POLITIK
PDIP Tak Rela Dengan Pancasila 18 Agustus 1945
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (26/06). Sebenarnya agak aneh juga. Hanya gara-gara Rancangan Undang-Undang Haluan Edeologi Pancasila (RUU HIP) muncul isu, seruan, dan desakan yang menghendaki pembubaran PDIP. Partai terbesar sebagai pemenang dua kali Pemilu terakhir, baik legislatif maupun Presiden. Partai bersimbol banteng ini tentu berbenteng kokoh. Siapa sih yang berani menyinggung keberadaannya? Disamping itu jumlah anggota dewannya terbanyak. Bukan saja terbanyak DPR RI, tetapi juga di berbagai daerah, baik yang Provinsi maupun Kabupaten/Kota. PDIP juga menempati berbagai jabatan strategis di pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah. RUU HIP ternyata mampu membuka banyak hal yang selama ini tertutup rapat. Ditolak rakyat karena beraroma dan berbau Orde Lama, PKI, dan Komunisme. Pemerintah "menunda" karena sensitivitas muatan RUU HIP. Pemerintah juga meminta Dewan menyerap aspirasi lebih dalam. Rakyat tegas dan jelas menolak. Tidak memberi ruang untuk direvisi. Selanjutnya, rakyat mendesak agar diusut siapa saja konseptor. Terutama mereka yang bisa dikualifikasikan sebagai melakukan makar kepada idelogi dan dasar Negara Pancasila. Pasal 107 KUHP diangkat sebagai ancaman pelanggarannya. Dengan Maklumat yang tajam, Mejelis Ulama Indonesia (MUI) tampil sebagai lokomotif penolakan dari kalangan umat Islam. "Bongkar-bongkaran" yang lebih dalam telah menguak platform perjuangan PDIP sebagai Partai Politik. Media sosial hari-hari ini diisi dengan uraian tentang Visi dan Misi perjuangan partai. Ternyata di sana, selain ada Pancasila, juga adaTrisila, dan Ekasila. Rakyat pun jadi terperanjat. Oooooh, seperti ini toh aslinya? Masyarakat Pancasila yang hendak dibangun oleh PDIP itu adalah masyarakat Pancasila yang 1 Juni 1945. Bukan Pancasila yang sekarang dijadikan landasan Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945. Inilah yang disorot sebagai "makar" ideologi oleh beberapa kalangan. Meskipun Pancasila 1 Juni 1945 hal itu hanya tersirat, namun narasi yang ada sudah cukup untuk membuat rakyat Indonesia "mengerutkan kening". Apalagi pada Mukadimah Anggaran Dasar PDIP, pada alinea ketiga terdapat narasi kalimat antara lain: "PDI Perjuangan memahami Partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945" Lalu : "Partai juga sebagai alat perjuangan untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ber-Ketuhanan, memiliki semangat sosio nasionalisme dan sosio demokrasi (TRI SILA). Selanjutnya : "Serta alat perjuangan untuk menentang segala bentuk individualisme dan menghidupkan jiwa dan semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (EKA SILA)" Pasal 10 tentang tugas partai, pada butir g tertuang : "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih dan berwibawa" Nah kini sudah semakin jelas. Jika Pancasila 1 Juni 1945 yang dijadikan sebagai panduan, dan dimaknai, maka bukan hanya RUU HIP yang beraroma PKI dan Komunisme yang berbahaya. Tetapi juga perlu didalami tentang kemungkinan ancaman dari misi PDIP bagi kemurnian ideologi Pancasila hasil kesepakatan 18 pendiri bangsa Agustus 1945. Masyarakat politik dan masyarakat hukum berhak untuk mengkaji lebih dalam tujuan dan arah politik PDIP seperti tertuang di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDIP. Tujuannya untuk memperjelas kasus dan posisi PDI,P baik dalam konteks RUU HIP maupun misi terselubung yang ada dibaliknya. Visi dan Misi PDIP ini menjadi wacana dan isu yang menarik. Sebab bisa saja muncul dugaan, adakah Pancasila 1 Juni 1945 tersebut yang mau diperjuangkan PDIP untuk mengganti atau melemahkan Pancasila 18 Agustus 1945 ? Itulah hanya yang terpersepsi, tetapi perlu untuk diklarifikasi lebih lanjut. Jika memang itu yang terjadi, maka keadaan bangsa dan negara Indonesia akan teryus menghadapi ancaman yang sangat serius. Rakyat, khususnya umat Islam perlu waspada menghadapi kemungkinan terburuk selama Visi dan Misi PDIP belum berubah. Atau lebih tepat, siaga. Tidak bisa berdiam diri. TNI dan Polisi jangan berdiam diri saja. TNI dan Polisi juga mesti peduli dengan perkembangan dan situasi. RUU HIP dan PDIP telah membawa masalah baru bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Arief Poyuono: “Pak Joko Widodo Lawannya PKI!”
