POLITIK

RUU HIP: PDIP Bersiap Hadapi Tsunami

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - PDIP dan partai-partai pendukung pemerintah salah kalkulasi soal RUU HIP. Kelihatannya mereka menduga bakal selamat, sukses menyelundupkan dan menggolkan undang-undang, seperti sebelumnya. Mumpung sedang pandemi. Mumpung rakyat sibuk dengan urusan perut dan periuk nasi. Mumpung elemen masyarakat kritis dan mahasiswa tak bisa turun ke jalan. Optimisme itu tidak berlebihan. Sejauh ini mereka selalu sukses. Bekerja untuk kepentingan oligarki, meloloskan undang-undang di balik tabir pandemi. Mulai dari UU Minerba, sampai yang kelas kakap seperti UU Kebijakan dan Stabilitas Keuangan Negara alias UU Covid-19. Semua berhasil digolkan. Melenggang mulus tanpa perlawanan yang berarti. Hanya riak-riak, gelombang kecil yang hilang dengan sendirinya. Tertelan waktu dan berbagai isu. Tapi kali ini mereka salah hitung. Terlalu serakah dan kemaruk. Aji mumpung. Mereka barangkali lupa dengan pepatah, tak ada pesta yang tak berakhir. Ketika lampu menyala, dan musik berhenti, mereka seperti tersadar dari mimpi. Perlawanan publik kali ini bukan hanya riak ombak kecil, yang mengayun dan meninabobokan. Sudah berubah menjadi gelombang pasang. Bila salah antisipasi bisa menjadi tsunami. Menggulung mereka sampai jauh ke daratan. Tsunami politik tidak hanya bagi PDIP, tapi juga bagi pemerintahan Jokowi. Setelah terpecah belah selama rezim Jokowi berkuasa, baru kali inilah kekuatan agama dan nasionalis bersatu. Mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), PP Muhammadiyah, PBNU, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sampai Forum Purnawirawan TNI Polri. Belum lagi berbagai ormas dan elemen-elemen masyarakat lain yang tak terhitung jumlahnya. Semua bersatu padu menolak RUU HIP. Padahal MUI masih dipimpin (non aktif) oleh Wapres Ma’ruf Amin. Di kalangan purnawirawan ada mantan Wapres Try Sutrisno yang kini menjadi anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP). Mereka adalah bagian dari rezim penguasa. RUU HIP tak lagi membuat mereka melakukan kalkulasi politik pragmatis. Ini merupakan soal prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Eforia kekuasaan PDIP tampaknya sedang eforia kuasa. Mereka lupa atau mungkin terlalu percaya diri. Berani dan nekad menabrak isu yang selama ini menjadi tabu terbesar ( the biggest taboo ) bangsa. Masalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kebangkitan PKI. Dua isu itu langsung membuat berdiri tanduk berbagai elemen masyarakat. Menyatukan kekuatan yang selama ini terpecah belah. Tak ada pilihan lain bagi PDIP harus menarik diri. Mundur teratur. Kecuali bila ingin hancur. Apalagi partai-partai pemerintah yang sebelumnya sempat mendukung, langsung balik badan dan cuci tangan. PDIP ditinggal sendirian menghadapi badai. Tudingan anti agama dan memberi ruang kebangkitan PKI terlalu berat untuk ditanggung. Stigma ini sangat kuat melekat pada PDIP. Baik karena faktor sejarah maupun representasi anggota dewan dan pemilihnya. Apalagi rakyat kini sedang sangat sensitif dan waspada atas isu dominasi modal dan TKA Cina. Negara kapitalis sekaligus komunis. Pemerintah setelah melalui perdebatan sengit di jajaran Polhukam akhirnya melemparkan bola panas itu kembali ke DPR. Tinggallah PDIP yang kini harus bersih-bersih. Berkelit sana-sini, berusaha menyelamatkan diri. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan partainya bersedia memasukkan TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam RUU HIP. Hasto juga menyatakan partainya setuju menghapus pasal tentang ciri pokok Pancasila yang dikristalisasi dalam Trisila dan Ekasila. Sebelumnya ketentuan itu dicantumkan dalam Pasal 7 RUU HIP. Dalam Pasal 2 disebutkan: Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.Sementara dalam Pasal 3 Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. Usulan ini bukan barang baru. Formula dan rumusan kalimatnya persis seperi yang disampaikan Ir Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tanggal 1 Juni inilah yang kemudian pada tahun 2016 ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Soal peras memeras Pancasila ini belakangan PDIP melalui Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengelak dan menyatakan bukan usulan partainya. Dia mengaku punyi buktinya. Namun dia menolak menyebutkan usulan siapa dan dari partai apa? Di medsos beredar pidato Ketua Umum PDIP Megawati yang kembali menyitir gagasan Bung Karno memeras Pancasila hanya menjadi Ekasila. Pidato itu disampaikan pada HUT PDIP ke-44 di Jakarta (2017). Dengan fakta-fakta itu agak sulit bagi PDIP membantah. RUU usulan itu berasal dari mereka. Yang menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HIP kader PDIP Rieke Diah Pitaloka. Secara historis maupun politik, PDIP paling berkepentingan. Jadi sulit bagi mereka untuk buang badan begitu saja. Belakangan para pimpinan DPR juga sepakat untuk menunda pembahasan. Namun itu tampaknya tidak cukup. Hampir semua elemen masyarakat menginginkan agar RUU tersebut dicabut, dibatalkan. Selain isu PKI dan atheisme yang menafikan keberadaan tuhan dan agama, banyak yang khawatir Pancasila akan kembali menjadi alat gebuk rezim terhadap lawan-lawan politiknya. Kekhawatiran yang punya alasan sejarah cukup kuat. Orde Lama maupun Orde Baru pernah melakukan hal serupa. PDIP harusnya belajar dari sejarah. Mereka pernah berada dalam kekuasaan, kemudian berada di luar kekuasaan. Kini kembali berada di dalam kekuasaan. Alat pemukul yang mereka ciptakan selama berkuasa, boleh jadi saat ini efektif untuk menggebuk lawan-lawan politiknya. Namun jangan lupa, suatu saat bisa digunakan oleh penguasa untuk menggebuk balik mereka. Apa tidak ingat bagaimana rasanya menjadi oposisi. Mengalami represi berkepanjangan selama Orde Baru berkuasa? Bukankah sejarah selalu berulang? Secara hukum alam (sunatullah) kekuasaan itu juga akan dipergilirkan. Sekali lagi, belajarlah dari sejarah. Tidak ada kekuasaan yang abadi. Mawas dirilah….End Penulis Wartawan Senior

Front Anti Komunis Indonesia Mengutuk Keras RUU HIP dan Bangkitnya PKI

Jakarta, FNN - Mencermati perkembangan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara serta setelah mempelajari dengan seksama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan perkembangan yang terjadi terkait RUU tersebut, dengan berharap rahmat dan ridho Allah Yang Maha Esa, Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) menyatakan: Dalam lima-enam tahun terakhir, terasa sekali adanya upaya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan paham komunis di Indonesia. Yang lebih buruk dan berbahaya lagi, kebangkitan PKI dan paham komunis tersebut justru difasilitasi oleh para elit politik, baik di eksekutif maupun legislatif.Diajukannya RUU HIP yang berbau komunis dan menafikan peran agama, dan tidak memasukkan TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme serta Larangan Terhadap PKI, menunjukkan lembaga legislatif sudah disusupi oleh anasir PKI/komunis.Menolak RUU HIP dan mendesak Pimpinan DPR RI menghentikan pembahasannya menjadi UU, serta mendesak Pimpinan DPR RI membubarkan Panitia Kerja (Panja) RUU HIP.Mendukung penuh dan siap mengawal Maklumat Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Pimpinan MUI Provinsi se Indonesia, yang antara lain menolak RUU HIP.Menilai sikap pemerintah terlalu lamban dan ragu-ragu terkait RUU HIP. Pernyataan pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD yang meminta DPR menunda pembahasan RUU HIP sama sekali tidak cukup. Sebagai mitra DPR dalam pembuatan UU, pemerintah seharusnya menyatakan RUU HIP tidak ada urgensinya, dan oleh karenanya harus dicabut/dikeluarkan dari Program Legisalasi Nasional (Prolegnas).Mengingatkan Presiden Joko Widodo dan seluruh jajarannya, terutama aparat TNI/Polri, bahwa TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme serta Larangan Terhadap PKI hingga detik ini belum dicabut. Kepastian tersebut juga dituangkan dalam TAP MPR nomor 1/2003. Artinya, Ketetapan MPRS tersebut hingga kini masih berlaku.Sesuai bunyi sumpah jabatan Presiden, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa," maka FAKI mengingatkan, bahwa Presiden Joko Widodo berkewajiban menjalankan TAP MPRS nomor XXV/1966 tersebut dengan sungguh-sungguh, murni, dan konsekwen.Mendesak Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan dan langkah-langkah nyata yang tegas dan terukur, serta memerintahkan aparat hukum dan aparat keamanan untuk mencegah kebangkitan paham komunis dan PKI.Mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas inisiator dan konseptor RUU HIP, serta memproses mereka secara hukum dengan seadil-adilnya.Sesuai pasal 40 dan pasal 41 UU nomor 2/2008 tentang Partai Politik jo UU nomor 2/2011, mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) segera membubarkan partai politik yang menjadi inisiator dan konseptor RUU HIP karena terbukti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI.Menolak kriminalisasi dan perlakuan yang tidak adil oleh aparat hukum terhadap para ulama dan tokoh masyarakat yang berseberangan dan menyampaikan saran serta kritik teradap penguasa.Menyerukan para tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis yang setia pada NKRI dan seluruh elemen masyarakat untuk mewaspadai dan melawan gerakan komunis gaya baru yang berusaha bangkit, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun melalui jalur kekuasaan.Mengingatkan Presiden Joko Widodo dan seluruh jajarannya untuk memperhatikan dan menindaklanjuti dengan sungguh-sungguh pernyataan sikap FAKI ini dan pernyataan senada dari begitu banyak elemen anak bangsa lainnya, agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan yang dapat mengancam kedamaian, keutuhan, dan kesatuan NKRI. Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan untuk menjadi perhatian kita bersama. Semoga Allah Yang Maha Kuasa meridhoi dan menolong perjuangan kita dalam membendung serta melawan bangkitnya komunisme dan PKI di negeri tercinta yang religius ini. Aamiin… Jakarta, 17 Juni 2020 FRONT ANTI KOMUNIS INDONESIA (FAKI) Edy MulyadiKetua Umum Novebri SasongkoSekretaris Jenderal

