POLITIK
Silakan Tangkap Anak Pak Lurah?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (21/12). Di media sosial saat ini tengah berlangsung pertempuran seru. Perang kata (TwitWar), perang tagar antara penentang dan pendukung Presiden Jokowi. Di twitter sejak kemarin sudah bergema tagar #TangkapAnakPakLurah. Tagar itu wora wiri di lini masa, menjadi trending topic. Paling banyak cuit, dimention, dan diretweet. #TangkapAnakPakLurah dipicu laporan utama majalah Tempo pekan ini. Judulnya: Korupsi Bansos Kubu Banteng. Dalam artikel Tempo disebutkan, jatah pembuatan goodie bag alias kantong kemasan untuk paket Bansos milik “Anak Pak Lurah.” Frasa Anak Pak Lurah ini mengacu pada Gibran, putra Jokowi yang baru saja memenangkan Pilkada Solo. Perusahaan textil raksasa PT Sritex mendapat jatah pembuatan 1,9 juta kantong kemasan, berkat rekomendasi “Anak Pak Lurah.” PDF, screenshot majalah Tempo menyebar dengan cepat di media sosial. Media-media online juga ikut rame-rame memberitakannya. Gabungan pemberitaan Tempo, pemberitaan media online yang massif dan tagar #TangkapAnakPakLurah ini, rupanya membuat gerah kubu pendukung Presiden Jokowi. Sejak Senin pagi (21/12) tagar #TempoMediaASU mulai bergema. Masuk dalam trending topic Indonesia, namun belum bisa mengalahkan #TangkapAnakPakLurah. Riuh rendahnya pemberitaan dan tagar Anak Pak Lurah ini juga membuat Gibran gerah. Dia menantang agar KPK segera menangkapnya. "Silakan tangkap kalau ada bukti," tantangnya. Melihat pilihan kosa kata ASX, kita sesungguhnya sudah bisa menduga siapa yang bermain di belakang tagar ini. Kosa kata itu khas gaya Jawa Tengahan, khususnya kota Solo. Kata itu adalah sebuah makian. Menunjukkan betapa kesal dan marahnya mereka kepada Majalah Tempo. Masih ingat saat rame-rame jelang Pilpres 2019 lalu? Bupati Boyolali Seno Samudro memaki Capres Prabowo ASX. Gara-garanya, hanya karena Prabowo mengucapkan guyonan “Tampang Boyolali.” Sebuah makian yang sangat tidak pantas terhadap seorang capres. Apalagi sekarang malah jadi Menhan. Mosok seorang Menhan, pembantu Jokowi dimaki ASX. Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto mencoba menetralisir. Menurut Bambang, makian —pisuhan dalam bahasa Jawa— Itu merupakan kultur anak-anak wilayah Surakarta. Itu menunjukkan sikap yang egaliter. Anak milineal di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jawa Timuran, apalagi luar Jawa, tidak akan menggunakan kosa kata itu. Di Bandung ada padanannya dengan obyek yang sama. Yakni Anjixx. Wajar bila mereka sangat marah dan kesal. Tempo Group dalam beberapa pekan terakhir tidak hanya menelanjangi Juliari dan PDIP, tapi juga menyerang “Anak Pak Lurah.” Sebelumnya, Tempo juga memaparkan data dan fakta yang berbeda seputar tewasnya 6 orang laskar FPI di KM 50. Siapa yang bermain? Siapa yang bermain di belakang #TangkapAnakPakLurah dan siapa di belakang #TempoMediaAsu, petanya akan jelas setelah nanti Big datanya dibaca. Satu hal yang jelas, menjadi media yang merdeka dan independen di negeri ini makin berat. Kalau cuma sekedar dibully dan dimaki dengan #MediaASU siy kadarnya biasa. Situs tempo.co beberapa waktu lalu sempat diretas. Tampilan wajah situsnya diubah (deface). Beberapa channel Youtube yang dianggap kritis dan berada dalam kubu oposisi, diblokir dan tidak bisa ditonton di Indonesia. Channel Front TV milik FPI menghilang dari beranda Youtube. Hanya bisa disaksikan menggunakan VPN atau dari luar negeri. Channel milik saya Hersubeno Point juga diblokir. Untungnya mereka yang sudah subscribe, masih tetap bisa menyaksikan dan mendapat notifikasi. Tak perlu menggunakan VPN. Tanda-tanda kematian demokrasi di Indonesia ada di ambang mata. Orang sudah semakin takut menyatakan pendapat. Urusannya panjang dan bisa berakhir di bui. Kebebasan menyuarakan pendapat sesungguhnya dijamin konstitusi. Media yang independen, bukan mengabdi pada kekuasaan, merupakan indikator sehatnya demokrasi sebuah negara. Media juga disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Pendiri Harian Kompas PK Ojong pernah mewanti-wanti. Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tetapi mengkritik orang yang sedang berkuasa! End Penulis wartawan senior fnn.co.id
ILC Pamit dan Edy FNN "Dikriminalisasi", Upaya Bungkam Pers?
by Mochamad TohaSurabaya FNN - Kamis (17/12). Mulai tahun depan, suara kritis yang muncul dalam tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) di TVOne bakal tidak ada lagi. Presiden ILC Karni Ilyas menyebut program itu akan cuti tayang pada tahun depan. Selasa malam, 15 Desember 2020, menjadi episode perpisahan. Karni tak menjelaskan alasan program ILC cuti tayang pada tahun depan. Ia hanya menyebut episode perpisahan ILC pada Selasa malam itu berjudul “Renungan Akhir Tahun: Dampak Tekanan Ekonomi, Ibu Bunuh Anak, Suami Bakar Isteri”. “Dear Pencinta ILC: Sekalian kami umumkan edisi ini adalah episode terakhir akhir tahun ini dan merupakan episode perpisahan,” tulis Karni melalui akun twitternya @karniilyas, Selasa, 15 Desember 2020. “Sebab mulai tahun depan berdasarkan keputusan manajemen TVOne, ILC dicutipanjangkan sementara waktu. Mohon maaf sebesar-besarnya kepada Pencinta ILC,” lanjut Karni melalui akun twitternya @karniilyas. Seperti dilansir Tempo.co, Selasa (15 Desember 2020 17:54 WIB), program ILC adalah acara talkshow di TVOne yang hadir setiap Selasa pukul 20.00 WIB dan dipandu oleh Karni Ilyas. Acara ini sudah tayang sejak 2008 silam dan beberapa kali mendapatkan penghargaan. Manajemen TVOne menyatakan, program ILC akan tetap tayang melalui platform digital. Pernyataan ini disampaikan karena tahun depan, program diskusi yang dipandu Karni Ilyas itu akan cuti panjang. “Maka telah disepakati bahwa program ILC ke depannya akan ditayangkan dalam platform digital,” seperti dikutip dari siaran pers manajemen TVOne, Selasa, 15 Desember 2020. Pihak TVOne menyatakan, ILC adalah sebuah brand dan program televisi yang hak cipta dan hak siarnya dimiliki pihak independen. Acara itu selama ini tampil di TVOne sebagai hasil kerja sama yang didasari oleh kesepakatan antara TVOne dan pemilik hak siar ILC. Pada 2020, kesepakatan kerja sama tersebut berakhir. Untuk mengembangkan tayangan ILC ke depan dan mengantisipasi era digital, maka diputuskan ILC akan tayang di platform digital. “Pihak tvOne dan