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN + Melansir Detik.com, Rabu (17 Jun 2020 11:19 WIB), Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono terancam sanksi dari Majelis Kehormatan DPP Gerindra karena pernyataan dia soal “PKI dimainkan kadrun” belakangan ini. Perihal sanksi untuk Poyuono itu disampaikan juru bicara Gerindra Habiburokhman dalam Twitter-nya. Tapi, Poyuono tetap merasa benar dengan pernyataannya. Poyuono tetap pada pendiriannya bahwa isu kebangkitan PKI hoax dan dibuat “kadrun”. Sanksi itu tengah diproses internal Majelis Kehormatan DPP Gerindra. “Kadrun itu siapa? Saya tanya dulu kan. Kadrun-kadrun itu istilah, nggak ada orang yang mau disebut kadrun. Memang si Habib (Habiburokhman) mau saya sebut kadrun?” sindir Poyuono. “Memang Gerindra kadrun? Kan bukan,” lanjut Poyuono saat dimintai tanggapannya, Rabu (17/6/2020). “Saya akan tetap pada statement saya bahwa PKI itu cuma hoax dan yang buat saya sebut kadrun. Kenapa? PKI itu partai terlarang kan? Ideologi terlarang kan. Ada nggak yang udah ditangkap polisi? Tunjukkan di mana orang-orang PKI itu,” imbuh Poyuono. Poyuono menilai isu bangkitnya PKI diembuskan cuma untuk mengacaukan negara. Dia menegaskan pemerintah saat ini juga menentang PKI. “Pak Joko Widodo bukan PKI, Pak Joko Widodo lawannya PKI,” tegas Poyuono. Pernyataan Poyuono tersebut menjadi sorotan warganet. Seperti ditulis dalam Fajar.co.id, pernyataan di salah satu video wawancara membuat Poyuono dan partainya menjadi bahan pembicaraan. Dalam video wawancara yang beredar luas di media sosial itu, legislator Senayan ini ditanya siapa yang memunculkan isu-isu PKI? “Yang pasti ini adalah kadrun!” tegas Poyuono dari akun twitter @Tjeloup, Selasa malam (16/6/2020). “Itu kadrun-kadrun dan yang ke-2 mungkin orang-orang yang tidak ingin adanya perdamaian di Indonesia yang mengkacau suasana, yang ingin mendiskreditkan pemerintahan yang sah secara konstitusional,” lanjut Poyuono. Kadrun (Kadal Gurun) digunakan oleh pendukung garis keras Jokowi. Istilah ini diindetikan dengan keturunan Arab atau yang berpakaian kearab-araban. Biasanya digunakan untuk para pengkritik Jokowi dan partai oposisi. Menurutnya, santernya isu PKI tak ayal hanyalah kabar hoaks yang mencuat di era Presiden Jokowi yang dalam hal ini menjadi korban, selalu dikait-kaitkan dengan PKI, partai terlarang. Poyuono menyebut pada era Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), isu PKI tidak gencar dimainkan untuk menjatuhkan kewibawaan lawan politik. “Enggak ada cuma isu-isu bohong saja (PKI),” katanya. “Isu-isu itu sebenarnya hanya untuk mendelegitimasi Kangmas Jokowi yang selalu dituduh apa pun. Dia seakan-akan ada hubungannya sama PKI, seperti itu. Kan aneh munculnya itu cuman di era-nya Pak Jokowi saja, dulu di era SBY tidak ada, era Mega tidak ada, ya kan, ini kan aneh,” ucapnya.Akibat pernyataan ini, warganet rame-rame membuat tagar #TenggelamkanGerindra. Bahkan hingga Rabu (17/6/2020) pagi, tagar ini sudah ditulis 6.391 kali (pukul 09.38 Wita). Pihak partai besutan Prabowo Subianto pun langsung memberikan klarifikasi. Lewat juru bicara Partai Gerindra, Habiburokhman memberikan klarifikasi atas pernyataan keras yang dilontarkan oleh Arief Poyouno. “Sebagai Jubir Partai Gerindra saya tegaskan bahwa pernyataan dari Arief Poyuono tidak mewakili Partai @Gerindra, apapun dia bilang jangan kaitkan dengan kami (Gerindra),” tulis Habiburokhman di akun Twitter miliknya, Selasa (16/6/2020). “Saya seh ingatkan Arief Poyuono bahwa garis partai jelas anti PKI dan kita sangat waspada terhadap kebangkitan PKI,” ungkap Habiburokhman. Melansir Detik.com, Rabu (17/6/2020), Poyuono melontarkan pernyataan “PKI dimunculkan kadrun” dalam wawancara di kanal YouTube “Kanal Anak Bangsa”. Dia ketika itu menjadi narasumber yang diwawancari. Poyuono menjawab sejumlah pertanyaan. Tentang kebangkitan PKI. Ini benar ada atau nggak? Nggak ada, itu cuma isu-isu bohong aja. Isu-isu itu sebenarnya hanya untuk mendelegitimasi Kangmas Jokowi, yang selalu dituduh apapun dia seakan-akan dia ada hubungannya sama PKI. Seperti itu kan aneh, munculnya itu di eranya Pak Jokowi aja. Dulu era SBY nggak ada, era Mega nggak ada, ini kan aneh. Siapa yang atau kelompok orang yang memunculkan itu? Yang pasti ini adalah kadrun, kadrun-kadrun ya yang pasti. Yang ke-2 mungkin orang-orang yang tidak menginginkan adanya perdamaian di Indonesia, yang selalu ingin mengacau yang selalu ingin mendiskreditkan pemerintah yang sah dan konstitusional dengan isu-isu PKI. Tapi kebangkitan PKI tidak ada? Tidak ada. Siapa yang PKI? Sangat dijamin. Di mana? Nanti gerakan buruh lebih kenceng disebut PKI. Kan kacau. Nggak ada PKI. Jadi kita bisa memastikan isu PKI itu tidak ada, hanya rekayasa kelompok tertentu? Tidak ada. Men-delegitimate pemerintahan Pak Jokowi. Yang disarankan ke Pak Jokowi untuk merespons dinamika sekarang ini? Diem aja. Diem aja ngapain direspons. Kebangkitan PKI hanya hoax… Hoax dan mau mengacaukan Indonesia. Dan sayangnya nggak laku. Tiap tahun nggak laku. Rakyat nggak butuh itu. Bicara tentang komunisme, masih laku? Tidak, udah nggak laku. Potensi PKI bangkit lagi ada peluang nggak? Saya rasa nggak ada karena PKI itu sekarang sudah bukan ajaran yang lama dari komunisme terus itu melakukan apa namanya teorinya tuh sudah diperbarui, teori lamanya udah nggak lagi. Kalau teori barunya ya kita lihat sekarang China. China (itu) sendiri sudah mengarah ke kapitalis. Nggak komunis murni cuma dalam hal-hal kepentingan negara mereka menganut ajaran-ajaran komunis itu artinya untuk melindungi negara dan rakyatnya dia gunakan ideologi komunis itu. “Tapi kalau untuk kegiatan ekonominya lebih liberal daripada kita,” ungkap Poyuono dalam wawancara itu. Pernyataan Poyuono dan klarifikasi Gerindra tentu saja menimbulkan polemik. Isu sensitif PKI diyakini akan semakin membesar seperti bola salju. Patut dicermati, apakah pernyataan Poyuono ini merupakan satu mata rantai dengan polemik RUU HIP? Atau berdiri sendiri dan Poyuono memiliki hidden agenda atau motif lain? Penulis Wartawan Senior
Untung Ada RUU HIP
