POLITIK

Adakah Operasi Hitam Dalam Penembakan Enam Laskar FPI?

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Kamis (10/12). Pengambilalihan kasus penembakan terhadap enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib Rizieq Shihab oleh Mabes Polri, memunculkan spekulasi adanya operasi hitam yang dilakukan oknum aparat di luar struktur resmi organisasi kepolisian. Kasus ini sebelumnya diungkap dan ditangani oleh Polda Metro Jaya. Namun kemudian Mabes Polri mengambil alih kasusnya. Bahkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri telah mengamankan sejumlah penyidik dari Polda Metro Jaya yang diduga menembak enam anggota Laskar FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan, penarikan kasus tersebut ke Mabes Polri untuk meyakinkan masyarakat penanganannya berlangsung transparan dan profesional. Sementara itu para aktivis HAM menyebut penembakan tersebut sebagai pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing). Oleh karena itu pengusutan oleh Propam Mabes Polri menjadi penting untuk mengetahui rantai komando dan instruksi yang dilakukan polisi di lapangan saat melakukan penguntitan dan pembunuhan terhadap enam laskar FPI pada Senin dini hari 7 Desember 2020. Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), As'ad Said, mencurigai ada misi lain di balik penguntitan yang berujung pembunuhan terhadap enam laskar FPI yang mengawal Imam Besar Habib Rizieq Shihab. "Kalau sampai terjadi aksi kekerasan apalagi pembunuhan, maka misinya bukan surveillance, tetapi ada misi lain atau kecerobohan petugas. Walllahu a’lam," kata As'ad Said sebagaimana dikutip Okezone, Selasa (8/12). As'ad Said juga menjelaskan, bagaimana seharusnya penguntitan atau dalam istilah ilmu intelijen disebut penjejakan fisik (physical surveillance) dilakukan. Jika penguntitan dilakukan menggunakan mobil, minimal yang digunakan dua kali lipat dari jumlah mobil yang diikuti. "Kalau lawan curiga, penjejak bisa membatalkan misinya atau menekan lawan untuk menghentikan mobil, tetapi tetap berpura pura tidak menjejaki yang bersangkutan, misalnya mengatakan ada kesalah pahamanan," jelas As'ad Said. Adanya spekulasi operasi kontra intelijen dalam kasus penembakanenam laskar FPI mengingatkan kita pada kasus penculikan mahasiswa pro-demokrasi tàhun 1998. Penculikan itu terjadi saat masa kepemimpinan Jenderal tertinggi ABRI, Wiranto. Kasus tersebut kemudian berujung pada kejatuhan rezim Soeharto. Berdasarkan data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sembilan mahasiswa korban penculikan berhasil dibebaskan. Mereka di antaranya adalah Andi Arief, Desmond J Mahesa, Pius Lustrilanang dan Nezar Patria. Sedangkan 13 korban lainnya dinyatakan hilang, satu di antaranya adalah Wiji Thukul, seorang seniman yang juga aktivis. Operasi penculikan mahasiswa prodem tersebut dilakukan oleh Satuan tugas Komando Pasukan Khusus (Kopassus), unit elite khusus Angkatan Darat, bernama Tim Mawar. Sumber yang memiliki otoritas di bidang Polkam menyebutkan, para mahasiswa pro-demokrasi yang dilepas adalah mereka yang diculik oleh Tim Mawar. Sedangkan para mahasiswa yang hilang atau sengaja dihilangkan, diculik oleh tim yang menunggangi operasi Tim Mawar. "Waktu itu ada operasi kontra intelijen yang memiliki misi lain," kata sumber tersebut kepada penulis Selasa malam (8/12). Di balik operasi tersebut, ketika itu sedang terjadi "perang bintang" di antara jenderal di lingkungan TNI AD waktu itu. Dalam kasus penembakan terhadap enam laskar FPI, juga mirip dengan kasus penculikan mahasiswa tàhun 1998. Mereka yang menghabisi laskar FPI tersebut sudah berpengalaman dalam menumpas dan menghabisi para teroris. Operasi yang mereka lakukan sengaja menunggangi operasi resmi yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) yang beberapa hari sebelumnya melakukan pengintaian terhadap aktivitas Habib Rizieq Shihab ketika berada di sekitar Pesantren Markas Syariah Megamendung, Jawa Barat. Sangat boleh jadi sasaran utama penguntitan disertai pembunuhan yang dilakukan Tim Operasi Hitam sebenarnya ditujukan kepada Habib Rizieq Shihab. Hanya saja dalam peristiwa di jalan tol Jakarta-Cikampek pada Senin malam itu, ruang gerak pasukan hitam tersebut berhasil dikecoh para laskar FPI yang mengawal rombongan keluarga Habib Rizieq. Pasukan yang semula diidentifikasi pihak FPI sebagai orang tidak dikenal (OTK), ternyata justru diakuisebagai pasukan polisi oleh Kapolda Metro Jaya Fadil Imran dalam konferensi pers Senin siang (7/12). Yang menjadi pertanyaan banyak masyarakat, mengapa Habib Rizieq sampai harus diintai, dibuntuti, hingga akhirnya menjadi target pembunuhan. Sementara yang bersangkutan bukan seorang buronan apalagi teroris. Beberapa kalangan yang memiliki otoritas di bidang polkam menyebutkan, tidak konsistennya sejumlah pernyataan Kapolda Metro Jaya terkait dengan kematian enam laskar FPI karena yang bersangkutan sengaja disuruh untuk menjadi "tukang cuci piring". Ada pihak-pihak yang memiliki extra power sedang memainkan operasi ini. Misi operasi kontra intelijen tersebut sengaja dilakukan untuk memancing kemarahan masyarakat terutama umat Islam. Mereka sengaja ingin menciptakan suasana chaos di tengah masyarakat. Sehingga dengan begitu, nanti ada pihak-pihak tertentu yang muncul sebagai Pahlawan kemudian mengendalikan keadaan sekaligus mengambil alih kekuasaan. Gelar perkara yang dilakukan Polda Metro Jaya pada Senin siang lalu, banyak yang bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Sejumlah kalangan menyebutkan, pemutarbalikan fakta ini sengaja dilakukan untuk memprovokasi sekaligus mendorong amarah masyarakat terutama umat Islam. Sumber lain menyebutkan, operasi memburu Habib Rizieq dilakukan oleh lebih dari satu institusi. Upaya kriminalisasi terhadap Habib Rizieq semakin intens dilakukan karena juga terkait dengan perang bintang di lingkungan kepolisian dan TNI. Seperti diketahui, awal tàhun depan Kapolri Jenderal Idham Azis akan memasuki masa pensiun. Demikian pula, jabatan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto akan segera berakhir. Oleh karena itu sejumlah perwira tinggi di lingkungan kepolisian maupun TNI sekarang sedang berkompetisi memburu Habib Rizieq Shihab untuk mendapatkan legitimasi bagi kenaikan pangkat dan jabatan mereka masing-masing. Pembunuhan terhadap enam laskar FPI bukan hanya diberitakan media massa di Tanah Air tetapi juga diberitakan media internasional. Media massa juga telah mengungkap sejumlah keterangan berbeda antara yang disampaikan pihak kepolisian dengan pihak FPI. Media asing yang telah memberitakan aksi pembunuhan tersebut diantaranya The Guardian, Washington Post, Channelnews Asia, Al Jazeera, ABC News dan Reuters. Kasus pembunuhan enam laskar FPI ini juga kebetulan berdekatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang biasa diperingati setiap tanggal 10 Desember. Oleh karena itu, kalangan aktivis kemanusiaan dan HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil sudah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut dan menghentikan praktik brutalitas dan Extra Judicial Killing yang dilakukan aparat kepolisian. Bisa saja nanti kasus pembunuhan terhadap enam laskar FPI ini dibawa ke pengadilan HAM Internasional. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Damn I Love Indonesia: Bapak Presiden, Anak dan Menantu Walikota

