POLITIK

Indonesia Terbentuk Dari 73 Kesultanan Islam

by Chusnul Mar'iyah, Ph.D Assalamu’alaykum wr.wb. Ibu Megawati yang terhormat. Semoga Ibu Megawati sehat walafiyat, dijauhkan dari musibah Pandemi Covid-19 ini. Saya menulis surat ini (sepertinya agak panjang) kepada Ibu Megawati dalam rangka meminta Ibu dapat memerintahkan ke petugas partai di eksekutif dan di DPR agar membatalkan RUU HIP. Karena ini bukti Pancasila diganti menjadi Eka Sila. Ibu Mega, adanya putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober 2019 itu legitimasi dan justifikasi dari kekuasaan pemerintah saat ini telah ambruk. Jakarta FNN – Senin (13/07). Seluruh komponen Ummat Islam dan kelompok beragama lainnya bersatu menolak RUU HIP. Himbauan dan sikap tersebut datang dari mantan Komisioner Komisi Permilihan Umum (KPU) periode 2001-2007 Chusnul Mar’iyah Ph.D. kepada Megawati sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini disampaikan dalam bentuk surat terbuka yang ditulis di Depokl tangga 12 Juli 2020. Berikut ini penjelasan, kenapa saya menulis surat ini kepada Ibu Mega. Pertama, sebagai sesama perempuan. Seorang scholar dari negeri Maghribi (Marokko) Fatima Mernisi pernah menulis, bahwa menulis surat ke penguasa lebih baik dibandingkan pergi ke salon untuk melakukan face lift. Saya ingin menyampaikan beberapa pandangan saya dalam perspektif perempuan tentang kekuasaan yang bersifat power to do. Bukan power over yang lebih maskulin. Perempuan berkuasa itu lebih bicara tentang caring, dan mengayomi. Juga melakukan sesuatu untuk anak bangsa sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan rakyat dan ikut dalam ketertiban dunia untuk perdamaian dan keadilan. Kedua, karena Ibu adalah Ketua Umum Partai Politik yang menjadi pendukung utama dari pengusung Capres pada pilpres 2014 dan 2019 ini. Mau tidak mau tanggung jawab ada di pundak Ibu Mega terhadap merah-putihnya kiblat bangsa ini. Ketiga, karena saya pernah dalam suatu masa berkoordinasi dengan Presiden dan Pimpinan DPR saat Pemilu 2004. Suksesi pemerintah secara langsung pertama dalam sejarah politik di Indonesia, yang Alhamdulillah tidak ada setetes darah pun yang tercecer. Ibu masih ingat bagaimana kami meminta agar Ibu sebagai Presiden untuk membuat perpu tentang jadwal waktu logistik sampai di TPS? Undang-undang memerintahkan sepeuluh hari sebelum hari H. Namun kami meminta agar tiga hari sebelum hari H. Karena kami KPU memikirkan masalah keamanan Surat Suara bila sepuluh hari semua logistik sudah di TPS? Setelah pemilu selesai, sehari sebelum Ibu Mega ke luar istana, kami melaporkan pelaksanaan pemilu. Ibu Mega menyampaikan kepada ketua KPU, apakah masih ada yang dibutuhkan oleh kami KPU tanda tangan Presiden? Ibu Mega mengatakan “bahwa Ibu masih memiliki 24 jam untuk memberikan tanda tangan Ibu sebagai Presiden”. Saat itu, karena kami, Insyaa Allah sudah bekerja dengan benar, adil, sesuai dengan amanah yang diberikan kepada kami, kami tidak meminta apapun tanda tangan Presiden. Kami berterima kasih bahwa Presiden tidak intervensi kerja KPU pada pemilu 2004. Walaupun kami mengalami beberapa insiden untuk mencoba intervensi. Kami bekerja mendapatkan kiriman sebelas peluru. Selain itu, kantor kami juga di bom (tidak terlalu besar). Namun KPU dapat mengatasinya untuk tetap bersikap mandiri. Ibu Megawati yang terhormat. Apakah Ibu masih ingat diskusi dua jam lebih sambil makan siang di rumah keluarga Ibu bersama salah satu tokoh partai Ibu, dan saya berdua dengan adik saya? Makan siang kepiting saos lada hitam dan udang? Saat itu saya sedang berkunjung ke tokoh-tokoh nasional untuk memberikan klarifikasi karena KPU sedang mendapatkan musibah tsunami politik setelah berhasil melaksanakan pemilu yang diakui oleh dunia internasional. Biaya tiga kali pemilu (pileg, pilpres dua putaran) saat itu hanya Rp. 7,2 (tujuh koma dua) triliun? Kotak suara dan bilik suara dari aluminium sudah dipergunakan 13 kali pemilu. Pertama kali Indonesia memiliki database penduduk dengan dua belas variabel termasuk penyandang cacat? Pertama kali pula KPU memiliki data IT per TPS yang diinput dari kecamatan oleh para aktivis mahasiswa dari perguruan tinggi se-Indonesia, dari Unsyiah di Aceh sampai Uncen di Papua. Pada pemilu 2009, 2014, 2019 data diinput dari kabupaten/kota bukan? Pertama kali, pada Januari 2003, KPU bersifat tetap sampai tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pasal 22 E ayat 5 UUD 1945, yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. KPU telah meletakkan fondasi dari sebagai lembaga perluasan dari trias politika. KPU meletakkan politik administrasi penyelenggara pemilu, membuat dapil, alokasi kursi, verifikasi parpol, debat kampanye capres. Termasuk juga membuat Surat Suara yang besar itu sampai saat ini. Desain Surat Suara yang besar sepertinya masih dipergunakan. Desain itu dibuat oleh seorang relawan alumni desain grafis dari ITB. Pelaksanaan Pilpres 2004 itu, Ibu Mega menjabat Presiden. Dalam perjalanan demokrasi, partai Ibu dapat memenangkan pemilu dan capres. Saya tidak bicara dalam surat kali ini tentang, apakah kemenangan tersebut didapatkan dengan cara halal? Karena pertanyaan seperti itu sudah saya sampaikan berkali-kali ke partai-partai lainnya juga. Bahkan juga dalam surat terbuka saya kepada Presiden pada tahun 2017 yang lalu. Karena sepertinya peserta pemilu sebagian besar terlihat menggunakan money politic dan dapat disebut sebagai the liberal machiavelian election. Saya ingin menyampaikan bahwa kondisi bangsa Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Banyak persoalan, kasus stunting, kemiskinan. Wajah kemiskinan tersebut adalah wajah perempuan (feminization of poverty). Penanganan Covid-19 yang tidak memiliki sense of crisis dari para pemimpinnya di tingkat nasional, dengan Perpu Nomor 1/2020 menjadi UU Corona Nomor 2/2020. Selain itu, ada yang seperti Omnibus Law (sebagai UU yang bisa menjadi payung hukum untuk tindak Korupsi). Issue TKA China yang datang secara ugal-ugalan. Hutang negara yang semakin menumpuk. Masalah pendidikan, sosial, kesehatan, eksploitasi SDA untuk kepentingan kelompok tertentu. Juga tingkah laku politik dari pejabat, seringkali menyakiti warganya sendiri. Yang paling menyentak terakhir ini adalah lolosnya RUU HIP, yang masuk dalam daftar prolegnas . Terlihat skenarionya seperti menjadi usulan semua partai politik di DPR. Ibu, kami sangat tahu bahwa ada kepentingan lembaga BPIP, Presiden dan Partai Ibu terhadap diundangkannya RUU HIP itu. Kenapa saya sangat prihatin dengan hal itu? Konstruksi negara RI adalah negara muslim terbesar di dunia. Negara yang berasal dari 73-an Kesultanan-kesultanan Islam. Wilayah kekuasaan para Kesultanan tersebut terbentang dari Aceh sampai Tidore. Bahkan wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore sampai ke Papua Barat. Namun, sejak partai Ibu mendapatkan kekuasaan, para tokoh Ulama, tokoh-tokoh yang kritis, dipersekusi, dikriminalisasi, dipenjarakan, karena berbeda pandangan dengan penguasa. Belum lagi jargon-jorgan politik yang dipopulerkan bagi pendukung partai Ibu seperti klaim “saya Pancasila, “saya Bhineka, dan saya NKRI”. Bagaimana mengatakan Bhinneka kalau tidak bisa menerima keberagaman? Bahkan terhadap