POLITIK

Sabar, Ada Saatnya Nanti Jokowi Urus Rakyat Kecil

by Asyari Usman Medan, FNN - Semakin banyak yang kecewa. Presiden Joko Widodo (Jokowi) diduga hanya melayani sebagian orang-orang besar. Besar partai, besar duit, besar mulut (buzzer), besar follower (Youtuber), besar khianat, dlsb. Sejumlah pendukung loyal Jokowi ikut kecewa terhadap perlakuan istimewa dari Presiden kepada Youtuber 26 juta follower: Atta Halilintar. Entah mengharapkan apa, Jokowi menghadiri acara akad nikah Atta dan Aurel pada 3 April 2021. Kepada yang kecewa, jangan berkecil hati. Bersabarlah. Ada saatnya nanti Jokowi melayani orang-orang kecil. Pada waktu yang tepat. Yaitu, ketika rakyat kecil diperlukan untuk melegitimasikan kekuasaan beliau, atau para pewarisnya, lewat kotak suara. Dan itu tak lama lagi –-2022 dan 2024. Jokowi akan keliling kampung sambil lempar-lempar hadiah. Akan terlihatlah nanti pemandangan yang sangat merakyat. Dan itu pasti akan diunggah di akun-akun medsos resmi presiden dan instansi-instansi lain. Sama seperti ketika Jokowi menyaksikan pernikahan Atta-Aurel. Meriah di akun Sekretariat Negara. Tunggu saja giliran Pak Jokowi merapat ke rakyat kecil. Untuk waktu ini, mohoh pengertian. Prioritas harus diberikan kepada rakyat besar. Lagi pula, dengan menghadiri pernikahan super-mewah itu berarti Presiden Jokowi mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis pesta mahal. Sehingga nantinya hotel-hotel kelas mewah bisa bangkit kembali. Kalau ekonomi perpestaan mewah marak di mana-mana, maka investasi perhotelan akan masuk deras. Sukur-sukur investasi dari China yang masuk. Supaya rakyat kecil bisa ongkang-ongkang, tak perlu bekerja. Ada tenaga kerja China yang selalu dibawa untuk melaksanan proyek yang mereka modali. Jadi, Jokowi hadir ke pesta mewah Youtuber besar itu bukan tanpa strategi komprehensif. Semuanya sudah dipikirkan oleh Jokowi dan para penasihat senior beliau. Atta adalah pelopor ekonomi kreatif. Dia bisa dapat duit banyak dari kanal Youtube. Jokowi senang ekonomi seperti ini. Jika, misalnya, ada 10 juta Youtubers milenial dengan follower 25 juta, berarti akan berlangsung 10 juta pernikahan super mewah di hotel bintang lima. Akan tumbuh ribuan hotel lagi yang sekelas dengan Raffles. Nah, berapa itu nilai investasinya? Berapa juta pula tenaga kerja China yang bisa dibawa masuk? Itu maksud Jokowi mempromosikan Atta. Jangan curiga dulu. Jangan berprasangka Jokowi merangkul Atta untuk membantu sosialisasi amandemen UUD agar Jokowi bisa tiga periode. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Pak Jokowi Mau Husnul Khatimah atau Su'ul Khatimah

PERNYATAAN Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor tentang Presiden Joko Widodo mengundang kehebohan. Dalam kuliah umum di Universitas Indonesia, Isran menyatakan berani menjamin Jokowi pasti masuk surga. Tak perlu ibadah lagi. Luar biasa! Isran berani memberi garansi ilahiah itu karena Jokowi dinilainya telah mengambil langkah dan kebijakan besar. Membangun dan memindahkan ibukota negara ke Pasir Penajam, Kaltim. Isran tidak hanya memuji Jokowi setinggi langit. Dia mejamin langsung tembus ke surga. Tanpa perlu dihisab lagi. Tak ada lagi perhitungan dosa dan pahala. Dalam urusan akhirat, Jokowi mengalahkan para ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh sufi yang sudah berada dalam taraf ma’rifat. Jokowi, dalam pandangan Isran, levelnya sudah ma’shum. Terbebas dari dosa. Levelnya sama dengan 10 orang sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW yang dijamin pasti masuk surga. Jokowi menurut Isran, lebih hebat dari semua Presiden Indonesia yang pernah ada. Termasuk dibandingkan dengan Sang Proklamator Bung Karno, dan Soeharto. Apalagi dibandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jauh. Tidak ada apa-apanya. Bung Karno, dan Pak Harto, kata Isran juga ingin memindahkan ibukota. Sampai keduanya mati —kata mati ini perlu diberi tanda petik “mati” — karena iu kalimat langsung Isran, tak berhasil mewujudkan mimpi itu. Sementara SBY yang masih hidup,—dalam kalimat langsung Isran “belum mati” — juga tidak berhasil memindahkan ibukota, walau juga punya keinginan. Jika menggunakan bahasa para pendukung Jokowi garis keras, “hanya Jokowi yang bisa. Presiden lain ngapain aja.” Pernyataan Isran ini, walau kemudian coba diluruskan oleh Humas Pemerintah Provinsi Kaltim, levelnya sudah kelewatan. Keblinger. Dia telah berani mengambil otoritas ilahiah. Masuk surga atau neraka, dalam pandangan Islam, dan juga agama-agama lain, merupakan hak prerogatif Tuhan, Allah SWT. Karena itu para sufi menggambarkan dalam sebuah syair “Aku tak berhak masuk surgamu. Tapi aku juga takut masuk nerakamu.” Syair itu menunjukkan, orang-orang sufi yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia saja bersikap sangat rendah hati. Di hadapan Allah SWT mereka merendahkan diri, serendah mungkin. Sikap Isran ini sungguh sangat berbahaya. Ada tanda-tanda yang sangat jelas bahwa Jokowi telah dikultuskan. Menjadi manusia suci yang tak tersentuh dosa. Apa yang disampaikan Isran super kacau. Jauh lebih kacau dari wacana mendorong Jokowi menjadi presiden tiga periode. Ini menunjukkan sebuah kegilaan para pendukung Jokowi sudah menyentuh ubun-ubun. Melalui forum ini kita perlu mengingatkan Jokowi, jangan sampai tergoda. Apalagi sampai terlena oleh pujian, dan sanjungan yang menyesatkan. Jokowi perlu belajar dari para presiden terdahulu. Termasuk yang disebut oleh Isran. Bung Karno, Pak Harto, dan SBY. Bung Karno melalui TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 menjadi Presiden Seumur Hidup. Ingat ya seumur hidup. Bukan hanya tiga periode. Apa yang terjadi? Hanya empat tahun berselang, melalui TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 dia diberhentikan sebagai presiden. Semua kekuasaannya dicabut. Selesailah sudah masa jabatannya selama 22 tahun. Begitu juga dengan Pak Harto. Dia ditetapkan sebagai Bapak Pembangunan