POLITIK

Perlawanan Politik Ruslan Buton

By Asyari Usman Jakarta, FNN.co.id - Sekarang ini, sedang viral ‘perlawanan politik’ yang dilakukan oleh Ruslan Buton. Dia adalah seorang tentara yang diberhentikan dari TNI AD. Kesalahannya, menurut Mahkamah Militer Ambon, terlibat pembunuhan. Selain dipecat, Ruslan juga dihukum penjara 22 bulan. Dia bebas pada akhir 2019. Kalau mahkamah militer memvonis Ruslan sebagai pembunuh, tidak begitu halnya di mata warga Kecamatan Lede, Kabupaten Pulau Taliabu, Provinsi Maluku Utara. Warga menganggap Ruslan sebagai ‘pahlawan’. Menurut berbagai tulisan online, termasuk BeritaFajarTimur-Com edisi 10 Juni 2018, Ruslan berhasil ‘menghentikan’ kesewenangan seorang penjahat. Namanya LG. Yang dikatakan punya kelompok sadis. Inilah ‘background’ singkat Ruslan Buton. Mantan kapten AD yang berpostur tegap itu, saat ini menunjukkan bahwa dia ingin menyelamatkan Indonesia. Tak tanggung-tanggung. Dia menulis surat terbuka yang divideokan. Video itu kemudian viral sejak 18 Mei 2020. Di dalam orasi video itu, Ruslan meminta agar Presiden Jokowi mengundurkan diri. Dikutip dari CNNIndonesia, Ruslan berkata, "Namun bila tidak mundur, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat, seluruh komponen bangsa dari berbagai suku, ras dan agama." Gara-gara surat ini, Ruslan berurusan dengan kepolisian. Kemarin, 28 Mei 2020, dia dibawa polisi. Penangkapan ini sangat ‘high profile’. Sampai-sampai Densus 88 ikut turun. Ada sejumlah pamen polisi dan militer yang mendatangi rumahnya di Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Nah, bisakah dipercaya bahwa Ruslan sedang melakukan ‘perlawanan politik’? Mungkinkah ada ‘X-factors’ dalam drama ini? Bagi saya pribadi, saya bersangka baik saja. Saya yakin Ruslan adalah bagian dari banyak orang, bisa jutaan atau puluhan juta, yang sedang resah melihat cara negara dan pemerintahan dikelola. Kalau jutaan orang lainnya memilih diam membisu dalam ketidakberdayaan, Ruslan tampil beda. Dia langsung ‘menghadap’ Jokowi. Bisa dipahami. Di dalam dirinya pastilah masih mengalir berliter-liter darah yang tak mengenal takut. Karena itu, saya tidak skeptis tentang motif Ruslan. Saya tak percaya ada ‘faktor-faktor X’ yang memantik perlawanan politik warga Kecamatan Lede ini. Menurut hemat saya, Ruslan memang murni merasa tak nyaman dengan situasi akhir-akhir ini. Mungkin dia telah melakukan observasi yang serius dan panjang terhadap hiruk-pikuk politik Indonesia. Sangat mungkin pula, Ruslan telah mengumpulkan banyak catatan buruk tentang penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, tentang keanehan-keanehan yang terkait dengan investasi China. Tentang tenaga kerja China yang masuk ke negara ini dengan legal maupun tidak legal. Tentang utang yang menumpuk. Tentang jebakan utang China. Dan tentang pengaruh China yang semakin besar di Indonesia. Boleh jadi Ruslan mengikuti berita, laporan, komentar, dlsb, mengenai makin banyaknya impor produk makanan, pertanian, dan manufaktur yang datang dari China. Sehingga, seperti dikatakan banyak orang, Ruslan pun berkesimpulan bahwa apa saja yang diperlukan Indonesia didatangkan dari China. Sehingga pula, kedaulatan negara ini bagaikan berpindah ke genggaman China. Bisa jadi juga Ruslan banyak mengamati diskusi dan diskursus tentang komunisme dan gejala kebangkitan PKI di negeri ini. Tentang sisa-sisa PKI yang semakin percaya diri, dll. Tentang pemameran lambang atau simbol PKI dan komunisme yang semakin sering terjadi. Di berbagai pelosok negeri. Mungkin pula Ruslan ikut mengamati ketimpangan dalam penegakan hukum dan keadilan. Boleh jadi mantan tentara ini sependapat dengan banyak orang bahwa hukum hanya dibuat untuk mengikat rakyat jelata. Tidak untuk elit politik dan elit ekonomi-bisnis. Tidak untuk para pengusaha dan konglomerat rakus yang mengeruk kekayaan Indonesia tanpa syarat, tanpa batas. Barangkali, semua ini membisikkan kekhawatiran ke telinga Ruslan. Yang kemudian, mungkin, menggiring pikirannya untuk menyimpulkan bahwa kedaulatan rakyat atas NKRI ini sedang terancam. Wallahu a’lam. Lantas, apakah Ruslan Buton sendirian? Tampaknya tidak. Sekarang ini sudah bermunculan tagar-tagar yang bertajuk dukungan untuk Pak Kapten.[] 29 Mei 2020(Penulis Wartawan Senior)

Bamsoet Kok yang Paling Sibuk Dalam "Konser Prank", Ada Apa?

