POLITIK
Ketua DPD Minta Arah Kebijakan Ekonomi Dikembalikan ke UUD 45
Jakarta, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyerukan agar arah kebijakan perekonomian nasional kembali kepada Pasal 33 UUD 1945. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi terbatas di Sekolah Insan Cendekia Madani, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Jumat (7/5/2021). Dalam kesempatan itu, LaNyalla menyampaikan empat prioritas yang menjadi concern kerja DPD RI sebagai wakil daerah. Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan, sejak tahun 2020 lalu, seluruh senator di DPD RI sepakat menggunakan tagline Dari Daerah Untuk Indonesia. "Dengan tagline itu, DPD RI akan terus memperjuangkan aspirasi dari daerah. Dan untuk mewujudkan itu, DPD RI harus punya Nyali dan terus Menyala," katanya. Sebagai bentuk keseriusan DPD untuk membangun daerah, LaNyalla mengatakan ada empat prioritas yang menjadi concern kerja DPD RI. "Yang pertama, DPD RI berkomitmen DPD RI untuk memajukan sektor pertanian dan mewujudkan kedaulatan pangan. Sebab, Indonesia adalah negara dengan potensi sumber daya alam yang besar. Oleh karena itu, kita wajib membangun sektor pertanian yang modern dan tangguh sebagai tulang punggung perekonomian dan meningkatkan produksi nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, yang merupakan 35,8 persen penduduk Indonesia," katanya. Yang menjadi prioritas kedua DPD RI adalah membangun negara maritim yang kuat dan maju. Ketua Dewan Kehormatan Kadin Jawa Timur itu menjelaskan, Indonesia adalah salah satu negara kepulauan dengan wilayah laut terluas dan garis pantai terpanjang di dunia. "Sudah jelas, bahwa logikanya, sektor kemaritiman Indonesia harus menjadi potensi besar yang dimiliki Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur. Karena itu, dalam Prolegnas tahun ini, DPD RI mengajukan Rancangan Undang-Undang inisiatif DPD RI, tentang Pemerintahan Daerah Kepulauan," urainya. Sedangkan prioritas Ketiga DPD RI adalah membangun ketahanan energi, pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Menurutnya, seluruh sumber daya alam yang dimiliki Indonesia harus dikelola untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata. "Dan yang menjadi prioritas terakhir DPD RI adalah membangun dari daerah. Artinya, program pembangunan dan pemberdayaan ekonomi daerah harus didukung dengan percepatan, perluasan dan pemerataan pembangunan infrastruktur di seluruh daerah dengan memberikan perhatian dan penekanan khusus kepada kawasan timur dan barat Indonesia," tuturnya. Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu menjelaskan, wajah Indonesia adalah wajah 34 provinsi. Bukan wajah pulau Jawa saja. "Desa juga menjadi wajah Indonesia. Oleh karena itu, kita ingin pembangunan desa terus dilakukan. Sehingga desa bisa menjadi kekuatan ekonomi. Karena itu, DPD RI juga mengajukan Rancangan Undang-Undang inisiatif DPD RI, tentang Badan Usaha Milik Desa," tuturnya. Dalam kesempatan itu, LaNyalla juga menekankan pentingnya DPD RI menyuarakan kepentingan daerah di tingkat nasional. Menurutnya, kepentingan daerah bukan hanya soal otonomi saja. "Ada tiga isu strategis di daerah. Yakni, pemerataan pembangunan di daerah, peningkatan indeks fiskal daerah dan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Dan itu harus ditempuh dengan membenahi manajemen ekonomi bangsa," katanya. LaNyalla menambahkan, arah dan kebijakan pembangunan ekonomi ke depan harus diletakkan dan dikembalikan secara konsisten sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 tentang Perekonomian Nasional. (SWS)
Mendorong Rekonsiliasi
by Tamsil Linrung Jakarta, FNN - Indonesia terasa semakin asing, semakin jauh dari bangsa yang selama ini kita kenal. Hari-hari kita belakangan ini selalu diusik oleh isu yang tidak begitu penting. Kalau bukan radikalisme, ya sentimen agama. Kalau bukan sentimen agama, ya perbedaan ras. Tiba-tiba saja kita seperti bangsa baru yang masih harus belajar bertoleransi dan memahami perbedaan, sesuatu yang sesungguhnya jauh hari telah tuntas. Belum selesai masalah yang satu, muncul lagi masalah lainnya. Belum usai kasus radikalisme yang berujung mutasi di PT. Pelni, muncul lagi penistaan agama oleh Jozeph Paul Zhang. Padahal, sejumlah kasus penistaan agama yang lalu-lalu, belum juga terselesaikan meski sejak dini telah dilaporkan ke polisi. Kerukunan beragama dan berwarganegara terancam dan menggerogoti kohesivitas sosial. Semakin menjadi-jadi ketika pemerintah tak jarang ceroboh mengambil langkah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, baru-baru ini menerbitkan Kamus Sejarah Indonesia. Peristiwa itu memantik kegaduhan karena buku tersebut tidak memuat nama Pendiri Nahdatul Ulama KH. Hasyim Asy'ari. Sebaliknya, yang muncul malah sejumlah nama pengurus Partai Komunis Indonesia. Meski Kemendikbud mengaku alpa, namun beberapa pihak menduga tindakan itu adalah sebuah kesengajaan. Indonesia adalah bangsa yang besar. Tetapi terlihat begitu kerdil karena persoalan yang membelitnya didominasi masalah sektarian. Soal-soal seperti ini sejatinya hanya menjauhkan kita dari persoalan utama bangsa, yakni penegakan hukum, korupsi yang merajalela, dan ekonomi yang terpuruk di tengah hutang yang menumpuk. Berjarak Dengan Rakyat Semakin hari, pemerintah tampak semakin berjarak dengan rakyatnya. Itu terlihat dari seringnya pejabat bersilang pendapat dengan rakyat dalam memahami realitas. Rakyat merasakan kehidupan ekonomi sedang sulit, sementara Presiden Jokowi memprediksi pemulihan ekonomi nasional akan mendorong Indonesia menjadi negara maju di tahun ini. Rakyat merasa cemas dengan jumlah hutang luar negeri, tetapi hutang terus digenjot tanpa diimbangi upaya kreatif mendongkrak perekonomian negara secara signifikan. Pemerintah seperti punya pikirannya sendiri tanpa mau tahu pikiran rakyat. Jarak pikiran itu semakin menganga lebar ketika kebijakan negara