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Rabu (09/12). Tanggal 9 Desember 2020 akan dicatat dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Presiden Jokowi mencatat sebuah prestasi baru, rekor. Anak dan menantunya memenangkan Pilkada. Gibran, anak sulungnya memenangkan Pilwakot Solo. Perolehan suaranya berdasarkan hasil sejumlah quick count, di atas 85%. Dahsyat! Di Medan Bobby Nasution menantu Jokowi juga diprediksi menang. Hasil quick count menunjukkan perolehan suaranya mencapai 55%. Prestasi luar biasa Jokowi ini tidak pernah dicapai oleh semua presiden sebelumnya. Termasuk dua presiden yang berkuasa cukup lama, Soekarno dan Soeharto. Presiden Soekarno, sang Proklamator, berkuasa selama 22 tahun (1945-1967). Tak satupun putra atau putrinya yang menduduki jabatan publik selama dia berkuasa. Baru 32 tahun kemudian, putrinya Megawati Soekarnoputri menjadi Wapres (1999) dan kemudian menjadi Presiden (2001-2004). Presiden Soeharto berkuasa lebih lama, 32 tahun. Baru berhasil menempatkan putrinya Siti Hardijanti Roekmana sebagai Mensos pada tahun 1998. Di penghujung masa jabatannya. Itu pun hanya bertahan selama 2,5 bulan. Mbak Tutut begitu dia biasa dipanggil, menjadi Mensos 14 Maret-21 Mei 1998. Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang sama-sama berkuasa dalam waktu singkat, sama sekali tidak berhasil meninggalkan warisan jabatan untuk anak-anaknya. Bos Jokowi, Megawati selama menjabat Presiden juga tidak menyiapkan jabatan publik untuk anak-anaknya. Putri mahkotanya Puan Maharani baru terjun ke politik dengan menjadi anggota DPR pada Pemilu 2009. Setelah Megawati tak lagi menjabat sebagai presiden. Benar, Puan kemudian menjadi Menko pada periode pertama masa jabatan Jokowi. Sekarang dia menjadi Ketua DPR RI. Tapi semua tidak dicapai pada masa Megawati menjabat sebagai presiden. Bagaimana dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Dalam soal menempatkan putra dan menantunya dalam jabatan publik, dia kalah jauh dengan Jokowi. SBY bersamaan dengan masa jabatannya yang kedua baru berhasil menempatkan putra keduanya Edhie Baskoro sebagai anggota DPR RI (2009). Setelah tak menjabat sebagai Presiden, SBY mencoba peruntungannya. Dia mendorong putra sulungnya Agus Harimurti menjadi cagub DKI Jakarta. Eksperimen politik SBY gagal. Pada Pilkada DKI 2017 yang hiruk pikuk, Agus Harimurti kalah. Padahal dia sudah mengorbankan karir militernya yang cemerlang. Pemegang penghargaan Bintang Adi Makayasa, lulusan terbaik Akmil tahun 2000 ini, pangkatnya terhenti hanya sampai perwira menengah. Dia pensiun dengan pangkat terakhir, Mayor TNI. Benarlah jargon yang sering didengung-dengungkan oleh para pendukung Jokowi: PRESIDEN YANG LAIN NGAPAIN AJA! Damn!! I Love Indonesia! End. Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Edhy Prabowo, dari “Selokan” Berakhir di KPK

