POLITIK
Istana Menyerang Cikeas, SBY Kibarkan Perang?
by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Angin mengalir lembut. Bukan angin ribut. Tidak juga disertai dengan hujan berpetir, yang menimbulkan rasa ketar ketir. Namun ujug-ujug ratusan juta rakyat Indonesia terkejut. Bukan sebab Jokowi (Joko Widodo, Presiden RI) mati mendadak. Melainkan adanya pertunjukan “sulap politik” oleh orang Istana Kepresidenan. Cuma dalam tempo beberapa jam, Ketua Umum Partai Demokrat (PD) yang dijabat Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) tersulap, dan langsung berubah menjadi sosok Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Moeldoko berkantor di dalam pagar kompleks istana negara. Tontonan sulap gratis yang dimainkan anak buah Jokowi dalam frame Kongres Luar Biasa (KLB) PD itu berlangsung di salah satu hotel, di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara. Hajatan itu dimulai pada permulaan bulan Maret lalu. Publik pun lantas ramai saling lempar berkomentar. Macam macam pendapatnya. Ada yang berpendapat menggunakan akal seger waras. Sebaliknya, muncul juga statement sinting yang bermaksud membela perilaku cenderung stunting pula. Seperti paparan awal di atas. Tak ada hujan dan angin. Orang gila pun tahu bahwa Ketua Umum PD adalah AHY. Sedangkan Ketua Majelis Tinggi dan Kehormatan Partai PD tidak lain Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Susunan pengurus itu sah sebagai data otentik pada lembaran pemerintahan. Susunan itu belum berubah hingga saat ini. Dalam konteks KLB Sibolangit Deli Serdang, SBY merasa benar. Dan memang berada di pihak yang tidak salah. Karenanya, SBY yang berpenampilan kalem dan terkesan menjaga wibawa serta kehormatannya - bak Pak Harto itu, langsung bermuka merah menyemu hitam. Tanda marah besar. Menyusul hasil KLB “sak karepe dewe” yang menobatkan Moeldoko sebagai Ketua Umum PD, SBY tak sabar menyambar mix. Bicara laksana mengurai duplik di pengadilan. Membeberkan kebenaran di hadapan para jurnalis di kediamannya, Cikeas. Seperti yang biasa kita tahu. Tingkat emosinya terukur. Gaya bicaranya khas. Mengkombinasi dengan bahasa tubuh, gerakan naik turun tangan dan anggukan kepala. Manifesto politik dihadapan pers itu SBY menjlentrehkan aturan main PD dalam menggelar KLB, yang sesuai dengan AD/ART PD. Pokok persoalan dikupas SBY dengan lugas dan tuntas. Khususnya di lembar pasal 81 ayat 4. Dalam pasal tersebut, jelas SBY, KLB bisa digelar atas usulan dan permintaan Majelis Tinggi Kehormatan Partai yang dia pimpin dan beranggotakan 16 orang. Kemudian terdapat ketentuan, sekurangnya dihadiri 2/3 dari total jumlah DPD sebanyak 34 DPD. Yang diperkuat dengan syarat lanjutan, yakni KLB harus dihadiri sedikitnya 1/2 dari jumlah total DPC sebanyak 514 DPC. Namun dalam atraksi 'main sulap' murahan di 'panggung politik gelap' Deli Serdang itu tak satu pun persyaratan yang terpenuhi. Tak satu pun DPD yang mengusulkan. Bahkan hanya 7 persen (34 DPC dari 514 DPC) dari yang seharusnya minimal 50 persen usulan DPC. Karenanya, SBY pun pelan tapi tegas mengajak seluruh kadernya untuk berperang guna mendapatkan keadilan. "Ibarat peperangan, perang yang kita lakukan adalah perang yang dibenarkan. War of necessity, sebuah just war", tandas SBY manggut manggut diikuti ayunan jari telunjuknya. Pemilihan diksi perang oleh SBY, sekali pun pada statemen jumpa pers dimaksudkan sebagai just war, perang untuk memperoleh keadilan. Namun ingat. SBY bukan orang goblog. Tidak dungu. Jauh dari otak cebong. Dia adalah mantan presiden militer berpangkat Jenderal (Purn). Dia fasih taktik dan strategi. Artinya, kata “perang” sengaja disisipkan tersamar sebagai cara membaca situasi nyali musuhnya. Jika sang musuh menyerah, mengakui kalah dan salah, maka kata “perang” itu akan diakuinya cuma candaan belaka. Namun, jika musuh bertahan dalam kesalahannya. Bahkan malah terlihat pongah dan durhaka. Seakan yang dilakukan benar dan terpuji, tak menutup kemungkinan perang guyonan itu bisa bermetamorfosis menjadi perang terbuka sungguhan. Demi kehormatan. SBY bisa senekat nekatnya Jauh waktu sebelumnya. SBY dan para kader PD telah melihat simptom adanya upaya kudeta PD oleh Moeldoko dan segelintir kader PD. Pendek kata SBY sudah curiga. Waktu itu AHY selaku Ketum PD pun berkirim surat protes kepada Jokowi. Tak salah rupanya AHY bersurat ke Jokowi, mengingatkan, mau tidak mau Moeldoko adalah inner circle Istana Kepresidenan. Anak buah langsung Jokowi. Sulit untuk tidak diakui bahwa Moeldoko merupakan representasi dari Jokowi. Namun sayang. Surat itu tak terbalaskan. Kubu Moeldoko malah bilang, pertemuannya dengan kader PD bukan untuk merencanaan kudeta. Melainkan cuma ngobrol biasa. Hanya ngopi-ngopi biasa. Alasan kubu Moeldoko itu, agaknya terbantahkan oleh pengakuan mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, belakangan ini. Jenderal bernalar waras itu mengaku pernah diajak gabung seseorang, untuk mengkudeta AHY dari jabatan Ketum PD. Bila bersedia, Gatot Nurmantyo berhak memangku iming iming jabatan ini atau itu. Kecuali jabatan, nina bobok berupa uang tentu tak ketinggalan dalam dunia kekurang ajaran. Gatot Nurmantyo menolak. Alasannya simplistik. Dia pernah dibesarkan SBY, ayah AHY, sebagai KASAD sewaktu SBY menjabat presiden ke 6 RI. "Saya dibesarkan Pak SBY. Masak saya lantas tega mencongkel putranya? "ucap Gatot Nurmantyo tanpa merinci, siapa pihak yang mengajaknya berbuat kurang ajar itu. Tidak seperti Gatot. Moeldoko malah sebaliknya. Meski sama sama pernah diangkat SBY sebagai KASAD, namun Moeldoko membalasnya dengan air tuba. Tubanya dicampur Covid-19 lagi. Jadi pedihnya melebihi disayat sembilu. Sementara Menkopolhukam, Mahfud MD, turut berkomentar. Dialeknya khas Madura. Alam pikirannya normatif. Terlalu hukum. Hukum banget. Tidak menyertakan aspek sosial pendukung lain. Misalnya, mengeksplor sampai ke bab etika, sopan santun, budaya, moral, peradaban dan lain sebagainya. Sehingga pernyataannya sering membias. Distorsif. Luput dan tidak sesuai harapan. Sekalipun pernyataan Mahfud benar secara hukum. Padahal per hukuman itu mestinya memuat aspek tekstual dan kontekstual. Sehingga pas dipandang dari arah mana pun. Sebab “panggung sulap” di Deli Serdang disebut Mahfud sebagai hal biasa. Dianggap sebagai kumpul-kumpul kader PD. Pemerintah tidak perlu melarang atau menyuruh. Pasalnya, lagi-lagi terlalu hukum. Acara tersebut terlindung dalam UU No. 9 Tahun 1998, tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum. Penerapan regulasi ini pada KLB Moeldoko belum tentu tepat dan berkeadilan. Lantaran, dalam kapasitas apa Moeldoko sebagai orang Istana, ikutan kumpul dengan kader PD, yang diketahui sebagai kegiatan KLB? Ah, ada-ada saja Mahfud. Bukankah pemerintah saat ini tengah gencar melakukan pembatasan berkerumun karena Covid-19? Apakah hal itu tidak melanggar protokol kesehatan? Juga melawan UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan? Sebagaimana yang diterapkan kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) saat mantu? Agaknya Mahfud MD belum tuntas menemukan delik hukum paling tepat, untuk membenarkan acara kawan se-lingkarannya di Istana Kepresidenan. Marahnya SBY yang sebenarnya manusiawi itu, malah ditanggapi dengan gaya insinuatif. Sindiran tak terang-terangan. Mengembalikan persoalan yang pernah dialami pihak yang sedang marah. Misalnya, saat SBY menjabat presiden, juga membiarkan dualisme kepemimpinan PKB. Antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar. Jadi, kalau sekarang SBY sewot itu dianggap baper. Begitu kira kira maksudnya. Sekalipun sekilas nampaknya sama, namun sebenarnya berbeda. Pihak yang terlibat konflik royokan PKB antara Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar sama sama orang partikelir PKB. Bukan orang pemerintah. Sedangkan konflik PD Deli Serdang melibatkan orang pemerintah. Bahkan lingkar terdekat Jokowi selaku presiden. Dengan begitu, yurisprudensi berlatar pengalaman empiris yang dibilang Mahfud itu ngawur. Bila pembiaran kudeta dianggap tidak apa apa. Sah secara hukum. Jangan salah jika pemahaman itu kemudian mengembang ke arah misalnya, kudeta presiden itu lantas dianggap sah. Masyarakat sebenarnya berharap Mahfud yang secara faktual memiliki kompetensi dan kognisi di lingkup hukum, dapat memerankan kesanggupannya secara lebih, dibanding menteri-menteri sebelumnya. Kembali soal invasi Moeldoko terhadap AHY. Mengapa yang dipilih Moeldoko Partai Demokrat yang memiliki suara signifikan di DPR. Bukan partai gurem lainnya. Muncullah disini spekulasi politik. Karena suara PD cukup berarti, akankah hal itu akan digunakan Moeldoko untuk mengtiga kalikan jabatan Jokowi sebagai Presiden? Benar atau tidak benarnya kita tunggu sejarah berikutnya. Penulis adalah Pelaku UMKM.
