POLITIK
HRS Diduga “Dikriminalisasi”, Pertanda Pemerintah Semakin Panik?
by Mochamad TohaSurabaya FNN - Selasa (08/12). Terlepas dari banyaknya kontroversi, FPI dan Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS) merupakan fenomena politik di Indonesia. Terbaru, sejak kepulangannya, setelah “bermukim” di Arab Saudi selama 3,5 tahun, HRS kembali menjadi sebuah kontroversi. Membawa jargon “Revolusi Akhlak”, kini HRS kembali “dibidik” Pemerintah RI lagi. Sejumlah upaya yang diduga “kriminalisasi” HRS pun dilakukan. Pertanyaannya: Mengapa HRS?! Awalnya, HRS akan dibidik dengan “Klaster Petamburan” terkait dengan kerumunan massa saat menikahkan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat, setelah kedatangan HRS. Sebelumnya diketahui, Satgas Penanganan Covid-19 beberapa waktu lalu menyebut muncul klaster penularan virus corona (Covid-19) di wilayah Petamburan. Hal ini kemudian dibantah oleh epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI). Menurut Epidemiolog Pandu Riono, berdasarkan data yang dimiliki FKM-UI, kenaikan kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta tersebit berasal dari klaster keluarga usai libur panjang 28 Oktober-1 November 2020. Meski terjadi kerumunan saat HRS pulang, belum ada klaster kerumunan Petamburan yang tercatat. “Menurut saya enggak ada klaster Petamburan, yang positif memang banyak, tapi enggak ada kaitannya dengan klaster kerumunan itu. Kalau klaster keluarga yang berlibur, itu ada,” kata Pandu Riono, kutip CNNIndonesia.com, Selasa (24/11). Pandu mengatakan, lonjakan kasus di DKI Jakarta justru berasal dari aktivitas libur panjang ketimbang kerumunan HRS. Dari data yang ia miliki tersebut, belum ada laporan kasus positif Covid-19 akibat kerumunan yang terjadi di Petamburan dan Tebet. Dan, bahkan, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang terjadi karena kerumunan massa saat kedatangan Rizieq. “Bahwa, menurut FKM-UI dari data yang ada belum ditemukan klaster akibat kerumunan di Petamburan dan Tebet, kenaikan kasus di Jakarta lebih mungkin terjadi akibat dampak libur panjang,” ujarnya, seperti dilansir Detik.com, Rabu (25 Nov 2020 06:27 WIB). Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menyampaikan hasil tracing terhadap warga yang mengikuti kegiatan terkait kerumunan massa HRS, mulai dari Petamburan, Tebet, hingga Megamendung. Kemenkes menyebut di Tebet ditemukan 50 orang positif Corona. Dari hasil tracing dan testing pada sejumlah kejadian tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan PCR di Lakesda 21 November ditemukan di Tebet total 50 kasus positif, dan di Petamburan sebanyak 30 kasus dan di Megamendung terdapat 15 sedang menunggu hasil pemeriksaan. Itu disampaikan Plt Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes dr. Muhammad Budi Hidayat, dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube BNPB Indonesia, Minggu (22/11/2020). Bisa disebut, upaya “menjaring” HRS lewat tracing dan testing di Petamburan itu ternyata gagal. Termasuk yang di Megamendung, gagal pula menjerat HRS dengan membuat klaster baru: Klaster Megamendung! Apakah “pemburuan” atas HRS berhenti sampai di sinikah? Tidak! Melalui tangan Walikota Bogor Bima Arya, HRS diburu ke RS Ummi di Kota Bogor saat HRS dirawat di sini. Dengan dalih ingin mengetahui hasil Swab HRS, Bima memaksa RS Ummi “transparan”. Ngototnya Walikota Bima Arya menuntut pemeriksaan ulang tes swab terhadap HRS sudah keterlaluan. Bima Arya bahkan rela mondar-mandir ke RS Ummi, untuk memaksa manajemen RS menuruti keinginannya. Tak hanya itu. Ia bahkan melaporkan RS Ummi ke polisi dengan tuduhan menghalang-halangi pemeriksaan dan pemberantasan Covid-19. Padahal Dirut RS Ummi, Andi Tatat, sudah mengumumkan, termasuk kepada media, bahwa hasil tes swab HRS negatif. Habib hanya kelelahan karena kegiatan bertubi-tubi usai kepulangannya dari Saudi. Hasil tes juga sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala ke arah Covid-19. Sejumlah UU tentang Rumah Sakit, UU Kesehatan, bahkan UU Keterbukaan Publik sudah mengatur soal ini dengan benderang. Intinya, melarang membuka informasi kesehatan pasien ke hadapan publik. “Jadi, kenapa Bima ngotot terus? Adakah tangan-tangan kekuasaan yang menekan dia? Atau, dia sedang menjalankan tugas untuk mengamankan jabatannya?” tukas Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi), Edy Mulyadi. Bahkan, Bima meminta HRS melakukan tes “swab ulang”. Menurut Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Anton Tabah, Bima Arya tidak memiliki hak untuk mendesak atau memaksa HRS melakukan tes Covid-19 untuk kedua kalinya. “Negara itu telah membagi habis tupoksi pada masing-masing lembaga supaya profesional, bertanggung jawab, pasti dan tepat. Soal kesehatan seperti swab itu tupoksi dokter, bukan tupoksi walikota,” ujar Anton Tabah, seperti dilansir RMOL.com, Sabtu (28/11/2020). UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU 29/2004 tentang Perlindungan Pasien, Anton menjelaskan sejumlah hak yang bisa didapat seseorang yang menjadi pasien. Ada hak kenyamanan, hak keamanan, hak keselamatan, hak atas informasi yang jelas, jujur mengenai kondisi pasien, hak didengar pendapat pilihan keluhan, hak mendapat advokasi, hak diperlakukan secara adil, benar dan tidak diskriminatif. Bahkan, Anton menyebutkan hak perlindungan pasien yang tercantum di dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. “Dalam pasal 52 (UU Praktik Kedokteran) lebih jelas lagi, antara lain hak tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter lain atau second opinion. Jadi, seandainya perlu swab ulang dari dokter lain itu harus permintaan pasien yang bersangkutan, bukan dari pihak lain.” Dalam konteks pemeriksaan Covid-19 HRS, Anton Tabah justru mengapresiasi sosok ulama tersebut. Karena, swab testnya dilakukan secara mandiri. “Dan kata Direktur Utama RS Ummi Bogor Andi Tatat, ‘dari hasil screning tim kami, HRS tak terkena Covid. Beliau dalam keadaan sehat walafiat, segar, hanya kelelahan’. Tegas Dirut tersebut,” ungkap Anton Tabah. Ketua Presidium MER-C dr. Sarbini Abdul Murad dalam rilisnya, Sabtu, 28 November 2020, menyebutkan, terkait dengan HRS yang mempercayakan kepada MER-C untuk melakukan pemeriksaan dan pengawalan kesehatan. MER-C mengirim beliau untuk beristirahat di RS. Tapi, mendapatkan perlakuan yang kurang beretika dan melanggar hak pasien dari Walikota Bogor yang melakukan intervensi