POLITIK

Ironi PDIP: Sarang Koruptor, Tapi Jadi Pemenang Pemilu

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sejak KPK didirikan dan beroperasional, ratusan orang yang berafiliasi dengan partai banteng terseret dalam arus kasus korupsi. Terbaru, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah juga diciduk KPK, Sabtu (27/2/2021) dini hari. Sebelumnya, mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara, Bendahara Umum DPP PDIP tercatat sebagai pesakitan kasus rasuah juga, terkait dana bansos. Jika harus dikembangkan dengan mereka yang pernah disebutkan di dalam pengadilan kasus korupsi, maka jumlah politikus kandang banteng jauh lebih banyak. Sebut saja nama Puan Maharani yang kini menjabat Ketua DPR RI dan Ganjar Pranowo yang menjabat Gubernur Jawa Tengah, juga disebut terpidana korupsi Setya Novanto pada kasus korupsi pengadaan e-KTP. Namun, ironinya, PDIP sejak masa reformasi tercatat menjadi 3 kali pemenang Pemilu dan mengantarkan 2 kadernya menjadi Presiden RI. Ironi inilah yang menjadi tanda tanya besar: Apakah rakyat Indonesia memang rakyat yang koruptif, atau rakyat Indonesia memang “buta dan bodoh” politik? Dalam 6 bulan terakhir, setidaknya terdapat 5 politisi PDIP yang diciduk KPK terkait dengan tindak pidana korupsi. Terbaru adalah KPK menangkap Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Sabtu (27/3/2021) dini hari. Nurdin adalah Gubernur Sulsel yang diusung PDIP dalam Pilkada 2018 lalu. Penangkapan Nurdin ini menambah deretan nama kader atau kepala daerah PDIP yang ditangkap KPK. Sebelumnya, ada nama Andreu Misanta Pribadi. Mantan calon legislatif PDIP itu adalah eks Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Dia menyerahkan diri ke KPK karena diduga terlibat dalam praktik suap eksportasi benih lobster alias Benur. Juga ada nama Wenny Bukamo, mantan Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Bupati dari PDIP itu ditangkap KPK kasus kasus suap terkait proyek di Kabupaten Banggai Laut. Sebelumnya, KPK juga telah menangkap Walikota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna. Ajay adalah Ketua DPC PDIP Kota Cimahi, Jumat (27/11/2020). Pria kelahiran Bandung 1966 ini ditangkap KPK dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan pembangunan RS di Cimahi. Selain Kepala Daerah, ada juga politisi PDIP, Juliari P Batubara. Mantan Menteri Sosial yang juga pejabat di DPP PDIP itu ditangkap karena melakukan korupsi pengadaan paket bantuan sosial alis bansos Covid-19. Di Jawa Tengah, PDIP menjadi sorotan publik lantaran menjadi partai dengan Kepala Daerah tertangkap KPK terbanyak di Jateng. Hal itu menarik perhatian seorang Nahdatul Ulama (NU), Umar Hasibuan, atau yang akrab disapa Gus Umar. Melansir dari Pikiran-Rakyat.com, Selasa (5 Januari 2021, 16:12 WIB), dalam akun Twitter-nya, Gus Umar membagikan infografis soal nama-nama Kepala Daerah yang tertangkap tangan KPK selama periode 2000 – 2018. Dalam caption-nya, Gus Umar mengatakan, “Mantap jiwa PDIP. Kalian luar biasa,” tulisTwitter @UmarHasibuan75. Mantap jiwa PDIP. Kalian luar biasa? Haji Umar Chelsea (@UmarHasibuan75) Januari 4, 2021. Gus Umar menyoroti hasil temuan bahwa PDIP menjadi partai yang kadernya terbanyak melakukan korupsi dan tertangkap tangan KPK. Dalam infografis itu disebutkan, kader PDIP yang tertangkap KPK dalam jabatannya sebagai Kepala Daerah sebanyak 15 orang. Sedangkan untuk partai-partai lain hanya berkisar 1 sampai dua orang saja, misalnya dari partai Golkar tercatat 2 orang, dari PKB 1 orang, dari PPP 1 orang, dari Demokrat 1 orang, dan dari Gerindra 1 orang. Dari hasil tersebut, bisa disimpulkan, di Jateng yang kerap dijuluki sebagai kandang banteng justru menjadi daerah dengan Kepala Daerah tertangkap KPK terbanyak. Netizen pun ramai menanggapi unggahan Gus Umar tersebut. Sebagian besar dari mereka merasa heran kenapa di Jateng PDIP masih menjadi primadona. “Hebatnya rakyat Jateng masih saja memilih PDIP,” tulis akun bernama @syahputrazz. “Gak habis pikir dengan orang2 Jateng, udah tau juara korupsi, tetep julukannya kandang banteng, atau memang begitulah mental masyarakat Indonesia, permisif terhadap korupsi,” kata akun bernama @kokoarif1. Sepanjang tahun 2018, KPK menangkap 19 kepala daerah dalam OTT mulai 4 Januari hingga hingga 27 Oktober 2018. OTT KPK pertama terjadi pada 4 Januari 2018. Saat itu KPK mengamankan Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif, yang juga menjabat Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Berkarya Kalimantan Selatan. Selanjutnya, KPK kembali melakukan OTT pada 3 Februari 2018. Dalam OTT saat itu, KPK mengamankan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, yang juga Ketua DPD Golkar Jawa Timur. Dari 19 kepala daerah tersebut, sebanyak 7 orang berasal dari PDIP. Lima orang dari Golkar, 2 PAN, 1 NasDem, 1 Perindo, 1 Berkarya, 1 Partai Nanggroe Aceh, dan 1 usungan koalisi PDIP-PKB saat maju dalam pilkada. Partai-partai tersebut pun telah mengambil tindakan tegas bagi para kadernya yang terkena OTT KPK. Tindakan tegas itu antara lain langsung memecat atau memberhentikan sementara kader yang terkena OTT. Berikut ini daftar 19 kepala daerah yang kena OTT KPK hingga 27 Oktober 2018: 1. Pada 4 Januari 2018: Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif (Partai Berkarya); 2. Pada 3 Februari: Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko (Partai Golkar); 3. Pada 11 Februari: Bupati Ngada Marianus Sae (Diusung PDIP-PKB untuk maju sebagai cagub NTT); 4. Pada 13 Februari: Bupati Subang Imas Aryumningsih (Partai Golkar); 5. Pada 14 Februari: Bupati Lampung Tengah Mustafa (NasDem); 6. Pada 27 Februari 2018: Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra (PAN); 7. Pada 10 April: Bupati Bandung Barat Abu Bakar (PDIP); 8. Pada 15 Mei: Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud (Perindo); 9. Pada 23 Mei: Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat (PDIP); 10. Pada 4 Juni: Bupati Purbalingga Tasdi (PDIP); 11. Pada 6 Juni: Walikota Blitar M Samanhudi Anwar (PDIP); 12. Pada 6 Juni: Bupati Tulungagung Syahri Mulyo (PDIP); 13. Pada 3 Juli: Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (Partai Nanggroe Aceh); 14. Pada 3 Juli: Bupati Bener Meriah Ahmadi (Golkar); 15. Pada 17 Juli: Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap (PDIP); 16. Pada 27 Juli: Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan (PAN); 17. Pada 4 Oktober: Walikota Pasuruan Setiyono (Golkar); 18. Pada 14 Oktober: Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin (Golkar); 19. Pada 24 Oktober: Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra (PDIP). Pada Kamis (25/2/2021), Tim penyidik KPK juga telah memeriksa Bupati Semarang Terpilih Ngesti Nugraha dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPC PDIP Kabupaten Semarang. Ngesti diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap pengadaan bansos Covid-19. Ia diperiksa terkait suap bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara. Keterangan politikus PDIP itu dibutuhkan penyidik untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso. Ngesti Nugraha sebagai Ketua DPC PDIP Kabupaten Semarang diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Matheus Joko Santoso. Sebagai “Juara Korupsi”, seperti ditulis Gresnews.com, Selasa (21/04/2015 14:45 WIB), ini bisa menjadi preseden buruk citra partai (PDIP). Itulah yang terjadi pada 2015 terkait dengan politisi yang terlibat korupsi. Sekjen PDIP Hasto Kristyanto mengatakan, sesuai perintah Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, PDIP harus jadi yang terdepan dalam perang melawan korupsi. Kejahatan korupsi, sambung Hasto, membuat Indonesia tak bisa menerapkan Tri Sakti Bung Karno. Sebelumnya seperti yang dilansir akun Twitter KPKwatch_RI, terdapat 466 politikus yang terjerat kasus korupsi. Ada sembilan partai politik yang kadernya melakukan tindak pidana korupsi. PDIP memang penyumbang koruptor terbanyak yang melibatkan 157 kader. Disusul, Golkar dengan 113 kader. Partai Demokrat (49 kader). PAN (41 kader). PPP (22 kader). Juga, Partai Hanura (13 kader). PBB (9 kader). PKPI (5 kader). PKS (4 kader). Jika menyimak fakta hukum seperti di atas, masihkah rakyat pada Pemilu dan Pilpres 2024 akan memilih “partai koruptor”? *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Oligarki dan Demokrasi Anti Klimaks