mayoritas anak bangsa yang muslim di Indonesia ini? Dengan jargon politik seperti itu, secara sengaja “menuduh” kami-kami yang warga muslim (Islamophobia, terutama dengan gerakan 411 dan 212) ini dianggap ingin mengganti Pancasila. Bangsa menjadi terbelah. Regime yang berkuasa menggunakan buzzer untuk membully rakyat yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah. Mereka dibayar menggunakan uang rakyat? Ibu Mega, para buzzer tersebut diundang dan diberi karpet merah di istana. Kira-kira bagaimana perasaan Ibu? Ibu Megawati yang terhormat. Warga muslim yang taat itu pasti Pancasilais. Kenapa? Karena ajaran Islam itu menjadi roh sila-sila dalam Pancasila itu. Jangan dipertentangkan. Nanti Allah tidak memberikan Rahmat dan BarokahNya. Negara ini direbut dari penjajah dengan teriakan takbir “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”! Pancasila yang diperingati hari lahirnya tanggal 1 Juni 1945 itu tanggal pidato Soekarno di rapat BPUPK. Namun, Ibu Mega, pada tanggal 29 Mei 1945 ada Pidato M. Yamin. Juga pada tanggal 31 Mei 1945 ada Pidato Soepomo. Anggota Rapat BPUPK itu ada 62 orang. Ada dua anggota BPUPK yang perempuan, yaitu Maria Ullfah yang lulusan Hukum dari Leiden University, dan pengajar di Persyarikatan Muhammadiyah. Satu lagi adalah Siti Sukaptinah, dari Taman Siswa yang juga aktif dalam Joung Islamienten Bond Dames Afdelling. Tokoh-tokoh Islam yang ada di BPUPK diantaranya adalah Ki Bagoes Hadikusumo (Ketua PP Muhammdiyah). Sedangkan tokoh-tokoh besar dari NU adalah KH. Hasyim Asyari, dan anaknya KH. Abdul Wahid Hasyim, ada juga Bung Hatta, KH. Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir. Tentu saja ayah Ibu Mega, Soekarno berada di dalamnya. Pada tanggal 22 Juni 1945 ada tim Sembilan yang menghasilkan “Jakarta Charter” merumuskan dasar negara Pancasila. Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara dalam pembukaan UUD 1945. Ibu Mega, setelah jatuh bangunnya Kabinet Empat Kaki pada masa demokrasi parlementer itu, dan rapat konstituante belum sepakat tentang dasar negara, dikeluarkanlah dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dalam dekrit itu Piagam Jakarta dimasukkan sebagai konsideran dalam Dekrit 5 Juli 1959 itu. Sejak itu Soekarno merangkap jabatan Presiden dan Perdana Menteri. Ibu Mega yang terhormat. Tokoh-tokoh muslim itu dulu ada yang menangis saat harus mencoret tujuh kata di Sila Pertama Ketuhanan “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Ki Bagoes Hadikusumo yang mengusulkan untuk menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ruh dari Pancasila itu tidak dapat dipisahkan dari pemikiran-pemikiran politik Islam. Dalam Pancasila, selain sila pertama, ada kata adab, musyawarah, wakil, rakyat, adil, dan hikmah. Itu adalah konsep-konsep dalam Islam. Jadi negara ini adalah tempat warga negaranya harus punya Tuhan Yang Esa. Manusianya harus beradab. Bangsanya harus bersatu. Rakyatnya harus berdaulat. Para pemimpinnya harus berhikmah, bijaksana dan adil. Masyarakatnya harus makmur. Bangsa ini sedang di ambang krisis dari berbagai lini kehidupan. Apakah Ibu tahu bagaimana kondisi penduduk asli bangsa ini? Kondisi anak-anak dari Papua sampai Aceh? Kondisi ibu-ibu rumah tangga, penjual sayur, penjual makanan, buruh yang pabriknya ditutup? Ekonomi kita bangkrut? Ibu Mega. Apakah Ibu tahu bahwa satu persen penduduk Indonesia menguasai 49 persen kekayaan? Juga sekitar 72 persen tanah di negara ini dikuasai oleh 1 persen penduduk? Siapa yang mengusai jaringan TV yang setiap saat menjajakan nilai-nilai ke ruang-ruang tamu keluarga Indonesia? Ada pula oligarkhi ekonomi yang sering dihubungkan pada kelompok 9 naga? Siapa mereka? Apakah Ibu melihat? Mal-mal besar di kota-kota besar, di Ibukota Provinsi itu yang menguasai siapa? Apakah ibu tahu apartemen-apartemen yang bak jamur itu siapa pemiliknya? Apakah Ibu tahu siapa yang mendapatkan hak untuk reklamasi di teluk Jakarta itu? Siapa mereka ibu? Apakah ibu tahu pembangunan yang dibangga-banggakan hasil proyek petugas partai ibu itu menjadikan bangsa ini hutangnya menumpuk? Sementara tenaga kerjanya juga diimpor dari asing? Bahkan Ibu Mega, Office Boy (OB), tukang batu pun harus diimpor? Apakah ibu tahu bawang putih sekarang hampir 100 persen diimpor? Apakah Ibu tahu beras, garam, bawang merah, cabe pun harus impor? Apakah Ibu tahu rekrutmen jabatan-jabatan itu ada pengaturnya? Terlalu banyak pencitraan dengan anak-anak milenial, yang diajak pula secara resmi berada di istana? Apakah pemikiran mereka seperti kelompok pemuda ashabul kahfi dalam Qur’an? Dengan latar belakang seperti di atas, diam-diam di saat pandemi Covid-19, tanpa diskusi akademik yang luas dan mendalam, diumumkan RUU HIP. Inti dari RUU tersebut tidak akan membuat baik bangsa Indonesia ke depan. TAP MPRS no 25 tahun 1966 tidak menjadi konsideran. Yang paling menyakiti iman ummat Islam dan ummat beragama lainnya adalah konsep Ketuhanan yang disubordinasi dengan kebudayaan. Dengan demikian, itu berarti meruntuhkan fondasi dari bangunan negara Indonesia sebagai bangsa baru yang bersifat nasionalis religius. Mudah-mudahan kita masih tetap dalam Iman dan Islam. Tidak akan berani membuat aturan yang melawan aturan Tuhan. Dalam rukun Iman, kita itu harus percaya pada hari akhir? Kalau ibu membaca Kitab Suci kita Al Qur’an, maka akan banyak dikisahkan tentang hari akherat yang abadi. Semua apa yang kita lakukan selama di dunia ini harus kita pertanggung jawabkan. Semoga Ibu dapat berdialog dengan banyak ulama’ yang kritis kepada penguasa agar mendapatkan masukan yang benar. Sekali-kali sowanlah Ibu ke para Ulama’ yang baik. Bertanyalah kepada beliau-beliau itu. Yang memiliki Ilmu yang tinggi dan luas, karena bersandar kepada Al Qur’an dan Hadist. Ulama-ulama inilah yang mengingatkan kita agar kita kembali ke jalan yang benar. Ibu Mega. Pendeknya, mohon segera ibu perintahkan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU HIP ini. Tidak perlu pula mengganti dengan nama-nama lain seperti RUU PIP atau lainnya. Sebaiknya BPIP itu dibubarkan saja. Sudah terlalu banyak lembaga-lembaga negara yang fungsinya tumpang-tindih. Ibu Mega. Semoga ibu tetap sehat, dan dapat memerintahkan petugas partai untuk tunduk pada konstitusi. Agar anak-anak kami para mahasiswa, tidak harus turun ke jalan berdemonstrasi untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Tidak harus mengambil resiko fatal di tengah pandemic covid-19 yang harus melakukan social/physical distancing. Ibu Mega. Semua kita akan pulang dipanggil oleh Sang Maha Raja seluruh alam semesta. Kita harus membawa amal-amal ibadah kita untuk bertemu Sang Maha Berkuasa. Alhamdulillah kita masih diberi umur, mari kita bersujud memohon ampun kepadaNya. Agar Allah memberikan barokahNya untuk bangsa dan negara ini. Mari kita berdo’a semoga negeri kita menjadi baldatun thayyibatun warobbun ghofuur. Negeri yang baik, dan Allah memberikan ampunan-Nya. Dengan umur yang masih ada ini, mari kita selamatkan bangsa dan negara Indonesia, dari kehancuran di semua lini kehidupan dengan berpegang erat pada tali Taqwa kepada Allah Azza wa Jalla. Alfaatihah. Aamiin. Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Mantan Komisioner KPU 2001-2007