terhadap tim medis yang sedang bekerja, sehingga menganggu pasien yang sedang beristirahat. “Selain itu Walikota juga tidak beretika dalam mempublikasi kondisi pasien kepada publik, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran dan keresahan bagi masyarakat,” kata dr. Sarbini Abdul Murad. Menurutnya, seharusnya Walikota Bogor itu mempercayakan hal ini kepada RS dan Tim Medis yang menangani karena tim medis mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dan tak perlu dilakukan untuk menangani pasien. Diuber Polisi Tampaknya polisi masih bersikeras mengejar HRS. Penegakan hukum ini dinilai tak adil dan terlihat politis, terkait pemanggilan HRS oleh Polda Metro Jaya dalam dugaan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19. Demikian dikatakan Direktur HRS Center Abdul Chair Ramadhan dalam pernyataan, seperti dikutip Suaranasional, Senin (30/11/2020). Abdul Chair menyebut, HRS telah membayar denda administratif Rp 50 juta sesuai dengan peraturan Pemprov DKI Jakarta. Menurut asas “nebis in idem”, maka seharusnya terhadap HRS tidak dapat dilakukan proses hukum. Maka, “Penyidikan lebih bermuatan politis ketimbang yuridis dan oleh karenanya cenderung dipaksakan,” jelas Abdul Chair. Penerapan hukum yang tidak berimbang ini adalah bentuk penyimpangan (deviasi) asas “equality before the law” dan “kepastian hukum yang adil” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Ia mengatakan, masuknya Pasal 160 KUHP dalam proses penyidikan Protokol Kesehatan – termasuk, tetapi tidak terbatas pada kerumunan – dengan Terlapor HRS sangat ganjil. Sebelumnya dalam tahap penyelidikan tidak ada pasal tersebut. “Penyidik dan/atau Penuntut Umum memiliki alasan untuk melakukan penahanan. Disebutkan demikian, oleh karena ancaman hukuman Pasal 160 KUHP selama enam tahun,” ujarnya. “Pasal 21 Ayat (4) huruf a KUHAP menyebutkan bahwa penahanan terhadap Tersangka atau Terdakwa dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,” jelasnya. Menurut Abdul Chair, terhadap HRS berpotensi dilakukan penahanan, ketika statusnya naik menjadi Tersangka dan/atau pada saat status Terdakwa. Ditegaskan kembali, tidak ada delik dalam PSBB dan Protokol Kesehatan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. “Sepanjang tidak ada pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan, maka Pasal 160 KUHP dan 216 KUHP telah kehilangan objeknya,” tegas Abdul Chair. Penulis wartawan senior FNN.co.id
Ini Penyebab Habib Rizieq Harus "Kabur" dari RS
by Asyari Usman Medan FNN - Senin (30/11). Sebenarnya, tidak keliru kalau para buzzer dan pembenci ulama mengolok-olok Habib Rizieq Syihab (HRS) dengan istilah “kabur” dari RS Ummi di Bogor. Bisa dimakulimi ejekan itu. Mengapa? Karena Habib memang harus "kabur" menghadapi situasi di sekeliling RS itu. Bahaya kalau beliau tidak segera "kabur". Siapa pun orangnya pasti akan memilih cara itu. Tidak mungkin situasi waktu itu dihadapi dengan cara biasa. Tidak mungkin dengan cara normal. Sebab, semua yang menunggu di depan RS Ummi bukan makhluk yang berpikiran normal. Makhluk-makhluk itu sama sekali tidak mungkin berperilaku normal. Jadi, setelah direnungkan, betul juga penyebutan “kabur” oleh para buzzer dan pembenci ulama itu. Tidak salah mereka mengejek Habib "kabur" meninggalkan RS Ummi. Kemudian, para buzzer dan pembenci ulama mengatakan “kabur dari pintu belakang” RS. Bermasalahkah atau tidak narasi yang diviralkan oleh para buzzer dan musuh ulama itu? Tampaknya tidak ada masalah. Sebab, tak mungkin dari depan. Bahaya sekali. Terus, menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “kabur” itu antara lain diartikan “berlari cepat-cepat” atau “melarikan diri”. HRS memang harus berlari cepat-cepat. Dan juga harus segera melarikan diri dari lokasi. Kalau tidak, bakal terjadilah peristiwa yang sangat fatal. Okey. Mungkin Anda akan mengatakan, sudah cukuplah penjelasan Ente. Sekarang, tolong terangkan mengapa Ente bilang wajar saja Habib kabur dari RS. Tentang mengapa tidak masalah kalau para buzzer dan pembenci ulama mengunakan istilah “kabur” untuk proses kepulangan Habib dari RS, begini uraiannya. Habib terpaksa kabur karena beliau melihat di luar RS banyak sekali anjing galak. Ukuran besar-besar semua. Tegap dan kekar. Ada jenis pitbull terrier, German Shepherd, dan ada Belgian Malinois. Kemudian ada jenis Bloodhound, Dutch Shepherd, dlsb. Semua anjing-ajing galak yang menunggu di luar RS itu sangat terlatih untuk mencederai Habib. Anjing-anjing buas itu dikerahkan ke lokasi hanya untuk mengeroyok Habib. Jadi, masuk akal ‘kan Habib terpaksa "kabur" dari RS. Cuma, Habib ternyata tak bisa kabur dari anjing-anjing yang khusus dilatih untuk membenci, menghina, dan mengolok-olok ulama. Mereka ditugaskan untuk menggonggong di dunia maya. Mereka dilatih untuk mengubah narasi kepulangan Habib dari RS “dengan kemauan sendiri” menjadi “kabur”. Begitulah dahsyatnya anjing-anjing yang dilatih dan diberi makan oleh tuan-tuan mereka.[] (Penulis bukan orang FPI)
Habib Rizieq Shihab Lebih Menakutkan Dari Covid-19
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (30/11). Bagi Presiden Jokowi, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) tampaknya jauh lebih menakutkan dibanding Covid-19. Sejauh ini, korban yang terpapar Covid-19 sudah melampaui angka 500 ribu orang. Meninggal dunia di atas angka 16 ribu. Belum ada satupun pejabat yang dipecat. Menteri Kesehatan Terawan juga bisa dengan anteng duduk di jabatannya. Padahal ucapan maupun kebijakannya, berkali-kali blunder. Sebaliknya, hanya beberapa hari setelah HRS kembali ke Indonesia, dua pejabat tinggi kepolisian dipecat. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sujana, dan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudi Sufahriadi dicopot dari jabatannya. Mereka dinilai gagal mencegah adanya kerumunan massa. Sejumlah perwira menengah Polri pada posisi Kapolres juga dirotasi. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tengah malam mengumpulkan para panglima dan komandan pasukan tempur. Menggelar press breifing, nyampaikan ancaman untuk kelompok-kelopok yang memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Tak hanya berhenti sampai disitu. Panglima TNI melakukan sidak ke markas Pasukan Khusus dari ketiga angkatan TNI. Semacam show of force kepada musuh negara. Rombongan kendaraan taktis Pasukan Komando Operasi Khusus (Koopsus), tiba-tiba berhenti tak jauh dari pintu masuk markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman bertindak cepat. Memerintahkan prajurit Kodam Jaya mencopoti baliho ucapan selamat datang HRS. Dia tak mau ketiban apes dicopot seperti koleganya di kepolisian. Sejauh ini jabatan Dudung aman. Dia dinilai berani pasang badan. Termasuk soal wacana pembubaran FPI. Tak kalah sigap, Mendagri Tito Karnavian segera menerbitkan instruksi (Inmen). Para kepala daerah, mulai Gubernur sampai Bupati dan Walikota bisa dicopot dari jabatannya bila tidak menegakkan protokol Kesehatan dan penanggulangan Covid. Gubernur DKI Anies Baswedan dipanggil polisi, untuk klarifikasi akibat kerumunan massa yang sangat besar pada acara Maulid Nabi, dan pernikahan putri HRS. Gubernur Jabar Ridwan Kamil juga dipanggil polisi. Dia diklarifikasi adanya kerumunan pada acara Maulid Nabi di pesantren milik HRS, di kawasan Mega Mendung, Bogor. Semua instansi pemerintah tiba-tiba bergerak sangat sigap. Seolah adu unjuk kerja ke Jokowi. Sampai-sampai Walikota Bogor Bima Arya Sugianto bertindak over-acting. Mengancam dan melaporkan rumah sakit UMMI tempat HRS dirawat dan menjalani swab. Paling ditakuti Berbagai kehebohan itu menunjukkan betapa besarnya pengaruh HRS. Tidak berlebihan bila wartawan asing John McBeth menulis sebuah artikel di laman Asiatime dengan judul yang sangat provokatif. “The Islamic Cleric Who Widodo Fears the Most.” Ulama yang paling ditakuti oleh Presiden Jokowi! Belum pernah dalam 9 bulan terakhir masa pandemi, pemerintah mengerahkan begitu besar sumber dayanya. Mulai dari TNI, Polri, kementerian dalam negeri, dan berbagai sumber daya lain yang tidak kasat mata. Pesan yang sampai ke publik, justru pemerintah seperti kebingungan menghadapi pandemi. Ada perasaan mendua yang bercampur. Mixed Felling. Antara mengutamakan kesehatan, atau mempertahankan ekonomi.Aspek kesehatan seperti kita sudah saksikan dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Pada kasus HRS, instruksi Jokowi sangat tegas dan jelas. Mulai dari Kapolri, Panglima TNI, sampai Mendagri harus bertindak tegas. Bersatu padu menghadapi HRS. Penanggulangan dan penegakkan protokol kesehatan jadi argumen. Skenario yang disiapkan sangat jelas dan terbuka. Penolakan HRS untuk membuka hasil swab di RS UMMI menjadi pintu masuk. Menko Polhukam Mahfud MD bahkan sampai harus menggelar konperensi pers bersama Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo dan pejabat dari Depkes. Secara tegas Mahfud menyebut ada ketentuan pidana yang bisa diterapkan bila HRS menolak bekerja sama. Bersamaan dengan itu polisi juga telah melayangkan surat panggilan. HRS akan diperiksa Polda Metro Jaya Selasa (01/12) berkaitan dengan kerumunan massa di Petamburan. Dalam surat panggilan disebutkan soal adanya dugaan tindak pidana penghasutan, dan menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Melihat besarnya penyambutan HRS di Bandara, kali ini pemerintah pasti tidak ingin kembali kecolongan. Para pejabat Polri dan TNI tak mau lagi kehilangan jabatan. Pemeriksaan HRS oleh Polda diperkirakan akan menarik bagi para pendukungnya untuk memberi dukungan. Semua pasti sudah diantisipasi. End. Penulis warrawa senior FNN.co.id
Prabowo Undercover
by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (29/11). Wuih, ada buku barukah? Hehe. Bukan, kawan. Jangan buru-buru menyangka ada sesuatu yang akan menggemparkan Indonesia. Tapi, melihat dan membaca judul tulisan ini bisa dipahami kalau Anda teringat Bambang Tri Mulyono (BTM), penulis buku “Jokowi Undercover”. Wajar sekali kalau Anda langsung ingat Bambang Tri. Dia menulis buku yang sangat menghebohkan jagad Nusantara, terutama elit politik, sekitar empat tahun lalu. Bambang mendekam di penjara gara-gara buku yang diterbitkan akhir 2016 itu. Buku ini divonis penuh fitnah, dusta, hoax dan penghinaan terhadap Jokowi. Karena isinya panas, buku Jokowi Undercover dikejar dan ditumpas sampai akhirnya hilang dari peredaran. Sekali lagi, “Prabowo Undercover” bukan buku baru. Dan tak ada kaitannya dengan data atau informasi rahasia (undercover) tentang Prabowo. Tempo hari, Bambang Tri memang menuliskan bahan-bahan tentang Jokowi yang dia istilahkan “undercover” (rahasia alias confidential). Judul tulisan kali ini hanya ingin menggambarkan situasi yang sedang dihadapi oleh Prabowo Subianto (PS) menyusul OTT Edhy Prabowo (EP) –yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Jadi, kita tidak sedang membahas buku panas. Bukan juga pembeberan rahasia Pak PS. Dan tak ada pula maksud untuk memancing kehebohan. Ok. Kalau bukan buku baru, apa itu gerangan Prabowo Undercover? Apa maksudnya? Prabowo Undercover saya artikan dalam konteks yang ringan-ringan saja. Terkait dengan sutuasi politik terkini. Khususnya, situasi pasca-penangkapan Edhy –si kader Golden Boy. Pertama, Prabowo Undercover saya maksudkan bahwa Prabowo sedang “tersungkup”. Kalau ditulis agak ‘nyeleneh’, maka kata “undercover” itu bisa saja dikatakan bentuk singkat dari “under the cover”. Yang arti harfiahnya adalah: “di bawah sungkup”. Kalau begitu, apa yang sedang menyungkup Prabowo? Bisa macam-macam. Saat ini Prabowo sedang tersungkup oleh awan gelap akibat kasus korupsi Edhy. Karena tertutup awan gelap, jarak pandang Prabowo ke depan menjadi pendek. Sebagai contoh, beliau agak kesulitan melihat Pilpres 2024. Karena terlindung awan gelap. Nah, jarak pandang yang pendek tentu sangat berbahaya. Di dunia penerbangan, para pilot memerlukan kelihaian tingkat dewa untuk bisa mendarat dengan selamat kalau jarak pandangnya pendek. Itu pengertian “undercover” yang pertama. Kedua, Prabowo Undercover adalah situasi yang membuat dia “terkepung”. Sedang “dikepung” oleh orang-orang dari faksi pragmatis “mumpungisme” (ajaran mumpung) di lingkungan Gerindra. Mereka adalah tikus-tikus di sekitar Prabowo. Tikusnya banyak. Orang-orang ‘mumpungisme’ inilah yang menjadi awan mendung yang akan menggiring Prabowo dan Gerindra masuk ke comberan politik. Inilah makna kedua Prabowo Undercover. Prabowo yang terkepung oleh para politisi kemaruk dan rakus di Gerindra. Ketiga, Probowo Undercover dalam makna yang sangat singkat. Artinya, Prabowo di bawah perlindungan (undercover). Tidak ada elaborasi. Terserah pemahaman Anda masing-masing. Pokoknya, beliau itu “di bawah perlindungan”. Perlindungan siapa? Silakan diolah sendiri. Sebagai penutup, tidak perlulah Anda mengungkap info rahasia (undercover) tentang Pak Prabowo. Tetapi, kalau ada diantara Anda yang berminat menulis buku “Prabowo Undercover” sungguhan, sebagaimana dulu Bambang Tri menerbitkan “Jokowi Undercover”, tentu boleh-boleh saja. Kita lihat nanti apakah aparat penegak hukum akan memberangus buku itu dan memenjarakan penulisnya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Walikota Bogor Realisasikan Dendam Kesumat Terhadap Habib Rizieq