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Acara konser berbagi kasih bersama para seniman dan musisi yang digelar akhir pekan lalu, masih menyisakan sejumlah tanda tanya meskipun masalah lelang motor listrik sudah bisa diatasi. Pemenang lelang sudah dialihkan dari warga Jambi M. Nuh pada anaknya pengusaha media Hary Tanoe. Sejak acara konser digelar hingga pelaksanaan lelang susulan pada hari Jumat lalu, Bambang Soesatyo terlihat orang yang paling sibuk. Padahal, pelaksana kegiatan konser ini adalah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lembaga yang berada langsung di bawah Presiden. Lalu dalam acara tersebut Bambang Soesatyo kapasitasnya sebagai apa? Sebagai Ketua MPR-RI? Atau sebagai pengusaha karena dalam acara konser itu Bamsoet juga menggandeng Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani. Justru unsur pimpinan MPR-RI periode 2019-2024, tidak ada satu pun yang hadir di acara tersebut. Kecuali diantaranya hadir secara virtual. Dalam acara press conference sekaligus klarifikasinya, Bamsoet menyebut dirinya sebagai penanggungjawab acara konser tersebut. "Jujur saya tidak enak hati dengan Presiden Jokowi, karena saya yang meminta beliau. Beliau tidak tahu apa-apa. Untuk itu saya sebagai penanggung jawab, atas nama panitia mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Presiden Jokowi sekaligus ucapan terima kasih yang luar biasa atas keikhlasannya memberikan bantuan motor listrik yang ditandatangi sendiri oleh beliau," kata Bamsoet ketika mengawali pernyataan klarifikasnya pada wartawan. Jika menyimak narasi dan diksi yang disampaikan Bamsoet, jelas dia bukan dalam kapasitas sebagai Ketua MPR-RI. Sebab dalam praktek ketatanegaraan, posisi Ketua MPR-RI sesungguhnya lebih tinggi dari Presiden. Sehingga dalam berbagai acara kenegaraan, Ketua MPR-RI lazimnya menyebut kata "saudara" kepada Presiden. Tajir melintir Nah kalau bukan sebagai Ketua MPR, masyarakat bisa saja menduga Bamsoet sedang menjadi EO atau penyelenggara kegiatan konser yang diadakan BPIP. Tapi masyarakat pun bisa bertanya lagi: Pantaskah seorang Bamsoet yang nota bene sebagai Ketua MPR merangkap sebagai EO ? Bagaimanapun jabatan dan pangkat itu tetap melekat pada diri seseorang. Nama Bamsoet tidak bisa dilepaskan dari jabatannya sebagai Ketua MPR-RI. Kok bisa sih dia menjadi EO? Bukankah Bamsoet sudah tajir melintir, dimana berdasarkan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tahun 2018, harta kekayaan Ketua MPR-RI dari Fraksi Golkar ini sebesar Rp 98.019.420.429 (Rp 98 milyar lebih). Sebagian besar harta kekayaan Bamsoet berupa tanah dan bangunan yang bernilai Rp 71.217.095.000. Sementara itu, harta berupa alat transportasi dan mesin berjumlah Rp 18.560.000.000. Tercatat, ada 13 kendaraan yang ia miliki, seperti motor Harley Davidson, mobil Rollsroyce Phantom Sedan, dan lain-lain. Dengan kata lain, kalaupun Bamsoet mau membantu masyarakat yang terdampak atau menjadi korban dari wabah Covid19, maka dia pribadi sebenarnya bisa memberikan sumbangan langsung kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan. Cara lainnya, bisa saja Bamsoet menggelar acara lelang sendiri dengan misalnya melelang sebagian kendaraan mewahnya untuk disumbangkan bagi kepentingan penanganan wabah Covid19. Atau katakanlah dalam acara konser BPIP itu dia ingin berpartisipasi lebih, maka Bamsoet bisa saja ikut menawar motor listrik yang dilelang itu. Ini kok seperti sengaja dibuat drama yang akhirnya berujung pada tragedi. Karena kemudian menjadi bahan cemoohan masyarakat setelah lelang motor listrik tersebut berhasil di prank oleh M. Nuh, seorang buruh yang tinggal di Jambi. Celakanya, Bamsoet menuding komentar dari para netizen sebagai gorengan. Padahal, yang terjadi justru acara konser tersebut seperti sebuah dagelan politik yang tidak lucu. Tragedi konser BPIP justru menunjukkan kepada dunia bahwa para pemimpin di Indonesia ini tidak kompak dalam menghadapi pandemi covid-19 ini. Kebijakan yang telah dibuat dalam menghadapi pencegahan penyebaran Covid19 kemudian dirubah sendiri oleh pemerintah. Belum lagi koordinasi antara pemerintah pusat dengan Pemda yang sangat buruk. Manajemen pemerintah yang menyedihkan ini kemudian ditambah dengan persoalan "Konser Prank" BPIP yang amburadul. Keadaan ini semakin menambah ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan para pemimpin di negeri ini. Dalam Konser BPIP tersebut bukan hanya telah terjadi acara lelang kaleng-kaleng alias tipu-tipu, tapi acara tersebut juga telah memberikan contoh yang jelek kepada masyarakat di tengah wabah Covid 19. Dimana pada akhir acara konser itu, Bamsoet bersama para seniman dan artis yang hadir berfoto bersama di atas panggung tanpa mengindahkan aturan soal Physical Distancing. Walaupun kemudian Bamsoet meminta maaf atas kejadian tersebut, namun masyarakat sudah terlanjur tidak simpatil dan kecewa dengan gelaran konser tersebut. Konser bertajuk resmi berbagi kasih ini akhirnya menjadi ambyar setelah terjadi keanehan dan kekacauan dalam acara lelang. Saya jadi penasaran, sebenarnya ada target politis apa yang hendak dicapai Bamsoet melalui konser tersebut? Kepentingan politik apa dibalik pelaksanaan Konser BPIP tersebut? Pertanyaan ini wajar diajukan karena Bamsoet adalah seorang politisi, sehingga setiap langkahnya tentu berdampak politis juga. Wallohualam Bhisawab. Penulis Wartawan Senior.

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (6): Non Muslim Jangan Mengusik Umat Islam

