POLITIK
Menuntut Jokowi Mundur, Terobosan Hukum Membela Kepentingan Rakyat
by Prof. Dr. Eggi Sudjana SH. MSi. Jakarta, FNN - Ada sejumlah pihak yang mempertanyakan, bagaimana mungkin menggugat Presiden secara hukum dan menuntutnya untuk mundur melalui lapangan hukum perdata di Pengadilan Negeri. Padahal, secara tata Negara, proses pengunduran diri dan pemberhentian Presiden (pemakzulan) hanya dapat ditempuh melalui Proses Politik di DPR RI, membawanya secara hukum ke Mahkamah Konstitusi, dan kembalikan ke MPR Ri melalui sidang istimewa. Di MPR RI, sifatnya tinggal seremonial untuk mengukuhkan pemberhentian Presiden yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, menetapkan Wakil Presiden sebagai Presiden definitif dan memilih sekaligus memilih dan menetapkan Wakil Presiden pengganti. Sejumlah anggota DPR RI kelak nantinya yang akan memilih dan mengusulkan penetapan Wakil Presiden pengganti dalam Sidang Istimewa MPR RI. Hanya saja, semua itu terjadi jika Lembaga DPR RI berfungsi. Masalahnya, lembaga DPR RI mengalami disfungsi baik dalam fungsi legislasi, budgeting dan khususnya kontrol terhadap eksekutif. Sejumlah kebohongan, janji-janji palsu, dan disfungsi peran Presiden untuk merealisasikan tujuan pemerintahan adalah pelanggaran hukum, terkategori perbuatan yang melawan hukum. Karena dusta dan janji-janji palsu Presiden Joko Widodo seperti ada dana 11.000 di kantong, tidak akan utang buktinya utang menggunung yang per Desember 2020 telah melampaui angka Rp. 6000 triliun. Janji tidak akan import, buy back Indosat, dan sederajat kebohongan dan janji palsu Presiden Joko Widodo telah merugikan segenap rakyat Indonesia. Secara perdata, hal ini memenuhi unsur pembuatan melawan hukum dalam pasal 1365 Kuhperdata, yang menyatakan, "setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut." Klien kami sebagai bagian dari rakyat Indonesia, sangat dirugikan oleh tindakan Presiden Joko Widodo yang mengedarkan kebohongan dan janji-palsu. Karena itu, secara hukum klien kami sah menggugat Presiden Joko Widodo karena telah melakukan perbuatan melawan hukum. Karena ada kerugian yang dialami klien kami, dan sebenarnya kerugian ini juga dialami oleh seluruh rakyat Indonesia, maka klien kami menuntut ganti rugi atas tindakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Presiden. Karena persoalan kerugian tidak dapat diukur dengan natural uang, maka klien kami meminta Presiden Joko Widodo untuk mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab kerugian sekaligus pertangungjawaban jabatan. Mengenai pengunduran diri ini, hukum juga telah mengaturnya. Tap MPR No VI Tahun 2001, telah memberikan sandaran legitimasi bagi pejabat yang gagal menjalankan amanah untuk mengundurkan diri. Soal Presiden tidak mau tunduk, tidak mau memberikan kompensasi ganti rugi dengan mengundurkan diri, maka kami juga menggugat DPR RI. Gugatan dilayangkan agar DPR RI kembali mengaktifkan fungsinya, terutama fungsi kontrol terhadap eksekutif melalui aktifasi hak angket, hak interpelasi hingga Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Melalui proses gugatan ke DPR RI, nantinya jika Presiden Joko Widodo tidak mau legowo mengundurkan diri sebagai sikap tanggung jawab dan negarawan seorang Joko Widodo, maka DPR RI dapat mengaktifkan mekanisme pemakzulan untuk menjalankan putusan pengadilan, dengan menggelar sidang untuk Menyatakannya Pendapat dan membawa perkaranya ke Mahkamah Konstitusi. Adapun kebijakan Presiden yang memaksa seluruh rakyat mematuhi, padahal kebijakan tersebut melanggar hukum, seperti UU Omnibus Law, Legalisasi Investasi Miras (meskipun kemudian dicabut), UU pelemahan KPK, yang semuanya inisiatif dari Presiden, juga pengedaran informasi bohong dan ingkar janji juga melanggar ketentuan pidana. Dalam ketentuan pasal 421 KUHP disebutkan : "Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan." Meskipun demikian, Presiden tidak dapat dituntut secara pidana. Itulah sebabnya, sejumlah pelapor yang melaporkan pelanggaran protokol kesehatan Presiden Joko Widodo di NTT laporannya ditolak Bareskrim Polri. Atas pertimbangan itulah, kami menuntut pertanggungjawaban ketatanegaraan dengan meminta Presiden mundur dan jika tidak legowo kami meminta DPR RI mengaktifkan proses pemakzulan Presiden dengan mengaktifkan hak kontrol Dewan kepada Presiden. Pelanggaran hukum secara perdata dan pidana dimaksud, ditindaklanjuti dengan mekanisme ketatanegaraan melalui proses pemakzulan berdasarkan pasal 7A UUD 1945. Sebenarnya, kami tidak perlu menggugat kalau kinerja Presiden benar. Kami juga tak perlu mengontrol Presiden jika fungsi DPR RI jalan. Karena terjadi disfungsi eksekutif dan legislatif, apa boleh buat kami terpaksa menggugat, demi masa depan bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai. Penulis adalah Ketua Umum Tim Pembela Ulama & Aktivis.