Oleh Tamsil Linrung Jakarta, FNN - Demokrasi bisa naik, bisa turun, bergantung pada banyak faktor. Musabab paling pokok adalah karakter dan gaya kepemimpinan. Bila pemimpinnya dzolim, demokrasi akan mati namun dibedaki seolah-olah hidup. Oleh karena itu, membahas demokrasi Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari sudut pandang kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun sayangnya, di bawah kepemimpinan beliau, Indonesia tak cuma paceklik ekonomi, tetapi juga resesi demokrasi. Oligarki tumbuh sehat, dinasti politik bahkan dimulai dari diri presiden sendiri. Anak dan menantu diberi ruang menjadi kepala daerah dari negara yang dipimpin oleh ayah dan mertua. Ini adalah sejarah pertama di Indonesia sekaligus cermin paling buruk dinamika demokrasi kita. Berlimpah ruah argumentasi demokratis yang dapat diajukan menjadi pembela. Tetapi, seorang negarawan sejati tak akan pernah membiarkan keluarganya duduk dalam tahta kepemimpinan daerah dari negeri yang dipimpinnya, karena berpotensi mengundang kontroversi, cemoohan dan persepsi buruk dari rakyat. Oligarki adalah musuh biadab demokrasi. Bukan hanya Covid-19, wabah oligarki juga menjadi pandemi dalam konteks politik Indonesia hari ini. Kemasan setiap pengambilan keputusan selalu dipoles seolah-olah demokratis. Tetapi esensinya tetaplah memperkuat oligarki. Politik turun-temurun adalah bagian dari wajah oligarki yang mencengkeram Indonesia hari-hari ini. Wajah politik turun temurun terlihat sejak awal pemerintahan periode kedua, selain dari terang benderangnya politik dinasti yang dipertontonkan di hadapan kita. Publik bisa meraba relasi oligarki kekuasaan dan politik turun temurun itu. Nikmat oligarki bahkan sempat menggelontorkan wacana amandemen UUD 1945 terkait Presiden 3 Periode. Saat itu, banyak yang bertanya-tanya, lompatan besar apa yang telah dilakukan sehingga wacana presiden 3 perode dimunculkan? Kolumnis produktif Tony Rasyid sempat mengulas berkali-kali tentang wacana yang sulit dijangkau akal sehat ini. Pertanyaan tersebut harus selalu diajukan agar fokus perhatian kita selalu berpulang kepada substansi. Kita tahu, sebagian dilema demokrasi Indonesia hari ini adalah fenomena buzzer politik. Siapa pun yang mengkritisi kebijakan pemerintah, buzzer selalu siap membela. Bila ada persoalan serius atau blunder politik, buzzer dengan cekatan akan mengalihkan perhatian publik. Anti Klimaks Indonesia punya catatan demokrasi yang panjang. Ada klimaks, ada anti klimaks. Hari ini kita berada pada ruang demokrasi anti klimaks. Anti klimaks itu ditandai oleh indeks demokrasi Indonesia yang semakin turun. The Economist Intelligence Unite menempatkan indeks demokrasi Indonesia pada rangking 64 dunia dan menjadi pencapain terburuk selama 14 tahun terakhir. Kita bahkan berada di bawah Malaysia dan Timor Leste, negara baru pecahan Indonesia. Penurunan indeks demokrasi tersebut terjadi seiring dengan menguatnya oligarki. Oligarki menjadi kuat karena dua hal. Pertama, karena politik kita berbiaya mahal. Pemilihan Presiden ditengarai beberapa pihak mencapai triliunan rupiah. Angka ini fantastis dan sulit bahkan mustahil dipenuhi oleh kandidat secara mandiri. Maka kandidat Pilpres berjejaring dengan para pengusaha sehingga menjadi cikal bakal terbentuknya oligarki. Kedua, adanya presidential threshold, selain mengerdilkan demokrasi, juga menjadi sumber petaka oligarki. Untuk mengusung calon presiden, partai politik sejak awal harus bersekutu demi memenuhi ambang batas pencalonan. Padahal, ambang batas tak lebih dari keengganan partai politik besar memunculkan figur-figur alternatif dalam kontestasi Pilpres. Sebagai akibat dari fenomena itu adalah melemahnya kekuatan oposisi. Kita tahu, oposisi adalah nyawa demokrasi. Partai politik yang hari ini nyata-nyata beroposisi terhadap pemerintah hanya Partai Keadilan Sejahtera. Dalam beberapa sikap, juga Partai Demokrat. Sementara rekonsiliasi politik yang beraroma elitis hanya menambah daftar panjang kuasa oligarki politik. Oligarki harus dilawan, tak boleh dibiarkan tumbuh subur, menjadi kanker yang menggerogoti demokrasi. Sebab, oligarki mereduksi partisipasi politik dan kedaulatan rakyat yang secara keseluruhan berujung pada tumbuhnya sikap anti demokrasi. Celakanya, sikap anti demokratis tersebut dapat merembes pada rakyat kebanyakan. Karena oligarki cenderung mengandalkan kekuatan finansial, suara rakyat dikalkulasi dalam nominal rupiah. Rakyat dididik melihat pesta demokrasi sebagai musim amplop. Rakyat hanya dibutuhkan sebagai stempel demokrasi semata. Usai memperoleh suara rakyat, pemerintahan yang tersandera oligarki cenderung tidak memusatkan pikiran pada kesejahteraan mereka. Sebaliknya, oligarki justru memaksakan kehendak dengan produk-produk kebijakan yang menguntungkan investor. Salah satunya bisa kita lihat pada pengesahan UU Cipta Kerja yang mendapat pertentangan dari masyarakat kelas menengah dan buruh. Sebagai buntut UU yang ditengarai pro-investor tersebut, baru-baru ini lahir Peraturan Presiden nomor 10 Tahun 2021 yang memberikan izin investasi minuman keras di empat provinsi di Indonesia. Kebijakan tersebut seperti kacamata kuda. Hanya berfokus pada investor dengan harapan dapat mengatrol ekonomi bangsa yang sedang sulit, tanpa mengaca karakter umum manusia Indonesia secara umum. Beruntung, kebijakan ini lalu dianulir setelah mendapat respon keras sejumlah kalangan. Keberpihakan kepada pemilik modal pastilah semakin memperlebar jurang kesenjangan. Laporan Bank Dunia menyebut sebanyak 10% orang kaya memiliki 77% seluruh kekayaan negara. Sementara berdasarkan laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TP2K, Oktober 2019) menunjukkan bahwa 1% orang di Indonesia bisa menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10% keluarga maka ini menguasai 70%. Artinya sisanya 90% penduduk memperebutkan 30% sisanya. Dilema DPD RI Oligarki menjadi kian sempurna ketika lembaga legislatf sebagai pengawas pemerintahan menjadi bagian dari oligarki. Faktanya, partai-partai politik saat ini sebagian besar merupakan pendukung pemerintah. DPD RI sendiri, dalam posisinya yang lemah menjadi serba dilematis. Kita tahu, fungsi dan kewenangan DPD RI sangat terbatas. Jangankan menyuarakan aspirasi rakyat, untuk menyuarakan kepentingan DPD sendiri, terkadang masih menemui kendala. Sejumlah kalangan bahkan menyebut lembaga ini sebagai anak tiri senayan. Padahal, dalam konteks perlawanan terhadap oligarki, DPD RI punya nilai lebih. Pertama, wakil-wakil rayat yang duduk di lembaga ini bukan representasi partai politik dan oleh karena itu, sepak terjangnya relatif aman dari kepentingan partai dan oligarki. Kedua, memiliki legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih langsung oleh rakyat provinsi yang diwakilinya. Tetapi tentu, DPD RI bukan berarti tidak dapat berbuat apa-apa. Banyak yang telah dilakukan. Hanya, dalam konteks mengurai benang kusut oligarki, upaya yang dilakukan menemui kendala ketika belum apa-apa sudah dipandang sebelah mata. Untuk mengefektifkan dirinya, sebagian Anggota DPD bersuara melalui kanal-kanal publik, baik melalui webinar, melalui tulisan di media massa, menggalang civil society, dan lain-lain. Hal pertama dan paling utama dijaga tentulah terlebih dahulu menjauh dari pusaran oligarki itu sendiri. Pemerintahan harus dikritisi secara proprsional, agar tidak jauh keluar dari jalur yang semestinya. Terlebih, berbagai persoalan sosial politik akhir-akhir ini merebak sebagai rangkaian sistem politik yang memihak oligarki, seperti praktik korupsi, pelanggaran HAM, dan lain-lain. Sementara itu, masyarakat dibuat saling menegasi pada aneka persoalan yang menjauhkan pikiran mereka dari peromlematika bangsa sesungguhnya. Reformasi lambat laun disandera oligarki dan secara langsung mengamputasi demokrasi. Bila tidak ada komitmen kuat dari kita semua, oligarki akan semakin menguat dan mencengkeram sendi-sendiri demokrasi kita hingga lumpuh tak berdaya.[] Penulis adalah anggota DPD RI

Said Aqil Siradj Cuma Dikasih Komisaris Kereta Api

by Asyari Usman Medan, FNN - Selamat kepada Prof Said Aqil Siradj (SAS) yang diangkat oleh Erick Thohir sebagai komisaris utama (komut) PT Kereta Api Indonesia (KAI). Penunjukan ketua umum PBNU itu mulai berlaku sejak 3 Maret 2021. Apa arti pengangkatan ini? Hanya satu jawaban: sangat melecehkan. Pimpinan tertinggi NU hanya dihadiahi posisi komisaris utama. Di PT KAI pula. Kalau menjadi Komut di Pertamina mungkin masih bergengsi. Mengapa disebut melecehkan? Karena, Yakut Qoumas saja diangkat menjadi menteri agama. Padahal, dia cuma ketua GP Ansor yang berada jauh di bawah level Ketum PBNU. Bukankah Said Aqil sendiri tak merasa dilecehkan? Nah, itu dia. Kelihatannya beliau senang-senang saja menerima posisi itu. Barangkali Presiden Jokowi sudah bisa menakar bahwa Said Aqil tak bakalan merasa apa-apa. Barangkali juga Jokowi mendapat masukan dari para pembantunya bahwa Said Aqil mudah dihendel. Tak usah khawatir. Yang penting ada “rutinitas”. Sekarang, jika dilihat dari kepentingan KAI sendiri, aneh atau tidak? Tergantung cara melihatnya. Menjadi aneh, kalau Anda melihat ukuran profesionalisme seorang eksekutif perusahaan pada umumnya. Komisaris termasuk eksekutif perusahaan. Sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No. 8/2005, seorang komisaris dituntut untuk mampu memberikan nasihat kepada direksi tentang pengelolaan perusahaan. Seorang komisaris harus mampu menduduki jabatan direktur utama BUMN bersangkutan jika direksi tidak mampu bekerja. Komisaris adalah jabatan tertinggi di BUMN. Begitu juga di perusahaan perseroan swasta pada umumnya. Nah, apakah SAS berkualifikasi untuk memberikan nasihat kepada direksi KAI? Mampukah dia duduk sebagai direktur utama seandainya terpaksa mengambil alih tugas direksi? Wallahu a’lam. Yang jelas, Said Aqil tak pernah terdengar menjalankan tugas atau profesi bisnis. Dari sudut pandang ini, memang terasa aneh. Tetapi, bisa menjadi tidak aneh. Karena penguasa memang bisa saja sesuka hati mengangkat siapa saja menjadi komisaris di BUMN. Presiden, cq. Menteri BUMN, bisa mengangkat mereka atas dasar apa saja: dasar bisnis, dasar politis, maupun dasar nepotisme. Dengan dasar-dasar ini, tidak ada istilah aneh seorang ketua umum ormas semisal SAS diangkat menjadi komisaris utama atau komisaris biasa. Sebab, Presiden Jokowi harus memberikan hadiah kepada orang-orang yang telah mendonasikan dukungan politik kepada dia. Said Aqil adalah salah satu nama besar yang telah memberikan manfaat politik kepada Jokowi. Begitulah praktik khas Indonesia. Politisi memerlukan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk ormas NU yang terkesan sangat besar pengaruhnya. Terkahir, menarik untuk ditebak. Apakah jabatan komisaris utama itu ditawarkan kepada SAS atau sebaliknya beliau yang menunjukkan antusias? Silakan Anda jawab sendiri-sendiri saja. Oh ya, satu lagi. Berapa kira-kira gaji komut PT KAI? Informasinya tak tersedia di situs KAI. Tapi, hampir pasti seratusan juta. Sebagai perbandingan, komut Pertamina dapat 170 juta per bulan. Masih ditambah bonus tahunan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