melalui TAP MPR No V Tahun 1983. Pada tanggal 11 Maret 1998 dia pilih dan ditetapkan oleh MPR menjadi Presiden Indonesia untuk periode ke-7. Hanya dua bulan berselang, karena desakan publik pada tanggal 21 Mei 1998 dia terpaksa meletakkan jabatannya. Kita pasti sepakat, dari sisi _legacy_ tak bisa membandingkan Jokowi dengan Bung Karno dan Pak Harto. Tidak apple to apple. Kalau tetap dipaksakan, perbandingannya seperti apel dengan durian. Lepas dari berbagai kekurangannya, Bung Karno adalah Bapak Proklamator. Dia juga punya peran besar dalam geo politik global. Pendiri Gerakan Non Blok. Demikian juga dengan Pak Harto. Dia berhasil membangun ekonomi Indonesia. Menjadi negara yang mampu berswasembada pangan. Di tataran global juga disegani. Menjadi big brother di negara-negara ASEAN. Dua-duanya, dengan segala warisan besarnya untuk bangsa dan negara, harus turun dari jabatannya dengan cara yang tidak menyenangkan. Dalam bahasa agama disebut su’ul khatimah. Akhir yang buruk. Bagaimana dengan SBY? Lepas dari berbagai kekurangannya, SBY turun dari jabatannya selama dua periode dengan mulus. Berakhir baik. Husnul khatimah. SBY dikenang sebagai seorang demokrat. Dia tidak pernah campur tangan urusan parpol lain. Dia tak pernah memenjarakan lawan politiknya. Masyarakat juga guyub. Tak ada pembelahan dalam masyarakat. Kalau Jokowi? Anda bisa menilai sendiri. Apa warisannya? Utang yang menggunung? Proyek-proyek mangkrak? Dan yang sangat parah adalah pembelahan dalam masyarakat. Silakan Jokowi mau memilih turun dari jabatan dengan cara yang mana? Cara Bung Karno dan Pak Harto? Atau cara SBY? Sejarah telah mengajarkan. Mau husnul khatimah atau su’ul khatimah. **

Sisyphus dan Pemimpin Pembohong

by Sutoyo Abadi Jogjakarta, FNN - Kisah legenda Sisyphus atau sisifus dalam mitologi Yunani menjadi sebuah pembelajaran akan kesia-siaan, sesuatu yang tak masuk akal, mustahil atau disebut absurdity. Sisyphus bahkan telah dipandang sebagai simbol dari paham absurdisme, ini adalah paham dimana usaha untuk mencari arti dari kehidupan akan berakhir dengan kegagalan, kesia-siaan, perbuatannya selalu konyol absurd., Sudah konyol perbuatan licik, pembohongan dan penipu. Akhirnya dewa menyeret paksa Sisyphus dan Zeus yang muak dengan trik dan kelicikannya memberikan ia hukuman, karena turus mengulangi tugas yang sia-sia, dimana ia harus mendorong bongkahan batu besar ke puncak gunung. Namun, begitu dia mencapai puncak bukit, batu besar itu akan berguling dan Sisyphus harus mendorongnya kembali. Mitologi Sisyphus, memberi pesan / mengajarkan tentang manusia bergumul dengan absurdisme. "Oleh Bung Rocky Gerung saat berceloteh bersama Bung Harsubeno Arif, ditempelkan ke Om Jokowi dengan apik dan menarik yang selalu berbuat konyol, negara dikelola dengan absurd - management gorong gorong, licik dan statemennya selalu bersayap - ujungnya menipu" Jokowi bukan hanya absurd karena super lemah kemampuan akalnya dalam mengelola negara berpotensi membawa kerusakan di mana-mana. Kerusakan yang nyata dihilangkan atau dimatikannya kritik dr masyarakat (under current) dan oposisi, negara berubah menjadi otoriter dan represif. Presiden atau istana kehilangan kemampuan memproduksi pikiran yang sehat sekalipun hanya untuk menyapa rakyat. Pengalaman sebagai bakul mebel apalannya hanya transaksi, gawatnya yang ditransaksikan adalah kedaulatan negara, stempel kesan masyarakat hanya berperan sebagai boneka sudah sulit untuk disetip (dihapus). Seperti tidak tahu apa apa dalam mengelola negara ini, yang terjadi reaksi kasar terhadap siapapun yang tidak sejalan dengan kebijakan oligarki. Narasi ini sebenarnya konyol juga di karena sudah menjadi menu setiap hari. Hanya karena Jokowi dianalogkan dengan kutukan Sisiphus menjadi benar - dari kutukan ini negara terus berjalan di lorong-lorong gelap. Hanya Rocky Gerung juga pernah mengatakan cuaca paling gelap adalah menjelang fajar. Maknanya dari gelap itu akan muncul matahari dari ufuk timur menghalau memusnahkan suasana gelap. Sekalipun pintunya hanya lahirnya "People power atau Revolusi". Kapan ia muncul tidak bisa di paksa dan tidak akan bisa di mundurkan. End. Penulis adalah Sekretaris KAMI se-Jateng

Masih Soal Ancaman Politik Uang

By Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Saya mulai tulisan ini dengan mengutip penggalan catatan PBNU dalam Muhasabah 2017 dan Resolusi 2018, ikhwal residu demokrasi bahwa “mekanisme demokrasi telah menghasilkan dua ekses yang merusak, yaitu politik uang dan politik identitas. Jika politik uang merusak legitimasi, politik identitas merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak anyaman kebangsaan.” Pada saat yang sama, seorang politikus senior PDIP dalam sebuah dialog di TV One menyatakan dampak negatif politik uang bersifat terbatas dan jangka pendek. Sedangkan politik identitas menyebabkan kerusakan yang sangat luas dalam jangka panjang. Baik PBNU maupun politikus PDIP cenderung menyederhanakan dampak negatif politik uang. Sebaliknya, melebih lebihkan dan “mendemonisasi” politik identitas. Saya menduga pernyataan tersebut terlontar karena tidak memahami seluk beluk politik uang dengan segala daya rusaknya. Mungkin juga terselip agenda stigmatisasi Islam politik. Di lain pihak, menyepelekan praktek kotor politik transaksional berbasis pertukaran materi dan jasa, yang membusuki dunia politik Indonesia. Pun, politik gentong babi (pork-barrel politics) dianggap biasa, di mana para politikus menghambur-hamburkan uang negara demi dukungan politik, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Gagal paham tentang daya rusak politik uang yang berhimpitan dengan fobia Islam politik, juga merasuki kalangan dengan sebutan pengamat politik, yang sebagiannya merangkap sebagai “industrialis survei” atau buzzerp kekuasaan. Bagi mereka, ancaman politik identitas lebih berbahaya daripada politik uang, karena tiga sebab. Pertama, politik uang bersifat temporal, hanya