POLITIK

Moeldoko Trouble Maker Nasional

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ada yang menarik dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Melansir Terkini.id, Selasa (9 Mar 2021 14:52), Yasonna angkat bicara mengenai perseteruan yang terjadi dalam Partai Demokrat. Yasonna menyampaikan pesan untuk pengurus DPP Partai Demokrat, termasuk Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar tidak asal menuduh pemerintah tanpa dasar. Yasonna mengaku bahwa pemerintah akan mengusut kasus itu dengan cara yang objektif. Oleh karena itu, SBY dan AHY tak perlu memberikan tuduhan yang bukan-bukan terhadap pemerintah. “Ini saya pesan kepada salah seorang pengurus Demokrat kemarin saya pesan, tolong Pak SBY dan AHY jangan tuding-tuding pemerintah begini, pemerintah begini. Tulis saja kita objektif kok. Jangan main serang-serang yang tidak ada dasarnya!” ujar Yasonna. Yasonna juga menegaskan bahwa Kementerian Hukum dan HAM akan bersikap profesional dalam menangani kasus partai bintang mersi tersebut. Pihaknya akan bertindak profesional sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Itu supaya dicatat. Itu saja titik. Ia juga mengatakan bahwa masalah dualisme kepemimpinan Partai Demokrat saat ini masih menjadi permasalahan internal partai itu. Setidaknya, sampai pihak Moeldoko mendaftarkan kepengurusan hasil KLB di Deli Serdang, Sumatra Utara, kepada pemerintah. “Kalau dari segi kami, saat ini kami masih melihat ya masalah itu masih masalah internal Demokrat. Karena kelompok yang dikatakan KLB kan belum ada menyerahkan satu lembar apapun kepada kami,” tutur Yasonna. Ia juga menegaskan, pihaknya akan menilai secara objektif sesuai AD/ART Partai Demokrat. Nanti kalau KLB datang pihaknya akan menilai semuanya sesuai AD/ART Partai Demokrat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Itu penting. Setidaknya ada tiga point pernyataan Yasonna yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan, yaitu: 1. Masalah dualisme kepempimpinan Partai Demokrat; 2. Yasonna masih menunggu berkas hasil KLB; dan 3. Pengakuan adanya penyelenggaraan KLB. Yang perlu ditegaskan, tidak ada dualisme kepemipinan Partai Demokrat. KLB Moeldoko di Sibolangit itu bodong surodong karena Tidak Memenuhi Kriteria KLB Partai Demokrat, sebagaimana yang tercantum dalam Sipol (Sistem Informasi Partai Politik), yaitu: Dihadiri minimum oleh Setengah dari 514 DPC; Dhadiri minimum oleh Dua Pertiga dari 34 DPD; Dihadiri Ketua Majelis Partai. Yang jelas, semua kriteria dalam Sipol itu tak terpenuhi. Maka jika negara ini adalah benar negara hukum, maka Menkum HAM Yasonna, yang juga ikut mengesahkan dan menandatangani dokumen syarat KLB Partai Demokrat Tidak Bisa mengesahkan hasil KLB bodong surodong tersebut. Sebagai Kepala Staf Presiden (KSP), apalagi pensiunan Jenderal TNI, Moeldoko seharusnya tahu soal itu sebelum terlibat dalam “KLB” yang diisiasi bersama pecatan mantan pengurus Partai Demokrat seperti M. Nazaruddin dan Marzukie Ali itu. Narasi Yasonna jelas memberi angin segar bagi Moeldoko Cs yang sebenarnya tidak pernah tercatat sebagai kader atau anggota Partai Demokrat. Etika politik jelas dilanggar Moeldoko Cs. Padahal, Yasonna juga ikut teken syarat KLB Partai Demokrat. Akhir pekan awal Maret ini menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi Partai Demokrat, AHY dan bahkan SBY. Di luar ekspetasi, Moeldoko, mantan KSAD dan Panglima TNI era SBY menjabat Presiden ditetapkan sebagai Ketum Partai Demokrat hasil KLB. KLB yang bisa dikatakan sebagai upaya coup de etat AHY dari kursi Ketum Partai Demokrat seakan menjadi klimaks dari tudingan Partai Demokrat (resmi) bahwa orang-orang yang ada di lingkaran Presiden Joko Widodo ingin mengambil-alih parpol berlambang mercy itu. Meski sempat dibantah, sejak beberapa minggu sebelum KLB dilangsungkan, aroma kudeta itu sudah tercium. Dan KLB plus Ketum Moeldoko ini menjadi penegas bahwa polemik kudeta Partai Demokrat tersebut benar adanya. Ironis, karena Moeldoko seakan menjadi “anak durhaka” dan nyata-nyata mengabaikan jiwa “korsa”. Sama-sama berlatar belakang militer, Moeldoko jelas-jelas menelikung seniornya: SBY, dan juniornya: AHY. Terang saja jika AHY dan SBY mencak-mencak melihat manuver KLB dan Moeldoko ini. Dan atas perilaku dari Moeldoko, Pemerintah yang akan kena getahnya. Terutama Presiden Jokowi. Kali ini Jokowi benar-benar diuji! Maklum saja jika itu terjadi, mengingat Moeldoko saat ini juga menjabat sebagai KSP. Dan pada sisi lain, kisruh ini akan menjadi ujian bagi Pemerintah untuk tetap teguh pada peraturan atau tidak. Jangan terkejut jika pada akhirnya banyak alumni "Lembah Tidar" di Magelang getol melawan. Pasalnya, Presiden Jokowi sebelum mengangkat Moeldoko sudah diperingatkan para alumni Lembah Tidar: Moeldoko berpotensi rusak citra Presiden di penghujung pemerintahan! Namun, Presiden hanya berharap, para alumni Lembah Tidar harus membantu Jokowi. Konon, terkait dengan manuver Moeldoko ini, mereka sudah menyarankan agar Presiden mencopot Moeldoko dari posisinya sebagai KSP. Dengan terbukanya “borok” mantan Panglima TNI yang melakukan kesalahan tersebut, sehingga rakyat Indonesia tahu jika Moeldoko ini trouble maker Nasional. *** Penulis wartawan senior FNN.co id

Moeldoko, Bekas Panglima Yang Berubah Jadi Perampok?

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Sebagaiamana sifat orang tua pada umumnya, almarhum kedua orang tua Moeldoko pun tidak mungkin mengajarkan kepada anaknya untuk berbuat kurang ajar. Apalagi sampai membegal terang terangan. Membajak dan merapak barang orang, pasti juga tidak diajarkan. Salah siapa jika dikemudian waktu perilaku Moeldoko menjadi nyleneh? Bahkan saja kurang ajar. Namun jauh menyimpang dari ajaran orang tuanya. Ajaran nenek moyangnya. Sebab dulu, waktu Moeldoko masih kanak-kanak, mustahil mendapat pesan bapak ibunya, “rampaslah sesuatu milik temanmu, curilah barang milik sahabatmu, bunuhlah saudaramu”. Dan seterusnya, itu pasti yang tidak diajarkan. Tentu kedua orang tuanya, Moestaman dan Masfuah, terutama sang ibu, pasti selalu berpesan dengan kata-kata indah kepada Moeldoko, “nak atau moel atau doko, belajarlah dengan yang rajin. Jangan sedetik pun meninggalkan ibadah. Jangan pernah menyakiti hati orang lain. Jangan pernah membuat kacau. Bergaullah dengan orang yang baik. Jangan merampok sesuatu yang nyata-nyata sah bukan milikmu, namun milik pihak lain”. Tentu saja, semua itu adalah ajaran Ibu yang sangat mulia kepada anaknya Moeldoko. Namun kini, di ujung usianya, dia malah membikin geram banyak orang. Bagaimana tidak. Kok tiba-tiba dia menghadiri, kalau tidak mau dibilang mengajak Konggres Luar Biasa Partai Demokrat (PD) pada Maret awal lalu. Hasilnya pun sudah bisa ditebak. Moeldoko yang lahir di Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kediri, Jawa Timur, 64 tahun silam itu akan keluar sebagai pemenangnya. Menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versinya sendiri. Tempik sorak dan standing applaus pun menggemuruh di salah satu hotel di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara, tempat berlangsungnya sinetron antagonis itu. Suka cita pun campur aduk tertumpah di ruangan itu. Saling peluk, cium, rangkul dan macam-macam gaya terpuaskan sudah. Tetapi, sorot mata publik, waktu itu kok tidak ada peristiwa polisi mengobrak-abrik acara tersebut. Dengan pasal melanggar Protokol Kesehatan (Prokes) tentunya. Tidak seperti pada saat massa FPI menyambut kedatangan Habieb Rizieq. Atau Habieb Rizieq saat mantu di Petamburan dulu. Langsung dibubarkan polisi. Satu persatu yang terlibat ditangkapi. Malah dijadikan sebagai tersangka dan ditahan sampai sekarang. Oh ya, apa mungkin karena polisinya juga bagian dari peserta KLB? Atau sekurang kurangnya polisi ikut mendukung pelaksanaan KLB? Atau mungkin ada pengertian begini, “virus Corona hanya mau menular kepada yang selain Moeldoko dan kerabatnya? Mungkin begitu ya kira-kira? Seorang kawan jurnalis malah berpendapat ekstrim. Covid-19 itu tidak akan menular kepada, sorry sebelumnya, “bajingan tengik”. Makanya, jangankan sekedar bergerombol, tumpang tindih bergumul selapangan pun akan dibiarkan. Karena tidak bakal tertular Covid-19. Soal KLB. Apa yang dilakukan Moeldoko dan segelintir orang pecatan Partai Demokrat, Jhoni Allen, Nazaruddin, Marzuki Alie, itu bukan masuk kategori berani. Tapi ngawur. Sebab, berani itu perpaduan antara nyali dan nalar. Sementara ngawur itu gelap mata. Baik dalam bermain catur, sepak bola, dan tinju. Apalagi perang selalu ada istilah mundur selangkah dulu. Baru kembali menyerang. Sedangkan ngawur itu tidak menggunakan itung-itungan. Tidak pakai tak-tik. Yang dia mengerti, “pokoknya hajar”. Misalnya, seseorang yang berhasil melompat sungai selebar 95 senti meter, kemudian mencoba melompati sungai selebar satu meter. Dengan gerakan lebih full power, dia berhasil. Itu berani. Karena berselisih jarak jangkau cuma lima senti meter lebih jauh. Masuk akal itu barang. Tapi bila seseorang cuma berkemampuan melompat sungai selebar hanya satu meter, namun tiba tiba melompati sungai selebar dua meter. Itu yang ngawur. Selisih jaraknya kelewat jauh. Akibatnya kecebur. Nah, Moeldoko