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Setiap peristiwa selalu membawa hikmah. Begitu kata orang-orang tua. RUU HIP juga disertai hikmah. Ada ‘by products’ (produk sampingan) yang tersingkap dari upaya busuk pihak-pihak yang ingin melenyapkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Banyak sekali yang terkuak. Dalam tamsilan lain, banyak yang bercerabut ketika akar RUU HIP itu dibongkar oleh rakyat yang mengawal Pancasila. Banyak yang bertaburan begitu RUU anti-ketuhanan itu dicungkil. Misalnya, kita lihat kesibukan parpol-parpol di DPR melakukan ‘adjustment’ (penyesuaian) dengan gerakan yang menentang RUU itu. Mereka pontang-panting menyelamatkan diri. Bagaikan tertangkap basah di tempat mesum. Semua mengatakan bahwa mereka belum sempat ‘begituan’. Ada yang mengatakan bahwa mereka hanya sekadar berkaraokean saja. Ada pula yang berkilah baru sampai di lokasi. Ada yang bilang belum transaksi, dlsb. Dari pembongkaran RUU HIP itu, Anda juga menyaksikan pentolan-pentolan anti-Pancasila dan anti-agama yang bermunculan di segenap kubu politik. Ada politisi ‘sempak merah’ yang mengatakan “kok sekarang orang yang tadinya tak suka Pancasila tiba-tiba menjadi pancasilais”. Ada pula politisi ‘arus pendek’ (short circuit) yang bilang bahwa “isu PKI dimainkan oleh kadrun”, dll. Intinya, mereka memperlihatkan kegelisahan terhadap sila KYME di Pancasila. Mereka, tanpa sadar, membukakan sendiri jati diri mereka dalam kaitan dengan Pancasila. Padahal, selama hari ini mereka menuduh kalangan Islam yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara. So, hari ini Allah Ta’alaa sempurnakan kelicikan dan kemunafikan mereka. Dibukakan sejelas-jelasnya wajah mereka yang sesungguhnya. Bahwa mereka hanya berpura-pura membela Pancasila. Bahwa mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang ingin menyingkirkan sila KYME. Untunglah ada RUU HIP. Rencana busuk mereka ketahuan. Potret wajah mereka dengan rekaman 20-pixel dan disertai ‘caption’ yang bertuliskan “Kami Pejuang Anti-Ketuhanan”, kini terpampang di halaman depan markas partai mereka. Anda sudah tahu siapa-siapa mereka. Jadi, itulah hikmah yang terungkap. Itulah selubung kejahatan yang tersingkap. Yang membuat para dalang musuh Pancasila itu tergemap-gagap.[] 25 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)
Mantaplah Arief Poyuono, Bakal Merebut Gerindra dari Prabowo
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Siapa yang berani meramalkan Arief Poyuono akan menjadi ketua umum Gerindra? Pasti Anda bilang tak masuk akal, bukan? Mana mungkin dia menyingkirkan Prabowo Subianto (PS). Karena tak masuk akal itu, saya menjadi orang pertama yang membuat prediksi ‘out of the box’ ini. Poyuono akan menjadi bintang Gerindra. Dia akan menjadi ketua umum, suatu hari kelak. Mungkin tak lama lagi. Poyu akan merebut Gerindra dari tangan Prabowo. Apa alasan saya? Sederhana saja. Poyu (panggialan akrab Poyuono) berani melawan arus di partainya. Juga melawan publik secara terbuka. Dan subjeknya pun tak tanggung-tanggung: soal kebangkitan PKI. Dia mengatakan, isu kebangkitan PKI dimainkan oleh ‘kadrun’. Ini bukan pernyataan sembarangan. Anda semua paham bahwa ‘kadrun’ adalah julukan yang dilabelkan oleh kelompok pembela kemungkaran. Kelompok ini membenci ulama, Islam, dan umat Islam. Bahwa yang dituju Poyu dengan sebutan ‘kadrun’ itu adalah umat Islam, sangat logis. Sebab, yang mencurigai kebangkitan PKI lewat RUU HIP adalah umat Islam. Itu sangat jelas. Terus, mengapa Arief Poyu diramalkan menjadi ketum Gerindra? Itu tadi, karena keberanian dia yang luar biasa. Dia siap berhadapan dengan siapa saja. Siap berhadapan dengan pimpinan Gerindra. Dia bernyali baja. Dia tegas menolak panggilan Dewan Kehormatan (DK) partai. Padahal dia paham bahwa Dewan Kehormatan adalah organ yang bisa menjatuhkan hukuman berat. Poyu tak perduli ancaman dari DK. Dia tidak gentar. Dia lawan semua petinggi Gerindra. Di situlah hebatnya Poyu. Dia tak ambil pusing dengan panggilan DK. Malah, dahsyatnya, Poyu merepeti para politisi senior Gerindra dengan sebutan politisi gagal paham dan “otaknya kayak kadrun-kadrun”. Mantaplah Arief Poyuono! Menurut Poyu, dia tidak mengatasnamakan Gerindra ketika mengeluarkan pernyataan soal ‘isu PKI yang dimainkan kadrun’ itu. Menurut Poyu, dia berbicara atas nama ketua umum Serikat Pekerja BUMN. Sikap anti-Islam Poyu itu memiliki nilai jual yang tinggi di internal Gerindra. Sebab, banyak sekali senior di sana yang sejalan dengan pikiran Poyu. Dari faksi inilah Poyu akan diantarkan menuju kursi ketua umum. Pasti dia sudah memetakan ‘road map’-nya untuk merebut Gerindra. Sama-sama kita lihat nanti keputusan DK Gerindra yang akan bersidang Selasa, 23 Juni 2020 (besok). Saya yakin, Poyu tidak akan bisa dipecat seperti dituntut oleh Andre Rosiade –politisi senior Gerindra yang mewakili daerah anti-PKI. Yaitu, wilayah Sumatera Barat. Mengapa Poyu percaya diri mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan sikap anti-komunisme/PKI yang sedang membara? Itu disebabkan adanya suasana yang memihak pada komunisme-PKI sekarang ini. Bisa jadi Poyu merasa yakin bahwa peluang kebangkitan paham dan partai terlarang itu kini semakin besar. Barangkali dia sudah mendapatkan isyarat entah dari siapa. Poyu adalah realitas baru di Gerindra. Dia menjadi sesuatu yang ‘lain’. Terasa menyegarkan suasana partai. Tidak monoton. Bisa jadi juga dia adalah figur yang ‘jujur’ di Gerindra. Apa adanya. Poyu tidak menyembunyikan sikapnya terhadap umat Islam. Tidak pula menyembunyikan pikirannya tentang komunisme-PKI. Mungkin ada pertanyaan: apakah Gerindra nantinya tidak terpuruk akibat pernyataan Poyu? Bisa iya, bisa tidak. Gerindra akan terpuruk kalau keluarga besar partai itu membuang Poyu. Kok bisa begitu? Sebab, di pemilihan legislaif berikutnya Gerindra harus membidik suara dari basis PDIP. Poyu paham bahwa Gerindra tidak akan pernah lagi didukung oleh komponen umat Islam garis lurus sebagaimana di pileg-pilpres tahu lalu. Poyu memperhitungkan ini. Sekali lagi, Poyu jeli membaca ini. Dia tahu bahwa menyerang umat Islam akan memindahkan suara PDIP ke Gerindra. Ini kalkulasi Poyu. Dia menunjukkan kualitas seorang Ketum. Karena itulah, Poyu akan melejit di Gerindra. Dia sangat diperlukan oleh partai Pak PS ini. Boro-boro dipecat, Poyu yang malah akan menendang orang-orang seperti Andre Rosiade, Sufmi Dasco dan Fadli Zon. Poyu akan merebut Gerindra. Dia akan singkirkan Prabowo. Dan Prabowo akan menyingkir dengan senang hati. Kita lihat saja nanti. Pak PS akan berterima kasih. Bukan marah. Sebab, Poyu akan mengembalikan Gerindra ke khittahnya. Ke tujuan aslinya.[] 22 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)