Moeldoko Mau Mendirikan Partai Demokrat Baru?
Nasehat Buya Anwar Abbas ini sangat layak didengar dan dituruti Moeldoko By Hersubeno Arief WAKIL Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas punya nasehat penting bagi KSP Moeldoko. Ketimbang mengambil paksa Partai Demokrat dari tangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), lebih baik dia mendirikan partai sendiri. Namanya bisa partai apa saja. Kalau memang tetap tertarik dengan nama Demokrat, bisa Partai Demokrat Baru, atau Partai Demokrat Berseri. Buya Anwar Abbas, begitu dia biasa dipanggil, meminta Moeldoko meneladani Ketua Umum PDIP Megawati. Sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Mega dikudeta Soerjadi melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Asrama Haji Medan (1996). Dia kemudian mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada Pemilu 1999 di awal Reformasi, PDIP ikut berlaga bersama bersama PDI. Hasilnya PDIP menjadi partai pemenang Pemilu. Megawati menjadi Wapres, dan kemudian menjadi Presiden. Partainya juga selalu berjaya dari pemilu ke pemilu. Dalam dua pemilu terakhir (2014, 2019) PDIP menjadi pemenang. PDIP masih mendapat bonus tambahan, Jokowi salah seorang kadernya menjadi Presiden selama dua periode. Nasehat Buya Anwar Abbas ini sangat layak didengar dan dituruti Moeldoko. Mega seperti kita saksikan, saat ini menjadi figur sangat berpengaruh dalam peta politik Indonesia. Beda sekali dengan Moeldoko. Sebagai mantan Panglima TNI, dan sekarang menjadi orang dekat Presiden Jokowi, citra Moeldoko berada dalam titik nadir. Dia disebut sebagai pembajak, bahkan begal politik. Jabatan Ketua Umum Partai Demokrat yang coba dia rampas, bukan membuatnya terhormat. Tapi malah dihujat. Belajar Dari Para Senior Sebenarnya Moeldoko tak perlu belajar ke orang lain. Cukup belajar dari para seniornya di TNI. Mantan Menhankam Pangab Jenderal Edy Sudradjat misalnya. Setelah kalah bersaing dengan Akbar Tanjung memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar, dia mendirikan PKPI (1999). Benar PKPI tidak pernah lolos parlemen. Tapi sampai sekarang publik, dan internal TNI, tetap respek. Mamandang dan menyebut namanya dengan takzim. Mantan Menhankam Pangab Jenderal Wiranto juga membangun parpol sendiri. Hanura (2006) yang dibangunnya sempat lolos parlemen. Tapi sejak kepemimpinannya dilepas ke Osman Sapta Odang, malah tidak lolos ke parlemen. Letjen Prabowo Subianto juga sukses membangun Gerindra (2008). Hingga kini menjadi partai kedua terbesar di parlemen. Dia juga sempat tiga kali berlaga di pilpres. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sukses membangun Partai Demokrat (20010. Dengan Demokrat, SBY berhasil meraih sukses menjadi Presiden selama dua periode. Kalau mau cari model di luar TNI, dia bisa juga belajar dari Surya Paloh (SP). Setelah kalah dari Aburizal Bakrie dalam Munas VIII Partai Golkar (2009) di Pekanbaru, Riau, SP mendirikan Partai Nasdem (2011). Nasdem sukses, dalam dua periode terakhir selalu berada dalam koalisi partai-partai penguasa. Semua nama yang disebut di atas, bahkan berasal dari satu partai yang sama. Golkar. Masih ada figur lain yang bisa dicontoh Moeldoko. Ini bahkan figur anak-anak muda. Duet Anies Matta-Fahri Hamzah. Mereka tak perlu ribut-ribut. Setelah merasa tidak cocok dengan pengurus PKS lainnya, mereka mendirikan Partai Gelora Indonesia. Padahal konon kabarnya, mereka sempat ditawari untuk mengambil alih PKS dengan model KLB. Tapi tawaran itu ditolak. Anies-Fahri membangun partai dari nol. Dalam waktu singkat, kini telah memiliki pengurus di 34 Provinsi, dan seluruh kabupaten di Indonesia. Minus dua kabupaten di Jateng. Partai Gelora sudah siap ikut serta dalam pemilu. Benarlah yang dikatakan Buya Anwar Abbas. Moeldoko bisa mendirikan Partai Demokrat Baru, Berseri, atau Perjuangan. Bila tak mau susah payah membangun partai dari awal, sesungguhnya Moeldoko tetap bisa mengambil opsi KLB. Tapi bukan di Partai Demokrat. Sebagai kader Partai Hanura, Moeldoko bisa melaksanakan KLB dan mendongkel Ketua Umum Partai Hanura Osman Sapta Odang. Bila dia berhasil membenahi Hanura. Membawa kembali masuk ke parlemen. Moeldoko akan dikenang sebagai tokoh politik yang terhormat. Bukan begal Partai Demokrat! End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Jendral TNI (Purn) Gatot Memandu Etika Berpolitik
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Gini lho. Saya ini bisa naik bintang satu, bintang dua. Taruhlah itu hal biasa. Tetapi kalau saya naik bintang tiga, itu presiden pasti tahu. Kemudian ketika jabatan Penglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), pasti presiden tahu. Apalagi presidennya waktu itu tentara, Pak SBY. Tidak sembarangan. Bahkan, saya dipanggil, dan bilang “kamu akan saya jadikan KSAD”. Laksanakan tugas dengan profesional. Beliau berpesan, “laksanakan tugas dengan profesional, cintai prajuritmu dan keluarga dengan segenap hati dan pikiranmu”. Apakah iya, saya dibesarkan oleh dua presiden. Satu Pak Susilo Bambang Yudhoyono, satu lagi Pak Jokowi. “Terus saya membalasnya dengan mencongkel anaknya”? kata Gatot (Lihat Eramuslim, 9/3/2021). Alhamdulillah wasyukrillah. Hemat saya, menjadi dua kata tepat untuk diucapkan menyambut sikap timbangan etika Pak Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantiyo itu. Tepat, karena sikap itu terlampau langka di tengah kehidupan politik hari-hari ini. Sikap itu, untuk alasan apapun, harus dianggap “mutiara yang jatuh di tengah lumpur. Diangkat lagi dari lumpur, tetap saja terlihat mutiara”. Tak Mudah Menjaga Etika Saya tidak tahu berapa lama setiap habis Sholat Subuh, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo habiskan waktu hanya untuk lantunkan, tentu tanpa kata-kata lafadz “qul huwallahu ahad”. Saya juga tidak tahu berapa lama waktu yang dihabiskan Pak Gatot sehabis Sholat Magrib hanya untuk lantunkan “Ya Azizu” dan “Ya Haiyu ya Qaiyum”. Sekali lagi, saya tak tahu itu. Penjara dunia dalam “genggam kekuasaan” dengan cara kotor dan jijik rebut-merebut di lintasan yang kotor. Begitu kata para bijak, selalu indah seindah-indahnya untuk orang-orang berpakasitas rendah. Rendah dalam cita rasa etik, ahlak, harkat dan martabat. Tidak untuk orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang bahaya tersembunyi dibalik indahnya dunia itu. Pengetahuan itu memang bukan pengetahuan puncak, tetapi tidak mungkin tak berada di sudut kehidupan yang tinggi. Tak mungkin tidak memerlukan usaha mendaki, sekedar untuk meraihnya dengan serba sedikit. Bukan kelelahan, tetapi nikmatnya, boleh jadi membuat pendaki tertawan merebahkan tubuh kasar dan halusnya setotal yang bisa. Apakah sikap Pak Gatot itu menandai dirinya sedang dipuncak itu? Aapakah sedang merebahkan tubuh kasar dan halusnya dalam nikmat itu? Jelas saya tak tahu. Pembaca FNN yang budiman. Sungguh tak mudah sikap yang diambil Pak Gatot. Tidak mudah untuk meremehkan hal-hal yang, oleh banyak orang-orang berkapasitas moral dan etik rendah, mati-matian memburunya. Sikap Pak Gatot itu, bukan hanya khas orang pintar. Tetapi juga khas orang-orang yang kepintarannya terbalut kalam pencipta alam semesta ini. Sekongkol menyakiti orang yang merendahkan mereka. Itu pekerjaan orang-orang yang kecil kapasitas moral dan etikanya. Pak Gatot, bagusnya tertuntun. Saya yakin, nikmat-nikmat kalam-Nya Pencipta alam semesta telah menarik jarak sejauh yang bisa dari tipuan dunia untuk memperoleh kekuasaan kecil nan rapuh itu. Subhanallah, Alhamdulillah. Budi luhur, itu hanya milik orang-orang yang berbudi. Titik, tidak lebih. Budi tidak mendekat, apalagi menjadi milik orang yang tak mengunakan sepertiga malamnya bercengkrama dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala. Budi bukan punya mereka yang terlalu enggan mengasah nafasnya dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala, suka atau tidak. Sikap dan tindak-tanduk itu cermin diri orang. Tampilan politik adalah cermin diri dan jiwa politisi. Semakin dalam politisi tenggelam dalam politik, semakin jelaslah politik praktis memburuk dalam semua seginya. Semakin suka politisi pada politik, semakin tebal sekat mereka dengan moral yang agung. Politik jenis itu akan buruk seburuk-buruknya di setiap detik hidup berbangsa dan bernegara. Sakitnya atau sialnya, politisi jenis ini tidak lagi memiliki kemampuan mengenalnya sebagai hal busuk. Semuanya ditimbang dengan moral politik ular. Bahkan binatang yang bernama ular, boleh jadi masih lebih baik. Itulah yang tak mampu untuk diti oleh Pak Gatot. Beralsan menajdikannya sebagian dari alasan apresiasi kepada Pak Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo atas sikapnya menolak ajakan, yang saya sebut “iblis” untuk mencongkel Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Terima kasih Pak Gatot. Sikapmu bagai segelas air di tengah padang tandus, untuk seorang pengembara yang tertawan kehausan. Saya tak bilang ini satu teladan kecil di tengah mengeringnya teladan dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara saat ini. Tetapi untuk beberapa hal, saya ingin melihat ini sebagai cahaya rembulan di tengah kegelapan gulita malam. Memberi arah ke mana harus melangkah agar tak terjatuh di lubang kecil yang mematahkan jemari. Itulah faedah kecil dari tampilan etika Pak Gatot. Tak menjadi apa-apa, justru telah menjadi apa-apa itu sendiri. Itu yang mesti dimengerti orang. Orang itu dikenang bukan karena posisi posisi politiknya, tetapi karena sikap politiknya. Sikap politik tidak selalu harus bertimbal-balik dengan jabatan formil dalam politik. Wahai politisi, sukailah hal-hal bagus. Ingatlah sebisa mungkin. Alam tak diciptakan secara serampangan. Alam dibuat indah, karena keindahan itu cermin hakikat. Cintailah keindahan, karena keindahan itu sahabatnya keihlasan. Dan keihlasan menjadi jalan terdekat menghindar dari kegundahan. Bawalah sejauh mungkin sikap-sikap politik dari cinta mati kepada kekuasaan. Selalulah berada jauh dari tabiat membebek, menghamba, dan menjadi budak kekuasaan. Tak usah mendekat pada kemunafikan. Tetapi teruslah untuk membimbing tingkah laku politik dengan timbangan-timbangan yang disabdakan oleh Pencipta alam semesta. Hebat Pak Syaf & Leimena Kejarlah daku, kau kudekap dengan seluruh pesonaku yang menipu. Begitulah tabit kekuasaan, yang dalam wajah empirisnya selalu menipu. Kenalilah itu, karena dia menuntunmu kesemua keindahan sepanjang masa. Itulah yang ditunjukan Pak Sjafrudin Prawiranegara. Itu pulalah yang disajikan oleh Pak Johanes Leimena, nyong Ambon manise ini. Boleh saja ilmuan hukum tata negara datang dengan argumentasi hukum melemahkan kehebatan Pak Sjaf yang, dengan sukarela mengembalikan kekuasaan kepresidenan kepada Bung Karno. Toh Pak Sjaf memperoleh kekuasaan itu atas kuasa Bung Karno. Tetapi tidak untuk Pak Sjaf, yang Pak J. Riberu sematkan padanya sebagai manusia “etis” ini. Manusia etis, tahu kebesaran etika. Itulah Pak Sjaf. Kekuasaan yang ada padanya diperoleh melalui kuasa lisan Bung Karno,Presiden tampan dan energik ini. Pak Syaf segera serahkan kembali kekuasaan kepada Bung Karno setibanya di Yogya. Tak ada semenitpun Pak Sjaf mencari alasan politik untuk mempertahankan kekuasaan itu. Subhanallaah, Pak Syaf, semoga Allaah Subhaanahu Wata’ala menempatkanmu di syurga-Nya. Boleh saja orang tata negara menyatakan sikap itu harus diambil Pak Sjaf, oleh karena kekuasaan itu ada padanya atas kuasa Bung karno. Tetapi sejujurnya saya suka dengan penegasan Pak J. Riberu. Manusia “etis” itulah sebutan Pak Riberu untuk Pak Sjaf. Dalam esainya tentang Pak Sjaf, Pak Riberu mengutip “hebat sekali” salah satu ayat Al-qur’an. Ayat Al-Qur’an yang dikutip dalam esai Pak Riberu adalah ayat 104 Surat Al-Imran. Hendaknya diantara kamu ada satu golongan yuan mengajak berbuat benar, serta mencegah berbuat salah”. Tulis Pak Riberu selanjutnya “ia merasa berkewajiban mengajak orang lain berbuat benar, dan mencegah berbuat salah”. Hormat saya yang tak terbatas untuk Pak Riberu. Argumentasi hukum dan gurihnya kekuasaan, cukup jelas tak mampu menipu Pak Sjaf. Benteng etiknya terlalu tangguh dan tebal untuk dapat dijebol oleh gurihnya kekuasaan. Hormat untuk Pak Sjaf atas pelajaran etika ini. Semoga almarhum bahagia di alam sana dengan Rahim Allah Subhanahu Wata’ala. Terima kasih Pak Sjaf untuk teladan yang telah diwariskan. Apalagi hari-hari ini terlihat terlalu berat untuk dicontohi politisi-politisi kacangan dan picisan yang terkenal jorok, licik dan primitif di panggung kekuasaan. Tak berusaha memperpanjang, apalagi berusaha mempertaankan kekuasaannya. Pak Syaf terlalu top untuk ukuran demokrasi dimanapun. Terbimbing dengan balutan etika, kekuasaan ditangannya diserahkan kepada Bung karno, ayahanda tercinta Ibu Mega dan Ibu Rahma, untuk menyebut dua saja di antara beberapa anak-anaknya. Apakah teladan yang diwariskan oleh Pak Syaf ini bisa diikuti oleh Pak Jokowi? Entahlah. Mungkin Pak SBY harus lebih kencang lagi menyerukan Pak Jokowi menggunakan etika dalam merespon kemelut kecil Partai Demokrat. Untuk alasan apapun, Pak Jokowi memang harus menyegarkan akal, fikiran dan rasa etiknya bahwa Pak Moeldoko itu berkantor di lingkungan kantor kepresidenan, sekaligus anak buah Presiden Jokowi. Derajat dengan etika, yang kearifan berinduk padanya, yang mengalir deras dari Pak Sjaf, jelas merupakan nutrisi tak tertandingi dalam membuat demokrasi memiliki makna untuk diagungkan. Itu juga yang ditunjukan Om Jo, begitu orang-orang Maluku memanggil Pak Johanes Leimena, untuk teladannya yang hebat pada sisi waktu yang berbeda. Johanes Leimone memegang kekuasaan pemerintahan setiap kali Bung Karno keluar negeri, dan segera mengembalikannya kepada Bung Karno setibanya di tanah air, itulah etika moral yang tinggi dari Om Jo. Hebat sekali Om Jo. Terbimbing begitu kuat oleh rasa etik, dan budi nan mulia. Begitu beretika politik Om Jo. Itu nutrisi sebenarnya yang menyehatkan demokrasi. Demokrasi, yang Aristoteles kenali sebagai barang busuk. Tetapi telah dikenali keunggulannya oleh kapitalis tua dan oligarki kecil maupun besar, juga korporasi. Sehingga membentuk korporatokrasi ini, selalu bisa dan produktif menciptakan etika khasnya. Etika khasnya selalu bisa membuat demokrasi menerima aksi tipu-tipu, menindas orang lemah, kecil dan miskin sebagai kegagalan kecil saja. Alhamdulillah di tengah kelangkaan, kekeringan dan kegersangan manusia yang mau belajar etika politik, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmatiyo hadir untuk membimbing, memandu, menghidupkan dan mengukir tingkah laku demokrasi yang berkalas dan mengagumkan. Terima kasih Pak Gatot, anda telahhadirkan pelajaran kecil yang terlalu mahal untuk politisi kebanyakan ini. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Demokrat, Ken Dedes, Ken Arok, dan Moeldoko, Ada Hubungan Apa?
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Jika mereferensi pada kisruh Partai Demokrat, terlihat ada persiapan 2024. Partai Demokrat “diobrak-abrik” untuk menutup peluang Agus Harimurty Yudhoyono (AHY). Prediksi saya yang berikutnya dijadikan target adalah Partai NasDem. Tujuannya agar Anies Baswedan tidak bisa diusung NasDem. Di sinilah saya acungi jempol permainan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang sering dijuluki dengan sebutan 08. Dia mengubah Gerindra dari partai Kombatan menjadi partai Intelijen. Dan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo yang terkena kasus korupsi KKP yang dikorbankan. Sebab, loyalitas EP terhadap 08 bisa merusak skenario Gerindra itu sendiri dan menjadi penghalang perubahan strategi dari kombatan ke intelijen. Sekarang tinggal bagaimana kita tunggu permainan strategi 08 dalam menaklukkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan memainkan kartu Anies-AHY. Jika “perkawinan” itu terjadi, peluang mantan Panglima TNI yang kini merangkap Presidium KAMI Gatot Nurmantyo juga tertutup total. Tinggal head to head SBY-08 dan kru Pak Lurah Cs. Mau tidak mau GN akan merapat ke poros SBY-08. Di sinilah kekalahan 08 pada Pilpres 2019 lalu dan sebelumnya (2014) bisa terbayarkan. Bisa saja nanti pada Pilpres 2024 SBY-08 berkoalisi untuk usung Anies-AHY menghadapi koalisi Pak Lurah Cs. . Atau bisa juga menyiapkan orang lain. Bisa saja 08-Anies. AHY “dititipkan” dulu jadi Ketua DPR dan Sandiaga Salahuddin Uno (SSU) menjadi Ketua MPR. Yang jelas, sepertinya Jusuf Kalla juga akan ikut SBY-08. Sebabnya, JK sekarang ini sudah tidak “berkuasa” lagi atas Kapolri sekarang, Jenderal Lestyo Sigit Prabowo. Sebelumnya, JK masih bisa berkuasa atas Kapolri Jenderal Idham Azis. Manuver Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang “membegal” kepemimpinan AHY di Demokrat mirip kisah Ken Angrok (Arok) yang membunuh Raja Tumapel Tunggul Ametung untuk “merampas” Ken Dedes dan menjadi Raja Singosari. Mungkin sosok proto-preman paling terkenal dalam sejarah kerajaan kuna di Jawa adalah Ken Arok. Muasalnya adalah kekerasan, menurut sejarawan Onghokham, merupakan salah satu soko tegaknya kerajaan-kerajaan kuna, selain bersandar pada konsep dewa-raja. Filolog dan arkeolog Johannes Gijsbertus de Casparis menyebut di daerah yang terpengaruh Indianisasi, sejak awal abad masehi ada fenomena seorang gembong bandit yang jadi raja. Banyak raja pertama Jawa berasal dari kalangan jago. Misalnya, Ken Arok dan Senapati. Karena diperlukan unsur paksaan dari atas pada masyarakat, penggunaan para jago berjalan terus. “Mereka merupakan unsur penting dalam sistem pemerintahan tradisional,” tulis Onghokham dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2003, hlm. 180). Jerome Tadie dan sejarawan Denys Lombard juga menempatkan Ken Arok secara khusus. Kisahnya tersaji cukup detail dalam kitab klasik Pararaton. Ditulis sekira abad ke-16, bab pertama kitab tersebut berkisah tentang masa muda Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bhumi, pendiri Kerajaan Singasari. Terlepas dari mitos-mitos yang melingkupinya, Keng Arok adalah arketipe bagi generasi bandit setelahnya. Ken Arok dikisahkan berayah Dewa Brahma dan beribu seorang petani biasa. Ken Arok lahir dilingkupi cahaya yang membuat ibunya takut dan meninggalkannya. Bayi Ken Arok kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong. Tentu saja Lembong mengajarinya keahlian mencuri. Tapi, di samping itu, Ken Arok juga jadi penggembala sapi. Hingga suatu hari, ia kehilangan sapi-sapi gembalaannya. Karena takut pada murka Lembong, Ken Arok lantas kabur. Sejak itulah Ken Arok terjerumus lebih jauh ke dalam dunia kriminal. Bersama ayah angkat barunya bernama Bango Samparan, ia jadi penjudi. Ia juga menjalin persahabatan dengan pemuda bernama Tita dan memulai kiprahnya sebagai bandit desa. Gara-gara ulahnya, sering kali Ken Arok jadi buronan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Sewaktu jadi buron, Ken Arok dengan mudah bersembunyi di kampung-kampung petani. Ken Arok menyaru dengan cara mengabdi pada seorang pengrajin emas bernama Mpu Palot. Ia bukannya tak pernah diceritakan tertangkap. Tapi, Ken Arok selalu dilepaskan ketika para penangkapnya mendapat suatu bisikan gaib. Pararaton memperlihatkan meski kekuatan mistik itu jadi bagian dari diri Ken Arok muda, ia tidak sepenuhnya menguasainya. Karena itu Ken Arok ditakdirkan untuk bertemu dengan brahmana Lohgawe yang kemudian jadi pembimbingnya. Melalui Lohgawe pula, Ken Arok mendapat akses ke kaum penguasa Tumapel. Berkat posisi Lohgawe itulah, Ken Arok akhirnya dikenal oleh Tunggul Ametung dan istrinya Ken Dedes. Ia juga berkawan dengan Kebo Ijo, seorang bangsawan Tumapel. Relasi-relasi inilah yang kemudian dimanfaatkannya untuk panjat sosial dan bahkan merebut kekuasaan Tumapel. Ambisi Ken Arok nyatanya tak hanya menguasai Tumapel. Tidak berapa lama, setelah itu Kerajaan Kediri yang dipimpin Raja Kertajaya limbung. Raja tersebut berseteru dengan para brahmana yang menolak tunduk. Memanfaatkan situasi itu, Ken Arok menyerang Kediri. Kali ini ia tampil sebagai pembela hak kaum brahmana. Ia menang. Pada 1222, Kerajaan Singhasari memulai sejarahnya. Membaca kisah Ken Arok, sebagai asal-usul mitos seorang perampok yang menjadi raja, mengandung unsur lain yang membentuk jatidiri sebagai preman masa kini, yang menjadi bagian atribut dan aspirasinya. “Kemungkinan untuk memperoleh masa pensiun bermartabat dan mencapai kekuasaan,” tulis Jerome Tadie (hlm. 228). Akhir cerita ini jelas menunjukkan bahwa relasi-relasi antara preman dan elite politik adalah fenomena kuno. Pola-pola itu terus berlangsung hingga kini, meski dengan konteksnya yang berbeda-beda seiring perubahan zaman. Jadi, sebenarnya bukan hanya penguasa yang memanfaatkan para bandit untuk menegakkan kekuasaannya. Sebaliknya, bandit-bandit pun memanfaatkan relasi itu untuk tujuan-tujuan politik atau ekonominya sendiri. Kembali ke soal KLB Partai Demokrat versi Moeldoko. Demokrat itu ibarat Ken Dedes, Ratu yang cantik, sehingga mendorong Ken Arok tertarik untuk “membajak” dari tangan Raja Tunggul Ametung, ia pun harus membunuh Raja Tumapel ini. Dengan jabatan KSP, Moeldoko memanfaatkan “bandit” sekelas Muhammad Nazaruddin, untuk mendanai KLB di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021. Hasilnya, Moeldoko ditetapkan sebagai Ketua Umum. Saat ini semua mata terfokus pada Presiden Joko Widodo. Kebijakan politik apa yang akan dilakukan terhadap “Pembuat Gaduh” NKRI dan Perusak Citra PresidenRI dalam penegakan Demokrasi, Hukum, dan Pemerintahan Bersih anti-Korupsi Selama ini banyak yang salah persepsi jika BuzzerRp itu piaraan Pak Lurah. Yang benar itu, mereka piaraan “Kakak Pembina”, yang dibiayai dari hasil menipu Pak Lurah. Saat ini rakyat Indonesia terbuka matanya. Penghianat Presiden Jokowi dan pembuat gaduh NKRI, ternyata bukan Opung Luhut Binsar Pandjaitan, melainkan mantan penerima tamu pernikahan Kahyang dan Bobby Nasution di Medan itu. Ksatria itu tak akan lupa Hutang Budi. Sosok tak tahu hutang budi itu adalah sosok yang tak pantas menjadi Pemimpin, apalagi level Nasional. Dia pasti tega menjual Negara demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Alumni Lembah Tidar kini jelas sangat Prihatin dan Malu Diri. Karena, Kawah Candradimuka itu ternyata bisa juga melahirkan sosok yang mampu khianati senior penolongnya. Saat ini SBY baru tahu dan sadar, jika Moeldoko tidak layak jadi KSAD itu benar. Spekulasi SBY atas data saat itu, kini Terbukti. Moeldoko tega rampas Demokrat demi ambisi berkuasa! Jokowi, Menkumham, dan Menko Polhukam harus membuktikan jika mereka itu tidak di belakang perampasan Demokrat oleh Moeldoko! KLB partai akan Sah, jika yang hadir pemilik suara sah. Saat KLB digelar dengan peserta bukan pemilik suara sah, maka itu pelanggaran hukum! Penyelenggara bisa diseret dengan KUHP Pasal Penipuan dan Pemalsuan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Soal Harga Diri, SBY Tidak Akan Biarkan Moeldoko
by Asyari Usman Medan, FNN - Hari-hari ke depan ini, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko tak akan bisa tidur nyenyak. Bayang-bayang kudeta mulus Partai Demokrat (PD) mulai mengejar Kepala Staf. Dia seharusnya sudah menyadari kalkulasi kudeta yang keliru. Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak akan membiarkan Moeldoko. Sebab, perampasan PD itu mengacak-acak harga diri mantan presiden yang keenam itu. Moeldoko mempermalukan SBY dan keluarga besar Cikeas. Ini tidak main-main, tentunya. Pelecehan telak. Setelah “deklarasi perang” yang diucapkan sendiri oleh SBY, penyelesaian kasus kudeta PD tidak menyisakan banyak pilihan bagi Moeldoko. Akhir drama pembegalan ini bisa sangat tragis bagi “the President’s Chief of Staff”. Sebab, per hari ini, SBY di atas angin. Moeldoko mati langkah. Dia terjepit. Jokowi tidak akan berani mensahkan Moeldoko sebagai ketua umum. Risikonya terlalu besar. Massa Demokrat asli kelihatannya siap melancarkan aksi ribut berpanjang-panjang di seluruh basis konstituen mereka. Kemarin, Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengumpulkan 33 ketua DPD. Mereka solid. Hanya 1 ketua DPD yang ikut kudeta. SBY bukan imbang Moeldoko. Pastilah. Bagaimanapun, SBY pernah menjadi presiden sekaligus atasan langsung Pak Moel. Sepuluh tahun SBY duduk sebagai presiden. Elektabilitasnya waktu itu sangat tinggi. Sampai sekarang pun, SBY masih memiliki basis dukungan akar rumput yang cukup kuat. Karena itu, serangan balik terhadap gerombolan kudeta PD yang dipimpin Moeldoko, tak bisa dianggap enteng. Pak KSP tentu sudah paham konsekuensi yang akan terjadi. Inilah yang membuat Moeldoko tak bisa tidur. SBY pasti akan memberi pelajaran. Teach him a lesson. Istana membantah keterlibatan. Kalau Jokowi akhirnya lepas tangan, berarti Moeldoko selesai. Dan jalan inilah yang paling aman bagi Pak Jokowi yang sedang dirundung banyak masalah besar. Terlalu mahal waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dikerahkan Jokowi untuk menyelamatkan Moeldoko. Jokowi hampir pasti akan menerima masukan dari para senior Istana bahwa kehilangan Moeldoko jauh lebih kecil dibandingkan “perang” SBY. Masyarakat memberikan empati kepada mantan presiden itu meskipun banyak juga yang skeptis. Dalam dua hari ini, opini publik berbalik mengempur Moeldoko. Para pakar tata negara meminta agar Jokowi memecat KSP. Tindakan Moeldoko dinilai sangat keterlaluan, tidak etis, dan memberikan contoh buruk dalam berpolitik dan berdemokrasi. Sekarang, paling-paling yang sedang diolah Istana adalah “exit strategy” untuk Moeldoko. Digeser atau dikeluarkan. Kepala Staf memang naïf sekali. Terlalu mudah dirayu oleh Jhoni Allen Marbun Cs –pimpinan KLB Sibolangit. To be fair, memang ada masalah dengan manajemen PD di bawah AHY. Entah karena apa, AHY tidak bisa “connect” dengan generasi awal PD. Mungkin karena “generation gap” (jurang generasi) itu sendiri. Atau, bisa jadi karena pembawaan AHY yang cenderung aristokratis. Tetapi, sekali lagi, kudeta oleh Moeldoko tidak punya alasan. Bahkan memperburuk citra perpolitikan Indonesia yang sudah amburadul. Negeri ini sedang dikuasai oleh oligarki taipan. Kendali kekuasaan yang ‘de facto’ ada di tangan mereka. Perbuatan gegabah Moeldoko memperkuat kepercayaan publik bahwa negara ini memang benar milik para taipan itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
KLB Demokrat Dan Derita Demokrasi
by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) cukup mencengankan. Terendusnya rencana mengudeta PD tak juga mampu mengoyak rasa malu penyelenggara. Banyak yang menghujat. Namun tidak sedikit juga yang mengecam. Tetapi ujung dari rencana itu tetap membuahkan Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara. Yang lebih mencengankan, tokoh utamanya adalah pejabat negara yang juga elit istana. Moeldoko, kita tahu, menjabat Kepala Staf Presiden (KSP), yang mengomandoi seluruh tenaga profesional di Kantor Staf Presiden. Kantor ini adalah lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden. Sejak awal, Presiden Joko Widodo bukannya tidak tahu perihal kudeta tersebut. Juga bukan tidak paham keterlibatan anak buahnya. Jauh sebelumnya, rencana kudeta Partai Demokrat telah disampaikan Ketua Umum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melalui surat. Bukannya menanggapi, Presiden Jokowi malah membisu, dengan alasan itu urusan internal PD. Padahal, Jokowi punya beban moral mengklarifikasi. Sebab, sejumlah elit PD telah mengatakan ada kader yang mendengar lontaran kalimat KLB direstui oleh presiden. Barangkali saja nama presiden dicatut. Tetapi itu tak mengurangi beban moral tersebut. Beberapa menteri disebut-sebut ikut merestui pula KLB, termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD. Mahfud telah mengklarifikasi. Mengapa Presiden cuek? Menjadi sulit untuk menepis berkembangnya aneka dugaan. Termasuk dugaan sejumlah pihak bahwa Istana merestui gerakan KLB PD ini dengan cara melakukan pembiaran. Fakta yang mendukung dan tidak dapat diingkari adalah keterlibatan salah satu elit istana secara intens dalam kasus KLB PD. Tudingan miring itu kian mendapat pembenaran ketika aparat keamanan seolah kehilangan dalil untuk menindak kegiatan ilegal yang tidak berizin tersebut. Terlebih, kegiatan di Sumut itu memunculkan kerumunan di tengah pandemi Covid-19, yang dalam beberapa kasus sebelumnya, ditindak dengan sangat tegas. Bahkan penahanan segala. Moral Politik Di kalangan elit politik, rencana kudeta PD agaknya telah meluas sebelum isu ini menjadi konsumsi publik. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengaku sempat diajak terlibat penggulingan itu. Tetapi Gatot menolak dengan pertimbangan moralitas, etika, dan jasa Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Terima kasih Jendral Gatot. Anda mengenal budi. Sementara Moeldoko agaknya hanya mengenal Jokowie. Tidak mengenal budi," usai seorang jurnalis mewawancarai Gatot. Cuitan menohok ini sepertinya didorong rasa kesal melihat perjalanan isu kudeta hingga KLB di Sumut. KLB Sumut memang menjadi preseden buruk yang merusak nalar sehat demokrasi kita. KLB tanpa dihadiri pemilik suara. Tidak hanya kering legalitas, tetapi juga miskin etika. Bagaimana mungkin kumpul-kumpul beberapa mantan pengurus PD lalu membuat KLB atas nama PD, lalu mengesahkan Moeldoko yang nyata-nyata tidak memiliki sejarah dengan PD? Ini bukan tentang PD saja. Ini tentang demokrasi yang susah payah kita bangun bersama. KLB Sumut bukan hanya membunuh masa depan PD. Tetapi juga menebas masa depan demokrasi kita. Kita tahu, partai politik adalah tiang utama penyangga demokrasi. Maka perlakuan di luar batas terhadap PD menjadi urusan semua akal sehat yang merasa kemerdekaan demokrasi terancam. Tentu kita tidak ingin wajah demokrasi Indonesia menjadi barbar. Demokrasi harus mengedepankan nilai-nilai moral politik, etika dan hukum. Itulah demokrasi Pancasila. Demokrasi salah satunya dibangun atas ketundukan kita bersama kepada hukum. Secara hukum, PD memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) yang telah disahkan