POLITIK

Moeldoko dan Etika Berpolitik

By Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Press release yang dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat, 1 Februari 2021 terkait dengan kudeta pimpinan partai telah menyita perhatian masyarakat. Pasalnya selain melibatkan 4 orang yang pernah sebagai elite partai, maka yang menarik adalah dugaan keterlibatan Moeldoko (Kepala Staf Presiden) dalam peristiwa ini. Keikutsertaan pejabat tinggi di lingkungan terdekat dari presiden setidaknya membuat publik berspekulasi bahwa presiden telah menyetujui. Sehingga situasi ini dapat membuat para pengamat luar negeri (Indonesianis) berkesimpulan bahwa presiden Jokowi telah mengembalikan otoritarianisme. Rezim otoritarianisme di Indonesia pada dasarnya telah hilang pada tahun 1998 seiring runtuhnya Orde Baru oleh gelombang tuntutan reformasi kala itu. Dan sejak itu, banyak dilakukan perubahan bidang sosial politik untuk memperbaiki kebijakan yang disebabkan oleh pemerintah. Di antaranya adalah terkait penghapusan dwifungsi militer, pemilihan presiden hingga kepala daerah, kedudukan MPR, serta hak dan kewajiban presiden. Karenanya, upaya untuk mengembalikan kekuasaan yang berlebihan di tangan pemerintah banyak mendapat gugatan dan perlawanan dari masyarakat sipil. Etika dalam Politik Salah satu masalah dalam perilaku elite politik seiring dengan reformasi adalah terkait dengan etika. Dimana bukan hanya suatu keharusan dalam perilaku politik, namun etika diperlukan untuk berbagai bentuk aktivitas kehidupan keseharian. Menjujung etika dalam politik sangat dibutuhkan oleh elite negara karena berkaitan dengan masalah moral kekuasaan yang ditimbulkan. Etika politik pada dasarnya tidak mengizinkan para pemimpin untuk melakukan hal-hal yang salah dalam kehidupan pribadi, tetapi yang lebih penting lagi adalah mengharuskan para elite politik untuk memenuhi standar yang lebih tinggi daripada yang diperlukan dalam keseharian. Misalnya, hak privasi yang lebih kecil dibanding warga negara biasa, dan tidak memiliki hak menggunakan kantor untuk keuntungan dan kepentingan pribadi. Di Amerika Serikat, etika dalam politik senantiasa menjadi dasar atau acuan bagi setiap orang yang dipilih menduduki jabatan publik. Menurut Rich Robinson (Direktur California Utara Bagi Calon Presiden Partai Demokrat), ada 3 hal yang membuat masyarakat marah jika seorang pemimpin melanggarnya yaitu ; Pertama, Kampanye tidak jujur merupakan cerminan etika politik yang melekat. Sekalipun di USA tidak diatur tentang kejujuran kampanye, atau apa yang dianggap pantas atau tidak pantas. Namun kampanye negatif tidak selalu merupakan sesuatu yang buruk, jika tuduhan terhadap kandidat itu benar. Kedua, inkonsistensi dan standart ganda dalam bertindak. Sikap dan tindakan seorang politisi dituntut untuk jujur dan tidak semata menguntungkan diri dan partainya. Dalam kasus skandal seks yang menimpa senator Republik Bob Packwood, banyak anggota dari Demokrat dengan cepat menyerukan pengunduran diri Packwood. Namun ketika kasus yang sama menimpa Bill Clinton, maka anggota partai Demokrat pada diam. Dengan demikian, seorang politisi apalagi presiden dituntut untuk jujur, betapapun kasus yang terjadi merugikan kepentingan partainya. Ketiga, peran uang dalam kampanye. Berlawanan dengan pemikiran populer, uang tidak menentukan hasil pemilu, terutama di tingkat nasional. Namun pada sisi lain, uang ternyata dapat memainkan peran - bagaimanapun dalam pemilihan – para calon untuk terus mengubah aturan tentang besaran kontribusi, pengeluaran, dan waktu pelaporan. Sehingga membuat hampir semua politisi kelihatan tampak tidak etis ketika sedang merealisasikan dan melaporkan Ini berarti, etika politik yang erat kaitannya dengan sikap, nilai, maupun moral serta sangat fundamental harus dimiliki setiap orang terutama yang menduduki posisi penting dalam struktur kekuasaan. Sementara yang ironis dalam realitas kehidupan perpolitikan dewasa ini, justru banyak dari para elit politik yang tidak beretika dalam sikap atau perilaku politiknya. Terutama terkait dengan perilaku kekuasaan yang korup. Terlebih lagi, kekuasaan yang cenderung otoriter, maka prakteknya cenderung longgar, mudah diabaikan tanpa malu dan bersalah. Praktek kekuasaan yang tidak peduli terhadap penyalahgunaan wewenang, korupsi dan lainnya karena dijalankan dengan pengabaian alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, serta tiadanya rasa malu dan merasa bersalah Sehingga tanpa disadari, kekuasaan korup yang berlangsung telah membawa etika politik bangsa Indonesia yang cenderung mengarah pada kompetisi dengan mengabaikan moral. Ini terbukti dari kasus-kasus perebutan jabatan politik dengan menggunakan uang sebagai jalan keluar (keputusan). Nyaris semua jabatan yang ada memiliki harga yang harus dibayar oleh pejabat atau orang yang akan menduduki. Jabatan atau kekuasaan menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang. Tanpa mengindahkan kaidah etika dalam berpolitik, maka tidaklah heran jika Indonesia hanya akan dikuasai oleh orang-orang yang miskin secara moral dan perilaku politiknya cenderung abai terhadap nasib rakyat. Jadi ingat seperti pepatah Jawa Ngono Yo Ngono, Tapi Ojo Ngono. Penulis adalah Peneliti LP3ES

Kudeta Demokrat: Ini Bukan Permainan SBY!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Nama Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko hari-hari ini viral di berbagai media. Pasalnya, mantan Panglima TNI era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini “terendus” berniat akan “mengkudeta” Ketum Partai Demokrat Agus Harimurty Yudhoyono. Semula, nama Moeldoko masih remang-remang sebagai salah satu tokoh di luar Demokrat yang berkolaborasi dengan “orang dalam” partai besutan SBY itu. Adalah Kepala Bappilu Demokrat Andi Arief menyebut, orang yang dimaksud adalah Moeldoko. Gerakan dan manuver politik oleh segelintir kader dan mantan kader yang akan mengkudeta Demokrat sampai ke telinga AHY. Disebutkan, ada lima orang yang menggalang kudeta itu. Mereka berasal dari internal dan eksternal partai, dilakukan secara sistematis. AHY menyebut, mereka terdiri dari 1 kader Demokrat aktif, 1 kader yang sudah 6 tahun tidak aktif, 1 mantan kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat karena dihukum akibat korupsi, dan 1 mantan kader yang telah keluar dari partai 3 tahun yang lalu. Sementara satu lagi adalah non kader partai yang kini menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Ialah Moeldoko. “Banyak yang bertanya siapa orang dekat Pak Jokowi yang mau mengambil alih kepemimpinan AHY di Demokrat, jawaban saya KSP Moeldoko,” ujar Andi Arief. Pernyataan tersebut selaras dengan apa yang disampaikan Wasekjen DPP Demokrat Jansen Sitindaon, orang itu adalah pejabat militer yang pernah dibesarkan oleh Presiden SBY yang mengangkat Moeldoko sebagai Panglima TNI. Sementara itu mengenai kader Demokrat aktif yang turut menggalang kudeta, kabar yang beredar mengerucut pada nama Johny Alen Marbun, Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat itu memang pernah berbeda pandangan dengan DPP saat Pilpres 2019 lalu. Sedangkan untuk nama kader yang disebut tidak aktif lagi sejak 6 tahun lalu, kabarnya adalah Marzuki Alie. Mantan Ketua DPR RI dari Demokrat ini sudah menghilang sejak 6 tahun lalu, tepatnya saat gagal lolos ke Senayan pada Pileg 2014. Pada 2015, nama Marzuki Alie sudah tidak ada lagi bercokol di pengurus Demokrat. Adapun nama kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat karena kasus korupsi ini diduga adalah Muhammad Nazaruddin. Nama Nazaruddin memang sudah tak asing bagi dunia politik di negeri ini. Pada 9 tahun lalu dia ditangkap di Bogota, Kolombia setelah menjadi buron dalam kasus Wisma Atlet. Sedang nama mantan kader yang sudah keluar sejak 4 tahun lalu diduga adalah Max Sopacua. Nama Max Sopacua memang kerap muncul ketika ada gaduh mengenai internal Demokrat. Max Sopacua beberapa kali juga mendengungkan untuk dilakukan Kongres Luar Biasa di tubuh Partai Demokrat. Namun, belum ada kabar resmi siapa 4 orang di luar nama Moeldoko yang dimaksud AHY sedang menjadi “dalang kudeta” itu. Demokrat Melawan “Kita ikuti saja terus perkembangan situasi eksternal, sambil perkuat konsolidasi internal kita. Perkuat terus narasi dan persepsi bahwa kita secara internal memang solid dan kompak, dan siap Lawan siapapun yang mau merusak soliditas dan kekompakan itu,” tegas AHY. Karena saat ini mereka tengah berupaya membangun narasi (termasuk melalui media) bahwa di tubuh PD ada gerakan besar yang ingin kudeta. Padahal, lanjut AHY, ya pelakunya hanya segelintir orang (dan orangnya ya itu-itu saja). “Bedanya kini ada Aktor Eksternal yang sudah sangat kebelet ingin jadi Presiden. Karena perlu “kendaraan” untuk nyapres nanti, makanya dia ingin rebut Demokrat secara paksa dan dengan cara-cara yang inkonstitusiona l, keluar jauh dari nilai-nilai moral dan etika,” ujarnya. Para pelaku gerakan juga seenaknya beranggapan bahwa Demokrat for Sale. Lantang katakan kalau Demokrat is Not for Sale! “Yang jelas, mereka tidak menyangka kalau kita akan berani se-frontal dan setegas itu untuk menguak kebenaran dan menuntut keadilan. Tunjukkan terus sikap seperti ini kepada Rakyat kita,” tegas AHY. “Mengapa kita harus berani? Karena kalau takut kita akan diinjak-injak. Dan kalau kita takut, lalu siapa lagi yang akan berani berdiri tegak membela kebenaran dan keadilan tadi? Kalau Demokrat merasa lemah dan tak berdaya, apalagi rakyat kita?” “Dan, mari kita ingatkan diri kita, bahwa kita hanya boleh takut kepada Tuhan, dan Rakyat; karena Suara Rakyat, Suara Tuhan. Mereka bisa saja ngeles ke kiri dan ke kanan; mencoba escape dari situasi sebenarnya,” ungkap AHY. Mereka juga mencoba menunjukkan sikap “santai”, menyederhanakan permasalahan. Bahkan mereka coba membuat persepsi kalau Demokrat “Cari Perhatian”, “Baper”, “Playing Victim”, “Halusinasi” atau sedang bermain “Drama”. “Tegaskan bahwa kita bukan Pemain Drama, kita adalah Politisi yang Kesatria. Bukan seperti Mereka. Jangan ragu, apalagi kita sudah kumpulkan berbagai bukti, yang pasti akan membuat mereka sulit untuk tidur nyenyak,” tegas AHY. Jadi, lanjutkan perjuangan para pengurus DPP! Lanjutkan untuk membangun opini sekaligus kontra-opini melalui media mainstream maupun media sosial. Lawan segala bentuk Fitnah dan Hoax yang merusak citra partai kita, termasuk yang dilakukan oleh para Buzzer. “Akhirnya, marilah kita ambil hikmah dari ini semua. Justru jadikan ujian yang sedang kita hadapi bersama ini sebagai momentum yang baik untuk merapatkan barisan dan menguatkan Otot Politik kita,” pinta AHY. Dalam organisasi apapun (apalagi Partai Politik), secara internal sangat wajar kalau ada perbedaan pandangan atau sikap di antara kita terkait berbagai hal. Menurut saya, perbedaan (dalam takaran tertentu) justru Sehat bagi sebuah organisasi. Namun, yang mungkin tidak mereka sadari adalah: semua perbedaan itu akan segera kita tinggalkan ketika ada ancaman Musuh Bersama dari luar. “Kini, tanpa kita minta dan tanpa kita sangka, Musuh Bersama itu telah hadir mengusik dan mengancam soliditas, kedaulatan dan kehormatan Partai kita. Oleh karena itu, marilah kita fokuskan pikiran, energi, dan daya kita untuk Hadapi Musuh Bersama kita hari ini!” Sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tidak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis". Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil dulu sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena dipikir Demokrat sudah lemah betul di bawah kendali AHY. Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa RI1 dan RI2 pilihannya. Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya. Ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kudeta Partai Demokrat Adalah Salah Satu Cara Menjegal Anies Baswedan

by Asyari Usman Medan, FNN - Musuh-musuh politik Anies Bawedan akan berkerja keras untuk menjegal beliau. Sebab, tanpa survei apa pun, Anies bakal tampil sebagai kontenstan yang sangat kuat di Pilpres 2024. Inilah yang setiap hari menghantui Jokowi dan Megawati serta semua elemen yang tidak suka Anies. Tapi mereka tahu betul bahwa Anies tidak mudah disingkirkan dari Pilpes 2024. Dan sudah terbayang pula bahwa peluang Anies masuk ke Istana sangat besar. Karena itu, mereka melakukan berbagai cara untuk menghadang Gubernur DKI yang semakin mengancam itu. Yang sudah dan terus mereka lakukan adalah upaya masif dan sistematis yang bertujuan untuk menjatuhkan Anies. Menjelekkan nama beliau. Ini dilakukan oleh mesin buzzer bayaran dan media massa penjilat atau media yang pemiliknya tersandera. Ini cara halus. Cara kasar pun dilakukan. Misalnya, belum lama ini ada peristiwa pemutusan kabel mesin pompa air pencegah banjir di Jakarta. Kabelnya sengaja diputus oleh para pelaku yang tak mungkin tidk terkait dengan upaya demonisasi (penjelekan) Anies. Si penjahat pemutus kabel itu bisa jadi paham bahwa kalau mesin pompa air tak bekerja, pastilah masyarakat akan menyalahkan Anies ketika banjir datang. Cara lain menjegal Anies adalah menghambat revisi UU Pemilu. Menurut UU Pemilu yang berlaku saat ini, pilkada DKI berikutnya dilaksanakan pada 2024. Masa jabatan Anies berakhir 2022. Artinya, setelah habis masa jabatan Anies pada 2022, di DKI Jakarta akan ditunjuk pelaksana tugas (Plt) gubernur menunggu pilkada 2024. Semua faksi di DPR, kecuali PDIP, setuju UU Pemuli direvisi. Agar pilkada diselenggarakan pada 2022. Kalau revisi ini sukses, Anies bisa ikut lagi dan sangat mungkin terpilih kembali. Sehingga, beliau bisa tetap punya panggung politik sampai pilpes 2024. Periode kedua sangat penting bagi Anies untuk ikut pilpres. Dengan duduk di kursi gubernur, Anies bisa terus “berkomunikasi” dengan publik selama dua tahun menjelang pilpres 2024. Jokowi dan Megawati bertekad keras mencegah Anies dua periode. Karena itu, mereka tidak mau pilkada DKI 2022. Jadi, “confirmed” (bisa dipastikan) bahwa tujuan mereka menolak revisi UU Pemilu adalah untuk menghadang Anies ikut. pilpres 2024. Untuk menjegal Anies, tidak hanya lewat jadwal pilkada DKI. Aspek kendaraan politik dan dukungan parlementer juga mereka bidik. Artinya, parpol-parpol yang berpotensi mendukung Anies harus mulai “dikerjai” sejak sekarang. Isu kudeta Partai Demokrat (PD) yang muncul kemarin, hampir pasti terkait dengan upaya untuk menjegal Anies Baswedan. Ini bisa ditelusuri dari jejak manuver PD selama ini. Misalnya, garis politik partai Pak SBY ini di Parlemen selalu beroposisi terhadap penguasa. PD sangat logis akan bergabung ke kubu Anies di pilpres 2024 nanti. Mengapa sangat logis? Lihat saja peta yang ada sekarang. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang saat ini duduk sebagai ketua umum PD, tidak mungkin akan bersekutu dengan poros Megawati-Prabowo. AHY dan PD jauh lebih natural bergabung ke kubu Anies. Kemungkinan ini sudah dibaca oleh lawan-lawan Anies. Di sinilah benang merah antara isu PD mau dikudeta dan pilpres 2024. Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), santer diberitakan ingin mengambil alih partai ini. Kebetulan, ada sejumlah kader Demokrat yang aktif dan yang telah dipecat, yang bisa dijadikan penggerak dari dalam. Seperti dilaporkan CNNIndonesia, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, mengatakan sejumlah pimpinan tingkat pusat dan daerah dipertemukan dengan Moeldoko. "Mereka dipertemukan langsung dengan KSP Moeldoko yang ingin mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat secara inkonstitusional untuk kepentingan pencapresan 2024," kata Herzaky kepada CNNIndonesia, Senin (1/2). Jadi, sangat jelas apa tujuan kudeta itu. Yaitu, mengacaukan pencapresan Anies di 2024. Kecil kemungkinan Moeldoko mendapatkan tiket pilpres. Tapi, kalau PD bisa dia kuasai, berarti dukungan politik untuk Anies menjadi lemah. Anies bahkan bisa digagalkan oleh Moeldoko kalau dia duduk sebagai ketua umum PD.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Oposisi di Tengah Demokrasi

by Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Dalam diskusi Forum News Network (FNN) beberapa waktu lalu, Rocky Gerung mengemukakan fenomena republik yang penuh ketakutan. Beliau merujuk pada tulisan Kanan Makiya tentang Republic of Fear: The Politics of Modern Iraq, Updated Edition First Edition, With a New Introduction. Buku ini akhirnya menjadi best-seller setelah invasi yang dilakukan Presiden Saddam Hussein di Kuwait. Kanan Makiya yang lahir tahun 1949 di Baghdad adalah seorang arsitektur yang lulus di Massachusetts Institute of Technology, Amerika. Kemudian bekerja di perusahaan arsitektur “Makiya & Associates “ milik ayahnya. Sebagai ahli tentang Islam dan Timur Tengah di Brandeis University, beliau mendapatkan perhatian yang luas di tingkat internasional terutama tulisannya tahun 1989 tentang Republik Ketakutan. Makiya kemudian menjadi nara sumber dalam pembicaraan dengan pemerintah AS yang menyerang Irak tahun 2003 dan menggulingkan rezim Saddam Hussein. Karenanya, tidak sedikit yang memberikan kritik terhadap karya Kanan Makiya. Salah satunya adalah Edward Said, profesor di Universitas Columbia-USA yang merupakan salah seorang paling vokal terhadap Makiya. Said berpendapat bahwa Makiya adalah seorang Trotskyis (Trotsky diidentifikasi sebagai Marxis ortodoks) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, tetapi kemudian "beralih sisi" dengan mengambil untung melalui rancangan gerakan untuk menggulingkan Saddam Hussein Melembagakan Oposisi Apa yang berlangsung di Irak terutama semasa Saddam Hussein memimpin tidak lepas dari hilangnya suara oposisi. Nyaris kekuasaan terpusat pada satu tangan sehingga menyimpan dan menumpuk perlawanan yang tersembunyi. Upaya menghidupkan kekuatan sebagai lawan politik nyaris tidak dilakukan karena kekuatiran dan bahkan ketakutan bahwa oposisi dapat merongrong dan pada akhirnya menjatuhkan kekuasaannya. Catatan Amnesty menunjukkan bahwa kualitas kebebasan berekspresi mulai dari berpendapat para warga, media, dan juga organisasi kemasyarakatan di Indonesia yang ingin beroposisi telah merosot cukup tajam. Dari seluruh catatan yang ada, maka paling mengkhawatirkan adalah penggunaan aturan pidana dalam menyikapi ekspresi warga yang kritis terhadap pejabat maupun lembaga negara. Termasuk juga serangan siber terhadap kelompok ini. (Rontoknya Kualitas Demokrasi di Era Jokowi, https://tirto.id/f6nL) Beberapa kasus menunjukkan penurunan kualitas demokrasi. Sebagai contoh, KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang dideklarasikan 18 Agustus 2019 oleh sejumlah tokoh, sebagai gerakan moral yang berjuang untuk mewujudkan masyarakat Indonesia sejahtera telah mengalami mati suri. Wadah yang bermaksud mengkritisi kebijakan pembangunan, KAMI dihajatkan beroposisi untuk memperkuat bangsa dan negara yang selaras dengan aspirasi rakyat. Dengan demikian kehadiran KAMI seharusnya dilihat sebagai bagian dari kekuatan yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan rakyat. Karena itu, gerakan moral yang menghimpun berbagai elemen-elemen dan komponen bangsa lintas agama, suku, profesi dan kepentingan politik perlu dilihat sebagai kekuatan untuk menyelamatkan Indonesia. Sehingga wajar manakala cara yang dilakukan adalah pengawasan social baik melalui kritik dan koreksi untuk meluruskan kiblat bangsa dari segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan. Semuanya dilakukan dalam kerangka membangun demokrasi. Terpenting apa yang dilakukan tidak mengarah pada cara-cara kekerasan dan inkonstitusional. Terhambatnya budaya politik oposisi di Indonesia ada kesan dilatar-belakangi oleh perkembangan persepsi yang keliru di tengah masyarakat dan pengelola kekuasaan tentang makna oposisi. Seolah-olah partai atau kelompok masyarakat yang beroposisi dianggap pembuat onar dan biang keladi dari kekisruhan politik yang mapan. Padahal suara krits dan berbeda baik di parlemen maupun di tengah masyarakat merupakan bagian dari tanggungjawabnya untuk mendorong perubahan kebijakan pemerintah yang lebih baik. Mati surinya kelembagaan oposisi seperti KAMI dalam kehidupan politik kelak dapat mengancam kehidupan demokrasi. Kurang berfungsinya partai politik dalam menjalankan fungsi control dan sekaligus menawarkan kebijakan alternatif kepada pemerintah justru akan membuka ruang bagi tumbuhnya kekuatan rakyat melalui gerakan ekstra parlemen yang lebih dahsyat. Ini berarti, membuka ruang oposisi dalam negara demokrasi menjadi wajib dijalankan sebelum memunculkan krisis legitimasi terhadap pemerintah dan partai politk. Dr Surin Pitsuwan, seorang diplomat Thailand dan mantan Sekretaris Jenderal ASEAN, mencatat bahwa ‘ demokrasi di Asia Tenggara belum begitu baik ’ yang salah satunya disebabkan oleh kesalahpahaman demokrasi. Dimana telah membawa generasi pemimpin yang mengendarai gelombang populisme, korupsi, patronase dan tanpa oposisi. Sehingga menciptakan ‘sandiwara’ demokrasi yang terlalu banyak memberi harapan ketimbang merealisasi fakta dalam jangka pendek. Penulis adalah Peneliti LP3ES.

Orkestra Jokowi Makin Sumbang dan Getir

by Jarot Espe Surabaya, FNN - JIKA seni merupakan ekspresi manusia menyikapi hidup, pada bagian mana Presiden Jokowi bertindak solutif lewat gerakan baton atau tongkat dirijen? Selama dua periode, Jokowi memimpin orkestra di panggung besar. Negara di khatulistiwa. Baton berwarna putih bergerak naik turun di tangan sang konduktor. Jokowi menulis sendiri partiturnya, dan para menteri tinggal membaca dan memainkan alat musik yang dipegang. Jokowi adalah konduktor di panggung politik. Sangat berbeda dengan konduktor sekaliber Ludwig Van Beethoven. Masa hidup Beethoven, tahun 1770 hingga 1827, sarat dengan penciptaan karya klasik. Dalam kondisi pendengaran kian berkurang, ia menyelesaikan simphony 5 yang mempengaruhi musik klasik abad modern. Simphony 5 bukan menggambarkan kondisi saat itu, melainkan luapan perasaan Beethoven. Dari gelap, terbitlah terang. Umat Muslim lebih mengenal dalam firman Allah, di balik kesulitan, ada kemudahan. Beethoven memang terlahir sebagai seniman, komposer kelas wahid yang menomor satukan harmonisasi suara. Begitu banyak musisi serta alat musik yang dihadirkan, justru menimbulkan musik yang enak di telinga. Ia membuktikan bahwa musik instrumental tak bisa lagi dianggap kelas dua. Adapun Jokowi merupakan politikus, meski tidak memiliki partai sendiri. Justru inilah kelebihan Jokowi yang mampu merangkul sekaligus menaklukkan lawan politiknya dalam satu keranjang. Jokowi terampil memanfaatkan potensi potensi di muka bumi, dipadukan dengan keberanian dalam mengumbar janji. Baginya lain urusan, jika di kemudian hari, tidak terealisasi. Orkestra Jokowi tidak perlu harmonisasi. Bahkan, bagi sebagian orang terasa menyayat. Tapi musik harus terus dilanjutkan, tidak mungkin berhenti di tengah jalan, ataupun dihentikan oleh mereka yang berada di luar panggung. Sejak awal, konduktor telah memastikan, show must go on. Adakalanya, penonton yang bersesakan di dunia maya, memberi applaus, saat Jokowi menghadirkan bintang tamu bersuara tenor diajak tampil di panggung. Sempat terdengar suara fals, tapi sejurus kemudian tertutup oleh permainan solo seorang personelnya. Pentas orkestra ditutup sementara, dan berganti ke lembaran partitur berikutnya. Dan pada bagian inilah, Jokowi pentas di panggung kehidupan yang sesungguhnya. Suara sumbang sudah terdengar beberapa saat setelah kalimantan selatan terendam banjir. Kemana Jokowi menggerakkan tongkat dirijen? Ia menginstruksikan pengiriman perahu boat. Sang konduktor tampaknya terbiasa memainkan tempo ceria. Ia lupa audiens yang dihadapi kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Cibiran pun menggema menyesaki sudut sudut panggung. Orkestra berbalut pilu juga terdengar di mamuju Sulawesi Barat. Massa menjarah bantuan korban gempa bumi yang tersimpan di rumah dinas wakil bupati mamuju. Dalam video yang viral di media sosial, terdengar teriakan agar pemerintah segera mengirimkan bantuan dan aparat keamanan. Penjarahan bantuan pangan semasa pandemi, apalagi di lokasi bencana, merupakan potret buram simponi kehidupan. Apakah ini indikasi tumpulnya kepekaan sosial masyarakat Indonesia yang dulu termasyur hidup gotong royong? Telunjuk kesalahan diarahkan pada kelambanan dalam pendistribusian bantuan. Aksi memprihatinkan di lokasi bencana hanyalah puncak gunung es persoalan besar yang dihadapi sang konduktor. Kasus korupsi bansos oleh kader PDI Perjuangan, tidak hanya melibatkan mantan menteri sosial Juliari batubara. Rekan separtainya, yang menjabat Ketua Komisi VIII DPR Ihsan Yunus, ternyata salah satu rekanan penyedia bansos yang mendapat kuota 'jumbo' dengan jumlah 1,23 juta paket sembako. Korupsi adalah kejahatan sistematis. Terencana. Merusak tatanan kehidupan masyarakat. Disharmonisasi. Rakyat miskin tambah sengsara karena jatah bantuan diembat politisi partai politik pimpinan megawati soekarnoputri. Dan rakyat wajib menuntut ganti rugi karena disuguhi pentas menjijikkan harkat manusia. Dalam batas ini, tongkat dirijen di tangan Jokowi terasa melompat lompat tidak terkendali. Betapa tidak, ada pemain musiknya yang mengeluarkan suara minor. Saya pun bergegas membatalkan keinginan bermimpi agar Jokowi mengikuti jejak Beerthoven, yang masuk dalam daftar 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Penulis adalah Pemerhati Seni dan Budaya.

Bu Mensos Sampai Berjumpa di Kampung 1001 Malam

by Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ahad (10/01). Sebuah video dengan judul blusukan Bu Menteri Sosial (Mensos), viral di media sosial (medsos). Video itu dicuplik dari liputan wartawan TV One Biro Surabaya. Dia wartawan itu tengah mengunjungi sebuah perkampungan di bawah tol jembatan di Surabaya. Nama kampung itu sangat unik dan menarik. Kampung 1001 malam. Jangan bayangkan situasi kampung itu seperti istana dalam dongeng yang berasal dari Timur Tengah. Hanya namanya saja yang sama dengan judul dongeng sastra epik tersebut. Kampung 1001 malam ini terletak di Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan, Surabaya Utara. Dulu…eh maksudnya beberapa waktu lalu. Lebih tepatnya kurang dari satu bulan yang lalu, wilayah ini masuk dalam kawasan yang dipimpin seorang Walikota bernama Tri Rismaharini. Yups…benar. Beliau adalah Mensos yang kini sedang asyik blusukan di beberapa titik kota Jakarta. Bertemu pemulung, pengemis, dan gelandangan. Dia menawarkan rumah, menawarkan pekerjaan, dan penghidupan yang layak. Janji-janji indah. Happily ever after. Sebuah kehidupan yang selama ini, barangkali dalam mimpi pun tak berani dibayangkan oleh mereka. Kembali ke kampung 1001 malam tadi. Nama “indah” itu muncul karena sepanjang hari, baik siang ataupun malam, suasananya sama saja. Gelap karena kurangnya pencahayaan. Tidak semua rumah berada di kolong jembatan tol. Sebagian warga tinggal di lahan terbuka, di bantaran Sungai Kalianak. Semua pemukiman tersebut statusnya tanah negara. Hak kuasa tanah-tanah itu adalah PT Jasa Marga yang mengelola jalan tol. Untuk sampai ke kawasan yang terbuka itu kita harus melewati kolong jalan tol yang gelap. Warga menamakannya “terowongan mina.” Untuk dapat melewati terowongan ini, perilaku Anda harus “sopan.” Anda harus jalan setengah menunduk. Kolong jembatan sangat rendah. Luar biasa. Mereka itu rakyat Indonesia, khususnya warga Surabaya. Mereka tetap tak kehilangan daya humornya, walau harus hidup dengan suasana yang memprihatinkan. Imajinasi mereka luar biasa. 1001 malam, dan terowongan Mina. Semua tempat itu pasti hanya hidup dalam angan-angan mereka. (Luput dari perhatian) Kembali ke liputan reporter TV One. Dia bertemu dengan Ketua RT setempat bernama Sigit Santoso alias Pak Mamik. Menurut Pak Mamik, di bawah kolong jembatan ada 16 KK. Sementara di bantaran sungai ada 170 KK. Mereka tinggal di kawasan itu sudah lebih 20 tahun. Kondisi kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Selain gelap kawasan itu sering banjir. Mereka harus mengungsikan benda-benda berharga ke pinggir jalan tol ketika banjir tiba. Menurut pengakuan Pak Mamik, sampai saat ini belum pernah ada bantuan dari Pemkot Surabaya. Satu dua kali, diakuinya memang sudah pernah ada pejabat yang menjenguknya. Lalu bagaimana dengan walikota (dulu) Risma? Berdasarkan pengakuan, ibu Walikota belum pernah menjenguk. Situasi kontras ini lah tampaknya yang membuat wartawan di Surabaya kembali berbondong-bondong mengunjungi Kampung 1001 malam. Mereka menampilkan situasi paradoks ini. Hanya dalam beberapa hari menjadi Mensos dan tinggal di Jakarta, Risma bisa langsung menemukan puluhan tuna wisma dan gelandangan. Panti Rehabiltasi Pangudi Luhur di Bekasi langsung penuh dengan gelandangan, pemulung dan pengemis. Sebagian dilatih kerja, dan sebagian disalurkan menjadi “karyawan” di BUMN. Sementara di Surabaya Risma menjadi walikota selama dua periode. Sebelumnya puluhan tahun mengabdi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemkot Surabaya. Namun ok bisa-bisanya Risma “tidak tahu” ada ratusan warganya yang masih tinggal di kolong jembatan? Padahal profesi mereka juga sama. Pengamen, pemulung, dan pengemis. Sebagian membuka warung kecil-kecilan. Mudah-mudahan saja Bu Risma tidak sedang mengidap “rabun dekat.” Hanya bisa melihat gelandangan yang berada jauh di Jakarta. Sebaiknya Bu Risma kalau ada waktu pulang ke Surabaya. Namun jangan lupa mampir ke Kampung 1001 malam ya. Mereka ini juga masuk dalam ruang lingkup kerja Anda sebagai Mensos. Masih jadi tanggung jawab Anda. Anda kan bukan Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat. Tetapi Mensos RI lho. Sampai jumpa di Kampung 1001 malam Bu Risma……..End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Harusnya Risma Blusukan ke Rutan KPK, Ada Juliari di Sana Butuh Bansos

by Asyari Usman Medan, FNN - Jumat (08/01). Mensos Tri Rismaharini babak belur gara-gara bluskan mencari tunawisma alias gelandangan di Jakarta. Drama pencitraan Bu Risma berantakan setelah muncul kontroversi karena salah seorang tunawisma yang beliau jumpai diduga palsu. Bukan gelandangan asli. Tetapi, Humas Kemensos mengatakan laki-laki yang dikatakan gelandangan palsu itu bukan Nursaman, tapi Kastubi. Dengan kata lain, Kemensos menepis tuduhan palsu itu. Sebenarnya, kalau Bu Risma bertekad terus melakukan blusukan, kita sarankan agar dia mendatangi rutan KPK. Di sana juga banyak tunawisma (homeless) dan tunakarya (jobless). Salah satunya Juliari (Ari) Batubara yang saat ini memerlukan bansos. Pak Ari perlu bantuan karena sel-sel darah beliau sangat cocok dengan sel-sel dana bansos Covid-19 yang beliau “transgelapkan” ke tubuhnya. Ibarat orang yang sudah kebanyakan narkotika di dalam darahnya, orang itu perlu suntikan narkotika untuk bisa bertahan. Begitu juga Pak Ari yang sudah banyak mengkonsumsi dana bansos. Dia perlu dibawakan oleh-oleh dana bansos agar bisa tenang di rutan. Tapi, haruslah dana bansos yang legal. Jangan yang tidak legal. Pak Ari sekarang ‘kan berstatus berhak menerima dana bansos. Kalau jadi menjumpai Pak Ari ke rutan, Bu Risma jangan lupa bawa kamera. Rekam dialog dengan beliau. Apakah dia mau dicarikan pekerjaan atau mau dipulangkan ke kampung halamannya. Kalau mau dipulangkan, apakah mau pakai private jet atau naik bus? Siapa tahu beliau kangen naik jet pribadi. Atau, kalau repot mencari jet pribadi, pulangkan saja ke rumah Bu Mega. Pak Ari itu ‘kan kader kesayangan Bu Ketum. Biar mereka bisa bincang-bincang tentang OTT. Boleh jadi Bu Mega ingin tahu kenapa Mas Ari bisa kena tangkap KPK. Apakah kurang hati-hati? Atau karena terlalu percaya diri, bahwa PDIP partai terbesar dan terkuat saat in? Pasti banyak yang hendak ditanyakan Bu Mega kepada Mas Ari. Mungkin juga mau ditanyakan bagaimana sebaiknya strategi ke depan untuk menghindarkan OTT? Dan lain-lain. Good idea-lah kalau Bu Risma bisa bantu pulangkah Mas Ari ke rumah Bu Mega. Banyak yang bisa mereka bahas. Terus, apakah ada alasan lain bagi Risma untuk menjumpai Pak Ari di rutan KPK?. Pasti ada. Bu Risma wajib mendatangi mantan mensos itu untuk menyampaikan terima kasih. Terima kasih atas kebaikan Pak Ari membukakan pintu Istana bagi Bu Risma melalui kosupsi bansos. Betapa besar pengorbanan Pak Ari untuk mengantarkan Bu Risma ke Istana. Kalau Bu Risma jadi datang ke rutan, beliau juga bisa bantu Pak Ari mendapatkan pekerjaan di penjara. Pak Ari perlu ada kesibukan di tahanan agar bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan hukuman mati. Sebab, desakan publik agar dia dihukum mati semakin keras. Ok. Kita tunggu blusukan Bu Risma ke rutan KPK. Pasti Pak Ari senang. Sekalian Bu Risma bisa lihat langsung kamar tahanan untuk koruptor dana bansos. Siapa tahu melihat sel di sana ada gunanya. Sebab, masih ada puluhan triliun lagi yang menjadi tanggung jawab Bu Risma. Iya ‘kan? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ratu Drakor di Panggung Srimulat

by Jarot Espe Surabaya, FNN - Jumat (08/01). Tidak ada kelompok dagelan, yang popularitasnya melebihi Srimulat. Bahkan ketika Srimulat bubar pun, para pelawaknya laku keras mengocok perut lewat layar teve. Terlahir di Solo dari tangan dingin seniman Teguh Slamet Raharjo, Srimulat mencapai puncak kejayaan ketika rutin manggung di Taman Hiburan Surabaya (THR) Surabaya. Setiap malam Jumat, panggung Srimulat diisi tema drakula. Benar benar suasananya mencekam, karena sang sutradara Teguh, menghadirkan back sound yang mendukung tema. Adakalanya, sosok drakula muncul di tengah penonton. Seluruh panggung menjerit histeris. Tapi beberapa saat kemudian, penonton terpingkal pingkal. Coba bayangkan, sang drakula setengah berlari menuju panggung karena 'kebelet' kencing. Dialog pemain Srimulat memang cocok di telinga arek arek Suroboyo. Meski faktanya, penonton Srimulat berdatangan dari berbagai kota. Maklum, panggung Srimulat juga diselingi band pengiring dan penyanyi dari Surabaya. Jadi kalau ada yang nggak paham dialog Suroboyoan, paling tidak terhibur oleh live musiknya. Srimulat sungguh menghibur. Walikota Surabaya, waktu itu, Soekotjo, menjadikan Srimulat sebagai aset kota pahlawan. Usia Trimaharini alias Risma, pengganti Soekotjo 30 tahun kemudian, masih usia sekolah dasar atau SMP. Apakah Risma dulunya juga sering nonton panggung Srimulat? Entahlah. Paling tidak, seperti layaknya arek Suroboyo, saya juga merasa terhibur selama Risma menjadi walikota Surabaya selama 2 periode. Bu Risma, demikian wong Suroboyo memanggil akrab walikotanya, galak. Galak khas orang Jawa Timur, sekaligus membuat orang tersenyum. Terhibur. Mirip respons spontan penonton di panggung Srimulat. Saat Surabaya dilanda hujan deras, 16 Desember 2019, kondisi lalu lintas di Jalan Raya Darmo, macet. Risma pun beraksi. Mengenakan jas hujan, ia berdiri tepat di persimpangan dari arah Jalan Diponegoro menuju arah Wonokromo. Padahal di lokasi yang sama, petugas gabungan dari Satpol PP, Dishub Surabaya maupun kepolisian juga terus mengatur kepadatan kendaraan. Empat bulan kemudian, Risma kembali beraksi manakala Mal Pelayanan Publik Siola Surabaya terbakar. Menggunakan alat pengeras suara, Risma meminta seluruh pengunjung gedung keluar. Sampai ada yang nyeletuk mengingatkan agar Risma hati-hati. Sebab sudah ada petugas yang lebih tahu situasi dan kondisinya. Aksi terakhir Risma sebelum dilantik sebagai Mensos, terlihat saat para demonstran menggelar demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Surabaya, Oktober 2020. Mengetahui banyak fasilitas publik dirusak pengunjuk rasa, Risma marah dan viral di media sosial. Sosok Risma bisa dianggap katup pelepas ketegangan atas kondisi hidup yang dihadapi warga. Lupakan sejenak penegakan hukum yang amburadul, seperti terlihat pada kasus penembakan 6 anggota FPI. Apalagi membahas kasus korupsi bansos oleh kader PDIP, mantan Mensos Juliari Batubara. Abaikan sebentar, kasus covid 19 yang melonjak tak terkendali. Tetap fokus bahagia mencari hiburan Srimulat ala Risma. Selepas dilantik sebagai Mensos, gaya Risma tetap menghibur, paling tidak bagi saya. Wong Suroboyo. Ia enteng berkata, mendapat izin Presiden Jokowi untuk merangkap jabatan: yaitu Mensos sekaligus Walikota Surabaya. Benar benar khas Risma, terdengar spontan, meski melabrak perundangan di Indonesia. Sepekan terakhir, Risma melanjutkan aksi blusukannya. Termasuk menemui tuna wisma di kawasan elite Jakarta, Sudirman-Thamrin. Kali ini sebagai orang Surabaya saya sedih. Respons khalayak demikian negatif, karena tuna wisma yang ditemui Risma, ternyata abal-abal. Namanya, Nur Saman, 70 tahun, penjual poster Soekarno di Jalan Minangkabau, Manggarai, Jakarta Selatan. Dia juga jualan kelapa muda. Saya berencana menulis surat terbuka ke Bu Risma. Jadi semua itu setingan, Bu? Siapa gerangan sutradaranya? Tahukah ibu dianggap melanggar UU ITE karena menyebarkan kebohongan? Hoax..! Kini terasa Bu Risma gak selucu dulu. Gak menghibur seperti panggung Srimulat. Aku wong Suroboyo... arep misuh ga enak. Lha sampean menteri kok dipisuhi. (Aku orang Surabaya, mau mengumpat ga enak. Anda (Bu Risma) kan menteri, masak diumpat). Penulis adalah Pemerhati Seni.

Papua, Antara Konspirasi dan Populisme

by Yorrys Raweyai Jakarta, FNN - Kamis (07/01). Respons terhadap persoalan Papua yang semakin mengemuka turut memunculkan berbagai analisis. Kompleksitas latar belakang yang mengiringi keberadaan Papua dalam bingkai NKRI melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang, di satu sisi, membawa alam sadar kita ke dalam suasana pemahaman tentang betapa ber-“harga”-nya Papua sebagai “surga” menghampar di dunia. Di sisi lain, Papua telah menjadi magnet bagi para pemburu “keuntungan” masa depan yang sedang kehabisan “energi domestik” untuk sekedar mempertahankan kepemilikan status sebagai “adi kuasa” dan “adi daya”. Apapun hasil analisis kemudian, pada gilirannya akan menempatkan Papua sebagai cerita tersendiri dalam kubangan intervensi. Lebih besar lagi, Papua adalah objek menggiurkan bagi pihak lain di luar dirinya. Kontestasi dan konspirasi pun tidak terelakkan. Pemaknaan tentang keduanya bahkan menjadi lebih mudah dicerna oleh publik yang cenderung membutuhkan penjelasan sederhana tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Instrumen demokrasi yang mengidentifikasi Amerika dan Eropa sebagai pendulum, tentu berkepentingan dengan dekolonialisasi dalam berbagai rupa dan bentuk. Belanda yang sejatinya begitu vulgar menancapkan kuku kolonial di Papua membuatnya kehilangan “alibi” untuk segera hengkang dan menyerahkan kekuasaan. Atas nama demokrasi, Amerika perlahan merengsek masuk. Tetapi hajat untuk sekedar memberi kebebasan tidaklah cukup diterima begitu saja. Sejak temuan “gunung emas” di akhir tahun 1950-an, membuat publik Papua begitu sulit menerima argumen sederhana tentang “kebebasan” yang hendak disematkan kepada mereka. "There is no such thing as a free lunch" terlanjur meng-adagium di kepala publik yang tersadarkan oleh pasar bebas. Bukan tanpa alasan jika paradigma tersebut lebih lanjut menuai banyak penjelasan oleh banyak ilmuwan. Greg Poulgrain, seorang sejarawan Australia, dan sederet sejarawan lainnya, sejak lama melakukan kajian tentang kuatnya aroma konspirasi yang menjadikan Papua sebagai objek eksploitasi. Meski atas kepentingan kesejahteraan maupun sebatas eksploitasi sebagaimana dikaitkan dari peran John F. Kennedy dan Allen Welsh Dulles, pintu masuk intervensi terbuka lebar. Diskursus geopolitik yang meneropong Papua dalam peta dunia memang tidak lagi bisa dihindari. Globalisasi dan pasar bebas di bawah payung liberalisme yang telah mempertautkan satu sama lain dalam aneka ragam kepentingan membutuhkan “mangsa” untuk dijamah. Jika kemudian negara-negara lain turut mengambil andil, maka itupun adalah bagian keniscayaan sejarah. Atas dasar itulah, membaca gambaran besar (big picture) terkait konstalasi Papua penting untuk selalu digemakan. Agar kita senantiasa memiliki referensi dalam bertindak dan mengambil kebijakan. Karena itu pula, fundamental kebangsaan dan kenegaraan kita sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila, pun menjadi alasan utama mengapa kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh negara harus senantiasa dikritisi dan dievaluasi. Suara-suara kebebasan yang menggelegar dalam ruang publik Papua hari ini tentu tidak lahir dalam ruang hampa. Di situ tersimpan kekhawatiran, kegelisahan dan keprihatinan. Negara harus hadir dalam berbagai segmen dan fragmen aspirasi, tanpa mengabaikan, mengucilkan, apalagi memberangus mereka yang berbeda. Demikian pula, penyelewengan dan pengabaian atas fundamental kebangsaan dan kenegaraan, pun tidak bisa ditoleransi ataupun didiskriminasi. Amerika dan Eropa (pihak asing) mungkin tidak lepas dari sinyalemen tentang dominasi, penghisapan, dan perburuan keuntungan. Tapi gagasan tentang pentingnya demokrasi, meski boleh jadi hanya sekedar lip service semata, telah membuka mata publik Papua, bahwa kebebasan dan “kemerdekaan” itu bukan semata slogan perlawanan, tapi hak asasi yang memang inheren untuk terus diperjuangkan. Kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan adalah diksi-diksi yang membutuhkan perjuangan untuk diselesaikan. Sebab kebebasan dan “kemerdekaan” sebagai manusia dan warga negara tidak akan lahir dalam suasana itu. Sementara kritisisme yang muncul akibat pandangan tentang ketidakhadiran negara dalam berbagai keluh dan kesah publik Papua sejatinya adalah kelaziman yang membutuhkan ruang untuk terus disuarakan dan didialogkan. Jika tidak, maka perlawanan dan penentangan yang sebelumnya berlangsung pada tataran substansial, berubah dan mengkristal dalam suasana yang semata untuk menunjukkan perbedaan. Apapun yang ditelorkan oleh pemerintah direspons secara berbeda. Dengan menentang, mereka berbeda. Negara yang kehilangan daya untuk menegosiasikan persolan terjebak antara pilihan untuk bertindak tegas atau membiarkan perlawanan bermetamorfosa menjadi semakin buas. Pada akhirnya, korban dari semua pihak berjatuhan. Di pihak lain, suara publik yang kehilangan substansi terjatuh dalam nuansa populisme. Mengatasnamakan rakyat yang “tertindas”, suara penentangan menjadi nyaring terdengar, semakin terbuka dan tidak lagi berada dalam ruang tertutup. Suara perlawanan di hutan belantara yang hanya di dengar oleh mereka sendiri, perlahan terpublikasi di ruang terbuka. Tersiar melalui dukungan media sosial, disambut oleh mereka yang sebelumnya diam, hingga memunculkan alternatif-alternatif baru. Ironisnya, dinamika penentangan semakin meluas seiring dengan agregasi kekuasaan yang juga semakin massif. Populisme menjadi lahan efektif bagi mereka yang memang selama ini terbungkam dan terpinggirkan oleh negara yang sibuk menyelesaikan persoalan berdasarkan perspektifnya sendiri. Pada tataran ini, populisme Papua bukan lagi suara pinggiran, tapi merengsek ke tengah, menjadi saluran alternatif. Tanpa disadari lebih jauh, ia pun telah menjadi wadah menggiurkan untuk dimanfaatkan oleh apapun kepentingan yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, sudah seharusnya pemerintah membuka diri. Memang diperlukan ketegasan untuk menunjukkan bahwa negara tidak boleh tunduk atas apapun yang berpotensi menodai fundamen-fundeman yang sejak awal mempersatukan bangsa. Tapi respons atas perlawanan dan penentangan sejatinya berbanding lurus dengan pemaknaan tentang gambaran besar yang pernah, sedang dan akan terus mewarnai kompleksitas persoalan Papua. Jika demikian, maka kita mengkhawatirkan masa depan Papua dihuni oleh dua belah pihak yang jatuh dalam arena populisme di saat keduanya mengusung argumen atas nama rakyat. Penulis adalah anggota DPD RI Dapil Papua/Ketua MPR For Papua.

Drakor Mensos Risma, Salah Casting, Salah Skenario?

By Hersubeno Arief TAK perlu waktu terlalu lama. Teka-teki “gelandangan” yang ditemui Mensos Risma di Jalan Thamrin Jakarta, langsung terbongkar. Seorang netizen mengenali pria berambut putih, berpakaian lusuh itu bukan gelandangan. Dia seorang pedagang poster di Jalan Minang Kabau, Jakarta Selatan. Karena yang dijual kebanyakan poster Bung Karno dan Megawati, netizen menyimpulkan dia anggota PDIP. Setidaknya simpatisan partai moncong putih itu. Berbekal info netizen, media rama-ramai mendatanginya. Benar saja. Pria itu bernama Nursaman. Sehari-hari dia pedagang es kelapa muda dan berjualan poster tak jauh dari Pasar Rumput. Nursaman mengakui pria dalam foto itu dirinya. Anehnya dia mengaku tak pernah ke Jalan Thamrin. Apalagi bertemu Mensos. Menurut istrinya, pria berusia 70 tahun itu sudah sering lupa. Dia pikun. Apapun pengakuannya, satu fakta tidak bisa dibantah. Benar pria yang ditemui Risma dan akan dipulangkan ke kampung halaman itu adalah Nursaman. Seorang pedagang yang diminta “berperan” sementara menjadi gelandangan. Lokasi yang dipilih di sepanjang kawasan Jalan Sudirman-Thamrin. Sebuah jalan protokol, etalase Jakarta. Bagaimana dengan dua gelandangan lain? Satu orang seperti pengakuan Nursaman bernama Rizal. Sementara sang perempuan, tidak diketahui nama dan keberadaannya. Temuan Mengagetkan Adanya “gelandangan” yang “ditemukan” Risma di koridor Sudirman-Thamrin ini memang sangat mengagetkan. Bukan hanya bagi mereka yang berkantor dan beraktivitas di kawasan itu. Tapi juga bagi Pemprov DKI. Wagub DKI Ahmad Riza mengaku sangat heran. Seumur-umur dia tidak pernah menemukan kejadian aneh tapi nyata itu. Padahal dia sudah tinggal di Jakarta sejak usia 4 tahun. Koridor Sudirman-Thamrin adalah kawasan utama. Sejak “dahulu kala” menjadi daerah terlarang bagi gelandangan dan pengemis. Dulu disebut gepeng. Kawasan perkantoran, hotel dan tempat perbelanjaan prestisius ini, setiap hari dilewati para petinggi negara. Para diplomat, dan juga tamu-tamu negara ketika berkunjung ke Indonesia, juga melewatinya. Di ujung Utara koridor ini, kita akan menemukan Istana Merdeka. Kawasan Ring 1. Harus benar-benar steril. Jadi bagaimana ceritanya tiba-tiba ada gelandangan? Hebatnya yang menemukan seorang Risma. Seorang menteri yang baru dilantik, kurang dari dua pekan. Kemana saja para menteri yang lain? Kemana saja Gubernur DKI Anies Baswedan? Karena kejanggalan inilah — netizen menyebutnya sebagai drama korea (drakor)— langsung terbongkar. Pertama, setting drakor ini salah lokasi. Kelihatannya pengatur laku tak begitu memahami kota Jakarta. Kedua, salah casting. Salah pilih pemeran. Di Jakarta ini banyak sekali gelandangan. Cukup diberi uang Rp 100-150.000 mereka pasti bersedia bila diminta untuk memerankan diri sendiri. Tanpa harus berpura-pura. Ketiga, salah skenario. Pengatur laku tampaknya terlalu bernafsu. Mereka tidak memperhatikan detil. Mulai dari lokasi, sampai asesoris yang dikenakan. Para “gelandangan” itu punya kesamaan. Sangat sadar protokol kesehatan. Maskernya baru. Standar yang dijual di apotek. Salah satu gelandangan juga diketahui membawa hp android lengkap dengan earphone. Canggih banget! Nampaknya sukses membuat aksi blusukan di bantaran sungai, kolong jembatan, dan kolong jalan, membuat abai. Mereka mencoba membuat kisah lebih spektakuler. Koridor Sudirman-Thamrin dipilih menjadi panggung besar sekelas Braodway. Masalahnya, karena terlalu bernafsu. Tidak menguasai medan, kurang observasi. Tidak memperhatikan detil. Panggung sandiwara besar itu langsung terbongkar. Sejak heboh Risma blusukan, kemana arahnya akan bermuara, sebenarnya sangat mudah terbaca. Penunjukan Risma, dari seorang walikota menjadi Mensos, mempunyai beberapa misi besar. Pertama, mengalihkan isu korupsi bansos yang melibatkan seorang kader dan Wakil Bendahara Umum PDIP Juliari P Batubara. Kedua, mendowngrade kinerja Gubernur DKI Anies Baswedan. Anies adalah ancaman nyata yang harus segera diaborsi, jauh sebelum pelaksanaan Pilpres 2024. Ketiga, branding dan mendongkrak popularitas Risma. Poin terakhir ini tampaknya erat kaitannya dengan skenario jangka panjang PDIP menguasai Jakarta, sekaligus Indonesia. Apakah semua skenario besar itu salah? Tentu saja tidak. Dalam politik hal itu sah-sah saja. Namanya juga usaha. Cuma ada satu syarat yang tampaknya dilupakan. Apa itu? Seperti halnya korupsi, semua boleh dilakukan, dengan satu syarat! Tidak ketahuan. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.