuah negara. Sebab, seorang pemimpin negara harus diukur dari "satu kata dengan perbuatan". Kita mengetahui, uang negara Republik Indonesia, sangat tergantung Sri Mulyani, menteri keuangan dan bendahara negara. Sebagai petahana atau inkumben, tentu semua janji Jokowi harus terukur berbasis kemampuan terukur dari pembiayaan. Untuk melihat berapa banyak janji asal janji atau janji omong kosong Jokowi selama kampanye pilpres lalu, kita berharap keterbukaan lebih jauh dari Sri Mulyani. Atau DPR-RI memanggil Sri Mulyani. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Sinyal Jokowi ke Sandi, Misi Politik Pecah-belah?

By Mochamad Toha Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo mendukung Sandiaga Salahuddin Uno untuk maju Pilpres 2024 nanti? Jika menyimak sambutannya dalam acara pelantikan pengurus HIPMI periode 2019-2022, Presiden Jokowi telah memberikan sinyalnya untuk Sandi. Di acara yang sama hadir pula Sandi yang juga mantan Ketum dan Senior HIPMI itu. Melihat kehadiran Sandi, Presiden Jokowi yang pernah bersaing saat Pilpres 2019 lalu menyampaikan pesan, “Hati-hati 2024!” Sontak hadirin bertepuk tangan. Lebih lanjut Presiden Jokowi mengatakan, “Tadi kan disampaikan Ketua Dewan Pembina, kalau 2024 nanti kemungkinan yang hadir di sini adalah kandidat yang kemungkinan besar akan menggantikan saya. Dan saya meyakini itu,” ujarnya. Presiden Jokowi memang tidak menyebut nama Sandi, tapi dengan kalimat, “bisa saja yang berdiri tadi.” Maksudnya yang berdiri tadi tak lain adalah Sandi. Sinyal yang disampaikan Presiden Jokowi bisa diterjemahkan secara positif atau negatif. Presiden Jokowi pasti sudah punya pertimbangan ketika menyampaikan sinyal dukungannya kepada Sandi itu. Secara positif, tampaknya Jokowi akan lebih nyaman jika yang meneruskan estafet pemerintahannya nanti adalah Sandi, bukan yang lainnya. Termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Bawesdan yang digadang-gadang para pendukungnya belakangan ini. Apalagi, Sandi sendiri itu seorang politisi, elit partai, dan pernah terjun dalam kontestasi Pilpres 2019 lalu bersama Prabowo Subianto. Sinyal Presiden Jokowi ke Sandi ini mengirim pesan kuat bahwa memang hubungan Presiden Jokowi dengan Gubernur Anies bagaikan api dalam sekam. Panas, sulit untuk dipersatukan. Ini terlihat saat Jakarta dilanda banjir, 1 Januari 2020, lalu. Di satu sisi Gubernur Anies dalam menangani banjir yang melanda Jakarta lalu itu, kerapkali merespon langsung Pemerintah Pusat dan Presiden Jokowi secara langsung. Gubernur Anies head to head langsung dengan Presiden Jokowi dan Pemerintah Pusat. Secara fatsoen politik, yang dilakukan Gubernur Anies itu kelihatannya memang tidak elok. Kesannya ia sedang melakukan perlawanan. Apalagi, Presiden Jokowi tak mengundangnya saat Rapat membahas penanganan Banjir Jakarta. Ini menjadi sinyal kepada Gubernur Anies bahwa Presiden Jokowi sudah “tidak butuh” Anies lagi. Jelas, apa yang dilakukan Presiden Jokowi ini bisa dinilai sebagai upaya “pecah-belah” kekuatan politik Anies – Sandi yang pernah bersama kelola Ibukota ini. Perlu dicatat, keduanya pernah pula mengalahkan kekuatan politik lainnya saat Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu yang disokong kekuatan parpol besar, seperti Agus Harimurty Yudhoyono (Partai Demokrat) dan Basuki Tjahaja Purnama (PDIP). Bila Anies-Sandi pecah, tentu saja ada kekuatan politik lainnya yang diuntungkan. Yakni: Demokrat yang sudah menyiapkan AHY atau Andika Perkasa yang kini digadang-gadang oleh “oligarki jenderal” yang selama ini telah menyokong Jokowi. Ada pula, PDIP yang tampaknya juga sedang menyiapkan Puan Maharani yang kini duduk sebagai Ketua DPR RI untuk ikut dalam kontestasi Pilpres 2024. PDIP dan Puan sekarang tinggal mencari pasangannya saja sebagai Cawapres untuk Puan. Sebagai parpol pemenang Pemilu 2019, tentunya PDIP tidak akan mau jika ditempatkan di posisi Cawapres 2024 nanti. PDIP pasti minta jatah Capres! Siapakah yang mau digandeng Puan (PDIP) untuk posisi cawapres? Masih sulit menjawabnya! Sebab, apa yang dirasakan rakyat selama Jokowi yang disokong PDIP menjabat Presiden, banyak kebijakan yang sangat merugikan rakyat. Berbagai kasus korupsi menyeruak dan semakin menggila yang juga melibatkan kader parpol pendukung. Kalaupun PDIP bisa mengajukan capres sendiri meski tanpa dukungan parpol lainnya, toh PDIP tetap butuh cawapres dari parpol lainnya. Persoalannya, apakah parpol tersebut mau ikut mendukung. Dan, siapa figur yang pas untuk Puan tersebut. Rasanya tidak mungkin kalau Ahok yang juga PDIP satu paket bersama Puan. PDIP masih tetap butuh parpol pendukung lainnya dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti. Kabarnya, Ahok justru akan dipasangkan dengan AHY atau Andika Perkasa. Konon, Ahok disokong China. Inilah yang membuat “oligarki jenderal” dengan mudah bisa menarik dukungan dari parpol di luar PDIP dan Gerindra. Apalagi, belakangan ini hubungan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto tampak akrab. Jika Anies Baswedan benar-benar “ditinggalkan” Sandi (dan Gerindra), maka peluang Anies ikut kontestasi Pilpres 2024 sedikit “tertutup”, meski mantan Rektor Universitas Paramadina ini sangat berpotensi memenangkan Pilpres 2024 mendatang. Itu jika Anies – Sandi kembali berpasangan pada Pilpres 2024. Mereka berpeluang menang seperti saat Pilkada 2017 yang mengantarkannya menjadi Gubenur – Wakil Gubenur DKI Jakarta. Meski didukung Gerindra dan PKS, mereka bisa menang. Namun, bila dilihat hingga saat ini Gerindra-PKS belum juga sepakat soal wagub pengganti Sandi, maka itu pertanda ada masalah antara Gubernur Anies dengan partai pengusungnya. Pasti kedua parpol itu tidak sreg lagi dengan Gubernur Anies. Sehingga, sekarang ini terkesan, Gubernur Anies terlihat asyik sendiri dibantu dengan timnya untuk meningkatkan popularitas tanpa membawa parpol pengusungnya, Gerindra-PKS dalam berbagai kegiatan. Sepertinya, kedua parpol ini mulai meninggalkannya. Di sisi lain, bisa jadi Gubernur Anies juga kecewa melihat kedua parpol pengusungnya yang sengaja membuatnya “sendirian” dalam mengurus Ibukota. Mengurus Jakarta tanpa bantuan Wagub, meski ada kepala dinas dan TGUP yang membantunya. Meski pilpres masih empat tahun lagi, tapi sebetulnya sudah di depan mata. Kini, apa yang dilakukan Gubernur Anies dan para pendukungnya pun, tak bisa dilepaskan dari kontestasi Pilpres 2024. Tapi, persoalannya, Anies tak punya parpol. Mungkin mereka lupa bahwa peran parpol sangat menentukan, maju atau tidaknya seseorang. Gubernur Anies bisa saja nyapres, bisa juga sebaliknya. Semua tergantung keputusan parpol. Di sini kita bisa baca maksud pernyataan Presiden Jokowi itu. Bagaimanapun juga Sandi memiliki partai, dan elit partai besar. Sementara Gubernur Anies tidak punya partai. Di sinilah kelemahan Anies! Konsekuensinya, dia hanya bisa menunggu lamaran dari berbagai parpol, seperti yang dilakukan NasDem. Manuver