oleh negara melalui Kemenkumhan. Negara tentu tidak sekadar mengakui keberadaan partai, tetapi juga mendukung dan melindunginya agar berkembang dengan sehat sebagai piranti demokrasi. Pembiaran negara berpotensi memunculkan kegelisahan dan kegoncangan. Pimpinan partai politik lain tentu saja tidak akan pernah merasa aman. Sebab hal yang sama bisa saja terjadi pada mereka suatu saat nanti. Indikasinya mulai terlihat. Tiada angin tiada hujan. Namun Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan membuat surat terbuka kepada seluruh kader PAN untuk saling rangkul, saling bimbing, dan mempererat kebersamaan. Sementara Ketua Umum Partai Nasdem juga tetiba menyuarakan hal senada. Independensi Kemenkumhan Kini, bola panas kembali lagi kepada pemerintah, menyusul pendaftaran PD versi KLB Deli Serdang Sumut ke Kemenkumhan. Kita berharap Menkumham Yasonna Laoly dapat menjaga independensi dan integritasnya untuk menilai secara jernih pelaksanaan KLB Sumut. Netralitas pemerintahan Presiden Jokoie diuji dalam kasus PD ini. Sejarah tidak akan pernah luput dalam mencatat. Kita berharap pemerintah menjauh dari kepentingan politik. Paradigma hukum yang berkeadilan adalah satu-satunya solusi mengurai persoalan. Konflik organisasi tidak begitu rumit bila diselesaikan dengan kacamata hukum. Sebab hukum dapat dengan mudah mendeteksi antara yang legal dan yang ilegal. Meski demikian, untuk organisasi politik sekelas partai politik, faktanya seringkali tidak sesederhana itu. Modal hukum acapkali tidak cukup untuk mempertegas legalitas partai. Karena itu, rencana AHY menyambangi Kemenkumhan untuk menyerahkan surat penolakan terhadap penyelenggaraan KLB, cukup taktis dan strategis. Penyerahaan berkas adalah hal biasa. Yang istimewa adalah membawa 34 DPD seluruh Indonesia saat penyerahan berkas itu. Ini sebuah penegasan tentang legitimasi. Bila melihat reaksi pengurus daerah, agaknya kepemimpinan AHY masih cukup kuat. Menjadi lebih kuat lagi bila AHY melakukan konsolidasi melalui zoom. Membuat pernyataan sikap bersama seluruh pemilik suara PD, baik DPD maupun DPC secara terbuka, dan disaksikan masyarakat luas. Itu penting, karena menurut Deputi Bappilu DPP PD Kamhar Lakumani, saat ini kelompok KLB Sumut sedang menghubungi dan menekan para Ketua DPD dan Ketua DPC agar balik badan mendukung KLB Sumut. Mereka mengklaim akan mendapatkan pengesahan dari Kemenkumhan. Pada akhirnya, semua tergantung presiden. Seperti diungkap Hendri Satrio, SK Kemenkumhan kemungkinan tidak akan turun jika Moeldoko tidak direstui Presiden. Artinya, jika direstui, kemugkinan sebaliknya tentu dapat berlaku. Maka kita tak henti bertanya-tanya tentang sikap diam presiden di sepanjang perjalananan kasus ini. Keterlibatan langsung elit istana dan diamnya Presiden Joko Widodo dapat memantik praduga awal tentang ketidaknetralan pemerintah. Bila ini betul, maka PD bisa saja dikerangkeng dalam konflik yang berkepanjangan melalui dualisme kepemimpinan. Akibatnya, PD akan kehilangan fokus, kehilangan pemilih, dan kehilangan kesempatan mengikuti pemilu yang akan datang. Siapa yang diuntungkan? Jawabannya barangkali terbayang dalam benak masing-masing. Siapa yang dirugikan? Tentu saja kita semua, anak bangsa yang mencinta demokrasi. Penulis adalah Senator DPD RI.
Syaikhona Muhammad Kholil: Mengapa Harus Pahlawan? (2)
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Eksistensi dan kontribusi Syaikhona Muhammad Kholil dalam bidang agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan, politik, dan sebagainya sangat besar. Kontribusi Syaikhona Kholil terlibat dalam perlawanan melawan kolonialisme di Indonesia. Terutama yang digerakkan oleh ulama dan santri. Simpul-simpul perlawanan, terutama di wilayah Tapal Kuda diinisiasi oleh santri-santri Syaikhona Kholil. Terkait dengan peran Syaikhona Muhammad Kholil dan posisi sentral Bangkalan sebagai pusat yang melahirkan gerakan perjuangan melawan kolonialisme sudah dianalisis dan direkomendasikan oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje tak lain adalah seorang orientalis yang menjadi penasehat urusan pribumi pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Temuan Hurgronje menyatakan bahwa Bangkalan merupakan pusat dari jejaring ulama dan santri di Jawa. Hal ini tidak lepas dari peran Syaikhona Muhammad Kholil sebagai guru dan pemimpin mereka. Temuan Hurgronje ini tidak begitu dihiraukan oleh Belanda, karena kondisi geografis tanah Madura membuat Belanda menafikkan kekuatan tanah Madura. Dalam catatan tulisan-tulisan Syaikhona Muhammad Kholil sendiri, didapati tulisan beliau yang bersinggungan dengan nasionalisme. Hal ini menjadi bukti penanaman nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan Syaikhona Kholil kepada santri-santrinya. Catatan ini masih tertuang dalam manuskrip asli. Dalam catatan ini mengutip sebuah hadits yang berbunyi: Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman). Dalam proses menggelorakan semangat perjuangan melalui mimbar pengajian Musholla Pesantren Demangan ini, Hubbul Wathon Minal Iman menyelipkan semangat cinta tanah air. Sebagimana tertuang dalam manuskrip Hubbul Wathon Minal Iman sendiri. Semangat perjuangan, cinta tanah air, dan bangkit melawan kelaliman Pemerintah Hindia-Belanda selalu digelorakan oleh Syaikhona Kholil dari mimbar Musholla Pengajian Pondok Demangan setiap saat. Fakta ini terkuak dari hasil wawancara dengan KH Syarifuddin Damanhuri (Ketua MUI Bangkalan dan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Aermata Buduran Arosbaya Bangkalan). KH Syarifuddin Bamanhuri menuturkan, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan selalu menyampaikan narasi-narasi perjuangan melalui mimbar pengajian di Musholla Pesantren Demangan. Tentu saja narasi perjuangan ini membuat gusar pemerintahan Belanda. Kiai Syarifuddin menututkan bahwa kisah ini didapat dari riwayat Kiai Damanhuri, dan Kiai Damanhuri mendapatkan riwayat kisah ini dari Kiai Abdul Mu'thiy yang tiada lain adalah kakek dari Kiai Syarifuddin Dahamhuri. Kiai Abdul Mu'thiy diketahui sebagai salah satu murid kesayangan Syaikhona Muhammad Kholil, sekaligus juru pijat pribadi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Berdasarkan manuskrip itu, bukti otentik penanaman rasa kebangsaan dengan memberikan pemahaman kepada para santri bahwa mencintai bangsanya merupakan bagian dari iman. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari pelajaran pokok di samping mempelajari agama, juga menyelipkan ajaran tentang nilai-nilai nasionalisme kepada para santri di tengah pergolakan kolonialisme Balanda di Nusantara. Manuskrip itu menegaskan bahwa ajaran tentang nasionalisme kepada santri menjadi hal yang utama, di samping pembelajaran tentang agama, seperti kajian fikih, nahwu, sharrof, dan sebagainya. Hal ini menyiratkan suatu komitmen kebangsaan yang luar biasa dari Syaikhona Muhammad Kholil. Kepedulian tentang persoalan bangsanya, diimplementasikan dalam dunia pendidikan dengan menanamkan tentang nilai-nilai nasionalisme dalam perspektif Islam. Syaikhona Muhammad Kholil memandang perlu dan kemudian diimplementasikan dalam pembelajaran dan pendidikan kepada para santrinya. Penanaman pendidikan tentang nasionalisme kiranya begitu massif dan intensif disampaikan oleh Syaikhona Muhammad Kholil kala itu. Mengingat ketika itu, Indonesia masih berada dalam genggaman jajahan Belanda. Tak bisa dibayangkan, bagaimana metode, cara, dan teknik yang disampaikan oleh Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan menanamkan semangat, hingga semua santrinya begitu terpatri gemuruh semangat nasionalisme yang sama dalam diri para muridnya. Hal yang tampak dari bukti itu, nilai-nilai dan karakter kebangsaan yang disampaikan kepada para santri menjadi pemantik tumbuhnya nasionalisme. Pemantik itu oleh para santrinya itu dijadikan landasan pembentukan karakter untuk mencintai tanah air dan bangsanya. Belanda Perampok Selanjutnya rasa kebangsaan tersebut diimplemantasikan dalam berbagai bentuk termasuk perlawanan secara kultural dan fisik oleh santri-santri Syaikhona Kholil di berbagai wilayah Nusantara, terutama di Pulau Jawa dan Madura. Kesadaran akan kebangsaan yang diperoleh para santri Syaikhona Muhammad Kholil dalam penempaan pembelajaran dan pendidikan, menumbuhkan kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa. Pendidikan adalah salah satu cara yang paling efektif dalam menumbuhkan kesadaran jiwa kebangsaan. Jika disampaikan oleh tokoh panutan yang menjadi guru secara terus-menerus dapat menjadi dogma yang begitu melekat pada para santri. Sehingga kemudian menjadi pemantik yang membakar dan membangkitkan nasionalisme di kalangan santri. Keteguhan sikap Syaikhona Kholil ditunjukkan dengan penegasan respon Syaikhona Kholil terhadap Pemerintah Hindia-Belanda. Interpretasi sikap Syaikhona Muhammad Kholil dalam mengibaratkan sebagai pencuri yang wajib dipotong tangan dan kakinya. Hal ini terungkap dalam manuskrip yang ditemukan berupa tulisan tangan Syaikhona Kholil. Atase Pemerintahan Hindia-Belanda di Surabaya pernah berkirim surat kepada Syaikhona Muhammad Kholil. Berikut adalah surat Atase Pemerintahan Hindia-Belanda Surabaya yang ditujukan kepada Kiai Hadji Halil diissi Kapook Bangkalan. Amplop surat yang dikirimkan kepada Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan dengan kop Scheepsagentuur Voorheen J. Daendels & Co, Gravenhage, Batavia, Semarang, Soerabaija, Padang, Macasser, Singapore. Sementara di bawah terdapat tulisan Ini Sorat Dari Balandah Soerabaja. Di atas amplop surat terdapat tulisan tangan (tulisan Arab Pegon). Perangko tertulis 15-11-1899. Sepertinya ini merujuk pada 15 November tahun 1899. Yang menarik dari manuskrip ini tentu saja adalah tulisan Arab yang artinya: “Ya Allah, bahwa ini (Pemerintah Hindia-Belanda) adalah Perampok dan Pencuri, maka potonglah tangan dan kakinya”. Guratan tulisan ini merupakan tulisan tangan langsung dari Syaikhona Muhammad Kholil. Tulisan ini dalam interpretasi peneliti, menggambarkan secara jelas betapa geram dan marahnya beliau terhadap pemerintahan Hindia-Belanda. Geram dan amarah Syaikhona Muhammad Kholil ini digambarkan dari penggunaan diksi kata Perampok dan Pencuri. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Politik Devide Et Impera
by Naniek S. Deyang Madiun FNN – Partai Hanura pecah. Partai Amanat Nasional (PAN) juga dipisahkan dari pendirinya Pak Amien Rais. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terbelah. Beberapa kader utamanya keluar, lalu membentuk Partai Gelora. Sementara Partai Berkarya diambil dari Mas Tomy Suharto, dan sekarang Demokrat dihostile take over dengan terang-terangan. Cerita sebelumnya Golkar juga terambang pecah. Dimana para tokoh di dalamnya membuat partai masing-masing. Prabowo Subianto membuat Partai Gerindra, Wiranto membuat Hanura, dan Surya Paloh membuat Partai Nasdem. Pecah jadi empat. Jangan lupa Partai Gerindra meski ditangan Prabowo juga sempat digoyang hebat oleh orang dekat Prabowo. Demikian juga dengan Partai Nasdem, hampir oleng saat Harry Tanoesoedibjomasih di dalam. PPP juga sama. Entah berapa kali terus terpecah. Dari partai besar, hingga mengerdil dan pengurusnya terus diguncang isu. Terakhir masih terbelah lagi kepengurusannya. Kemudian PKB juga pecah. Dari keluarga Gus Dur sebagai pendiri, terambil oleh Cak Imin Cs. Polemik rebutan PKB sejak jaman Presiden Megawati sampai Presiden SBY. Sebelumnya lagi, di jaman Pak Harto yang paling fenomenal adalah PDI. Kemudian berbelah menjadi PDI dan PDIP. PDI lama dipimpin oleh Suryadi dan PDIP dipimpin oleh Megawati. PBB, dan partai-partai lain juga terus membelah, hingga seringkali terpisah dari pendirinya. Bicara rebutan partai, atau terpecahnya partai, sebetulnya bukan sekarang saja terjadi. Dari jaman dulu juga terjadi. Mengapa? Saya pernah mendengar dulu dari para mahaguru intelejen, saat saya mulai menjadi wartawan politik, bahwa di Indonesia sejak awal merdeka, tidak pernah diikhlaskan oleh negara-negara besar termasuk eks penjajah. Untuk mengerdilkan Bangsa dan Negara Indonesia itu, hanya dengan cara devide it empera. Intinya tidak boleh ada kekuatan utuh, baik kekuatan dalam bidang agama atau partai politik. Tidak boleh ada partai politik punya kekuatan di atas 20 persen. Jadi, harus diobrak-abrik supaya banyak partai. Karena hanya agama dan partai politiklah yang bisa menggerakkan rakyat. Rakyat Indonesia yang mayoritas tidak punya karakter yang kuat, seperti mudah diadu domba. Senang hidup borju dan pamer. Suka menjilat dan gampang disogok. Tidak malu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Benar-benar menjadi "alat ampuh" untuk terus membelah rakyat Indonesia, dengan menggunakan oknum rakyat. Sebut saja para komprador (combe penjual negeri). Rakyat Indonesia tidak boleh bersatu. Kalau bersatu akan sangat kuat dan mengancam negara mana pun. Karena akan menjadi negara berpenduduk Islam terkuat, dan dengan alam yang luar biasa kaya. Kalau rakyatnya kelewat kuat, tentu sangat sulit bagi kaum kapitalis global untuk terus menjajah Indonesia. Terus mengeksploitasi SDA dan juga market (pasar Indonesia). Saat di jaman Orde baru (Orba), Pak Harto sepertinya memahami teori konspirasi global untuk terus mengangkangi negeri ini. Makanya selama 30 tahun memimpin, Pak Harto berusaha hanya ada tiga Partai Politik saja. Namun kekuatan tiga partai ini juga terus digerilya, hingga PDI misalnya, pecah menjadi dua. Demikian juga dengan PPP. Yang agak tangguh hanya Partai Golkar, karena dikendalikan langsung oleh pak Harto. Kelompok Islam juga hanya dua, NU dan Muhamadiyah. Meski terus dibentur-benturkan, misalnya lewat kesepakatan Hari Raya atau mulai puasa yang nggak pernah sama antara NU dan Muhamadihah, namun Pak Harto sangat cerdik. Tidak boleh masing-masing golongan itu membuat partai. Maka jadilah partai orang Islam itu ya hanya satu, yaitu PPP saja. Pak Harto yang dinilai mengganggu konspirasi global untuk mencekram Indonesia, akhirnya melalui orang-orang Indonesia sendiri dilengserkan. Setelah Pak Harto lengser, kekuatan global asing makin leluasa mengaduk-aduk Indonesia. Maka partai politik pun lahir bak jamur di musim hujan. Pernah ratusan partai bermunculan. Tak yanya itu organisasi Islam juga bermunculan. Dalam posisi rakyat makin banyak dalam kelompok-kelompok, maka aksi devide et impera mudah untuk dijalankan. Apalagi rakyat terus dibelah seperti saat ini, maka kapitalis global makin berpesta pora mengeduk kekayaan alam. Bukan tidak mungkin pada saatnya nama Indonesia tinggal kenangan. Siapa yang membantu konspirasi kapitalis global ini mengacak-acak politik di Indonesia? Supaya tetap bisa menjajah Indonesia sekarang? Dengan terus-menerus menyudutkan Islam?.Mereka adalah para komprador! Maaf, mereka bajingan penjual NKRI ini menyusup di semua lini. Mereka ini sekumpulan binatang berwujud manusia yang melihat dunia tanpa batas yang disebut negara. Mereka serigala berbulu domba. Mereka bisa berwujud pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka juga pengusaha, artis, tokoh, pemimpin agama, LSM, Wartawan dan lain-lain. Penulis adalah Wartawan Senior.
