POLITIK

Butuh Menko Perekonomian Yang Punya Kemampuan di Atas Rata-rata

By Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Krisis dan resesi ekonomi itu hampir pasti datang menghampiri kita. Penyebaran Covid -19 awal tahun 2020 berakibat pada aktivitas ekonomi China dan ekonomi dunia tertekan. Sangat tergantung pada berapa lama kasus ini dapat diatasi. Semakin lama virus ini merajalela, semakin parah pula tingkat kerusakan ekonomi yang ditimbulkan. Dalam kondisi ketidakpastian ini, ekonomi China dan ekonomi dunia dipastikan anjlok pada triwulan pertama tahun 2020. Bahkan ada yang memprediksi ekonomi China bisa mengalami pertumbuhan negatif. Dampaknya terhadap ekonomi Indonesia juga bissa fatal. Apalagi, nilai ekspor Indonesia ke China selama 2019 tercatat U$ 25,85 miliar. Dampak dari melemahnya pertumbuhan ekonomi China kepada Indonesia, juga sebagai akibat dari struktur ekonomi Indonesia yang memang sangat lemah, sehingga krisis sulit untuk dihindari. Diperkirakan kita akan berhadapan dengan dua macam krisis, yaitu krisis keuangan dan krisis ekonomi. “Krisis ekonomi kemungkinan akan berkepanjangan. Berujung pada resesi ekonomi. Pemulihannya tidak mudah. Penyebab dan perjalanan kedua krisis ini akan berbeda, “ujar Managing Director Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan (Watyutink.com 03/03/2020). Sedangkan krisis keuangan, akan berakibat pada anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Kondisi ini sebagai akibat dollar yang keluar (capital outflow) lebih besar dari dollar yang masuk (capital inflow). Dampaknya, cadangan devisa akan terkuras dan menipis. Permintaan dollar akan menjadi sangat besar, sehingga kurs dollar naik, sementara rupiah bisa anjlok atau terjun bebas. Larinya dollar ke luar negeri, sebagai akibat dari defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan yang sangat besar. Angkanya mencapai U$ 30 miliar pada tahun 2018 dan 2019. Kecil kemungkinan untuk tahun 2020 bisa lebih rendah. Bahkan bisa jadi lebih besar dari tahun 2018 dan 2019. Namun kita anggap saja sama, yaitu sebesar U$ 30 miliar. Walaupun kemungkinan itu tidak mungkin terjadi. Untuk menambal lubang defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang sangat besar itu, harus melalui dua cara. Pertama, investasi langsung (foreign direct investment) dan investasi portopolio (portopolio investment) pada saham dan surat utang. Foreign direct investment pada tahun 2018 hanya sebesar U$ 12,5 miliar. Sedangkan tahun 2019 hanya menghasilkan U$ 20 miliar. Dengan kondisi ekonomi global yang tidak menentu sekarang, kemungkinan foreign direct investment akan mengalami hambatan serius untuk masuk ke Indonesia. Paling banyak kita hanya bisa mendapatkan pemasukan devisa sekitar U$ 15 miliar dari foreign direct investment. Itupun butuh kerja super dari tim ekonomi. Tim ini harus punya kemampuan mamahami makro ekonomi dan lobby di atas rata-rata. Kemampuan mereka tidak boleh di bawah rata-rata. Sisanya sekitar U$ 15 miliar lagi harus didapat dari portopolio investment. Masalahnya, investor asing sekarang ada kecenderungan untuk menunda investasi di semua lini. Investor asing lebih cenderung menyimpan dana cash. Terbukti, menurut Bank Indonesia (BI), investor asing sudah keluar dan menukar dollar setara dengan Rp 30,8 triliun. Jumlah tersebut setara dengan U$ 2,2 miliar. Terdiri dari investor asing yang melepaskan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 26,2 triliun. Sedangkan penjualan saham sebesar Rp 4,1 triliun. Sisanya, sekitar Rp 500 miliar lagi dalam bentuk penjualan obligasi korporasi. Kedua, Indonesia tahun 2020 ini membutuhkan dollar dalam jumlah besar untuk membayar utang, baik dalam bentuk SUN maupun obligasi korporasi yangh jatuh tempo. SUN yang jatuh tempo diperkirakan Rp 428 triliun, atau setara U$ 31 miliar. Dari jumlah tersebut, yang dipegang investor asing sekitar 60% atau setara U$ 18,6 miliar. Pemerintah tentu tidak punya persediaan dollar yang cukup untuk membayar SUN punya investor asing, yang jatuh tempo 2020 tersebut. Dengan demikian, utang kepada investor asing yang jatuh tempo sebesar U$ 18,6 miliar itu harus dibayar dengan menerbitkan SUN baru. Resikonya, SUN yang baru diterbitkan pemerintah tersebut, harus dibeli oleh investor asing. Jika gagal, kemungkinan rupiah akan anjlok semakin dalam. Sebagai gambaran, dengan kondisi ekonomi global yang melemah, resiko gagalnya menarik hutang baru terbuka lebar. Apalagi pada Februari lalu, investor asing terbukti menjual SUN dan obligasi korporasi U$ 2,2 miliar. Kenyataan ini memerlukan kerja tim ekonomi yang luar biasa ekstra. Tidak bisa asal-asalan, atau sambil mengurus organisasi partai dalam menghadapi pilkada 2020. Dari gambaran yang ada, terbukti neraca transaksi berjalan kita bermasalah atau merah. Neraca perdagangan kita juga merah. Neraca penerimaan sudah lebih dulu merah sebesar Rp 353 triliun. Pertanyaannya, berapa kemungkinan rupiah akan anjlok terhadap dollar? Seberapa besar rupiah bisa bertahan melawan dollar? Jawabannya tergantung pada seberapa besar cadangan devisa yang dipunyai Indonesia. Sebab, sangat terkait dengan naik-turunya cadangan devisa dari neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Lagi-lagi, untuk itu dibutuhkan komandan tim ekonomi yang punya kemampuan di atas rata-rata. Budiono dan Rizal Ramly Melihat gambaran tiga neraca keuangan kita yang semuanya merah, yaitu neraca transaksi berjalan , neraca perdagangan dan neraca penerimaan, maka Presiden Jokowi harus membuat keputusan yang terbilang radikal dan ekstrim. Presiden Jokowi harus secepatnya mengganti Menko Perekonomian, dengan yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Orangnya, harus sudah teruji menghadapi badai krisis ekonomi. Langkah ini pernah dilakukan Presiden SBY ketika berhadapan dengan krisis ekonomi 2008. Atas nama bangsa dan negara, SBY merunduk kepala kepada Budiono, dan meminta Budiono menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Menko Perekonomin. Aburizal digeser SBY ke Menko Kersra menggantikan Alwi Shihab. Padahal Aburizal ketika itu Ketua Umum DPP Partai Golkar, partai pemenang pemilu 2004. Alhamdulilaah, hasilnya sangat dan sangat menggembirakan. Indonesia berhasil keluar dari krisis ekonomi tahun 2008. Sebaliknya, bisa mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 4%. Padahal hampir semua negara di dunia, hanya mampu mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 2%. Amerika Serikat malah mencatat pertumbuhan ekonomi minus -1%. Luar biasa terobosan yang dilakukan SBY. Langkah seperti SBY ini yang perlu dilakukan Pak Jokowi sekarang. Mumpung belum terlambat. Selain mantan Wapres Budiono, anak bangsa yang juga mampu berhadapan dengan badai krisis ekonomi, dan mempunyai kemampuan di atas rata-rata adalah Rizal Ramly. Sebagai arsitek tim ekonomi Presiden Gus Dur, Rizal dengan timnya berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi 7,5% hanya dalam waktu 23 bulan pemerintahan Gus Dur. Saat Gus Dur menggantikan Presiden Habibie, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat minus -4%. Namun ketika Gus Dur jatuh, dan digantikan Presiden Megawati, ekonomi Indonesia telah mencatat pertumbuhan 3,5%. Dengan demikian, selama Gus Dur menjadi presiden 23 bulan, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 7,5%. Luar biasa Rizal Ramly dan tim ekonominya. Prestasi yang pernah dicapai Gus Dur, lebih besar dari prestasi tertinggi yang pernah dicapai Soeharto di akhir massa jabatannya tahun 1998. Namun prestasi Gus Dur, tentu saja bukan karena kemampuan Gus Dur di bidang ekonomi. Namun karena keberanian Gus Dur memberikan kewenangan kepada Rizal Ramly untuk memimpin tim ekonomi di pertengahan dan akhir masa jabatannya. Pada akhir tahun 1997, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 7,1%. Dengan angka pertumbuhan ekonomi 7,1% tersebut, berakibat pada Indonesia dimasukan ke dalam empat negara “Macan Ekonomi Baru di Asia”. Indonesia ketika itu bersama-sama dengan Singapura, Taiwan dan Korea Selatan. September tahun 1997, Rizal Ramly berani mengingatkan ABRI tentang kemungkinan Soeharto akan jatuh. Soeharto jatuh karena krisis ekonomi yang menghadang di depan mata. Ketika itu Rizal meminta agar ABRI segere mengantisipasi kemungkinan dari kejatuhan Soeharto. Peringatan Rizal kepada ABRI tentang kemungkinan kejatuhan Soeharto itu tidak disampaikan di sembarang tempat. Rizal menyampaikan warning tersebut di Markas Seskogab, Bandung. Disampaikan di depan pimpinan dan siswa-siswa Seksogab ABRI. Sekolah yang menyiapkan calon-calon jenderal dari Tiga Matra Angkatan (TNI AD, TNI AL, TNI AU) dan Polisi. Karakter Rizal juga terlihat sangat dominan adalah tidak mau didikte oleh siapapunm negara atau lembaga keuangan yang akan membantu Indonesia. Bantuan itu, baik dalam bentuk pinjaman maupun hibah. Sikapnya itu terlihat ketika memimpin pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI), lembaga donor bentukan Bank Dunia sebagai pengganti IGGI di Jepang tahun 2000. Lamanya waktu yang diberikan kepada anggota delegasi CGI yang mau ketemu empat mata dengan Rizal, sangatlah ditentukan oleh besar kecilnya nilai donor atau hibah yang akan diberikan. Jika nilai uanya besar, maka waktunya bisa lumayan lama ketemu dengan Rizal. Namun jika nilai komitmen itu di bawah U$ 100 juta, maka waktu yang tersedia tidak lebih dari 10 menit. Begitulah cara Rizal menunjukan kelasnya dalam bernegoisiasi. Demi harga diri bangsa dan negara Rizal tak mau membungkuk badan kepada negara atau lembaga keuangan manapun di muka bumi ini yang berjanji akan memberikan bantuan hibah atau pinjaman kepada Indonesia. Kemampuan sekelas Budiono dan Rizal Ramly itu yang hari ini tidak dimiliki oleh Airlangga Hartarto. Airlangga Hartarto hanya lulusan teknik mesin dari Fakultas Teknik UGM. Prestasinya selama menjabat Menteri Perindustrian juga tidak ada yang menonjol. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Airlangga tidak lebih baik dari Hartarto Sastrosoenarto, ayahnya yang menjabat Menteri Perindustrian selama sepuluh tahun (periode 1983-1993) di eranya Soeharto. Sebagai wartawan yunior, dari Harian Ekonomi NERACA, yang sering meliput bidang perindustrian di eranya Hartarto dan Tungki Ariwibowo Menteri Perindustrian, kemampuan Airlangga masih dua sampai tiga digit di bawah Hartarto dan Tungki. Pemahaman Arilangga terhadap makro ekonomi malah lebih para lagi atau minim. Bisa tiga sampai empat digit di bawah Hartarto dan Tungki. Untuk itu, tidak ada pilihan bagi Pak Jokowi, kecuali secepatnya mengganti Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan. Percayakan kepada anak bangsa yang sudah teruji dan terbukti menghadapi badai krisis ekonomi. Lepaskan dulu warna baju koalisi pendukung Pak Jokowi. Situasinya bisa saja bergerak lebih cepat dari yang diperkirakan. Sekarang urusan penyelamatan bangsa harus di atas segala-galanya. Jika lambat atau salah membuat keputusan, badai krisis ekonomi bisa mengulung Pak Jokowi bersama-sama koalisi partai pendukung. Ingat, tahun 1998 dulu itu, Soeharto sangat kuat-kuatnya memperoleh dukungan politik dari Golkar dan ABRI. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terbilang berhasil, yaitu sebesar 7,1%. Soeharto juga merencanakan untuk merombak kabinet. Namun semua langkah Soeharto itu, kalah cepat badai krisis ekonomi. Akhirnya, Soeharto bersama ABRI-nya tergulung juga, bersamaan dengan datangnya badai krisis keuangan global yang tidak bisa dibendung negara manapun. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Wartawan Senior