yang ditempuh Ketum NasDem Surya Paloh tempo hari itu justru bisa membuat parpol lainnya yang berniat ingin mendukung Anies juga berpikir ulang. Karena, bisa saja, mereka bakal dianggap “mengekor” NasDem. Itulah politik! Akankah Sandi akhirnya juga meninggalkan Anies, sehingga keduanya “berpisah”? Dalam politik itu semuanya bisa terjadi. Meski keduanya memiliki hubungan yang erat, termasuk kedua ibunda masing-masing bersabat sejak usia muda. Jika hal itu terjadi, maka sinyal Presiden Jokowi ke Sandi tersebut sejatinya memang untuk memecah kekuatan di belakang Anies – Sandi selama ini. Karena, kalau keduanya kembali berpasangan, berpotensi menang kontestasi Pilpres 2024. Anies – Sandi yang menjadi representasi dari kekuatan politik Islam dan Nasionalis tersebut merupakan ancaman bagi kekuatan politik “oligarki jenderal” maupun PDIP yang selama ini berada di belakang dan menyokong Presiden Jokowi. Kalau Anies – Sandi pecah, maka akan mudah mengalahkan Sandi (tanpa Anies) tanpa ada kendala yang berarti. AHY atau Andika Perkasa yang disokong “oligarki jenderal” maupun Puan akan muncul sebagai salah satu pemenang Pilpres 2024. Itulah realitas politik terkait kontestasi Pilpres 2024. Peta politik tersebut bisa saja berubah bila ternyata Prabowo Subianto masih ingin maju lagi pada Pilpres 2024. Sementara, Anies masih menunggu tambahan kendaraan, selain NasDem. Manuver NasDem ini sebenarnya serupa saat Surya Paloh melakukan hal yang sama jelang Pilkada Jabar 2017 ketika deklarasi pencalonan Ridwan Kamil untuk maju Pilkada Jabar. Padahal, saat itu Ridwan masih menjabat Walikota Bandung. Tampaknya, NasDem ingin mengulang sukses di Jabar yang berhasil mengantarkan Ridwan Kamil menjadi Gubernur Jabar pada Pilkada Serentak 2017 lalu. Tentu, manuver semacam ini tak mudah diterapkan untuk Pilpres 2024 nanti. Siapapun yang menggandeng Ahok, peluang untuk meraih kemenangan akan semakin jauh, kecuali bermain “uang”. Umat Islam pun akan trauma dengan gaya kepemimpinan Ahok saat memimpin Jakarta. Begitu pula Puan. Siapapun yang digandeng Puan, umat Islam juga masih trauma dengan apa yang dilakukan Presiden Jokowi sebagai “petugas partai” PDIP. Rakyat masih trauma dengan segala kebijakannya yang banyak merugikan rakyat. Rakyat Indonesia kini sedang merindukan pimpinan yang bisa mengayomi dengan kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat. Itulah yang sedang dicari! Seriuskah ucapan Jokowi? Melansir Kompas.com, Peneliti dan pengamat politik dari CSIS Arya Fernandes menilai, isyarat Presiden Jokowi kepada Sandi sebagai kandidat kuat presiden 2024 itu hanya untuk menyenangkan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu. “Menurut saya itu, kode-kode itu mungkin untuk menyenangkan Pak Sandi saja. Karena kan posisinya ketika itu (acara) HIPMI, dia (Sandiaga) kan mantan Ketua HIPMI,” ujar Arya ketika dihubungi Antara dari Jakarta, Minggu (19/1/2020). Penulis adalah Wartawan Senior

PDIP Bisa Tergiring Menjadi Pabrik Korupsi

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Dulu, Golkar berkuasa begitu kuat dan lama. Partai ini kemudian menjadi mesin korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ini bisa terjadi karena Golkar ada di semua lini kekuasaan. Merekalah yang mengatur semuanya. Selanjutnya, banyak orang Golkar yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Golkar kemudian ambruk. Dilaknat oleh rakyat sebagai partai korup. Dihujat sebagai partai yang dihuni oleh para politisi busuk, rakus, dan licik. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) nyaris membubarkan Golkar. Tapi, itu tak terjadi. Kemudian, Golkar ‘come back’ dan menjadi pemain besar lagi. Sekarang, ada indikasi PDIP akan menempuh rute yang sama seperti yang dijalani Golkar. Partai Banteng kini dililit korupsi. Banyak kadernya yang tersangkut berbagai kasus. Sebetulnya tidak mengherankan. Sebab, PDIP sedang memegang kekuasaan yang sangat besar. Bahkan mungkin lebih besar dari kekuasaan Presiden Jokowi sendiri. Presiden yang disebut oleh Ketum Megawati sebagai “petugas partai”. PDIP menjadi sangat kuat meskipun tidak seperti Golkar tempohari. Kekuasaan politik Banteng yang cukup besar itu membawa kita kembali lagi ke teori kekuasaan absolut yang digambarkan oleh John Emerich Edward Dalberg Acton yang kemudian dikenal dengan Lord Acton (1833-1902). Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut pasti sangat korup. Sebagai partai yang berkuasa, PDIP berurusan dengan banyak hal. Ini yang membuat pintu-pintu korupsi menunggu di depan mereka. Saat ini, banyak gembok korupsi yang sangat menggoda bagi orang-orang PDIP. Bedanya dengan zaman Golkar, hari ini sebagian gembok korupsi itu dipegang juga oleh parpol-parpol lain. Tidak dimonopoli oleh PDIP saja. Kekuasaan PDIP itu tidak hanya besar. Tapi juga luas. Tangan PDIP ada di Eksekutif dan Yudikatif. Apalagi di Legislatif (DPR). Mulai dari penentuan isi kabinet Jokowi sampai pada urusan “calon jadi” untuk jabatan gubernur, bupati, atau walikota. Secara informal, orang-orang PDIP juga ikut mengurus siapa-siapa saja yang akan mengelola puluhan BUMN papan atas. Mengurusi direksi dan komisaris. Boleh jadi sampai level manajer juga. Bahkan, para politisi PDIP bisa menjadi perantara bagi VIP yang ingin bertemu dengan Presiden. Di forum DPR, PDIP juga berperan menggiring persetujuan atau ketuk palu untuk segala macam hal. Itulah hebatnya partai besar yang berkuasa. Dan itu pula keistimewaanya. Pemandangan seperti ini sudah lumrah. Orang-orang PDIP, dalam berbagai kapasitas, pastilah banyak bersentuhan dengan proyek-proyek pemerintah. Baik di pusat, maupun di daerah. Jadi, banyak sekali urusan negara ini yang digenggam PDIP. Banyak pula yang tergantung pada keinginan para petinggi partai. Artinya, boleh jadi ada ribuan ‘deal’ yang harus ditentukan oleh orang-orang kuat partai. Nah, ‘deal’ yang demikian banyak itu akan membuka jalan korupsi. Perlu diingat juga, ‘deal-deal’ itu biasanya dicapai melalui otoritas para pemegang kekuasaan di jajaran eksekutif dan yudikatif. Boleh dikatakan hampir semua memerlukan tangan penguasa. PDIP, sebagai stake-holder terbesar kekuasaan politik (legislatif), sangat berpengaruh atas para penguasa yang memegang otoritas eksekutif dan yudikatif itu. Kekuasaan politik PDIP bisa menentukan cara berbagai lembaga atau instansi negara mengambil keputusan. Terutama lembaga atau instansi yang krusial dari aspek Polhukam dan Ekuin. Lebih khusus lagi lembaga seperti Polri, BIN, KPU, Bawaslu, MK, MA, OJK, BI, PPATK, dlsb. Keinginan orang-orang PDIP kerap menjadi referensi para pejabat pemerintah. Sangat mungkin, banyak urusan yang harus diselesaikan dengan “cara khusus”. Melalui jalan pintas. Yang berarti di luar prosedur. Berbagai macam urusan. Sebagai contoh, termasuklah urusan yang sedang viral hari-hari ini. Yaitu, penggantian antar waktu (PAW) seorang anggota DPRRI dari PDIP. Nazaruddin Kiemas, anggota DPRRI terpilih 2019-2024 dari dapil Sumsel 1, meninggal dunia. Pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai PAW karena dialah yang berhak sesuai perolehan suara. Tetapi, PDIP ingin agar Harun Masiku sebagai PAW. Di sinilah peluang korupsi terbuka. Komisioner KPU, Wahyu Setiawan (WS), mengisyaratkan bahwa dia bisa membantu agar Harun menggantikan Riezky. Dengan imbalan 900 juta. Akhirnya, WS kena OTT KPK. Diberitakan luas bahwa ‘uang operasional’ itu, diduga kuat, berasal dari pejabat tinggi PDIP, Hasto Kristiyanto. Tapi, Sekjen PDIP ini membantah terlibat sogok-menyogok WS. Jadi, sebagai partai besar yang berkuasa, PDIP sangat rentan terhadap godaan korupsi. Sama seperti Golkar dulu. Kerentanan itu muncul karena ada keperluan pribadi atau keperluan partai. Dan keperluan itu selalu tak mengenal batas. Ini yang menyebabkan PDIP bisa tergiring menjadi pabrik korupsi seperti yang dialami Golkar.