PDIP Tidak Bisa Lagi Dipercaya Dalam Urusan Pancasila
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Drama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sedang ‘pose’ (pause). Pembahasannya ditunda. Tapi, semua komponen besar umat Islam menuntut agar RUU itu dibatalkan. Tuntutan pembatalan ini kelihatannya akan digaungkan terus. Sampai RUU itu dicabut. Agar RUU yang sangat berbahaya itu tidak lagi mengganggu ketenteraman publik. Ada pelajaran besar dari drama RUU HIP. Pelajaran itu ialah bahwa PDIP, mulai sekarang, tidak bisa lagi dipercaya dalam urusan Pancasila. Partai Banteng tidak bisa dipercaya lagi sebagai tempat untuk menitipkan Pancasila. Meskipun mereka akhirnya memasukkan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan komunisme-PKI sebagai konsideran RUU, dan kemudian menggugurkan Pasal 7 tentang pemerasan (ekstraksi) Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, tetap saja PDIP tidak bisa dipercaya sampai kapan pun. Mereka akan berusaha terus mengutak-atik dasar negara ini. Pancasila tidak akan aman di tangan PDIP. Khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Melalui konsep Trisila yang digagas oleh elit Partai Banteng, KYME dilecehkan menjadi “ketuhanan yang berkebudayaan” (KYB). Bisa ditebak arah KYB. Yaitu, secara perlahan akan melenyapkan total dasar ketuhanan dalam kehidupan umat. Umat Islam mencatat ini. Semua sudah terang benderang. Dilihat dari pemikiran mereka untuk memeras lima sila menjadi tiga dan seterusnya menjadi satu, tak diragukan lagi PDIP sedang membidik sila ketuhanan. Mereka, tampaknya, ingin sekali menghapus KYME. Ada indikasi bahwa PDIP gerah dengan sila pertama itu. Para politisi senior Banteng mengatakan inisiatif Trisila dan Ekasila di RUU HIP bukan datang dari mereka. Begitu juga soal peniadaan Tap MPRS larangan komunisme-PKI di deretan konsideran RUU. PDIP merasa terfitnah. Tapi, semua orang bisa menelusuri kronologi RUU ‘toxic’ itu. Tim koran ‘Republika’ yang melakukan investigasi menemukan bahwa PDIP adalah pihak yang mengusulkan RUU HIP di Badan Legislasi (Baleg) DPRRI. Wakil Ketua Baleg, Rieke Diah Pitaloka dari PDIP, ditunjuk menjadi ketua panitia kerja (panja) RUU tersebut. Entah dengan alasan apa, parpol-parpol lain mendukung pembahasan RUU ini. Kecuali PKS dan Partai Demokrat. Hanya PKS yang menolak dengan alasan yang sangat mendasar. Sedangkan Demokrat menolak dengan alasan bahwa tidak baik membahas RUU krusial di tengah wabah Covid-19. Dalam 3-4 hari ini, PDIP mengaktifkan mesin bantahan. Tetapi, seluruh rakyat sudah tahu apa yang mereka lakukan. Banteng saat ini sedang sibuk meyakinkan umat Islam bahwa mereka adalah partai yang ramah Islam (Islam friendly). Tiba-tiba saja, dua hari lalu (18/6/2020) PDIP mengeluarkan ‘press release’ yang berisi tentangan terhadap upaya Amerika untuk memindahkan ibukota Palestina dari Yerusalem ke Abu Dis. Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengajak semua elemen bangsa bersatu melawan pemindahan ibukota Palestina itu. Tak lupa, Hasto menyebutkan bahwa perjuangan Palestina untuk merdeka selalu ada dalam pikiran Bung Karno. Memang apa saja tentang Palestina pastilah selalu membangkitkan sentimen umat Islam di sini. Hasto memanfaatkan soal ibukota itu untuk mendinginkan isu Trisila dan Ekasila. Dia mengatakan energi bangsa banyak terkuras ke urusan domestik. Sekarang saatnya ‘ouward looking’ alias ‘mengurus dunia’, kata Hasto. Serius mau mengurus dunia? Dan, apa iya sangat urgen untuk ‘ouward looking’ pada saat dan situasi seperti sekarang ini? Boleh-boleh saja. Tapi, Trisila dan Ekasila plus penyingkiran Tap MPRS larangan komunis-PKI di RUU HIP tak akan pernah terlupakan. Rakyat sulit memulihkan kepercayaan kepada PDIP.[] 20 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior senior)
RUU HIP: PDIP Bersiap Hadapi Tsunami
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - PDIP dan partai-partai pendukung pemerintah salah kalkulasi soal RUU HIP. Kelihatannya mereka menduga bakal selamat, sukses menyelundupkan dan menggolkan undang-undang, seperti sebelumnya. Mumpung sedang pandemi. Mumpung rakyat sibuk dengan urusan perut dan periuk nasi. Mumpung elemen masyarakat kritis dan mahasiswa tak bisa turun ke jalan. Optimisme itu tidak berlebihan. Sejauh ini mereka selalu sukses. Bekerja untuk kepentingan oligarki, meloloskan undang-undang di balik tabir pandemi. Mulai dari UU Minerba, sampai yang kelas kakap seperti UU Kebijakan dan Stabilitas Keuangan Negara alias UU Covid-19. Semua berhasil digolkan. Melenggang mulus tanpa perlawanan yang berarti. Hanya riak-riak, gelombang kecil yang hilang dengan sendirinya. Tertelan waktu dan berbagai isu. Tapi kali ini mereka salah hitung. Terlalu serakah dan kemaruk. Aji mumpung. Mereka barangkali lupa dengan pepatah, tak ada pesta yang tak berakhir. Ketika lampu menyala, dan musik berhenti, mereka seperti tersadar dari mimpi. Perlawanan publik kali ini bukan hanya riak ombak kecil, yang mengayun dan meninabobokan. Sudah berubah menjadi gelombang pasang. Bila salah antisipasi bisa menjadi tsunami. Menggulung mereka sampai jauh ke daratan. Tsunami politik tidak hanya bagi PDIP, tapi juga bagi pemerintahan Jokowi. Setelah terpecah belah selama rezim Jokowi berkuasa, baru kali inilah kekuatan agama dan nasionalis bersatu. Mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), PP Muhammadiyah, PBNU, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sampai Forum Purnawirawan TNI Polri. Belum lagi berbagai ormas dan elemen-elemen masyarakat lain yang tak terhitung jumlahnya. Semua bersatu padu menolak RUU HIP. Padahal MUI masih dipimpin (non aktif) oleh Wapres Ma’ruf