PDIP Mau Buang Badan, Tapi Badannya Terlalu Besar

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kembali ke isu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). PDIP akhirnya mundur. Mereka bersedia mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan komunisme dan PKI sebagai konsideran RUU. Mereka juga bersedia menghapuskan Trisila dan Ekasila dari RUU itu. PDIP adalah pihak yang mengusulkan kedua materi ini. Kedua hal ini memunculkan tentangan keras dari semua ormas dan lembaga Islam. Peniadaan Tap MPRS larangan PKI, komunisme dan marxisme-leninisme itu, plus degradasi Pancasila menjadi “Gotong Royong” dan agama disetarakan dengan kebudayaan, memicu kecurigaan terhadap RUU HIP. Kecurigaan itu sampai pada dugaan bahwa pihak yang memprakarsai RUU ingin membangkitkan kembali komunisme dan PKI di Indonesia. Tentu saja umat beragama, terutama umat Islam, bereaksi sangat keras. NU dan Muhammadiyah menolak. Mereka meminta agar RUU HIP tidak saja direvisi, melainkan dicabut total. Tidak usah dibahas lagi. Begitu juga Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI malah mengeluarkan maklumat keras bernada ultimatum jika RUU HIP masih berkonten pasal-pasal anti-agama. Didukung 34 MUI provinsi, MUI Pusat menyimpulkan RUU HIP ‘original’ bisa menjadi jalur legal bagi para pendukung PKI dan komunisme untuk bangkit kembali. Yang sangat mengkhawatirkan, selain penyingkiran Tap larangan komunisme-PKI, adalah Pasal 7 RUU HIP. Di ayat (2) pasal ini, Trisila diuraikan sebagai “sosio-nasionalisme”, “sosio-demokrasi”, dan “ketuhanan yang berkebudayaan”. Dua istilah pertama yang ini entah apa maksudnya. Tapi, yang terpenting, kita perlu fokus ke istilah ketiga. Yaitu, “ketuhanan yang berkebudayaan”. Terminologi ini berpotensi mengaburkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di Pancasila. Bahkan, banyak orang yang berpendapat bahwa istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” memberikan ruang yang sangat bebas untuk menafsirkan eksistensi agama dalam kehiudpan berbangsa dan bernegara. Salah satu tafsiran orang adalah menyamakan agama dengan kebudayaan. Atau, bisa dikatakan pasal ini akan ‘mewajibkan’ agama menyerap kebudayaan. Jadi, RUU HIP sengaja diisi dengan diksi dan narasi yang tak jelas. Penuh dengan poin-poin yang tidak substantif. Seandainya menjadi UU, maka anasir-anasir pro-PKI secara bertahap akan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan infiltrasi komunisme ke dalam sistem sosial yang berbasis ketuhanan. Kalau sempat menjadi UU, berarti inflitrasi itu legal. Dengan membaca kemungkinan ini, umat Islam tampanya akan menyalakan ‘sistem peringatan dini’ (early warning system). Agar umat senantiasa waspada. Terutama terhadap manuver PDIP. Kelihatannya, partai berlambang Banteng galak tsb tidak akan menyerah. Mereka tidak akan berhenti sampai di sini. Mereka bisa saja datang kembali dengan upaya penghapusan Tap MPRS larangan komunisme-PKI. Dan juga gagasan ekstraksi (menciutkan) Pancasila. Supaya, berat dugaan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa perlahan bisa hilang dan tidak tertulis lagi di dokumen negara maupun teks-teks akademik. Wakil Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menegaskan bahwa peniadaan Tap MPRS larangan komunisme di deretan konsideran RUU HIP, bukan inisiatif partainya. PDIP difitnah seolah mendukung kebangkitan kembali komunisme. Begitu juga soal Trisila dan Ekasila. PDIP juga terfitnah, kata Basarah. Namun, catatan yang ada menunjukkan bahwa kedua hal itu berasal dari Partai Banteng. Kalau bukan PDIP, kenapa mereka yang sibuk mengatakan bahwa Tap MPRS larangan komunisme sekarang sudah dicantum di RUU. Sedangkan Trisila dan Ekasila sudah dihapus. Kelihatannya, PDIP mau buang badan. Cuma, badannya terlalu besar. Sehingga, mau dibuang ke mana pun, tetap terlihat.[] 18 Juni 2020(Penulis wartawan senior)