[] 20 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Upaya Jegal Anies Nyapres, Rival Mulai Bergeliat

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Telah beredar video berdurasi sekitar 1 menit usai “Demo Anti Anies” yang gagal di Balai Kota Jakarta, Selasa (14/1/2020). Dalam video itu, salah seorang pendemo mengaku dibayar Rp 40.000 untuk mendemo Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pengakuan masa bayaran Rp 40 ribu viral di media sosial menjelang demo berakhir. Salah satunya, video berdurasi 1 menit lebih yang dibagikan akun@francmohede. “Pembodohan generasi muda. Bocah2 asli Jakarta dipengaruhi 40 ribu utk ikutan demo @aniesbaswedan. Aktor2 penggerak demo bukan ingin perbaikan, mereka pemecah belah bangsa.” “Itu Jabar, Banten dan Jateng korban banjirnya lebih banyak, Gubernurnya kayak ga punya dosa,” tulis pemilik akun twitter menyertai videonya, seperti dikutip Indopolitika.com, Rabu (15/1/2020). Dalam video tersebut, ada beberapa remaja yang dikumpulkan diduga diamankan massa pro Anies di salah satu lokasi. Mereka terdiri dari remaja pria dan wanita. Mereka lantas ditanya oleh beberapa orang dengan logat Betawi kental. “Ente dibayar ye? Dibayar berape?” tanya salah seorang jawara ke pendemo. Pendemo pun menjawab,”empat puluh”. “Berapa? Empat puluh ribu? Ente dibayar empat puluh ribu buat ngedemo Anies?” tanya jawara itu lagi. “Iya bang,” jawab si pendemo yang tidak diketahui namanya itu. Jawara juga menanyakan tempat tinggal si pendemo. “Ente tinggal dimane?” tanya dia. “Di Pulo Gundul,” jawabnya. “Oh Pulo Gundul, Johar Baru? Eh, ane nongkrong di Johar, ente dimanenye kok gak pernah liat,” tanya jawara lagi. Pendemo pun terdiam. Akhirnya para jawara dan warga Betawi yang menggelar Aksi Bela Anies itu mengamankan para pendemo bayaran, yang sebagian besar berusia remaja, menjauh dari area digelarnya demo. Itulah sekelumit cerita dan fakta di lapangan terkait demo “Anti Anies” yang dimotori oleh politisi PDIP Dewi Tanjung dan aktivis medsos Permadi Arya alias Abu Janda pada Selasa (14/1/2020). Mereka ini tak lain adalah para pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi rival saat Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Setidaknya, indikasi itu disampaikan Ketua DPD Gerindra Jakarta M. Taufik. Menurutnya, demo kontra Anies diinisiasi orang-orang yang belum menerima kemenangan Anies dalam Pilkada 2017. Taufik menyebut inisiator demo kontra Anies adalah pendukung Komut PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang dulu menjadi rival Anies. “Itu demo orang yang belum move on saja, Abu Janda, Dewi Tanjung. Abu Janda kan orang nggak move on karena Ahoknya kalah. Orang yang nggak ngerti nasib, kalau itu (Anies jadi gubernur) itu nasib,” kata Taufik. “Kalah ya kalah aja, ngapain berlarut-larut. Emang bisa apa dia Abu Janda ngurus Jakarta?” lanjut Taufik, seperti dilansir Detik.com, Selasa (14/1/2020). Selasa (14/1), dua kelompok massa pro dan kontra – Anies Baswedan melakukan unjuk rasa di sekitar Balai Kota kemudian Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat. Aksi kelompok kontra Anies diikuti oleh sejumlah korban banjir. Mereka menuntut Anies mundur. Politikus PDIP Dewi Tanjung dan aktivis Permadi Arya (Abu Janda) ikut dalam aksi tersebut. Sementara, demo dari kelompok lainnya akan diikuti anggota DPD dari DKI Jakarta, Fahira Idris, bersama ormas Bang Japar. Mereka menyiapkan 'Aksi Jaga dan Kawal Anies'. Kepemimpinan Anies Baswedan dinilai lebih baik dibandingkan dua era sebelumnya, yakni Basuki Tjahaja Purnama maupun Joko Widodo. Pada 2012, pertumbuhan ekonomi Jakarta sebesar 6,53 persen dan setahun setelahnya turun menjadi 6,07 persen. Secara statistik, pada 2014 turun lagi 5,91 persen. Semasa Ahok turun terus hingga 2016 itu 5,87 persen. Soal angka kemiskinan pada era Jokowi memimpin Jakarta, persisnya 2012, itu justru naik dari 3,69 persen menjadi 4,09 persen 2014. Pertumbuhan ekonomi naik tapi kemiskinan naik. Apa artinya? Kesenjangan sosial di DKI meningkat tajam. Sebaliknya, pada era Anies, angka kemiskinan di Jakarta pada Maret 2018 turun menjadi 3,57persen. Pada September 2018, kembali turun 3,55 persen. Penanganan Banjir Jakarta. Dalam penanganan banjir Jakarta, berikut tabel perbandingan kondisi banjir Jakarta dari tahun ke tahun. Tahun 2020: Curah hujan tertinggi dalam 24 tahun terakhir, mencapai 377, namun luas area yang tergenang rendah 156, jumlah pengungsi 31.232 (paling rendah dibanding 2015, 2013, 2007, 2002), dan waktu surut sangat cepat 4 hari. Juga tidak ada area strategis yang tergenang (seperti Bundaran HI atau Istana Negara). Jadi, jika mau kritisi soal banjir Jakarta, sebaiknya tagih saja mantan Gubernur DKI Jakarta yang pernah berjanji akan lebih mudah tangani banjir jika ia jadi Presiden. Jegal Anies Demo Anti Anies yang menuntut Anies Baswedan mundur dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta itu jelas bernuansa politik untuk men-down grade kinerja Anies selama menjabat Gubernur DKI Jakarta itu. Arahnya jelas: menjegal Anies nyapres pada 2024! Sehingga, dengan moment “Banjir Jakarta”, 1 Januari 2020 lalu itu dimanfaatkan untuk down grade Anies bahwa dia tidak bisa bekerja. Adanya bukti, pendemo yang dibayar Rp 40 ribu itu menjawab bahwa ada “bandar” yang gelontorin duit untuk aksi itu. Siapa dia yang bandarin mereka ini, tentu hanya mereka korlap yang tahu. Jika jeli, pasti kita bisa menyibak tirai bandar itu. Tapi, dalam tulisan ini saya tak akan menduga-duga siapa saja yang membayar mereka yang “Demo Anti Anies” tersebut. Bahwa pada 2024 nanti akan ada gelaran Pilpres 2024. Salah seorang tokoh yang digadang-gadang untuk maju Pilpres 2024 diantaranya Anies Baswedan. Rival yang bakal dihadapinya tidak jauh dari saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Siapa mereka? Kabar yang beredar diantaranya adalah Agus Harimurty Yudhoyono (AHY), Andika Perkasa (KSAD), dan Ahok. Mereka ini disokong oleh “oligarki jenderal” yang