berlaku pada waktu tertentu. Kedua, malpraktik politik ini bersifat lokal, terjadi di daerah pemilihan saja. Terakhir, menurut mereka, berbeda dari politik identitas, politik uang tidak memicu keterbelahan di tengah masyarakat. Tentu saja, pendapat tersebut sangat menyesatkan, jauh dari kaidah ilmiah dan fakta. Minus basis teoritik, dan bertolak belakang dengan begitu banyak hasil riset tentang politik elektoral, khususnya politik uang, di berbagai belahan dunia. Sebagaimana saya kutip dalam tulisan bertajuk “Politik uang memicu ketegangan politik identitas” (fnn.co.id, 27 Maret 2021). Laporan Pembangunan Dunia 2017 oleh World Bank mencatat bahwa politik klientalistik [dimana politik uang menjadi komponen utama] merupakan sumber berbagai tantangan pembangunan global, mulai dari korupsi dan penyediaan layanan publik yang tidak memadai hingga kekerasan etnis dan penegakan hukum yang lemah. Amerika Serikat, yang dijuluki “kampiun demokrasi”, tidak luput dari hantaman politik uang. Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi asal AS, menyebut demokrasi di negaranya sebagai demokrasi "one dollar one vote" bukan lagi "one man one vote". Menurut Stiglitz, demokrasi one dollar one vote ini menjadi penyebab memburuknya ketimpangan sosial-ekonomi. Bahkan menguatnya politik identitas dan hiper-nasionalisme disertai kekerasan rasial di AS, akhir akhir ini, disebut sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari demokrasi one-dollar one-vote. Tidak lepas dari peran negatif komersialisasi politik ini, Noam Chomsky dan Francis Fukuyama, dua pemikir terkemuka rekan senegara Stiglitz, mendakwa negara mereka sebagai negara gagal. Dalam buku “Democracy for Sale: Elections, Clientelism and the State in Indonesia” (2019), Edward Aspinall dan Ward Berencshot dari the Australian National University (ANU) mengonfirmasi bahwa politik klientalistik adalah akar dari berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia, mulai dari kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial yang persisten, perencanaan tata ruang yang buruk hingga layanan publik yang tidak memadai, dan korupsi. Memang, sejak reformasi bergulir, terutama pasca pemilu langsung pertama 2004, praktik politik uang meningkat tajam. Naik tiga kali lipat, dari sekitar 11 persen pada pemilu 2009 menjadi sepertiga pemilih, masing-masing, pada pemilu 2014 dan 2019. Pada saat yang sama, terjadi kemerosotan di berbagai bidang, seperti terungkap dalam riset politik Aspinall dan Berenschot di atas. Dan daftar masalah selama enam tahun terakhir masih panjang, termasuk demokrasi dan kebebasan yang dibajak oligarki dan dan otoritarianisme, menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta meluasnya friksi dan ketegangan sosial. Mengapa politik uang sangat berbahaya? Politik uang mendatangkan ancaman serius terhadap berbagai sektor pembangunan melalui berbagai jalur, langsung maupun tidak langsung, dengan dampak negatif sistemik dan luas. Secara ringkas, berikut penjelasan logis dibalik ancaman politik uang. Politik uang merupakan wujud ketimpangan politik antara rakyat dan elit politik. Rakyat diposisikan tidak berdaya (powerless), dengan pilihan yang nyaris tidak ada, kecuali mempertukarkan aspirasi dan hak politik mereka dengan imbalan materi atau jasa. Ketimpangan politik, yang saling mempengaruhi secara negatif dengan ketimpangan ekonomi (lihat Joseph Stiglitz dalam the Great Divide 2015, Amartya Sen dalam Development as Freedom 1999), menghambat mobilitas sosial, terutama masyarakat lapisan bawah. Pada gilirannya, mobilitas sosial yang rendah memicu makin parahnya ketimpangan ekonomi dan politik, seperti lingkaran setan. Politik uang menegasikan kewajiban negara untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang rasional, inklusif dan responsif terhadap kepentingan rakyat, terutama kelompok miskin dan marjinal. Dengan kata lain, penyelenggara negara merasa lepas dari tanggungjawab untuk merespon aspirasi dan kepentingan rakyat karena telah dipertukarkan dengan materi/jasa. Pada saat yang sama, pertukaran hak politik dengan materi/jasa menyebabkan rakyat merasa tidak berhak ikut serta mewarnai dan memastikan kebijakan/program pembangunan berpihak pada kepentingan mereka. Dalam hal ini, kesempatan rakyat untuk meraih kehidupan sosial-ekonomi yang lebih baik, dengan sendirinya tersingkir. Politik uang merusak prinsip dan kaidah demokrasi elektoral yang menjunjung tinggi “fair play” bagi kontestan politik kekuasaan, guna menjamin terpilihnya pemimpin berkualitas yang mampu mengelola potensi dan tantangan pembangunan. Sebaliknya, politik uang berpotensi memenangkan calon berkantong tebal atau yang didukung para pemodal sehingga melahirkan pemimpin defisit kualitas dan integritas. Lebih jauh, pemimpin cacat legitimasi dan moral, sehingga tidak mampu memimpin jalannya roda pemerintahan secara efektif. Politikus berbasis politik uang cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Jual beli jabatan dan obral proyek negara kepada para pemodal menjadi pilihan para politikus ini. Dengan pola seperti ini, korupsi makin merajalela (lihat Syebubakar dalam Vote-buying breeds Indonesia’s ubiquitous corruption, observerid.com 19/03/2021), dan oligarki bebas mengendalikan kebijakan negara. Politik uang mendorong parpol memainkan politik dagang sapi dalam merekrut anggota, caleg dan calon pemimpin di pusat dan daerah. Akibatnya, parpol disesaki politikus pemburu rente. Niatnya hanya menumpuk uang dan meraih kekuasaan. Setelah itu, uang dan kekuasaan lagi, begitu seterusnya. Sebagai penutup, saya berharap tulisan ini dapat membantu meluruskan klaim yang tidak berdasar dan “bias sentimen politik identitas” dari sejumlah kalangan, yang cenderung meremehkan bahaya politik uang. Penulis Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe) dan Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-korupsi

Politik Identitas, Mengapa Dipersoalkan?

by Tony Rosyid Jakarta FNN - "Jangan pilih calon yang nggak qunut". Ini politik identitas bukan? "Jangan pilih calon yang nggak ziarah kubur?". Ini jelas-jelas narasi politik identitas. Hal yang seperti ini lumrah terjadi di kampung saya Jawa Tengah, dan tempat saya pernah kos di Jawa Timur. Lucunya, para politisi yang teriak seperti inilah yang sering mempersoalkan politik identitas. Satu sisi mereka mempraktekkan politik identitas. Sementara disisi lain mereka mengutuknya. Semacam ada kemunafikan ganda dalam diri para politisi ini. Preferenai sosiologis adalah fakta yang ada dalam masyarakat. Dan seringkali gaungnya membesar ketika musim pemilihan umum. Ini natural, dan berlaku di sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia. Orang Nahdlatul Ulama (NU) pilih calon dari NU. Disini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selalu dapat limpahan suara terbanyak dari warga NU. Orang Muhammadiyah pilih calon dari Muhammadiyah. Partai Amanat Nasional (PAN) yang paling banyak menikmatinya. Orang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pilih kader HMI. Orang Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) pilih kader GMNI. Begitu juga dengan Ansor dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). "Al-ijtima' dharuriyun linauil insan", kata Ibnu Khaldun. Solidaritas adalah keniscayaan sosial. Apakah berbentuk mekanik atau organik. Solidaritas sosial akan selalu ada di sepanjang sejarah, kata Emile Durkheim. Lalu apa masalahnya? Itu baru bicara ormas. Belum lagi bicara etnis. Terutama saat pilkada, "putra daerah" seringkali menjadi isu utama dalam ritual demokrasi lima tahunan. Setiap daerah merasa nyaman dengan dipilih oleh putra daerahnya. Satu etnis, satu budaya dan satu bahasa. Nggak usah heran jika Umat Islam pilih calon muslim seperti yang terjadi di wilayah Jawa. Umat Kristiani pilih calon Kristen, seperti yang terjadi di Papua dan Menado, Umat Hindu pilih calon dari Hindu sebagaimana yang terjadi di Bali. Selama ini, pilihan politik semacam ini dianggap wajar dan diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari kewajaran sosiologis. Solidaritas sosial akan selalu ada, dan terbentuk secara natural sesuai ikatan dan kekuatan hubungan yang terjadi di kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Tanpa disuruh sekalipun, sudah terjadi secara alami. Sehingga tidak perlu untuk dipersoalkan lagi. Solidaritas sosial itu bisa agama, bisa etnis, bisa daerah, bisa organisasi atau profesi. Mereka yang menyoal politik identitas umumnya karena tak memiliki identitas yang kuat. Atau berada dalam kelompok minoritas yang tak bisa memberi dukungan suara signifikan untuk menang dalam pemilihan. Cara efektif untuk meruntuhkan kekuatan lawan adalah dengan mengutuk politik identitas, agar solidaritas kelompok pendukung lawan bisa beralih suaranya. Disini, isu politik identitas dimainkan. Dan yang paling sensitif dari isu identitas itu adalah agama, kemudian etnis. Politik identitas bukan harga mati, kemutlakan politik, dan satu-satunya penjamin kemenangan. Banyak kasus dimana calon dari kubu mayoritas dikalahkan dalam pemilihan oleh calon dari kelompok yang minoritas. Faktor kekuatannya ada pada prestasi. Idealnya, calon terpilih adalah yang paling berprestasi. Jika prestasinya bagus, dan sudah mendapat pengakuan masyarakat, maka politik identitas tidak terlalu efektif lagi pengaruhnya. Politik identitas hanya berpengaruh jika para calon yang beekompetisi tidak mampu menunjukkan prestasi yang kuat dan menonjol. Secara teoritis, politik identitas hanya bisa dinetralisir pengaruhnya dengan kekuatan prestasi. Jika anda punya prestasi yang diterima publik, maka akan banyak kelompok yang memberikan simpati. Tanpa menyoal identitas, anda akan mendapatkan dukungan dari banyak kelompok tersebut. Lintas agama, lintas etnis, lintas profesi dan lintas golongan. Sekat-sekat identitas itu hanya akan terbuka pintunya dengan prestasi. Kasus kekalahan Ahok di pilgub DKI, jangan kambinghitamkan politik identitas. Sebab, dua gubernur sebelumnya yaitu Fauzi Bowo dan Jokowi terpilih menjadi Gubernur di DKI tak bisa lepas dari faktor identitas. Seandainya Fauzi Bowo bukan Betawi dan Jokowi bukan Jawa, mungkinkah terpilih jadi gubernur? Berat juga! Di Pilgub DKI 2009, Fauzi Bowo menang. Saat itu basis analisis saya tertumpu pada preferensi sosiologis, dimana Fauzi Bowo Betawi-Jawa dan NU. Selain faktor incumbent (Wagub) dengan dana dan jejaring yang lebih kuat. Begitu juga dengan Jokowi. Jawa dan didukung PDIP (partai terbesar di DKI), selain ada heroisme Mobil Esemka dan punya profil antitesa incumbent. Jadi, bukan karena prestasi spektakuler yang membuat mereka menang. Jadi, tak perlu menyoal dan mempermasalahkan politik identitas. Soal ini justru memicu kegaduhan. Menciptakan keterbelahan dan konflik di masyarakat. Kasihan rakyat yang sudah menderita akibat pandemi covid-19. Selalu menjadi obyek adu-domba para perebut kekuasaan. Kalau anda selalu sibuk menyoal politik identitas, boleh jadi, selain identitas anda tidak kuat, mungkin karena prestasi anda juga tidak bisa diandalkan. Minimnya prestasi mendorong para calon bertumpu dan mengandalkan politik identitas, atau mengutuk politik identitas bagi-bagi reziki yang tidak memiliki kekuatan identitas. Cukup tunjukkan prestasi diri, kerja yang bagus, program yang menyentuh dan bisa dirasakan langsung. Setidaknya dianggap mampu menjadi solusi oleh rakyat, maka secara alamiah, rakyat (lintas sektoral) akan memberi dukungan. Jika anda punya prestasi cemerlang, bersikap tidak sektarian, nggak terikat dengan fanatisme kelompok, maka batas-batas identitas akan dengan sendirinya terbuka untuk anda. Cukup dengan prestasi begitu saja, rakyat tidak lagi melihat anda dari kelompok mana? Dari agama dan etnis apa? Yang rakyat lihat hanya prestasi anda. Bukan yang lainnya. Makanya bekerja yang baik-baik. Perlihatkan keberpihakan kepada rakyat. Hilangkan pemikiran mengadu-domba rakyat hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Sebab bisa kualat lho. Emha Ainun Najib, Arif Budiman, Anies Baswedan adalah beberapa nama yang tidak memerlukan identitas kelompok. Tetapi mereka adalah orang-orang yang punya dedikasi, sibuk dengan berkontribusi dan memberikan prestasinya untuk bangsa ini. Tidak terus bermimpi menjadi orang besar dengan memperkosa identitas kelompok, atau sebaliknya. Tidak juga sibuk dengan mengutuk sana kutuk sini politik identitas. Karena itu yang biasa-biasa saja hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

PKI Itu Bencinya Kepada Wahabi dan Salafi

