POLITIK

Apakah Jokowi Ingin Meniru Mao Zedong?

Oleh karena itu, ajakan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif menyampaikan kritik, dianggap berbagai kalangan sebagai jebakan betmen. Ajakan tersebut dianggap sebagai sebuah "perangkap politik" yang pada akhirnya nanti memberangus lawan-lawan politik termasuk para tokoh yang selama ini kritis kepada penguasa. by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - BEBERAPA saat setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang meminta masyarakat untuk aktif menyampaikan kritik kepada dirinya, di sejumlah grup WA yang saya ikuti viral cerita lama Pemimpin Partai Komunis China Mao Zedong. Pada tàhun 1956, Zedong membolehkan penduduk China untuk menyampaikan kritik dengan mengkampanyekan Gerakan Seratus Bunga. Namun, setelah berbagai saran dan kritik disampaikan penduduk China terutama dari kalangan akademisi, setahun kemudian Mao Zedong membungkam dan menahan para pengeritiknya. Tepatnya pada 8 Juni 1957, Mao Zedong meminta penghentian Kampanye Seratus Bunga. Akibatnya, ratusan intelektual dan mahasiswa ditangkap, termasuk aktivis pro-demokrasi Luo Longqi dan Zhang Bojun. Para pengeritik dipaksa untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka telah mengorganisir sebuah konspirasi rahasia melawan sosialisme. Tindakan keras itu diikuti dengan pengiriman ratusan pemikir China terkemuka ke kamp kerja paksa untuk “pendidikan ulang” atau ke penjara. Akhirnya, eksperimen singkat dengan kebebasan berbicara telah berakhir. Jika dikaitkan dengan permintaan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif menyampaikan kritik kepada pemerintah, wajar kalau sebagian rakyat kita menganggap bahwa pola dan cara yang dilakukan Jokowi mirip dengan yang dilakukan Zedong. Kisah lama di China tersebut juga disinggung oleh salah satu tokoh nasional Dr Rizal Ramli. “Setelah kampanye, Mao menindak mereka yang mengkritik rezim. Itu adalah upaya untuk mengidentifikasi, lalu menganiaya,” kata Rizal Ramli mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur dalam akun Twitter pribadinya, Jumat (12/2). Hal yang sama dikemukakan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi. Ketika Mao Zedong hendak menghabisi lawan politiknya, maka yang dilakukan adalah dengan kampanye hal yang seolah baik. Oleh karena itu, ajakan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif menyampaikan kritik, dianggap berbagai kalangan sebagai jebakan betmen. Ajakan tersebut dianggap sebagai sebuah "perangkap politik" yang pada akhirnya nanti memberangus lawan-lawan politik termasuk para tokoh yang selama ini kritis kepada penguasa. Dengan demikian, kisah lama Mao Zedong ini sangat relevan dengan ajakan Presiden Jokowi agar publik aktif mengritiknya. Walaupun para pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan berusaha meyakinkan masyarakat tentang kesungguhan pernyataan Presiden Jokowi, namun masyarakat tetap belum yakin ajakan tersebut betul-betul sebagai pernyataan tulus untuk memberi ruang kebebasan pada masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya. Berbagai kasus penangkapan terhadap para tokoh pro demokrasi dan para ulama akhir-akhir ini, membuktikan adanya kontradiksi antara pernyataan Jokowi dengan kenyataan sesungguhnya. Belum lagi tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para pelaku aksi demonstrasi beberapa waktu lalu serta pembunuhan terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI), menambah keraguan masyarakat terhadap "angin kebebasan dan demokrasi" yang dihembuskan Jokowi. Sebagian kalangan menilai penguasa sekarang justru ingin mengubur demokrasi secara perlahan. Dalam realitanya, rezim penguasa saat ini telah menerapkan praktek kekuasaan yang otoriter. Ajakan Jokowi tersebut lebih dimaksudkan untuk "test the water" sekaligus pemetaan terhadap situasi politik sekarang. Penguasa ingin memetakan secara lebih detail lagi ormas serta tokoh-tokoh yang selama ini kritis kepada penguasa. Ancaman kriminisasi hukum dan penangkapan, terbukti telah membuat takut sebagian kalangan masyarakat. Jangankan rakyat biasa, tokoh politik yang juga pengamat ekonomi sekaliber Kwik Kian Gie (KKG) pun dilanda ketakutan jika ingin menyampaikan kritik kepada pemerintah. Padahal, sebelumnya, KKG bisa dengan bebas dan leluasa menyampaikan kritik kepada setiap rezim yang berkuasa. Bahkan, di era Orde Baru kata KKG, dalam cuitannya di akun Twitternya, dirinya bisa dengan bebas menyampaikan kritik melalui tulisan khusus di Harian Kompas. Ketakutan KKG juga mencuat karena adanya buzzer bayaran. Buzzer ini cenderung menyerang para pengeritik pemerintah. Mereka bukannya beradu gagasan dan ide pemikiran, tapi buzzer bayaran ini cenderung menyerang pribadi setiap pengeritik dengan bahasa yang kasar. Buzzer ini ada yang tugasnya menyerang pengiritik melalui media sosial, kemudian setelah itu buzzer yang lainnya melaporkan para pengeritik ke pihak kepolisian. Oleh karena itu, wajar kalau sebagian kalangan menyatakan, "Jika Jokowi benar-benar ingin dikritik masyarakat, sebaiknya para buzzer yang selama ini dibayar pemerintah ditertibkan dulu". Permintaan tersebut antara lain disampaikan budayawan Sujewo Tedjo. Namun, para pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan membantah kalau selama ini pemerintah "melihara" buzzer. Akan tetapi, bantahan tersebut bisa dipatahkan setelah beredar foto Jokowi bersama para buzzer di Istana Bogor, Jawa Barat. Foto tersebut beredar di hampir semua jejaring media sosial. Di dalam foto tersebut, terlihat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Para netizen juga sering menjuluki Moeldoko sebagai "Kakak Pembina". Selain Moeldoko, tentu ada para buzzer yang wajahnya nampak sumringah saat berfoto bersama Presiden Jokowi. Di dalam foto itu terdapat buzzer yang namanya sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat, mereka antara lain, Permadi Arya atau Abu Janda, Deny Siregar dan Eko Kunthadi. Sangat boleh jadi itu adalah foto bersama tàhun 2019, saat para buzzer itu dibutuhkan Jokowi untuk mengangkat citra dirinya menjelang Kampanye Pilpres waktu itu. Sayangnya, hingga kini sebagian besar masyarakat menganggap para buzzer tersebut masih bekerja untuk rezim penguasa. Banyak kalangan termasuk anggota DPR (dari PKS) yang mempertanyakan anggaran APBN yang dialokasikan untuk mendanai para buzzer tersebut. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Al Muzzamil Yusuf mempertanyakan, apakah Abu Janda merupakan seorang influencer yang dibayar pemerintah menggunakan APBN. "Pertanyaan kami ini untuk klarifikasi kepada publik. Pertama, apakah Permadi Arya dibayar dengan anggaran APBN?" tanya Al Muzzamil, dikutip melalui siaran akun Youtube DPR-RI, Rabu. Hal itu disampaikan Al Muzzamil berkaca dari temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan anggaran pemerintah sekitar Rp 90 miliar untuk membayar influencer dan key opinion sejak 2014. Permadi Arya alias Abu Janda namanya lebih populer karena cuitannya pernah menyinggung kasus dugaan rasialisme dan penistaan agama. Meskipun dia sudah sering dilaporkan ke polisi, namun sampai sekarang Abu Janda tidak ditahan polisi. Di berbagai pemberitaan media, Abu Janda mengakui dirinya menjadi influencer dan dibayar dengan nominal yang besar. *Kehilangan legitimasi* Sementara itu, seorang buzzer yang juga mantan rekan kerja penulis di salah satu media mainstream, mengakui dirinya menjadi influencer Jokowi pada saat kampanye Pilpres 2019. Dia membantah kalau selama menjadi influencer dibayar dengan dana APBN. "Saya dibayar oleh pengusaha yang menjadi pendukung dan donatur Jokowi," katanya. Dia hanya mau disebut sebagai influencer dan keberatan disebut sebagai buzzer karena konotasinya jelek. Ketika Majalah Tempo menurunkan laporan soal buzzer bayaran beberapa waktu lalu, mantan rekan kerja saya ini menjadi salah satu nara sumbernya. Saya pun berkomunimasi dengan dia melalui chatting di halaman Facebook setelah keluar laporan Majalah Tempo tersebut. Kembali kepada ajakan Jokowi agar masyarakat bisa aktif menyampaikan kritik. Ajakan ini sebenarnya bagus dan akan benar-benar jadi kenyataan kalau para aktivis serta para ulama yang saat ini ditahan polisi dan kejaksaan bisa dibebaskan terlebih dulu. Selama mereka masih ditahan, ajakan Jokowi tersebut hanya sekedar lips service belaka. Alih-alih dibebaskan, penguasa nampaknya akan terus menjerat para tokoh lainnya yang selama ini kritis kepada pemerintah. Yang sekarang ditarget adalah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin yang dituduh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai tokoh radikal. Sebelumnya, tidak lama setelah Jokowi meminta masyarakat menyampaikan kritik, penyidik senior KPK Novel Baswedan juga dilaporkan ke polisi hanya karena mempertanyakan kenapa Ustaz Maaher yang sedang sakit harus dipaksakan ditahan sampai akhirnya dia meninggal dunia. "Innalillahi wa innailaihi rojiun. Ustadz Maaher meninggal di rutan Polri. Padahal, kasusnya penghinaan, ditahan, lalu sakit. Orang sakit, kenapa dipaksakan ditahan? Aparat jangan keterlaluanlah. Apalagi dengan ustaz. Ini bukan sepele lho.." cuit Novel melalui akun Twitter @nazaqistsha, Selasa 9 Februari 2021. Novel Baswedan dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh organisasi kepemudaan bernama Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Mitra Kamtibmas (PPMK). Novel yang juga mantan polisi dilaporkan karena dianggap memprovokasi lewat komentar di media sosial terkait meninggalnya Soni Eranata alias Ustaz Maaher At-Thuwailibi di Rutan Bareskrim. Jangankan mengeritik, mempertanyakan kematian seorang tahanan pun langsung dilaporkan ke polisi. Oleh karena itu, wajar kalau mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menanyakan, "Bagaimana cara mengritik Jokowi tanpa dipanggil polisi?' Sebenarnya, ajakan Jokowi agar masyarakat mengeritik dirinya, hanya untuk memancing para pengeritik untuk kemudian nanti dihadapkan dengan para buzzer. Meskipun Jokowi mempersilahkan publik untuk mengkritiknya, namun dosen ilmu politik Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mariyah menganggap Presiden Jokowi sudah tidak memiliki legitimasi dan kepercayaan publik. "Sebetulnya ini cuma maping aja, siapa yang mengkritik, tinggal nanti dipanggil buzzernya," ujar Chusnul dalam video yang diunggah akun YouTube Realita TV seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (12/2). "Bagaimana seorang pemimpin yang meminta dikritik, padahal tangannya sudah berdarah-darah. Itu loh yang berdarah-darah terhadap pengkritiknya," tambah Chusnul. Mao Zedong memang sudah lama mengkampanyekan Seratus Bunga. Mao sengaja menghembuskan angin kebebasan kepada penduduk China agar warganya jangan takut menyampaikan kritik kepada dirinya. Namun, rupanya itu cuma akal bulus Mao Zedong untuk membungkam dan menahan para pengeritiknya. Dalam konteks ini, apakah Jokowi ingin meniru apa yang sudah dilakukan Mao Zedong? ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

GAR ITB: Jangan Plintat-Plintut, Bantah Ini Bantah Itu

by Asyari Usman Medan, FNN - Gerakan Anti Radikal (GAR) Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang mengatakan bahwa mereka tidak melaporkan Pak Din Syamsuddin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas dugaan radikalisme. Melainkan terkait pelanggaran kode etika sebagai pegawai negeri sipil. Mulai mencla-mencle. Padahal, laporan mereka itu diproses oleh KASN di jalur radikalisme. Bukan jalur pelanggaran etika. Laporan mereka ke KASN disampaikan kepada Menkominfo Johnny G Plate sebagai Koordinator Tim Satgas Radikalisme. Ini mau kalian bantah? Kurang ‘clear’ apalagi bahwa kalian melaporkan Pak Din soal radikalisme? Tidak usah jauh-jauh. Nama kelompok Anda saja Gerakan Anti Radikalisme. Apa iya kalian mengurusi aparatur negara yang melanggar kode etik dengan nama organiasi yang menyertakan kata ‘radikalisme’? GAR ITB, Anda janganlah plintat-pintut. Selain plintat-plintut, GAR juga sibuk melepaskan diri dari nama ITB yang mereka bawa-bawa. Bantah itu, bantah ini. Sekarang mereka mengatakan bahwa GAR ITB tidak berada di bawah ITB atau di bawah Ikatan Alumni (IA) ITB. Tapi, mengapa sejak awal dibawa-bawa nama ITB? Apa tujuan Anda? GAR ITB terbirit-birit setelah banyak orang, termasuk para pejabat tinggi pemerintah, menolak labelisasi bahwa Pak Din seorang yang radikal. Menko Polhukam Mahfud MD saja menegaskan bahwa Din Syamsuddin tidak memiliki pandangan radikal. Selain Mahfud, Prof Azyumardi Azra, pimpinan PBNU dan bahkan Menag Yakut Qoumas pun tak sependapat kalau Pak Din dicap radikal. Ada yang agak lucu. Juru bicara GAR ITB Shinta Madesari mengatakan bahwa Mahfud mungkin belum membaca laporan mereka ke KASN. Kelihatannya, yang benar adalah Anda dan semua pendukung GAR ITB tidak pernah membaca riwayat Pak Din Syamsuddin. Asal tuding radikal. Tanpa mencermati kiprah tokoh dialog antarumat bergama itu. Saking intensifnya Pak Din terlibat dalam dialog panjang antarumat beragama itu, sampai-sampai banyak orang menyangka beliau orang liberal. Pak Din berteman dan bermitra dengan banyak tokoh internasional dari agama-agama besar dunia. Kalau semua orang bersaksi bahwa Pak Din bukan orang radikal, berarti GAR ITB telah melakukan ujaran kebencian. Sekaligus membuat dan menyebarkan hoax tentang mantan ketua MUI itu. Tentu ini ada konsekuensi hukum yang harus dipikul oleh GAR ITB.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Abu Janda Kagum Kepada Hendropriyono