selama ini sebenarnya berada di belakang pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kabarnya, AHY atau AP akan dipasangkan dengan Ahok sebagai Capres-Cawapres 2024. Rencana Geng “oligarki militer” ini sudah tercium yang mendorong Ahok (Zhang Wan Xie) sebagai cawapres AHY atau AP yang maju capres pada 2024 nanti. Rencana ini pasti terwujud jika presiden Amerika Serikat terpilih pada 4 November 2020 itu berasal dari Partai Demokrat. Sehingga duet Duet AHY atau AP - Zhang Wan Xie 2024 akan unstoppable, tidak bisa dicegah! Makanya, moment OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang diapresiasi rakyat terhadap KPK itu bisa mengubah konstelasi politik. Besar harapan rakyat melalui kasus suap Wahyu ini, dugaan manipulasi pada Penetapan Hasil Pemilu/Pilpres 2019 bisa diusut tuntas. Pengembangan kasus suap KPU oleh KPK dipastikan akan dapat mengubah total konstelasi politik nasional dan mengantar kelompok mayoritas Islam-nasionalis menjadi the ruling party menggantikan rezim “oligarki jenderal”. Dugaan korupsi yang telah merugikan negara Rp 8 triliun pada penyerahan aset Pemda DKI Jakarta kepada BUMD PT Jaktour (inbreng lahan tanah 794.830 m2 dan gedung/apartemen pada 2014-2015) semakin sulit dituntaskan. Terindikasi ada penghalangan penuntasan kasus dari BPK. Upaya publik mengakses LHP BPK No. 13A tahun 2015 yang memuat temuan pemeriksaan BPK atas inbreng lahan aset DKI itu dihambat melalui penyembunyian LHP dan pemalsuan LHP oleh BPK Jakarta. Pencegahan proses hukum atas Ahok terduga koruptor RSSW, Cengkareng, Taman BMW, Inbreng Jaktour dan lain-lain, total kerugian negara lebih dari Rp 176 triliun oleh “oligarki militer” terkait erat dengan rencana memanfaatkan dukungan China pada Pilpres 2024. Bagi Anies sendiri, yang harus dicermati: Pilpres 2024 bareng dengan Pilkada Serentak 2024. Masa jabatan Anies sampai 2022. Yang 2 tahun Pj atau Plt yang diatur oleh Kemendagri. Jadi kalau mau nyapres/nyagub Anies harus istirahat dulu 2 tahun. Siapkah Anies dan pendukungnya rehat selama 2 tahun sebelum nyapres 2024? Sementara, calon rivalnya dengan dana tak terbatas sudah running duluan. Penulis adalah wartawan senior

Hasto Khianati Mega!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - “Jangan sekali-kali punggungi rakyat, jangan itung untung rugi bagi kerja politik, jangan mencari keuntungan pribadi atau kelompok dari tugas ideologis ini,” tegas Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, Jum’at (10/1/2020). Dalam pidato politiknya di Rakernas dan HUT ke-47 PDIP di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, itu, Mega mengingatkan kader partainya agar tak mengambil keuntungan pribadi atau kelompok dalam menjalankan tugas sebagai politikus. Dia meminta kader PDIP bekerja sungguh-sungguh untuk bangsa dan negara. “Kader-kader PDI Perjuangan di seluruh tanah air penuhi jiwa ragamu dengan semangat mewujudkan cita-cita rakyat tersebut,” tegasnya dengan berapi-api. Mega mengatakan, pernyataan untuk tak mengambil keuntungan pribadi tersebut merupakan instruksinya kepada seluruh kader PDIP. Jika ada yang melanggar, dia menegaskan tak akan melindungi. “Dengar, pidato politik ini adalah instruksi langsung dari ketua umum bagi seluruh kader PDI Perjuangan. Saya tidak akan lindungi kader yang tidak taat instruksi partai,” tegas Mega lagi. Mega pun mengatakan akan 'menggebrak' kader agar sadar akan tugas partai. Dia kemudian mempersilakan kader yang tak siap untuk menjalankan instruksinya keluar dari PDIP. “Saya akan menggebrak kalian-kalian seperti biasanya, berkali-kali agar sadar terhadap tugas ideologis partai. Jika tidak siap, silakan kalian pergi dari PDI Perjuangan,” ujar Mega. “Siap atau tidak?”tanya Mega kepada seluruh kader yang hadir. “Siap!” jawab seluruh kader dengan suara lantang dan kompak. Pernyataan keras Mega ini tentu menjadi pertanyaan. Benarkah ini memang untuk seluruh kader partai? Atau diarahin pada seseorang atau sekelompok kader PDIP? Ada dua kalimat Mega yang secara tegas bisa menggambarkan bahwa terdapat kader partai yang tidak taat instruksi. Yakni: “Saya tidak akan lindungi kader yang tidak taat instruksi partai” dan “Jika kalian tidak siap, silakan kalian pergi dari PDIP!” Coba simak skandal suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang ditangkap KPK karena terima suap yang diduga melibatkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan caleg PDIP terkait PAW untuk Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia itu. Wahyu tertangkap basah dalam OTT KPK pada Rabu, 8 Januari 2019. Menurut KPK, Wahyu menerima uang sogok Rp 850 juta. Bahkan, ada yang memberitakan Rp 900 juta yang dimintanya dari Harun Masiku, caleg PDIP dari Dapil 1 Sumatera Selatan. Harun sedang mengusahakan agar dia yang duduk sebagai anggota DPR RI PAW Nazaruddin yang meninggal dunia. Nazaruddin terpilih dari Dapil 1 Sumatera Selatan di pileg 2019. Pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia yang berhak menjadi PAW. Sesuai dengan perolehan suara, Riezky-lah yang berhak menggantikan Nazaruddin itu. Harun mencoba hendak menggeser Riezky. Harun diduga yang telah memberikan uang pada Wahyu agar bisa membantunya menjadi anggota legislatif melalui PAW. Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, KPK belum berhasil memintai keterangan dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Hasto patut dimintai keterangan karena, Saeful Bahri yang mengaku sebagai orang kepercaannya, menyebut uang suap itu berasal dari Hasto. Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, selain Wahyu, KPK telah menetapkan Agustiani Tio Fridelina, orang kepercayaan Wahyu, mantan anggota Bawaslu. Kemudian, politikus PDI-P Harun Masiku dan seorang pihak swasta bernama Saeful Bahri. Dua nama terakhir disebut Lili Pintauli Siregar sebagai pemberi suap. Sementara Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Tersangka Harun sendiri tak terjaring dalam OTT, Rabu (8/1/2020) lalu dan saat ini masih belum diketahui keberadaannya. Harun Masiku adalah caleg PDIP yang menempati urutan keenam dalam perolehan suara. Meski urutan keenam, justru Harun yang dimajukan PDIP untuk menggantikan Nazaruddin yang meninggal sebelum Pileg 2019 digelar. Sedangkan posisi kedua hingga kelima ditempati Riezky Aprilia (nomor urut 3), Darmadi Jufri (nomor urut 2), Doddy Julianto Siahaan (nomor urut 5), dan Diah Okta Sari (nomor urut 4). Meski meninggal, Nazaruddin memperoleh suara terbanyak. Hasto Kristiyanto saat dikonfirmasi, Kamis (9/1/2020), mengatakan, “Dia (Harun Masiku) sosok yang bersih. Kemudian, di dalam upaya pembinaan hukum selama ini cukup baik ya track record-nya,” kata Hasto. Ironis! Sosok bersih koq nyuap? Berdasarkan putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019, partainya memiliki kewenangan dalam menentukan pengganti anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia. Hasto menegaskan, dalam