acap kali bersifat paradoks. Saat pemerintah melarang rakyatnya mudik lebaran, di saat bersamaan pemerintah malah mengampanyekan pariwisata. Padahal dua giat ini sama-sama berpotensi menyebarkan virus Covid-19. Saat Presiden menyerukan agar rakyat membenci produk Asing, pemerintah justru ketagihan mengimpornya. Begitu pula saat negara melarang rakyat berkerumun, Presiden malah menciptakan kerumunan di Nusa Tenggara Timur, tempo hari. Saat pernikahan rakyat dihentikan aparat, eh, tahu-tahu Presiden beserta Menteri Pertahanan malah menghadiri pernikahan artis. Terlalu banyak kebijakan dan tindakan paradoksial untuk disebut satu per satu. Intinya, kita menjadi bingung, standar peraturan apa yang dipakai pemerintah sehingga di satu sisi rakyat dilarang, tetapi di sisi lain pemerintah melakoni sendiri larangan tersebut. Alhasil, aturan seolah-olah hanya berlaku bagi rakyat, namun tidak bagi pejabat negara. Sifat paradoksial juga terlihat dalam menentukan fokus dan skala prioritas pembangunan. Pemerintah begitu ngotot memindahkan Ibukota negara, seolah kita berlebihan anggaran. Sementara untuk mengupgrade alat pertahanan negara yang mahapenting saja, pemerintah terlihat sangat kekurangan anggaran. Peralatan TNI banyak yang usang dan lapuk termakan usia. Dalam tiga tahun ini saja, ada tiga kecelakaan kapal milik TNI. Teranyar dan masih dalam investigasi adalah tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala 402. Jadi, urusan skala prioritas pembangunan juga menjadi pertanyaan. Tidak heran, berbagai penilaian miring membuncah menyambut satu tahun pemerintahan Joko Widodo – Ma'ruf Amin, tahun lalu. Sejumlah pihak bahkan menilai pemerintahan Jokowi gagal, khususnya dalam hal pemulihan ekonomi nasional. Penilaian miring tersebut juga dipicu oleh banyaknya kebijakan pemerintah yang seringkali kontroversial sehingga memantik penolakan masyarakat. Lekat dalam ingatan demonstrasi pasca pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Begitu pula dengan perumusan UU Haluan Ideologi Pancasila dan perubahan UU KPK. Perubahan ini bahkan membawa sejarah baru dalam pemerintahan Jokowi ketika KPK untuk pertama kalinya mengeluarkan SP3 terhadap buron kasus korupsi Sjamsul Nursalim. Sementara itu, kaum intelektual yang diharapkan kritis serta menjembatani jarak antara rakyat dengan pemerintah, malah justru cenderung menghamba pada penguasa dan birokrasi. Penilaian ini datang justru dari kalangan intelektual sendiri, sebagaimana diutarakan Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Dr. Sulistyowati Irianto. Padahal, kaum intelektual adalah harapan terbesar rakyat agar tetap menjunjung tinggi keilmuannya, bermartabat, dan selalu tajam menganalisis persoalan bangsa. Namun apa daya, bahkan curriculum vitae lamaran menjadi menteri dari seorang profesor sebuah universitas terkemuka pun, sarat diisi perjuangan membela Jokowi di media sosial. Disaat bersamaan, tokoh-tokoh oposisi dipreteli satu persatu. Sejumlah aktivis diterungku dengan dalih hukum yang mengundang pertanyaan di sana-sini. Selebihnya, nyali mereka yang masih bebas dibuat ciut atau setidaknya super hati-hati menjaga lisan. Rasanya, kehidupan demokrasi mulai terancam. Mendorong Rekonsiliasi Sudah pasti kita tidak membenci pemerintah. Kita tidak menginginkan pemerintahan Jokowi jatuh dan terjerembab di tengah jalan. Tetapi, itu tidak berarti membiarkan pemerintah berjalan sendiri, menjauh, dan semakin berjarak dengan rakyatnya. Pemerintah harus dikawal agar tetap menahkodai biduk bangsa dengan arah yang jelas, dan tidak melampaui kodrat konstitusi. Cukup dua periode namun hasilnya maksimal. Jarak yang semakin melebar antara pemerintah dan rakyatnya menurut beberapa pakar disebabkan oleh proses komunikasi yang tersumbat antara lingkaran inti presiden dengan dinamika sosial-politik di tengah masyarakat. Pendapat ini misalnya pernah dilontarkan oleh pakar kebijakan publik yang juga dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam. Kita tentu sepakat, fenomena itu tidak boleh terus berlanjut. Harus ada upaya memecah kebuntuan agar rakyat dan pemerintah saling mengisi, menciptakan energi untuk terus menggali terobosan baru demi kemaslahatan dan pembangunan bangsa. Menjadi kewajiban kita semualah mendorong titik temu yang baik. Masih tersisa lebih dari tiga tahun nikmat kekuasaan di periode kedua Jokowi ini. Saya kira, itu adalah waktu yang cukup buat bagi pemerintah dan seluruh stakeholders bangsa untuk menggenjot kinerjanya guna menambal semua bolong-bolong pencapaian pembangunan. Dalam semangat itu pula kami menggagas pertemuan sejumlah tokoh perekat bangsa di Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM), Tangerang, sekaligus berbuka puasa bersama. Kami berharap, pertemuan yang direncanakan terlaksana pada 7 Mei 2021 ini dapat menjadi momentum rekonsiliasi yang merelaksasi ketegangan-ketegangan politik yang selama ini mengemuka. Kami ingin para tokoh perekat bangsa yang akan hadir seperti; La Nyalla Mattalitti, Mahfud MD, Amien Rais, Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, Dien Syamsuddin, Anies Baswedan, Kwik Kian Gie, Abdullah Hehamahua, Bachtiar Hamzah, dan sejumlah tokoh lainnya menjadi pelopor pemersatu yang menggiring umat kembali bergandeng tangan, lintas SARA tanpa sekat pembeda. Ramadhan kali ini harus punya makna implikatif bagi jalan panjang pembangunan bangsa. Sudah terlalu sering kita mendengarkan lagu indah tentang rekonsiliasi, sebagaimana seringnya telinga menangkap petuah kebajikan Bulan Suci Ramadhan. Tapi momentum keduanya acap kali berlalu tanpa kesan mendalam dalam konteks kebangsaan. Konsep menahan diri dalam berpuasa harus dimaknai secara holistik sehingga punya pengaruh bagi kehidupan keummatan dan Keindonesiaan. Makna itu harus dimunculkan agar pemerintah tak berlebihan mengaplikasi kekuasaan. Sebaliknya, oposisi pun tidak membabi buta dalam menyampaikan kritiknya. Bertemu dan dialog adalah kunci menemukan harmoni untuk Indonesia yang lebih baik. Semoga langkah kecil ini menjadi pemantik ke arah itu. Penulis adalah Senator DPD RI