Mari Simak Dua Survei yang Bermisi Tenggelamkan Anies Baswedan

By Asyari Usman Jakarta, FNN.co.id - Pilpres 2024 masih jauh. Tapi, panggungnya mulai “crowded”. Penuh sesak. Dan dijamin akan makin semarak. Yang paling meriah adalah upaya para oportunis dan “brainless manipulator” untuk menghalangi Anies Baswedan. Segala cara mereka lakukan. Setelah banjir Jakarta, lem aibon, trotoar Tanah Abang, dlsb, gagal mereka gunakan untuk mendegradasi Anies, mereka keluarkan jurus lain. Banyak jurus yang mereka siapkan. Panjang daftarnya. Mungkin sudah dirancang sejak lama. Didukung oleh para cukong yang merasa terancam kalau Anies unggul di pacuan opini pilpres 2024. Gerombolan oportunis dan manipulator itu, cepat-cepat ganti taktik. Sekarang mereka gunakan lembaga-lembaga survei nir-reputasi. Yang tak punya kredibilitas. Tujuannya, tidak sulit ditebak. Mereka ingin menenggelamkan nama Anies. Karena memang “Gubernur Indonesia” ini tak terbendung lagi. Pada hari Ahad (23/2/2020), tiga lembaga peneliti merilis “hasil survei” yang memposisikan elektabilitas Anies sangat rendah. Lebih rendah dari elektabilitas Prabowo Subianto. Ketiga lembaga itu adalah Indo Barometer (IB) dan satu lagi Parameter Politik Indonesia (PPI) yang berkolaborasi dengan Politika Research (PR). Survei IB dengan 1,200 responden itu lebih tepat disebut survei internal Gerindra ketimbang survei publik. Apa alasannya? Pertama, kalau Jokowi ikut pilpres 2024, Indo Barometer menempatkan Presiden yang dimenangkan Mahkamah Konstitusi (MK) di Pilpres 2019 itu dengan elektabillitas 32.2% (tertinggi). Disusul Prabowo 17.5%, Anies Baswedan 9.7%, Sandiaga Uno 6.1%, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 4.3% dan Tri Rismaharini (walikota Surabaya) 3.6%. Kalau Jokowi tidak ikut, maka Prabowo berada di angka 22.5%. Anies Baswedan cuma 14.3%, Sandi Uno 8.1%, Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah) 7.7%, dan Tri Rismaharini (walikota Surabaya) 6.8%. Penyusunan urutan ini menyelipkan pesan bahwa Anies cuma bisa menjadi cawapres pada 2024. Dan peluang untuk terpilih sebagai wapres pun hanya bisa bersama Prabowo. Bahkan, politisi Gerindra, Desmond Mahesa, berani mengatakan bahwa untuk Pilpres 2024 ini, pasangan yang sangat pas adalah Prabowo-Anies. Artinya apa? Hasil survei ini bertujuan mematahkan semangat Anies untuk maju sebagai capres. Sambil mengelabui publik bahwa Prabowo masih berpeluang menjadi presiden nanti. Tapi, susunan ini juga menunjukkan bahwa Prabowo memerlukan Anies sebagai cawapres untuk bisa menang pilpres. Kalau Anies mau dipasangkan dengan Prabowo, orang-orang Gerindra merasa para pendukung Anies tak punya pilihan lain. Tentu saja Anies tidak sekonyol yang mereka inginkan. Kedua, survei IB ini disebut “survei internal Gerindra” dapat dilihat dari premis bahwa kalau Jokowi dihadapkan lagi dengan Prabowo di pilpres 2024 (secara konstitusional Jokowi tidak mungkin ikut kecuali UUD 1945 diubah), maka dia (Jokowi) akan menang 41.2% dibanding Prabowo yang dapat 36.3%. Ini merupakan bentuk penghormatan, rasa segan, dan rasa takut survei internal itu kepada Jokowi. Survei juga sekaligus menyertakan pesan terelubung bahwa Prabowo siap menjadi cawapres Jokowi di pilpres mendatang. Sekalian menyampaikan isyarat bahwa Gerindra akan mendukung amandemen UUD 1945 supaya Jokowi bisa menjadi presiden tiga periode asalkan Prabowo menjadi wapres untuk Jokowi. Bisakah skenario Jokowi-Prabowo 2024 itu muncul? Sangat besar kemungkinannya. Apalagi, sekarang ini ada gelagat yang sangat jelas tentang perseteruan Jokowi dengan Bu Megawati plus gerbong PDIP-nya. Bisa dilihat pula dari survei IB ini yang tidak menyertakan nama Puan Maharani (anak Bu Mega). Di front lain, Prabowo di berbagai kesempatan menunjukkan kekagumannya pada Jokowi. Begitu juga ketika akhir-akhir ini anak-menantu Jokowi mulai memperlihatkan antusias untuk menjadi walikota. Probowo menyambut positif. Ketiga, survei IB disebut “survei internal Gerindra” karena Prabowo, Anies dan Sandi selalu berurutan. Prabowo teratas, disusul Anies dan kemudian Sandi. Berikutnya, kita lihat sebentar survei PPI dan PR. Ini lebih jelas lagi bermisi untuk menenggelamkan nama Anies Baswedan. Dengan 2,200 responden, PPI dan PR menempatkan menempatkan elektabilitas Prabowo 17.3%, Sandi 9.1%, Ganjar Pranowo 8.8%, Anies hanya 7.8%, AHY 5.4% bahkan ada Ahok 5.2%, dst. Yang sangat tendensius, survei PPI-PR menunjukkan bahwa Ma’ruf Amin lebih kuat dari Anies Baswedan untuk posisi cawapres 2024. Ma’ruf bisa dapat 6.7% sedangkan Anies hanya 4.59%. Sadis! Ada yang memancing senyum dari kesimpulan survei PPI-PR. Mereka temukan bahwa publik sangat menyukai pasangan militer-sipil di Pilpres 2024 ketimbang kombinasi sipil-militer. Temuan ini terasa “sangat Bapak”. Menurut survei, kombinasi militer-sipil didukung 40.4% sementara pasangan sipil-militer hanya disukai 14.2% saja. Mana yang bisa dipercaya? Nah, ini pertanyaan yang jawabannya cukup mengasyikkan. Sebab, ada survei yang sangat layak dipercaya di luar IB dan PPI-PR. Yaitu, jajak pendapat online yang digelar oleh PollingKita-com sejak 3 Februari 2020. Polling ini diikuti oleh 28,650 responden. Mereka tidak bisa ikut polling lebih dari sekali karena registrasi suara dicatat berdasarkan IP-address. Artinya, yang mencoba memberikan suara ganda akan tertolak secara otomatis berdasarkan IP address itu. Hingga hari ini (26/2/2020), PollingKita mencatat dukunngan untuk Anies Baswedan 64.2%, Prabowo 8.1%, AHY 7.9%, Ganjar Pranowo 6.4%, Sandi 4.3%, Ahok 4%, Gatot Nurmantio 2.2%, Ridwan Kamil 1.82%, Khofifah IP 0.6%, dan Puan Maharani 0.3%. Kelihatannya, PollingKita-com lebih layak dipercaya. Sebab, hasil survei mereka mencerminkan dinamika politik yang ada. Lebih independen dan jumlah respondennya lebih 20 kali lipat jumlah responden IB. Kalau pun margin of error di sini (MoR) 25%, Anies masih dapat 48%. Masih terlalu besar? Sebutlah MoR 40%. Anies masih dapat 39%. Bukan angka cukongan di sekitar 9 persenan atau 14 persenan. Jadi, bagaimana dengan hasil survei IB dan PPI-PR? Kelihatannya, tidak keliru kalau Anda katakan MoR-nya 100%. Alias, tak bisa dipercaya sama sekali.[] 26 Februari 2020 Penulis wartawan senior.