merekomendasikan nama Harun, PDIP pun berpegang pada aturan tersebut. “Proses penggantian itu kan ada putusan dari Mahkamah Agung. Ketika seorang caleg meninggal dunia, karena peserta pemilu adalah partai politik, maka putusan Mahkamah Agung menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai,” lanjut Hasto. Meski demikian, pada akhirnya KPU menetapkan Riezky Aprilia menggantikan Nazarudin untuk duduk di kursi Senayan, karena memperoleh suara terbanyak kedua. Riezky Aprilia sendiri mengaku tak tahu rencana PAW Harun Masiku. DPP PDIP sejak awal menerbitkan surat kepada KPU dan menyodorkan Harun Masiku untuk dilantik dengan alasan kader partai asli dan Riezky Aprilia dianggap bikan kader asli karena pencalonannya semata sebagai anak Bupati Linggau. KPU menolak Harun dan melantik Rizky. Nampaknya Harun berbekal rekomendasi DPP PDIP itu tetap berjuang untuk bisa dilantik menjadi anggota DPR menggantikan Rizky dengan cara melobi komisioner Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Wahyu pun pada akhirnya terkena OTT KPK dengan barang bukti uang suap Rp 400 juta. Harun Masiku bernasib apes, perjuangan untuk dilantik jadi DPR malah berujung penjara kena OTT KPK. Apalagi, Ketua KPU Arief Budiman menyebut ada tanda tangan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam surat permohonan PAW Harun Nasiku untuk menggantikan caleg terpilih yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas. Tiga surat dari DPP PDIP yang ditujukan kepada pihaknya dibubuhi tanda tangan Hasto Kristiyanto. Hal itu diungkapkan Arief dalam konferensi pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020). “Kalau surat pertama soal permohonan pelaksanaan putusan MA ditandatangani oleh Ketua Bapilu, Bambang Wuryanto dan Sekjen Hasto Kristiyanto,” ujar Arief, seperti dilansir Kompas.com, Jum’at (10/1/2020). Kemudian, dalam surat kedua yang merupakan tembusan perihal permohonan fatwa terhadap putusan MA Nomor 57.P/KUM/2019 tertanggal 19 Juli 2019 ditandatangani Ketua DPP Yasonna Hamonangan Laoly dan Sekjen Hasto Kristiyanto. Surat ketiga, tertanggal 6 Desember 2019 ditandatangani oleh Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto. Sebelumnya, Arief mengungkapkan adanya tiga surat yang dikirimkan PDIP terkait permohonan Harun sebagai PAW untuk Nazarudin. “Jadi KPU menerima surat dari DPPP sebanyak tiga kali. Surat pertama, terkait putusan atau permohonan pelaksanaan putusan MA, (surat ini) tertanggal 26 Agustus 2019,” ujar Arief saat jumpa pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020). Putusan MA tersebut, kata Arief, berdasarkan pengajuan uji materi yang diajukan (PDIP pada 24 Juni 2019). Hasto mengakui, PDIP merekomendasikan Harun Masiku gantikan Nazarudin. Putusan atas uji materi ini dikeluarkan pada 18 Juli 2019. “Jadi prosesnya (uji materi) tidak sampai satu bulan ya,” lanjut Arief. Menurut Arief, atas surat pertama ini, KPU sudah menjawab dengan menyatakan tak dapat menjalankan putusan MA itu. “Kedua, kami menerima surat tembusan dari DPP PDIP yang meminta fatwa terhadap MA. Itu permintaan ditembuskan kepada KPU tertanggal 13 September 2019 dan disampaikan ke kita pada 27 September 2019,” jelas Arief. Tapi, karena surat itu berupa tembusan, KPU memutuskan tak membalas surat itu. Kemudian MA mengeluarkan surat atau fatwa tertanggal 23 September 2019. “Nah berdasarkan surat atau fatwa MA ini, DPP PDI Perjuangan mengirimkan permohonan lagi kepada KPU dengan surat tertanggal 6 Desember 2019 yang diterima oleh KPU pada 18 Desember 2019,” ungkap Arief. Surat inilah yang disebut KPU sebagai surat ketiga dari DPP PDIP. Karena surat ketiga ditujukan ke KPU, maka KPU menjawab pada 7 Januari 2020. “Yang isinya (surat balasan) kurang lebih sama dengan balasan untuk surat pertama,” tegas Arief. Lebih lanjut Arief mengungkapkan bahwa ada satu proses lagi terkait penetapan perolehan suara di daerah pemilihan Sumatera Selatan I ini. Proses itu terjadi saat dilakukan rekapitulasi hasil Pemilu 2019 di KPU RI. “Jadi, ada pengajuan keberatan. Sudah dibahas dan sudah diterima. Termasuk pada saat pembahasan itu kita sampaikan penjelasan yang sudah kita sampaikan lewat surat (dua surat jawaban KPU),” ungkap Arief. “Surat itu kita bacakan lagi lewat momentum itu. Jadi penjelasan kita (atas permohonan PDIP itu) sudah dua kali lewat surat, dan satu kali pada saat rekapitulasi nasional,” tambah Arief. Jika melihat demikian faktanya, ditambah lagi dengan ditetapkannya Wahyu Setiawan dan Saeful Bahri sebagai tersangka oleh KPK, seharusnya Hasto Kristiyanto juga perlu dimintai keterangannya. Kalau dia menghindar, dugaan keterlibatannya semakin jelas. Apalagi, jika kemudian diketahui bahwa Mega tak tahu-menahu soal perilaku korup kadernya ini. Berarti, Hasto telah khianati Mega! Penulis adalah Wartawan Senior

Dinasti Politik dan Skenario Lembu Peteng

Lha sekarang malah aneh. Puan jadi ketua DPR. Gibran nyoba nyalon Walkot Solo. Bukan lembu peteng. Tapi lembu padang. Berarti pertanda dinasti politik di semua lapisan sedang kepepet Oleh Hendrajit Jakarta, FNN - Biasanya, kalau anak sendiri diturunkan langsung jadi pak camat atau pak lurah, gen dinastinya sedang kepepet. Dalam skenario raja raja jawa dulu, raja malah mendukung diam diam seorang penggantinya, seolah merupakan tandingan elit kraton yang mapan. Padahal dia didorong keluar dari lingkaran kraton, untuk diplot jadi putra mahkota. Misalnya Sultan Demak Raden Patah, menggantikan raja Brawijaya V seolah olah akibat pemberontakan kerajaan Islam terhadap kerajaan Majapahit. Padahal Raden Patah juga anak kandung Brawijaya V yang justru dijagokan bapaknya. Presiden Ferdinand Marcos, diam diam menjagokan Fidel Ramos, sepupunya sendiri dan putra mantan menlu Narcisco Ramos, sebagai presiden Filipuna masa depan. Meski terinterupsi gara-gara pembunuhan terhadap Benino Aquino sehingga istrinya Cory jadi simbol oposisi melawan Marcos, namun Ramos menjadi pemain kunci bersama Cory dalam kejatuhan Marcos. Sehingga, setelah era Qory, Ramos jadi presiden Filipina berikutnya. Bahkan sempat dua periode. Raden Patah atau Ramos di era modern, inilah yang namanya Lembu Peteng. Lha sekarang malah aneh. Puan jadi ketua DPR. Gibran nyoba nyalon Walkot Solo. Bukan lembu peteng. Tapi lembu padang. Berarti pertanda dinasti politik di semua lapisan sedang kepepet. Sedang berlangsung perang senyap dan intrik para elit kraton. Dan model mereka ini, sangat takut sekali dengan istilah Suksesi Kepemimpinan Nasional. Apa sebab? Begitu oposisi berhasil melembagakan diri di luar lingkaran kraton, wacana suksesi kepemimpinan justru dipicu dari dalam kraton itu sendiri. Berarti isyarat lembu peteng akan segera merebut kekuasaan. Dan meruntuhkan dinasti lama, membangun imperium baru. Maka itu, dalam suasana gonjang ganjing langit kelap kelap kayak sekarang, rakyat harus punya skenario sendiri. Sutradara sendiri. Para aktornya sendiri. Rakyat harus mampu menyusun dan membentuk pikirannya sendiri. Dari rahim inilah akan lahir pemimpin pemimpin rakyat sejati. Bukan lembu peteng. Penulis adalah pengkaji geopolitik dan wartawan senior

