POLITIK

Panglima Tritura Sugengwaras Beri Ultimatum

by Sugengwaras Bandung FNN - Rabu (07/10). Malam itu, 5 Oktober 2020, tanpa hujan tanpa petir, telah menggelegar suara halilintar yang membahanakan di Syahkanya UU OMNIBUS LAW. Memang, bungkusnya sangat jitu dan menarik, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, yang memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan guna kelangsungan hidup kluarga Indonesia Namun setelah didalami, beberapa esensi pokok, menunjukkan kerugian martabat dan material bagi bangsa Indonesia Kini, rakyatmu bersusah payah mengadu nasib untuk memperjuangkan agar UU OMNIBUS law itu dicabut untuk disempurnakan secara layak bagi rakyat Indonesia Melalui video yang beredar, yang menurut saya sulit dikatakan rekayasa, saya sangat prihatin, pilu dan enas, melihat sikap, ucapan dan tindakan seorang tokoh nasional yang juga pimpinan rapat / sidang, apa lagi didampingi seorang tokoh sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang seharusnya membela, melindungi dan membesarkan hati rakyatnya, justru menghentikan dan menutup nurani rakyat, meskipun ada upaya mencegah, yang diwakili oleh seorang peserta rapat bernama Beny K Harman. Mendidih dada saya menyaksikan video itu Hati saya berkata, hebat betul kau melihat dan merasakan dirimu sendiri, yang merasa paling bisa dan paling kuasa ! Cocoknya orang macam kalian harus berhadapan dengan saya, SUGENGWARAS, untuk mendapatkan pelajaran yang bermanfaat Saya khawatir, kalian akan tertawa terbahak bahak, memperhatikan rakyatmu yang berjuang kelelahan, kepanasan dan kehausan, untuk sekedar ingin ada pengertianmu, agar tidak melanjutkan / memberlakukan UU yang kontroversial itu, yang kalian sudah bisa mengukur apa ending dari perjuangan itu Ada apa dan kenapa UU itu kalian sahkan dan umumkan saat rakyatmu tidur lelap? Tidak perlu saya utarakan, tapi aku bisa meraba apa yang jadi tujuan dan maksudmu Oleh karenanya saya MENGINGATKAN: Kepada saudara saudara yang terhormat, anggota dan pimpinan DPR RI. Agar RUU HIP / BPIP yang saat ini masih tertuang dalam Proglegnas, dicabut dan dibatalkan / hilangkan. Apabila, ternyata kelak terjadi menjadi UU seperti proses UU OMNIBUS LAW ini, saya SUGENGWARAS, akan Memimpin langsung, untuk menangkap hidup hidup dan memidanakan siapapun yang terlibat. Kepada TNI POLRI, juga saya menghimbau : 1. Kawal, lindungi, ayomi dan kendalikan para pengunjuk rasa, yang menuntut dibatalkannya UU OMNIBUS LAW, karena itu hak mereka yang dilindungi dan dijamin oleh undang undang 2. TNI POLRI, hendaknya tetap teguh sebagai bhayangkara negara, garda terdepan dan benteng terakhir bangsa Indonesia, tak terseret dalam alat kekuasaan semata, tapi terlebih sebagai alat negara Saya SUGENGWARAS, Panglima TRITURA, bersama seluruh rakyat yang sepaham, senantiasa mendukung kepada Pemerintah, TNI POLRI, yang bekerja dan bertugas susuai amanat Rakyat yang Bhineka Tunggal Ika, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Merdeka!!! Penulis adalah Panglima TRITURA, dan Pemerhati Pertahanan dan Keamanan NKRI.

Gatot Nurmantyo, KAMI, dan Bahaya Neo-Komunis

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Jumat (02/10). Tampaknya konflik horizontal bakal terjadi jika setiap agenda maupun deklarasi Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditolak oleh “massa bayaran”. Contohnya, kasus kericuhan Rabu sore, 30 September 2020, di TMP Kalibata. Saat acara ziarah dan tabur bunga purnawirawan TNI di kawasan Jakarta Selatan itu tengah berlangsung, ada aksi demo yang “menolak” dari sekelompok massa. Mereka diduga adalah massa bayaran yang bermaksud melakukan teror. Pantas jika aksi pelecehan seperti ini kemudian mendapat perlawanan dari ormas FKPPI dan purnawirawan berseragam TNI dari Kopassus, Marinir, dan Paskhas yang tergabung dalam Purnawirawan Pengawal Kedaulatan Negara (PPKN) tersebut. Pernyataan sikap sempat pula dibacakan Letjen TNI Mar (Purn) Suharto, mantan Komandan Korps Marinir ke-12 TNI AL, meski pernyataan itu nyaris dirampas Dandim Jakarta Selatan Kolonel Inf Ucu Yustia, namun gagal. Dalam ziarah dan tabur bunga itu juga dihadiri mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo yang juga Presidium KAMI. Gatot dan rombongan purnawirawan nyaris pula tak bisa masuk karena dihalangi Kolonel Ucu Yustia. Para purnawirawan TNI turun gunung melakukan aksi moral. Purnawirawan adalah hati dan cermin dari TNI aktif yang masih terikat oleh disiplin komando. Fenomena kegelisahan ini semestinya ditangkap dengan sepenuh jiwa karena kondisi ini tidak biasa. Wajar jika para purnawirawan TNI ini mendukung gerakan moral Gatot melalui KAMI. Ini karena mereka juga ikut merasakan kekhawatiran yang juga dirasakan Gatot terkait dengan indikasi munculnya bahaya PKI dan Neo-Komunis di Indonesia. Selain ulama, santri, dan aktivis Islam, maka TNI adalah sasaran PKI. Kepekaan elemen ini cukup tinggi terhadap ancaman bahaya PKI dan Komunisme. Oleh karenanya agenda ziarah dan tabur bunga pada 30 September 2020 menjadi sinyal dari kepekaan tersebut. Fenomena turun gunung para Purnawirawan TNI ini menjadi peristiwa politik yang menarik. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang bersedia menjadi salah satu Presidium KAMI adalah sebuah kejutan. KAMI, sebuah gerakan sangat kritis terhadap penyelenggaraan negara pimpinan Presiden Joko Widodo. Gatot tentu tidak sendirian, ada banyak barisan purnawirawan di belakangnya. Presiden seharusnya memahami perasaan old soldiers yang sedang mengunggah memori. Sejak Deklarasi pada 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi, kehadiran KAMI disambut antusias dan diminta untuk deklarasi di berbagai daerah. Lebih dari sebulan, dukungan untuk KAMI terus mengalir. Permintaan deklarasi tidak berhenti. Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, NTB, bahkan luar negeri. Dukungan provinsi dan kabupaten semakin rapat. Melihat perkembangan KAMI yang begitu masif, rupanya ada pihak yang khawatir, bahkan panik. Siapa yang panik? Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rosyid menyebut: penguasa. Jelas dan gamblang! “Biar ini jadi sarana komunikasi yang dialogis,” tulisnya. Ada pandangan yang berbeda antara KAMI dengan penguasa. “Penguasa bilang: negara ini sedang baik-baik saja. KAMI berpendapat: negara sedang sakit. Demokrasinya sakit, hukumnya sakit, ekonominya sakit, dan banyak penyakit lainnya,” lanjut Tony Rosyid. KAMI lahir bukan untuk “memusuhi” Presiden. Tapi, tuntutan tanggung jawab kebangsaan untuk membantu pemerintah menyelamatkan negeri dari berbagai masalah itu. Yang penting, pemerintah jujur, apa adanya, jangan ditutup-tutupi. Kedua, KAMI lahir sebagai gerakan moral. Tapi, penguasa menganggap itu gerakan politik. Bukan memperbaiki, tapi mau mengamputasi. Karena dianggap sebagai gerpol, maka KAMI perlu diantisipasi. Takutnya, gerakan ini akan melakukan upaya amputasi. Saat Deklarasi, di satu sisi, berkumpul, berorganisasi dan menyatakan pendapat itu hak yang dilindungi konstitusi. Namun, di sisi lain, menguatnya organisasi ini bisa jadi ancaman bagi penguasa yang sedang dililit masalah pandemi dan resesi ekonomi. KAMI, gerakan yang dipimpin oleh dua tokoh organisasi terbesar NU-Muhammadiyah, yaitu Prof Rachmat Wahab dan Prof Din Syamsudin, dan dibantu Gatot Nurmantyo dari militer, semakin hari semakin kuat karena semakin besarnya dukungan. Sementara penguasa semakin melemah karena pandemi Covid-19 yang tidak ditangani secara tepat membuat semakin sulit situasi ekonomi. Ekonomi, kini minus 5,32 mengarah ke resesi ekonomi berbuntut PHK, jumlah pengangguran dan orang miskin bertambah. Bicara demokrasi, teringat banyak kasus persekusi atas ulama dan ustadz maupun tokoh yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Bagi KAMI, ini masalah. Jadi, jangan pura-pura tidak ada masalah. Seperti persekusi pada Gatot Nurmantyo di Surabaya. Acara silaturhmi KAMI yang dihadiri Gatot, di Surabaya, Senin (28 September 2020) dibubarkan oleh polisi. Pembubaran diduga karena ada aksi penolakan dari sejumlah orang. Kejadian ini terekam dalam video singkat yang tersebar di media sosial. Acara Deklarasi KAMI Jawa Timur sedianya akan dilaksanakan di Gedung Juang DHD 45 JL. Mayjend Sungkono Surabaya. Semua persyaratan, pemberitahuaan dan bahkan standart protokol kesehatan terkait Covid-19 juga sudah dipenuhi. Pemberitahuaan pada Polda Jatim pun sudah disampaikan. Bahkan kepada Polsek Sawahan yang membawahi wilayah hukum Gedung Juang 45 pun sudah diberi pemberitahuaan. Ijin pemakaian dan kontrak gedung dari pengelola sudah dikantongi. Pada Minggu pagi, 27 September 2020, salah seorang panitia ditelpon Polisi, diminta untuk membatalkan acara tersebut. Namun, KAMI bergeming, mereka tetap fight acara tetap harus berlangsung sesuai rencana. Sebab, persiapan sudah matang. Semua kelengkapan persyaratan pun sudah dipenuhi. Gatot Nurmantyo dan Prof. Rachmat Wahab dari Presedium KAMI Pusat sudah memastikan diri hadir. Gatot berangkat dari Jakarta. Senin pagi, 28 September 2020 baru akan tiba di Surabaya. Sedangkan Prof Rachmat Wahab sudah berada di Jombang, sebab dia memang asli Jombang, keluarga Pondok Pesantren Tambak Beras. Karena menekan Panitia tidak berhasil, rupanya polisi beralih melakukan penekanan kepada Pengelola Gedung Juang 45. Minggu malamnya pengelola meminta ketemu Panitia. Mereka bercerita banyakbahwa mereka ditelpon bolak balik oleh Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya. “Kami diminta Polisi untuk tidak memfasilitasi acara ini,” kata seorang pengelola Gedung. Pihak pengelola Gedung tentu punya hak untuk membatalkan ijin yang telah mereka berikan sebelumnya. KAMI sangat bisa memahami alasan mereka. Jadi, Gedung Juang 45 sudah tidak bisa dipakai. Tapi secara informal, KAMI Jatim meminta ijin kepada Pengelola untuk memakai lapangan saja. Pihak Pengelola tidak menyampaikan penolakan, tapi juga tidak melarang. Mereka berujar, “Kami tidak mau ikut ambil resiko.” Karena segala persiapan sudah matang. Sebagian peserta dari Kabupaten/Kota yang jauh pun sudah ada yang berangkat, diputuskan acara Deklarasi KAMI Jatim tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Tempatnya di lapangan sekitar gedung tersebut. Semua peserta yang bertanya kepastian tempat tetap acara, diberi jawaban bahwa acara di (lapangan) Gedung Juang 45. Pada hari H, Senin pagi 28 September 2020, Gatot dan Prof Rachmat Wahab sudah sampai di Surabaya. Kemudian Panitia membawa mereka untuk transit di penginapan Jabal Nur JL. Jambangan. Karena Gatot dan Prof. Rachmat berada di Jabal Nur, maka sebagian Kiai, Habaib dan para tokoh yang sedianya langsung ke lokasi acara Gedung Juang, mereka pun singgah dulu ke Jabal Nur untuk bertemu Gatot dan Prof Rahmat. Setidaknya, ada sekitar 70 orang, dari total 150 tokoh yang diundang untuk ikut deklarasi. Sebagian langsung ke Gedung Juang 45, sebagaiannya mungkin berhalangan hadir. Di Jabal Nur, para undangan sarapan dan melakukan ramah tamah dengan gayeng. Saat ramah-tamah itulah mereka dapat informasi dari peserta yang berada di Gedung Juang 45, bahwa situasi di lokasi tidak memungkinkan mereka untuk datang. Ada massa pendemo yang entah dari mana. Polisi pun banyak di lokasi. Sebagian undangan yang mencoba untuk mendekat ke lokasi mendapatkan persekusi dari orang-orang yang tidak dikenal. Mendapat informasi seperti itu, Panitia berembug. Panitia putuskan tidak jadi melaksanakan acara di Gedung Juang 45. Gatot, Prof Rahmat, dan para tokoh yang sudah siap berangkat ke lokasi, dicegah. Panitia minta mereka semua untuk tetap di Jabal Nur saja. “Kita lanjut ramah tamah di sini saja, hingga makan siang nanti,” kata seorang Panitia. Acara informal. Namanya kedatangan orang Jakarta, apalagi tokoh seperti Presidium KAMI Gatot Nurmantyo dan Prof Rahmat, maka keduanya pun diminta untuk berbicara sekedar cerita-cerita ringan terkait situasi Bangsa, Covid-19 dan lain sebagainya. Setelah Prof Rachmat, giliran Gatot berbicara, terdengar suara bising di luar. Di luar ada sound system berkuatan besar diangkut satu truk dengan beberapa orang di atasnya. Mereka ini pendemo atas nama “Surabaya Adalah Kita”. Di saat Gatot sedang berbicara, tiba-tiba masuklah beberapa orang yang mengaku dari Polda Jatim. Tak seorang pun memakai seragam Polisi dan ketika dimintai surat tugas, mereka tidak bisa menunjukkannya. Tapi, Wakil Direktur Intelkam AKBP Iwan Surya Ananta langsung maju mendekati Gatot yang sedang bicara. Dia memaksa Gatot berhenti. Sesaat kemudian kawan-kawannya yang lain pun ikutan merangsek. “Ini bapak-bapak dari Kepolisian meminta saya berhenti bicara. Tidak apa-apa, mereka hanya menjalankan tugas,” kata Gatot dengan lembut. Kemudian Gatot pun mengakhiri bicaranya. Sempat akan terjadi perlawanan. Teriakan takbir pun sudah bertaluan, yang diselingi pekikan merdeka. Tapi, Gatot Nurmantyo dan beberapa tokoh lainnya berhasil mencegah. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Tak Terbayangkan Kalau Dulu PKI Menang dan Berkuasa