by Asyari Usman Medan, FNN - Permadi Arya alias Abu Janda belum lama ini diperiksa oleh Bareskrim Polri. Kasusnya adalah tuduhan rasis terhadap Natalius Pigai dan pernyataan dia bahwa Islam agama arogan. Tapi, yang menarik dari kehadiran si Abu di kantor polisi bukan soal pemeriksaan dia itu. Yang menarik adalah pengakuan Abu Janda yang sangat memukau. Bahwa dia sangat kagum kepada Jenderal Hendropriyono –mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Ini luar biasa. Sebab, orang–orang yang segenerasi dengan si Abu biasanya kagum pada tokoh yang akan menyelesaikan masalah masa depan, bukan tokoh yang membuat masalah di masa lalu. Tampaknya, dari kekaguman si Abu itu publik bisa paham tentang diri si buzzer. Sekaligus bisa mendapatkan gambaran tentang mengapa si Abu punya semangat juang yang tinggi. Soal tuduhan rasis terhadap Pigai, itu hampir pasti tidak bisa dielakkan lagi. Dan publik pun yakin bahwa Abu hanya bisa lepas dari jerat hukum rasis (SARA) itu kalau Polisi sudah “tidak kagum” lagi kepada dia. Nah, mengapa Abu Janda kagum kepada Pak Hendro? Pertanyaan ini cukup berat untuk dijawab. Tetapi, rata-rata Anda tahu jawabannya. Kecuali Anda itu hanya senang dengan “current affairs” (masalah kekinian), tapi tak suka “old affairs” (masalah kekunoan). Baik, apa gerangan? Tentu yang paling tahu adalah Abu Janda sendiri. Tapi, tidak ada salahnya kalau Anda menduga. Salah satu dugaan itu adalah kemungkinan kekaguman Abu Janda kepada Pak Hendro karena beliau ini serba bisa, serba ada, dan serba besar. Serba bisa, artinya tidak ada yang tak bisa dilakukan oleh Pak Hendro. Baik semasa aktif sebagai tentara maupun setelah pensiun. Beliau punya banyak kelebihan. Banyak anak buah, banyak cara, banyak sumber. Serba ada, artinya tidak ada istilah tak ada, bagi Pak Hendro. Semua harus ada. Harus ada yang bisa melaksanakan keinginan dan perintah beliau semasa pensiun saat ini. Apalagi semasa aktif tempohari. Serba besar, artinya semuanya besar. Punya kekuasaan besar. Urusan yang besar-besar. Punya teman orang-orang besar. Punya mainan besar-besar. Dan pasti pula punya kekayaan besar, tentunya. Tak mungkin kekayaan kecil. Sebab, Pak Hendro itu seorang dermawan. Sponsor macam-macam kegiatan dan tindakan. Ini yang barangkali membuat Abu Janda kagum. Si Abu mengaku baru dua kali bertemu Pak Hendro. Bayangkan, dua kali pertemuan saja bisa kagum besar. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kabut Hitam Istana, Presiden Harus Bersikap

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Direktur The Global Future Institute Prof. Hendrajit mencermati “Kudeta Demokrat” yang dilakukan KSP Moeldoko atas Ketum DPP Partai Demokrat Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) yang sedang berlangsung tersebut sebagai “Drama”. “Drama ini justru mempertunjukkan bahwa semua yang bermain sebagai protagonis maupun antagonis dalam cerita ini, sejatinya berada dalam satu barisan. Berarti, kepada siapa drama ini sesungguhnya diarahkan? Berarti ada barisan lain yang sedang diganggu,” ujarnya. Diamnya Presiden Joko Widodo setelah konpres AHY dan Moeldoko, berarti sudah sesuai arahan dan skrip cerita. Menunggu SBY masuk pentas. “Sebab, kalau benar kudeta seperti kita bayangkan, istana pasti langsung membuat konpres,” lanjut Hendrajit. “Kalau sudah jalur Pratikno atau Pramono yang langsung membuat bantahan, sudah cukup untuk mematahkan pandangan adanya kaitan antara Moeldoko dan Istana,” ujarnya. Dan, “Menarik kesimpulan: manuver Moeldoko bersifat pribadi dan tak ada kaitan sama Istana.” Gimanapun juga, jantung lingkar kekuasaan Jokowi itu terletak di Pratikno dan Pramono. Bukan di KSP. Prof. Dr. Drs. Pratikno, MSoc.Sc. adalah Menteri Sekretaris Negara. Dr. Ir. Pramono Anung Wibowo, MM adalah Sekretaris Kabinet Indonesia. Akhir drama nantinya, SBY bertemu Jokowi, yang difasilitasi Moeldoko. Dengan tema sentral: Klarifikasi dan pelurusan. “Setelah itu ada kesepakatan tak tertulis, perubahan formasi politik yang saling menguntungkan. Formasi lama diubah dan disesuaikan,” kata Hendrajit. Semua happy. Cerita selesai. Jadi, misinya cuma ganggu-ganggu dan goyang-goyang Jokowi saja. Dalam politik berkhianat tapi beralih pihak hal lumrah. Tapi, di dunia timur kalau sudah cium tangan, nggak mungkin khianat. Ibarat bapak dan anak buah. Ibarat kiai dan santrinya. Patron-Client. Biasanya dalam kemiliteran itu, hal seperti ini kesetiaanya melampaui masa tugasnya di kemiliteran. Melampaui hubungan atasan dan bawahan dalam hirarki dan mata rantai komando di militer. “Jadi kalau ada pertunjukkan atau permainan panggung, pasti ada skrip dramanya. Dan untuk nyusun skrip cerita? SBY lah ahlinya,” ungkap Hendrajit. Sekadar informasi. Saat Moeldoko Komandan Brigif Jakarta-Pusat Kodam Jaya, SBY Kasdam Jaya, Pangdam Jaya Sutiyoso. Benarkah analisis Profesor Hendrajit tersebut? Bisa benar, bisa juga salah! Pasalnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rasanya tidak ikut “bermain” drama Kudeta Demokrat seperti yang dilakukan Moeldoko secara terbuka dan “kasar”. Pasti senyap, halus, dan cantik! Manuver Moeldoko sebagai pejabat Lingkar Istana Negara, jelas sangat merugikan Presiden Jokowi. Karena, petinggi dan pengurus daerah Partai Demokrat pasti menyangka gerakan yang mengusik kepemimpinan AHY tersebut “direstui” Presiden Jokowi. Apalagi, Moeldoko juga menyebut, pertemuan serupa juga pernah “dilakukan” Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman dan Investasi. Penyebutan nama Luhut itu bisa memperkuat dugaan, Istana terlibat rencana Kudeta Demokrat tersebut. “Pak LBP juga pernah cerita kepada saya, “Saya juga pernah didatangi oleh mereka-mereka. Ya saya juga sama”,” ujar Moeldoko menirukan ucapan Luhut saat memberikan keterangan pers di kediamannya di Jl Terusan Lembang, Rabu (3/2/2021). Ketika memberikan keterangan dalam jumpa pers itu, Moeldoko tampak grogi dan gugup. Ia tampak tidak siap dengan skenario gagal Kudeta Demokrat. Dikiranya semua bakal berjalan mulus. Demokrat melawan. AHY kirim surat ke Presiden Jokowi. Akun Twitter@DalamIstana mengungkap, Presiden Jokowi ngamuk setelah baca surat AHY. Dia memanggil Kakak Pembina. Marah habis-habisan. “Segera beresin semua kalau gak mau dicopot!” kata Jokowi saking marahnya. Kakak Pembina yang dimaksud itu adalah Moeldoko. “Akhirnya permufakatan jahat Kakak Pembina terbongkar juga. Seluruh tim langsung panik,” tulis Twitter@DalamIstana. Jokowi wajar ngamuk. Karena, Karena efek kesembronoan Kakak Pembina sudah merembet ke mana-mana. Golkar, Partai Berkarya, dan PPP sudah balik memanas. Kalau Kakak Pembina sampai kalah, mereka sudah ancang-ancang “mari rebut kembali”. Tokoh Golkar Aburizal Bakrie sudah bikin ancang-ancang di Golkar. Sudah ada kader yang diutus untuk ketemu Jusuf Kalla. Humprey Djemat yang kader-kadernya tidak diakomodir Suharso Moarfa sedang menyusun kekuatan. Begitu juga Hutomo Mandala Putra alias Tommy Suharto yang dikudeta dari Partai Berkarya. Gerindra tak mungkin dikudeta karena figur Prabowo Subianto terlalu kuat dan sangat solid. Apalagi, Ketum DPP Gerindra ini menjadi bagian dari Pemerintahan. Selain Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, ada Sandiaga Salahuddin Uno ditunjuk menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin. Jadi, Gerinda masih aman, tak mungkin “disentuh”. Yang selama ini di luar Koalisi Jokowi adalah PKS dan Demokrat. Tapi, rupanya, khususnya terhadap PKS, mereka tak sanggup menggoyang Mohamad Sohibul Iman semasa menjabat Presiden PKS. Kini posisinya digantikan Ahmad Syaikhu. Satu-satunya parpol potensial yang masih bisa “digoyang” tinggal Partai Demokrat. Mereka pun mulai menggarap Demokrat dengan meluncurkan isu kepemimpinan AHY. Moeldoko menjadi “operator” lapangan, yang kemudian gagal. Nazaruddin dan Johny Allen Marbun menghubungi ketua-ketua DPC. Untuk bikin isu kalau Demokrat tidak solid, mereka mau beri dana Rp 100 juta cash kalau ada Ketua DPC yang mau menjelek-jelekkan AHY. Biaya konferensi pers mereka yang tanggung. Tapi ternyata tak ada satupun yang mau. Semua Ketua DPC dan DPD Demokrat tetap solid mendukung AHY. Nazaruddin dan Johny Allen Marbun tambah jadi Rp 150 juta, tetap tak ada yang mau. Akhirnya Nazaruddin dan Johny Allen Marbun pakai orang-orang lama. Mereka yang sudah tak aktif, bahkan