POLITIK

Oligarki Cukongi Capres Demokratis (Bagian-2)

by Dr. Margarito Kamis SH. M.hum Ternate FNN - Pada masa John Tyler naik menjadi Presiden inilah Amerika memiliki Bank Charter Act 1844. UU ini diidentifikasi Thomas Tookeim, sebagai pioner lender of the last resort. Uniknya, keadaan keuangan tak juga kunjung membaik. Tahun 1857 terjadi lagi krisis keuangan besar. Utara-Selatan memanas oleh isu slavery. Situasi itu diidentifikasi Coleman, sejarahwan top ini sebagai ciptaan oligarki. Dengan mitra Inggrisnya, oligarki ini merancang perang saudara, Utara-Selatan di Amerika. Pilpres pun tiba. Partai Republik menemukan Abraham Lincoln sebagai salah satu kandidatnya. Lincoln menang pilpres, dan menemukan kenyataan, perang memerlukan uang. Sementara kas negara defisit besar-besaran. William P. Chase, kandidat republik yang gagal, diangkat Lincoln menjadi Menteri Keuangan . Kelak Chase juga dinominasikan Lincoln menjadi Ketua Mahkamah Agung. Dikenal sebagai banker dimasa lalu, Chase diperintah Lincoln mengekstensifikasi pajak. Tetapi Chase bergerak ke arah lain, meminjam uang dari bank-bank. Sayang tidak tercapai. Mimpi oligarki segera terealisasi. Pada tahun 1862 Lincoln membutuhkan tanda tangannya untuk Banking Act. Disusul setahun kemudian dengan National Banking Act 1863. Terlembagakanlah prinsip bank sentral. Pada tahun 1863 ini J.P Morgan telah memainkan peran menentukan, mengusahakan pengakuan korporasi berbentuk “trust” sebagai subyek hukum. Tahun 1873 terjadi lagi kepanikan keuangan. Dikenal dengan Black Friday Panic. Berhentikah sampai di situ? Tahun 1890 krisis keuangan terjadi lagi. Krisis terakhir ini mendekatkan Mark Hannah, salah satu financial oligarchy mendekat ke William McKinley. Setelah menjalin persahatan yang hangat, McKinley menjadi Capres tahun 1896 dari Partai Republik. Pilpres ini benar-benar menjadi pilpres pertama para oligarki keuangan mencukongi capres. Berada di barisan Hannah adalah Andrew Carnige, Henry Clay Frick, Philander Knox, George Pulman, Philipe Aermour (orangnya J.P Morgan), termasuk dari Standar Oil yang menjadi holdingnya Rockefeller. Mereka membiayai McKinley. Total uang cukong-cukong ini ke McKinley sebesar U$ 3,5 juta. Jauh lebih besar dari William Jenning Bryan, capres dari Partai Demokrat, yang hanya punya uang sebesar U$ 400 ribu dolar. Pola penciptaan kepanikan terus digunakan. Tahun 1907 terjadi lagi krisis keuangan. Cukong-cukong ini beraksi perlahan-lahan. Pilpres tahun 1908 dibiarkan dimenangkan oleh William Howatrd Taft, Profesor Tata Negara. Dikenal sanga anti dengan yang namanya Bank sentral. Tetapi Howatrd Taft tidak dapat berkelit dari rencana kelompok ini. Presiden Taft harus membubuhkan tanda tangannya pada National Currency Act 1908. Undang-undang ini memerintahkan Taft membentuk National Currency Commitee. Komita ini dipimpin oleh John Aldrcih, Senator Republik, bersama Paul Warburg dan lainnya, Komite ini dibiayai negara melakukan studi ke Bank sentral di Eropa. Eugene Mullin dalam bukunya Secret The Federal Reserve, menulis kembali dari Eropa, mereka tak melapor ke pemerintah. Mereka malah ke Jackyl Island. Nah, di Jackyl Island inilah mereka menyiapkan deteil langkah pembentukan The Federal Reserve Bank. Ini dikenal dengan Aldrich Plan. Memasuki pilpres tahun 1912, Theodore Rosevelt, mantan presiden digalang mengikuti konvensi Partai Republik, melawan Presiden Howatrd Taft. Tedy Rosevelt kalah. Tetapi dia tetap didorong maju dengan partai progresif. Praktis Partai Republik punya dua kandidat ketika itu. Sementara Kelompok Wall Street (Bursa Saham New York) ini menyiapkan Woodrow Wilson melalui Partai Demokrat. Mereka membiayai Wilson. Kenyataannya Wilson menang pilpres. Tindakan otoritatif pertama Wilson adalah menandatangani The Federal Reserve. Top markotop Wilson. Setelah Wilson masuk White Hose, keadaan ekonomi tidak juga membaik. Lalu perang dunia pertama pun tiba. Oligarki menarik Amerika masuk dalam perang ini. Dalam pemerintahan Wilson, Paul Warburg diangkat jadi direktur Board of War Industry. Board inilah yang dikenal sebagai executive agency. Efek ekonomi dari perang harus ditangani presiden demi persiden sesudah itu hingga pilpres 1928. Menarik, Anthony Sutton, sejarawan Inggris ini menemukan besaran uang cukong oligarki ini pada pemilu 1928 untuk Herbert Hoover. Sutton menulis, Melon Family (Melon National Bank) sebesar U$ 50.000. Rockefeler family (standar oil) sebesar U$ 50.000. Guggenheim Family (Copper Smelting) sebesar U$ 75.000. Eugene Meyer (Federal Reserve Bank) sebesar U$ 25.000. William Nelson Cromwel (Wall Street Attorney) sebesar U$ 25.000. Otto Khan (Equitable Trust Company) U$ 25.000. Mortimur Schif (Banker) sebesar $25.000. Total dana yang dikumpulkan para oligarki untuk Hoover U$ 275. 000. Kesal dengan Hoover, yang dianggap terlalu lambat, kelompok ini mengubah haluannya. Mereka mengalihkan dukungannya ke FDR pada pemilu 1933. Sutton menulis, Herbert Lehman and Lehman Brothers memberi uang kepada FDR sebesar U$ 135.000 Jacob J Roscob dari (Dupont and General Motor) sebesar U$ 110.000. Thomas S. Riyan (Presiden Bankers & Mortage Corp. Huston ) sebesar U$ 75.000. Harry P. Whitney (Garanty Trust) sebesar U$ 50.000. Piere S. Dupont (Dupont Company, General Motor) sebesar U$ 50.000. Bernard Baruch (Brodway) U$ 37.590. Robert Sterling Clark (Singgre Sewing Machine Co) sebesar U$ 35.000. John D. Riyan (National City Bank) U$ 27.000. William H. Woodin (General Motor) sebesar U$ 25.000. Itulah sekelumit wajah oligarki pada pilpres yang dibilang demokratis itu. Pilpres demokratis terlihat jelas sebagai wajah asli mainan oligarki. Itu sebabnya tampilan tata negara Amerika pada periode ini disebut sebagai state corporatism. Seluruh kepentingan, tidak hanya perbankan, tetapi korporasi terakomodasi penuh pada pemerintahan Franklin Delano Roseveltr (FDR). Menariknya demokrasi memungkinkan FDR berkelit dengan pernyataan “Welfare constitution” berdampingan dengan “social constitution citizenship” pada pemerintahannya. Sebagian ahli hukum tata negara malah menyebut periode FDR sebagai peralihan radikal dari classical liberalism ke modern liberalism, nama lain dari “welfare state”. Itulah canggihnya cukong-cukong oligarkis bekerja di pilpres yang demokratis tersebut. Sayang sekali, demokrasi Indonesia tidak mencatat besaran uang yang digunakan oligarki dalam pilpres dan pilkada. Malah tak boleh dibicarakan. Sial, demokrasi menyediakan tempat terhpormat untuk segala kepicikan, keculasan, ketamakan dan kebusukan. (habis). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Moeldoko Sebaiknya Menyerahlah !