Ganjar Pranowo Siap Perang Terbuka Melawan Puan dan Bu Mega
By Asyari Usman Medan, FNN - Ganjar Pranowo dilecehkan oleh Puan Maharani. Gubernur Jawa Tengah itu tidak diundang untuk acara penting partai yang diselenggarakan di depan mata Ganjar. Di Semarang, 22 Mei 2021. Acara itu sangat penting. Yaitu, pengarahan soliditas kader partai. Dihadiri oleh seluruh kepala daerah asal PDIP se-Jawa Tengah. Sangat tak masuk akal kalau Ganjar tidak diperlukan hadir. Ganjar malah pergi menemui Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jakarta pada hari Puan mengarahkan elit partai di Semarang. Hanya untuk menyerahkan lukisan kepada Bu Mega. Sama sekali tak penting. Dari sini terlihat bahwa Bu Ketum setuju dan ikut mengatur skenario Puan menampar Ganjar. Dan dari sini pula terlihat “awal proses penyingkiran Ganjar” itu sengaja dipertontonkan di depan Ganjar. Kabarnya, Ganjar akan melancarkan serangan balasan yang dahsyat. Mengapa ini dilakukan oleh Megawati? Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto mengatakan Ganjar sudah kelewatan. Terlalu maju. Sok pintar. Apa yang dimaksud “sok pintar” itu? Bambang mengatakan semua ini terkait pencapresan 2024. Dalam berbagai survai, Ganjar memang dipandang prospektif untuk ikut pilpres. Dia sangat agresif. Dia tunjukkan ambisi pilpres 2024 secara terang-terangan. Tentunya melalui medsos, termasuk menjadi host di YouTube. Sebaliknya, elektabilitas Puan tak kelihatan. Padahal, Bu Mega menginginkan dia maju bersama Prabowo Subianto dengan posisi capres atau cawapres. Popularitas Ganjar dirasakan mengancam Puan. Karena pilpers 2024 semakin dekat, Bu Mega merasa Ganjar harus distop. Pertanyaannya, bisakah gerak maju Ganjar dihentikan? Kelihatannya tak mungkin. Ganjar tidak akan mundur. Ini soal momentum. Popularitas yang dia genggam saat ini tidak akan terulang lagi kapan pun. Pilpres 2024 adalah kesempatan terbaik bagi Ganjar. Terutama, posisi sebagai gubernur Jawa Tengah sangat membantu. Karena itu, Ganjar akan bertarung ‘all out’ melawan hambatan. Termasuk melawan Bu Mega. Bisakah Bu Mega dilawan? Bisa. Tapi, risikonya Ganjar akan dipecat. Diusir dari PDIP. Bu Mega terlalu kuat untuk digulingkan oleh Ganjar meskipun dia punya faksi di PDIP. Lalu, jalan apa yang masih bisa ditempuh Ganjar untuk tetap maju di pilpres 2024? Dia bisa mendekati parpol-parpol lain. Dan ada yang mengatakan Ganjar sudah sering bertemu dengan Surya Paloh (SP), ketum Partai Nasdem. Persoalannya, Nasdem lebih yakin mendukung Anies Baswedan ketimbang Ganjar. Tetapi, isu ini masih sangat cair. Bisa saja SP mendukung Ganjar kalau deal-nya cocok. Apalagi kalau Ganjar bisa “merangkul” para cukong yang siap gelontorkan puluhan triliun. Untuk Bu Mega, ada satu hal yang perlu dicatat. Ganjar Pranowo dikatakan mendapat restu dan dukungan dari “orang yang sangat kuat” (OYSK). Dan orang itu sejak lama berseberangan dengan Bu Ketum. Bu Mega harus berhati-hati. Perlu pertimbangan matang apakah memaksakan Puan di pilpres 2024 tidak akan mempermalukan Bu Ketum. Sangat mungkin para senior PDIP berbondong-bondong mendukung gubernur Jawa Tengah itu. Dan tinggallah Bu Mega sendirian bersama Puan. Publik paham Bu Mega pun tidak punya waktu lagi. Puan harus maju di pilpres 2024. Inilah momennya. Seperti Ganjar juga. Now or never. Usia Bu Mega semakin bertambah. Puan tidak kuat di PDIP. Dia sangat rapuh. Puan seratus persen mengandalkan Bu Mega. Jadi, sangat bisa dipahami kalau Bu Mega harus melenyapkan ancaman Ganjar secepat mungkin. Ganjar itu naik daun berkat PDIP. Tanpa lambang Banteng, dia tidak ada apa-apanya. Hanya saja, Ganjar itu terbukti disukai rakyat Jawa Tengah. Puan di awang-awang. Serba salah. Tetap ada Ganjar di PDIP, Puan yang tersingkir. Kalau Ganjar yang ditendang, dia didukung oleh OYSK tadi itu. Dan OYSK itu bisa mengatur dukungan politik besar untuk Ganjar. Dia bisa dengan mudah maju di pilpres 2024. Tampaknya, Ganjar siap perang terbuka melawan Puan dan Bu Mega. Bisa sangat seru. Ini sama-sama soal harga diri dan momentum pilpres. (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Mencermati Sandiwara Ganjar, Puan, Megawati