Menuju Wawasan Kebangsatan
by Asyari Usman Medan, FNN - Apakah ada typo di judul tulisan ini? Tidak, sama sekali. Kita memang sedang membahas diksi baru, yaitu Wawasan Kebangsatan (Wangsat) sebagai lawan dari Wawasan Kebangsaan (Wangsa). Wawasan Kebangsaan lebih-kurang maksudnya adalah konsepsi tentang kehidupan kebangsaan yang diisi dengan nilai-nilai mulia. Bisa juga disebut cara pandang yang berintikan pemahaman tentang kebangsaan. Fokus dari Wangsa adalah pengamalan Pancasila yang diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia yang pro-tauhid (ketuhanan yang maha esa). Manusia yang pro-keadilan, pro-kerakyatan, pro-pemberatasan korupsi, pro-lingkungan hidup, dlsb. Selanjutnya, apa itu Wawasan Kebangsatan? Tidak lain adalah konsepsi tentang penegakan nilai-nilai kebangsatan. Intinya adalah pengamalan cara-cara bangsat dalam proses kehidupan. Terutama kehidupan publik dan pengelolaan negara. Artinya, Wawasan Kebangsatan adalah dasar filosofis untuk menciptakan manusia-manusia bangsat. Semakin bangsat seseorang, semakin tinggi nilainya di mata elit bangsat. Wawasan Kebangsatan diproyeksikan akan menggeser Wawasan Kebangsaan yang selama ini mendominasi percakapan nasional Indonesia. Para pengelola negara yang ada saat ini kelihatannya ingin agar Wawasan Kebangsatan bisa secepatnya menggantikan Wawasan Kebangsaan. Nah, bagaimana cara agar Wangsat bisa menyingkirkan Wangsa? Akselerasi penerapan nilai-nilai kebangsatan sedang dipromosikan melalui semua mesin transformasi yang tersedia. Elit bangsat telah memikirkan itu. Dan sudah pula menyiapkan thesis yang akan menjadi panduan untuk menciptakan seorang yang sempurna dalam kebangsatan. Salah satu instrument yang paling efektif untuk mensosialisasikan Wangsat adalah tes untuk mengetahui seluas dan sedalam apa Wawasan Kebangsatan seseorang. Salah satu lembaga penting musuh korupsi baru-baru ini melaksanakan tes kebangsatan terhadap para pegawainya. Dari 1,300-an lebih staf yang dites, 75 orang dinyatakan gugur. Mereka tidak memiliki pemikiran bangsat. Mereka terlalu keras dalam berpancasila. Terlalu teguh dalam berkeadilan. Terlalu ‘radikal’ melawan korupsi. Sedangkan yang lainnya, di luar 75 orang itu, dianggap bisa dibina dalam koridor kebangsatan. Karena tidak lulus tes, 75 orang yang tidak bisa diarahkan menjadi para bangsat itu akan dikeluarkan alias dipecat dari lembaga penting dimaksud. Lembaga ini sedang ditransformasikan oleh para elit bangsat untuk menjadi proyek percontohan (pilot project) menuju Wawasan Kebangsatan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Kematian KPK dan Akhir Republik
by Prof. Daniel Mohammad Rosyid Surabaya, FNN - Hari ini Mahkamah Konstitusi menolak Judicial Review atas UU KPK 2020 yang diajukan oleh Moh. Yasin dkk- mantan unsur pimpinan KPK periode sebelumnya. Baginya, UU KPK 2020 itu nyata-nyata upaya untuk melemahkan KPK. Hanya satu hakim konstitusi, yaitu Hakim Wahiduddin Adams yang memiliki _dissenting opinions_, sementara 8 lainnya menolak JR tersebut. Sebagai produk amandemen UUD 45 era reformasi maka hari ini MK terbukti memantabkan upaya pelemahan KPK. Dugaan Effendi Gazali bahwa KPK menderita sontoloyoitis ternyata benar. Bagi saya paling tidak KPK telah berubah menjadi Komisi Pelestarian Korupsi. Ditambah dengan kegagalan banyak penyelidik KPK senior untuk diterima sebagai kembali sebagai staf KPK, maka sinyalemen beberapa pengamat benar bahwa kedua peristiwa ini adalah upaya pembunuhan KPK. Saya sebut pelestarian korupsi karena KPK yang semula diposisikan sebagai lembaga adhoc, kini akan difungsikan oleh penguasa, untuk selama-lamanya 1) melindungi para koruptor dari kalangan eksekutif dan legislatif yang pro Pemerintah, dan 2) sebagai alat untuk jual beli dengan oposisi jika masih ada, 3) make-up dan gincu seolah Pemerintah masih peduli dengan pemberantasan korupsi. Sementara itu Transparansi Internasional justru menunjukkan bahwa korupsi di Republik ini makin parah, dan demokrasinya makin lemah. Sebagai lembaga adhoc ekstra konstitusional, *KPK seharusnya menjadi institusi independen yang kuat justru supaya umurnya bisa diperpendek*. Katakan 20 tahun. Sejak dibentuk, kasus korupsi di Republik ini justru tidak ada tanda-tanda perbaikan. Baik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman masih korup seperti sebelum reformasi. Pada saat kepolisian makin powerful seperti saat ini, bisa dibayangkan jika polisi masih saja korup. Pada saat korupsi oleh tokoh parpol koalisi tetap marak, kasus kriminalisasi ulama dan tokoh kritis yang berbeda pendapat dengan Pemerintah justru makin meriah. Malpraktik administrasi publik sebagai biang korupsi justru makin mengakar. Rezim saat ini justru makin otoriter dan power abusive pada saat hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum dibuat dan ditafsirkan untuk kepentingan penguasa dan kroni-kroninya, bukan untuk publik. Kita melihat gejala yang makin kuat, sesuai adagium Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Wacana Presiden 3 periode dan presidential threshold 20% adalah indikasi bahwa adagium ini keras berlaku. Padahal Republik ini didirikan untuk mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan, bukan pada penindasan, apalagi oleh bangsa sendiri. Korupsi dan malpraktek administrasi publik yang luas telah jelas menggerogoti kemerdekaan bangsa ini. Perilaku penguasa saat ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Republik. Pancasila tidak mungkin dipraktekkan oleh rezim seperti itu. Bahkan Pancasila dijadikan alat untuk menggebuk elemen bangsa lain yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Bersama dengan kematian KPK itu menunggu giliran pula Republik ini. Penulis adalah Direktur Rosyid College of Arts.