sudah keluar dari Demokrat. Diiming-imingin sama Rp150 juta buat yang mau ngomong. Darmizal dan Ahmad Yahya dan lain-lain. Mereka bilang ada 4 faksi yang ingin kudeta AHY. Yaitu: Faksi Marzuki Ali, Faksi Anas Urbaningrum, Faksi Subur Budhisantoso, dan Faksi Kakak Pembina (Moeldoko). Mereka ternyata tidak konfirmasi dulu terhadap nama-nama yang disebut itu. Anas, Subur, dan Marzuki marah karena nama mereka dicatut! Praktis kini tinggal Faksi Moeldoko. Mereka makin panik. Twitter@DalamIstana menulis, mereka paham, era Jokowi sudah senjakala. Kekuatan Jokowi makin lama-makin lemah seiring Covid-19 tembus sejuta dan ekonomi hancur. Rakyat mulai marah pada Jokowi. Sekarang saatnya balas dendam dan mempersiapkan Pilpres 2024. Target Ical dan JK bersatu mau tarik Golkar keluar koalisi pemerintah. Humprey Djemat juga demikian, kader-kader PPP sadar kalau terus di ketek pemerintah pas rakyat lagi kecewa, PPP bisa tidak dapat kursi di Senayan 2024 nanti. Kalau Golkar dan PPP sampai kabur, strategi Jokowi untuk memastikan kemenangan PDIP via pejabat Kepala Daerah yang dikondisikan oleh Mendagri Tito Karnavian lewat menolak Pilkada 2022 dan 2023 bakal makin sulit. JK mau memastikan Anies Baswedan bisa tetap punya panggung sampai 2024. Ical sudah setuju. Moeldoko tak bisa ngomong apa-apa. Ini pertaruhan buat Moeldoko. Kalau dia gagal karier politiknya tamat. Tanpa jabatan KSP, dia bukan apa-apa. Makanya, gantian Moeldoko yang ngamuk-ngamuk ke Nazaruddin dan Johny Allen Marbun. Max Sopacua dan Marzuki Alie yang cuma ikut-ikut langsung kabur sambil coba cuci tangan. Belakangan ada kabar, Moeldoko juga seret PDIP dalam pusaran Kudeta Demokrat. Melihat adanya “keterlibatan” Moeldoko dan diseretnya nama Luhut serta PDIP dalam rencana Kudeta Demokrat ini, Presiden Jokowi harus bersikap tegas dan bijak! Jika terbukti gerakan mereka ini ternyata dapat “restu” Jokowi, rakyat bisa marah besar! Ditambah lagi, ada banyak kasus yang membuat rakyat kecewa dengan penegakan hukum! Selain masalah ekonomi yang terpuruk dengan menumpuk ribuan triliun, perlakuan penegak hukum yang diskriminatif terhadap ulama bisa memicu Revolusi Sosial. Sikap Presiden yang memerintahkan kasus tewasnya 6 Laskar FPI oleh polisi diselesaikan secara hukum dengan transparan dan adil, sangatlah tepat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus bisa membaca perintah Presiden ini! Dengan adanya perintah Presiden itu, seharusnya Jenderal Listyo segera mengambil langkah-langkah penting. Salah satunya yang penting dan mendesak, mencopot Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran. Kita lihat saja nanti, apakah perintah Presiden Jokowi itu “didengar” dan dieksekusi Jenderal Listyo. Jika tidak didengar, berarti Jokowi memang bukan siapa-siapa! Jokowi hanya seorang Presiden yang dikendalikan oleh kekuatan “Oligarki” semata. Jangan salahkan rakyat juga jika kemudian muncul desakan agar Jokowi mundur dan rakyat minta supaya Pilpres dipercepat, seperti masa transisi dari Presiden BJ Habibie! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Geger "Kudeta" Demokrat: Ada Luhut di Belakang Moeldoko?

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Pertempuran jelang Pilpres 2024 mulai menghangat. Sejumlah tokoh nasional ancang-ancang untuk menjadi kontestan dalam pergelaran 5 tahunan tersebut. Setelah ramai “kampanye” Erick Tohir, Menteri BUMN, melalui sejumlah media luar ruang terpasang di sejumlah daerah di Indonesia, terkini kabarnya Moeldoko juga menyusul bakal ikut kontestasi Pilpres 2024. Yang dilakukannya tidak main-main! Moeldoko dituding telah siapkan “kudeta” menjungkalkan Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketum Partai Demokrat. Dengan kata lain, Demokrat dilirik Moeldoko menjadi “kendaraannya” untuk maju Pilpres 2024. Meski hanya mengantungi suara lebih-kurang 8 persen pada Pemilu 2019 lalu, Demokrat yang kini menjadi “oposisi”, dipandang berpotensi mengirim capres pada Pilpres 2024. Selain dua nama tokoh nasional di atas, nama Anies Baswedan, Sri Mulyani, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, AHY, dan bahkan nama Mensos Tri Rismaharini, muncul juga di tengah masyarakat sebagai kandidat capres dan cawapres terkini. Di belakang mereka, masih ada nama Capres dan Cawapres 2019 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Harus diakui, meski gelaran Pilpres 2024 masih berselang lebih-kurang 3 tahun lagi, situasi politik mulai memanas. “Konflik” Demokrat dengan Moeldoko diyakini akan semakin panas, dan mungkin saja akan berimbas ke parpol-parpol lain. Jika para “gajah” sudah mulai bertarung seperti sekarang, siapa yang akan menjadi “korban”? Dan, apakah pertarungan para “gajah” tersebut akan menguntungkan atau demi kepentingan rakyat? Hanya sang waktu yang bisa memberikan jawaban! Terungkapnya “rencana kudeta” Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), itu disampaikan AHY sendiri dalam jumpa pers sebelumnya. AHY memang tak menyebutkan nama, karena mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan menunggu proses konfirmasi. Pasca konferensi pers AHY, berkembang spekulasi, siapa sosok pejabat pemerintahan yang dimaksud AHY ini. Selasa malam (2/2/2021), KSP Moeldoko sendiri memberikan penjelasan langsung yang bisa disaksikan oleh rakyat. “Respon beliau sudah terprediksi. Nervous, gugup, dilihat dari gerakan tangan dan beberapa kali KSP Moeldoko menyebut gua gue,” ungkap Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Moeldoko menganggap dirinya dikaitkan dalam gerakan ini, karena berdasarkan foto-foto belaka. Padahal, faktanya tidak demikian. “Untuk itu, atas nama Partai Demokrat, saya perlu memberikan tanggapan atas pernyataan KSP Moeldoko,” lanjutnya. Pertama, pertemuan antara KSP Moeldoko dan beberapa kader Demokrat, tidak dilakukan di rumah, melainkan di luar rumah. Kedua, kedatangan kader Demokrat dari daerah ke Jakarta, itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis oleh para pelaku gerakan. Menurut Herzaky Mahendra, ada yang mengundang, membiayai tiket pesawat, menjemput di bandara, membiayai penginapan, termasuk konsumsi. Ketiga, “Jika Moeldoko mengatakan konteks pembicaraannya nggak dimengerti, sungguh sulit dipahami.” Berdasarkan keterangan yang dimiliki Demokrat, pembahasan utama yang disampaikan oleh pelaku gerakan dalam pertemuan tersebut adalah rencana mengusung KSP Moeldoko sebagai calon Presiden 2024. “Untuk memuluskan rencana tersebut, para pelaku gerakan mempersiapkan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat, melalui proses Kongres Luar Biasa (KLB),” lanjut Herzaky Mahendra. Keempat, proses pengiriman surat Ketum Demokrat AHY kepada Presiden Joko Widodo merupakan buah dari komitmen dan kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk saling menjaga hubungan baik dan komunikasi yang lancar. Menurut Herzaky Mahendra, komitmen tersebut dilakukan juga untuk menghentikan tindakan orang-orang yang gemar mencatut dan mengatasnamakan Presiden, maupun nama Ketum Partai Demokrat, dengan tujuan yang tidak baik dan mengadu domba. “Jadi, jangan dibelokkan, kok malah kita dianggap berhadapan dengan Istana. Saya juga ingin memberikan tanggapan terkait Konferensi Pers para pelaku gerakan yang dilaksanakan siang hari ini,” ungkap Herzaky Mahendra. Mereka, katanya, berencana menjemput KSP Moeldoko sebagaimana menjemput SBY pada 2004 sebagai calon presiden; lalu ada pelaku gerakan bernama Yus Sudarso menyatakan, “Apa salahnya kami melakukan ini”. “Salahnya adalah upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang sah melalui Kongres Luar Biasa,” tegas Herzaky Mahendra. Dulu, hal itu tidak ada. “Bapak SBY duduk sebagai Dewan Pembina,” lanjutnya. Jadi, “Kalau KSP Moeldoko mau menjadi Capres melalui Partai Demokrat, ya bikin KTA dulu sebagai kader Partai Demokrat. Jangan tiba-tiba ingin menjadi Ketua Umum, apalagi melalui KLB. Itu saja sudah salah besar. Itu jelas inkonstitusional.” “Pak Moeldoko itu siapa? Pak Moeldoko itu KSP, stafnya Presiden. Tugasnya sekarang membantu Presiden menyelesaikan pandemi dan krisis ekonomi. Jangan malah disibukkan untuk memikirkan pencapresan,” ujar Herzaky Mahendra. “Kasihan rakyat, lagi pandemi kok malah memikirkan pencapresan. Kasihan Presiden yang membutuhkan bantuan semua pihak untuk menangani krisis pandemi dan ekonomi,” ujarnya. *Sebut Luhut* Dalam tulisan sebelumnya, saya menulis, sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis”. Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil dulu sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena dipikir Demokrat sudah lemah betul di bawah kendali AHY. Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa “RI-1 dan RI-2” pilihannya. Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya. Ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik! Siapa Jenderal Pebisnis yang saya sebut dalam tulisan sebelumnya itu? Sekarang mulai terbuka. Sebelumnya, Moeldoko menyebut nama Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Moeldoko mengatakan bahwa Luhut juga pernah bertemu dengan sejumlah kader Demokrat, sama seperti dirinya. Menanggapi hal itu, filsuf politik Rocky Gerung memaparkan, terdapat dua kemungkinan yang terjadi. “Ya dua soal sebetulnya. Ingin nyari patron supaya bebannya enggak terlalu berat, maka sebagian dilimpahkan kepada Pak Luhut,” katanya di kanal YouTube Roger Official seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com pada Kamis, 4 Februari 2021. Akan tetapi, kata Roger, Luhut tidak melibatkan diri di dalam proyek kudeta Partai Demokrat tersebut. “Mungkin Pak Luhut punya pengetahuan tentang apa yang terjadi di dalam internal Partai Demokrat,” ujar dia “Tapi ini, AHY langsung bikin konferensi pers. Artinya, ada skala persoalan yang luar biasa besar itu,” lanjut Roger yang akademisi itu. Ia memperkirakan bahwa saat ini sangat mungkin 10 persen kader Partai Demokrat di tingkat DPC sudah dapat sejumlah uang. “Jadi mungkin problem-problem itu yang dikhawatirkan oleh Partai Demokrat, karena itu dibeberkan,” ujarnya. Menurutnya, Moeldoko berupaya untuk mencari pelindung. Tapi, Roger menyatakan bahwa hal kurang tepat. “Itu peristiwa yang lain dengan maksud yang lain. Karena itu jangan terlalu banyak cari alibi, Pak Moeldoko. Nanti kejebak,” ucapnya. Menurut Roger, Luhut itu dijadikan jembatan untuk memberi tahu pada Presiden Joko Widodo bahwa tidak sedang terjadi apa-apa. Tidak hanya Moeldoko. Konon, Luhut juga pernah didatangi mantan Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang sama-sama ingin Kudeta Demokrat. Presiden Jokowi sendiri, kabarnya, ngamuk setelah baca surat AHY yang dikirimkan kepadanya. Ia memanggil “Kakak Pembina”. Marah habis-habisan. “Segera beresin semua kalau gak mau dicopot!” begitu kata Jokowi saking marahnya, mengutip akun Twitter@DalamIstana. “Kakak Pembina” yang dimaksud selama ini tidak lain adalah KSP Moeldoko. Apakah ini sinyal bahwa “Istana Pecah”? *** Penulis wartawan senior fnn.co.id.

Moeldoko dan Etika Berpolitik

By Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Press release yang dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat, 1 Februari 2021 terkait dengan kudeta pimpinan partai telah menyita perhatian masyarakat. Pasalnya selain melibatkan 4 orang yang pernah sebagai elite partai, maka yang menarik adalah dugaan keterlibatan Moeldoko (Kepala Staf Presiden) dalam peristiwa ini. Keikutsertaan pejabat tinggi di lingkungan terdekat dari presiden setidaknya membuat publik berspekulasi bahwa presiden telah menyetujui. Sehingga situasi ini dapat membuat para pengamat luar negeri (Indonesianis) berkesimpulan bahwa presiden Jokowi telah mengembalikan otoritarianisme. Rezim otoritarianisme di Indonesia pada dasarnya telah hilang pada tahun 1998 seiring runtuhnya Orde Baru oleh gelombang tuntutan reformasi kala itu. Dan sejak itu, banyak dilakukan perubahan bidang sosial politik untuk memperbaiki kebijakan yang disebabkan oleh pemerintah. Di antaranya adalah terkait penghapusan dwifungsi militer, pemilihan presiden hingga kepala daerah, kedudukan MPR, serta hak dan kewajiban presiden. Karenanya, upaya untuk mengembalikan kekuasaan yang berlebihan di tangan pemerintah banyak mendapat gugatan dan perlawanan dari masyarakat sipil. Etika dalam Politik Salah satu masalah dalam perilaku elite politik seiring dengan reformasi adalah terkait dengan etika. Dimana bukan hanya suatu keharusan dalam perilaku politik, namun etika diperlukan untuk berbagai bentuk aktivitas kehidupan keseharian. Menjujung etika dalam politik sangat dibutuhkan oleh elite negara karena berkaitan dengan masalah moral kekuasaan yang ditimbulkan. Etika politik pada dasarnya tidak mengizinkan para pemimpin untuk melakukan hal-hal yang salah dalam kehidupan pribadi, tetapi yang lebih penting lagi adalah mengharuskan para elite politik untuk memenuhi standar yang lebih tinggi daripada yang diperlukan dalam keseharian. Misalnya, hak privasi yang lebih kecil dibanding warga negara biasa, dan tidak memiliki hak menggunakan kantor untuk keuntungan dan kepentingan pribadi. Di Amerika Serikat, etika dalam politik senantiasa menjadi dasar atau acuan bagi setiap orang yang dipilih menduduki jabatan publik. Menurut Rich Robinson (Direktur California Utara Bagi Calon Presiden Partai Demokrat), ada 3 hal yang membuat masyarakat marah jika seorang pemimpin melanggarnya yaitu ; Pertama, Kampanye tidak jujur merupakan cerminan etika politik yang melekat. Sekalipun di USA tidak diatur tentang kejujuran kampanye, atau apa yang dianggap pantas atau tidak pantas. Namun kampanye negatif tidak selalu merupakan sesuatu yang buruk, jika tuduhan terhadap kandidat itu benar. Kedua, inkonsistensi dan standart ganda dalam bertindak. Sikap dan tindakan seorang politisi dituntut untuk jujur dan tidak semata menguntungkan diri dan partainya. Dalam kasus skandal seks yang menimpa senator Republik Bob Packwood, banyak anggota dari Demokrat dengan cepat menyerukan pengunduran diri Packwood. Namun ketika kasus yang sama menimpa Bill Clinton, maka anggota partai Demokrat pada diam. Dengan demikian, seorang politisi apalagi presiden dituntut untuk jujur, betapapun kasus yang terjadi merugikan kepentingan partainya. Ketiga, peran uang dalam kampanye. Berlawanan dengan pemikiran populer, uang tidak menentukan hasil pemilu, terutama di tingkat nasional. Namun pada sisi lain, uang ternyata dapat memainkan peran - bagaimanapun dalam pemilihan – para calon untuk terus mengubah aturan tentang besaran kontribusi, pengeluaran, dan waktu pelaporan. Sehingga