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pluralisme pemahaman keagamaan adalah hal yang wajar sepanjang berbasis pada sumber nilai Al-Qur'an dan Al-Hadits. Bila sudah keluar dari kedua nilai tersebut, maka berlaku interelasi antar agama. Dalam beragama, yang sama tetapi meyakini dan mendakwahkan bahwa Al Qur'an tidak orisinil seperti faham Syi'ah atau ada nabi setelah Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam seperti Ahmadiyah, maka itu dikategorikan menyimpang atau sesat. Syi’ah dan Ahmadiyah bisa juga disebut menodai agama. Wahabi adalah pengikut Syekh Abdul Wahab yang menjadi dasar pemahaman keagamaan yang berkembang di Saudi Arabia. Bersumber dari madzhab Hambali. Salah satu pijakan madzhab utama selain Syafi'i, Hanafi, dan Maliki. Sementara Salafi itu adalah pengikut ulama-ulama terdahulu, para ulama Salaf. Seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam An Nasa-i. Mereka para Imam ini adalah sebagian dari ulama salaf. Tentu Salafi memiliki cabang pemahaman yang tidak satu pula. Benci pada Wahabi dan Salafi sama saja dengan benci pada yang berbau Arab. Itu juga artinya benci kepada daerah dimana Islam lahir dan tumbuh. Tempat Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam dan para Sahabat mengembangkan agama Islam. Dimulai di masa awal hingga agama yang hanif ini diterima dan dijalankan di Indonesia. Benci kepada Arab atas nama nasionalisme, kulturisme, atau etnosentrisme sesungguh adalah kebencian yang bukan saja tidak berdasar. Tetapi juga sebagai wujud dari kejahilan yang radikal. Adalah partai Komunis Indonesia (PKI) yang anti Arab dan pro Cina atau Rusia. Anti terhadap agama. Namun pro kepada komunisme-materialisme. PKI yang menyebut hal-hal berbau Arab dan Islami sebagai Kadrun. Sebutan sinis untuk Kadal Gurun. Bahkan PKI itu lebih dalamnya dipastikan sangat anti kepada Wahabi dan Salafi. PKI yang menuduh dan memfitnah agama sebagai candu, sehingga agaman harus dijauhi. Inilah perjuangan revolusi mental PKI yang hakekatnya mengindikasi adanya gangguan mental. Jika ada sebagian kaum Wahabi atau Salafi yang menyimpang, maka itu adalah prilaku oknum. Demikian juga dengan yang mengklaim Ahlus Sunnah wal Jama'ah, namun juga menyimpang. Kalau ada, maka itu juga oknum. Kalau ada yang menyimpang, maka harus diluruskan. Bukannya dibenci. Apalagi sampai mau dibasmi segala. Dimusuhi dan dituduh ini dan itu. Berlebihan jika menyebut Wahabi atau Salafi sebagai pintu masuk terorisme. Sebab terorisme bisa masuk dari tradisionalisme, konservativisme, modernisme, materialisme, liberalisme, dan lainnya. Menurut dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung, ketidakadilan dan kezoliman juga menjadi faktor tumbuh dan suburnya terorisme. Banyak faktor penyebab tumbuh dan suburnya terorisme. Baik itu yang bekaitan dengan masalah ekonomi, doktrin keagamaan, hingga permainan politik jahat yang merekayasa dalam rangka adu domba antar masyarakat. Stigmatisasi yang dibangun untuk meracuni fikiran jernih dan kohesivitas. PKI dahulu dan kelompok "PKI" kini memainkan siasat memecah belah umat Islam dengan memojokkan faham keagamaan tertentu. Serangan pada Wahabi dan Salafi menjadi arus utama propaganda tersebut. Isu ini menjadi bola mainan PKI yang sangat digemari dan dinikmati demi menciptakan hantu bernama radikalisme, ekstrimisme, maupun fundamentalisme. Wahabi dan Salafi bukan pintu masuk terorisme. Pengikutnya yakin seperti pengikut faham keagamaan lain dalam Islam , bahwa memahami agama seperti ini menjadi jalan untuk masuk Surga. Keyakinan itu karena menjalankan Al Qur'an dan Sunnah Rosul. Pintu masuk terorisme dapat juga dari dogmatisme, aroganisme, sinisme dan fulusisme. Yang terakhir ini adalah makna bahwa teror yang dilakukan itu sangat berhubungan dengan bantuan keuangan untuk diri dan keluarga. Atau paket proposal untuk proyek strategis. Termasuk biaya-biaya untuk mengarang cerita. Fulusisme dapat berskala nasional atau internasional. PKI yang berprinsip menghalalkan segala cara demi tujuan tercapai, akan menjadikan aspek keagamaan sebagai permainan. PKI telah membuktikan dalam sejarahnya sebagai partai teroris. Baginya Wahabi dan Salafi ringan saja dapat dijadikan bahan semburan fitnah. Demi sukses mencapai tujuan. Sukses klaim kebenaran. Sukses membuat hantu. Sukses untuk memperoleh dana operasional dan fee kesuksesan. Fulusisme adalah terorisme yang paling berbahaya dan berdaya ledak tinggi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Moeldoko Knock Out?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Upaya Moeldoko untuk sukses mengkudeta Ketua Umum Partai Demokrat Agus harimurti Yudhoyono (AHY) telah membentur tembok. Tiga tembok yang membuat Moeldoko sulit menembus . Pertama, perlawanan politik Soesila Bambang Yudhoyono (SBY) dan AHY. Kedua, rakyat yang tak suka dengan gaya kudeta. Ketiga, Menkumham yang menolak. Moeldoko akhirnya terkapar. Bukankah Moeldoko itu mendapat proteksi sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan Presiden Jokowi? Bukankah Menkumham itu adalah kader partai penguasa yang tugasnya memback-up Presiden Jokowi? Mengapa tidak mampu merealisasikan skenario sukses kudeta dengan memperoleh legalitas dari Kemenkumham? Disamping modal politik KLB yang rendah dengan sedikitnya DPC asli yang ikut. Banyak DPC gadungan yang ilit KLB, sehingga tidak sah sebagai peserta Kongres, juga kelemahan terberat Moeldoko adalah bukan kader Partai Demokrat. Sehingga Moeldoko sangat minim akses kepada para kader dan institusi partai di daerah-daerah. Semua kenyataan tentu saja berkonsekuensi pada ketidakmampuan Moeldoko dan timnya. Moeldoko tidak secara cepat melakukan pembelahan partai. Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab ditolaknya permohonan keabsahan KLB Deli Serdang, disamping masalah tidak terpenuhinya ketentuan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Pertama, Menkumham Yasonna adalah kader PDIP, yang dalam prakteknya Ketua Umum PDIP Megawati beradu pengaruh dengan Presiden Jokowi. Penolakan ini dibaca sebagai bagian dari peningkatan posisi tawar PDIP atas Jokowi. Orang Jokowi saja bisa digagalkan. Kedua, tidak tertutup kemungkinan AHY atau SBY memiliki "deal" tertentu dengan Jokowi. Apakah itu soal Pilpres atau Pilkada ke depan, atau kebijakan perundang-undangan tertentu yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Moeldoko bisa diabaikan untuk kepentingan Jokowi yang lebih besar. Termasuk kepentingan nasib masa depan Gibran nanti. Ketiga, baik PDIP maupun Jokowi keduanya "cuci tangan". Terkesan bersih pada tahap penentuan oleh Pemerintah. Moeldoko didorong maju ke proses hukum melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bisa saja secara diam-diam PDIP dan Jokowi membantu dan mendorong Moeldoko untuk "sukses di proses hukum" tersebut. Moeldoko ternyata belum KO. Kemungkinan hanya grogi sedikit saja. Lagi disiapkan untuk pulih kembali, baru kemudian bergerak terus untuk memenangkan pertarungan di ujung. Moeldoko tetap masih bisa tetap berperan strategis dalam posisi sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Itupun kalau ngga diganti dari jabatan KSP Sebenarnya Jokowi menghadapi pilihan sulit. Di satu sisi harus menggolkan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat, dalam upaya menyempurnakan koalisi partai. Namun di sisi lain terlalu lemah basis dukungan Moeldoko di internal Partai Demokrat. Demikian juga dengan publik yang tak suka pada cara kudeta vulgar melalui KLB yang terkesan dipaksakakan. Ketika kudeta gagal, belajar pada kegagalan PKI dahulu. Maka bukan mustahil akan berimbas pada guncangan kekuasaan Jokowi seperti jatuhnya Soekarno saat itu. Seluruh elemen rakyat menjadi musuh bersama dari kekuasaan otoriter. Koalisi pun akan ikut berbalik dukungan. Para pembisik Jokowi faham akan situasi ini. Oleh karenanya permainan layak diperpanjang melalui gugatan di PTUN. Moeldoko harus bersiap berlari maraton. Lari sprint telah gagal. Sebab di usia Moeldoko yang sudah 63 tahun masih kuatlah untuk berlari maraton? Jika berat, maka dipastikan Moeldoko akan terkapar lagi. Ada sindiran sebaiknya Moeldoko menyerah saja. Sebaiknya Moeldoko berjuanglah untuk menjadi Ketua DPC Partai Demokrat Deli Serdang saja dulu, di bawah kepemimpinan Ketum AHY. Itu akan lebih baik dan mudah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kekuasaan Itu Tak Kenal Agama

by Tony Rosyid Jakarta, FNN - Seringkali kita dengar kalimat "Islam disudutkan". Di Eropa, masyarakat Kristen juga merasa bahwa Kristen dipinggirkan. Terutama di Perancis yang sejak tahun 1905 secara ekstrem memisahkan negara dari gereja. Bergantung agama apa yang berhadapan dengan kekuasaan, seringkali merasa disudutkan dan dipinggirkan. Secara umum, bagi kekuasaan, agama tidak begitu penting kecuali sebagai alat legitimasi dan pemberi dukungan sosial. Agama apapun, Kalau memberikan dukungan sosial (social capital), didekati, diajak kerjasama dan dimanfaatkan. Memang, Islam di Timur Tengah dan Kristen di Eropa di masa lampau, serta Yahudi di Israel dan Islam di Arab Saudi saat ini, memiliki situasi dimana agama dan kekuasaan tidak saja harmonis, tapi menyatu. Keduanya bisa berbagi bersama karena saling membutuhkan dan saling meligitimasi. Namun, hubungan kekuasaan dan agama tak selalu akur. Bahkan seringkali memakan korban di sepanjang sejarah. Penindasan kekuasaan terhadap umat beragama (atau kelompok keagamaan) dan pemberontakan atas nama agama terhadap kekuasaan sering terjadi. Intinya, kekuasaan rukun dengan umat beragama jika agama itu dibutuhkan. Tapi, ketika agama jadi ancaman, cerita akan terlihat sebaliknya. Era pemilihan umum di banyak negara, agama sering menjadi bagian dari isu penting. Bergantung kecenderungan pemilih. Kalau pemilihnya punya fanatisme terhadap agama tertentu, maka para tokohnya direkrut dan dilibatkan sebagai vote getter. Narasi agama muncul menjadi penguat legitimasi. Semata-mata untuk mencari dukungan suara. Hal ini terjadi di Indonesia. Musim pemilu, ulama, kiai, ustaz, pendeta, dan tokoh-tokoh agama laris dan banjir proyek. Kontrak kampanye bertebaran. Selesai kampanye, the end. Sebaliknya, jika di negara dimana pemilihnya anti agama, maka isu agama dijadikan sebagai common enemy. Musuh bersama. Bukan karena calon penguasa tidak suka dan benci terhadap agama tertentu. Tidak! Tapi lebih pada upaya mendapatkan simpati dan dukungan pemilih yang phobi terhadap agama itu. Only that. Di Amerika, Australia, Perancis, dan beberapa negara Eropa lainnya, kampanye anti Islam seringkali muncul saat pemilu. Bukan karena calon presiden atau perdana menteri gak suka sama Islam. Tapi ini semua dilakukan untuk mengambil suara dari kantong pemilih yang anti dan phobi terhadap Islam. Setelah jadi presiden, mereka tidak benar-benar memusuhi Islam. Meski terkadang memang ada yang benci terhadap Islam. Ini cenderung sebagai oknum dan lebih bersifat kasuistik. Tidak bisa digeneralisir. Sebab dalam politik, kepentingan umumnya menetralisir hal-hal yang berkaitan dengan perasaan personal, termasuk rasa suka dan kebencian. Banyak orang mati rasa ketika jadi pemimpin. Sebaliknya, di Indonesia, capres-cawapres, para caleg dan calon kepala daerah, justru menggunakan narasi agama, bahkan melibatkan para agamawan, terutama ulama dan ustaz sebagai juru kampanye. Bukan karena mereka religius. Bukan lantaran mereka taat beragama lalu mengusung isu agama, tidak! Kampanye pakai peci, tapi gak shalat. Mengutip Alkitab, tapi gak pernah ke gereja. Ini hal biasa. Dan faktanya, saat menjabat, nyaris tak ada kepentingan agama, ulama dan umat yang diperjuangkan. Para politisi secara umum hanya memanfaatkan fanatisme keagamaan pemilih untuk meraih dukungan. Mungkin mengecualikan PKS, karena mendedikasikan sebagai partai dakwah. Melekat agama dalam perjuangannya. Sampai hari ini, nampaknya masih konsisten. Dalam proses kekuasaan, kalau agama itu resisten dan jadi ancaman bagi kekuasaan, ya disikat. Disingkirkan. Setidaknya dipinggirkan. Entah dengan cara dipreteli legitimasinya, dikurangi perannya, dibubarkan ormasnya, dikriminalisasi dan diteroriskan tokoh-tokohnya, atau diadudomba hingga dengan sendirinya porak poranda. Ini bukan karena penguasa benci dan tidak suka pada agama. Sama sekali tidak. Ini semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan dimana penguasa merasa terancam oleh aksi kelompok keberagamaan tertentu. Dalam konteks ini, menjadi tantangan bagi umat beragama untuk selalu mengasah kemampuannya membangun komunikasi dan bernegosiasi dengan kekuasaan, beradaptasi, atau setidaknya jika ingin berpolitik, bahkan beroposisi, dibutuhkan kemampuan strategi yang mampu memenangkan agama dalam dialektikanya dengan kekuasaan. Sehingga, agama akan selalu bisa eksis dalam dinamika kekuasaan yang terus bergilir dan berganti-ganti aktornya. Di sini butuh kemampuan menterjemahkan formalitas, nornalitas dan moralitas agama ke dalam konteks yang terus menuntut perubahan. Simbol, atribut, dan ajaran normatif dalam agama sangat penting, namun mesti dikemas dalam bentuk aksi perjuangan yang tepat dan lebih taktis. Sebab, agama tanpa strategi perjuangan yang tepat pada faktanya telah mengambil banyak risiko bagi nasib pemeluk dan eksistensi masa depan agama itu sendiri. Satu sisi, agama tidak boleh kehilangan prinsip dan nilai-nilai fundamentalnya, tapi disisi lain, untuk eksis dan punya pengaruh, meniscayakan langkah-langkah operasional yang strategis. Ekspresi keberagamaan rentan untuk berhadap-hadapan, bahkan bermusuhan dengan kekuasaan. Disinilah umat beragama seringkali mengambil risiko ketika kekuasaan sudah mulai merasa terancam. Relasi pro-kontra agama-kekuasaan dalam sejarah mesti mampu mematangkan umat beragama untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih strategis agar agama terus mampu mempertahankan eksistensinya dan punya ruang untuk menebarkan pengaruh sosialnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Secara Politik, Moeldoko Sudah Selesai!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Tak diakuinya hasil Kongres Luar Biasa “Partai Demokrat” di Deli Serdang oleh Pemerintah memberikan pukulan telak bagi kepengurusan di bawah kepemimpinan Moeldoko. Berharap mendapat “dukungan” Pemerintah karena Moeldokoada di lingkar dalam Istana. Moeldoko menjabat Kepala Kantor Staf Presiden.Namun, dalam kenyataannya berbanding terbalik. Alhasil olok-olok Jenderal kalah dengan Mayor pun mengemuka di publik. Posisi Moeldoko sebagai Kepala KSP pun ikut terjepit. Sebab, banyak kalangan menganggap dengan jabatannya sebagai Kepala KSP dan menjadi representasi Pemerintah, Moeldoko sudah memberikan coretan "arang" bagi Istana. Dan karena ulah Moeldoko pula hubungan antara Presiden Joko Widodo dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono bisa dan mulai retak. Pasalnya, hingga kini SBY, masih tetap tercatat sebagai pendiri dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Pemerintah telah memutuskan menolak pendaftaran hasil kongres luar biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang digelar sepihak oleh Moeldoko. KLB yang digelar Moeldoko Cs dinilai belum melengkapi sejumlah dokumen. “Dari hasil pemeriksaan dan atau verifikasi terhadap seluruh kelengkapan dokumen fisik, sebagaimana yang dipersyaratkan masih ada beberapa kelengkapan yang belum dipenuhi,” kata Menkumham Yasonna H. Laoly saat konferensi pers virtual, Rabu (31/3/2021). Dokumen yang belum dilengkapi antara lain soal DPC, DPD, hingga surat mandat. Oleh sebab itu, pemerintah menolak permohonan hasil KLB “Partai Demokrat” di Deli Serdang, Sumatera Utara, itu. “Dengan demikian, pemerintah menyatakan bahwa permohonan hasil kongres luar biasa di Deli Serdang tanggal 5 Maret 2021 ditolak,” ujar Yasonna. Sebelumnya, hasil KLB di Deli Serdang dan kepengurusan versi Moeldoko didaftarkan ke Kemenkumham pada pertengahan Maret 2021. Jubir DPP “Partai Demokrat” Moeldoko, Ilal Ferhard, mengatakan kubunya akan menerima apa pun hasil pengumuman yang dikeluarkan Kemenkumham. “Memang dari awal pasca-KLB berlangsung, kami dari kubu Pak Moeldoko, sebagai ketua umum kami, mengatakan apa pun yang terjadi, apa pun putusan-putusan Kemenkumham, jelas kami menerima dengan lapangan dada,” ucap Ilal. Menurut Yasonna, dari pemeriksaan dan verifikasi tahap pertama tersebut, Kemenkumham menyampaikan sempat mengirim surat pada 19 Maret lalu yang intinya meminta melengkapi kelengkapan dokumen. Dengan keputusan ini, maka pemerintah tetap menganggap kepengurusan Paratai Demokrat di bawah Ketum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai yang sah. Konferensi pers ini juga dihadiri oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Sebelumnya, Ketua “Dewan Kehormatan” Demokrat Moeldoko, Max Sopacua mengatakan akan langsung mengajukan gugatan ke PTUN jika Kemenkumham menolak mengesahkan kepengurusan mereka. “Ya saya kira prosesnya masih jalan. Jalan masih panjang (gugat PTUN). Proses berjalan terus karena kita ingin membuat demokratisasi terbangun di Partai Demokrat," kata Max, Rabu (31/3/2021). “Itu proses jalurnya ke sana (gugat PTUN). Kan Pak Laoly (Menkumham Yasonna Laoly) sendiri mengatakan pertarungan itu ada di PTUN, di pengadilan,” lanjut Max. Jika melinhat kenyataan politik seperti itu, sebetulnya Moeldoko sudah selesai jauh hari. Itu terlihat dari pernyataan petinggi-petinggi PDIP sebelumnya. Moeldoko sudah sowan ke Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri untuk mencari dukungan. Namun, kader-kader utama seperti Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tetap keukeuh menyatakan kabar tersebut bohong. Dia membantah bahwa sudah ada pertemuan antara Mega-Moeldoko. Keinginan Moeldoko agar Mega memerintahkan kader PDIP, Menkumham Yasonna, supaya mengesahkan Partai Demokrat versi “Kudeta Luar Biasa” itu pun sirna. Karena tak direspon Mega, Moeldoko pun menghilang bagaikan ditelan bumi. Upaya terakhirnya adalah bikin fitnah baru soal adanya pergeseran ideologi (radikalisme) di Partai Demokrat. Moeldoko tidak sadar. Ia berusaha merebut sebuah Dinasti yang dibangun SBY, sementara orang yang dimintai tolong yaitu Mega, orang yang melanggengkan Dinasti. Lebih parahnya lagi, Mega sudah mengalami trauma secara psikologis saat Relawan Jokowi pernah terang-terangan berwacana menaikkan Jokowi sebagai Ketum PDIP. Relawan Jokowi juga mengancam akan membentuk partai sendiri jika tujuannya tidak berhasil. Mega sendiri juga tahu soal rencana Hostile Takeover PDIP oleh loyalis Jokowi. Jadi, kalau merestui kudeta Moeldoko akan sama seperti Mega merestui kudeta kepada diri sendiri. Akibatnya, sebagai contoh, Maruara Sirait yang lebih memilih loyal kepada Jokowi daripad kepada Mega saja, langsung dihukum tendang dari Caleg nomor jadi ke nomor 9 dan dipaksa pindah konstituen. Otomatis Ara, begitu panggilan akrab Maruara Sirait, gagal masuk parlemen dan tersingkir dari lingkaran dekat Mega. Secara psikologis, SBY dan Mega akan saling mendukung kalau soal Politik Dinasti. Posisi Moeldoko sebagai Kepala KSP sekarang ini di ujung tanduk. Sudah saatnya Jokowi harus bisa mengembalikan Citra Presiden. Sebab, selama 2 bulan terakhir ini citra Presiden telah “dirusak” oleh Moeldoko. Atas perilaku dari Moeldoko itu, Pemerintah yang akan kena getahnya. Terutama Presiden Jokowi. Kali ini Jokowi benar-benar diuji! Dan, ujian itu sudah terjawab: Pemerintah tidak “merestui” kepengurusan “Partai Demokrat” Moeldoko Cs. Moeldoko terbukti telah khianati seniornya (SBY) dan yuniornya (AHY) dan terbukti nyata mengabaikan jiwa “korsa”. Sama-sama berlatar belakang militer, Moeldoko telah menelikung seniornya: SBY, dan juniornya: AHY. Kabarnya, Presiden Jokowi sebelum mengangkat Moeldoko sudah diperingatkan para alumni Lembah Tidar: Moeldoko berpotensi rusak citra Presiden di penghujung pemerintahan! Tapi, Presiden hanya berharap, alumni Lembah Tidar harus membantu Jokowi. Konon pula, dengan manuver Moeldoko yang telah merusak Citra Presiden ini, mereka sudah menyarankan agar Presiden Jokowi mencopot Moeldoko dari posisinya di KSP. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Moeldoko, Partai Demokrat dan Politik Nir-Etika

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Dari ksatria menjadi “pengkhianat”; dan dari tokoh protagonis menjadi antagonis. Ungkapan-ungkapan itu yang kini sedang “disandang” Kepala Sekretariat Presiden (KSP) Moeldoko. Semua julukan tersebut tidak lepas dari kiprah Moeldoko menjungkalkan Agus Harimurty Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketum Partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilangsungkan di Deliserdang, Sumatera Utara. KLB itu ditengarai tidak dilandasi etika, terutama etika keprajuritan. Apa yang melandasi “kudeta” Moeldoko terhadap AHY, dan juga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tentu hanya Moeldoko saja yang mengetahui. Namun, cara serampangan yang dilakukan Moeldoko Cs itu tak pelak telah membuat rakyat Indonesia geram. Moeldoko dianggap sebagai “anak durhaka”. Dibesarkan oleh SBY ketika menjabat sebagai Presiden RI untuk menduduki kursi KSAD, dan Panglima TNI, Moeldoko justru “bermain api” dengan ngobok-obok Partai Demokrat. Partai yang membesarkan dan dibesarkan SBY itu sekarang terbelah dua. Hanya pembuktian legalistik saja yang dapat menjawab siapa sesungguhnya yang berhak atas Partai Demokrat. Tidak hanya sekadar pembuktian de facto. Pembuktian secara de yure pun harus dilakukan. Coba kita lihat AD/ART Partai Demokrat hasil Munas 2020 yang telah disahkan Menkumham Yasonna H. Laoly. Pun kepengurusan DPP yang diketuai oleh AHY, putra sulung Presiden RI ke-6 SBY. Memang, dalam politik, ternyata dibutuhkan politik “silat lidah”. Itu dibutuhkan saat posisi terdesak. Segala jurus silat lidah harus dicoba. Tidak hanya jurus yang masuk akal. Jurus yang sesuai dengan AD/ART Partai Politik terbaru yang disahkan Menkumham. Namun, jurus silat lidah yang tak masuk akal pun bisa merangsang pengamat dan masyarakat untuk tertawa ngakak, juga perlu dicoba. Siapa tahu dari jurus tidak masuk akal itu, ternyata justru mendatangkan keberuntungan atas pelanggaran UU Parpol yang dimiliki NKRI. Terutama, yang dilakukan kelompok penyelenggara KLB Demokrat abal-abal di Deliserdang itu. Dan, itu yang terjadi dan digunakan oleh Ketum Partai Demokrat versi KLB Deliserdang, Moeldoko. Padahal, penyelenggaraan KLB Partai Demokrat itu melanggar AD/ART Partai Demokrat hasil Munas 2020, yang telah disahkan Menkumham Yasonna H. Laoly. Pun kepengurusan DPP yang diketuai oleh AHY. Moeldoko mengaku bersedia dipilih Ketum Partai Demokrat versi KLB Deliserdang, karena mengkudeta kepemimpinan AHY merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan negara. Menyelamatkan NKRI. Pertanyaan pengamat yang kini bertebaran di langit, apakah Partai Demokrat itu partai milik negara. Sehingga dikaitkan dengan keselamatan negara? Alasan Moeldoko terlalu mengada-ada hingga bisa diketawain pengamat. Kedua, jika tujuan untuk keselamatan negara, lalu siapa subyek yang mengancam NKRI? Mengapa harus "merampas" Partai Demokrat. Apa kaitan nalarnya antara merampas Partai Demokrat dengan keselamatan negara? Itu jelas sebuah argumen yang jauh nalar dari etika politik. Tak hanya itu, jika “merampas” Partai Demokrat dikaitkan dengan keselamatan negara, maka pendapat Moeldoko ini harus dibuktikan secara hukum. Jelas, pendapat tersebut, secara hukum sama dengan penilaian pribadi jika partai yang dibesarkan SBY itu merupakan “ancaman bagi negara”. Ironisnya, jika pendapat perampasan Partai Demokrat demi keselamatan negara, tak dapat dibuktikan secara hukum. Jika ingin menyelamatkan negara, seharusnya Moeldoko memilih parpol yang jelas-jelas ada niat untuk “memeras” Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Tak berani? Pensiunan Jenderal dan Panglima TNI koq tak berani “ambil-alih” parpol wong cilik itu. Bukan kemuskilan, tim pengacara demokrasi yang dipimpin Bambang Widjojanto tersebut berkesempatan untuk melakukan gugatan hukum pada Moeldoko sebagai Ketum Demokrat versi KLB Deliserdang. Atas ulah Moeldoko, DPP Partai Demokrat melalui tiga perwakilannya telah secara resmi melaporkan KSP Moeldoko ke Ombudsman RI pada Selasa (23/3/2021). Ketiganya adalah Taufiqurrahman, Ahmad Usmarwi, dan Parulian Gultom. Tiga politikus ini telah menuding bahwa Moeldoko telah melakukan pelanggaran yang dapat dikualifikasikan sebagai maladministrasi. Moeldoko diduga keras telah melanggar tugas, pokok, dan fungsi (Tupoksi) selaku KSP. Di mana seharusnya, KSP bertugas untuk menyelenggarakan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden perihal komunikasi politik. Seperti disebutkan dalam Pasal 3 huruf g Perpres 83 Tahun 2019 tentang KSP bahwa KSP menyelenggarakan fungsi sebagai pengelolaan strategi komunikasi politik dan diseminasi informasi. Namun faktanya Moeldoko turut menghadiri dan menerima penunjukan selaku Ketua Umum dari pertemuan di Hotel The Hill Sibolangit yang secara sepihak dinyatakan atau diklaim oleh panitia dan peserta sebagai KLB Partai Demokrat. Padahal, Moeldoko tidak pernah menjadi kader Partai Demokrat. Selain itu dia melalui siaran persnya telah membantah keterkaitannya dengan proses kudeta atau proses pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat. Moeldoko seperti dikutip Rmol.id juga sempat menyatakan bahwa dia tak tahu menahu sama sekali akan adanya kudeta atau pengambilalihan kepemimpinan di Partai Demokrat. “Berdasarkan fakta itu, terbukti secara meyakinkan bahwa Moeldoko patut diduga keras telah melakukan kebohongan publik,” urai Taufiqurrahman, Rabu (24/3/2021). Sementara jika dikaitkan dengan tupoksi Moeldoko sebagai KSP, maka yang bersangkutan patut diduga keras telah melanggar tupoksi sebagai KSP karena melakukan kebohongan publik, bahkan dengan mengenakan atribut selaku KSP. Moeldoko tidak pernah melakukan komunikasi langsung dengan pimpinan Partai Demokrat yang sah secara hukum dan telah memperoleh pengesahan atau persetujuan sebagaimana di dalam SK Kemenkumham pada 18 Mei 2020 dan telah diterbitkan dalam berita negara. Patut diduga keras juga bahwa komunikasi Moeldoko hanya dilakukan kepada pihak panitia dan penyelenggara pertemuan di Hotel The Hill Sibolangit yang sudah bukan kader Partai Demokrat. Artinya, Moeldoko diduga keras telah melakukan diskriminasi. Bahkan, “Patut diduga keras Moeldoko tidak pernah melaporkan kegiatan politiknya kepada Presiden Jokowi sebagai atasannya,” sambung Taufiq. Singkatnya, Moeldoko itu diduga keras telah melanggar Perpres KSP, menyalahgunakan wewenang karena di saat jam kerja melakukan kegiatan politik di luar tupoksi KSP, dan melakukan kebohongan publik. Moeldoko diduga telah melakukan komunikasi politik sepihak yang mengakibatkan keributan dan menimbulkan kerugian sangat besar bagi Partai Demokrat. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.