Amin. Di kalangan purnawirawan ada mantan Wapres Try Sutrisno yang kini menjadi anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP). Mereka adalah bagian dari rezim penguasa. RUU HIP tak lagi membuat mereka melakukan kalkulasi politik pragmatis. Ini merupakan soal prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Eforia kekuasaan PDIP tampaknya sedang eforia kuasa. Mereka lupa atau mungkin terlalu percaya diri. Berani dan nekad menabrak isu yang selama ini menjadi tabu terbesar ( the biggest taboo ) bangsa. Masalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kebangkitan PKI. Dua isu itu langsung membuat berdiri tanduk berbagai elemen masyarakat. Menyatukan kekuatan yang selama ini terpecah belah. Tak ada pilihan lain bagi PDIP harus menarik diri. Mundur teratur. Kecuali bila ingin hancur. Apalagi partai-partai pemerintah yang sebelumnya sempat mendukung, langsung balik badan dan cuci tangan. PDIP ditinggal sendirian menghadapi badai. Tudingan anti agama dan memberi ruang kebangkitan PKI terlalu berat untuk ditanggung. Stigma ini sangat kuat melekat pada PDIP. Baik karena faktor sejarah maupun representasi anggota dewan dan pemilihnya. Apalagi rakyat kini sedang sangat sensitif dan waspada atas isu dominasi modal dan TKA Cina. Negara kapitalis sekaligus komunis. Pemerintah setelah melalui perdebatan sengit di jajaran Polhukam akhirnya melemparkan bola panas itu kembali ke DPR. Tinggallah PDIP yang kini harus bersih-bersih. Berkelit sana-sini, berusaha menyelamatkan diri. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan partainya bersedia memasukkan TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam RUU HIP. Hasto juga menyatakan partainya setuju menghapus pasal tentang ciri pokok Pancasila yang dikristalisasi dalam Trisila dan Ekasila. Sebelumnya ketentuan itu dicantumkan dalam Pasal 7 RUU HIP. Dalam Pasal 2 disebutkan: Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.Sementara dalam Pasal 3 Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. Usulan ini bukan barang baru. Formula dan rumusan kalimatnya persis seperi yang disampaikan Ir Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tanggal 1 Juni inilah yang kemudian pada tahun 2016 ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Soal peras memeras Pancasila ini belakangan PDIP melalui Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengelak dan menyatakan bukan usulan partainya. Dia mengaku punyi buktinya. Namun dia menolak menyebutkan usulan siapa dan dari partai apa? Di medsos beredar pidato Ketua Umum PDIP Megawati yang kembali menyitir gagasan Bung Karno memeras Pancasila hanya menjadi Ekasila. Pidato itu disampaikan pada HUT PDIP ke-44 di Jakarta (2017). Dengan fakta-fakta itu agak sulit bagi PDIP membantah. RUU usulan itu berasal dari mereka. Yang menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HIP kader PDIP Rieke Diah Pitaloka. Secara historis maupun politik, PDIP paling berkepentingan. Jadi sulit bagi mereka untuk buang badan begitu saja. Belakangan para pimpinan DPR juga sepakat untuk menunda pembahasan. Namun itu tampaknya tidak cukup. Hampir semua elemen masyarakat menginginkan agar RUU tersebut dicabut, dibatalkan. Selain isu PKI dan atheisme yang menafikan keberadaan tuhan dan agama, banyak yang khawatir Pancasila akan kembali menjadi alat gebuk rezim terhadap lawan-lawan politiknya. Kekhawatiran yang punya alasan sejarah cukup kuat. Orde Lama maupun Orde Baru pernah melakukan hal serupa. PDIP harusnya belajar dari sejarah. Mereka pernah berada dalam kekuasaan, kemudian berada di luar kekuasaan. Kini kembali berada di dalam kekuasaan. Alat pemukul yang mereka ciptakan selama berkuasa, boleh jadi saat ini efektif untuk menggebuk lawan-lawan politiknya. Namun jangan lupa, suatu saat bisa digunakan oleh penguasa untuk menggebuk balik mereka. Apa tidak ingat bagaimana rasanya menjadi oposisi. Mengalami represi berkepanjangan selama Orde Baru berkuasa? Bukankah sejarah selalu berulang? Secara hukum alam (sunatullah) kekuasaan itu juga akan dipergilirkan. Sekali lagi, belajarlah dari sejarah. Tidak ada kekuasaan yang abadi. Mawas dirilah….End Penulis Wartawan Senior
Front Anti Komunis Indonesia Mengutuk Keras RUU HIP dan Bangkitnya PKI
Jakarta, FNN - Mencermati perkembangan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara serta setelah mempelajari dengan seksama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan perkembangan yang terjadi terkait RUU tersebut, dengan berharap rahmat dan ridho Allah Yang Maha Esa, Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) menyatakan: Dalam lima-enam tahun terakhir, terasa sekali adanya upaya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan paham komunis di Indonesia. Yang lebih buruk dan berbahaya lagi, kebangkitan PKI dan paham komunis tersebut justru difasilitasi oleh para elit politik, baik di eksekutif maupun legislatif.Diajukannya RUU HIP yang berbau komunis dan menafikan peran agama, dan tidak memasukkan TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme serta Larangan Terhadap PKI, menunjukkan lembaga legislatif sudah disusupi oleh anasir PKI/komunis.Menolak RUU HIP dan mendesak Pimpinan DPR RI menghentikan pembahasannya menjadi UU, serta mendesak Pimpinan DPR RI membubarkan Panitia Kerja (Panja) RUU HIP.Mendukung penuh dan siap mengawal Maklumat Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Pimpinan MUI Provinsi se Indonesia, yang antara lain menolak RUU HIP.Menilai sikap pemerintah terlalu lamban dan ragu-ragu terkait RUU HIP. Pernyataan pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD yang meminta DPR menunda pembahasan RUU HIP sama sekali tidak cukup. Sebagai mitra DPR dalam pembuatan UU, pemerintah seharusnya menyatakan RUU HIP tidak ada urgensinya, dan oleh karenanya harus dicabut/dikeluarkan dari Program Legisalasi Nasional (Prolegnas).Mengingatkan Presiden Joko Widodo dan seluruh jajarannya, terutama aparat TNI/Polri, bahwa TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme serta Larangan Terhadap PKI hingga detik ini belum dicabut. Kepastian tersebut juga dituangkan dalam TAP MPR nomor 1/2003. Artinya, Ketetapan