Baranikah SBY Geruduk Istana?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Ungkapan Ketua Bappilu dan OKK Partai Demokrat Andi Arief bahwa terhadap gerakan kudeta Moeldoko lewat Kongres Luar Biasa (KLB) abal-abal, Partai Demokrat SBY akan geruduk Istana. Meski Istana mengeles tak terlibat, namun status Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) sulit untuk mempercayai bahwa gerakan Moeldoko tanpa sepengetahuan Presiden atau Istana. SBY menyerukan "lawan" atau mengumandangkan deklarasi perang atas invasi Jenderal Moeldoko ke Markas Partai Demokrat. Jika SBY atau AHY konsisten dan berani, maka pertarungan bakalan menjadi seru. Sebagaimana KLB sendiri yang merupakan aksi politik, maka selayaknya dilakukan perlawanan secara politik. Mengapa bukan hukum? Ada tiga alasan. Pertama, Moeldoko and his gang bukan tak faham bahwa KLB itu melanggar hukum dan tak sesuai dengan AD/ART Partai Demokrat. Sangat tahu tentunya. Kemungkinan terjadi gugatan hukum juga sudah diperhitungkan. Tapi proses hukum diyakini akan dimenangkan oleh intervensi kekuasaan. Rekayasa bertingkat. Kedua, proses hukum adalah jalan panjang yang masuk area "buying time" yang menguntungkan Moeldoko. Di tengah proses yang bertele-tele, pengesahan cepat hasil KLB oleh Kemenkumham menyebabkan Moeldoko bebas bergerak. Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly berasal dari PDIP, lawan politik SBY dan Demokrat. Ketiga, proses hukum hanya menciptakan dualisme kepengurusan in concreto. Partai Demokrat pimpinan Moeldoko akan melakukan konsolidasi intensif ke bawah untuk memecah. Tentu dengan bantuan bapak Dana yang sejak awal sudah bersiap-siap untuk menerkam. Menghadapi gerakan turun ke bawah Moeldoko itu, tidak ada pilihan lain yang tersedia untuk SBY dan AHY. Dua tokoh penting di Partai Demokrat ini harus melakukan gerakan perlawanan politik. Perang terbuka. Disamping geruduk Istana dengan tekanan pecat Moeldoko dan keluar pernyataan Presiden bahwa KLB tidak sah. Harus juga melakukan langkah lain. Pertama, memperluas isu dari semata masalah kudeta Partai Demokrat, ke arah pidana kerumunan di masa pandemi, rezim otoritarian, serta pelanggaran Konstitusi. Presiden Jokowi yang dengan sengaja mendiamkan aksi KLB Deli Serang, dengan arsitek Moeldoko adalah perbuatan tercela Presiden yang menjadi alasan bagi pemberhentian. Kedua, melakukan konsolidasi politik besar-besaran terhadap seluruh jajaran pengurus dan kader agar bersiap bersama melakukan perlawanan terhadap upaya eksternal yang mengacak-acak Partai. Langkah itu untuk membuktikan bahwa pengaruh SBY masih kuat terhadap kader dan soliditas Partai hingga ke struktur yang paling bawah. Ketiga, munculkan sikap kritis dan panas anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat di Parlemen dengan usul penggunaan Hak Interpelasi, atau bila perlu Hak Angket berkaitan dengan dugaan keterlibatan Presiden dalam aksi politik brutal KLB Deli Serdang. Keempat, jajaran Partai Demokrat di kendali SBY dan AHY harus mulai menyadari dan peduli akan nasib elemen lain yang menjadi korban kezaliman rezim. Keluar dan turut berteriak soal penahanan aktivis KAMI, pembelaan pada HRS, serta membantu menekan agar terkuak kasus pelanggaran HAM pembunuhan enam anggota Laskar FPI dan pelanggaran HAM lainnya. Kelima, Partai Demokrat lebih vokal mengkritisi kemerosotan ekonomi negeri, termasuk hutang luar negeri dan carut- marut penanganan pandemi Covid 19. Mengadvokasi korban dan lembaga kesehatan yang terdampak akibat penanganan pandemi yang kurang baik. Partai Demokrat jangan menjadi Partai yang terkesan "cari selamat", sehingga menjadi ragu dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang dirasakan beban, dan kondisinya semakin berat. Buktikan bahwa terhadap gerakan ilegal KLB Moeldoko, memang Partai Demokrat benar-benar melakukan perlawanan. Rakyat akan selalu bersama partai pejuang kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Sebaliknya, ketika terjadi pembiaran atas nasib yang menimpa satu partai politik, maka mungkin sebenarnya partai politik itu memang selama ini tidak pernah bersama rakyat. Sibuk dan ramai dengan urusan dirinya sendiri saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jangan-Jangan Ada Pasal Omnibus Law Yang Bolehkan Begal Parpol
by Asyari Usman Medan, FNN - Buru-buru saya buka lagi PDF Omnibus Law (OBL). Berjam-jam saya “scroll down”. Maklum lebih seribu halaman. Tak sebaris pun saya lewatkan. Penasaran sekali mengapa Moeldoko bisa lancar mengambil alih Partai Demokrat (PD). Begitu mulus proses pembegalan itu. Kumpul sejumlah orang di Sibolangit, Jhoni Allen Marbun membuka “kongres luar biasa” (KLB), dan seketika itu juga diumumkan Moeldoko terpilih sebagai ketua umum. Sewaktu diumumkan, Pak Moel tidak ada di arena KLB. Dia hanya tersambung lewat telefon ke ruangan deklarasi. Dia menanyakan apakah KLB sesuai AD-ART, apakah serius mendukung dirinya menjadi ketum, dst. Terdengar teriakan koor “Sesuai” dan “Serius”. Moeldoko baru hadir di arena KLB malam hari, 5 Maret 2021. Deklarasi itu berlangsung di siang hari pada tanggal yang sama. Dahsyat sekali. KLB Sibolangit itu berjalan singkat, padat, nekat. Tidak ada pihak keamanan yang membubarkan baik dengan alasan keabsahan KLB maupun alasan prokes Covid-19. Kok bisa pengambilalihan parpol dengan kepengurusan yang sah, berjalan mulus? Apakah sudah ada landasan hukum baru yang membolehkan penggantian pimpinan parpol oleh pejabat negara? Saya telusuri terus ke bawah. Jangan-jangan ada pasal-pasal Omnibus Law yang memberikan kemudahan untuk mengganti ketum parpol oleh orang luar. Sebab, UU No. 11/2020 Cipta Kerja ini memang dibuat untuk memudahkan semua urusan. Selagi memudahkan lapangan kerja, pasti ada di OBL. Nah, pengambilalihan PD oleh Moeldoko termasuk menciptakan lapangan kerja. Banyak lowongan baru. Ada waketum 8 orang, sekjen dan wasekjen 5 orang, bendahara 5 orang, ketua bidang 15 orang, ketua DPD 34 orang, ketua DPC 514 orang, satpam kantor seluruh Indonesia 1,100 orang, dlsb. Cukup banyak. Barangkali Pak Moel sudah melihat pasal-pasal yang menjamin kemudahan begal parpol itu. Siapa tahu, ‘kan? Sehingga dia melihat peluang bagus untuk cipta kerja. Kalau memang ada di OBL, pasti Presiden Jokowi senang dengan cara Moeldoko menciptakan lapangan kerja baru itu. Pasti pula pengambilalihan PD akan disahkan oleh Menkum HAM Yasonna Laoly. Sehingga, PD Moeldoko bisa beroperasi segera guna menarik minat investor. Saya telisik terus. Belum juga berjumpa pasal yang dicari. Akhirnya saya istirahat dulu untuk menuliskan ini.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.