GAR-Alumni ITB dalam Politik Hegemoni

by Radhar Tribaskoro Jakarta, FNN - Gerakan Anti-Radikalisme Alumni ITB (GAR) tidak memusuhi Din Syamsudin saja. Selain Din, GAR juga menyerang Yayasan Pembina Masjid Salman (YPM Salman), Ibu Nurhayati Subakat, dan Prof. Dr. Brian Yuliarto. Objek serangan GAR itu menjelaskan apa motif dan tujuan tersembunyi aksi-aksi GAR. Siapa Objek Serangan GAR? Sebuah perkenalan singkat barangkali perlu untuk mengetahui lebih jauh figur-figur yang diserang oleh GAR ITB. Banyak orang mungkin tidak asing kepada Prof.Dr. DIn Syamsudin. Din, begitu biasanya ia dipanggil teman-temannya, sepertinya dilahirkan sebagai pemimpin. Umur 12 tahun ia telah menjadi Ketua Ikatan Pelajar NU di Sumbawa. Sepuluh tahun kemudian Din menjadi Ketua Senat Mahasiswa di IAIN Jakarta. Din menyelesaikan studi S2 dan S3nya di Amerika Serikat sembari menjabat Ketua PP Pemuda Muhammadiyah. Pengalaman dan kepemimpinannya yang sangat mumpuni di organisasi sosial keagamaan menyebabkan ia direkrut menjadi Ketua Departemen Litbang Golkar, ketika usianya baru 35 tahun. Lima tahun kemudian ia diangkat menjadi Dirjen Penempatan Tenaga Kerja di Depnaker RI. Karir Din semakin menanjak di tingkat nasional dan internasional. Ia adalah presiden Asian Committe on Religion for Peace (ACRP), World Conference for Religion for Peace (WCRP), World Peace Forum (WPF) dan Center for Dialogue and Cooperation Among Civilizations (CDCC). Semua di atas belum menyebut apa yang telah orang ketahui tentang Din: ia adalah Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, organisasi Islam paling terkemuka di Indonesia, untuk dua periode. Ia juga pernah menjadi Ketua Umum MUI sebelum digantikan oleh Ma’ruf Amin. Dalam hemat saya tidak ada orang lain secemerlang Din yang berkarir di hampir semua ranah: organisasi sosial keagamaan, organisasi politik maupun pemerintahan, di tingkat nasional maupun internasional. Ia adalah salah satu puncak prestasi Indonesia muslim yang saleh. Sementara itu Yayasan Pembina Masjid Salman ITB (YPM Salman) adalah pengelola Masjid Salman yang legendaris. Orang Bandung sangat mengenal Masjid Salman, sebuah mesjid di hadapan kampus ITB di jalan Ganesha. Masjid Salman terkenal karena arsitekturnya yang unik (tidak ada sokoguru tengah) dan pendidikan kadernya yang hebat. Masjid itu berdiri atas partisipasi seluruh civitas academica ITB. Pada tahun 1964 Bung Karno merestui pendiriannya, sekaligus memberinya nama Salman. Bunga Karno pula yang menghibahkan tanahnya dan menyetujui desain arsitekturnya. Masjid Salman masih harus menunggu 8 tahun untuk diresmikan. Masjid Salaman adalah masjid kampus pertama yang didirikan di Indonesia. Sejak 1972 reputasi Masjid Salman terus berkembang. Masjid Salman tidak dikenal sebagai tempat sholat yang teduh, tenang dan nyaman saja, Masjid Salman adalah pusat pergerakan pikiran maupun amal ibadah. Hal itu dilatarbelakangi oleh peran Masjid Salman dalam menciptakan kader yang hebat. Pelopornya adalah Imaduddin Abdurrahman. Bang Imad, biasa beliau dipanggil, sangat dikenal karena merintis Latihan Mujahid Dakwah (LMD) dan kuliah tauhidnya. LMD Salman telah mencetak ribuan da'í dan pemimpin selain menjadi model pelatihan bagi seluruh aktivis masjid di kampus maupun luar kampus. Dosen lulusan Amerika ini juga membuka mata mahasiswa ITB akan arti penting sains dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Ia mengajak mahasiswa-mahasiswa binaannya untuk mewujudkan Islam secara nyata dalam kehidupan, melalui pengembangan sains dan ilmu pengetahuan. Pemikiran Bang Imad itu tentu saja beresonansi kuat di kampus sains dan teknologi ITB. Katanya, sains bukan saja mendorong orang mengenali hukum alam, terlebih dari itu sains mendidik orang untuk jujur dan berani. Bang Imad terkenal atas ucapannya bahwa "Amerika lebih islami daripada Indonesia." Dari kelas-kelas tauhidnya lahir banyak tokoh bangsa, diantaranya Hatta Rajasa dan Alhilal Hamdi. Di luar mereka ribuan kader Salman telah berkontribusi di lapangan yang sangat luas, mulai dari penelitian sains nuklir, politik sampai penggerak UKM di akar rumput. Alhasil Masjid Salman adalah masjid model gerakan dakwah kampus di Indonesia. Nurhayati Subakat dalam pada itu adalah pemilik brand Wardah, produk komestik nasional terbesar saat ini. Seperti halnya Din Syamsudin, ibu Nur merangkaki karirnya dari bawah. Ia lulusan Departemen Farmasi ITB, dan atas prestasinya pada tahun 2019 lalu ITB menganugerahkan beliau gelar Doktor Kehormatan. Ibu Nur memulai bisnis kosmetik halalnya ketika usia 35 tahun dengan memproduksi shampoo. Ia ketika itu hanya ditemani seorang pembantu rumah tangga. Bisnisnya sekarang telah jauh berkembang. Selain Wardah, perusahaan yang ia dirikan, PT. Paragon Technology and Innovation, juga mengembangkan merk Putri, Make-Over, Emina dan IX. Dengan Paragon, Ibu Nur sekarang telah menghidupi lebih dari 12.000 pegawai, menguasai 30% pangsa pasar kosmetik dalam negeri dengan 95 juta unit dari 1000an item produk per tahun. Seorang muslimah yang taat, Ibu Nurhayati mengatakan bahwa motivasinya membangun bisinisnya adalah untuk "menolong orang". Ia membesarkan perusahaan agar bisa mempekerjakan orang lebih banyak. Ibu Nur menunjukkan kesalehannya dengan selalu ingat Tuhan. Ketika membangun strategi perusahaannya ia menambahkan P kelima, Pertolongan Tuhan, ke dalam formula marketing mix 4P yang terkenal itu. Keyakinan kepada agama menjadikan Ibu Nur seorang dermawan, ia menyumbang Rp.40 milyar untuk Covid-19 dan RP. 52 milyar untuk Dana Abadi ITB. "Hidup adalah untuk menyebarkan kebaikan," katanya. Adapun Prof. Dr. Brian Yuliarto adalah dosen muda ITB yang sangat berprestasi. Meraih gelar profesor pada usia 43 tahun, Brian termasuk guru besar termuda di ITB. Brian hanya perlu waktu 6 tahun untuk menamatkan pendidikan S2 dan S3nya di Universitas Tokyo, perguruan tinggi paling terkemuka di Jepang. Ia telah melakukan puluhan penelitian dan menghasilkan puluhan artikel ilmiah yang mengukuhkan dirinya sebagai ilmuwan teknologi nano paling terkemuka di Indonesia. ITB berulangkali menahbiskan dirinya sebagai Dosen Berprestasi. Prof. Brian juga seorang muslim yang saleh. Dari gambaran di atas kita bisa menyimpulkan bahwa keempat pihak yang menjadi target GAR ITB memiliki ciri yang sama. Pertama, mereka adalah tokoh muslim dan lembaga Islam terkemuka. Kedua, mereka adalah puncak-puncak prestasi muslim dan muslimah di dunia politik, pendidikan, amal, akademik, dan bisnis. Prestasi mereka telah menginspirasi jutaan orang. Ketiga, mereka adalah representasi dari kebangkitan Islam yang menampilkan muslim dan muslimah dengan citra rasional, moderen namun penuh belas-kasih dan independen. Namun lebih dari semuanya, mereka adalah muslim dan muslimah yang saleh, dalam arti selalu mendasarkan pikiran dan tindakannya kepada ajaran Islam. Siapa GAR? Saya memiliki banyak teman di GAR ITB, baik yang tergabung dalam grup whatsapp GAR atau yang menjadi penandatangan dukungan pada surat-surat mereka. Tetapi GAR tentu saja lebih dari sekadar penjumlahan sifat dan watak orang-orang yang saya kenal pribadi. Dalam hemat saya GAR adalah produk dari apa yang disebut Gramsci sebagai Perang Posisi yaitu perjuangan politik dan ideologi untuk memperebutkan kedudukan hegemoni di Indonesia. Perang posisi itu berada di bawah permukaan dan merepresentasikan konflik eternal kaum sekuler vs kaum agama di Indonesia. Perang tersebut sengit, penuh trik, tipudaya, framing dan banyak menggunakan proxy. Tetapi saya tidak akan membahas lebih jauh tentang hal ini. Saya menunda pembahasannya supaya kita tidak kehilangan fokus terhadap isu GAR ini. GAR ITB memperkenalkan dirinya sebagai Gerakan Anti-Radikalisme, yaitu organisasi dari sejumlah alumni ITB yang ingin membersihkan ITB dari radikalisme. Dari nama dan misinya kita bisa menyimpulkan bahwa semua tindakan dan kebijakan GAR mestilah berkaitan dengan upaya deradikalisasi. Kita melihat bahwa dalam semua kegiatan GAR mulai dari menentukan target, menganalisa dan mencari pembenaran atas tuduhannya, mencari dukungan tandatangan, membuat surat resmi, beraudiensi dengan para pejabat untuk memperoleh dukungan dan sebagainya hanya terkait kepada 4 nama: YPM Salman, Din Syamsudin, Nurhayati Subakat dan Brian Yuliarto. Mudah bagi kita kemudian menduga bahwa keempat nama yang diserang oleh GAR itu mestilah pihak yang mereka indikasikan radikal, atau setidaknya membantu menyebarkan radikalisme di ITB. Kalau bukan begitu nama dan misi mereka menjadi hal yang sia-sia belaka. Alasan yang dikemukakan GAR tidak penting kita bahas karena pertama, semua alasan yang mereka kemukakan adalah alasan trivial (sepele, tidak substantif, remeh). Alasan semacam itu hanya dihargai oleh pemerintah absolutis dimana "Anda dihukum bukan karena tidak menggunakan seragam merah, tetapi karena ada noda hitam di kerahnya". Alasan terkait pemakzulan Din Syamsudin khususnya membuat saya sangat malu. Sebab sebagai mantan aktivis ITB saya tahu bahwa semua aktivis yang melawan Orde Baru saat itu berkomitmen memperjuangkan demokrasi. Dan sekarang, setelah reformasi, GAR menggunakan bahasa Bakorstanas untuk memakzulkan Din. Apakah di ITB reformasi sudah tidak berarti? Apakah kebebasan berbicara di ITB sudah mati? Sikap GAR itu bahkan jauh lebih buruk daripada Bakorstanas, mereka lebih mirip remaja mentah Pengawal Merah di era Revolusi Kebudayaan Cina Mao yang menghantamkan palunya ke kepala ayah mereka sendiri. Kedua, keinginan GAR bukan mengoreksi keadaan yang dianggapnya salah tetapi untuk menjatuhkan orang/lembaga yang menjadi target mereka. Dalam kasus YPM Salman dan Nurhayati, keduanya sebetulnya sudah akomodatif. Pihak Paragon (Nurhayati) telah menyingkirkan logo perusahaan dan pihak YPM Salman telah menghapus syarat khusus mahasiswa muslim. Toh surat protes tetap dikirimkan. GAR berkukuh karena surat mereka memang tidak bertujuan mengoreksi keadaan sebagaimana mereka sampaikan secara terbuka. Surat tersebut bertujuan menjatuhkan YPM Salman dan ibu Nurhayati dan menyematkan label "partisan dan agen radikalisme" di dada keduanya. Label itu tidak berguna bagi orang yang berpikiran waras. *Namun label itu sangat berguna untuk peluru buli-bulian para buzzer di media sosial.* Penutup GAR menurut saya adalah orang-orang tua yang tertipu. Mereka korban dari operasi intelejen yang sedang membangun necessary conditions bagi dominasi kekuatan sekuler atas kekuatan Islam saleh yang rasional, moderen, canggih, penuh belas-kasih dan independen. Kekuatan Islam yang coba dijatuhkan ini adalah generasi baru Islam yang tidak terlibat dalam dilema negara Islam vs negara Pancasila. Mereka justru adalah tokoh-tokoh yang bergulat secara kreatif dalam polemik tersebut namun berhasil menemukan solusi-solusi original. Generasi baru ini mencerminkan kebangkitan Islam yang diimpikan begitu lama, saat ini menjadi sasaran untuk dijatuhkan dan dipermalukan. Kalau hal itu berhasil maka terbentuklah kondisi dimana Islam tetap dianggap agama inferior, dan umat Islam dianggap tidak mampu menyajikan dan memimpin jalan kemajuan. Harapan saya GAR bisa mengkoreksi diri. Semasa mahasiswa dulu saya diajarkan negasi, yaitu semangat untuk mempertanyakan apapun yang orang katakan kepada saya. Semangat itu hendaknya dihidupkan kembali: untuk apa, untuk siapa, mengapa saya harus melakukan hal ini? Narasi radikalisme yang dipompakan oleh BNPT itu sebetulnya dangkal. Survei-survei yang mengatakan radikalisme berjangkit di kampus-kampus itu jauh dari standar akademis. Begitu banyak celah untuk mempertanyakan kebenaran narasi radikalisme dan deradikalisasi. Akhirnya, saya ingin menggarisbawahi pentingnya terus dihidupkan kerinduan kepada kebangkitan Islam. Dimana-mana kita melihat pentingnya kesalehan pemimpin, dan di sana agama memiliki peranan yang besar sekali. Namun kita pun tahu kesalehan tidak bisa berdiri sendiri. Di dalam lingkungan yang dipenuhi ketidak-adilan, kesalehan bisa memudar. Oleh karena itu, pemimpin baru Islam mesti bisa menjawab tantangan menciptakan sistem baru yang lebih berkeadilan. Last but not least, diskusi ini memunculkan dua pesan untuk generasi baru Islam. Pertama, bentuklah diri kalian dengan kesalehan. Dan kedua, ukir jalan perjuangan kalian untuk menciptakan masyarakat adil. Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Politik.