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (05/12). Menhan Prabowo Subianto secara resmi akhirnya buka suara, soal OTT Menteri Kelautan Edhy Prabowo. “Dia saya angkat dari selokan, dan inilah yang dilakukan kepada saya,” ujar Prabowo seperti ditirukan adiknya Hashim Djojohadikusumo. Prabowo menyampaikan kemarahannya kepada Hashim dalam Bahasa Inggris. ”I lift him up from the gutter and this is what he does to me.” Media kemudian menerjemahkannya cukup beragam. Diangkat dari selokan, got, dan ada pula yang menerjemahkan menjadi comberan. "Pak Prabowo sangat marah, sangat kecewa, merasa dikhianati," tambah Hashim. Reaksi keras Prabowo ini sangat mengejutkan. Terutama pada pilihan diksinya. “Selokan!” Seorang mantan petinggi negara yang kenal dekat dengan keluarga Djojohadikusumo, mengaku sangat terkejut. “Kenapa sekasar itu ya? Kalau sudah tolong orang, ya tolong saja,” ujarnya. Bagi sang mantan petinggi, Hashim dan Prabowo tidak bisa cuci tangan begitu saja. Faktanya Hashim juga dapat konsesi dalam ekspor benih lobster (benur). Bahwa perusahaan Hashim mengaku belum pernah mengekspor benur. Itu soal yang berbeda. Mengapa Hashim sampai harus membuka percakapan internal itu ke publik? Walau cukup terlambat, dari sisi strategi marketing politik, Hashim sedang melaksanakan damage control management. Dia sedang mencoba mengurangi kerusakan politik yang sedang terjadi. Kerusakan politik pada Gerindra, dan secara khusus kepada brand besar yang mereka sandang, yakni keluarga Djojohadikusumo. Merek besar itu sekarang disandang oleh Prabowo, yang selama ini mencitrakan diri sebagai figur anti korupsi. Apa boleh buat, karena kedekatan hubungan antara Prabowo dan Edhy Prabowo, brand asossiasinya sangat kuat. Kebetulan pula Edhy juga menyandang nama Prabowo. Publik yang tidak mengenal secara dekat, kemungkinan besar menduga, Edhy juga bagian dari keluarga besar Djojohadikusumo. Meminjam tagline iklan produk jadul: Ingat Gerindra, Ingat Prabowo! Dalam kasus korupsi lobster, turunan brand asosiasinya menjadi : Ingat kasus korupsi Edhy Prabowo, Ingat Prabowo. Lebih cilaka lagi kalau sampai brand asosiasinya berubah : Ingat Prabowo, Ingat Korupsi Benur! Brand asosiasi adalah kesan yang melekat di benak seseorang, begitu melihat atau mendengar, sebuah objek yang berhubungan dengan produk atau barang jasa tertentu. Jadi secara asosiasi, kasus korupsi Edhy merugikan dua kepentingan besar sekaligus: Gerindra dan keluarga besar Djojohadikusumo. Karena itulah Hashim sangat berkepentingan untuk memutus mata rantai brand asosiasi itu. Dia bahkan sampai harus menyewa pengacara eksentrik Hotman Paris Hutapea. Menggelar jumpa pers, dan menjelaskan hal itu. Gerindra, Prabowo, dan Saras Apa saja kerusakan merek ( brand damage ) akibat kasus Edhy Prabowo? Dan mengapa Hashim harus menyampaikan ucapan yang begitu keras? Pertama, dalam jangka panjang, Hashim dan keluarga besar Hashim Djojohadikusumo harus menyelamatkan Gerindra. Partai yang didirikan oleh Prabowo itu, bagaimanapun harus bertahan dan menjadi legacy keluarga. Sejauh ini, Prabowo harus diakui berhasil membangun Gerindra menjadi kekuatan politik nomor dua terbesar di Indonesia. Berbagai survei menunjukkan penerimaan publik terhadap Gerindra cenderung meningkat. Kalau sampai gara-gara Edhy Gerindra hancur, harga yang dibayar amat sangat teramat mahal. Kedua, Hashim juga harus mengamankan posisi Prabowo. Dia merupakan aset terbesar keluarga saat ini. Kendati sudah dua kali sebagai capres, sekali sebagai cawapres, Prabowo tetap dianggap kandidat terkuat Pilpres 2024. Namanya tetap layak dijual. Kasus Edhy jelas merusak reputasi Prabowo, dan akan sangat berpengaruh pada elektabilitasnya. Ketiga, dalam jangka pendek ada kepentingan politik yang harus diselamatkan keluarga Hashim. Rahayu Saraswati, putri Hashim dalam beberapa hari ke depan akan mengikuti Pilkada di Tangerang Selatan. Kasus Edhy bisa dikapitalisasi oleh kompetitornya untuk demarketing dan menjatuhkan elektabilitas Saras. Berbagai pertimbangan itu lah yang membuat Hashim harus bertindak. Termasuk kalau perlu “melemparkan” kembali Edhy Prabowo ke dalam “selokan.” Cuma bikin sial! End Penulis wartawan senior FNN.co.id.