Hanya di Era Roformasi, Suami Bupati & Isteri Ketua DPRD

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Sabtu (04/07). Kita tak pernah sungguh-sungguh dengan reformasi. Faktanya ada suami yang menjabat sebagai Bupati, dan istrinya malah menjadi Ketua DPRD di Kabupaten yang sama. Fakta seperti ini bukan menjijikan, tetapi menghina para mahasiswa yang menjadi Pahlawan Reformasi. Publik negeri ini dibuat kaget sejati-jadinya setelah ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Bupati dan Ketua DPRD Kutai Timur ditangkap KPK. Keduanya adalah suami-isteri yang menjadi pejabat tertinggi eksekutif dan legislatif di kabupaten ini. Bukti bahwa KKN di era reformasi ini justru makin berkarat. Semua politisi selalu berdalih tidak bahwa ada aturan yg melarang. Makanya satu keluarga bisa masuk ke dalam pemerintahan dan parlemen bersama-sama. Upaya ini membentuk dinasti yang berkuasa turun-temurun. Ujung-ujungnya korupsi dan abuse of power terjadi tanpa kontrol dari legislatif. Politik itu beda dengan hukum positif. Politik itu berbasis gentlemen, goodwill, trust. Punya etika dan moral. Meski tidak ada aturan yang melarang. Makanya moral dan etika yngg bekerja untuk mengontrol syahwat dan kekuasaan diri sendiri. Maksudnya agar tidak terjadi abuse of power dan conflict of interest. Dengan sistem politik dan kontestasi yngg didrive oleh uang yang marak saat ini, uang menjadi penentu. Hanya pengusaha kaya, dan kepala daerah yang punya kuasa beserta keluarganya yang boleh ikut dalam kontestasi politik. Jika tidak, pasti dibelakangnya ada pemodal pengusaha kaya. Nikmat berkuasa itu memang memabukkan. Hanya orang ikhlaslah, yang mau mengabdi untuk rakyat dan orang banyak. Yang merasakan bahwa berkuasa itu berat dan penuh dengan ujian. Tetapi karena adanya godaan selama menjabat itu merasakan nikmatnya harta dan kekuasaan. Jadinya ketika menjabat seperti orang yang kalap. Berlaku serba aji mumpung. Mendorong keluarga untuk kejar jabatan politik, meski tadak punya kemampuan dan kapasitas. Perilaku politik tanpa moral dan etika ini terjadi pada semua level kekuasaan. Dara pusat hingga daerah. Tidak aneh, jaka terjadi pembiaran-pembiaran di sana-sani. Karena semua serba heppi. Kecuali rakyat, daerah dan negara yang menjada korban. Semua serba diam, karena ikut menikmati sistem politik dan kontestasi yang berbasis uang. Tak pernah terjadi Parpol atau kandidat didiskualifikasi atau dipidana karena money politic. Tetapa semua menyaksikan wanipiro ini benar-benar terjadi di depan mata kita. Tak heran outputnya adalah konflik kebijakan dan korupsi. Yang belom ditangkap, hanya karena lihai dengan pengaruh dan uangnya. Kini setelah orang tuanya berkuasa. Juga terkumpul uang banyak, maka uang dan pengaruh itu digunakan untuk menjadikan anak-istrinya duduki jabatan kekuasaan. Supaya nikmatnya kekuasan ini bisa dirasakan secara turun-temurun sekeluarga. Tidsk ada lagi rasa malu. Apalagi takut kapada Allah SWT bahwa kekuasaan itu adalah amanat untuk sejahterakan rakyat. Tak pernah ada yang mau buktikan soal money politic. Berapa uang untuk menang dalam kontes politik. Padahal ini sebagai dasar kuat bahwa kandidat terpilih karena KKN. Sebab tadak masuk akal, jika gaji Gubernur yang hanya Rp 8 jutaan, sedangkan untuk menang kontestasi sponsornya perlu keluarkan uang antara Rp. 300-500 miliar. Jika kondisi ini terus terjadi, maka Indonesia tidak kan pernah berhasil untuk membangun mensejahterakan rakyatnya. Karena anggarn sebenarnya sudah dirampok sejak kontestasi politik. Berapa banyak uang untuk memenangkan kontestasi? Termasuk mahar untuk parpol? Itulah yang akan ditanggung oleh rakyat dari inefisiensi pembangunan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS).