membuat hampir semua politisi kelihatan tampak tidak etis ketika sedang merealisasikan dan melaporkan Ini berarti, etika politik yang erat kaitannya dengan sikap, nilai, maupun moral serta sangat fundamental harus dimiliki setiap orang terutama yang menduduki posisi penting dalam struktur kekuasaan. Sementara yang ironis dalam realitas kehidupan perpolitikan dewasa ini, justru banyak dari para elit politik yang tidak beretika dalam sikap atau perilaku politiknya. Terutama terkait dengan perilaku kekuasaan yang korup. Terlebih lagi, kekuasaan yang cenderung otoriter, maka prakteknya cenderung longgar, mudah diabaikan tanpa malu dan bersalah. Praktek kekuasaan yang tidak peduli terhadap penyalahgunaan wewenang, korupsi dan lainnya karena dijalankan dengan pengabaian alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, serta tiadanya rasa malu dan merasa bersalah Sehingga tanpa disadari, kekuasaan korup yang berlangsung telah membawa etika politik bangsa Indonesia yang cenderung mengarah pada kompetisi dengan mengabaikan moral. Ini terbukti dari kasus-kasus perebutan jabatan politik dengan menggunakan uang sebagai jalan keluar (keputusan). Nyaris semua jabatan yang ada memiliki harga yang harus dibayar oleh pejabat atau orang yang akan menduduki. Jabatan atau kekuasaan menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang. Tanpa mengindahkan kaidah etika dalam berpolitik, maka tidaklah heran jika Indonesia hanya akan dikuasai oleh orang-orang yang miskin secara moral dan perilaku politiknya cenderung abai terhadap nasib rakyat. Jadi ingat seperti pepatah Jawa Ngono Yo Ngono, Tapi Ojo Ngono. Penulis adalah Peneliti LP3ES

Kudeta Demokrat: Ini Bukan Permainan SBY!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Nama Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko hari-hari ini viral di berbagai media. Pasalnya, mantan Panglima TNI era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini “terendus” berniat akan “mengkudeta” Ketum Partai Demokrat Agus Harimurty Yudhoyono. Semula, nama Moeldoko masih remang-remang sebagai salah satu tokoh di luar Demokrat yang berkolaborasi dengan “orang dalam” partai besutan SBY itu. Adalah Kepala Bappilu Demokrat Andi Arief menyebut, orang yang dimaksud adalah Moeldoko. Gerakan dan manuver politik oleh segelintir kader dan mantan kader yang akan mengkudeta Demokrat sampai ke telinga AHY. Disebutkan, ada lima orang yang menggalang kudeta itu. Mereka berasal dari internal dan eksternal partai, dilakukan secara sistematis. AHY menyebut, mereka terdiri dari 1 kader Demokrat aktif, 1 kader yang sudah 6 tahun tidak aktif, 1 mantan kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat karena dihukum akibat korupsi, dan 1 mantan kader yang telah keluar dari partai 3 tahun yang lalu. Sementara satu lagi adalah non kader partai yang kini menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Ialah Moeldoko. “Banyak yang bertanya siapa orang dekat Pak Jokowi yang mau mengambil alih kepemimpinan AHY di Demokrat, jawaban saya KSP Moeldoko,” ujar Andi Arief. Pernyataan tersebut selaras dengan apa yang disampaikan Wasekjen DPP Demokrat Jansen Sitindaon, orang itu adalah pejabat militer yang pernah dibesarkan oleh Presiden SBY yang mengangkat Moeldoko sebagai Panglima TNI. Sementara itu mengenai kader Demokrat aktif yang turut menggalang kudeta, kabar yang beredar mengerucut pada nama Johny Alen Marbun, Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat itu memang pernah berbeda pandangan dengan DPP saat Pilpres 2019 lalu. Sedangkan untuk nama kader yang disebut tidak aktif lagi sejak 6 tahun lalu, kabarnya adalah Marzuki Alie. Mantan Ketua DPR RI dari Demokrat ini sudah menghilang sejak 6 tahun lalu, tepatnya saat gagal lolos ke Senayan pada Pileg 2014. Pada 2015, nama Marzuki Alie sudah tidak ada lagi bercokol di pengurus Demokrat. Adapun nama kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat karena kasus korupsi ini diduga adalah Muhammad Nazaruddin. Nama Nazaruddin memang sudah tak asing bagi dunia politik di negeri ini. Pada 9 tahun lalu dia ditangkap di Bogota, Kolombia setelah menjadi buron dalam kasus Wisma Atlet. Sedang nama mantan kader yang sudah keluar sejak 4 tahun lalu diduga adalah Max Sopacua. Nama Max Sopacua memang kerap muncul ketika ada gaduh mengenai internal Demokrat. Max Sopacua beberapa kali juga mendengungkan untuk dilakukan Kongres Luar Biasa di tubuh Partai Demokrat. Namun, belum ada kabar resmi siapa 4 orang di luar nama Moeldoko yang dimaksud AHY sedang menjadi “dalang kudeta” itu. Demokrat Melawan “Kita ikuti saja terus perkembangan situasi eksternal, sambil perkuat konsolidasi internal kita. Perkuat terus narasi dan persepsi bahwa kita secara internal memang solid dan kompak, dan siap Lawan siapapun yang mau merusak soliditas dan kekompakan itu,” tegas AHY. Karena saat ini mereka tengah berupaya membangun narasi (termasuk melalui media) bahwa di tubuh PD ada gerakan besar yang ingin kudeta. Padahal, lanjut AHY, ya pelakunya hanya segelintir orang (dan orangnya ya itu-itu saja). “Bedanya kini ada Aktor Eksternal yang sudah sangat kebelet ingin jadi Presiden. Karena perlu “kendaraan” untuk nyapres nanti, makanya dia ingin rebut Demokrat secara paksa dan dengan cara-cara yang inkonstitusiona l, keluar jauh dari nilai-nilai moral dan etika,” ujarnya. Para pelaku gerakan juga seenaknya beranggapan bahwa Demokrat for Sale. Lantang katakan kalau Demokrat is Not for Sale! “Yang jelas, mereka tidak menyangka kalau kita akan berani se-frontal dan setegas itu untuk menguak kebenaran dan menuntut keadilan. Tunjukkan terus sikap seperti ini kepada Rakyat kita,” tegas AHY. “Mengapa kita harus berani? Karena kalau takut kita akan diinjak-injak. Dan kalau kita takut, lalu siapa lagi yang akan berani berdiri tegak membela kebenaran dan keadilan tadi? Kalau Demokrat merasa lemah dan tak berdaya, apalagi rakyat kita?” “Dan, mari kita ingatkan diri kita, bahwa kita hanya boleh takut kepada Tuhan, dan Rakyat; karena Suara Rakyat, Suara Tuhan. Mereka bisa saja ngeles ke kiri dan ke kanan; mencoba escape dari situasi sebenarnya,” ungkap AHY. Mereka juga mencoba menunjukkan sikap “santai”, menyederhanakan permasalahan. Bahkan mereka coba membuat persepsi kalau Demokrat “Cari Perhatian”, “Baper”, “Playing Victim”, “Halusinasi” atau sedang bermain “Drama”. “Tegaskan bahwa kita bukan Pemain Drama, kita adalah Politisi yang Kesatria. Bukan seperti Mereka. Jangan ragu, apalagi kita sudah kumpulkan berbagai bukti, yang pasti akan membuat mereka sulit untuk tidur nyenyak,” tegas AHY. Jadi, lanjutkan perjuangan para pengurus DPP! Lanjutkan untuk membangun opini sekaligus kontra-opini melalui media mainstream maupun media sosial. Lawan segala bentuk Fitnah dan Hoax yang merusak citra partai kita, termasuk yang dilakukan oleh para Buzzer. “Akhirnya, marilah kita ambil hikmah dari ini semua. Justru jadikan ujian yang sedang kita hadapi bersama ini sebagai momentum yang baik untuk merapatkan barisan dan menguatkan Otot Politik kita,” pinta AHY. Dalam organisasi apapun (apalagi Partai Politik), secara internal sangat wajar kalau ada perbedaan pandangan atau sikap di antara kita terkait berbagai hal. Menurut saya, perbedaan (dalam takaran tertentu) justru Sehat bagi sebuah organisasi. Namun, yang mungkin tidak mereka sadari adalah: semua perbedaan itu akan segera kita tinggalkan ketika ada ancaman Musuh Bersama dari luar. “Kini, tanpa kita minta dan tanpa kita sangka, Musuh Bersama itu telah hadir mengusik dan mengancam soliditas, kedaulatan dan kehormatan Partai kita. Oleh karena itu, marilah kita fokuskan pikiran, energi, dan daya kita untuk Hadapi Musuh Bersama kita hari ini!” Sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tidak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis". Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil dulu sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena dipikir Demokrat sudah lemah betul di bawah kendali AHY. Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa RI1 dan RI2 pilihannya. Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya. Ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kudeta Partai Demokrat Adalah Salah Satu Cara Menjegal Anies Baswedan