Syahganda Dihukum 10 Bulan, Haruskah Disyukuri
By Asyari Usman Medan, FNN - Kalau tak salah memahami berita, sebagian orang cenderung mensyukuri hukuman 10 bulan penjara untuk aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Dr Syahganda Nainggolan. Artinya, hukuman itu mungkin saja dilihat sebagai ‘kemenangan’. Hukuman atas aktivis 1998 itu dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Depok pada 29 April 2021. Syahganda dinyatakan bersalah menyebarkan berita yang tidak utuh atau dianggap berlebihan terkait Onnibus Law. Bisa jadi hukuman 10 bulan itu dianggap ‘sangat ringan’ dibanding tuntutan Jaksa yang meminta agar Syahganda divonis 6 tahun penjara. Kalau dilihat dari tuntutan Jaksa, ada betulnya hukuman 10 bulan adalah kemenangan besar. Selesai vonis dibacakan, para pendukung Syahganda meneriakkan takbir di ruang sidang. Melihat suasana yang ada, pekikan “Allahu Akbar” lebih cocok ditafsirkan sebagai pertanda kesyukuran bahwa hukuman itu jauh lebih ringan. Tentu tafsiran lain bisa juga. Jika dilihat dari konteks yang ada, memang wajar jika ada yang ‘bersyukur’. Memang faktanya hukuman itu sangat ringan dibandingkan nafsu Jaksa. Cuma, kalau dipandang dari sisi lain, vonis itu seharusnya dilihat sebagai ketidakadilan. Sebab, Syahganda tidak pantas dihukum berdasarkan dakwaan Jaksa. Dia seharusnya dibebaskan. Dan penahanan atas dirinya, dan juga orang-orang lain yang didakwa dalam kasus yang sama, seharusnya dianggap melanggar asas penegakan hukum. Sebab, aktivis KAMI itu hanya menyampaikan pendapat poltik yang dijamin oleh konstitusi negara. Dia bukan menyebar berita sepotong apalagi memprovokasi. Artinya, para penguasa menggunakan instrumen hukum untuk memenjarakan orang-orang yang menentang kebijakan pemerintah. Syahganda hanya menyuarakan perbedaan pendapat tentang Omnibus Law. Jadi, Syahganda tidak melakukan tindak pidana. Dia tidak menghasut publik. Tidak pula menimbulkan ancaman terhadap keamanan negara dan masyarakat. Itulah sebabnya hukuman 10 bulan itu bukanlah kemenangan yang biasanya disyukuri. Hukuman itu adalah bentuk kezaliman, ketidakadilan. Sangat aneh kalau ada yang bersyukur.[] (Penulis, wartawan senior FNN.co.id)
Bachtiar Chamsyah Kasihan Sama Jokowi
Bukan hanya rakyat enggan menyematkan panggilan 'pak' pada Jokowi. Akan tetapi, sebutan-sebutan lain yang lebih bernada ejekan. Suatu yang tak pernah terjadi pada kepala-kepala negara sebelumya. by Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - PERJUANGAN Koalisi Aksi Mnyelamatkan Indonesia (KAMI) sungguh tak mudah. Sejak dideklarasikan di Tugu Proklamasi 18 Agustus tahun lalu, kehadiran KAMI langsung dianggap 'musuh negara' oleh pemerintah. Bukan hanya deklarasi-deklarasi di daerah-daerah yang dihalangi, pentolan-pentolan KAMI pun ditangkapi dan diadili. Beberapa di antara mereka adalah Komite Eksekutif KAMI Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat, serta salah satu deklarator KAMI Anton Permana. Total 8 orang ditangkap pada 12-13 Oktober 2020. "Terus terang, reaksi pemerintah yang demikian membuat sebagian dari anggota KAMI mundur teratur. Tapi sebagian besar memilih terus berjalan," kata Bachtiar Chamsyah pada FNN, Jumat (30/4). Bachtiar yang mantan menteri sosial dan politis kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengaku terkadang mereka harus kucing-kucingan dengan aparat untuk suatu yang sebenarnya kegiatan pertemuan yang biasa saja. "Asal deklarasi atau pertemuannya tidak dihadiri Pak Gatot (Gatot Nurmantyo, satu dari tiga presidium KAMI) pasti acaranya lancar. Sebaliknya kalau ada, pasti akan dihalang-halangi. Baik dengan pendemo bayaran atau aparat," ujar Bachtiar lagi. Di lain waktu mereka juga harus selalu siap untuk berpindah-pindah lokasi deklarasi karena ada pihak-pihak yang sengaja melemparkan berita hoax. Misalnya, di tempat yang akan mereka jadikan tempat deklarasi akan ada pembagian sembako atau tabligh akbar yang akan memancing masyarakat untuk datang berkerumun. "Kami pernah berganti lokasi sampai tiga hingga empat kali," katanya dengan nada kegelian. Meski lumayan melelahkan, tapi Bachtiar mengaku justru banyak yang mereka dapatkan dari perjalanan ke berbagai daerah. "Masyarakat resah dan lelah. Tingkat kepercayaan pada pemerintah melorot drastis. Sebagai orang yang pernah sembilan tahun di pemerintahan (jadi Mensos). Ini sangat berbahaya," jelas pria kelahiran Aceh itu. Ia mengaku belum pernah melihat bagaimana tidak hormatnya masyarakat menyebut kepala negaranya seperti saat ini. Bukan hanya rakyat enggan menyematkan panggilan 'pak' pada Jokowi. Akan tetapi, sebutan-sebutan lain yang lebih bernada ejekan. Suatu yang tak pernah terjadi pada kepala-kepala negara sebelumya. "Saya kasihan sama Pak Jokowi. Saya ingin baik saat menjabat atau pun nanti sesudahnya ia tetap dipanggil dengan penuh rasa hormat," ujarnya. Tentu bukan maksud Bachtiar dan KAMI untuk menakut-nakuti. Karena sesungguhnya keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat pada Jokowi dan pemerintah justru sangat gamblang dan terlihat jelas di media sosial yang saat ini menjadi media mainstream alias media arus utama. Media yang amat mempengaruhi banyak orang dan menjadi refleksi keadaan yang tengah terjadi. Pemerintah sendiri saat ini suka tidak suka juga mengakui kalau media sosial adalah media mainstream, terbukti dengan dikeluarkannya dana 'unlimited' bagi buzzer-buzzer yang mereka kerahkan di medsos untuk memuji-muji kinerja Jokowi dan pemerintah. Pujian berbayar yang sangat berbahaya, mengaburkan fakta, dan bisa menggiring ke tepi jurang bencana. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Sebanyak 99 Pendiri Deklarasikan Partai Ummat