nanti kecebur apa tidak? Kita tunggu saja. Korelasinya begini. Iblis pun paham bahwa Moeldoko itu sudah menjadi anggota dan pimpinan Partai Hanura, terutama ketika Hanura dimpimpin oleh Oesman Sapta Odang (OSO). Tidak pernah gabung dengan Partai Demokrat. Jangankan punya kartu anggota, koas Partai Demokrat aja kagak punya. Kok ujug-ujug ikut menggelar KLB PD? Dan akhirnya menjadi ketua umumnya lagi. Yang dari Sabang menuju Merauke tahu, Moeldoko adalah militer tulen. Terakhir pensiun berpangkat Jenderal bintang empat. Naik pangkat dari kolonel ke brigjen, mayjen, letjen dan jendral dengan ujung jabatan Panglima TNI, itu semuanya Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ngasih waktu menjabat presiden sepuluh tahun. Sekarang SBY Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Parta Demokrat. Sewaktu masih menjadi anak buah SBY maupun Pak Harto, Moeldoko tidak sekali pun menunjukkan perilaku yang aneh-aneh. Apalagi berlaku insubordinasi. Melawan pimpinan. Tidak pernah. Terlebih ketika masih dalam asuhan kedua orang tuanya. Moeldoko lebih penurut lagi. Bahkan, konon, Moeldoko suka mencari pasir di sungai, dijual untuk membantu perekonomian orang tuanya. Sepak terjang Moeldoko mulai menyimpang dari ajaran orang tuanya maupun bimbingan SBY dan Pak Harto, semenjak dia berada dalam asuhan Jokowi, Joko Widodo, Presiden RI. Sejak “diopeni Jokowi”, didapuk sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko mulai nampak galak dan berlagak. Air mukanya dingin. Tidak murah senyum. Terkesan culas dan semau gue. Dia mengancam ini dan itu terhadap setiap oposan yang turun ke jalan demonstrasi, dan menentang kebijakan Jokowi yang tidak beleid. Malahan, dia juga sempat mengancam mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo, saat deklarasi ormas KAMI setahun lalu, dimana Gatot Nurmantyo selaku Presidiumnya. "Jangan coba coba mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban. Saya tidak pandang bulu," ucap Moeldoko waktu itu. Nah, timbul analisa tentang perubahan perilaku Moeldoko. Mengapa sejak dibawah asuhan Jokowi, moral Moeldoko berubah menjadi nggak karu-karuan? Sak senenge dewe. Tidak mengindahkan tatanan main. Jauh sekali dengan saat masih dalam rengkuhan ibu bapaknya. Maupun ketika berada dalam lingkup kepemimpinan SBY atau Pak Harto. Ini salah yang diasuh, atau salah yang mengasuh? Jika merunut peri bahasa, “guru kencing berdiri, murid kencing sambil berlarian kesana kemari”. Jika demikian, apakah Moeldoko tertular atau meniru pikiran, sikap dan perilaku bapak buahnya, Jokowi. Entahlah. Yang jelas. Moeldoko sebagai anak buah Jokowi saat ini telah membegal atau membajak Parpol “milik orang lain, karena bukan miliknya”. Yang dibajak adalah Partai Demokrat yang sah dalam lembaran negara, tercantum nama Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umumnya. Dan SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Partainya. Ketidak punya maluan kubu Moeldoko dipamerkannya dengan berucap, "SBY dan AHY dalam posisi demisioner. Jika ingin gabung dengan kami, silakan". Kalau ada yang bilang sinting, salah nggak ya? Mana mungkin tuan rumah malah diatur oleh tamunya. Sudah gitu, tamu yang nggak diundang lagi. Keterkaitan itu, sangat mungkin Partai Demokrat dan AHY akhirnya menjadi simbol perlawanan. Seperti PDI dan Megawati, waktu itu. Jika itu terjadi, sikap sosial semua oposan, tak terkecuali akan mengkristal. Bersama-sama melawan Moeldoko dan mengarah ke Jokowi. Kini alam pikiran Moeldoko boleh jadi tidak tenang. Moledoko pasti sadar, kalau harta kekayaan berupa Ketum PD adalah hasil curian. Hati kecilnya tentu bilang begitu. Seperti perampok toko emas yang gundah mencari lokasi persembunyian. Pasti juga bingung, dimana akan menjual barang curiannya. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

PDIP Akan Menjadi Partai Tunggal

Tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi sedang mendekati sistem pemerintahan partai tunggal itu kini semakin nyata. By Hersubeno Arief MEDIA negeri jiran The Australian edisi Senin (8/3) menurunkan sebuah artikel menarik. Judulnya : Jakarta Closer to Rule of One Party. Kekhawatiran Indonesia menjadi negara partai tunggal seperti di Cina dan Korea Utara ini, sesungguhnya sudah sejak lama diingatkan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo. Saat masih menjadi Panglima TNI, Gatot membungkus pesannya secara tersamar, melalui bahaya proxy war. Tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi sedang mendekati sistem pemerintahan partai tunggal itu kini semakin nyata. Sebagaimana dilansir The Australian, aksi KSP Moeldoko mengambil-alih secara paksa Partai Demokrat merupakan langkah nyata mewujudkan hal itu. Saat ini partai-partai pendukung pemerintah disebut oleh The Australian telah menguasai 74 persen kursi di parlemen. Bila sukses mengakuisisi Partai Demokrat pemerintah akan menguasai 83 persen kursi di parlemen. Hanya menyisakan PKS sebagai satu-satunya oposisi di parlemen. Kalkulasi ini menarik, karena tampaknya The Australian telah memasukkan PAN ke dalam partai pendukung pemerintah. Bila dihitung dari total 575 kursi di parlemen, kalkulasi ini kurang akurat. Berdasarkan data KPU, pada Pemilu 2019 PKS memperoleh 50 kursi atau 8, 69 persen. Demokrat 54 kursi atau 9, 39 persen. Bila hanya PKS yang menjadi oposisi, maka total kubu pemerintah menguasai 91, 31 persen kursi di parlemen. Praktis kubu partai pemerintah sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen. PKS tinggal menjadi partai oposisi pemanis saja. (Parliamentary dan Presidential Threshold) Pertanyaannya sekarang, bagaimana tahapan menuju partai tunggal bisa diwujudkan? Saat ini kendati sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen, namun belum bisa disebut sebagai partai tunggal. Baru konsorsium partai dengan penguasa tunggal. Namun tahapan menuju partai tunggal itu sudah terbayang. Coba perhatikan beberapa tahapan berikut ini. Pertama, penetapan presidential threshold 20 persen. Dengan aturan semacam itu sudah bisa dipastikan bahwa capres yang akan tampil pada Pemilu 2024 adalah calon tunggal. Kalau toh ada dua calon, maka pasangan calon kedua hanyalah boneka. Model Pilkada Solo 2020 bisa digunakan. Ada calon walikota yang sudah dapat dipastikan menang, yakni Ghibran putra Presiden Jokowi. Lawannya adalah pasangan Ketua RW dan tukang jahit. Kedua, Pemilu serentak tahun 2024. Dengan hanya ada satu capres, maka dapat dipastikan capres yang diusung berasal dari PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak (128). Pasangannya bisa dipilih dari salah satu partai pengusung pemerintah. Silakan diperebutkan. Dengan sistem pemilu serentak, maka yang akan memperoleh limpahan elektoral atau biasa dikenal sebagai coattail efect adalah pengusung capres. Dalam hal ini PDIP. Hal ini terbukti pada Pilpres 2019. Hanya ada dua Pasang capres-cawapres. PDIP dan Gerindra yang mengusung capres. Kedua partai ini mendapat limpahan suara terbanyak dan menjadi partai pemenang pertama dan kedua. Ketiga, menaikkan ambang batas parliamentary threshold. Saat ini di DPR berkembang wacana menaikkan ambang batas lolos parlemen, atau dikenal dengan istilah parliamentary threshold (PT). PDIP mengusulkan agar PT dinaikkan dari semula 4 menjadi 5 persen. Sementara Nasdem dan Golkar bahkan call tinggi, menjadi 7 persen. Dengan mempertimbangkan coattail effect pada pemilu serentak 2024, maka PDIP bisa menang besar. Apalagi berdasarkan hasil survei terbaru Litbang Kompas, partai-partai yang berada dalam lima besar bakal berguguran. Elektabilitas Nasdem saat ini tinggal 1.7 Persen. Golkar 3.4 persen. Demokrat 4.6 persen, PKS 5.4 persen, dan PKB tinggal 5.5 persen. Gerindra 9.6 persen. PDIP masih bertengger di puncak dengan elektabilitas 19.7 persen. Bila PT dinaikkan menjadi 7 persen, maka yang tersisa tinggal PDIP dan Gerindra. Itupun kalau Gerindra masih bisa mempertahankan suaranya. Dengan bergabung dalam kubu partai pemerintah, sangat diragukan Gerindra bisa mempertahankan perolehan suaranya seperti pada Pemilu 2019. Semua skenario itu dapat terwujud bila Jokowi dan PDIP bisa mengendalikan sepenuhnya partai-partai pendukung pemerintah. Partai-partai pemerintah mendukung apapun keinginan Presiden Jokowi dan PDIP. Untuk tahap awal Nasdem dan Golkar akhirnya mengalah. Mendukung pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024. Padahal sebelumnya mereka menginginkan ada revisi RUU Pilkada. Tahapan berikutnya tinggal menaikkan ambang batas lolos parlemen setinggi mungkin. Skenario partai tunggal bakal terwujud. Apakah kali ini Golkar, Nasdem, Gerindra dan partai-partai lain juga akan kembali mengalah? Yang pasti, sejauh ini dengan pola pecah belah, sandera politik, dan iming-iming kekuasaan, pemerintah berhasil menundukkan parpol-parpol menjadi pendukung yang loyal. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Adakah yang Mau Mengkudeta Ketua Umum PDI-P