Penahanan Habib Rizieq Bisa Memicu People Power

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Rabu (02/11). Sepulang dari Arab Saudi tanggal 10 November 2020, kini setiap gerakan Imam Besar Habib Rizieq Shihab selalu dipantau, diikuti dan dicari-cari kesalahannya. Sehingga wajar kalau kemudian ada meme yang beredar di grup-grup WA, "Semut yang mati pun sengaja dicari. Barangkali aja kematiannya akibat diinjak Habib Rizieq". Sejumlah kalangan yang memiliki otoritas di bidang polkam menyebutkan bahwa Habib Rizieq Shihab kini sedang dalam operasi intelijen. Operasi ini dijalankan oleh oknum aparat kepolisian, pejabat birokrasi dan TNI serta sejumlah kelompok massa bayaran. Oleh karena itu operasi intelejen ini bukan hanya menarget Markas FPI di Kawasan Petamburan Jakarta, tetapi juga Pondok Pesantren Alam dan Agrokultural Markaz Syariah di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bahkan ketika Habib Rizieq Shihab melakukan general check up di RS Ummi Bogor, rumah sakit tersebut tidak lepas dari kegiatan operasi intelijen juga. Tiba-tiba Wali Kota Bogor Bima Arya murka kepada RS Ummi hanya karena menerima pasien bernama Habib Rizieq Shihab yang melakukan check up kesehatan di RS tersebut. Ketika Habib Rizieq mengunjungi cucunya di Perumahan Mutiara Sentul Bogor, Jawa Barat, juga tidak lepas dari rangkaian operasi intelijen. Sejumlah massa bayaran sengaja mendatangi kompleks perumahan tersebut sekaligus meminta agar Habib Rizieq keluar dari kawasan tersebut karena Imam Besar Umat Islam ini dianggap sudah terpapar Covid19. Nah Covid 19 inilah yang sekarang dijadikan instrumen untuk memukul ruang gerak Habib Rizieq. Covid19 telah dijadikan alat untuk mencegah rencana safari dakwah Habib Riziek di Tanah Air. Kegiatan dakwah itu sebenarnya disusun berdasarkan permintaan dari para tokoh ulama dan masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia. Mereka sangat rindu dengan tausiah Habib Rizieq. Maklum sudah tiga setengah tahun Umat Islam tidak mendengar langsung Pidato Habib Rizieq yang menggelegar tentang amar ma'ruf nahi munkar. Rencana safari dakwah tersebut juga sudah disampaikan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) KH. Shobri Lubis, pada saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kawasan Petamburan Sabtu Malam 14 November 2020. Namun rupanya rezim penguasa Jokowi merasa gusar dengan pidato Habib Rizieq tentang Revolusi Akhlak. Sangat boleh jadi Jokowi merasa tersaingi dengan pidato Habib Rizieq soal Revolusi Akhlak karena program Revolusi Mental yang dicanangkan Jokowi sejak Pemilu Presiden tàhun 2014 sampai sekarang tidak menampakan hasil yang signifikan. Bahkan kinerja pemerintahan terus menurun akibat banyaknya pejabat yang korupsi. Sementara utang pemerintah dan BUMN terus membengkak sedangkan keuangan negara mengalami defisit. Saat ini rezim penguasa masih terus mencari cara untuk bisa menangkap Habib Rizieq Shihab. Sangat boleh jadi mereka merasa ruwet menghadapi strategi yang digunakan Habib Rizieq. Upaya provokasi yang dilakukan aparat keamanan dengan menggunakan institusi TNI sudah dilakukan dengan mengerahkan sejumlah pasukan TNI lengkap dengan kendaraan perangnya ke Kawasan Petamburan. Pemeriksaan kesehatan (tes swab) dalam rangka pelaksanaan protokol kesehatan juga sudah dilaksanakan. Namun rencana mereka untuk menjadikan Kawasan Petamburan sebagai klaster baru Covid19 ternyata gagal karena berdasarkan pemeriksaan kesehatan terhadap masyarakat disana hasilnya negatif.Justru episentrum Covid19 sekarang pindah ke Jawa Tengah. Narasi dan opini yang sekarang hendak dibangun rezim penguasa adalah menjadikan Habib Rizieq Shihab sebagai sosok penyebar penyakit Covid19. Namun kenyataannya justru terbalik. Berdasarkan general check up beliau di RS UMMI Bogor, Habib Rizieq Shihab justru dinyatakan sehat walafiat. Alhamdulillah. Pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat nampaknya hanya berlaku bagi Habib Rizieq Shihab. Sementara kerumunan massa pada kampanye anak mantu Jokowi dalam rangkaian Pilkada di Kota Solo dan Medan, justru diabaikan. Sebaliknya kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Sabtu 14 November lalu di kawasan Petamburan, malah dipersoalkan dan dicari-cari kesalahannya. Kalau rezim penguasa Jokowi terus mencari-cari kesalahan agar bisa menahan Imam Besar Umat Islam Habib Rizieq, risiko politiknya sangat besar. Penahanan Habib Rizieq justru bisa memicu aksi massa turun ke jalan untuk melakukan gerakan People Power. Gerakan People Power ujungnya bisa pada gerakan penggulingan kekuasaan presiden secara paksa melalui aksi demonstrasi rakyat. Jika seluruh rakyat sudah turun ke jalan, sangat mungkin Presiden Jokowi akan dipaksa untuk melektakkan jabatannya karena dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan penyimpangan. Munculnya gerakan People Power merupakan perlawanan dan bentuk protes terhadap bentuk kezaliman dan kesewenangan para penguasa. Pasca pemilu di Indonesia 2019 lalu, istilah People Power sebenarnya sudah mulai ramai diperbincangkan. Banyak rakyat Indonesia yang ingin memberontak terhadap berbagai kebijakan penguasa yang menyimpang. Masyarakat meyakini bahwa ada yang tidak beres di balik sistem pemerintahan yang berjalan selama ini. Pemerintah dikendalikan oleh kekuatan oligarki dan para cukong yang memiliki dana tak terbatas. Di Indonesia, gerakan People Power pernah terjadi ketika masyarakat menggulingkan rezim Presiden Soeharto pada Mei 1998 yang menuntut reformasi dan perubahan. Salah satu faktor yang memicu rakyat Indonesia meminta perubahan adalah fenomena krisis moneter sejak Juli 1997. Akibat adanya krismon, amarah rakyat Indonesia tak terbendung lagi. Mereka menuntut perubahan hingga turun ke jalan. Dari sanalah lahir Orde Reformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia.Saat ini kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan tàhun 1998 bahkan sekarang jauh lebih parah. Sebagian kalangan ada juga yang menganalisa, rezim penguasa sekarang bisa saja melakukan "bunuh diri politik". Yakni skenario penggulingan kekuasaan melalui People Power yang sengaja dirancang oleh penguasa sendiri karena ketidakmampuan mengatasi persoalan ekonomi saat ini. Lalu nanti yang dijadikan sebagai kambing hitamnya adalah Umat Islam. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis Wartawan Senior FNN.co.id

Mungkinkah OTT Edhy Prabowo Itu Skenario Abu Janda Cs?

by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (01/12). Banyak pertanyaan yang tersisa terkait penangkapan Edhy Prabowo. Misalnya, apakah OTT itu murni pemberantasan korupsi? Tidakkah sedang berlangsung persilatan politik antara berbagai kekuatan koalisi penguasa yang sejatinya adalah koalisi sesama makhluk buas yang saling incar? Mungkinkah OTT ini sebagai sinyal kepada Prabowo Subianto (PS) bahwa Jokowi yang dia jadikan harapan untuk Pilpres 2024 itu ternyata bukan pemegang kekuasaan yang sesungguhnya? Atau, apakah ini isyarat kepada PS agar jangan terlalu maju di kabinet? Banyak lagi pertanyaan yang menggantung. Semuanya sangat mungkin. Dan semakin lama Anda menatap isu penangkapan Edhy, semakin keras keyakinan Anda bahwa tidak ada satu pun teori yang bisa dikesampingkan. Termasuklah terori OTT itu merupakan isyarat kepada Prabowo bahwa beliau tidak akan pernah diterima oleh seluruh komponen Jokowi, khususnya para buzzer. Dan sangat besar kemungkinan penangkapan Edhy adalah skenario yang disiapkan dengan rapi oleh gerombolan buzzer Istana. Tepatnya, OTT Edhy boleh jadi adalah skenario Abu Janda, dkk. Mengapa bisa diduga seperti itu? Karena Abu Janda Cs kehilangan objek besar untuk olok-olokan setelah Prabowo masuk ke kabinet Jokowi. Si Abu dan gerombolannya tak lagi punya sosok besar untuk dibully begitu Prabowo sekubu dengan mereka. Jadi, setelah lebih setahun berlalu, Abu Janda dkk menyimpulkan bahwa Prabowo masuk kabinet membuat lahan pekerjaan mereka berkurang banyak. Tempohari, sebelum Prabowo bergabung, banyak sekali kreasi olok-olok dan caci-maki mereka. Sekarang berkurang drastis. Karena itu, sangat mungkin Abu Janda dkk bersiasat agar Pabowo tak betah di kabinet. Boleh jadi merekalah yang membuat skenario apik dan halus. Sampai akhirnya Edhy Prabowo kena OTT. Abu Janda dkk berharap PS akan mundur dari kabinet gara-gara OTT Edhy. Begitu mundur akan langsung dibully oleh gerombolan si Abu. Bahan olok-olokan empuk balik ke posisi awal. The best bullying back to business. Ternyata itu tidak terjadi. Prabowo tidak keluar. Dia akan terus setia pada Jokowi. Ini yang membuat Abu dan orang-orangnya kecewa berat. Kini, Abu dan gerombolannya harus terus makan hati sampai 2024. Kecuali ada OTT dahsyat di Kemenhan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

HRS Diduga “Dikriminalisasi”, Pertanda Pemerintah Semakin Panik?

by Mochamad TohaSurabaya FNN - Selasa (08/12). Terlepas dari banyaknya kontroversi, FPI dan Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS) merupakan fenomena politik di Indonesia. Terbaru, sejak kepulangannya, setelah “bermukim” di Arab Saudi selama 3,5 tahun, HRS kembali menjadi sebuah kontroversi. Membawa jargon “Revolusi Akhlak”, kini HRS kembali “dibidik” Pemerintah RI lagi. Sejumlah upaya yang diduga “kriminalisasi” HRS pun dilakukan. Pertanyaannya: Mengapa HRS?! Awalnya, HRS akan dibidik dengan “Klaster Petamburan” terkait dengan kerumunan massa saat menikahkan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat, setelah kedatangan HRS. Sebelumnya diketahui, Satgas Penanganan Covid-19 beberapa waktu lalu menyebut muncul klaster penularan virus corona (Covid-19) di wilayah Petamburan. Hal ini kemudian dibantah oleh epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI). Menurut Epidemiolog Pandu Riono, berdasarkan data yang dimiliki FKM-UI, kenaikan kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta tersebit berasal dari klaster keluarga usai libur panjang 28 Oktober-1 November 2020. Meski terjadi kerumunan saat HRS pulang, belum ada klaster kerumunan Petamburan yang tercatat. “Menurut saya enggak ada klaster Petamburan, yang positif memang banyak, tapi enggak ada kaitannya dengan klaster kerumunan itu. Kalau klaster keluarga yang berlibur, itu ada,” kata Pandu Riono, kutip CNNIndonesia.com, Selasa (24/11). Pandu mengatakan, lonjakan kasus di DKI Jakarta justru berasal dari aktivitas libur panjang ketimbang kerumunan HRS. Dari data yang ia miliki tersebut, belum ada laporan kasus positif Covid-19 akibat kerumunan yang terjadi di Petamburan dan Tebet. Dan, bahkan, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang terjadi karena kerumunan massa saat kedatangan Rizieq. “Bahwa, menurut FKM-UI dari data yang ada belum ditemukan klaster akibat kerumunan di Petamburan dan Tebet, kenaikan kasus di Jakarta lebih mungkin terjadi akibat dampak libur panjang,” ujarnya, seperti dilansir Detik.com, Rabu (25 Nov 2020 06:27 WIB). Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menyampaikan hasil tracing terhadap warga yang mengikuti kegiatan terkait kerumunan massa HRS, mulai dari Petamburan, Tebet, hingga Megamendung. Kemenkes menyebut di Tebet ditemukan 50 orang positif Corona. Dari hasil tracing dan testing pada sejumlah kejadian tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan PCR di Lakesda 21 November ditemukan di Tebet total 50 kasus positif, dan di Petamburan sebanyak 30 kasus dan di Megamendung terdapat 15 sedang menunggu hasil pemeriksaan. Itu disampaikan Plt Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes dr. Muhammad Budi Hidayat, dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube BNPB Indonesia, Minggu (22/11/2020). Bisa disebut, upaya “menjaring” HRS lewat tracing dan testing di Petamburan itu ternyata gagal. Termasuk yang di Megamendung, gagal pula menjerat HRS dengan membuat klaster baru: Klaster Megamendung! Apakah “pemburuan” atas HRS berhenti sampai di sinikah? Tidak! Melalui tangan Walikota Bogor Bima Arya, HRS diburu ke RS Ummi di Kota Bogor saat HRS dirawat di sini. Dengan dalih ingin mengetahui hasil Swab HRS, Bima memaksa RS Ummi “transparan”. Ngototnya Walikota Bima Arya menuntut pemeriksaan ulang tes swab terhadap HRS sudah keterlaluan. Bima Arya bahkan rela mondar-mandir ke RS Ummi, untuk memaksa manajemen RS menuruti keinginannya. Tak hanya itu. Ia bahkan melaporkan RS Ummi ke polisi dengan tuduhan menghalang-halangi pemeriksaan dan pemberantasan Covid-19. Padahal Dirut RS Ummi, Andi Tatat, sudah mengumumkan, termasuk kepada media, bahwa hasil tes swab HRS negatif. Habib hanya kelelahan karena kegiatan bertubi-tubi usai kepulangannya dari Saudi. Hasil tes juga sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala ke arah Covid-19. Sejumlah UU tentang Rumah Sakit, UU Kesehatan, bahkan UU Keterbukaan Publik sudah mengatur soal ini dengan benderang. Intinya, melarang membuka informasi kesehatan pasien ke hadapan publik. “Jadi, kenapa Bima ngotot terus? Adakah tangan-tangan kekuasaan yang menekan dia? Atau, dia sedang menjalankan tugas untuk mengamankan jabatannya?” tukas Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi), Edy Mulyadi. Bahkan, Bima meminta HRS melakukan tes “swab ulang”. Menurut Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Anton Tabah, Bima Arya tidak memiliki hak untuk mendesak atau memaksa HRS melakukan tes Covid-19 untuk kedua kalinya. “Negara itu telah membagi habis tupoksi pada masing-masing lembaga supaya profesional, bertanggung jawab, pasti dan tepat. Soal kesehatan seperti swab itu tupoksi dokter, bukan tupoksi walikota,” ujar Anton Tabah, seperti dilansir RMOL.com, Sabtu (28/11/2020). UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU 29/2004 tentang Perlindungan Pasien, Anton menjelaskan sejumlah hak yang bisa didapat seseorang yang menjadi pasien. Ada hak kenyamanan, hak keamanan, hak keselamatan, hak atas informasi yang jelas, jujur mengenai kondisi pasien, hak didengar pendapat pilihan keluhan, hak mendapat advokasi, hak diperlakukan secara adil, benar dan tidak diskriminatif. Bahkan, Anton menyebutkan hak perlindungan pasien yang tercantum di dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. “Dalam pasal 52 (UU Praktik Kedokteran) lebih jelas lagi, antara lain hak tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter lain atau second opinion. Jadi, seandainya perlu swab ulang dari dokter lain itu harus permintaan pasien yang bersangkutan, bukan dari pihak lain.” Dalam konteks pemeriksaan Covid-19 HRS, Anton Tabah justru mengapresiasi sosok ulama tersebut. Karena, swab testnya dilakukan secara mandiri. “Dan kata Direktur Utama RS Ummi Bogor Andi Tatat, ‘dari hasil screning tim kami, HRS tak terkena Covid. Beliau dalam keadaan sehat walafiat, segar, hanya kelelahan’. Tegas Dirut tersebut,” ungkap Anton Tabah. Ketua Presidium MER-C dr. Sarbini Abdul Murad dalam rilisnya, Sabtu, 28 November 2020, menyebutkan, terkait dengan HRS yang mempercayakan kepada MER-C untuk melakukan pemeriksaan dan pengawalan kesehatan. MER-C mengirim beliau untuk beristirahat di RS. Tapi, mendapatkan perlakuan yang kurang beretika dan melanggar hak pasien dari Walikota Bogor yang melakukan intervensi terhadap tim medis yang sedang bekerja, sehingga menganggu pasien yang sedang beristirahat. “Selain itu Walikota juga tidak beretika dalam mempublikasi kondisi pasien kepada publik, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran dan keresahan bagi masyarakat,” kata dr. Sarbini Abdul Murad. Menurutnya, seharusnya Walikota Bogor itu mempercayakan hal ini kepada RS dan Tim Medis yang menangani karena tim medis mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dan tak perlu dilakukan untuk menangani pasien. Diuber Polisi Tampaknya polisi masih bersikeras mengejar HRS. Penegakan hukum ini dinilai tak adil dan terlihat politis, terkait pemanggilan HRS oleh Polda Metro Jaya dalam dugaan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19. Demikian dikatakan Direktur HRS Center Abdul Chair Ramadhan dalam pernyataan, seperti dikutip Suaranasional, Senin (30/11/2020). Abdul Chair menyebut, HRS telah membayar denda administratif Rp 50 juta sesuai dengan peraturan Pemprov DKI Jakarta. Menurut asas “nebis in idem”, maka seharusnya terhadap HRS tidak dapat dilakukan proses hukum. Maka, “Penyidikan lebih bermuatan politis ketimbang yuridis dan oleh karenanya cenderung dipaksakan,” jelas Abdul Chair. Penerapan hukum yang tidak berimbang ini adalah bentuk penyimpangan (deviasi) asas “equality before the law” dan “kepastian hukum yang adil” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Ia mengatakan, masuknya Pasal 160 KUHP dalam proses penyidikan Protokol Kesehatan – termasuk, tetapi tidak terbatas pada kerumunan – dengan Terlapor HRS sangat ganjil. Sebelumnya dalam tahap penyelidikan tidak ada pasal tersebut. “Penyidik dan/atau Penuntut Umum memiliki alasan untuk melakukan penahanan. Disebutkan demikian, oleh karena ancaman hukuman Pasal 160 KUHP selama enam tahun,” ujarnya. “Pasal 21 Ayat (4) huruf a KUHAP menyebutkan bahwa penahanan terhadap Tersangka atau Terdakwa dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,” jelasnya. Menurut Abdul Chair, terhadap HRS berpotensi dilakukan penahanan, ketika statusnya naik menjadi Tersangka dan/atau pada saat status Terdakwa. Ditegaskan kembali, tidak ada delik dalam PSBB dan Protokol Kesehatan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. “Sepanjang tidak ada pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan, maka Pasal 160 KUHP dan 216 KUHP telah kehilangan objeknya,” tegas Abdul Chair. Penulis wartawan senior FNN.co.id

Ini Penyebab Habib Rizieq Harus "Kabur" dari RS

by Asyari Usman Medan FNN - Senin (30/11). Sebenarnya, tidak keliru kalau para buzzer dan pembenci ulama mengolok-olok Habib Rizieq Syihab (HRS) dengan istilah “kabur” dari RS Ummi di Bogor. Bisa dimakulimi ejekan itu. Mengapa? Karena Habib memang harus "kabur" menghadapi situasi di sekeliling RS itu. Bahaya kalau beliau tidak segera "kabur". Siapa pun orangnya pasti akan memilih cara itu. Tidak mungkin situasi waktu itu dihadapi dengan cara biasa. Tidak mungkin dengan cara normal. Sebab, semua yang menunggu di depan RS Ummi bukan makhluk yang berpikiran normal. Makhluk-makhluk itu sama sekali tidak mungkin berperilaku normal. Jadi, setelah direnungkan, betul juga penyebutan “kabur” oleh para buzzer dan pembenci ulama itu. Tidak salah mereka mengejek Habib "kabur" meninggalkan RS Ummi. Kemudian, para buzzer dan pembenci ulama mengatakan “kabur dari pintu belakang” RS. Bermasalahkah atau tidak narasi yang diviralkan oleh para buzzer dan musuh ulama itu? Tampaknya tidak ada masalah. Sebab, tak mungkin dari depan. Bahaya sekali. Terus, menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “kabur” itu antara lain diartikan “berlari cepat-cepat” atau “melarikan diri”. HRS memang harus berlari cepat-cepat. Dan juga harus segera melarikan diri dari lokasi. Kalau tidak, bakal terjadilah peristiwa yang sangat fatal. Okey. Mungkin Anda akan mengatakan, sudah cukuplah penjelasan Ente. Sekarang, tolong terangkan mengapa Ente bilang wajar saja Habib kabur dari RS. Tentang mengapa tidak masalah kalau para buzzer dan pembenci ulama mengunakan istilah “kabur” untuk proses kepulangan Habib dari RS, begini uraiannya. Habib terpaksa kabur karena beliau melihat di luar RS banyak sekali anjing galak. Ukuran besar-besar semua. Tegap dan kekar. Ada jenis pitbull terrier, German Shepherd, dan ada Belgian Malinois. Kemudian ada jenis Bloodhound, Dutch Shepherd, dlsb. Semua anjing-ajing galak yang menunggu di luar RS itu sangat terlatih untuk mencederai Habib. Anjing-anjing buas itu dikerahkan ke lokasi hanya untuk mengeroyok Habib. Jadi, masuk akal ‘kan Habib terpaksa "kabur" dari RS. Cuma, Habib ternyata tak bisa kabur dari anjing-anjing yang khusus dilatih untuk membenci, menghina, dan mengolok-olok ulama. Mereka ditugaskan untuk menggonggong di dunia maya. Mereka dilatih untuk mengubah narasi kepulangan Habib dari RS “dengan kemauan sendiri” menjadi “kabur”. Begitulah dahsyatnya anjing-anjing yang dilatih dan diberi makan oleh tuan-tuan mereka.[] (Penulis bukan orang FPI)