Jokowi Korbankan Buruh Menanggung Beban Investasi Asing

Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi yang terkesan indah dan hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Banyak kendala yang dibuat oleh pejabat terkait perizinan.Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. By Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Sehubungan Pemerintahan Jokowi telah menyerahkan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja kepada DPR untuk dibahas, menurut saya ada 3 poin penting yang harus dicermati pemerintah, DPR dan publik. Pertama, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja didasari pada situasi di mana relokasi investasi di China ke Asia Tenggara kecuali Indonesia. Artinya tujuan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah untuk menarik investasi asing ke Indonesia. Pemerintah akan memberikan segala kemudahan dan kepastian dalam berinvestasi. Oleh karena itu pemerintah dan DPR sepatutnya fokus pada efisiensi perijinan dan incentive berinvestasi. Bukan menciptakan aturan-aturan yang mengorbankan kesejahteraan buruh. Bukan pula menaruh nasib buruh pada level yang lebih rendah dalam Omnibus Law. Jika demikian halnya, maka sama saja demi kepentingan investasi asing, Jokowi mengorbankan buruh. Jadinya buruh ikut menanggung beban investasi asing. Pemerintah dapat mengkreasikan aturan-aturan atau biaya investasi yang kompetitif dengan Vietnam, Thailand dan Malaysia. Pemerintah tidak perlu mengurangi apa yang telah didapat buruh selama ini. Yang sudah didapat oleh buruh, biarkan saja apa adanya. Pemerintah seharusnya mendorong investor dengan memberikan incentive progresif kepada investasi yang menggunakan tenaga kerja Indonesia di atas 80%. Atau incentive progresif untuk investasi yang export oriented, atau penggunaan bahan baku lokal di atas 80%. Kedua, perlu jaminan implementasi Omnibus Law ini. Bagaimana aturan teknisnya nanti benar-benar ciptakan efisiensi. Selama ini selain aturan yang tumpang tindih, biaya perijinan investasi tidak efisien, karena mental koruptif birokrasi, baik di pusat maupun daerah. Jadi, efektifitas Omnibus Law ini dalam menarik investasi akan sangat ditentukan oleh praktek birokrasi. Apa yang terkesan bagus dalam narasi, akan gagal jika birokrasinya masih koruptif. Selain itu, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus didukung penuh oleh para buruh dan pemerintah daerah. Jika akhirnya masih sering terjadi aksi pemogokan buruh, akibat dari Omnibus Law yang dipaksakan pemerintah pun tidak akan berhasil menarik investasi asing masuk. Kita harus belajar dari paket-paket ekonomi Jokowi di periode pertama pemerintahannya. Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi terkesan indah hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. Ketiga, jiwa RUU Omnibus Law ini jangan sampai menghidupkan kembali sentralisme pada pemerintah pusat. Sekarang kita sudah melangkah jauh dengan desentralisme otonomi daerah. Pemerintah daerah harus diajak terlibat dalam pembahasan RUU Omnibus Law. Tujuannya, agar Pemerintah Daerah dapat memahami betul isi dan tujuannya, sehingga implementasinya di daerah juga efektif dan seragam. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)

Defender of the Cukongs Mulai Kepanasan

“If you have enemies, that means you stand for the right,” kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” By Asyari Usman Jakarta FFN - “Smoked out” artinya keluar dari persembunyian. Kepanasan. Terus, maki-maki. Defending the crooks. Bad enough, tentunya. But, that’s what you will expect from Zeng Wei Jian called “Ken Ken” by his fooled admirers. Ken Ken mencak-mencak gegara dua tulisan yang mengurai peranan para cukong dalam mendikte politik Indonesia. Dia buat tulisan konyol. Dia tunjukkan as if (seolah-olah) dia adalah kaki tangan para cukong parpol itu. Sungguh kasihan. Sebenarnya, banyak orang tahu Zeng “bukan penulis lepas”. Tangannya terborgol oleh keharusan untuk menjaga agar “debit card” itu bisa tetap berlaku di tempat-tempat nongkrong. Sebenarnya, pena yang dia gunakan untuk menulis sangat canggih. Tapi, ada “remote control”-nya. Pengamat politik, Hersubeno Arief, menguraikan siapa-siapa yang disebut sebagai cukong yang melakukan mafia politik. Yakni, mereka yang membeli parpol untuk kuasai Indonesia. Itu saja. Sekadar mengelaborasi “pengalaman” Ketua MPR Bambang Soesatyo bahwa para cukong alias pemodal, domestik maupun asing, membeli “Satu Partai Satu Triliun” untuk menguasai negeri. Celakanya, kalau Anda selami pikiran Zeng, Anda akan temukan di kepalanya bahwa beli parpol “is the thing right to do”. Beli partai itu bagus bagi Zeng. Hancurlah Indonesia. Mas Hersu dan teman penulis satu lagi hanya mencarikan perspektif yang tepat dari deklarasi Pak Bamsoet. Hersebeno menjelaskan siapa-siapa saja yang punya duit besar, yang mampu membeli parpol-parpol “in order to gain the real power” dalam mengelola kekayaan negara. Sangatlah logis kalau kemudian Hersubeno memperkenalkan kepada khalayak nama-nama taipan yang mungkin sekali berkepentingan untuk membeli kekuasaan politik. Lagi pula, nama-nama yang membuat Zeng naik tensi itu adalah mereka yang disebut oleh “Forbes” sebagai orang-orang terkaya di Kolam Susu-nya Koes Ploes. Hersu hanya mengutip “Forbes” itu. Nothing more. Zeng menjadi panik. Dia bela para cukong itu. Menuduh Hersu bebuat SARA. Baseless accusation. Tuduhan yang terbentuk dari “inability to understand the whole context of Hersu’s argument”. Tidak ada SARA. Yang diuraikan itu semata-mata fakta murni. Zeng keluar dengan cercaan yang menggelikan. Dia caci-maki kedua penulis that stand for the right. Zeng tidak rela pembeberan the truth of the day. Perilaku Zeng sangat memalukan, by all standards. Neither morality, nor journalism principles. Dapat dibaca dengan jelas arah tulisannya. Seratus persen menggonggong untuk the masters –para cukong itu. Pantas diduga, ada imbalan yang sangat menggiurkan di balik “pikiran sesat” Zeng. Reaksi ngawur Zeng Wei Jian sama sekali tidak mengherankan. Dia memusuhi tulisan-tulisan yang tidak sejalan dengan “money making process” yang dia punya. Zeng langsung terusik ketika ada yang coba menyentuh para cukong yang telah merusak semua sendi kehidupan bangsa ini. However, Mas Hersubeno dan teman penulis satu lagi tidak perlu terlalu hirau dengan jurus-jurus Zeng. Anda berdua paham tentang dia. Publik juga mengerti. Dan Anda berdua juga tahu mengapa Anda punya musuh. “If you have enemies, that means you stand for the right”, kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” Penulis adalah Wartawan Senior