Menurut catatan Setara Institute, kader PDIP menjadi penyumbang terbanyak dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK sepanjang tahun 2018. Delapan kepala daerah dari partai berlambang banteng moncong putih itu terjerat kasus korupsi. Kedelapan orang tersebut antara lain mantan Bupati Ngada Marianus Sae, mantan Bupati Bandung Barat Abubakar, mantan Bupati Purbalingga Tasdi, dan mantan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar. by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Akhir-akhir ini banyak politisi dan pengamat politik ramai membicarakan kudeta yang dilakukan Jenderal (Purn) TNI Moeldoko terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di balik peristiwa tragis tersebut, adakah orang yang terinspirasi, berpikir atau merencanakan untuk mengkudeta Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri ? Para kader muda Partai Banteng seperti Maruarar Sirait (Ara), Budiman Sujatmiko, Arif Budimanta, apakah Anda semua mempunyai rencana untuk menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) seperti yang telah dilakukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bersama kader Partai Demokrat yang kecewa dengan kepemimpinan AHY ? Mosok nyali Anda kalah sama Moeldoko yang berumur lebih tua? Pada tàhun 2014, Maruarar Sirait gagal menjadi Menkominfo karena tidak disetujui oleh Megawati. Menurut informasi di kalangan politisi PDIP waktu itu, Ara dituduh sebagai salah seorang kader muda di Partai Banteng yang hendak menggulirkan KLB PDIP. Oleh karena itu, meskipun Ara sudah berada di Istana Kepresidenan untuk dilantik Jokowi sebagai Menkominfo, terpaksa dibatalkan hanya gara-gara tidak disetujui pimpinan partainya. Padahal waktu itu, Ara sudah lengkap mengenakan kemeja putih. Sebagai gantinya, diangkatlah Rudiantara, seorang profesional di dunia komunikasi yang juga pernah menjadi direksi di perusahaan BUMN yakni di PT Semen Gresik (sekarang PT Semen Indonesia) dan PT PLN. Tentu saja Ara merasa kecewa yang amat sangat,. Waktu itu juga Ara segera meluncur dari Istana Presiden Kepresidenan menuju kediaman Ketua Umum PDI-P di Jl Teuku Umar Jakarta. Dia mau menemui Megawati Soekarnoputri. Sayangnya, Ketua Umum PDI-P tersebut tidak bisa ditemui Maruara Sirait. Meskipun Ara adalah juga putra tokoh senior PDI-P, Sabam Sirait, namun kalau Megawati sudah marah dengan kadernya, hal itu nampaknya tidak bisa diampuni. Petugas Partai Demikian juga Jokowi. Walaupun dia sebagai presiden, tetapi di mata Megawati Soekarnoputri dia tetap sebagai 'Petugas Partai'. Oleh karena itu, kewenangan yang dimiliki Jokowi sebagai presiden, sesungguhnya bersifat semu. Dalam kenyataannya, Jokowi tidak berdaya manakala berhadapan dengan Megawati. Sejak Jokowi menjadi Presiden tàhun 2014, dalam berbagai kesempatan Megawati selalu menyatakan bahwa Jokowi adalah Petugas Partai. Atribut yang disandang inilah yang membatasi ruang gerak politik Jokowi sebagai presiden. Kembali kepada peristiwa politik dramatis KLB Partai Demokrat yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Banyak spekulasi yang menyebutkan bahwa Moeldoko hanya berperan sebagai pelaksana kudeta terhadap Partai Demokrat. Sementara master mindnya adalah Jokowi. Apalagi, sampai sekarang Jokowi diam membisu atas perilaku bawahannya Moeldoko yang telah melakukan kudeta atas kepemimpinan AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Diamnya Presiden ini seolah mengonfirmasi dugaan bahwa Jokowi lah yang berada dibalik KLB Partai Demokrat. KLB ini sesungguhnya tidak semata-mata untuk melengserkan AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Tetapi juga bertujuan untuk mereduksi pengaruh Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat. Spekulasi politik lain menyebutkan bahwa skenario KLB PD ini merupakan bagian dari strategi PDIP dalam rangka semakin mengokohkan sebagai partai berkuasa menjelang Pemilu 2024. Oleh karena itu, kemudian dilakukan langkah politik untuk mengkerdilkan atau membonsai partai oposisi. Sejumlah pengamat menyebutkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) diperkirakan juga tidak akan luput dari operasi politik kotor yang akan dilakukan partai penguasa. Sebenarnya pada Pemilu 2019 lalu, jumlah perolehan suara dan perolehan kursi di DPR untuk Partai Demokrat menurun dari posisi keempat pada 2014, menjadi posisi ketujuh dari 9 partai di DPR, dengan perolehan suara sebanyak 7,77 % suara nasional (10.876.507). Namun, hingga kini pengaruh SBY di partai berlambang Mercy itu masih sangat kuat. Oleh karena itu, PDI-P berkepentingan untuk menghilangkan pengaruh mantan Presiden RI keenam itu. Pelaksanaan KLB Partai Demokrat yang digelar Jumat 5 Maret 2021 lalu, adalah untuk meruntuhkan kekuasaan SBY di Partai Demokrat. Mereka yang telah melakukan kudeta terhadap AHY, bisa saja menyatakan bahwa langkah politik yang mereka lakukan itu untuk memutus dinasti politik. Padahal, sesungguhnya mereka ingin memutus pengaruh politik SBY di Partai Demokrat. Kalau benar politisi muda Indonesia saat ini risau dengan dinasti politik, maka PDI-P juga merupakan parpol yang masih memberlakukan dinasti politik. Sejak akhir Orde Baru sampai sekarang, PDIP masih dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Dia sudah lebih dari 20 tàhun menjadi Ketua Umum PDI-P. Apakah para politisi muda di PDIP tidak bosan dipimpin Megawati ? Saya yakin masih banyak para kader muda dan politisi energik di PDIP yang masih memiliki idealisme dan integritas serta loyalitas kepada partai. Saya yakin para politisi muda di PDIP sudah paham implikasi dari adanya dinasti di tubuh parpol. Dinasti politik di tubuh Parpol bisa menghambat regenerasi dan kaderisasi partai. Apalagi sekarang usia Megawati sudah tidak muda lagi seperti dulu. Dia sudah berumur 74 tàhun, lahir 23 Januari 1947. Sementara SBY berumur 71 tàhun, lahir 9 September 1949. SBY sebenarnya sudah mengalihkan tongkat kepemimpinan partai kepada kader muda yakni AHY kendati Ketua Umum PD ini adalah putranya sendiri. Sementara PDI-P, sampai sekarang masih dipimpin Ketua Umum yang sudah lanjut usia. Sangat boleh jadi Megawati sedang galau atau dilanda kebingungan, apakah estafet politik akan diserahkan kepada Puan Maharani atau Prananda. Keduanya adalah putra putri Megawati Soekarnoputri dari suami yang berbeda. Muhammad Prananda Prabowo, biasa dipanggil Prananda. Saat ini Prananda Prabowo dipercaya sebagai Ketua DPP PDI-P Bidang Ekonomi Kreatif periode 2019-2024. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kepala Ruang Pengendali dan Analisis Situasi PDIP. Sosok yang satu ini tidak pernah muncul ke permukaan apalagi tampil di media massa. Sebaliknya, Puan Maharani, lebih banyak dikenal publik karena begitu Jokowi berkuasa tàhun 2014, dia langsung diangkat sebagai menteri meskipun banyak kalangan yang meragukan kemampuan dan kapasitasnya. Nah pada periode kedua Jokowi sebagai Presiden ini, Puan Maharani sengaja ditempatkan sebagai Ketua DPR-RI. Meski Prananda tidak pernah muncul ke permukaan, namun di internal PDI-P sendiri dia memiliki faksi sendiri yang berbeda dengan kelompok Puan Maharani. Menurut seorang politisi, kepentingan politik Prananda dan Puan Maharani berbeda. Misalnya, dalam kasus dugaan korupsi Bansos yang melibatkan Wakil Bendahara PDIP Juliari Batubara, lebih banyak terkait dengan kepentingan Puan Maharani dan kroninya. Sementara itu, Prananda dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, lebih banyak mengurus proses rekrutmen dan seleksi kader partai yang akan ditempatkan di lembaga legislatif. Termasuk proses seleksi untuk para calon kepala daerah dari PDIP. Meski demikian, proses rekrutmen dan seleksi calon kepala daerah PDIP, juga tidak sepi dari praktek suap dan korupsi. Menurut catatan Setara Institute, kader PDIP menjadi penyumbang terbanyak dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK sepanjang tahun 2018. Delapan kepala daerah dari partai berlambang banteng moncong putih itu terjerat kasus korupsi. Kedelapan orang tersebut antara lain mantan Bupati Ngada Marianus Sae, mantan Bupati Bandung Barat Abubakar, mantan Bupati Purbalingga Tasdi, dan mantan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar. Kemudian yang lebih tragis adalah OTT KPK pada pekan terakhir November 2020 hingga pekan pertama Desember 2020. Hanya Dalam waktu sepuluh hari, KPK sukses menjaring tiga kader PDIP. Ketiga kader PDIP yang terjaring KPK itu adalah Wali Kota Cimahi yang juga Ketua DPC PDIP Kota Cimahi Ajay Priatna (27 November 2020), Bupati Banggai Laut yang juga Ketua DPC PDIP Banggai Laut Wenny Bukamo (3 Desember), dan Menteri Sosial yang juga Wakil Bendahara Umum PDIP Juliari Batubara (6 Desember). Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, PDIP menghormati seluruh proses hukum yang sedang berlangsung. "Hukum adalah jalan peradaban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Siapapun wajib bekerja sama dengan upaya yang dilakukan oleh KPK tersebut," ujar Hasto sebagaimana dikutip dari laman resmi PDIP, Minggu (6/12/2020). Nah, dengan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan kader PDIP, apakah ada diantara kader muda Partai Banteng ini yang berkeinginan menggelar KLB seperti yang dilakukan di tubuh Partai Demokrat ? Kita tunggu saja keberanian dan nyali dari para politisi muda kader PDIP untuk bisa menggulingkan Megawati Soekarnoputri dari kursi Ketua Umum PDI-P. *** Penulis aalah Wartawan Senior FNN.co.id.