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Prahara Patia Demokrat merupakan pengejawantahan dari kekuasaan yang korup "corrupt absolutely". Korupsi yang bukan disebabkan oleh kekurangan. Tetapi berbasis keserakahan. Keserakahan politik dari Istana. Semua parpol mesti dikuasai dan di bawah kendali istana. Istana secara standar membantah keterlibatan dalam prahara Partai Demokrat. Apalagi sampai menjadi pengatur agenda segala. Itu urusan internal partai, katanya. Namun publik menganggap hal itu adalah cara instana ngeles politik. Rasanya tidak mungkin Moeldoko bermain sembunyi-sembunyi karena sebagai seorang prajurit ia biasa menjalankan perintah. Moeldoko tidak sedang berkator di Ambon Maluku, Papua, Balipapan Kalimantan Timur atau Medan Sumatera Utara. Namun Moeldoko itu bernator di dalam pagar dan halaman istana negara. Sementara istana negara menjadi simbol dan kebesaran Presiden Jokowi melaksanakan tugas-tugas kenegaraan sehari-hari. Jarak kantor Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) hanya sekitar 100-200 meter dari kantor presiden. Bantahan dari istana muncul setelah kontelasi politik agak berbalik. Misi kudeta yang nyaris gagal. Moeldoko bukan hanya berhadapan dengan anak-bapak Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) saja. Tetapi Moeldoko dan istana juga berhadapan dengan opini publik yang mengecam pembegalan politik dan perampokan politik yang dilakukan Moeldoko. Kenyataan ini diperkuat oleh peristiwa sebelumnya, dimana Ketum Partai Demokrat AHY pernah membuat surat kepada Presiden Jokowi untuk mempertanyakan gerakan Moeldoko yang terendus. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa. Hingga kini Moeldoko pun belum mendapat teguran apalagi dipecat. Istana diduga kuat sangat tahu langkah pembegalan dan perampokan politik yang dilakukan Moeldoko terhadap Partai Demokrat. Hanya apakah Mooldoko juga sebagai inisiator atau bukan? Itu persoalan lain. Namun orang kuat di belakang Moeldoko tentu saja "inner circle" Istana. Mereka adalah kelompok oligarkhis yang bermain di ruang intelijen dengan semangat pecah belah dan kuasai. Para taipan adalah elemen strategis yang siap "all out" untuk membiayai gerakan ini. Hanya saja indikasi kesuksesan Moeldoko dan inner circle istana mulai terganggu karena rakyat ikut berteriak. Akibatnya, dana yang sebelumnya telah dijanjikan oleh para taipan busuk, licik, picik dan rakus seret keluar. Terbukti peserta Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara menjerit atas ingkar janji pembayaran. Peserta yang semula dijanjikan Rp. 100 juta, hanya bisa diberikan Rp. 10 juta setiap delegasi. Moeldoko hanya alat permainan yang nampaknya juga senang berjudi politik. Berharap menang juga, siapa tahu hoki, bisa ikut nyapres. Tawaran kepada Jenderal Gatot yang terkuak menunjukkan gerakan kudeta memiliki misi dan perencana. Masif dan terstruktur. Perubahan kepemimpinan 2024 adalah keniscayaan. Taipan tetap ingin berkuasa untuk Presiden ke depan itu Petruk atau Gareng? Single Party System adalah canangan untuk membangun model pemerintahan Orde Lama (Orla) yang ditentang oleh rakyat Indonesia. Keinginan untuk menerapkan demokrasi terpimpin, penghancuran kekuatan agama, bersahabat dengan Cina Komunis, serta pengendalian Partai Politik. Dahulu dibentuk Front Nasional berbasis Nasakom dukungan PKI, kini "Koalisi Nasional", dengan partai-partai politik yang satu arah sebagai mendukung Pemerintahan Jokowi. Disini obsesi seperti inilah, makna bahwa Partai Demokrat harus dilumpuhkan bahkan direbut. Seperti peristiwa G 30 S PKI, percobaan kudeta melalui KLB abal-abal nampak dibayang-bayang kegagalan. SBY mengambil alih perlawanan perang dan melakukan counter attack. Istana mulai blingsatan. Pasukan Moeldoko kocar-kacir, petinggi mulai membelot, prajurit teriak mengaku dibayar, tetapi takut dipecat. Moeldoko mulai diam, dan tak mampu bermanuver. Publik tetap keras ikut mendesak Presiden untuk mencopot Moeldoko dari KSP, agar ada efek jera. Jangan lagi ada model gerakan pembegalan dan perampokan politik yang memalukan bangsa dan negara seperti ini. Sangat jijik dan primitif untuk dilakukan oleh seorang mantan Panglima TNI. Jelas-jelas mempermalukan institusi TNI yang pernah membesarkannya. Apalagi TNI sangat menjunjung tinggi etika dan menghormati sportivitas dalam berdemokrasi. Jika partai politik bisa dibegal, ormas dibubarkan, tokoh politik dipenjarakan, maka lampu merah untuk demokrasi telah menyala. Demokrasi Terpimpin mulai merayap dan menguat. Moeldoko tentu semakin berat, harapan sukses menipis. Gerak gerik terpantau dan mudah untuk dihajar lawan. Daripada babak belur tak keruan, sebaiknya Moeldoko give up, menyerahlah...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pelajaran dari Kemelut Partai Demokrat

by Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, maka Gubernur Mesir yang dipimpin Amr bin Ash menempati sebuah istana yang megah. Ironisnya, persis di depannya terdapat sebuah gubuk reyot yang dimiliki oleh seorang lelaki tua dan beragama Yahudi. Karena itu, dengan kekuasaannya sebagai Gubernur, Amr bin Ash berniat menggusur gubuk tersebut dan rencananya akan dibangun sebuah masjid agar sebanding dengan istananya. Namun pemilik lahan menolak digusur. Sekalipun lahan tersebut telah diganti dengan harga 5 kali lipat. Sebagai penguasa Amr bin Ash, akhirnya secara sepihak menggusur gubuk tersebut. Tidak menerima putusan dan merasa dirugikan, membuat dirinya memutuskan untuk mengadu ke Khalifah Umar bin Khattab di Madinah, meski dengan perjalanan dan waktu yang panjang untuk mencapainya. Ketika sampai di Madinah, lelaki Yahudi ini sedikit ketakutan karena wibawa khalifah Umar. Dirinya menceritakan betapa berat waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan untuk membangun dan memiliki rumah meski bentuknya sekedar gubuk. Namun karena bertahan tidak dijual, maka gubugnya digusur oleh Gubernur. Amr bin Ash. Mendengar keluhan ini, Umar bin Khattab marah dan meminta lelaki tua itu untuk mengambil tulang bekas dan huruf alif di tengah-tengahnya. Dan meminta kepada lelaki tua untuk menyerahkan kepada Amr bin Ash. Sesampainya di Mesir, dirinya bertemu dengan Gubernur Amir Bin Ash dan langsung menyampaikan tulang yang berasal dari Umar bin Khattab. Begitu menerima tulang tersebut, Gubernur Mesir terkejut dan langsung meminta stafnya untuk merobohkan masjid yang sudah hampir berdiri. Hanya saja lelaki tua ini mencegahnya dan bertanya kepada Amir bin Ash “Sebentar tuan, mengapa engkau ingin merobohkan masjid itu gara-gara sepotong tulang" Gubernur Amir bin Ash menjawab “tulang ini merupakan surat dari Khalifah Umar yang mengingatkan agar aku selalu ingat bahwa betapa pun tingginya pangkat dan kekuasaan, suatu saat nanti pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindak adillah kepada setiap orang seperti huruf alif yang lurus, Sebab, jika engkau tidak bertindak lurus, maka kutebas dan kupalang batang lehermu di tengah-tengah badanmu” Kudeta Partai Demokrat Cerita di atas menunjukkan betapa pentingnya seorang pemimpin mendengar keluhan atau masalah rakyatnya. Terlebih jika masalah yang ada terkait dengan kelangsungan kehidupan. Pengambilan hak seseorang, sekalipun untuk kepentingan umum dan pembangunan jelas melanggar dan merugikan aturan yang ada. Dan di negara Indonesia, kebiasaan melanggar ketentuan dan bahkan aturan yang ditetapkan, acapkali sudah menjadi kebiasaan di lingkungan pemerintah. Tradisi ini juga dapat terlihat dari kasus pengambilalihan kepemimpinan di Partai Demokrat melalui KLB yang diselenggarakan di Deli Serdang tanggal 5 Maret 2021. Banyak pihak menilai bahwa KLB ini sebagai anomali politik di tengah demokrasi. Selain dipandang sangat kurang lazim mengingat penyelenggaraannya jelas tidak bersandar pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Termasuk juga melibatkan pihak luar (pejabat negara) yang akhirnya didaulat sebagai ketua umum. Sementara pada sisi lain, kubu Moeldoko menyatakan bahwa Konggres Luar Biasa (KLB) adalah sah dan konstitusional. Bahkan menyebut kubu AHY adalah cacat karena posisi Ketua Umum yang memiliki kekuasaan penuh sebagai alasannya. Sementara keberadaan pengurus yang lain seperti Sekjen tak lebih hanya bendera (pembantu). Lebih jauh, kubu Moeldoko juga menyebut bahwa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai juga sangat berlebihan karena memiliki kekuasaan yang menentukan calon Ketua Umum dan waktu pelaksanaan konggres maupun konggres luar biasa. Terlepas dari alasan yang disampaikan oleh penyelenggara KLB di Deli Serdang, yang jelas menunjukkan bahwa apa yang dilakukan dilandasi oleh niat dan kepentingan buruk dan sulit diterima. Bukan saja menyalahi ketentuan yang tertuang dalam AD/ART Partai, melainkan juga ada unsur politik di baliknya yaitu mengambil alih partai untuk memperkuat kekuasaan. Karena itu, wajar saja, jika AHY (Ketua Umum Demokrat) menyebut bahwa KLB ini adalah illegal karena tidak disetujui, didukung dan dihadiri dua per tiga dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan setengah dari jumlah Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Peristiwa KLB Partai Demokrat memang ditengarai untuk memecah partai dengan membelah kekuatannya menjadi dua. Dimana pemerintah selaku penguasa yang kelak memutuskan siapa yang dianggap sah. Sehingga dapat mempengaruhi integritas dan kekuatan partai di masyarakat pemilihnya. Bisa jadi kondisi keterbelahan ini akan dibiarkan dan akhirnya berpengaruh terhadap eksistensi partai hingga pemilu 2024. Mengingat pola politik kekuasaan yang membelah partai sudah lazim di Indonesia. Meski sesungguhnya praktek semacam ini dipandang menjadi bencana besar dalam demokrasi akibat cara berpolitik yang tidak sehat. Karena itu, tuntutan kepada pemerintah agar bertindak jujur dan adil serta tidak memihak menjadi penting dalam penyelesaian partai Demokrat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam menangani kasus penggusuran lahan milik orang Yahudi oleh Gubernur Mesir kala itu. Jika tidak, tragis sekali demokrasi Indonesia. Penulis adalah peneliti LP3ES

Oligarki Cukongi Capres Produk Demokratis (Bagian-1)

by Dr. Margarito Kamis SH. M.hum Ternate FNN- Didunianya, para oligarkis mungkin tertawa terbahak-bahak dengan ekspresi merendahkan setiap kali mendengar orang-orang bicara capres ini dan capres itu. Capres ini tinggi elektabilitasnya, dan capres itu rendah elektabilitasnya, boleh jadi merupakan lelucon paling murah untuk kalangan ini. Boleh jadi itu mainan oligarki juga. Sebagai cukong capres ini, oligarki memang memiliki alasan untuk menertawakannya. Tidak ada capres yang bisa keliling negerinya begitu saja. Pakai pesawat dan mobil, itu semua pake duit besar. Tidak bisa pakai daun cengkeh.Pemilihan walikota di daerah yang luasnya tidak lebih dari 45 Km, sekelas Kota Ternate saja harus pakai duit. Bagaimana mungkin keliling satu negara sebesar Amerika, apalagi Indonesia tidak pakai duit? Tak masuk akal. Selalu indah bagi filosof, yang suka merintih meminta ini dan itu atau harus begini dan begitu menurut timbangan etis. Tidak salah. Tetapi kenyataan terus bergerak menyangkalnya. Disana-sini disetiap sudut kenyataan tersedia begitu banyak argumen, yang dalam kenyataannya tidak selalu mampu disangggah. Uang kaum oligarkis telah bicara sejak pertama kali di demokrasi dipraktekan direpublik Romawi. Itu sebabnya Aristoteles, filosof kawakan melihat demokrasi sebagai barang busuk. Sama busuknya dengan tirani dan oligarki. Membeli suara, itu praktek pemilihan demokratyis Republik Romawi. Itu ditakutkan Cicero, dan menjadi sebab Cicero menemui Vigulus, senator, memintanya memprakarsai pembuatan UU yang melarang praktek ini. Vigulus menyambutnya. Terbentuklah Lex Vigula, lex yang menggunakan namanya. Berabad-abad kemudian oligarki muncul dengan suara yang sama, tetapi berbeda tampilannya di Inggris. Praktek Inggris ini terlihat menjadi pola standar oligarki mengarahkan pemerintahan. Polanya? Ciptakan krisis politik atau ekonomi, lalu kendalikan pemerintahan demi pemerintahan sesudahnya. Pertentangan bercorak agama antara Raja Charles II dengan Parlemen benar-benar melelahkan Inggris. Itu dimanfaatkan, dalam makna diperparah kaum oligarki ini. Hasilnya, raja Charles II tersingkir dari tahtanya. Bahkan harus meninggalkan Inggris. Inilah Glorius Revolution 1688. Tahu tahta kerajaan kosong, Parlemen meminta William, suaminya Marry, sepupu raja Charles, yang bermukim di Belanda kembali ke Inggris untuk dinobatkan. Begitu tiba di Inggris, keduanya menemukan kenyataan kas kerajaan minus, untuk tak mengatakan tak ada. Oligarki yang mengetahui keadaan ini, muncul bak pahlawan. Mereka menyediakan uang untuk dipinjam oleh kerajaan. Seperti biasa, mereka menyertakan satu syarat kecil. Syaratnya, parlemen memberi mereka hak menampung pendapatan dari bea. Walau ada yang tak setuju, namun kenyataannya tahun 1694 Parlemen membuat UU. Dikenal dengan Duane Act 1694. Ini cikal bakal Bank of England. Kelak setelah Amschel Meiyer Roschild naik ke gelanggang dunia keuangan, dia dengan caranya berhasil mengonsolidasi Bank of England sebagai British Central Bank. Dikontrol sepenuhnya oleh dia. Ini terjadi tahun 1815, seiring berakhirnya perang Waterloo. Itu cara Inggris. Bagaimana Amerika, negeri pengeksport demokrasi yang diarsiteki oleh Presiden Wodrow Wilson itu? Tidak ada data kongkrit yang menunjukan praktek ini beroperasi sejak George Washington. Sama sekali tidak ada data itu. Mari melihat sisi tak langsungnya pada periode pertama Amerika setelah berubah dari Konfederasi ke Serikat. Alexander Hamilton, menteri keuangan sekaligus arsitek doktrin “implied power” presiden, yang jadi rujukan ilmuan tata negara, untuk beberapa alasan terlihat sebagai bagian dari oligarki. Hamilton dikenal sebagai pendiri Bank of New York 1784. Pria dengan pengetahuan teknis perbankan yang hanya bisa disaingi Robert Morris, pemimpin Bank of Nort Amerika, menjadi figur sentral dalam urusan ini. Setelah Morris terlempar dari pilihan Washington, karena alasan politik, Hamilton diambil Washington jadi Menkeu pada Februari 1790. Diakui Marta Washington (istri George Washington) sebagai pria yang punya hubungan sangat dekat dengan suaminya. Tak salah pilih, Hamilton segera merealisasikan Hamilton Plan, National Bank. Pria diidentifikasi Bradley T. Timmit melalui disertasinya “Hamilton and American National Bank” sebagai instrumental in constructing an American/British trading alliance. Sebagai penulis hampir semua pidato George Washington, langkah Hamilton tak terhentikan. Sukses, tanggal 4 Juli 1791, Amerika memiliki First National American Bank. Bank ini hanya berusia 20 Tahun. Ketika berakhir, kelompok financial oligarchi membuat perang pada tahunn 1812. Perang ini menempatkan pemerintah pada situasi harus mendapatkan uang. Banklah yang paling mungkin menyediakannya. Tahun 1816, Presiden James Madison, penantang Hamilton plan harus menandatangani UU yang memberi legalitas operasi bank inin hingga tahun 1836. Seperti biasa, sebelum benar-benar berakhir, Amerika telah jatuh lagi ke dalam krisis keuangan tanun 1825. Niocolas Bidle, Prersiden Unitesd Stat Bank, muncul dengan gagasan bank sebagai lender of the last resort. Ditengah proses, oligarki menemukan kenyataan Amerika telah berada dalam kepresidenan Presiden Andrew Jackson. Sebagai pengagum berat Thomas Jefferson dan Madison, Jackson menolak recharter bank ini. Bidle yang bersahabat dengan Presiden James Monro, terdepan menantang Jackson. Hebatnya Bidle tidak sendirian. Dia ditemani William P. Chase, kandidat Capres Republik pada pilpres tahun 1860, yang gagal ini. Tahun-tahun kepresidenan Jackson dikenal sebagai Bank War. Jackson tak menyerah. Jackson mengidentikan Bank sebagai pencipta kepanikan keuangan -krisis keuangan. Paper money bankin diidentifikasi Jackson sebagai creat a great financial oligarchy of bankers. Jackson akhirnya tempatkan bank dibawah Kementerian Keuangan, dan diatur dalam Conage Act 1834. Ini luar biasa. Mengapa? Thomkas Jefferson, James Madison dan Edmund Randolp, penantang terkuat Hamilton pada perdebatan pembentukan Firts American Bank tahun 1790 gagal dalam urusan ini. Membaikah keadaan keuangan setelah itu? Tidak. Thomas Ewing menggambarkan keadaan Amerika hampir bangkrut. Ini harus dibereskan oleh Presiden William Henry Horison. Sayang Horison terlalu cepat meninggal dunia. Wakilnya, John Tyuler, naik menggantikannya. bersambung. Penulis adalah Pengajar HTN Univesitas Khairun Ternate.

“Tumbal Politik” Dibalik Kisruh Partai Demokrat

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Setelah melihat perkembangan beberapa hari terakhir, penulis cenderung menyebut kisruh Partai Demokrat (PD) sebagai kompetisi atau pertarungan sengit antara Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan lingkaran istana untuk berebut pengaruh kepada tuannya masing-masing. Lalu faksi Anas Urbaningrum yang dimainkan. Asumsi bahwa adanya kompetisi itu makin nyata terlihat. Kongres tidak berizin. Namun tidak juga dibubarkan oleh polisi. Katanya sudah dipulihkan keanggotannya di Kongres Luar Biasa (KLB), tetapi masih juga menggugat pemecatan ke pengadilan. Artinya mereka sendiri yang tidak yakin kalau KLB di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara itu sah. Karena tidak percaya dengan keabsaahan kongres, makanya mereka yang menjadi penyelenggara KLB perlu menggugat ke pengadilan. Belum lagi, banyaknya peserta KLB yang bukan pemilik suara, sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Apalagi Ketua Umum yang ditunjuk oleh KLB, yaotu Moeldoko tidak memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) Partai Demokrat. Terlihat kalau Nazaruddin cs hanya dimanfaatkan. Akibatnya, masing-masing pihak yang berkompetisi berusaha mengambil keuntungan politik sesuai dengan kadar kepentingan mereka. Walaupun Moeldoko harus banyak menelan pil pahit untuk dibully. Sepekan ini Moledoko sumbunyi dari publik. Bahkan jadi tumbal politik. Dihujat sana-sini oleh publik. Tampaknya Moeldoko hanya menjalankan perintah. Ada lagi gank politik lain yang sangat berpengaruh di belakang Moeldoko. Skenario kompetisi dikeperkirakan semakin panas. Apalagi jika Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menelikung di tengah jalan. Bila KLB Moeldoko disahkan, maka suhu politik memanas. Partai seteru SBY ikut mengompori dari luar arena. Endingnya adalah kompromi politik. Lingkaran istana mulai melirik SBY untuk join politik pada 2024 nanti. Rumor akhir tahun kemarin kemarin Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)santer diisukan masuk kabinet. Namun gagal karena tidak direstui salah seorang Ketua Umum partai. Bagi Presiden Jokowi, kisruh Partai Demokrat berhasil mengalihkan berbagai isu yang merugikan Pemerintahan Jokowi.Misalnya, cekaknya kantong penerimaan pemerintah, gonjang gajing ekonomi, kasus pembunuhan enam laskar anggota Front Pembela Islam (FPI), kerumunan Jokowi di Maumere, berbagai skandal mega korupsi dan suap pajak, yang katanya ada jejak mantan timses Jokowi. Yang perlu ditelusuri lebih lanjut adalah, saat kisruh Partai Demokrat lagi panas, ada kapal perang milik China komunis masuk perairan Indonesia. Test the water, pangkalan militer China komunis di Indonesia? Sepi pemberitaan. Dengan adanya kisruh Partai Demokrat, maka Presiden Jokowi juga bisa melihat peta koalisi pertai politik yang mendukungnya. Mana partai yang loyalis? Mana juga yang partai yang pragmatis, sehinga yang harus dilepas untuk agenda politik lingkaran istana di tahun 2024. Mana juga hanya numpang untuk bisa eksis sampai dengan Pilpres dan Pileg 2024 nanti. Sedangkan situasi ini bagi SBY, sudah meraih simpati publik. Lagunya seperti 2004 yang lalu. Senang untuk mendapat stigma sebagai orang yang didzalimi. Berharap ada efek elektoral. Bisas membuka jalan menuju kerjasama politik lingkaran istana dengan SBY untuk 2024 nanti. Sebab, Jokowi dan lingkaran terdekatnya di istana telah terkunci oleh PDIP untuk 2024. Terpaksa harus melirik partai lain. Terakhir, bakal terjadi kompromi dua kutub politik. Jokowi yang condong ke China komunis. Sedangkan SBY lebih condong ke Amerika Serikat. Ajang perang tersembunyi antara Amerika Serikat dan China komunis bakaln terjadi di 2024 nanti. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.

Moeldoko Trouble Maker Nasional

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ada yang menarik dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Melansir Terkini.id, Selasa (9 Mar 2021 14:52), Yasonna angkat bicara mengenai perseteruan yang terjadi dalam Partai Demokrat. Yasonna menyampaikan pesan untuk pengurus DPP Partai Demokrat, termasuk Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar tidak asal menuduh pemerintah tanpa dasar. Yasonna mengaku bahwa pemerintah akan mengusut kasus itu dengan cara yang objektif. Oleh karena itu, SBY dan AHY tak perlu memberikan tuduhan yang bukan-bukan terhadap pemerintah. “Ini saya pesan kepada salah seorang pengurus Demokrat kemarin saya pesan, tolong Pak SBY dan AHY jangan tuding-tuding pemerintah begini, pemerintah begini. Tulis saja kita objektif kok. Jangan main serang-serang yang tidak ada dasarnya!” ujar Yasonna. Yasonna juga menegaskan bahwa Kementerian Hukum dan HAM akan bersikap profesional dalam menangani kasus partai bintang mersi tersebut. Pihaknya akan bertindak profesional sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Itu supaya dicatat. Itu saja titik. Ia juga mengatakan bahwa masalah dualisme kepemimpinan Partai Demokrat saat ini masih menjadi permasalahan internal partai itu. Setidaknya, sampai pihak Moeldoko mendaftarkan kepengurusan hasil KLB di Deli Serdang, Sumatra Utara, kepada pemerintah. “Kalau dari segi kami, saat ini kami masih melihat ya masalah itu masih masalah internal Demokrat. Karena kelompok yang dikatakan KLB kan belum ada menyerahkan satu lembar apapun kepada kami,” tutur Yasonna. Ia juga menegaskan, pihaknya akan menilai secara objektif sesuai AD/ART Partai Demokrat. Nanti kalau KLB datang pihaknya akan menilai semuanya sesuai AD/ART Partai Demokrat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Itu penting. Setidaknya ada tiga point pernyataan Yasonna yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan, yaitu: 1. Masalah dualisme kepempimpinan Partai Demokrat; 2. Yasonna masih menunggu berkas hasil KLB; dan 3. Pengakuan adanya penyelenggaraan KLB. Yang perlu ditegaskan, tidak ada dualisme kepemipinan Partai Demokrat. KLB Moeldoko di Sibolangit itu bodong surodong karena Tidak Memenuhi Kriteria KLB Partai Demokrat, sebagaimana yang tercantum dalam Sipol (Sistem Informasi Partai Politik), yaitu: Dihadiri minimum oleh Setengah dari 514 DPC; Dhadiri minimum oleh Dua Pertiga dari 34 DPD; Dihadiri Ketua Majelis Partai. Yang jelas, semua kriteria dalam Sipol itu tak terpenuhi. Maka jika negara ini adalah benar negara hukum, maka Menkum HAM Yasonna, yang juga ikut mengesahkan dan menandatangani dokumen syarat KLB Partai Demokrat Tidak Bisa mengesahkan hasil KLB bodong surodong tersebut. Sebagai Kepala Staf Presiden (KSP), apalagi pensiunan Jenderal TNI, Moeldoko seharusnya tahu soal itu sebelum terlibat dalam “KLB” yang diisiasi bersama pecatan mantan pengurus Partai Demokrat seperti M. Nazaruddin dan Marzukie Ali itu. Narasi Yasonna jelas memberi angin segar bagi Moeldoko Cs yang sebenarnya tidak pernah tercatat sebagai kader atau anggota Partai Demokrat. Etika politik jelas dilanggar Moeldoko Cs. Padahal, Yasonna juga ikut teken syarat KLB Partai Demokrat. Akhir pekan awal Maret ini menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi Partai Demokrat, AHY dan bahkan SBY. Di luar ekspetasi, Moeldoko, mantan KSAD dan Panglima TNI era SBY menjabat Presiden ditetapkan sebagai Ketum Partai Demokrat hasil KLB. KLB yang bisa dikatakan sebagai upaya coup de etat AHY dari kursi Ketum Partai Demokrat seakan menjadi klimaks dari tudingan Partai Demokrat (resmi) bahwa orang-orang yang ada di lingkaran Presiden Joko Widodo ingin mengambil-alih parpol berlambang mercy itu. Meski sempat dibantah, sejak beberapa minggu sebelum KLB dilangsungkan, aroma kudeta itu sudah tercium. Dan KLB plus Ketum Moeldoko ini menjadi penegas bahwa polemik kudeta Partai Demokrat tersebut benar adanya. Ironis, karena Moeldoko seakan menjadi “anak durhaka” dan nyata-nyata mengabaikan jiwa “korsa”. Sama-sama berlatar belakang militer, Moeldoko jelas-jelas menelikung seniornya: SBY, dan juniornya: AHY. Terang saja jika AHY dan SBY mencak-mencak melihat manuver KLB dan Moeldoko ini. Dan atas perilaku dari Moeldoko, Pemerintah yang akan kena getahnya. Terutama Presiden Jokowi. Kali ini Jokowi benar-benar diuji! Maklum saja jika itu terjadi, mengingat Moeldoko saat ini juga menjabat sebagai KSP. Dan pada sisi lain, kisruh ini akan menjadi ujian bagi Pemerintah untuk tetap teguh pada peraturan atau tidak. Jangan terkejut jika pada akhirnya banyak alumni "Lembah Tidar" di Magelang getol melawan. Pasalnya, Presiden Jokowi sebelum mengangkat Moeldoko sudah diperingatkan para alumni Lembah Tidar: Moeldoko berpotensi rusak citra Presiden di penghujung pemerintahan! Namun, Presiden hanya berharap, para alumni Lembah Tidar harus membantu Jokowi. Konon, terkait dengan manuver Moeldoko ini, mereka sudah menyarankan agar Presiden mencopot Moeldoko dari posisinya sebagai KSP. Dengan terbukanya “borok” mantan Panglima TNI yang melakukan kesalahan tersebut, sehingga rakyat Indonesia tahu jika Moeldoko ini trouble maker Nasional. *** Penulis wartawan senior FNN.co id

Moeldoko, Bekas Panglima Yang Berubah Jadi Perampok?

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Sebagaiamana sifat orang tua pada umumnya, almarhum kedua orang tua Moeldoko pun tidak mungkin mengajarkan kepada anaknya untuk berbuat kurang ajar. Apalagi sampai membegal terang terangan. Membajak dan merapak barang orang, pasti juga tidak diajarkan. Salah siapa jika dikemudian waktu perilaku Moeldoko menjadi nyleneh? Bahkan saja kurang ajar. Namun jauh menyimpang dari ajaran orang tuanya. Ajaran nenek moyangnya. Sebab dulu, waktu Moeldoko masih kanak-kanak, mustahil mendapat pesan bapak ibunya, “rampaslah sesuatu milik temanmu, curilah barang milik sahabatmu, bunuhlah saudaramu”. Dan seterusnya, itu pasti yang tidak diajarkan. Tentu kedua orang tuanya, Moestaman dan Masfuah, terutama sang ibu, pasti selalu berpesan dengan kata-kata indah kepada Moeldoko, “nak atau moel atau doko, belajarlah dengan yang rajin. Jangan sedetik pun meninggalkan ibadah. Jangan pernah menyakiti hati orang lain. Jangan pernah membuat kacau. Bergaullah dengan orang yang baik. Jangan merampok sesuatu yang nyata-nyata sah bukan milikmu, namun milik pihak lain”. Tentu saja, semua itu adalah ajaran Ibu yang sangat mulia kepada anaknya Moeldoko. Namun kini, di ujung usianya, dia malah membikin geram banyak orang. Bagaimana tidak. Kok tiba-tiba dia menghadiri, kalau tidak mau dibilang mengajak Konggres Luar Biasa Partai Demokrat (PD) pada Maret awal lalu. Hasilnya pun sudah bisa ditebak. Moeldoko yang lahir di Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kediri, Jawa Timur, 64 tahun silam itu akan keluar sebagai pemenangnya. Menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versinya sendiri. Tempik sorak dan standing applaus pun menggemuruh di salah satu hotel di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara, tempat berlangsungnya sinetron antagonis itu. Suka cita pun campur aduk tertumpah di ruangan itu. Saling peluk, cium, rangkul dan macam-macam gaya terpuaskan sudah. Tetapi, sorot mata publik, waktu itu kok tidak ada peristiwa polisi mengobrak-abrik acara tersebut. Dengan pasal melanggar Protokol Kesehatan (Prokes) tentunya. Tidak seperti pada saat massa FPI menyambut kedatangan Habieb Rizieq. Atau Habieb Rizieq saat mantu di Petamburan dulu. Langsung dibubarkan polisi. Satu persatu yang terlibat ditangkapi. Malah dijadikan sebagai tersangka dan ditahan sampai sekarang. Oh ya, apa mungkin karena polisinya juga bagian dari peserta KLB? Atau sekurang kurangnya polisi ikut mendukung pelaksanaan KLB? Atau mungkin ada pengertian begini, “virus Corona hanya mau menular kepada yang selain Moeldoko dan kerabatnya? Mungkin begitu ya kira-kira? Seorang kawan jurnalis malah berpendapat ekstrim. Covid-19 itu tidak akan menular kepada, sorry sebelumnya, “bajingan tengik”. Makanya, jangankan sekedar bergerombol, tumpang tindih bergumul selapangan pun akan dibiarkan. Karena tidak bakal tertular Covid-19. Soal KLB. Apa yang dilakukan Moeldoko dan segelintir orang pecatan Partai Demokrat, Jhoni Allen, Nazaruddin, Marzuki Alie, itu bukan masuk kategori berani. Tapi ngawur. Sebab, berani itu perpaduan antara nyali dan nalar. Sementara ngawur itu gelap mata. Baik dalam bermain catur, sepak bola, dan tinju. Apalagi perang selalu ada istilah mundur selangkah dulu. Baru kembali menyerang. Sedangkan ngawur itu tidak menggunakan itung-itungan. Tidak pakai tak-tik. Yang dia mengerti, “pokoknya hajar”. Misalnya, seseorang yang berhasil melompat sungai selebar 95 senti meter, kemudian mencoba melompati sungai selebar satu meter. Dengan gerakan lebih full power, dia berhasil. Itu berani. Karena berselisih jarak jangkau cuma lima senti meter lebih jauh. Masuk akal itu barang. Tapi bila seseorang cuma berkemampuan melompat sungai selebar hanya satu meter, namun tiba tiba melompati sungai selebar dua meter. Itu yang ngawur. Selisih jaraknya kelewat jauh. Akibatnya kecebur. Nah, Moeldoko nanti kecebur apa tidak? Kita tunggu saja. Korelasinya begini. Iblis pun paham bahwa Moeldoko itu sudah menjadi anggota dan pimpinan Partai Hanura, terutama ketika Hanura dimpimpin oleh Oesman Sapta Odang (OSO). Tidak pernah gabung dengan Partai Demokrat. Jangankan punya kartu anggota, koas Partai Demokrat aja kagak punya. Kok ujug-ujug ikut menggelar KLB PD? Dan akhirnya menjadi ketua umumnya lagi. Yang dari Sabang menuju Merauke tahu, Moeldoko adalah militer tulen. Terakhir pensiun berpangkat Jenderal bintang empat. Naik pangkat dari kolonel ke brigjen, mayjen, letjen dan jendral dengan ujung jabatan Panglima TNI, itu semuanya Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ngasih waktu menjabat presiden sepuluh tahun. Sekarang SBY Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Parta Demokrat. Sewaktu masih menjadi anak buah SBY maupun Pak Harto, Moeldoko tidak sekali pun menunjukkan perilaku yang aneh-aneh. Apalagi berlaku insubordinasi. Melawan pimpinan. Tidak pernah. Terlebih ketika masih dalam asuhan kedua orang tuanya. Moeldoko lebih penurut lagi. Bahkan, konon, Moeldoko suka mencari pasir di sungai, dijual untuk membantu perekonomian orang tuanya. Sepak terjang Moeldoko mulai menyimpang dari ajaran orang tuanya maupun bimbingan SBY dan Pak Harto, semenjak dia berada dalam asuhan Jokowi, Joko Widodo, Presiden RI. Sejak “diopeni Jokowi”, didapuk sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko mulai nampak galak dan berlagak. Air mukanya dingin. Tidak murah senyum. Terkesan culas dan semau gue. Dia mengancam ini dan itu terhadap setiap oposan yang turun ke jalan demonstrasi, dan menentang kebijakan Jokowi yang tidak beleid. Malahan, dia juga sempat mengancam mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo, saat deklarasi ormas KAMI setahun lalu, dimana Gatot Nurmantyo selaku Presidiumnya. "Jangan coba coba mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban. Saya tidak pandang bulu," ucap Moeldoko waktu itu. Nah, timbul analisa tentang perubahan perilaku Moeldoko. Mengapa sejak dibawah asuhan Jokowi, moral Moeldoko berubah menjadi nggak karu-karuan? Sak senenge dewe. Tidak mengindahkan tatanan main. Jauh sekali dengan saat masih dalam rengkuhan ibu bapaknya. Maupun ketika berada dalam lingkup kepemimpinan SBY atau Pak Harto. Ini salah yang diasuh, atau salah yang mengasuh? Jika merunut peri bahasa, “guru kencing berdiri, murid kencing sambil berlarian kesana kemari”. Jika demikian, apakah Moeldoko tertular atau meniru pikiran, sikap dan perilaku bapak buahnya, Jokowi. Entahlah. Yang jelas. Moeldoko sebagai anak buah Jokowi saat ini telah membegal atau membajak Parpol “milik orang lain, karena bukan miliknya”. Yang dibajak adalah Partai Demokrat yang sah dalam lembaran negara, tercantum nama Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umumnya. Dan SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Partainya. Ketidak punya maluan kubu Moeldoko dipamerkannya dengan berucap, "SBY dan AHY dalam posisi demisioner. Jika ingin gabung dengan kami, silakan". Kalau ada yang bilang sinting, salah nggak ya? Mana mungkin tuan rumah malah diatur oleh tamunya. Sudah gitu, tamu yang nggak diundang lagi. Keterkaitan itu, sangat mungkin Partai Demokrat dan AHY akhirnya menjadi simbol perlawanan. Seperti PDI dan Megawati, waktu itu. Jika itu terjadi, sikap sosial semua oposan, tak terkecuali akan mengkristal. Bersama-sama melawan Moeldoko dan mengarah ke Jokowi. Kini alam pikiran Moeldoko boleh jadi tidak tenang. Moledoko pasti sadar, kalau harta kekayaan berupa Ketum PD adalah hasil curian. Hati kecilnya tentu bilang begitu. Seperti perampok toko emas yang gundah mencari lokasi persembunyian. Pasti juga bingung, dimana akan menjual barang curiannya. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

PDIP Akan Menjadi Partai Tunggal

Tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi sedang mendekati sistem pemerintahan partai tunggal itu kini semakin nyata. By Hersubeno Arief MEDIA negeri jiran The Australian edisi Senin (8/3) menurunkan sebuah artikel menarik. Judulnya : Jakarta Closer to Rule of One Party. Kekhawatiran Indonesia menjadi negara partai tunggal seperti di Cina dan Korea Utara ini, sesungguhnya sudah sejak lama diingatkan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo. Saat masih menjadi Panglima TNI, Gatot membungkus pesannya secara tersamar, melalui bahaya proxy war. Tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi sedang mendekati sistem pemerintahan partai tunggal itu kini semakin nyata. Sebagaimana dilansir The Australian, aksi KSP Moeldoko mengambil-alih secara paksa Partai Demokrat merupakan langkah nyata mewujudkan hal itu. Saat ini partai-partai pendukung pemerintah disebut oleh The Australian telah menguasai 74 persen kursi di parlemen. Bila sukses mengakuisisi Partai Demokrat pemerintah akan menguasai 83 persen kursi di parlemen. Hanya menyisakan PKS sebagai satu-satunya oposisi di parlemen. Kalkulasi ini menarik, karena tampaknya The Australian telah memasukkan PAN ke dalam partai pendukung pemerintah. Bila dihitung dari total 575 kursi di parlemen, kalkulasi ini kurang akurat. Berdasarkan data KPU, pada Pemilu 2019 PKS memperoleh 50 kursi atau 8, 69 persen. Demokrat 54 kursi atau 9, 39 persen. Bila hanya PKS yang menjadi oposisi, maka total kubu pemerintah menguasai 91, 31 persen kursi di parlemen. Praktis kubu partai pemerintah sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen. PKS tinggal menjadi partai oposisi pemanis saja. (Parliamentary dan Presidential Threshold) Pertanyaannya sekarang, bagaimana tahapan menuju partai tunggal bisa diwujudkan? Saat ini kendati sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen, namun belum bisa disebut sebagai partai tunggal. Baru konsorsium partai dengan penguasa tunggal. Namun tahapan menuju partai tunggal itu sudah terbayang. Coba perhatikan beberapa tahapan berikut ini. Pertama, penetapan presidential threshold 20 persen. Dengan aturan semacam itu sudah bisa dipastikan bahwa capres yang akan tampil pada Pemilu 2024 adalah calon tunggal. Kalau toh ada dua calon, maka pasangan calon kedua hanyalah boneka. Model Pilkada Solo 2020 bisa digunakan. Ada calon walikota yang sudah dapat dipastikan menang, yakni Ghibran putra Presiden Jokowi. Lawannya adalah pasangan Ketua RW dan tukang jahit. Kedua, Pemilu serentak tahun 2024. Dengan hanya ada satu capres, maka dapat dipastikan capres yang diusung berasal dari PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak (128). Pasangannya bisa dipilih dari salah satu partai pengusung pemerintah. Silakan diperebutkan. Dengan sistem pemilu serentak, maka yang akan memperoleh limpahan elektoral atau biasa dikenal sebagai coattail efect adalah pengusung capres. Dalam hal ini PDIP. Hal ini terbukti pada Pilpres 2019. Hanya ada dua Pasang capres-cawapres. PDIP dan Gerindra yang mengusung capres. Kedua partai ini mendapat limpahan suara terbanyak dan menjadi partai pemenang pertama dan kedua. Ketiga, menaikkan ambang batas parliamentary threshold. Saat ini di DPR berkembang wacana menaikkan ambang batas lolos parlemen, atau dikenal dengan istilah parliamentary threshold (PT). PDIP mengusulkan agar PT dinaikkan dari semula 4 menjadi 5 persen. Sementara Nasdem dan Golkar bahkan call tinggi, menjadi 7 persen. Dengan mempertimbangkan coattail effect pada pemilu serentak 2024, maka PDIP bisa menang besar. Apalagi berdasarkan hasil survei terbaru Litbang Kompas, partai-partai yang berada dalam lima besar bakal berguguran. Elektabilitas Nasdem saat ini tinggal 1.7 Persen. Golkar 3.4 persen. Demokrat 4.6 persen, PKS 5.4 persen, dan PKB tinggal 5.5 persen. Gerindra 9.6 persen. PDIP masih bertengger di puncak dengan elektabilitas 19.7 persen. Bila PT dinaikkan menjadi 7 persen, maka yang tersisa tinggal PDIP dan Gerindra. Itupun kalau Gerindra masih bisa mempertahankan suaranya. Dengan bergabung dalam kubu partai pemerintah, sangat diragukan Gerindra bisa mempertahankan perolehan suaranya seperti pada Pemilu 2019. Semua skenario itu dapat terwujud bila Jokowi dan PDIP bisa mengendalikan sepenuhnya partai-partai pendukung pemerintah. Partai-partai pemerintah mendukung apapun keinginan Presiden Jokowi dan PDIP. Untuk tahap awal Nasdem dan Golkar akhirnya mengalah. Mendukung pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024. Padahal sebelumnya mereka menginginkan ada revisi RUU Pilkada. Tahapan berikutnya tinggal menaikkan ambang batas lolos parlemen setinggi mungkin. Skenario partai tunggal bakal terwujud. Apakah kali ini Golkar, Nasdem, Gerindra dan partai-partai lain juga akan kembali mengalah? Yang pasti, sejauh ini dengan pola pecah belah, sandera politik, dan iming-iming kekuasaan, pemerintah berhasil menundukkan parpol-parpol menjadi pendukung yang loyal. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Adakah yang Mau Mengkudeta Ketua Umum PDI-P

Menurut catatan Setara Institute, kader PDIP menjadi penyumbang terbanyak dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK sepanjang tahun 2018. Delapan kepala daerah dari partai berlambang banteng moncong putih itu terjerat kasus korupsi. Kedelapan orang tersebut antara lain mantan Bupati Ngada Marianus Sae, mantan Bupati Bandung Barat Abubakar, mantan Bupati Purbalingga Tasdi, dan mantan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar. by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Akhir-akhir ini banyak politisi dan pengamat politik ramai membicarakan kudeta yang dilakukan Jenderal (Purn) TNI Moeldoko terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di balik peristiwa tragis tersebut, adakah orang yang terinspirasi, berpikir atau merencanakan untuk mengkudeta Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri ? Para kader muda Partai Banteng seperti Maruarar Sirait (Ara), Budiman Sujatmiko, Arif Budimanta, apakah Anda semua mempunyai rencana untuk menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) seperti yang telah dilakukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bersama kader Partai Demokrat yang kecewa dengan kepemimpinan AHY ? Mosok nyali Anda kalah sama Moeldoko yang berumur lebih tua? Pada tàhun 2014, Maruarar Sirait gagal menjadi Menkominfo karena tidak disetujui oleh Megawati. Menurut informasi di kalangan politisi PDIP waktu itu, Ara dituduh sebagai salah seorang kader muda di Partai Banteng yang hendak menggulirkan KLB PDIP. Oleh karena itu, meskipun Ara sudah berada di Istana Kepresidenan untuk dilantik Jokowi sebagai Menkominfo, terpaksa dibatalkan hanya gara-gara tidak disetujui pimpinan partainya. Padahal waktu itu, Ara sudah lengkap mengenakan kemeja putih. Sebagai gantinya, diangkatlah Rudiantara, seorang profesional di dunia komunikasi yang juga pernah menjadi direksi di perusahaan BUMN yakni di PT Semen Gresik (sekarang PT Semen Indonesia) dan PT PLN. Tentu saja Ara merasa kecewa yang amat sangat,. Waktu itu juga Ara segera meluncur dari Istana Presiden Kepresidenan menuju kediaman Ketua Umum PDI-P di Jl Teuku Umar Jakarta. Dia mau menemui Megawati Soekarnoputri. Sayangnya, Ketua Umum PDI-P tersebut tidak bisa ditemui Maruara Sirait. Meskipun Ara adalah juga putra tokoh senior PDI-P, Sabam Sirait, namun kalau Megawati sudah marah dengan kadernya, hal itu nampaknya tidak bisa diampuni. Petugas Partai Demikian juga Jokowi. Walaupun dia sebagai presiden, tetapi di mata Megawati Soekarnoputri dia tetap sebagai 'Petugas Partai'. Oleh karena itu, kewenangan yang dimiliki Jokowi sebagai presiden, sesungguhnya bersifat semu. Dalam kenyataannya, Jokowi tidak berdaya manakala berhadapan dengan Megawati. Sejak Jokowi menjadi Presiden tàhun 2014, dalam berbagai kesempatan Megawati selalu menyatakan bahwa Jokowi adalah Petugas Partai. Atribut yang disandang inilah yang membatasi ruang gerak politik Jokowi sebagai presiden. Kembali kepada peristiwa politik dramatis KLB Partai Demokrat yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Banyak spekulasi yang menyebutkan bahwa Moeldoko hanya berperan sebagai pelaksana kudeta terhadap Partai Demokrat. Sementara master mindnya adalah Jokowi. Apalagi, sampai sekarang Jokowi diam membisu atas perilaku bawahannya Moeldoko yang telah melakukan kudeta atas kepemimpinan AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Diamnya Presiden ini seolah mengonfirmasi dugaan bahwa Jokowi lah yang berada dibalik KLB Partai Demokrat. KLB ini sesungguhnya tidak semata-mata untuk melengserkan AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Tetapi juga bertujuan untuk mereduksi pengaruh Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat. Spekulasi politik lain menyebutkan bahwa skenario KLB PD ini merupakan bagian dari strategi PDIP dalam rangka semakin mengokohkan sebagai partai berkuasa menjelang Pemilu 2024. Oleh karena itu, kemudian dilakukan langkah politik untuk mengkerdilkan atau membonsai partai oposisi. Sejumlah pengamat menyebutkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) diperkirakan juga tidak akan luput dari operasi politik kotor yang akan dilakukan partai penguasa. Sebenarnya pada Pemilu 2019 lalu, jumlah perolehan suara dan perolehan kursi di DPR untuk Partai Demokrat menurun dari posisi keempat pada 2014, menjadi posisi ketujuh dari 9 partai di DPR, dengan perolehan suara sebanyak 7,77 % suara nasional (10.876.507). Namun, hingga kini pengaruh SBY di partai berlambang Mercy itu masih sangat kuat. Oleh karena itu, PDI-P berkepentingan untuk menghilangkan pengaruh mantan Presiden RI keenam itu. Pelaksanaan KLB Partai Demokrat yang digelar Jumat 5 Maret 2021 lalu, adalah untuk meruntuhkan kekuasaan SBY di Partai Demokrat. Mereka yang telah melakukan kudeta terhadap AHY, bisa saja menyatakan bahwa langkah politik yang mereka lakukan itu untuk memutus dinasti politik. Padahal, sesungguhnya mereka ingin memutus pengaruh politik SBY di Partai Demokrat. Kalau benar politisi muda Indonesia saat ini risau dengan dinasti politik, maka PDI-P juga merupakan parpol yang masih memberlakukan dinasti politik. Sejak akhir Orde Baru sampai sekarang, PDIP masih dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Dia sudah lebih dari 20 tàhun menjadi Ketua Umum PDI-P. Apakah para politisi muda di PDIP tidak bosan dipimpin Megawati ? Saya yakin masih banyak para kader muda dan politisi energik di PDIP yang masih memiliki idealisme dan integritas serta loyalitas kepada partai. Saya yakin para politisi muda di PDIP sudah paham implikasi dari adanya dinasti di tubuh parpol. Dinasti politik di tubuh Parpol bisa menghambat regenerasi dan kaderisasi partai. Apalagi sekarang usia Megawati sudah tidak muda lagi seperti dulu. Dia sudah berumur 74 tàhun, lahir 23 Januari 1947. Sementara SBY berumur 71 tàhun, lahir 9 September 1949. SBY sebenarnya sudah mengalihkan tongkat kepemimpinan partai kepada kader muda yakni AHY kendati Ketua Umum PD ini adalah putranya sendiri. Sementara PDI-P, sampai sekarang masih dipimpin Ketua Umum yang sudah lanjut usia. Sangat boleh jadi Megawati sedang galau atau dilanda kebingungan, apakah estafet politik akan diserahkan kepada Puan Maharani atau Prananda. Keduanya adalah putra putri Megawati Soekarnoputri dari suami yang berbeda. Muhammad Prananda Prabowo, biasa dipanggil Prananda. Saat ini Prananda Prabowo dipercaya sebagai Ketua DPP PDI-P Bidang Ekonomi Kreatif periode 2019-2024. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kepala Ruang Pengendali dan Analisis Situasi PDIP. Sosok yang satu ini tidak pernah muncul ke permukaan apalagi tampil di media massa. Sebaliknya, Puan Maharani, lebih banyak dikenal publik karena begitu Jokowi berkuasa tàhun 2014, dia langsung diangkat sebagai menteri meskipun banyak kalangan yang meragukan kemampuan dan kapasitasnya. Nah pada periode kedua Jokowi sebagai Presiden ini, Puan Maharani sengaja ditempatkan sebagai Ketua DPR-RI. Meski Prananda tidak pernah muncul ke permukaan, namun di internal PDI-P sendiri dia memiliki faksi sendiri yang berbeda dengan kelompok Puan Maharani. Menurut seorang politisi, kepentingan politik Prananda dan Puan Maharani berbeda. Misalnya, dalam kasus dugaan korupsi Bansos yang melibatkan Wakil Bendahara PDIP Juliari Batubara, lebih banyak terkait dengan kepentingan Puan Maharani dan kroninya. Sementara itu, Prananda dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, lebih banyak mengurus proses rekrutmen dan seleksi kader partai yang akan ditempatkan di lembaga legislatif. Termasuk proses seleksi untuk para calon kepala daerah dari PDIP. Meski demikian, proses rekrutmen dan seleksi calon kepala daerah PDIP, juga tidak sepi dari praktek suap dan korupsi. Menurut catatan Setara Institute, kader PDIP menjadi penyumbang terbanyak dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK sepanjang tahun 2018. Delapan kepala daerah dari partai berlambang banteng moncong putih itu terjerat kasus korupsi. Kedelapan orang tersebut antara lain mantan Bupati Ngada Marianus Sae, mantan Bupati Bandung Barat Abubakar, mantan Bupati Purbalingga Tasdi, dan mantan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar. Kemudian yang lebih tragis adalah OTT KPK pada pekan terakhir November 2020 hingga pekan pertama Desember 2020. Hanya Dalam waktu sepuluh hari, KPK sukses menjaring tiga kader PDIP. Ketiga kader PDIP yang terjaring KPK itu adalah Wali Kota Cimahi yang juga Ketua DPC PDIP Kota Cimahi Ajay Priatna (27 November 2020), Bupati Banggai Laut yang juga Ketua DPC PDIP Banggai Laut Wenny Bukamo (3 Desember), dan Menteri Sosial yang juga Wakil Bendahara Umum PDIP Juliari Batubara (6 Desember). Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, PDIP menghormati seluruh proses hukum yang sedang berlangsung. "Hukum adalah jalan peradaban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Siapapun wajib bekerja sama dengan upaya yang dilakukan oleh KPK tersebut," ujar Hasto sebagaimana dikutip dari laman resmi PDIP, Minggu (6/12/2020). Nah, dengan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan kader PDIP, apakah ada diantara kader muda Partai Banteng ini yang berkeinginan menggelar KLB seperti yang dilakukan di tubuh Partai Demokrat ? Kita tunggu saja keberanian dan nyali dari para politisi muda kader PDIP untuk bisa menggulingkan Megawati Soekarnoputri dari kursi Ketua Umum PDI-P. *** Penulis aalah Wartawan Senior FNN.co.id.

“Perang Kilat” Sibolangit

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko melakukan “Blitzkrieg” (perang kilat). Dan berhasil. Benteng pertahanan Partai Demokrat diibaratkan jebol. Hari Jumat, 05 Maret 2021 di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, melalui KLB (Kongres Luar Biasa) Partai Demokrat, dan Moeldoko didaulat menjadi Ketua Umum. “Operasi intelijen” mantan Panglima TNI itu berhasil menggoyang legitimasi kepemimpinan partai yang berlambang mercy di tangan mantan atasannya Jenderal TNI Purnawirawan Soesilo Bambang Yudhono (SBY). Presiden Indonesia dua priode itu (2004-2014) itu seakan limbung. “Perang Kilat” Sibolangit lambat tapi pasti akan mempengaruhi konstalasi dan dinamika politik menuju Pemilu 2024. Dua figur militer papan atas Indonesia adu strategi. Kedua tokoh militer itu terdidik dan berkelas kini bertempur di medan perang politik. Pasukan SBY berhadapan pasukan Moeldoko. Dua-duanya bergerak di bawah panji politik yang sama, “Partai Demokrat”. Kata “Blitzkrieg” berasal dari dua kata. Blitz yang berarti kilat, dan Krieg yang berarti perang. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Jerman. Konsep dari strategi “Blitzkrieg” ini secara umum sampai saat ini masih menjadi model dunia militer. Mengutip wikipedia, catatan sejarah menunjukkan kasus perang Afganistan ditandai dengan gerak cepat Taliban yang sangat mengagumkan. Taliban merebut hampir delapan puluh persen wilayah Afghanistan dari pihak pemerintah tahun 1994-1996. Atau perang teluk I mempertunjukan gerak cepat sekutu untuk membebaskan Kuwait tahun 1991. Termasuk Operasi Enduring Freedom ketika terjadi invasi Amerika ke Afghanistan, Oktober 2001. Dan ada lagi Operasi Iraqi Freedom menggunakan pola gerak cepat sekutu di bawah pimpinan Amerika dalam menginvasi Irak tahun 2003. Tidak sulit membaca apa latar belakang, dan ke mana trayek yang akan dilalui Demokrat Moeldoko. Beberapa kajian menunjukkan derita penggembosan sebuah partai yang terjadi sejak era reformasi karena terindikasi akan beroposisi terhadap rezim penguasa. Sikap Demokratnya SBY yang suka maju-mundur, dan senang ragu-ragu dimata rezim penguasa meneguhkan kajian yang menyimpulkan, itulah faktor utama yang membuat mengapa ia menjadi TO (Target Operasi). Sosok Moeldoko adalah representasi pejabat teras kekuaaan yang punya akses khusus “hot line” ke Istana dua puluh 24 jam. Ini mengingatkan kita pada taxi di Singapura yang memasang lampu diatas atap mobil dengan tulisan “On Call 24 jam”. Tradisi penguasa memecah partai politik bukan barang baru di Indonesia. Di era Orde Baru Partai Demokrasi Indonesia(PDI) adalah pelengkap penderita korban rezim yang secara ajaib lolos menjadi partai besar di era reformasi. Kata “perjuangan” ditambahkan dibelakangnya menjadi PDIP sebagai ikon simbolik patriotik perlawanan di ujung kejayaan Orba. PDIP melintasi sejarah kejayaan di era reformasi. Dengan mengusung nama Bung Karno ketokohan Megawati jadi awet. Kongresnya tidak pernah menampilkan lebih dari satu nama calon ketua umum. Hanya Megawati tok. Tidak ada celah intervensi untuk membelah. Kondisi geografis Indonesia sebagai republik pulau meniscayakan pengurus daerah menjadi kekuatan penentu keputusan di tingkat nasional dan dilembagakan di dalam AD/ART (Anggaran Dasar/Anggarana Rumah Tangga) sebagai rambu aturan main. Keabsahan suatu keputusan yang bersifat nasional ada di tangan suara mayoritas pengurus daerah. Termasuk dan terutama untuk memilih ketua umum. Pengurus daerah yang bertebaran di 34 propinisi dan 500-an kabupaten kota adalah kunci penentu. Pola hubungan pengurus daerah dengan pemimpin puncak di pusat terjalin melalui kultural paternalisme. Itulah kekuatan pengurus daerah sekaligus kelemahan sistemik sebuah partai. Prof. Agus Dwiyanto & Dr Bevaola Kusumasari dalam kajiannya tahun 2001 menulis, paternalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Paternalisme tumbuh sumbur karena dipengaruhi oleh kultur feodal, yang sebagian besar wilayah di Indonesia semula merupakan daerah bekas kerajaan. Wilayah-wilayah bekas kerajaan ini telah mempunyai sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan. Selalu menjunjung tinggi dan mengagungkan penguasa sebagai orang yang harus dihormati, karena mereka telah memberikan kehidupan dan pengayoman bagi warga masyarakat. Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa budaya birokrasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa. Budaya hirarkis dan tertutup yang menuntut seseorang untuk pandai menempatkan diri dalam masyarakat. Pada budaya ini terdapat nilai tentang pentingnya peranan atasan dalam memberikan perlindungan terhadap bawahan. Perlindungan yang diberikan oleh atasan atau pimpinan berwujud status dan pangkat. Kedua atribut tersebut merupakan hak istimewa bagi seorang bawahan yang kemudian menentukan status sosial seseorang di mata masyarakat. Pola atasan dan bawahan juga menandai hubungan pengurus pusat dengan pengurus daerah. Menciptakan figur sinterklas yang murah hati di pusat guna merawat loyalitas pengurus daerah. Yang disebut sebagai “bawahan” itu, justru adalah penentu keputusan di level “atasan”. Merujuk pola paternalisme, mayoritas pengurus partai atau organisasi apapun, wajib hukumnya memosisikan pengurus daerah sebagai “pembutuh orang kuat” di pusat. Meniscayakan sosok ketua umum sebagai sinterklas untuk merawat kesinambungan loyalitas pengurus daerah. Termasuk dan terutama kesejahteraan dan ekonomi. Ideologi pengurus daerah adalah pemahaman berharga mati terhadap kesinterkelasan seorang ketua umum manakala dia memegang jabatan dalam struktur negara. Ketua umum tanpa jabatan struktural dalam pemerintahan oleh pengurus daerah dianggap sebagai “yatim piatu” yang cuma ngajakin sengsara. Dipastikan gampang terserang dehidrasi atau penyakit ayan. Diksi “kudeta” yang ditujukan kepada Meoldoko adalah sebuah kata yang seksi. Membangkitkan gairah perang pengurus daerah di kedua kubu yang berseteru. Pernyataan loyal dan siap mati membela ketua umum bersahut-sahutan di angkasa. Disiarkan secara luas dan masif hampir semua saluran televisi. Publik menyaksikan bagaimana perlombaan orasi meramaikan jagad politik. Pengurus daerah menjadi tokoh penting dan tamu mulia di ibukota. Membuat frekwensi pemberitaan kebijakan pemerintah yang kontroversial menurun di liputan media. Langkah kubu “Demokrat SBY” yang dimotori ketua umumnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menggerakkan perlawanan daerah sebagai simbol loyalitas. Langkah ini dapat juga dibaca sebagai keberhasilan “Demokrat Moeldoko” mengacaukan otak kubu kembarannya. Pada akhirnya kedua kubu Demokrat tidak ada yang dapat bekerja dengan tenang. Waktu, tenaga, fikiran dan dana habis begitu saja hanya untuk memperebutlan publik opini hingga tiba Pemilu 2024. Eksistensi Demokrat SBY mengalami pelumpuhan seiring hambarnya pelan-pelan simpati publik. Elite Demokrat SBY terjebak di dalam perangkap membela diri dan kesibukan menembaki pengacaunya. Inilah target utama kekuasaan. Pengebirian intensitas sikap kritisisme. Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan pemerintah tak melindungi atau mengawal acara yang diklaim sebagai Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat. Meski tak melindungi, ia menegaskan pemerintah juga tak boleh membubarkan acara itu. Itu sesuai UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, kata Machfud di media Minggu (07/03/21). Sehari sebelumnya Machfud menegaskan, Kongres luar biasa (KLB) Demokrat di Sibolangit, “dinilai akan menjadi permasalahan hukum bila hasilnya telah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia”. Jelas sudah, pintu terbuka bagi Demokrat Moeldoko untuk mengadu untung. Keras dugaan faktor pembuka ruang serangan kepada Demokrat SBY, karena adanya aroma dinasti yang dipersoalkan para pendiri. Mereka menyoal perubahan AD/ART pada Kongres tahun 2020 yang memberi kewenangan besar kepada Ketua Majelis Tinggi yang dijabat SBY, yang berwenang penuh membolehkan dan melarang diadakannya KLB. Langkah itu mengungkit tudingan sebagai rekayasa sistemik SBY dan keluarga untuk mendominasi Demokrat. Menutup celah perlawanan bagi yang tidak sejalan. Akibat menggugat hal itulah, ke tujuh oang kader teras termasuk pendiri serentak dipecat di tengah kisruh tuduh menuduh adanya isu “kudeta”. Inilah pemicu yang meneguhkan lahirnya “Perang Kilat” Sibolangit. Drama politik ala Indonesia berulang. Pertunjukan adegan “lari berputar” dan “bersembunyi di tempat yang terang” para elite politik kembali dimainkan. Dengan simfoni sendu yang jauh dari alasan untuk tersenyum. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.