Di satu sisi diserang dengan kata intoleran, tetapi kenyataan di lapangan jauh berbeda. Ini membuat musuh FPI dan umat Islam kewalahan. Mereka terus berusaja mencari kelemahanFPI. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, (FNN) - YA, jangan sekali-kali mengusik lebah di sarangnya. Lebah akan kompak mengejar dan menggigit dengan racunnya yang ganas siapa pun yang mengusiknya. Demikian juga Islam. Jangan sekali-sekali ada orang yang menghinanya. Jangan ada orang, kelompoķ dan golongan yang mencoba-coba melukai perasaan umatnya. Mereka akan kompak melakukan pembelaan baik secara fisik maupun non fisik. Penistaan agama oleh Basuki Tjahya Purnama alias Ahoķ merupakan salah satu bukti betapa umat Islam tidak akan tidur ketika agamanya dilecehkan. "Jangan bangunkan macan dari tidurnya," demikian pepatah yang sering kita dengar. Pepatah ini pun ramai muncul ketika Ahok mengungkit Surat Al-Maidah ayat 51. Kenapa umat Islam marah kepada Ahok? Pertama, Ahok seorang kafir yang seenaknya mengutip ayat Al-Qur'an. Kedua, orang kafir tidak memiliki kapasitas untuk mengutip ayat Al-Qur'an demi ambisi politiknya. Ketiga, masyarakat Jakarta, khususnya umat Islam sudah muak dengan tingkah lakunya dalam mengurus Jakarta. Sebab, di awal ia mengurus Jakarta, sudah terang-terangan melarang penyembelihan hewan kurban di sekolah. Artinya, penyembelihannya tidak boleh dilihat anak-anak, karena menurutnya sadis. Padahal, penyembelihan yang disaksikan anak-anak itu merupakan pembelajaran bagi mereka tentang hewan kurban. Kemudian Ahok jugalah yang melarang penjualan hewan kurban di pinggir jalan. Alasannya, kotor. Padahal, cuma setahun sekali. Dia tidak melihat pedagang ikan basah di beberapa tempat di pinggir jalan yang tiap hari menjajalan dagangannya. Sudah pasti jorok dan bau setiap hari, sepanjang pedagang ikan berjualan. Umat Islam marah ke Ahok, bukan marah kepada pengikut Kristen apalagi orang Cina. Hanya saja, banyak pendukungnya yang Kristen dan agama lain, serta keturunan Cina, termasuk dari kalangan Islam yang juga membelanya secara mati-matian dan membabi-buta. Risiko perjuangan Pergerakan melawan Ahok dan kroninya berawal dari markas FPI Petamburan yang langsung dikomandoi Habib Rizieq. Tentu, pergerakan itu juga merupakan rangkaian dari kejelian seorang pejuang Islam, Buni Yani, yang menyebarkan pidato Ahok tentang Al-Maida ayat 51 itu. Buni Yani lah yang membangunkan umat Islam dari tidurnya. Risikonya, ya Buni Yani juga dipenjara. Semoga semua yang dilakukannya membawa keberkahan bagi umat Islam dan Buni Yani beserta keluarganya. Karena pergerakan berawal dari Markas FPI Petamburan, maka sangat wajar juga Ahok dan barisannya atau Ahoker membenci FPI. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan, setiap waktu dan setiap saat mereka akan terus menyerang FPI dengan kata-kata intoleran, anti Pancasila, anti NKRI, pendukung khilafah serta syariah dan berbagai macam kata-kata lainnya. Mereka tidak tahu dan tidak sadar betapa umat Islam, termasuk FPI sangat toleran, membela NKRI dan Pancasila. Bukti FPI sangat toleran bisa kita lihat ketika demo terjadi, ada pasangan Kristen yang melakukan perkawinan di gereja dekat Masjid Istiqlal. Malah Laskar Pembela Islam yang merupakan pejuang/pengamanan di FPI membukakan jalan kepada pasangan pengantin dan rombongannya. Jika FPI intoleran, sudah dipastikan agama lain itu tidak akan bisa menembus kerumunan massa hingga sampai ke gereja. Itulah hebatnya FPI. Di satu sisi diserang dengan kata intoleran, tetapi kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Ini membuat lawan FPI dan umat Islam semakin kewalahan. Mereka terus mencari kelemahan FPI. Maka, berbagai usaha memojokkan dan membubarkan FPI pun terus dilakukan. Kelakuan busuk terus dipertontonkan oleh kaum kafir dan munafik terhadap FPI yang tegas dalam mencegah kemungkaran.(Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior.

Ramai-Ramai Membunuh Politisi

Oleh Hersubeno Arief Buta yang terburuk adalah buta politik— Berthold Brecht (1898 – 1956)— Jakarta, FNN - Andai saja saat ini dilakukan survei opini publik: Profesi apa yang paling dibenci di Indonesia? Bisa diduga politisi akan menempati salah satu yang teratas. Khususnya mereka yang kini duduk di kursi DPR. Silakan melongok ke berbagai media sosial. Bermacam-macam tagar muncul. Mulai dari #DPRbunuhdiri, #DPRbudakistana, sampai #Killthepolitician meramaikan dunia maya. Keriuhan di dunia maya itu menggambarkan frustrasi publik. Kemarahan di tengah tekanan pandemi dan dampaknya secara sosial dan ekonomi. Mereka perlu katarsis. Pelampiasan. Marah, frustrasi terhadap para politisi di tengah pandemi, bukan hanya monopoli rakyat di Indonesia. Di AS kebencian terhadap Presiden Trump dan para pendukungnya kian memuncak. Acakadutnya penanganan bencana Corona oleh pemerintah menjadikan Trump, bulan-bulanan kemarahan publik. Di Indonesia frustrasi dan kemarahan publik, selain karena kebijakan pemerintah yang tak jelas, buang badan. Juga didorong sikap DPR. Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat, DPR hanya membebek. Menyetujui, mendukung apapun yang dilakukan pemerintah. Padahal kebijakan itu dinilai merugikan masyarakat. Mengamputasi dan mengebiri fungsi DPR. DPR juga dicurigai bermain mata, berselingkuh dengan kepentingan para taipan, korporasi besar yang berpesta pora, memanfaatkan bencana.Mereka bergerak cepat. Diam-diam mengesahkan berbagai perundangan. RUU yang sebelumnya jelas-jelas ditolak publik. Mumpung publik lengah. Mumpung civil society sibuk dengan berbagai persoalan lain. Mumpung mahasiswa tidak bergerak. Mumpung media fokus ke bencana dan direpotkan oleh problem kehidupan sehari-hari. Semuanya dikebut. Ketok palu. Langsung diundangkan. Tak peduli tata tertib DPR dilanggar. UU itu bertentangan dengan konstitusi. Bertentangan dengan nalar publik! Yang penting order dari para bohir. Para cukong politik sudah dilaksanakan. Invoice, tagihan bisa dicairkan. Mari kita inventarisir berbagai perundang-undangan yang disahkan DPR di tengah bencana. Yang paling banyak mendapat sorotan adalah pengesahan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Covid. Dari 9 fraksi, hanya PKS yang menentang. Disahkan secara aklamasi. Keberatan publik sudah banyak dibahas. UU ini dinilai lebih mementingkan menyelamatkan kepentingan korporasi dibanding kepentingan rakyat. UU Minerba disahkan. Hanya Demokrat yang tidak setuju. Posisi Demokrat bergantian dengan PKS yang ikut menyetujui. Padahal UU ini dinilai akan menyengsarakan rakyat di sekitar penambangan dan merusak lingkungan. Lagi-lagi UU ini juga hanya menguntungkan korporasi, pengusaha besar. Jika dirunut ke belakang, sangat banyak UU yang disahkan DPR, bertentangan dengan nalar publik. Salah satunya adalah revisi UU KPK yang dianggap menguntungkan dan berpihak kepada koruptor. Dikendalikan para cukong Tudingan bahwa partai politik (Parpol) sudah dikendalikan oleh para cukong, ini bukan asal ngomong. Bukan sekedar sikap curiga dan paranoid. Politisi Golkar yang kini menjadi Ketua MPR Bambang Soesatyo pernah menyampaikan bocoran. Untuk menguasai sebuah Parpol, biayanya sangat murah. Cukup dengan modal Rp 1 Triliun, posisi ketua umum bisa direbut. Setelah itu cukong politik tinggal order kepada sang Ketum. Mengamankan kebijakannya di DPR. Jika ada anggota dewan yang mbalelo, tinggal recall. Ada mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Betapa luar biasanya para taipan, cukong politik itu. Mereka inilah yang bekerjasama dengan penguasa, politisi, penegak hukum disebut sebagai kelompok oligarki! Mereka adalah sekelompok kecil elit yang mengendalikan kekuasaan, politik, dan ekonomi.Kamus Merriam-Webster mendifinisikan oligarki sebagai “kelompok kecil orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri mereka sendiri”. Di medsos saat ini sedang viral pernyataan pengamat politik senior Fachri Aly. Dia menyatakan politik Indonesia saat ini dikuasai oleh pengusaha. Disebutnya para kapitalis. Kekuatan modal, kata Fachri Aly, saat ini jauh membayang-bayangi dalam sistem demokrasi. Jauh lebih berbahaya dibandingkan pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, penguasa yang menciptakan kapitalis. Dan penguasa bisa mengontrol pengusaha. Sebaliknya pengusaha juga hormat kepada pengaturan penguasa. Di masa Soeharto pengusaha tunduk pada penguasa. “Tapi begitu kekuasaan Soeharto rontok, maka para kapitalis itu lah yang menguasai negara,” tegas Fachri. Pernyataan Fachri ini disampaikan dalam sebuah seminar tahun 2015. Namun nampaknya kembali diviralkan karena sangat tepat menggambarkan situasi saat ini. Berharap pada partai dan politisi baru Dengan situasi semacam itu apakah kita harus mengikuti anjuran netizen membunuh para politisi? #Killthepolitician? Membubarkan Parpol karena mereka sudah terbeli dan menjadi alat kepentingan para taipan? Tak ada yang bisa dipercaya? Kembali meminjam pernyataan Berthold Brecht yang dikutip diatas. “Buta paling buruk, adalah buta politik!” Lengkapnya penyair dan dramawan Jerman itu mengatakan: Buta paling buruk, adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik." Dalam negara demokratis, untuk menyampaikan aspirasi tersebut, maka saluran legalnya adalah parpol. Melalui Parpol kita boleh merebut kekuasaan secara legal dan konstitusional. Menentukan harga, dan menentukan siapa yang berkuasa. Jika semua orang baik menolak berpolitik karena dianggap kotor, maka parpol akan hanya diisi orang-orang jahat. Para politisi yang menggadaikan jabatannya menjadi hamba pengusaha. Dengan semangat semacam itu, kita perlu sambut hadirnya parpol baru. SK dari Kemenkumham Partai Gelora yang didirikan duet Anis Matta-Fahri baru saja terbit. Mereka menjadi salah parpol baru pertama yang resmi berbadan hukum. Tinggal mengikuti verifikasi dari KPU. Pendiri PAN Amien Rais juga akan segera mendirikan Parpol baru. Diperkirakan bakal terjadi bedol desa dari PAN. Sebelumnya juga sudah ada wacana menghidupkan kembali Partai Masyumi. Politisi Ahmad Yani menggagas Masyumi Reborn. Dilihat dari latar belakang pengurusnya, semua berakar dari gerakan Islam. Hanya Gelora tampaknya mencoba bergeser ke tengah. Islam-Nasionalis. Eksperimen politik Gelora ini cukup menarik. Mereka mencoba memadukan dan mengakhiri ketegangan politik Islam dan Nasionalis. Polarisasi semacam itu selalu mewarnai perjalanan politik bangsa sejak Indonesia berdiri. Banyak membuang energi bangsa. Partai sempalan PAN, bila dibaca dari statemen Amien Rais tampaknya akan bergerak lebih ke kanan. Lebih Islami. Menjadikan Al Quran sebagai acuan moralnya. Sementara Masyumi Reborn dari namanya punya niat membangkitkan kembali partai Islam yang sempat berjaya di masa lalu. Mudah-mudahan parpol baru ini bisa menjadi parpol alternatif bagi publik yang kecewa dan dikecewakan parpol yang ada saat ini. Bagaimana bila mereka juga ternyata mengecewakan? Silakan saja bila ingin kembali gemakan tagar #Killthepolitician. Bersikaplah santai, sambil mengingat kembali ucapan negarawan asal Inggris Winston Churcill. “Dalam perang Anda hanya bisa terbunuh sekali, tapi dalam politik Anda bisa mati berkali-kali.” Nahhhhhhhh. End Penulis Wartawan Senior.

