POLITIK

Kasus Habib Rizieq, Istana Nabok Nyilih Tangan?

“Markas FPI di Petamburan Disemprot Polisi Pakai Disinfektan.” Begitu sebuah media membuat judul beritanya. by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (23/11). Di media sosial, video dan foto-foto petugas penyemprot di kawal petugas bersenjata, bertebaran dengan cepat. Bagi yang paham pemasaran (marketing) politik, penyemprotan itu tidak hanya dilihat sebagai langkah dan tindakan kesehatan semata. Aksi itu adalah sebuah strategi marketing politik. Sebuah tahapan demarketing sedang dijalankan. Ya, semua ribut-ribut yang terjadi dalam dua pekan terakhir, sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), secara marketing dan komunikasi politik menjadi sangat menarik untuk dicermati. Mulai dari pencopotan baliho oleh prajurit TNI dari Kodam Jaya. Pengumuman bahwa kawasan Petamburan, Markas FPI sebagai kluster baru penyebaran Covid-19. Kedatangan petugas polisi, TNI, dan Satpol PP ke rumah HRS pada malam hari untuk swab. Sampai penyemprotan disinfektan. Tujuannya sangat jelas. Membentuk persepsi masyarakat bahwa apa yang dilakukan pendukung FPI salah. Tidak patuh pada aturan dan pemerintah. Membahayakan masyarakat. Tidak mematuhi aturan. Seenaknya sendiri. Disimbolisasi dengan pencopotan baliho. Tidak mematuhi protokol kesehatan. Membahayakan kesehatan masyarakat. Disimbolisasi dengan penyemprotan disinfektan dan permintaan swab. Coba perhatikan. Petugas mendatangi rumah HRS untuk melakukan swab, pada malam hari. Di atas pukul 22.00 Wib. Memberi kesan ada situasi yang sangat darurat. Bersamaan dengan itu media memberitakan dengan besar-besaran. Para buzzer bekerja. Mereka menyebar kabar HRS dan keluarganya positif Covid-19. Para buzzer juga memperkuat dan mengamplifikasi pesan itu. Ramuan ajaib yang selama ini terbukti ampuh, kembali dimainkan: HRS dan FPI radikal, intoleran, membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Spanduk penolakan atas HRS disebar dimana-mana. Unjukrasa juga digelar di beberapa kota. Adanya operasi demarketing politik ini tampaknya sangat disadari oleh FPI dan para pendukungnya. Mereka segera menyebar file-file lama. Anggota FPI di beberapa daerah melakukan penyemprotan disinfektan di gereja. Salah satu foto menunjukkan anggota FPI sedang menyemprot sebuah ruangan dengan patung Yesus di latar belakangnya. Foto itu sangat ikonik. Loud and clear. Secara visual target dari penyebaran foto-foto ini sangat jelas. Counter opini. FPI ingin menunjukkan bahwa mereka sangat sadar dengan protokol kesehatan, sekaligus bukan kelompok radikal yang intoleran. Pada video yang beredar, memperlihatkan anggota FPI baru saja merenovasi rumah seorang janda di Sumatera Utara. Sang janda beranak empat itu beragama Nasrani. Yang lebih seru lagi adalah video lama Tito Karnavian sedang pidato dalam sebuah forum FPI. Video itu diedarkan dengan dibubuhi berbagai narasi. Video itu kelihatannya diambil saat Tito Karnavian masih menjadi Kapolda Metro Jaya. Hubungannya dengan FPI sedang mesra-mesranya. Tito memuji kegiatan yang dilakukan oleh FPI. Menurutnya, stigma FPI radikal, intoleran, identik dengan tindak kekerasan, merupakan label yang dibuat media. Bagaimana dengan isu HRS positif Covid? FPI membuat strategi jitu dengan menyebarkan video. Dia sedang asyik bermain dengan cucunya. Jadi bahan kajian Perang strategi marketing politik, demarketing Vs image building yang terjadi antara pemerintah Vs FPI ini menarik untuk dicermati. Bisa jadi bahan kajian. Narasi siapa yang paling kuat. Pesannya ditangkap dan dipercaya publik? Bagi pemerintah dan TNI, harus disadari mereka tidak hanya berhadapan dengan HRS dan para pendukungnya. Masuknya Pangdam Jaya dan TNI dalam medan perang opini dengan HRS, membuat tanduk masyarakat sipil, termasuk para senior TNI langsung berdiri. Mereka waspada tinggi. Alarm tanda bahaya menyala. Tindakan itu bisa ditafsirkan sebagai langkah awal kembalinya Dwifungsi TNI. TNI kembali ditarik-tarik dan masuk ke tugas pokok dan fungsi institusi sipil. Tak kalah seriusnya, tindakan itu juga merupakan tanda-tanda sangat serius. Rezim Jokowi telah menjelma sebagai penguasa otoriter. Menggunakan militer untuk menekan lawan-lawan politiknya. Gubernur DKI Anies Baswedan membuat sindiran sangat cerdas. Dia memposting fotonya sedang membaca buku : How Democracies Die karangan Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky. Reaksi masyarakat sipil yang begitu luas, tampaknya disadari oleh Istana dan Mabes TNI. Mereka segera membantah. Tidak pernah memerintahkan Pangdam menurunkan baliho, apalagi membubarkan FPI. Masalahnya, mereka juga tidak secara terbuka menyalahkan, apalagi mengecam dan mengambil tindakan agar Pangdam Jaya segera menghentikan langkahnya. Peribahasa Jawa menyebut perilaku istana ini sebagai “nabok nyilih tangan.” Memukul dengan memakai tangan orang lain. Mau makan nangkanya, tapi tidak mau kena getahnya. Dari sisi marketing politik, publik adalah konsumennya. Voters, pemilih yang harus dimenangkan hatinya. Produk apa dan strategi pemasaran mana yang bisa memenangkan persepsi publik? Anda, para pembaca semua yang memutuskan. End Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Pak Pangdam, Ada “Baliho” Joko Tjandra di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung

by Asyari Usman Jakarta FNN - Minggu (22/11). Ketika berpidato di lapangan Monas, Jakarta, Jumat (20/11/2020), Pangdam Jakarta Raya Mayjen Dudung Abdurachman menekankan berulangkali bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hukum akan ditegakkan terhadap siapa pun juga. Pangdam mengatakan itu merujuk pada penurunan (pencopotan) baliho Habib Rizieq Syihab di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, beberapa hari lalu. Jenderal Dudung mengatakan, dia tidak akan diam. Dia akan memerintahkan anggotanya untuk menurunkan semua baliho Habib Rizieq. Demi menegakkan peraturan, menegakkan hukum. Mantap, Pak Dudung! Seluruh rakyat tentu sangat senang. Pak Pangdam akan turun tangan menegakkan hukum. Terutama hukum tentang baliho. Asyik sekali kalau TNI mau menindak baliho tanpa pandang dulu. Kenapa asyik? Karena banyak sekali baliho yang bermasalah. Ada di mana-mana. Ada “baliho” Dato Sri Tahir (CEO Mayapada) di markas Brimob. Dia diangkat sebagai warga kehormatan korps Brimob, November 2018. Bahkan, keberadaan Tahir di Brimob kelihatannya lebih “dalam” dari sekadar baliho benaran. Terus, ada pula “baliho” Joko Tjandra (JT) di mabes Polri. Saking besarnya “baliho” yang dipasang Joko, sampai-sampai tiga jenderal polisi tersungkup megap. Tidak hanya di Polri, JT juga memasang “baliho” di gedung Kejaksaan Agung. Lagi-lagi, “baliho” Joko Tjandra di Kejaksaan Agung berukuran raksasa. Biaya pembuatannya sangat besar. Puluhan miliar. Mungkin ratusan. Begitu besarnya “baliho” JT itu, sampai-sampai gedung Kejaksaan Agung terbakar hangus seluruhnya karena terbungkus total. Konon, kabarnya, ada puntung rokok di dekat “baliho” itu. Ludeslah seluruh gedung. Para superkaya lainnya pastilah juga memasang “baliho”. Di banyak lokasi strategis. Terutama di gedung-gedung yang bisa memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan. Gedung-gedung yang ‘menyewakan’ papan “baliho” untuk para superkaya itu. Selain Dato Sri Tahir dan Joko Tjandra, ada pula artis kondang, NikMir, yang juga ikut memasang “baliho” di berbagai posisi penting. Termasuk di sekitar Jalan Trunojoyo, Jakarta. Kabarnya, “baliho” si artis ini bagus cetakannya. Mulus dan tajam. Pixel-nya tinggi. Membuat orang-orang yang berada di sekitar “baliho” NikMir menjadi segar-bugar. Pokoknya, di Jalan Trunojoyo banyak sekali peminat “baliho” artis ini. Nah, semau “baliho” itu melanggar aturan. Pasti. Jadi, cukup banyak yang harus ditertibkan oleh TNI di bawah komando Mayjen Dudung. Pak Pangdam tentu tahu bahwa “baliho” Dato Sri Tahir di markas Brimob itu sangat memalukan. Tidak saja memalukan Jakarta, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Bayangkan, gara-gara “baliho” ini banyak orang yang menyangka Dato Tahir itu “pembina” Brimob. Malu, kan! Pak Pangdam harus menurunkan “baliho” ini. Begitu juga “baliho” yang dipasang Joko Tjandra di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Ukurannya superbesar. Pak Dudung harus bantu Polisi mencopot “baliho” Joko Tjandra itu. Tiga jenderal menjadi korban tertimpa “baliho” JT. Begitu juga “baliho” NikMir. Harus ditindak oleh Pak Pangdam. Soalnya, “baliho” ini mengiklankan ‘lontong telur’. Apa iya pantas ‘lontong telur’ diklankan di Jalan Trunojoyo. Jalan ini ‘kan dihuni oleh orang-orang yang terhormat, Pak Dudung. Sangat memalukan. Lontong telur itu ‘kan makanan jalanan. Cepat basi. Baik, Pak Panglima. Itu saja dulu. Sebenarnya banyak “baliho” ilegal yang dipasang di gedung-gedung penting lainnya. Yang memasang tentu orang-orang yang punya banyak duit. Sebab, di tempat-tempat strategis itu “pajak”-nya bertarif tinggi. Puluhan miliar sampai ratusan miliar. Rakyat akan menyimak para Pangdam lainnya dalam tugas menegakkan hukum. Khususnya, pencopotan semua “baliho” milik orang-orang superkaya. Pak Pangdam jangan khawatir. Seluruh rakyat mendukung tindakan Anda mencopot semua “baliho” itu. Cuma, “baliho” mereka itu berat menumbangkannya, Pak. Tiangnya kukuh dan banyak.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Analisis Yuridis Pemanggilan Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H.

by Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. Jakarta FNN - Selasa (03/11). Pemanggilan seseorang sebagai saksi dalam proses penyidikan tentu sebelumnya telah ada suatu peristiwa yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam tahap penyelidikan (Pasal 1 angka 5 KUHAP). Keberadaan saksi diperlukan dalam hal pengumpulan alat bukti yang dengan alat bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Dalam hal membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi, maka keterangan saksi harus sesuai dengan kondisi yang dialaminya, baik ia mendengar secara langsung atau melihat secara langsung. Seorang saksi juga harus menyebutkan alasan dari pengetahuan yang ia alami tersebut. Seorang saksi yang dihadirkan dalam proses penyidikan dan persidangan sejatinya yang bersangkutan tidaklah mewakili kepentingan siapapun, melainkan ia mewakili suatu kondisi ketika terjadinya suatu tindak pidana. Tegasnya, saksi mewakili kenyataan konrit dan dengannya ia memberikan keterangan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Dapat dikatakan, saksi tersebut seolah-olah dihadirkan seperti dalam keadaan sebelumnya, ketika ia mengetahui adanya suatu perkara pidana baik yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan demikian, keberadaan seorang saksi sebagai salah satu alat bukti (Pasal 184 KUHAP) bersifat fakultatif. Sepanjang memenuhi kriteria tersebut, maka keterangannya dapat menjadi alat bukti. Terhadap pemanggilan Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H., sebagai saksi oleh pihak Bareskrim Polri, diketahui terdapat beberapa tindak pidana, namun tidak disebutkan dalam kepentingan pada perkara siapa. Sementara itu, Laporan Polisi dan Sprindik diketahui pada tanggal yang sama yakni 18 Oktober 2020. Tindak pidana yang dimaksudkan adalah Pasal 45 Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 14 Ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU PHP) dan/atau Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 KUHP. Konstruksi tindak pidana tersebut perlu dikritisi, mengingat masing-masingnya terdapat perbedaan yang signifikan. Selain itu masuknya delik penyertaan (deelneming) memiliki implikasi tersendiri bagi penerapan pasal yang disebutkan. Oleh karena itu, disini dipertanyakan adakah persintuhan diantara pasal tersebut, dan tentunya persintuhan tersebut tidak sampai pada perbarengan (concursus). Pasal 28 Ayat (2) UU ITE mempersyaratkan harus adanya (timbul) rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jadi, apakah sudah ada timbulnya kebencian atau permusuhan sebagaimana dimaksudkan? Siapakah individu dan/atau kelompok masyarakat yang merasakan kebencian atau permusuhan? Suku yang mana, agama yang mana, ras yang mana dan antargolongan yang mana. Pengertian antargolongan tidak dapat diartikan sebagai Pemerintah, Ormas, Partai Politik dan badan hukum lainnya. Pada Pasal 14 Ayat (1) dan (2) UU PHP tentang berita atau pemberitahuan bohong, maka harus ada relevansinya dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dalam hal timbulnya rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Terlebih lagi, Pasal 14 Ayat (1) mempersyaratkan harus timbulnya keonaran di kalangan rakyat. Pertanyaannya, apakah telah nyata ada keonaran tersebut? Begitu pun Pasal 15 juga harus ada keterhubungannya dengan Pasal 28 Ayat (2) ITE. Apakah ada kaitan antara penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dengan timbulnya rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Di sisi lain keberlakuan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) UU PHP berpasangan, masing-masingnya tidak berdiri sendiri. Kemudian, dalam delik penghasutan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 160 KUHP juga patut dipertanyakan. Keberadaannya sama dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dan Pasal 14 Ayat (1) UU PHP, yakni sama-sama delik materiil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. Oleh karena itu, apakah telah ada akibat sebagaimana dimaksudkan. Lebih lanjut, adakah korelasi antara Pasal 160 KUHP dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE? Dimana letak keterhubungannya? Perihal permasalahan keterhubungan selanjutnya juga menunjuk Pasal 14 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 15 UU PHP dengan Pasal 160 KUHP. Tegasnya, kesemua pasal tersebut harus memiliki hubungan ‘emosional’. Hubungan itu mencerminkan sikap batin (men rea) seseorang pembuat delik terhadap perbuatan yang dilakukan. Terlebih lagi disebutkan adanya penyertaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Keberlakuan delik penyertaan adalah sebagai bentuk perluasan pertanggungjawaban pidana, bukan dimaksudkan sebagai perluasan perbuatan pidana. Dengan demikian, sifatnya alternatif sebagaimana disebutkan dalam angka ke-1 dan angka ke-2. Dalam Surat Pemanggilan tersebut tidak disebutkan klasifikasi penyertaan, apakah termasuk angka ke-1 atau angka ke-2. Angka ke-1 menunjuk orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) atau orang yang turut melakukan (medepleger). Pada angka ke-2 adalah orang yang dengan pemberian, perjanjian, memberi kesempatan dan lain sebagainya (uitlokker). Dalam kaitannya dengan pemanggilan tersebut, maka dipertanyakan urgensi pemanggilan dengan klasifikasi delik penyertaan tersebut. Pemanggilan yang demikian cepat, tidaklah lazim dan tidak equal dengan perkara yang lainnya. Banyak perkara yang dilaporkan, namun hingga kini tidak jelas kelanjutannya. Dapat disebutkan disini yakni; Cornelis (eks Gubernur Kalbar), Viktor Laiskodat, Abu Janda, Denny Siregar, Guntur Romli, Budi Djarot dan Ade Armando. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pemanggilan terhadap Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H., sebagai saksi masih belum jelas objek perkaranya. Seseorang yang dimintakan keterangan sebagai saksi, maka harus ada pengetahuan yang ia alami sendiri. Pengetahuan tersebut pastinya berkorespondensi dengan objek perkara. Bagaimana mungkin seorang saksi dapat memberikan keterangan dan bernilai alat bukti tanpa ada kejelasan objek perkara yang dirinya tidak ada pengetahuan sama sekali. Patut untuk dicermati, UU ITE - sebagai dasar pemanggilan - apakah akan berkorespondensi dengan para aktivis KAMI lainnya yang telah berstatus Tersangka? Berdasarkan kajian ilmiah penulis, UU ITE berlaku seperti ‘sangkar besi’ dengan ‘silogisme’ yang cenderung dipaksakan. Pemenuhan unsur delik demikian subjektif, pada akhirnya Penuntut Umum tidak mampu mengkonstruksikan Surat Dakwaan secara cermat dan lagi objektif. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Direktur HRS Center

RUU Omnibus Law Bikin Polemik, Presiden Sudah Baca?