Tinjauan Yuridis (1): Membahas RUU HIP, Khianati Pancasila!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), apalagi sampai membahas dan menetapkannya menjadi sebuah Undang-Undang (UU), itu merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila! Mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah perbuatan makar terhadap negara. Karena jelas sekali tertera di dalam RUU HIP itu, inisiator RUU ini (baca: PDIP) tampak ingin mengubah Dasar Negara: Pancasila. Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto sendiri mengakui bahwa RUU HIP ini adalah inisiatif dari PDIP yang didukung parpol lainnya di DPR. Motif mereka tidak samar-samar. Mereka berencana untuk menghilangkan agama dari bumi Indonesia. Rencana itu tidak saja melawan pasal-pasal pidana, tetapi juga bertentangan frontal dengan UUD 1945. Di dalam RUU HIP tersirat keinginan untuk menghidupkan kembali komunisme dan marxisme-leninisme di Indonesia. Itu terlihat dari peniadaan Tap MPRS XXV/1966 tentang larangan komunisme (baca PKI) di deretan konsideran RUU HIP. Inilah salah satu fakta yang menyulut reaksi keras dari rakyat dan ormas lewat unjuk rasa 24 Juni 2020 di DPR. Sebagai parpol yang sedang memegang kekuasaan eksekutif maupun legislatif, melalui RUU HIP ini, selain ingin merebut kembali hegemoni tafsir Pancasila. PDIP ingin menghidupkan kembali gagasan Ir. Soekarno. Hal itu terlihat dalam rumusan memeras Pancasila menjadi Trisila. Kemudian diperas lagi menjadi Ekasila: Gotong Royong. Rumusan itu muncul dalam pidato Soekarno pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Padahal, soal rumusan Pancasila sudah selesai pada 18 Agustus 1945. Maka, dengan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia menjadi dasar atau landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut sistem ketatanegaraan. Makanya, RUU HIP ini ditolak oleh berbagai kalangan, termasuk MUI dan purnawirawan TNI. Satu hal lagi yang membuat berbagai kekuatan agama (ormas Islam) dan purnawirawan TNI itu meradang adalah penolakan PDIP mencantumkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam RUU HIP. Perlu dicatat dan diingat, dalam Ketetapan MPRS itu PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Maka, wajar jika langkah politik PDIP ini mengundang kecurigaan. Sikap politik PDIP terhadap TAP MPRS ini sesungguhnya cukup jelas. Sebuah kliping media yang belakangan beredar, menunjukkan pada Sidang Tahunan MPR (2003) PDIP mengagendakan dan akan memperjuangkan pencabutan TAP tersebut. Dasar pertimbangannya adalah HAM (Rakyat Merdeka, 29 Juli 2003). Kini manuver politik PDIP berubah menjadi prahara. Penolakan memasukkan TAP MPRS XXV Tahun 1966 dan memeras Pancasila menjadi Ekasila – meski katanya sudah dicabut – menghidupkan kembali isu lama: bangkitnya PKI. Jadi, wajar kalau kemudian ada desakan agar penggagas RUU HIP itu agar diproses hukum. Pada Rabu, 1 Juli 2020, sekitar pukul 10.30 WIB WNI bernama Rijal Kobar bersama tim pengacara TAKTIS (Tim Advokasi Anti Komunis) mendatangi SPKT Polda Metro Jaya. Mereka datang untuk melaporkan dugaan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 b dan 107 d Undang-Undang Nomor 27 THN 1999. Terlapor adalah Rieke Dyah Pitaloka yang memimpin rapat RUU HIP dan Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP. Para terlapor telah menginisiasi dan memimpin serta mengorganisir usaha untuk mengubah Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi. “Para terlapor juga diduga menyusupkan, menyebarkan dan jargon dan paham serta ideologi komunis dalam usaha mengubah Pancasila tersebut,” kata Aziz Yanuar, dari Tim Pengacara TAKTIS, dalam rilisnya, Senin, 2 Juli 2020. Tapi, para petugas di SPKT menolak LP pengacara TAKTIS dengan berbagai alasan. Alasan pertama, mereka akan buat tim untuk membuat LP model A apabila polisi menemukan tindak pidana. “Kemudian setelah berargumen cukup panjang, sekitar pukul 14.00 WIB masuk pengaduan masyarakat saja dengan dasar dugaan kami adalah kami tidak diperkenankan buat LP terkait ini karena alasan mereka Pokoknya Harus Dumas,” ungkap Aziz Yanuar. Setelah itu sekitar jam 24.00, “Kami berargumen. Kali ini alasannya masih RUU salah satu objeknya dan belum disahkan. Kami bantah, bahwa jika sudah jadi Undang-Undang akan konyol jika kami buat laporan ke polisi,” lanjutnya. Namun polisi tetap bersikeras hanya mau menerima bentuk Dumas (Pengaduan Masyarakat) atas perkara penting yang mengancam keutuhan bangsa dan negara ini. Akhirnya, “Pada pukul 01.30 WIB kami terpaksa menerima bahwa pihak kepolisian/penegak hukum hanya mau menerima ini sebagai aduan masyarakat (Dumas) dengan Bukti Laporan Pengaduan yang Telah Resmi Kami Terima,” ujar Aziz Yanuar. Artinya, dalam hal ini, mereka menduga, ideologi komunis dan ancaman terhadap pihak yang ingin mengubah Pancasila menjadi komunis masih dianggap hal sepele oleh pemerintah dan penegak hukum. Tinjauan Yuridis Seharusnya petugas Kepolisian tidak serta merta langsung menolak LP Pengacara TAKTIS. DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, seorang pakar hukum pidana, memberikan tinjauan yuridisnya (Legal Opinion) terkait RUU HIP tersebut. Beberapa tindak pidana terkait menunjuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (UU Keamanan Negara); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Partai Politik), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (UU Peraturan Hukum Pidana) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan partai pengusul RUU dirumuskan sebagai berikut: Pasal 107a jo Pasal 107e huruf a UU Keamanan Negara jo Pasal 40 ayat 5 UU Partai Politik dan/atau Pasal 107d UU Keamanan Negara dan/atau Pasal 107e huruf b UU Keamanan Negara dan/atau Pasal 156a huruf a KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dengan demikian, susunan dugaan tindak pidana bersifat kumulatif dan/atau alternatif. Lebih lanjut dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Pertama, Pasal 107a jo Pasal 107e huruf a UU Kemanan Negara Jo Pasal 40 ayat 5 UU Partai Politik. Di dalam pasal 107a UU Keamanan Negara menunjuk pada perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya. Tindakan ini diketahui dari adanya rumusan RUU HIP yang mengandung ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme. Bisa dilihat dengan adanya penyebutan “sendi pokok Pancasila adalah Keadilan Sosial” (Pasal 6 ayat 1 RUU HIP). Keberadaannya terhubung dengan Pasal 7 RUU HIP yang menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Trisila sebagaimana dimaksud terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Perihal gotong-royong dapat mengandung makna penyatuan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang kemudian dikenal dengan Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM). Pasal ini tidak menyebutkan adanya suatu maksud untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara. Dengan demikian, delik dianggap selesai sepanjang telah terpenuhinya semua unsur yang disebutkan. Pasal 107e huruf a UU Kemanan Negara menunjuk pada perbuatan mendirikan organisasi (in casu Partai Politik) yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme -Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya. Hal ini dapat diketahui dari AD/ART Parpol, apakah ada mengandung paham/ajaran yang menyimpang dari Pancasila. Penyimpangan tersebut diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. (Bersambung) Penulis Wartawan Senior.

Usut Bakar Bendera PDIP, Kejar Pelaku Makar Pancasila

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kalau pembakaran bendera PDIP di aksi unjukrasa RUU HIP memang berdimensi pidana, tentu bisa saja diusut sesuai aturan hukum yang berlaku. Semua pihak akan mengikuti penegakan hukum. Karena negara ini adala negara hukum. Tetapi, yang lebih besar dari peristiwa pembakaran bendera itu juga wajib diusut. Bahkan, harus diselidiki dengan sangat serius. Yaitu, rencana untuk mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Rencana yang jelas-jelas ingin melenyapkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME) dari Pancasila. Ini lebih besar dari pidana bakar bendera partai. Mengubah Pancasila adalah perbuatan makar terhadap negara. Para penggagas Trisila dan Ekasila, sebagaimana tertera di dalam RUU HIP, ingin mengubah dasar negara. Motif mereka tidak samar-samar. Mereka berencana untuk menghilangkan agama dari bumi Indonesia. Rencana itu tidak saja melawan pasal-pasal pidana, tetapi juga bertentangan frontal dengan UUD 1945. Di dalam RUU HIP tersirat keinginan untuk menghidupkan kembali komunisme dan marxisme-leninisme di Indonesia. Itu terlihat dari peniadaan Tap MPRS XXV/1966 tentang larangan komunisme-PKI di deretan konsideran RUU HIP. Inilah salah satu fakta yang menyulut reaksi keras dari rakyat lewat unjukarasa 24 Juni 2020 di DPR. Pembakaran bendera partai adalah ekses dari reaksi keras itu. Silakan diusut tuntas. Boleh-boleh saja. Tetapi, pembakaran bendera dan proses pengusutannya jangan sampai mengalihkan perhatian semua pihak dari rencana makar terhadap Pancasila. Ini jauh lebih mendesak untuk diuraikan. Harus segera ditemukan dalang rencana makar. Setelah itu, harus ada tindakan hukum terhadap para perencana makar. Institusi penegak hukum tidak akan menghadapi kesulitan untuk mengusut makar Pancasila dan pembakaran bendera PDIP. Bukti-bukti sudah terdokumentasi. Ada video tentang pembakaran bendera dan ada pula video tentang rencana makar Pancasila. Bahkan, rencana makar Pancasila memiliki dokumen tertulis yang sangat lengkap. Dan tersimpan di DPR. Hanya melalui penegakan keadilan yang utuh dan tidak berat sebelah, semua kita bisa hidup dengan tenteram. Keberpihakan pasti akan tercium dan terungkap. Akumulasi keberpihakan pasti pula akan berproses menjadi bom waktu. Sebaiknya, janganlah dirakit bom waktu itu. Jadi, silakan usut bakar bendera PDIP. Tapi, wajib dikejar pelaku makar Pancasila.[] 26 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)