Tembak Jokowi, Mega Menepuk Air di Dulang

Selain Gibran dan Boby, ada dua lagi keluarga Jokowi yang mengadu peruntungan di politik. Mereka adalah adik ipar Jokowi, Wahyu Purwanto, yang dikabarkan bakal maju dalam Pilkada di Gunung Kidul, Jawa Tengah, serta Paman Bobby Nasution, Doli Sinomba Siregar, yang berencana untuk maju sebagai calon Bupati Tapanuli Selatan. By Dimas Huda Jakarta FNN - Megawati Soekarnoputri mengeluarkan pernyataan yang cukup menohok bagi politisi yang tahu diri. Ketua Umum DPP PDI Perjuangan ini menunjukkan kekesalannya ketika menyebut tokoh politik yang memaksa anaknya menjadi pemimpin. Sementara anak tersebut tidak mampu memimpin. Seperti tidak ada orang lain saja. "Kalau enggak anak'e, kalau ndak istrine, kalau enggak ponakane,” sindir Mega pada saat memberi sambutan pengumuman Paslon Pilkada 2020 di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu (19/2). Sodokan Mega itu bisa diarahkan ke mana-mana. Maklum saja, politik dinasti saat ini memang sudah menjadi semacam tren. Sudah lazim, para politisi tua umumnya menyiapkan anak dan saudara-saudaranya masuk gelanggang politik. Sebut saja Joko Widodo. Anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri menjadi Walikota Solo. Menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, mencalonkan diri sebagai Walikota Medan. Jokowi sepertinya tengah membangun politik dinasti di keluarganya. Ibarat buah, Gibran dan Bobby masih mentah. Tak punya pengalaman di partai politik. Lantaran anak Jokowi, Gibran menjadi moncer. Begitu juga Boby. Hanya karena menjadi menantu presiden namanya menjadi dihitung. Elektabilitasnya oke. Soal kemampuan dalam memimpin, yaa, itu nanti saja dulu. Itu urusan belakangan. Jari Mega boleh jadi diarahkan ke Istana Jokowi. Soalnya, sampai detik ini, DPP PDIP belum mengeluarkan persetujuan atas pencalonan anak dan menantu presiden itu. Itu sebabnya, Gibran juga sadar bahwa keputusan dirinya maju sebagai calon Walikota Solo, bergantung pada Megawati. Gibran Rakabuming Raka telah mendaftarkan diri sebagai bakal calon Walikota Solo lewat DPD PDIP Jawa Tengah, setelah jajaran PDIP Solo menutup pintu pendaftaran. Selain Gibran dan Boby, ada dua lagi keluarga Jokowi yang mengadu peruntungan di politik. Mereka adalah adik ipar Jokowi, Wahyu Purwanto, yang dikabarkan bakal maju dalam Pilkada di Gunung Kidul, Jawa Tengah, serta Paman Bobby Nasution, Doli Sinomba Siregar, yang berencana untuk maju sebagai calon Bupati Tapanuli Selatan. Politik Dinasti Hanya saja, politik dinasti bukan monopoli Jokowi. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru mempelopori terlebih dahulu. Ia mendorong putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. AHY gagal, dan SBY mencoba mendorong-dorong AHY menjadi calon presiden atau calon wakil presiden pada Pilpres 2019 kemarin. Langkah ini pun gagal. SBY sepertinya ingin berkuasa kembali dengan membangun dinasti. Partai Demokrat dijadikan kendaraan. Selain AHY, ada Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang lebih dulu di PD. Kedua pangeran ini akan berebut kursi ketua umum pada kongres partai ini nanti. Jabatan ketua umum perlu dan penting karena menyangkut posisi mereka dalam peta politik 2024. "Kalau bukan presiden dan wakil presiden, kemudian jadi menteri misalnya,” ujar Wakil Ketua Umum PD, Syarief Hasan, Rabu (19/2). Politik dinasti memang sudah dianggap lumrah. Pada Senin (17/2) kemarin, lembaga riset Nagara Institute merilis hasil penelitian terkait perpolitikan di Indonesia. Penelitian itu menyebut oligarki dan politik dinasti menjadi ancaman terbesar bagi demokrasi Indonesia. Dari hasil penelitian lembaga riset yang baru didirikan eks anggota DPR F-NasDem, Akbar Faisal, ini mengungkap 17,22% hasil pemilihan DPR RI pada Pemilu 2019 terpapar dinasti politik. Itu bermakna 99 dari 575 anggota legislatif memiliki hubungan dengan pejabat publik. Anggota NasDem menjadi yang paling banyak. Sebesar 33,90% atau 20 dari total 59 kursi F-NasDem di DPR RI memiliki hubungan dengan pejabat publik. Di bawah NasDem, ada PPP dengan 31,58%, kemudian Golkar 21,18%, Demokrat 18,52%, PAN 18,18%, Gerindra 16,67%, dan PDIP 13,28%. PDIP nyatanya juga menjadi sarang politik dinasti. Ketika Mega mengarahkan satu telunjuknya ke politisi lain, maka ada empat jari yang mengarah padanya. “Saya enggak pernah. Anak saya, kamu jadilah sesuai dengan apa yang kamu jalankan," sergah Mega. Kandang banteng adalah tempat anak-anak dan keluarga besar Sukarno belajar sekaligus meniti karier politik. Puan Maharani salah satunya saja. Ia adalah politisi didikan langsung Sang Bunda. Aneh, Mega membantah itu. "Ada orang yang ngomong Mbak Puan jadi ketua DPR, itu saya yang angkat-angkat. Mana mungkin, memang (perolehan) suarannya gede. Enggak ada yang bisa nahan. Begitu. Janganlah. Yang namanya sudah. Mabok saya dengarnya," imbuh Presiden kelima RI itu. Jauh sebelum menambang suara paling banyak, Puan tentu saja tidak punya pengalaman sedikit pun di dunia politik, sebelum ia masuk kandang Banteng. Perempuan kelahiran Jakarta, 6 September 1973 ini tentu dihitung dan menjadi ngetop karena dia adalah putri Megawati. Boleh jadi, lantaran dia putri Mega pula, maka Jokowi menunjuknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada Kabinet Kerja (2014–2019). Banyak pihak menilai kinerja Puan sebagai Menko mengecewakan. Di PDIP cukup banyak kader-kader lebih baik dari Puan, namun dia tak tergantikan. Lewat pernyataannya itu Mega seakan-akan mencoba introspeksi diri bahwa politik dinasti tak bisa dihindari. Termasuk pada dirinya sendiri. Penulis adalah Wartawan Senior