MPRS tersebut hingga kini masih berlaku.Sesuai bunyi sumpah jabatan Presiden, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa," maka FAKI mengingatkan, bahwa Presiden Joko Widodo berkewajiban menjalankan TAP MPRS nomor XXV/1966 tersebut dengan sungguh-sungguh, murni, dan konsekwen.Mendesak Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan dan langkah-langkah nyata yang tegas dan terukur, serta memerintahkan aparat hukum dan aparat keamanan untuk mencegah kebangkitan paham komunis dan PKI.Mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas inisiator dan konseptor RUU HIP, serta memproses mereka secara hukum dengan seadil-adilnya.Sesuai pasal 40 dan pasal 41 UU nomor 2/2008 tentang Partai Politik jo UU nomor 2/2011, mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) segera membubarkan partai politik yang menjadi inisiator dan konseptor RUU HIP karena terbukti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI.Menolak kriminalisasi dan perlakuan yang tidak adil oleh aparat hukum terhadap para ulama dan tokoh masyarakat yang berseberangan dan menyampaikan saran serta kritik teradap penguasa.Menyerukan para tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis yang setia pada NKRI dan seluruh elemen masyarakat untuk mewaspadai dan melawan gerakan komunis gaya baru yang berusaha bangkit, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun melalui jalur kekuasaan.Mengingatkan Presiden Joko Widodo dan seluruh jajarannya untuk memperhatikan dan menindaklanjuti dengan sungguh-sungguh pernyataan sikap FAKI ini dan pernyataan senada dari begitu banyak elemen anak bangsa lainnya, agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan yang dapat mengancam kedamaian, keutuhan, dan kesatuan NKRI. Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan untuk menjadi perhatian kita bersama. Semoga Allah Yang Maha Kuasa meridhoi dan menolong perjuangan kita dalam membendung serta melawan bangkitnya komunisme dan PKI di negeri tercinta yang religius ini. Aamiin… Jakarta, 17 Juni 2020 FRONT ANTI KOMUNIS INDONESIA (FAKI) Edy MulyadiKetua Umum Novebri SasongkoSekretaris Jenderal
PDIP Mau Buang Badan, Tapi Badannya Terlalu Besar
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kembali ke isu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). PDIP akhirnya mundur. Mereka bersedia mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan komunisme dan PKI sebagai konsideran RUU. Mereka juga bersedia menghapuskan Trisila dan Ekasila dari RUU itu. PDIP adalah pihak yang mengusulkan kedua materi ini. Kedua hal ini memunculkan tentangan keras dari semua ormas dan lembaga Islam. Peniadaan Tap MPRS larangan PKI, komunisme dan marxisme-leninisme itu, plus degradasi Pancasila menjadi “Gotong Royong” dan agama disetarakan dengan kebudayaan, memicu kecurigaan terhadap RUU HIP. Kecurigaan itu sampai pada dugaan bahwa pihak yang memprakarsai RUU ingin membangkitkan kembali komunisme dan PKI di Indonesia. Tentu saja umat beragama, terutama umat Islam, bereaksi sangat keras. NU dan Muhammadiyah menolak. Mereka meminta agar RUU HIP tidak saja direvisi, melainkan dicabut total. Tidak usah dibahas lagi. Begitu juga Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI malah mengeluarkan maklumat keras bernada ultimatum jika RUU HIP masih berkonten pasal-pasal anti-agama. Didukung 34 MUI provinsi, MUI Pusat menyimpulkan RUU HIP ‘original’ bisa menjadi jalur legal bagi para pendukung PKI dan komunisme untuk bangkit kembali. Yang sangat mengkhawatirkan, selain penyingkiran Tap larangan komunisme-PKI, adalah Pasal 7 RUU HIP. Di ayat (2) pasal ini, Trisila diuraikan sebagai “sosio-nasionalisme”, “sosio-demokrasi”, dan “ketuhanan yang berkebudayaan”. Dua istilah pertama yang ini entah apa maksudnya. Tapi, yang terpenting, kita perlu fokus ke istilah ketiga. Yaitu, “ketuhanan yang berkebudayaan”. Terminologi ini berpotensi mengaburkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di Pancasila. Bahkan, banyak orang yang berpendapat bahwa istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” memberikan ruang yang sangat bebas untuk menafsirkan eksistensi agama dalam kehiudpan berbangsa dan bernegara. Salah satu tafsiran orang adalah menyamakan agama dengan kebudayaan. Atau, bisa dikatakan pasal ini akan ‘mewajibkan’ agama menyerap kebudayaan. Jadi, RUU HIP sengaja diisi dengan diksi dan narasi yang tak jelas. Penuh dengan poin-poin yang tidak substantif. Seandainya menjadi UU, maka anasir-anasir pro-PKI secara bertahap akan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan infiltrasi komunisme ke dalam sistem sosial yang berbasis ketuhanan. Kalau sempat menjadi UU, berarti inflitrasi itu legal. Dengan membaca kemungkinan ini, umat Islam tampanya akan menyalakan ‘sistem peringatan dini’ (early warning system). Agar umat senantiasa waspada. Terutama terhadap manuver PDIP. Kelihatannya, partai berlambang Banteng galak tsb tidak akan menyerah. Mereka tidak akan berhenti sampai di sini. Mereka bisa saja datang kembali dengan upaya penghapusan Tap MPRS larangan komunisme-PKI. Dan juga gagasan ekstraksi (menciutkan) Pancasila. Supaya, berat dugaan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa perlahan bisa hilang dan tidak tertulis lagi di dokumen negara maupun teks-teks akademik. Wakil Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menegaskan bahwa peniadaan Tap MPRS larangan komunisme di deretan konsideran RUU HIP, bukan inisiatif partainya. PDIP difitnah seolah mendukung kebangkitan kembali komunisme. Begitu juga soal Trisila dan Ekasila. PDIP juga terfitnah, kata Basarah. Namun, catatan yang ada menunjukkan bahwa kedua hal itu berasal dari Partai Banteng. Kalau bukan PDIP, kenapa mereka yang sibuk mengatakan bahwa Tap MPRS larangan komunisme sekarang sudah dicantum di RUU. Sedangkan Trisila dan Ekasila sudah dihapus. Kelihatannya, PDIP mau buang badan. Cuma, badannya terlalu besar. Sehingga, mau dibuang ke mana pun, tetap terlihat.[] 18 Juni 2020(Penulis wartawan senior)