Fadjroel Puji Presiden, Corona Ledek Jokowi!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, Detak Jateng - Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan, kepimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19. Fadjroel melanjutkan, pemerintah juga mampu menciptakan keamanan baik di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Fadjroel menilai bahwa keberhasilan kepemimpinan Jokowi ini dibuktikan melalui kinerja tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Hal ini menunjukkan, sistem responsif pandemi yang dibangun oleh Presiden Jokowi benar-benar bekerja dalam menciptakan keamanan dalam dimensi kesehatan, sosial dan ekonomi,” kata Fadjroel dikutip dari siaran pers yang diterima, Senin (8/6/2020). Menurut Fadjroel, dalam situasi pandemi Covid-19, Presiden berupaya membangun sistem responsif terhadap pandemi. Salah satu yang dibentuk dari sistem responsif ini, yakni tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Presiden membentuk sistem pengorganisasian Gugas Covid 19 yang melibatkan BNPB, seluruh kementerian/lembaga, Polri, TNI dan pemerintahan daerah,” ujarnya. Keberhasilan kepemimpinan Jokowi terlihat dari hasil survei yang dikeluarkan oleh Indikator. Berdasarkan survei tersebut, keberhasilan kepemimpinan Jokowi ini juga dilihat dari tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja tim gugus tugas yang menunjukan tingkat responden sangat puas dan cukup puas sebanyak 63,7 persen. Selain itu, upaya Jokowi yang melibatkan aparat TNI dan Polri untuk menghadapi pandemi ini juga dinilai didukung oleh masyarakat. Ia menyebut, dari hasil survei indikator tersebut, sebesar 85,7 persen responden merasa yakin polisi dapat menjaga keamanan selama masa pandemi, dan 88,9 persen responden merasa yakin TNI dapat menjaga keamanan selama masa pandemi. Fadjroel mengatakan, mayoritas masyarakat percaya kepada kinerja pemerintah pusat. “Hal ini terlihat dari survei indikator yang menunjukkan, 47,6 persen cukup puas dan 8,8 persen sangat puas terhadap Pemerintah Pusat atau rata-rata mencapai 56,4 persen,” ujarnya. Presiden menghargai kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahannya. Hal ini akan menjadi modal bagi Jokowi dalam bekerja. Jokowi juga menyampaikan apresiasinya terhadap sikap gotong royong kemanusiaan yang dilakukan oleh masyarakat selama pandemi. Sedangkan kebijakan-kebijakan yang masih dikritisi oleh masyarakat pun akan menjadi perhatian serius Presiden. Seperti program bantuan sosial yang belum terdistribusi dengan baik. Tampaknya Jubir yang akrab dipanggil Pandjoel ini belum sempat baca data terbaru terkait perkembangan Virus Corona atau Covid-19 di Indonesia. Update data terbaru kasus Covid-19 di Indonesia hari Rabu (10/6/2020) bisa dilihat berikut ini. Pada Rabu (10/6/2020), rekor penambahan kasus harian kembali terlampaui, yakni dengan munculnya 1.241 kasus baru. Secara total, jumlah pasien positif Covid-19 meningkat secara signifikan, menjadi 34.316 kasus. Meskipun demikian, pasien yang berhasil sembuh pun terus bertambah. Rabu (10/6/2020), ada 715 pasien sembuh. Maka secara total 12.129 pasien, telah sehat kembali. Adapun pasien meninggal dunia, hari ini bertambah 36 pasien. Secara total, hingga saat ini ada 1.959 orang pasien telah meninggal dunia akibat terjangkit Covid-19 di Indonesia. Dari sebanyak 287.478 spesimen yang diperiksa, tercatat 253.162 kasus negatif corona. Sementara, data terkini jumlah ODP sebanyak 43.945 orang dan jumlah PDP 14.242 orang. Ada perubahan perhitungan orang berstatus ODP dan PDP. Mereka yang tidak tampak gejala terjangkit covid-19 setelah karantina 14 hari, dikeluarkan dari daftar ODP dan PDP. Penilaian Jubir Fadjroel jelas bertolak-belakang dengan pernyataan Presiden Jokowi ketika menyiapkan New Normal seperti yang direncanakan sebelumnya. Presiden Jokowi membuat pengakuan soal penanganan Virus Corona atau Covid-19. Seperti dilansir dari TribunKaltim.co, Rabu (3 Juni 2020 05:01), menjelang penerapan new normal, Jokowi tiba-tiba mengakui pemerintah belum bisa kendalikan Virus Corona. Ada apa? Secara terang-terangan, Presiden Jokowi mengakui Pemerintah belum bisa mengendalikan Virus Corona di semua wilayah. Sebelumnya, Jokowi memilih kebijakan new normal sebagai bagian dari berdamai dengan Covid-19. Oleh karena itu, kata Jokowi, pelonggaran aktivitas masyarakat di tempat-tempat publik akan dilakukan secara bertahap dan berdasarkan penilaian yang ketat. “Pembukaan baik itu pembukaan untuk tempat ibadah, pembukaan untuk aktivitas ekonomi, pembukaan untuk sekolah semuanya melalui tahapan-tahapan yang ketat,” kata Presiden saat meninjau Madjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (2/6/2020). Pembukaan aktivitas di tempat-tempat publik tersebut menurut Presiden harus berdasarkan perhitungan yang terukur. Salah satunya dengan melihat tingkat penularan virus berdasarkan angka reproduksi Covid-19 (R-nought). “Semuanya memakai data-data keilmuan yang ketat. Sehingga kita harapkan akan berjalan dari tahapan ke tahapan dari sektor ke sektor, dari provinsi ke provinsi sesuai dengan angka-angka yang tadi saya sampaikan,” tuturnya. Presiden Bingung? Bagi Presiden Jokowi yang melihat adanya kenaikan drastis menjadi lebih dari 1.000 kasus dalam sehari, membuat Pemerintah kebingungan. Bagaimana kenaikan kasus drastis 1,000+ lebih dalam sehari, yang menunjukkan isu “Now Normal”yang prematur disebarluaskan. Ini membuat blunder hebat, sehingga penampilan Achmad Yurianto yang makin kumuh dan lelah, digantikan Dokter Reisa yang segar cantik jelita. Ia diberi tugas menyampaikan jumlah kasus yang makin menanjak mengerikan, oleh wanita cantik bersuara basah manja. “Supaya Rakyat Indonesia terpesona dengan wajah Reisa dan tidak fokus dengan angka yang dia sampaikan atau bagaimana? Kok receh sekali ya solusinya, ” tulis dr. Tifauzia Tyassuma di akun Facebook-nya. Negara-negara yang sukses menurunkan jumlah kasusnya, adalah negara-negara yang sejak awal kasus sudah Menerapkan Lockdown. China, Vietnam, Malaysia, India, kalau mau sebut beberapa nama negara Asia. Menurut Dokter Tifa, negara yang amburadul, rakyatnya ngawur, ngeyel, hobi keluyuran di jalanan, dengan Presidennya ngawur suka main offside, mencla-mencle, dan aysik sendiri dengan pencitraan, bakalan amburadul juga grafik Coronanya, jumlah kasusnya, dan risiko kematian banyak warganya. “Saya sedang ngomongin Amerika. Jangan GR! Btw, Saya jadi kasihan dengan Reisa. Dokter cantik lulusan universitasnya Lippo Group ini dijadikan permen. Dikira rakyat Indonesia itu anak-anak yang diem kalau dikasih permen. Masa’ Dirjen diganti Permen? Tim pencitraan Pemerintah sumpah hancur kerjanya” sindir Dokter Tifa. Apakah klaim Fadjroel yang menilai kepemimpinan Jokowi berhasil kendalikan Covid-19 itu termasuk tim pencitraan Pemerintah yang hancur kerjanya? Penulis Wartawan Senior