Soekarno Mencela Muktamar Alim-Ulama Tahun 1957 "Komunis Phobia"

By Prof. Dr. K.H. Buya Hamka Cerita dari almarhum BUYA HAMKA ini, telah dipublikasikan oleh Majalah Panjimas dari tahun 1967-1981, terbitan Pustaka Panjimas halaman 319. Dan telah dirilis kembali oleh Islam Media. Jakarta, FNN - Senin (18/05). Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh dengan tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur dalam menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya. Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden Soekarno bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia”. Dan itu adalah suatu perbuatan yang amoral. Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan. Terdiri dari Parpol dan Ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa syarat (reserve). Malanglah nasib Alim-Ulama yang berkonferensi di Palembang itu. Karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, Bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden Soekarno. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh Alim-Ulama yang berkonferensi di Palembang itu. Disebabkan kurangnya publikasi atau tidak ada yang berani mendukung konferensi Alim-Ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencaci maki Alim-Ulama kita. Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali? Agar menyegarkan ingatan Umat Islam, dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke-IV yang berlangsung bulan Juli tahun 1966 lalu. Sebab Muktamar Alim-Ulama yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa : Ideologi-ajarant komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, dan kafirlah dia. Orang tersebut tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam. Tiada pusaka mempusakai, dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam. Bagi orang-rang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme seperti PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain dengan keyakinan dan kesadaran, mka sesatlah dia. Wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut. Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang tahun 1957 itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. Muhammad Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian itulah, para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presiden Soekarno sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar). Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, Alim-Ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Akibatnya, K.H. Muhammad Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi tersebut, pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan, selama kurang lebih empat tahun. Dan banyak lagi Alim-Ulama yang terpaksa menderita di balik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi. Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda, bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua penderitaan itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Disamping itu, ada "ulama” lain, yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu. Bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom. Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita. Dalam indoktrinasi pidato-pidato Soekarno, Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Ulama yang dipandang kontra revolusi, yang telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dalam setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan. Namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat, karena anti Soekarno, dan anti komunis. Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis. Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia, sebelum Allah membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh Alim-Ulama itu. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan ,dan bersyukur dalam kemenangan. Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme /Marxisme /Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”. Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang Alim-Ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para Alim-Ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Sebagai ulama, mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan. Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para Nabi. Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya. Seperti yang dialami Nabi Ibrahim A.S. yang dipanggang dalam api unggun yang besar dan bernyala-nyala, ataun seperti yang dialami Nabi Zakariya A.S. yang gugur karena digergaji dan lain-lain. Bgitulah para Nabi utusan Allah itu. Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu. Karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petik bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama yang lama. Namun hanya dari peristiwa sejarah yang lalu.