Habib Rizieq Shihab Lebih Menakutkan Dari Covid-19

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (30/11). Bagi Presiden Jokowi, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) tampaknya jauh lebih menakutkan dibanding Covid-19. Sejauh ini, korban yang terpapar Covid-19 sudah melampaui angka 500 ribu orang. Meninggal dunia di atas angka 16 ribu. Belum ada satupun pejabat yang dipecat. Menteri Kesehatan Terawan juga bisa dengan anteng duduk di jabatannya. Padahal ucapan maupun kebijakannya, berkali-kali blunder. Sebaliknya, hanya beberapa hari setelah HRS kembali ke Indonesia, dua pejabat tinggi kepolisian dipecat. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sujana, dan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudi Sufahriadi dicopot dari jabatannya. Mereka dinilai gagal mencegah adanya kerumunan massa. Sejumlah perwira menengah Polri pada posisi Kapolres juga dirotasi. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tengah malam mengumpulkan para panglima dan komandan pasukan tempur. Menggelar press breifing, nyampaikan ancaman untuk kelompok-kelopok yang memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Tak hanya berhenti sampai disitu. Panglima TNI melakukan sidak ke markas Pasukan Khusus dari ketiga angkatan TNI. Semacam show of force kepada musuh negara. Rombongan kendaraan taktis Pasukan Komando Operasi Khusus (Koopsus), tiba-tiba berhenti tak jauh dari pintu masuk markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman bertindak cepat. Memerintahkan prajurit Kodam Jaya mencopoti baliho ucapan selamat datang HRS. Dia tak mau ketiban apes dicopot seperti koleganya di kepolisian. Sejauh ini jabatan Dudung aman. Dia dinilai berani pasang badan. Termasuk soal wacana pembubaran FPI. Tak kalah sigap, Mendagri Tito Karnavian segera menerbitkan instruksi (Inmen). Para kepala daerah, mulai Gubernur sampai Bupati dan Walikota bisa dicopot dari jabatannya bila tidak menegakkan protokol Kesehatan dan penanggulangan Covid. Gubernur DKI Anies Baswedan dipanggil polisi, untuk klarifikasi akibat kerumunan massa yang sangat besar pada acara Maulid Nabi, dan pernikahan putri HRS. Gubernur Jabar Ridwan Kamil juga dipanggil polisi. Dia diklarifikasi adanya kerumunan pada acara Maulid Nabi di pesantren milik HRS, di kawasan Mega Mendung, Bogor. Semua instansi pemerintah tiba-tiba bergerak sangat sigap. Seolah adu unjuk kerja ke Jokowi. Sampai-sampai Walikota Bogor Bima Arya Sugianto bertindak over-acting. Mengancam dan melaporkan rumah sakit UMMI tempat HRS dirawat dan menjalani swab. Paling ditakuti Berbagai kehebohan itu menunjukkan betapa besarnya pengaruh HRS. Tidak berlebihan bila wartawan asing John McBeth menulis sebuah artikel di laman Asiatime dengan judul yang sangat provokatif. “The Islamic Cleric Who Widodo Fears the Most.” Ulama yang paling ditakuti oleh Presiden Jokowi! Belum pernah dalam 9 bulan terakhir masa pandemi, pemerintah mengerahkan begitu besar sumber dayanya. Mulai dari TNI, Polri, kementerian dalam negeri, dan berbagai sumber daya lain yang tidak kasat mata. Pesan yang sampai ke publik, justru pemerintah seperti kebingungan menghadapi pandemi. Ada perasaan mendua yang bercampur. Mixed Felling. Antara mengutamakan kesehatan, atau mempertahankan ekonomi.Aspek kesehatan seperti kita sudah saksikan dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Pada kasus HRS, instruksi Jokowi sangat tegas dan jelas. Mulai dari Kapolri, Panglima TNI, sampai Mendagri harus bertindak tegas. Bersatu padu menghadapi HRS. Penanggulangan dan penegakkan protokol kesehatan jadi argumen. Skenario yang disiapkan sangat jelas dan terbuka. Penolakan HRS untuk membuka hasil swab di RS UMMI menjadi pintu masuk. Menko Polhukam Mahfud MD bahkan sampai harus menggelar konperensi pers bersama Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo dan pejabat dari Depkes. Secara tegas Mahfud menyebut ada ketentuan pidana yang bisa diterapkan bila HRS menolak bekerja sama. Bersamaan dengan itu polisi juga telah melayangkan surat panggilan. HRS akan diperiksa Polda Metro Jaya Selasa (01/12) berkaitan dengan kerumunan massa di Petamburan. Dalam surat panggilan disebutkan soal adanya dugaan tindak pidana penghasutan, dan menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Melihat besarnya penyambutan HRS di Bandara, kali ini pemerintah pasti tidak ingin kembali kecolongan. Para pejabat Polri dan TNI tak mau lagi kehilangan jabatan. Pemeriksaan HRS oleh Polda diperkirakan akan menarik bagi para pendukungnya untuk memberi dukungan. Semua pasti sudah diantisipasi. End. Penulis warrawa senior FNN.co.id

Prabowo Undercover

by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (29/11). Wuih, ada buku barukah? Hehe. Bukan, kawan. Jangan buru-buru menyangka ada sesuatu yang akan menggemparkan Indonesia. Tapi, melihat dan membaca judul tulisan ini bisa dipahami kalau Anda teringat Bambang Tri Mulyono (BTM), penulis buku “Jokowi Undercover”. Wajar sekali kalau Anda langsung ingat Bambang Tri. Dia menulis buku yang sangat menghebohkan jagad Nusantara, terutama elit politik, sekitar empat tahun lalu. Bambang mendekam di penjara gara-gara buku yang diterbitkan akhir 2016 itu. Buku ini divonis penuh fitnah, dusta, hoax dan penghinaan terhadap Jokowi. Karena isinya panas, buku Jokowi Undercover dikejar dan ditumpas sampai akhirnya hilang dari peredaran. Sekali lagi, “Prabowo Undercover” bukan buku baru. Dan tak ada kaitannya dengan data atau informasi rahasia (undercover) tentang Prabowo. Tempo hari, Bambang Tri memang menuliskan bahan-bahan tentang Jokowi yang dia istilahkan “undercover” (rahasia alias confidential). Judul tulisan kali ini hanya ingin menggambarkan situasi yang sedang dihadapi oleh Prabowo Subianto (PS) menyusul OTT Edhy Prabowo (EP) –yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Jadi, kita tidak sedang membahas buku panas. Bukan juga pembeberan rahasia Pak PS. Dan tak ada pula maksud untuk memancing kehebohan. Ok. Kalau bukan buku baru, apa itu gerangan Prabowo Undercover? Apa maksudnya? Prabowo Undercover saya artikan dalam konteks yang ringan-ringan saja. Terkait dengan sutuasi politik terkini. Khususnya, situasi pasca-penangkapan Edhy –si kader Golden Boy. Pertama, Prabowo Undercover saya maksudkan bahwa Prabowo sedang “tersungkup”. Kalau ditulis agak ‘nyeleneh’, maka kata “undercover” itu bisa saja dikatakan bentuk singkat dari “under the cover”. Yang arti harfiahnya adalah: “di bawah sungkup”. Kalau begitu, apa yang sedang menyungkup Prabowo? Bisa macam-macam. Saat ini Prabowo sedang tersungkup oleh awan gelap akibat kasus korupsi Edhy. Karena tertutup awan gelap, jarak pandang Prabowo ke depan menjadi pendek. Sebagai contoh, beliau agak kesulitan melihat Pilpres 2024. Karena terlindung awan gelap. Nah, jarak pandang yang pendek tentu sangat berbahaya. Di dunia penerbangan, para pilot memerlukan kelihaian tingkat dewa untuk bisa mendarat dengan selamat kalau jarak pandangnya pendek. Itu pengertian “undercover” yang pertama. Kedua, Prabowo Undercover adalah situasi yang membuat dia “terkepung”. Sedang “dikepung” oleh orang-orang dari faksi pragmatis “mumpungisme” (ajaran mumpung) di lingkungan Gerindra. Mereka adalah tikus-tikus di sekitar Prabowo. Tikusnya banyak. Orang-orang ‘mumpungisme’ inilah yang menjadi awan mendung yang akan menggiring Prabowo dan Gerindra masuk ke comberan politik. Inilah makna kedua Prabowo Undercover. Prabowo yang terkepung oleh para politisi kemaruk dan rakus di Gerindra. Ketiga, Probowo Undercover dalam makna yang sangat singkat. Artinya, Prabowo di bawah perlindungan (undercover). Tidak ada elaborasi. Terserah pemahaman Anda masing-masing. Pokoknya, beliau itu “di bawah perlindungan”. Perlindungan siapa? Silakan diolah sendiri. Sebagai penutup, tidak perlulah Anda mengungkap info rahasia (undercover) tentang Pak Prabowo. Tetapi, kalau ada diantara Anda yang berminat menulis buku “Prabowo Undercover” sungguhan, sebagaimana dulu Bambang Tri menerbitkan “Jokowi Undercover”, tentu boleh-boleh saja. Kita lihat nanti apakah aparat penegak hukum akan memberangus buku itu dan memenjarakan penulisnya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Walikota Bogor Realisasikan Dendam Kesumat Terhadap Habib Rizieq

by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (29/11). Dalam dua hari ini, Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto kasak-kusuk mendatangi RS Ummi Bogor. Dia kejar betul apa yang terjadi dengan Habib Rizieq Syihab (HRS) yang dirawat di situ. Bima fokus sekali mengurus perawatan HRS di RS swasta itu. Dia ingin memastikan apakah HRS positif Covid atau tidak. Bahkan, ada kesan bahwa dia tidak hanya ingin memastikan positif atau tidak. Kelihatannya lebih dari itu. Cara dia mencecar kondisi Habib itu menunjukkan seakan dia ingin sekali agar Imam Besar itu positif Covid. Luar biasa sekali Bima Arya. RS Ummi sudah menjelaskan bahwa Habib cuma kepenatan. Terlalu capek. Kata pihak RS, dari pemantauan yang dilakukan belum ada pertanda kondisi HRS mengarah ke positif Covid-19. Habib telah diperika tim dari Mer-C. Beliau tidak dinyatakan positif Corona. Tapi, Bima Arya kelihatan tak percaya. Dia minta agar tes swab HRS diulang. Tidak hanya HRS, dia juga minta agar keluarga Habib pun dites ulang. Mungkin saja ada kekeliruan soal pelaksanaan tes swab itu. Tim dari Mer-C mendatangi Habib di RS Ummi. Tapi, tidaklah perlu sekali Bima Arya mengejar-ngejar sampai menimbulkan kehebohan. Terkesan dia ingin sekali memaparkan semuanya tentang HRS yang dirawat di RS Ummi. Kehadiran tim medis Mer-C ke RS Ummi untuk menangani HRS menjadi persoalan besar bagi Bima. Memang ada kesalahan kecil. Sebaiknya pemeriksaan Habib oleh tim luar melibatkan Dinkes setempat karena yang dilakukan adalah tes swab. Tapi, tidaklah mungkin tim Mer-C yang selalu profesional itu akan melakukan pelanggaran berat. Artinya, kedatangan tim itu tidak perlu diperlakukan sebagai kesalahan fatal. Tentu ada alasan kuat HRS meminta pemeriksaan dilakukan tim medis dari luar. Betul, ada isu prosedural. Tapi, bukan sesuatu yang tak bisa dikompromikan. Kalau dilihat cara Bima ‘memainkan’ soal keberadaan Habib di RS Ummi, pantas diduga bahwa dia sedang melaksanakan ‘penugasan khusus’ dari para penguasa yang lebih tinggi. Hampir pasti ada tekanan dan kontrol dari atas agar HRS segera diumumkan positif Covid. Habib sendiri tidak ingin hasil tes swabnya diumumkan ke publik. Tidak ada masalah dengan sikap itu. Tidak ada kewajiban seorang pasien mengumumkan hasil tes Covid. Tapi, Bima Arya menekan lebih keras. Sekarang dia, melalui Satgas Covid-19 Bogor, melaporkan RS Ummi ke Kepolisian. Dengan tuduhan menghalang-halangi prosedur penanganan Covid terhadap HRS. Saking bersemangatnya Bima menjalankan tugas, sampai-sampai dia sendiri yang terjun mengurusi HRS, siang-malam. Dia tidak mendelegasikan tugas investigasi kepada bawahan seniornya. Entah hadiah apa yang sedang diperjuangkan Pak Wali. Kalau bukan ingin merebut hadiah, maka satu-satunya dugaan lain adalah bahwa Pak Wali sedang merealisasikan dendam kesumat terhadap Habib Rizieq Syihab. Hanya ada dua kemungkinan: hadiah atau dendam kesumat. Bisa juga kedua-duanya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)