PDIP dalam Pusaran Trauma Politik PKI

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Badai politik sedang menerpa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bila salah mengelola dan mengantisipasi, bukan tidak mungkin berubah menjadi tsunami politik. Mengancam basis elektoralnya. Situasinya cukup genting. Ketua Umum PDIP Megawati sudah memerintahkan para kadernya “merapatkan barisan.” Fraksi PDIP menyerukan perlawanan. Seruan itu dikeluarkan menyusul pembakaran bendera partai oleh massa pengunjukrasa penentang RUU Haluan Idiologi Pancasila (PDIP) di Gedung MPR/DPR. Bendera merah dengan simbol kepala banteng moncong putih itu dibakar bersama bendera merah dengan simbol palu arit. Pengunjukrasa tampaknya secara tegas ingin menyampaikan pesan bahwa PDIP sama berbahayanya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai terlarang itu beberapa kali melakukan pemberontakan, namun gagal. Gerakan perlawanan publik sungguh mengagetkan. Tampaknya tidak masuk dalam kalkulasi politik PDIP sebagai inisiator RUU HIP. Kemungkinan besar mereka menduga bakal suskes menyelundupkan menjadi UU mumpung publik lengah karena pandemi. Sebagai partai penguasa, PDIP tengah berlayar dalam segala kemegahannya dan eforia kemenangan. Bersama-sama partai pendukung pemerintah mereka berhasil menggolkan berbagai UU kontroversial. Mulai dari UU Minerba sampai UU Kebijakan Stabilitas Keuangan Negara. PDIP kali ini salah hitung. Tanpa mereka sadari, ambisi menghegemoni tafsir politik Pancasila ternyata membangunkan macan tidur. Isu bangkitnya kembali PKI membuat dua sekutu lama --kalangan umat beragama dan TNI-- kembali bersatu. Mata publik kini juga menjadi lebih terbuka, siapa mereka sesungguhnya dan apa agendanya? Semakin lama, pendulum politiknya semakin bergerak terlalu ke kiri. Mengulang kisah lama Posisi PDIP saat ini mengingatkan kita pada kemelut politik tahun 1965. Kemelut politik yang menjadi penyebab tumbangnya Presiden Soekarno. Menjelang kejatuhannya, bandul politik ayah Megawati itu bergeser sangat jauh. Dari tengah, ke kiri jauh (komunis). Dia mencoba menyatukan berbagai elemen kekuatan bangsa dalam sebuah ijtihad politik yang disebutnya sebagai Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunisme). Setting politiknya hampir sama. Saat itu Soekarno melalui Demokrasi Terpimpin menjadi penguasa tunggal yang otoriter. Soekarno juga berusaha menjadi penafsir tunggal Pancasila. “Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom. Siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” tegasnya. Soekarno bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan: “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.” Kekuatan-kekuatan yang menentang ide Nasakom dilabeli oleh Soekarno sebagai kontra revolusi. Dengan cap kontra revolusi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dibubarkan. Tuduhannya para tokohnya banyak terlibat dalam gerakan PRRI/Permesta. Melalui RUU HIP selain ingin merebut kembali hegemoni tafsir Pancasila. PDIP ingin menghidupkan kembali gagasan Soekarno. Hal itu terlihat dalam rumusan memeras Pancasila menjadi Trisila. Kemudian diperas lagi menjadi Ekasila: Gotong royong. Rumusan itu muncul dalam pidato Soekarno pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Satu hal lagi yang membuat kekuatan agama dan purnawirawan TNI meradang adalah penolakan PDIP mencantumkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam RUU HIP. Dalam Ketetapan MPRS itu PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Wajar jika langkah politik PDIP ini mengundang kecurigaan. Sikap politik PDIP terhadap TAP MPRS ini sesungguhnya cukup jelas. Sebuah kliping media yang belakangan beredar, menunjukkan pada Sidang Tahunan MPR (2003) PDIP mengagendakan dan akan memperjuangkan pencabutan TAP tersebut. Dasar pertimbangannya adalah HAM (Rakyat Merdeka 29 Juli 2003). Kini manuver politik PDIP berubah menjadi prahara. Penolakan memasukkan TAP MPRS XXV Tahun 1966 dan memeras Pancasila menjadi Ekasila —kendati sudah dicabut—menghidupkan kembali isu lama: bangkitnya PKI. Isu yang semula disebut sebagai hantu, dalam benak publik kini menjadi nyata. PDIP identik dan disamakan dengan kebangkitan PKI karena RUU HIP. Runyam khan?! End Penulis Wartawan Senior