DPR Tak Bisa Diharapkan, Berarti Rakyat Langsung Ambil Alih?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kecurangan pilpres berjalan sepurna, DPR diam. KPK dimandulkan, DPR malah setuju. Iuran BPJS dinaikkan, DPR diam juga. Malahan MA yang membatalkan. Sekarang dinaikkan lagi melawan pembatalan MA, DPR lagi-lagi tak perduli. Perppu Corona yang membuka peluang korupsi, disahkan oleh DPR. Hanya PKS yang menolak. Kemudian, UU Minerba yang diduga hanya akan menguntungkan para pengusaha tambang besar, disahkan oleh DPR. Tidak lagi istilah isi perut bumi untuk kemakmuran rakyat. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (OLCLK) yang, menurut para pakar hukum dan pemerhati bisnis, hanya akan menguntungkan para pemodal tampaknya juga akan disetujui oleh DPR. OLCLK ditentang oleh serikat-serikat pekerja. Semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, khususnya bumi NKRI, paham bahwa DPR itu dibentuk dengan tujuan untuk mewakili rakyat dalam mengawasi pemerintahan. DPR seharusnya berfungsi membela kepentingan rakyat. Seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat. Namanya pun Dewan Perwakilan Rakyat. Nah, mengapa sekarang DPR malah menjadi stempel penguasa? Mengapa semua yang diinginkan Presiden dan para menterinya langsung diiyakan oleh DPR? Apa gerangan yang membuat para anggota Dewan bisa didikte oleh pemerintah? Banyak sekali pertanyaan yang menunggu. Tetapi, tanpa tulisan ini pun, sebetulnya rakyat sudah hilang kepercayaan terhadap DPR. Bahayanya, kalau kepercayaan sebagai wakil untuk mengawasi jalannya pemerintahan telah sirna, dikhawatirkan rakyat akan mencari cara lain untuk menjalankan fungsi itu. Fungsi pengawasan langsung. Kalau rakyat langsung turun tangan, pasti semua pihak akan repot. Mislanya, di mana mereka akan bersidang? Terpaksa di jalanan, bukan? Karena mereka tak punya gedung. Dan tak cukup juga untuk ditampung di gedung. Maklum, ‘parlemen jalanan’. Para ‘anggota’-nya bisa 10 ribu, 100 ribu, atau bahkan sejuta orang. Kalau mereka bersidang di jalanan, berarti suasananya bisa riuh. Tidak ada pimpinan yang definitf. Tidak ada mikrofon yang tertata rapi. Semua orang bisa melakukan interupsi, dsb. Yang gawatnya, parlemen jalanan itu semuanya ingin cepat-cepat. Cepat diputuskan, cepat dieksekusi. Kalau ada rintangan cepat disingkirkan. Dengan cara jalanan juga. Sebab, mereka mungkin kena terik panas. Tak dapat makan dan minum. Berkeringat-keringat. Jalan kaki ke mana-mana. Dan lain-lain. Jadi, mereka ingin semuanya kontan. Karena itu, DPR sebaiknya tidak ‘mengembalikan’ fungsi pengawasan itu kepada rakyat. Bisa sangat memalukan semua pihak. Terutama Pak Presiden. Kalimat aktifnya: memalukan bagi Pak Presiden. Kalimat pasifnya: Presiden dipermalukan. Aktif atau pasif, sama-sama tak bagus. Pastilah Pak Presiden tidak mau dipermalukan. Iya ‘kan? Tapi, susah juga. DPR sendiri tak serius. Terkesan mempermainkan mandat rakyat. Mungkin mereka lebih nyaman membiarkan para penguasa sekehendak hati. Mungkin saja DPR pun sama seperti kita-kita ini. Tak berdaya mau melawan oligarki. Cuma, bedanya: kita tak berdaya karena memang tak punya otoritas. Sedang DPR tak berdaya karena otoritasnya hilang. Tercecer sewaktu jumpa dengan para oligarki itu.[] 15 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

Bunuh Diri Massal Anggota DPR RI

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - DPR RI baru saja mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020. Di media sosial (Medsos) bergema tagar #dprbunuhdiri, #dprkartumati, #dprbudakistana. Seruan netizen itu tidak salah. Dengan mengesahkan Perppu Covid —begitu media menyebutnya— DPR mengamputasi dirinya sendiri secara sukarela. Tiga fungsi utama DPR sebagai lembaga negara dibabat habis. Fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan. Secara formal DPR tetap ada. Tapi tanpa tiga fungsi tersebut, secara kelembagaan DPR sesungguhnya antara ada dan tiada. Sepertinya hidup, tapi sesungguhnya sudah mati. Mereka melakukan harakiri. Bunuh diri dengan sukarela dan gembira ria. Langkah distruktif DPR tidak hanya sampai disitu. Mereka juga mengesahkan dan memberi legitimasi langkah pemerintah menabrak berbagai peraturan, terutama yang sangat fundamental, melanggar konstitusi negara. Fungsi berbagai lembaga negara lainnya ikut diamputasi. Fungsi pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), fungsi lembaga penegak hukum, dan kekuasaan kehakiman yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) juga ikut dipangkas. Melalui pengesahan Perppu Covid, bencana kesehatan Corona diubah menjadi berkah bagi pemerintahan Jokowi. Para pejabat negara, bebas menentukan anggaran dan menggunakannya sesuka hati, tanpa persetujuan dan pengawasan. Mereka juga tidak perlu khawatir terhadap konskuensi hukum secara pidana, perdata, maupun tata negara. Semua bebas merdeka! Tidak berlebihan bila ada penilaian, pengesahan itu juga menunjukkan fungsi DPR sebagai budak kekuasaan. #budakistana. Sebuah stigma yang jauh lebih keras ketimbang anggapan yang selama ini berkembang, DPR tak lebih hanya stempel penguasa. Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli sampai kehabisan kata. “Mohon maaf teman-teman DPR, Anda memalukan!” ujarnya menahan geram. Langkah DPR ini sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Sudah bisa diduga. Konstelasi politik pasca pemilu dan pilpres membuat pemerintahan Jokowi sangat perkasa. Tanpa kontrol. Baik partai pendukung, maupun lawan politik dalam pilpres berbondong-bondong masuk dalam kubu pemerintah. Tidak perlu kaget bila kemudian dari 9 fraksi DPR, hanya PKS yang konsisten menolak Perppu. Fraksi Demokrat yang tidak ikut kebagian kursi di pemerintahan, secara mengherankan juga ikut-ikutan mendukung. Tampaknya mereka tersandera masa lalu, ketika masih menjadi penguasa. Melampaui UUD 45 Ada beberapa UU yang ditabrak oleh Perppu yang sudah disahkan tersebut. Dalam pasal 23 UUD ayat 1, 2 dan 3 dinyatakan APBN dibahas setiap tahun dan harus mendapat persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Apabila tidak disetujui maka Presiden menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Dengan UU Covid (Pasal 12 ayat 2) APBN cukup diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Pemerintah juga sudah langsung menyusunnya selama 3 tahun ke depan. Hal itu juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 dan 3 UU No 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara. Selain mereduksi kewenangan DPR, UU Covid berpotensi melanggar konstitusi terkait pengawasan dan imunitas pengambil kebijakan. Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Dengan pasal tersebut fungsi dan peran BPK sebagai badan pengawas keuangan negara ditiadakan. Pada Pasal 27 ayat 2, mengatur anggota KSSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 27 ayat 3 juga menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal ini bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum. UUD 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. Pasal 1 ayat 3 UUD dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D. Bisa dibayangkan betapa luar biasanya kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah dengan pengesahan UU Covid. Mereka bebas mengatur keuangan negara tanpa kontrol lembaga lain seperti DPR dan BPK. Mereka juga tidak akan terjamah oleh hukum, karena diberi kewenangan UU mengesampingkan peran lembaga kekuasaan lembaga penegak hukum dan kekuasaan kehakiman. Bila UU Covid diundangkan dan dibiarkan tanpa perlawanan publik, yang terjadi bukan hanya anggota DPR bunuh diri massal. Eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi juga terancam mati. End Penulis Wartawan Senior