by Asyari Usman Jakarta FNN - Rabu (30/09). Masa-masa menjelang 30 September 1965, usia saya masih sekitar 8 tahun. Baru mau belajar sholat dan puasa. Alhamdulillah, waktu itu sudah bisa membaca ‘alif-alif’. Begitu dulu orang menyebut ‘iqra’ yang dikenal akhir-akhir ini. Tentu saja saya belum mengerti apa itu ‘komunis’ atau ‘komunisme’. Saya banyak mendengar orang dewasa yang menyebut-nyebut ‘PKI’. Tetapi, belum lagi paham dalam konteks apa ‘PKI’ itu dibicarakan. Tidak mengerti juga apa itu politik. Yang masih terngiang di telinga saya adalah slogan ‘ganyang PKI’. Terus, saya masih ingat tentang ‘lubang’ yang dibuat di halaman rumah. Di saming atau di depan. Umumnya lubang itu berbentuk huruf ‘L’. Semua rumah tangga di kampung wajib memilikinya. Tidak ada penjelasan yang tegas tentang mengapa lubang-lubang itu harus dibuat. Ada yang mengatakan, lubang itu akan digunakan bila ada serangan udara dari Malaysia. Waktu itu, sedang top pula ‘ganyang Malaysia’. Yaitu, konfrosntasi yang dikobarkan oleh Presiden Soekarno. Serangan dari Malaysia sangat masuk akal sebagai penjelasan tentang lubang-lubang itu. Sebab, kebetulan pula kampung kami berada tak jauh dari pantai Selat Melaka. Jadi, bila ada serangan udara, penduduk langsung berlindung di dalam lubang. Terasa pas juga penjelasan ini. Ternyata, bertahun-tahun setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, barulah diperoleh jawaban yang ‘akurat’ mengenai peruntukan lubang-lubang tsb. Yaitu, kata warga yang lebih paham tentang gerakan PKI, untuk menguburkan mayat-mayat penduduk yang bakal dibantai oleh orang-orang PKI. Waktu itu. Penjelasan ini jauh lebih masuk akal. Itu pun setelah terjadi peristiwa pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira menengah TNI pada dini hari 30 September 1965. Yang disusul dengan pengejaran terhadap orang-orang PKI yang melakukan perbuatan makar itu. Ketahuanlah kegunaan lubang-lubang yang digali di halaman rumah-rumah penduduk itu. Bahwa, jika PKI yang menjadi kuat dan di atas angin, maka mayat-mayat warga kaum muslimin akan dimasukkan ke lubang yang digali sendiri oleh mereka. Ketika itu, perangkat pemerintahan desa tidak tahu lubang itu untuk apa. Mereka juga diperintahkan atasan agar memerintahkan warga menggali lubang di halaman rumah masing-masing. Perhatikan! PKI bisa menginfiltrasi kekuasaan. Mereka bisa mengatur agar pemerintah menginstruksikan rakyat untuk menggali lubang yang akan digunakan untuk menguburkan mayat yang menggali lubang itu sendiri. Alhamdulillah, PKI digagalkan oleh Allah SWT. Berkat doa umat dan para ulama, ustad, dan para kiyai, akhirnya rakyat bersama ABRI (TNI) berhasil menghentikan makar PKI. Rakyat dan tentara melakukan penumpasan. Para pengkhianat bangsa dengan lambang palu-arit itu pun tak berkutik. Tak terbayangkan kalau PKI menang dalam pemberontakan 30 September 1965 itu. Andaikata mereka berhasil merebut kekuasaan, tentu umat Islam akan dijadikan sasaran utama. Agama pastilah akan dikekang dan kemudian dilenyapkan. Mungkinkah mereka melakukan itu? Sangat mungkin. Sebab, begitu PKI berkuasa pada 1965 itu, maka hampir pasti pemerintahan yang dikuasai komunis akan meminta bantuan dari RRT (RRC). Poros Djakarta-Peking telah terbangun waktu itu. Peking (Beijing) pasti melakukan apa saja untuk mendukung kekuasaan PKI. Sekali lagi, Alhamdulillah. Kita terhindar dari kemenangan PKI pada 30 September 1965. Betapa seramnya jika mereka yang berkuasa. Mari kita ceritakan kepada anak-anak generasi muda. Agar mereka paham tentang makar PKI yang bertujuan untuk melenyapkan agama, khususnya agama Islam, dari bumi Inonesia. Kita wajib menceritakan ini karena ada pertanda yang kuat dan jelas bahwa komunisme gaya baru (neo-komunisme) dan PKI gaya baru (neo-PKI) ingin bangkit dan berperan kembali. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Presiden Utamakan Kesehatan dan Keselamatan Rakyat?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (29/09). Presiden Joko Widodo alias Jokowi menegaskan, pemerintah mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat dalam penanganan Covid-19. Pemerintah terus berupaya menjaga yang sehat agar tidak terpapar Virus Corona. “Saya ingin kembali menegaskan bagi pemerintah, kesehatan rakyat dan keselamatan umat adalah yang utama. Bagi yang sehat kita jaga agar tidak terpapar. Bagi yang sudah terpapar, kita berupaya segera untuk bisa kita sembuhkan,” katanya. Hal itu disampaikan Presiden Jokowi saat membuka Muktamar PP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) di Istana Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/9/2020). Jokowi bersyukur, angka kesembuhan masyarakat tinggi per 25 September lalu. Pemerintah, kata dia, terus berupaya meningkatkan angka kesembuhan. “Alhamdulillah per 25 September, angka kesembuhan kita mencapai 196 ribu orang dengan tingkat kesembuhan 73,5%. Ini semakin meningkat. Alhamdulillah dan akan terus kita tingkatkan,” ucapnya. Mantan Wali Kota Solo itu mengajak masyarakat Indonesia tidak menyerah menghadapi pandemi Covid-19 ini. Dia juga mengajak agar masyarakat saling membantu saat kesulitan. “Kita tidak boleh menyerah, kita harus berikhtiar sekuat tenaga pengendalian Covid-19 sekaligus membantu saudara-saudara kita agar tidak semakin terpuruk karena kesulitan ekonomi,” pungkasnya. Menurut Jokowi, perlu kekompakan bersama dalam menghadapi Covid-19. Menurutnya, persoalan ini terlalu besar untuk diselesaikan pemerintah sendirian. “Kita harus bersatu, satu tekat, satu semangat, satu barisan dalam menghadapi situasi yang sulit ini,” ucapnya. Jokowi berharap, seluruh kader Parmusi di seluruh tanah air bergandengan tangan dengan seluruh elemen bangsa yang lain. Kemudian, menjadi garda terdepan untuk melindungi diri sendiri, melindungi kesehatan umat, keselamatan rakyat, serta bangsa dan negara. “Sehingga kita bisa segera pulih dan bangkit kembali,” kata Presiden Jokowi, seperti dilansir Liputan6.com, Sabtu (26 September 2020). Dia menambahkan, dalam mencegah penyebaran Covid, tidak ada jalan lain selain disiplin menjalankan protokol kesehatan. Serta disiplin menjalankan kebiasaan-kebiasaan baru yang aman dari Covid saat di dalam rumah bersama keluarga maupun ketika di luar. Bahaya Pilkada Sayangnya dalam Muktamar PP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) di Istana Bogor tersebut, Presiden Jokowi tidak menyinggung soal mengapa Pemerintah tetap melaksanakan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember 2010 mendatang. Rapat bersama antara Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sepakat tidak ada penundaan Pilkada serentak 2020. Pilkada tetap akan dilaksanakan pada Rabu, 9 Desember 2020. Hal ini mengabaikan masukan dari masyarakat. Sebelum keputusan diambil, penolakan telah datang dari berbagai pihak. Seperti dari Muhammadiyah dan NU yang menyatakan sikap. Juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk serius mengatasi pandemi Covid-19. Menyarankan agar Pilkada Serentak 2020 ditunda dulu. Sepertinya, sikap dua Ormas Islam itu tak menjadi pertimbangan dalam memutuskan pilkada dilanjut atau tidak. Selain dua ormas Islam itu, ada Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Perludem dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang juga menyarankan supaya Pilkada 2020 ditunda. Alasanya, karena pandemi Covid-19 semakin meningkat dan penyebarannya sudah semakin mengkhawatirkan. Pergerakan Covid-19 demikian dahsyat. Hingga Menteri Agama Fachrul Razi dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo positif terpapar. Bahkan, Komisioner KPU sendiri sudah ada yang dinyatakan positif Covid-19. Penyebaran di berbagai daerah juga menunjukan angka