Ironis! Ketua DPR RI Minta PPATK Tidak Publikasi Kepala Daerah Pencuci Uang

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo dalam penegakan hukum tampaknya bakal mengalami kendala, menyusul kabar yang dirilis Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) perihal adanya kepala daerah yang menyimpan uangnya di kasino luar negeri. Ironisnya, kendala itu justru datang dari Ketua DPR Puan Maharani yang juga politisi PDIP. Puan minta kepada pihak PPATK dan Kemendagri tak mengumbar para kepala daerah yang memiliki rekening di kasino, tempat perjudian di luar negeri ke publik. Puan menyatakan, bila diumumkan ke publik akan berpotensi menimbulkan simpang siur di tengah-tengah masyarakat. “Alangkah baiknya kalau hal-hal itu tak langsung dipublikasikan ke publik karena menimbulkan simpangsiur atau praduga bersalah pada yang bersangkutan,” kata Puan di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/12). Puan berharap, agar Kemendagri dan PPATK menyampaikan nama-nama tersebut ke pihak penegak hukum ketimbang ke publik. Sebab, lanjut dia, pihak penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus tersebut. “Yang kami harapkan dari PPATK kalau kemudian ada kasus per kasus tolong lapor ke kejaksaan, kepolisian, KPK atau pihak hukum yang bisa tindaklanjuti temuan tersebut,” kata Puan, seperti dilansir berbagai media online tersebut. Di tempat yang sama, Politikus PDIP Johan Budi mengaku terkejut terkait temuan PPATK tersebut. Ia beranggapan bahwa kasus tersebut sudah berlangsung beberapa kali hingga melibatkan banyak pejabat negara. “Harus segera ditelusuri, karena kepala daerah yang mempunyai dana sampai puluhan miliar dan kemudian ditaruh di kasino, ini pasti ada tanya besar, apakah ini dalam rangka untuk money laundering atau uang dari mana ini?” tutur Johan. Senada dengan Puan, melihat hal itu, Johan meminta agar PPATK menyampaikan langsung ke penegak hukum aliran dana untuk diusut tuntas. Ia juga menyarankan agar Kemendagri dapat memantau transfer dana pusat ke daerah yang selama ini dikelola pemerintah daerah. Menurut Johan, hal tersebut bertujuan agar penerimaan daerah itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebelumnya, PPATK mengungkap modus oknum kepala daerah yang melakukan pencucian uang lewat kasino atau tempat perjudian di luar negeri. Ketua PPATK Kiagus Badaruddin mengatakan pencucian uang via kasino jadi modus baru yang terendus pihaknya tahun ini. Dia bilang ada dua cara yang digunakan oknum kepala daerah dalam modus ini. “Menyimpannya (uang tersebut) betul dalam rekening kalau dia mau main dia tarik. Atau juga menyimpannya dalam bentuk membelikannya dalam koin,” kata Badaruddin , seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin (16/12/2019). Badaruddin menyampaikan detail, pelaku menukarkan uang hasil kejahatan dengan koin kasino di negara-negara tertentu. Kemudian mereka menunggu hingga jam operasi kasino berakhir untuk kembali menukarkan koin ke dalam bentuk uang tunai. Para oknum kepala daerah tersebut akan mendapat uang tunai plus tanda terima dari kasino. Setelah itu, tumpukan uang tunai itu diboyong ke Tanah Air dengan status legal. Pencucian uang yang dilakukan seperti ini akan mengurangi potensi penerimaan negara. Pasalnya, aset mereka menjadi sulit terdeteksi. PPATK menyebutkan, dana yang disimpan sejumlah kepala daerah dalam rekening permainan kasino luar negeri mencapai Rp 50 miliar. Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan modus pencucian uang ini terbilang baru. Dengan skema yang lebih canggih, maka pemerintah semakin sulit melacak keberadaan aset yang seharusnya terkena pajak. “Modusnya memang berkembang, mulai revolusi dari yang standard sekarang lebih canggih. Ini dari sisi pemerintahan ada sisi potensi penerimaan pajak yang hilang,” ucap Fithra kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/12/2019). Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mendesak PPATK, segera mengungkap nama-nama kepala daerah yang diduga memiliki dana berupa valuta asing dengan nominal setara Rp 50 miliar di rekening permainan kasino di luar negeri. “Jangan setengah-setengah mengungkap, tapi sampaikan sejelas-jelasnya dan sebut nama,” ujar Hidayat saat ditemui di sela Rapat Koordinasi Wilayah DPW PKS Jatim, di Surabaya, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin (16/12/2019 08:29 WIB). Menurut Hidayat, PPATK haruslah mengungkap temuan itu dengan jelas dan transparan. Hal itu agar publik tak resah dan justru menuduh pihak yang tak terlibat. “Jangan hanya dibuat nanggung, tapi buka seterang benderang mungkin sehingga tidak ada yang menjadi tertuduh karena menebak-nebak,” ucapnya. Bahkan, Wakil Ketua MPR ini meminta PPATK harus berani mengusut tuntas temuannya ini jika ada politikus maupun pejabat lain yang turut terlibat. Yang terpenting PPATK jangan terkesan seolah-olah sudah bekerja, padahal itu bukan hanya kepala daerah. “PPATK harus menelusurinya sampai tingkat pusat, kemudian membukanya ke publik,” tegasnya. Mendagri Tito Karnavian sendiri sudah merespons soal ini. Tito mengatakan, akan menemui PPATK untuk mengkonfirmasi informasi terkait temuan itu. Minggu depan pihaknya akan koordinasikan ke PPATK. Tito mengaku, akan mendalami informasi PPATK lebih lanjut untuk mengetahui validitas faktanya. Ia juga mempersilakan lembaga penegak hukum untuk ikut menyelidiki informasi tersebut. Bagaimana dengan KPK? KPK masih menunggu langkah lanjutan dari PPATK terkait pencucian uang yang dilakukan kepala daerah tersebut. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang belum bisa memastikan apakah pihaknya sudah menerima laporan PPATK terkait temuan dugaan pencucian uang tersebut. “Saya harus cek dulu ya,” kata Saut saat dihubungi CNNIndonesia.com,Senin (16/12/2019). Pihaknya akan menindaklanjuti jika sudah menerima hasil temuan itu dari PPATK, terutama untuk mengusut ada tidaknya dugaan tindak pidana korupsi di dalamnya. Menurut dia, sesuai dengan kewenangan KPK, pihaknya masih bergantung pada langkah lanjutan dari PPATK. Karena informasi itu merupakan milik PPATK yang punya wewenang sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. “Akan didalami seperti apa informasi intelijen PPATK itu bisa dikembangkan dan mencari pelaku tipikornya sesuai kewenangan KPK. Itu informasi intelijen (PPATK),” kata Saut. Apa yang diungkap PPATK itu bukan isapan jempol. Bahkan, tak hanya kepala daerah saja yang “bermain” dan cuci uang di kasino di luar negeri, seperti Macau. Menariknya, kali ini bukan kepala daerah, tapi anggota dewan “yang terhormat”. Nilainya fantastis! Konon, mencapai Rp 700 miliar. Karena, kalau main, dia tidak pernah kalau, selalu menang. Siapa beliau? *** Penulis wartawan senior.