Luhut Memang Hebat, Megawati dan PDIP Tak Berkutik

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) boleh-boleh saja tak disukai banyak orang. Tapi, harus diakui beliau adalah politisi yang hebat. Dengan halus dan tak terasa, Pak Luhut membuat Banteng PDIP tak bisa berbuat apa-apa. Tak berkutik. Sekarang, nyaris tidak ada lagi pengaruh partai terbesar di koalisi Indonesia Kerja itu terhadap Presiden Jokowi. Jokowi boleh dikatakan sudah lepas sepenuhnya ke pangkuan LBP setelah berlangsung tarik-menarik selama 2-3 tahun ini. Itulah kehebatan Pak Luhut. Dalam istilah bisnis, Pak Luhut kini menjadi ‘share holder’ (pemegang saham) tunggal atas Jokowi. Pak Luhut memang lihai. Piawai berpolitik. Ketika Jokowi memerlukan kendaraan untuk pilpres 2019, Luhut membiarkan Jokowi berinteraksi intensif dengan PDIP, khususnya dengan Bu Ketum Megawati Soekarnoputri. Luhut mengkondisikan seolah-olah hubungan Jokowi-Mega akrab apa adanya. Ini membuat Bu Mega merasa yakin bahwa Jokowi masih ada dalam genggamannya. Jokowi pun sangat ‘pintar’ bermain. Selama proses prakampanye dan masa kampanye pilpres 2019, Jokowi menunjukkan dirinya adalah ‘orang PDIP asli’. Semua arahan Bu Mega dia ikuti. Ketika terjadi sengketa hasil pilpres, Jokowi sangat memerlukan Bu Mega. Sampai akhirnya Jokowi menang di MK. Perananan politik Bu Mega dan PDIP sangat besar dan sentral. Harus diakui pula bahwa Jokowi berhasil memainkan drama yang membuat Bu Mega dan PDIP terpukau. Akting Jokowi sempurna sekali. Ketika Jokowi memerlukan legitimasi dari Prabowo Subianto (PS), peranan Bu Mega sangat krusial. Prabowo selalu menolak ketika Luhut mencoba merangkulnya. Tapi, ketika Bu Mega yang membujuk, Prabowo langsung mengekor. Itulah kehebatan Bu Mega. PS bersedia berdamai. Bahkan bersedia menjadi bawahan Jokowi. Luhut tidak akan mampu menaklukkan PS sebagaimana Bu Mega bisa melakukan itu tanpa hura-hura. Ini kehebatan Bu Ketum. Jadi, kedua politisi ini sama-sama hebat. Tetapi, semua kehebatan politik pilpres 2019 ternyata ada di tangan Pak Luhut. Bukan di tangan Bu Mega. Begitu Jokowi dilantik, mulailah berjalan strategi LBP. Perlahan tapi pasti, Jokowi menunjukkan bahwa dia tidak lagi memerlukan Bu Mega. Hajat Jokowi sudah tercapai. Jabatan presiden sudah di tangan, dan Prabowo sudah dijinakkan oleh Bu Mega. Jalan Jokowi menjadi lempang dan mulus. Hari ini, PDIP berteriak-teriak bagai orang protes. Mereka dongkol terhadap Jokowi yang terlalu besar memberikan kekuasaan kepada Pak Luhut. Kebetulan, ada isu yang bisa mereka mainkan. Yaitu, Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang penanganan Covid-19 dengan segala akibat ekonomi dan keuangan yang bakal muncul. Orang menyebutnya Perppu Corona. Dua politisi ‘outspoken’ di PDIP, Masinton Pasaribu dan Arteria Dahlan, menyerang Perppu Corona. Mereka mengutuk keras Perppu itu. Kata Masinton, Perppu ini bulat untuk kepentingan oligarki –sekelompok kecil orang yang berkuasa. Arteria mengatakan, Perppiu itu menunjukkan ada ‘penguasa baru di atas presiden’. Ada semacam ‘presiden di atas presiden’. Pak Luhut dan Jokowi tak menghiraukan teriakan keras PDIP itu. Tentu saja LBP punya kalkulasi politik yang cermat. Beliau tidak sembarangan. Pak Luhut tahu persis bagaimana cara mendiamkan PDIP. Dia sudah siapkan langkah-langkah yang terukur untuk membuat Bu Mega dan PDIP tak berkutik. Jokowi juga ada pada posisi ‘nothing to lose’ --posisi tanpa beban. Dia tak perlu lagi memikirkan dukungan PDIP. Toh, Jokowi tidak bisa mencalonkan diri lagi menjadi presiden pada 2024. Seandainya pun Banteng keluar dari koalisi Indonesia Kerja, tidak masalah bagi pemerintahan Jokowi. Koalisi Jokowi-Luhut tidak akan goyang. Jokowi tak perlu mengkhawatirkan dukungan politik di parlemen selama 4 tahun ke depan. PDIP tak mungkin melakukan manuver untuk menggoyang Jokowi sebelum selesai periode kedua. Bu Mega tak akan berani. Besar risikonya. Pertama, manuver untuk menggoyang Jokowi belum tentu didukung oleh kekuatan-kekuatan politik lain. Bisa-bisa PDIP akan dipermalukan. Sendirian menggoyang Jokowi. Dan itu ‘mustahil’ bisa tembus. Tidak ada jaminan partai-partai lain mau ikut. Sebab, sejarah mencatat hampir semua parpol hanya memikirkan diri dan misinya sendiri. Kedua, kalau PDIP dan Bu Mega nekat menggoyang Jokowi, mereka akan dianggap merongrong demokrasi. PDIP akan dilihat sebagai musuh demokrasi. Bisa menjadi catatan buruk. Ketiga, kalau PDIP dan Bu Mega mencoba melengserkan Jokowi, mereka akan dikutuk sebagai partai yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini tak mungkin dilakukan PDIP. Mereka adalah partai besar yang harus memberikan keteladanan berpolitik. Jadi, Luhut dan Jokowi paham betul ketidakberdayaan PDIP saat ini. Itulah sebabnya, Jokowi ‘cuek’ saja mengambil kebijakan yang tak menyenangkan Bu Mega dan PDIP. Duet Jokowi-Luhut tahu persis bahwa Bu Mega tidak akan bisa berbuat apa-apa. Karena itu, harus diakui kehebatan strategi Pak Luhut dalam mengawal dan mengarahkan Pak Jokowi. Bu Mega dan PDIP bisa digiring ke posisi ‘gigit jari’ sambil dongkol tetapi dipaksa untuk tetap mendukung Jokowi.[] 6 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