by Asyari Usman Medan, FNN - Musuh-musuh politik Anies Bawedan akan berkerja keras untuk menjegal beliau. Sebab, tanpa survei apa pun, Anies bakal tampil sebagai kontenstan yang sangat kuat di Pilpres 2024. Inilah yang setiap hari menghantui Jokowi dan Megawati serta semua elemen yang tidak suka Anies. Tapi mereka tahu betul bahwa Anies tidak mudah disingkirkan dari Pilpes 2024. Dan sudah terbayang pula bahwa peluang Anies masuk ke Istana sangat besar. Karena itu, mereka melakukan berbagai cara untuk menghadang Gubernur DKI yang semakin mengancam itu. Yang sudah dan terus mereka lakukan adalah upaya masif dan sistematis yang bertujuan untuk menjatuhkan Anies. Menjelekkan nama beliau. Ini dilakukan oleh mesin buzzer bayaran dan media massa penjilat atau media yang pemiliknya tersandera. Ini cara halus. Cara kasar pun dilakukan. Misalnya, belum lama ini ada peristiwa pemutusan kabel mesin pompa air pencegah banjir di Jakarta. Kabelnya sengaja diputus oleh para pelaku yang tak mungkin tidk terkait dengan upaya demonisasi (penjelekan) Anies. Si penjahat pemutus kabel itu bisa jadi paham bahwa kalau mesin pompa air tak bekerja, pastilah masyarakat akan menyalahkan Anies ketika banjir datang. Cara lain menjegal Anies adalah menghambat revisi UU Pemilu. Menurut UU Pemilu yang berlaku saat ini, pilkada DKI berikutnya dilaksanakan pada 2024. Masa jabatan Anies berakhir 2022. Artinya, setelah habis masa jabatan Anies pada 2022, di DKI Jakarta akan ditunjuk pelaksana tugas (Plt) gubernur menunggu pilkada 2024. Semua faksi di DPR, kecuali PDIP, setuju UU Pemuli direvisi. Agar pilkada diselenggarakan pada 2022. Kalau revisi ini sukses, Anies bisa ikut lagi dan sangat mungkin terpilih kembali. Sehingga, beliau bisa tetap punya panggung politik sampai pilpes 2024. Periode kedua sangat penting bagi Anies untuk ikut pilpres. Dengan duduk di kursi gubernur, Anies bisa terus “berkomunikasi” dengan publik selama dua tahun menjelang pilpres 2024. Jokowi dan Megawati bertekad keras mencegah Anies dua periode. Karena itu, mereka tidak mau pilkada DKI 2022. Jadi, “confirmed” (bisa dipastikan) bahwa tujuan mereka menolak revisi UU Pemilu adalah untuk menghadang Anies ikut. pilpres 2024. Untuk menjegal Anies, tidak hanya lewat jadwal pilkada DKI. Aspek kendaraan politik dan dukungan parlementer juga mereka bidik. Artinya, parpol-parpol yang berpotensi mendukung Anies harus mulai “dikerjai” sejak sekarang. Isu kudeta Partai Demokrat (PD) yang muncul kemarin, hampir pasti terkait dengan upaya untuk menjegal Anies Baswedan. Ini bisa ditelusuri dari jejak manuver PD selama ini. Misalnya, garis politik partai Pak SBY ini di Parlemen selalu beroposisi terhadap penguasa. PD sangat logis akan bergabung ke kubu Anies di pilpres 2024 nanti. Mengapa sangat logis? Lihat saja peta yang ada sekarang. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang saat ini duduk sebagai ketua umum PD, tidak mungkin akan bersekutu dengan poros Megawati-Prabowo. AHY dan PD jauh lebih natural bergabung ke kubu Anies. Kemungkinan ini sudah dibaca oleh lawan-lawan Anies. Di sinilah benang merah antara isu PD mau dikudeta dan pilpres 2024. Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), santer diberitakan ingin mengambil alih partai ini. Kebetulan, ada sejumlah kader Demokrat yang aktif dan yang telah dipecat, yang bisa dijadikan penggerak dari dalam. Seperti dilaporkan CNNIndonesia, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, mengatakan sejumlah pimpinan tingkat pusat dan daerah dipertemukan dengan Moeldoko. "Mereka dipertemukan langsung dengan KSP Moeldoko yang ingin mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat secara inkonstitusional untuk kepentingan pencapresan 2024," kata Herzaky kepada CNNIndonesia, Senin (1/2). Jadi, sangat jelas apa tujuan kudeta itu. Yaitu, mengacaukan pencapresan Anies di 2024. Kecil kemungkinan Moeldoko mendapatkan tiket pilpres. Tapi, kalau PD bisa dia kuasai, berarti dukungan politik untuk Anies menjadi lemah. Anies bahkan bisa digagalkan oleh Moeldoko kalau dia duduk sebagai ketua umum PD.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Oposisi di Tengah Demokrasi

by Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Dalam diskusi Forum News Network (FNN) beberapa waktu lalu, Rocky Gerung mengemukakan fenomena republik yang penuh ketakutan. Beliau merujuk pada tulisan Kanan Makiya tentang Republic of Fear: The Politics of Modern Iraq, Updated Edition First Edition, With a New Introduction. Buku ini akhirnya menjadi best-seller setelah invasi yang dilakukan Presiden Saddam Hussein di Kuwait. Kanan Makiya yang lahir tahun 1949 di Baghdad adalah seorang arsitektur yang lulus di Massachusetts Institute of Technology, Amerika. Kemudian bekerja di perusahaan arsitektur “Makiya & Associates “ milik ayahnya. Sebagai ahli tentang Islam dan Timur Tengah di Brandeis University, beliau mendapatkan perhatian yang luas di tingkat internasional terutama tulisannya tahun 1989 tentang Republik Ketakutan. Makiya kemudian menjadi nara sumber dalam pembicaraan dengan pemerintah AS yang menyerang Irak tahun 2003 dan menggulingkan rezim Saddam Hussein. Karenanya, tidak sedikit yang memberikan kritik terhadap karya Kanan Makiya. Salah satunya adalah Edward Said, profesor di Universitas Columbia-USA yang merupakan salah seorang paling vokal terhadap Makiya. Said berpendapat bahwa Makiya adalah seorang Trotskyis (Trotsky diidentifikasi sebagai Marxis ortodoks) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, tetapi kemudian "beralih sisi" dengan mengambil untung melalui rancangan gerakan untuk menggulingkan Saddam Hussein Melembagakan Oposisi Apa yang berlangsung di Irak terutama semasa Saddam Hussein memimpin tidak lepas dari hilangnya suara oposisi. Nyaris kekuasaan terpusat pada satu tangan sehingga menyimpan dan menumpuk perlawanan yang tersembunyi. Upaya menghidupkan kekuatan sebagai lawan politik nyaris tidak dilakukan karena kekuatiran dan bahkan ketakutan bahwa oposisi dapat merongrong dan pada akhirnya menjatuhkan kekuasaannya. Catatan Amnesty menunjukkan bahwa kualitas kebebasan berekspresi mulai dari berpendapat para warga, media, dan juga organisasi kemasyarakatan di Indonesia yang ingin beroposisi telah merosot cukup tajam. Dari seluruh