By Asyari Usman Medan, FNN - Seriuskah perseteruan Ganjar Pranowo vs Puan Maharani untuk urusan pencapresan 2024? Sungguh-sungguhkah mereka berkelahi? Sebelum ini, saya tulis bahwa Puan dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri ‘genuine’ merasakan Ganjar sebagai ancaman di pilpres 2024. Sejak duduk di kursi gubernur Jawa Tengah, Ganjar menunjukkan bahasa tubuh bahwa dia punya peluang untuk maju sebagai capres. Ganjar aktif dan agresif melakukan pendekatan ke bawah. Dia menjadi populer di kalangan rakyat Jawa Tengah. Elekatibilitasnya lumayan tinggi meskipun berada di bawah Anies Baswedan. Yang jelas, elektabilitas Ganjar lebih tinggi dari Puan. Ini asli, bukan sandiwara. Tetapi, banyak orang yang meyakini perseteruan Ganjar-Puan hanya pura-pura saja. Cuma muslihat yang bertujuan untuk memperkuat posisi Ganjar. Dia dibuat seolah-olah ditindas oleh Megawati dan Puan. Ganjar sengaja digencet supaya terlihat menjadi korban. Setelah itu dia ‘playing victim’. Publik akan beramai-ramai menjadikan Ganjar sebagai pahlawan. Elektabilitasnya semakin tinggi sehingga parpol-parpol pun akan berebut mendukung. Ujung-ujungnya, Ganjar akan dicapreskan sebagai orang yang melawan Megawati dan PDIP. Ganjar kemudian maju dan menang pilpres 2024. Setelah masuk ke Istana, orang-orang PDIP akan menawarkan posisi ketua umum kepada Ganjar. Megawati pun bersedia lengser. Ganjar terpilih. PDIP kembali menjadi partai yang berkuasa. Lebih kurang begitulah sandiwara yang sedang dilakonkan Ganjar, Puan, dan Megawati. Nah, di mana logika sandiwara besar ini? Pertama, Megawati tahu persis dan paham bahwa Puan tak mungkin menjadi capres. Apalagi menjadi presiden. Bu Mega sadar bahwa ke depan, PDIP akan lepas dari dinasti Soekarno. Puan tak punya ‘credential’ (mandat) yang kuat untuk menguasai PDIP sebagaimana Mega bisa mendikte partai ini. Para elit Banteng mengakui Mega adalah pimpinan PDIP yang telah berjuang berdarah-darah menghadapi penindasan penguasa. Ini membuat para kader Banteng tak berani menggugat posisi ketum seumur hidup untuk Mega. Mega menegakkan PDIP mirip dengan Soekarno memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tidak begitu halnya dengan Puan. Kalau pun nanti puncuk pimpinan partai pindah ke tangan Puan, dia tidak akan dianggap sebagai mandatoris seperti ketika Megawati menduduki kursi ketua umum PDIP. Banyak yang lebih besar jasanya untuk PDIP ketimbang Puan. Megawati bisa melihat bahwa PDIP setelah dia turun tidak akan sama dengan PDIP yang bisa dikendalikannya secara otoriter dengan gaya feodal. Feodalisme bisa bertahan di tangan Megawati tetapi tidak akan bisa berlanjut di tangan Puan. Kedua, Megawati dan elit PDIP lainnya menyadari bahwa Banteng bisa tenggelam dalam pemilihan umum mendatang. Ini disebabkan banyaknya masalah yang membelit partai. Misalnya, PDIP menjadi partai yang paling banyak kadernya terkena OTT KPK. Banyak orang menyebut PDIP sebagai “juara korupsi”. Bu Mega paham tantangan berat PDIP di masa depan tak mungkin diatasi oleh Puan. Karena itu, sangatlah konyol kalau kader “cerdas” seperti Ganjar Pranowo akan dibuang begitu saja dengan alasan mengancam karir politik Puan. Itu tidak mungkin, kata orang-orang yang yakin sandiwara Ganjar-Puan-Mega hari ini. Mega dan PDIP memerlukan orang seperti Ganjar untuk menyelamatkan partai itu. Memang Ganjar sendiri punya masalah. Dia disebut-sebut dalam rangkaian penyelidikan kasus korupsi e-KTP (Juli 2017). Tapi, Ganjar paling tidak telah berhasil memperkuat PDIP di Jawa Tengah, khususnya. Jadi, memang wajar kalau Anda semua mencurigai sandiwara Ganjar-Puan-Megawati menuju pilpres 2024.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Rezim Ini Telah Paripurna Mengingkari Pancasila
Tangsel, FNN - Pemerintah Jokowi menempatkan dasar negara Pancasila hanya sebagai simbol belaka. Kelima silanya telah dilanggar dengan jelas dan tuntas. Hal ini disampaikan oleh aktivis Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai dalam diskusi terbatas di Sekolah Insan Cendekia Mandiri, BSD, Tangerang Selatan, Jum'at (07/05/2021). Para tokoh yang hadir di antaranya LaNyalla Mataliti Ketua DPD RI, Tamsil Linrung anggota DPD RI, Rizal Ramli mantan Menteri Koordinator Ekonomi era Presiden Gus Dur dan mantan Menko Bidang Kemaritiman era Presiden Jokowi/ekonom), Bachtiar Hamsah mantan Menteri Sosial, MS Ka'ban (Partai Ummat/mantan Menteri Kehutanan era Presiden SBY), Adie Masardi (mantan Juru Bicara Presiden Gus Dur/KAMI), Natalius Pigai (mantan Komisioner Komnad HAM/pemerhati HAM), Said Didu (mantan Sekretaris Kementerian BUMN). Pigai menegaskan pada sila pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa, negara tidak menjamin rakyatnya untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Negara justru hadir sebagai monster bagi umat Islam, ulama, dan tokoh-tokohnya. Negara rajin melabeli umat Islam dengan cap teroris dan intoleran. Negara lupa, sejarah mencatat bahwa banyak pemimpin jatuh karena tokoh-tokohnya dimusuhi. Agama itu penting sebagai pijakan dalam membangun sebuah bangsa. Yang kedua, kata Pigai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Rakyat takut hidup di negaranya, takut mengekspresikan pikiran, ide, dan gagasannya. Akibatnya rakyat menjauhi negara karena negara hadir memusuhi rakyat. Kenyataan hari ini, seolah-olah sila ke-2 