Lepas Radikalisme, Din Syamsudin Bakal Dibidik via KAMI?

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Saat kasus “radikalisme” Din Syamsudin sedang ramai diberitakan, dalam sidang terdakwa Deklarator KAMI Syahganda Nainggolan, nama Din Syamsudin dan Abdullah Hehamahua dimunculkan oleh ahli digital forensic Bareskrim Polri, Herman Fransiskus. Herman dihadirkan jaksa dalam sidang kasus penghasutan demo berujung ricuh di Jakarta dengan terdakwa Syahganda Nainggolan. Herman mengungkapkan isi chat Din Syamsuddin hingga Abdullah Hehamahua dalam grup WhatsApp (WA) 'Deklarator KAMI'. Seperti dilansir Detik.com, Kamis (18 Feb 2021 18:48 WIB), awalnya, jaksa Paris Manalu meminta Herman mencarikan chat dari 3 nomor handphone yang tergabung dalam grup WA 'Deklarator KAMI'. Dari hasil pencarian nomor yang disebutkan jaksa, ditemukan 3 nama, yakni 'Hehamahua KAMI', 'Din Syamsudin', dan 'Nina Bahri ketemu di Bawaslu'. Sebelumnya, barang bukti digital ini diambil dari handphone milik Syahganda yang bertindak sebagai admin grup. Kembali ke hasil pencarian, saksi ahli menemukan beberapa chat dari nomor Hehamahua. Salah satu isi chat itu, sebut Herman, memuat saran agar KAMI membentuk tim kecil guna menemui Presiden Joko Widodo. “Jadi, saya meminta supaya ahli mencari dari nomor HP 085882359*** untuk ditampilkan dan saudara ahli menjelaskan apa isinya,” ujar jaksa Paris dalam persidangan di PN Depok, Jawa Barat. Herman menyebut, jika misalkan ia search dari nomor tersebut, ada di (BAP) 382, nomor tersebut mengirimkan chat di dalam WhatsApp tersebut dengan kata-kata (sebagai berikut),” balas Herman. Herman kemudian membacakan isi chat Hehamahua berisi saran pembentukan tim kecil oleh Presidium KAMI. Salah satu pesannya adalah rencana meminta Jokowi mundur apabila terjadi kericuhan demo seperti pada 8 Oktober 2020 di Jakarta. “Saran: Kalau besok terjadi kondisi seperti tanggal 8 Oktober 2020 atau lebih parah, maka Presidium membentuk Tim Kecil (sekitar 7 orang) untuk menemui Presiden guna meminta beliau mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan ke Wakil Presiden.” “Wakil Presiden bertugas untuk berkoordinasi dengan MPR dalam menyiapkan sidang umum istimewa MPR untuk antara lain menetapkan kembali ke UUD 45 asli,” ungkap Herman saat membacakan chat Hehamahua di BAP. “Untuk maksud tsb, perlu ada pembagian tugas di antara Presidium, Komite Khusus dan Komite Eksekutif dan melobi beberapa pihak mengenai hal tsb. Misalnya, Pak Gatot melobi Pak Moeldoko, Pak Din melobi KH Ma'ruf Amin dan Pak Rachmat melobi Pak Mahfud MD,” ujar Herman. “Saya insya’ Allah akan melobi Ketua MPR. Pak Bachtiar bisa melobi Menko Ekonomi. Demikian dan terima kasih. Itu pada tanggal 12-10-2020 pukul 05.23.42 PM,” lanjutnya, mengutip isi chat tersebut. Herman kemudian membacakan lagi dua chat lain dari Hehamahua di grup itu. Chat tersebut berisi soal gerakan mahasiswa dan rekrutmen anggota KAMI yang asal comot. “Maaf saya keliru. Cuma, setahu saya, gerakan mahasiswa sejak 65, 74, 77, dan 98 semuanya adalah gerakan moral dan berhasil melengserkan Soekarno dan Soeharto,” ujar Herman kala membacakan chat kedua. “Maaf, memang kurang taktis. Cuma, saya tidak pernah menjadi orang munafik dalam berjuang sejak mahasiswa. Satu pelajaran yang saya petik di grup ini, ternyata rekrutmen anggota pendukung KAMI dan peserta grup WA ini, tidak secure alias asal comot,” lanjutnya membacakan chat ketiga dari Hehamahua. Herman tidak menjelaskan soal konteks chat tersebut. Dia hanya diminta jaksa menjelaskan isi chat dari hasil pencarian nomor yang ternyata memunculkan nomor milik 'Hehamahua KAMI'. Selain itu, jaksa meminta saksi ahli menjelaskan isi chat dari nomor 'Nina Bahri ketemu di Bawaslu' dan Din Syamsudin. Herman membacakan chat Din di grup 'Deklarator KAMI' soal permintaan agar pendukung KAMI untuk menahan diri melihat situasi saat itu. “Dear all, sehubungan dengan dinamika dan eskalasi situasi dan sdh mulai ada gerakan mendeskreditkan KAMI. Diminta kpd semua utk dapat menahan diri,” ucap Herman membacakan bagian chat Din. Dalam sidang ini, terdakwa Syahganda Nainggolan hadir secara virtual. Selaku hakim ketua adalah Ramon Wahyudi, sementara penasihat hukum dipimpin Abdullah Alkatiri. Tim jaksa dihadiri Putri Dwi Astrini, Syahnan Tanjung, Paris Manalu, dan Maylany Wuwung. Dalam perkara ini, Syahganda Nainggolan didakwa menyebarkan berita bohong terkait kasus penghasutan demo menolak omnibus law yang berujung ricuh di Jakarta. Ia didakwa melanggar Pasal 14 ayat 1 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam pasal ini, Syahganda terancam pidana penjara 10 tahun. Adakah pengungkapan chat Din Syamsudin di grup ‘Deklarator KAMI’ itu bakal dijadikan “pintu masuk” untuk menyeret mantan Ketum PP Muhammadiyah ini setelah manuver GAR ITB yang melaporkan Din ke KASN dianggap “gagal”? Apalagi, belakangan muncul dan beredar “Laporan Keuangan Proyek DinS dari GAR ITB Tanggal 1 Februari 2021” di medsos dengan rincian penggunaanya, dan asal dana pemasukan “Proyek DinS” tersebut. Pemasukan Proyek: Donasi individual dari 71 orang alumni ITB Rp 41.834.579,00; Donasi komunitas dari para alumni ITB Angkatan 1973 Rp 8.451.082,00; Pendapatan bunga tabungan Rp 35.399. Jumlah total pemasukan proyek sekitar Rp 50.000.000,00. Pengeluaran Proyek di antaranya: Biaya pasang dan penjagaan spanduk PECAT DS tgl 9 Juni 2020: Rp 5.260.000,00; Biaya 3 buah papan “Dukung Brimob Polri” tgl 12 Des 2020: Rp 2.850.000,00; Biaya 1 buah papan bunga “Dukung Mengkopolhukam” tgl 30 Des 2020: Rp 1.300.000,00; Biaya pasang 4 buah spanduk "GAR Dukung Unpad" tgl 5-6 Jan 2021: Rp 2.000.000,00; Biaya 1 buah papan bunga “Dukung Program Vaksinasi” tgl 13 Jan 2021: Rp 1.400.000,00; Biaya rilis & Surat GAR kpd Satgas SKB-11 Menteri tgl 19 Jan 2021: Rp 1.408.000,00; Biaya operasional delegasi GAR ke Menteri PAN-RB tgl 21 Jan 2021: Rp 645.000,00; Biaya rilis & kirim Surat GAR kpd KASN ttg DinS tgl 28 Jan 2021: Rp 1.300.000,00; Biaya 1 bh papan bunga "Dukung SE Menpan RB" tgl 29 Jan 2021: Rp 850.000,00; Biaya media release Surat GAR kepada KASN ttg DinS tgl 30 Jan 2021: Rp 1.000.000,00. Jumlah Biaya Langsung: Rp 34.586.600,00; Jumlah Biaya Tak Langsung: Rp 964.079,89. Jumlah Total Pengeluaran Proyek: Rp 35.550.679,89; Saldo Dana Proyek DinS Terakhir: Rp 14.770.380,59. Melansir KOMPAS.TV, Juru bicara Gerakan Anti Radikal (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) Shinta Madesari membantah, menuding mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai sosok radikal. “Kami tidak menuduh Pak Din radikal. Teman-teman di Muhammadiyah belum baca detil laporannya, jadi ambil kesimpulan masing-masing," kata Shinta saat diwawancara "Kompas Petang" di Kompas TV, Sabtu (13/2/2021). Shinta juga mengatakan bahwa laporannya sudah masuk ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). “Ya jadi nanti yang memutuskan KASN. Mau ditindaklanjuti atau tidak,” katanya pasrah. Sebelumnya, GAR Alumni ITB melaporkan Din Syamsuddin ke KASN, dalam surat nomor 05/Lap/GAR-ITB/X/2020 pada 28 Oktober 2020, perihal Laporan pelanggaran Disiplin PNS atas nama Terlapor Prof. Dr.. H.M. Sirajuddin Syamsuddin, MA, PhD. Dan, surat nomor 10/Srt/GAR-ITB/I/2021 pada 28 Januari 2021, perihal Hukuman disiplin PNS a/n Prof. Dr. H.M. Sirajuddin Syamsuddin, MA, PhD. Ada enam poin laporan GAR Alumni ITB ke KASN. 1. GAR menganggap Din bersikap konfrontasi terhadap lembaga negara dan keputusannya. Peristiwa ini dicatat GAR ITB pada 29 Juni 2019; 2. Din dicap mendiskreditkan pemerintah, menstimulasi perlawanan pada pemerintah, berisiko terjadinya proses disintegrasi bangsa; 3. Din dituding melakukan framing menyesatkan kepada pemahaman masyarakat umum. Ia berupaya mencederai kredibilitas pemerintahan RI yang sah; 4. GAR ITB menyoal posisi Din sebagai PNS yang menjadi pemimpin kelompok yang beroposisi pada pemerintah. Hal ini terjadi saat deklarasi KAMI pada 18 Agustus 2020; 5. Din dinilai telah menyebarkan kebohongan, fitnah, dan mengagitasi publik agar bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah; 6. Din dituding berupaya mengeksploitasi sentimen agama. Menkopolhukam Mahfud MD membenarkan ada sekelompok alumni ITB menemui Menpan RB Tjahjo Kumolo. Namun, lanjutnya, Tjahjo hanya mendengarkan saja.“Pemerintah tidak menindaklanjuti laporan itu, apalagi memproses,” kata Mahfud, Sabtu (13/2/2021). *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Apakah Jokowi Ingin Meniru Mao Zedong?