Dalam politik, kata Agung, integritas dan kapabiliitas saja tidak cukup. “Namun lebih dari itu, loyalitas kepada partai juga sangat penting. Insya Allah semua kriteria di atas sudah ada pada Mas Ridho. Oleh Tjahya Gunawan Jogjakarta, FNN – SEBANYAK 99 orang pendiri Partai Ummat dari 34 provinsi berkumpul di Yogyakarta mendeklarasikan partai baru yang diinisiasi oleh tokoh reformasi Amien Rais. Sebelum deklarasi, para pendiri menandatangani dokumen pendirian partai di hadapan notaris dan melakukan konsolidasi awal dalam rangka memperkuat jaringan keummatan di seluruh pelosok tanah air. Jaringan keummatan Partai Ummat tidak melulu bersifat politis, tetapi juga melibatkan aspek-aspek ekonomi, sosial dan budaya yang memungkinkan semua elemen bangsa, khususnya kaum Muslimin, merasa memiliki partai baru ini. Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais membacakan deklarasi di hadapan para pendiri yang ditayangkan melalui akun Youtube Amien Rais Official tepat pukul 13.00, Kamis, 29 April 2021, bertepatan dengan 17 Ramadhan 1422 Hijriyah. “Bismillahirrahmanirrahim, saya deklarasikan kelahiran Partai Ummat di persada bumi pertiwi Indonesia yang kita cintai bersama,” kata Amien Rais dengan suara mantap. Deklarasi berbunyi : “Kami Partai Ummat bersama anak bangsa lainnya insyaAllah akan bekerja, berjuang, dan berkorban apa saja untuk melawan kezaliman dan menegakkan keadilan." “Kami sadar bahwa menggerakkan Al-Amru Bil Ma’ruf Wannahyu Anil Munkar yakni memerintahkan tegaknya kebajikan dan memberantas keburukan serta memobilisasi Al-Amru Bil Adli Wannahyu Anil Dzulmi yakni menegakkan keadilan dan melawan kezaliman memerlukan kesabaran, ketekunan, dan ketangguhan." “Kami abdikan seluruh shalat kami, seluruh ibadah kami, kehidupan kami, dan kematian kami, kami persembahkan hanya untuk Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam. Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamiin." “Kami yakin seluruh mekanisme demokrasi kita dan konstitusi kita lebih dari cukup untuk melakukan perbaikan kehidupan nasional, sehingga kita tidak perlu cara-cara ekstra parlementer dan cara-cara ekstra konstitusional.” Deklarasi ditutup Amien Rais dengan takbir tiga kali dan pekik merdeka. Malam harinya pada pukul 20.30 pada hari yang sama film “Harapan Ummat” diyangkan untuk pertama kalinya pada akun Youtube Amien Rais Official. Film ini bercerita mengenai perjuangan melawan kezaliman dan menegakkan keadilan yang diharapkan dapat memantik ghirah umat Islam dalam berjuang. Keesokan harinya, yaitu pada Jumat, 30 April, video deklarasi dari 34 provinsi ditayangkan untuk pertama kalinya pada akun Youtube Partai Ummat Official. “Yang mengharukan dari acara deklarasi dari daerah ini adalah para kader partai urunan untuk membiayai acara mereka masing-masing. Mereka bantingan untuk bikin spanduk, seragam partai, kaos, sampai makanan untuk buka puasa,” kata Wakil Ketua Partai Ummat Agung Mozin. Agung Mozin menambahkan bahwa Partai Ummat mempunyai masa depan di tengah kondisi politik yang tidak menentu saat ini. Ia mengutip hasil survei terakhir yang menunjukkan bahwa tingkat elektabilitas Partai Ummat sudah mencapai 1,5 persen padahal belum dideklarasikan. Padahal, kata Agung, sejumlah partai lama hanya mencapai tingkat elektabilitas dalam hitungan nol koma. Pengakuan Agung bukan tanpa alasan karena sekitar sebulan terakhir media sosial diramaikan dengan kemunculan Partai Ummat. Media sosial depenuhi oleh logo Partai Ummat, artikel analisis, dan pernyataan dukungan dari sebagian kaum Muslimin. Pengurus Partai Kepengurusan Partai Ummat terdiri dari dua bagian yaitu Majelis Syuro dan Dewan Eksekutif. Majelis Syuro menunjuk Dewan Eksekutif atau pelaksana partai untuk menjalankan kebijakan partai. Ketua Majelis Syuro dipegang oleh Amien Rais sendiri dengan sekretaris Ustad Sambo, sementara Ketua Umum dipegang oleh ahli teknologi informasi Ridho Rahmadi yang mendapatkan gelar PhD-nya dari Radboud University, Belanda. Ketua Umum dibantu oleh tiga orang Wakil Ketua yaitu Agung Mozin, Sugeng, dan Chandra Tirta Wijaya. Ketiganya adalah politisi senior yang sudah sangat berpengalaman mengelola partai. Sekretaris Umum Partai Ummat diamanahkan kepada Ahmad Muhajir yang juga politisi senior. Pada satu pertemuan di Hotel Grand Keisha Yogyakarta, Ridho sangat terharu atas penunjukan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Ummat. Karena karirnya selama ini ia fokuskan untuk berkhidmat dalam bidang teknologi informasi. “Tetapi pangggilan mulia untuk berjuang melawan kezaliman dan menegakkan keadilan ini tidak bisa saya tolak,“ kata Ridho. Ridho mendapatkan dua gelar master dalam bidang artificial intelligence (kecerdasan buatan) dari Czech Technical University di Praha, Republik Ceko dan Johannes Kepler University di Austria. Setelah menyelesaikan PhD-nya di Belanda, Ridho sempat menjadi peneliti tamu di Carnegie Mellon University, AS. Ridho aktif mengajar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta sebelum bergabung dengan Partai Ummat. Namun sekarang dia mengundurkan diri untuk memenuhi peraturan yang berlaku. Wakil Ketua Partai Ummat Agung Mozin mengatakan ditunjuknya ahli teknologi informasi Ridho Rahmadi adalah keputusan Majelis Syuro yang sangat tepat karena partai politik sekarang memerlukan kepakaran dalam bidang ini untuk bisa bersaing dengan partai lain. “Kita harapkan Mas Ridho membuatkan kita beberapa aplikasi yang berguna untuk pemenangan Partai Ummat,“ kata Agung. Tidak cuma itu, Agung menambahkan, usia Ridho yang masih milenial merupakan daya tarik tersendiri yang menjadi pertimbangan. “Insya Allah Mas Ridho akan mampu menggaet sesama milenial untuk masuk Partai Ummat. Mereka mempunyai aspirasi, keinginan dan cita-cita yang sama. Mas Ridho sangat pas,“ kata Agung. Dalam politik, kata Agung, integritas dan kapabiliitas saja tidak cukup. “Namun lebih dari itu, loyalitas kepada partai juga sangat penting. Insya Allah semua kriteria di atas sudah ada pada Mas Ridho.” Tokoh Bergabung Di tengah tingginya animo masyarakat dengan kemunculan Partai Ummat, sejumlah tokoh sudah menyatakan diri bergabung dengan partai baru ini. Di antaranya adalah artis Neno Warisman yang selama ini dikenal sebagai aktivis yang banyak memiliki jaringan di seluruh tanah air. Di samping Neno, ada juga MS Kaban, mantan Menteri Kehutanan dan salah satu Ketua Partai Bulan Bintang, dan Buni Yani, korban UU ITE yang mengalami penzaliman dengan tuduhan dan vonis hukum yang tidak dia perbuat. “Partai Ummat adalah harapan saya yang terakhir untuk memperjuangkan dan mendapatkan keadilan,” kata Buni Yani. Wakil Ketua Partai Ummat Agung Mozin sangat optimis bahwa akan semakin banyak tokoh Islam yang bergabung dengan partainya. Agung mengatakan dia sedang menjajaki untuk bersilaturahmi dengan banyak kalangan. “Insya Allah Partai Ummat akan bisa menampung aspirasi saudara-sadara kita ini,“ pungkas Agung. ** Penulis, wartawan Senior FNN.co.id.