sudah hilang. Sila ke 3, Persatuan Indonesia. Rezim ini gagal mengintegrasikan Indonesia yang majemuk. Persatuan menjadi barang langka saat ini. Adu domba terus menerus dipelihara dengan bantuan buzzer. Ini membahayakan keutuhan NKRI. Sila ke 4, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Demokrasi yang dijalankan oleh rezim adalah demokrasi sesuai selera penguasa. Rezim ini merancang politik kapitalis. Negara gagal bukan karena sumber daya manusia, tetapi karena sumber daya alam yang telah dikavling oleh kapitalis. Hari ini mereka telah melancarkan kejahatan oligarki politik. Ke depan mereka sedang menyiapkan oligarki hukum. Pengingkaran sila ke 5, Ketidakadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah adanya ketimpangan antara timur dan barat, antara Jawa dan luar Jawa. Saat ini tidak ada distribution of justice dan distribution of power. Ketidakadilan yang utama adalah distribution of power. Presiden sekarang rasis. Dari 34 menteri gak ada satu pun orang kulit hitam. Jadi, saat ini Pancasila hanya simbolik saja. Keadilan bisa tercapai kalau tatanan bernegara dibangun dengan baik dan benar. Hari ini rakyat bisa berjalan tanpa kehadiran negara. Artinya perlunya struktur bernegara yang baru. (SWS)
Ketua DPD Minta Arah Kebijakan Ekonomi Dikembalikan ke UUD 45
Jakarta, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyerukan agar arah kebijakan perekonomian nasional kembali kepada Pasal 33 UUD 1945. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi terbatas di Sekolah Insan Cendekia Madani, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Jumat (7/5/2021). Dalam kesempatan itu, LaNyalla menyampaikan empat prioritas yang menjadi concern kerja DPD RI sebagai wakil daerah. Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan, sejak tahun 2020 lalu, seluruh senator di DPD RI sepakat menggunakan tagline Dari Daerah Untuk Indonesia. "Dengan tagline itu, DPD RI akan terus memperjuangkan aspirasi dari daerah. Dan untuk mewujudkan itu, DPD RI harus punya Nyali dan terus Menyala," katanya. Sebagai bentuk keseriusan DPD untuk membangun daerah, LaNyalla mengatakan ada empat prioritas yang menjadi concern kerja DPD RI. "Yang pertama, DPD RI berkomitmen DPD RI untuk memajukan sektor pertanian dan mewujudkan kedaulatan pangan. Sebab, Indonesia adalah negara dengan potensi sumber daya alam yang besar. Oleh karena itu, kita wajib membangun sektor pertanian yang modern dan tangguh sebagai tulang punggung perekonomian dan meningkatkan produksi nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, yang merupakan 35,8 persen penduduk Indonesia," katanya. Yang menjadi prioritas kedua DPD RI adalah membangun negara maritim yang kuat dan maju. Ketua Dewan Kehormatan Kadin Jawa Timur itu menjelaskan, Indonesia adalah salah satu negara kepulauan dengan wilayah laut terluas dan garis pantai terpanjang di dunia. "Sudah jelas, bahwa logikanya, sektor kemaritiman Indonesia harus menjadi potensi besar yang dimiliki Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur. Karena itu, dalam Prolegnas tahun ini, DPD RI mengajukan Rancangan Undang-Undang inisiatif DPD RI, tentang Pemerintahan Daerah Kepulauan," urainya. Sedangkan prioritas Ketiga DPD RI adalah membangun ketahanan energi, pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Menurutnya, seluruh sumber daya alam yang dimiliki Indonesia harus dikelola untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata. "Dan yang menjadi prioritas terakhir DPD RI adalah membangun dari daerah. Artinya, program pembangunan dan pemberdayaan ekonomi daerah harus didukung dengan percepatan, perluasan dan pemerataan pembangunan infrastruktur di seluruh daerah dengan memberikan perhatian dan penekanan khusus kepada kawasan timur dan barat Indonesia," tuturnya. Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu menjelaskan, wajah Indonesia adalah wajah 34 provinsi. Bukan wajah pulau Jawa saja. "Desa juga menjadi wajah Indonesia. Oleh karena itu, kita ingin pembangunan desa terus dilakukan. Sehingga desa bisa menjadi kekuatan ekonomi. Karena itu, DPD RI juga mengajukan Rancangan Undang-Undang inisiatif DPD RI, tentang Badan Usaha Milik Desa," tuturnya. Dalam kesempatan itu, LaNyalla juga menekankan pentingnya DPD RI menyuarakan kepentingan daerah di tingkat nasional. Menurutnya, kepentingan daerah bukan hanya soal otonomi saja. "Ada tiga isu strategis di daerah. Yakni, pemerataan pembangunan di daerah, peningkatan indeks fiskal daerah dan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Dan itu harus ditempuh dengan membenahi manajemen ekonomi bangsa," katanya. LaNyalla menambahkan, arah dan kebijakan pembangunan ekonomi ke depan harus diletakkan dan dikembalikan secara konsisten sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 tentang Perekonomian Nasional. (SWS)