PKS Panen Pahala Politik Dari RUU HIP

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (11/06). Dalam proses Rnacangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) hingga ditetapkan sebagai RUU inisiatif Dewan pada Sidang Paripurna bulan Ramadhan lalu, partai politik yang pas menerima "dosa politik" adalah PDIP. Sementara yang layak mendapat panen "pahala politik" adalah PKS. Tanpa menafikan perjuangan secara personal dari anggota Dewan, maka secara institusional atau fraksional, yang berhak menerima "berkah politik" di bulan bulan Ramadhan itu adalah PKS. Banyak manfaat politik yang didapat PKS. Sebab hanya PKS yang tidak ikut-ikutan gotong-royong menerima ususl RUU HIP ini. Sebenarnya untuk perjuangan dan "kemenangan" PKS dipetik bukan hanya dari RUU HIP akan tetapi juga dari Perppu Corona. Hanya Fraksi PKS menjadi satu-satunya fraksi yang menolak ditetapkan Perppu No 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang. PKS membuka mata dan telinga untuk mendengar penolakan yang luas dari masyarakat. Sejak awal, aspirasi rakyat memang berada pada kutub yang menolak Perppu Corona ini ditetapkan menjadi undang-undang. Karena khawatir Perppu tersebut menjadi legitimasi dari korupsi, atau sekurang-kurangnya membuka jalan bagi korupsi terselubung. UU No. 2 tahun 2020 asal Perppu No. 1 tahun 2020 kini sedang dalam proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. RUU HIP pasca ditetapkan, muncul berbagai aspirasi penolakan yang meluas dari masyarakat, khusunya umat Islam. Banyak pernyataan politik, seminar dan diskusi, atau opini di media, yang seluruhnya mengarah pada penolakan. Ada isu sensitif pada RUU HIP yang berpotensi menjadi gumpalan perlawanan, yaitu kebangkitan PKI atau pengembangan faham komunisme. Konten RUU dinilai mengandung "penyelundupan" faham komunisme-PKI. Juga ada keinginan terselubung untuk marjinalisasi agama. Ada kepentingan politik Orde Lama yang ingin kembali bermesraan dengan komunisme-PKI. Faham yang jelas-jelas menjadi barang terlarang untuk bangsa Indonesia. PKS kini ditempatkan sebagai harapan perjuangan rakyat. Harapan untuk menjaga mengoreksi, meluruskan agenda-agenda penyimpangan ideologi Pancasila. Jika PKS tetap gigih melakukan perlawanan, maka disadari atau tidak, PKS menjadi lokomotif dari proses perlawanan politik kerakyatan atau keumatan di parlemen. Tentu saja dengan dukungan personal yang tersebar di berbagai Fraksi lainnya. Sebenarnya bukan hal yang tidak mungkin, bahwa peta politik pada pembahasan selanjutnya bisa saja berubah. Aspirasi atau tekanan politik di luar parlemen nanti, turut menentukan perubahan peta tersebut. Prospek bagus karena isu dan misi terselubung RUU HIP adalah semangat kebangkitan PKI dan Komunisme. Jika semua fraksi di DPR masih berkoalisi dalam "kemungkaran" terhadap ideologi Pancasila, maka PKS mendapat pahala politik tersebut sendirian. Pepatah bijak, “kekalahan adalah kemenangan yang tertunda”. Investasi masa depan yang menjanjikan dan gemilang telah dilakukan PKS sejak sekarang. Jika PKS mampu merawat investasi politik ini dengan baik, maka "kekalahan" itu akan menjadi akselerator dukungan politik di luar dugaan kelak. Kalaupun terjadi pergerakan atau konfigurasi politik pada tahap pembahasan dengan Pemerintah, maka tetap saja PKS mendapat "advantage" dari perubahan tersebut. Pertarungan menjadi menarik karena berada di tataran norma yang fundamental. Menyangkut prinsip dan ideology bangsa dan negara. Karenanya rakyat dan umat Islam akan bersatu dalam perjuangan "hidup mati" terhadap gagasan gila RUU HIP ini. Aspirasi umat Islam menjadi sangat mendasar. Aspirasi umat Islam itu bukan untuk perbaikan yang siafatnya parsial atau tambah kurang. Melainkan penolakan terhadap RUU HIP untuk tidak menjadi Undang-Undang. Jadinya hitam dan putih. Bukan yang abu-abu. Bangsa dan umat Islam Indonesia tak boleh disandra oleh keinginan dan gagaan gila satu partai politik. Partai-partai harus berhitung matang dalam konteks "dosa dan pahala politik” di mata rakyat dan umat Islam. Itu sebagai akibat dari penyikapan politik yang salah. Sikap politik yang hanya didadasarkan pada angka-angka dan barter kekuasaan jangka pendek. Bisa juga disandra dengan kasus-kasus korupsi pimpinan partai. Rakyat, khususnya umat Islam nanti punya dua penilaian terhadap partai politik. Pertama, partai politik yang pro terhadap PKI/Komunisme dan Orde Lama. Kedua, yang menolak PKI/Komunisme dan orde Lama. Hanya ada dua kubu representasi kutub-kutub perjuangan yang ada di Parlemen. TNI yang punya akar kesejarahan anti terhadap PKI/Komunisme juga merupakan kekuatan kerakyatan lain. Kekuatan penting dan strategis penting untuk menjadi pertimbangan politik. Pada akhirnya, rakyat dan umat Islam melakukan kolaborasi politik dengan TNI untuk menyelamatkan kemurnian ideologi Pancasila. Meskipun demikian, partai yang berpeluang untuk mendapatkan dukungan lebih besar adalah mereka yang konsisten memperjuangan aspirasi kerakyatan dan keumatan. Untuk hal ini, PKS masih unggul di depan. PKS mampu dan cerdas dalam mengkapitalisasi fakta dan peristiwa politik kekinian. Pahala politik pantas untuk didapat PKS. Untuk itu, PKS harusnya didukung secara nyata. Dukungan politik masyarakat tersebut memberi pengaruh untuk "schock therapy" konfigurasi peta politik di Parlemen. Sikap politik rakyat, khususnya umat Islam terhadap RUU HIP yang kental berbau amis PKI/komunisme ini, tentu bukan untuk direvisi atau perbaikan narasi. Tetapi RUU ini harus untuk dibahas di DPR. Tidak dengan opsi yang lain. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Tegur Walikota Surabaya? Pangdam: Stop Drama!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Baru kali ini Pangdam V Brawijaya Mayor Jenderal TNI Widodo Iryansyah bersuara keras. Ia minta kepala daerah di Surabaya Raya, yakni Wali Kota Surabaya, Bupati Sidoarjo, dan Bupati Gresik lebih bersungguh-sungguh menangani wabah Virus Corona atau Covid-19. Mayjen Widodo menyampaikan hal tersebut karena melihat sampai saat ini kurang adanya keseriusan para kepala daerah, sehingga jumlah kasus Covid-19 justru terus meningkat di ketiga wilayah ini. “Saya minta untuk menyelesaikan masalah Covid ini jangan cuma pakai data, fakta, atau drama dan sebagainya. Mari kita real semuanya,” tegas Pangdam ketika memberi arahan dalam rapat koordinasi PSBB di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Seperti dilansir JPNN.com, Selasa (09 Juni 2020 – 06:45 WIB), selama ini upaya yang telah dilakukan TNI dan Polri dalam penanganan Covid-19 seperti biasa saja karena tampak seperti tidak ada keseriusan dari pemerintah daerah. Dia mencontohkan, tidak adanya aturan tegas dari Perwali atau Perbup yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam penanganan Covid-19. Akibatnya, ketika terjadi pelanggaran hanya diperingatkan biasa dan kesalahan yang sama akan diulang kembali oleh masyarakat. Tidak hanya itu, penerapan kampung tangguh juga dinilai masih kurang masif dilakukan oleh pemerintah daerah padahal itu bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tangguh dalam menghadapi virus. Seperti halnya di RW 8 salah satu kampung di Gresik yang masih menjadi zona hijau, meski dikelilingi oleh kampung yang sudah zona merah. “Apa yang dimiliki TNI-Polri kami berikan semuanya. Maka, berilah aturan Perwali dan Perbup dengan tegas dan kami siap mengawal. Masyarakat susah didisiplinkan padahal sangat sederhana untuk mengurangi covid-19, gak usah lain-lain,” katanya. Tidak hanya itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, telah memberikan arahan khusus untuk membantu daerah dalam rangka operasi pendisiplinan di tempat-tempat keramaian dari tanggal 1-14 Juni 2020. Maka, ini perlu ada dukungan pula dari pemerintah daerah untuk sama-sama ikut memerangi Covid-19. Menurut Mayjen Widodo, kerjasama yang baik akan sangat baik bagi percepatan penanganan Covid-19, sebab per hari ini saja ada tambahan sebanyak 365 kasus baru di Jatim, tertinggi secara nasional. Kapolda Jatim Irjen Mohammad Fadil Imran juga meminta hal yang sama kepada pemerintah daerah. “Kita hilangkan ego, kita harus hilangkan kepentingan sektoral, kita ikhlas sehingga masyarakat kita bebas dari Covid-19,” ungkapnya. Sebab, dibutuhkan kerjasama semua pihak dalam memerangi Covid-19 agar tidak menyebar semakin masif di masyarakat. TNI dan Polri telah memberikan perhatian penuh kepada Jawa Timur untuk segera mengatasi masalah Covid-19. Kapolda mencontohkan, seperti dukungan tenaga kesehatan dan perlengkapan kesehatan dari TNI dan Polri, kemudian adanya dukungan anggaran maupun bentuk fisik untuk mendukung keberadaan kampung tangguh. “Saya harap reaksi cepat agar dari hulu bisa kita perbaiki dan bila perlu yang disampaikan panglima perlu komitmen dan pernyataan intergritas bersama,” pungkasnya. Drama Risma Peringatan keras Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Widodo Iryansyah saat Rakor PSBB di Gedung Negara Grahadi itu rupanya diarahkan ke Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang videonya viral di berbagai media, Jum’at, 29 Mei 2010. Dalam video berdurasi 52 detik itu, Risma tampak sedang duduk menelpon seseorang dari dalam sebuah tenda, Jumat 29 Mei 2020. Mengenakan rompi hitam dan kaos merah dan berjilbab merah, Risma duduk dan dikelilingi beberapa anak buahnya. Melansir Vivanews.co.id, Jumat (29 Mei 2020 | 16:47 WIB), Risma terlihat betul-betul marah dengan pengalihan dua mobil BNPB untuk warga Surabaya yang dialihkan ke daerah lain itu. Tidak jelas dengan siapa ia berbicara di telepon genggam. Mengetahui 2 mobil PCR permintaannya “diserobot” Gugas Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, Risma pun melaporkan langsung pada Kepala BNPB Doni Monardo, pihak yang dimintai bantuan secara langsung oleh Risma. “Dapat sms, dapat WA-nya pak Joni, Kohar. Kalau itu untuk Surabaya. Opo-opoan (Apa-apaan) gitu lo pak, kalau mau boikot jangan gitu pak caranya,” ungkap Risma dengan nada emosional dalam percakapan di telepon genggam itu. “Saya akan ngomong ini ke semua orang. Pak, saya ndak terima lo pak. Betul saya ndak terima pak. Saya dibilang ndak bisa kerja. Siapa yang ndak bisa kerja sekarang,” kata Risma berang. Kemarahan Risma itu terkait bantuan 2 unit mobil Polymerase Chain Reaction (PCR) BNPB yang, konon, diserobot Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim. Risma berbicara dengan nada keras. Risma mengamuk karena dua mobil PCR bantuan dari BNPB untuk Surabaya justru diserobot Gugus Tugas (Gugas) Covid-19 Jatim dan dialihkan ke daerah lain. Yang sangat menarik perhatian tentunya saat Risma juga dengan lantang menyebut dua nama petinggi PDIP yang kini menjabat di pemerintahan pusat, yakni Puan Maharani (Ketua DPR-RI) dan Pramono Anung (Sekretaris Kabinet). “Kalau mau ngawur nyerobot gitu. Siapa yang ndak bisa kerja. Boleh dicek ke Pak Pramono Anung. Boleh ditanya ke Mbak Puan,” tegas Risma. Kepada wartawan, Risma membeberkan bukti chatting dirinya dengan Kepala BNPB Doni Monardo soal permintaan bantuan mobil PCR secara khusus untuk warga Surabaya. “Teman-teman lihat sendiri kan, ini bukti permohonan saya dengan pak Doni, jadi ini saya sendiri yang memohon kepada beliau. Kasihan pasien-pasien yang sudah menunggu,” kata Risma. Ternyata, amarah Risma itu salah alamat. Mobil laboratorium Bio Safety Level 2 (BSL-2) itu, menurut Doni, dikirim ke Jatim untuk membantu pemeriksaan spesimen. “Pengiriman 2 unit mobil BSL-2 ini bisa membantu Pemprov Jatim,” tegas Doni. Di sini jelas sekali, itu bukan untuk Surabaya! Jadi, kemarahan Risma terkait bantuan 2 unit mobil Polymerase Chain Reaction (PCR) dari BNPB yang, konon, diserobot Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim itu “salah alamat”. Dipastikan, Risma tidak mendapat informasi akurat dari bawahannya. Inikah yang dimaksud Pangdam Brawijaya itu sebagai “drama” penanganan Covid-19 tersebut? Seperti kata Pangdam Brawijaya, mari kita real semuanya. “Jangan cuma pakai data, fakta, atau drama dan sebagainya!” Penulis Wartawan Senior.