“Perang Kilat” Sibolangit

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko melakukan “Blitzkrieg” (perang kilat). Dan berhasil. Benteng pertahanan Partai Demokrat diibaratkan jebol. Hari Jumat, 05 Maret 2021 di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, melalui KLB (Kongres Luar Biasa) Partai Demokrat, dan Moeldoko didaulat menjadi Ketua Umum. “Operasi intelijen” mantan Panglima TNI itu berhasil menggoyang legitimasi kepemimpinan partai yang berlambang mercy di tangan mantan atasannya Jenderal TNI Purnawirawan Soesilo Bambang Yudhono (SBY). Presiden Indonesia dua priode itu (2004-2014) itu seakan limbung. “Perang Kilat” Sibolangit lambat tapi pasti akan mempengaruhi konstalasi dan dinamika politik menuju Pemilu 2024. Dua figur militer papan atas Indonesia adu strategi. Kedua tokoh militer itu terdidik dan berkelas kini bertempur di medan perang politik. Pasukan SBY berhadapan pasukan Moeldoko. Dua-duanya bergerak di bawah panji politik yang sama, “Partai Demokrat”. Kata “Blitzkrieg” berasal dari dua kata. Blitz yang berarti kilat, dan Krieg yang berarti perang. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Jerman. Konsep dari strategi “Blitzkrieg” ini secara umum sampai saat ini masih menjadi model dunia militer. Mengutip wikipedia, catatan sejarah menunjukkan kasus perang Afganistan ditandai dengan gerak cepat Taliban yang sangat mengagumkan. Taliban merebut hampir delapan puluh persen wilayah Afghanistan dari pihak pemerintah tahun 1994-1996. Atau perang teluk I mempertunjukan gerak cepat sekutu untuk membebaskan Kuwait tahun 1991. Termasuk Operasi Enduring Freedom ketika terjadi invasi Amerika ke Afghanistan, Oktober 2001. Dan ada lagi Operasi Iraqi Freedom menggunakan pola gerak cepat sekutu di bawah pimpinan Amerika dalam menginvasi Irak tahun 2003. Tidak sulit membaca apa latar belakang, dan ke mana trayek yang akan dilalui Demokrat Moeldoko. Beberapa kajian menunjukkan derita penggembosan sebuah partai yang terjadi sejak era reformasi karena terindikasi akan beroposisi terhadap rezim penguasa. Sikap Demokratnya SBY yang suka maju-mundur, dan senang ragu-ragu dimata rezim penguasa meneguhkan kajian yang menyimpulkan, itulah faktor utama yang membuat mengapa ia menjadi TO (Target Operasi). Sosok Moeldoko adalah representasi pejabat teras kekuaaan yang punya akses khusus “hot line” ke Istana dua puluh 24 jam. Ini mengingatkan kita pada taxi di Singapura yang memasang lampu diatas atap mobil dengan tulisan “On Call 24 jam”. Tradisi penguasa memecah partai politik bukan barang baru di Indonesia. Di era Orde Baru Partai Demokrasi Indonesia(PDI) adalah pelengkap penderita korban rezim yang secara ajaib lolos menjadi partai besar di era reformasi. Kata “perjuangan” ditambahkan dibelakangnya menjadi PDIP sebagai ikon simbolik patriotik perlawanan di ujung kejayaan Orba. PDIP melintasi sejarah kejayaan di era reformasi. Dengan mengusung nama Bung Karno ketokohan Megawati jadi awet. Kongresnya tidak pernah menampilkan lebih dari satu nama calon ketua umum. Hanya Megawati tok. Tidak ada celah intervensi untuk membelah. Kondisi geografis Indonesia sebagai republik pulau meniscayakan pengurus daerah menjadi kekuatan penentu keputusan di tingkat nasional dan dilembagakan di dalam AD/ART (Anggaran Dasar/Anggarana Rumah Tangga) sebagai rambu aturan main. Keabsahan suatu keputusan yang bersifat nasional ada di tangan suara mayoritas pengurus daerah. Termasuk dan terutama untuk memilih ketua umum. Pengurus daerah yang bertebaran di 34 propinisi dan 500-an kabupaten kota adalah kunci penentu. Pola hubungan pengurus daerah dengan pemimpin puncak di pusat terjalin melalui kultural paternalisme. Itulah kekuatan pengurus daerah sekaligus kelemahan sistemik sebuah partai. Prof. Agus Dwiyanto & Dr Bevaola Kusumasari dalam kajiannya tahun 2001 menulis, paternalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Paternalisme tumbuh sumbur karena dipengaruhi oleh kultur feodal, yang sebagian besar wilayah di Indonesia semula merupakan daerah bekas kerajaan. Wilayah-wilayah bekas kerajaan ini telah mempunyai sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan. Selalu menjunjung tinggi dan mengagungkan penguasa sebagai orang yang harus dihormati, karena mereka telah memberikan kehidupan dan pengayoman bagi warga masyarakat. Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa budaya birokrasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa. Budaya hirarkis dan tertutup yang menuntut seseorang untuk pandai menempatkan diri dalam masyarakat. Pada budaya ini terdapat nilai tentang pentingnya peranan atasan dalam memberikan perlindungan terhadap bawahan. Perlindungan yang diberikan oleh atasan atau pimpinan berwujud status dan pangkat. Kedua atribut tersebut merupakan hak istimewa bagi seorang bawahan yang kemudian menentukan status sosial seseorang di mata masyarakat. Pola atasan dan bawahan juga menandai hubungan pengurus pusat dengan pengurus daerah. Menciptakan figur sinterklas yang murah hati di pusat guna merawat loyalitas pengurus daerah. Yang disebut sebagai “bawahan” itu, justru adalah penentu keputusan di level “atasan”. Merujuk pola paternalisme, mayoritas pengurus partai atau organisasi apapun, wajib hukumnya memosisikan pengurus daerah sebagai “pembutuh orang kuat” di pusat. Meniscayakan sosok ketua umum sebagai sinterklas untuk merawat kesinambungan loyalitas pengurus daerah. Termasuk dan terutama kesejahteraan dan ekonomi. Ideologi pengurus daerah adalah pemahaman berharga mati terhadap kesinterkelasan seorang ketua umum manakala dia memegang jabatan dalam struktur negara. Ketua umum tanpa jabatan struktural dalam pemerintahan oleh pengurus daerah dianggap sebagai “yatim piatu” yang cuma ngajakin sengsara. Dipastikan gampang terserang dehidrasi atau penyakit ayan. Diksi “kudeta” yang ditujukan kepada Meoldoko adalah sebuah kata yang seksi. Membangkitkan gairah perang pengurus daerah di kedua kubu yang berseteru. Pernyataan loyal dan siap mati membela ketua umum bersahut-sahutan di angkasa. Disiarkan secara luas dan masif hampir semua saluran televisi. Publik menyaksikan bagaimana perlombaan orasi meramaikan jagad politik. Pengurus daerah menjadi tokoh penting dan tamu mulia di ibukota. Membuat frekwensi pemberitaan kebijakan pemerintah yang kontroversial menurun di liputan media. Langkah kubu “Demokrat SBY” yang dimotori ketua umumnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menggerakkan perlawanan daerah sebagai simbol loyalitas. Langkah ini dapat juga dibaca sebagai keberhasilan “Demokrat Moeldoko” mengacaukan otak kubu kembarannya. Pada akhirnya kedua kubu Demokrat tidak ada yang dapat bekerja dengan tenang. Waktu, tenaga, fikiran dan dana habis begitu saja hanya untuk memperebutlan publik opini hingga tiba Pemilu 2024. Eksistensi Demokrat SBY mengalami pelumpuhan seiring hambarnya pelan-pelan simpati publik. Elite Demokrat SBY terjebak di dalam perangkap membela diri dan kesibukan menembaki pengacaunya. Inilah target utama kekuasaan. Pengebirian intensitas sikap kritisisme. Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan pemerintah tak melindungi atau mengawal acara yang diklaim sebagai Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat. Meski tak melindungi, ia menegaskan pemerintah juga tak boleh membubarkan acara itu. Itu sesuai UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, kata Machfud di media Minggu (07/03/21). Sehari sebelumnya Machfud menegaskan, Kongres luar biasa (KLB) Demokrat di Sibolangit, “dinilai akan menjadi permasalahan hukum bila hasilnya telah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia”. Jelas sudah, pintu terbuka bagi Demokrat Moeldoko untuk mengadu untung. Keras dugaan faktor pembuka ruang serangan kepada Demokrat SBY, karena adanya aroma dinasti yang dipersoalkan para pendiri. Mereka menyoal perubahan AD/ART pada Kongres tahun 2020 yang memberi kewenangan besar kepada Ketua Majelis Tinggi yang dijabat SBY, yang berwenang penuh membolehkan dan melarang diadakannya KLB. Langkah itu mengungkit tudingan sebagai rekayasa sistemik SBY dan keluarga untuk mendominasi Demokrat. Menutup celah perlawanan bagi yang tidak sejalan. Akibat menggugat hal itulah, ke tujuh oang kader teras termasuk pendiri serentak dipecat di tengah kisruh tuduh menuduh adanya isu “kudeta”. Inilah pemicu yang meneguhkan lahirnya “Perang Kilat” Sibolangit. Drama politik ala Indonesia berulang. Pertunjukan adegan “lari berputar” dan “bersembunyi di tempat yang terang” para elite politik kembali dimainkan. Dengan simfoni sendu yang jauh dari alasan untuk tersenyum. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Istana Menyerang Cikeas, SBY Kibarkan Perang?