pemegang hak siar ILC sama-sama memandang bahwa program ILC memiliki potensi untuk dapat berkembang lebih pesat lagi di platform digital,” lanjutnya. Keputusan tersebut didasarkan pada beberapa indikator seperti jumlah subscribers di kanal ILC pada suatu platform berbagi video yang mencapai lebih dari 4 juta orang dan jumlah rata-rata ditonton oleh lebih dari 50 juta kali. Menurut pihak TVOne, platform tersebut telah menjadi salah satu media utama masyarakat mendapatkan informasi. Ke depannya, fenomena itu diprediksi bakal lebih dominan. “TVOne berharap tayangan ILC di platform digital nanti akan terus berkembang dan menjadi tayangan yang selalu dinanti oleh masyarakat.” Benarkah “cuti tayang” ILC di TVOne tersebut semata-mata hanya karena kesepakatan kerja sama itu berakhir pada 2020? Mengingat selama ini sudah beberapa kali acara ILC terkadang tiba-tiba batal tayang tanpa alasan yang jelas! Atau, jangan-jangan inilah modus baru untuk “membungkam” suara kritis atas pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terindikasi “anti kritik”? Jika sudah demikian, biasanya mereka dibayang-bayangi dengan ancaman UU ITE. Channel BangEdy Setelah sempat tertunda dua kali, akhirnya wartawan senior Edy Mulyadi, penuhi panggilan Bareskrim Polri, Kamis (17/12/2020). Edy dipanggil sebagai saksi untuk dimintai keterangan terkait peristiwa penembakan 6 pengawal Habib Rizieq Shihab di Jl. Tol Jakarta-Cikampek. Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Polisi Andi Rian Djajadi, saat dikonfirmasi, Senin (14/12/2020), dalam pemanggilan ini, tim penyidik akan menggali informasi terkait peristiwa di tol berdasarkan informasi yang diperoleh Edy. Andi mengatakan ada saksi yang menyebut nama Edy. “Sekadar untuk menggali pengetahuan yang bersangkutan tentang peristiwa. Karena ada saksi lain yang menyebutkan namanya,” ujarnya, seperti dilansir Detik.com, Senin (14 Des 2020 19:59 WIB). Wartawan senior Forum News Network (FNN.co.id) itu sebelumnya membuat video laporan di Jalan Tol Japek Km 50 terkait penembakan pengawal HRS yang diunggah melalui akun YouTube-nya, @Bang Edy Channel. Dalam video berdurasi 6,24 detik yang sempat saya lihat juga, Edy sudah mewawancarai beberapa pedagang di rest area Km 50. “Saya tadi sempat ngobrol-ngobrol dengan beberapa pemilik warung di sekitar sini, mereka mengatakan bahwa peristiwanya sekitar jam 01.30 WIB. Tapi, menurut salah seorang (pedagang) warung, mengatakan bahwa mobil yang masuk ke sini kondisi bannya sudah tidak utuh.” “Jadi, begitu masuk dari ujung sana (masuk rest area), bannya sudah tidak ada, tinggal velg-nya saja,” ungkap Edy. “Kresek-kresek, sudah berisik gitu. Kemudian saksi mata mengatakan mobil itu (pengikut Habib Rizieq) dipepet dua mobil polisi, tidak lama terdengar dua tembakan, dor… dor…,” lanjutnya. Edy mengatakan pedagang warung di sana mendengar 2 kali suara tembakan saat peristiwa terjadi. Dalam video itu, Edy menjelaskan para pedagang yang berada di lokasi diusir oleh polisi dan diminta menjauh. “Saya tanya sama tukang warung sekitar sini ada dua kali tembakan, saudara. Setelah itu, beberapa warga maksudnya yang dagang di sini itu keluar tapi polisi sudah banyak mereka diusir, 'sana pergi, teroris, teroris',” ucapnya. Edy menilai, polisi sejak awal sudah membentuk stigma bahwa peristiwa yang terjadi antara polisi dan pengawal HRS sebagai penembakan teroris. Edy menyebut lokasi tidak jauh dari musala di rest area Km 50. “Jadi saudara, sejak awal polisi sudah menebarkan apa yang disebut namanya stigma orang-orang yang mau mendekat ke arah lokasi terjadinya penembakan disebut teroris. Nah ini di sini deket-deket musala sini, teroris,” ungkapnya. “Tapi saya tanya, katanya di sini ada tukang parkir di lokasi itu memang mereka diusir kira-kira jarak 1 meter sebelum lokasi, tidak boleh. Tidak ada police line,” ujarnya. Edy menyebut rest area Km 50 menjadi tempat favorit polisi untuk melakukan penyergapan kasus-kasus narkoba dan teroris. Ia juga mengatakan pedagang di sana sudah terbiasa dengan proses penyergapan narkoba dan teroris yang dilakukan polisi. “Ternyata lokasi Km 50 ini, tanda kutip, menjadi tempat favorit bagi polisi untuk menyergap biasanya bandar narkoba atau teroris, sehingga ketika ada peristiwa tembakan 2 kali, pemilik warung mengatakan, ya kita pikir kalau nggak narkoba ya teroris, karena sudah menjadi biasa juga,” imbuhnya. Secara yuridis, menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Jadi, kalau mengacu KUHAP, Edy bukanlah saksi. Sebab, dia tidak berada di TKP pada saat kejadian. Dia tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri kejadian di Km 50. Sebagai jurnalis, Edy dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bahan pemanggilan Edy sebagai saksi adalah produk jurnalistik. Jadi, jika memang Edy hendak diperkarakan terkait hasil investigasinya pada kejadian di Km 50, tempatnya di Dewan Pers. Bukan di Bareskrim! Persepsi umum yang terjadi adalah ketika seseorang dijadikan saksi, maka dia berpotensi besar ditingkatkan statusnya sebagai tersangka. Jika hal ini benar-benar terjadi nantinya, maka dapat dikatakan ada upaya “mengkriminalisasi” Edy dan sekaligus menjadi upaya untuk “mengekang” suara jurnalis. Hal ini jelas-jelas bertentangan utamanya dengan Pasal 28 UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Jadi, pada intinya, pemanggilan Edy sebagai saksi atas kasus Km 50 dan pamitnya ILC dapat disimpulkan sebagai upaya seseorang/kelompok/golongan untuk mengekang kebebasan pers. Juga memberangus penerapan Pasal 28 UUD 1945. Seperti diketahui dalam versi polisi, “kontak senjata” terjadi antara polisi dan pengawal HRS di Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Akibatnya, enam pengikut HRS tewas. Kontak tembak itu terjadi pada Senin (7/12/2020) sekitar pukul 00.30 WIB. Menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran, keenam pengikut HRS itu ditembak karena melakukan perlawanan. “Sekitar pukul 00.30 WIB di jalan Tol Jakarta-Cikampek Km 50 telah terjadi penyerangan pada anggota Polri yang sedang melakukan tugas penyelidikan terkait rencana pemeriksaan MRS yang dijadwalkan berlangsung hari ini jam 10.00 WIB,” jelas Fadil. Insting sebagai wartawan, Edy turun ke lapangan, terutama di Km 50 untuk mengecek peristiwa sebenarnya. Edy pun sukses ungkap peristiwa itu!