Oleh karena itu, ajakan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif menyampaikan kritik, dianggap berbagai kalangan sebagai jebakan betmen. Ajakan tersebut dianggap sebagai sebuah "perangkap politik" yang pada akhirnya nanti memberangus lawan-lawan politik termasuk para tokoh yang selama ini kritis kepada penguasa. by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - BEBERAPA saat setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang meminta masyarakat untuk aktif menyampaikan kritik kepada dirinya, di sejumlah grup WA yang saya ikuti viral cerita lama Pemimpin Partai Komunis China Mao Zedong. Pada tàhun 1956, Zedong membolehkan penduduk China untuk menyampaikan kritik dengan mengkampanyekan Gerakan Seratus Bunga. Namun, setelah berbagai saran dan kritik disampaikan penduduk China terutama dari kalangan akademisi, setahun kemudian Mao Zedong membungkam dan menahan para pengeritiknya. Tepatnya pada 8 Juni 1957, Mao Zedong meminta penghentian Kampanye Seratus Bunga. Akibatnya, ratusan intelektual dan mahasiswa ditangkap, termasuk aktivis pro-demokrasi Luo Longqi dan Zhang Bojun. Para pengeritik dipaksa untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka telah mengorganisir sebuah konspirasi rahasia melawan sosialisme. Tindakan keras itu diikuti dengan pengiriman ratusan pemikir China terkemuka ke kamp kerja paksa untuk “pendidikan ulang” atau ke penjara. Akhirnya, eksperimen singkat dengan kebebasan berbicara telah berakhir. Jika dikaitkan dengan permintaan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif menyampaikan kritik kepada pemerintah, wajar kalau sebagian rakyat kita menganggap bahwa pola dan cara yang dilakukan Jokowi mirip dengan yang dilakukan Zedong. Kisah lama di China tersebut juga disinggung oleh salah satu tokoh nasional Dr Rizal Ramli. “Setelah kampanye, Mao menindak mereka yang mengkritik rezim. Itu adalah upaya untuk mengidentifikasi, lalu menganiaya,” kata Rizal Ramli mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur dalam akun Twitter pribadinya, Jumat (12/2). Hal yang sama dikemukakan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi. Ketika Mao Zedong hendak menghabisi lawan politiknya, maka yang dilakukan adalah dengan kampanye hal yang seolah baik. Oleh karena itu, ajakan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif menyampaikan kritik, dianggap berbagai kalangan sebagai jebakan betmen. Ajakan tersebut dianggap sebagai sebuah "perangkap politik" yang pada akhirnya nanti memberangus lawan-lawan politik termasuk para tokoh yang selama ini kritis kepada penguasa. Dengan demikian, kisah lama Mao Zedong ini sangat relevan dengan ajakan Presiden Jokowi agar publik aktif mengritiknya. Walaupun para pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan berusaha meyakinkan masyarakat tentang kesungguhan pernyataan Presiden Jokowi, namun masyarakat tetap belum yakin ajakan tersebut betul-betul sebagai pernyataan tulus untuk memberi ruang kebebasan pada masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya. Berbagai kasus penangkapan terhadap para tokoh pro demokrasi dan para ulama akhir-akhir ini, membuktikan adanya kontradiksi antara pernyataan Jokowi dengan kenyataan sesungguhnya. Belum lagi tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para pelaku aksi demonstrasi beberapa waktu lalu serta pembunuhan terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI), menambah keraguan masyarakat terhadap "angin kebebasan dan demokrasi" yang dihembuskan Jokowi. Sebagian kalangan menilai penguasa sekarang justru ingin mengubur demokrasi secara perlahan. Dalam realitanya, rezim penguasa saat ini telah menerapkan praktek kekuasaan yang otoriter. Ajakan Jokowi tersebut lebih dimaksudkan untuk "test the water" sekaligus pemetaan terhadap situasi politik sekarang. Penguasa ingin memetakan secara lebih detail lagi ormas serta tokoh-tokoh yang selama ini kritis kepada penguasa. Ancaman kriminisasi hukum dan penangkapan, terbukti telah membuat takut sebagian kalangan masyarakat. Jangankan rakyat biasa, tokoh politik yang juga pengamat ekonomi sekaliber Kwik Kian Gie (KKG) pun dilanda ketakutan jika ingin menyampaikan kritik kepada pemerintah. Padahal, sebelumnya, KKG bisa dengan bebas dan leluasa menyampaikan kritik kepada setiap rezim yang berkuasa. Bahkan, di era Orde Baru kata KKG, dalam cuitannya di akun Twitternya, dirinya bisa dengan bebas menyampaikan kritik melalui tulisan khusus di Harian Kompas. Ketakutan KKG juga mencuat karena adanya buzzer bayaran. Buzzer ini cenderung menyerang para pengeritik pemerintah. Mereka bukannya beradu gagasan dan ide pemikiran, tapi buzzer bayaran ini cenderung menyerang pribadi setiap pengeritik dengan bahasa yang kasar. Buzzer ini ada yang tugasnya menyerang pengiritik melalui media sosial, kemudian setelah itu buzzer yang lainnya melaporkan para pengeritik ke pihak kepolisian. Oleh karena itu, wajar kalau sebagian kalangan menyatakan, "Jika Jokowi benar-benar ingin dikritik masyarakat, sebaiknya para buzzer yang selama ini dibayar pemerintah ditertibkan dulu". Permintaan tersebut antara lain disampaikan budayawan Sujewo Tedjo. Namun, para pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan membantah kalau selama ini pemerintah "melihara" buzzer. Akan tetapi, bantahan tersebut bisa dipatahkan setelah beredar foto Jokowi bersama para buzzer di Istana Bogor, Jawa Barat. Foto tersebut beredar di hampir semua jejaring media sosial. Di dalam foto tersebut, terlihat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Para netizen juga sering menjuluki Moeldoko sebagai "Kakak Pembina". Selain Moeldoko, tentu ada para buzzer yang wajahnya nampak sumringah saat berfoto bersama Presiden Jokowi. Di dalam foto itu terdapat buzzer yang namanya sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat, mereka antara lain, Permadi Arya atau Abu Janda, Deny Siregar dan Eko Kunthadi. Sangat boleh jadi itu adalah foto bersama tàhun 2019, saat para buzzer itu dibutuhkan Jokowi untuk mengangkat citra dirinya menjelang Kampanye Pilpres waktu itu. Sayangnya, hingga kini sebagian besar masyarakat menganggap para buzzer tersebut masih bekerja untuk rezim penguasa. Banyak kalangan termasuk anggota DPR (dari PKS) yang mempertanyakan anggaran APBN yang dialokasikan untuk mendanai para buzzer tersebut. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Al Muzzamil Yusuf mempertanyakan, apakah Abu Janda merupakan seorang influencer yang dibayar pemerintah menggunakan APBN. "Pertanyaan kami ini untuk klarifikasi kepada publik. Pertama, apakah Permadi Arya dibayar dengan anggaran APBN?" tanya Al Muzzamil, dikutip melalui siaran akun Youtube DPR-RI, Rabu. Hal itu disampaikan Al Muzzamil berkaca dari temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan anggaran pemerintah sekitar Rp 90 miliar untuk membayar influencer dan key opinion sejak 2014. Permadi Arya alias Abu Janda namanya lebih populer karena cuitannya pernah menyinggung kasus dugaan rasialisme dan penistaan agama. Meskipun dia sudah sering dilaporkan ke polisi, namun sampai sekarang Abu Janda tidak ditahan polisi. Di berbagai pemberitaan media, Abu Janda mengakui dirinya menjadi influencer dan dibayar dengan nominal yang besar. *Kehilangan legitimasi* Sementara itu, seorang buzzer yang juga mantan rekan kerja penulis di salah satu media mainstream, mengakui dirinya menjadi influencer Jokowi pada saat kampanye Pilpres 2019. Dia membantah kalau selama menjadi influencer dibayar dengan dana APBN. "Saya dibayar oleh pengusaha yang menjadi pendukung dan donatur Jokowi," katanya. Dia hanya mau disebut sebagai influencer dan keberatan disebut sebagai buzzer karena konotasinya jelek. Ketika Majalah Tempo menurunkan laporan soal buzzer bayaran beberapa waktu lalu, mantan rekan kerja saya ini menjadi salah satu nara sumbernya. Saya pun berkomunimasi dengan dia melalui chatting di halaman Facebook setelah keluar laporan Majalah Tempo tersebut. Kembali kepada ajakan Jokowi agar masyarakat bisa aktif menyampaikan kritik. Ajakan ini sebenarnya bagus dan akan benar-benar jadi kenyataan kalau para aktivis serta para ulama yang saat ini ditahan polisi dan kejaksaan bisa dibebaskan terlebih dulu. Selama mereka masih ditahan, ajakan Jokowi tersebut hanya sekedar lips service belaka. Alih-alih dibebaskan, penguasa nampaknya akan terus menjerat para tokoh lainnya yang selama ini kritis kepada pemerintah. Yang sekarang ditarget adalah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin yang dituduh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai tokoh radikal. Sebelumnya, tidak lama setelah Jokowi meminta masyarakat menyampaikan kritik, penyidik senior KPK Novel Baswedan juga dilaporkan ke polisi hanya karena mempertanyakan kenapa Ustaz Maaher yang sedang sakit harus dipaksakan ditahan sampai akhirnya dia meninggal dunia. "Innalillahi wa innailaihi rojiun. Ustadz Maaher meninggal di rutan Polri. Padahal, kasusnya penghinaan, ditahan, lalu sakit. Orang sakit, kenapa dipaksakan ditahan? Aparat jangan keterlaluanlah. Apalagi dengan ustaz. Ini bukan sepele lho.." cuit Novel melalui akun Twitter @nazaqistsha, Selasa 9 Februari 2021. Novel Baswedan dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh organisasi kepemudaan bernama Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Mitra Kamtibmas (PPMK). Novel yang juga mantan polisi dilaporkan karena dianggap memprovokasi lewat komentar di media sosial terkait meninggalnya Soni Eranata alias Ustaz Maaher At-Thuwailibi di Rutan Bareskrim. Jangankan mengeritik, mempertanyakan kematian seorang tahanan pun langsung dilaporkan ke polisi. Oleh karena itu, wajar kalau mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menanyakan, "Bagaimana cara mengritik Jokowi tanpa dipanggil polisi?' Sebenarnya, ajakan Jokowi agar masyarakat mengeritik dirinya, hanya untuk memancing para pengeritik untuk kemudian nanti dihadapkan dengan para buzzer. Meskipun Jokowi mempersilahkan publik untuk mengkritiknya, namun dosen ilmu politik Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mariyah menganggap Presiden Jokowi sudah tidak memiliki legitimasi dan kepercayaan publik. "Sebetulnya ini cuma maping aja, siapa yang mengkritik, tinggal nanti dipanggil buzzernya," ujar Chusnul dalam video yang diunggah akun YouTube Realita TV seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (12/2). "Bagaimana seorang pemimpin yang meminta dikritik, padahal tangannya sudah berdarah-darah. Itu loh yang berdarah-darah terhadap pengkritiknya," tambah Chusnul. Mao Zedong memang sudah lama mengkampanyekan Seratus Bunga. Mao sengaja menghembuskan angin kebebasan kepada penduduk China agar warganya jangan takut menyampaikan kritik kepada dirinya. Namun, rupanya itu cuma akal bulus Mao Zedong untuk membungkam dan menahan para pengeritiknya. Dalam konteks ini, apakah Jokowi ingin meniru apa yang sudah dilakukan Mao Zedong? ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

GAR ITB: Jangan Plintat-Plintut, Bantah Ini Bantah Itu

by Asyari Usman Medan, FNN - Gerakan Anti Radikal (GAR) Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang mengatakan bahwa mereka tidak melaporkan Pak Din Syamsuddin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas dugaan radikalisme. Melainkan terkait pelanggaran kode etika sebagai pegawai negeri sipil. Mulai mencla-mencle. Padahal, laporan mereka itu diproses oleh KASN di jalur radikalisme. Bukan jalur pelanggaran etika. Laporan mereka ke KASN disampaikan kepada Menkominfo Johnny G Plate sebagai Koordinator Tim Satgas Radikalisme. Ini mau kalian bantah? Kurang ‘clear’ apalagi bahwa kalian melaporkan Pak Din soal radikalisme? Tidak usah jauh-jauh. Nama kelompok Anda saja Gerakan Anti Radikalisme. Apa iya kalian mengurusi aparatur negara yang melanggar kode etik dengan nama organiasi yang menyertakan kata ‘radikalisme’? GAR ITB, Anda janganlah plintat-pintut. Selain plintat-plintut, GAR juga sibuk melepaskan diri dari nama ITB yang mereka bawa-bawa. Bantah itu, bantah ini. Sekarang mereka mengatakan bahwa GAR ITB tidak berada di bawah ITB atau di bawah Ikatan Alumni (IA) ITB. Tapi, mengapa sejak awal dibawa-bawa nama ITB? Apa tujuan Anda? GAR ITB terbirit-birit setelah banyak orang, termasuk para pejabat tinggi pemerintah, menolak labelisasi bahwa Pak Din seorang yang radikal. Menko Polhukam Mahfud MD saja menegaskan bahwa Din Syamsuddin tidak memiliki pandangan radikal. Selain Mahfud, Prof Azyumardi Azra, pimpinan PBNU dan bahkan Menag Yakut Qoumas pun tak sependapat kalau Pak Din dicap radikal. Ada yang agak lucu. Juru bicara GAR ITB Shinta Madesari mengatakan bahwa Mahfud mungkin belum membaca laporan mereka ke KASN. Kelihatannya, yang benar adalah Anda dan semua pendukung GAR ITB tidak pernah membaca riwayat Pak Din Syamsuddin. Asal tuding radikal. Tanpa mencermati kiprah tokoh dialog antarumat bergama itu. Saking intensifnya Pak Din terlibat dalam dialog panjang antarumat beragama itu, sampai-sampai banyak orang menyangka beliau orang liberal. Pak Din berteman dan bermitra dengan banyak tokoh internasional dari agama-agama besar dunia. Kalau semua orang bersaksi bahwa Pak Din bukan orang radikal, berarti GAR ITB telah melakukan ujaran kebencian. Sekaligus membuat dan menyebarkan hoax tentang mantan ketua MUI itu. Tentu ini ada konsekuensi hukum yang harus dipikul oleh GAR ITB.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Abu Janda Kagum Kepada Hendropriyono

by Asyari Usman Medan, FNN - Permadi Arya alias Abu Janda belum lama ini diperiksa oleh Bareskrim Polri. Kasusnya adalah tuduhan rasis terhadap Natalius Pigai dan pernyataan dia bahwa Islam agama arogan. Tapi, yang menarik dari kehadiran si Abu di kantor polisi bukan soal pemeriksaan dia itu. Yang menarik adalah pengakuan Abu Janda yang sangat memukau. Bahwa dia sangat kagum kepada Jenderal Hendropriyono –mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Ini luar biasa. Sebab, orang–orang yang segenerasi dengan si Abu biasanya kagum pada tokoh yang akan menyelesaikan masalah masa depan, bukan tokoh yang membuat masalah di masa lalu. Tampaknya, dari kekaguman si Abu itu publik bisa paham tentang diri si buzzer. Sekaligus bisa mendapatkan gambaran tentang mengapa si Abu punya semangat juang yang tinggi. Soal tuduhan rasis terhadap Pigai, itu hampir pasti tidak bisa dielakkan lagi. Dan publik pun yakin bahwa Abu hanya bisa lepas dari jerat hukum rasis (SARA) itu kalau Polisi sudah “tidak kagum” lagi kepada dia. Nah, mengapa Abu Janda kagum kepada Pak Hendro? Pertanyaan ini cukup berat untuk dijawab. Tetapi, rata-rata Anda tahu jawabannya. Kecuali Anda itu hanya senang dengan “current affairs” (masalah kekinian), tapi tak suka “old affairs” (masalah kekunoan). Baik, apa gerangan? Tentu yang paling tahu adalah Abu Janda sendiri. Tapi, tidak ada salahnya kalau Anda menduga. Salah satu dugaan itu adalah kemungkinan kekaguman Abu Janda kepada Pak Hendro karena beliau ini serba bisa, serba ada, dan serba besar. Serba bisa, artinya tidak ada yang tak bisa dilakukan oleh Pak Hendro. Baik semasa aktif sebagai tentara maupun setelah pensiun. Beliau punya banyak kelebihan. Banyak anak buah, banyak cara, banyak sumber. Serba ada, artinya tidak ada istilah tak ada, bagi Pak Hendro. Semua harus ada. Harus ada yang bisa melaksanakan keinginan dan perintah beliau semasa pensiun saat ini. Apalagi semasa aktif tempohari. Serba besar, artinya semuanya besar. Punya kekuasaan besar. Urusan yang besar-besar. Punya teman orang-orang besar. Punya mainan besar-besar. Dan pasti pula punya kekayaan besar, tentunya. Tak mungkin kekayaan kecil. Sebab, Pak Hendro itu seorang dermawan. Sponsor macam-macam kegiatan dan tindakan. Ini yang barangkali membuat Abu Janda kagum. Si Abu mengaku baru dua kali bertemu Pak Hendro. Bayangkan, dua kali pertemuan saja bisa kagum besar. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kabut Hitam Istana, Presiden Harus Bersikap

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Direktur The Global Future Institute Prof. Hendrajit mencermati “Kudeta Demokrat” yang dilakukan KSP Moeldoko atas Ketum DPP Partai Demokrat Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) yang sedang berlangsung tersebut sebagai “Drama”. “Drama ini justru mempertunjukkan bahwa semua yang bermain sebagai protagonis maupun antagonis dalam cerita ini, sejatinya berada dalam satu barisan. Berarti, kepada siapa drama ini sesungguhnya diarahkan? Berarti ada barisan lain yang sedang diganggu,” ujarnya. Diamnya Presiden Joko Widodo setelah konpres AHY dan Moeldoko, berarti sudah sesuai arahan dan skrip cerita. Menunggu SBY masuk pentas. “Sebab, kalau benar kudeta seperti kita bayangkan, istana pasti langsung membuat konpres,” lanjut Hendrajit. “Kalau sudah jalur Pratikno atau Pramono yang langsung membuat bantahan, sudah cukup untuk mematahkan pandangan adanya kaitan antara Moeldoko dan Istana,” ujarnya. Dan, “Menarik kesimpulan: manuver Moeldoko bersifat pribadi dan tak ada kaitan sama Istana.” Gimanapun juga, jantung lingkar kekuasaan Jokowi itu terletak di Pratikno dan Pramono. Bukan di KSP. Prof. Dr. Drs. Pratikno, MSoc.Sc. adalah Menteri Sekretaris Negara. Dr. Ir. Pramono Anung Wibowo, MM adalah Sekretaris Kabinet Indonesia. Akhir drama nantinya, SBY bertemu Jokowi, yang difasilitasi Moeldoko. Dengan tema sentral: Klarifikasi dan pelurusan. “Setelah itu ada kesepakatan tak tertulis, perubahan formasi politik yang saling menguntungkan. Formasi lama diubah dan disesuaikan,” kata Hendrajit. Semua happy. Cerita selesai. Jadi, misinya cuma ganggu-ganggu dan goyang-goyang Jokowi saja. Dalam politik berkhianat tapi beralih pihak hal lumrah. Tapi, di dunia timur kalau sudah cium tangan, nggak mungkin khianat. Ibarat bapak dan anak buah. Ibarat kiai dan santrinya. Patron-Client. Biasanya dalam kemiliteran itu, hal seperti ini kesetiaanya melampaui masa tugasnya di kemiliteran. Melampaui hubungan atasan dan bawahan dalam hirarki dan mata rantai komando di militer. “Jadi kalau ada pertunjukkan atau permainan panggung, pasti ada skrip dramanya. Dan untuk nyusun skrip cerita? SBY lah ahlinya,” ungkap Hendrajit. Sekadar informasi. Saat Moeldoko Komandan Brigif Jakarta-Pusat Kodam Jaya, SBY Kasdam Jaya, Pangdam Jaya Sutiyoso. Benarkah analisis Profesor Hendrajit tersebut? Bisa benar, bisa juga salah! Pasalnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rasanya tidak ikut “bermain” drama Kudeta Demokrat seperti yang dilakukan Moeldoko secara terbuka dan “kasar”. Pasti senyap, halus, dan cantik! Manuver Moeldoko sebagai pejabat Lingkar Istana Negara, jelas sangat merugikan Presiden Jokowi. Karena, petinggi dan pengurus daerah Partai Demokrat pasti menyangka gerakan yang mengusik kepemimpinan AHY tersebut “direstui” Presiden Jokowi. Apalagi, Moeldoko juga menyebut, pertemuan serupa juga pernah “dilakukan” Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman dan Investasi. Penyebutan nama Luhut itu bisa memperkuat dugaan, Istana terlibat rencana Kudeta Demokrat tersebut. “Pak LBP juga pernah cerita kepada saya, “Saya juga pernah didatangi oleh mereka-mereka. Ya saya juga sama”,” ujar Moeldoko menirukan ucapan Luhut saat memberikan keterangan pers di kediamannya di Jl Terusan Lembang, Rabu (3/2/2021). Ketika memberikan keterangan dalam jumpa pers itu, Moeldoko tampak grogi dan gugup. Ia tampak tidak siap dengan skenario gagal Kudeta Demokrat. Dikiranya semua bakal berjalan mulus. Demokrat melawan. AHY kirim surat ke Presiden Jokowi. Akun Twitter@DalamIstana mengungkap, Presiden Jokowi ngamuk setelah baca surat AHY. Dia memanggil Kakak Pembina. Marah habis-habisan. “Segera beresin semua kalau gak mau dicopot!” kata Jokowi saking marahnya. Kakak Pembina yang dimaksud itu adalah Moeldoko. “Akhirnya permufakatan jahat Kakak Pembina terbongkar juga. Seluruh tim langsung panik,” tulis Twitter@DalamIstana. Jokowi wajar ngamuk. Karena, Karena efek kesembronoan Kakak Pembina sudah merembet ke mana-mana. Golkar, Partai Berkarya, dan PPP sudah balik memanas. Kalau Kakak Pembina sampai kalah, mereka sudah ancang-ancang “mari rebut kembali”. Tokoh Golkar Aburizal Bakrie sudah bikin ancang-ancang di Golkar. Sudah ada kader yang diutus untuk ketemu Jusuf Kalla. Humprey Djemat yang kader-kadernya tidak diakomodir Suharso Moarfa sedang menyusun kekuatan. Begitu juga Hutomo Mandala Putra alias Tommy Suharto yang dikudeta dari Partai Berkarya. Gerindra tak mungkin dikudeta karena figur Prabowo Subianto terlalu kuat dan sangat solid. Apalagi, Ketum DPP Gerindra ini menjadi bagian dari Pemerintahan. Selain Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, ada Sandiaga Salahuddin Uno ditunjuk menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin. Jadi, Gerinda masih aman, tak mungkin “disentuh”. Yang selama ini di luar Koalisi Jokowi adalah PKS dan Demokrat. Tapi, rupanya, khususnya terhadap PKS, mereka tak sanggup menggoyang Mohamad Sohibul Iman semasa menjabat Presiden PKS. Kini posisinya digantikan Ahmad Syaikhu. Satu-satunya parpol potensial yang masih bisa “digoyang” tinggal Partai Demokrat. Mereka pun mulai menggarap Demokrat dengan meluncurkan isu kepemimpinan AHY. Moeldoko menjadi “operator” lapangan, yang kemudian gagal. Nazaruddin dan Johny Allen Marbun menghubungi ketua-ketua DPC. Untuk bikin isu kalau Demokrat tidak solid, mereka mau beri dana Rp 100 juta cash kalau ada Ketua DPC yang mau menjelek-jelekkan AHY. Biaya konferensi pers mereka yang tanggung. Tapi ternyata tak ada satupun yang mau. Semua Ketua DPC dan DPD Demokrat tetap solid mendukung AHY. Nazaruddin dan Johny Allen Marbun tambah jadi Rp 150 juta, tetap tak ada yang mau. Akhirnya Nazaruddin dan Johny Allen Marbun pakai orang-orang lama. Mereka yang sudah tak aktif, bahkan sudah keluar dari Demokrat. Diiming-imingin sama Rp150 juta buat yang mau ngomong. Darmizal dan Ahmad Yahya dan lain-lain. Mereka bilang ada 4 faksi yang ingin kudeta AHY. Yaitu: Faksi Marzuki Ali, Faksi Anas Urbaningrum, Faksi Subur Budhisantoso, dan Faksi Kakak Pembina (Moeldoko). Mereka ternyata tidak konfirmasi dulu terhadap nama-nama yang disebut itu. Anas, Subur, dan Marzuki marah karena nama mereka dicatut! Praktis kini tinggal Faksi Moeldoko. Mereka makin panik. Twitter@DalamIstana menulis, mereka paham, era Jokowi sudah senjakala. Kekuatan Jokowi makin lama-makin lemah seiring Covid-19 tembus sejuta dan ekonomi hancur. Rakyat mulai marah pada Jokowi. Sekarang saatnya balas dendam dan mempersiapkan Pilpres 2024. Target Ical dan JK bersatu mau tarik Golkar keluar koalisi pemerintah. Humprey Djemat juga demikian, kader-kader PPP sadar kalau terus di ketek pemerintah pas rakyat lagi kecewa, PPP bisa tidak dapat kursi di Senayan 2024 nanti. Kalau Golkar dan PPP sampai kabur, strategi Jokowi untuk memastikan kemenangan PDIP via pejabat Kepala Daerah yang dikondisikan oleh Mendagri Tito Karnavian lewat menolak Pilkada 2022 dan 2023 bakal makin sulit. JK mau memastikan Anies Baswedan bisa tetap punya panggung sampai 2024. Ical sudah setuju. Moeldoko tak bisa ngomong apa-apa. Ini pertaruhan buat Moeldoko. Kalau dia gagal karier politiknya tamat. Tanpa jabatan KSP, dia bukan apa-apa. Makanya, gantian Moeldoko yang ngamuk-ngamuk ke Nazaruddin dan Johny Allen Marbun. Max Sopacua dan Marzuki Alie yang cuma ikut-ikut langsung kabur sambil coba cuci tangan. Belakangan ada kabar, Moeldoko juga seret PDIP dalam pusaran Kudeta Demokrat. Melihat adanya “keterlibatan” Moeldoko dan diseretnya nama Luhut serta PDIP dalam rencana Kudeta Demokrat ini, Presiden Jokowi harus bersikap tegas dan bijak! Jika terbukti gerakan mereka ini ternyata dapat “restu” Jokowi, rakyat bisa marah besar! Ditambah lagi, ada banyak kasus yang membuat rakyat kecewa dengan penegakan hukum! Selain masalah ekonomi yang terpuruk dengan menumpuk ribuan triliun, perlakuan penegak hukum yang diskriminatif terhadap ulama bisa memicu Revolusi Sosial. Sikap Presiden yang memerintahkan kasus tewasnya 6 Laskar FPI oleh polisi diselesaikan secara hukum dengan transparan dan adil, sangatlah tepat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus bisa membaca perintah Presiden ini! Dengan adanya perintah Presiden itu, seharusnya Jenderal Listyo segera mengambil langkah-langkah penting. Salah satunya yang penting dan mendesak, mencopot Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran. Kita lihat saja nanti, apakah perintah Presiden Jokowi itu “didengar” dan dieksekusi Jenderal Listyo. Jika tidak didengar, berarti Jokowi memang bukan siapa-siapa! Jokowi hanya seorang Presiden yang dikendalikan oleh kekuatan “Oligarki” semata. Jangan salahkan rakyat juga jika kemudian muncul desakan agar Jokowi mundur dan rakyat minta supaya Pilpres dipercepat, seperti masa transisi dari Presiden BJ Habibie! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Geger "Kudeta" Demokrat: Ada Luhut di Belakang Moeldoko?

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Pertempuran jelang Pilpres 2024 mulai menghangat. Sejumlah tokoh nasional ancang-ancang untuk menjadi kontestan dalam pergelaran 5 tahunan tersebut. Setelah ramai “kampanye” Erick Tohir, Menteri BUMN, melalui sejumlah media luar ruang terpasang di sejumlah daerah di Indonesia, terkini kabarnya Moeldoko juga menyusul bakal ikut kontestasi Pilpres 2024. Yang dilakukannya tidak main-main! Moeldoko dituding telah siapkan “kudeta” menjungkalkan Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketum Partai Demokrat. Dengan kata lain, Demokrat dilirik Moeldoko menjadi “kendaraannya” untuk maju Pilpres 2024. Meski hanya mengantungi suara lebih-kurang 8 persen pada Pemilu 2019 lalu, Demokrat yang kini menjadi “oposisi”, dipandang berpotensi mengirim capres pada Pilpres 2024. Selain dua nama tokoh nasional di atas, nama Anies Baswedan, Sri Mulyani, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, AHY, dan bahkan nama Mensos Tri Rismaharini, muncul juga di tengah masyarakat sebagai kandidat capres dan cawapres terkini. Di belakang mereka, masih ada nama Capres dan Cawapres 2019 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Harus diakui, meski gelaran Pilpres 2024 masih berselang lebih-kurang 3 tahun lagi, situasi politik mulai memanas. “Konflik” Demokrat dengan Moeldoko diyakini akan semakin panas, dan mungkin saja akan berimbas ke parpol-parpol lain. Jika para “gajah” sudah mulai bertarung seperti sekarang, siapa yang akan menjadi “korban”? Dan, apakah pertarungan para “gajah” tersebut akan menguntungkan atau demi kepentingan rakyat? Hanya sang waktu yang bisa memberikan jawaban! Terungkapnya “rencana kudeta” Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), itu disampaikan AHY sendiri dalam jumpa pers sebelumnya. AHY memang tak menyebutkan nama, karena mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan menunggu proses konfirmasi. Pasca konferensi pers AHY, berkembang spekulasi, siapa sosok pejabat pemerintahan yang dimaksud AHY ini. Selasa malam (2/2/2021), KSP Moeldoko sendiri memberikan penjelasan langsung yang bisa disaksikan oleh rakyat. “Respon beliau sudah terprediksi. Nervous, gugup, dilihat dari gerakan tangan dan beberapa kali KSP Moeldoko menyebut gua gue,” ungkap Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Moeldoko menganggap dirinya dikaitkan dalam gerakan ini, karena berdasarkan foto-foto belaka. Padahal, faktanya tidak demikian. “Untuk itu, atas nama Partai Demokrat, saya perlu memberikan tanggapan atas pernyataan KSP Moeldoko,” lanjutnya. Pertama, pertemuan antara KSP Moeldoko dan beberapa kader Demokrat, tidak dilakukan di rumah, melainkan di luar rumah. Kedua, kedatangan kader Demokrat dari daerah ke Jakarta, itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis oleh para pelaku gerakan. Menurut Herzaky Mahendra, ada yang mengundang, membiayai tiket pesawat, menjemput di bandara, membiayai penginapan, termasuk konsumsi. Ketiga, “Jika Moeldoko mengatakan konteks pembicaraannya nggak dimengerti, sungguh sulit dipahami.” Berdasarkan keterangan yang dimiliki Demokrat, pembahasan utama yang disampaikan oleh pelaku gerakan dalam pertemuan tersebut adalah rencana mengusung KSP Moeldoko sebagai calon Presiden 2024. “Untuk memuluskan rencana tersebut, para pelaku gerakan mempersiapkan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat, melalui proses Kongres Luar Biasa (KLB),” lanjut Herzaky Mahendra. Keempat, proses pengiriman surat Ketum Demokrat AHY kepada Presiden Joko Widodo merupakan buah dari komitmen dan kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk saling menjaga hubungan baik dan komunikasi yang lancar. Menurut Herzaky Mahendra, komitmen tersebut dilakukan juga untuk menghentikan tindakan orang-orang yang gemar mencatut dan mengatasnamakan Presiden, maupun nama Ketum Partai Demokrat, dengan tujuan yang tidak baik dan mengadu domba. “Jadi, jangan dibelokkan, kok malah kita dianggap berhadapan dengan Istana. Saya juga ingin memberikan tanggapan terkait Konferensi Pers para pelaku gerakan yang dilaksanakan siang hari ini,” ungkap Herzaky Mahendra. Mereka, katanya, berencana menjemput KSP Moeldoko sebagaimana menjemput SBY pada 2004 sebagai calon presiden; lalu ada pelaku gerakan bernama Yus Sudarso menyatakan, “Apa salahnya kami melakukan ini”. “Salahnya adalah upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang sah melalui Kongres Luar Biasa,” tegas Herzaky Mahendra. Dulu, hal itu tidak ada. “Bapak SBY duduk sebagai Dewan Pembina,” lanjutnya. Jadi, “Kalau KSP Moeldoko mau menjadi Capres melalui Partai Demokrat, ya bikin KTA dulu sebagai kader Partai Demokrat. Jangan tiba-tiba ingin menjadi Ketua Umum, apalagi melalui KLB. Itu saja sudah salah besar. Itu jelas inkonstitusional.” “Pak Moeldoko itu siapa? Pak Moeldoko itu KSP, stafnya Presiden. Tugasnya sekarang membantu Presiden menyelesaikan pandemi dan krisis ekonomi. Jangan malah disibukkan untuk memikirkan pencapresan,” ujar Herzaky Mahendra. “Kasihan rakyat, lagi pandemi kok malah memikirkan pencapresan. Kasihan Presiden yang membutuhkan bantuan semua pihak untuk menangani krisis pandemi dan ekonomi,” ujarnya. *Sebut Luhut* Dalam tulisan sebelumnya, saya menulis, sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis”. Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil dulu sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena dipikir Demokrat sudah lemah betul di bawah kendali AHY. Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa “RI-1 dan RI-2” pilihannya. Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya. Ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik! Siapa Jenderal Pebisnis yang saya sebut dalam tulisan sebelumnya itu? Sekarang mulai terbuka. Sebelumnya, Moeldoko menyebut nama Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Moeldoko mengatakan bahwa Luhut juga pernah bertemu dengan sejumlah kader Demokrat, sama seperti dirinya. Menanggapi hal itu, filsuf politik Rocky Gerung memaparkan, terdapat dua kemungkinan yang terjadi. “Ya dua soal sebetulnya. Ingin nyari patron supaya bebannya enggak terlalu berat, maka sebagian dilimpahkan kepada Pak Luhut,” katanya di kanal YouTube Roger Official seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com pada Kamis, 4 Februari 2021. Akan tetapi, kata Roger, Luhut tidak melibatkan diri di dalam proyek kudeta Partai Demokrat tersebut. “Mungkin Pak Luhut punya pengetahuan tentang apa yang terjadi di dalam internal Partai Demokrat,” ujar dia “Tapi ini, AHY langsung bikin konferensi pers. Artinya, ada skala persoalan yang luar biasa besar itu,” lanjut Roger yang akademisi itu. Ia memperkirakan bahwa saat ini sangat mungkin 10 persen kader Partai Demokrat di tingkat DPC sudah dapat sejumlah uang. “Jadi mungkin problem-problem itu yang dikhawatirkan oleh Partai Demokrat, karena itu dibeberkan,” ujarnya. Menurutnya, Moeldoko berupaya untuk mencari pelindung. Tapi, Roger menyatakan bahwa hal kurang tepat. “Itu peristiwa yang lain dengan maksud yang lain. Karena itu jangan terlalu banyak cari alibi, Pak Moeldoko. Nanti kejebak,” ucapnya. Menurut Roger, Luhut itu dijadikan jembatan untuk memberi tahu pada Presiden Joko Widodo bahwa tidak sedang terjadi apa-apa. Tidak hanya Moeldoko. Konon, Luhut juga pernah didatangi mantan Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang sama-sama ingin Kudeta Demokrat. Presiden Jokowi sendiri, kabarnya, ngamuk setelah baca surat AHY yang dikirimkan kepadanya. Ia memanggil “Kakak Pembina”. Marah habis-habisan. “Segera beresin semua kalau gak mau dicopot!” begitu kata Jokowi saking marahnya, mengutip akun Twitter@DalamIstana. “Kakak Pembina” yang dimaksud selama ini tidak lain adalah KSP Moeldoko. Apakah ini sinyal bahwa “Istana Pecah”? *** Penulis wartawan senior fnn.co.id.