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Angin mengalir lembut. Bukan angin ribut. Tidak juga disertai dengan hujan berpetir, yang menimbulkan rasa ketar ketir. Namun ujug-ujug ratusan juta rakyat Indonesia terkejut. Bukan sebab Jokowi (Joko Widodo, Presiden RI) mati mendadak. Melainkan adanya pertunjukan “sulap politik” oleh orang Istana Kepresidenan. Cuma dalam tempo beberapa jam, Ketua Umum Partai Demokrat (PD) yang dijabat Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) tersulap, dan langsung berubah menjadi sosok Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Moeldoko berkantor di dalam pagar kompleks istana negara. Tontonan sulap gratis yang dimainkan anak buah Jokowi dalam frame Kongres Luar Biasa (KLB) PD itu berlangsung di salah satu hotel, di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara. Hajatan itu dimulai pada permulaan bulan Maret lalu. Publik pun lantas ramai saling lempar berkomentar. Macam macam pendapatnya. Ada yang berpendapat menggunakan akal seger waras. Sebaliknya, muncul juga statement sinting yang bermaksud membela perilaku cenderung stunting pula. Seperti paparan awal di atas. Tak ada hujan dan angin. Orang gila pun tahu bahwa Ketua Umum PD adalah AHY. Sedangkan Ketua Majelis Tinggi dan Kehormatan Partai PD tidak lain Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Susunan pengurus itu sah sebagai data otentik pada lembaran pemerintahan. Susunan itu belum berubah hingga saat ini. Dalam konteks KLB Sibolangit Deli Serdang, SBY merasa benar. Dan memang berada di pihak yang tidak salah. Karenanya, SBY yang berpenampilan kalem dan terkesan menjaga wibawa serta kehormatannya - bak Pak Harto itu, langsung bermuka merah menyemu hitam. Tanda marah besar. Menyusul hasil KLB “sak karepe dewe” yang menobatkan Moeldoko sebagai Ketua Umum PD, SBY tak sabar menyambar mix. Bicara laksana mengurai duplik di pengadilan. Membeberkan kebenaran di hadapan para jurnalis di kediamannya, Cikeas. Seperti yang biasa kita tahu. Tingkat emosinya terukur. Gaya bicaranya khas. Mengkombinasi dengan bahasa tubuh, gerakan naik turun tangan dan anggukan kepala. Manifesto politik dihadapan pers itu SBY menjlentrehkan aturan main PD dalam menggelar KLB, yang sesuai dengan AD/ART PD. Pokok persoalan dikupas SBY dengan lugas dan tuntas. Khususnya di lembar pasal 81 ayat 4. Dalam pasal tersebut, jelas SBY, KLB bisa digelar atas usulan dan permintaan Majelis Tinggi Kehormatan Partai yang dia pimpin dan beranggotakan 16 orang. Kemudian terdapat ketentuan, sekurangnya dihadiri 2/3 dari total jumlah DPD sebanyak 34 DPD. Yang diperkuat dengan syarat lanjutan, yakni KLB harus dihadiri sedikitnya 1/2 dari jumlah total DPC sebanyak 514 DPC. Namun dalam atraksi 'main sulap' murahan di 'panggung politik gelap' Deli Serdang itu tak satu pun persyaratan yang terpenuhi. Tak satu pun DPD yang mengusulkan. Bahkan hanya 7 persen (34 DPC dari 514 DPC) dari yang seharusnya minimal 50 persen usulan DPC. Karenanya, SBY pun pelan tapi tegas mengajak seluruh kadernya untuk berperang guna mendapatkan keadilan. "Ibarat peperangan, perang yang kita lakukan adalah perang yang dibenarkan. War of necessity, sebuah just war", tandas SBY manggut manggut diikuti ayunan jari telunjuknya. Pemilihan diksi perang oleh SBY, sekali pun pada statemen jumpa pers dimaksudkan sebagai just war, perang untuk memperoleh keadilan. Namun ingat. SBY bukan orang goblog. Tidak dungu. Jauh dari otak cebong. Dia adalah mantan presiden militer berpangkat Jenderal (Purn). Dia fasih taktik dan strategi. Artinya, kata “perang” sengaja disisipkan tersamar sebagai cara membaca situasi nyali musuhnya. Jika sang musuh menyerah, mengakui kalah dan salah, maka kata “perang” itu akan diakuinya cuma candaan belaka. Namun, jika musuh bertahan dalam kesalahannya. Bahkan malah terlihat pongah dan durhaka. Seakan yang dilakukan benar dan terpuji, tak menutup kemungkinan perang guyonan itu bisa bermetamorfosis menjadi perang terbuka sungguhan. Demi kehormatan. SBY bisa senekat nekatnya Jauh waktu sebelumnya. SBY dan para kader PD telah melihat simptom adanya upaya kudeta PD oleh Moeldoko dan segelintir kader PD. Pendek kata SBY sudah curiga. Waktu itu AHY selaku Ketum PD pun berkirim surat protes kepada Jokowi. Tak salah rupanya AHY bersurat ke Jokowi, mengingatkan, mau tidak mau Moeldoko adalah inner circle Istana Kepresidenan. Anak buah langsung Jokowi. Sulit untuk tidak diakui bahwa Moeldoko merupakan representasi dari Jokowi. Namun sayang. Surat itu tak terbalaskan. Kubu Moeldoko malah bilang, pertemuannya dengan kader PD bukan untuk merencanaan kudeta. Melainkan cuma ngobrol biasa. Hanya ngopi-ngopi biasa. Alasan kubu Moeldoko itu, agaknya terbantahkan oleh pengakuan mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, belakangan ini. Jenderal bernalar waras itu mengaku pernah diajak gabung seseorang, untuk mengkudeta AHY dari jabatan Ketum PD. Bila bersedia, Gatot Nurmantyo berhak memangku iming iming jabatan ini atau itu. Kecuali jabatan, nina bobok berupa uang tentu tak ketinggalan dalam dunia kekurang ajaran. Gatot Nurmantyo menolak. Alasannya simplistik. Dia pernah dibesarkan SBY, ayah AHY, sebagai KASAD sewaktu SBY menjabat presiden ke 6 RI. "Saya dibesarkan Pak SBY. Masak saya lantas tega mencongkel putranya? "ucap Gatot Nurmantyo tanpa merinci, siapa pihak yang mengajaknya berbuat kurang ajar itu. Tidak seperti Gatot. Moeldoko malah sebaliknya. Meski sama sama pernah diangkat SBY sebagai KASAD, namun Moeldoko membalasnya dengan air tuba. Tubanya dicampur Covid-19 lagi. Jadi pedihnya melebihi disayat sembilu. Sementara Menkopolhukam, Mahfud MD, turut berkomentar. Dialeknya khas Madura. Alam pikirannya normatif. Terlalu hukum. Hukum banget. Tidak menyertakan aspek sosial pendukung lain. Misalnya, mengeksplor sampai ke bab etika, sopan santun, budaya, moral, peradaban dan lain sebagainya. Sehingga pernyataannya sering membias. Distorsif. Luput dan tidak sesuai harapan. Sekalipun pernyataan Mahfud benar secara hukum. Padahal per hukuman itu mestinya memuat aspek tekstual dan kontekstual. Sehingga pas dipandang dari arah mana pun. Sebab “panggung sulap” di Deli Serdang disebut Mahfud sebagai hal biasa. Dianggap sebagai kumpul-kumpul kader PD. Pemerintah tidak perlu melarang atau menyuruh. Pasalnya, lagi-lagi terlalu hukum. Acara tersebut terlindung dalam UU No. 9 Tahun 1998, tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum. Penerapan regulasi ini pada KLB Moeldoko belum tentu tepat dan berkeadilan. Lantaran, dalam kapasitas apa Moeldoko sebagai orang Istana, ikutan kumpul dengan kader PD, yang diketahui sebagai kegiatan KLB? Ah, ada-ada saja Mahfud. Bukankah pemerintah saat ini tengah gencar melakukan pembatasan berkerumun karena Covid-19? Apakah hal itu tidak melanggar protokol kesehatan? Juga melawan UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan? Sebagaimana yang diterapkan kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) saat mantu? Agaknya Mahfud MD belum tuntas menemukan delik hukum paling tepat, untuk membenarkan acara kawan se-lingkarannya di Istana Kepresidenan. Marahnya SBY yang sebenarnya manusiawi itu, malah ditanggapi dengan gaya insinuatif. Sindiran tak terang-terangan. Mengembalikan persoalan yang pernah dialami pihak yang sedang marah. Misalnya, saat SBY menjabat presiden, juga membiarkan dualisme kepemimpinan PKB. Antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar. Jadi, kalau sekarang SBY sewot itu dianggap baper. Begitu kira kira maksudnya. Sekalipun sekilas nampaknya sama, namun sebenarnya berbeda. Pihak yang terlibat konflik royokan PKB antara Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar sama sama orang partikelir PKB. Bukan orang pemerintah. Sedangkan konflik PD Deli Serdang melibatkan orang pemerintah. Bahkan lingkar terdekat Jokowi selaku presiden. Dengan begitu, yurisprudensi berlatar pengalaman empiris yang dibilang Mahfud itu ngawur. Bila pembiaran kudeta dianggap tidak apa apa. Sah secara hukum. Jangan salah jika pemahaman itu kemudian mengembang ke arah misalnya, kudeta presiden itu lantas dianggap sah. Masyarakat sebenarnya berharap Mahfud yang secara faktual memiliki kompetensi dan kognisi di lingkup hukum, dapat memerankan kesanggupannya secara lebih, dibanding menteri-menteri sebelumnya. Kembali soal invasi Moeldoko terhadap AHY. Mengapa yang dipilih Moeldoko Partai Demokrat yang memiliki suara signifikan di DPR. Bukan partai gurem lainnya. Muncullah disini spekulasi politik. Karena suara PD cukup berarti, akankah hal itu akan digunakan Moeldoko untuk mengtiga kalikan jabatan Jokowi sebagai Presiden? Benar atau tidak benarnya kita tunggu sejarah berikutnya. Penulis adalah Pelaku UMKM.

Moeldoko Mau Mendirikan Partai Demokrat Baru?

Nasehat Buya Anwar Abbas ini sangat layak didengar dan dituruti Moeldoko By Hersubeno Arief WAKIL Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas punya nasehat penting bagi KSP Moeldoko. Ketimbang mengambil paksa Partai Demokrat dari tangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), lebih baik dia mendirikan partai sendiri. Namanya bisa partai apa saja. Kalau memang tetap tertarik dengan nama Demokrat, bisa Partai Demokrat Baru, atau Partai Demokrat Berseri. Buya Anwar Abbas, begitu dia biasa dipanggil, meminta Moeldoko meneladani Ketua Umum PDIP Megawati. Sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Mega dikudeta Soerjadi melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Asrama Haji Medan (1996). Dia kemudian mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada Pemilu 1999 di awal Reformasi, PDIP ikut berlaga bersama bersama PDI. Hasilnya PDIP menjadi partai pemenang Pemilu. Megawati menjadi Wapres, dan kemudian menjadi Presiden. Partainya juga selalu berjaya dari pemilu ke pemilu. Dalam dua pemilu terakhir (2014, 2019) PDIP menjadi pemenang. PDIP masih mendapat bonus tambahan, Jokowi salah seorang kadernya menjadi Presiden selama dua periode. Nasehat Buya Anwar Abbas ini sangat layak didengar dan dituruti Moeldoko. Mega seperti kita saksikan, saat ini menjadi figur sangat berpengaruh dalam peta politik Indonesia. Beda sekali dengan Moeldoko. Sebagai mantan Panglima TNI, dan sekarang menjadi orang dekat Presiden Jokowi, citra Moeldoko berada dalam titik nadir. Dia disebut sebagai pembajak, bahkan begal politik. Jabatan Ketua Umum Partai Demokrat yang coba dia rampas, bukan membuatnya terhormat. Tapi malah dihujat. Belajar Dari Para Senior Sebenarnya Moeldoko tak perlu belajar ke orang lain. Cukup belajar dari para seniornya di TNI. Mantan Menhankam Pangab Jenderal Edy Sudradjat misalnya. Setelah kalah bersaing dengan Akbar Tanjung memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar, dia mendirikan PKPI (1999). Benar PKPI tidak pernah lolos parlemen. Tapi sampai sekarang publik, dan internal TNI, tetap respek. Mamandang dan menyebut namanya dengan takzim. Mantan Menhankam Pangab Jenderal Wiranto juga membangun parpol sendiri. Hanura (2006) yang dibangunnya sempat lolos parlemen. Tapi sejak kepemimpinannya dilepas ke Osman Sapta Odang, malah tidak lolos ke parlemen. Letjen Prabowo Subianto juga sukses membangun Gerindra (2008). Hingga kini menjadi partai kedua terbesar di parlemen. Dia juga sempat tiga kali berlaga di pilpres. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sukses membangun Partai Demokrat (20010. Dengan Demokrat, SBY berhasil meraih sukses menjadi Presiden selama dua periode. Kalau mau cari model di luar TNI, dia bisa juga belajar dari Surya Paloh (SP). Setelah kalah dari Aburizal Bakrie dalam Munas VIII Partai Golkar (2009) di Pekanbaru, Riau, SP mendirikan Partai Nasdem (2011). Nasdem sukses, dalam dua periode terakhir selalu berada dalam koalisi partai-partai penguasa. Semua nama yang disebut di atas, bahkan berasal dari satu partai yang sama. Golkar. Masih ada figur lain yang bisa dicontoh Moeldoko. Ini bahkan figur anak-anak muda. Duet Anies Matta-Fahri Hamzah. Mereka tak perlu ribut-ribut. Setelah merasa tidak cocok dengan pengurus PKS lainnya, mereka mendirikan Partai Gelora Indonesia. Padahal konon kabarnya, mereka sempat ditawari untuk mengambil alih PKS dengan model KLB. Tapi tawaran itu ditolak. Anies-Fahri membangun partai dari nol. Dalam waktu singkat, kini telah memiliki pengurus di 34 Provinsi, dan seluruh kabupaten di Indonesia. Minus dua kabupaten di Jateng. Partai Gelora sudah siap ikut serta dalam pemilu. Benarlah yang dikatakan Buya Anwar Abbas. Moeldoko bisa mendirikan Partai Demokrat Baru, Berseri, atau Perjuangan. Bila tak mau susah payah membangun partai dari awal, sesungguhnya Moeldoko tetap bisa mengambil opsi KLB. Tapi bukan di Partai Demokrat. Sebagai kader Partai Hanura, Moeldoko bisa melaksanakan KLB dan mendongkel Ketua Umum Partai Hanura Osman Sapta Odang. Bila dia berhasil membenahi Hanura. Membawa kembali masuk ke parlemen. Moeldoko akan dikenang sebagai tokoh politik yang terhormat. Bukan begal Partai Demokrat! End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jendral TNI (Purn) Gatot Memandu Etika Berpolitik

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Gini lho. Saya ini bisa naik bintang satu, bintang dua. Taruhlah itu hal biasa. Tetapi kalau saya naik bintang tiga, itu presiden pasti tahu. Kemudian ketika jabatan Penglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), pasti presiden tahu. Apalagi presidennya waktu itu tentara, Pak SBY. Tidak sembarangan. Bahkan, saya dipanggil, dan bilang “kamu akan saya jadikan KSAD”. Laksanakan tugas dengan profesional. Beliau berpesan, “laksanakan tugas dengan profesional, cintai prajuritmu dan keluarga dengan segenap hati dan pikiranmu”. Apakah iya, saya dibesarkan oleh dua presiden. Satu Pak Susilo Bambang Yudhoyono, satu lagi Pak Jokowi. “Terus saya membalasnya dengan mencongkel anaknya”? kata Gatot (Lihat Eramuslim, 9/3/2021). Alhamdulillah wasyukrillah. Hemat saya, menjadi dua kata tepat untuk diucapkan menyambut sikap timbangan etika Pak Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantiyo itu. Tepat, karena sikap itu terlampau langka di tengah kehidupan politik hari-hari ini. Sikap itu, untuk alasan apapun, harus dianggap “mutiara yang jatuh di tengah lumpur. Diangkat lagi dari lumpur, tetap saja terlihat mutiara”. Tak Mudah Menjaga Etika Saya tidak tahu berapa lama setiap habis Sholat Subuh, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo habiskan waktu hanya untuk lantunkan, tentu tanpa kata-kata lafadz “qul huwallahu ahad”. Saya juga tidak tahu berapa lama waktu yang dihabiskan Pak Gatot sehabis Sholat Magrib hanya untuk lantunkan “Ya Azizu” dan “Ya Haiyu ya Qaiyum”. Sekali lagi, saya tak tahu itu. Penjara dunia dalam “genggam kekuasaan” dengan cara kotor dan jijik rebut-merebut di lintasan yang kotor. Begitu kata para bijak, selalu indah seindah-indahnya untuk orang-orang berpakasitas rendah. Rendah dalam cita rasa etik, ahlak, harkat dan martabat. Tidak untuk orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang bahaya tersembunyi dibalik indahnya dunia itu. Pengetahuan itu memang bukan pengetahuan puncak, tetapi tidak mungkin tak berada di sudut kehidupan yang tinggi. Tak mungkin tidak memerlukan usaha mendaki, sekedar untuk meraihnya dengan serba sedikit. Bukan kelelahan, tetapi nikmatnya, boleh jadi membuat pendaki tertawan merebahkan tubuh kasar dan halusnya setotal yang bisa. Apakah sikap Pak Gatot itu menandai dirinya sedang dipuncak itu? Aapakah sedang merebahkan tubuh kasar dan halusnya dalam nikmat itu? Jelas saya tak tahu. Pembaca FNN yang budiman. Sungguh tak mudah sikap yang diambil Pak Gatot. Tidak mudah untuk meremehkan hal-hal yang, oleh banyak orang-orang berkapasitas moral dan etik rendah, mati-matian memburunya. Sikap Pak Gatot itu, bukan hanya khas orang pintar. Tetapi juga khas orang-orang yang kepintarannya terbalut kalam pencipta alam semesta ini. Sekongkol menyakiti orang yang merendahkan mereka. Itu pekerjaan orang-orang yang kecil kapasitas moral dan etikanya. Pak Gatot, bagusnya tertuntun. Saya yakin, nikmat-nikmat kalam-Nya Pencipta alam semesta telah menarik jarak sejauh yang bisa dari tipuan dunia untuk memperoleh kekuasaan kecil nan rapuh itu. Subhanallah, Alhamdulillah. Budi luhur, itu hanya milik orang-orang yang berbudi. Titik, tidak lebih. Budi tidak mendekat, apalagi menjadi milik orang yang tak mengunakan sepertiga malamnya bercengkrama dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala. Budi bukan punya mereka yang terlalu enggan mengasah nafasnya dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala, suka atau tidak. Sikap dan tindak-tanduk itu cermin diri orang. Tampilan politik adalah cermin diri dan jiwa politisi. Semakin dalam politisi tenggelam dalam politik, semakin jelaslah politik praktis memburuk dalam semua seginya. Semakin suka politisi pada politik, semakin tebal sekat mereka dengan moral yang agung. Politik jenis itu akan buruk seburuk-buruknya di setiap detik hidup berbangsa dan bernegara. Sakitnya atau sialnya, politisi jenis ini tidak lagi memiliki kemampuan mengenalnya sebagai hal busuk. Semuanya ditimbang dengan moral politik ular. Bahkan binatang yang bernama ular, boleh jadi masih lebih baik. Itulah yang tak mampu untuk diti oleh Pak Gatot. Beralsan menajdikannya sebagian dari alasan apresiasi kepada Pak Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo atas sikapnya menolak ajakan, yang saya sebut “iblis” untuk mencongkel Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Terima