POLITIK

Hoorreeee... Pilkada 2020 Ditunda, Kecuali Solo dan Medan

by Hersubeno Arief Jakarta FNN- Selasa (22/09). Jangan terlalu serius dulu. Pengumuman itu hanya joke. Bahan candaan yang dikirim seorang purnawirawan perwira tinggi TNI. Meme-nya juga sudah beredar di medsos. Sang purnawirawan memberi saran, jika ingin Pilkada serentak ditunda, maka usulkanlah kepada Presiden dengan pengecualian. Pilkada Solo dan Medan boleh jalan terus. Dijamin usulan itu akan langsung diterima Jokowi. Ya ada win-win solution. Rakyat happy, Jokowi lebih happy lagi. Ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, juga KAMI tak perlu marah-marah, kesal dan kehilangan muka. Sebab usulan para ormas besar agar Pilkada serentak ditunda didengar Presiden. Marwah dan kehormatan sebagai organisasi besar di depan umat tetap terjaga. Presiden juga bisa dengan riang gembira menyambutnya. Kepentingan politiknya menjaga hubungan baik dengan rakyat dan umat tetap terjaga. Satu masalah besar terselesaikan. Tak perlu menambah masalah baru, di tengah kebingungan pemerintah mengambil keputusan, apakah mendahulukan kesehatan atau ekonomi. Guyon, dan bercanda. Jangan terlalu serius adalah resep paling mujarab untuk meningkatkan kekebalan tubuh di tengah pandemi. So sekali lagi, jangan terlalu serius setiap kali mendengar pengumuman pemerintah, wabil khusus yang dari Presiden Jokowi. Ketika Presiden Jokowi menyatakan perang melawan Covid. Ketika Presiden marah-marah kepada para menteri. Mau membubarkan lembaga, dan reshufle kabinet. Ketika Presiden Jokowi menyatakan akan mengutamakan kesehatan di atas ekonomi, juga tidak terlalu serius-serius amat kok. Mengapa kita harus serius? Memangnya siapa yang jadi Presiden? Siapa yang bakal paling disalahkan? Dimintai pertanggung-jawaban bila terjadi apa-apa pada bangsa ini? Dalam budaya Jawa yang penuh pasemon (sindiran halus), guyon-guyon parikeno, alias bercanda sambil menyindir telak, jadi formula yang pas untuk kondisi Indonesia saat ini. Saat pemerintah alergi dengan kritik. Saat kritik bakal dibully oleh buzzer. Saat kritik bisa berujung dilaporkan ke polisi dan berakhir di bui. Jangan terlalu serius. Perbanyak bercandalah. Tak perlu khawatir bakal terkena undang-undang ITE yang sering dipakai untuk menekan lawan politik yang oposisi kepada penguasa. Kalau menggunakan pasemon atau guyon-guyon perikeno, pesan tetap tersampaikan. Apakah saran lewat sindiran itu diterima dan dilaksanakan, itu soal lain. Bukan urusan kita lagi. Sarat kepentingan Sulit untuk menafikan, keputusan pemerintah tetap menggelar Pilkada di tengah pandemi, sarat dengan kepentingan. Mulai dari kepentingan politik pribadi, keluarga, kelompok, maupun golongan. Kepentingan ekonomi para elit politik tingkat nasional, lokal, dan kepentingan para pemilik modal picik, licik, tamak dan culas. Karena anak dan menantu ikut berlaga di Pilkada Walikota Solo dan Medan, sangat sulit untuk membantah, Jokowi dan keluarga, punya kepentingan langsung agar Pilkada tetap dilaksanakan. Ini momentum paling pas menjaga dan memastikan anak dan menantunya yang miskin pengalaman politik, miskin kapasitas dan kapabilitas untuk terpilih. Nasib Gibran di Solo dan Bobby Nasution di Medan tidak semata bergantung pada garis tangan. Tapi yang paling penting, campur tangan. Mumpung Jokowi masih menjadi Presiden. Mumpung masih punya pengaruh besar mengendalikan parpol dan organ-organ kekuasaan. Semuanya itu erat kaitannya dengan bisnis pengaruh. Bahasa kerennya, business of influence. Jika harus ditunda, momentum akan lewat. Dengan pandemi yang kian tak terkendali. Covid mulai menggigit elit. Mulai dari menteri, Ketua KPU, wakil gubernur, walikota, bupati, dan rektor perguruan tinggi, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pilkada memang beda dengan Pilkades. Mendagri Tito Karnavian dengan mudahnya mengumumkan semua Pilkades ditunda. Pilkada tidak. Di Pilkades tidak ada cukong politik picik, licik, tamak dan culas yang punya kepentingan. Paling banter pensiunan lurah. Kalau di Jawa disebut sebagai lurah dongkol, yang punya kepentingan. Di Pilkada, wabil khusus Pilkada serentak kali ini, banyak sekali kepentingan yang berkelindan. Sekarang atau tidak sama sekali ya Pak Jokowi? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Mereka Ingin Sekali Anies Baswedan Jatuh Lewat Kekacauan Covid-19

by Asyari Usman Jakarta FNN - Rabu (17/09). Mengapa sejumlah menteri dan buzzer bayaran menyerang habis tindakan Gubernur DKI Anies Baswedan memberlakukan kembali PSBB? Hanya ada satu jawaban yang logis: bahwa reputasi Anies lebih mudah dijatuhkan lewat kekacauan akibat wabah Covid-19. Para penguasa dan buzzer bayaran menunggu-nunggu blunder Anies dalam melindungi rakyat Jakarta. Mereka punya ‘harapan dengki’ agar penularan Covid di DKI tak terkendali dan banyak korban nyawa. Dengan begini, mereka semakin mudah menyulut sentimen atau opini publik. Mereka akan mengatakan bahwa Anies tidak punya kompetensi menjadi gubernur. Itulah yang mereka inginkan. Tetapi, Anies paham betul angan-angan mereka itu. Dia tidak buang-buang waktu. PSBB baru adalah jawaban yang tepat untuk menekan penyebaran virus. Tidak ada cara lain. Di mana pun di dunia ini, pembatasan aktivitas publik dan edukasi perlindungan diri adalah tindakan yang selalu diambil. Nah, para penguasa dan buzzer sudah membaca itu. Anies, insyaAllah, akan berhasil menekan penularan Covid lewat PSBB. Mereka tidak ingin Anies sukses. Kemauan mereka, Jakarta akan mengalamai kekacauan besar. Korban nyawa belasan ribu. Fasilitas kesehatan kucar-kacir di mana-mana. Korban nyawa petugas medis bertambah banyak, dlsb. Itu yang mereka dambakan. Situasi Covid menjadi tak terkendali. Sehingga, semua telunjuk akan mengarah ke Anies. Dia menjadi terpojok. Demoralized. Hancur berantakan. Sampai akhirnya, menurut nafsu para penguasa dan buzzer yang membenci Anies, Pak Gubernur yang smart ini akan mengambil ‘jalan pintas’. Kemudian Anies, secara ‘gentleman’, akan menyatakan dirinya tak sanggup melanjutkan mandat sebagai gubernur. Tercapailah angan-angan para penguasa dan buzzer bayaran. Sayangnya, angan-angan kosong itu baru bisa terjadi kalau Anies ragu-ragu memberlakukan PSBB kembali. Kalau Anies mengikuti ‘keinginan politis’ Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Dan kalau Anies mengikuti ‘keinginan jahat’ para buzzer bayaran itu. Alhamdulillah, Anies paham betul. Dan dia tegas. Airlangga tidak bisa mengatur Anies. Para buzzer juga hanya bisa gigit jari dalam ketololan mereka. Menko Airlangga berpendapat dampak ekonomi-bisnis akibat PSBB Jakarta akan besar. Airlangga lupa bahwa perekonomian Indonesia memang sudah bermasalah sebelum Corona masuk ke sini. Dia menyebut harga saham IHSG merosot 5%. Tapi, kenyataannya indeks saham kembali pulih, empat hari berikutnya. Bouncing back ke posisi di atas 5,000. Tidak ada masalah dengan PSBB. IHSG turun ibarat daun putri malu yang menguncup ketika tersenggol sedikit. Setelah itu, kembali normal. Dan, memang begitulah karakteristik investasi portofolio (portfolio investment). Para pedagang saham di mana pun juga selalu khawatir ketika ada kebijakan yang menyangkut ‘movement’ orang banyak. Namun, khusus terhadap manajemen Covid-19 di Jakarta, para pemain saham (domestik dan internasional) ternyata menaruh kepercayaan pada ‘leadership’ yang diperlihatkan oleh Anies. Bahwa mereka ‘tersengat’ sedikit akibat pemberlakuan PSBB tentu sangat wajar. Sejumlah menteri dan para buzzer bayaran seratus persen bermisi politik ketika mengomentari PSBB yang diaktifkan kembali oleh Gubernur. Mereka sadar gangguan ekonomi tidak akan bisa menjatuhkan reputasi Anies. Sebab, resesi ekonomi adalah dampak global Covid-19 yang melanda semua negara di dunia. Rakyat paham kesulitan ekonomi bukan hanya melanda Indonesia. Tapi, seluruh dunia. Sekali lagi, para penguasa dan buzzer bayaran berusaha agar PSBB tidak diterapkan. Supaya amuk Corona semakin menjadi-jadi. Dan Anies bertekuk lutut. Mereka berdoa agar Mr Goodbener akan sama dungunya dengan mereka. Mereka pikir Anies terpengaruh oleh momok ekonomi yang mereka lantunkan dengan keras itu. Mereka sangka Pak Gub akan mundur dari PSBB dan mereka senang korban nyawa banyak. Mereka ingin sekali Anies Baswedan jatuh lewat kekacauan Covid-19.[] Penulis wartawan senior fnn.co.id

Demokrasi: Dari Cukong, Oleh Cukong, Untuk Cukong!

Kredo demokrasi, "Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, tampaknya perlu segera direvisi lagi". by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (12/09). Khusus untuk Indonesia, harus segera diubah. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Yang lebih tepat: Dari Cukong, Oleh Cukong, Untuk Cukong! Kredo itu lebih sesuai, pas dengan realitas, fakta, dan data praktik rezim pemilu langsung yang kini tengah diterapkan di Indonesia. Menko Polhukam Mahfud MD dalam Webinar dengan pusat studi Pusako FH Universitas Andalas, Padang (11/9) mengungkapkan 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong. Akibatnya sudah bisa diduga. Ketika terpilih muncullah korupsi kebijakan. Sebuah modus korupsi yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan korupsi uang. "Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi uang. Kalau uang bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang yang sesudah saya periksa itu tumpang-tindih," kata Mahfud. Dari sisi UU, pemberian lisensi itu legal. Karena seorang kepala daerah boleh memberi konsensi tambang kepada pengusaha dengan memperhitungkan prosentase luas wilayah. Pada praktiknya, kata Mahfud, lisensi itu diberikan lebih luas dari yang seharusnya. Bahkan tak sedikit kepala daerah juga berinisiatif membuka izin baru bagi para cukong yang pernah membantu membiayai masa kampanye ketika Pilkada sebelumnya. Entah mendapat data dari mana, sehingga Mahfud MD bisa menyebut angka pasti 92 persen? Tetapi apa yang disampaikan Mahfud dijamin sahih. Mungkin kalau ada yang meleset, hanya pada jumlah presentasenya. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mengungkapkan data yang tak jauh berbeda. Dari sebuah riset yang dilakukan oleh KPK, 82 calon kepala daerah dibiayai oleh cukong dan sponsor. Dari situlah korupsi berpangkal. Para cukong ini tidak memberikan dana secara gratis. Seperti perjanjian dengan setan. Perjanjian orang yang mencari pesugihan, kekayaan di tempat-tempat keramat! Untuk daerah yang memiliki potensi tambang, atau hutan mereka meminta imbal balik konsesi. Mulailah mereka menjarah habis tambang dan hutan. Untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam (SDA) mereka mengincar berbagai kebijakan berupa kemudahan dan proteksi bisnis. Sementara daerah yang tidak punya SDA, secara bisnis juga tidak potensial, para cukong ini mengincar proyek-proyek APBD. Ini level korupsi yang paling kere. Tapi tetap saja setimpal hasilnya. Para cukong inilah yang akan membiayai semua keperluan kandidat. Mulai dari membayar tiket ke parpol, membayar lembaga survei, media dan iklan media, buzzer, pembuatan atribut, pengerahan massa, membayar aparat negara, sampai money politics. Dalam banyak kasus, para cukong ini membentuk konsorsium. Mereka menjadi investor politik. Sebuah bisnis dengan keuntungan berkali lipat! Biasanya tahapanya dimulai dengan menyewa lembaga survei untuk mendeteksi siapa kandidat yang paling potensial. Dengan berbekal peta kekuatan kandidat, para cukong mulai mendekati kandidat. Terciptalah kerjasama saling menguntungkan, berbuntut memainkan kebijakan. Menguras, menghancurkan SDA dan menggarong anggaran negara. Berapa besar dana yang dikeluarkan untuk seorang kandidat kepala daerah? Berdasarkan data dari Kemendagri untuk bupati paling sedikit Rp 25 miliar. Itu untuk daerah miskin. Semakin besar wilayah dan jumlah penduduknya, semakin besar biayanya. Angkanya mencapai ratusan miliar. “Untuk pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” kata Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar (03/12/2019). Pilpres jauh lebih besar Kalau untuk maju sebagai kanidat kepala daerah saja butuh dana sampai triliunan, berapa besar dana untuk capres? Angkanya jelas berkali lipat. Dipastikan tidak ada seorang caprespun yang bisa membiayai dirinya sendiri. Seorang peneliti dari sebuah lembaga survei pernah menyebutkan, setidaknya dibutuhkan Rp 7 triliun. Jumlah itu sangat kecil. Sangat konservatif. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Sebagai gambaran saja, pada pilpres 2019 jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 10.329. Kalau rata-rata ada dua saksi, dengan biaya saksi plus makan minum Rp 500 ribu, maka setidaknya membutuhkan dana Rp 405 miliar. Belum lagi biaya untuk parpol, membeli media dan iklan, pengerahan masa, transport keliling Indonesia, pengerahan massa, money politics, dan biaya-biaya lain yang lebih kompleks, ruwet dan mahal dibanding pilkada. Jangan pernah percaya dengan biaya kampanye yang dilaporkan tim sukses ke KPU. Kendati katanya sudah melalui audit akuntan publik, tapi semua itu hanya boong-boongan. Bayar mahar ke parpol, money politics, pengerahan aparat keamanan dll, pasti tidak pernah dilaporkan. Apakah kandidat membiayai sendiri? Tentu saja TIDAK! Pada Pilpres 2019 Tim Kampanye Prabowo-Sandi melaporkan jumlah penerimaan dana kampanye sebesar Rp 191,5 miliar. Dana Kampanye Prabowo-Sandi sebagian besar berasal dari Cawapres Sandiaga Uno. Total sumbangan Sandi Rp116 miliar atau 61 persen dari angka keseluruhan dana kampanye. Sedangkan Prabowo memberi sumbangan Rp71,4 miliar atau 34 persen dari total keseluruhan. Sementara Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf pada 5 Maret 2019 melaporkan penerimaan dana kampanye sebesar Rp 130, 45 miliar. Dana itu berasal dari sumbangan perorangan, badan usaha, sumbangan dari parpol Dll. Tidak disebutkan adanya sumbangan dari Jokowi dan Ma’ruf. Itu hanya laporan di atas kertas. Biaya kandidat jauh lebih besar. Puluhan triliun. Di situlah para cukong berperan. Mereka membentuk konsorsium dari kalangan taipan yang telah menjelma menjadi oligarki. Mereka kemudian mengendalikan kebijakan politik, ekonomi dan hukum negara. Jejaring dan kuku tajam mereka telah menancap kuat tidak hanya di kalangan eksekutif, yudikatif, para penegak hukum, dan eksekutif. Ketua MPR Bambang Soesatyo secara terbuka pernah mengakui. Dengan bermodal Rp 1 triliun, cukong bisa menguasai Parpol. Artinya mereka bisa menguasai parlemen dan pemerintahan. Kalau begitu dengan menggunakan pisau analisa Mahfud MD, berapa persen kandidat capres yang dibiayai cukong? Jawabannya 100 persen! Tapi kalau mau konservatif, dengan asumsi hanya ada dua pasang capres seperti pada Pilpres 2019, maka setidaknya 50 persen! Cuma harus dicatat. Di kalangan pebisnis, apalagi investor politik ada adagium “Jangan pernah menaruh semua telur dalam satu keranjang.” Dengan kandidat hanya dua calon, buat mereka lebih mudah membagi telurnya dalam dua keranjang. Hanya jumlah dan besarnya saja yang berbeda-beda. Tinggal baku atur. Siapapun yang menang, para cukong akan tetap berkuasa. Demokrasi Indonesia: DARI CUKONG, OLEH CUKONG, UNTUK CUKONG! MERDEKAAAAA!! End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

KAMI Justru Ditakuti Karena Gerakan Moral Itu

by Asyari Usman Medan FNN - Senin (07/09). Sangat mengherankan. Pihak hotel di Bandung membatalkan secara sepihak penggunaan ruangan yang disewa untuk acara deklarasi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) Jawa Barat. Seharusnya berlangsung hari Senin (7/9/2020). Acara kemudian dipindahkan ke rumah salah seorang aktivis KAMI setempat. Hotel setempat membatalkan penggunaan fasilitas ruangan karena rekomendasi Satgas Covid-19 dicabut kembali. Semula Satgas mengizinkannya. Tapi, kemarin (6/9/2020) KAMI menerima surat Satgas yang berisi pencabutan rekomendasi “boleh buat acara”. Pencabutan rekomendasi ‘last minute’ ini sangat mengherankan. Sebab, persetujuan Satgas itu bukan dikeluarkan secara sembarangan. Sudah dicermati bersama panitia pelaksana tentang aspek protocol Covid-19. Singkatnya, panitia bisa meyakinkan Satgas tentang penataan acara agar tidak menjadi masalah. Tapi, mengapa Satgas berubah pikiran? Dan berubah pikiran sangat cepat? Surat rekomendasi boleh dan surat pencabutannya dikeluarkan sama-sama bertanggal 6 September 2020. Banyak yang menduga pencabutan rekomendasi Satgas tidak murni karena Satgas merasa informasi kegiatan tidak sesuai dengan penjelasan panitia. Ini yang menjadi alasan Satgas. Kalau benar, bukankah Satgas masih bisa menekankan kembali kepada panitia bahwa acara deklarasi harus dilaksanakan seketat situasi Covid. Pasti bisa. Satgas kelihatannya harus berhadapan dengan sesuatu yang tidak rasional. Yaitu, sesuatu yang berada “di luar kendali mereka”. Ada indikasi kuat bahwa KAMI dianggap sebagai musuh oleh para penguasa. Indikasinya? Di hari deklarasi KAMI pusat di Jakarta pada 18 Agustus 2020 ada aksi tandingan. Orang KAMI menduga aksi tandingan itu diatur oleh pihak tertentu. Kemudian, beruntun muncul reaksi-reaksi negatif. Terutama dari orang-orang besar yang sekubu dengan penguasa. Intinya, penguasa tidak berkenan. Orang-orang KAMI mencoba mencari sebab mengapa gerakan mereka dianggap sebagai musuh. KAMI menegaskan mereka hanya melakukan gerakan moral. Tidak bermaksud mengganggu penguasa. Tepatnya, tidak punya tujuan untuk menggoyang posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, mengapa ada yang tak berkenan dengan KAMI? Semestinya tidak ada yang harus merasa terusik. Apalagi merasa terancam. Nah, justru gerakan moral itulah yang membuat banyak orang di lingkaran kekuasaan merasa gelisah. Merasa takut. Kalau KAMI melakukan gerakan politik, para penguasa malah tenang dan senang. Mereka tidak takut gerakan politik. Sebab, tidak ada satu pun gerakan politik yang bisa menandingi kekuatan penguasa. Penguasa memiliki semuanya. Hampir semua parpol ada dalam genggaman mereka. Mereka punya sekutu oligarki finansial yang sangat ‘powerful’. Mereka juga memiliki perangkat keras keamanan dan pengamanan. Gerakan apa pun dan oleh siapa pun yang mengarah ke kegiatan politik akan ditumpas dengan mudah. Sebentar saja bisa dilenyapkan. Tidak demikian halnya denga gerakan moral. KAMI bisa dengan cepat menghimpun simpati dan dukungan di seluruh pelosok Nusantara. Dari A sampai Z. Dari lintas agama sampai lintas profesi hingga lintas etnis. Sehingga, KAMI yang tak punya apa-apa dilihat oleh penguasa memiliki kekuatan besar. Memang harus diakui gerakan moral KAMI adalah ruang terbuka. Dan sangat luas. Yang sekarang menjadi tempat persinggahan orang-orang yang melihat bahaya ketimpangan sosial-ekonomi dan penegakan keadilan. Ruang terbuka itu berpotensi mengumpulkan jutaan pikiran kritis. Jutaan pikiran kritis itu pasti akan melahirkan tuntutan perubahan dan perbaikan. Tuntutan perubahan dan perbaikan itulah yang dirasakan oleh penguasa sebagai ancaman. Sebab, pemerintah pada saat ini sedang berada di titik terlemah. Mereka sangat rentan. Perekonomian rapuh. Pengangguran menggelinding terus. Beban utang sangat berat. Plus, wabah Covid-19 yang sangat menguras semua sumber negara. Para penguasa menjadi sangat sensitif. Bahkan paranoid. Sedikiti saja ada suara berdetak di luar, semua cemas. Alarm peringatan mereka langsung berbunyi. Ini yang membuat gerakan moral KAMI pun dianggap sebagai ancaman. Padahal, KAMI hanya ingin membantu. Menawarkan formula kuratif yang diramu oleh para pakar yang berhimpun secara sukarela di gerakan ini. Semoga saja pembatalan acara deklarasi KAMI di Bandung tidak terjadi karena tekanan dari penguasa.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Buruk Muka Rezim, Pendapat Kritis Diberangus

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Kamis (03/09). Saya menduga ada intervensi dari rezim penguasa atas pencabutan tulisan Ubedilah Badrun, dari kolom opini Tempo.co. pada Kamis (3/9). Semula tulisan Ubedilah Badrun, dosen dan Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berjudul "Kejahatan Besar Sedang Terjadi di Indonesia" dimuat di Tempo.co, tapi kemudian dicabut dan dipindahkan ke Indonesiana, suatu blog jurnalisme publik yang telah diluncurkan Tempo tahun 2014. Blog jurnalisme warga ini sama dengan Kompasiana yang dipunyai Kompas dan Pasang Mata milik Detik. Kontennya sangat beragam berkaitan dengan semua aspek kehidupan masyarakat. Di blog Indonesiana tersebut, tulisan Ubedilah sudah mengalami perubahan signifikan. Judulnya berubah menjadi: "Persoalan Besar Sedang Terjadi di Indonesia". Diksi kalimat "Kejahatan" dan "Persoalan", sangat jauh berbeda. Rasa bahasanya pun tidak sama. Dalam tulisan aslinya, Ubedilah Badrun membeberkan empat kejahatan besar yang sekarang terjadi di Indonesia. Pertama, kejahatan sosial ekonomi. Kedua, kejahatan sumber daya alam. Ketiga, kejahatan politik dan keempat kejahatan hukum tata negara. Tulisan lengkapnya bisa dilihat di FNN.co.id Setiap media mainstream seperti halnya Tempo memiliki kolom opini yang dikhususkan bagi para penulis dari luar yang dianggap kredibel dan kompeten di bidangnya masing-masing. Berdasarkan pengalaman saya bekerja di media mainstream, artikel yang dimuat di kolom opini, biasanya ditulis atas permintaan redaksi atau sengaja dikirim oleh penulisnya. Konten tulisan di kolom opini biasanya membahas persoalan aktual atau tema tulisan yang sesuai dengan laporan utama yang diangkat media tersebut. Di samping itu, sebuah artikel yang dimuat di kolom opini, biasanya sudah melalui proses seleksi dan editing dari para penjaga gawang kolom opini. Artinya, kalau tulisan Ubedilah sudah dimuat di kolom opini Tempo.co berarti tulisan tersebut sudah lolos dari proses seleksi dan editing. Nah kalau kemudian artikel Bung Ubedilah Badrun tiba-tiba dicabut, tentu ada tanda tanya besar. Apakah itu terjadi karena ada intervensi dari unsur pimpinan Redaksi Tempo atau memang ada intervensi dari rezim penguasa ? Sejauh ini masyarakat luas hanya bisa berspekulasi. Namun saya menduga pencabutan artikel tersebut lebih dikarenakan adanya intimidasi dari rezim penguasa. Siapa rezim penguasa itu ? Bisa Menkominfo atau bisa juga pimpinan lembaga yang berada dibawah lingkar Istana kepresidenan yang membawahi para buzzer bayaran. Dan sangat boleh jadi adanya intervensi dari "Kaka Pembina" yang membawahi para ahli IT yang memiliki keahlian dalam meretas web (hacker). Dengan kondisi seperti itu, Tempo akhirnya harus lebih berhati-hati. Apalagi sebelumnya Tempo.co. pernah diretas beberapa kali oleh hacker. Proses peretasan maupun pencabutan artikel milik Ubedilah Badrun di kolom opini Tempo, tentu saja tidak berdiri sendiri. Tempo yang akhir-akhir ini kerap melancarkan berbagai kritik tajam kepada pemerintahan Jokowi, suka atau tidak kini harus berhadapan dengan serangan dari pasukan hacker. Oleh karena itu sekarang bisa jadi awak Redaksi Tempo bersikap lebih waspada dalam menghadapi serangan hacker. Mereka ini bisa saja merupakan kepanjangan tangan rezim penguasa atau kelompok kepentingan yang terkait dengan kekuasaan. Dengan demikian, pencabutan artikel keras yang ditulis Ubedilah Badrun, merupakan bagian dari strategi Tempo untuk mengurangi tekanan dari penguasa. Strategi tarik ulur seperti layaknya bermain layang-layang ini biasa dilakukan media mainstream agar bisa mengamankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, di saat-saat tertentu suatu media harus tiarap dan di lain kesempatan baru mengritik lagi. Biasanya, strategi semacam itu juga kerap menimbulkan pro kontra di internal media tersebut. Sebagian awak redaksi biasanya ada yang bersikukuh berpegang pada prinsip dasar kerja jurnalistik yakni berperan melakukan kritik kepada pemerintah. Tapi sebagian lagi ada pula yang berpandangan bahwa penyampaian kritik harus dikemas sedemikian rupa agar tidak terlalu keras alias kritik yang diperhalus. Sikap lunak dan kompromistis tersebut sering mendapat pembenaran, misalnya dengan kalimat: "....Apalagi kita hidup di Indonesia yang lebih mengutamakan adat ketimuran". Jika merujuk pada isi tulisan Ubedilah Badrun, narasinya memang keras tapi apa yang disampaikannya sesuai dengan fakta yang dirasakan masyarakat sekarang ini. Artinya kalau Tempo sempat menayangkan tulisan Ubedilah yang keras tersebut, bisa jadi sebagian awak redaksi Tempo juga ikut merasakan denyut masalah yang kini dialami masyarakat. Kalau falsh back ke belakang, gaya bahasa dan pilihan diksi kalimat yang biasa digunakan Tempo di dalam berita dan tulisan-tulisannya sudah lazim menggunakan kalimat yang lugas, to the point dan apa adanya. Semoga identifikasi saya pada ciri utama Tempo ini tidak salah. Jadi terasa aneh kalau proses editing di Tempo sekarang sampai pada merubah diksi dari kata "kejahatan" menjadi "persoalan". Memang perubahan diksi tersebut tidak sampai merubah (meaning) dari keseluruhan isi tulisan Ubedilah. Tapi berdasarkan pengalaman saya, beberapa penulis ternama biasanya mereka keberatan jika kalimat yang ditulisnya dirubah seenaknya oleh editor kolom opini. Seperti halnya wartawan, karakter seorang penulis selain bisa dilihat dari alur kalimat yang disusunnya juga tercermin dari pilihan kata dan diksi yang digunakannya. Walaupun pendapat kritis masyarakat sudah semakin dibatasi terutama di media mainstream, namun masih ada seribu satu cara bagi publik untuk bisa mengungkapkan pendapat dan kritiknya kepada rezim penguasa. Apalagi di era keterbukaan seperti sekarang, banyak platform media yang bisa dipakai untuk menyampaikan kritik kepada rezim penguasa yang menyimpang. Jàdi jangan takut, sampaikanlah kritik apa adanya. Tuhan bersama orang-orang yang terdzolimi. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Kilometer 24 Itu Masih Sangat Jauh

by Asyari Usman Jakarta FNN - Rabu (26/08). Ada-ada saja. Dan cukup kreatif. Tahun 2024 disebut “Kilometer 24” (Km-24). Perjalanan politik dari sekarang sampai pilpres 2024 diibaratkan seperti menempuh jarak dengan sukatan kilometer (Km). Sebutan “Kilometer-24” dimunculkan dalam konteks masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2024. Belakangan ini beredar teori-teori yang mempertanyakan tentang kemungkinan Jokowi bisa menyelesaikan jabatannya. Banyak yang ragu. Mengingat krisis ekonomi yang akan semakin parah. Dalam satu diskusi tak resmi belum lama ini di komplek restoran Nusa Dua, Senayan, seorang mantan anggota DPR-RI mengatakan, “Kilometer 24 itu masih sangat jauh. Belum tentu Jokowi bisa sampai ke sana.” Beliau kemudian melanjutkan, “Untuk apa bicara Km-24, sampai tahun depan saja berat.” Diskusi semakin panas. Tapi, panasnya hanya tinggi-tinggian suara saja. Bukan adu argumentasi. Semua yang ada di situ sepaham. Artinya, mereka yang duduk di “meja bundar” itu sama-sama yakin Jokowi akan menghadapi masalah besar. Masalah berat itu berpangkal dari resesi ekonomi. Pertumbuhan negatif besar. Bisa minus 10% atau lebih sebagaimana diprediksikan oleh para pakar ekonomi. Kemudian, pertumbuhan minus besar itu akan memuntahkan krisis multi-dimensi. Krisis politik adalah salah satu dimensi yang bisa membahayakan posisi Jokowi. Mengapa? Karena berbagai masalah krusial yang menumpuk di meja Presiden, bisa bergumpal menjadi kekuatan yang berpotensi menjatuhkan beliau. Krisis besar perekonomian hampir pasti akan melebar ke politik. Logis. Karena, rakyat yang dilanda masalah ekonomi akan langsung mempertanyakan kemampuan Presiden Jokowi memimpin negara. Rakyat akan mempersoalkan apakah Jokowi masih sanggup mengelola negara atau tidak. Kalau krisis ekonomi sangat dalam, maka aksi-aksi spontanitas rakyat otomatis akan diarahkan ke eksekutif tertinggi. Ada semacam “mosi tak percaya”. Dan itu semua tertuju ke Presiden. Begitulah karaterisik krisis ekonomi skala besar. Di mana pun juga. Tidak hanya di Indonesia. Para pemegang kekuasaan tertinggi akan selalu memikul tanggung jawab penuh dan tunggal. Perekonomian yang amburadul tidak mungkin disorot tanpa mengusik kepala pemerintahan. Kesalahan tidak bisa ditimpakan hanya kepada para menteri bidang perekonomian. Tidak cukup pula hanya diterapi dengan perombakan kabinet (reshuffle). Utang yang menumpuk, kebangkrutan bisnis di mana-mana, kesulitan lapangan kerja, pengangguran yang berlipat-lipat, ‘capital flight’ besar-besaran, dlsb, menunjukkan bahwa keseluruhan pemerintahan dililit masalah berat. Itu artinya ada persoalan besar dalam pengelolaan negara. Ada masalah kepemimpinan. Ada problem serius di tingkat eksekutif tertinggi. Mau tak mau posisi presiden atau perdana menteri disorot dari segala arah. Eksekutif tertinggi harus siap menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan menjadi fokus sorotan kekuatan oposisi dan masyarakat sipil (civil society). Termasuk media mainstream yang independen. Kembali ke Indonesia, krisis politik yang bersumber dari krisis ekonomi biasanya akan sangat mudah berkobar menjadi besar. Apalagi, Presiden Jokowi sudah banyak menumpuk masalah. Akumulasi masalah itu pasti akan bergemuruh dalam proses fermentasinya. Dan tekanan di dalam akumulasi itu bisa sangat tinggi. Sebut saja beberapa ramuan yang menjadi beban Jokowi. Yaitu, janji-janji yang jauh dari terpenuhi. Kemudian, nepotisme yang cepat berkembang biak dan menjalar luas ke segala arah. Nepotisme itu antara lain tampak dari bagi-bagi jabatan komisaris BUMN kepada para komandan pendukung. Atau, alokasi posisi senior seperti wamen, dirjen, komisioner, dll. Juga nepotisme dalam bentuk ambisi anggota keluarga. Tumpukan masalah yang menggunung itulah yang diperkirakan oleh “para pakar” meja bundar Nusa Dua akan menyulitkan perjalanan Jokowi menuju Kilometer 24. Ibarat mengendara di jalan yang rusak berat. “Kilometer 24 itu masih jauh,” kata mantan anggota DPR mengulangi ucapannya. Dialah yang bertindak sebagai moderator dan ‘dominator’ diskusi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Oh Tekuak, Pendiri PAN Ternyata Bukan Amin Rais

by Luqman Ibrahim Soemay Jakarta FNN – Ahad (23/08). Hari Partai Amanat Nasional (PAN) merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke 22. Banyak tokoh nasional yang berpidato di HUT PAN kali ini. Dari internal PAN, selain Ketua Umum Zulkifli Hasan, Ketua Dewan Kehormatan PAN Sutrisno Bachir juga ikut memberikan sambutan. Dari kalangan eksternal PAN, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi memberikan sambutan. Dalam sumbutannya, Jokowi menyampaikan tentang perlunya melakukan langkah luar biasa atau extraordinary untuk mencapai kemajuan bangsa. Presiden berharap memontum pandemi Covid 19 dimanaaftkan untuk mengambil lompatan besar. Mengejar ketertinggalan Indonesia. Jokowi berharap PAN sejalan dengan semangat yang disampaikannya. Juga PAN sejalan dengan semangat yang sedang dijalankan pemerintah. (Tempo.co 23/08/2020). Sementara Ketua Umum PDIP Megawati menyampaikan selamat ulang tahun ke 22 kepada PAN. Megawati berterima kasih kepada PAN, karena telah diundang menghadiri acara tersebut. Megawati yakin di usia ini, PAN terus memegang semangat reformasi. Selain Jokowi dan Megawati, tokoh nasional dari luar PAN yang ikut memberikan pidato adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan, PAN dan Partai Demokrat banyak memiliki kesamaan dan kebersamaan. Terutama saat Soesilo Bambang Yudhoyono r(SBY) menjadi presiden selama dua periode. Alhamdulillah kebersamaan ini terus kita lanjutkan sampai hari ini. “Saya berharap PAN semakin sukses, dan ke depan bersinergi dengan Partai Demokrat”, ujar AHY. Ramainya tokoh-tokoh nasional yang hadir di HUT PAN ke 22 ini menjadi tidak lengkap. Bahkan terasa hambar, karena tidak tampak wajah Prof. Dr. Amin Rais, baik secara fisik maupun vurtual. Publik tentu bertanya-tanya, kemana gerangan Pak Amin Rais? Mengapa Pak Amin Rais tidak terlihat di perayaan ulang tahun PAN kali ini? Jawabannya, hubungan PAN dengan Pak Amin Rais belakangan ini tidak akur. Kenyataan ini akibat hasil dari kongres PAN di Kendari Sulawesi Tenggara Februari lalu. Ketika itu Amin Rais mendukung calon Ketua Umum Mufachri Harahap yang menjadi penantang Zulkifli Hasan. Hasilnya, meskipun kongres berjalan, dan terbilang paling primitif dan tidak bertabat, karena terjadi baku-hantam dan saling lempar kursi sampai berdarah-darah, namun Zulkifli Hasan terpilih sebagai Ketua Umum. Hasil dari pelaksanaan kongres yang brutal inilah yang mendorong Pak Amin Rais untuk meninggalkan PAN. Setelah terpilih sebagai Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan yang adalah kader dan dibesarkan oleh Pak Amin Rais tidak lagi melibatkan Pak Amin Rais di PAN. Padahal Zulkifli dan Pak Amin masih ada hubungaN besanan (Mumtaz, putra Rais menikA dengan putrinya Zulkifli Hasan). Posisi Ketua Dewan Kehormatan PAN yang dulu dijabat Pak Amin Rais, sekarang ditempati oleh Sutrisno Bachir. Saat menyampaikan sambutan, Sutrino Bachir sempat menangis ketika menyebut nama Pak Amin Rais. “Saya dan kami semua mengucapkan terima kasih kepada pendiri PAN Bapak Profesor Doktor Amin Rais. Mudah-mudahan beliau selalu sehat walafiat, dan selalu dalam lindungan Allah SWT”, ujar Sutrisno Bachir. Sutrisno tetap berharap Profesor Doktor Amin Rais menyaksikan acara HUT PAN ke 22 kali ini. Semoga saja mau Pak Amin mengikhlaskan estafet kepemimpinan PAN kepada generasi saat ini. Sutrisno juga berharap, semoga Pak Amin selalu bersama-sama kita untuk membawa PAN lebih besar dari sekarang. Baik Sutrisno Bachir, Hatta Raja dan Zulkifli Hasan adalah Ketua Umum dan mantan Ketua Umum PAN yang dibasarkan oleh Pak Amin Rais. Dikaderkan oleh Pak Amin Rais. Tanpa campur tangan Pak Amin Rais, mereka bertiga tidak mungkin bisa menjadi Ketua Umum PAN. Termasuk Zulkifli Hasan yang terpilih pada periode pertama lima tahun lalu. Sebelum mengahiri tulisan ini, sahabat wartawan senior FNN.co Kisman Latumakulita pernah bercerita tentang sepak-terjang Pak Amis Rais di awal-awal begulirnya reformasi 98. Catatan mengenai Pak Rmin Rais, reformasi dan PAN adalah tiga serangkai yang sulit untuk bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Catatannya selalu saja saling kait-mengkait. Menurut ingatan Kisman, setiap kali mau keluar rumah atau gedung pertemuan, Pak Amin Rais selalu mengingatkan anggota rombongan, agar selalu dalam keadaan bersih (bersuci). Jangan memakai celana dalam yang dapat membatalkan wudhu. Sebaiknya selalu dalam posisi sedang berwudhu. Kalau wudhunya batal karena kentut, hadats kecil (kecing), hadats besar atau akibat lain, sebaiknya secepatnya segera berwudhu lagi. Supaya kalau nanti di perjalanan, meninggal dunia karena terkena tembakan atau sebab lain, sangat aman kalau dalam posisi sedang berwudhu. Insya Allah meninggalnya syahid. Menjwab WhatsAap (WA) teman tentang siapa pendiri PAN setelah 22 tahun terbentuk, oh sekarang terkuak, siapa pendiri PAN yang sebenarnya? Ternyata bukan bukan Pak Amin Rais pendiri PAN. Kalau begitu siapa pendiri PAN? Dijawab oleh teman lagi melalui WA, “mungkin yang satu diantara yang memberikan sambutan di HUT PAN ke 22 tadi”. Penulis adalah Watawan Senior FNN.co.

Pertarungan Jokowi vs Puan Maharani

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (23/08). Usia nggak ada yang tahu. Umumnya, yang tua lebih dulu meninggal dunia dari yang muda. Meski ada juga yang muda meninggal duluan. Itu semua rahasia Tuhan. Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri sudah sepuh. Usianya kini sudah mencapai 73 tahun. Tentu kita semua mendo’akan semoga beliau selalu sehat dan diberi usia yang panjang. Jasanya sangat besar, terutama bagi kader PDIP. Lalu pertanyaannya, siapa pengganti beliau di PDIP kelak? Ini yang menarik. Tokoh paling potensial sekarang ada dua. Pertama adalah Puan Maharani Ketua DPR. Anak biologis dan trah Soekarno. Kedua adalah Jokowi. Kader yang saat ini memegang kekuasaan politik sebagai Presiden. Hitung-hitungan ini, dengan catatan jika kita mengesampingkan posisi Prananda, putra Megawati yang lain. Apakah Puan Maharani atau Jokowi yang akan mengganti Megawati? Ini tentu nsangat bergantung pada situasi obyektif. Jika pergantian itu masih disaksikan oleh Megawati, maka Puan Maharani lebih besar peluangnya. Sebab, Megawati bisa mengontrol semua jalannya suksesi di PDIP ini. Ucapan Megawati adalah Sabdo Pandito Ratu buat kader PDIP. Tak ada yang berani melawan. Megawati layak mempertimbangkan untuk melakukan suksesi yang lebih cepat. Ini akan jadi strategi yang efektif untuk memuluskan regenerasi kepemimpinan sesuai ekspektasi Megawati. Sebut saja "suksesi calon tunggal". Jika tidak disaksikan Megawati, maka akan menjadi bola liar yang sangat sulit untuk dikendalikan Jika suksesi itu ternyata terjadi tanpa kesaksian Megawati, maka Jokowi tentu saja punya peluang yang lebih. Meski bukan anak biologis, juga bukan "kader yang dirindukan", kekuasaan yang saat ini ada di tangan Jokowi punya peranan besar. Ingat ketika Jusuf Kalla, wapres saat itu, menggusur Akbar Tanjung dari ketum Golkar? Ingat ketika Jokowi inginkan Setya Novanto ambil Golkar, meski Ade Komaruddin menguat? Soal pengaruh, Jokowi sudah jadi legenda di mata kader PDIP. Fakta ini tak bisa dipungkiri. Meski kalangan elit PDIP lebih bersikap rasional. Maksudnya, punya hitung-hitungan pragmatis. Bergantung mana yang menguntungkan bagi mereka. Dalam konteks ini, pasti lebih menguntungkan jika mereka dukung Jokowi. Sebab, Jokowi adalah penguasa. Akses logistik dan tawaran posisi berlimpah. Jika Jokowi ditakdirkan jadi Ketua Umum PDIP, maka Gibran dan Bobby, anak dan menantu Jokowi punya masa depan karir politik yang lebih menjanjikan. Disini ada peluang untuk membangun dinasti politik baru. Sebaliknya, jika Jokowi turun sebelum 2024, otomatis Jokowi tamat dengan sendirinya. Tak perlu ada analisis lagi. Semua buku analisis terututup rapat. Tapi, jika Jokowi sampai 2024, dan suksesi terjadi minus Mega, ini akan menarik. Jokowi tetap punya kekuatan untuk melawan Puan Maharani. Setidaknya, kolega dan kekuatan logistik, Jokowi lebih siap. Adu kuat trah Soekarno dengan Jokowi akan seru. Buku analisis politik tentang PDIP jadi menarik lagi untuk dibuka. Kelompok ideologis akan dukung Puan Maharani. Sementara, Jokowi akan didukung oleh kelompok pragmatis. Mana yang lebih besar? Apakah kelompok ideologis atau pragmatis? Ini akan menentukan siapa pemenangnya. Semua akan bergantung pada situasi obyektif saat terjadi peralihan kepemimpinan di PDIP. Inilah yang akan menentukan siapa pemenang antara Jokowi vs Puan Maharani. Kita tunggu saja waktu yang tepat untuk menyaksikan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Tak Lama Lagi Jokowi Akan Ditinggal Sendiri

by Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (15/8/). Inilah ‘the moment of truth’ untuk melihat jati diri para konglomerat yang selama ini menikmati kekuasaan Presiden Jokowi. Diperkirakan ‘crash landing’ akan terjadi. Kondisi perekonomian sudah sangat menyeramkan. Pertumbuhan minus 8% atau bahkan minus 10% bisa terjadi dalam waktu dekat. Yang jelas, pertumbuhan -5% sedang berproses menuju minus level berikutnya. Para konglomerat pastilah sudah menyiapkan ‘escape route’ (rute pelarian) mereka. Pasti pula sudah disiapkan destinasi yang menyenangkan mereka. Dan tidak mungkin mereka akan pergi tanpa persiapan finansial dan kelanjutan bisnis mereka di tempat lain itu. Apakah para pengusaha besar akan memikirkan para penguasa yang selama ini membantu mereka? Apakah mereka akan memikirkan Jokowi yang bakal menghadapi krisis besar perekonomian? Apakah mereka akan memikirkan rakyat jelata? Saat-saat “siapa teman sejati, sehidup semati” akan terkuak sebentar lagi. Jokowi akan merasakan itu. The moment of truth akan membentang dengan sendirinya. Jika dilihat dari perangai rakus para pengusaha besar, kecil kemungkinan mereka akan perduli terhadap krisis yang bakal terjadi. Hubungan erat mereka dengan para penguasa, tidak akan menggugah mereka. Semua akan menyelamatkan diri sendiri lebih dulu. Menyelamatkan kekayaan. Menyelamatkan keluarga dan bisnis mereka. Berharapkah Anda pada orang-orang yang tidak merasa sebagai bagian dari bangsa dan negara ini? Jika Anda berharap, berarti Anda sedang bermimpi indah. Anda berhayal. Berhayal kalau-kalau kebijakan yang selama ini sangat memihak mereka, akan membuat mereka terpanggil untuk sehidup semati menghadapi krisis. Yang bukan hayalan adalah rakyat Indonesia akan berjuang sendiri. Saling menolong antara sesama. Antara rakyat Indonesia sejati dengan kepribadian asli anak negeri. Antara sesama rakyat yang berhati, pastilah akan saling perduli. Saling berbagi. Ketimbang mengharapkan para pengusaha besar dan konglomerat rakus akan berjuang bersama-sama mengatasi dan melewati krisis, jauh lebih baik kalau Anda menjadi ‘pungguk yang merindukan Bulan’. Atau, lebih bagus jika Anda meletakkan ‘panggang jauh dari api’. Boleh jadi kerinduan pungguk pada Bulan akan lebih realistis ketimbang menghayalkan para pengusaha besar berjibaku menghadapi krisis. Dan menunggu panggang jauh dari api mugkin lebih menjajikan ketimbang berharap para konglomerat perduli terhadap rakyat yang dicekik krisis itu. Para pengusaha besar dan konglomerat rakus pasti akan memakai filosofi asap. Asap tidak pernah menunggui kebakaran yang berkecamuk. Asap cepat-cepat meninggalkan lokasi, terbang menjulang. Dalam konteks ini, para pengusaha dengan akumulasi duit super besar pasti akan langsung terbang bersama kekayaan moneternya begitu api krisis makin membesar. Dan, ingat, krisis besar itu sudah di depan mata. Para pemilik “uang tak berseri” akan mengangkasa. Itu artinya, tak lama lagi Jokowi akan ditinggal sendiri. Karena itu, mulai sekarang rakyat perlu senantiasa waspada. Rakyat harus antisipatif. Kaoalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sudah benar dalam menyampaikan thesis mereka tentang keadaan suram dan seram yang bakal terjadi. Sudah benar tekad mereka untuk berjuang agar rakyat sedapat mungkin tidak terhempas terlalu keras. Dan agar navigasi arah bangsa dan negara tidak dirampas oleh kelompok bandit domestik atau internasional. KAMI sudah melihat proyeksi kemiskinan dan pemiskinan yang mengerikan akibat krisis ekonomi. Dan kehancuran ekonomi itu bisa berkembangan menjadi krisis jamak-dimensi (multi-dimensional). Tidak banyak waktu untuk disia-siakan. Kita berharap agar Presiden Jokowi fokus menghadapi kemungkinan yang sangat membahayakan. Indonesia masih bergelut di ruang yang samar-samar dalam penanganan wabah Covid-19. Memberikan perhatian serius ke urusan pilkada keluarga, termasuk menyia-nyiakan waktu. Presiden harus mampu memberikan arahan atau “lead” kepada tim kabinet. Jangan sampai terbalik membaca “lead” menjadi “deal”. Kita semua sedang terancam. Penuslis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Tolong Jangan Buat Stress Kiyai Ma’ruf Amin

by Asyari Usman Jakarta FNN, Rabu (12 Agustus 2020). Dalam beberapa hari ini bermunculan berbagai teori tentang kemungkinan Wapres Ma’ruf Amin mundur atau dimundurkan dari jabatan wakil presiden. Beliau disebut-sebut akan digantikan oleh salah seorang pejabat tinggi. Bisa jadi Menhan Prabowo Subianto atau mungkin pula Budi Gunawan –kepala BIN. Jadi, Pak Kiyai sedang menghadapi tekanan politik dan psikologis yang sangat berat. Termasuk, misalnya, beliau itu dikatakan sudah tua, sudah uzur, dsb. Menyakitkan sekali. Bukankah Pak Kiyai Ma’ruf itu pilihan terbaik Jokowi, yang berarti juga pilihan Anda semua? Kenapa sekarang diremehkan. Saya khawatir pengunduran diri Kiyai Ma’ruf dari jabatan wakil presiden, kalau itu terjadi, bukan karena tekanan politik. Melainkan gara-gara stress akibat berbagai “teori ganti wapres” yang beredar luas di masyarakat. Teori-teori itu ada yang menyebutkan Pak Kiyai akan dipaksa mundur. Atau, bisa jadi ada deal supaya beliau mundur secara sukarela. Pak Kiyai diseut-sebut akan mengajukan pengunduran diri tanpa paksaan, dsb. Diteorikan pula bahwa Jokowi lebih suka dan lebih berat ke Prabowo sebagai pengganti. Dengan alasan dia mantan tentara. Bisa diandalkan kalau terjadi gejolak sosial karena situasi ekonomi yang morat-marit saat ini. Teori lain menyebutkan, kelompok Megawati akan mendukung Budi Gunawan. Macam-macam. Intinya, Ma’ruf Amin ‘hampir pasi akan diganti’. Kasihan sekali Pak Kiayai. Beliau dianggap tidak ada apa-apanya. Dikatakan tidak punya kekuatan politik. Tidak pula didukung struktur NU. Dan tidak punya basis massa. Artinya, kalau ada yang menginginkan beliau mundur, mau tak mau Pak Kiyai harus ikut saja. Tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh menyedihkan. Padahal, secara konstitusional, tidak mudah untuk memundurkan seorang wapres. Harus ada sidang MPR. Kecuali beliau mundur sukarela. Dengan alasan kesehatan atau alasan lain. Tapi, apa iya Kiyai Ma’ruf akan menerima saja dibegitukan? Tampaknya, tidak. Selemah-lemahnya posisi seorang pejabat negara yang ‘berkedudukan sah-konstitusional’, tidaklah mungkin dia akan menerima begitu saja perlakuan yang kasar terhadap dirinya. Pastilah dia akan menunjukkan perlawanan. Meskipun perlawanan yang tak berarti. Perlawanan yang sia-sia. Tapi ingat! Pak Ma’ruf Amin itu seorang kiyai. Sesepele apa pun orang menganggapnya, Pak Ma’ruf masih bisa berdoa. Kalau dia merasa dizolimi, hati-hatilah. Doa orang yang dizolimi, biasanya, mustajab. Kalau sekiranya skenario penggantian Kiyai Ma’ruf disusun oleh orang-orang Pak Jokowi, berarti doa si terzolim dengan sendirinya terarah ke sana. Kalau disusun oleh kelompok Bu Megawati, maka doa kezoliman akan otomatis mencari sasarannya. Jika yang menyusun Pak Luhut, maka Pak Menkolah yang akan menjadi subjek doa alias pihak yang terdoa. Yang lebih ngeri lagi ialah kalau Pak Ma’ruf dilanda stress akibat teori-teori mundur atau dimundurkan itu. Makin berat stress beliau, semakin muluslah doa penzoliman itu untuk diterima. Meskipun dulu Pak Kiyai pernah tidak jujur (saya tak menggunakan kata ‘berbohong’) soal mobil Esemka. Dan juga pernah mengatakan bahwa anak-anak PAUD terpapar radikalisme. Kelihatannya, lebih baik Anda tidak membesar-besarkan isu mundur atau pemunduran Kiyai Ma’ruf. Sebab, sedikit-banyak ada unsur pengerdilan terhadap beliau. Walaupun sejak menjadi capwapres sampai sekarang ini banyak hal-hal yang mengherankan yang beliau katakan dan lakukan. Satu pesan penting untuk Anda: janganlah katakan Pak Ma’ruf itu sudah tua, uzur, sepuh, atau sebutan lain. Keliru itu. Lihatlah semangat kerja beliau. Lihatlah semangat politik Pak Ma’ruf. Beliau masih bergairah untuk membangun dinasti. Beliau mendorong anaknya maju di pilkada Tangerang Selatan. Kurang apa lagi Pak Ma’ruf itu di mata kalian? Jadi, tolonglah hentikan bahasan Wapres akan mundur atau dimundurkan. Janganlah buat stress Pak Ma’ruf Amin.[] (Penulis wartawan senior)