Seriuskah Ketua MPR Pimpin Pemberontakan Lawan Cukong Parpol?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Acara itu sederhana saja. Hanya peresmian sebuah lembaga kajian sosial-politik. Nama lembaga itu Nagara Institute. Di Senayan, Jakarta. Direkturnya, Akbar Faisal –mantan anggota DPR dari Partai Nasional Demokrat (NasDem). Acara berlansgung pada 17 Februari 2020. Meski hanya peresmian lembaga kajian, tapi acara ini menjadi sangat penting. Sama pentingnya dengan hari proklamasi kemderdekaan 17 Agustus 1945. Mengapa sampai demikian penting? Karena di acara inilah, secara blak-blakan, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mendeklarasikan bahwa parpol-parpol di Indonesia ini dikuasai dan didikte oleh para pemilik modal alias cukong. Para pemodal, kata Bamsoet, mendatangi Munas atau muktamar parpol yang beragenda pemilihan ketua umum (ketum). Di situlah para cukong membawa duit. Mendekati para politisi yang berpotensi menjadi ketum. Ketua MPR bahkan mengatakan, harga yang dibayar “tidak mahal”. Paling-paling satu T. Seribu miliar. Yang dideklarasikan oleh Bamsoet bukan hal baru. Tetapi menjadi signifikan karena disampaikan oleh politisi senior dengan embel-embel Ketua MPR. Salah satu kalimat kunci yang dikatakan Pak Bamsoet adalah bahwa manuver beli parpol itu merupakan kejadian sebenarnya. “Ini pengalaman,” kata Ketua MPR. Bukan asumsi. Setelah parpol-parpol dibeli, mulailah berlaku “terms and conditions” (ketentuan dan syarat) atau T&C. Intinya, parpol-parpol berada di bawah kendali cukong. Termasuk kebijakan parpol; akan dibuat sesuai kepentingan cukong. Juga mereka tentukan siapa-siapa personel yang didudukkan di DPR, sampai ke siapa calon presiden dan presiden terpilihnya berikut para menteri, calon gubernur, hingga calon bupati dan walikota. Deklarasi Bamsoet ini tidak main-main. Implikasinya terhadap beliau, sangat besar dan cukup serius. Pertama, pembeberan itu akan dimaknai sebagai “pemberontakan” Bamsoet terhadap praktik busuk di kalangan parpol-parpol. Disebut “pemberontakan” karena yang dilakukan Bamsoet adalah aksi melawan struktur politik uang yang telah menjadi tradisi kuat pasca-Reformasi. Yang telah berakar dalam (deep-rooted). Bamsoet hanya bisa sebatas memberontak. Tidak bisa memerangi tradisi beli kekuasaan yang telah diterima luas di lingkaran politik Indonesia, di semua level. Mirip seperti seorang remaja yang memberotak terhadap tradisi kuat di lingkungan rumah orangtuanya. Kekuatan si remaja tak seimbang dengan kekuatan seisi rumah yang telah mapan. Jarang pemberontakan remaja bisa menang. Begitulah gambaran posisi Bamsoet di tengah tradisi parpol yang bercukong. Berat dia menang. Namun demikian, pemberontakan politik Bamsoet akan merebut simpati dan dukungan luas rakyat yang sudah sangat geram dengan percukongan parpol. Rakyat akan menyambutnya sebagai jihad melawan kemungkaran politik yang akan menghancurkan bangsa ini. Yang menjadi masalah, apakah beliau serius melancarkan pemberontakan itu? Jangan-jangan hanya sekadar menciptakan sensasi saja. Cuma basa-basi sambil mengalihkan perhatian publik. Kalau dibaca suasana umum yang ada saat ini, kemungkinan besar Pak Bamsoet sungguh-sungguh ingin memberontak terhadap praktik tercela jual-beli kakuasaan itu. Bamsoet kelihatanya murni gelisah melihat kenyataan yang sangat membahayakan masa depan negara. Kedua, kalau memang serius membuka medan tempur, maka Bamsoet pasti sudah berhitung tentang siapa-siapa lawan dan kawannya. Soal siapa lawan, sudah sangat jelas. Direktur Nagara Institute Faisal Akbar mengklaim bahwa dia sudah mengidentifikasi sekitar 50 pemilik duit besar yang menempatkan kaki di semua parpol. Dan dalam tulisan yang berjudul “Parpol: Di Bawah Lindungan Para Taipan”, edisi 19 Februari 2020, pengamat politik Hersubeno Arief memperkirakan para cukong parpol-parpol itu hampir pasti adalah mereka yang masuk dalam daftar 100 orang terkaya di Indonesia yang memiliki bisnis besar nan menggurita. Daftar majalah “Forbes” ini bukan rahasia. Hersubeno menjelaskan 10 orang yang punya kekayaan antara 40 triliun hingga 500 triliun plus. Mereka ini adalah cukong lokal. Bamsoet mengisyaratkan pula bahwa para pemodal itu bisa juga datang dari luar. Yaitu, cukong asing. Ketua MPR tidak mengatakan siapa-siapa cukong asing itu. Tetapi, Hersubeno langsung menyebut Tiongkok (China) karena merekalah yang paling berkepentingan di Indonesia akhir-akhir ini. Jadi, lawan-lawan Pak Bamsoet –kalau beliau serius mau berontak— tidak tanggung-tanggung. Kasarnya, para cukong itu bisa mengakses dan menggunakan siapa saja untuk melakukan apa saja. Termasuk untuk tujuan “memadamkan pemberontakan”. Bamsoet harus siap menerima semua konsekuensi. Sedangkan soal kawan, Bamsoet bisa kumpulkan 100 juta tanda tangan pendukung. Ketiga, para senior Golkar tidak mungkin tak tertampar oleh deklarasi Bamsoet tentang percukongan parpol. Sebab, Ketua MPR menyebutkan semua parpol, termasuk Golkar, menjadi incaran para pemilik uang. Dan, kalimat “Ini pengalaman” seperti dikatakan Bamsoet boleh jadi dia maksudkan pengalaman di Golkar sendiri. Artinya, pantas diduga bahwa beli kekuasaan oleh cukong mungkin pernah berlangsung di Partai Beringin. Karena itu, pemberontakan Bamsoet melawan praktik beli ketua umum parpol, kelihatannya hanya menunggu reaksi dari para cukong dan pimpinan partai. Ada kemungkinan para cukong akan melakukan “aim, lock and fire” (bidik, kunci dan tembak) terhadap Bamsoet. Pak Ketua akan dikejar dan dikerjai. Ada pula kemungkinan para cukong mundur dan membiarkan proses demokrasi Indonesia berjalan apa adanya. Tipis kemungkinan ini. Sama seperti “melepaskan punai di tangan tanpa alasan”. Para cukong pastilah mengambil opsi agresif. Andaikata ada mahkamah cukong untuk memilih cara bereaksi terhadap pemberontakan Bamsoet, hampir pasti sidang hanya berlangsung tiga menit dan putusannya adalah “bersihkan hambatan itu”.[] 20 Februari 2020 Penulis wartawan senior.

Amien Rais Berakhir di Kendari?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Kendali Amien Rais atas Partai Amanat Nasional (PAN) berakhir di Kendari? Setidaknya signal politik itulah yang ditangkap publik setelah terpilihnya kembali Zulkifli Hasan (Zulhas) dalam Kongres PAN V di Kendari, Sulawesi Tenggara. Mulfachri Harahap jagoan yang disiapkan Amien Rais berhasil dikalahkan Zulhas. Padahal Mulfachri dipasangkan dengan Hanafi Rais, anak Amien Rais dalam satu paket ketum-sekjen. Sementara Dradjad Wibowo figur yang dikenal sangat dekat dan loyalis Amien tidak mendapatkan suara yang signifikan. Kekalahan Mulfachri-Hanafi merupakan simbol runtuhnya dominasi Amien, sekaligus menunjukkan adanya pergeseran arah politik PAN. Peran Amien selama 21 tahun PAN berdiri, kira-kira sama seperti seorang Ayatullah di Iran. Tidak menduduki jabatan formal secara struktural, tetapi semuanya titahnya dipatuhi oleh seluruh kader PAN. Jabatan Amien terakhir di PAN adalah Ketua Dewan Kehormatan. Bukan Jabatan eksekutif. Sami’na waatokna. Kami dengar dan kami laksanakan. Tak Ada tawar menawar. Biru kata Amien, maka biru pula kata kader PAN. Siapapun yang diinginkan menjadi ketua umum pasti jadi. Sebaliknya siapapun yang tak dikehendakinya, pasti tidak jadi. Hal itu bisa dilihat dari tiga kali Kongres PAN. Dia menunjuk Soetrisno Bachir (SB) sebagai penggantinya pada Kongres II. Padahal saat itu SB bukan kader PAN. Begitu juga ketika pada berlangsung Kongres III, Amien menginginkan Hatta Radjasa menjadi ketum menggantikan SB. Maka jadilah Hatta sebagai Ketum. Peristiwa serupa kembali terjadi pada Kongres IV, Hatta yang ingin kembali memimpin PAN berhasil dihadang Amien. Zulkifli Hasan besan Amien akhirnya terpilih sebagai ketum. Dibalik sikapnya yang terkesan otoriter, sesungguhnya ada pesan dan nilai penting yang ingin dijaga Amien. Dia tak ingin ada seorang ketum yang menjabat sampai dua kali. Sikap itu juga dia berlakukan kepada dirinya sendiri yang hanya satu periode menjabat sebagai ketum. Barangkali sebagai tokoh yang dijuluki sebagai Bapak Reformasi, Amien ingin konsisten dengan sikapnya. Dia sangat kritis terhadap rezim Soeharto yang terpilih berkali-kali dan seakan ingin berkuasa selama hidup. Aturan yang sama juga ingin dia berlakukan terhadap Zulhas sang besan tanpa pandang bulu. Tapi kali ini Amien gagal. *Pergeseran sikap politik PAN* Kembali terpilihnya Zulhas sebagai Ketum PAN hampir dipastikan akan mengubah posisioning PAN terhadap pemerintah. Lepas apakah Amien akan tetap diakomodir —misalnya kembali menjadi Ketua Dewan Kehormatan atau tidak— namun kali ini langkah Zulhas akan lebih leluasa membawa gerbong PAN merapat ke istana. Dia sudah mendapat legitimasi yang kuat. Kemenangannya di Kongres Kendari menunjukkan telah terjadi pergeseran basis dukungan di PAN. Amien tak lagi digdaya! Selain di akar rumput, dia juga mendapat dukungan dari figur seperti Hatta Radjasa yang ditunjuknya menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dan Soetrisno Bachir. Jangan lupa yang paling penting dan utama, Zulhas mendapat restu dan dukungan dari istana. Signal itu secara gamblang disampaikan oleh Zulhas ketika dia menyampaikan ucapan terima kasih kepada Jokowi, tak lama setelah penghitungan suara. Dukungan dari Jokowi ini tidak terlalu mengejutkan. Sejak sebelum penetapan capres-cawapres pada Pilpres 2019, Zulhas cenderung lebih mendukung Jokowi. Namun sikap Amien yang tegas dan keras, membuatnya tidak berkutik. Tidak ada pilihan lain dia ikut mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Dukungan setengah hati. Karena dibelakang panggung komunikasinya dengan Jokowi tetap berjalan secara intens. Sementara di depan panggung komunikasinya dibungkus dalam balutan posisi resminya sebagai Ketua MPR. Jadi tak aneh bila dia bertandang ke istana bertemu Jokowi. Tarik menarik posisi PAN antara kubu Zulhas dan Amien masih terus berlanjut pasca pilpres. PAN tetap mengambil posisi sebagai “oposisi” bahkan ketika Prabowo bergabung ke dalam kabinet Jokowi, lebih karena sikap Amien. Baginya tak ada kompromi dengan pemerintahan Jokowi. Secara politis momentum kembali terpilihnya Zulhas di Kongres Kendari terasa sangat pas, karena sebelumya seorang staf di Kantor Staf Presiden (KSP) mengisyaratkan kemungkinan adanya reshufle kabinet. Tak perlu kaget bila kemudian Jokowi menarik satu dua orang menteri dari PAN ke kabinet. Apakah Amien akan mengulang kembali tragedi Gus Dur di PKB. Partai yang dibangun dan dibesarkan diambil-alih oleh orang dekatnya? Gus Dur sampai meninggal dunia tak berhasil mengambil alih kembali PKB. Partai yang dibangun dan dibesarkan itu direbut kendalinya oleh sang kemenakan Muhaimin Iskandar. Kini giliran Zulhas berhasil merebut kendali PAN dari Amien Rais, besan dan mentor politik yang membesarkannya. Politik tak kenal saudara. Hanya kepentingan yang utama. Penulis adalah Wartawan Senior.