Mendorong Rekonsiliasi
by Tamsil Linrung Jakarta, FNN - Indonesia terasa semakin asing, semakin jauh dari bangsa yang selama ini kita kenal. Hari-hari kita belakangan ini selalu diusik oleh isu yang tidak begitu penting. Kalau bukan radikalisme, ya sentimen agama. Kalau bukan sentimen agama, ya perbedaan ras. Tiba-tiba saja kita seperti bangsa baru yang masih harus belajar bertoleransi dan memahami perbedaan, sesuatu yang sesungguhnya jauh hari telah tuntas. Belum selesai masalah yang satu, muncul lagi masalah lainnya. Belum usai kasus radikalisme yang berujung mutasi di PT. Pelni, muncul lagi penistaan agama oleh Jozeph Paul Zhang. Padahal, sejumlah kasus penistaan agama yang lalu-lalu, belum juga terselesaikan meski sejak dini telah dilaporkan ke polisi. Kerukunan beragama dan berwarganegara terancam dan menggerogoti kohesivitas sosial. Semakin menjadi-jadi ketika pemerintah tak jarang ceroboh mengambil langkah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, baru-baru ini menerbitkan Kamus Sejarah Indonesia. Peristiwa itu memantik kegaduhan karena buku tersebut tidak memuat nama Pendiri Nahdatul Ulama KH. Hasyim Asy'ari. Sebaliknya, yang muncul malah sejumlah nama pengurus Partai Komunis Indonesia. Meski Kemendikbud mengaku alpa, namun beberapa pihak menduga tindakan itu adalah sebuah kesengajaan. Indonesia adalah bangsa yang besar. Tetapi terlihat begitu kerdil karena persoalan yang membelitnya didominasi masalah sektarian. Soal-soal seperti ini sejatinya hanya menjauhkan kita dari persoalan utama bangsa, yakni penegakan hukum, korupsi yang merajalela, dan ekonomi yang terpuruk di tengah hutang yang menumpuk. Berjarak Dengan Rakyat Semakin hari, pemerintah tampak semakin berjarak dengan rakyatnya. Itu terlihat dari seringnya pejabat bersilang pendapat dengan rakyat dalam memahami realitas. Rakyat merasakan kehidupan ekonomi sedang sulit, sementara Presiden Jokowi memprediksi pemulihan ekonomi nasional akan mendorong Indonesia menjadi negara maju di tahun ini. Rakyat merasa cemas dengan jumlah hutang luar negeri, tetapi hutang terus digenjot tanpa diimbangi upaya kreatif mendongkrak perekonomian negara secara signifikan. Pemerintah seperti punya pikirannya sendiri tanpa mau tahu pikiran rakyat. Jarak pikiran itu semakin menganga lebar ketika kebijakan negara acap kali bersifat paradoks. Saat pemerintah melarang rakyatnya mudik lebaran, di saat bersamaan pemerintah malah mengampanyekan pariwisata. Padahal dua giat ini sama-sama berpotensi menyebarkan virus Covid-19. Saat Presiden menyerukan agar rakyat membenci produk Asing, pemerintah justru ketagihan mengimpornya. Begitu pula saat negara melarang rakyat berkerumun, Presiden malah menciptakan kerumunan di Nusa Tenggara Timur, tempo hari. Saat pernikahan rakyat dihentikan aparat, eh, tahu-tahu Presiden beserta Menteri Pertahanan malah menghadiri pernikahan artis. Terlalu banyak kebijakan dan tindakan paradoksial untuk disebut satu per satu. Intinya, kita menjadi bingung, standar peraturan apa yang dipakai pemerintah sehingga di satu sisi rakyat dilarang, tetapi di sisi lain pemerintah melakoni sendiri larangan tersebut. Alhasil, aturan seolah-olah hanya berlaku bagi rakyat, namun tidak bagi pejabat negara. Sifat paradoksial juga terlihat dalam menentukan fokus dan skala prioritas pembangunan. Pemerintah begitu ngotot memindahkan Ibukota negara, seolah kita berlebihan anggaran. Sementara untuk mengupgrade alat pertahanan negara yang mahapenting saja, pemerintah terlihat sangat kekurangan anggaran. Peralatan TNI banyak yang usang dan lapuk termakan usia. Dalam tiga tahun ini saja, ada tiga kecelakaan kapal milik TNI. Teranyar dan masih dalam investigasi adalah tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala 402. Jadi, urusan skala prioritas pembangunan juga menjadi pertanyaan. Tidak heran, berbagai penilaian miring membuncah menyambut satu tahun pemerintahan Joko Widodo – Ma'ruf Amin, tahun lalu. Sejumlah pihak bahkan menilai pemerintahan Jokowi gagal, khususnya dalam hal pemulihan ekonomi nasional. Penilaian miring tersebut juga dipicu oleh banyaknya kebijakan pemerintah yang seringkali kontroversial sehingga memantik penolakan masyarakat. Lekat dalam ingatan demonstrasi pasca pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Begitu pula dengan perumusan UU Haluan Ideologi Pancasila dan perubahan UU KPK. Perubahan ini bahkan membawa sejarah baru dalam pemerintahan Jokowi ketika KPK untuk pertama kalinya mengeluarkan SP3 terhadap buron kasus korupsi Sjamsul Nursalim. Sementara itu, kaum intelektual yang diharapkan kritis serta menjembatani jarak antara rakyat dengan pemerintah, malah