PDIP Tak Rela Dengan Pancasila 18 Agustus 1945

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (26/06). Sebenarnya agak aneh juga. Hanya gara-gara Rancangan Undang-Undang Haluan Edeologi Pancasila (RUU HIP) muncul isu, seruan, dan desakan yang menghendaki pembubaran PDIP. Partai terbesar sebagai pemenang dua kali Pemilu terakhir, baik legislatif maupun Presiden. Partai bersimbol banteng ini tentu berbenteng kokoh. Siapa sih yang berani menyinggung keberadaannya? Disamping itu jumlah anggota dewannya terbanyak. Bukan saja terbanyak DPR RI, tetapi juga di berbagai daerah, baik yang Provinsi maupun Kabupaten/Kota. PDIP juga menempati berbagai jabatan strategis di pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah. RUU HIP ternyata mampu membuka banyak hal yang selama ini tertutup rapat. Ditolak rakyat karena beraroma dan berbau Orde Lama, PKI, dan Komunisme. Pemerintah "menunda" karena sensitivitas muatan RUU HIP. Pemerintah juga meminta Dewan menyerap aspirasi lebih dalam. Rakyat tegas dan jelas menolak. Tidak memberi ruang untuk direvisi. Selanjutnya, rakyat mendesak agar diusut siapa saja konseptor. Terutama mereka yang bisa dikualifikasikan sebagai melakukan makar kepada idelogi dan dasar Negara Pancasila. Pasal 107 KUHP diangkat sebagai ancaman pelanggarannya. Dengan Maklumat yang tajam, Mejelis Ulama Indonesia (MUI) tampil sebagai lokomotif penolakan dari kalangan umat Islam. "Bongkar-bongkaran" yang lebih dalam telah menguak platform perjuangan PDIP sebagai Partai Politik. Media sosial hari-hari ini diisi dengan uraian tentang Visi dan Misi perjuangan partai. Ternyata di sana, selain ada Pancasila, juga adaTrisila, dan Ekasila. Rakyat pun jadi terperanjat. Oooooh, seperti ini toh aslinya? Masyarakat Pancasila yang hendak dibangun oleh PDIP itu adalah masyarakat Pancasila yang 1 Juni 1945. Bukan Pancasila yang sekarang dijadikan landasan Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945. Inilah yang disorot sebagai "makar" ideologi oleh beberapa kalangan. Meskipun Pancasila 1 Juni 1945 hal itu hanya tersirat, namun narasi yang ada sudah cukup untuk membuat rakyat Indonesia "mengerutkan kening". Apalagi pada Mukadimah Anggaran Dasar PDIP, pada alinea ketiga terdapat narasi kalimat antara lain: "PDI Perjuangan memahami Partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945" Lalu : "Partai juga sebagai alat perjuangan untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ber-Ketuhanan, memiliki semangat sosio nasionalisme dan sosio demokrasi (TRI SILA). Selanjutnya : "Serta alat perjuangan untuk menentang segala bentuk individualisme dan menghidupkan jiwa dan semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (EKA SILA)" Pasal 10 tentang tugas partai, pada butir g tertuang : "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih dan berwibawa" Nah kini sudah semakin jelas. Jika Pancasila 1 Juni 1945 yang dijadikan sebagai panduan, dan dimaknai, maka bukan hanya RUU HIP yang beraroma PKI dan Komunisme yang berbahaya. Tetapi juga perlu didalami tentang kemungkinan ancaman dari misi PDIP bagi kemurnian ideologi Pancasila hasil kesepakatan 18 pendiri bangsa Agustus 1945. Masyarakat politik dan masyarakat hukum berhak untuk mengkaji lebih dalam tujuan dan arah politik PDIP seperti tertuang di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDIP. Tujuannya untuk memperjelas kasus dan posisi PDI,P baik dalam konteks RUU HIP maupun misi terselubung yang ada dibaliknya. Visi dan Misi PDIP ini menjadi wacana dan isu yang menarik. Sebab bisa saja muncul dugaan, adakah Pancasila 1 Juni 1945 tersebut yang mau diperjuangkan PDIP untuk mengganti atau melemahkan Pancasila 18 Agustus 1945 ? Itulah hanya yang terpersepsi, tetapi perlu untuk diklarifikasi lebih lanjut. Jika memang itu yang terjadi, maka keadaan bangsa dan negara Indonesia akan teryus menghadapi ancaman yang sangat serius. Rakyat, khususnya umat Islam perlu waspada menghadapi kemungkinan terburuk selama Visi dan Misi PDIP belum berubah. Atau lebih tepat, siaga. Tidak bisa berdiam diri. TNI dan Polisi jangan berdiam diri saja. TNI dan Polisi juga mesti peduli dengan perkembangan dan situasi. RUU HIP dan PDIP telah membawa masalah baru bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Arief Poyuono: “Pak Joko Widodo Lawannya PKI!”

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN + Melansir Detik.com, Rabu (17 Jun 2020 11:19 WIB), Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono terancam sanksi dari Majelis Kehormatan DPP Gerindra karena pernyataan dia soal “PKI dimainkan kadrun” belakangan ini. Perihal sanksi untuk Poyuono itu disampaikan juru bicara Gerindra Habiburokhman dalam Twitter-nya. Tapi, Poyuono tetap merasa benar dengan pernyataannya. Poyuono tetap pada pendiriannya bahwa isu kebangkitan PKI hoax dan dibuat “kadrun”. Sanksi itu tengah diproses internal Majelis Kehormatan DPP Gerindra. “Kadrun itu siapa? Saya tanya dulu kan. Kadrun-kadrun itu istilah, nggak ada orang yang mau disebut kadrun. Memang si Habib (Habiburokhman) mau saya sebut kadrun?” sindir Poyuono. “Memang Gerindra kadrun? Kan bukan,” lanjut Poyuono saat dimintai tanggapannya, Rabu (17/6/2020). “Saya akan tetap pada statement saya bahwa PKI itu cuma hoax dan yang buat saya sebut kadrun. Kenapa? PKI itu partai terlarang kan? Ideologi terlarang kan. Ada nggak yang udah ditangkap polisi? Tunjukkan di mana orang-orang PKI itu,” imbuh Poyuono. Poyuono menilai isu bangkitnya PKI diembuskan cuma untuk mengacaukan negara. Dia menegaskan pemerintah saat ini juga menentang PKI. “Pak Joko Widodo bukan PKI, Pak Joko Widodo lawannya PKI,” tegas Poyuono. Pernyataan Poyuono tersebut menjadi sorotan warganet. Seperti ditulis dalam Fajar.co.id, pernyataan di salah satu video wawancara membuat Poyuono dan partainya menjadi bahan pembicaraan. Dalam video wawancara yang beredar luas di media sosial itu, legislator Senayan ini ditanya siapa yang memunculkan isu-isu PKI? “Yang pasti ini adalah kadrun!” tegas Poyuono dari akun twitter @Tjeloup, Selasa malam (16/6/2020). “Itu kadrun-kadrun dan yang ke-2 mungkin orang-orang yang tidak ingin adanya perdamaian di Indonesia yang mengkacau suasana, yang ingin mendiskreditkan pemerintahan yang sah secara konstitusional,” lanjut Poyuono. Kadrun (Kadal Gurun) digunakan oleh pendukung garis keras Jokowi. Istilah ini diindetikan dengan keturunan Arab atau yang berpakaian kearab-araban. Biasanya digunakan untuk para pengkritik Jokowi dan partai oposisi. Menurutnya, santernya isu PKI tak ayal hanyalah kabar hoaks yang mencuat di era Presiden Jokowi yang dalam hal ini menjadi korban, selalu dikait-kaitkan dengan PKI, partai terlarang. Poyuono menyebut pada era Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), isu PKI tidak gencar dimainkan untuk menjatuhkan kewibawaan lawan politik. “Enggak ada cuma isu-isu bohong saja (PKI),” katanya. “Isu-isu itu sebenarnya hanya untuk mendelegitimasi Kangmas Jokowi yang selalu dituduh apa pun. Dia seakan-akan ada hubungannya sama PKI, seperti itu. Kan aneh munculnya itu cuman di era-nya Pak Jokowi saja, dulu di era SBY tidak ada, era Mega tidak ada, ya kan, ini kan aneh,” ucapnya.Akibat pernyataan ini, warganet rame-rame membuat tagar #TenggelamkanGerindra. Bahkan hingga Rabu (17/6/2020) pagi, tagar ini sudah ditulis 6.391 kali (pukul 09.38 Wita). Pihak partai besutan Prabowo Subianto pun langsung memberikan klarifikasi. Lewat juru bicara Partai Gerindra, Habiburokhman memberikan klarifikasi atas pernyataan keras yang dilontarkan oleh Arief Poyouno. “Sebagai Jubir Partai Gerindra saya tegaskan bahwa pernyataan dari Arief Poyuono tidak mewakili Partai @Gerindra, apapun dia bilang jangan kaitkan dengan kami (Gerindra),” tulis Habiburokhman di akun Twitter miliknya, Selasa (16/6/2020). “Saya seh ingatkan Arief Poyuono bahwa garis partai jelas anti PKI dan kita sangat waspada terhadap kebangkitan PKI,” ungkap Habiburokhman. Melansir Detik.com, Rabu (17/6/2020), Poyuono melontarkan pernyataan “PKI dimunculkan kadrun” dalam wawancara di kanal YouTube “Kanal Anak Bangsa”. Dia ketika itu menjadi narasumber yang diwawancari. Poyuono menjawab sejumlah pertanyaan. Tentang kebangkitan PKI. Ini benar ada atau nggak? Nggak ada, itu cuma isu-isu bohong aja. Isu-isu itu sebenarnya hanya untuk mendelegitimasi Kangmas Jokowi, yang selalu dituduh apapun dia seakan-akan dia ada hubungannya sama PKI. Seperti itu kan aneh, munculnya itu di eranya Pak Jokowi aja. Dulu era SBY nggak ada, era Mega nggak ada, ini kan aneh. Siapa yang atau kelompok orang yang memunculkan itu? Yang pasti ini adalah kadrun, kadrun-kadrun ya yang pasti. Yang ke-2 mungkin orang-orang yang tidak menginginkan adanya perdamaian di Indonesia, yang selalu ingin mengacau yang selalu ingin mendiskreditkan pemerintah yang sah dan konstitusional dengan isu-isu PKI. Tapi kebangkitan PKI tidak ada? Tidak ada. Siapa yang PKI? Sangat dijamin. Di mana? Nanti gerakan buruh lebih kenceng disebut PKI. Kan kacau. Nggak ada PKI. Jadi kita bisa memastikan isu PKI itu tidak ada, hanya rekayasa kelompok tertentu? Tidak ada. Men-delegitimate pemerintahan Pak Jokowi. Yang disarankan ke Pak Jokowi untuk merespons dinamika sekarang ini? Diem aja. Diem aja ngapain direspons. Kebangkitan PKI hanya hoax… Hoax dan mau mengacaukan Indonesia. Dan sayangnya nggak laku. Tiap tahun nggak laku. Rakyat nggak butuh itu. Bicara tentang komunisme, masih laku? Tidak, udah nggak laku. Potensi PKI bangkit lagi ada peluang nggak? Saya rasa nggak ada karena PKI itu sekarang sudah bukan ajaran yang lama dari komunisme terus itu melakukan apa namanya teorinya tuh sudah diperbarui, teori lamanya udah nggak lagi. Kalau teori barunya ya kita lihat sekarang China. China (itu) sendiri sudah mengarah ke kapitalis. Nggak komunis murni cuma dalam hal-hal kepentingan negara mereka menganut ajaran-ajaran komunis itu artinya untuk melindungi negara dan rakyatnya dia gunakan ideologi komunis itu. “Tapi kalau untuk kegiatan ekonominya lebih liberal daripada kita,” ungkap Poyuono dalam wawancara itu. Pernyataan Poyuono dan klarifikasi Gerindra tentu saja menimbulkan polemik. Isu sensitif PKI diyakini akan semakin membesar seperti bola salju. Patut dicermati, apakah pernyataan Poyuono ini merupakan satu mata rantai dengan polemik RUU HIP? Atau berdiri sendiri dan Poyuono memiliki hidden agenda atau motif lain? Penulis Wartawan Senior