Moral Politik Zulkifli Hasan

By Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN – Allaah SWT berfirman dalam surat Ar-Rahman ayat 13 “fabi ayyi alaa irobbikumaa tukazzibaan”. Artinya, maka nikmat Tuhan kamu yang mana lagi yang kamu dustakan? Surat Ibrahim ayat 7 Allaah juga berfirman “lain syakartum laaziidannakum walain kafartum inna adzaa bii lasyadiidun”. Artinya, sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Allaah SWT akan menambah nikmat-Nya kepadamu. Namun jika kamu ingkar kepada nikmat-Ku, maka ingatlah bahwa azabku amat berat. Kedua ayat ini, hanya bagian kecil dari banyaknya perintah Al-Qur’an tentang dua hal mendasar. Pertama, Allaah SWT menyuruh manusia untuk bersyukur dan bersykur atas segala nikmat dan karunia yang telah Allaah SWT berikan. Kedua, Allaah SWT mengingatkan manusia tentang bahaya yang akan dihadapi bila kufur dan ingkar kepada nikmat dan karunia Allaah SWT. Satu diantara anak bangsa dan hamba Allaah yang paling lengkap diberikan nikmat dan karunia Allaah SWT itu adalah Zulkifli Hasan. Biasa disebut dengan Zulhas. Dia satu diantara jutaan kader Partai amanat Nasional (PAN) yang dipercaya menjadi Ketua Umum periode 2014-2019. Sejak kelahirannya 21 tahun silam, tapatnya 23 Agustus 1998, PAN baru mempunyai empat Ketua Umum. Muhammad Amin Rais adalah pendiri sekaligus Ketua Umum PAN yang pertama. Selanjutnya Sutrisno Bachir yang menjadi Ketua Umum PAN yang kedua. Setelah itu, Hatta Rajasa menjabat Ketua Umum PAN yang ketiga. Sekarang Zulkifli Hasan yang menjadi Ketua Umum PAN ke empat. Rencananya hari ini Selasa 11 Februari 2020, Kongres PAN kelima dimulai di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Kongres ini untuk mengevaluasi kinerja kepengurusan periode PAN 2014-2019 di bawah komando Zulkifli Hasan. Agenda lainnya adalah memilih Ketua Umum PAN periode berikutnya. Karier Politik Zulhas Zulkifli Hasan pertama kali menjadi anggota DPR periode 2004-2009 dari Daerah Pemilihan Lampung. Dia memulai karier di PAN sebagai Ketua Departemen Logistik DPP PAN periode 2000-2005. Jabatan inilah yang kemudian mengantarkan Zulhas menjadi Wakil Ketua Fraksi PAN DPR. Setelah Soetrisno Bachir terpilih sebagai Ketua Umum PAN periode 2005-2010, Zulhas dipercaya menduduki jabatan Sekretaris Jendral. Selain sebagai Sekretaris Jendral DPP PAN, pada periode yang sama, Zulhas juga merangkap Ketua Fraksi PAN di DPR. Setelah SBY kembali terpilih sebagai Presiden periode kedua 2009-2014, Zulhas dipercaya SBY menjadi Menteri Kehutanan menggantikan MS Ka’ban. Tahun 2014 Zulhas terpilih sebagai Ketua MPR ke-15. Ketika itu paket yang mengusung Zulhas sebagai Ketua MPR, dengan Wakil Ketua Mahyudin, EE Mangindaan, Hidayat Nur Wahid dan Ahmad Muzani berhasil mengalahkan paket lawan yang mengusung Oesman Sapta Odang Ketua MPR. Singkat cerita, mungkin Zulhas adalah satu-satunya kader PAN dengan jabatan paling lengkap di partai. Dimulai dengan menjadi anggota DPR. Selanjutanya menjadi Wakil Ketua Fraksi dan Ketua Fraksi PAN DPR. Setelah itu menjadi orang kedua di PAN dengan jabatan Sekretaris Jendral, yang ikut mengatarkan Zulhas ke posisi puncak sebagai Ketua Umum PAN ke-4, periode 2014-2019. Jabatan Zulhas sebagai pejabat negara adalah Menteri Kehutanan perode 2009-2014 dan Ketua MPR 2014-2019. Jabatan yang sangat lengkap dan sempurna. Berbagai posisi penting ini, telah menempatkan Zulhas sebagai kader langka di PAN. Maka, nikmat Tuhan kamu yang mana lagi yang kamu dustakan? Tradisi Satu Periode Sejak kalahirannya 23 Agustus 1998, PAN telah mempunyai empat ketua Umum, yaitu Amin Rais, Sutrisno Bachir, Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan. Semua menjabat Ketua Umum PAN hanya dijabat satu periode. Tidak ada yang sempat menjabat dua periode. Pada Kongres ke-4 tahun 2014, memang Hatta Rajasa mencoba untuk kembali maju sebagai Ketua Umum, namun dalam pemilihan, langkah dan ambisi dua priode Hatta Rajasa dipatahkan oleh Zulhas. Sedangkan Amin Rais dan Sutrisno Bachir, setelah selesai menjabat, memberikan kesempatan kepada kader lain untuk menjadi Ketua Umum PAN. Sikap dan langkah politik Amin Rais dan Sutrisno Bachir adalah keputusan politik yang pantas untuk diteladani dan dibanggakan oleh kaden-kader PAN pada umumnya. Jarang, bahkan mungkin juga menjadi barang langka untuk menemukan kembali pimpinan partai politik yang punya keasadaran tingkat dewa seperti Amin Rais dan Sutrino Bachir. Padahal peluang Amin Rais terpilih kembali untuk periode sangat terbuka lebar. Tahun 2005 itu, hampir-hampir dapat dipastikan belum ada kader PAN bisa menandingi popularitas dan kehebatan Amin Rais. Namun begitulah Amin Rais. Jabatan bukan segala-galanya. Dengan kebesaran jiwannya, Amin Rais mewariskan monumen paling mahal dan berharga kepada kader PAN bahwa merebut Ketua Umum PAN itu penting. Namun yang lebih penting lagi tidak berupaya mempertahankan jabatan Ketua Umum lebih dari satu periode. Sikap Amin Rais ini mahal dan berkelas. Beginilah karakter politisi yang tau diri. Tau mewariskan mahkota dalam berpolitik. Karena sebagai partai politik yang lahir sebagai anak kandung reformasi, sikap Amis Rais itu sebagai antitesa kepada kekuasaan Orde Baru yang berupaya dengan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan lebih dari 32 tahun. Menjadi sangat aneh bin ajaib, bila tiba-tiba Zulhas yang menjadi kader paling sempurna dan paripurna di PAN itu berusaha untuk kembali menjabat Ketua Umum PAN dua periode. Maka nikmat Tuhan kamu yang mana lagi yang kamu dustakan wahai? Apakah semua jabatan di partai dan pemerintahan tersebut belum cukup untuk disyukuri Zulhas? Lalu, moral politik seperti apa yang menjadi kebanggaan anda, yang hendak diwariskan kepada anak-anak muda bangsa ini, terutama kader-kader PAN? Apakah Zulhas ingin mensejajarkan PAN dengan sejumlah partai politik pecahan Golkar? Dimana Ketua Umum partai-partai itu, terkesan ingin mempertahankan posisi Ketua Umum sampai ajal menjemput mereka. Rasanya kurang pantas mensejajarkan PAN, PKB dan PKS sebagai anak kandung reformasi dengan sejumlah partai politik pecahan Golkar tersebut. Zulhas, kabarnya Amin Amin sebagai guru politik anda, besan anda, bapak kandung dari menantu anda Ahmad Mumtaz Rais, dan bapak mertua dari anak kandung anda Futri Zulya Savitri telah telah menasehati anda agar tidak lagi mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PAN periode 2020-2025. Nasehat dan teladan Amin rais itu, tidak hanya pantas dihargai oleh anda Zulhas sebagai kader PAN, tetapi harus dipraktekan oleh anak-anak bangsa yang lahir dari produk reformasi. Begitulah cara pemimpin mewariskan keteladanan dalam berpolitik. Bukan yang penting menjabat. Toh, presntasi anda sebagai Ketua Umum PAN juga biasa-biasa saja. Malah di bawah standar. Kalau tidak mau dibilang jeblok. Faktanya, PAN yang pada pemilu 2014 meraih 49 kursi DPR, namun pada pemilu 2019 lalu terjun bebas. Tinggal hanya 44 kursi saja. Dan yang lebih menyakitkan lagi, 8 kursi DPR periode 2014-2019 dari Dapil Provinsi Jawa Tengah hilang dari senayan tanpa bekas. Dapil Provinsi Jawa Tengah tidak meninggalkan setengah kursipun. Ini benar-benar tragis Zulhas dan menyakitkan. “Fabi ayyi alaa irobbikumaa tukazzibaan”. Semoga saja bermanfaat. Toh, belom terlambat untuk bersikap demi tradisi politik yang bermartabat Zulhas. Penulis adalah Wartawan Yunior.