Jika Kritik Dipidana, Demokrasi Akan Tumbang

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (04/05). Diantara ciri negara demokrasi itu adalah adanya kebebasan berpendapat. Tanpa kebebasan berpendapat, negara tak lagi layak disebut sebagai penganut demokrasi. Entah apalah namanya. Yang pasti bukan negara demokrasi. Bukan kebebasan tanpa batas. Ada undang-undang sebagai dasar aturan. Siapa yang buat undang-undang? Tentu saja anggota DPR yang terhormat. Soal ini, di buku SD sudah dipelajari. Hanya saja, anak-anak SD nggak pernah tahu kelau "banyak oknum" anggota DPR suka terima order ketika lagi buat undang-undang. Dari mana? Banyak pengusaha berseliweran di sana. Anak SD belum sampai kesitu otaknya. Yang mereka tahu semua anggota DPR adalah orang-orang terhormat. Baru sadar ketika anak-anak SD itu sudah berada di kampus. Kuliah maksudnya. Tapi, ketika sudah jadi mahasiswa, mereka harus berhadapan dengan rektor. Saat ini, rektor sudah "semacam" jadi titipan dan tangan panjang pemerintah. Kampus juga sepertinya palan tapi pasti sudah memastikan posisinya menjadi Kantong Cabang Pemerintah. Ini karena para rektor dipilih oleh menteri. Dan menteri adalah pembantu presiden. Berani macam-macam, rektor bisa ambil tindakan terhadap mahasiswa. Bisa keluarkan dari kampus. Demokrasi di kampus juga akhirnya terkubur. Sejauh menteri pilih rektor, rektor pilih dekan, dan dekan bersama rektor awasi mahasiswa, maka demokrasi out dari kampus. Yang tersisa tinggal pers. Tapi, media milik para pengusaha. Soal pajak, banyak juga yang bermasalah. Berani macam-macam kepada pemerintah, pasal tentang manipulasi dan tunggakan pajak bisa jadi malapetaka. Nurut pasti lebih selamat. Sekarang tampil rakyat yang tanpa identitas. Mereka lebih berani melakukan kritik. Tapi ingat, ada banyak pasal yang juga mengintai mereka. Kepeleset dikit saja, anda akan bernasib seperti Jonru dan Ahmad Dani cs. Bisa masuk sel. Makanya Jangan ceroboh! Tidak mudah hidup dalam situasi dimana demokrasi sedang banyak masalah. Silahkan kritik, tapi harus waspada. Anda pasti paham maksud saya? Jangan asal menyerang tanpa menghitung pertahanan. Jangan pakai emosi, tapi gunakan akal sehat. Dan tetap mengutamakan obyektifitas. Lihat saja kasus Said Didu. Minta maaf, atau proses hukum? Said Didu yang berdah Bugis-Maksar ini pilih menghadapi proses hukum. Wajah tegak berdiri karena merasa benar. Gentel sekali Said Didu! Hukum harus ditegakkan. Sepakat itu. Tetapi, jangan sampai atas nama penegakan hukum, martabat dan keadilan diabaikan. Atas nama hukum atau kekuasaan? Tanya saja publik. Soal martabat? Itu harus. Seorang pejabat, tidak boleh tidak bermartabat. Diantara ciri pejabat yang bermartabat adalah tahan banting terhadap kritik. Anies Baswedan adalah contoh pejabat bermartabat itu. Kritik, fitnah, bullyan dan caci maki, semua dilewati Anies dengan senyum. Semua itu diterima Anies sebagai vitamin yang menyegarkan imun tubuh. Anies menghadipinya dengan terus bekerja dan menatap masa depan. Jika di otak seorang pemimpin berisi tentang nasib rakyat, maka dipastikan tak ada tempat yang tersisa di kepala untuk mengurusi cacian dan hinaan terhadap dirinya. Begitu kata pepatah. “Saya tidak khawatir dibully, dikritik, diftinah dan dicaci maki. Medsos itu umurnya pendek. Hari ini dicaci, besok sudah berganti lagi. Tapi saya takut kalau berbuat salah, karena akan dicatat oleh sejarah dan dibaca oleh generasi bangsa. Begitu kata Anies”. Sebagai pejabat publik, bersiaplah-siaplah anda untuk setiap saat dikritik. Bahkan siap pula untuk difitnah dan dicaci-maki. Fitnah tak akan menjatuhkan anda jika anda punya data untuk klarifikasi. Beres itu. Publik akan menaruh simpati dan mengapresiasi anda. Reaksi berlebihan terhadap kritik hanya akan menghancurkan martabat anda sebagai seorang pejabat. Anda kehilangan martabat bukan karena kritik dan fitnah. Tapi anda akan kehilangan martabat jika anda berlebihan merespon kritik dan fitnah itu. Sekali anda laporkan pengkritik itu, rakyat akan berada di belakang dan membela sang pengkritik. Saat itulah anda akan kehilangan martabat dan simpati dari rakyat. Ketika Walikota Surabaya, Risma melalui Biro Hukumnya melaporkan seorang ibu dari Bogor yang "diduga" menghinanya, saat itu pula nama Risma tenggelam. Rakyat yang balik menghukumnya. Begitulah kalau pejabat yang resiten terhadap kritik dan hinaan. Nama yang baik dan harum saja bisa hancur jika anda rapuh terhadap kritik. Apalagi mereka yang dikenal tak punya nama baik di mata rakyat. Pasti akan makin berantakan. Saya tidak kasihan sama Said Didu. Mantan sekmen BUMN ini. Ia sadar risiko perkataan dan sikapnya. Apalagi rakyat memberinya dukungan. Jalani saja... Rasa kasihan justru layak ditujukan kepada pihak pelapor. Di mata publik, pasti martabatnya sebagai pejabat akan dipertaruhkan. Lebih kasihan lagi jika pelapor pun tak peduli soal martabat itu. Ada cara yang lebih bijak dan bermartabat. Pertama, klarifikasi. Kalau anda punya data, cukup klarifikasi. Clear. Masalah selesai, dan anda bisa tersenyum karena dapat simpati. Dan ini yang terus berulang dilakukan Anies Baswedan. Hasilnya, Anies dibanjiri simpati. Kepada para pejabat, belajarlah menghadapi kriti, fitnah, bullyan dan caci-maki kepada Anies jika ingin punya karir yang lebih baik ke depan. Jika ingin bermartabat dan harum di mata rakyat. Bagi seorang pejabat, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan dalam bersikap. Kedua, memaafkan. Ini cara yang paling diapresiasi oleh publik. Siapapun senang melihat seorang tokoh punya kematangan seperti ini. Lapang dada untuk setiap kritik terhadapnya. Itulah ciri dari pejabat yang bermartabat, berkelas, bernilai dan mengagumkan. Jangan hanya karena ada undang-undang, kita bisa tuntut "siapa saja yang lemah" tanpa memikirkan bagaimana nasib demokrasi di negeri ini. Kalau semua pejabat terlalu tipis telinga, maka satu persatu orang-orang yang kritis akan tumbang. Rakyat tidak hanya takut, tapi akan kehilangan simpati dan kepercayaan. Saat itu, demokrasi mati dan negara akan semakin rapuh. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Bahaya, Ada Misi Orde Lama di RUU Ideologi Pancasila