Kok Pak Hendro Tahu Jutaan Orang Unjuk Rasa Besok?
by Asyari Usman Medan FNN - Kamis (17/12). Tidak mengherankan tetapi penuh tanda tanya. Dari mana mantan Kepala BIN Hendropriyono tahu bahwa besok, Jumat (18/12/2020), kemungkinan ribuan bahkan jutaan orang akan ikut unjuk rasa di dekat Istana? Unjuk rasa ini bertujuan menuntut pembebasan Habib Rizieq Syihab (HRS) dan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan 6 anggota FPI. Tentunya apa yang dikatakan Pak Hendro bukan tidak mungkin menjadi kenyataan. Sebab, beliau pastilah masih selalu “update” dengan berbagai informasi keintelijenan. Tak mungkinlah orang sepenting Pak Hendro tidak memiliki informasi yang akurat. Cuma, mantan pimpinan dinas rahasia itu menganjurkan agar masyarakat tidak mengikuti ajakan untuk ikut aksi. Karena, menurut Pak Hendro, aksi unjuk rasa besok itu akan dimanfaatkan oleh para politisi untuk kepentingan pribadi mereka. Tampaknya, di sini Pak Hendro keliru. Masa semua yang dilakukan oleh politisi semata untuk tujuan pribadi? Selain imbauan Pak Hendro agar masyarakat tidak ikut demo besok, ada berbagai elemen lain yang berusaha mengendorkan dukungan publik. Tak usahlah berpanjang-panjang menyebutkan siapa mereka. Jauh lebih penting adalah menganalisis pernyataan mantan bos intelijen itu. Misalnya, boleh jadi Pak Hendro sudah memperoleh info bahwa masyarakat dari seluruh pelosok Indonesia juga akan ikut datang ke Jakarta. Atau, setidaknya warga di Jawa Barat, Banten dan Jakarta Raya sendiri akan menunjukkan solidaritas mereka dalam jumlah besar. Untuk menyampaikan pesan keras dan tegas bahwa penahanan Habib dan pembunuhan 6 laskar FPI adalah tindakan sewenang-wenang. Bisa jadi juga sinyalemen Pak Hendro tentang jutaan orang akan hadir di aksi besok itu mengisyaratkan dukungan untuk HRS tidak pernah surut seperti diperkirakan banyak orang. Artinya, Hendro kelihatan menangkap pesan bahwa penahanan Habib dan pembunuhan 6 laskar FPI akan semakin memperkuat persepsi publik tentang kesewenangan para penguasa. Kekhawatiran Pak Hendro bahwa jutaan orang akan ikut berdemo besok kelihatannya cukup beralasan. Sebagai contoh, berbagai aksi protes berlangsung di seantero negeri dalam sepekan ini. Kemarin, di Medan, ratusan spanduk bela Habib dijejer sepanjang dua kilometer. Sebelum ini, berbagai markas Polres dan Polsek didtangi masyarakat. Mereka menuntu pembebasan HRS dan pengusutan secara transparan pembunuhan 6 anggota FPI. Maknanya, semangat perlawanan dari publik terhadap kezaliman para penguasa tidak pernah melemah. Sebaliknya semakin kuat. Jadi, tampaknya tidak benar prediksi bahwa masyarakat akan berdiam diri di rumah sebagaimana disarankan Pak Hendro. Dan masyarakat juga pastilah mengerti banwa mereka wajib mengikuti protokol kesehatan dengan ketat.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
“Soal Kecil” Bikin Habib Rizieq Ditahan, Adilkah?
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Ahad (13/12). Setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka penghasutan dan melawan petugas, Habib Rizieq Shihab (HRS) resmi ditahan di Rutan Polda Metro Jaya (PMJ). HRS digiring ke Rutan Polda Metro Jaya dengan kondisi tangan diborgol. Seperti dilansir Detikcom di Polda Metro Jaya, Minggu (13/12/2020) pukul 00.28 WIB, HRS dikawal keluar dari gedung Direktorat Reskrimum PMJ. Tangan HRS tampak terborgol. HRS mengenakan baju tahanan berwarna oranye. Seorang perempuan simpatisan HRS tampak histeris saat melihat HRS diborgol. Beberapa di antaranya meneriakkan takbir. Allahu Akbar! “Jangan diborgol habib kami,” teriak seorang perempuan sambil menangis. HRS mendatangi PMJ, Sabtu (12/12) pukul 10.24 WIB. HRS datang menggunakan mobil berwarna putih dengan pelat nomor B-1-FPI bersama rombongan, salah satunya Sekretaris Umum FPI Munarman. Saat tiba, HRS sempat mengacungkan jempol usai keluar dari mobil. HRS tiba dengan mengenakan pakaian berwarna putih. Setibanya di lokasi, ia sempat memberikan sedikit pernyataan dan kemudian masuk ke dalam gedung Ditreskrimum PMJ. Seperti diketahui, PMJ telah melakukan gelar perkara terkait kasus kerumunan acara HRS di Petamburan, Jakarta Pusat. Dalam gelar perkara itu, polisi menetapkan 6 orang tersangka, salah satunya HRS. “Dari hasil gelar perkara menyimpulkan ada enam yang ditetapkan sebagai tersangka. Yang pertama sebagai penyelenggara Saudara MRS sendiri. Disangkakan Pasal 160 dan 216 (KUHP)," ujar Kabid Humas PMJ Kombes Polisi Yusri Yunus, Kamis (10/12/2020). Padahal, sebelumnya HRS sudah membayar denda Rp 50 juta terkait pelanggaran PSBB saat menikahkan putrinya dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Petamburan pada 14 November 2020 lalu. Dalam hukum, tidak boleh seseorang itu dihukum 2 kali terhadap kejahatan yang sama! Jadi, seseorang tidak boleh dikenakan denda double atau twice for the same crime or mistake! Itu adalah aturan hukum. Dalam hukum Pidana atau Perdata, tidak boleh hukuman itu double atau 2 kali terkait kasus, kejahatan atau kesalahan yang sama. Semua kejahatan atau kesalahan Non-Criminals, rata-rata cukup membayar Denda dan tidak ada Jail Time. Kecuali orangnya menolak membayar denda atau tidak mampu membayar denda, maka uang denda bisa diganti dengan jail time. Itulah Justice And Fairness. HRS sudah membayar denda Rp 50 juta kepada Pemprov DKI Jakarta dan kasus itu seharusnya selesai. Pertanyaannya, mengapa Polda Metro Jaya masih menjadikan HRS Target Operation dan merekayasa kasus ini dengan berbagai Dirty Tricks serta mencari-cari kesalahan HRS? Padahal, di luar sana pelanggaran kerumunan banyak terjadi di mana-mana. Tapi mengapa PMJ hanya membidik HRS? That is too obvious, bahkan pengamat politik dari Australia saja juga sudah tahu, rezim sekarang lewat polisi menarget Muslim Oposisi. That is a stupid law enforcement! Itu adalah penegakan hukum yang bodoh! Tampaknya Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran begitu sangat ingin menangkap dan memenjarakan HRS, apakah perintah atasan, demi untuk kepentingan politik, demi memburu kenaikan Pangkat atau Jabatan menjadi Kapolri pengganti Jenderal Idham Azis? Pembunuhan terhadap 6 pengawaI HRS yang tidak punya kasus sebelumnya, bukan teroris dan bukan koruptor, tahu-tahu di tembak mati tanpa due process and fair trial, merupakan pelanggaran HAM Berat dan extra judicial killings yang harus diusut tuntas. Presiden Joko Widodo harus turun tangan dan segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang harus didukung Komnas HAM. Kabarnya, Komnas HAM mulai menaruh perhatian terkait kasus penembakan 6 pengawal HRS itu. “Komnas HAM masih Rapat Internal, Mas,” ujar sumber yang dekat dengan Komnas HAM. Jika Presiden Jokowi tidak segera turun tangan, bukan tidak mungkin kasus penembakan 6 pengawal dan intimidasi HRS berpotensi dibawa ke Mahkamah Internasional. Langgar HAM Menurut Abdullah Hehamahua, mantan penasehat KPK masa jabatan 2005-2013, apa yang dilakukan polisi terhadap HRS dan pengawalnya telah melanggar HAM. Pelanggaran HAM pertama yang dilakukan oleh polisi: membuntuti perjalanan HRS. “HRS itu bukan teroris, (bukan pula) pengedar narkoba, atau tersangka yang harus dibuntuti kegiatannya. Hak azasinya sebagai warganegara untuk bisa pergi ke mana saja dalam wilayah Indonesia, sudah dirampas polisi,” katanya. Pelanggaran HAM kedua, polisi telah melakukan teror psikologis ke HRS dan keluarganya. Pelanggaran ketiga, enam orang warga sipil yang tidak bersenjata, bukan teroris, pengedar narkoba atau tersangka, dibunuh tanpa suatu proses pengadilan. Pelanggaran keempat, otopsi yang dilakukan polisi terhadap keenam jenazah pengawal HRS tersebut tanpa persetujuan keluarga. Pelanggaran kelima, ada tanda-tanda penganiayaan di keenam jenazah yang setiap jenazah terdapat lebih dari satu peluru dan mengarah ke jantung. Ini merupakan pelanggaran HAM berat. Sebab, wewenang tertinggi polisi dalam menghadapi seorang penjahat adalah melumpuhkan, yakni menembak bagian kaki. Fakta ini menunjukkan bahwa polisi sudah merencanakan pembunuhan terhadap HRS dan pengawalnya. Abdullah Hehamahua mengutip peneliti KONTRAS Danu Pratama yang mengatakan, aksi kekerasan sepanjang 2019 mayoritas dilakukan aparat kepolisian. Jumlah aksi kekerasan tersebut mencapai 103 kasus. Mayoritas adalah kasus penganiayaan dan bentrokan, sebanyak 57 kasus. Peristiwa tersebut membuat 102 orang luka-luka dan dua orang meninggal. Kemudian 33 kasus penyiksaan dengan 32 orang luka dan 9 orang meninggal, 5 kasus salah tembak dengan tiga orang luka dan lima orang meninggal, serta delapan kasus intimidasi. Ada tiga Kesimpulan Abdullah Hehamahua. Pertama, aksi penembakan dan penganiayaan terhadap enam pengawal HRS adalah tindakan pelanggaran HAM berat. Kedua, Presiden harus segera mengambil tindakan tegas pada Kapolri dan Kapolda sebagaimana yang dilakukan terhadap Kapolda Jabar dan Metro Jaya dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pendukung HRS. Ketiga, Komnas HAM, bersamaan dengan hari HAM Internasional (10 Desember 2020) segera membentuk Tim Pencari Fakta Independen, baik atas instruksi presiden maupun inisiatif sendiri, sehingga kasus pembunuhan enam pengawal HRS harus diadili oleh Pengadilam HAM, bukan pengadilan biasa. Komnas HAM dan LPSK harus menjaga mereka, melindungi mereka dan menolak semua permintaan PMJ atau institusi Kepolisian lainnya hingga kasus pembunuhan 6 laskar FPI ini selesai. Semua kasus non-crimimal terhadap HRS dan anggota FPI lainnya harus dibekukan. Kalau Pemerintah dan Polri tidak mampu menegakkan Keadilan, chaos dan conflict secara vertikal dan horizontal sudah ada di depan mata. When injustice becomes law, protest becomes a duty! Ketika ketidakadilan menjadi hukum, maka unjuk rasa menjadi sebuah kewajiban (wajib dilakukan). Penembakan 6 pengawal HRS bukan tidak mungkin itu terencana dan terprogram dengan izin institusi Polri. Jadi, jangan cuci tangan dengan hanya korbankan bawahan dikirim ke Provpam, tapi seluruh pejabat Polri dari Kapolri dan Kapolda Metro Jaya sampai eksekutor lapangan harus diseret ke Pengadilan HAM. Awalnya, HRS dibidik dengan perkara pelanggaran prokes berdasarkan pasal 93 Jo 9 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Meski sudah ada pasal 216 KUHP tentang melawan petugas/pajabat, namun konteksnya tetap dalam koridor penegakan protokol pandemi. Tapi, pada saat pemanggilan HRS dan sejumlah pihak dari FPI, tiba-tiba dalam penyidikan itu muncul pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Pasal ini tidak ada dalam proses penyelidikan, dan tak ada kaitannya dengan prokes. Setelah dipanggil tidak hadir karena ada udzur, HRS dan sejumlah pihak dari FPI secara ajaib menyandang gelar Tersangka berdasarkan pasal 216 dan 160 KUHP yang pada kenyataannya telah diikuti dengan penangkapan dan penahanan. Pasal ini adalah pasal kunci, agar bisa menahan HRS. Sebab, jika penetapan Tersangka hanya berdasarkan pasal 93 Jo 9 UU No 6/2018, dan pasal 216 KUHP, polisi tak bisa menahan HRS karena ancaman pidananya di bawah 5 tahun. Pasal 216 KUHP ancaman pidananya hanya 4 bulan 2 minggu. Pasal 93 Jo 9 UU No 6/2018 ancaman pidananya hanya 1 tahun penjara. Padahal, menurut Pasal 21 ayat (4) KUHAP huruf a dikatakan bahwa penahanan hanya bisa dilakukan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Tanpa menambahkan pasal 160 KUHP, dipastikan penyidik PMJ tak dapat menahan HRS. Pasal “melawan petugas/pajabat” (216 KUHP) jelas tidak bisa diterapkan karena HRS sudah membayar denda Rp 50 juta. Begitu pula pasal “penghasutan” (160 KUHP) tidak pantas lagi disematkan “karena tidak terjadi” kerusuhan dan sejenisnya. Jika penyidik PMJ memaksakan kedua pasal tersebut, ini sama saja penyidik “memperkosa” KUHP di depan rakyat dan mata dunia. Untuk menyelamatkan nama baik institusi, penyidik harus berani menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sebagai lembaga negara yang langsung di bawah Presiden, Jokowi harus turun tangan. Jangan sampai Presiden Jokowi akhirnya terkena “noda merah” terkait ini semua! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
HRS Dijadikan Tersangka: Polisi Panik dan “Kehabisan Bahan”
by Asyari Usman Medan FNN - Kamis (10/12). Hari ini tadi (10/12/2020), Polda Metro Jaya menetapkan Habib Rizieq Syihab (HRS) dan sejumlah petinggi FPI lainnya sebagai tersangka pelanggaran protokol Covid-19. Yaitu, menciptakan kerumunan di Petamburan. Penetapan status tersangka ini, kata Polisi, dilakukan setelah dilaksanakan gelar perkara pada 8 Desember 2020. Seperti diketahui, pada 7 Desember dinihari terjadi insiden penembakan mati 6 laskar FPI oleh polisi yang melakukan penguntitan terhadap HRS di jalan tol Cikampek. Apa yang bisa terbaca dari tindakan Polisi menjadikan HRS sebagai tersangka? Ada beberapa hal yang dapat dicatat. Pertama, Polisi dilanda kepanikan setelah mereka menembak mati 6 laskar FPI. Sekian banyak komponen sosial-politik menuntut agar dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) independen untuk mengusut penembakan yang sangat mungkin masuk kategori pelanggaran HAM berat itu. Para pelakunya akan diadili di pengadilan HAM. Bukan pengadilan biasa. Kedua, ada kecenderungan publik tidak percaya pada penjelasan pihak kepolisian mengenai kronologi insiden penembakan mati keenam laskar itu. Masyarakat menilai banyak kejanggalan di dalam peristiwa penembakan itu. Polisi mengatakan ada tembak-menembak antara keenam laskar dan polisi. Tetapi, sejumlah saksi mata yang memberikan penjelasan kepada sejumlah wartawan yang melakukan investigas di TKP mengatakan mereka tidak mendengar tembak-menembak. Ketiga, setelah tersudut oleh insiden penembakan itu, Polisi tidak punya pilihan lain. Mereka harus menurunkan kartu berikutnya. Kartu yang taruhannya lebih tinggi. HRS ditersangkakan. Dengan begitu, mereka akan memiliki dasar untuk melakukan penangkapan terhadap HRS. Dan, Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran sangat menekankan tindakan penangkapan itu. Keempat, dengan menjadikan HRS sebagai tersangka, Polisi berharap mereka bisa kembali di atas angin. Dalam arti, publik akan heboh membahas status HRS sebagai tersanngka. Sehingga, tuntutan publik agar dibentuk TPF independen untuk mengusut tuntas penembakan mati 6 laskar FPI bisa kendor. Ibarat permainan catur, Polisi ingin lepas dari skak mat publik yang sangat memojokkan. Kelima, dan ini yang perlu dicermati dengan saksama, ialah bahwa proses penangkapan HRS nanti –jika menjadi kenyataan— sangat mungkin bergulir menjadi kerusuhan besar. Situasi yang rusuh tentu bisa memunculkan banyak probabilitas. Kerusuhan bisa dijadikan alasan oleh Polisi untuk “bertindak tegas”. Tindakan tegas itu bisa macam-macam bentuknya. Termasuk menggunakan “last resort” alias “cara terakhir”. Kalau sampai pada “last resort”, ini pun bisa sangat bebas penjabarannya. Karena itu, kartu tersangka yang diturunkan Kepolisian untuk HRS dan jajaran pimpinan FPI bisa menjadi sangat kontraproduktif. Publik yang menonton malah semakin yakin bahwa Polisi sedang “kehabisan bahan”. Orang seberang bilang, “losing the argument”.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Adakah Operasi Hitam Dalam Penembakan Enam Laskar FPI?
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Kamis (10/12). Pengambilalihan kasus penembakan terhadap enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib Rizieq Shihab oleh Mabes Polri, memunculkan spekulasi adanya operasi hitam yang dilakukan oknum aparat di luar struktur resmi organisasi kepolisian. Kasus ini sebelumnya diungkap dan ditangani oleh Polda Metro Jaya. Namun kemudian Mabes Polri mengambil alih kasusnya. Bahkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri telah mengamankan sejumlah penyidik dari Polda Metro Jaya yang diduga menembak enam anggota Laskar FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan, penarikan kasus tersebut ke Mabes Polri untuk meyakinkan masyarakat penanganannya berlangsung transparan dan profesional. Sementara itu para aktivis HAM menyebut penembakan tersebut sebagai pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing). Oleh karena itu pengusutan oleh Propam Mabes Polri menjadi penting untuk mengetahui rantai komando dan instruksi yang dilakukan polisi di lapangan saat melakukan penguntitan dan pembunuhan terhadap enam laskar FPI pada Senin dini hari 7 Desember 2020. Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), As'ad Said, mencurigai ada misi lain di balik penguntitan yang berujung pembunuhan terhadap enam laskar FPI yang mengawal Imam Besar Habib Rizieq Shihab. "Kalau sampai terjadi aksi kekerasan apalagi pembunuhan, maka misinya bukan surveillance, tetapi ada misi lain atau kecerobohan petugas. Walllahu a’lam," kata As'ad Said sebagaimana dikutip Okezone, Selasa (8/12). As'ad Said juga menjelaskan, bagaimana seharusnya penguntitan atau dalam istilah ilmu intelijen disebut penjejakan fisik (physical surveillance) dilakukan. Jika penguntitan dilakukan menggunakan mobil, minimal yang digunakan dua kali lipat dari jumlah mobil yang diikuti. "Kalau lawan curiga, penjejak bisa membatalkan misinya atau menekan lawan untuk menghentikan mobil, tetapi tetap berpura pura tidak menjejaki yang bersangkutan, misalnya mengatakan ada kesalah pahamanan," jelas As'ad Said. Adanya spekulasi operasi kontra intelijen dalam kasus penembakanenam laskar FPI mengingatkan kita pada kasus penculikan mahasiswa pro-demokrasi tàhun 1998. Penculikan itu terjadi saat masa kepemimpinan Jenderal tertinggi ABRI, Wiranto. Kasus tersebut kemudian berujung pada kejatuhan rezim Soeharto. Berdasarkan data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sembilan mahasiswa korban penculikan berhasil dibebaskan. Mereka di antaranya adalah Andi Arief, Desmond J Mahesa, Pius Lustrilanang dan Nezar Patria. Sedangkan 13 korban lainnya dinyatakan hilang, satu di antaranya adalah Wiji Thukul, seorang seniman yang juga aktivis. Operasi penculikan mahasiswa prodem tersebut dilakukan oleh Satuan tugas Komando Pasukan Khusus (Kopassus), unit elite khusus Angkatan Darat, bernama Tim Mawar. Sumber yang memiliki otoritas di bidang Polkam menyebutkan, para mahasiswa pro-demokrasi yang dilepas adalah mereka yang diculik oleh Tim Mawar. Sedangkan para mahasiswa yang hilang atau sengaja dihilangkan, diculik oleh tim yang menunggangi operasi Tim Mawar. "Waktu itu ada operasi kontra intelijen yang memiliki misi lain," kata sumber tersebut kepada penulis Selasa malam (8/12). Di balik operasi tersebut, ketika itu sedang terjadi "perang bintang" di antara jenderal di lingkungan TNI AD waktu itu. Dalam kasus penembakan terhadap enam laskar FPI, juga mirip dengan kasus penculikan mahasiswa tàhun 1998. Mereka yang menghabisi laskar FPI tersebut sudah berpengalaman dalam menumpas dan menghabisi para teroris. Operasi yang mereka lakukan sengaja menunggangi operasi resmi yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) yang beberapa hari sebelumnya melakukan pengintaian terhadap aktivitas Habib Rizieq Shihab ketika berada di sekitar Pesantren Markas Syariah Megamendung, Jawa Barat. Sangat boleh jadi sasaran utama penguntitan disertai pembunuhan yang dilakukan Tim Operasi Hitam sebenarnya ditujukan kepada Habib Rizieq Shihab. Hanya saja dalam peristiwa di jalan tol Jakarta-Cikampek pada Senin malam itu, ruang gerak pasukan hitam tersebut berhasil dikecoh para laskar FPI yang mengawal rombongan keluarga Habib Rizieq. Pasukan yang semula diidentifikasi pihak FPI sebagai orang tidak dikenal (OTK), ternyata justru diakuisebagai pasukan polisi oleh Kapolda Metro Jaya Fadil Imran dalam konferensi pers Senin siang (7/12). Yang menjadi pertanyaan banyak masyarakat, mengapa Habib Rizieq sampai harus diintai, dibuntuti, hingga akhirnya menjadi target pembunuhan. Sementara yang bersangkutan bukan seorang buronan apalagi teroris. Beberapa kalangan yang memiliki otoritas di bidang polkam menyebutkan, tidak konsistennya sejumlah pernyataan Kapolda Metro Jaya terkait dengan kematian enam laskar FPI karena yang bersangkutan sengaja disuruh untuk menjadi "tukang cuci piring". Ada pihak-pihak yang memiliki extra power sedang memainkan operasi ini. Misi operasi kontra intelijen tersebut sengaja dilakukan untuk memancing kemarahan masyarakat terutama umat Islam. Mereka sengaja ingin menciptakan suasana chaos di tengah masyarakat. Sehingga dengan begitu, nanti ada pihak-pihak tertentu yang muncul sebagai Pahlawan kemudian mengendalikan keadaan sekaligus mengambil alih kekuasaan. Gelar perkara yang dilakukan Polda Metro Jaya pada Senin siang lalu, banyak yang bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Sejumlah kalangan menyebutkan, pemutarbalikan fakta ini sengaja dilakukan untuk memprovokasi sekaligus mendorong amarah masyarakat terutama umat Islam. Sumber lain menyebutkan, operasi memburu Habib Rizieq dilakukan oleh lebih dari satu institusi. Upaya kriminalisasi terhadap Habib Rizieq semakin intens dilakukan karena juga terkait dengan perang bintang di lingkungan kepolisian dan TNI. Seperti diketahui, awal tàhun depan Kapolri Jenderal Idham Azis akan memasuki masa pensiun. Demikian pula, jabatan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto akan segera berakhir. Oleh karena itu sejumlah perwira tinggi di lingkungan kepolisian maupun TNI sekarang sedang berkompetisi memburu Habib Rizieq Shihab untuk mendapatkan legitimasi bagi kenaikan pangkat dan jabatan mereka masing-masing. Pembunuhan terhadap enam laskar FPI bukan hanya diberitakan media massa di Tanah Air tetapi juga diberitakan media internasional. Media massa juga telah mengungkap sejumlah keterangan berbeda antara yang disampaikan pihak kepolisian dengan pihak FPI. Media asing yang telah memberitakan aksi pembunuhan tersebut diantaranya The Guardian, Washington Post, Channelnews Asia, Al Jazeera, ABC News dan Reuters. Kasus pembunuhan enam laskar FPI ini juga kebetulan berdekatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang biasa diperingati setiap tanggal 10 Desember. Oleh karena itu, kalangan aktivis kemanusiaan dan HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil sudah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut dan menghentikan praktik brutalitas dan Extra Judicial Killing yang dilakukan aparat kepolisian. Bisa saja nanti kasus pembunuhan terhadap enam laskar FPI ini dibawa ke pengadilan HAM Internasional. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Damn I Love Indonesia: Bapak Presiden, Anak dan Menantu Walikota
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Rabu (09/12). Tanggal 9 Desember 2020 akan dicatat dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Presiden Jokowi mencatat sebuah prestasi baru, rekor. Anak dan menantunya memenangkan Pilkada. Gibran, anak sulungnya memenangkan Pilwakot Solo. Perolehan suaranya berdasarkan hasil sejumlah quick count, di atas 85%. Dahsyat! Di Medan Bobby Nasution menantu Jokowi juga diprediksi menang. Hasil quick count menunjukkan perolehan suaranya mencapai 55%. Prestasi luar biasa Jokowi ini tidak pernah dicapai oleh semua presiden sebelumnya. Termasuk dua presiden yang berkuasa cukup lama, Soekarno dan Soeharto. Presiden Soekarno, sang Proklamator, berkuasa selama 22 tahun (1945-1967). Tak satupun putra atau putrinya yang menduduki jabatan publik selama dia berkuasa. Baru 32 tahun kemudian, putrinya Megawati Soekarnoputri menjadi Wapres (1999) dan kemudian menjadi Presiden (2001-2004). Presiden Soeharto berkuasa lebih lama, 32 tahun. Baru berhasil menempatkan putrinya Siti Hardijanti Roekmana sebagai Mensos pada tahun 1998. Di penghujung masa jabatannya. Itu pun hanya bertahan selama 2,5 bulan. Mbak Tutut begitu dia biasa dipanggil, menjadi Mensos 14 Maret-21 Mei 1998. Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang sama-sama berkuasa dalam waktu singkat, sama sekali tidak berhasil meninggalkan warisan jabatan untuk anak-anaknya. Bos Jokowi, Megawati selama menjabat Presiden juga tidak menyiapkan jabatan publik untuk anak-anaknya. Putri mahkotanya Puan Maharani baru terjun ke politik dengan menjadi anggota DPR pada Pemilu 2009. Setelah Megawati tak lagi menjabat sebagai presiden. Benar, Puan kemudian menjadi Menko pada periode pertama masa jabatan Jokowi. Sekarang dia menjadi Ketua DPR RI. Tapi semua tidak dicapai pada masa Megawati menjabat sebagai presiden. Bagaimana dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Dalam soal menempatkan putra dan menantunya dalam jabatan publik, dia kalah jauh dengan Jokowi. SBY bersamaan dengan masa jabatannya yang kedua baru berhasil menempatkan putra keduanya Edhie Baskoro sebagai anggota DPR RI (2009). Setelah tak menjabat sebagai Presiden, SBY mencoba peruntungannya. Dia mendorong putra sulungnya Agus Harimurti menjadi cagub DKI Jakarta. Eksperimen politik SBY gagal. Pada Pilkada DKI 2017 yang hiruk pikuk, Agus Harimurti kalah. Padahal dia sudah mengorbankan karir militernya yang cemerlang. Pemegang penghargaan Bintang Adi Makayasa, lulusan terbaik Akmil tahun 2000 ini, pangkatnya terhenti hanya sampai perwira menengah. Dia pensiun dengan pangkat terakhir, Mayor TNI. Benarlah jargon yang sering didengung-dengungkan oleh para pendukung Jokowi: PRESIDEN YANG LAIN NGAPAIN AJA! Damn!! I Love Indonesia! End. Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Edhy Prabowo, dari “Selokan” Berakhir di KPK
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (05/12). Menhan Prabowo Subianto secara resmi akhirnya buka suara, soal OTT Menteri Kelautan Edhy Prabowo. “Dia saya angkat dari selokan, dan inilah yang dilakukan kepada saya,” ujar Prabowo seperti ditirukan adiknya Hashim Djojohadikusumo. Prabowo menyampaikan kemarahannya kepada Hashim dalam Bahasa Inggris. ”I lift him up from the gutter and this is what he does to me.” Media kemudian menerjemahkannya cukup beragam. Diangkat dari selokan, got, dan ada pula yang menerjemahkan menjadi comberan. "Pak Prabowo sangat marah, sangat kecewa, merasa dikhianati," tambah Hashim. Reaksi keras Prabowo ini sangat mengejutkan. Terutama pada pilihan diksinya. “Selokan!” Seorang mantan petinggi negara yang kenal dekat dengan keluarga Djojohadikusumo, mengaku sangat terkejut. “Kenapa sekasar itu ya? Kalau sudah tolong orang, ya tolong saja,” ujarnya. Bagi sang mantan petinggi, Hashim dan Prabowo tidak bisa cuci tangan begitu saja. Faktanya Hashim juga dapat konsesi dalam ekspor benih lobster (benur). Bahwa perusahaan Hashim mengaku belum pernah mengekspor benur. Itu soal yang berbeda. Mengapa Hashim sampai harus membuka percakapan internal itu ke publik? Walau cukup terlambat, dari sisi strategi marketing politik, Hashim sedang melaksanakan damage control management. Dia sedang mencoba mengurangi kerusakan politik yang sedang terjadi. Kerusakan politik pada Gerindra, dan secara khusus kepada brand besar yang mereka sandang, yakni keluarga Djojohadikusumo. Merek besar itu sekarang disandang oleh Prabowo, yang selama ini mencitrakan diri sebagai figur anti korupsi. Apa boleh buat, karena kedekatan hubungan antara Prabowo dan Edhy Prabowo, brand asossiasinya sangat kuat. Kebetulan pula Edhy juga menyandang nama Prabowo. Publik yang tidak mengenal secara dekat, kemungkinan besar menduga, Edhy juga bagian dari keluarga besar Djojohadikusumo. Meminjam tagline iklan produk jadul: Ingat Gerindra, Ingat Prabowo! Dalam kasus korupsi lobster, turunan brand asosiasinya menjadi : Ingat kasus korupsi Edhy Prabowo, Ingat Prabowo. Lebih cilaka lagi kalau sampai brand asosiasinya berubah : Ingat Prabowo, Ingat Korupsi Benur! Brand asosiasi adalah kesan yang melekat di benak seseorang, begitu melihat atau mendengar, sebuah objek yang berhubungan dengan produk atau barang jasa tertentu. Jadi secara asosiasi, kasus korupsi Edhy merugikan dua kepentingan besar sekaligus: Gerindra dan keluarga besar Djojohadikusumo. Karena itulah Hashim sangat berkepentingan untuk memutus mata rantai brand asosiasi itu. Dia bahkan sampai harus menyewa pengacara eksentrik Hotman Paris Hutapea. Menggelar jumpa pers, dan menjelaskan hal itu. Gerindra, Prabowo, dan Saras Apa saja kerusakan merek ( brand damage ) akibat kasus Edhy Prabowo? Dan mengapa Hashim harus menyampaikan ucapan yang begitu keras? Pertama, dalam jangka panjang, Hashim dan keluarga besar Hashim Djojohadikusumo harus menyelamatkan Gerindra. Partai yang didirikan oleh Prabowo itu, bagaimanapun harus bertahan dan menjadi legacy keluarga. Sejauh ini, Prabowo harus diakui berhasil membangun Gerindra menjadi kekuatan politik nomor dua terbesar di Indonesia. Berbagai survei menunjukkan penerimaan publik terhadap Gerindra cenderung meningkat. Kalau sampai gara-gara Edhy Gerindra hancur, harga yang dibayar amat sangat teramat mahal. Kedua, Hashim juga harus mengamankan posisi Prabowo. Dia merupakan aset terbesar keluarga saat ini. Kendati sudah dua kali sebagai capres, sekali sebagai cawapres, Prabowo tetap dianggap kandidat terkuat Pilpres 2024. Namanya tetap layak dijual. Kasus Edhy jelas merusak reputasi Prabowo, dan akan sangat berpengaruh pada elektabilitasnya. Ketiga, dalam jangka pendek ada kepentingan politik yang harus diselamatkan keluarga Hashim. Rahayu Saraswati, putri Hashim dalam beberapa hari ke depan akan mengikuti Pilkada di Tangerang Selatan. Kasus Edhy bisa dikapitalisasi oleh kompetitornya untuk demarketing dan menjatuhkan elektabilitas Saras. Berbagai pertimbangan itu lah yang membuat Hashim harus bertindak. Termasuk kalau perlu “melemparkan” kembali Edhy Prabowo ke dalam “selokan.” Cuma bikin sial! End Penulis wartawan senior FNN.co.id.
Penahanan Habib Rizieq Bisa Memicu People Power
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Rabu (02/11). Sepulang dari Arab Saudi tanggal 10 November 2020, kini setiap gerakan Imam Besar Habib Rizieq Shihab selalu dipantau, diikuti dan dicari-cari kesalahannya. Sehingga wajar kalau kemudian ada meme yang beredar di grup-grup WA, "Semut yang mati pun sengaja dicari. Barangkali aja kematiannya akibat diinjak Habib Rizieq". Sejumlah kalangan yang memiliki otoritas di bidang polkam menyebutkan bahwa Habib Rizieq Shihab kini sedang dalam operasi intelijen. Operasi ini dijalankan oleh oknum aparat kepolisian, pejabat birokrasi dan TNI serta sejumlah kelompok massa bayaran. Oleh karena itu operasi intelejen ini bukan hanya menarget Markas FPI di Kawasan Petamburan Jakarta, tetapi juga Pondok Pesantren Alam dan Agrokultural Markaz Syariah di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bahkan ketika Habib Rizieq Shihab melakukan general check up di RS Ummi Bogor, rumah sakit tersebut tidak lepas dari kegiatan operasi intelijen juga. Tiba-tiba Wali Kota Bogor Bima Arya murka kepada RS Ummi hanya karena menerima pasien bernama Habib Rizieq Shihab yang melakukan check up kesehatan di RS tersebut. Ketika Habib Rizieq mengunjungi cucunya di Perumahan Mutiara Sentul Bogor, Jawa Barat, juga tidak lepas dari rangkaian operasi intelijen. Sejumlah massa bayaran sengaja mendatangi kompleks perumahan tersebut sekaligus meminta agar Habib Rizieq keluar dari kawasan tersebut karena Imam Besar Umat Islam ini dianggap sudah terpapar Covid19. Nah Covid 19 inilah yang sekarang dijadikan instrumen untuk memukul ruang gerak Habib Rizieq. Covid19 telah dijadikan alat untuk mencegah rencana safari dakwah Habib Riziek di Tanah Air. Kegiatan dakwah itu sebenarnya disusun berdasarkan permintaan dari para tokoh ulama dan masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia. Mereka sangat rindu dengan tausiah Habib Rizieq. Maklum sudah tiga setengah tahun Umat Islam tidak mendengar langsung Pidato Habib Rizieq yang menggelegar tentang amar ma'ruf nahi munkar. Rencana safari dakwah tersebut juga sudah disampaikan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) KH. Shobri Lubis, pada saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kawasan Petamburan Sabtu Malam 14 November 2020. Namun rupanya rezim penguasa Jokowi merasa gusar dengan pidato Habib Rizieq tentang Revolusi Akhlak. Sangat boleh jadi Jokowi merasa tersaingi dengan pidato Habib Rizieq soal Revolusi Akhlak karena program Revolusi Mental yang dicanangkan Jokowi sejak Pemilu Presiden tàhun 2014 sampai sekarang tidak menampakan hasil yang signifikan. Bahkan kinerja pemerintahan terus menurun akibat banyaknya pejabat yang korupsi. Sementara utang pemerintah dan BUMN terus membengkak sedangkan keuangan negara mengalami defisit. Saat ini rezim penguasa masih terus mencari cara untuk bisa menangkap Habib Rizieq Shihab. Sangat boleh jadi mereka merasa ruwet menghadapi strategi yang digunakan Habib Rizieq. Upaya provokasi yang dilakukan aparat keamanan dengan menggunakan institusi TNI sudah dilakukan dengan mengerahkan sejumlah pasukan TNI lengkap dengan kendaraan perangnya ke Kawasan Petamburan. Pemeriksaan kesehatan (tes swab) dalam rangka pelaksanaan protokol kesehatan juga sudah dilaksanakan. Namun rencana mereka untuk menjadikan Kawasan Petamburan sebagai klaster baru Covid19 ternyata gagal karena berdasarkan pemeriksaan kesehatan terhadap masyarakat disana hasilnya negatif.Justru episentrum Covid19 sekarang pindah ke Jawa Tengah. Narasi dan opini yang sekarang hendak dibangun rezim penguasa adalah menjadikan Habib Rizieq Shihab sebagai sosok penyebar penyakit Covid19. Namun kenyataannya justru terbalik. Berdasarkan general check up beliau di RS UMMI Bogor, Habib Rizieq Shihab justru dinyatakan sehat walafiat. Alhamdulillah. Pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat nampaknya hanya berlaku bagi Habib Rizieq Shihab. Sementara kerumunan massa pada kampanye anak mantu Jokowi dalam rangkaian Pilkada di Kota Solo dan Medan, justru diabaikan. Sebaliknya kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Sabtu 14 November lalu di kawasan Petamburan, malah dipersoalkan dan dicari-cari kesalahannya. Kalau rezim penguasa Jokowi terus mencari-cari kesalahan agar bisa menahan Imam Besar Umat Islam Habib Rizieq, risiko politiknya sangat besar. Penahanan Habib Rizieq justru bisa memicu aksi massa turun ke jalan untuk melakukan gerakan People Power. Gerakan People Power ujungnya bisa pada gerakan penggulingan kekuasaan presiden secara paksa melalui aksi demonstrasi rakyat. Jika seluruh rakyat sudah turun ke jalan, sangat mungkin Presiden Jokowi akan dipaksa untuk melektakkan jabatannya karena dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan penyimpangan. Munculnya gerakan People Power merupakan perlawanan dan bentuk protes terhadap bentuk kezaliman dan kesewenangan para penguasa. Pasca pemilu di Indonesia 2019 lalu, istilah People Power sebenarnya sudah mulai ramai diperbincangkan. Banyak rakyat Indonesia yang ingin memberontak terhadap berbagai kebijakan penguasa yang menyimpang. Masyarakat meyakini bahwa ada yang tidak beres di balik sistem pemerintahan yang berjalan selama ini. Pemerintah dikendalikan oleh kekuatan oligarki dan para cukong yang memiliki dana tak terbatas. Di Indonesia, gerakan People Power pernah terjadi ketika masyarakat menggulingkan rezim Presiden Soeharto pada Mei 1998 yang menuntut reformasi dan perubahan. Salah satu faktor yang memicu rakyat Indonesia meminta perubahan adalah fenomena krisis moneter sejak Juli 1997. Akibat adanya krismon, amarah rakyat Indonesia tak terbendung lagi. Mereka menuntut perubahan hingga turun ke jalan. Dari sanalah lahir Orde Reformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia.Saat ini kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan tàhun 1998 bahkan sekarang jauh lebih parah. Sebagian kalangan ada juga yang menganalisa, rezim penguasa sekarang bisa saja melakukan "bunuh diri politik". Yakni skenario penggulingan kekuasaan melalui People Power yang sengaja dirancang oleh penguasa sendiri karena ketidakmampuan mengatasi persoalan ekonomi saat ini. Lalu nanti yang dijadikan sebagai kambing hitamnya adalah Umat Islam. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis Wartawan Senior FNN.co.id
Mungkinkah OTT Edhy Prabowo Itu Skenario Abu Janda Cs?
by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (01/12). Banyak pertanyaan yang tersisa terkait penangkapan Edhy Prabowo. Misalnya, apakah OTT itu murni pemberantasan korupsi? Tidakkah sedang berlangsung persilatan politik antara berbagai kekuatan koalisi penguasa yang sejatinya adalah koalisi sesama makhluk buas yang saling incar? Mungkinkah OTT ini sebagai sinyal kepada Prabowo Subianto (PS) bahwa Jokowi yang dia jadikan harapan untuk Pilpres 2024 itu ternyata bukan pemegang kekuasaan yang sesungguhnya? Atau, apakah ini isyarat kepada PS agar jangan terlalu maju di kabinet? Banyak lagi pertanyaan yang menggantung. Semuanya sangat mungkin. Dan semakin lama Anda menatap isu penangkapan Edhy, semakin keras keyakinan Anda bahwa tidak ada satu pun teori yang bisa dikesampingkan. Termasuklah terori OTT itu merupakan isyarat kepada Prabowo bahwa beliau tidak akan pernah diterima oleh seluruh komponen Jokowi, khususnya para buzzer. Dan sangat besar kemungkinan penangkapan Edhy adalah skenario yang disiapkan dengan rapi oleh gerombolan buzzer Istana. Tepatnya, OTT Edhy boleh jadi adalah skenario Abu Janda, dkk. Mengapa bisa diduga seperti itu? Karena Abu Janda Cs kehilangan objek besar untuk olok-olokan setelah Prabowo masuk ke kabinet Jokowi. Si Abu dan gerombolannya tak lagi punya sosok besar untuk dibully begitu Prabowo sekubu dengan mereka. Jadi, setelah lebih setahun berlalu, Abu Janda dkk menyimpulkan bahwa Prabowo masuk kabinet membuat lahan pekerjaan mereka berkurang banyak. Tempohari, sebelum Prabowo bergabung, banyak sekali kreasi olok-olok dan caci-maki mereka. Sekarang berkurang drastis. Karena itu, sangat mungkin Abu Janda dkk bersiasat agar Pabowo tak betah di kabinet. Boleh jadi merekalah yang membuat skenario apik dan halus. Sampai akhirnya Edhy Prabowo kena OTT. Abu Janda dkk berharap PS akan mundur dari kabinet gara-gara OTT Edhy. Begitu mundur akan langsung dibully oleh gerombolan si Abu. Bahan olok-olokan empuk balik ke posisi awal. The best bullying back to business. Ternyata itu tidak terjadi. Prabowo tidak keluar. Dia akan terus setia pada Jokowi. Ini yang membuat Abu dan orang-orangnya kecewa berat. Kini, Abu dan gerombolannya harus terus makan hati sampai 2024. Kecuali ada OTT dahsyat di Kemenhan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)