Golkar Garindra Nasdem Demokrat, Kembalilah ke Jalan Yang Benar

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (10/06). Empat Partai Politik yang mempunyai Fraksi di Parlemen yaitu Golkar, Gerindra, Demokrat, dan Nasdem memiliki akar dan keberangkatan yang sama. Sama-sama punya sejarah menjadi bagian dari Golkar. Sementara Golkar dilahirkan untuk melawan upaya membelokan haluan dan idelogi Negara dari Pancasila ke komunis. Ketua Umum dari tiga Partai, yaitu Prabowo, SBY, dan Surya Paloh memiliki kesejarahan politik yang sama. Pernah berkiprah atau menjadi bagian dari Golkar. Bahkan Surya Paloh pernah menjadi Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar, Prabowo pernah ikut Konvensi Partai Golkar, dan SBY dari jalur A (ABRI) keluarga besar Golkar karena pernah menjadi Kasospol ABRI. Adapun Partai Golkar, yang awalnya adakah Sekber Golkar itu, didirikan untuk mengantispasi dan melawan eskalasi politik komunis-PKI di masa Orde Lama. Orde kekuasaan yang sangat dekat dan mengakomodasi aliran politik komunisme melalui perjuangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai yang ingin mengganti idoelogi Negara dari Pancasila ke komunis. Agak ironis ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang oleh publik dan masyarakat awam disebut berbau Komunis dan Orde Lama. Namun empat Partai tersebut, baik Golkar, Gerindra, Demokrat, maupun Nasdem justru mendukung disahkannya RUU HIP sebagai inisiatif Dewan. Padahal konten dari RUU HIP ini, terbaca secara kasat mata dapat disebut "nyeleneh" dan "mundur ke belakang". Mengancam eksistensi ideologi Pancasila. Semua tahu dalam RUU HIP ini Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 yang berhubungan dengan PKI dan larangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme telah di "outkan" dari Konsiderans. Lalu Pancasila, Trisila, Ekasila tertuang secara eksplisit dalam Pasal, serta nilai-nilai Agama dan Ketuhanan yang diberi alas Kebudayaan. Agama yang direndahkan setara dengan kebudayaan. Jika tetap berjalan mulus skenario politik bahwa wujud RUU HIP ini menjadi Undang-Undang, maka keempat partai di atas tentu dapat dipandang oleh rakyat dan bangsa Indonesia telah berubah seperti "kacang yang lupa dari kulitnya". Lupa terhadap cita-cita mulia kelahiran Sekber Golkar dulu. Lupa bahwa komunis pernah menjadi musuh utama Pancasila. Lebih berat predikatnya adalah” telah menghianati" misi awal dari kelahirannya. Kelahiran yang anti terhadap bahaya PKI dan komunisme. Nilai reljjiusitas yang dihormati dan dijunjung tinggi telah diabaikan. Sekularisme dan pragmatisme politik telah menjadi pilar utama dalam membuat setiap keputusan penting menyangkut keselamatan bangsa dan negara. Saatnya Golkar, Gerindra, Demokrat dan Nasdem melakukan koreksi diri. Koreksi terhadap sikap politik yang mengentengkan atau menggangp remeh masalah. Sehingga RUU HIP yang sangat kental bernuansa Orde Lama, dan komunis-PKI ini dapat lolos dengan mudah di senayan. Jika telah menjadi Undang-Undang, maka dipastikan akan menjadi masalah baru. Dapat dijadikan sebagai landasan untuk melakukan sosialisasi Pancasila dalam versi yang keluar dari makna dan rumusan 18 Agustus 1945. Konsensus tentang Pancasila yang dicapai dengan susah payah itu, akhirnya justru hancur. Konflik ideologi pun terpaksa harus terjadi lagi. Energi besar bangsa ini akan tersita untuk membicarakan kembali persolan ideologi Negara. Masalah yang sudah disepakati oleh para pendiri bangsa 75 tahun silan. Kesepakatan yang dibuat pada tanggal 18 agustus 1945. Akibatnya, pembangunan di bidang ekonomi untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain menjadi terabaikan kembali. Padahal tujuan kita bernegara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Golkar, Gerindra, Demokrat, dan Nasdem kembalilah ke jalan yang benar. Jalan adil dan konsensus. Bukan terbawa arus permainan kekuasaan yang menyandera. Koalisi adalah hal yang wajar, tetapi kemandirian ideologis harus tetap terjaga. Sayangnya, RUU HIP telah membuat langkah goyah dalam perspektif ideologi Pancasila yang mulai tersimpangkan. Pancasila jangan sampai dibarter dengan angka dan kekuasaan. Jangan karena sejumput kekuasaan telah mengubah pendirian dan belok dari prinsip dan cita-cita perjuangan. Lalu terjajah oleh dinamika. Akhirnya rakyat merasa dikorbankan oleh permainan yang sebenarnya tidak menyentuh kepentingan rakyat. Aspirasi rakyat yang menolak RUU HIP semoga ditangkap. Muatan Haluan Ideologi Pancasila bukan porsinya Undang-Undang, tetapi menjadi Ketetapan MPR. Keliru menurunkan Pancasila menjadi nilai instrumental. Rakyat menolak karena ada "down grade" kewibawaan ideologi Pancasila. Undang-Undang itu bukan tempat yang tepat untuk mengatur "staats fundamental norm". Moga pada tahapan ini, pilihan cerdas dan jernih dapat diambil. Segara tarik dan hentikan pembahasan RUU HIP tersebut. Bawa permasalahan idelogi Negara ini ke ruang yang lebih terhormat dan tepat menurut Konstitusi. Tempat untuk menuangkan "Haluan Ideologi Pancasila" sebagai produk hukum yang paling tepat adalah di MPR. Harus dibuat dalam bentuk Ketetapan MPR. Bukan keputuan DPR dan pemerintah. Untuk itu, kembalilah ke jalan yang benar. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Waspadai Ganjar Pranowo!