Aji Mumpung atau Politik Dinasti Jokowi: Anak-Menantu Maju Pilkada 2020

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Saat Agus Harimurty Yudhoyono maju Pilkada DKI Jakarta pada 2017, publik pun langsung menuding, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sedang membangun politik dinasti. Padahal, kala itu SBY sudah tidak menjabat presiden lagi. Politisi Partai Demokrat Jansen Sitindaon menyinggung perihal nilai yang dipegang SBY. Ia menyebut, saat masih menjabat presiden SBY melarang anggota keluarga untuk mencalonkan diri dalam kontestasi Pilkada. “Pak SBY ketika itu berpikir presiden itu kan contoh kehidupan berbangsa,” tuturnya. Jansen menyatakan bahwa SBY kala itu enggan membentuk politik dinasti. “Jadi, dengan saya tidak memajukan saya saja di Pilkada, di daerah itu kan tumbuh politik dinasti,” kata SBY. “Apalagi kemudian kalau presiden yang sedang menjabat memajukan anak atau menantunya ke kontestasi Pilkada,” sindir Jansen, seperti dilansir TribunWow.com, Selasa (17 Desember 2019 10:11). Yang dimaksud Jansen itu adalah anak dan menantu Presiden Joko Widodo yang kini maju pada Pilkada 2020. Yakni, Gibran Rakabuming Raka yang maju pada Pilkada Kota Solo dan Bobby Nasution pada Pilkada Kota Medan. Pengamat Politik Adi Prayitno sayangkan langkah politik Gibran dan Bobby yang kemudian menyebutkan, Indonesia kini memasuki generasi keempat politik dinasti. Direktur Eksekutif Parameter Politik ini menyatakan ketidaksetujuannya atas langkah Gibran dan Bobby itu. Langkah politik tersebut dirasa Adi tidak sejalan dengan apa yang pernah dijanjikan Presiden Jokowi soal pernyataan tidak ikut sertakan keluarga dalam dunia politik. Bahwa pernyataan-pernyataan yang pernah dikeluarkan Jokowi soal partisipasi keluarga dalam ranah politik. “Menurut saya yang bikin dunia ini seakan runtuh karena Jokowi dalam banyak kesempatan bahkan dalam kampanyenya menyatakan tidak akan menyertakan keluarga besarnya dalam politik,” katanya dalam acara 'DUA ARAH' KompasTv, Senin (16/12/2019). Kehebohan majunya Gibran dan Bobby berdasarkan penjelasan Adi terjadi karena pernyataan Jokowi untuk tak ikut sertakan keluarga di ranah politik. Itu yang menjadi perdebatan, kenapa misalnya ada Bobby dan Gibran itu menjadi penting dalam satu diskursus dinasti politik. Menurut penilaian Adi, Jokowi memiliki nilai pembeda yang unik dibandingkan presiden-presiden sebelumnya. Keunikan tersebut adalah tidak mengajak keluarga terjun ke dunia politik. Namun, masuknya Gibran dan Bobby dalam kontestasi Pilkada, menurut Adi adalah bentuk nyata dari politik dinasti. “Tentu apa yang terjadi hari ini, itu beyond theory (di luar teori), beyond (di luar) sangkalan-sangkalan,” kata Adi. “Pak Jokowi sejak awal dianggap sebagai presiden yang memiliki nilai pembeda dengan presiden-presiden sebelumnya yang selalu mengajak keluarga besarnya menjadi bagian penting dalam politik,” ungkap Adi lagi. “Kalau mau kita sebut sebenarnya masuknya Gibran dan Bobby dalam lingkaran kekuasan politik, ini adalah bagian dari generasi keempat politik dinasti di Indonesia,” tambahnya, seperti dilansir TribunWow.com. Sebelumnya, politik dinasti juga terjadi di beberapa daerah saat Pilkada. Beberapa Kepala Daerah pernah “mewariskan” kepada anak istrinya. Di Bangkalan, misalnya, almarhum KH Fuad Amin Imron telah mewariskan kepada putranya. Di Kabupaten Probolinggo, Bupati Probolinggo juga mewariskan jabatannya kepada istrinya. Begitu pula Walikota Batu sebelumnya telah mewariskan jabatannya kepada istrinya. Itulah contoh politik dinasti yang terjadi di Jawa Timur. Pengamat Politik Hendri Satrio menyebut pencalonan Gibran merupakan ajang aji mumpung. Menurutnya, Gibran memanfaatkan nama besar sang ayah, Presiden Jokowi. Dalam tayangan YouTube KompasTV, Kamis (12/12/2019), Hendri menyebut ini momentum yang baik bagi Gibran untuk memenangkan Pilkada 2020. Mulanya, Hendri menyoroti keputusan Jokowi yang mengizinkan Gibran mencalonkan diri sebagai calon wali kota Solo 2020. Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution yang juga turut mencalonkan diri di Pilkada Medan 2020. “Kalau kemudian Pak Jokowi mempersilakan anak dan menantunya untuk maju di perhelatan Pilkada pada saat dia menjadi presiden, ini memang hal baru,” ujar Hendri. Namun, menurut Hendri banyak kasus serupa yang terjadi di daerah-daerah. “Tapi untuk seluruh Indonesia ini bukan hal baru karena memang banyak terjadi bahkan ada suaminya jadi bupati misalnya mempersiapkan istrinya menggantikan dirinya nanti, itu ada,” kata Hendri. Ia menyebut pencalonan Gibran dan Bobby pada Pilkada 2020 merupakan hal yang wajar. “Tapi pada saat kita memutuskan untuk memiliki demokrasi sebagai sistem pemerintahan hal-hal ini akan jadi wajar,” ujar Hendri. Ketua Bapilu DPP PDI-P Bambang Wuryanto berpendapat bahwa politik dinasti merupakan hal yang biasa terjadi. Hal itu ia katakan dalam menanggapi sejumlah kritik yang menganggap Presiden Jokowi tengah membangun dinasti politik. "Politik dinasti di wilayah dunia timur yang kayak gini, biasa. Bahwa dinasti atau tidak dinasti, kita ini di timur ada jarak dengan kekuasaan, itu biasa," ujar Bambang di Kantor DPP PDI-P, Jakarta, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (11/12/2019). Kepada Jokowi Yth Presiden Jokowi. Dengan majunya Gibran putra kandung Bapak sebagai Cawalkot Solo melalui jalur PDI-P, dan Bobby menantu Bapak sebagai Cawalkot Medan melalui jalur Golkar, Bapak sedang menuju kepada pembuktian atas apa yang dituduhkan 45% rakyat Indonesia mengenai berbagai kebohongan dan politik pencitraan yang dilakukan selama 5 tahun yang lalu. Sekaligus perjalanan selama lima tahun ke depan sebagai pengkhiatan atas kepercayaan 55% pendukung Bapak. Padahal baru 55 hari pemerintahan periode kedua Bapak berjalan. Politik balas budi selamanya tidak akan pernah membuat negara manapun berjaya. Politik balas budi akan membuat rakyat sebagai pemilik sejati negara ini, akan menjadi budak bagi negaranya sendiri. Infrastruktur yang terbangun gegap gempita adalah panggung pencitraan terang benderang sekaligus menunjukkan betapa gelapnya jalan menuju penguasaan kekuasaan dan pemusatan sumber keuangan negara di tangan segelintir orang saja di bumi pertiwi ini. Ada 142 BUMN bersama dengan 800 perusahaan anak dan cucunya membuktikan bahwa pengerukan kekayaan negara, praktek money laundrying, korupsi, oligarki, manipulasi, dan nepotisme terus berlangsung sepanjang waktu, siapapun Presidennya, di negara Indonesia ini. Saya tidak katakan Bapak jahat kepada rakyat. Tetapi siapapun yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, di pucuk pimpinan negara maupun daerah, ketika hanya memikirkan kelanggengan kekuasaan dan pemusatan kekayaan, terbukti telah membuat negara ini menjadi penjahat kolektif bagi rakyatnya sendiri secara sistemik dan sistematis. Bapak akan jahat bila membiarkan semua ini terjadi. Dan kejahatan modern yang paling berat dan paling bengis adalah ketika siapapun pemimpinnya, tega memangsa rakyatnya sendiri. Terpuruknya kesehatan rakyat dari tahun ke tahun, jumlah kesakitan yang semakin meningkat, jenjang kekayaan dan kemiskinan sebesar 630.000 dibanding 1 di negara ini, BPJS sebagai perusahaan asuransi kesehatan yang mewajibkan setiap warga negaranya menjadi nasabahnya dengan paksaan, adalah bentuk penindasan negara kepada rakyatnya yang sungguh-sungguh tidak bisa ditoleransi. Rakyat Indonesia, yang membutuhkan Ibu yaitu bumi pertiwi dan Bapak yaitu pemerintah yang bijak bestari, telah menjadi yatim piatu di negara miliknya sendiri. Semoga apa yang saya tulis di atas salah. Walaupun saya sangat optimis bahwa apa yang saya tulis adalah benar. Semoga Allah swt memberi hidayah bagi Bapak dan keluarga. Jangan sampai kekuasaan yang digenggam menjadikan kemudharatan yang menghancurkan kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Saya perhatikan Markobar di banyak kota sepi pengunjung. Dan martabaknya sangat manis, menjadi penyumbang terjadinya Diabetes dan Kanker pada anak, remaja, dan generasi muda. Rasanya juga tidak istimewa. Biasa-biasa saja. Gibran masih harus belajar bisnis makanan yang membuat sehat rakyat, bukan hanya sekedar menguntungkan. @Tifauzia Tyassuma Dokter, Peneliti, dan Penulis Jika Presiden Jokowi tetap meluluskan niatan Gibran dan Bobby maju Pilkada 2010, Jokowi akan dinilai rakyat sedang membangun politik dinasti. Bahkan, rakyat akan menilai, ternyata keluarga Jokowi juga “haus kuasa”. Jika keduanya tetap bersikeras maju, Jokowi justru “terjebak” dalam citra negatif yang sangat mematikan! *** Penulis wartawan senior.

Kalau Luthfi “Bendera” Alfiandi Dihukum Penjara

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Anak muda itu bernama Luthfi Alfiandi. Dia juga dipanggil Dede Luthfi Alfiandi. Polisi menangkapnya pada 30 September 2019. Dengan tuduhan melawan atau menyerang polisi dalam aksi protes revisi UU KPK di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta. Luthfi menjadi pendemo yang terkenal. Foto dirinya yang menyandang bendera merah-putih, menjadi viral. Dilihat jutaan orang melalui semua platform media sosial. Heroik di mata publik. Apa gerangan tindak pidana yang dilakukan Luthfi? Menurut dakwaan jaksa, Luthfi berniat melakukan keonaran atau kerusuhan dalam aksi unjuk rasa di DPR itu. Ada beberapa pasal KUHP yang didakwakan. Pertama, pasal 212 juncto Pasal 214 ayat 1. Kemudian, pasal 170. Yang ketiga, pasal 218. Inilah yang dibacakan jaksa penuntut umum dalam sidang perdana Luthfi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019). Dakwaan yang berlapis. Ada kesan, para penguasa ingin anak muda ini mendekam di penjara. Ingin agar dia diberi pelajaran. Supaya anak-anak muda lainnya menjadi ciut. Padahal, di kamus anak-anak setara STM tidak ada kata “ciut”. Kalau sekiranya Luthfi dijatuhi hukuman penjara, apa yang akan terjadi? Anak muda usia 20 tahun ini akan semakin terkenal. Semakin dicintai publik. Dia akan menjadi pahlawan. Menjadi simbol perlawanan terhadap kesewenangan. Para penguasa, khususnya Polisi, mungkin akan melihat Luthfi sebagai terpidana. Polisi mungkin juga puas kalau dia dihukum. Tidak begitu anggapan publik. Luthfi akan diingat sebagai anak muda bersih yang berani menghadapi risiko maut melawan kezliman penguasa. Bagi publik, kasus Luthfi itu sendiri adalah bentuk kesewenangan. Bisa juga dilihat sebagai wujud dari kecengengan Polisi. Kenapa begitu? Karena dalam demo anak-anak muda pastilah ada lempar-melempar. Unjuk rasa tentulah bukan arena karaoke. Lempar batu dan luka adalah ciri demo. Dan bukan petugas keamanan saja yang mengalami cedera. Puluhan pengunjuk rasa juga luka-luka akibat tindak kekerasan para petugas. Dan bahkan ada yang tewas terkena peluru tajam. Apakah itu berarti pendemo boleh melakukan tindak kekerasan terhadap Polisi? Tentu tidak. Cuma, Polisi tidaklah perlu menangkap seorang pendemo “tangan kosong” untuk dibawa ke pengadilan. Paling-paling kesalahan Luthfi adalah menunjukkan keberaniannya di tengah situasi yang setiap saat bisa mengancam jiwanya. Luthfi bernyali baja. Mungkin ini yang “menjengkelkan” Pak Polisi. Penangkapan Luhtfi menjadikan dirinya bintang perlawanan terhadap kezaliman. Hukuman penjara, kalau pengadilan memutuskan begitu, akan membuat anak Ibu Nurhayati itu menjadi lebih top lagi. Dia akan mendominasi pembahasan di media besar dan media sosial. Luthfi akan menjadi alat ukur kearifan penguasa. Juga menjadi ukuran kesewenangan dan kecengengan. Jangan lupa. Ada aspek lain kasus Luthfi. Sejak kemarin, para politisi oportunis berlomba-lomba “mencari muka” di depan publik. Mereka siap menjadi pahlawan untuk membebaskan anak muda yang viral ini. Siapa tahu tokoh muda legendaris ini bisa diajak masuk ke partai mereka. Untuk bintang masa depan.[] 13 Desember 2019 Penulis wartawan senior.