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (03/05). Tidak lama lagi akan ada pembahasan di DPR RI mengenai draft Rncanagan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila. Disebut saja RUU HIP. Tentu saja bukan HIV sebagai virus yang juga berbahaya itu. Meski demikian, nampaknya ada virus juga yang berusaha masuk ke dalam dan menentukan RUU GIP, yaitu Virus Orde Lama (Orla). Ada misi dan narasi yang memang nyata-nyata mau diseludupkan ke dalam draft RUU HIP tersebut. Untuk itu, RUU HIP ini merlu mendapat perhatian, kewaspadaan pengawalan ketat dari seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Jangan sampai Pancasila justru diperalat dan dijadikan tunggangan untuk ideologi lain, termasuk ideologi Sosialis dan Komunis. Pertama, janggal karena dalam draft RUU HIP yang memfokuskan pada ideologi Pancasila. Namun di dalam konsiderans RUU HIP ini, sama sekali tidak memasukkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Organisasi Terlarang, dan Larangan Menyebarkan dan Mengembangkan Faham Komunisme, Marxisme-Leninisme. Ini berbahaya. Persoalan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 menjadi penting bagi semua anak bangsa. Tidak bisa dihapus atau ditiadakan begitu saja. Upaya penghapusan atau meniadakan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dari konsiderans draft RUU HIP justru menimbulkan kecurigaan. Patut diduga, akan misi-misi khsus yang mau diperjuangkan secara terselubung. Kedua, dubious kata "gotong royong" dalam makna kebersamaan atau ideologi ? Kata ini juga terkesan mau selundupan. Baik pada Ketentuan Umum maupun Pasal. Contoh saja pada kalimat, "kelima prinsip dasar merupakan jiwa dan penggerak perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia yang mencerminkan kepribadian bangsa lndonesia yaitu gotong royong". Kalimat ini adanya di Pasal 3 draft RUU HIP. Ketiga, menafikan peran Agama sebagaimana pengaturan bahwa sendi pokok Pancasila adalah "Keadilan Sosial" dan bidang-bidangnya adalah politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, hankam. Peran Agama terlihat diminimalisasi. Ketika konten agama itu ada, ternyata posisinya disejajarkan dengan rohani dan kebudayaan (Pasal 22). Bahkan pada Misi dari Masyarakat Pancasila butir a sampai terakhir f, sama sekali tidak tersentuh aspek Ketuhanan dan Keagamaan (Pasal 11). Keempat, ciri dari Manusia Pancasila yang dikaitkan dengan beriman bertakwa pun harus "menurut dasar" kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsepsi Ketuhanan yang berdasar kemanusiaan. Kekuasasn Tuhan Yang Maha Esa yang mau didegradasikan ke tingkat ukuran kemanusiaan. Ada ancaman pada otoritas hukum-hukum Tuhan (Pasal 12). Kelima, sinkretisme dan pencampur adukan entitas. Keadilan dan kesejahteraan yang merupakan "perpaduan prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik, dan ekonomi dalam kesatuan" (Pasal 7 ayat 1). Ada nuansa "pemerasan" dan keinginan untuk kembali kepada cara pandang masa lalu Orde Lama, ala Soekarnoisme. Keenam, ternyata eksplisit misi Soekarnoisme yang kemudian pernah bermetamorfosa menjadi "Nasakom" yang diawali dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Ini sangat terang-terangan pada Pasal 7 draft RUU HIP. Bunyinya begini, "(2) Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio nasionalisme, sosio demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong". Nah, tentu disini bukan porsi untuk mengurai rincian dari pasal-pasal Draft RUU HIP yang terdiri dari X Bab dan 60 Pasal ini. Yang menjadi Ketua Panja RUU HIP ini adalah Rieke Dyah Pitaloka (PDIP). Hanya nampaknya materi draft RUU ini berisi virus-virus politik yang pautu diduga sangat berbahaya. Apalagi untuk dijadikan pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Terhadap konsep RUU HIP seperti ini, rakyat dan bangsa Indonesia kelak harus menolaknya. Jangan sampai menjadi undang-undang. Sebab RUU HIP jika nanti digodok oleh DPR RI, patut untuk diduga ada "hidden agenda" terselubung di dalamnya. Bukan mustahil, akan ada kekuatan-kekuatan penunggang gelap yang akan memanfaatkan RUU ini. Siapa saja penunggang-penunggang gelap tersebut? Siapa lagi, kalau bukan paham Komunis dan teman-temannya? Semoga anggota DPR lebih mampu mengendus dan mewaspadai RUU HIP ini. Meski anehnya, draft RUU berasal dari penggunaan Hak Usul Inisiatif dari DPR sendiri. Semoga saja DPR secara kelembagaan, bahkan keseluruhan menolak draft RUU yang mau menghidupkan kembali cara pandang Orde Lama, ala Soekarnoisme ini. Bahaya berada di depan bangsa dan negara Indonesia. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan