POLITIK

Sindroma Anak Raja & Pasangan Jokowi-Prabowo 2024

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Viral video dan foto kunjungan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono ke Solo. Ketika Menteri dan anggota rombongan lain mengambil posisi duduk di kursi. Sementara terlihat Gibran Rakabuming sang Walikota malah duduk di meja. Komentar di jagad media sosial atas video dan foto ini adalah "kurang adab". Memang terkesan Gibran Rakabuming ini adalah pejabat karbitan. Jabatan Walikota yang memang belum pantas untuk diemban Gibran. Akibatnya, pola penghormatan jabatan dan protokol diabaikan. Gibran lebih merasa anak Presiden yang tak harus hormat-menghormati. Mungkin merasa dirinyalah yang seharusnya dihormati. Ini yang namanya sindroma anak raja. Latar belakang sebagai pengusaha katering dan martabak tidak menjadi persoalan. Toh ayahnya Joko Widodo dulu juga pengusaha mebel. Masalahnya adalah miskin akan pengalaman politik, bahkan Gibran pernah menyatakan tidak akan terjun ke kancah politik. Namun di usia 33 tahun, tiba-tiba Gibran meniru jejak ayahnya maju dalam Pilkada Solo. Menjadi Walikota dengan proses instan melalui Fraksi Partai Dekorasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan didukung oleh mayoritas partai politik. Dengan lawan tanding yang hanya asal-asalan, sehingga nyaris melawan "bumbung kosong". Tidak bisa dipungkiri kalau orang melihat kemenangan dan suksesnya Gibran ditentukan oleh faktor orangtua Presiden Joko Widodo. Faktor ini yang membuat mayoritas partai politik ikut-ikutan mendukung Gibran. Oligarkhi politik istana dinilai sangat mempengaruhi. Gibran pun berhasil untuk tidak tersentuh dari keterkaitan korupsi yang menyeret mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Misalnya, soal goodie bag yang menjadi jatah anak Pak Lurah yang diramaikan. Goodie bag sebanyak sepuluh juta unit dengan harga Rp 15.000 per unit berhasil dikerjakan oleh PT Sritex melalui Penunjukan Langsung (PL). Padahal nilai proyek goodie bag tersebut adalah Rp 150 miliar. Sementara syarat dilakukan PL hanya untuk proyek dengan nilai Rp 200 juta ke bawah. Namun rupanya ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain. Tidak untuk anak Pak Lurah. Oligarkhi istana terus bergerak memastikan cengkramannya atas kekuasaan negara. Gibran digadang-gadang untuk menjabat Gubernur DKI pada Pilkada serentak 2024 nanti. Bahkan ada juga yang sampai mewacanakan dan memainkannya Gibran untuk ikut Pilpres 2024. Politik dinasti yang dibangun untuk menjadi warna budaya politik Indonesia kontemporer. Selagi kekuasaan masih berada dalam genggaman, semua bisa dilakukan. Toh semua bisa saja diatur-atur sesuai dengan selera kalau mau. Girban yang semula tidak ingin terjun ke politik, akhirnya mau juga menjadi Walikota Soloh. Wajar saja kalau ada keinginan untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Setelah itu ikut menjadi Calon Presiden (Capres) mengikuti jejak sang ayahanda. Pasangan Capres-Cawapres Presiden Joko Widodo yang berakhir masa jabatan pada Oktober 2024 memang sudah menyatakan hanya mau menjabat selama dua priode. Namun bukan berarti peluang menjabat lagi untuk tiga priode sudah hilang. Peluang tersebut masih tetap saja terbuka lebar. Apalagi amandemen UUD 45, khususnya pasal tentang pambatasan masa jabatan presiden hanya dua periode itu sedang diupayan untuk dijebol. Rencana untuk menjabat tiga lagi untuk periode ketiga sedang dikerjakan dengan sangat serius. Namun pekerjaan ini dilakukan dengan sangat senyap atau sembunyi-sembunyi. Masih malu-malu, dan khawatir kalau diketahui publik. Reaksi publik bisa sangat keras. Yang tampak ke permukaan adalah amandemen UUD 45 terkait dengan dimasukannya pasal tengang Garis-garis Besar Haluan Negara (GHBN). Yang nanti bakal diselundupkan adalah merubah pasal tentang masa jabatan presiden, yang tadinya hanya dua periode, menjadi tiga periode atau lebih. Karena pasal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan utama dilakukan amandeman UUD 45. Bukan hanya soal masuknya pasal tentang GBHN. Bisik-bisik di kalangan intelijen gadungan, besar kemungkinan yang menjadi Capres untuk priode ketiga nanti adalah Joko Widodo, yang berpasangan dengan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo Subianto. Begitulah kalau kekuasaan lagi mendesak atau menagih agar tetap dalam genggaman. Dengan duduk di atas meja, ini adalah pencitraan bahwa Gibran lebih tinggi dari siapapun, termasuk Menteri Basuki Hadimoeljono dan stafnya. Maklum saja ini anak raja. Menteri adalah bawahan "ayahku". Karenanya tidak masalah bahwa Walikota tidak menghormati Menteri. Apakah ini pencitraan? Mungkin juga iya. Karena persis sang ayah. Pola dan cara untuk mendapat dukungan politik dilakukan melalui pencitraan yang sebenarnya adalah kepalsuan semata. Banyak yang tidak sesuai antara omongan dengan perbuatan sebagai Kepla Negara dan Kepala Pemerintahan. Yang paling terakhir adalah “tiga tahun terakhir tidak pernah mengimpor beras”. Nyatanya omongan ini dibatah oleh data-data yang ada Badan Pusat Statistik, Kemnterian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Soal Giran duduk di atas meja ini telah dibantah oleh Sardono W. Kusumo. Konon itu bukan meja, tetapi kursi yang bertingkat dari panggung teater. Namun tetap saja orang bertanya-tanya, mengapa di depan itu ada "kursi lebar" yang lebih rendah? Mengapa kursi lebar itu tidak diduduki oleh Gibran? Selayaknya jika tujuannya untuk berdiskusi, maka Gibran akan duduk di samping menteri atau didepan di kursi panjang yang dapat langsung berhadapan dengan Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono. Sindroma anak raja memang penuh dengan kontroversi, disamping proteksi dan tentu saja buzzerisasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kapitra Ampera Berpikiran Keruh, Curiga Bom Makassar Terkait Sidang Online

by Asyari Usman Medan, FNN - Kepolisian RI memastikan bahwa bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar terkait dengan Jemaah Ansharud Daulah (JAD). Itu aritnya, tidak terkait dengan FPI, Habib Rizieq Syihab (HRS) maupun sidang online (daring). Kemarin, dalam siaran langsung (live) salah satu stasiun televisi nasional, mantan pengacara HRS yang juga politisi PDIP, Kapitra Ampera (KA), meminta agar polisi mendalami adanya pengaruh sidang online HRS dengan bom bunuh diri itu. Menurut Polisi, bom bunuh diri tsb terkait dengan kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Kata Kapitra, banyak yang memprotes sidang online HRS. Termasuk di Makassar. Kapitra curiga seperti itu sah-sah saja. Yang menjadi masalah adalah isi kepala Kapitra yang memicu kecurigaan dia itu. Orang ini hanya mengedepankan pikiran keruh di kepalanya. Miris melihat cara dia memposisikan diri agar terlihat oleh Presiden Jokowi. Tentu publik masih ingat ketika Kapitra menyodorkan dirinya kepada Jokowi untuk diangkat menjadi Jaksa Agung. “Saya jadi jaksa agung sajalah,” kata Kapitra kepada Suara-com pada 30 April 2019. Ingin sekali dia menjadi orang besar, masuk ke kabinet. Sebaiknya, Jokowi kasihlah kesempatan kepada Kapitra untuk menduduki kursi menteri. Supaya dia tidak bermimpi terus. Setengah tahun saja pun, lumayanlah. Ucapan Kapitra yang cenderung asal sebut tentang bom di Makassar, sangat luar biasa. Lupa diri beliau. Padahal, dia sangat kenal dengan karakter dan garis perjuangannya HRS. Kapitra hafal bahwa HRS adalah pribadi yang taat hukum. Tidak suka dengan cara-cara pengecut. Politisi PDIP ini tahu HRS akan melakukan cegah kemungkaran ketika jelas ada pelanggaran hukum yang berlangsung semena-mena. Seperti penjualan minuman keras tanpa izin atau rumah prostitusi. Untung saja Polisi tidak mengikuti jalan pikiran Kapitra tentang kemungkinan adanya kaitan bom bunuh diri Katedral dengan sidang online HRS. Semoga saja Kapitra tidak lagi ceroboh.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Politik Uang Memicu Ketegangan Politik Identitas, Residu Pilgub DKI Jakarta

by Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Stigmatisasi Islam politik di Indonesia makin mengemuka paska pilgub DKI 2017, dengan tumbangnya Ahok - ikon politik kelompok anti-demokrasi (hiper-nasionalisme, pluralisme represif, Islam-fobia, dan oligarki). Berada di barisan politik kekuasaan, berbagai varian kelompok anti demokrasi ini menggunakan segala cara, termasuk tindakan represif, untuk menyingkirkan Islam politik. Bermodal minoritas ganda dan dukungan kelompok anti-demokrasi, Ahok berhasil membangun citra korban politik identitas. Meluasnya oligarki, korupsi, kemiskinan, dan politik represif di DKI Jakarta ketika Ahok berkuasa tertutup citra palsunya sebagai korban politik identitas. Kekalahan Ahok di pilgub DKI 2017 juga ditimpakan pada peran sentral politik identitas. Hingga kini, isu politik identitas, yang disematkan pada kalangan Islam politik sebagai faktor utama kekalahan Ahok di pilgub DKI, dipelihara dan dimanipulasi kelompok anti demokrasi. Patut disayangkan, kaum intelektual dan para pengamat politik, termasuk sebagian kalangan Indonesianis, ikut memelihara citra palsu Ahok sebagai korban politik identitas. Mereka mengandaikan kemenangan Ahok pada pilgub 2017 jika tidak terjadi mobilisasi massa Islam anti-Ahok. Bagaimana Logika & Fakta Elektoral? Membaca data elektoral sebelum dan setelah pencoblosan, sentimen politik identitas bukan faktor penentu kekalahan Ahok. Lebih karena terkuaknya kebobrokan cagub petahana ini selama memimpin ibukota dan kecurangan dalam pilgub. Puncaknya, ketika tim Ahok tertangkap basah menebar paket sembako secara masif – bertruk truk di masa tenang, menjelang pencoblosan. Jadi, masuk akal, jika mayoritas swing-voters dan undecided-voters serta sebagian pemilih non-sosiologis Ahok-Djarot, dengan pertimbangan rasional, akhirnya menjatuhkan pilihan pada pasangan Anies-Sandi. Hal ini dapat dijelaskan dengan elektabilitas Ahok-Djarot, sebelum pencoblosan, tidak terpaut jauh dari pasangan penantang. Secara umum, selisih elektabilitas kedua pasangan ini masih dalam rentang margin of errors. Dengan kata lain, mereka dalam posisi seimbang. Survei Indikator pada awal April 2017, misalnya, mengungkap elektabilitas pasangan Ahok-Djarot sekitar 47 persen dan Anies-Sandi 48 persen. Survei Charta Politika menunjukkan tingkat keterpilihan pasangan Ahok-Djarot 47 persen, Anies-Sandi 45 persen. Survei-survei lain juga merekam elektabilitas kedua pasangan pada tingkat yang hampir sama. Kecuali dalam survei LSI, dukungan untuk pasangan Anies-Sandi mencapai 51 persen, unggul atas pasangan Ahok-Djarot yang hanya meraup 43 persen. Berdasarkan hasil final pilgub DKI yang diselenggarakan pada 19 April 2017, pasangan Anies Sandi menang telak dengan perolehan suara 58 persen, dan Ahok-Djarot 42 persen. Pasangan Anies-Sandi unggul di seluruh wilayah DKI Jakarta. Teori “bradley-effect”, yang dipakai untuk menjelaskan peran sentimen agama dibalik kekalahan Ahok, cenderung dipaksakan. Dengan teori ini, diduga pemilih muslim, saat survei elektabilitas, menyembunyikan antipatinya terhadap Ahok karena tidak mau atau takut dituding rasis. Dan ketika berada di bilik suara, sebagaimana diungkap Burhanuddin Muhtadi (2018), mereka urung memilih Ahok karena pertimbangan agama. Dalam hal ini, kemandirian dan keajegan pemilih berbasis politik identitas diabaikan. Sementara, pemilih tipe sosiologis ini tidak mudah mengalihkan dukungan karena alasan-alasan rasional dan pragmatis. Karakter mereka relatif stabil, tidak peduli dengan kinerja, atribut dan kualitas personal, tekanan sosial, dan iming-iming material. Kalaupun terpapar politik uang, tidak serta merta menjatuhkan pilihan pada calon yang tebar uang. Sejalan dengan tesis Francis Fukuyama, dalam bukunya “Identity: the demand for dignity and the politics of resentment” (2018), bahwa politik identitas merupakan ungkapan kebutuhan non-materi yang menuntut pengakuan dan penghargaan yang tidak dapat dipenuhi dengan instrumen ekonomi semata, tetapi membutuhkan respon menyeluruh dan non-diskriminatif. Fakta lain yang selama ini disembunyikan yaitu distribusi pemilih Muslim yang tidak terlalu timpang antara pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Sementara, mayoritas mutlak pemilih non-muslim menjatuhkan pilihan pada pasangan Ahok-Djarot. Artinya, proporsi non-muslim yang cenderung memilih atau tidak memilih berdasarkan sentimen agama jauh lebih besar dibandingkan kalangan muslim. Memang, kelompok Islamis sangat ekspresif dengan aspirasi dan orientasi politiknya, sehingga terkesan memonopoli permainan politik identitas. Sedangkan, kalangan non-Islamis dan non-muslim lebih bisa menyembunyikannya. Data elektoral di atas dengan sendirinya membantah impresi bias politik identitas ini. Politik uang sumber masalah dan memicu politik identitas Politik uang, yang dikenal dengan jual beli suara (vote-buying)) dalam literatur politik, merupakan praktik politik yang sangat “beracun”. Bank Dunia (2017) mencatat bahwa politik klientalistik [dimana politik uang menjadi komponen utama] merupakan sumber berbagai tantangan pembangunan global, mulai dari korupsi dan penyediaan layanan publik yang tidak memadai hingga kekerasan etnis dan penegakan hukum yang lemah. Politik uang menggerogoti demokrasi melalui berbagai jalur. Langsung atau tidak langsung, malpraktik politik ini mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Dalam jangka pendek, politik uang menggerus legitimasi penguasa. Selanjutnya, terjadi distorsi kebijakan publik yang berakibat pada ketimpangan sosial dan ekonomi. Hal ini bisa menjadi faktor pemicu menyeruaknya politik identitas dan kekerasan rasial. Fenomena ini bukan monopoli negara berkembang, tapi juga melanda negara-negara maju. Contoh paling mutakhir, menguatnya politik identitas dan hiper-nasionalisme disertai kekerasan rasial di Amerika Serikat merupakan akibat langsung dan tidak langsung dari komersialisasi politik. Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi asal AS, menyebut demokrasi di negaranya sebagai demokrasi "one dollar one vote" bukan lagi "one man one vote". Menurut Stiglitz, demokrasi one dollar one vote ini menjadi penyebab memburuknya ketimpangan sosial-ekonomi. Bagaimana dengan Indonesia? Melalui riset politik di Indonesia, dua profesor politik ANU, Edward Aspinall dan Ward Berencshot (2019) menunjukkan bahwa politik klientalistik adalah akar dari berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia. Sejak reformasi bergulir, terutama pasca pilpres langsung pertama 2004, praktik politik uang meningkat tajam. Sejumlah studi menemukan, pada pemilu 2009, sekitar 11 persen pemilih terpapar politik uang. Naik tiga kali lipat, mencapai sepertiga pemilih, masing-masing pada pemilu 2014 dan 2019. Pada saat yang sama, terjadi kemerosotan di berbagai bidang, mulai dari meluasnya korupsi, ketimpangan yang makin dalam, demokrasi dan kebebasan yang dibajak oligarki dan otoritarianisme, penegakan hukum yang diskriminatif, hingga menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta ketegangan sosial. Sebagai penutup, perlu digarisbawahi bahwa kita tidak menutup mata akan kebangkitan politik identitas dengan ragam ekpresinya, yang telah menjadi fakta sosio-politik Indonesia. Juga tidak mengenyampingkan dampak negatif politik identitas dalam dimensi ekstrimnya. Namun, akar masalahnya adalah sistem oligarkis yang bersenyawa dengan “onggokan sampah pemimpin plastik”, meminjam ungkapan Yudi Latif. Tipe pemimpin ini tidak saja minus wawasan kenegaraan dan kompetensi, tapi juga berjarak dari cahaya kebenaran dan keadilan. Politik uang menjadi jalur utama persenyawaan sistem oligarkis dengan pemimpin plastik, yang bermuara pada ketidakadilan. Pada gilirannya, ketidakadilan memperparah penderitaan dan ketersisihan (sebagian) rakyat, yang kemudian memicu ketegangan politik identitas. Penulis Ketua Dewan Pengurus IDem & Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-Korupsi.

Kudeta Demokrat, Harga Diri Keluarga SBY Dipertaruhkan

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Banyak kader Partai Demokrat yang kecewa. Terutama mereka yang tak lagi diakomodir di struktur kepengurusan partai dengan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY bin Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejumlah nama tokoh ada di dalam kelompok yang kecewa itu. Selain Marzuki Ali, ada Jhoni Allen Marbun dan Max Sopacua. Mereka berontak. Ingin melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) dalam rangka mendongkel dominasi keluarga SBY, bahkan mengambil alih Demokrat. Merasa tak mampu untuk menjatuhkan dominasi SBY, mereka lalu gandeng Moeldoko, yang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Berharap, dengan langkah ini akan dapat dukungan istana. Berharap dengan mendapat dukungan istana itu, KLB akan disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Ibarat "tumbu ketemu tutup". Moeldoko menyambutnya dengan sangat antusias. KLB pun diselenggarakan. Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Padahal bukan kader, tetapi Moeldoko orang istana. Apapun penilaian rakyat, KLB sudah terjadi di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara pada (6/3/2021). Saatnya sekarang bertarung di Kemenkumham untuk mendapatkan legalitas. Apakah Kemenkumham akan melegalkan Demokrat versi KLB Moeldoko? Kalau langsung dilegalkan, tentu saja akan muncul stigma negatif, kasar, dan dianggap super tega. Rakyat "sebagai pemilik suara dalam pemilu" tak akan simpati model permainan kasar yang seperti ini. Tetapi, kalau tidak dilegalkan, maka Mooldoko akan dikorbankan. Moeldoko akan jadi tumbal. Tumbal siapa? Setidaknya tumbal dari mereka yang memberi ijin, juga yang punya kepentingan dan ikut mendesign kudeta Partai Demokrat. Seandainya pun Moeldoko "dimenangkan", kemungkinan akan ada proses yang sedikit memakan waktu. Diayun dulu, agar lebih menarik. Supaya tidak terlihat vulgar. Perlu ulur waktu untuk meredakan "keriuahan publik yang suah terlanjur tak simpati". Boleh jadi kalah dulu di Kemenkumham. Lalu ke pengadilan, dan menang. Ini akan terkesan lebih manis. Seolah Moeldoko berjuang sendiri, tak ada intervensi siapapun dari kekuasaan. Tak ada yang tak mungkin. Politik itu bagaimana menggerkan irama permainan. Termasuk permainan isu, dan cara bagaimana mempengaruhi persepsi publik. Siapa yang memenangkan opini publik, dia yang akan jadi juaranya. KLB Partai Demokrat berupaya untuk mendapat dukungan publik. Lalu, bagaimana dengan nasib SBY? Bagaimana pula nasib karir politik putra-putranya? Apakah SBY akan membuat partai baru? Partai Demokrat Perjuangan, misalnya. Atau justru SBY akan membuat perhitungan-perhitungan lain? Yang pasti, tidak hanya nasib, tetapi harga diri SBY dan keluarga sedang dipertaruhkan. Selama sepuluh tahun menjadi presiden, lalu "dipermalukan" dengan kudeta partai yang dirintis dan dibesarkannya. Yang pasti, ini tak mudah bagi SBY dan masa depan politik bagi kedu putranya. Yang SBY perlu ingat, politik tak selebar konstitusi dan AD/ART Partai Demokrat. Politik memiliki dinamikanya sendiri. Seringkali tak bisa dikendalikan oleh pasal-pasal di dalam konstitusi partai. Apalagi cuma AD/ART partai. Sekarang lagi musimnya melanggar konstitusi. "Konstitusi boleh dilanggar untuk keselamatan rakyat", kata Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Apakah Kudeta di Partai Demokrat bagian dari tafsir konstitusional Mahfud itu? Kita akan lihat nanti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Jokowi Dihadapkan Pada Pilihan Sulit

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Cara kudeta kasar dan melabrak hukum yang dilakukan Kepala Kantor Staf Presiden (KPS) Moeldoko menempatkan Presiden Jokowi serba salah. Kelakuan Moeldoko sekarang berdampak pada pilihan sulit bagi Jokowi. Sebagai Presiden, Jokowi harus berpura-pura netral. Terpaksa berujar bahwa soal Konres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara adalah masalah intern Demokrat. Tuntutan agar menegur, bahkan memecat Moeldoko bukan hal mudah. Sebab sukses Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat dipastikan menguntungkan kepentingan politik Jokowi. Moeldoko bisa dipakai Jokowi untuk merealisaskan kepentingan politik jangka pendek, maupun jangka. Itu pun dengan catatan kalau Mooldoko diberikan SK Menkumham sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Memecat dan mengganti dengan pejabat lain sama saja dengan mengorbankan salah satu benteng Istana. Moeldoko adalah jagoan yang berani atau nekat dalam melangkah. Mantan Panglima TNI ini meski berambisi, tetapi tetap loyal kepada Jokowi. Trium Virat benteng kekuasaan bersama Hendro Priyono dan Luhut Binsar Panjaitan menjadi andalan Jokowi. Pada sisi lain, bila Jokowi mendukung langkah brutal Moeldoko melalui KLB, itu sama saja dengan melegalisasi pelanggaran hukum. Sama dengan membenarkan politik menghalalkan segala cara pada demokrasi kita yang berwajah buram di masa komunitas internasional. Menkumham Yasona Laoly ditempatkan di garda tedepan penguatan status kepemimpinan Moeldoko hasil KLB Deli Serdang, Sumatera Utara. Terhitung sejak Moeldoko mendaftarkan hasil KLB ke Kemenkumham, maka telah terjadi dualisme kepemimpinan Partai Demokrat. Moeldoko dapat bebas mengacak-acak Partai demokrat dengan bantuan penyandang dana dari oligarki dan konglomerat hitam, licik, culas dan picik. Gerombolan konglomeret yang tidak pernah puas menghisap darah. Berbeda dengan pola devide et impera pada partai-partai politik lainnya, Moeldoko yang menjadi pengurus sah di Partai Hanura mampu menjadi Ketum di Partai Demokrat. Padahal Moledoko adalah kepala KSP. Moeldoko orang dekat Presiden Jokowi. Bagi Jokowi, sorotan keras ini membuat posisinya menjadi sulit. Bagai harus makan buah simalakama. Simalakama nama latinnya adalah phaleria macrocarpa yang mengandung zat anti oksidan seperti alkaloid, flavonoid, polifenol, saponin, dan terpenoid yang berguna untuk menurunkan kadar gula darah, anti kanker, anti radang, juga anti alergi. Tetapi racun simalakama ini juga bisa menyebabkan sariawan, mabuk, dan kejang-kejang, berbahaya bagi ibu hamil. Memakan buah simalakama adalah pilihan sulit. Racun yang dapat menjadi obat, dan racun yang menimbulkan penyakit. Jadi, kaitan dengan politik kini apa yang dilakukan oleh Moeldoko dalam kudeta Partai Demokrat via KLB menjadi bagai makan buah simalakama bagi Jokowi. Pilihan yang tidak mudah. Pilihan yang serba salah. Di tengah kesulitan Jokwi itu, prinsip "bukan urusan saya" atau "sudah ditugaskan kepada Menteri" menyebabkan Jokowi sebenarnya melempar kesulitan itu justru kepada rakyat. Menciptakan kegaduhan untuk rakyat. Sikap itu yang sekaligus mengukuhkan predikat sebagai rezim sarat kegaduhan. Suka dan hobby memproduksi kegaduhan politik. Banyak yang merenung, apakah Presiden memang sedang memikirkan rakyat? Atau rakyat ini yang selalu dan selalu dibuat pusing untuk memikirkan prilaku Presiden? Pilihan Jokowi untuk menentukan kebijakan melegalisasi hasil KLB, yang berarti membunuh SBY atau menolak pengesahan KLB yang bermakna membunuh Moeldoko adalah kondisi berat sebagai ujian bagi masa depan dirinya. Ataukah seperti biasa, biarkan diambangkan saja lalu mengikuti instink untuk melompat ke tempat lain lagi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ini Baru Halaman Pertama, Bagaimana Lembar Berikutnya?

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Ada yang mengait ngaitkan ucapan Anas Urbaningrum mantan Ketua Umum Partai Demokrat dan napi kasus korupsi proyek Hambalang (Pembangunan Pusat Pendidikan, Latihan dan Olah Raga Nasional) waktu itu. Tentu dikaitkan dengan malapetaka aktual masa kini, kudeta Partai Demokrat oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Publik memberi arti kudeta itu sebagai “halaman pertama” dari sejumlah lembaran sebuah buku politik. Buku yang akan dibuka di waktu-waktu setelah tuntas membaca “halaman pertama”. Lebih asyik dan mboys membacanya sambil duduk mengangkat kaki, ngobrol-ngobrol dan ngopi-ngopi biasa. "Saya nyatakan ini baru permulaan. Hari ini saya nyatakan ini baru sebuah awal langkah langkah besar. Baru halaman pertama. Masih banyak halaman halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Tentu untuk kebaikan bersama", ucap Anas Urbaningrum seperti dikutip oleh merdeka.com (23/02/2013). Menyambung itu, sementara pihak berspekulasi kalau Moeldoko yang “disuruh” menjadi Ketum Partai Demokrat hasil Konres Luar Biasa Deli Serdang kemarin, untuk segera bergerak ke Senayan. Wakil rakyat asal Partai Demokrat disana signifikan jumlahnya. Bisa menggalang kekuatan dan pengaruh dengan target-taget tertentu. Diilustrasikan, orientasi politik Moeldoko, bila merasa dirinya telah sah secara defacto, akan segera menggalang pengaruh anggota DPR di. Konsentrasi jangka pendek adalah mengupayakan adanya Bab, atau Pasal atau Ayat dalam UUD 1945 yang membolehkan tiga kali jabatan Jokowi sebagai Presiden. Dalam jangka menengah atau pun panjang, dimungkinkan Moeldoko akan mengaku “dipaksa rakyat, bila tidak malu dibilang mencalonkan diri, untuk ambil bagian di Pilpres mendatang. Menjadi calon presiden tahun 2024. Otak-atik politik tersebut merujuk pada pandangan tokoh sentral reformasi '98, Amien Rais, yang mencurigai pihak-pihak selain oposan tengah berjuang untuk tiga kali Jokowi sebagai presiden. Sekali pun kalkulasi Amien Rais tersebut dibantah mentah Wakil Ketua MPR (Fraksi PDIP), Ahmad Basarah, namun rasa was-was dan tidak percaya tak mudah hilang dari mata hati dan pikiran. Sudah kadung tidak bisa dipercaya. Mungkin juga itu sebab-musababnya. "Sejauh ini kami belum pernah memikirkan. Apalagi mengambil langkah langkah politik untuk merubah konstitusi hanya untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Demikian juga di MPR, kami belum pernah membahas isu masa jabatan presiden tersebut, dan mengubahnya menjadi tiga periode," kata Ahmad Basarah. Ungkapan Ahmad Basarah sebagai upaya meyakinkan itu, boleh jadi dibaca kaum oposan sebagai lembutnya lidah tanpa tulang-belulang. Ibarat lagi "kau yang berjanji, kau yang mengingkari," kata Raja dangdut Rhoma Irama dalam syair lagunya. Masih ragu juga? Atau belum mau percaya? Bolehlah kita putar ulang alasan Moeldoko yang baru kemarin sore diucapkannya. Moeldoko membantah kalau bertemu dengan beberapa kader dan bekas orang Partai Demokrat, sebagai rencana kudeta atas Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagaimana kecurigaan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Partai Demokrat yang sah. Moeldoko, seperti ditirukan SBY, mengaku "hanya ngopi-ngopi biasa. Hanya ngobrol-ngobrol biasa". Ngobrol sambil ngopi antara Moeldoko dengan beberapa orang kader dan pecatan Partai Demokrat itu, diakui Moeldoko tidak membahas rencana jahat politik. Namun apa lacur. Beberapa waktu sesudah itu, yang dilakukan Moeldoko dari hasil ngobrol dan ngopi itu membuahkan hasil? Meletuslah malpraktek politik di Deli Serdang Sumatera Utara. Moeldoko diangkat menjadi Ketum PD dengan cara bermain sulap. Malahan, menurut gelora.co (15/03), Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, secara pribadi mendukung wacana penambahan masa jabatan presiden hingga tiga periode. Itulah sebabnya anak bangsa yang menaruh peduli atas keselamatan NKRI, bahu-membahu berteriak keras. Mereka berdiri atas nama kebenaran dan keselamatan demokrasi. Deretan nama yang berani mengambil posisi di zona oposan diantaranya Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas, Din Syamsudin, Rocky Gerung, Rizal Ramli, Fadli Zon serta kaum melek bernegara lainnya. Kecuali para tokoh tersebut, terdapat jurnalis yang tergabung di media massa kritis. Diantaranya TEMPO.co, FNN.co.id, Gelora.co, indonesialeaks dan TV One. Memang sedikit jumlahnya dibanding cacah media massa yang beredar. Para pengkritik maunya diminta diam oleh para buzzeRp. Inginnya mereka para buzzerRp, bernegara seperti yang kini kita rasa dan alami bersama saat ini. Jadi teringat filosofi, "kalau sekedar hidup, babi di belantara itu juga hidup. Kalau sekedar kerja, kerja, kerja, kera yang joget ikut pengamen jalanan itu juga kerja". (Buya Hamka, Tokoh Muhammadiyah). Sulit dibayangkan, seandainya perjalanan negeri ini tanpa diimbangi campur tangan pengkritik. Ibarat penanganan suatu penyakit oleh tenaga medis. Negara ini dalam kondisi illness akibat sepsis yang telah menyeluruh menjangkit organ tubuh. Yang prognosisnya adalah kematian. Nah, keberadaan Amien Rais dan sejumlah pihak yang memiliki selera politik sama, berperan sebagai obat yang bekerja secara paliatif. Mengulur ulur umur. Sambil menunggu mukjizat Allah Subhaanahu Wata’ala untuk sembuh dari penyakit. Akhirnya, seperti apa rupa dan warna dalam gambar serta bacaan di halaman-halaman berikutnya. Kita tunggu saja bersama. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Memikirkan Ulang Periode Jabatan Presiden

by Tamsil Linrung Jakarta, FNN - Wacana presiden tiga periode kembali muncul. Isu lawas ini mencuat dengan tensi yang seketika meninggi, menjadi bahan diskusi di banyak tempat. Diskursus politik era demokrasi memang memungkinkan membicarakan segala hal. Tetapi tema-tema yang memunggungi konstitusi seharusnya tabu, tidak boleh dibiarkan beranak pinak. Selain membahayakan demokrasi, juga mengancam kelangsungan bangsa. Bagaimana mungkin kita mendiskusikan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi? Konstitusi telah membatasi kepemimpinan nasional hanya dua periode, titik. Kekuasaan yang terlalu lama berpotensi menyuburkan oligarki, melanggengkan korupsi, selain melahirkan diktator baru. Wacana presiden tiga periode tak lebih akal bulus dari pikiran yang dahaga kekuasaan. Memberikan tempat pada diskursus tersebut bukan tidak mungkin justru melecut momentumnya. Dan kita tahu, politik adalah tentang momentum. Kalau momentumnya pas, kalkulasi politik bisa berjalan lancar. Jamak terdengar, menciptakan momentum adalah bagian dari seni berpolitik. Wacana presiden tiga periode telah beberapa kali memburu momentum dalam dinamika politik tanah air. Penghujung 2019 lalu, isu ini mengedepan seiring bergulirnya wacana amandemen UUD NKRI 1945. Untung saja tidak kejadian. Yang menggelontorkannya bukan orang sembarangan. Jejak digital mencatat, yang pertama kali mewacanakan adalah Wakil Ketua MPR Asrul Sani. Kita tahu, MPR adalah lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD NKRI 1945. Lebih mengerikan lagi, Ketua DPR Puan Maharani tercatat juga mewacanakan. Walau sempat tenggelam, wacana tiga periode tidaklah mati. Malah diduga menggelinjang di bawah tanah. Dugaan ini disampaikan terbuka oleh Pendiri Partai Umat Amien Rais. Konon, ada usaha pemerintahan Jokowi menguasai seluruh lembaga tinggi negara. Amien Rais rupanya mendeteksi sinyal politik atau skenario yang mengarah agar Presiden Jokowi bisa terpilih lagi hingga tiga periode. Pasca-viralnya pernyataan Amien di kanal youtube, mengalir aneka kritikan tajam kepada tokoh gerakan reformasi 98 ini. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Tjahjo Kumolo, misalnya, menilai tudingan Amien Rais sebagai manuver murahan. Tetapi, tak sedikit pula yang bersimpati. Lepas dari kontroversi tersebut, pernyataan Amien Rais ada hikmahnya juga. Paling tidak, pernyataan ini telah menggedor dan mengembalikan sikap kehati-hatian kita terhadap upaya-upaya melawan konstitusi. Soalnya, perhatian rakyat selama ini dibuai atraksi berbagai manuver di panggung politik nasional. Muncul Dukungan Kita mengapresiasi penolakan Presiden Jokowi terhadap wacana presiden tiga periode. Presiden bilang, tidak ada niat dan juga tidak berminat. Presiden juga menegaskan, konstitusi mengamanahkan dua periode dan harus kita jaga bersama. Namun, politik punya banyak wajah. Wajah yang lain, sejumlah elit partai pendukung pemerintah menyatakan dukungannya. Sebutlah Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono lebih ekstrim lagi. Dia meminta Presiden Jokowi menerima keinginan rakyat untuk memimpin hingga tiga periode. Alasannya, demi menyelamatkan rakyat dari bencana pandemi dan dampaknya. Kita tidak tahu rakyat mana yang dimaksud Poyuono. Bila yang dimaksud anggota dewan terpilih sebagai representasi rakyat, mungkin logikanya tidak sepenuhnya benar. Sebab, manuver politik penghuni Senayan tidak selalu muncul karena keinginan rakyat. Terkadang manuver itu dipicu oleh inisiatif pribadi atau permintaan partai. Dengan begitu, dukungan elit politik tidak serta merta paralel atau merepresentasikan dukungan akar rumput. Lagi pula, sejarah mencatat bahwa kemunculan wacana presiden tiga preiode telah memperlihatkan penolakan rakyat dari waktu ke waktu. Pertanyaannya, atas dasar dan tujuan apa wacana ini bersemi kembali? Kantor Staf Presiden mencurigai ada pihak yang ingin menjerumuskan Presiden. Sementara itu, pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin berpendapat ada kemungkinan orang terdekat Jokowilah yang memunculkannya. Untungnya, isu amendemen UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode dibantah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meyakinkan itu. Kita berharap pimpinan MPR konsekuen. Pun dengan Anggota DPR dan DPD yang juga merupakan Anggota MPR RI, agar saling menjaga, menutup peluang sidang istimewa MPR RI. Cukup Satu Periode Jadi, perbincangan soal masa periode jabatan presiden sebaiknya dihentikan saja. Kalau pun ingin membahasnya lebih serius, wacana yang dikedepankan harusnya yang relevan dengan demokrasi dan percepatan pertumbuhan regenerasi kepemimpinan. Dalam perspektif itu, ada baiknya yang dipikirkan secara bersama adalah memangkas periode jabatan presiden, bukan malah menambahnya. Pakar hukum tata negara Refly Harun pernah menggagas ide ini, dengan usulan masa jabatan tujuh tahun atau cukup lima tahun saja. Selebihnya, ia mengusulkan mantan presiden dapat mengajukan diri kembali, tetapi tidak berurutan. Hemat saya, periode presiden dibatasi cukup satu periode atau lima tahun saja. Namun, dengan satu opsi tambahan yakni masa jabatannya dapat diperpanjang hingga dua atau maksimal tiga tahun. Opsi tambahan masa jabatan ini tidak otomatis. Kewenangan diperpanjang atau tidaknya dikembalikan kepada MPR. Dengan begitu, anggota legislatif sebagai pengawas pemerintah punya peran tambahan dalam mengevaluasi hasil kerja presiden. Artinya, opsi itu sekaligus menjadi reward atau punishment bagi presiden. Bila MPR menganggap kinerja presiden selama lima tahun di bawah standar, jatah dua tahun perpanjangan jabatan boleh tidak diberikan. Sebaliknya, jika kinerja presiden terlihat baik atau berhasil, masa jabatan itu dapat diberikan sebagai penghargaan. Ke depan, bila penerapannya memenuhi ekspektasi, keran diskursus selanjutnya dapat dibuka untuk kemungkinan penerapan di level kepemimpinan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Setidaknya, ada tiga hal yang mendasari pikiran tersebut. Pertama, regenerasi kepemimpinan dapat berjalan dengan cepat. Berbarengan dengan itu, pertumbuhan oligarki kekuasaan sekaligus bisa diminimalisir. Kedua, dua periode jabatan menyita banyak waktu dan konsentrasi presiden pada periode pertama guna menyiapkan diri pada perebutan kekuasaan selanjutnya. Hampir separuh dari periode pertama biasanya dihabiskan untuk konsolidasi menuju tampuk kekuasaan periode kedua. Ketiga, dalam konteks pemilihan presiden, petahana dipandang mempunyai nilai lebih karena menguasai sistem dan pemerintahan. Terbuka potensi menyalahgunakan wewenang dalam perhelatan Pilpres yang melibatkan dirinya. Satu periode jabatan presiden menutup kemungkinan tersebut. Jadi, persoalan periode jabatan presiden bukan sebatas pertimbangan ditambah atau dikurangi. Yang lebih mendasar adalah alasan di balik penambahan atau pengurangan itu. Pemilik gagasan presiden tiga periode perlu ditanya, apa relevansi gagasan itu terhadap demokrasi dan pembangunan bangsa? Penulis adalah Senator DPD RI.

Jokowi-Prabowo 2024 Jadi Puncak Onani Direktur Indo Barometer

by Asyari Usman Medan, FNN - Ada yang berkhayal bahwa pasangan Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 bisa melenyapkan perpecahan politik rakyat. Yang bermimpi itu adalah Direktur Eksekutif lembaga survei Indo Barometer, Muhammad Qadari. Dia langsung mengklaim “copy rights” sebagai deklarator. Qadari menyampaikan klimaks orgasme siang bolongnya itu seperti dikutip oleh CNNIndonesia dan Kompas hari ini, Selasa, 16 Maret 2021. Qadari mungkin berharap Jokowi dan Prabowo akan menelefon dia untuk membeli hak cipta tag-line deklarasi itu. Soal harga, tentu bisa dibayangkan berapa banyak nolnya. Sebab, tag-line ini merupakan "maha karya" Qadari untuk persatuan bangsa. Kita lihat saja perkembangan selanjutnya. Mari kita lihat beberapa hal serius tentang Jokowi-Prabowo 2024 yang diyakini Qadari bisa menghilangkan polarisasi. Namun M. Qadari lupa bahwa sampai hari ini perpecahan yang lebar dan dalam itu masih belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Qadari ini tidak melihat atau pura-pura tak melihat bahwa jika Jokowi-Prabowo bisa menyatukan rakyat, tentu sejak hari pertama Prabowo menekukkan lututnya di depan Jokowi, polarisasi itu langsung lenyap. Kenyataannya, itu tidak terjadi. Keterbelahan tak berubah. Itu artinya, bukan ikut atau tidak ikutnya Prabowo ke kubu Jokowi yang menjadi masalah. Persaoalannya adalah rakyat tidak menerima cara-cara Jokowi mengelola pemerintahan. Rakyat tidak setuju dengan sebagian besar kebijakan Jokowi. Tidak usah dulu kita bicarakan amandemen UUD 1945 pasal 7 yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua (2) periode. Katakanlah perubahan pasal itu bisa dilakukan dalam satu hari. Kemudian Jokowi-Prabowo mendeklarasikan diri dengan dukungan 8 parpol, misalnya. Rakyat akar rumput tidak akan mendukung. Seperti biasa, mereka tentu bisa saja dipaksakan menjadi presiden dan wakil presiden 2024-2029 lewat tangan ketua KPU. Tapi, perpecahan malah akan semakin panjang. Karena, sekali lagi, rakyat tak sudi memberikan mandat kepada Jokowi. Jadi, Mister Qadari, yang menjadi masalah bukan ada-tidaknya Prabowo di kubu Jokowi. Yang menjadi problem adalah keberatan rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi. Kalian ciptakan pun 20 kloningan Prabowo untuk dimasukkan ke kubu Jokowi, tidak akan ada pengaruhnya terhadap polarisasi bangsa ini. Anda, Pak Qadari, masih menyangka bahwa Prabowo punya gerbong pengikut seperti di masa kampanye Pilpres 2019. Wake up, Sir! Mr Prabowo had totally been deserted by most of his supporters. Pak Prabowo itu sudah ditinggal pergi oleh sebagian besar pendukungnya tempohari. Segelintir loyalis masih ada. Tapi, sangat tidak signifikan. So, stop your day light dream, Pak Qadari. Berhentilah bermimpin siang bolong. Tapi, silakan terus beronani dan berorgasme dengan terori Jokowi-Prabowo 2024 akan melenyapkan polarisasi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi Lalu Lihat Kebalikannya

Membantah sama artinya mengiyakan atau menyetujui masa jabatan presiden tiga periode. Begitulah kira-kira bacaan masyarakat saat ini terhadap ucapan dan tindakan Presiden Jokowi. by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - AKHIR-AKHIR Ini ribut perdebatan soal rencana perpanjangan jabatan Presiden Jokowi hingga tiga periode. Melalui akun Youtube Sekretariat Presiden yang diunggah, Senin (15/3/2021), Jokowi menegaskan dirinya tidak berminat menjadi Presiden untuk tiga periode. Ia juga meminta untuk tidak membuat kegaduhan baru karena kini sedang fokus pada penanganan pandemi. "Apalagi yang harus saya sampaikan? Bolak-balik ya sikap saya tidak berubah. jangan membuat kegaduhan baru, kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi," ujar Jokowi. Pernyataan tersebut hampir mirip dengan ucapan Jokowi saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, bulan September 2012. Ketika itu, Jokowi mengaku tidak pernah memikirkan jadi calon Presiden (Capres). "Copras-capres, copras-capres. Gak mikir. Mikir banjir, mikir macet saja pusing," ujar Jokowi kepada para wartawan ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Nah, sekarang pernyataan yang hampir sama terulang kembali terkait dengan jabatan Presiden tiga periode. Menurut para netizen di media sosial, untuk membuktikan pernyataan Jokowi cukup dengarkan pernyataannya kemudian lihat kebalikannya. Apa yang dikatakannya terbalik dengan apa yang dilakukannya alias tidak sinkron antara pernyataan dengan perbuatan. Antara janji-janjinya dengan realitanya. Misalnya, dalam kampanye Pilpres 2014 berjanji untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi 7 persen per tàhun, tapi kenyataannya hanya mampu tumbuh sekitar 5 persen. Lalu dia juga berjanji untuk tidak melakukan impor kebutuhan pangan, sekarang malah pemerintah merencanakan untuk mengimpor 1.000.000 ton beras. Padahal, para petani sekarang sedang melakukan panen raya. Masih banyak janji-janji Jokowi lainnya yang kalau diurut satu per satu hanya akan menyesakkan dada saja. Ruwet bos. Oleh karena itu, sekarang masyarakat umumnya sudah apatis dan tidak peduli lagi dengan apa yang sedang dan akan dilakukan pemerintah karena mereka melihat banyak inkonsistensi dari pernyataan dan langkah yang dilakukan pemimpinnya dalam hal ini Jokowi sebagai Presiden RI. Apalagi saat ini, pemimpin dan para elite partai politik juga asyik berebut kepentingan mereka masing-masing. Sedangkan masyarakat berkutat dengan berbagai permasalahan hidup mereka sehari-hari mulai dari kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga naiknya biaya pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini terjadi di tengah kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Antara pribumi dan non pribumi. Tidak hanya itu, para taipan bahkan mampu bersekongkol dengan oknum pejabat dan aparat untuk melakukan korupsi uang negara. Jika memperhatikan perdebatan para elite politik dan pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan tentang perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, sesungguhnya komentar mereka sarat dengan kepentingan politik. Saya lebih mengapresiasi komentar dan penilaian yang diungkapkan para netizen di media sosial. Mereka lebih jujur dan objektif dalam menilai kinerja pemerintahan sekarang, khususnya Presiden Jokowi. Untuk membuktikan pernyataan Jokowi, cukup dengarkan kemudian lihat kebalikannya. Tidak berlebihan jika Jokowi dijuluki presiden terbalik. Publik umumnya sudah maklum dan terbiasa dengan berbagai pernyataan presiden yang kerap berbohong. Oleh Karena itu, apa pun bantahan yang disampaikan Jokowi tentang perpanjangan jabatannya sebagai presiden menjadi tiga periode, publik justru meyakini sebaliknya. Membantah sama artinya mengiyakan atau menyetujui masa jabatan presiden tiga periode. Begitulah kira-kira bacaan masyarakat saat ini terhadap ucapan dan tindakan Presiden Jokowi. Betapa tidak, sebelumnya mantan Wali Kota Solo tersebut berhasil membuat sandiwara politik yang memukau sekaligus menipu rakyat Indonesia. Saat menjadi Gubernur DKI, Jokowi selalu mengaku tidak memikirkan urusan capres, meski realitanya dia menyatakan diri siap menjadi capres dari partainya yakni PDIP. Dalih yang disampaikan Jokowi berikutnya, "Saya kan petugas partai, jadi harus tunduk pada putusan partai". Sekarang pun dia menyatakan tidak berminat jadi presiden tiga periode. Akan tetapi, jika pada.akhirnya PDIP memutuskan mengubah UUD 1945 yang isinya memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode, kalimat yang diucapkan Jokowi bisa berubah. Nah, lalu Jokowi mau apa ? Sebelumnya isu tentang jabatan Presiden 3 Periode, diungkapkan tokoh nasional yang juga pendiri Partai Ummat, Amien Rais, yang diunggah melalui kanal berbagai video YouTube, Sabtu (13/3/2021). Amien Rais menyebutkan, akan ada skenario mengubah ketentuan dalam UUD 1945 soal masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Rencana mengubah ketentuan tersebut akan dilakukan dengan menggelar Sidang Istimewa MPR untuk mengubah atau mengamendemen UUD 1945. "Jadi, mereka akan mengambil langkah pertama meminta sidang istimewa MPR yang mungkin 1-2 pasal yang katanya perlu diperbaiki, yang mana saya juga tidak tahu," kata Amien Rais. Menurut Amien, skenario ini muncul karena ada opini publik yang menunjukkan ke arah mana pemerintahan Presiden Jokowi melihat masa depannya. "Kalau ini betul-betul keinginan mereka, maka saya kira kita sudah segera bisa mengatakan ya Innaillaihi Wa Innailaihi Ro'jiun," ujarnya. Isu perpanjangan masa jabatan presiden di era pemerintahan Jokowi bukan saja muncul sekali ini saja. Sebelumnya, pada akhir 2019, isu serupa ramai diperdebatkan soal ini seiring dengan wacana amandemen terbatas UUD 1945. Jadi kalau para pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan mewanti-wanti Amien Rais agar tidak melontarkan pernyataan yang menjurus ke arah fitnah, maka seharusnya mereka juga mendorong Jokowi untuk melaporkan Amien Rais ke polisi. Sebelumnya Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian meminta Amien Rais berhati-hati atas isu perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang ditudingkan kepada pemerintah. Sebelum Jokowi menyampaikan bantahannya, para pejabat di sekitar Istana Kepresidenan kompak membantah Jokowi berkeinginan untuk menjabat presiden selama tiga periode. Juru bicara Kepresidenan Fadjroel Rahman di akun Instagramnya menyebutkan Presiden @Jokowi tegak lurus UUD 1945, masa jabatan presiden dua periode. Ingin Mencari Muka Hal senada disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD. "Presiden Jokowi tak setuju adanya amendemen lagi," ungkap Mahfud melalui akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, Senin (15/3). Presiden Jokowi, ujar Mahfud, tidak setuju terhadap rencana amendemen kembali UUD1945. Mengutip apa yang dikatakan Jokowi kepada Mahfud, ada tiga kemungkinan jika ada pihak yang menghendaki Jokowi menjadi presiden tiga periode. "Satu, ingin menjerumuskan. Dua, ingin menampar muka. Tiga, ingin mencari muka. Kita konsisten saja, batasi jabatan presiden dua periode," jelas Mahfud. Nah, ternyata Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid secara pribadi mengaku mendukung wacana penambahan masa jabatan presiden Indonesia hingga tiga periode. Padahal, UUD 1945 mengatur masa jabatan presiden hanya boleh dua periode. "Secara pribadi saya setuju adanya wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode sepanjang atas dasar kehendak rakyat yang tercermin dari fraksi dan kelompok DPD," kata Jazilul dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Minggu (14/3) malam. Jika mengacu pada kriteria yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, apakah pernyataan Wakil Ketua Umum PKB ini termasuk kedalam orang yang hendak menjerumuskan, menampar muka atau mencari muka kepada Jokowi ? Silahkan disimpulkan sendiri. Yang jelas kita semua mengetahui, PKB bagian dari partai pendukung pemerintah. *** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kader PDI-P Samosir Melawan Megawati Soekarnoputri

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - DI tengah kisruh yang terjadi di tubuh Partai Demokrat, ternyata juga ada konflik di tubuh PDI-P. Hanya saja pemberitaannya tidak riuh seperti kudeta yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jend (Purn) TNI Moeldoko terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Seperti diberitakan portal Kompas tanggal10 Maret 2021, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri digugat oleh mantan kader partai banteng ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu dilayangkan oleh Rismawati Simarmata yang belum lama ini dipecat dari PDI-P. Namanya ada kemiripan dengan Tri Rismaharani, mantan Walikota Surabaya yang sekarang menjadi Menteri Sosial. Sama-sama bernama Risma, keduanya juga kader PDIP, tetapi berbeda peran dan posisi. Rismawati Simarmata ini berani menggugat Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri setelah dirinya dipecat dari Partai Banteng Moncong Putih itu. Selain Megawati, gugatan tersebut juga ditujukan kepada Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, Ketua DPD PDI-P Sumatera Utara Djarot Saiful Hidayat, dan Ketua DPC PDI-P Samosir Sorta Ertaty Siahaan. Dalam petitum gugatannya, Rismawati meminta majelis hakim membatalkan pemecatannya, baik sebagai kader PDI-P maupun sebagai anggota DPRD Kabupaten Samosir. Ketua DPC PDI-P Samosir Sorta Siahaan menyebutkan, pemecatan itu karena Rismawati mendukung calon kepala daerah di luar PDI-P pada Pilkada 2020. Pemecatan terhadap kader PDIP Rismawati menggambarkan aturan di organisasi partai tersebut bersifat feodal dan otoriter. Gugatan yang diajukan kader PDIP Samosir tersebut, menunjukkan bahwa penerapan aturan di internal PDI-P itu dilakukan secara sewenang-wenang. Sehingga wajar kalau kemudian Rismawati menggugat Megawati Soekarnoputri selaku pimpinan tertinggi di PDIP. Dia mengajukan gugatan ke pengadilan karena diyakini Rismawati memiliki argumentasi hukum yang kuat. Saya mengapreasiasi keberanian Rismawati yang berani melayangkan gugatan kepada Megawati, sebagai pimpinan partai penguasa saat ini. Di atas kertas, memang kecil kemungkinan bagi kader PDI-P Samosir tersebut untuk bisa memenangkan gugatan di PN Jakarta Pusat. Namun, di tengah kultur feodal di tubuh PDI-P serta kuatnya kekuatan oligarki partai saat ini, keberanian Risma menggugat Megawati perlu diacungi jempol. Bagi kader partai seperti Rismawati Simarmata pemecatan dirinya dari keanggotaan partai boleh jadi merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat dirinya. Oleh karena itu, gugatan yang diajukan Risma kepada para petinggi PDIP merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap perlakuan sewenang-wenang di tubuh partai tersebut. Jangankan kasus pemecatan kader partai, ada kasus penyalahgunaan organisasi parpol yang dilakukan pimpinan tertinggi partai bisa kok digugat ke pengadilan. Ini menunjukkan bahwa parpol bukan milik perseorangan atau miliki keturunan dari tokoh tertentu. Dua tàhun lalu, salah seorang kader Partai NasDem, Kisman Latumakulita, menggugat keabsahan Surya Paloh sebagai Ketua Umum Nasdem . Kisman menyebut masa jabatan Surya Paloh seharusnya berakhir pada 6 Maret 2018. "Mengguggat keabsahan Pak Surya Paloh sebagai ketum. Periodisasi jabatan ketum untuk 5 tahun," kata Kisman setelah mendaftarkan gugatan perdata selisih internal parpol ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 6 Februari 2019. Kisman berpatokan pada Surat Keputusan Kemenkum HAM tentang pengesahan kepengurusan Nasdem yang diteken MenkumHAM saat itu Amir Syamsuddin pada 6 Maret 2013. Sedangkan pada Pasal 21 Anggaran Dasar Nasdem, diatur periodisasi kepengurusan selama 5 tahun. Kasus tersebut sempat disidangkan di PN Jakpus. Namun dalam sidang tersebut majelis hakim menolak gugatan yang diajukan kader Partai Nasdem, Kisman Latumakulita. Kemudian Kisman mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di MA pun gugatan yang diajukan Kisman ditolak. Meski gugatan tersebut ditolak lembaga peradilan, namun kader partai seperti Kisman Latumakulita telah menggunakan hak politiknya secara tepat dan proporsional. Di alam demokrasi yang berlaku di Indonesia sekarang ini, sah-sah saja seorang kader partai menggugat pimpinan partai yang dianggap menyimpang dari ketentuan hukum dan aturan organisasi. Jangankan kasus pemecatan seperti yang dialami Rismawati Simarmata dari keanggotaan PDIP, pimpinan tertinggi partai yang melampaui masa jabatannya seperti pada kasus Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, bisa dipersoalkan dan digugat secara hukum oleh kader partainya. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus diatas, dalam sistem demokrasi pimpinan parpol tidak bisa bertindak seenaknya sendiri. Mereka harus taat dan patuh pada ketentuan internal organisasi (AD/ART Parpol) serta mematuhi aturan hukum yang ada. Semua warga negara Indonesia memang memiliki hak dan kedudukan yang sama didepan hukum, namun realita hukum menunjukkan pada kita bahwa putusan hukum kerap lebih berpihak pada kepentingan penguasa dan pemilik uang. Apakah Rismawati Simarmata bisa memenangkan gugatannya di PN Jakarta Pusat ? Kita lihat saja nanti. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.