yang signifikan. Sebagian besar daerah digambarkan laju penyebaran Covid-19 yang meningkat. Belum lagi seperti yang dikatakan ketua KPU Arief Budiman. Setidaknya, sebanyak 37 Bakal Calon Kepala Daerah positif Covid-19. Ini persoaan serius yang harus mendapatkan perhatian Presiden Jokowi. Sebab keselamatan warga negara terancam. Ahmad Yani, Dosen FH dan FISIP UMJ menyebutkan, sementara pilkada yang merupakan pesta demokrasi tetap digelar. “Yang namanya pesta, mau tidak mau orang akan tetap berkumpul ramai dan ini mempercepat laju penyebaran Covid-19,” katanya. “Secara hukum, opsi penundaan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,” ungkap Ahmad Yani, seperti dilansir fnn.co.id, Rabu (23 September 2020). Pasal 201A ayat (3) memberikan opsi bahwa apabila bencana non alam (Pandemi Covid-19) belum berakhir, Pilkada bisa ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam berakhir. Payung hukum penundaan jelas sebagai acuan pemerintah. Menurut Ahman Yani, selain itu, Pilkada dalam situasi pendemi Covid-19 bisa berakibat kurangnya pengawasan Tahapan Pelaksanaan Pilkada. Ini menyebabkan semakin tertutupnya proses pelaksanaan. Karena itu, dalam menghadapi situasi demikian, sudah menjadi kaidah hukum bahwa setiap keputusan harus didasarkan pada akuntabilitas dan transparansi. Tanpa itu, akan melahirkan proses demokrasi yang lebih condong pada kepentingan oligarki dan dinasti kekuasaan. Pilkada hanya untuk mengejar kekuasaan semata. Akibatnya, banyak tanggapan yang bermunculan. Termasuk Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut pilkada itu dibiayai 82% oleh cukong. Angka itu memperlihatkan ada kepentingan besar oligarki dan korporasi memegang kendali dalam demokrasi. Wartawan Senior Hersubeno Arief menyebut, sulit untuk menafikan, keputusan pemerintah tetap menggelar Pilkada di tengah pandemi, sarat dengan kepentingan politik. Yakni, mulai dari kepentingan politik pribadi, keluarga, kelompok, maupun golongan. “Kepentingan ekonomi para elit politik tingkat nasional, lokal, dan kepentingan para pemilik modal picik, licik, tamak dan culas,” ungkap Hersu dalam tulisannya, “Hoorreeee… Pilkada 2020 Ditunda, Kecuali Solo dan Medan” di fnn.co.id, Selasa (22 September 2020). Karena anak (Gibran Rakabuming) dan menantu (Bobby Nasution) ikut berlaga pada Pilkada Kota Solo dan Kota Medan, sangat sulit untuk membantah, Jokowi dan keluarga, mempunyai kepentingan langsung agar Pilkada tetap dilaksanakan. Bagi Jokowi, ini momentum paling pas menjaga dan memastikan anak dan menantunya yang miskin pengalaman politik, miskin kapasitas, dan kapabilitas untuk terpilih. Nasib Gibran dan Bobby Nasution tidak semata bergantung pada garis tangan. Tapi yang paling penting adalah "campur tangan". Mumpung Jokowi masih menjadi Presiden. Mumpung masih punya pengaruh besar mengendalikan parpol dan organ-organ kekuasaan. “Semuanya itu erat kaitannya dengan bisnis pengaruh,” tulis Hersu. Bahasa kerennya, business of influence. Jika harus ditunda, momentum akan lewat. Dengan pandemi yang semakin tidak terkendali. Covid mulai menggigit elit. Mulai dari menteri, Ketua KPU, wakil gubernur, walikota, bupati, dan rektor perguruan tinggi. Perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia hingga Minggu, 27 September 2020, rata-rata mencapai 22,46% sedikit lebih rendah jika dibandingkan kasus aktif dunia yang mencapai 23,13%. Untuk itu, Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas Persiapan Pelaksanaan Vaksin Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional via video conference pada Senin, 28 September 2020, menyerukan seluruh jajarannya untuk bergerak cepat agar kasus aktif di Indonesia dapat terus menurun. Presiden Jokowi juga mengingatkan kembali mengenai intervensi berbasis lokal dan rencana vaksinasi. Reaksi keras datang dari seorang netizen, "Gendeng.... WHO belum memberikan satu pun rekomendasi vaksin Covid-19... Lhaaa kok Presiden RI sudah minta rencana rinci suntikan vaksin... Ini yang bohong China atau Pemerintah Indonesia sendiri soal Vaksin Sinovac mendapat restu WHO...," tulis Netizen Mila Machmudah Djamhari. Wartawan senior Asyari Usman mengungkap, banyak yang mungkin belum paham mengapa Jokowi tidak begitu peduli dengan amuk Covid-19 pada Pilkada 2020. Itu semua disebabkan Gibran di Solo dan Bobby di Medan yang ikut Pilkada 2020. Inilah taruhan yang sangat besar bagi Jokowi. Bebannya tidak ringan. Kedua calon itu ‘wajib’ jadi. Tidak ada kamus kalah. Jadi, ini yang membuat Jokowi lebih mementingkan Gibran dan Bobby dibandingkan amuk virus Corona. Hingga kini, Jokowi tak menggubris imbauan banyak pihak agar Pilkada 2020 di 270 daerah ditunda. Para pakar kesehatan dan epidemiologi sangat mengkhawatirkan kemunculan ribuan ‘cluster’ baru dari kegiatan pilkada. Artinya, Presiden Jokowi itu lebih mementingkan kesehatan dan keselamatan politik keluarga ketimbang rakyat! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Tak Peduli Covid-19, Yang Penting Gibran dan Bobby Menjadi Walikota

by Asyari Usman Jakarta FNN – Ahad (27/09).Banyak yang mungkin belum paham mengapa Jokowi tidak begitu perduli dengan amukan Covid-19 di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Itu semua disebabkan Gibran di Solo dan Bobby di Medan. Anak dan menantu Jokowi ini ikut Pilwalkot pada 9 Desember nanti. Inilah taruhan yang sangat besar bagi Jokowi. Bebannya tidak ringan. Kedua calon itu “wajibjadi”. Tidak ada kamus untuk kalah. Jadi, inilah yang membuat Jokowi lebih mementingkan Gibran dan Bobby dibandingkan amukan virus Corona. Hingga saat ini, Jokowi tak menggubris imbauan banyak pihak agar Pilkada serentak 2020 di 270 daerah ditunda dulu. Para pakar kesehatan dan epidemiologi sangat mengkhawatirkan kemunculan ribuan “cluster” baru dari kegiatan Pilkada nanti. Jabatan walikota untuk Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution jauh lebih penting di mata Jokowi. Ke sinilah perhatian penuh itu ditumpahkan. Sebanyak mungkin tokoh berkaliber dari semua parpol, dikerahkan. Siang dan malam. Non-stop 24 jam untuk anak dan menantu. Ancaman untuk dipermalukan di kedua Pilwalkot itu sangat tinggi. Rakyat Solo dan Medan akan menjadi “unpredictable” (tak terpetakan). Warga di kedua kota ini akan berjuang keras untuk menentang kesewenangan demokrasi. Di Medan, warga kelihatan tenang-tenang saja. Namun, mereka siap menolak Bobby. Ini yang saya simpulkan sesuai observasi dari dekat selama ini. Barangkali, itulah yang membuat Jokowi tak bisa tidur. Apalagi, cara Jokowi memuluskan pencalonan anak dan menantunya itu meninggalkan korban perasaan kelas berat. Di Solo, mantan Wakil Walikota Achmad Purnomo dipaksa menyingkir demi Gibran. Purnomo menunjukkan perlawanan gaya Solo. Dia tak sudi ikut dalam tim pemenangan Gibran. Tamparan keras bagi Jokowi dan PDIP. Sedanghkan di Medan, mantan Wakil Walikota Akhyar Nasution dipecat oleh pimpinan PDIP karena tidak mau memberikan jalan untuk Bobby Nasution. Melawan lebih keras dari Purnomo, Akhyar malah maju sebagai calon walikota dengan dukungan PKS dan Partai Demokrat. Dua tindakan “demokratis yang otoriter” ini, sekarang, menumbuhkan tekad perlawanan akar rumput di Solo dan Medan. Gerbong pendukung setia Achmad Purnomo sangat besar. Mereka kecewa habis. Marah melihat kesewenangan yang sangat melecehkan warga Solo itu. Begitu pula dengan penyingkiran Akhyar Nasution. Dengan cara sesuka hati oleh Megawati. Ini membulatkan tekad warga Medan untuk memenangkan Akhyar nanti. Tim Jokowi sudah melihat jelas gelagat kekalahan anak dan menantunya itu. Itulah sebabnya sekarang disusun satgas pemenangan yang seolah lebih penting dari Satgas Covid-19. Diturunkan nama-nama beken nasional. Semua ikut. Bahkan ada nama Megawati dan Puan di tim Gibran. Untuk Bobby di Medan, ada nama Sandiaga Uno. Mungkinkah itu efektif dan bisa membuat keduanya menang? Nanti dulu bung! Medan sangat labil bagi Bobby sejauh ini. Bobby memang sudah lama mencoba masuk ke akar rumput. Dia dibantu oleh semua orang penting di kota ini. Tetapi, warga kota Medan sangat piawai. So elegant! Warga kota Medan tidak ribut. Mereka akan menunjukkan perlawanan terhadap kesewenangan yang mengatasnamakan demokrasi itu di TPS, 9 Desember 2020. Djarot Saiful Hidayat (PDIP) pernah merasakan “humiliation” telak di Pilgub Sumut pada 2018. Warga Solo pun bermain cantik. Gibran bisa dipermalukan oleh Bagyo Wahyono yang maju dari jalur independen. Lihat saja reaksi publik Solo. Dalam waktu relatif singkat bisa terkumpul 38,000 dukungan untuk Bagyo Wahyono. Sangat militan. Akan tetapi, ada tapinya. Akhyar Nasution dan Bagyo Wahyono bisa gigit jari juga. Sebab, Bobby dan Gibran boleh jadi “sudah ditakdirkan menang” jauh sebelum pencoblosan berlangsung Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Hoorreeee... Pilkada 2020 Ditunda, Kecuali Solo dan Medan

by Hersubeno Arief Jakarta FNN- Selasa (22/09). Jangan terlalu serius dulu. Pengumuman itu hanya joke. Bahan candaan yang dikirim seorang purnawirawan perwira tinggi TNI. Meme-nya juga sudah beredar di medsos. Sang purnawirawan memberi saran, jika ingin Pilkada serentak ditunda, maka usulkanlah kepada Presiden dengan pengecualian. Pilkada Solo dan Medan boleh jalan terus. Dijamin usulan itu akan langsung diterima Jokowi. Ya ada win-win solution. Rakyat happy, Jokowi lebih happy lagi. Ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, juga KAMI tak perlu marah-marah, kesal dan kehilangan muka. Sebab usulan para ormas besar agar Pilkada serentak ditunda didengar Presiden. Marwah dan kehormatan sebagai organisasi besar di depan umat tetap terjaga. Presiden juga bisa dengan riang gembira menyambutnya. Kepentingan politiknya menjaga hubungan baik dengan rakyat dan umat tetap terjaga. Satu masalah besar terselesaikan. Tak perlu menambah masalah baru, di tengah kebingungan pemerintah mengambil keputusan, apakah mendahulukan kesehatan atau ekonomi. Guyon, dan bercanda. Jangan terlalu serius adalah resep paling mujarab untuk meningkatkan kekebalan tubuh di tengah pandemi. So sekali lagi, jangan terlalu serius setiap kali mendengar pengumuman pemerintah, wabil khusus yang dari Presiden Jokowi. Ketika Presiden Jokowi menyatakan perang melawan Covid. Ketika Presiden marah-marah kepada para menteri. Mau membubarkan lembaga, dan reshufle kabinet. Ketika Presiden Jokowi menyatakan akan mengutamakan kesehatan di atas ekonomi, juga tidak terlalu serius-serius amat kok. Mengapa kita harus serius? Memangnya siapa yang jadi Presiden? Siapa yang bakal paling disalahkan? Dimintai pertanggung-jawaban bila terjadi apa-apa pada bangsa ini? Dalam budaya Jawa yang penuh pasemon (sindiran halus), guyon-guyon parikeno, alias bercanda sambil menyindir telak, jadi formula yang pas untuk kondisi Indonesia saat ini. Saat pemerintah alergi dengan kritik. Saat kritik bakal dibully oleh buzzer. Saat kritik bisa berujung dilaporkan ke polisi dan berakhir di bui. Jangan terlalu serius. Perbanyak bercandalah. Tak perlu khawatir bakal terkena undang-undang ITE yang sering dipakai untuk menekan lawan politik yang oposisi kepada penguasa. Kalau menggunakan pasemon atau guyon-guyon perikeno, pesan tetap tersampaikan. Apakah saran lewat sindiran itu diterima dan dilaksanakan, itu soal lain. Bukan urusan kita lagi. Sarat kepentingan Sulit untuk menafikan, keputusan pemerintah tetap menggelar Pilkada di tengah pandemi, sarat dengan kepentingan. Mulai dari kepentingan politik pribadi, keluarga, kelompok, maupun golongan. Kepentingan ekonomi para elit politik tingkat nasional, lokal, dan kepentingan para pemilik modal picik, licik, tamak dan culas. Karena anak dan menantu ikut berlaga di Pilkada Walikota Solo dan Medan, sangat sulit untuk membantah, Jokowi dan keluarga, punya kepentingan langsung agar Pilkada tetap dilaksanakan. Ini momentum paling pas menjaga dan memastikan anak dan menantunya yang miskin pengalaman politik, miskin kapasitas dan kapabilitas untuk terpilih. Nasib Gibran di Solo dan Bobby Nasution di Medan tidak semata bergantung pada garis tangan. Tapi yang paling penting, campur tangan. Mumpung Jokowi masih menjadi Presiden. Mumpung masih punya pengaruh besar mengendalikan parpol dan organ-organ kekuasaan. Semuanya itu erat kaitannya dengan bisnis pengaruh. Bahasa kerennya, business of influence. Jika harus ditunda, momentum akan lewat. Dengan pandemi yang kian tak terkendali. Covid mulai menggigit elit. Mulai dari menteri, Ketua KPU, wakil gubernur, walikota, bupati, dan rektor perguruan tinggi, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pilkada memang beda dengan Pilkades. Mendagri Tito Karnavian dengan mudahnya mengumumkan semua Pilkades ditunda. Pilkada tidak. Di Pilkades tidak ada cukong politik picik, licik, tamak dan culas yang punya kepentingan. Paling banter pensiunan lurah. Kalau di Jawa disebut sebagai lurah dongkol, yang punya kepentingan. Di Pilkada, wabil khusus Pilkada serentak kali ini, banyak sekali kepentingan yang berkelindan. Sekarang atau tidak sama sekali ya Pak Jokowi? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Mereka Ingin Sekali Anies Baswedan Jatuh Lewat Kekacauan Covid-19

by Asyari Usman Jakarta FNN - Rabu (17/09). Mengapa sejumlah menteri dan buzzer bayaran menyerang habis tindakan Gubernur DKI Anies Baswedan memberlakukan kembali PSBB? Hanya ada satu jawaban yang logis: bahwa reputasi Anies lebih mudah dijatuhkan lewat kekacauan akibat wabah Covid-19. Para penguasa dan buzzer bayaran menunggu-nunggu blunder Anies dalam melindungi rakyat Jakarta. Mereka punya ‘harapan dengki’ agar penularan Covid di DKI tak terkendali dan banyak korban nyawa. Dengan begini, mereka semakin mudah menyulut sentimen atau opini publik. Mereka akan mengatakan bahwa Anies tidak punya kompetensi menjadi gubernur. Itulah yang mereka inginkan. Tetapi, Anies paham betul angan-angan mereka itu. Dia tidak buang-buang waktu. PSBB baru adalah jawaban yang tepat untuk menekan penyebaran virus. Tidak ada cara lain. Di mana pun di dunia ini, pembatasan aktivitas publik dan edukasi perlindungan diri adalah tindakan yang selalu diambil. Nah, para penguasa dan buzzer sudah membaca itu. Anies, insyaAllah, akan berhasil menekan penularan Covid lewat PSBB. Mereka tidak ingin Anies sukses. Kemauan mereka, Jakarta akan mengalamai kekacauan besar. Korban nyawa belasan ribu. Fasilitas kesehatan kucar-kacir di mana-mana. Korban nyawa petugas medis bertambah banyak, dlsb. Itu yang mereka dambakan. Situasi Covid menjadi tak terkendali. Sehingga, semua telunjuk akan mengarah ke Anies. Dia menjadi terpojok. Demoralized. Hancur berantakan. Sampai akhirnya, menurut nafsu para penguasa dan buzzer yang membenci Anies, Pak Gubernur yang smart ini akan mengambil ‘jalan pintas’. Kemudian Anies, secara ‘gentleman’, akan menyatakan dirinya tak sanggup melanjutkan mandat sebagai gubernur. Tercapailah angan-angan para penguasa dan buzzer bayaran. Sayangnya, angan-angan kosong itu baru bisa terjadi kalau Anies ragu-ragu memberlakukan PSBB kembali. Kalau Anies mengikuti ‘keinginan politis’ Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Dan kalau Anies mengikuti ‘keinginan jahat’ para buzzer bayaran itu. Alhamdulillah, Anies paham betul. Dan dia tegas. Airlangga tidak bisa mengatur Anies. Para buzzer juga hanya bisa gigit jari dalam ketololan mereka. Menko Airlangga berpendapat dampak ekonomi-bisnis akibat PSBB Jakarta akan besar. Airlangga lupa bahwa perekonomian Indonesia memang sudah bermasalah sebelum Corona masuk ke sini. Dia menyebut harga saham IHSG merosot 5%. Tapi, kenyataannya indeks saham kembali pulih, empat hari berikutnya. Bouncing back ke posisi di atas 5,000. Tidak ada masalah dengan PSBB. IHSG turun ibarat daun putri malu yang menguncup ketika tersenggol sedikit. Setelah itu, kembali normal. Dan, memang begitulah karakteristik investasi portofolio (portfolio investment). Para pedagang saham di mana pun juga selalu khawatir ketika ada kebijakan yang menyangkut ‘movement’ orang banyak. Namun, khusus terhadap manajemen Covid-19 di Jakarta, para pemain saham (domestik dan internasional) ternyata menaruh kepercayaan pada ‘leadership’ yang diperlihatkan oleh Anies. Bahwa mereka ‘tersengat’ sedikit akibat pemberlakuan PSBB tentu sangat wajar. Sejumlah menteri dan para buzzer bayaran seratus persen bermisi politik ketika mengomentari PSBB yang diaktifkan kembali oleh Gubernur. Mereka sadar gangguan ekonomi tidak akan bisa menjatuhkan reputasi Anies. Sebab, resesi ekonomi adalah dampak global Covid-19 yang melanda semua negara di dunia. Rakyat paham kesulitan ekonomi bukan hanya melanda Indonesia. Tapi, seluruh dunia. Sekali lagi, para penguasa dan buzzer bayaran berusaha agar PSBB tidak diterapkan. Supaya amuk Corona semakin menjadi-jadi. Dan Anies bertekuk lutut. Mereka berdoa agar Mr Goodbener akan sama dungunya dengan mereka. Mereka pikir Anies terpengaruh oleh momok ekonomi yang mereka lantunkan dengan keras itu. Mereka sangka Pak Gub akan mundur dari PSBB dan mereka senang korban nyawa banyak. Mereka ingin sekali Anies Baswedan jatuh lewat kekacauan Covid-19.[] Penulis wartawan senior fnn.co.id

Demokrasi: Dari Cukong, Oleh Cukong, Untuk Cukong!

Kredo demokrasi, "Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, tampaknya perlu segera direvisi lagi". by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (12/09). Khusus untuk Indonesia, harus segera diubah. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Yang lebih tepat: Dari Cukong, Oleh Cukong, Untuk Cukong! Kredo itu lebih sesuai, pas dengan realitas, fakta, dan data praktik rezim pemilu langsung yang kini tengah diterapkan di Indonesia. Menko Polhukam Mahfud MD dalam Webinar dengan pusat studi Pusako FH Universitas Andalas, Padang (11/9) mengungkapkan 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong. Akibatnya sudah bisa diduga. Ketika terpilih muncullah korupsi kebijakan. Sebuah modus korupsi yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan korupsi uang. "Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi uang. Kalau uang bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang yang sesudah saya periksa itu tumpang-tindih," kata Mahfud. Dari sisi UU, pemberian lisensi itu legal. Karena seorang kepala daerah boleh memberi konsensi tambang kepada pengusaha dengan memperhitungkan prosentase luas wilayah. Pada praktiknya, kata Mahfud, lisensi itu diberikan lebih luas dari yang seharusnya. Bahkan tak sedikit kepala daerah juga berinisiatif membuka izin baru bagi para cukong yang pernah membantu membiayai masa kampanye ketika Pilkada sebelumnya. Entah mendapat data dari mana, sehingga Mahfud MD bisa menyebut angka pasti 92 persen? Tetapi apa yang disampaikan Mahfud dijamin sahih. Mungkin kalau ada yang meleset, hanya pada jumlah presentasenya. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mengungkapkan data yang tak jauh berbeda. Dari sebuah riset yang dilakukan oleh KPK, 82 calon kepala daerah dibiayai oleh cukong dan sponsor. Dari situlah korupsi berpangkal. Para cukong ini tidak memberikan dana secara gratis. Seperti perjanjian dengan setan. Perjanjian orang yang mencari pesugihan, kekayaan di tempat-tempat keramat! Untuk daerah yang memiliki potensi tambang, atau hutan mereka meminta imbal balik konsesi. Mulailah mereka menjarah habis tambang dan hutan. Untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam (SDA) mereka mengincar berbagai kebijakan berupa kemudahan dan proteksi bisnis. Sementara daerah yang tidak punya SDA, secara bisnis juga tidak potensial, para cukong ini mengincar proyek-proyek APBD. Ini level korupsi yang paling kere. Tapi tetap saja setimpal hasilnya. Para cukong inilah yang akan membiayai semua keperluan kandidat. Mulai dari membayar tiket ke parpol, membayar lembaga survei, media dan iklan media, buzzer, pembuatan atribut, pengerahan massa, membayar aparat negara, sampai money politics. Dalam banyak kasus, para cukong ini membentuk konsorsium. Mereka menjadi investor politik. Sebuah bisnis dengan keuntungan berkali lipat! Biasanya tahapanya dimulai dengan menyewa lembaga survei untuk mendeteksi siapa kandidat yang paling potensial. Dengan berbekal peta kekuatan kandidat, para cukong mulai mendekati kandidat. Terciptalah kerjasama saling menguntungkan, berbuntut memainkan kebijakan. Menguras, menghancurkan SDA dan menggarong anggaran negara. Berapa besar dana yang dikeluarkan untuk seorang kandidat kepala daerah? Berdasarkan data dari Kemendagri untuk bupati paling sedikit Rp 25 miliar. Itu untuk daerah miskin. Semakin besar wilayah dan jumlah penduduknya, semakin besar biayanya. Angkanya mencapai ratusan miliar. “Untuk pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” kata Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar (03/12/2019). Pilpres jauh lebih besar Kalau untuk maju sebagai kanidat kepala daerah saja butuh dana sampai triliunan, berapa besar dana untuk capres? Angkanya jelas berkali lipat. Dipastikan tidak ada seorang caprespun yang bisa membiayai dirinya sendiri. Seorang peneliti dari sebuah lembaga survei pernah menyebutkan, setidaknya dibutuhkan Rp 7 triliun. Jumlah itu sangat kecil. Sangat konservatif. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Sebagai gambaran saja, pada pilpres 2019 jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 10.329. Kalau rata-rata ada dua saksi, dengan biaya saksi plus makan minum Rp 500 ribu, maka setidaknya membutuhkan dana Rp 405 miliar. Belum lagi biaya untuk parpol, membeli media dan iklan, pengerahan masa, transport keliling Indonesia, pengerahan massa, money politics, dan biaya-biaya lain yang lebih kompleks, ruwet dan mahal dibanding pilkada. Jangan pernah percaya dengan biaya kampanye yang dilaporkan tim sukses ke KPU. Kendati katanya sudah melalui audit akuntan publik, tapi semua itu hanya boong-boongan. Bayar mahar ke parpol, money politics, pengerahan aparat keamanan dll, pasti tidak pernah dilaporkan. Apakah kandidat membiayai sendiri? Tentu saja TIDAK! Pada Pilpres 2019 Tim Kampanye Prabowo-Sandi melaporkan jumlah penerimaan dana kampanye sebesar Rp 191,5 miliar. Dana Kampanye Prabowo-Sandi sebagian besar berasal dari Cawapres Sandiaga Uno. Total sumbangan Sandi Rp116 miliar atau 61 persen dari angka keseluruhan dana kampanye. Sedangkan Prabowo memberi sumbangan Rp71,4 miliar atau 34 persen dari total keseluruhan. Sementara Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf pada 5 Maret 2019 melaporkan penerimaan dana kampanye sebesar Rp 130, 45 miliar. Dana itu berasal dari sumbangan perorangan, badan usaha, sumbangan dari parpol Dll. Tidak disebutkan adanya sumbangan dari Jokowi dan Ma’ruf. Itu hanya laporan di atas kertas. Biaya kandidat jauh lebih besar. Puluhan triliun. Di situlah para cukong berperan. Mereka membentuk konsorsium dari kalangan taipan yang telah menjelma menjadi oligarki. Mereka kemudian mengendalikan kebijakan politik, ekonomi dan hukum negara. Jejaring dan kuku tajam mereka telah menancap kuat tidak hanya di kalangan eksekutif, yudikatif, para penegak hukum, dan eksekutif. Ketua MPR Bambang Soesatyo secara terbuka pernah mengakui. Dengan bermodal Rp 1 triliun, cukong bisa menguasai Parpol. Artinya mereka bisa menguasai parlemen dan pemerintahan. Kalau begitu dengan menggunakan pisau analisa Mahfud MD, berapa persen kandidat capres yang dibiayai cukong? Jawabannya 100 persen! Tapi kalau mau konservatif, dengan asumsi hanya ada dua pasang capres seperti pada Pilpres 2019, maka setidaknya 50 persen! Cuma harus dicatat. Di kalangan pebisnis, apalagi investor politik ada adagium “Jangan pernah menaruh semua telur dalam satu keranjang.” Dengan kandidat hanya dua calon, buat mereka lebih mudah membagi telurnya dalam dua keranjang. Hanya jumlah dan besarnya saja yang berbeda-beda. Tinggal baku atur. Siapapun yang menang, para cukong akan tetap berkuasa. Demokrasi Indonesia: DARI CUKONG, OLEH CUKONG, UNTUK CUKONG! MERDEKAAAAA!! End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

KAMI Justru Ditakuti Karena Gerakan Moral Itu

by Asyari Usman Medan FNN - Senin (07/09). Sangat mengherankan. Pihak hotel di Bandung membatalkan secara sepihak penggunaan ruangan yang disewa untuk acara deklarasi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) Jawa Barat. Seharusnya berlangsung hari Senin (7/9/2020). Acara kemudian dipindahkan ke rumah salah seorang aktivis KAMI setempat. Hotel setempat membatalkan penggunaan fasilitas ruangan karena rekomendasi Satgas Covid-19 dicabut kembali. Semula Satgas mengizinkannya. Tapi, kemarin (6/9/2020) KAMI menerima surat Satgas yang berisi pencabutan rekomendasi “boleh buat acara”. Pencabutan rekomendasi ‘last minute’ ini sangat mengherankan. Sebab, persetujuan Satgas itu bukan dikeluarkan secara sembarangan. Sudah dicermati bersama panitia pelaksana tentang aspek protocol Covid-19. Singkatnya, panitia bisa meyakinkan Satgas tentang penataan acara agar tidak menjadi masalah. Tapi, mengapa Satgas berubah pikiran? Dan berubah pikiran sangat cepat? Surat rekomendasi boleh dan surat pencabutannya dikeluarkan sama-sama bertanggal 6 September 2020. Banyak yang menduga pencabutan rekomendasi Satgas tidak murni karena Satgas merasa informasi kegiatan tidak sesuai dengan penjelasan panitia. Ini yang menjadi alasan Satgas. Kalau benar, bukankah Satgas masih bisa menekankan kembali kepada panitia bahwa acara deklarasi harus dilaksanakan seketat situasi Covid. Pasti bisa. Satgas kelihatannya harus berhadapan dengan sesuatu yang tidak rasional. Yaitu, sesuatu yang berada “di luar kendali mereka”. Ada indikasi kuat bahwa KAMI dianggap sebagai musuh oleh para penguasa. Indikasinya? Di hari deklarasi KAMI pusat di Jakarta pada 18 Agustus 2020 ada aksi tandingan. Orang KAMI menduga aksi tandingan itu diatur oleh pihak tertentu. Kemudian, beruntun muncul reaksi-reaksi negatif. Terutama dari orang-orang besar yang sekubu dengan penguasa. Intinya, penguasa tidak berkenan. Orang-orang KAMI mencoba mencari sebab mengapa gerakan mereka dianggap sebagai musuh. KAMI menegaskan mereka hanya melakukan gerakan moral. Tidak bermaksud mengganggu penguasa. Tepatnya, tidak punya tujuan untuk menggoyang posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, mengapa ada yang tak berkenan dengan KAMI? Semestinya tidak ada yang harus merasa terusik. Apalagi merasa terancam. Nah, justru gerakan moral itulah yang membuat banyak orang di lingkaran kekuasaan merasa gelisah. Merasa takut. Kalau KAMI melakukan gerakan politik, para penguasa malah tenang dan senang. Mereka tidak takut gerakan politik. Sebab, tidak ada satu pun gerakan politik yang bisa menandingi kekuatan penguasa. Penguasa memiliki semuanya. Hampir semua parpol ada dalam genggaman mereka. Mereka punya sekutu oligarki finansial yang sangat ‘powerful’. Mereka juga memiliki perangkat keras keamanan dan pengamanan. Gerakan apa pun dan oleh siapa pun yang mengarah ke kegiatan politik akan ditumpas dengan mudah. Sebentar saja bisa dilenyapkan. Tidak demikian halnya denga gerakan moral. KAMI bisa dengan cepat menghimpun simpati dan dukungan di seluruh pelosok Nusantara. Dari A sampai Z. Dari lintas agama sampai lintas profesi hingga lintas etnis. Sehingga, KAMI yang tak punya apa-apa dilihat oleh penguasa memiliki kekuatan besar. Memang harus diakui gerakan moral KAMI adalah ruang terbuka. Dan sangat luas. Yang sekarang menjadi tempat persinggahan orang-orang yang melihat bahaya ketimpangan sosial-ekonomi dan penegakan keadilan. Ruang terbuka itu berpotensi mengumpulkan jutaan pikiran kritis. Jutaan pikiran kritis itu pasti akan melahirkan tuntutan perubahan dan perbaikan. Tuntutan perubahan dan perbaikan itulah yang dirasakan oleh penguasa sebagai ancaman. Sebab, pemerintah pada saat ini sedang berada di titik terlemah. Mereka sangat rentan. Perekonomian rapuh. Pengangguran menggelinding terus. Beban utang sangat berat. Plus, wabah Covid-19 yang sangat menguras semua sumber negara. Para penguasa menjadi sangat sensitif. Bahkan paranoid. Sedikiti saja ada suara berdetak di luar, semua cemas. Alarm peringatan mereka langsung berbunyi. Ini yang membuat gerakan moral KAMI pun dianggap sebagai ancaman. Padahal, KAMI hanya ingin membantu. Menawarkan formula kuratif yang diramu oleh para pakar yang berhimpun secara sukarela di gerakan ini. Semoga saja pembatalan acara deklarasi KAMI di Bandung tidak terjadi karena tekanan dari penguasa.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Buruk Muka Rezim, Pendapat Kritis Diberangus