catatan yang ada, maka paling mengkhawatirkan adalah penggunaan aturan pidana dalam menyikapi ekspresi warga yang kritis terhadap pejabat maupun lembaga negara. Termasuk juga serangan siber terhadap kelompok ini. (Rontoknya Kualitas Demokrasi di Era Jokowi, https://tirto.id/f6nL) Beberapa kasus menunjukkan penurunan kualitas demokrasi. Sebagai contoh, KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang dideklarasikan 18 Agustus 2019 oleh sejumlah tokoh, sebagai gerakan moral yang berjuang untuk mewujudkan masyarakat Indonesia sejahtera telah mengalami mati suri. Wadah yang bermaksud mengkritisi kebijakan pembangunan, KAMI dihajatkan beroposisi untuk memperkuat bangsa dan negara yang selaras dengan aspirasi rakyat. Dengan demikian kehadiran KAMI seharusnya dilihat sebagai bagian dari kekuatan yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan rakyat. Karena itu, gerakan moral yang menghimpun berbagai elemen-elemen dan komponen bangsa lintas agama, suku, profesi dan kepentingan politik perlu dilihat sebagai kekuatan untuk menyelamatkan Indonesia. Sehingga wajar manakala cara yang dilakukan adalah pengawasan social baik melalui kritik dan koreksi untuk meluruskan kiblat bangsa dari segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan. Semuanya dilakukan dalam kerangka membangun demokrasi. Terpenting apa yang dilakukan tidak mengarah pada cara-cara kekerasan dan inkonstitusional. Terhambatnya budaya politik oposisi di Indonesia ada kesan dilatar-belakangi oleh perkembangan persepsi yang keliru di tengah masyarakat dan pengelola kekuasaan tentang makna oposisi. Seolah-olah partai atau kelompok masyarakat yang beroposisi dianggap pembuat onar dan biang keladi dari kekisruhan politik yang mapan. Padahal suara krits dan berbeda baik di parlemen maupun di tengah masyarakat merupakan bagian dari tanggungjawabnya untuk mendorong perubahan kebijakan pemerintah yang lebih baik. Mati surinya kelembagaan oposisi seperti KAMI dalam kehidupan politik kelak dapat mengancam kehidupan demokrasi. Kurang berfungsinya partai politik dalam menjalankan fungsi control dan sekaligus menawarkan kebijakan alternatif kepada pemerintah justru akan membuka ruang bagi tumbuhnya kekuatan rakyat melalui gerakan ekstra parlemen yang lebih dahsyat. Ini berarti, membuka ruang oposisi dalam negara demokrasi menjadi wajib dijalankan sebelum memunculkan krisis legitimasi terhadap pemerintah dan partai politk. Dr Surin Pitsuwan, seorang diplomat Thailand dan mantan Sekretaris Jenderal ASEAN, mencatat bahwa ‘ demokrasi di Asia Tenggara belum begitu baik ’ yang salah satunya disebabkan oleh kesalahpahaman demokrasi. Dimana telah membawa generasi pemimpin yang mengendarai gelombang populisme, korupsi, patronase dan tanpa oposisi. Sehingga menciptakan ‘sandiwara’ demokrasi yang terlalu banyak memberi harapan ketimbang merealisasi fakta dalam jangka pendek. Penulis adalah Peneliti LP3ES.

Orkestra Jokowi Makin Sumbang dan Getir

by Jarot Espe Surabaya, FNN - JIKA seni merupakan ekspresi manusia menyikapi hidup, pada bagian mana Presiden Jokowi bertindak solutif lewat gerakan baton atau tongkat dirijen? Selama dua periode, Jokowi memimpin orkestra di panggung besar. Negara di khatulistiwa. Baton berwarna putih bergerak naik turun di tangan sang konduktor. Jokowi menulis sendiri partiturnya, dan para menteri tinggal membaca dan memainkan alat musik yang dipegang. Jokowi adalah konduktor di panggung politik. Sangat berbeda dengan konduktor sekaliber Ludwig Van Beethoven. Masa hidup Beethoven, tahun 1770 hingga 1827, sarat dengan penciptaan karya klasik. Dalam kondisi pendengaran kian berkurang, ia menyelesaikan simphony 5 yang mempengaruhi musik klasik abad modern. Simphony 5 bukan menggambarkan kondisi saat itu, melainkan luapan perasaan Beethoven. Dari gelap, terbitlah terang. Umat Muslim lebih mengenal dalam firman Allah, di balik kesulitan, ada kemudahan. Beethoven memang terlahir sebagai seniman, komposer kelas wahid yang menomor satukan harmonisasi suara. Begitu banyak musisi serta alat musik yang dihadirkan, justru menimbulkan musik yang enak di telinga. Ia membuktikan bahwa musik instrumental tak bisa lagi dianggap kelas dua. Adapun Jokowi merupakan politikus, meski tidak memiliki partai sendiri. Justru inilah kelebihan Jokowi yang mampu merangkul sekaligus menaklukkan lawan politiknya dalam satu keranjang. Jokowi terampil memanfaatkan potensi potensi di muka bumi, dipadukan dengan keberanian dalam mengumbar janji. Baginya lain urusan, jika di kemudian hari, tidak terealisasi. Orkestra Jokowi tidak perlu harmonisasi. Bahkan, bagi sebagian orang terasa menyayat. Tapi musik harus terus dilanjutkan, tidak mungkin berhenti di tengah jalan, ataupun dihentikan oleh mereka yang berada di luar panggung. Sejak awal, konduktor telah memastikan, show must go on. Adakalanya, penonton yang bersesakan di dunia maya, memberi applaus, saat Jokowi menghadirkan bintang tamu bersuara tenor diajak tampil di panggung. Sempat terdengar suara fals, tapi sejurus kemudian tertutup oleh permainan solo seorang personelnya. Pentas orkestra ditutup sementara, dan berganti ke lembaran partitur berikutnya. Dan pada bagian inilah, Jokowi pentas di panggung kehidupan yang sesungguhnya. Suara sumbang sudah terdengar beberapa saat setelah kalimantan selatan terendam banjir. Kemana Jokowi menggerakkan tongkat dirijen? Ia menginstruksikan pengiriman perahu boat. Sang konduktor tampaknya terbiasa memainkan tempo ceria. Ia lupa audiens yang dihadapi kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Cibiran pun menggema menyesaki sudut sudut panggung. Orkestra berbalut pilu juga terdengar di mamuju Sulawesi Barat. Massa menjarah bantuan korban gempa bumi yang tersimpan di rumah dinas wakil bupati mamuju. Dalam video yang viral di media sosial, terdengar teriakan agar pemerintah segera mengirimkan bantuan dan aparat keamanan. Penjarahan bantuan pangan semasa pandemi, apalagi di lokasi bencana, merupakan potret buram simponi kehidupan. Apakah ini indikasi tumpulnya kepekaan sosial masyarakat Indonesia yang dulu termasyur hidup gotong royong? Telunjuk kesalahan diarahkan pada kelambanan dalam pendistribusian bantuan. Aksi memprihatinkan di lokasi bencana hanyalah puncak gunung es persoalan besar yang dihadapi sang konduktor. Kasus korupsi bansos oleh kader PDI Perjuangan, tidak hanya melibatkan mantan menteri sosial Juliari batubara. Rekan separtainya, yang menjabat Ketua Komisi VIII DPR Ihsan Yunus, ternyata salah satu rekanan penyedia bansos yang mendapat kuota 'jumbo' dengan jumlah 1,23 juta paket sembako. Korupsi adalah kejahatan sistematis. Terencana. Merusak tatanan kehidupan masyarakat. Disharmonisasi. Rakyat miskin tambah sengsara karena jatah bantuan diembat politisi partai politik pimpinan megawati soekarnoputri. Dan rakyat wajib menuntut ganti rugi karena disuguhi pentas menjijikkan harkat manusia. Dalam batas ini, tongkat dirijen di tangan Jokowi terasa melompat lompat tidak terkendali. Betapa tidak, ada pemain musiknya yang mengeluarkan suara minor. Saya pun bergegas membatalkan keinginan bermimpi agar Jokowi mengikuti jejak Beerthoven, yang masuk dalam daftar 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Penulis adalah Pemerhati Seni dan Budaya.