Zulhas Sudahlah, Tidak Ada Prestasi Yang Dibanggakan!

Atas dasar moral seperti apa kepemimpinan yang gagal masih mau memberanikan diri kembali maju sebagai ketua Umum PAN? Jabatan menteri sudah didapat. Posisi sebagai Ketua MPR dan Ketua Umum Partai seolah tak cukup untuk Zulkifli Hasan. Padahal pada setiap jabatan yang diemban, tidak terlihat prestasi yang membanggakan. By Enggal Pamukti Jakarta, FNN - Membaca pergerakan perpolitikan Indonesia, tidak bisa juga dilepaskan dari peran Partai Amanat Nasional (PAN), yang lahir pada masa reformasi. PAN selalu eksis pada setiap Pemilu yg berlangsung. Tidak pernah menjadi pemenang tetapi tidak pernah juga turun drastis. Baru pada Pemilu 2019 lalu, dimana saudara Zulkifli Hasan menjadi Ketua Umum, PAN terjun bebas. Terjadi penurunan prosentase perolehan suara PAN dari 7,59% pada Pemilu 2014, menjadi hanya 6,84% pada tahun 2019. Perolehan suara ini bukanlah preseden yang baik bagi sejarah pileg yang diikuti oleh PAN sebagai partai dilahirkan dari produk reformasi. Targisnya lagi, ketika suara perolahan PAN tersebut dikonversi menjadi kursi DPR, PAN kehilangan 5 kursi atau 10% lebih. Pada Pemilu 2014 sebelumnya , PAN mendapatkan 49 kursi. Sekarang PAN hanya mendapatkan 44 kursi DPR RI. Dengan perolehan seperti ini, PAN turun peringkat dari ranking 6 di tahun 2014, jatuh ke peringkat 8 pada tahun 2019. Tragis sekali. Yang paling tragis terjadi di seluruh Dapil Jawa Tengah. Dari sebelumnya PAN mendapatkan 8 kursi iDPR RI di Provinsi Jawa Tengah, pada Pemilu 2019 kermarin, PAN tak berhasil mengirimkan satu kursi pun Senayan. Dari seluruh perhitungan perolehan suara yang ditambahkan dari pemilih baru pada tahun 2019, PAN dinilai gagal medapatkan dukungan suara kaum milanial. Seorang elit Partai Matahari menilai kegagalan PAN mempertahankan atau menambah suara sebagai akibat PAN terlalu konsentrasi pada Pilpres. Kebetulan harus melawan petahana, dan mengalami kekalahan. Alasan ini tidak bisa diterima, jika melihat partai-partai pendukung Prabowo Subianto yang melawan Joko Widodo justru mengalami kenaikan suara seperti Gerindra dan PKS. Sebuah analisa menarik di meja Warung Kopi yang menyatakan bahwa kegagalan PAN akibat dari persoalan leadership yang lemah pada era kepemimpinan perode 2015-2020. Kelemahan inilah yang harus ditanggapi secara serius. Kawan yang memang salah seorang pendiri PAN tersebut menganggap sikap plin-plan partai menjadi penyebab kekalahan PAN pada Pileg 2019. Partai yang pada Pemilu tahun 2014 menjadi oposisi pemerintahan, lalu tiba-tiba terbeli, masuk koalisi pemerintahan Joko Widodo. Namun di akhir tahun 2018 menyatakan bercerai hanya untuk kembali melawan Joko Widodo di Pilpres 2019. Sikap plin-plan, culas, dan tidak loyal adalah kesan dari kronologi perpindahan dukungan yang terlalu frontal tersebut. Akibat inkonsistensi sikap PAN seperti itulah, baik di media sosial maupun pergerakan darat PAN tidak mendapatkan banyak dukungan. Kebijakan pengurus partai yang tampak tida berintegritas seperti itu tentu berpengaruh pada psikologi pemilih yang terbelah secara ekstrim pada pemilu tahun 2019 kemarin. Pemilih menyukai Partai yang tegas dan istiqomah dalam bersikap. Kalau boleh disimpulkan, kepemimpinan yang lemah dan kurang mampu membaca arah dan pilihan politik dari konstituen menjadi titik sentral terlemah Ketua Umum Zulkikfli Hasan. Akumulasi kelemahan ini merupakan satu kesatuan dalam mendefinisikan kegagalan PAN periode 2015-2019. Lalu atas dasar moral seperti apa kepemimpinan yang gagal masih mau memberanikan diri kembali maju sebagai ketua Umum PAN? Jabatan menteri sudah didapat. Posisi sebagai Ketua MPR dan Ketua Umum Partai seolah tak cukup untuk Zulkifli Hasan. Padahal pada setiap jabatan yang diemban, tidak terlihat prestasi yang membanggakan. Yang tersisa sekarang hanya residu kekuasaan.. Residu itulah berupa pemanggilan-pemanggilan dari penegak hukum yang sedang mencoba menggali kaitan pidana pada kekuasaan dia di masa lalu. Untuk itu, PAN haris terbebas dari beban-beban psikoligis yang kemungkinan terkait masalah pidana. Cermat menilai, cerdas memutuskan dan tepat memilih pimpinan. Itu yang harus dilakukan kader-kader dan pengurus PAN dalam memilih Pengurus Pusat agar PAN kembali bersinar seperti Matahari. Kalau saja tidak, maka PAN akan tenggelam di ufuk timur tempat Kongres berlangsung. Selamat berkongres kepada seluruh Kader Pan yang pada hari ini mulai berdatangan di Kota Kendari. Semoga menghasilkan pemimpin baru yang amanah. Penulis adalah Peneliti di Don Adam Sharing Academy