Selamat Datang Partai Ummat
by Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Hari Sabtu, Tanggal 24 April 2021, Partai Ummat menyelenggarakan semacam gladi resik dengan mengumpulkan seluruh pengurus dan anggota Dewan Syuro. Acara yang berlangsung dari pagi hingga sore di Hotel Grand Keisia Jogyakarta telah berjalan santai, lancar dan dipenuhi warga yang menjadi simpatisan. Dimana salah satu momentum penting dari acara ini adalah pengambilan gambar (shooting) deklarasi Partai Ummat. Pendirian Partai Ummat nampaknya bukan karena pendirinya yaitu Dr. Amien Rais yang dikenal sebagai tokoh reformasi mulai kehilangan pengaruh di partai amanat nasional. Namun sebagai akademisi politik dan nyaris kiprahnya yang hampir 100 persen diabadikan pada dunia politik telah mengetahui dan merasakan denyut politik yang ada di masyarakat. Karenanya, beliau bersama sejumlah tokoh masyarakat dan politik akhirnya memutuskan untuk membentuk Partai Ummat secara simbolik. Setelah hampir 20 tahun menjadi tokoh dibalik partai amanat nasional, nampaknya beliau sulit dilepaskan dari politik dalam kehidupannya. Tantangan ke Depan Kehadiran partai baru memang disadari belum tentu mendapat respon (dukungan) dari masyarakat. Dari pengalaman pemilu 2019, tercatat ada 20 partai politik yang mendapat pengesahan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bertarung memperebutkan dukungan masyarakat. Namun dari hasil pemilu 2019, hanya terdapat 8 partai politik yang memenuhi syarat untuk mendudukkan wakilnya sebagai anggota DPR. Sementara 12 partai lainnya terpaksa menunggu sampai pada pemilu 2024. Namun tidak berarti peluang bagi kehadiran Partai Ummat di pentas politik nasional tahun 2024 juga akan berakhir. Bahkan kelak tenggelam sebelum waktunya. Dalam survei yang dilakukan oleh Indonesia Elections and Strategic (indEX) yang dirilis 12 Maret 2021, menunjukan bahwa Partai Ummat berada di posisi 10 dengan perolehan 1,3 persen. Sekalipun masih kecil, dukungan terhadap Partai Ummat ini ternyata jauh lebih besar ketimbang suara PAN yang hanya meraih 1,1 persen. Sementara di sisi lain, keraguan terhadap Partai Ummat dalam menyemarakan kehidupan politik Indonesia juga tidak sedikit. Peneliti politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan bahwa pemilihan 'Ummat' sebagai nama partai, dianggap sebagai retorika keislaman. Seolah-olah dengan nama Ummat ini sebagai wujud dari korban sebuah kezaliman. Menurut Wasisto Raharjo Jati, beliau terkesan menyimbolkan bahwa partainya adalah payung umat Islam, akan tetapi justru akan membuat suara pemilih umat Islam menjadi tidak solid. Titik lemah lain adalah ketiadaan figur selain Amien sendiri. Banyak partai Islam yang hanya mengandalkan satu tokoh, tanpa basis loyalis yang kuat (Partai Ummat Amien Rais Akan Layu Sebelum Berkembang, 2 Oktober 2020, https://tirto.id/f5rZ). Namun apa yang disampaikan oleh Amien Rais menunjukan bahwa pendirian partai ummat lebih didasarkan untuk menegakan kebajikan, keadilan, dan memberantas keburukan dan kezaliman. Nampaknya cita-cita ini lebih dimaksud untuk diberlakukan secara pribadi di tingkat anggota, keluarga dan komunitas. Dengan demikian, perjuangan dalam mewujudkan kebajikan, keadilan dan memberantas kezaliman dapat berjalan di tingkat bawah, keluarga, masyarakat hingga bangsa. Suatu nilai perjuangan yang sangat luar biasa jika melihat masalah pengelolaan kekuasaan yang masih diwarnai praktek korupsi dan ketidakadilan. Karena itu, partai ummat akan semakin mendapat dukungan luas dari masyarakat pemilih jika dari awal bertekad memberantas korupsi. Setidaknya dimulai dari dalam diri pengurusnya. Pemberantasan korupsi merupakan nilai penting karena dampak pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati elite tertentu melalui praktek penyimpangan. Sehingga mengakibatkan ketidaksetaraan kekayaan diantara warga masyarakat. Dr. Martin Luther King, dalam pidatonya di National Cathedral, Washington, D.C., 31 Maret 1968. menyatakan bahwa “busur semesta moral itu panjang tetapi ia mengarah pada keadilan.” Pesannya jelas yaitu dimaksudkan untuk membangkitkan semangat, namun kemajuan menuju keadilan harus dilakukan meski bersifat sangat bertahap. Semoga partai ummat dapat berkembang dengan dimulai dari kecil, namun semangatnya besar yaitu menegakan keadilan dan membasmi praktek korupsi dari hasil penyimpangan kekuasaan di semua lini. Jika tidak, maka partai ummat akan dicatat sejarah bahwa pernah berdiri namun tidak mampu berlari. Penulis adalah Peneliti LP3ES.