justru cenderung menghamba pada penguasa dan birokrasi. Penilaian ini datang justru dari kalangan intelektual sendiri, sebagaimana diutarakan Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Dr. Sulistyowati Irianto. Padahal, kaum intelektual adalah harapan terbesar rakyat agar tetap menjunjung tinggi keilmuannya, bermartabat, dan selalu tajam menganalisis persoalan bangsa. Namun apa daya, bahkan curriculum vitae lamaran menjadi menteri dari seorang profesor sebuah universitas terkemuka pun, sarat diisi perjuangan membela Jokowi di media sosial. Disaat bersamaan, tokoh-tokoh oposisi dipreteli satu persatu. Sejumlah aktivis diterungku dengan dalih hukum yang mengundang pertanyaan di sana-sini. Selebihnya, nyali mereka yang masih bebas dibuat ciut atau setidaknya super hati-hati menjaga lisan. Rasanya, kehidupan demokrasi mulai terancam. Mendorong Rekonsiliasi Sudah pasti kita tidak membenci pemerintah. Kita tidak menginginkan pemerintahan Jokowi jatuh dan terjerembab di tengah jalan. Tetapi, itu tidak berarti membiarkan pemerintah berjalan sendiri, menjauh, dan semakin berjarak dengan rakyatnya. Pemerintah harus dikawal agar tetap menahkodai biduk bangsa dengan arah yang jelas, dan tidak melampaui kodrat konstitusi. Cukup dua periode namun hasilnya maksimal. Jarak yang semakin melebar antara pemerintah dan rakyatnya menurut beberapa pakar disebabkan oleh proses komunikasi yang tersumbat antara lingkaran inti presiden dengan dinamika sosial-politik di tengah masyarakat. Pendapat ini misalnya pernah dilontarkan oleh pakar kebijakan publik yang juga dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam. Kita tentu sepakat, fenomena itu tidak boleh terus berlanjut. Harus ada upaya memecah kebuntuan agar rakyat dan pemerintah saling mengisi, menciptakan energi untuk terus menggali terobosan baru demi kemaslahatan dan pembangunan bangsa. Menjadi kewajiban kita semualah mendorong titik temu yang baik. Masih tersisa lebih dari tiga tahun nikmat kekuasaan di periode kedua Jokowi ini. Saya kira, itu adalah waktu yang cukup buat bagi pemerintah dan seluruh stakeholders bangsa untuk menggenjot kinerjanya guna menambal semua bolong-bolong pencapaian pembangunan. Dalam semangat itu pula kami menggagas pertemuan sejumlah tokoh perekat bangsa di Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM), Tangerang, sekaligus berbuka puasa bersama. Kami berharap, pertemuan yang direncanakan terlaksana pada 7 Mei 2021 ini dapat menjadi momentum rekonsiliasi yang merelaksasi ketegangan-ketegangan politik yang selama ini mengemuka. Kami ingin para tokoh perekat bangsa yang akan hadir seperti; La Nyalla Mattalitti, Mahfud MD, Amien Rais, Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, Dien Syamsuddin, Anies Baswedan, Kwik Kian Gie, Abdullah Hehamahua, Bachtiar Hamzah, dan sejumlah tokoh lainnya menjadi pelopor pemersatu yang menggiring umat kembali bergandeng tangan, lintas SARA tanpa sekat pembeda. Ramadhan kali ini harus punya makna implikatif bagi jalan panjang pembangunan bangsa. Sudah terlalu sering kita mendengarkan lagu indah tentang rekonsiliasi, sebagaimana seringnya telinga menangkap petuah kebajikan Bulan Suci Ramadhan. Tapi momentum keduanya acap kali berlalu tanpa kesan mendalam dalam konteks kebangsaan. Konsep menahan diri dalam berpuasa harus dimaknai secara holistik sehingga punya pengaruh bagi kehidupan keummatan dan Keindonesiaan. Makna itu harus dimunculkan agar pemerintah tak berlebihan mengaplikasi kekuasaan. Sebaliknya, oposisi pun tidak membabi buta dalam menyampaikan kritiknya. Bertemu dan dialog adalah kunci menemukan harmoni untuk Indonesia yang lebih baik. Semoga langkah kecil ini menjadi pemantik ke arah itu. Penulis adalah Senator DPD RI
Menuju Wawasan Kebangsatan
by Asyari Usman Medan, FNN - Apakah ada typo di judul tulisan ini? Tidak, sama sekali. Kita memang sedang membahas diksi baru, yaitu Wawasan Kebangsatan (Wangsat) sebagai lawan dari Wawasan Kebangsaan (Wangsa). Wawasan Kebangsaan lebih-kurang maksudnya adalah konsepsi tentang kehidupan kebangsaan yang diisi dengan nilai-nilai mulia. Bisa juga disebut cara pandang yang berintikan pemahaman tentang kebangsaan. Fokus dari Wangsa adalah pengamalan Pancasila yang diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia yang pro-tauhid (ketuhanan yang maha esa). Manusia yang pro-keadilan, pro-kerakyatan, pro-pemberatasan korupsi, pro-lingkungan hidup, dlsb. Selanjutnya, apa itu Wawasan Kebangsatan? Tidak lain adalah konsepsi tentang penegakan nilai-nilai kebangsatan. Intinya adalah pengamalan cara-cara bangsat dalam proses kehidupan. Terutama kehidupan publik dan pengelolaan negara. Artinya, Wawasan Kebangsatan adalah dasar filosofis untuk menciptakan manusia-manusia