Untung Ada RUU HIP

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Setiap peristiwa selalu membawa hikmah. Begitu kata orang-orang tua. RUU HIP juga disertai hikmah. Ada ‘by products’ (produk sampingan) yang tersingkap dari upaya busuk pihak-pihak yang ingin melenyapkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Banyak sekali yang terkuak. Dalam tamsilan lain, banyak yang bercerabut ketika akar RUU HIP itu dibongkar oleh rakyat yang mengawal Pancasila. Banyak yang bertaburan begitu RUU anti-ketuhanan itu dicungkil. Misalnya, kita lihat kesibukan parpol-parpol di DPR melakukan ‘adjustment’ (penyesuaian) dengan gerakan yang menentang RUU itu. Mereka pontang-panting menyelamatkan diri. Bagaikan tertangkap basah di tempat mesum. Semua mengatakan bahwa mereka belum sempat ‘begituan’. Ada yang mengatakan bahwa mereka hanya sekadar berkaraokean saja. Ada pula yang berkilah baru sampai di lokasi. Ada yang bilang belum transaksi, dlsb. Dari pembongkaran RUU HIP itu, Anda juga menyaksikan pentolan-pentolan anti-Pancasila dan anti-agama yang bermunculan di segenap kubu politik. Ada politisi ‘sempak merah’ yang mengatakan “kok sekarang orang yang tadinya tak suka Pancasila tiba-tiba menjadi pancasilais”. Ada pula politisi ‘arus pendek’ (short circuit) yang bilang bahwa “isu PKI dimainkan oleh kadrun”, dll. Intinya, mereka memperlihatkan kegelisahan terhadap sila KYME di Pancasila. Mereka, tanpa sadar, membukakan sendiri jati diri mereka dalam kaitan dengan Pancasila. Padahal, selama hari ini mereka menuduh kalangan Islam yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara. So, hari ini Allah Ta’alaa sempurnakan kelicikan dan kemunafikan mereka. Dibukakan sejelas-jelasnya wajah mereka yang sesungguhnya. Bahwa mereka hanya berpura-pura membela Pancasila. Bahwa mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang ingin menyingkirkan sila KYME. Untunglah ada RUU HIP. Rencana busuk mereka ketahuan. Potret wajah mereka dengan rekaman 20-pixel dan disertai ‘caption’ yang bertuliskan “Kami Pejuang Anti-Ketuhanan”, kini terpampang di halaman depan markas partai mereka. Anda sudah tahu siapa-siapa mereka. Jadi, itulah hikmah yang terungkap. Itulah selubung kejahatan yang tersingkap. Yang membuat para dalang musuh Pancasila itu tergemap-gagap.[] 25 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)