by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (29/11). Dalam dua hari ini, Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto kasak-kusuk mendatangi RS Ummi Bogor. Dia kejar betul apa yang terjadi dengan Habib Rizieq Syihab (HRS) yang dirawat di situ. Bima fokus sekali mengurus perawatan HRS di RS swasta itu. Dia ingin memastikan apakah HRS positif Covid atau tidak. Bahkan, ada kesan bahwa dia tidak hanya ingin memastikan positif atau tidak. Kelihatannya lebih dari itu. Cara dia mencecar kondisi Habib itu menunjukkan seakan dia ingin sekali agar Imam Besar itu positif Covid. Luar biasa sekali Bima Arya. RS Ummi sudah menjelaskan bahwa Habib cuma kepenatan. Terlalu capek. Kata pihak RS, dari pemantauan yang dilakukan belum ada pertanda kondisi HRS mengarah ke positif Covid-19. Habib telah diperika tim dari Mer-C. Beliau tidak dinyatakan positif Corona. Tapi, Bima Arya kelihatan tak percaya. Dia minta agar tes swab HRS diulang. Tidak hanya HRS, dia juga minta agar keluarga Habib pun dites ulang. Mungkin saja ada kekeliruan soal pelaksanaan tes swab itu. Tim dari Mer-C mendatangi Habib di RS Ummi. Tapi, tidaklah perlu sekali Bima Arya mengejar-ngejar sampai menimbulkan kehebohan. Terkesan dia ingin sekali memaparkan semuanya tentang HRS yang dirawat di RS Ummi. Kehadiran tim medis Mer-C ke RS Ummi untuk menangani HRS menjadi persoalan besar bagi Bima. Memang ada kesalahan kecil. Sebaiknya pemeriksaan Habib oleh tim luar melibatkan Dinkes setempat karena yang dilakukan adalah tes swab. Tapi, tidaklah mungkin tim Mer-C yang selalu profesional itu akan melakukan pelanggaran berat. Artinya, kedatangan tim itu tidak perlu diperlakukan sebagai kesalahan fatal. Tentu ada alasan kuat HRS meminta pemeriksaan dilakukan tim medis dari luar. Betul, ada isu prosedural. Tapi, bukan sesuatu yang tak bisa dikompromikan. Kalau dilihat cara Bima ‘memainkan’ soal keberadaan Habib di RS Ummi, pantas diduga bahwa dia sedang melaksanakan ‘penugasan khusus’ dari para penguasa yang lebih tinggi. Hampir pasti ada tekanan dan kontrol dari atas agar HRS segera diumumkan positif Covid. Habib sendiri tidak ingin hasil tes swabnya diumumkan ke publik. Tidak ada masalah dengan sikap itu. Tidak ada kewajiban seorang pasien mengumumkan hasil tes Covid. Tapi, Bima Arya menekan lebih keras. Sekarang dia, melalui Satgas Covid-19 Bogor, melaporkan RS Ummi ke Kepolisian. Dengan tuduhan menghalang-halangi prosedur penanganan Covid terhadap HRS. Saking bersemangatnya Bima menjalankan tugas, sampai-sampai dia sendiri yang terjun mengurusi HRS, siang-malam. Dia tidak mendelegasikan tugas investigasi kepada bawahan seniornya. Entah hadiah apa yang sedang diperjuangkan Pak Wali. Kalau bukan ingin merebut hadiah, maka satu-satunya dugaan lain adalah bahwa Pak Wali sedang merealisasikan dendam kesumat terhadap Habib Rizieq Syihab. Hanya ada dua kemungkinan: hadiah atau dendam kesumat. Bisa juga kedua-duanya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Kasus Habib Rizieq, Istana Nabok Nyilih Tangan?
“Markas FPI di Petamburan Disemprot Polisi Pakai Disinfektan.” Begitu sebuah media membuat judul beritanya. by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (23/11). Di media sosial, video dan foto-foto petugas penyemprot di kawal petugas bersenjata, bertebaran dengan cepat. Bagi yang paham pemasaran (marketing) politik, penyemprotan itu tidak hanya dilihat sebagai langkah dan tindakan kesehatan semata. Aksi itu adalah sebuah strategi marketing politik. Sebuah tahapan demarketing sedang dijalankan. Ya, semua ribut-ribut yang terjadi dalam dua pekan terakhir, sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), secara marketing dan komunikasi politik menjadi sangat menarik untuk dicermati. Mulai dari pencopotan baliho oleh prajurit TNI dari Kodam Jaya. Pengumuman bahwa kawasan Petamburan, Markas FPI sebagai kluster baru penyebaran Covid-19. Kedatangan petugas polisi, TNI, dan Satpol PP ke rumah HRS pada malam hari untuk swab. Sampai penyemprotan disinfektan. Tujuannya sangat jelas. Membentuk persepsi masyarakat bahwa apa yang dilakukan pendukung FPI salah. Tidak patuh pada aturan dan pemerintah. Membahayakan masyarakat. Tidak mematuhi aturan. Seenaknya sendiri. Disimbolisasi dengan pencopotan baliho. Tidak mematuhi protokol kesehatan. Membahayakan kesehatan masyarakat. Disimbolisasi dengan penyemprotan disinfektan dan permintaan swab. Coba perhatikan. Petugas mendatangi rumah HRS untuk melakukan swab, pada malam hari. Di atas pukul 22.00 Wib. Memberi kesan ada situasi yang sangat darurat. Bersamaan dengan itu media memberitakan dengan besar-besaran. Para buzzer bekerja. Mereka menyebar kabar HRS dan keluarganya positif Covid-19. Para buzzer juga memperkuat dan mengamplifikasi pesan itu. Ramuan ajaib yang selama ini terbukti ampuh, kembali dimainkan: HRS dan FPI radikal, intoleran, membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Spanduk penolakan atas HRS disebar dimana-mana. Unjukrasa juga digelar di beberapa kota. Adanya operasi demarketing politik ini tampaknya sangat disadari oleh FPI dan para pendukungnya. Mereka segera menyebar file-file lama. Anggota FPI di beberapa daerah melakukan penyemprotan disinfektan di gereja. Salah satu foto menunjukkan anggota FPI sedang menyemprot sebuah ruangan dengan patung Yesus di latar belakangnya. Foto itu sangat ikonik. Loud and clear. Secara visual target dari penyebaran foto-foto ini sangat jelas. Counter opini. FPI ingin menunjukkan bahwa mereka sangat sadar dengan protokol kesehatan, sekaligus bukan kelompok radikal yang intoleran. Pada video yang beredar, memperlihatkan anggota FPI baru saja merenovasi rumah seorang janda di Sumatera Utara. Sang janda beranak empat itu beragama Nasrani. Yang lebih seru lagi adalah video lama Tito Karnavian sedang pidato dalam sebuah forum FPI. Video itu diedarkan dengan dibubuhi berbagai narasi. Video itu kelihatannya diambil saat Tito Karnavian masih menjadi Kapolda Metro Jaya. Hubungannya dengan FPI sedang mesra-mesranya. Tito memuji kegiatan yang dilakukan oleh FPI. Menurutnya, stigma FPI radikal, intoleran, identik dengan tindak kekerasan, merupakan label yang dibuat media. Bagaimana dengan isu HRS positif Covid? FPI membuat strategi jitu dengan menyebarkan video. Dia sedang asyik bermain dengan cucunya. Jadi bahan kajian Perang strategi marketing politik, demarketing Vs image building yang terjadi antara pemerintah Vs FPI ini menarik untuk dicermati. Bisa jadi bahan kajian. Narasi siapa yang paling kuat. Pesannya ditangkap dan dipercaya publik? Bagi pemerintah dan TNI, harus disadari mereka tidak hanya berhadapan dengan HRS dan para pendukungnya. Masuknya Pangdam Jaya dan TNI dalam medan perang opini dengan HRS, membuat tanduk masyarakat sipil, termasuk para senior TNI langsung berdiri. Mereka waspada tinggi. Alarm tanda bahaya menyala. Tindakan itu bisa ditafsirkan sebagai langkah awal kembalinya Dwifungsi TNI. TNI kembali ditarik-tarik dan masuk ke tugas pokok dan fungsi institusi sipil. Tak kalah seriusnya, tindakan itu juga merupakan tanda-tanda sangat serius. Rezim Jokowi telah menjelma sebagai penguasa otoriter. Menggunakan militer untuk menekan lawan-lawan politiknya. Gubernur DKI Anies Baswedan membuat sindiran sangat cerdas. Dia memposting fotonya sedang membaca buku : How Democracies Die karangan Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky. Reaksi masyarakat sipil yang begitu luas, tampaknya disadari oleh Istana dan Mabes TNI. Mereka segera membantah. Tidak pernah memerintahkan Pangdam menurunkan baliho, apalagi membubarkan FPI. Masalahnya, mereka juga tidak secara terbuka menyalahkan, apalagi mengecam dan mengambil tindakan agar Pangdam Jaya segera menghentikan langkahnya. Peribahasa Jawa menyebut perilaku istana ini sebagai “nabok nyilih tangan.” Memukul dengan memakai tangan orang lain. Mau makan nangkanya, tapi tidak mau kena getahnya. Dari sisi marketing politik, publik adalah konsumennya. Voters, pemilih yang harus dimenangkan hatinya. Produk apa dan strategi pemasaran mana yang bisa memenangkan persepsi publik? Anda, para pembaca semua yang memutuskan. End Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Pak Pangdam, Ada “Baliho” Joko Tjandra di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung
by Asyari Usman Jakarta FNN - Minggu (22/11). Ketika berpidato di lapangan Monas, Jakarta, Jumat (20/11/2020), Pangdam Jakarta Raya Mayjen Dudung Abdurachman menekankan berulangkali bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hukum akan ditegakkan terhadap siapa pun juga. Pangdam mengatakan itu merujuk pada penurunan (pencopotan) baliho Habib Rizieq Syihab di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, beberapa hari lalu. Jenderal Dudung mengatakan, dia tidak akan diam. Dia akan memerintahkan anggotanya untuk menurunkan semua baliho Habib Rizieq. Demi menegakkan peraturan, menegakkan hukum. Mantap, Pak Dudung! Seluruh rakyat tentu sangat senang. Pak Pangdam akan turun tangan menegakkan hukum. Terutama hukum tentang baliho. Asyik sekali kalau TNI mau menindak baliho tanpa pandang dulu. Kenapa asyik? Karena banyak sekali baliho yang bermasalah. Ada di mana-mana. Ada “baliho” Dato Sri Tahir (CEO Mayapada) di markas Brimob. Dia diangkat sebagai warga kehormatan korps Brimob, November 2018. Bahkan, keberadaan Tahir di Brimob kelihatannya lebih “dalam” dari sekadar baliho benaran. Terus, ada pula “baliho” Joko Tjandra (JT) di mabes Polri. Saking besarnya “baliho” yang dipasang Joko, sampai-sampai tiga jenderal polisi tersungkup megap. Tidak hanya di Polri, JT juga memasang “baliho” di gedung Kejaksaan Agung. Lagi-lagi, “baliho” Joko Tjandra di Kejaksaan Agung berukuran raksasa. Biaya pembuatannya sangat besar. Puluhan miliar. Mungkin ratusan. Begitu besarnya “baliho” JT itu, sampai-sampai gedung Kejaksaan Agung terbakar hangus seluruhnya karena terbungkus total. Konon, kabarnya, ada puntung rokok di dekat “baliho” itu. Ludeslah seluruh gedung. Para superkaya lainnya pastilah juga memasang “baliho”. Di banyak lokasi strategis. Terutama di gedung-gedung yang bisa memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan. Gedung-gedung yang ‘menyewakan’ papan “baliho” untuk para superkaya itu. Selain Dato Sri Tahir dan Joko Tjandra, ada pula artis kondang, NikMir, yang juga ikut memasang “baliho” di berbagai posisi penting. Termasuk di sekitar Jalan Trunojoyo, Jakarta. Kabarnya, “baliho” si artis ini bagus cetakannya. Mulus dan tajam. Pixel-nya tinggi. Membuat orang-orang yang berada di sekitar “baliho” NikMir menjadi segar-bugar. Pokoknya, di Jalan Trunojoyo banyak sekali peminat “baliho” artis ini. Nah, semau “baliho” itu melanggar aturan. Pasti. Jadi, cukup banyak yang harus ditertibkan oleh TNI di bawah komando Mayjen Dudung. Pak Pangdam tentu tahu bahwa “baliho” Dato Sri Tahir di markas Brimob itu sangat memalukan. Tidak saja memalukan Jakarta, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Bayangkan, gara-gara “baliho” ini banyak orang yang menyangka Dato Tahir itu “pembina” Brimob. Malu, kan! Pak Pangdam harus menurunkan “baliho” ini. Begitu juga “baliho” yang dipasang Joko Tjandra di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Ukurannya superbesar. Pak Dudung harus bantu Polisi mencopot “baliho” Joko Tjandra itu. Tiga jenderal menjadi korban tertimpa “baliho” JT. Begitu juga “baliho” NikMir. Harus ditindak oleh Pak Pangdam. Soalnya, “baliho” ini mengiklankan ‘lontong telur’. Apa iya pantas ‘lontong telur’ diklankan di Jalan Trunojoyo. Jalan ini ‘kan dihuni oleh orang-orang yang terhormat, Pak Dudung. Sangat memalukan. Lontong telur itu ‘kan makanan jalanan. Cepat basi. Baik, Pak Panglima. Itu saja dulu. Sebenarnya banyak “baliho” ilegal yang dipasang di gedung-gedung penting lainnya. Yang memasang tentu orang-orang yang punya banyak duit. Sebab, di tempat-tempat strategis itu “pajak”-nya bertarif tinggi. Puluhan miliar sampai ratusan miliar. Rakyat akan menyimak para Pangdam lainnya dalam tugas menegakkan hukum. Khususnya, pencopotan semua “baliho” milik orang-orang superkaya. Pak Pangdam jangan khawatir. Seluruh rakyat mendukung tindakan Anda mencopot semua “baliho” itu. Cuma, “baliho” mereka itu berat menumbangkannya, Pak. Tiangnya kukuh dan banyak.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Analisis Yuridis Pemanggilan Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H.
by Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. Jakarta FNN - Selasa (03/11). Pemanggilan seseorang sebagai saksi dalam proses penyidikan tentu sebelumnya telah ada suatu peristiwa yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam tahap penyelidikan (Pasal 1 angka 5 KUHAP). Keberadaan saksi diperlukan dalam hal pengumpulan alat bukti yang dengan alat bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Dalam hal membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi, maka keterangan saksi harus sesuai dengan kondisi yang dialaminya, baik ia mendengar secara langsung atau melihat secara langsung. Seorang saksi juga harus menyebutkan alasan dari pengetahuan yang ia alami tersebut. Seorang saksi yang dihadirkan dalam proses penyidikan dan persidangan sejatinya yang bersangkutan tidaklah mewakili kepentingan siapapun, melainkan ia mewakili suatu kondisi ketika terjadinya suatu tindak pidana. Tegasnya, saksi mewakili kenyataan konrit dan dengannya ia memberikan keterangan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Dapat dikatakan, saksi tersebut seolah-olah dihadirkan seperti dalam keadaan sebelumnya, ketika ia mengetahui adanya suatu perkara pidana baik yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan demikian, keberadaan seorang saksi sebagai salah satu alat bukti (Pasal 184 KUHAP) bersifat fakultatif. Sepanjang memenuhi kriteria tersebut, maka keterangannya dapat menjadi alat bukti. Terhadap pemanggilan Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H., sebagai saksi oleh pihak Bareskrim Polri, diketahui terdapat beberapa tindak pidana, namun tidak disebutkan dalam kepentingan pada perkara siapa. Sementara itu, Laporan Polisi dan Sprindik diketahui pada tanggal yang sama yakni 18 Oktober 2020. Tindak pidana yang dimaksudkan adalah Pasal 45 Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 14 Ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU PHP) dan/atau Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 KUHP. Konstruksi tindak pidana tersebut perlu dikritisi, mengingat masing-masingnya terdapat perbedaan yang signifikan. Selain itu masuknya delik penyertaan (deelneming) memiliki implikasi tersendiri bagi penerapan pasal yang disebutkan. Oleh karena itu, disini dipertanyakan adakah persintuhan diantara pasal tersebut, dan tentunya persintuhan tersebut tidak sampai pada perbarengan (concursus). Pasal 28 Ayat (2) UU ITE mempersyaratkan harus adanya (timbul) rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jadi, apakah sudah ada timbulnya kebencian atau permusuhan sebagaimana dimaksudkan? Siapakah individu dan/atau kelompok masyarakat yang merasakan kebencian atau permusuhan? Suku yang mana, agama yang mana, ras yang mana dan antargolongan yang mana. Pengertian antargolongan tidak dapat diartikan sebagai Pemerintah, Ormas, Partai Politik dan badan hukum lainnya. Pada Pasal 14 Ayat (1) dan (2) UU PHP tentang berita atau pemberitahuan bohong, maka harus ada relevansinya dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dalam hal timbulnya rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Terlebih lagi, Pasal 14 Ayat (1) mempersyaratkan harus timbulnya keonaran di kalangan rakyat. Pertanyaannya, apakah telah nyata ada keonaran tersebut? Begitu pun Pasal 15 juga harus ada keterhubungannya dengan Pasal 28 Ayat (2) ITE. Apakah ada kaitan antara penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dengan timbulnya rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Di sisi lain keberlakuan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) UU PHP berpasangan, masing-masingnya tidak berdiri sendiri. Kemudian, dalam delik penghasutan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 160 KUHP juga patut dipertanyakan. Keberadaannya sama dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dan Pasal 14 Ayat (1) UU PHP, yakni sama-sama delik materiil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. Oleh karena itu, apakah telah ada akibat sebagaimana dimaksudkan. Lebih lanjut, adakah korelasi antara Pasal 160 KUHP dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE? Dimana letak keterhubungannya? Perihal permasalahan keterhubungan selanjutnya juga menunjuk Pasal 14 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 15 UU PHP dengan Pasal 160 KUHP. Tegasnya, kesemua pasal tersebut harus memiliki hubungan ‘emosional’. Hubungan itu mencerminkan sikap batin (men rea) seseorang pembuat delik terhadap perbuatan yang dilakukan. Terlebih lagi disebutkan adanya penyertaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Keberlakuan delik penyertaan adalah sebagai bentuk perluasan pertanggungjawaban pidana, bukan dimaksudkan sebagai perluasan perbuatan pidana. Dengan demikian, sifatnya alternatif sebagaimana disebutkan dalam angka ke-1 dan angka ke-2. Dalam Surat Pemanggilan tersebut tidak disebutkan klasifikasi penyertaan, apakah termasuk angka ke-1 atau angka ke-2. Angka ke-1 menunjuk orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) atau orang yang turut melakukan (medepleger). Pada angka ke-2 adalah orang yang dengan pemberian, perjanjian, memberi kesempatan dan lain sebagainya (uitlokker). Dalam kaitannya dengan pemanggilan tersebut, maka dipertanyakan urgensi pemanggilan dengan klasifikasi delik penyertaan tersebut. Pemanggilan yang demikian cepat, tidaklah lazim dan tidak equal dengan perkara yang lainnya. Banyak perkara yang dilaporkan, namun hingga kini tidak jelas kelanjutannya. Dapat disebutkan disini yakni; Cornelis (eks Gubernur Kalbar), Viktor Laiskodat, Abu Janda, Denny Siregar, Guntur Romli, Budi Djarot dan Ade Armando. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pemanggilan terhadap Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H., sebagai saksi masih belum jelas objek perkaranya. Seseorang yang dimintakan keterangan sebagai saksi, maka harus ada pengetahuan yang ia alami sendiri. Pengetahuan tersebut pastinya berkorespondensi dengan objek perkara. Bagaimana mungkin seorang saksi dapat memberikan keterangan dan bernilai alat bukti tanpa ada kejelasan objek perkara yang dirinya tidak ada pengetahuan sama sekali. Patut untuk dicermati, UU ITE - sebagai dasar pemanggilan - apakah akan berkorespondensi dengan para aktivis KAMI lainnya yang telah berstatus Tersangka? Berdasarkan kajian ilmiah penulis, UU ITE berlaku seperti ‘sangkar besi’ dengan ‘silogisme’ yang cenderung dipaksakan. Pemenuhan unsur delik demikian subjektif, pada akhirnya Penuntut Umum tidak mampu mengkonstruksikan Surat Dakwaan secara cermat dan lagi objektif. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Direktur HRS Center
RUU Omnibus Law Bikin Polemik, Presiden Sudah Baca?
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Ahad (11/10). Pemerintah mulai menebar tudingan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim, pemerintah mengetahui dalang yang menggerakkan demonstrasi memprotes Undang-Undang (UU) Cipta Kerja alias Omnibus Law. Melansir Viva.co.id, Kamis (8 Oktober 2020 | 10:10 WIB), hingga hari ini demonstrasi yang terjadi di berbagai wilayah saat ini terhadap UU Omnibus Law sapu jagat tersebut dilakukan mulai dari kalangan siswa, mahasiswa hingga buruh. “Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind [di balik] demo itu. Jadi, kita tahu siapa yang telah menggerakkan. Kita tahu siapa sponsornya itu, kita tahu siapa yang membiayainya,” ungkap Airlangga secara virtual, Kamis, 8 Oktober 2020. Airlangga menekankan, pemerintah tidak akan berhenti memperjuangkan keberadaan UU tersebut karena berbagai alasan mendesak. Dia dengan tegas mengatakan tidak akan diam hanya untuk mendengar demonstrasi. “Jadi pemerintah tidak bisa berdiam hanya untuk mendengarkan mereka yang menggerakan demo dan jumlah federasi yang mendukung UU Ciptaker ada empat federasi buruh besar,” tegas mantan Menteri Perindustrian itu. Airlangga beralasan, itu disebabkan tujuh fraksi di DPR RI yang telah setuju mengesahkan UU Cipta Kerja, sudah merepresentasikan rakyat Indonesia. Sebab, mereka adalah wakil rakyat. Di sisi lain, 30 juta masyarakat Indonesia saat ini sangat membutuhkan lapangan pekerjaan. Terlebih kondisi Pandemi COVID-19 telah membuat lapangan kerja semakin sempit karena aktivitas ekonomi berhenti. “Jadi, ini terekam by name by address ada di kantornya kartu pra kerja dan dari 30 juta lebih itu yang sudah memenuhi persyaratan untuk memasuki pelatihan 5,6 juta sehingga 5,6 juta ini membutuhkan lapangan kerja baru,” ungkapnya. Sebelumnya diberitakan, sejumlah elemen masyarakat dan buruh menggelar aksi penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR RI di sejumlah lokasi di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, sejak Senin lalu. Presiden Joko Widodo berkata, “Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh informasi mengenai substansi dari UU ini dan hoaks di media sosial,” ucap Jokowi. “Itu betul, ada banyak sekali hoax yang disebar soal UU baru ini. Entah siapa yang nyebar, apa kepentingannya, mereka tidak pakai cross check, langsung kirim saja. Kesal lihatnya,” komentar Tere Liye, penulis novel “Negeri Para Bedebah”. “Tapi kalau bilang ribuan pendemo ini semuanya demo gara-gara kemakan hoax, itu sih lebay. Kesal juga lihat yang ringan banget nuduh begini. Itu juga betul, ada banyak yang tidak baca UU ini secara lengkap, tapi sudah komen dan demo duluan,” tulisnya. “Tapi ayo cek berita, bahkan sekelas Menteri, Ketua Komisi DPR, mereka bingung sendiri dengan pasal klaster pendidikan yang ternyata masih ada. UU ini tebalnya 900 halaman lebih (dengan penjelasan pasal), cepat sekali prosesnya, jadi, disahkan,” sindirnya. Menurutnya, menulis novel picisan 500 halaman saja butuh waktu 6-12 bulan. Ini UU, yang serius sekali, menyangkut begitu banyak aspek, bisa wussh. “Entah siapa yang benar-benar telah membaca seluruh halamannya. Kamu?” tegasnya. Fadli Zon (IG: Fadlizon). “Sampai hari ini sy sbg anggota @DPR_RI belum terima naskah RII #OmnibusLaw yg disahkan 5 Oktober 2020. Sy tanya, masih diteliti dirapikan. Jd mmg UU ini bermasalah tak hanya substansitp jg prosedur.” (17:15 - 09 Okt 20). Usulan Presiden Melansir Kompas.com, Selasa (06/10/2020, 13:23 WIB), RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Pembahasan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR ini terbilang kilat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain. Bahkan, awalnya RUU Cipta Kerja bisa selesai sebelum 17 Agustus meskipun di tengah pandemi Covid-19. Bandingkan dengan RUU lain yang belum juga diselesaikan oleh DPR: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT). Padahal jika dilihat dari jumlah Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM, pasal-pasal di RUU Cipta Kerja yang dibahas jumlahnya jauh lebih banyak. Dikebutnya pembahasan RUU ini diklaim demi kemudahan investasi di Indonesia. Sidang-sidang pembahasannya dilakukan siang malam bahkan hingga larut malam, meski dibahas di tengah masa reses dan pandemi. Pemerintah dan Baleg DPR memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Jokowi pada 24 April lalu. Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut. Gerak cepat pemerintah jauh sebelum disahkan, pemerintah bergerak cepat meloloskan RUU Cipta Kerja. Pada Februari 2020, pemerintah mengklaim telah melakukan roadshow omnibus law RUU Cipta Kerja di 18 kota di Indonesia untuk menyerap aspirasi masyarakat. “Untuk menyerap aspirasi dari teman-teman maka seluruh stakeholder ekonomi dilibatkan, justru Bapak Presiden memerintahkan untuk menyerap aspirasi semuanya,” kata Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono kala itu. Adapun daerah-daerah tempat digelarnya roadshow adalah daerah-daerah yang memiliki stakeholder paling banyak, selain itu jumlah perusahaan dan jumlah pekerjanya juga banyak. Dari sisi investasi, juga menjadi pertimbangan digelarnya roadshow di daerah tersebut. Justru selama penyusunan draft adalah periode paling alot ketimbang pembahasan di DPR. Karena selama penyusunan draft, pihak serikat buruh yang menjadi salah satu stakeholder beberapa kali melayangkan keberatan. Sampai 64 rapat RUU ini baru mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13. Selama di parlemen, proses pembahasannya relatif berjalan mulus. Untuk meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, anggota dewan sampai rela rapat maraton. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas pun mengatakan, pada bab-bab terakhir pembahasan RUU tersebut bahkan dilakukan di akhir pekan. Secara keseluruhan, Baleg DPR RI dan pemerintah telah melakukan 64 kali rapat. “Rapat 64 kali, 65 kali panja dan 6 kali timus timsin, mulai Senin-Minggu, dari pagi sampai malam dini hari, bahkan reses melakukan rapat di dalam atau di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR,” katanya dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020). Secara keseluruhan RUU yang disusun dengan metode omnibus law itu terdiri dari 15 bab dan 174 pasal dari yang sebelumnya 15 bab dengan 185 pasal. Secara keseluruhan, ada 1.203 pasal dari 73 UU terkait dan terbagi atas 7,197 DIM yang terdampak RUU tersebut. RUU ini resmi menjadi UU setelah disahkan DPR pada Senin (5/10/2020). Isi RUU Cipta Kerja didukung oleh seluruh partai pendukung koalisi pemerintah. Dua fraksi menyatakan menolak RUU menjadi UU Cipta Kerja ini yaitu PKS dan Partai Demokrat. Tujuh fraksi partai pendukung RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU: PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PAN, dan PPP. Apakah semua anggota DPR ini juga sudah baca RUU (Draf RUU) Cipta Kerja itu sebelum diketok dalam Rapat Paripurna DPR tersebut? Apakah Menteri Airlangga Hartarto dan juga Presiden Jokowi telah membacanya? Rasanya koq tidak mungkin! Berarti kita sama-sama kena hoax RUU sebanyak 900 halaman itu. Apalagi, ternyata meski telah diketok, setelahnya masih ada perbaikan isinya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Menepis Pendapat Amien Rais Soal Kembali ke UUD 1945" (Bagian-2)
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Rabu (07/10). Untuk membedakan dan mempermudah, maka hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut dengan UUD 2002”. Dalam Pembukaan UUD 1945 sangat jelas, Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia disusun dalam Undang Undang Dasar Negara Indonesia. Pemerintahan yang dipilih, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Begitu Konsensus nasional kita. Pembukaan UUD 1945 dan NKRI tidak boleh diubah. Bentuk negara dan implementasi kedaulatan rakyat diatur dalam Batang Tubuh. Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, dan Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam pertarungan kepentingan politik global, untuk menguasai suatu negara, konstitusi merupakan sasaran. Indonesia masuk salah satu sasaran. Keterlibatan aktor internasional negara liberal kapitalis dalam amandemen UUD 1945 dengan dalih agar Indonesia lebih demokratis, adalah nyata. United Nations Develepment Program (UNDP) dan United State Agency for International Develepment (USAID) didukung LSM asing, Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Internasional Foundation for Election System (IFES), National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institution (IRI) terlibat dalam amandemen UUD 1945. Keterlibatan mereka tidak hanya masalah dana. Tetapi juga konsep pemikiran pembaharuan. Mereka hadir dalam rapat. Mereka berkolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) domestik Centre for Electoral Reform (Cetro). (Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi). Kita sudah merasakan, pemilihan secara langsung ala Amerika, yang "one man, one vote", sebagai hasil amandemen yang merusak sendi persatuan. Mari kita bahas bagaimana kaitan intervensi asing dalam amandemen UUD 1945 dengan implikasi yang disampaikan Amien Rais jika kita kembali ke UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Untuk Apa? Implikasi pertama yang disampaikan Amien Rais, DPD otomatis hilang, jika kembali ke UUD 1945. Amien Rais beranggapan DPD penting. Padahal, hilangnya DPD itu logis, UUD 1945 tidak mengenal DPD. Kecuali hanya diatur di UUD 2002. Kita kenal, lembaga DPD itu sebagai unsur negara serikat (federal). Padahal, Pasal 1 ayat (1) baik di UUD 1945 maupun UUD 2002, Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Dengan demikian, DPD bertentangan dengan konstitusi. Pertanyaan kritisnya, siapa pembisik harus ada lembaga DPD? Intervensi asing kah? Untuk memecah belah kita kah? Walau DPD perannya belum sama seperti Senat di Kongres Amerika Serikat, DPD ini menjadi "embrio" yang tidak sesuai untuk Negara Kesatuan. Upaya meningkatkan peran DPD secara perlahan, merupakan indikasi, konsepsi "sutradara" untuk membangun DPD di Indonesia yang diinginkan belum selesai. Apabila dalih DPD untuk memberdayakan "Utusan Daerah" harus lewat Pemilu, dan dilembagakan, meka mengapa "Utusan Golongan" tidak sekalian diberdayakan menjadi "Dewan Perwakilan Golongan" saja? Patut diduga dan dicurigai, pembentukan DPD ada maksud dan tujuan tertentu. Nafas DPD berbeda dengan "Utusan Daerah" yang dimaksud dalam UUD 1945. Mari kita cermati, ada Otonomi Daerah, dan DPD, namun ketidakharmonisan terjadi pusat dan daerah. Pusat beroposisi dengan daerah. Begitu pula sebaliknya. Sumber kekayaan alam di daerah, dan pemilik modal selalu berada di belakang pejabat yang didukung saat pemilihan kepala daerah. Kita bangun pertanyaan kritis, adakah benang merah diatara rangkaian kondisi tersebut? Apakah DPD embrio menuju negara federal? Agar asing mudah bermain dalam urusan sumber daya alam di daerah? DPD bisa mengajukan RUU terkait Otonomi Daerah. Sedangkan anggota DPD dan Kepala Daerah lewat Pemilihan langsung, membuka peluang kapitalis bermain. Kiranya cukup panjang untuk menyoroti peran DPD. Apakah itu dari aspek kelembagaan, status, peran dan manfaatnya. Satu hal yang pasti, dengan kembali ke UUD 1945, otomatis DPD hilang. Itu bukan kerugian dan tidak perlu untuk risau. Justru sistem ketatanegaraan yang kita pilih benar, yaitu menjaga Negara Indonesia tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pentingnya Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Nusantara ini awalnya milik kerajaan-kerajaan. Selama belum ada Indonesia , maka pemilik Nusantara adalah para Raja dan Sultan. Raja dan Sultan selalu punya unsur Penasehat, Misalnya, Mahapatih dan lain-lain. Dunia wayang, juga ada Penasehat yang memiliki pitutur luhur. Suritauladan dunia wayang adalah negara Amarta dengan penasehat Batara Kresna dan Semar. Kresna seorang ksatria dan Raja. Semar seorang Punakawan abdi ksatria Pendawa. Komposisi inilah yang menggambarkan Raja mendengarkan suara para ksatria dan rakyat. Nilai budaya mengilhami "the founding fathers" tidak saja dalam menentukan Dasar Negara, tetapi juga dalam ketatanegaraan, antara lain perlunya Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Tempat terhormat untuk para Raja dan Sultan membeirkan pertimbangan kepada Presiden dan para Menteri Anggota Kabinet. Presiden mandataris MPR, sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, memerlukan Penasehat. Dewan Pertimbangan Agung inilah penasehat Presiden. Sebuah badan yang di luar dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apabila undang-undang yang mengatur anggota DPA adalah tokoh-tokoh terpilih non Parpol, maka selanjutnya DPA akan memiliki independensi yang kuat. Tugas DPA diatur dalam Bab IV Pasal 16 UUD 1945. ”Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah”. Ada kewajiban dan hak. Tugas ini sangat penting, khususnya ketika Presiden berada dalam tekanan Parpol atau legislatif. Andaikan DPA ada, seperti masalah Pilkada serentak Desember 2020 dan RUU yang jauh dari kepentingan rakyat, Presiden bisa mendapat masukan DPA dari perspektif kepentingaan rakyat. Negara kita memang Republik, dan bukan Kerajaan. Namun agar pemimpin tidak otoriter dan salah keputusan, maka sebaiknya pemerintahan kerajaan maupun republik, tetap saja perlu "penasehat". Hal ini terbukti, pengamandemen juga berpikir, Presiden perlu Penasehat. Pengamandemen menghapus Bab IV UUD 1945 Dewan Pertimbangan Agung. Selanjutnya menempatkan Pasal 16 di Bab III UUD 2002, Kekuasaan Pemerintahan Negara. Disini terjadi keanehan dan tidak lazim. Bagaimana mungkin sebuah konstitusi ada Bab yang kosong atau hilang? Pasal 16 UUD 2002 mengatakan, “Presiden membentuk satu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.” Tidak ada kata kewajiban dan hak. Dewan pertimbangan ini sebagai unsur eksekutif. Pertanyaannya, sejauhmana anggota dewan petimbangan berani mandiri tidak takut kepada Presiden? Dewan penasehat Presiden saat ini bernama Wantimpres. Didukung Staf Kepresidenan. Suatu saat nanti, bisa jadi, tidak menutup kemugkinan, dewan ini isinya orang-orang tertentu, sebagai lanjutan saat Pilpres. Produknya bisa ditebak, cenderung melindungi kebijakan Presiden atau pemerintah dan pencitraan bagaikan tim sukses Presiden. Sedangkan DPA, sebagai Lembaga Negara yang independen, diharapkan memberikan masukan kepada Presiden dalam perspektif kepentingan negara. Sehingga Presiden tidak otoriter, tidak terkooptasi Parpol, memiliki bahan pertimbangan yang matang dan mandiri. DPA yang berperan bak Batara Kresna dan Semar. Kresna yang duduk sejajar dengan Raja Amarta, Yudhistira. Inilah pentingnya DPA dalam sistem ketatanegaraan UUD 1945. Pemerintahan Daerah di UUD 1945 Pada Bab VI Pemerintahan Daerah, Pasal 18 UUD 1945, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Cuplikan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 di atas adalah "Daerah-daerah itu bersifat autonoom (steek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semua akan ditetapkan dengan undang-undang. Pada daerah-daerah yang bersifat autonoom, akan diadakan badan perwakilan daerah. Sebab di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Mencermati hal di atas, pendapat Amien Rais, jika kembali ke UUD 1945, maka Otonomi Daerah (Otda) batal, sabagai pernyataan yang tidak ada dasarnya. Bagaimana mungkin Otda batal, sedangkan UUD 1945 mengamanatkan masalah Pemerintahan Daerah. Persoalannya terletak bagaimana undang-undang Otda harus memiliki nafas sesuai pasal tersebut sehingga tetap dalam bingkai NKRI. Selanjutnya bagaimana implikasi terhadap keanggotaan MPR, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, jika kita kembali ke UUD 1945? Kedua implikasi yang disampaikan Amien Rais tersebut, akan kita bahas pada bagian-3 rangkaian artikel ini. Semoga bermanfaat. Insya Allah, Aamiin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.