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Kamis (03/09). Saya menduga ada intervensi dari rezim penguasa atas pencabutan tulisan Ubedilah Badrun, dari kolom opini Tempo.co. pada Kamis (3/9). Semula tulisan Ubedilah Badrun, dosen dan Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berjudul "Kejahatan Besar Sedang Terjadi di Indonesia" dimuat di Tempo.co, tapi kemudian dicabut dan dipindahkan ke Indonesiana, suatu blog jurnalisme publik yang telah diluncurkan Tempo tahun 2014. Blog jurnalisme warga ini sama dengan Kompasiana yang dipunyai Kompas dan Pasang Mata milik Detik. Kontennya sangat beragam berkaitan dengan semua aspek kehidupan masyarakat. Di blog Indonesiana tersebut, tulisan Ubedilah sudah mengalami perubahan signifikan. Judulnya berubah menjadi: "Persoalan Besar Sedang Terjadi di Indonesia". Diksi kalimat "Kejahatan" dan "Persoalan", sangat jauh berbeda. Rasa bahasanya pun tidak sama. Dalam tulisan aslinya, Ubedilah Badrun membeberkan empat kejahatan besar yang sekarang terjadi di Indonesia. Pertama, kejahatan sosial ekonomi. Kedua, kejahatan sumber daya alam. Ketiga, kejahatan politik dan keempat kejahatan hukum tata negara. Tulisan lengkapnya bisa dilihat di FNN.co.id Setiap media mainstream seperti halnya Tempo memiliki kolom opini yang dikhususkan bagi para penulis dari luar yang dianggap kredibel dan kompeten di bidangnya masing-masing. Berdasarkan pengalaman saya bekerja di media mainstream, artikel yang dimuat di kolom opini, biasanya ditulis atas permintaan redaksi atau sengaja dikirim oleh penulisnya. Konten tulisan di kolom opini biasanya membahas persoalan aktual atau tema tulisan yang sesuai dengan laporan utama yang diangkat media tersebut. Di samping itu, sebuah artikel yang dimuat di kolom opini, biasanya sudah melalui proses seleksi dan editing dari para penjaga gawang kolom opini. Artinya, kalau tulisan Ubedilah sudah dimuat di kolom opini Tempo.co berarti tulisan tersebut sudah lolos dari proses seleksi dan editing. Nah kalau kemudian artikel Bung Ubedilah Badrun tiba-tiba dicabut, tentu ada tanda tanya besar. Apakah itu terjadi karena ada intervensi dari unsur pimpinan Redaksi Tempo atau memang ada intervensi dari rezim penguasa ? Sejauh ini masyarakat luas hanya bisa berspekulasi. Namun saya menduga pencabutan artikel tersebut lebih dikarenakan adanya intimidasi dari rezim penguasa. Siapa rezim penguasa itu ? Bisa Menkominfo atau bisa juga pimpinan lembaga yang berada dibawah lingkar Istana kepresidenan yang membawahi para buzzer bayaran. Dan sangat boleh jadi adanya intervensi dari "Kaka Pembina" yang membawahi para ahli IT yang memiliki keahlian dalam meretas web (hacker). Dengan kondisi seperti itu, Tempo akhirnya harus lebih berhati-hati. Apalagi sebelumnya Tempo.co. pernah diretas beberapa kali oleh hacker. Proses peretasan maupun pencabutan artikel milik Ubedilah Badrun di kolom opini Tempo, tentu saja tidak berdiri sendiri. Tempo yang akhir-akhir ini kerap melancarkan berbagai kritik tajam kepada pemerintahan Jokowi, suka atau tidak kini harus berhadapan dengan serangan dari pasukan hacker. Oleh karena itu sekarang bisa jadi awak Redaksi Tempo bersikap lebih waspada dalam menghadapi serangan hacker. Mereka ini bisa saja merupakan kepanjangan tangan rezim penguasa atau kelompok kepentingan yang terkait dengan kekuasaan. Dengan demikian, pencabutan artikel keras yang ditulis Ubedilah Badrun, merupakan bagian dari strategi Tempo untuk mengurangi tekanan dari penguasa. Strategi tarik ulur seperti layaknya bermain layang-layang ini biasa dilakukan media mainstream agar bisa mengamankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, di saat-saat tertentu suatu media harus tiarap dan di lain kesempatan baru mengritik lagi. Biasanya, strategi semacam itu juga kerap menimbulkan pro kontra di internal media tersebut. Sebagian awak redaksi biasanya ada yang bersikukuh berpegang pada prinsip dasar kerja jurnalistik yakni berperan melakukan kritik kepada pemerintah. Tapi sebagian lagi ada pula yang berpandangan bahwa penyampaian kritik harus dikemas sedemikian rupa agar tidak terlalu keras alias kritik yang diperhalus. Sikap lunak dan kompromistis tersebut sering mendapat pembenaran, misalnya dengan kalimat: "....Apalagi kita hidup di Indonesia yang lebih mengutamakan adat ketimuran". Jika merujuk pada isi tulisan Ubedilah Badrun, narasinya memang keras tapi apa yang disampaikannya sesuai dengan fakta yang dirasakan masyarakat sekarang ini. Artinya kalau Tempo sempat menayangkan tulisan Ubedilah yang keras tersebut, bisa jadi sebagian awak redaksi Tempo juga ikut merasakan denyut masalah yang kini dialami masyarakat. Kalau falsh back ke belakang, gaya bahasa dan pilihan diksi kalimat yang biasa digunakan Tempo di dalam berita dan tulisan-tulisannya sudah lazim menggunakan kalimat yang lugas, to the point dan apa adanya. Semoga identifikasi saya pada ciri utama Tempo ini tidak salah. Jadi terasa aneh kalau proses editing di Tempo sekarang sampai pada merubah diksi dari kata "kejahatan" menjadi "persoalan". Memang perubahan diksi tersebut tidak sampai merubah (meaning) dari keseluruhan isi tulisan Ubedilah. Tapi berdasarkan pengalaman saya, beberapa penulis ternama biasanya mereka keberatan jika kalimat yang ditulisnya dirubah seenaknya oleh editor kolom opini. Seperti halnya wartawan, karakter seorang penulis selain bisa dilihat dari alur kalimat yang disusunnya juga tercermin dari pilihan kata dan diksi yang digunakannya. Walaupun pendapat kritis masyarakat sudah semakin dibatasi terutama di media mainstream, namun masih ada seribu satu cara bagi publik untuk bisa mengungkapkan pendapat dan kritiknya kepada rezim penguasa. Apalagi di era keterbukaan seperti sekarang, banyak platform media yang bisa dipakai untuk menyampaikan kritik kepada rezim penguasa yang menyimpang. Jàdi jangan takut, sampaikanlah kritik apa adanya. Tuhan bersama orang-orang yang terdzolimi. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id