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Ahad (11/10). Pemerintah mulai menebar tudingan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim, pemerintah mengetahui dalang yang menggerakkan demonstrasi memprotes Undang-Undang (UU) Cipta Kerja alias Omnibus Law. Melansir Viva.co.id, Kamis (8 Oktober 2020 | 10:10 WIB), hingga hari ini demonstrasi yang terjadi di berbagai wilayah saat ini terhadap UU Omnibus Law sapu jagat tersebut dilakukan mulai dari kalangan siswa, mahasiswa hingga buruh. “Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind [di balik] demo itu. Jadi, kita tahu siapa yang telah menggerakkan. Kita tahu siapa sponsornya itu, kita tahu siapa yang membiayainya,” ungkap Airlangga secara virtual, Kamis, 8 Oktober 2020. Airlangga menekankan, pemerintah tidak akan berhenti memperjuangkan keberadaan UU tersebut karena berbagai alasan mendesak. Dia dengan tegas mengatakan tidak akan diam hanya untuk mendengar demonstrasi. “Jadi pemerintah tidak bisa berdiam hanya untuk mendengarkan mereka yang menggerakan demo dan jumlah federasi yang mendukung UU Ciptaker ada empat federasi buruh besar,” tegas mantan Menteri Perindustrian itu. Airlangga beralasan, itu disebabkan tujuh fraksi di DPR RI yang telah setuju mengesahkan UU Cipta Kerja, sudah merepresentasikan rakyat Indonesia. Sebab, mereka adalah wakil rakyat. Di sisi lain, 30 juta masyarakat Indonesia saat ini sangat membutuhkan lapangan pekerjaan. Terlebih kondisi Pandemi COVID-19 telah membuat lapangan kerja semakin sempit karena aktivitas ekonomi berhenti. “Jadi, ini terekam by name by address ada di kantornya kartu pra kerja dan dari 30 juta lebih itu yang sudah memenuhi persyaratan untuk memasuki pelatihan 5,6 juta sehingga 5,6 juta ini membutuhkan lapangan kerja baru,” ungkapnya. Sebelumnya diberitakan, sejumlah elemen masyarakat dan buruh menggelar aksi penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR RI di sejumlah lokasi di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, sejak Senin lalu. Presiden Joko Widodo berkata, “Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh informasi mengenai substansi dari UU ini dan hoaks di media sosial,” ucap Jokowi. “Itu betul, ada banyak sekali hoax yang disebar soal UU baru ini. Entah siapa yang nyebar, apa kepentingannya, mereka tidak pakai cross check, langsung kirim saja. Kesal lihatnya,” komentar Tere Liye, penulis novel “Negeri Para Bedebah”. “Tapi kalau bilang ribuan pendemo ini semuanya demo gara-gara kemakan hoax, itu sih lebay. Kesal juga lihat yang ringan banget nuduh begini. Itu juga betul, ada banyak yang tidak baca UU ini secara lengkap, tapi sudah komen dan demo duluan,” tulisnya. “Tapi ayo cek berita, bahkan sekelas Menteri, Ketua Komisi DPR, mereka bingung sendiri dengan pasal klaster pendidikan yang ternyata masih ada. UU ini tebalnya 900 halaman lebih (dengan penjelasan pasal), cepat sekali prosesnya, jadi, disahkan,” sindirnya. Menurutnya, menulis novel picisan 500 halaman saja butuh waktu 6-12 bulan. Ini UU, yang serius sekali, menyangkut begitu banyak aspek, bisa wussh. “Entah siapa yang benar-benar telah membaca seluruh halamannya. Kamu?” tegasnya. Fadli Zon (IG: Fadlizon). “Sampai hari ini sy sbg anggota @DPR_RI belum terima naskah RII #OmnibusLaw yg disahkan 5 Oktober 2020. Sy tanya, masih diteliti dirapikan. Jd mmg UU ini bermasalah tak hanya substansitp jg prosedur.” (17:15 - 09 Okt 20). Usulan Presiden Melansir Kompas.com, Selasa (06/10/2020, 13:23 WIB), RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Pembahasan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR ini terbilang kilat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain. Bahkan, awalnya RUU Cipta Kerja bisa selesai sebelum 17 Agustus meskipun di tengah pandemi Covid-19. Bandingkan dengan RUU lain yang belum juga diselesaikan oleh DPR: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT). Padahal jika dilihat dari jumlah Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM, pasal-pasal di RUU Cipta Kerja yang dibahas jumlahnya jauh lebih banyak. Dikebutnya pembahasan RUU ini diklaim demi kemudahan investasi di Indonesia. Sidang-sidang pembahasannya dilakukan siang malam bahkan hingga larut malam, meski dibahas di tengah masa reses dan pandemi. Pemerintah dan Baleg DPR memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Jokowi pada 24 April lalu. Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut. Gerak cepat pemerintah jauh sebelum disahkan, pemerintah bergerak cepat meloloskan RUU Cipta Kerja. Pada Februari 2020, pemerintah mengklaim telah melakukan roadshow omnibus law RUU Cipta Kerja di 18 kota di Indonesia untuk menyerap aspirasi masyarakat. “Untuk menyerap aspirasi dari teman-teman maka seluruh stakeholder ekonomi dilibatkan, justru Bapak Presiden memerintahkan untuk menyerap aspirasi semuanya,” kata Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono kala itu. Adapun daerah-daerah tempat digelarnya roadshow adalah daerah-daerah yang memiliki stakeholder paling banyak, selain itu jumlah perusahaan dan jumlah pekerjanya juga banyak. Dari sisi investasi, juga menjadi pertimbangan digelarnya roadshow di daerah tersebut. Justru selama penyusunan draft adalah periode paling alot ketimbang pembahasan di DPR. Karena selama penyusunan draft, pihak serikat buruh yang menjadi salah satu stakeholder beberapa kali melayangkan keberatan. Sampai 64 rapat RUU ini baru mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13. Selama di parlemen, proses pembahasannya relatif berjalan mulus. Untuk meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, anggota dewan sampai rela rapat maraton. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas pun mengatakan, pada bab-bab terakhir pembahasan RUU tersebut bahkan dilakukan di akhir pekan. Secara keseluruhan, Baleg DPR RI dan pemerintah telah melakukan 64 kali rapat. “Rapat 64 kali, 65 kali panja dan 6 kali timus timsin, mulai Senin-Minggu, dari pagi sampai malam dini hari, bahkan reses melakukan rapat di dalam atau di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR,” katanya dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020). Secara keseluruhan RUU yang disusun dengan metode omnibus law itu terdiri dari 15 bab dan 174 pasal dari yang sebelumnya 15 bab dengan 185 pasal. Secara keseluruhan, ada 1.203 pasal dari 73 UU terkait dan terbagi atas 7,197 DIM yang terdampak RUU tersebut. RUU ini resmi menjadi UU setelah disahkan DPR pada Senin (5/10/2020). Isi RUU Cipta Kerja didukung oleh seluruh partai pendukung koalisi pemerintah. Dua fraksi menyatakan menolak RUU menjadi UU Cipta Kerja ini yaitu PKS dan Partai Demokrat. Tujuh fraksi partai pendukung RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU: PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PAN, dan PPP. Apakah semua anggota DPR ini juga sudah baca RUU (Draf RUU) Cipta Kerja itu sebelum diketok dalam Rapat Paripurna DPR tersebut? Apakah Menteri Airlangga Hartarto dan juga Presiden Jokowi telah membacanya? Rasanya koq tidak mungkin! Berarti kita sama-sama kena hoax RUU sebanyak 900 halaman itu. Apalagi, ternyata meski telah diketok, setelahnya masih ada perbaikan isinya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Menepis Pendapat Amien Rais Soal Kembali ke UUD 1945" (Bagian-2)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Rabu (07/10). Untuk membedakan dan mempermudah, maka hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut dengan UUD 2002”. Dalam Pembukaan UUD 1945 sangat jelas, Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia disusun dalam Undang Undang Dasar Negara Indonesia. Pemerintahan yang dipilih, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Begitu Konsensus nasional kita. Pembukaan UUD 1945 dan NKRI tidak boleh diubah. Bentuk negara dan implementasi kedaulatan rakyat diatur dalam Batang Tubuh. Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, dan Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam pertarungan kepentingan politik global, untuk menguasai suatu negara, konstitusi merupakan sasaran. Indonesia masuk salah satu sasaran. Keterlibatan aktor internasional negara liberal kapitalis dalam amandemen UUD 1945 dengan dalih agar Indonesia lebih demokratis, adalah nyata. United Nations Develepment Program (UNDP) dan United State Agency for International Develepment (USAID) didukung LSM asing, Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Internasional Foundation for Election System (IFES), National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institution (IRI) terlibat dalam amandemen UUD 1945. Keterlibatan mereka tidak hanya masalah dana. Tetapi juga konsep pemikiran pembaharuan. Mereka hadir dalam rapat. Mereka berkolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) domestik Centre for Electoral Reform (Cetro). (Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi). Kita sudah merasakan, pemilihan secara langsung ala Amerika, yang "one man, one vote", sebagai hasil amandemen yang merusak sendi persatuan. Mari kita bahas bagaimana kaitan intervensi asing dalam amandemen UUD 1945 dengan implikasi yang disampaikan Amien Rais jika kita kembali ke UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Untuk Apa? Implikasi pertama yang disampaikan Amien Rais, DPD otomatis hilang, jika kembali ke UUD 1945. Amien Rais beranggapan DPD penting. Padahal, hilangnya DPD itu logis, UUD 1945 tidak mengenal DPD. Kecuali hanya diatur di UUD 2002. Kita kenal, lembaga DPD itu sebagai unsur negara serikat (federal). Padahal, Pasal 1 ayat (1) baik di UUD 1945 maupun UUD 2002, Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Dengan demikian, DPD bertentangan dengan konstitusi. Pertanyaan kritisnya, siapa pembisik harus ada lembaga DPD? Intervensi asing kah? Untuk memecah belah kita kah? Walau DPD perannya belum sama seperti Senat di Kongres Amerika Serikat, DPD ini menjadi "embrio" yang tidak sesuai untuk Negara Kesatuan. Upaya meningkatkan peran DPD secara perlahan, merupakan indikasi, konsepsi "sutradara" untuk membangun DPD di Indonesia yang diinginkan belum selesai. Apabila dalih DPD untuk memberdayakan "Utusan Daerah" harus lewat Pemilu, dan dilembagakan, meka mengapa "Utusan Golongan" tidak sekalian diberdayakan menjadi "Dewan Perwakilan Golongan" saja? Patut diduga dan dicurigai, pembentukan DPD ada maksud dan tujuan tertentu. Nafas DPD berbeda dengan "Utusan Daerah" yang dimaksud dalam UUD 1945. Mari kita cermati, ada Otonomi Daerah, dan DPD, namun ketidakharmonisan terjadi pusat dan daerah. Pusat beroposisi dengan daerah. Begitu pula sebaliknya. Sumber kekayaan alam di daerah, dan pemilik modal selalu berada di belakang pejabat yang didukung saat pemilihan kepala daerah. Kita bangun pertanyaan kritis, adakah benang merah diatara rangkaian kondisi tersebut? Apakah DPD embrio menuju negara federal? Agar asing mudah bermain dalam urusan sumber daya alam di daerah? DPD bisa mengajukan RUU terkait Otonomi Daerah. Sedangkan anggota DPD dan Kepala Daerah lewat Pemilihan langsung, membuka peluang kapitalis bermain. Kiranya cukup panjang untuk menyoroti peran DPD. Apakah itu dari aspek kelembagaan, status, peran dan manfaatnya. Satu hal yang pasti, dengan kembali ke UUD 1945, otomatis DPD hilang. Itu bukan kerugian dan tidak perlu untuk risau. Justru sistem ketatanegaraan yang kita pilih benar, yaitu menjaga Negara Indonesia tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pentingnya Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Nusantara ini awalnya milik kerajaan-kerajaan. Selama belum ada Indonesia , maka pemilik Nusantara adalah para Raja dan Sultan. Raja dan Sultan selalu punya unsur Penasehat, Misalnya, Mahapatih dan lain-lain. Dunia wayang, juga ada Penasehat yang memiliki pitutur luhur. Suritauladan dunia wayang adalah negara Amarta dengan penasehat Batara Kresna dan Semar. Kresna seorang ksatria dan Raja. Semar seorang Punakawan abdi ksatria Pendawa. Komposisi inilah yang menggambarkan Raja mendengarkan suara para ksatria dan rakyat. Nilai budaya mengilhami "the founding fathers" tidak saja dalam menentukan Dasar Negara, tetapi juga dalam ketatanegaraan, antara lain perlunya Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Tempat terhormat untuk para Raja dan Sultan membeirkan pertimbangan kepada Presiden dan para Menteri Anggota Kabinet. Presiden mandataris MPR, sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, memerlukan Penasehat. Dewan Pertimbangan Agung inilah penasehat Presiden. Sebuah badan yang di luar dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apabila undang-undang yang mengatur anggota DPA adalah tokoh-tokoh terpilih non Parpol, maka selanjutnya DPA akan memiliki independensi yang kuat. Tugas DPA diatur dalam Bab IV Pasal 16 UUD 1945. ”Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah”. Ada kewajiban dan hak. Tugas ini sangat penting, khususnya ketika Presiden berada dalam tekanan Parpol atau legislatif. Andaikan DPA ada, seperti masalah Pilkada serentak Desember 2020 dan RUU yang jauh dari kepentingan rakyat, Presiden bisa mendapat masukan DPA dari perspektif kepentingaan rakyat. Negara kita memang Republik, dan bukan Kerajaan. Namun agar pemimpin tidak otoriter dan salah keputusan, maka sebaiknya pemerintahan kerajaan maupun republik, tetap saja perlu "penasehat". Hal ini terbukti, pengamandemen juga berpikir, Presiden perlu Penasehat. Pengamandemen menghapus Bab IV UUD 1945 Dewan Pertimbangan Agung. Selanjutnya menempatkan Pasal 16 di Bab III UUD 2002, Kekuasaan Pemerintahan Negara. Disini terjadi keanehan dan tidak lazim. Bagaimana mungkin sebuah konstitusi ada Bab yang kosong atau hilang? Pasal 16 UUD 2002 mengatakan, “Presiden membentuk satu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.” Tidak ada kata kewajiban dan hak. Dewan pertimbangan ini sebagai unsur eksekutif. Pertanyaannya, sejauhmana anggota dewan petimbangan berani mandiri tidak takut kepada Presiden? Dewan penasehat Presiden saat ini bernama Wantimpres. Didukung Staf Kepresidenan. Suatu saat nanti, bisa jadi, tidak menutup kemugkinan, dewan ini isinya orang-orang tertentu, sebagai lanjutan saat Pilpres. Produknya bisa ditebak, cenderung melindungi kebijakan Presiden atau pemerintah dan pencitraan bagaikan tim sukses Presiden. Sedangkan DPA, sebagai Lembaga Negara yang independen, diharapkan memberikan masukan kepada Presiden dalam perspektif kepentingan negara. Sehingga Presiden tidak otoriter, tidak terkooptasi Parpol, memiliki bahan pertimbangan yang matang dan mandiri. DPA yang berperan bak Batara Kresna dan Semar. Kresna yang duduk sejajar dengan Raja Amarta, Yudhistira. Inilah pentingnya DPA dalam sistem ketatanegaraan UUD 1945. Pemerintahan Daerah di UUD 1945 Pada Bab VI Pemerintahan Daerah, Pasal 18 UUD 1945, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Cuplikan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 di atas adalah "Daerah-daerah itu bersifat autonoom (steek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semua akan ditetapkan dengan undang-undang. Pada daerah-daerah yang bersifat autonoom, akan diadakan badan perwakilan daerah. Sebab di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Mencermati hal di atas, pendapat Amien Rais, jika kembali ke UUD 1945, maka Otonomi Daerah (Otda) batal, sabagai pernyataan yang tidak ada dasarnya. Bagaimana mungkin Otda batal, sedangkan UUD 1945 mengamanatkan masalah Pemerintahan Daerah. Persoalannya terletak bagaimana undang-undang Otda harus memiliki nafas sesuai pasal tersebut sehingga tetap dalam bingkai NKRI. Selanjutnya bagaimana implikasi terhadap keanggotaan MPR, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, jika kita kembali ke UUD 1945? Kedua implikasi yang disampaikan Amien Rais tersebut, akan kita bahas pada bagian-3 rangkaian artikel ini. Semoga bermanfaat. Insya Allah, Aamiin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Panglima Tritura Sugengwaras Beri Ultimatum