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Senin (08/06). Siapapun yang berniat menjadi presiden, mulai sekarang harus mewaspadai Ganjar Pranowo. Termasuk internal PDIP yang berminat menjadi penerus Jokowi. Dia bakal menjadi penantang yang cukup serius. Bila kita jeli mengamatinya, mesin politik Gubernur Jawa Tengah ini sudah mulai bekerja. Bukan lagi sekedar dipanaskan. Silakan perhatikan aktivitasnya di media sosial. Sangat aktif. Mulai dari bertemu warga, sidak ke berbagai aktivitas perkantoran, inspeksi jalan, sampai aksinya turun dari mobil, mengatur lalu lintas, ketika terjadi kemacetan. Di musim pandemi Corona, Ganjar juga terlihat eksis. Dia bahkan tak sungkan menjadi host di channel akun youtubenya. Mewawancarai virolog, tenaga medis Dll Tampil super santai. Mengenakan kaos oblong dengan tulisan “Bersama Lawan Corona.” Memakai sarung kain batik dan hanya mengenakan sandal kulit. Sangat informal. Beberapa hari berselang Ganjar juga terlihat terjun langsung ke Bandara Ahmad Yani, Semarang. Dia memberi petunjuk teknis secara detil agar calon penumpang diatur tidak bergerombol. Kesan yang ingin dibangun, Ganjar sangat responsif dan merakyat. Tak segan turun tangan langsung ke lapangan. Barangkali karena aktivitasnya itu lembaga survei Indikator Politik menyebut Ganjar sebagai kepala daerah yang elektabilitas naik di tengah pandemi. Pada Februari 2020 elektabilitas berada di 9,1 persen. Pada Mei 2020, naik menjadi 11,8 persen. Sebagai capres, dia berada di posisi kedua setelah Prabowo yang elektabilitasnya anjlok dari 22,2 persen menjadi hanya 14,1 persen. Sebaliknya Gubernur DKI Anies Baswedan yang kiprahnya menangani pandemi dipuji komunitas internasional, elektablitasnya malah turun. Dari semula 12,1 persen menjadi 10,4 persen pada Mei 2020. Itu kalau kita percaya dengan data yang dilansir oleh Indikator Politik. Sebab survei lembaga lain menunjukkan angka sebaliknya. Survei Indobarometer pada akhir Februari melansir data elektabilitas Gubernur DKI Anies Baswedan paling tinggi. Sangat jauh dibandingkan kepala daerah di Jawa. Termasuk Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Gubernur Jatim Khofifah. Dia menjadi kepala daerah terkuat sebagai capres. Angkanya 31,7 persen. Sementara Ganjar yang berada di urutan kedua angkanya terpaut sangat jauh, hanya 11,8 persen. Lembaga survei Median merilis data akhir April lalu menempatkan Anies sebagai gubernur yang paling jitu menangani Corona. Angkanya juga jauh di atas Ganjar. Selisih lebih dari satu digit. Anies Baswedan 24,1 persen, sementara Ganjar hanya 9,6 persen. Biasanya kepuasan atas kinerja, berbanding lurus dengan elektabilitas. Tapi biarlah itu menjadi urusan lembaga survei. Sejauh ini toh publik sudah sama-sama maklum, lembaga survei banyak digunakan sebagai bagian dari strategi pemenangan. Yang bisa kita simpulkan saat ini, Ganjar dan timnya, atau setidaknya sekelompok orang yang menjagokannya, sedang serius bekerja. Mereka tampaknya sangat menyadari bencana pandemi Covid bisa berubah menjadi bencana politik. Tak ada salahnya bergerak cepat, tanpa harus menunggu Pilpres 2024. Jangan sampai terlambat. Meniru track Jokowi Bagaimana kira-kira skenario yang disiapkan untuk Ganjar? Kalau kita amati cara mainnya tidak akan beda jauh dengan kemunculan Jokowi pada Pilpres 2014. Tracknya akan sama, namun dengan berbagai modifikasi dan berbagai penyesuaian. Saat itu sebagai Ketua Umum PDIP Megawati menginginkan kembali maju Pilpres. Namun Megawati dikepung dan dibombardir dengan hasil survei, opini pengamat, dan pemberitaan media. Megawati di fait-accomply bila PDIP ingin memenangkan pemilu sekaligus memenangkan pilpres, maka Jokowi lah yang harus dicalonkan. Bukan dia. Megawati yang biasanya kukuh pada pendirian, berani menentang arus, akhirnya tunduk juga. Dia menyerahkan tiket ke Jokowi. Capres yang diusung PDIP itu menang Pilpres 2014, tapi suara PDIP kendati menjadi partai pemenang, tidak melonjak seperti yang digembar-gemborkan pengamat dan lembaga survei. Celakanya dalam perjalanan waktu, Jokowi juga tidak sepenuhnya berada dalam kendali PDIP. Ibarat kata dia yang menanam, orang lain yang panen raya. Megawati terpaksa harus sering mengingatkan bahwa Jokowi adalah “petugas partai.” Skenario serupa bisa kembali digunakan Ganjar. Sampai sejauh ini naga-naganya Megawati ingin mengajukan putrinya Puan Maharani. Dia disebut-sebut akan dipasangkan sebagai cawapres Prabowo Subianto. Keinginan yang sangat wajar bila Megawati tetap ingin mempertahankan trah Soekarno dalam tampuk kekuasaan nasional. Apalagi sebagai Ketua umum partai, dia sudah memegang tiket. Mosok harus diserahkan ke orang lain. Tragedi pencalonan pada Pilpres 2014, jangan sampai kembali terulang. Masalahnya berbeda dengan Megawati, figur Puan tidak sekuat ibunya. Berbagai lembaga survei juga tidak pernah menempatkan nama Ketua DPR itu sebagai kandidat yang diperhitungkan. Sangat mudah bagi siapapun, termasuk Ganjar dan timnya untuk mendowngrade dan kemudian menyingkirkan Puan dari perebutan tiket yang dimiliki PDIP. Sementara figur Prabowo yang bakal dipasangkan dengan Puan juga tidak kuat-kuat amat. Benar saat ini dia termasuk kandidat dengan elektabilitas yang tinggi, namun dengan trend yang terus menurun. Bila benar Ganjar yang akhirnya mendapat tiket PDIP, maka dia akan menjadi kandidat yang harus diperhitungkan oleh siapapun, termasuk Anies. Sebagai kandidat dari partai nasionalis, mengendalikan Jateng sebagai salah satu lumbung suara di Indonesia, dia tinggal mencari cawapres yang tepat. Gubernur Jatim Khofifah akan menjadi salah satu calon yang sangat ideal digandeng Ganjar. Koalisi PDIP-PKB sudah cukup untuk mengajukan calon sendiri. Duet mereka akan menjadi perpaduan sempurna. Nasionalis-Islam, lelaki-perempuan. Jangan lupa jumlah suara Jatim dan Jateng secara nasional menempati posisi kedua dan ketiga terbanyak. Modal mereka sangat kuat. So, mulai sekarang waspadai lah Ganjar Pranowo. Jangan anggap remeh. End. Penulis adalah Wartawan Senior.

Partai Gelora Indonesia Bisakah Bergelora?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Krisis dan bencana tampaknya “berjodoh” dengan Anis Matta. Tak heran bila kalangan dekatnya menjulukinya sebagai Sang Nakhkoda di Tengah Badai. Tampil ke puncak pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ketika partai tersebut mengalami goncangan besar. Dilanda krisis dan bencana kepemimpinan. Kini dia muncul kembali mendirikan partai baru, di tengah bangsa mengalami bencana dan krisis akibat pandemi. Menkumham Jasonna Laoly Rabu (2/6) menyerahkan SK badan hukum Partai Gelora Indonesia yang didirikannya bersama sejumlah mantan elit PKS. Mereka tinggal mengikuti verifikasi faktual dari KPU, maka resmilah menjadi salah satu kontestan Pemilu 2024. Dalam dunia manajemen, figur seperti Anis Matta disebut sebagai turnarround artist. Figur yang mengambil alih manajemen ketika perusahaan sedang mengalami krisis, dan berhasil membalikkan situasi. Dari perusahaan yang semula nyaris bangkrut, menjadi perusahaan yang menguntungkan dan tumbuh berkembang. Akhir Januari 2013 Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penerima suap dalam impor daging sapi. Kasus ini mengguncang PKS dan menghancurkan citranya sebagai partai yang mengusung slogan : Bersih dan Peduli. Anis terpaksa meninggalkan zona nyamannya sebagai Sekjen PKS yang telah diduduki sejak partai berdiri. Dia ditunjuk sebagai Presiden PKS baru. Tugasnya sangat berat. Memulihkan citra PKS. Pada saat bersamaan dia juga harus bisa menyelamatkan suara PKS. Pemilu 2014 sudah didepan mata. Tugas itu dilaksanakan dengan baik. Total suara PKS naik, namun dari sisi prosentase dan jumlah kursi turun. Hasil tersebut mengejutkan banyak pengamat. Semula banyak yang memperkirakan PKS bakal babak belur. Isu korupsi sangat telak menghujam jantung citranya sebagai partai dakwah yang bersih. Sejarah kemudian mencatat Anis bersama sejumlah elit PKS seperti Fahri Hamzah dan Mahfudz Siddiq, keluar dari PKS. Mereka mendirikan Partai Gelora Indonesia atau lebih dikenal sebagai Partai Gelora. Bergerak lebih ke tengah Dilihat dari ideologi Partai Gelora yang mengusung Pancasila, Anis dkk tampaknya konsisten dengan gagasan lamanya. Dia ingin mendorong PKS lebih ke tengah. Perpaduan antara Islam dan nasionalis. Bukan kanan luar yang selama ini dianut PKS. Pada Mukernas 2008 di Bali, Anis dkk mengumumkan keterbukaan PKS. Mereka membuka diri untuk bekerjasama dengan komponen lain bangsa Indonesia, bukan hanya umat Islam. Di beberapa provinsi, PKS mengusung anggota legislatif non-muslim. Namun gagasan ini secara internal tidak sepenuhnya diterima. Banyak yang menentangnya. Kini gagasan lama itu diwujudkannya melalui Partai Gelora. Mereka melangkah lebih jauh mengusung semangat kolaborasi dengan mengutamakan agenda kebangsaan. Gagasan itu sejauh ini cukup mendapat sambutan. Mereka berhasil membangun jaringan di beberapa provinsi non-muslim yang selama ini cukup sulit ditembus. Secara mengejutkan dalam waktu yang cukup singkat mereka berhasil mendirikan sebuah partai. Padahal syarat pendirian partai di Indonesia saat ini dikenal sebagai paling sulit di dunia. Harus memiliki 100 persen pengurus di seluruh provinsi. 75 persen di kota/kabupaten, dan 50 persen kecamatan. Saat ini Indonesia terdiri 34 provinsi, 514 kota/kabupaten, dan 7.904 kecamatan. Ibarat seorang bayi, Gelora dilahirkan melalui proses yang normal, bukan melalui operasi sesar. Mereka membangun sendiri jaringan di seluruh Indonesia, dengan susah payah. Bukan melalui jalan pintas. Mengakuisisi partai yang sudah berbadan hukum. Padahal mekanisme semacam itu sangat dimungkinkan, dengan biaya yang nota bene lebih murah pula. Perlu dicatat, hal itu mereka lakukan di tengah masa pandemi. Dari situ kita bisa mendapat gambaran militansi, soliditas, kekuatan jaringan yang mereka bangun dan miliki. Publik kini tengah mengamati, apakah Anis bisa membuktikan kesaktiannya kembali. Bukan “hanya” sekadar membenahi perusahaan yang mau bangkrut. Namun membangun sendiri “perusahaan” yang dapat tumbuh dan bersaing dengan parpol lain yang sudah ada. Tantangannya sangat berat, di tengah masyarakat Indonesia yang terbelah cukup dalam. Meminjam istilah mantan Presiden AS George W Bush Jr, kondisi masyarakat Indonesia saat ini berada dalam situasi “Either you are with us, or you are with the enemy.” Melihat reputasi figur para pendirinya, Menkumham Jasonna Laoly memprediksi Gelora akan menjadi partai penantang yang serius, pada Pemilu 2024. Bisakah semangat kolaborasi dan mengedepankan agenda kebangsaan yang mereka usung menjadikan Partai Gelora Indonesia sebagai partai yang bergelora? End Penulis Wartawan Senior.