Apa Sebab Jurubicara Prabowo Melecehkan Habib Rizieq
by Asyari Usman Medan, FNN - Ramai di Twitter. Tiba-tiba saja, tak ada angin tak ada petir, Dahnil Anzar Simanjuntak (DAS) melecehkan Habib Rizieq Syihab (HRS). Entah apa sebabnya, belum tahu. Jurubicara Menhan Prabowo Subianto (PS) ini menulis komentar balasan di linimasa Facebook-nya yang bernada sangat arogan. Kepada pemilik akun “Sugeng” di FB, Dahnil mengatakan bahwa HRS bukan siapa-siapa. DAS menggunakan kata-kata yang menunjukkan bahwa dia telah berjasa besar terhadap HRS. Meskipun kalimat-kalimat DAS tak menghiraukan kadiah bahasa Indonesia, tapi untaian komentarnya bisa dipahami sebagai ucapan yang mengerdilkan Habib. Begini Dahnil berbahasa: “Sugeng, dia siapa? Bukan2 siapa (maksudnya Bukan siapa-siapa, red) bagi sy justru sy yg bantu dan bela imam mu dulu, tapi sebaliknya dia tak pernah berkontribusi untuk membantu saya. persamaanya sy pernah lawan Ahok sama dg dia, dan dia pernah dukung PS sama dg saya. selebihnya sy bantu hak2 dia, tapi dia tak pernah bantu hak2 saya. itu terang. jelas ya.” Komentar inilah yang dibawah ke Twitter. Intinya, DAS ingin mengatakan beberapa poin. Pertama, dia sekarang menganggap HRS tidak ada apa-apanya. Kedua, dia pernah membantu dan membela Habib. Ketiga, Habib tidak pernah membantu dia. Untuk poin pertama, tentu sikap anggap enteng kepada HRS ini adalah hak Dahnil sepenuhnya. Orang hanya bisa geleng kepala mengapa begitu drastis perubahan jalan pikiran DAS. Kita semua pantas merasa kasihan melihat transfromasi Dahnil yang pasti banyak menggerogoti pikiran jernih dan akal sehatnya. Tidak terlalu mengherankan, sebetulnya. Sebab, Dahnil harus melecehkan Habib untuk menunjukkan dirinya lebih radikal dari para pendukung Jokowi. Dia harus bisa meyakinkan para pengawal senior Jokowi bahwa dia benar-benar telah masuk secara ‘kaffah’ (sempurna) ke kolam re-edukasi kubu Jokowi. DAS juga wajib ikut ‘vaksinasi ideologi’ agar dia utuh menjadi seorang Jokower. Sekarang ini efek vaksinasi itu telah menampakkan bentuknya. Dia mulai memusuhi ulama. Ini adalah ‘trade mark’ para Jokower. Poin kedua. Dahnil mengatakan dia pernah membantu HRS. Tak jelas bantuan apa yang dia maksud. Dan tak jelas pula kapan itu terjadi. Tampaknya lebih tepat disebut bahwa Dahnil merasa dirinya sudah sangat besar sehingga Habib memerlukan bantuan dari dia. Poin ketiga. DAS mengatakan Habib tak pernah membantu dia. Kalau ini memang benar. Soalnya, HRS mau bantu apa untuk Dahnil yang sudah menjadi orang besar. Yang agak berlebihan adalah pernyataan DAS bahwa suara besar yang diperoleh Prabowo dan Gerindra tidak ada kaitannya dengan dukungan umat Islam yang dikerahkan oleh HRS dan para ulama. Untuk menyikapi pernyataan seperti ini, orang tidak perlu reaktif. Biarkan saja. Arogansi macam ini akan terjawab dengan sendirinya nanti. Jadi, untuk menjawab pertanyaan di judul tulisan ini: apa sebab jurubicara Prabowo melecehkan Habib Rizieq, kita semua sudah paham. Dahnil Anzar merasa suara para ulama tidak diperlukan. Dan para ulama pun sudah tahu jauh sebelum Dahnil merasakan itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Di Lokasi Bencana, Jokowi Kampanye Tiga Periode
by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Dalam sejarah bencana di Indonesia, baru pertama kali badai tropis melanda negeri ini. Badai itu kemudian dinamakan Badai Seroja yang telah meluluhlantakan sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa hari lalu. Akibat bencana ini, setidaknya 150 orang meninggal dan puluhan warga lainnya hilang. Banyak pula rumah warga yang rusak, jembatan putus dan hewan ternak yang lenyap terbawa arus banjir bandang. Bencana yang memilukan ini kemudian mengundang Presiden Jokowi untuk datang ke sana. Meski dalam suasana keprihatinan dan rasa duka akibat bencana, tidak mengurangi semangat warga untuk datang menyambutnya. Sayangnya, warga yang antusias menyambut kedatangan Jokowi bergerombol di berbagai lokasi yang didatangi kepala negara. Sementara Presiden Jokowi terlihat suka ria dan menikmati menyaksikan antusias warga yang mendatanginya sambil berkerumun. Pada momen itu, Jokowi, dan para pejabat yang mendampingi serta petugas keamanan memang menggunakan masker, tapi massa yang datang mengabaikan aturan prokes. Bahkan sebagian dari mereka berdesak-desakan agar bisa mendekat ke Jokowi. Ironisnya, Jokowi sendiri datang ke lokasi bencana bagaikan pahlawan perang yang datang ke lokasi yang hancur diluluhlantakkan oleh bencana banjir bandang dan longsor. Raut wajah Jokowi tidak terlihat sedikitpun adanya kekhawatiran terpapar Covid19 saat melihat antuasiasme massa yang bergerombol menyambut kedatangannya. Yang terlihat sibuk hanya petugas keamanan terutama paspampres. Mereka hanya berusaha menghalau massa yang berusaha merangsek agar bisa mendekati Jokowi. Sementara Presiden sendiri tenang saja, seolah tidak merasa bersalah berada ditengah kerumunan di massa pandemi Covid19 ini. Bahkan beliau menikmati suasana tersebut. Hal itu terlihat dari aksi Jokowi yang memberikan jaket kepada seorang pemuda di daerah Adonara bernama Jackson, yang tiba-tiba berteriak: "Lanjutkan 3 Periode !" Mendengar teriakan itu, Jokowi kemudian memanggil Jakcson dan sempat berbincang dengan pemuda yang mengaku pengangguran itu. Setelah beberapa saat berbincang, Jokowi kemudian membuka jaket yang dipakai pada saat itu dan langsung memberikannya kepada Jakcson. Melihat drama itu, secara spontanitas, warga berteriak histeris meminta Jokowi untuk melanjutkan kepemimpinan periode ke 3. Dari drama tersebut, warga setempat seolah lupa dengan bencana yang telah menderanya. Mereka pun lupa dengan pandemi Covid19 sehingga bebas bergerombol menyambut kedatangan Jokowi. Beda