bangsat. Semakin bangsat seseorang, semakin tinggi nilainya di mata elit bangsat. Wawasan Kebangsatan diproyeksikan akan menggeser Wawasan Kebangsaan yang selama ini mendominasi percakapan nasional Indonesia. Para pengelola negara yang ada saat ini kelihatannya ingin agar Wawasan Kebangsatan bisa secepatnya menggantikan Wawasan Kebangsaan. Nah, bagaimana cara agar Wangsat bisa menyingkirkan Wangsa? Akselerasi penerapan nilai-nilai kebangsatan sedang dipromosikan melalui semua mesin transformasi yang tersedia. Elit bangsat telah memikirkan itu. Dan sudah pula menyiapkan thesis yang akan menjadi panduan untuk menciptakan seorang yang sempurna dalam kebangsatan. Salah satu instrument yang paling efektif untuk mensosialisasikan Wangsat adalah tes untuk mengetahui seluas dan sedalam apa Wawasan Kebangsatan seseorang. Salah satu lembaga penting musuh korupsi baru-baru ini melaksanakan tes kebangsatan terhadap para pegawainya. Dari 1,300-an lebih staf yang dites, 75 orang dinyatakan gugur. Mereka tidak memiliki pemikiran bangsat. Mereka terlalu keras dalam berpancasila. Terlalu teguh dalam berkeadilan. Terlalu ‘radikal’ melawan korupsi. Sedangkan yang lainnya, di luar 75 orang itu, dianggap bisa dibina dalam koridor kebangsatan. Karena tidak lulus tes, 75 orang yang tidak bisa diarahkan menjadi para bangsat itu akan dikeluarkan alias dipecat dari lembaga penting dimaksud. Lembaga ini sedang ditransformasikan oleh para elit bangsat untuk menjadi proyek percontohan (pilot project) menuju Wawasan Kebangsatan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Kematian KPK dan Akhir Republik
by Prof. Daniel Mohammad Rosyid Surabaya, FNN - Hari ini Mahkamah Konstitusi menolak Judicial Review atas UU KPK 2020 yang diajukan oleh Moh. Yasin dkk- mantan unsur pimpinan KPK periode sebelumnya. Baginya, UU KPK 2020 itu nyata-nyata upaya untuk melemahkan KPK. Hanya satu hakim konstitusi, yaitu Hakim Wahiduddin Adams yang memiliki _dissenting opinions_, sementara 8 lainnya menolak JR tersebut. Sebagai produk amandemen UUD 45 era reformasi maka hari ini MK terbukti memantabkan upaya pelemahan KPK. Dugaan Effendi Gazali bahwa KPK menderita sontoloyoitis ternyata benar. Bagi saya paling tidak KPK telah berubah menjadi Komisi Pelestarian Korupsi. Ditambah dengan kegagalan banyak penyelidik KPK senior untuk diterima sebagai kembali sebagai staf KPK, maka sinyalemen beberapa pengamat benar bahwa kedua peristiwa ini adalah upaya pembunuhan KPK. Saya sebut pelestarian korupsi karena KPK yang semula diposisikan sebagai lembaga adhoc, kini akan difungsikan oleh penguasa, untuk selama-lamanya 1) melindungi para koruptor dari kalangan eksekutif dan legislatif yang pro Pemerintah, dan 2) sebagai alat untuk jual beli dengan oposisi jika masih ada, 3) make-up dan gincu seolah Pemerintah masih peduli dengan pemberantasan korupsi. Sementara itu Transparansi Internasional justru menunjukkan bahwa korupsi di Republik ini makin parah, dan demokrasinya makin lemah. Sebagai lembaga adhoc ekstra konstitusional, *KPK seharusnya menjadi institusi independen yang kuat justru supaya umurnya bisa diperpendek*. Katakan 20 tahun. Sejak dibentuk, kasus korupsi di Republik ini justru tidak ada tanda-tanda perbaikan. Baik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman masih korup seperti sebelum reformasi. Pada saat kepolisian makin powerful seperti saat ini, bisa dibayangkan jika polisi masih saja korup. Pada saat korupsi oleh tokoh parpol koalisi tetap marak, kasus kriminalisasi ulama dan tokoh kritis yang berbeda pendapat dengan Pemerintah justru makin meriah. Malpraktik administrasi publik sebagai biang korupsi justru makin mengakar. Rezim saat ini justru makin otoriter dan power abusive pada saat hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum dibuat dan ditafsirkan untuk kepentingan penguasa dan kroni-kroninya, bukan untuk publik. Kita melihat gejala yang makin kuat, sesuai adagium Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Wacana Presiden 3 periode dan presidential threshold 20% adalah indikasi bahwa adagium ini keras berlaku. Padahal Republik ini didirikan untuk mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan, bukan pada penindasan, apalagi oleh bangsa sendiri. Korupsi dan malpraktek administrasi publik yang luas telah jelas menggerogoti kemerdekaan bangsa ini. Perilaku penguasa saat ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Republik. Pancasila tidak mungkin dipraktekkan oleh rezim seperti itu. Bahkan Pancasila dijadikan alat untuk menggebuk elemen bangsa lain yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Bersama dengan kematian KPK itu menunggu giliran pula Republik ini. Penulis adalah Direktur Rosyid College of Arts.