by Sugengwaras Bandung FNN - Rabu (07/10). Malam itu, 5 Oktober 2020, tanpa hujan tanpa petir, telah menggelegar suara halilintar yang membahanakan di Syahkanya UU OMNIBUS LAW. Memang, bungkusnya sangat jitu dan menarik, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, yang memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan guna kelangsungan hidup kluarga Indonesia Namun setelah didalami, beberapa esensi pokok, menunjukkan kerugian martabat dan material bagi bangsa Indonesia Kini, rakyatmu bersusah payah mengadu nasib untuk memperjuangkan agar UU OMNIBUS law itu dicabut untuk disempurnakan secara layak bagi rakyat Indonesia Melalui video yang beredar, yang menurut saya sulit dikatakan rekayasa, saya sangat prihatin, pilu dan enas, melihat sikap, ucapan dan tindakan seorang tokoh nasional yang juga pimpinan rapat / sidang, apa lagi didampingi seorang tokoh sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang seharusnya membela, melindungi dan membesarkan hati rakyatnya, justru menghentikan dan menutup nurani rakyat, meskipun ada upaya mencegah, yang diwakili oleh seorang peserta rapat bernama Beny K Harman. Mendidih dada saya menyaksikan video itu Hati saya berkata, hebat betul kau melihat dan merasakan dirimu sendiri, yang merasa paling bisa dan paling kuasa ! Cocoknya orang macam kalian harus berhadapan dengan saya, SUGENGWARAS, untuk mendapatkan pelajaran yang bermanfaat Saya khawatir, kalian akan tertawa terbahak bahak, memperhatikan rakyatmu yang berjuang kelelahan, kepanasan dan kehausan, untuk sekedar ingin ada pengertianmu, agar tidak melanjutkan / memberlakukan UU yang kontroversial itu, yang kalian sudah bisa mengukur apa ending dari perjuangan itu Ada apa dan kenapa UU itu kalian sahkan dan umumkan saat rakyatmu tidur lelap? Tidak perlu saya utarakan, tapi aku bisa meraba apa yang jadi tujuan dan maksudmu Oleh karenanya saya MENGINGATKAN: Kepada saudara saudara yang terhormat, anggota dan pimpinan DPR RI. Agar RUU HIP / BPIP yang saat ini masih tertuang dalam Proglegnas, dicabut dan dibatalkan / hilangkan. Apabila, ternyata kelak terjadi menjadi UU seperti proses UU OMNIBUS LAW ini, saya SUGENGWARAS, akan Memimpin langsung, untuk menangkap hidup hidup dan memidanakan siapapun yang terlibat. Kepada TNI POLRI, juga saya menghimbau : 1. Kawal, lindungi, ayomi dan kendalikan para pengunjuk rasa, yang menuntut dibatalkannya UU OMNIBUS LAW, karena itu hak mereka yang dilindungi dan dijamin oleh undang undang 2. TNI POLRI, hendaknya tetap teguh sebagai bhayangkara negara, garda terdepan dan benteng terakhir bangsa Indonesia, tak terseret dalam alat kekuasaan semata, tapi terlebih sebagai alat negara Saya SUGENGWARAS, Panglima TRITURA, bersama seluruh rakyat yang sepaham, senantiasa mendukung kepada Pemerintah, TNI POLRI, yang bekerja dan bertugas susuai amanat Rakyat yang Bhineka Tunggal Ika, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Merdeka!!! Penulis adalah Panglima TRITURA, dan Pemerhati Pertahanan dan Keamanan NKRI.

Gatot Nurmantyo, KAMI, dan Bahaya Neo-Komunis

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Jumat (02/10). Tampaknya konflik horizontal bakal terjadi jika setiap agenda maupun deklarasi Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditolak oleh “massa bayaran”. Contohnya, kasus kericuhan Rabu sore, 30 September 2020, di TMP Kalibata. Saat acara ziarah dan tabur bunga purnawirawan TNI di kawasan Jakarta Selatan itu tengah berlangsung, ada aksi demo yang “menolak” dari sekelompok massa. Mereka diduga adalah massa bayaran yang bermaksud melakukan teror. Pantas jika aksi pelecehan seperti ini kemudian mendapat perlawanan dari ormas FKPPI dan purnawirawan berseragam TNI dari Kopassus, Marinir, dan Paskhas yang tergabung dalam Purnawirawan Pengawal Kedaulatan Negara (PPKN) tersebut. Pernyataan sikap sempat pula dibacakan Letjen TNI Mar (Purn) Suharto, mantan Komandan Korps Marinir ke-12 TNI AL, meski pernyataan itu nyaris dirampas Dandim Jakarta Selatan Kolonel Inf Ucu Yustia, namun gagal. Dalam ziarah dan tabur bunga itu juga dihadiri mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo yang juga Presidium KAMI. Gatot dan rombongan purnawirawan nyaris pula tak bisa masuk karena dihalangi Kolonel Ucu Yustia. Para purnawirawan TNI turun gunung melakukan aksi moral. Purnawirawan adalah hati dan cermin dari TNI aktif yang masih terikat oleh disiplin komando. Fenomena kegelisahan ini semestinya ditangkap dengan sepenuh jiwa karena kondisi ini tidak biasa. Wajar jika para purnawirawan TNI ini mendukung gerakan moral Gatot melalui KAMI. Ini karena mereka juga ikut merasakan kekhawatiran yang juga dirasakan Gatot terkait dengan indikasi munculnya bahaya PKI dan Neo-Komunis di Indonesia. Selain ulama, santri, dan aktivis Islam, maka TNI adalah sasaran PKI. Kepekaan elemen ini cukup tinggi terhadap ancaman bahaya PKI dan Komunisme. Oleh karenanya agenda ziarah dan tabur bunga pada 30 September 2020 menjadi sinyal dari kepekaan tersebut. Fenomena turun gunung para Purnawirawan TNI ini menjadi peristiwa politik yang menarik. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang bersedia menjadi salah satu Presidium KAMI adalah sebuah kejutan. KAMI, sebuah gerakan sangat kritis terhadap penyelenggaraan negara pimpinan Presiden Joko Widodo. Gatot tentu tidak sendirian, ada banyak barisan purnawirawan di belakangnya. Presiden seharusnya memahami perasaan old soldiers yang sedang mengunggah memori. Sejak Deklarasi pada 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi, kehadiran KAMI disambut antusias dan diminta untuk deklarasi di berbagai daerah. Lebih dari sebulan, dukungan untuk KAMI terus mengalir. Permintaan deklarasi tidak berhenti. Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, NTB, bahkan luar negeri. Dukungan provinsi dan kabupaten semakin rapat. Melihat perkembangan KAMI yang begitu masif, rupanya ada pihak yang khawatir, bahkan panik. Siapa yang panik? Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rosyid menyebut: penguasa. Jelas dan gamblang! “Biar ini jadi sarana komunikasi yang dialogis,” tulisnya. Ada pandangan yang berbeda antara KAMI dengan penguasa. “Penguasa bilang: negara ini sedang baik-baik saja. KAMI berpendapat: negara sedang sakit. Demokrasinya sakit, hukumnya sakit, ekonominya sakit, dan banyak penyakit lainnya,” lanjut Tony Rosyid. KAMI lahir bukan untuk “memusuhi” Presiden. Tapi, tuntutan tanggung jawab kebangsaan untuk membantu pemerintah menyelamatkan negeri dari berbagai masalah itu. Yang penting, pemerintah jujur, apa adanya, jangan ditutup-tutupi. Kedua, KAMI lahir sebagai gerakan moral. Tapi, penguasa menganggap itu gerakan politik. Bukan memperbaiki, tapi mau mengamputasi. Karena dianggap sebagai gerpol, maka KAMI perlu diantisipasi. Takutnya, gerakan ini akan melakukan upaya amputasi. Saat Deklarasi, di satu sisi, berkumpul, berorganisasi dan menyatakan pendapat itu hak yang dilindungi konstitusi. Namun, di sisi lain, menguatnya organisasi ini bisa jadi ancaman bagi penguasa yang sedang dililit masalah pandemi dan resesi ekonomi. KAMI, gerakan yang dipimpin oleh dua tokoh organisasi terbesar NU-Muhammadiyah, yaitu Prof Rachmat Wahab dan Prof Din Syamsudin, dan dibantu Gatot Nurmantyo dari militer, semakin hari semakin kuat karena semakin besarnya dukungan. Sementara penguasa semakin melemah karena pandemi Covid-19 yang tidak ditangani secara tepat membuat semakin sulit situasi ekonomi. Ekonomi, kini minus 5,32 mengarah ke resesi ekonomi berbuntut PHK, jumlah pengangguran dan orang miskin bertambah. Bicara demokrasi, teringat banyak kasus persekusi atas ulama dan ustadz maupun tokoh yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Bagi KAMI, ini masalah. Jadi, jangan pura-pura tidak ada masalah. Seperti persekusi pada Gatot Nurmantyo di Surabaya. Acara silaturhmi KAMI yang dihadiri Gatot, di Surabaya, Senin (28 September 2020) dibubarkan oleh polisi. Pembubaran diduga karena ada aksi penolakan dari sejumlah orang. Kejadian ini terekam dalam video singkat yang tersebar di media sosial. Acara Deklarasi KAMI Jawa Timur sedianya akan dilaksanakan di Gedung Juang DHD 45 JL. Mayjend Sungkono Surabaya. Semua persyaratan, pemberitahuaan dan bahkan standart protokol kesehatan terkait Covid-19 juga sudah dipenuhi. Pemberitahuaan pada Polda Jatim pun sudah disampaikan. Bahkan kepada Polsek Sawahan yang membawahi wilayah hukum Gedung Juang 45 pun sudah diberi pemberitahuaan. Ijin pemakaian dan kontrak gedung dari pengelola sudah dikantongi. Pada Minggu pagi, 27 September 2020, salah seorang panitia ditelpon Polisi, diminta untuk membatalkan acara tersebut. Namun, KAMI bergeming, mereka tetap fight acara tetap harus berlangsung sesuai rencana. Sebab, persiapan sudah matang. Semua kelengkapan persyaratan pun sudah dipenuhi. Gatot Nurmantyo dan Prof. Rachmat Wahab dari Presedium KAMI Pusat sudah memastikan diri hadir. Gatot berangkat dari Jakarta. Senin pagi, 28 September 2020 baru akan tiba di Surabaya. Sedangkan Prof Rachmat Wahab sudah berada di Jombang, sebab dia memang asli Jombang, keluarga Pondok Pesantren Tambak Beras. Karena menekan Panitia tidak berhasil, rupanya polisi beralih melakukan penekanan kepada Pengelola Gedung Juang 45. Minggu malamnya pengelola meminta ketemu Panitia. Mereka bercerita banyakbahwa mereka ditelpon bolak balik oleh Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya. “Kami diminta Polisi untuk tidak memfasilitasi acara ini,” kata seorang pengelola Gedung. Pihak pengelola Gedung tentu punya hak untuk membatalkan ijin yang telah mereka berikan sebelumnya. KAMI sangat bisa memahami alasan mereka. Jadi, Gedung Juang 45 sudah tidak bisa dipakai. Tapi secara informal, KAMI Jatim meminta ijin kepada Pengelola untuk memakai lapangan saja. Pihak Pengelola tidak menyampaikan penolakan, tapi juga tidak melarang. Mereka berujar, “Kami tidak mau ikut ambil resiko.” Karena segala persiapan sudah matang. Sebagian peserta dari Kabupaten/Kota yang jauh pun sudah ada yang berangkat, diputuskan acara Deklarasi KAMI Jatim tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Tempatnya di lapangan sekitar gedung tersebut. Semua peserta yang bertanya kepastian tempat tetap acara, diberi jawaban bahwa acara di (lapangan) Gedung Juang 45. Pada hari H, Senin pagi 28 September 2020, Gatot dan Prof Rachmat Wahab sudah sampai di Surabaya. Kemudian Panitia membawa mereka untuk transit di penginapan Jabal Nur JL. Jambangan. Karena Gatot dan Prof. Rachmat berada di Jabal Nur, maka sebagian Kiai, Habaib dan para tokoh yang sedianya langsung ke lokasi acara Gedung Juang, mereka pun singgah dulu ke Jabal Nur untuk bertemu Gatot dan Prof Rahmat. Setidaknya, ada sekitar 70 orang, dari total 150 tokoh yang diundang untuk ikut deklarasi. Sebagian langsung ke Gedung Juang 45, sebagaiannya mungkin berhalangan hadir. Di Jabal Nur, para undangan sarapan dan melakukan ramah tamah dengan gayeng. Saat ramah-tamah itulah mereka dapat informasi dari peserta yang berada di Gedung Juang 45, bahwa situasi di lokasi tidak memungkinkan mereka untuk datang. Ada massa pendemo yang entah dari mana. Polisi pun banyak di lokasi. Sebagian undangan yang mencoba untuk mendekat ke lokasi mendapatkan persekusi dari orang-orang yang tidak dikenal. Mendapat informasi seperti itu, Panitia berembug. Panitia putuskan tidak jadi melaksanakan acara di Gedung Juang 45. Gatot, Prof Rahmat, dan para tokoh yang sudah siap berangkat ke lokasi, dicegah. Panitia minta mereka semua untuk tetap di Jabal Nur saja. “Kita lanjut ramah tamah di sini saja, hingga makan siang nanti,” kata seorang Panitia. Acara informal. Namanya kedatangan orang Jakarta, apalagi tokoh seperti Presidium KAMI Gatot Nurmantyo dan Prof Rahmat, maka keduanya pun diminta untuk berbicara sekedar cerita-cerita ringan terkait situasi Bangsa, Covid-19 dan lain sebagainya. Setelah Prof Rachmat, giliran Gatot berbicara, terdengar suara bising di luar. Di luar ada sound system berkuatan besar diangkut satu truk dengan beberapa orang di atasnya. Mereka ini pendemo atas nama “Surabaya Adalah Kita”. Di saat Gatot sedang berbicara, tiba-tiba masuklah beberapa orang yang mengaku dari Polda Jatim. Tak seorang pun memakai seragam Polisi dan ketika dimintai surat tugas, mereka tidak bisa menunjukkannya. Tapi, Wakil Direktur Intelkam AKBP Iwan Surya Ananta langsung maju mendekati Gatot yang sedang bicara. Dia memaksa Gatot berhenti. Sesaat kemudian kawan-kawannya yang lain pun ikutan merangsek. “Ini bapak-bapak dari Kepolisian meminta saya berhenti bicara. Tidak apa-apa, mereka hanya menjalankan tugas,” kata Gatot dengan lembut. Kemudian Gatot pun mengakhiri bicaranya. Sempat akan terjadi perlawanan. Teriakan takbir pun sudah bertaluan, yang diselingi pekikan merdeka. Tapi, Gatot Nurmantyo dan beberapa tokoh lainnya berhasil mencegah. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Tak Terbayangkan Kalau Dulu PKI Menang dan Berkuasa

by Asyari Usman Jakarta FNN - Rabu (30/09). Masa-masa menjelang 30 September 1965, usia saya masih sekitar 8 tahun. Baru mau belajar sholat dan puasa. Alhamdulillah, waktu itu sudah bisa membaca ‘alif-alif’. Begitu dulu orang menyebut ‘iqra’ yang dikenal akhir-akhir ini. Tentu saja saya belum mengerti apa itu ‘komunis’ atau ‘komunisme’. Saya banyak mendengar orang dewasa yang menyebut-nyebut ‘PKI’. Tetapi, belum lagi paham dalam konteks apa ‘PKI’ itu dibicarakan. Tidak mengerti juga apa itu politik. Yang masih terngiang di telinga saya adalah slogan ‘ganyang PKI’. Terus, saya masih ingat tentang ‘lubang’ yang dibuat di halaman rumah. Di saming atau di depan. Umumnya lubang itu berbentuk huruf ‘L’. Semua rumah tangga di kampung wajib memilikinya. Tidak ada penjelasan yang tegas tentang mengapa lubang-lubang itu harus dibuat. Ada yang mengatakan, lubang itu akan digunakan bila ada serangan udara dari Malaysia. Waktu itu, sedang top pula ‘ganyang Malaysia’. Yaitu, konfrosntasi yang dikobarkan oleh Presiden Soekarno. Serangan dari Malaysia sangat masuk akal sebagai penjelasan tentang lubang-lubang itu. Sebab, kebetulan pula kampung kami berada tak jauh dari pantai Selat Melaka. Jadi, bila ada serangan udara, penduduk langsung berlindung di dalam lubang. Terasa pas juga penjelasan ini. Ternyata, bertahun-tahun setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, barulah diperoleh jawaban yang ‘akurat’ mengenai peruntukan lubang-lubang tsb. Yaitu, kata warga yang lebih paham tentang gerakan PKI, untuk menguburkan mayat-mayat penduduk yang bakal dibantai oleh orang-orang PKI. Waktu itu. Penjelasan ini jauh lebih masuk akal. Itu pun setelah terjadi peristiwa pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira menengah TNI pada dini hari 30 September 1965. Yang disusul dengan pengejaran terhadap orang-orang PKI yang melakukan perbuatan makar itu. Ketahuanlah kegunaan lubang-lubang yang digali di halaman rumah-rumah penduduk itu. Bahwa, jika PKI yang menjadi kuat dan di atas angin, maka mayat-mayat warga kaum muslimin akan dimasukkan ke lubang yang digali sendiri oleh mereka. Ketika itu, perangkat pemerintahan desa tidak tahu lubang itu untuk apa. Mereka juga diperintahkan atasan agar memerintahkan warga menggali lubang di halaman rumah masing-masing. Perhatikan! PKI bisa menginfiltrasi kekuasaan. Mereka bisa mengatur agar pemerintah menginstruksikan rakyat untuk menggali lubang yang akan digunakan untuk menguburkan mayat yang menggali lubang itu sendiri. Alhamdulillah, PKI digagalkan oleh Allah SWT. Berkat doa umat dan para ulama, ustad, dan para kiyai, akhirnya rakyat bersama ABRI (TNI) berhasil menghentikan makar PKI. Rakyat dan tentara melakukan penumpasan. Para pengkhianat bangsa dengan lambang palu-arit itu pun tak berkutik. Tak terbayangkan kalau PKI menang dalam pemberontakan 30 September 1965 itu. Andaikata mereka berhasil merebut kekuasaan, tentu umat Islam akan dijadikan sasaran utama. Agama pastilah akan dikekang dan kemudian dilenyapkan. Mungkinkah mereka melakukan itu? Sangat mungkin. Sebab, begitu PKI berkuasa pada 1965 itu, maka hampir pasti pemerintahan yang dikuasai komunis akan meminta bantuan dari RRT (RRC). Poros Djakarta-Peking telah terbangun waktu itu. Peking (Beijing) pasti melakukan apa saja untuk mendukung kekuasaan PKI. Sekali lagi, Alhamdulillah. Kita terhindar dari kemenangan PKI pada 30 September 1965. Betapa seramnya jika mereka yang berkuasa. Mari kita ceritakan kepada anak-anak generasi muda. Agar mereka paham tentang makar PKI yang bertujuan untuk melenyapkan agama, khususnya agama Islam, dari bumi Inonesia. Kita wajib menceritakan ini karena ada pertanda yang kuat dan jelas bahwa komunisme gaya baru (neo-komunisme) dan PKI gaya baru (neo-PKI) ingin bangkit dan berperan kembali. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Presiden Utamakan Kesehatan dan Keselamatan Rakyat?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (29/09). Presiden Joko Widodo alias Jokowi menegaskan, pemerintah mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat dalam penanganan Covid-19. Pemerintah terus berupaya menjaga yang sehat agar tidak terpapar Virus Corona. “Saya ingin kembali menegaskan bagi pemerintah, kesehatan rakyat dan keselamatan umat adalah yang utama. Bagi yang sehat kita jaga agar tidak terpapar. Bagi yang sudah terpapar, kita berupaya segera untuk bisa kita sembuhkan,” katanya. Hal itu disampaikan Presiden Jokowi saat membuka Muktamar PP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) di Istana Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/9/2020). Jokowi bersyukur, angka kesembuhan masyarakat tinggi per 25 September lalu. Pemerintah, kata dia, terus berupaya meningkatkan angka kesembuhan. “Alhamdulillah per 25 September, angka kesembuhan kita mencapai 196 ribu orang dengan tingkat kesembuhan 73,5%. Ini semakin meningkat. Alhamdulillah dan akan terus kita tingkatkan,” ucapnya. Mantan Wali Kota Solo itu mengajak masyarakat Indonesia tidak menyerah menghadapi pandemi Covid-19 ini. Dia juga mengajak agar masyarakat saling membantu saat kesulitan. “Kita tidak boleh menyerah, kita harus berikhtiar sekuat tenaga pengendalian Covid-19 sekaligus membantu saudara-saudara kita agar tidak semakin terpuruk karena kesulitan ekonomi,” pungkasnya. Menurut Jokowi, perlu kekompakan bersama dalam menghadapi Covid-19. Menurutnya, persoalan ini terlalu besar untuk diselesaikan pemerintah sendirian. “Kita harus bersatu, satu tekat, satu semangat, satu barisan dalam menghadapi situasi yang sulit ini,” ucapnya. Jokowi berharap, seluruh kader Parmusi di seluruh tanah air bergandengan tangan dengan seluruh elemen bangsa yang lain. Kemudian, menjadi garda terdepan untuk melindungi diri sendiri, melindungi kesehatan umat, keselamatan rakyat, serta bangsa dan negara. “Sehingga kita bisa segera pulih dan bangkit kembali,” kata Presiden Jokowi, seperti dilansir Liputan6.com, Sabtu (26 September 2020). Dia menambahkan, dalam mencegah penyebaran Covid, tidak ada jalan lain selain disiplin menjalankan protokol kesehatan. Serta disiplin menjalankan kebiasaan-kebiasaan baru yang aman dari Covid saat di dalam rumah bersama keluarga maupun ketika di luar. Bahaya Pilkada Sayangnya dalam Muktamar PP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) di Istana Bogor tersebut, Presiden Jokowi tidak menyinggung soal mengapa Pemerintah tetap melaksanakan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember 2010 mendatang. Rapat bersama antara Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sepakat tidak ada penundaan Pilkada serentak 2020. Pilkada tetap akan dilaksanakan pada Rabu, 9 Desember 2020. Hal ini mengabaikan masukan dari masyarakat. Sebelum keputusan diambil, penolakan telah datang dari berbagai pihak. Seperti dari Muhammadiyah dan NU yang menyatakan sikap. Juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk serius mengatasi pandemi Covid-19. Menyarankan agar Pilkada Serentak 2020 ditunda dulu. Sepertinya, sikap dua Ormas Islam itu tak menjadi pertimbangan dalam memutuskan pilkada dilanjut atau tidak. Selain dua ormas Islam itu, ada Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Perludem dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang juga menyarankan supaya Pilkada 2020 ditunda. Alasanya, karena pandemi Covid-19 semakin meningkat dan penyebarannya sudah semakin mengkhawatirkan. Pergerakan Covid-19 demikian dahsyat. Hingga Menteri Agama Fachrul Razi dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo positif terpapar. Bahkan, Komisioner KPU sendiri sudah ada yang dinyatakan positif Covid-19. Penyebaran di berbagai daerah juga menunjukan angka yang signifikan. Sebagian besar daerah digambarkan laju penyebaran Covid-19 yang meningkat. Belum lagi seperti yang dikatakan ketua KPU Arief Budiman. Setidaknya, sebanyak 37 Bakal Calon Kepala Daerah positif Covid-19. Ini persoaan serius yang harus mendapatkan perhatian Presiden Jokowi. Sebab keselamatan warga negara terancam. Ahmad Yani, Dosen FH dan FISIP UMJ menyebutkan, sementara pilkada yang merupakan pesta demokrasi tetap digelar. “Yang namanya pesta, mau tidak mau orang akan tetap berkumpul ramai dan ini mempercepat laju penyebaran Covid-19,” katanya. “Secara hukum, opsi penundaan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,” ungkap Ahmad Yani, seperti dilansir fnn.co.id, Rabu (23 September 2020). Pasal 201A ayat (3) memberikan opsi bahwa apabila bencana non alam (Pandemi Covid-19) belum berakhir, Pilkada bisa ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam berakhir. Payung hukum penundaan jelas sebagai acuan pemerintah. Menurut Ahman Yani, selain itu, Pilkada dalam situasi pendemi Covid-19 bisa berakibat kurangnya pengawasan Tahapan Pelaksanaan Pilkada. Ini menyebabkan semakin tertutupnya proses pelaksanaan. Karena itu, dalam menghadapi situasi demikian, sudah menjadi