Fadjroel Puji Presiden, Corona Ledek Jokowi!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, Detak Jateng - Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan, kepimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19. Fadjroel melanjutkan, pemerintah juga mampu menciptakan keamanan baik di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Fadjroel menilai bahwa keberhasilan kepemimpinan Jokowi ini dibuktikan melalui kinerja tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Hal ini menunjukkan, sistem responsif pandemi yang dibangun oleh Presiden Jokowi benar-benar bekerja dalam menciptakan keamanan dalam dimensi kesehatan, sosial dan ekonomi,” kata Fadjroel dikutip dari siaran pers yang diterima, Senin (8/6/2020). Menurut Fadjroel, dalam situasi pandemi Covid-19, Presiden berupaya membangun sistem responsif terhadap pandemi. Salah satu yang dibentuk dari sistem responsif ini, yakni tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Presiden membentuk sistem pengorganisasian Gugas Covid 19 yang melibatkan BNPB, seluruh kementerian/lembaga, Polri, TNI dan pemerintahan daerah,” ujarnya. Keberhasilan kepemimpinan Jokowi terlihat dari hasil survei yang dikeluarkan oleh Indikator. Berdasarkan survei tersebut, keberhasilan kepemimpinan Jokowi ini juga dilihat dari tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja tim gugus tugas yang menunjukan tingkat responden sangat puas dan cukup puas sebanyak 63,7 persen. Selain itu, upaya Jokowi yang melibatkan aparat TNI dan Polri untuk menghadapi pandemi ini juga dinilai didukung oleh masyarakat. Ia menyebut, dari hasil survei indikator tersebut, sebesar 85,7 persen responden merasa yakin polisi dapat menjaga keamanan selama masa pandemi, dan 88,9 persen responden merasa yakin TNI dapat menjaga keamanan selama masa pandemi. Fadjroel mengatakan, mayoritas masyarakat percaya kepada kinerja pemerintah pusat. “Hal ini terlihat dari survei indikator yang menunjukkan, 47,6 persen cukup puas dan 8,8 persen sangat puas terhadap Pemerintah Pusat atau rata-rata mencapai 56,4 persen,” ujarnya. Presiden menghargai kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahannya. Hal ini akan menjadi modal bagi Jokowi dalam bekerja. Jokowi juga menyampaikan apresiasinya terhadap sikap gotong royong kemanusiaan yang dilakukan oleh masyarakat selama pandemi. Sedangkan kebijakan-kebijakan yang masih dikritisi oleh masyarakat pun akan menjadi perhatian serius Presiden. Seperti program bantuan sosial yang belum terdistribusi dengan baik. Tampaknya Jubir yang akrab dipanggil Pandjoel ini belum sempat baca data terbaru terkait perkembangan Virus Corona atau Covid-19 di Indonesia. Update data terbaru kasus Covid-19 di Indonesia hari Rabu (10/6/2020) bisa dilihat berikut ini. Pada Rabu (10/6/2020), rekor penambahan kasus harian kembali terlampaui, yakni dengan munculnya 1.241 kasus baru. Secara total, jumlah pasien positif Covid-19 meningkat secara signifikan, menjadi 34.316 kasus. Meskipun demikian, pasien yang berhasil sembuh pun terus bertambah. Rabu (10/6/2020), ada 715 pasien sembuh. Maka secara total 12.129 pasien, telah sehat kembali. Adapun pasien meninggal dunia, hari ini bertambah 36 pasien. Secara total, hingga saat ini ada 1.959 orang pasien telah meninggal dunia akibat terjangkit Covid-19 di Indonesia. Dari sebanyak 287.478 spesimen yang diperiksa, tercatat 253.162 kasus negatif corona. Sementara, data terkini jumlah ODP sebanyak 43.945 orang dan jumlah PDP 14.242 orang. Ada perubahan perhitungan orang berstatus ODP dan PDP. Mereka yang tidak tampak gejala terjangkit covid-19 setelah karantina 14 hari, dikeluarkan dari daftar ODP dan PDP. Penilaian Jubir Fadjroel jelas bertolak-belakang dengan pernyataan Presiden Jokowi ketika menyiapkan New Normal seperti yang direncanakan sebelumnya. Presiden Jokowi membuat pengakuan soal penanganan Virus Corona atau Covid-19. Seperti dilansir dari TribunKaltim.co, Rabu (3 Juni 2020 05:01), menjelang penerapan new normal, Jokowi tiba-tiba mengakui pemerintah belum bisa kendalikan Virus Corona. Ada apa? Secara terang-terangan, Presiden Jokowi mengakui Pemerintah belum bisa mengendalikan Virus Corona di semua wilayah. Sebelumnya, Jokowi memilih kebijakan new normal sebagai bagian dari berdamai dengan Covid-19. Oleh karena itu, kata Jokowi, pelonggaran aktivitas masyarakat di tempat-tempat publik akan dilakukan secara bertahap dan berdasarkan penilaian yang ketat. “Pembukaan baik itu pembukaan untuk tempat ibadah, pembukaan untuk aktivitas ekonomi, pembukaan untuk sekolah semuanya melalui tahapan-tahapan yang ketat,” kata Presiden saat meninjau Madjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (2/6/2020). Pembukaan aktivitas di tempat-tempat publik tersebut menurut Presiden harus berdasarkan perhitungan yang terukur. Salah satunya dengan melihat tingkat penularan virus berdasarkan angka reproduksi Covid-19 (R-nought). “Semuanya memakai data-data keilmuan yang ketat. Sehingga kita harapkan akan berjalan dari tahapan ke tahapan dari sektor ke sektor, dari provinsi ke provinsi sesuai dengan angka-angka yang tadi saya sampaikan,” tuturnya. Presiden Bingung? Bagi Presiden Jokowi yang melihat adanya kenaikan drastis menjadi lebih dari 1.000 kasus dalam sehari, membuat Pemerintah kebingungan. Bagaimana kenaikan kasus drastis 1,000+ lebih dalam sehari, yang menunjukkan isu “Now Normal”yang prematur disebarluaskan. Ini membuat blunder hebat, sehingga penampilan Achmad Yurianto yang makin kumuh dan lelah, digantikan Dokter Reisa yang segar cantik jelita. Ia diberi tugas menyampaikan jumlah kasus yang makin menanjak mengerikan, oleh wanita cantik bersuara basah manja. “Supaya Rakyat Indonesia terpesona dengan wajah Reisa dan tidak fokus dengan angka yang dia sampaikan atau bagaimana? Kok receh sekali ya solusinya, ” tulis dr. Tifauzia Tyassuma di akun Facebook-nya. Negara-negara yang sukses menurunkan jumlah kasusnya, adalah negara-negara yang sejak awal kasus sudah Menerapkan Lockdown. China, Vietnam, Malaysia, India, kalau mau sebut beberapa nama negara Asia. Menurut Dokter Tifa, negara yang amburadul, rakyatnya ngawur, ngeyel, hobi keluyuran di jalanan, dengan Presidennya ngawur suka main offside, mencla-mencle, dan aysik sendiri dengan pencitraan, bakalan amburadul juga grafik Coronanya, jumlah kasusnya, dan risiko kematian banyak warganya. “Saya sedang ngomongin Amerika. Jangan GR! Btw, Saya jadi kasihan dengan Reisa. Dokter cantik lulusan universitasnya Lippo Group ini dijadikan permen. Dikira rakyat Indonesia itu anak-anak yang diem kalau dikasih permen. Masa’ Dirjen diganti Permen? Tim pencitraan Pemerintah sumpah hancur kerjanya” sindir Dokter Tifa. Apakah klaim Fadjroel yang menilai kepemimpinan Jokowi berhasil kendalikan Covid-19 itu termasuk tim pencitraan Pemerintah yang hancur kerjanya? Penulis Wartawan Senior
PKS Panen Pahala Politik Dari RUU HIP
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (11/06). Dalam proses Rnacangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) hingga ditetapkan sebagai RUU inisiatif Dewan pada Sidang Paripurna bulan Ramadhan lalu, partai politik yang pas menerima "dosa politik" adalah PDIP. Sementara yang layak mendapat panen "pahala politik" adalah PKS. Tanpa menafikan perjuangan secara personal dari anggota Dewan, maka secara institusional atau fraksional, yang berhak menerima "berkah politik" di bulan bulan Ramadhan itu adalah PKS. Banyak manfaat politik yang didapat PKS. Sebab hanya PKS yang tidak ikut-ikutan gotong-royong menerima ususl RUU HIP ini. Sebenarnya untuk perjuangan dan "kemenangan" PKS dipetik bukan hanya dari RUU HIP akan tetapi juga dari Perppu Corona. Hanya Fraksi PKS menjadi satu-satunya fraksi yang menolak ditetapkan Perppu No 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang. PKS membuka mata dan telinga untuk mendengar penolakan yang luas dari masyarakat. Sejak awal, aspirasi rakyat memang berada pada kutub yang menolak Perppu Corona ini ditetapkan menjadi undang-undang. Karena khawatir Perppu tersebut menjadi legitimasi dari korupsi, atau sekurang-kurangnya membuka jalan bagi korupsi terselubung. UU No. 2 tahun 2020 asal Perppu No. 1 tahun 2020 kini sedang dalam proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. RUU HIP pasca ditetapkan, muncul berbagai aspirasi penolakan yang meluas dari masyarakat, khusunya umat Islam. Banyak pernyataan politik, seminar dan diskusi, atau opini di media, yang seluruhnya mengarah pada penolakan. Ada isu sensitif pada RUU HIP yang berpotensi menjadi gumpalan perlawanan, yaitu kebangkitan PKI atau pengembangan faham komunisme. Konten RUU dinilai mengandung "penyelundupan" faham komunisme-PKI. Juga ada keinginan terselubung untuk marjinalisasi agama. Ada kepentingan politik Orde Lama yang ingin kembali bermesraan dengan komunisme-PKI. Faham yang jelas-jelas menjadi barang terlarang untuk bangsa Indonesia. PKS kini ditempatkan sebagai harapan perjuangan rakyat. Harapan untuk menjaga mengoreksi, meluruskan agenda-agenda penyimpangan ideologi Pancasila. Jika PKS tetap gigih melakukan perlawanan, maka disadari atau tidak, PKS menjadi lokomotif dari proses perlawanan politik kerakyatan atau keumatan di parlemen. Tentu saja dengan dukungan personal yang tersebar di berbagai Fraksi lainnya. Sebenarnya bukan hal yang tidak mungkin, bahwa peta politik pada pembahasan selanjutnya bisa saja berubah. Aspirasi atau tekanan politik di luar parlemen nanti, turut menentukan perubahan peta tersebut. Prospek bagus karena isu dan misi terselubung RUU HIP adalah semangat kebangkitan PKI dan Komunisme. Jika semua fraksi di DPR masih berkoalisi dalam "kemungkaran" terhadap ideologi Pancasila, maka PKS mendapat pahala politik tersebut sendirian. Pepatah bijak, “kekalahan adalah kemenangan yang tertunda”. Investasi masa depan yang menjanjikan dan gemilang telah dilakukan PKS sejak sekarang. Jika PKS mampu merawat investasi politik ini dengan baik, maka "kekalahan" itu akan menjadi akselerator dukungan politik di luar dugaan kelak. Kalaupun terjadi pergerakan atau konfigurasi politik pada tahap pembahasan dengan Pemerintah, maka tetap saja PKS mendapat "advantage" dari perubahan tersebut. Pertarungan menjadi menarik karena berada di tataran norma yang fundamental. Menyangkut prinsip dan ideology bangsa dan negara. Karenanya rakyat dan umat Islam akan bersatu dalam perjuangan "hidup mati" terhadap gagasan gila RUU HIP ini. Aspirasi umat Islam menjadi sangat mendasar. Aspirasi umat Islam itu bukan untuk perbaikan yang siafatnya parsial atau tambah kurang. Melainkan penolakan terhadap RUU HIP untuk tidak menjadi Undang-Undang. Jadinya hitam dan putih. Bukan yang abu-abu. Bangsa dan umat Islam Indonesia tak boleh disandra oleh keinginan dan gagaan gila satu partai politik. Partai-partai harus berhitung matang dalam konteks "dosa dan pahala politik” di mata rakyat dan umat Islam. Itu sebagai akibat dari penyikapan politik yang salah. Sikap politik yang hanya didadasarkan pada angka-angka dan barter kekuasaan jangka pendek. Bisa juga disandra dengan kasus-kasus korupsi pimpinan partai. Rakyat, khususnya umat Islam nanti punya dua penilaian terhadap partai politik. Pertama, partai politik yang pro terhadap PKI/Komunisme dan Orde Lama. Kedua, yang menolak PKI/Komunisme dan orde Lama. Hanya ada dua kubu representasi kutub-kutub perjuangan yang ada di Parlemen. TNI yang punya akar kesejarahan anti terhadap PKI/Komunisme juga merupakan kekuatan kerakyatan lain. Kekuatan penting dan strategis penting untuk menjadi pertimbangan politik. Pada akhirnya, rakyat dan umat Islam melakukan kolaborasi politik dengan TNI untuk menyelamatkan kemurnian ideologi Pancasila. Meskipun demikian, partai yang berpeluang untuk mendapatkan dukungan lebih besar adalah mereka yang konsisten memperjuangan aspirasi kerakyatan dan keumatan. Untuk hal ini, PKS masih unggul di depan. PKS mampu dan cerdas dalam mengkapitalisasi fakta dan peristiwa politik kekinian. Pahala politik pantas untuk didapat PKS. Untuk itu, PKS harusnya didukung secara nyata. Dukungan politik masyarakat tersebut memberi pengaruh untuk "schock therapy" konfigurasi peta politik di Parlemen. Sikap politik rakyat, khususnya umat Islam terhadap RUU HIP yang kental berbau amis PKI/komunisme ini, tentu bukan untuk direvisi atau perbaikan narasi. Tetapi RUU ini harus untuk dibahas di DPR. Tidak dengan opsi yang lain. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.