Menatap Masa Depan Bangsa "Era New Normal"

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz telah menandatangani perdamaian pada 20 April lalu untuk membagi kekuasaan. Permusuhan mereka selama belasan tahun sirna. Sebagai Yahudi, mereka mungkin adalah orang yang paling keras kepala di dunia ini. Namun, Coronavirus membuat mereka mengerti bahwa persatuan bangsa Yahudi di atas segalanya. Itu di belahan dunia Timur Tengah. Di kawasan Asia Selatan/Asia Pusat, Ashraf Gani, Presiden Afghanistan, melepas 900 tahanan Taliban. Ini bagian dari pelepasan 100.000 tahanan Taliban. Musuh berbuyutan puluhan tahun. Bahkan Taliban suatu waktu dalam sejarah adalah tempat bermukimnya Al Qaeda, organisasi yang ditudih teroris terbesar di dunia.Permusuhan rezim non Taliban vs Taliban segera berkahir. Itu hikmah Coronavirus. Di balik hikmah Coronavirus, peran Amerika dalam "setting" latar pada politik mereka cukup kuat. Di mana ada Amerika berpengaruh, kelihatannya tema perdamaian dalam masa pandemik ini terjadi. Sebalinya, di negara-negara yang besar pengaruh RRC China di dalamnya, pergolakan dan permusuhan tetap berlangsung. Masa pandemik Coronavirus tidak membuat refleksi adanya kepentingan bersama yang lebih besar. Ketegangan sosial politik di Malaysia dan Indonesia, sebagaimana kita fahami cenderung terpengaruhi RRC selama ini, tetap panas dan tak kunjung mengakhiri ketegagan sosialnya. Apalagi di Hongkong, Taiwan, Tibet, di mana China dominan, kekerasan dan kerusuhan terus berlangsung. Ketegangan sosial di Indonesia selama ini berlangsung sejak Jokowi "running for President", lebih tepat lagi saat maju menjadi gubernur Jakarta. Pembelahan sosial terjadi antara kaum sekuler vs. Islami. Kaum sekuler mencoba mendegradasi kenyamanan konsep mayoritas-minoritas yang selama ini berlangsung. Di mana, mayoritas dianggap melindungi dan minoritas menghormati. Pendegradasian dilakukan dengan konsep baru "Multi-Minoritas", di mana, menurutnya, bangsa ini sebenarnya merupakan fenomena persatuan minoritas, jika kita bedah lebih dalam. Konsep Indonesia asli ataupun pribumi hanyalah imaginasi pendiri bangsa, sebab menurut mereka, pada dasarnya semua orang Indonesia adalah pendatang dari China Selatan. Sehingga, eksistensi pasal 6 UUD45 asli, bahwa Presiden wajib orang Indonesia asli, tidak diperlukan lagi. Orang setengah Indonesia maupun orang seluruhnya bukan pribumi, seperti Ahok, misalnya, berhak untuk jadi Presiden. Tentu saja reaksi datang dari ummat Islam. Singkat cerita, ummat Islam yang selama ini nyaman dengan pola lama merasa terganggu. Terutama ketika Ahok menggantikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta, beberapa simbol2 keislaman daan tradisinya mengalami marginalisasi. Dan reaksi ini bermuara pada gerakan perlawanan ummat Islam, yang dikenal sebagai gerakan 212, dengan Habib Rizieq sebagai simbol perlawanannya. Pertarungan Segitiga Ketika pertama sekali kasus Covid-19 mendapat perhatian besar masyarakat, Jokowi dan rezimnya berusaha mengangkat isu kepulangan eks ISIS dan keluarganya sebagai isu tandingan. "Apakah anda setuju jika pemerintah mengizinkan anak-anak ISIS pulang ke Indonesia? ", demikian berbagai media mainstream. Pengembangan isu teroris ini agak ganjil, sebab masa pandemik di seluruh dunia isu terorisme menjadi sirna. Berbagai gerakan "social distancing", "physical Distancing" dan "#StayHome" membuat transportasi dan mobilitas manusia terhenti, termasuk teroris dan kriminal, khususnya di masa awal pandemik. Selain itu, di Jakarta, Rezim Jokowi memperlihatkan kebijakan yang selalu berseberangan dengan Anies Baswedan. Sebagaimana kita ketahui, Jakarta adalah epicenter coronavirus di Indonesia. Anies berusaha bekerja keras sesuai standar WHO dan ahli epidemiologi. Namun, sebagai mana diberitakan dalam media Australia, Sidney Morning Herald, rencana Anies untuk menerapkan transparansi soal covid-19 ini terhalangi sikap rezim Jokowi yang ingin terus menutupi adanya virus ditahap awal, setidaknya bulan Januari-Februari. Standar umum internasional yang diinginkan Anies adalah segera memakai masker, memperbanyak lab-lab pemeriksaan Covid-19, meliburkan sekolah, menutup mal, menghentikan/membatasi transportasi massal, mengerahkan seluruh tentara dan polisi untuk mendisiplikan warga, ditahap awal, dll. Pertarungan keinginan Anies ini berakhir dengan kompromi PSBB, yakni menyatakan Covid-19 sebagai Bencana Nasional Sektor Kesehatan, di mana tanggung jawab utama dibebankan kepada kepala daerah, sedangkan ijin dilakukan Menteri Kesehatan. Beban yang dimaksud adalah kemampuan anggaran daerah memberi bansos sebagai faktor penting persetujuan PSBB. Sedangkan rezim Jokowi ditahap awal tetap menganggap ini bukan persoalan besar. Rakyat tidak perlu pake masker. Tidak perlu "panic buying", bahkan Jokowi pada tanggal 12 Februri 2020, menelepon dan menawarkan bantuan kepada Xi Jinping untuk Indonesia ikut memerangi coronavirus di China. Penyepeleaan ini, dalam istilah Jusuf Kalla, kehilangan "Golden Time". Pertentangan di tingkat narasi dan kebijakan serta implementasi yang terjadi antara rezim Jokowi vs Anies, yang mana Anies dianggap representasi kaum Islam, membuat gerakan pertentangan diakar rumput, khususnya di media sosial, mempertahankan situasi keterbelahan bangsa yang sudah berlangsung lebih 5 tahun belakangan ini. Ditambah lagi seperti kasus kriminalisasi yang diarahkan pada pengkritik rezim Jokowi, seperti yang dialami M. Said Sidu dalam kebijakan immigran China ditengah pandmeik serta pengiriman Habib Bahar Bin Smith ke penjara Nusakambangan karena orasi politiknya yang anti kekuasaan, dan berbagai kasus anti demokrasi rezim Jokowi yang terus berlanjut. Alhasil pertarungan di Indonesia saat ini berlangsung dalam skema pertarungan segitiga, yakni Rezim Jokowi - Kaum Oposisi - Covid-19. Jadi satu pihak merasa harus memusuhi dua pihak lainnya. Era New Normal Jokowi kemarin sudah mencanangkan akan membuka ratusan mal pada bulan Juni. Secara simbolik Jokowi mendatangi Mal Sumarecon di Bekasi. Secara bersamaan Jokowi memerintahkan 340.000 tentara dan polisi melakukan disiplin warga ke depan, ketika aktifitas perekonomian dimulai lagi. Kebijakan Jokowi ini dilakukan dengan sebelumnya Jokowi mengumumkan bahwa kita harus berdamai dengan covid-19. Namun, Jokowi belum melakukan evaluasi tentang keberhasilan PSBB. Hal ini dibuktikan dengan sikap Anies Baswedan dan Walikota Bekasi yang tidak menyetujui langkah Jokowi akan membuka mal diwilayah kekuasaan mereka. Sebagai perbandingan, Gubernur New York dalam rangka memasuki New Normal, membentuk sebuah dewan ahli yang disebut "The New York Forward Reopening Advisory Board" yang berisi para pengusaha, para ahli, dan tokoh2 masyarakat. Selain itu dia, dibidang pendidikan, juga membuat "New York’s Reimagine Education Advisory Council", yang berisikan tokoh2 pendidikan, orang tua dan para ahli. Jadi kolaborasi negara dengan "civil society" menjadi kunci kapan New Normal ditentukan dan bagaimana menjalaninya. New Normal di negara2 lain umumnya dianggap sebagai masa kehidupan baru setelah "flaten the curve" atau kurva kasus baru sudah menurun. Di Wuhan China, di Lombardi Italia, di Prancis, di Malaysia, di Singapura dlsb, pengendalian disiplin masyarakat melalui tentara dan polisi dalam skala nasional berhasil menekan laju penyebaran virus tersebut. Disamping kesiapan mereka melakukan pembenahan manajemen rumah sakit, keterbukaan informasi penyebaran pandemik dan kesiapan