Mantaplah Arief Poyuono, Bakal Merebut Gerindra dari Prabowo

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Siapa yang berani meramalkan Arief Poyuono akan menjadi ketua umum Gerindra? Pasti Anda bilang tak masuk akal, bukan? Mana mungkin dia menyingkirkan Prabowo Subianto (PS). Karena tak masuk akal itu, saya menjadi orang pertama yang membuat prediksi ‘out of the box’ ini. Poyuono akan menjadi bintang Gerindra. Dia akan menjadi ketua umum, suatu hari kelak. Mungkin tak lama lagi. Poyu akan merebut Gerindra dari tangan Prabowo. Apa alasan saya? Sederhana saja. Poyu (panggialan akrab Poyuono) berani melawan arus di partainya. Juga melawan publik secara terbuka. Dan subjeknya pun tak tanggung-tanggung: soal kebangkitan PKI. Dia mengatakan, isu kebangkitan PKI dimainkan oleh ‘kadrun’. Ini bukan pernyataan sembarangan. Anda semua paham bahwa ‘kadrun’ adalah julukan yang dilabelkan oleh kelompok pembela kemungkaran. Kelompok ini membenci ulama, Islam, dan umat Islam. Bahwa yang dituju Poyu dengan sebutan ‘kadrun’ itu adalah umat Islam, sangat logis. Sebab, yang mencurigai kebangkitan PKI lewat RUU HIP adalah umat Islam. Itu sangat jelas. Terus, mengapa Arief Poyu diramalkan menjadi ketum Gerindra? Itu tadi, karena keberanian dia yang luar biasa. Dia siap berhadapan dengan siapa saja. Siap berhadapan dengan pimpinan Gerindra. Dia bernyali baja. Dia tegas menolak panggilan Dewan Kehormatan (DK) partai. Padahal dia paham bahwa Dewan Kehormatan adalah organ yang bisa menjatuhkan hukuman berat. Poyu tak perduli ancaman dari DK. Dia tidak gentar. Dia lawan semua petinggi Gerindra. Di situlah hebatnya Poyu. Dia tak ambil pusing dengan panggilan DK. Malah, dahsyatnya, Poyu merepeti para politisi senior Gerindra dengan sebutan politisi gagal paham dan “otaknya kayak kadrun-kadrun”. Mantaplah Arief Poyuono! Menurut Poyu, dia tidak mengatasnamakan Gerindra ketika mengeluarkan pernyataan soal ‘isu PKI yang dimainkan kadrun’ itu. Menurut Poyu, dia berbicara atas nama ketua umum Serikat Pekerja BUMN. Sikap anti-Islam Poyu itu memiliki nilai jual yang tinggi di internal Gerindra. Sebab, banyak sekali senior di sana yang sejalan dengan pikiran Poyu. Dari faksi inilah Poyu akan diantarkan menuju kursi ketua umum. Pasti dia sudah memetakan ‘road map’-nya untuk merebut Gerindra. Sama-sama kita lihat nanti keputusan DK Gerindra yang akan bersidang Selasa, 23 Juni 2020 (besok). Saya yakin, Poyu tidak akan bisa dipecat seperti dituntut oleh Andre Rosiade –politisi senior Gerindra yang mewakili daerah anti-PKI. Yaitu, wilayah Sumatera Barat. Mengapa Poyu percaya diri mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan sikap anti-komunisme/PKI yang sedang membara? Itu disebabkan adanya suasana yang memihak pada komunisme-PKI sekarang ini. Bisa jadi Poyu merasa yakin bahwa peluang kebangkitan paham dan partai terlarang itu kini semakin besar. Barangkali dia sudah mendapatkan isyarat entah dari siapa. Poyu adalah realitas baru di Gerindra. Dia menjadi sesuatu yang ‘lain’. Terasa menyegarkan suasana partai. Tidak monoton. Bisa jadi juga dia adalah figur yang ‘jujur’ di Gerindra. Apa adanya. Poyu tidak menyembunyikan sikapnya terhadap umat Islam. Tidak pula menyembunyikan pikirannya tentang komunisme-PKI. Mungkin ada pertanyaan: apakah Gerindra nantinya tidak terpuruk akibat pernyataan Poyu? Bisa iya, bisa tidak. Gerindra akan terpuruk kalau keluarga besar partai itu membuang Poyu. Kok bisa begitu? Sebab, di pemilihan legislaif berikutnya Gerindra harus membidik suara dari basis PDIP. Poyu paham bahwa Gerindra tidak akan pernah lagi didukung oleh komponen umat Islam garis lurus sebagaimana di pileg-pilpres tahu lalu. Poyu memperhitungkan ini. Sekali lagi, Poyu jeli membaca ini. Dia tahu bahwa menyerang umat Islam akan memindahkan suara PDIP ke Gerindra. Ini kalkulasi Poyu. Dia menunjukkan kualitas seorang Ketum. Karena itulah, Poyu akan melejit di Gerindra. Dia sangat diperlukan oleh partai Pak PS ini. Boro-boro dipecat, Poyu yang malah akan menendang orang-orang seperti Andre Rosiade, Sufmi Dasco dan Fadli Zon. Poyu akan merebut Gerindra. Dia akan singkirkan Prabowo. Dan Prabowo akan menyingkir dengan senang hati. Kita lihat saja nanti. Pak PS akan berterima kasih. Bukan marah. Sebab, Poyu akan mengembalikan Gerindra ke khittahnya. Ke tujuan aslinya.[] 22 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)

PDIP Tidak Bisa Lagi Dipercaya Dalam Urusan Pancasila

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Drama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sedang ‘pose’ (pause). Pembahasannya ditunda. Tapi, semua komponen besar umat Islam menuntut agar RUU itu dibatalkan. Tuntutan pembatalan ini kelihatannya akan digaungkan terus. Sampai RUU itu dicabut. Agar RUU yang sangat berbahaya itu tidak lagi mengganggu ketenteraman publik. Ada pelajaran besar dari drama RUU HIP. Pelajaran itu ialah bahwa PDIP, mulai sekarang, tidak bisa lagi dipercaya dalam urusan Pancasila. Partai Banteng tidak bisa dipercaya lagi sebagai tempat untuk menitipkan Pancasila. Meskipun mereka akhirnya memasukkan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan komunisme-PKI sebagai konsideran RUU, dan kemudian menggugurkan Pasal 7 tentang pemerasan (ekstraksi) Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, tetap saja PDIP tidak bisa dipercaya sampai kapan pun. Mereka akan berusaha terus mengutak-atik dasar negara ini. Pancasila tidak akan aman di tangan PDIP. Khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Melalui konsep Trisila yang digagas oleh elit Partai Banteng, KYME dilecehkan menjadi “ketuhanan yang berkebudayaan” (KYB). Bisa ditebak arah KYB. Yaitu, secara perlahan akan melenyapkan total dasar ketuhanan dalam kehidupan umat. Umat Islam mencatat ini. Semua sudah terang benderang. Dilihat dari pemikiran mereka untuk memeras lima sila menjadi tiga dan seterusnya menjadi satu, tak diragukan lagi PDIP sedang membidik sila ketuhanan. Mereka, tampaknya, ingin sekali menghapus KYME. Ada indikasi bahwa PDIP gerah dengan sila pertama itu. Para politisi senior Banteng mengatakan inisiatif Trisila dan Ekasila di RUU HIP bukan datang dari mereka. Begitu juga soal peniadaan Tap MPRS larangan komunisme-PKI di deretan konsideran RUU. PDIP merasa terfitnah. Tapi, semua orang bisa menelusuri kronologi RUU ‘toxic’ itu. Tim koran ‘Republika’ yang melakukan investigasi menemukan bahwa PDIP adalah pihak yang mengusulkan RUU HIP di Badan Legislasi (Baleg) DPRRI. Wakil Ketua Baleg, Rieke Diah Pitaloka dari PDIP, ditunjuk menjadi ketua panitia kerja (panja) RUU tersebut. Entah dengan alasan apa, parpol-parpol lain mendukung pembahasan RUU ini. Kecuali PKS dan Partai Demokrat. Hanya PKS yang menolak dengan alasan yang sangat mendasar. Sedangkan Demokrat menolak dengan alasan bahwa tidak baik membahas RUU krusial di tengah wabah Covid-19. Dalam 3-4 hari ini, PDIP mengaktifkan mesin bantahan. Tetapi, seluruh rakyat sudah tahu apa yang mereka lakukan. Banteng saat ini sedang sibuk meyakinkan umat Islam bahwa mereka adalah partai yang ramah Islam (Islam friendly). Tiba-tiba saja, dua hari lalu (18/6/2020) PDIP mengeluarkan ‘press release’ yang berisi tentangan terhadap upaya Amerika untuk memindahkan ibukota Palestina dari Yerusalem ke Abu Dis. Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengajak semua elemen bangsa bersatu melawan pemindahan ibukota Palestina itu. Tak lupa, Hasto menyebutkan bahwa perjuangan Palestina untuk merdeka selalu ada dalam pikiran Bung Karno. Memang apa saja tentang Palestina pastilah selalu membangkitkan sentimen umat Islam di sini. Hasto memanfaatkan soal ibukota itu untuk mendinginkan isu Trisila dan Ekasila. Dia mengatakan energi bangsa banyak terkuras ke urusan domestik. Sekarang saatnya ‘ouward looking’ alias ‘mengurus dunia’, kata Hasto. Serius mau mengurus dunia? Dan, apa iya sangat urgen untuk ‘ouward looking’ pada saat dan situasi seperti sekarang ini? Boleh-boleh saja. Tapi, Trisila dan Ekasila plus penyingkiran Tap MPRS larangan komunis-PKI di RUU HIP tak akan pernah terlupakan. Rakyat sulit memulihkan kepercayaan kepada PDIP.[] 20 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior senior)