Niretika, Janji Jokowi dan Keluhan Sri Mulyani

By Dr. Ahmad Yani, SH. MH. Jakarta, FNN- Keluhan rakyat tentang janji yang tidak ditepati rezim Jokowi kini sudah dirasakan orang dekat sendiri. Keluhan itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dihadapkan forum internasional. Acara yang diadakan sebuah organisasi raksasa dunia, International Monery Fund (IMF). Sri Mulyani, menjadi Menteri Keuangan dua priode. Satu kali di eranya Susilo Bambang Yudhoyono. Yang kedua di zaman Jokowi sekarang. Pengalamannya menjadi bendahara negara tentu tak diragukan. Namun keluhannya juga tentu saja tidak bisa disepelekan. Sri Mulyani mengeluh tentang janji Jokowi yang menumpuk. Perutnya mules karena harus memutar otak untuk mencari cara supaya janji tersebut terlaksana. Misalnya, saat kampanye Pemilihan Presiden 2019 Jokowi berjanji akan menggaji penggangguran dengan biaya tinggi. Gaji untuk penggangguran itu mencapai 8 juta orang. Tentu saja mencengangkan. Orang waras seperti Sri Mulyani menanyakan bagaimana janji itu bisa terlaksana kepada Jokowi. Jokowi kata Sri, hanya menjawab “nanti dipikirkan, sekarang yang penting kampanye dulu”. Dari kalimat Jokowi yang dikutip dari Sri Mulyani tersebut, dapat diduga dari awal, kalau Jokowi tidak serius dengan janjinya. Jokowi tidak peduli apakah janji itu mampu dilakukan atau tidak. Yang pasti Jokowi mengetahui bahwa belum mengerti dan tidak mengetahui apa yang dijanjikannya itu. Akhirnya semua janji itu kini menumpuk dalam ingatan publik. Saking banyaknya janji Jokowi itu, kepala rakyat tidak mampu menampungnya dalam ingatan. TetapI jejak digital Jokowi yang dicatat oleh media tidak bisa terhapus. Janji itu sungguh banyak, namun realisasi masih mengawang-awang. Janji Tidak Ditepati Apa yang terjadi sepanjang satu periode kepemimpinan Jokowi (2014-2019), dan dilanjutkan dengan periode kedua (2019-2024). Kita hanya diberi janji-janji. Rakyat Indonesia sudah kenyang dengan janji-janji itu, hingga sampai memuntahkannya. Salah satu muntahan yang paling mewakili rakyat adalah kata-kata Sri Mulyani yang kita bahas di awal tulisan ini. Kita patut sedih karena hanya janji yang bisa kita nikmati dari periode pertama, sembari kita melihat kondisi negara yang semakin korup. Sedih melihat ekonomi yang terpuruk. Sedih melihat hukum yang dipermainkan. Sedih melihat kehidupan rakyat yang hanya dikasih makan janji. Ada rentetan ketidakmampuan yang memperlihatkan bahwa banyak problem yang terjadi dalam kepemimpinan Jokowi. Ada banyak janji yang diingkari. Ada banyak janji di publik yang terus terang diucapkan demi elektabilitas kampanye semata. Setelah menduduki kekuasaan untuk periode kedua, janji-janji 2014 itu kini benar-benar menjadi utopia belaka. Dulu tahun 2014 Jokowi berjanji, bahwa Pengangkatan Jaksa Agung tidak akan mengambil orang dari Partai Politik. Janji itu dingkari dimuka, pasca dilantik 2014. Selanjutnya tahun 2014 juga, Jokowi menjanjikan bahwa para menteri tidak boleh dijabat oleh Ketua Umum Partai. Juga diingkari. Rencana yang paling disambut meriah publik untuk membentuk kabinet ramping dan professional. Justru Jokowi membentuk kabinet dengan porsi yang gabuk. Bahkan sarat dengan politik balas budi serta bagi-bagi kekuasaan. Kabinet ramping, dan pemangkasan birokrasi hanya menjadi apologi semata. Pasca dilantik 2019, birokrasi justru semakin luas. Semua kementrian dibentuk wakil menterinya. Birokrasi kementrian semakin panjang dan besar. Pembentukan badan atau lembaga yang terus dilakukan. Saya menduga Ini adalah politik balas budi dengan cara yang paling “norak”. Kita juga patut bertanya, bagaimana dengan korban gempa yang dijanjikan dahulu. Misalnya, korban bencana alam seperti di Palu dan NTB? Ingatkah kita ketika gempa dan tsunami melanda beberapa daerah di Indonesia? Jokowi turun ke tempat bencana dengan menjanjikan pembangunan rumah bagi korban. Seperti korban gempa di NTB. Membangun rumah korban bencana belum selesai. Namun dalam kampanye 2019, muncul lagi janji untuk membangun rumah bagi milenial dan tukang cukur. Apakah rumah millenial dan tukang cukur sudah terbangun sekarang? Dari tahun 2014, janji Jokowi sudah menyebar dalam ratusan rupa. Dari mobil ESEMKA hingga ekonomi meroket. Buy back Indosat, hingga janji swasembada pangan. Esemka kini katanya sudah diproduksi, tetapi kita belum kenal pasti itu mobil dari mana dan mesinnya berasal dari mana? Swasembada pangan yang begitu heroik dibicarakan Jokowi setelah 2019, hanya menjadi janji saja. Ada ratusan juta ton beras impor membusuk akibat nafsu import yang tinggi. Beras busuk itu dibuang. Sementara kehidupan rakyat dan petani yang sedang getir menghadapi kelesuan ekonomi. Janji sepuluhg juta lapangan kerja yang dibicarakan lima tahun lalu sudah diisi oleh semua tenaga kerja Asing. Kalau dihitung semua dengan yang illegal, melebihi sepuluh juta itu orang. Begitu teganya hingga anak negeri mengemis cari kerja. Tetapi negara memberikan karpet merah kepada pekerja Asing. Semua demi investasi, meskipun negara harus digadaikan. Persoalan penggangguran yang dikeluhkan Sri Mulyani adalah janji kampanye 2019. Janji untuk menggaji pengangguran itu ternyata hanyalah sebuah jualan kampanye, dan basa basi saja. Tidak ada plan yang dibuat untuk menepati janji itu. Hanya ucapan pemanis kampanye saja. Sehingga ini masuk “karang-karang perkataan bohong” sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Mungkin kalau dicatat semua janji Jokowi, maka tidak cukup risalah pendek ini untuk menjelaskan tumpukan janji-janjinya, sehingga Sri Mulyani pun merasa mules perutnya. Hukuman Untuk Pembohong Indonesia perlu belajar pada Amerika Serikat tentang pemimpin yang berbohong. Rabu 19 Desember 1999, DPR Amerika Serikat atau The House of Representatives meminta Presiden Bill Clinton melepas jabatannya, karena skandal seksnya dengan Monica Lewinsky, yang kemudian dikenal dengan “Skandal Lewinsky”. Clinton dimakzulkan karena dianggap berbohong dalam kasus perselingkuhan itu. Apa yang dilakukan Clinton adalah hal yang sangat pribadi. Tetapi karena ia pemimpin, maka berbohong dengan hal sepele itupun diminta untuk dipertanggungjawabkan oleh Parlemen Amerika. Berbeda dengan Bill Clinton, Jokowi tidak hanya berjanji, tetapi juga tidak menepati janji itu. Kasarnya ini pembohongan publik. Janji yang diucapkan Jokowi adalah menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Janji itu tidak ditepati. Hasilnya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara bermasalah. Dalam hukum positif Indonesia, Pasal 378 KUHP yang menyatakan "barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan-karangan perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun." Pasal 378 KUHP itu dikaitkan dengan janji-janji Jokowi selama menjadi presiden sebagaimana yang diurai di atas, tentu patut diduga memenuhi unsur-unsur pasal tersebut. Apalagi kalau kita mengutip kata-kata Sri Mulyani yang menanyakan kesiapan Jokowi akan janji kampanyenya. Jawaban Jokowi yang secara enteng mengatakan “kampanye dulu, nanti dipikirkan”. Lebih celaka lagi, janji itu adalah janji yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Mengikat secara moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dalam pasal impeachment, hal tersebut termasuk dalam pelanggaran Berat. Pasal 7A UUD 1945 mengatur “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, bila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Perbuatan tercela menyangkut hal yang bersifat norma, moral dan etika fungsional terbuka. Perkembangan terbaru teori etik telah masuk pada etik fungsional terbuka, dimana pejabat publik harus mempertanggungjawabkan secara etik sebagai yang dijelaskan oleh TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam point bab II angka 2 jelas mensyaratkan “pemerintahan yang terbuka, bertanggungjawab, jujur, melayani dan lain-lain. Siap mundur apabila dirinya telah melanggar kaidah atau sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara” Dari rumusan TAP MPR itu, jelas bahwa tidak jujur, melanggar sistem nilai dan tidak mampu memenuhi amanah adalah merupakan perbuatan yang melanggar norma, kaidah dan nilai yang hidup dalam masyarakat. Karena sifat dan karakter seperti itu tidak mencirikan sifat dan karakter Pancasilais yang menjadi fundamen utama berbangsa dan bernegara. melihat antara janji dan realitas yang sesungguhnya sangat tidak sinkron. Banyak yang dijanjikan oleh Jokowi sebagaimana yang dituliskan ini yang tidak ada dalam realitas. Sehingga menjadi janji palsu yang jelas melanggar ketentuan norma dan kaidah berbangsa dan bernegara. Penulis adalah Praktisi Hukum dan Dosen Hukum, Sospol Univ. Muhammadiyah Jakarta