dana untuk kesehatan dan pangan. Istilah New Normal tanpa "flaten the Curve" mungkin hanya ada di Indonesia, sebagaimana kita ketahui penyebaran virus bahkan sudah menjadikan Surabaya dan Jawa Timur sebagai epicenter baru, menggantikan Jakarta. Dengan demikian maka coronavirus sebagai bencana nasional akan tetap hidup sepanjang penemuan vaccine covid-19 ini tidak ada. Sedikitnya berbagai ahli pesimis produksi massal vaccine itu terjadi hingga akhir tahun 2021. Tantangan Ekonomi Dampak ekonomi coronavirus ini telah kita rasakan bersama. Klaim negara besar selama ini, yang coba menawarkan RRC bantuan penanganan covid-19, sirna. Realitasnya adalah ketidakmampuan negara bertanggung jawab meredakan beban ekonomi masyarakat ditengah pandemi. Sejak diumumkannya kasus Covid-19 pertama, pada 2 Maret, terlihat kapasitas pemerintah hingga saat ini, dua bulanan, tidak berdaya lagi. Di New York, Gubernur Cuomo jujur mengatakan bahwa State of New York sudah kehabisan uang. Sudah tidak berdaya dan membutuhkan bantuan donasi atau sumbangan masyarakat. Padahal APBD New York 177 milyar dollar lebih besar dari APBN se Indonesia. Hancurnya sebuah negara adalah keniscayaan. Semua negara-negara di dunia runtuh. Mal mal, misalkan, tidak mampu bayar cicilan kredit dan bunganya ke bank, sebab penyewa mal tidak punya kas lagi karena tidak ada yang belanja. Bank-bank kesulitan uang untuk membayar tarikan nasabah karena peminjam uang bank mulai pada menunggak. Alhasil Bank Indonesia mengurangi 50% Giro Wajib Minimum Bank-Bank agar bank bisa hidup. Namun sampai kapan Bank Central, Bank-bank, Mal-mal, pabrik-pabrik, dlsb tidak bangkrut? Bank-bank dan korporasi yang mengalami kesulitan likuiditas maupun kehancuran bisnis secara keseluruhan tidak mungkin membayar pajak. Sehingga penerimaan pajak negara akan berkurang drastis dalam porsentase dominan. Dalam berbagai krisis sebelumnya, sebuah proyeksi "cashflow" negara dapat dilakukan, karena krisis yang terjadi bersifat regional dan sektor keuangan/moneter. Sedangkan krisis ditengah wabah, membuat selalu situasi ketidak pastian, sehingga proyeksi sulit dilakukan. Sementara beban negara untuk belanja anggaran tentara, polisi dan pegawainya tetap besar. Begitu juga anggaran sektor kesehatan dan pangan. Wabah ini sendiri memukul semua negara, khususnya negara kaya, sehingga mengharapkan bantuan pembiayaan dari negara kaya sulit dilakukan. Bagaimana bantuan lembaga multilateral seperti IMF? Selain 160 negara berharap meminjam pada IMF, 10 negara kontributor utama IMF saat ini mengalami resesi dan membutuhkan uang juga. Sehingga, sulit sekali mengobral surat hutang negara ke lembaga keuangan dunia. Negara- negara kaya seperti Amerika bisa mencetak uang dollar dengan beban inflasi ditanggung seluruh dunia. Karena hampir seluruh negara menggunakan dollar sebagai uang kedua selain mata uang sendiri. Negara2 kaya lainnya mempunyai tabungan. Belanda dan Kuwait, misalnya, mempunyai "Sovereign Wealth Fund" dari hasil menabung selama bertahun2. Sehingga, mereka punya cash bertahun2 ke depan sampai masalah pandemi selesai. Nasib Negara Indonesia ke depan berhadapan bukan dengan teroris atau oposisi, namun bagaimana negara mampu berhemat. Jika anggaran negara dan birokrasinya bisa di sesuaikan dengan pemasukan pajak yang sangat kecil, maka negara masih akan bertahan. Tantangan kesejahteraan masyarakat tentu sudah di luar kemampuan negara. Masyarakat harus mampu menemukan sendiri jalan kehidupan ekonominya. Dalam sebuah ilustrasi yang rumit, masyarakat di Mesopotamia, Iraq/Syiria, karena situasi perang, berusaha membangun solodaritas ekonomi sesama manusia. Mereka mendirikan "People's Economy" (lihat: mesopotamia.coop) yakni koperasi. Jalan koperasi ini saling mendorong dan melindungi masyarakat untuk mampu berusaha ekonomi. Tantangan Kaum Oposisi Rezim Jokowi meyakini bahwa isu terkait anak-anak eks ISIS, isu Habib Rizieq Sihab, isu Habib Smith, isu Said Didu, isu Rizal Ramli, isu Rocky Gerung, isu Din Syamsudin dan berbagai nama oposisi serta gerakannya adalah pinggiran. Hal ini juga terjadi dengan kekuasaan daerah, seperti Jakarta, yang dijalankan pemimpim umat. Kita sudah menjelaskan diawal, bahwa sekeras keras kepalanya Jahudi, Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz melakukan perdamaian. Presiden Afghanistan dan Taliban juga melakukan perdamaian. Dengan strategi itu mereka menentukan musuh besarnya adalah Coronavirus. Jokowi dan rezimnya tentu berkuasa atas struktur negara. Namun, dalam teori sosial, sebuah negara diambang krisis, kunci bertahannya hanyalah pada partisipasi dan kolaborasi. Social Capital bisa jadi lebih penting dari kapital itu sendiri. Kembali pada sisi kaum oposisi, seperti Habib Rizieq, Din Syamsudin, Rizal Ramli, Said Didu, Iwan Sumule, Haris Rusli Moti, Dr. Ahmad Yani dan seterusnya, kunci sukses adalah mengkonsolidasikan solidaritas keummatan yang ada. Tentu saja pekerjaan ini bukan pekerjaan gampang, namun sekali saja terjadi "trust" dan "partisipasi" membangun kekuatan ekonomi dan ketahanan pangan bagi kaum oposisi bisa dilakukan dengan baik. Perlu tiga kunci sukses dalam menjalankan itu. Pertama adalah membangun organisasi. Organisasi ini maksudnya adalah centrum of Trust. Centrum of Trust adalah organisasi dalam pengertian wadah perjuangan, pikiran/konsep "New Life" yang ditawarkan dan sistem interaksi sosial ke depan. Sistem interaksi sosial masa pandemik harus diatur dalam standar ketat. Kedua, adalah pembiayaan. Pada masa lalu saya menawarkan istilah "Habieb Rizieq Trust Fund", sebuah pusat penggalangan dana dari anggota. Ketiga adalah kaum professional. Jika People's Economy of Mesopotamia bisa sukses, seharusnya gerakan oposisi kedepan bisa sukses menolong rakyat yang saat ini sedang kelaparan dan kemiskinan. Penutup Peradaban yang runtuh, negara yang runtuh dan kemiskinan rakyat akan menjadi fenomena ke depan di era covid-19 ini. Era New normal versi Indonesia yang penuh resiko, menciptakan kepastian ke depan tidak ada sehingga meramalkan sukses sebuah rezim sulit dilakukan. Rezim Jokowi yang mengambil posisi tetap bermusuhan dengan kelompok-kelompok oposisi, telah menjadikan adanya segitiga pertarungan dalam situasi sekarang ini, yakni rezim Jokowi vs. Oposisi vs. Coronavirus. Jokowi yang menguasai negara selain harus menghegemoni oposisi, mengalami pelemahan negara akibat dampak ekonomi buruk pandemik telah merontokkan sistem perekonomian. Mengharap bantuan asing juga sulit, sebab mereka juga kesulitan keuangan. Mengobral surat hutang juga sulit karena hutang kita telah terlalu besar. Kelompok-kelompok oposisi yang mempunyai tanggung jawab sosial melindungi masyarakat yang dinaunginya, sudah selayaknya bekerja cepat mengkonsolidasikan solidaritas. Solidaritas itu menyangkut perlindungan rakyat dari kemiskinan dan kelaparan. Gerakan koperasi, sebagaimana dicontohkan "people's economy of Mesopotamia" berhasil menaungi rakyat di daerah Tigris Iraq tersebut. Pemimpin2 kita yang sudah terbiasan dalam setting solidaritas tentunya mampu melakukan hal yang sama dengan membangun organisasi (centrum of Trust). Pertarungan segitiga yang juga dihadapi kaum oposisi, selain menghadapi rezim Jokowi sekaligus Covid-19, harus dimaknai dua hal, pertama rezim Jokowi juga semakin lemah karena dampak coronavirus dan kedua, situasi saat ini justru kelompok2 non kapitalis yang lebih adaptasi dalam menyelamtakan rakyatnya. Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle