POLITIK
Bu Mensos Sampai Berjumpa di Kampung 1001 Malam
by Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ahad (10/01). Sebuah video dengan judul blusukan Bu Menteri Sosial (Mensos), viral di media sosial (medsos). Video itu dicuplik dari liputan wartawan TV One Biro Surabaya. Dia wartawan itu tengah mengunjungi sebuah perkampungan di bawah tol jembatan di Surabaya. Nama kampung itu sangat unik dan menarik. Kampung 1001 malam. Jangan bayangkan situasi kampung itu seperti istana dalam dongeng yang berasal dari Timur Tengah. Hanya namanya saja yang sama dengan judul dongeng sastra epik tersebut. Kampung 1001 malam ini terletak di Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan, Surabaya Utara. Dulu…eh maksudnya beberapa waktu lalu. Lebih tepatnya kurang dari satu bulan yang lalu, wilayah ini masuk dalam kawasan yang dipimpin seorang Walikota bernama Tri Rismaharini. Yups…benar. Beliau adalah Mensos yang kini sedang asyik blusukan di beberapa titik kota Jakarta. Bertemu pemulung, pengemis, dan gelandangan. Dia menawarkan rumah, menawarkan pekerjaan, dan penghidupan yang layak. Janji-janji indah. Happily ever after. Sebuah kehidupan yang selama ini, barangkali dalam mimpi pun tak berani dibayangkan oleh mereka. Kembali ke kampung 1001 malam tadi. Nama “indah” itu muncul karena sepanjang hari, baik siang ataupun malam, suasananya sama saja. Gelap karena kurangnya pencahayaan. Tidak semua rumah berada di kolong jembatan tol. Sebagian warga tinggal di lahan terbuka, di bantaran Sungai Kalianak. Semua pemukiman tersebut statusnya tanah negara. Hak kuasa tanah-tanah itu adalah PT Jasa Marga yang mengelola jalan tol. Untuk sampai ke kawasan yang terbuka itu kita harus melewati kolong jalan tol yang gelap. Warga menamakannya “terowongan mina.” Untuk dapat melewati terowongan ini, perilaku Anda harus “sopan.” Anda harus jalan setengah menunduk. Kolong jembatan sangat rendah. Luar biasa. Mereka itu rakyat Indonesia, khususnya warga Surabaya. Mereka tetap tak kehilangan daya humornya, walau harus hidup dengan suasana yang memprihatinkan. Imajinasi mereka luar biasa. 1001 malam, dan terowongan Mina. Semua tempat itu pasti hanya hidup dalam angan-angan mereka. (Luput dari perhatian) Kembali ke liputan reporter TV One. Dia bertemu dengan Ketua RT setempat bernama Sigit Santoso alias Pak Mamik. Menurut Pak Mamik, di bawah kolong jembatan ada 16 KK. Sementara di bantaran sungai ada 170 KK. Mereka tinggal di kawasan itu sudah lebih 20 tahun. Kondisi kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Selain gelap kawasan itu sering banjir. Mereka harus mengungsikan benda-benda berharga ke pinggir jalan tol ketika banjir tiba. Menurut pengakuan Pak Mamik, sampai saat ini belum pernah ada bantuan dari Pemkot Surabaya. Satu dua kali, diakuinya memang sudah pernah ada pejabat yang menjenguknya. Lalu bagaimana dengan walikota (dulu) Risma? Berdasarkan pengakuan, ibu Walikota belum pernah menjenguk. Situasi kontras ini lah tampaknya yang membuat wartawan di Surabaya kembali berbondong-bondong mengunjungi Kampung 1001 malam. Mereka menampilkan situasi paradoks ini. Hanya dalam beberapa hari menjadi Mensos dan tinggal di Jakarta, Risma bisa langsung menemukan puluhan tuna wisma dan gelandangan. Panti Rehabiltasi Pangudi Luhur di Bekasi langsung penuh dengan gelandangan, pemulung dan pengemis. Sebagian dilatih kerja, dan sebagian disalurkan menjadi “karyawan” di BUMN. Sementara di Surabaya Risma menjadi walikota selama dua periode. Sebelumnya puluhan tahun mengabdi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemkot Surabaya. Namun ok bisa-bisanya Risma “tidak tahu” ada ratusan warganya yang masih tinggal di kolong jembatan? Padahal profesi mereka juga sama. Pengamen, pemulung, dan pengemis. Sebagian membuka warung kecil-kecilan. Mudah-mudahan saja Bu Risma tidak sedang mengidap “rabun dekat.” Hanya bisa melihat gelandangan yang berada jauh di Jakarta. Sebaiknya Bu Risma kalau ada waktu pulang ke Surabaya. Namun jangan lupa mampir ke Kampung 1001 malam ya. Mereka ini juga masuk dalam ruang lingkup kerja Anda sebagai Mensos. Masih jadi tanggung jawab Anda. Anda kan bukan Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat. Tetapi Mensos RI lho. Sampai jumpa di Kampung 1001 malam Bu Risma……..End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Harusnya Risma Blusukan ke Rutan KPK, Ada Juliari di Sana Butuh Bansos
by Asyari Usman Medan, FNN - Jumat (08/01). Mensos Tri Rismaharini babak belur gara-gara bluskan mencari tunawisma alias gelandangan di Jakarta. Drama pencitraan Bu Risma berantakan setelah muncul kontroversi karena salah seorang tunawisma yang beliau jumpai diduga palsu. Bukan gelandangan asli. Tetapi, Humas Kemensos mengatakan laki-laki yang dikatakan gelandangan palsu itu bukan Nursaman, tapi Kastubi. Dengan kata lain, Kemensos menepis tuduhan palsu itu. Sebenarnya, kalau Bu Risma bertekad terus melakukan blusukan, kita sarankan agar dia mendatangi rutan KPK. Di sana juga banyak tunawisma (homeless) dan tunakarya (jobless). Salah satunya Juliari (Ari) Batubara yang saat ini memerlukan bansos. Pak Ari perlu bantuan karena sel-sel darah beliau sangat cocok dengan sel-sel dana bansos Covid-19 yang beliau “transgelapkan” ke tubuhnya. Ibarat orang yang sudah kebanyakan narkotika di dalam darahnya, orang itu perlu suntikan narkotika untuk bisa bertahan. Begitu juga Pak Ari yang sudah banyak mengkonsumsi dana bansos. Dia perlu dibawakan oleh-oleh dana bansos agar bisa tenang di rutan. Tapi, haruslah dana bansos yang legal. Jangan yang tidak legal. Pak Ari sekarang ‘kan berstatus berhak menerima dana bansos. Kalau jadi menjumpai Pak Ari ke rutan, Bu Risma jangan lupa bawa kamera. Rekam dialog dengan beliau. Apakah dia mau dicarikan pekerjaan atau mau dipulangkan ke kampung halamannya. Kalau mau dipulangkan, apakah mau pakai private jet atau naik bus? Siapa tahu beliau kangen naik jet pribadi. Atau, kalau repot mencari jet pribadi, pulangkan saja ke rumah Bu Mega. Pak Ari itu ‘kan kader kesayangan Bu Ketum. Biar mereka bisa bincang-bincang tentang OTT. Boleh jadi Bu Mega ingin tahu kenapa Mas Ari bisa kena tangkap KPK. Apakah kurang hati-hati? Atau karena terlalu percaya diri, bahwa PDIP partai terbesar dan terkuat saat in? Pasti banyak yang hendak ditanyakan Bu Mega kepada Mas Ari. Mungkin juga mau ditanyakan bagaimana sebaiknya strategi ke depan untuk menghindarkan OTT? Dan lain-lain. Good idea-lah kalau Bu Risma bisa bantu pulangkah Mas Ari ke rumah Bu Mega. Banyak yang bisa mereka bahas. Terus, apakah ada alasan lain bagi Risma untuk menjumpai Pak Ari di rutan KPK?. Pasti ada. Bu Risma wajib mendatangi mantan mensos itu untuk menyampaikan terima kasih. Terima kasih atas kebaikan Pak Ari membukakan pintu Istana bagi Bu Risma melalui kosupsi bansos. Betapa besar pengorbanan Pak Ari untuk mengantarkan Bu Risma ke Istana. Kalau Bu Risma jadi datang ke rutan, beliau juga bisa bantu Pak Ari mendapatkan pekerjaan di penjara. Pak Ari perlu ada kesibukan di tahanan agar bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan hukuman mati. Sebab, desakan publik agar dia dihukum mati semakin keras. Ok. Kita tunggu blusukan Bu Risma ke rutan KPK. Pasti Pak Ari senang. Sekalian Bu Risma bisa lihat langsung kamar tahanan untuk koruptor dana bansos. Siapa tahu melihat sel di sana ada gunanya. Sebab, masih ada puluhan triliun lagi yang menjadi tanggung jawab Bu Risma. Iya ‘kan? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Ratu Drakor di Panggung Srimulat
by Jarot Espe Surabaya, FNN - Jumat (08/01). Tidak ada kelompok dagelan, yang popularitasnya melebihi Srimulat. Bahkan ketika Srimulat bubar pun, para pelawaknya laku keras mengocok perut lewat layar teve. Terlahir di Solo dari tangan dingin seniman Teguh Slamet Raharjo, Srimulat mencapai puncak kejayaan ketika rutin manggung di Taman Hiburan Surabaya (THR) Surabaya. Setiap malam Jumat, panggung Srimulat diisi tema drakula. Benar benar suasananya mencekam, karena sang sutradara Teguh, menghadirkan back sound yang mendukung tema. Adakalanya, sosok drakula muncul di tengah penonton. Seluruh panggung menjerit histeris. Tapi beberapa saat kemudian, penonton terpingkal pingkal. Coba bayangkan, sang drakula setengah berlari menuju panggung karena 'kebelet' kencing. Dialog pemain Srimulat memang cocok di telinga arek arek Suroboyo. Meski faktanya, penonton Srimulat berdatangan dari berbagai kota. Maklum, panggung Srimulat juga diselingi band pengiring dan penyanyi dari Surabaya. Jadi kalau ada yang nggak paham dialog Suroboyoan, paling tidak terhibur oleh live musiknya. Srimulat sungguh menghibur. Walikota Surabaya, waktu itu, Soekotjo, menjadikan Srimulat sebagai aset kota pahlawan. Usia Trimaharini alias Risma, pengganti Soekotjo 30 tahun kemudian, masih usia sekolah dasar atau SMP. Apakah Risma dulunya juga sering nonton panggung Srimulat? Entahlah. Paling tidak, seperti layaknya arek Suroboyo, saya juga merasa terhibur selama Risma menjadi walikota Surabaya selama 2 periode. Bu Risma, demikian wong Suroboyo memanggil akrab walikotanya, galak. Galak khas orang Jawa Timur, sekaligus membuat orang tersenyum. Terhibur. Mirip respons spontan penonton di panggung Srimulat. Saat Surabaya dilanda hujan deras, 16 Desember 2019, kondisi lalu lintas di Jalan Raya Darmo, macet. Risma pun beraksi. Mengenakan jas hujan, ia berdiri tepat di persimpangan dari arah Jalan Diponegoro menuju arah Wonokromo. Padahal di lokasi yang sama, petugas gabungan dari Satpol PP, Dishub Surabaya maupun kepolisian juga terus mengatur kepadatan kendaraan. Empat bulan kemudian, Risma kembali beraksi manakala Mal Pelayanan Publik Siola Surabaya terbakar. Menggunakan alat pengeras suara, Risma meminta seluruh pengunjung gedung keluar. Sampai ada yang nyeletuk mengingatkan agar Risma hati-hati. Sebab sudah ada petugas yang lebih tahu situasi dan kondisinya. Aksi terakhir Risma sebelum dilantik sebagai Mensos, terlihat saat para demonstran menggelar demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Surabaya, Oktober 2020. Mengetahui banyak fasilitas publik dirusak pengunjuk rasa, Risma marah dan viral di media sosial. Sosok Risma bisa dianggap katup pelepas ketegangan atas kondisi hidup yang dihadapi warga. Lupakan sejenak penegakan hukum yang amburadul, seperti terlihat pada kasus penembakan 6 anggota FPI. Apalagi membahas kasus korupsi bansos oleh kader PDIP, mantan Mensos Juliari Batubara. Abaikan sebentar, kasus covid 19 yang melonjak tak terkendali. Tetap fokus bahagia mencari hiburan Srimulat ala Risma. Selepas dilantik sebagai Mensos, gaya Risma tetap menghibur, paling tidak bagi saya. Wong Suroboyo. Ia enteng berkata, mendapat izin Presiden Jokowi untuk merangkap jabatan: yaitu Mensos sekaligus Walikota Surabaya. Benar benar khas Risma, terdengar spontan, meski melabrak perundangan di Indonesia. Sepekan terakhir, Risma melanjutkan aksi blusukannya. Termasuk menemui tuna wisma di kawasan elite Jakarta, Sudirman-Thamrin. Kali ini sebagai orang Surabaya saya sedih. Respons khalayak demikian negatif, karena tuna wisma yang ditemui Risma, ternyata abal-abal. Namanya, Nur Saman, 70 tahun, penjual poster Soekarno di Jalan Minangkabau, Manggarai, Jakarta Selatan. Dia juga jualan kelapa muda. Saya berencana menulis surat terbuka ke Bu Risma. Jadi semua itu setingan, Bu? Siapa gerangan sutradaranya? Tahukah ibu dianggap melanggar UU ITE karena menyebarkan kebohongan? Hoax..! Kini terasa Bu Risma gak selucu dulu. Gak menghibur seperti panggung Srimulat. Aku wong Suroboyo... arep misuh ga enak. Lha sampean menteri kok dipisuhi. (Aku orang Surabaya, mau mengumpat ga enak. Anda (Bu Risma) kan menteri, masak diumpat). Penulis adalah Pemerhati Seni.
Papua, Antara Konspirasi dan Populisme
by Yorrys Raweyai Jakarta, FNN - Kamis (07/01). Respons terhadap persoalan Papua yang semakin mengemuka turut memunculkan berbagai analisis. Kompleksitas latar belakang yang mengiringi keberadaan Papua dalam bingkai NKRI melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang, di satu sisi, membawa alam sadar kita ke dalam suasana pemahaman tentang betapa ber-“harga”-nya Papua sebagai “surga” menghampar di dunia. Di sisi lain, Papua telah menjadi magnet bagi para pemburu “keuntungan” masa depan yang sedang kehabisan “energi domestik” untuk sekedar mempertahankan kepemilikan status sebagai “adi kuasa” dan “adi daya”. Apapun hasil analisis kemudian, pada gilirannya akan menempatkan Papua sebagai cerita tersendiri dalam kubangan intervensi. Lebih besar lagi, Papua adalah objek menggiurkan bagi pihak lain di luar dirinya. Kontestasi dan konspirasi pun tidak terelakkan. Pemaknaan tentang keduanya bahkan menjadi lebih mudah dicerna oleh publik yang cenderung membutuhkan penjelasan sederhana tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Instrumen demokrasi yang mengidentifikasi Amerika dan Eropa sebagai pendulum, tentu berkepentingan dengan dekolonialisasi dalam berbagai rupa dan bentuk. Belanda yang sejatinya begitu vulgar menancapkan kuku kolonial di Papua membuatnya kehilangan “alibi” untuk segera hengkang dan menyerahkan kekuasaan. Atas nama demokrasi, Amerika perlahan merengsek masuk. Tetapi hajat untuk sekedar memberi kebebasan tidaklah cukup diterima begitu saja. Sejak temuan “gunung emas” di akhir tahun 1950-an, membuat publik Papua begitu sulit menerima argumen sederhana tentang “kebebasan” yang hendak disematkan kepada mereka. "There is no such thing as a free lunch" terlanjur meng-adagium di kepala publik yang tersadarkan oleh pasar bebas. Bukan tanpa alasan jika paradigma tersebut lebih lanjut menuai banyak penjelasan oleh banyak ilmuwan. Greg Poulgrain, seorang sejarawan Australia, dan sederet sejarawan lainnya, sejak lama melakukan kajian tentang kuatnya aroma konspirasi yang menjadikan Papua sebagai objek eksploitasi. Meski atas kepentingan kesejahteraan maupun sebatas eksploitasi sebagaimana dikaitkan dari peran John F. Kennedy dan Allen Welsh Dulles, pintu masuk intervensi terbuka lebar. Diskursus geopolitik yang meneropong Papua dalam peta dunia memang tidak lagi bisa dihindari. Globalisasi dan pasar bebas di bawah payung liberalisme yang telah mempertautkan satu sama lain dalam aneka ragam kepentingan membutuhkan “mangsa” untuk dijamah. Jika kemudian negara-negara lain turut mengambil andil, maka itupun adalah bagian keniscayaan sejarah. Atas dasar itulah, membaca gambaran besar (big picture) terkait konstalasi Papua penting untuk selalu digemakan. Agar kita senantiasa memiliki referensi dalam bertindak dan mengambil kebijakan. Karena itu pula, fundamental kebangsaan dan kenegaraan kita sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila, pun menjadi alasan utama mengapa kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh negara harus senantiasa dikritisi dan dievaluasi. Suara-suara kebebasan yang menggelegar dalam ruang publik Papua hari ini tentu tidak lahir dalam ruang hampa. Di situ tersimpan kekhawatiran, kegelisahan dan keprihatinan. Negara harus hadir dalam berbagai segmen dan fragmen aspirasi, tanpa mengabaikan, mengucilkan, apalagi memberangus mereka yang berbeda. Demikian pula, penyelewengan dan pengabaian atas fundamental kebangsaan dan kenegaraan, pun tidak bisa ditoleransi ataupun didiskriminasi. Amerika dan Eropa (pihak asing) mungkin tidak lepas dari sinyalemen tentang dominasi, penghisapan, dan perburuan keuntungan. Tapi gagasan tentang pentingnya demokrasi, meski boleh jadi hanya sekedar lip service semata, telah membuka mata publik Papua, bahwa kebebasan dan “kemerdekaan” itu bukan semata slogan perlawanan, tapi hak asasi yang memang inheren untuk terus diperjuangkan. Kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan adalah diksi-diksi yang membutuhkan perjuangan untuk diselesaikan. Sebab kebebasan dan “kemerdekaan” sebagai manusia dan warga negara tidak akan lahir dalam suasana itu. Sementara kritisisme yang muncul akibat pandangan tentang ketidakhadiran negara dalam berbagai keluh dan kesah publik Papua sejatinya adalah kelaziman yang membutuhkan ruang untuk terus disuarakan dan didialogkan. Jika tidak, maka perlawanan dan penentangan yang sebelumnya berlangsung pada tataran substansial, berubah dan mengkristal dalam suasana yang semata untuk menunjukkan perbedaan. Apapun yang ditelorkan oleh pemerintah direspons secara berbeda. Dengan menentang, mereka berbeda. Negara yang kehilangan daya untuk menegosiasikan persolan terjebak antara pilihan untuk bertindak tegas atau membiarkan perlawanan bermetamorfosa menjadi semakin buas. Pada akhirnya, korban dari semua pihak berjatuhan. Di pihak lain, suara publik yang kehilangan substansi terjatuh dalam nuansa populisme. Mengatasnamakan rakyat yang “tertindas”, suara penentangan menjadi nyaring terdengar, semakin terbuka dan tidak lagi berada dalam ruang tertutup. Suara perlawanan di hutan belantara yang hanya di dengar oleh mereka sendiri, perlahan terpublikasi di ruang terbuka. Tersiar melalui dukungan media sosial, disambut oleh mereka yang sebelumnya diam, hingga memunculkan alternatif-alternatif baru. Ironisnya, dinamika penentangan semakin meluas seiring dengan agregasi kekuasaan yang juga semakin massif. Populisme menjadi lahan efektif bagi mereka yang memang selama ini terbungkam dan terpinggirkan oleh negara yang sibuk menyelesaikan persoalan berdasarkan perspektifnya sendiri. Pada tataran ini, populisme Papua bukan lagi suara pinggiran, tapi merengsek ke tengah, menjadi saluran alternatif. Tanpa disadari lebih jauh, ia pun telah menjadi wadah menggiurkan untuk dimanfaatkan oleh apapun kepentingan yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, sudah seharusnya pemerintah membuka diri. Memang diperlukan ketegasan untuk menunjukkan bahwa negara tidak boleh tunduk atas apapun yang berpotensi menodai fundamen-fundeman yang sejak awal mempersatukan bangsa. Tapi respons atas perlawanan dan penentangan sejatinya berbanding lurus dengan pemaknaan tentang gambaran besar yang pernah, sedang dan akan terus mewarnai kompleksitas persoalan Papua. Jika demikian, maka kita mengkhawatirkan masa depan Papua dihuni oleh dua belah pihak yang jatuh dalam arena populisme di saat keduanya mengusung argumen atas nama rakyat. Penulis adalah anggota DPD RI Dapil Papua/Ketua MPR For Papua.
Drakor Mensos Risma, Salah Casting, Salah Skenario?
By Hersubeno Arief TAK perlu waktu terlalu lama. Teka-teki “gelandangan” yang ditemui Mensos Risma di Jalan Thamrin Jakarta, langsung terbongkar. Seorang netizen mengenali pria berambut putih, berpakaian lusuh itu bukan gelandangan. Dia seorang pedagang poster di Jalan Minang Kabau, Jakarta Selatan. Karena yang dijual kebanyakan poster Bung Karno dan Megawati, netizen menyimpulkan dia anggota PDIP. Setidaknya simpatisan partai moncong putih itu. Berbekal info netizen, media rama-ramai mendatanginya. Benar saja. Pria itu bernama Nursaman. Sehari-hari dia pedagang es kelapa muda dan berjualan poster tak jauh dari Pasar Rumput. Nursaman mengakui pria dalam foto itu dirinya. Anehnya dia mengaku tak pernah ke Jalan Thamrin. Apalagi bertemu Mensos. Menurut istrinya, pria berusia 70 tahun itu sudah sering lupa. Dia pikun. Apapun pengakuannya, satu fakta tidak bisa dibantah. Benar pria yang ditemui Risma dan akan dipulangkan ke kampung halaman itu adalah Nursaman. Seorang pedagang yang diminta “berperan” sementara menjadi gelandangan. Lokasi yang dipilih di sepanjang kawasan Jalan Sudirman-Thamrin. Sebuah jalan protokol, etalase Jakarta. Bagaimana dengan dua gelandangan lain? Satu orang seperti pengakuan Nursaman bernama Rizal. Sementara sang perempuan, tidak diketahui nama dan keberadaannya. Temuan Mengagetkan Adanya “gelandangan” yang “ditemukan” Risma di koridor Sudirman-Thamrin ini memang sangat mengagetkan. Bukan hanya bagi mereka yang berkantor dan beraktivitas di kawasan itu. Tapi juga bagi Pemprov DKI. Wagub DKI Ahmad Riza mengaku sangat heran. Seumur-umur dia tidak pernah menemukan kejadian aneh tapi nyata itu. Padahal dia sudah tinggal di Jakarta sejak usia 4 tahun. Koridor Sudirman-Thamrin adalah kawasan utama. Sejak “dahulu kala” menjadi daerah terlarang bagi gelandangan dan pengemis. Dulu disebut gepeng. Kawasan perkantoran, hotel dan tempat perbelanjaan prestisius ini, setiap hari dilewati para petinggi negara. Para diplomat, dan juga tamu-tamu negara ketika berkunjung ke Indonesia, juga melewatinya. Di ujung Utara koridor ini, kita akan menemukan Istana Merdeka. Kawasan Ring 1. Harus benar-benar steril. Jadi bagaimana ceritanya tiba-tiba ada gelandangan? Hebatnya yang menemukan seorang Risma. Seorang menteri yang baru dilantik, kurang dari dua pekan. Kemana saja para menteri yang lain? Kemana saja Gubernur DKI Anies Baswedan? Karena kejanggalan inilah — netizen menyebutnya sebagai drama korea (drakor)— langsung terbongkar. Pertama, setting drakor ini salah lokasi. Kelihatannya pengatur laku tak begitu memahami kota Jakarta. Kedua, salah casting. Salah pilih pemeran. Di Jakarta ini banyak sekali gelandangan. Cukup diberi uang Rp 100-150.000 mereka pasti bersedia bila diminta untuk memerankan diri sendiri. Tanpa harus berpura-pura. Ketiga, salah skenario. Pengatur laku tampaknya terlalu bernafsu. Mereka tidak memperhatikan detil. Mulai dari lokasi, sampai asesoris yang dikenakan. Para “gelandangan” itu punya kesamaan. Sangat sadar protokol kesehatan. Maskernya baru. Standar yang dijual di apotek. Salah satu gelandangan juga diketahui membawa hp android lengkap dengan earphone. Canggih banget! Nampaknya sukses membuat aksi blusukan di bantaran sungai, kolong jembatan, dan kolong jalan, membuat abai. Mereka mencoba membuat kisah lebih spektakuler. Koridor Sudirman-Thamrin dipilih menjadi panggung besar sekelas Braodway. Masalahnya, karena terlalu bernafsu. Tidak menguasai medan, kurang observasi. Tidak memperhatikan detil. Panggung sandiwara besar itu langsung terbongkar. Sejak heboh Risma blusukan, kemana arahnya akan bermuara, sebenarnya sangat mudah terbaca. Penunjukan Risma, dari seorang walikota menjadi Mensos, mempunyai beberapa misi besar. Pertama, mengalihkan isu korupsi bansos yang melibatkan seorang kader dan Wakil Bendahara Umum PDIP Juliari P Batubara. Kedua, mendowngrade kinerja Gubernur DKI Anies Baswedan. Anies adalah ancaman nyata yang harus segera diaborsi, jauh sebelum pelaksanaan Pilpres 2024. Ketiga, branding dan mendongkrak popularitas Risma. Poin terakhir ini tampaknya erat kaitannya dengan skenario jangka panjang PDIP menguasai Jakarta, sekaligus Indonesia. Apakah semua skenario besar itu salah? Tentu saja tidak. Dalam politik hal itu sah-sah saja. Namanya juga usaha. Cuma ada satu syarat yang tampaknya dilupakan. Apa itu? Seperti halnya korupsi, semua boleh dilakukan, dengan satu syarat! Tidak ketahuan. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
FPI, HTI, PKI, PDI-P, Mana Yang Lebih Berbahaya?
by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Kamis (07/01). Di tengah gencarnya aksi pencitraan yang dilakukan Mensos Tri Rismaharini atau Risma, di dunia maya khususnya Twitter yang sedang ramai dan menjadi trending topic adalah tagar bubarkan PDI-P. Itu menjadi trending topic Twitter pada hari Senin 4 Januari 2021. Topik tersebut awalnya diunggah oleh seorang netizen dengan akun @PutraErlangga_ yang menampilkan foto Mantan Mensos Juliari Peter Batubara. Sebelum tagar ini muncul, Pakar Hukum Refly Harun juga pernah membahas keinginannya untuk melihat pemerintah membubarkan partai yang suka korupsi, meski tidak menyebutkan nama partainya. “Udeh Pantas Ni Tagar Jadi Tersangka TT, #BubarkanPDIP, Apakah Anda Setuju..?,” tulis akun twitter @PutraErlangga_ hari Senin, 4 Januari 2021, pukul 10.27 WIB. Di hari Senin itu, tidak kurang dari 14.300 cuitan yang menggunakan hastag ‘Bubarkan PDIP’. Isi cuitannya rata-rata tentang luapan kemarahan warganet karena beberapa kader partai berlambang banteng itu terlibat korupsi, diantaranya anggota PDI-P Harun Masiku dan Mantan Mensos Juliari Peter Batubara yang juga Wakil Bendahara PDIP. Seperti diketahui, Harun Masiku merupakan nantan calon anggota legislatif dari PDIP yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan tersangka dirinya terkait kasus dugaan suap terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Suap tersebut dilakukan Harun Masiku agar dirinya dapat menggantikan Nazarudin Kiemas yang telah meninggal dunia untuk lolos ke DPR-RI dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I. Namun, hingga kini Harun Masiku masih buron dan menghilangkan diri. Sementara nantan Mensos Juliari Peter Batubara sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan bansos di wilayah Jabodetabek. Parpol Korupsi, FPI Dibubarkan Mantan Mensos Juliari Batubara diduga telah melakukan korupsi Rp 17 Miliar yang dia gunakan untuk keperluan pribadinya sendiri. Selain hastag ‘Bubarkan PDIP’ yang trending di twitter, petisi yang berjudul ‘Bubarkan PDIP Partai Anarkis’ di laman Change.org pun kembali muncul ke permukaan. Petisi ini telah ditandatangani oleh 109.488 orang dari target 150.000 orang. Alih-alih membubarkan partai korup, pemerintah justru malah membubarkan Ormas Islam FPI. Kenyataan ini jadi mengherankan masyarakat. Betapa tidak, yang korupsi kader parpol tapi yang dibubarkan malah FPI. Dengan logika ini saja masyarakat bisa menilai rezim pemerintah sekarang sudah berlaku tidak adil, membubarkan Ormas semaunya tanpa diketahui kesalahan hukumnya melalui proses persidangan. Masyarakat yang bukan bagian dari Ormas Islam pun, akan menaruh simpati dengan FPI. Apalagi sebelum ormas ini dibubarkan, didahului dengan pembunuhan secara keji terhadap enam laskar FPI. Oleh karena itu wajar kalau sekarang ada tuntutan terhadap pembubaran PDI-P. Masyarakat sudah banyak melihat praktek-praktek ketidakadilan saat ini. Untuk itu hal yang terkait dengan korupsi yang dilakukan kader PDI-P harus diselidiki sampai tuntas dan dihukum secara adil. Dalam kaitan ini, KPK didesak untuk bisa menyelidiki secara tuntas kasus korupsi Bansos yang dilakukan Wakil Bendahara PDIP Juliari Batubara. Desakan tersebut antara lain disampaikan Jaringan Pemuda Islam (JPI) yang melakukan aksi ke Kantor KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu siang (6/1). JPI mendesak agar KPK memeriksa putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka terkait dugaan keterlibatan di kasus dugaan suap bansos Covid-19 berupa sembako untuk wilayah Jabodetabek 2020. Ketua Umum JPI, Yaban Ibnu mengatakan, aksi dilakukan untuk merespons pemberitaan yang menyebutkan adanya dugaan keterlibatan Gibran dalam perkara yang menjerat Juliari Peter Batubara selaku Mensos. Dalam pemberitaan Tempo disebutkan bahwa, Gibran telah memberikan rekomendasi PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) kepada Juliari Batubara untuk mengerjakan pengadaan goodybag dalam distribusi bansos. "Kami meminta KPK untuk segera memeriksa 'anak Pak Lurah' yaitu Gibran Rakabuming atas dugaan keterlibatan korupsi dana bansos," ujar Yaban Ibnu kepada Kantor Berita Politik RMOL di lokasi aksi unjuk rasa, Rabu siang (6/1). Selain itu kata Yaban, pihaknya juga meminta KPK untuk menindaklanjuti keterlibatan oknum-oknum lainnya yang disebut dalam investigasi majalah Tempo edisi 21-27 Desember 2020 yang berjudul "Korupsi Bansos Kubu Banteng". "KPK berani bongkar, KPK hebat," pungkasnya. Aksi yang mendesak KPK untuk memeriksa Gibran juga telah dilakukan oleh Pergerakan Masyarakat Madani (Permadani), Selasa siang (5/1). Pemberitaan aksi masyarakat ke Gedung KPK tersebut memang tidak seramai pemberitaan aksi blusukan Mensos Risma, salah satu orang yang dekat dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Aksi pencitraan Mensos baru ini seolah ingin menutup kasus kejahatan korupsi yang dilakukan mantan Mensos Juiari Batubara. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengalihkan isu korupsi bansos. Tidak hanya melalui aksi pencitraan yang dilakukan Mensos Risma tetapi dengan aksi politik kekuasaan yang dilakukan pemerintah terhadap Ormas Islam. Setelah membubarkan Front Pembela Islam (FPI), belum lama ini tiba-tiba rezim Jokowi memecat Asep Agus Handaka Suryana sebagai Wakil Dekan Bidang Sumberdaya dan Organisasi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Dia dipecat secara sepihak karena dianggap mempunyai latar belakang yang terkait dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kenapa saya menyebut ini pemecatan sepihak ? Ya karena tidak dilakukan melalui proses peradilan yang fair dan terbuka. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui keterlibatan Asep Agus Handaka di HTI. Tiba-tiba sekarang dipreteli jabatannya di Kampus Unpad. Perguruan tinggi negeri seperti Unpad yang sudah berdiri cukup lama seharusnya lebih mengedepankan aspek keterbukaan serta tata cara berpikir logis dan ilmiah. Tidak membuat keputusan yang merugikan civitas akademika Unpad. Dari kasus ini menunjukkan kepada kita sebagai masyarakat bahwa sekarang ini dunia perguruan tinggi sudah tidak memiliki indepedensi. Perguruan tinggi sudah menjadi kepanjangan kepentingan penguasa dan pemilik modal. Dengan begitu, intervensi politik kekuasaan bisa menimpa kampus manapun terutama PTN. Mengingat pemecatan terhadap Asep Agus Handaka tidak dilakukan secara terbuka melalui proses hukum di pengadilan, masyarakat pun jadi bertanya-tanya. Apa sebenarnya kesalahan hukum Asep Agus Handaka ? Apakah salah dia pernah ikut sebagai anggota HTI? Kapan dia ikut terlibat di ormas tersebut? Bukankah HTI sudah dibubarkan pemerintah sejak tàhun 2017 ? Katakanlah Asep Agus Handaka mantan anggota HTI, kenapa dia dilarang menjabat di kampus negeri seperti Unpad ? Sementara para mantan anggota PKI boleh mencalonkan diri sebagai pejabat baik di DPR maupun di pemerintahan ? Pertanyaan selanjutnya, apakah HTI pernah membunuh para santri dan kiai seperti yang dilakukan PKI pada tahun 1948 dan 1965 ? Mana yang lebih berbahaya, FPI, HTI, PKI atau PDI-P ? Apakah waras jika ormas Islam seperti HTI atau FPI yang selama ini hanya menjalankan dakwah amar ma'ruf nahi munkar serta aktivitas kemanusiaan lainnya, tiba-tiba dibubarkan tanpa melalui proses hukum yang adil ? Sementara PDI-P yang jelas-jelas memiliki banyak kadernya yang terlibat tindak pidana kejahatan korupsi malah justru dibiarkan dan tidak dibubarkan. Saat ini PDIP memang merupakan partai yang sedang berkuasa, sehingga logika politiknya sulit untuk bisa membubarkan partai ini. Tapi kalau melihat sejarah tumbangnya rezim Orde Baru, desakan masyarakat terhadap pembubaran Golkar sebagai partai penguasa waktu itu, terjadi setelah rezim Orba tumbang tahun 1998. Namun desakan masyarakat itu pun tidak terwujud karena Golkar bisa dengan cepat bermetamorfosis dan ganti baju menjadi Partai Golkar. Sekarang akankah desakan terhadap pembubaran PDI-P akan terus bergulir ? Atau desakan ini baru akan bergulir kencang nanti setelah rezim ini berakhir seperti halnya yang dialami Golkar pasca tumbangnya rezim Orde Baru ? Kita lihat saja nanti. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Mensos Risma Mau Jatuhkan Gubernur Anies Lewat Gelandangan Palsu?
by Asyari Usman Medan, FNN - Kamis (07/01). Dalam beberapa hari ini, Mensos Tri Rismaharini menemukan sejumlah “gelandangan” (tunawisma) di jalan-jalan protokol Jakarta, khususnya Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin. Tetapi, orang-orang yang hafal jalan-jalan protokol itu dibuat kaget. Mereka terkejut kenapa tiba-tiba ada yang menggelandang di kawasan prima itu sebagaimana temuan Risma. Walhasil, netizen merasa aneh. Dari rasa aneh, netizen menjadi curiga. Mereka curiga apakah para “gelandangan” yang dijumpai Risma itu asli atau palsu. Dalam sidak gelandangan yang dia lakukan ke berbagai pojok Jakarta, Risma bertanya kepada tunawisma dan juga pemulung apakah mereka mau dicarikan tempat tinggal, dsb. Pokoknya, pendekatan Risma sangat manusiawi. Terkesan seolah semua masalah tunawisma di Indonesia akan selesai. Netizen penasaran. Mereka melakukan penelusuran digital. Salah satu “gelandangan” yang dijumpai Risma ditelusuri sampai ke lapak dia berjualan poster di kawasan Jalan Minangkabau, Manggarai, Jakarta Selatan. Setelah itu, penelusuran dilakukan oleh jurnalis Viva. Orang yang dijumpai Viva di warung poster dan kelapa muda itu, persis seperti orang yang dijumpai Risma di bilangan Thamrin. Laki-laki berambut gondorng, ubanan. Tapi, orang tsb membantah pernah berjumpa Mensos. Temuan Risma ini punya implikasi berat bagi Gubernur DKI Anies Baswedan. Kasus gelandangan di kawasan paling elit di Jakarta itu mengesankan bahwa Anies tidak peduli warga miskin. Dan di daerah yang sensitif pula. Sudah tepat tindakan Pemrov memerintahkan pengejaran identitas semua gelandangan yang dijumpai Risma, khusunya yang berambut putih (ubanan) gondrong. Pemprov pastilah merasa gerah. Kecolongan. Kok Mensos bisa jumpa gelandangan di daerah sensitif itu? Kalau nanti terkonfirmasi gelandangan tsb asli, maka Anies harus meminta maaf kepada publik atas keteledoran Pemprov. Kalau perlu, Ombudsman RI menjatuhkan hukuman denda kepada Anies karena menelantarkan orang miskin dan tunawisma. Tapi, jika penelusuran membuktikan gelandangan itu palsu, maka Pemprov cukup mengatakan kepada publik bahwa Bu Risma tidak paham Jakarta. Jadi, maafkan saja. Kecuali nanti netizen berkeras agar dugaan gelandang palsu itu harus diselesaikan di jalur hukum. Kalau masyarakat mendesak supaya dugaan penipuan itu dilanjutkan ke ranah hukum, tentu Gubernur Anies tidak bisa menolak. Jika terbukti palsu, ada aspek pidananya. Setidaknya soal penipuan dan penyebaran informasi hoax. Untuk sementara ini, kita tunggu dulu hasil invesigasi Pemprov. Biarkan investigasi itu berjalan transparan, apa adanya. Tidak perlu ditutup-tutupi jika Anies memang teledor. Pak Gub harus memberikan teladan tentang transparansi. Jangan contoh cara-cara kotor yang dilakukan oleh para penguasa yang sibuk menyembunyikan bobrok mereka. Kalangan media massa tidak perlu memberikan pembelaan kepada Pak Anies jika memang terjadi penelantaran warga miskin Jakarta. Sebaliknya, kalau terbukti Bu Risma berniat menjatuhkan Anies dengan blusukan menjumpai gelandangan yang diduga palsu itu, yakinlah tujuan itu tak akan tercapai. Publik dengan sendirinya akan tahu dan akan menilai. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Surat Terbuka Kepada Dewan: APBN dan SiLPA Bisa Merugikan Negara dan Melanggar Hukum
by Anthony Budiawan Jakarta FNN - Jumat (25/12). Sementara ini, Bapak dan Ibu Dewan (Perwakilan Rakyat) mungkin tidak memperhatikan lagi pengelolaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan keuangan negara secara seksama. Hal ini dapat dimaklumi. Karena Dewan sudah kehilangan hak budget atau hak anggaran sampai tahun 2022 akibat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020 (“Perppu Corona”), yang kemudian disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2020 (“UU Corona”). Berlandaskan Perppu dan UU tersebut di atas, pemerintah menetapkan APBN 2020 secara sepihak, tanpa perlu persetujuan Dewan. APBN 2020 hanya dituangkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No 54 tahun 2020 dan Perpres No 72 tahun 2020, dengan defisit anggaran mencapai Rp1.039 triliun. Dewan yang terhormat. Kami prihatin dengan cara pengelolaan APBN dan Keuangan Negara yang sangat mengkhawatirkan dan bisa membahayakan perekonomian nasional. Cara ini sudah berlangsung cukup lama, dan puncaknya tahun 2020. Pengelolaan APBN dan Keuangan Negara seperti ini bisa memicu krisis fiskal (keuangan negara), krisis ekonomi, selain juga berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alasannya sebagai berikut. Pendapatan negara per November 2020 hanya Rp1.423 triliun, turun tajam dibandingkan tahun lalu Rp1.677 triliun. Sedangkan di sisi Belanja terjadi kenaikan tajam, dari Rp2.046 triliun per November 2019 menjadi Rp2.306,7 triliun per November 2020. Hal ini membuat defisit anggaran naik tajam, dari Rp368,9 triliun per November 2019 menjadi Rp883,7 triliun per November 2020, atau sekitar 6,3 persen dari perkiraan PDB. Defisit anggaran ini menjadi rekor defisit terbesar sepanjang Indonesia berdiri. Baik dalam nilai nominal maupun persentase PDB. Dewan Yang Terhormat. Yang menjadi persoalan bukan Kenaikan defisit anggaran yang fantastis ini. yang menjadi persoalan adalah penarikan utang untuk menambal defisit anggaran tersebut yang terkesan “ugal-ugalan”. Mohon maaf untuk kata “ugal-ugalan”. Karena, seyogyanya, penarikan utang yang juga disebut Pembiayaan Anggaran, hanya sebatas untuk membiayai defisit anggaran. Tidak boleh lebih. Dan ini juga tercantum di dalam Perpres dimaksud di atas: Perencanaan Pembiayaan (Penarikan Utang) sebesar defisit anggaran. Tetapi, apa yang dilakukan pemerintah tidak seperti itu. Per November 2020, pemerintah sudah menarik utang untuk menutupi defisit anggaran sebanyak Rp1.104,8 triliun. Sehingga terjadi kelebihan Pembiayaan Anggaran, dinamakan SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran), sebesar Rp221,1 triliun. Setara 25 persen dari defisit anggaran. Besar sekali. Pengelolaan APBN dan Keuangan Negara seperti ini sangat membahayakan perekonomian nasional. Selain juga bisa melanggar UU. Oleh karena itu, mohon Dewan Yang Terhormat mengevaluasinya secara cermat dan seksama. Pertama, saldo akumulasi SiLPA (atau juga Saldo Anggaran Lebih (SAL)) per akhir tahun 2019 tercatat Rp212,7 triliun. Pertanyaannya, kenapa uang ini tidak digunakan untuk Belanja Negara dan menutupi defisit anggaran? Sebaliknya, pemerintah bahkan menambah SiLPA Rp221,1 triliun hanya dalam periode 11 bulan tahun 2020 ini. Akibatnya, saldo akumulasi SiLPA per akhir November 2020 membengkak menjadi Rp433.8 triliun. Kelebihan penarikan utang (SiLPA) ini sebenarnya tidak diperlukan, dan mubazir. Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Pasal 3 memuat: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Dewan Yang Terhormat. Praktek pengelolaan Keuangan Negara yang mengakumulasi SiLPA hingga Rp443,8 triliun jelas merupakan praktek tidak wajar, dan terbukti merugikan Keuangan Negara akibat pemerintah harus bayar bunga atas utang yang tidak diperlukan. Kalau suku bunga utang 6 persen per tahun, maka kerugian negara mencapai Rp26 triliun per tahun. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan? Dengan demikian, unsur tindak pidana korupsi seperti dimaksud Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor di atas sudah terpenuhi. Bukankah begitu? Apakah Dewan Yang Terhormat juga sependapat? Selain itu, total kelebihan penarikan utang atau SiLPA sebesar Rp433,8 triliun tersebut bukan hanya berasal dari domestik. Tapi juga dari utang luar negeri (ULN) yang membuat ULN melonjak. Dewan Yang Terhormat. Menurut Pasal 10 TAP MPR No XVI/MPR/1998, seluruh utang luar negeri harus dimasukan di dalam rencana anggaran tahunan, dan mendapat persetujuan Dewan. Apakah amanat TAP MPR ini sudah dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah dan juga Dewan? Apakah seluruh ULN sudah ada di dalam APBN atau Perpres 54 maupun Perpres 72 tersebut di atas? Dan apakah Dewan sudah menyetujuinya? Yang lebih memprihatinkan, menurut Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD, APBN harus ditetapkan dengan undang-undang, dan dibahas bersama Dewan. Dengan demikian, APBN yang ditetapkan Perpres 54 dan Perpres 72 tersebut di atas berarti melanggar UUD, dan menjadi tidak sah demi hukum? Berarti, Dewan yang menyetujui Perppu Corona (menjadi undang-undang) dan turunannya Perpres 54 dan Perpres 72 pada prinsipnya juga melanggar UUD? Seperti kita ketahui, kalau eksekutif melanggar UUD dapat diberhentikan. Bagaimana konsekuensi dan sanksi pelanggaran kalau Dewan melanggar TAP MPR dan UUD? Apakah sudah ada peraturannya? Mohon Dewan yang mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD, berkenan menjawab semua persoalan di atas. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Di Balik "Penggusuran" Ponpes Megamendung, Dirut PTPN VIII "Tersandera"?
by Mochamad Toha Bogor FNN - Jumat (25/12). Somasi yang dikirimkan oleh PTPN (PT Perkebunan Nusantara) VIII biasanya dapat teguran dari Administratur Gunung Mas PTPN VIII (setingkat bupati) tapi untuk Pondok Pesantren Markaz Syariah Megamendung ini yang turun tangan langsung Dirutnya, Mohammad Yudayat. Ini terlihat sangat politis sekali, bukan sebagai teguran yang untuk Penegakan Hukum. Perlu diketahui, tanah-tanah yang bermasalah di pajak ex perkebunan Cikopo Selatan Gunung Mas yang sekarang diklaim oleh PTPN VIII seluas sekitar 352.67 ha ini tersebar di 6 desa. 1. Dua desa yakni Desa Sukakarya dan Kopo, Kecamatan Megamendung seluas lebih kurang 94.26 ha; 2. Desa Sukagalih, Megamendung seluas lebih kurang 40.08 ha; 3. Desa Kuta, Kecamatan Megamendung seluas 65.46 ha; 4. Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung seluas 97.71 ha; 5. Desa Citeko, Kecamatan Cisarua seluas lebih kurang 55.16 ha. Jadi, total semua di 6 di desa di 2 kecamatan itu seluas 352.67 ha. Sedangkan yang menduduki lahan lahan tanah ex PTPN Cikopo Selatan sebagai berikut: 1. Yayasan Wadi Mubarok, Desa Kuta seluas lebih kurang 5 ha; 2. Yayasan Al Mugni lebih kurang 4 ha Desa Kuta; 3. Yayasan Wadi Cidokom 1 ha Desa Kopo; 4. Yayasan Kristen Romo lebih kurang 40 ha di Desa Sukaresmi; 5. Bapak Jepri lebih kurang 35 ha Desa Sukaresmi; 6. Bapak Sugito 60 ha Desa Citeko; 7. Brigjen Polisi Edwarsyah Pernong 17.800 m2 Desa Sukagalih; 8. Jenderal Polisi Firman Gani 3 ha Desa Sukakarya; 9. Jenderal Polisi Condro Kirono lebih kurang 5 ha Desa Sukakarya; 10. Kolonel Isar Sampiray MB 6.000 m2 Desa Sukagalih; 11. Masdya Pur Kusnadi 1 ha Desa Sukagalih; 12. Ibu Lili 10 ha Desa Kuta; 13. Perusahan sayuran Korea 7 ha di Desa Kuta; 14. Perusahan bunga Alessia 5 ha Desa Sukaresmi;15. Markaz Syariah lebih kurang 30 ha di Desa Kuta; 16. Bapak Rosenvile 1 ha Kambing Sukaresmi; 17. Bapak Manurung 3 ha Sukakarya; 18. Anton Anggoman 3 ha Sukakarya; 19. Ibu Ina di Desa Kuta 3 ha; 20. Villa Bambu 2 ha Desa Kuta; 21. SMK di Desa Kopi; 22. Dokter gigi 5000 m2 pasir panjang Desa Sukakarya; 23. I Komang Agus Trijaya peternakan ayam 26.000 m2 di Desa Sukagalih; 24. PT Saung Mirwan /Pak Loki 4 ha pertanian di Desa Sukagalih; 25. Ibu Ningsih 1 ha Desa Sukagalih; 26. Bapak Sanjaya 9 ha di Desa Sukagalih; 27. Bapak Heru peternakan sapi 2,6 ha Desa Sukagalih; 28. Ibu Suryani 5 ha Desa Sukagalih; 29. Ibu Wong 3 ha Desa Sukagalih; 30. Bapak Waluyo 3 ha Desa Sukagalih. Dan banyak lagi yang tidak ditulis satu per satu. Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat hanya menyoal lahan sekitar 30 ha yang dipakai Ponpes Markaz Syariah pimpinan Habib Rizieq Shihab (HRS) saja, bukan termasuk yang lainnya? Padahal, semua lahan itu kedudukannya sama dengan Ponpes Markaz Syariah. Tidak lebih tidak kurang. Yayasan Kristen Romo di Arca Domas, Desa Sukaresmi telah berdiri 10 tahun sebelum Markaz Syariah datang, tapi tidak ada teguran dan gangguan somasi dari Dirut PTPN VIII. Jika memang penegakan hukum, seharusnya semuanya diminta kembali. Tapi nyatanya, “Somasi Pertama dan Terakhir” ini hanya khusus dan bersifat politis kepada Ponpes Markaz Syariah saja. Inilah yang patut dipertanyakan kepada Dirut Yudayat. Padahal HRS itu membeli lahan tersebut dari warga Megamendung. Lahan Markaz Syariah itu dibeli dengan sah, bukan menyerobot dari orang yang masih hidup dan siap bersaksi. HRS membeli dari beberapa orang pemilik sebelumnya. Antara lain yaitu: 1. Jenderal Polisi Dadang Garnida (eks Kapolda Jawa Barat); 2. Jenderal Beni Angkatan Darat; 3. Serka Karman Suherman; 4. I Komang Agus Trijaya; 5. Herwantoni Salim (Jakarta); dan lain-lain. Kemudian, lahan tersebut ditanda-tangani Ketua RT, RW, Kepala Desa, dan disertai dengan Rekomendasi dari Camat, Bupati, dan Gubernur. Malahan waktu itu Mentri BUMN Dahlan Iskan mengarahkan untuk memohon pelepasan seluas 100 ha. Jadi sangatlah ironis, pesantren yang bernapaskan Islam didukung oleh RT sampai Menteri, hari-hari ini tiba-tiba akan “digusur” dan mau menghilangkan keberadaan Markaz Syariah. Padahal, seharusnya Markaz Syariah, yayasan anak bangsa yang akan mencerdaskan umat, seharusnya Pemerintah mendukung kegiatan pendidikan ini dan itu merupakan sebagian dari tanggung jawab Pemerintah. Markaz Syariah itu merupakan anak bangsa yang akan mencerdaskan anak negeri, semestinya Pemerintah memberikan tanah yang dimaksud, dan memberikan dana pembangunannya. Tapi ini yang tidak dilakukan. Upaya PTPN VIII ini justru kontra produktif. Pusaran Korupsi Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat mau “menggusur” Markaz Syariah? Apakah karena ada tekanan dari pihak berwenang lainnya, sehingga dia menuruti apa kemauan “pihak ketiga” tersebut? Boleh jadi, dan bukan tidak mungkin! Coba saja simak jejak digital Mohammad Yudayat! Sebelum menjabat Dirut PTPN VIII, Yudayat tercatat sebagai Direktur Keuangan PTPN III. Ia ikut dalam gelombang perombakan Direksi PTPN III. Seperti dilansir CNN Indonesia, Selasa (29/10/2019 14:34 WIB), perubahan manajemen ini tertuang dalam SK Menteri BUMN No. SK-230/MBU/10/2019, 17 Oktober 2019, tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Perusahaan; Dan, SK-231/MBU/10/2019 pada 17 Oktober 2019 tentang Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota Direksi PT Perkebunan Nusantara III. Sebelumnya, Direktur Utama PTPN III Dolly Pulungan dan Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek Kertha Laksana ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap distribusi gula. KPK menduga Dolly meminta uang 345 ribu dolar Singapura pada Senin (2/9/2019) untuk keperluan pribadi kepada PT Fajar Mulia Transindo selaku distributor yang 'dimenangkan' perseroan dalam lelang distribusi gula. Sementara itu, I Kadek Kertha Laksana telah ditahan KPK. Kadek terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan pada Selasa (3/9/2019). Berikut susunan direksi Perkebunan Nusantara III: Plt Direktur Utama: M. Abdul Ghoni; Wakil Direktur Utama: M. Abdul Ghoni; Direktur SDM & Umum: Seger Budiarjo; Direktur Keuangan: Mohammad Yudayat; Direktur Pemasaran: Dwi Sutoro; Direktur Pelaksana: Ahmad Haslan Saragih; Direktur Operasi dan Pengembangan: Mahmudi. Melansir Alinea.id yang mengutip dari Antara, Senin (17 Feb 2020 11:16 WIB), Mohammad Yudayat yang menjabat Direktur Keuangan PTPN III disebut kembali ketika ada perubahan jajaran direksi PTPN III Holding (Persero). Kali ini diberhentikan dengan hormat. Penunjukan jajaran direksi baru tersebut berdasarkan SK Nomor 48/MBU/02/2020 tentang pemberhentian, perubahan nomenklatur, dan pengangkatan jajaran direksi. Dalam SK tersebut, Mohammad Abdul Gani diangkat sebagai Direktur Utama, Denaldy Mulino Mauna sebagai Wakil Direktur Utama, Seger Budiarjo sebagai Direktur Umum. Selanjutnya, M. Iswahyudi sebagai Direktur Keuangan, dan Wing Antariksa sebagai Direktur SDM. Selain itu, Menteri BUMN Erick Thohir memberhentikan dengan hormat Mohammad Yudayat sebagai Direktur Keuangan. Sebelumya, Mohammad Abdul Ghani menjabat Plt. Dirut PTPN III Holding dan Denaldy Mulino Mauna sebagai Dirut Perum Perhutani. M. Iswahyudi sebelumnya sebagai bankir di Bank Mandiri dan Wing Antariksa pernah menjabat Direktur SDM PT ASDP (Persero). Sekretaris Perusahaan PTPN III Holding Irwan Perangin-Angin sempat mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada Mohamad Yudayat yang berkesempatan mengabdi di PTPN III Holding dan telah banyak memberi manfaat bagi perseroan. Meski sempat menjabat sebagai Direktur Keuangan PTPN III Holding, Mohammad Yudayat masih belum bisa membantu PTPN III yang terancam gagal membayar utang Rp 25,1 triliun. Dengan rincian, sebesar Rp16,1 triliun di level unsustain alias sulit dibayar perusahan. Seperti dilansir Gatra.com, Rabu (20 Nov 2019 20:10), sisanya Rp 9 triliun, di level moderat atau berpotensi gagal bayar pinjaman pokok. Sementara, per 31 Desember 2018, utang PTPN Holding kepada pihak perbankan telah mencapai Rp37,8 triliun. Hal ini terungkap dalam salinan surat PTPN III, sebagai induk PTPN, kepada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Kejaksaan Agung, pada 9 Juli 2019. Dalam surat yang ditandatangani Direktur SDM Umum Seger Budiarjo tersebut, PTPN III meminta pendapat hukum mengenai aksi korporasi yang akan dilakukan. Untuk menyelesaikan utang PTPN Holding, PTPN III berencana menjual aset BUMN (asset settllement) dengan mekanisme novasi kredit dan jual putus. Novasi kredit yang dimaksud PTPN III, yaitu mengalihkan sebagian utang PTPN dari perbankan kepada pihak lain. Sedangkan mekanisme jual putus, yaitu penjualan aset milik PTPN Holding untuk menyelesaikan kewajiban kepada pihak lain. Maklum, jika salah-salah ambil langkah, pemulihan utang dengan dua mekanisme di atas bisa diperkarakan. Maka itu, Seger Budiarjo dalam suratnya tersebut meminta penjelasan kepada Kejagung, mengenai aksi korporasi penjualan aset BUMN tadi. “Bagaimana prosedur aksi korporasi di atas sesuai ketentuan perundangan yang berlaku?” begitu tertulis di surat PTPN III ke Kejagung. Direktur Keuangan PTPN III Mohammad Yudayat optimis bahwa PTPN III Holding mampu membayar semua utang-utang korporasi. “Sejauh ini kita masih bisa serve kewajiban utang PTPN III Holding,” ujarnya kepada Gatra.com. Ia mengatakan, penjualan aset BUMN bukan satu-satunya opsi yang akan dijalankan PTPN Holding, untuk membayar utang. “Kita punya banyak opsi untuk melunasi kewajiban,” kata Mohammad Yudayat. Anggota BPK Achsanul Qosasi mengungkapkan, pihaknya telah mengaudit keuangan PTPN Holding. Hasilnya, PTPN Holding memiliki utang sebesar Rp 39 triliun per 31 Maret 2019. “Itu menjadi gabungan seluruh PTPN. Menjadi beban Holding, tidak bisa dipisah-pisahkan,” katanya kepada Gatra.com, (20/11/2019). Achsanul Qosasi mengatakan, untuk menyelesaikan kewajiban korporasi, PTPN harus segera melakukan restrukturisasi terhadap utangnya. “Agar cash flow tidak terganggu,” katanya. Mungkinkah Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat khawatir jika namanya dikaitkan dalam “pusaran korupsi” di PTPN III? Penulis wartawan senior FNN.co.id
Ponpes Megamendung Mau “Digusur”, Ada Bau Politis di Belakangnya?
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Kamis (24/12). Masih belum puas juga atas upaya kriminalisasi pada Habib Rizieq Shihab dan pembunuhan terhadap 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal HRS dalam peristiwa Rest Area KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek, kini muncul “somasi” PTPN 8. Somasi “Pertama dan Terakhir” dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 8 ditujukan kepada Pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultur Markaz Syariah Megamendung Bogor yang dipimpin HRS. Diminta dikosongkan dalam waktu seminggu! 18 Desember 2020 Somasi Pertama dan Terakhir Kepada Yth Pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah Megamendung Bogor Dengan hormat, Sehubungan dengan adanya permasalahan penguasaan fisik tanah HGU PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Gunung Mas seluas +/- 30,91 Ha yang terletak di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah sejak tahun 2013 tanpa ijin dan persetujuan dari PTPN VIII kami tegaskan bahwa lahan yang Saudara kuasai tersebut merupakan aset PTPN VIII berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008. Tindakan Saudara tersebut merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan atau pemindahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu No 51 Tahun 1960 dan pasal 480 KUHP. Berdasarkan hal tersebut, dengan ini kami memberikan kesempatan terakhir serta memperingatkan Saudara untuk segera menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN VIII selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini Saudara tidak menindaklanjuti maka kami akan melaporkan ke Kepolisian cq. Polda Jawa Barat. PTPN VIII Surat PTPN pic.twitter.com/jkoB351RmI — Fahmi Alkatiri (@FKadrun) December 22, 2020 Surat Somasi “Pertama dan Terakhir” itu ditandatangani Dirut PTPN 8 Mohammad Yudayat, 18 Desember 2020. Selama ini Yudayat dikenal sebagai orang dekat Rini Suwandi, mantan Menteri BUMN, dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Yang perlu dicatat, hampir seluruh wilayah Puncak, Gunung Geulis, hingga Sentul awalnya merupakan Tanah Garapan. Pemilik rumah di kawasan itu baru sekitar 5% yang pegang sertifikat. Sisanya di mana? Masih proses pembuatan sertifikat oleh developer. Cek sekarang, ada kawasan perumahan mewah di sana yang sedang berproses, pegang surat apa developernya? Kabarnya, sebelum PTPN 8 meminta HRS meninggalkan lahan itu, ada warga yang diminta Bareskrim Polri untuk menyoal pondok HRS. Tapi tidak mau. Pada 2017, lahan Megamendung itu sudah pernah dilaporkan ke Polda Jabar. HRS dituduh telah merampas lahan tersebut dari warga sekitar. Namun, setelah ditelusuri, ternyata tidak ada satu pun warga yang pernah melaporkan hal tersebut. Laporan itu ternyata fiktif hasil rekayasa kasus. HRS secara sah mengambil alih dari warga (ganti rugi kepada warga) dengan uang disaksikan kades setempat. Sehingga upaya untuk mempermasalahkan lahan tersebut pada 2017 gagal total. Apakah surat somasi kali ini benar-benar dari PTPN 8 atau aspal (asli tapi palsu), seperti saat HRS dilaporkan “warga” ke Polda Jabar pada 2017? Di sinilah perlunya dicek kebenarannya. Memalsu surat semacam “Somasi Pertama dan Terakhir” itu sangatlah mudah. Jika benar itu adalah surat dari PTPN 8 yang ditanda tangani oleh Dirutnya, pasti mengerti bagaimana prosedur hukum untuk menarik kembali lahan milik negara tersebut. Somasi itu setidaknya dikirim sebanyak 3 kali, bukan “Somasi Pertama dan Terakhir”. Lahan yang digunakan oleh HRS di Megamendung itu memang milik negara (PTPN) yang sudah tidak produktif atau karena terlalu dekat dengan pemukiman warga, sehingga HGU-nya diubah menjadi CSR bagi yang mau mengelolanya. Dan, biasanya dikelola oleh yayasan, ponpes juga bisa (ada banyak ponpes lahannya milik negara/PTPN yang sudah tidak produktif lagi). Jika benar lahan itu memang mau ditarik kembali oleh PTPN, tidak semudah itu main ultimatum mengosongkan. Lahan Markaz Syariah Group (Habib Rizieq Shihab) seluas sekitar 30,91 ha ini dibeli HRS dari warga sekitar yang menggarap lahan milik PTPN 8 itu pada 2013 di depan Kepala Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Sekarang tinggal cek ulang saja ke Kades Kuta yang saat itu menjabat. Dari penelusuran, nama Kades Kuta yang menjabat saat itu adalah Kusnadi (2008-2014), dan kini untuk periode kedua juga dijabat Kusnadi (2020-2026). Semoga saja berita acara “peralihan” hak garap atas lahan tersebut masih tercatat dan aman di Desa Kuta, dan tidak “dihilangkan” karena tekanan dari pihak ketiga. Mengapa lahan tersebut yang “dikejar” oleh PTPN 8, tidak dengan lahan yang lain? Ke mana saja dulu, padahal sudah puluhan tahun lahan itu digarap warga. HRS juga membelinya dari warga, bukan menyerobotnya. Memang, kalau menurut hukum lahan HGU ya tetap HGU. Artinya, kalaupun ada CSR status tanah tetap HGU. Kecuali, kalau sudah ada redistribusi/hibah lahan yang mengubah status tanah ponpes menjadi HGB. Sebab, status yayasan setahu saya sudah tidak boleh lagi mengajukan SHM. Jika pun boleh, luasannya sekitar 2-5 ha saja. Kalaupun bisa dipermasalahkan ya somasinya. Karena, somasi itu harus dilakukan sebanyak 3 kali sebelum dilakukan eksekusi. Jadi, tidak ada yang namanya “somasi pertama dan terakhir”. Itu pun kalau sudah dilakukan jatuhnya hanya penundaan waktu untuk boyongan. Jadi, secara hukum PTPN 8 itu sudah benar. Kecuali, kalau pihak ponpes bisa menunjukkan adanya surat hibah/wakaf dari Direktur PTPN 8 sebelumnya. Surat-surat ini perlu dihadirkan sebagai “saksi” yuridis. Termasuk jika HRS sudah membeli dari warga. Sudah kesekian kalinya lahan Megamendung yang dikuasai HRS ini ada yang mencoba ambil paksa dengan berbagai dalih. Tapi, upaya itu selalu gagal. Dan, HRS sendiri sudah merasakan kalau lahan tersebut juga akan tetap dipersoalkan. Dalam video yang direkam November 2020 lalu, HRS sempat menyinggung masalah status tanahnya itu. Melihat isi ceramahnya, jelas HRSsudah tahu bahwa dalam waktu dekat status tanah yang sudah dibeli hak garapnya tersebut akan dipersoalkan. Para pemilik tanah di sekitar Markaz Megamendung itu pun sudah diintimidasi dan dihasut untuk mempersoalkan status tanah dan memfitnah HRS. Pihak PTPN 8 juga telah didatangi polisi agar segera mengambil alih tanah di Megamendung ini. Maka HRS sudah membuat pesan kepada para santrinya agar melawan jika terjadi pengusiran tanpa ada ganti rugi. Lahan Taipan? Jika menyimak Publikasi Perkumpulan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia pada 2015, lahan HGU Megamendung yang dikuasai HRS itu tak seberapa luas jika dibandungkan dengan Daftar Penggarap Hak Guna Usaha (HGU) terbesar di Indonesia. Dalam Breaking News, Rabu (23/12/2020) TUK Indonesia menyebutkan 25 grup usaha besar yang didominasi keturunan China telah menguasai 51% atau 5,1 juta ha lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas tersebut hampir setara dengan luas setengah Pulau Jawa. Dari luasan tersebut baru 3,1 juta hektar yang sudah ditanami, sisanya belum digarap. Dari ke-25 grup bisnis itu, 21 perusahaan telah terdaftar di bursa efek. Ada sebelas perusahaan yang terdaftar di bursa efek di Jakarta, enam di bursa efek Singapura, tiga di Kuala Lumpur dan satu perusahaan di bursa efek London. Lima perusahaan diantranya, bahkan memiliki penguasaan lahan melebihi 300 ribu ha. Ke-5 grup usaha itu adalah Sinar Mas, Salim Group, Jardine Matheson, Wilmar Group serta Surya Dumai Group. Berikut daftar 10 besar taipan sawit berdasarkan data TuK, beserta luas landbank dan nilai kekayaan bersih taipan pada 2018: 1. Sinar Mas Group (Eka Tjipta Wijaya) menguasai 788 ribu ha senilai Rp 120,4 triliun; 2. Salim Group (Anthoni Salim) 413 ribu ha Rp 74,2 triliun; 3. Jardine Matheson Group (Henry Keswick) 363 ribu ha Rp. 84,6 triliun; 4. Wilmar Group (Robert Kuok, Khoo Hok Kuok, dan Martua Sitorus) 342 ribu ha Rp 240,8 triliun; 5. Surya Dumai Group (Martias & Cilandra Fangiono) 304 ribu ha Rp 16,1 triliun; 6. Darmex Agro Group (Surya Darmadi) 257 ribu ha Rp 18,2 triliun; 7. Royal Golden Eagle Group (Sukanto Tanoto) 225 ribu ha Rp 37,8 triliun; 8. Harita Group (Lim Haryanto Wijaya Sarwono) 206 ribu ha Rp 21 triliun; 9. Triputra Group (Benny Subianto) 200 ribu ha Rp 9 triliun; 10. Sampoerna Agro Group (Putra Sampoerna) seluas 192 ribu ha senilai Rp 60,2 triliun. Jika diurutkan, entah ada di urutan ke berapa lahan Markaz Syariah Group (HRS) seluas 30,91 ha tersebut. Tapi, mengapa yang dikejar cuma lahan Megamendung, bukan yang dikuasai 10 taipain di atas? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id