Syahganda Dihukum 10 Bulan, Haruskah Disyukuri
By Asyari Usman Medan, FNN - Kalau tak salah memahami berita, sebagian orang cenderung mensyukuri hukuman 10 bulan penjara untuk aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Dr Syahganda Nainggolan. Artinya, hukuman itu mungkin saja dilihat sebagai ‘kemenangan’. Hukuman atas aktivis 1998 itu dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Depok pada 29 April 2021. Syahganda dinyatakan bersalah menyebarkan berita yang tidak utuh atau dianggap berlebihan terkait Onnibus Law. Bisa jadi hukuman 10 bulan itu dianggap ‘sangat ringan’ dibanding tuntutan Jaksa yang meminta agar Syahganda divonis 6 tahun penjara. Kalau dilihat dari tuntutan Jaksa, ada betulnya hukuman 10 bulan adalah kemenangan besar. Selesai vonis dibacakan, para pendukung Syahganda meneriakkan takbir di ruang sidang. Melihat suasana yang ada, pekikan “Allahu Akbar” lebih cocok ditafsirkan sebagai pertanda kesyukuran bahwa hukuman itu jauh lebih ringan. Tentu tafsiran lain bisa juga. Jika dilihat dari konteks yang ada, memang wajar jika ada yang ‘bersyukur’. Memang faktanya hukuman itu sangat ringan dibandingkan nafsu Jaksa. Cuma, kalau dipandang dari sisi lain, vonis itu seharusnya dilihat sebagai ketidakadilan. Sebab, Syahganda tidak pantas dihukum berdasarkan dakwaan Jaksa. Dia seharusnya dibebaskan. Dan penahanan atas dirinya, dan juga orang-orang lain yang didakwa dalam kasus yang sama, seharusnya dianggap melanggar asas penegakan hukum. Sebab, aktivis KAMI itu hanya menyampaikan pendapat poltik yang dijamin oleh konstitusi negara. Dia bukan menyebar berita sepotong apalagi memprovokasi. Artinya, para penguasa menggunakan instrumen hukum untuk memenjarakan orang-orang yang menentang kebijakan pemerintah. Syahganda hanya menyuarakan perbedaan pendapat tentang Omnibus Law. Jadi, Syahganda tidak melakukan tindak pidana. Dia tidak menghasut publik. Tidak pula menimbulkan ancaman terhadap keamanan negara dan masyarakat. Itulah sebabnya hukuman 10 bulan itu bukanlah kemenangan yang biasanya disyukuri. Hukuman itu adalah bentuk kezaliman, ketidakadilan. Sangat aneh kalau ada yang bersyukur.[] (Penulis, wartawan senior FNN.co.id)
Bachtiar Chamsyah Kasihan Sama Jokowi
Bukan hanya rakyat enggan menyematkan panggilan 'pak' pada Jokowi. Akan tetapi, sebutan-sebutan lain yang lebih bernada ejekan. Suatu yang tak pernah terjadi pada kepala-kepala negara sebelumya. by Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - PERJUANGAN Koalisi Aksi Mnyelamatkan Indonesia (KAMI) sungguh tak mudah. Sejak dideklarasikan di Tugu Proklamasi 18 Agustus tahun lalu, kehadiran KAMI langsung dianggap 'musuh negara' oleh pemerintah. Bukan hanya deklarasi-deklarasi di daerah-daerah yang dihalangi, pentolan-pentolan KAMI pun ditangkapi dan diadili. Beberapa di antara mereka adalah Komite Eksekutif KAMI Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat, serta salah satu deklarator KAMI Anton Permana. Total 8 orang ditangkap pada 12-13 Oktober 2020. "Terus terang, reaksi pemerintah yang demikian membuat sebagian dari anggota KAMI mundur teratur. Tapi sebagian besar memilih terus berjalan," kata Bachtiar Chamsyah pada FNN, Jumat (30/4). Bachtiar yang mantan menteri sosial dan politis kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengaku terkadang mereka harus kucing-kucingan dengan aparat untuk suatu yang sebenarnya kegiatan pertemuan yang biasa saja. "Asal deklarasi atau pertemuannya tidak dihadiri Pak Gatot (Gatot Nurmantyo, satu dari tiga presidium KAMI) pasti acaranya lancar. Sebaliknya kalau ada, pasti akan dihalang-halangi. Baik dengan pendemo bayaran atau aparat," ujar Bachtiar lagi. Di lain waktu mereka juga harus selalu siap untuk berpindah-pindah lokasi deklarasi karena ada pihak-pihak yang sengaja melemparkan berita hoax. Misalnya, di tempat yang akan mereka jadikan tempat deklarasi akan ada pembagian sembako atau tabligh akbar yang akan memancing masyarakat untuk datang berkerumun. "Kami pernah berganti lokasi sampai tiga hingga empat kali," katanya dengan nada kegelian. Meski lumayan melelahkan, tapi Bachtiar mengaku justru banyak yang mereka dapatkan dari perjalanan ke berbagai daerah. "Masyarakat resah dan lelah. Tingkat kepercayaan pada pemerintah melorot drastis. Sebagai orang yang pernah sembilan tahun di pemerintahan (jadi Mensos). Ini sangat berbahaya," jelas pria kelahiran Aceh itu. Ia mengaku belum pernah melihat bagaimana tidak hormatnya masyarakat menyebut kepala negaranya seperti saat ini. Bukan hanya rakyat enggan menyematkan panggilan 'pak' pada Jokowi. Akan tetapi, sebutan-sebutan lain yang lebih bernada ejekan. Suatu yang tak pernah terjadi pada kepala-kepala negara sebelumya. "Saya kasihan sama Pak Jokowi. Saya ingin baik saat menjabat atau pun nanti sesudahnya ia tetap dipanggil dengan penuh rasa hormat," ujarnya. Tentu bukan maksud Bachtiar dan KAMI untuk menakut-nakuti. Karena sesungguhnya keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat pada Jokowi dan pemerintah justru sangat gamblang dan terlihat jelas di media sosial yang saat ini menjadi media mainstream alias media arus utama. Media yang amat mempengaruhi banyak orang dan menjadi refleksi keadaan yang tengah terjadi. Pemerintah sendiri saat ini suka tidak suka juga mengakui kalau media sosial adalah media mainstream, terbukti dengan dikeluarkannya dana 'unlimited' bagi buzzer-buzzer yang mereka kerahkan di medsos untuk memuji-muji kinerja Jokowi dan pemerintah. Pujian berbayar yang sangat berbahaya, mengaburkan fakta, dan bisa menggiring ke tepi jurang bencana. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.