kasih Pak Gatot. Sikapmu bagai segelas air di tengah padang tandus, untuk seorang pengembara yang tertawan kehausan. Saya tak bilang ini satu teladan kecil di tengah mengeringnya teladan dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara saat ini. Tetapi untuk beberapa hal, saya ingin melihat ini sebagai cahaya rembulan di tengah kegelapan gulita malam. Memberi arah ke mana harus melangkah agar tak terjatuh di lubang kecil yang mematahkan jemari. Itulah faedah kecil dari tampilan etika Pak Gatot. Tak menjadi apa-apa, justru telah menjadi apa-apa itu sendiri. Itu yang mesti dimengerti orang. Orang itu dikenang bukan karena posisi posisi politiknya, tetapi karena sikap politiknya. Sikap politik tidak selalu harus bertimbal-balik dengan jabatan formil dalam politik. Wahai politisi, sukailah hal-hal bagus. Ingatlah sebisa mungkin. Alam tak diciptakan secara serampangan. Alam dibuat indah, karena keindahan itu cermin hakikat. Cintailah keindahan, karena keindahan itu sahabatnya keihlasan. Dan keihlasan menjadi jalan terdekat menghindar dari kegundahan. Bawalah sejauh mungkin sikap-sikap politik dari cinta mati kepada kekuasaan. Selalulah berada jauh dari tabiat membebek, menghamba, dan menjadi budak kekuasaan. Tak usah mendekat pada kemunafikan. Tetapi teruslah untuk membimbing tingkah laku politik dengan timbangan-timbangan yang disabdakan oleh Pencipta alam semesta. Hebat Pak Syaf & Leimena Kejarlah daku, kau kudekap dengan seluruh pesonaku yang menipu. Begitulah tabit kekuasaan, yang dalam wajah empirisnya selalu menipu. Kenalilah itu, karena dia menuntunmu kesemua keindahan sepanjang masa. Itulah yang ditunjukan Pak Sjafrudin Prawiranegara. Itu pulalah yang disajikan oleh Pak Johanes Leimena, nyong Ambon manise ini. Boleh saja ilmuan hukum tata negara datang dengan argumentasi hukum melemahkan kehebatan Pak Sjaf yang, dengan sukarela mengembalikan kekuasaan kepresidenan kepada Bung Karno. Toh Pak Sjaf memperoleh kekuasaan itu atas kuasa Bung Karno. Tetapi tidak untuk Pak Sjaf, yang Pak J. Riberu sematkan padanya sebagai manusia “etis” ini. Manusia etis, tahu kebesaran etika. Itulah Pak Sjaf. Kekuasaan yang ada padanya diperoleh melalui kuasa lisan Bung Karno,Presiden tampan dan energik ini. Pak Syaf segera serahkan kembali kekuasaan kepada Bung Karno setibanya di Yogya. Tak ada semenitpun Pak Sjaf mencari alasan politik untuk mempertahankan kekuasaan itu. Subhanallaah, Pak Syaf, semoga Allaah Subhaanahu Wata’ala menempatkanmu di syurga-Nya. Boleh saja orang tata negara menyatakan sikap itu harus diambil Pak Sjaf, oleh karena kekuasaan itu ada padanya atas kuasa Bung karno. Tetapi sejujurnya saya suka dengan penegasan Pak J. Riberu. Manusia “etis” itulah sebutan Pak Riberu untuk Pak Sjaf. Dalam esainya tentang Pak Sjaf, Pak Riberu mengutip “hebat sekali” salah satu ayat Al-qur’an. Ayat Al-Qur’an yang dikutip dalam esai Pak Riberu adalah ayat 104 Surat Al-Imran. Hendaknya diantara kamu ada satu golongan yuan mengajak berbuat benar, serta mencegah berbuat salah”. Tulis Pak Riberu selanjutnya “ia merasa berkewajiban mengajak orang lain berbuat benar, dan mencegah berbuat salah”. Hormat saya yang tak terbatas untuk Pak Riberu. Argumentasi hukum dan gurihnya kekuasaan, cukup jelas tak mampu menipu Pak Sjaf. Benteng etiknya terlalu tangguh dan tebal untuk dapat dijebol oleh gurihnya kekuasaan. Hormat untuk Pak Sjaf atas pelajaran etika ini. Semoga almarhum bahagia di alam sana dengan Rahim Allah Subhanahu Wata’ala. Terima kasih Pak Sjaf untuk teladan yang telah diwariskan. Apalagi hari-hari ini terlihat terlalu berat untuk dicontohi politisi-politisi kacangan dan picisan yang terkenal jorok, licik dan primitif di panggung kekuasaan. Tak berusaha memperpanjang, apalagi berusaha mempertaankan kekuasaannya. Pak Syaf terlalu top untuk ukuran demokrasi dimanapun. Terbimbing dengan balutan etika, kekuasaan ditangannya diserahkan kepada Bung karno, ayahanda tercinta Ibu Mega dan Ibu Rahma, untuk menyebut dua saja di antara beberapa anak-anaknya. Apakah teladan yang diwariskan oleh Pak Syaf ini bisa diikuti oleh Pak Jokowi? Entahlah. Mungkin Pak SBY harus lebih kencang lagi menyerukan Pak Jokowi menggunakan etika dalam merespon kemelut kecil Partai Demokrat. Untuk alasan apapun, Pak Jokowi memang harus menyegarkan akal, fikiran dan rasa etiknya bahwa Pak Moeldoko itu berkantor di lingkungan kantor kepresidenan, sekaligus anak buah Presiden Jokowi. Derajat dengan etika, yang kearifan berinduk padanya, yang mengalir deras dari Pak Sjaf, jelas merupakan nutrisi tak tertandingi dalam membuat demokrasi memiliki makna untuk diagungkan. Itu juga yang ditunjukan Om Jo, begitu orang-orang Maluku memanggil Pak Johanes Leimena, untuk teladannya yang hebat pada sisi waktu yang berbeda. Johanes Leimone memegang kekuasaan pemerintahan setiap kali Bung Karno keluar negeri, dan segera mengembalikannya kepada Bung Karno setibanya di tanah air, itulah etika moral yang tinggi dari Om Jo. Hebat sekali Om Jo. Terbimbing begitu kuat oleh rasa etik, dan budi nan mulia. Begitu beretika politik Om Jo. Itu nutrisi sebenarnya yang menyehatkan demokrasi. Demokrasi, yang Aristoteles kenali sebagai barang busuk. Tetapi telah dikenali keunggulannya oleh kapitalis tua dan oligarki kecil maupun besar, juga korporasi. Sehingga membentuk korporatokrasi ini, selalu bisa dan produktif menciptakan etika khasnya. Etika khasnya selalu bisa membuat demokrasi menerima aksi tipu-tipu, menindas orang lemah, kecil dan miskin sebagai kegagalan kecil saja. Alhamdulillah di tengah kelangkaan, kekeringan dan kegersangan manusia yang mau belajar etika politik, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmatiyo hadir untuk membimbing, memandu, menghidupkan dan mengukir tingkah laku demokrasi yang berkalas dan mengagumkan. Terima kasih Pak Gatot, anda telahhadirkan pelajaran kecil yang terlalu mahal untuk politisi kebanyakan ini. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Demokrat, Ken Dedes, Ken Arok, dan Moeldoko, Ada Hubungan Apa?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Jika mereferensi pada kisruh Partai Demokrat, terlihat ada persiapan 2024. Partai Demokrat “diobrak-abrik” untuk menutup peluang Agus Harimurty Yudhoyono (AHY). Prediksi saya yang berikutnya dijadikan target adalah Partai NasDem. Tujuannya agar Anies Baswedan tidak bisa diusung NasDem. Di sinilah saya acungi jempol permainan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang sering dijuluki dengan sebutan 08. Dia mengubah Gerindra dari partai Kombatan menjadi partai Intelijen. Dan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo yang terkena kasus korupsi KKP yang dikorbankan. Sebab, loyalitas EP terhadap 08 bisa merusak skenario Gerindra itu sendiri dan menjadi penghalang perubahan strategi dari kombatan ke intelijen. Sekarang tinggal bagaimana kita tunggu permainan strategi 08 dalam menaklukkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan memainkan kartu Anies-AHY. Jika “perkawinan” itu terjadi, peluang mantan Panglima TNI yang kini merangkap Presidium KAMI Gatot Nurmantyo juga tertutup total. Tinggal head to head SBY-08 dan kru Pak Lurah Cs. Mau tidak mau GN akan merapat ke poros SBY-08. Di sinilah kekalahan 08 pada Pilpres 2019 lalu dan sebelumnya (2014) bisa terbayarkan. Bisa saja nanti pada Pilpres 2024 SBY-08 berkoalisi untuk usung Anies-AHY menghadapi koalisi Pak Lurah Cs. . Atau bisa juga menyiapkan orang lain. Bisa saja 08-Anies. AHY “dititipkan” dulu jadi Ketua DPR dan Sandiaga Salahuddin Uno (SSU) menjadi Ketua MPR. Yang jelas, sepertinya Jusuf Kalla juga akan ikut SBY-08. Sebabnya, JK sekarang ini sudah tidak “berkuasa” lagi atas Kapolri sekarang, Jenderal Lestyo Sigit Prabowo. Sebelumnya, JK masih bisa berkuasa atas Kapolri Jenderal Idham Azis. Manuver Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang “membegal” kepemimpinan AHY di Demokrat mirip kisah Ken Angrok (Arok) yang membunuh Raja Tumapel Tunggul Ametung untuk “merampas” Ken Dedes dan menjadi Raja Singosari. Mungkin sosok proto-preman paling terkenal dalam sejarah kerajaan kuna di Jawa adalah Ken Arok. Muasalnya adalah kekerasan, menurut sejarawan Onghokham, merupakan salah satu soko tegaknya kerajaan-kerajaan kuna, selain bersandar pada konsep dewa-raja. Filolog dan arkeolog Johannes Gijsbertus de Casparis menyebut di daerah yang terpengaruh Indianisasi, sejak awal abad masehi ada fenomena seorang gembong bandit yang jadi raja. Banyak raja pertama Jawa berasal dari kalangan jago. Misalnya, Ken Arok dan Senapati. Karena diperlukan unsur paksaan dari atas pada masyarakat, penggunaan para jago berjalan terus. “Mereka merupakan unsur penting dalam sistem pemerintahan tradisional,” tulis Onghokham dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2003, hlm. 180). Jerome Tadie dan sejarawan Denys Lombard juga menempatkan Ken Arok secara khusus. Kisahnya tersaji cukup detail dalam kitab klasik Pararaton. Ditulis sekira abad ke-16, bab pertama kitab tersebut berkisah tentang masa muda Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bhumi, pendiri Kerajaan Singasari. Terlepas dari mitos-mitos yang melingkupinya, Keng Arok adalah arketipe bagi generasi bandit setelahnya. Ken Arok dikisahkan berayah Dewa Brahma dan beribu seorang petani biasa. Ken Arok lahir dilingkupi cahaya yang membuat ibunya takut dan meninggalkannya. Bayi Ken Arok kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong. Tentu saja Lembong mengajarinya keahlian mencuri. Tapi, di samping itu, Ken Arok juga jadi penggembala sapi. Hingga suatu hari, ia kehilangan sapi-sapi gembalaannya. Karena takut pada murka Lembong, Ken Arok lantas kabur. Sejak itulah Ken Arok terjerumus lebih jauh ke dalam dunia kriminal. Bersama ayah angkat barunya bernama Bango Samparan, ia jadi penjudi. Ia juga menjalin persahabatan dengan pemuda bernama Tita dan memulai kiprahnya sebagai bandit desa. Gara-gara ulahnya, sering kali Ken Arok jadi buronan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Sewaktu jadi buron, Ken Arok dengan mudah bersembunyi di kampung-kampung petani. Ken Arok menyaru dengan cara mengabdi pada seorang pengrajin emas bernama Mpu Palot. Ia bukannya tak pernah diceritakan tertangkap. Tapi, Ken Arok selalu dilepaskan ketika para penangkapnya mendapat suatu bisikan gaib. Pararaton memperlihatkan meski kekuatan mistik itu jadi bagian dari diri Ken Arok muda, ia tidak sepenuhnya menguasainya. Karena itu Ken Arok ditakdirkan untuk bertemu dengan brahmana Lohgawe yang kemudian jadi pembimbingnya. Melalui Lohgawe pula, Ken Arok mendapat akses ke kaum penguasa Tumapel. Berkat posisi Lohgawe itulah, Ken Arok akhirnya dikenal oleh Tunggul Ametung dan istrinya Ken Dedes. Ia juga berkawan dengan Kebo Ijo, seorang bangsawan Tumapel. Relasi-relasi inilah yang kemudian dimanfaatkannya untuk panjat sosial dan bahkan merebut kekuasaan Tumapel. Ambisi Ken Arok nyatanya tak hanya menguasai Tumapel. Tidak berapa lama, setelah itu Kerajaan Kediri yang dipimpin Raja Kertajaya limbung. Raja tersebut berseteru dengan para brahmana yang menolak tunduk. Memanfaatkan situasi itu, Ken Arok menyerang Kediri. Kali ini ia tampil sebagai pembela hak kaum brahmana. Ia menang. Pada 1222, Kerajaan Singhasari memulai sejarahnya. Membaca kisah Ken Arok, sebagai asal-usul mitos seorang perampok yang menjadi raja, mengandung unsur lain yang membentuk jatidiri sebagai preman masa kini, yang menjadi bagian atribut dan aspirasinya. “Kemungkinan untuk memperoleh masa pensiun bermartabat dan mencapai kekuasaan,” tulis Jerome Tadie (hlm. 228). Akhir cerita ini jelas menunjukkan bahwa relasi-relasi antara preman dan elite politik adalah fenomena kuno. Pola-pola itu terus berlangsung hingga kini, meski dengan konteksnya yang berbeda-beda seiring perubahan zaman. Jadi, sebenarnya bukan hanya penguasa yang memanfaatkan para bandit untuk menegakkan kekuasaannya. Sebaliknya, bandit-bandit pun memanfaatkan relasi itu untuk tujuan-tujuan politik atau ekonominya sendiri. Kembali ke soal KLB Partai Demokrat versi Moeldoko. Demokrat itu ibarat Ken Dedes, Ratu yang cantik, sehingga mendorong Ken Arok tertarik untuk “membajak” dari tangan Raja Tunggul Ametung, ia pun harus membunuh Raja Tumapel ini. Dengan jabatan KSP, Moeldoko memanfaatkan “bandit” sekelas Muhammad Nazaruddin, untuk mendanai KLB di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021. Hasilnya, Moeldoko ditetapkan sebagai Ketua Umum. Saat ini semua mata terfokus pada Presiden Joko Widodo. Kebijakan politik apa yang akan dilakukan terhadap “Pembuat Gaduh” NKRI dan Perusak Citra PresidenRI dalam penegakan Demokrasi, Hukum, dan Pemerintahan Bersih anti-Korupsi Selama ini banyak yang salah persepsi jika BuzzerRp itu piaraan Pak Lurah. Yang benar itu, mereka piaraan “Kakak Pembina”, yang dibiayai dari hasil menipu Pak Lurah. Saat ini rakyat Indonesia terbuka matanya. Penghianat Presiden Jokowi dan pembuat gaduh NKRI, ternyata bukan Opung Luhut Binsar Pandjaitan, melainkan mantan penerima tamu pernikahan Kahyang dan Bobby Nasution di Medan itu. Ksatria itu tak akan lupa Hutang Budi. Sosok tak tahu hutang budi itu adalah sosok yang tak pantas menjadi Pemimpin, apalagi level Nasional. Dia pasti tega menjual Negara demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Alumni Lembah Tidar kini jelas sangat Prihatin dan Malu Diri. Karena, Kawah Candradimuka itu ternyata bisa juga melahirkan sosok yang mampu khianati senior penolongnya. Saat ini SBY baru tahu dan sadar, jika Moeldoko tidak layak jadi KSAD itu benar. Spekulasi SBY atas data saat itu, kini Terbukti. Moeldoko tega rampas Demokrat demi ambisi berkuasa! Jokowi, Menkumham, dan Menko Polhukam harus membuktikan jika mereka itu tidak di belakang perampasan Demokrat oleh Moeldoko! KLB partai akan Sah, jika yang hadir pemilik suara sah. Saat KLB digelar dengan peserta bukan pemilik suara sah, maka itu pelanggaran hukum! Penyelenggara bisa diseret dengan KUHP Pasal Penipuan dan Pemalsuan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Soal Harga Diri, SBY Tidak Akan Biarkan Moeldoko

by Asyari Usman Medan, FNN - Hari-hari ke depan ini, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko tak akan bisa tidur nyenyak. Bayang-bayang kudeta mulus Partai Demokrat (PD) mulai mengejar Kepala Staf. Dia seharusnya sudah menyadari kalkulasi kudeta yang keliru. Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak akan membiarkan Moeldoko. Sebab, perampasan PD itu mengacak-acak harga diri mantan presiden yang keenam itu. Moeldoko mempermalukan SBY dan keluarga besar Cikeas. Ini tidak main-main, tentunya. Pelecehan telak. Setelah “deklarasi perang” yang diucapkan sendiri oleh SBY, penyelesaian kasus kudeta PD tidak menyisakan banyak pilihan bagi Moeldoko. Akhir drama pembegalan ini bisa sangat tragis bagi “the President’s Chief of Staff”. Sebab, per hari ini, SBY di atas angin. Moeldoko mati langkah. Dia terjepit. Jokowi tidak akan berani mensahkan Moeldoko sebagai ketua umum. Risikonya terlalu besar. Massa Demokrat asli kelihatannya siap melancarkan aksi ribut berpanjang-panjang di seluruh basis konstituen mereka. Kemarin, Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengumpulkan 33 ketua DPD. Mereka solid. Hanya 1 ketua DPD yang ikut kudeta. SBY bukan imbang Moeldoko. Pastilah. Bagaimanapun, SBY pernah menjadi presiden sekaligus atasan langsung Pak Moel. Sepuluh tahun SBY duduk sebagai presiden. Elektabilitasnya waktu itu sangat tinggi. Sampai sekarang pun, SBY masih memiliki basis dukungan akar rumput yang cukup kuat. Karena itu, serangan balik terhadap gerombolan kudeta PD yang dipimpin Moeldoko, tak bisa dianggap enteng. Pak KSP tentu sudah paham konsekuensi yang akan terjadi. Inilah yang membuat Moeldoko tak bisa tidur. SBY pasti akan memberi pelajaran. Teach him a lesson. Istana membantah keterlibatan. Kalau Jokowi akhirnya lepas tangan, berarti Moeldoko selesai. Dan jalan inilah yang paling aman bagi Pak Jokowi yang sedang dirundung banyak masalah besar. Terlalu mahal waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dikerahkan Jokowi untuk menyelamatkan Moeldoko. Jokowi hampir pasti akan menerima masukan dari para senior Istana bahwa kehilangan Moeldoko jauh lebih kecil dibandingkan “perang” SBY. Masyarakat memberikan empati kepada mantan presiden itu meskipun banyak juga yang skeptis. Dalam dua hari ini, opini publik berbalik mengempur Moeldoko. Para pakar tata negara meminta agar Jokowi memecat KSP. Tindakan Moeldoko dinilai sangat keterlaluan, tidak etis, dan memberikan contoh buruk dalam berpolitik dan berdemokrasi. Sekarang, paling-paling yang sedang diolah Istana adalah “exit strategy” untuk Moeldoko. Digeser atau dikeluarkan. Kepala Staf memang naïf sekali. Terlalu mudah dirayu oleh Jhoni Allen Marbun Cs –pimpinan KLB Sibolangit. To be fair, memang ada masalah dengan manajemen PD di bawah AHY. Entah karena apa, AHY tidak bisa “connect” dengan generasi awal PD. Mungkin karena “generation gap” (jurang generasi) itu sendiri. Atau, bisa jadi karena pembawaan AHY yang cenderung aristokratis. Tetapi, sekali lagi, kudeta oleh Moeldoko tidak punya alasan. Bahkan memperburuk citra perpolitikan Indonesia yang sudah amburadul. Negeri ini sedang dikuasai oleh oligarki taipan. Kendali kekuasaan yang ‘de facto’ ada di tangan mereka. Perbuatan gegabah Moeldoko memperkuat kepercayaan publik bahwa negara ini memang benar milik para taipan itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.