kaidah hukum bahwa setiap keputusan harus didasarkan pada akuntabilitas dan transparansi. Tanpa itu, akan melahirkan proses demokrasi yang lebih condong pada kepentingan oligarki dan dinasti kekuasaan. Pilkada hanya untuk mengejar kekuasaan semata. Akibatnya, banyak tanggapan yang bermunculan. Termasuk Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut pilkada itu dibiayai 82% oleh cukong. Angka itu memperlihatkan ada kepentingan besar oligarki dan korporasi memegang kendali dalam demokrasi. Wartawan Senior Hersubeno Arief menyebut, sulit untuk menafikan, keputusan pemerintah tetap menggelar Pilkada di tengah pandemi, sarat dengan kepentingan politik. Yakni, mulai dari kepentingan politik pribadi, keluarga, kelompok, maupun golongan. “Kepentingan ekonomi para elit politik tingkat nasional, lokal, dan kepentingan para pemilik modal picik, licik, tamak dan culas,” ungkap Hersu dalam tulisannya, “Hoorreeee… Pilkada 2020 Ditunda, Kecuali Solo dan Medan” di fnn.co.id, Selasa (22 September 2020). Karena anak (Gibran Rakabuming) dan menantu (Bobby Nasution) ikut berlaga pada Pilkada Kota Solo dan Kota Medan, sangat sulit untuk membantah, Jokowi dan keluarga, mempunyai kepentingan langsung agar Pilkada tetap dilaksanakan. Bagi Jokowi, ini momentum paling pas menjaga dan memastikan anak dan menantunya yang miskin pengalaman politik, miskin kapasitas, dan kapabilitas untuk terpilih. Nasib Gibran dan Bobby Nasution tidak semata bergantung pada garis tangan. Tapi yang paling penting adalah "campur tangan". Mumpung Jokowi masih menjadi Presiden. Mumpung masih punya pengaruh besar mengendalikan parpol dan organ-organ kekuasaan. “Semuanya itu erat kaitannya dengan bisnis pengaruh,” tulis Hersu. Bahasa kerennya, business of influence. Jika harus ditunda, momentum akan lewat. Dengan pandemi yang semakin tidak terkendali. Covid mulai menggigit elit. Mulai dari menteri, Ketua KPU, wakil gubernur, walikota, bupati, dan rektor perguruan tinggi. Perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia hingga Minggu, 27 September 2020, rata-rata mencapai 22,46% sedikit lebih rendah jika dibandingkan kasus aktif dunia yang mencapai 23,13%. Untuk itu, Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas Persiapan Pelaksanaan Vaksin Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional via video conference pada Senin, 28 September 2020, menyerukan seluruh jajarannya untuk bergerak cepat agar kasus aktif di Indonesia dapat terus menurun. Presiden Jokowi juga mengingatkan kembali mengenai intervensi berbasis lokal dan rencana vaksinasi. Reaksi keras datang dari seorang netizen, "Gendeng.... WHO belum memberikan satu pun rekomendasi vaksin Covid-19... Lhaaa kok Presiden RI sudah minta rencana rinci suntikan vaksin... Ini yang bohong China atau Pemerintah Indonesia sendiri soal Vaksin Sinovac mendapat restu WHO...," tulis Netizen Mila Machmudah Djamhari. Wartawan senior Asyari Usman mengungkap, banyak yang mungkin belum paham mengapa Jokowi tidak begitu peduli dengan amuk Covid-19 pada Pilkada 2020. Itu semua disebabkan Gibran di Solo dan Bobby di Medan yang ikut Pilkada 2020. Inilah taruhan yang sangat besar bagi Jokowi. Bebannya tidak ringan. Kedua calon itu ‘wajib’ jadi. Tidak ada kamus kalah. Jadi, ini yang membuat Jokowi lebih mementingkan Gibran dan Bobby dibandingkan amuk virus Corona. Hingga kini, Jokowi tak menggubris imbauan banyak pihak agar Pilkada 2020 di 270 daerah ditunda. Para pakar kesehatan dan epidemiologi sangat mengkhawatirkan kemunculan ribuan ‘cluster’ baru dari kegiatan pilkada. Artinya, Presiden Jokowi itu lebih mementingkan kesehatan dan keselamatan politik keluarga ketimbang rakyat! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Tak Peduli Covid-19, Yang Penting Gibran dan Bobby Menjadi Walikota

by Asyari Usman Jakarta FNN – Ahad (27/09).Banyak yang mungkin belum paham mengapa Jokowi tidak begitu perduli dengan amukan Covid-19 di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Itu semua disebabkan Gibran di Solo dan Bobby di Medan. Anak dan menantu Jokowi ini ikut Pilwalkot pada 9 Desember nanti. Inilah taruhan yang sangat besar bagi Jokowi. Bebannya tidak ringan. Kedua calon itu “wajibjadi”. Tidak ada kamus untuk kalah. Jadi, inilah yang membuat Jokowi lebih mementingkan Gibran dan Bobby dibandingkan amukan virus Corona. Hingga saat ini, Jokowi tak menggubris imbauan banyak pihak agar Pilkada serentak 2020 di 270 daerah ditunda dulu. Para pakar kesehatan dan epidemiologi sangat mengkhawatirkan kemunculan ribuan “cluster” baru dari kegiatan Pilkada nanti. Jabatan walikota untuk Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution jauh lebih penting di mata Jokowi. Ke sinilah perhatian penuh itu ditumpahkan. Sebanyak mungkin tokoh berkaliber dari semua parpol, dikerahkan. Siang dan malam. Non-stop 24 jam untuk anak dan menantu. Ancaman untuk dipermalukan di kedua Pilwalkot itu sangat tinggi. Rakyat Solo dan Medan akan menjadi “unpredictable” (tak terpetakan). Warga di kedua kota ini akan berjuang keras untuk menentang kesewenangan demokrasi. Di Medan, warga kelihatan tenang-tenang saja. Namun, mereka siap menolak Bobby. Ini yang saya simpulkan sesuai observasi dari dekat selama ini. Barangkali, itulah yang membuat Jokowi tak bisa tidur. Apalagi, cara Jokowi memuluskan pencalonan anak dan menantunya itu meninggalkan korban perasaan kelas berat. Di Solo, mantan Wakil Walikota Achmad Purnomo dipaksa menyingkir demi Gibran. Purnomo menunjukkan perlawanan gaya Solo. Dia tak sudi ikut dalam tim pemenangan Gibran. Tamparan keras bagi Jokowi dan PDIP. Sedanghkan di Medan, mantan Wakil Walikota Akhyar Nasution dipecat oleh pimpinan PDIP karena tidak mau memberikan jalan untuk Bobby Nasution. Melawan lebih keras dari Purnomo, Akhyar malah maju sebagai calon walikota dengan dukungan PKS dan Partai Demokrat. Dua tindakan “demokratis yang otoriter” ini, sekarang, menumbuhkan tekad perlawanan akar rumput di Solo dan Medan. Gerbong pendukung setia Achmad Purnomo sangat besar. Mereka kecewa habis. Marah melihat kesewenangan yang sangat melecehkan warga Solo itu. Begitu pula dengan penyingkiran Akhyar Nasution. Dengan cara sesuka hati oleh Megawati. Ini membulatkan tekad warga Medan untuk memenangkan Akhyar nanti. Tim Jokowi sudah melihat jelas gelagat kekalahan anak dan menantunya itu. Itulah sebabnya sekarang disusun satgas pemenangan yang seolah lebih penting dari Satgas Covid-19. Diturunkan nama-nama beken nasional. Semua ikut. Bahkan ada nama Megawati dan Puan di tim Gibran. Untuk Bobby di Medan, ada nama Sandiaga Uno. Mungkinkah itu efektif dan bisa membuat keduanya menang? Nanti dulu bung! Medan sangat labil bagi Bobby sejauh ini. Bobby memang sudah lama mencoba masuk ke akar rumput. Dia dibantu oleh semua orang penting di kota ini. Tetapi, warga kota Medan sangat piawai. So elegant! Warga kota Medan tidak ribut. Mereka akan menunjukkan perlawanan terhadap kesewenangan yang mengatasnamakan demokrasi itu di TPS, 9 Desember 2020. Djarot Saiful Hidayat (PDIP) pernah merasakan “humiliation” telak di Pilgub Sumut pada 2018. Warga Solo pun bermain cantik. Gibran bisa dipermalukan oleh Bagyo Wahyono yang maju dari jalur independen. Lihat saja reaksi publik Solo. Dalam waktu relatif singkat bisa terkumpul 38,000 dukungan untuk Bagyo Wahyono. Sangat militan. Akan tetapi, ada tapinya. Akhyar Nasution dan Bagyo Wahyono bisa gigit jari juga. Sebab, Bobby dan Gibran boleh jadi “sudah ditakdirkan menang” jauh sebelum pencoblosan berlangsung Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.