Jokowi & PM Norwegia Saat kunjungan ke Maumere NTT, aturan prokes juga diabaikan oleh Presiden Jokowi. Saat seperti itu, protokol kesehatan seolah tidak berlaku bagi masyarakat maupun bagi Jokowi sendiri. Prokes hanya berlaku untuk masyarakat lain yang melakukan kerumunan namun tidak dihadiri Jokowi. Acara pernikahan Youtuber terkenal Atta Halilintar dengan artis Aurel Hermansyah tidak jadi masalah besar bagi para elite bangsa ini karena dihadiri Presiden Jokowi, Menhan Prabowo dan Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo. Sebaliknya pernikahan putri Habib Rizieq Shihab, dipersoalkan hingga dibawa ke ranah hukum dan saat ini sedang dalam proses persidangan di PN Jakarta Timur. Tidak hanya itu, akibat persoalan prokes itu pula enam anak muda laskar FPI dibunuh secara keji. Belum lagi rekening tabungan keluarga Habib Rizieq dan pengurus FPI dibekukan oleh rezim penguasa melalui PPATK. Tidak cukup sampai disitu, organisasi FPI pun ikut dibubarkan. Itu semua terjadi hanya karena mereka dituduh telah melanggar prokes. Seharusnya kalau Habib Rizieq sudah membayar denda Rp 50 juta, terbebas dari ancaman hukuman pidana. Tapi ternyata realitanya berbeda. Ini tentu kontras dengan pemandangan yang dilihat publik saat menyaksikan Presiden Jokowi berkunjung ke sejumlah daerah dan lokasi bencana di NTT belum lama ini. Dalam kunjungan itu, prokes tidak berlaku terutama tentang aturan menjaga jarak aman. Aturan prokes sebenarnya bukan hanya distancing antara Jokowi dengan massa tapi seharusnya aturan menjaga jarak aman diberlakukan bagi masyarakat yang datang menyambut kedatangan Jokowi. Kalau kemudian alasannya petugas tidak bisa melarang massa yang ingin bertemu dengan Jokowi maka aturan Prokes seharusnya tetap dijalankan. Bukankah massa umat Islam yang ingin menyaksikan sidang Habib Rizieq di PN Jaktim juga sangat banyak ? Bahkan sebenarnya massa dari berbagai daerah ingin datang ke Jakarta, tapi karena petugas di pengadilan menjalankan tugasnya dengan ketat akhirnya hanya sebagian kecil saja massa yang datang ke PN Jaktim. Itupun mereka dihalau petugas agar menjauh dari lingkungan PN Jaktim. Dalihnya, lagi-lagi soal prokes. Sekali lagi, jika melihat rangkaian peristiwa kunjungan Presiden ke berbagai daerah, aturan Prokes ini tidak berlaku bagi Jokowi. Potret perilaku Jokowi kontras dengan Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg. Seperti dilansir kantor berita Reuters, Jumat (9/4/2021), Kepolisian Norwegia menjatuhkan hukuman denda terhadap PM Erna Solberg karena melanggar aturan social distancing yang diberlakukan selama pandemi virus Corona (COVID-19). PM Solberg dihukum denda karena menggelar acara perkumpulan keluarga untuk merayakan ulang tahunnya di saat pandemi Corona merajalela. Kepala Kepolisian Norwegia, Ole Saeverud, dalam konferensi pers mengatakan, hukuman denda untuk PM Solberg ditetapkan sebesar 20 ribu Krone Norwegia, atau setara Rp 34 juta. Bulan lalu, PM Solberg yang menjabat selama dua periode ini meminta maaf kepada publik setelah menggelar acara untuk merayakan ulang tahunnya ke-60 tahun. Kita seperti melihat bumi dan langit. Memang sangat kontras jika kita menyaksikan perilaku Jokowi dengan sikap dan keteladanan yang ditunjukkan PM Norwegia Erna Solberg. Sebenarnya Jokowi bisa menunjukkan rasa peduli kepada masyarakat NTT yang menjadi korban bencana dengan cara elegan tanpa khawatir dicap sebagai kepala pemerintahan yang membuat aturan sekaligus pelanggar aturan prokes Covid19 seperti sekarang ini. Caranya, datang ke Ibu Kota NTT di Kupang. Lalu melalui kewenangannya sebagai Kepala Negara, dia bisa mengumpulkan Gubernur NTT Viktor Laiskodat, para pejabat terkait, dan para kepala daerah di sana. Jangan lupa juga memerintahkan Mensos Tri Rismaharini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) M. Basuki Hadimoeljono dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo, untuk hadir. Kemudian adakan rapat secara efektif untuk menentukan tahapan bantuan dalam masa tanggap darurat maupun masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Saya kira, secara umum tahapan dalam menghadapi bencana alam seperti itu. Sayangnya, langkah seperti itu tidak nampak dalam penanganan bencana di era rezim Jokowi. Akhirnya, yang terjadi kita hanya menyaksikan aksi show off seorang Mensos Tri Rismaharini dan atau aksi tebar pesona seperti yang ditunjukkan Jokowi selama ini. Padahal, bencana alam tidak bisa dikerjakan sendirian oleh satu instusi pemerintah. Juga tidak bisa diselesaikan hanya dengan aksi pencitraan dari seorang presiden. Sebaliknya penanganan bencana perlu dilakukan melalui kerja sama-sama. Terkoordinasi diantara instansi pemerintah pusat dan daerah. Perlunya dilakukan kolaborasi dengan organisasi kemanusiaan atau lembaga bantuan sosial. Kalau cara kerja Presiden Jokowi selama ini masih menonjolkan aspek pencitraan, jangan berharap mendapat apresiasi yang luas dari masyarakat bangsa Indonesia. Mungkin bagi masyarakat lapisan bawah seperti di NTT sosok dan perilaku Jokowi bisa saja dipuja puji dan dielu-elukan. Tetapi bagi lapisan masyarakat yang berpikiran waras, sosok pemimpin yang lebih mengutamakan pencitraan akan merugikan masyarakat sendiri. Jika Jokowi masih mengutamakan pencitraan demi meraih ambisinya memperpanjang masa jabatan hingga tiga periode. Maknya maka semua hal bisa dilanggar termasuk aturan soal Prokes Covid19. Oleh karena itu jika sekarang masyarakat dan warga +62 ingin mengadakan hajatan atau keramaian, cara yang paling aman agar terhindar dari jebakan aturan tentang Prokes adalah dengan mengundang Jokowi. Dijamin tidak akan didenda atau dihukum seperti yang dialami Habib Rizieq.* Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.