POLITIK

Ini Baru Halaman Pertama, Bagaimana Lembar Berikutnya?

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Ada yang mengait ngaitkan ucapan Anas Urbaningrum mantan Ketua Umum Partai Demokrat dan napi kasus korupsi proyek Hambalang (Pembangunan Pusat Pendidikan, Latihan dan Olah Raga Nasional) waktu itu. Tentu dikaitkan dengan malapetaka aktual masa kini, kudeta Partai Demokrat oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Publik memberi arti kudeta itu sebagai “halaman pertama” dari sejumlah lembaran sebuah buku politik. Buku yang akan dibuka di waktu-waktu setelah tuntas membaca “halaman pertama”. Lebih asyik dan mboys membacanya sambil duduk mengangkat kaki, ngobrol-ngobrol dan ngopi-ngopi biasa. "Saya nyatakan ini baru permulaan. Hari ini saya nyatakan ini baru sebuah awal langkah langkah besar. Baru halaman pertama. Masih banyak halaman halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Tentu untuk kebaikan bersama", ucap Anas Urbaningrum seperti dikutip oleh merdeka.com (23/02/2013). Menyambung itu, sementara pihak berspekulasi kalau Moeldoko yang “disuruh” menjadi Ketum Partai Demokrat hasil Konres Luar Biasa Deli Serdang kemarin, untuk segera bergerak ke Senayan. Wakil rakyat asal Partai Demokrat disana signifikan jumlahnya. Bisa menggalang kekuatan dan pengaruh dengan target-taget tertentu. Diilustrasikan, orientasi politik Moeldoko, bila merasa dirinya telah sah secara defacto, akan segera menggalang pengaruh anggota DPR di. Konsentrasi jangka pendek adalah mengupayakan adanya Bab, atau Pasal atau Ayat dalam UUD 1945 yang membolehkan tiga kali jabatan Jokowi sebagai Presiden. Dalam jangka menengah atau pun panjang, dimungkinkan Moeldoko akan mengaku “dipaksa rakyat, bila tidak malu dibilang mencalonkan diri, untuk ambil bagian di Pilpres mendatang. Menjadi calon presiden tahun 2024. Otak-atik politik tersebut merujuk pada pandangan tokoh sentral reformasi '98, Amien Rais, yang mencurigai pihak-pihak selain oposan tengah berjuang untuk tiga kali Jokowi sebagai presiden. Sekali pun kalkulasi Amien Rais tersebut dibantah mentah Wakil Ketua MPR (Fraksi PDIP), Ahmad Basarah, namun rasa was-was dan tidak percaya tak mudah hilang dari mata hati dan pikiran. Sudah kadung tidak bisa dipercaya. Mungkin juga itu sebab-musababnya. "Sejauh ini kami belum pernah memikirkan. Apalagi mengambil langkah langkah politik untuk merubah konstitusi hanya untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Demikian juga di MPR, kami belum pernah membahas isu masa jabatan presiden tersebut, dan mengubahnya menjadi tiga periode," kata Ahmad Basarah. Ungkapan Ahmad Basarah sebagai upaya meyakinkan itu, boleh jadi dibaca kaum oposan sebagai lembutnya lidah tanpa tulang-belulang. Ibarat lagi "kau yang berjanji, kau yang mengingkari," kata Raja dangdut Rhoma Irama dalam syair lagunya. Masih ragu juga? Atau belum mau percaya? Bolehlah kita putar ulang alasan Moeldoko yang baru kemarin sore diucapkannya. Moeldoko membantah kalau bertemu dengan beberapa kader dan bekas orang Partai Demokrat, sebagai rencana kudeta atas Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagaimana kecurigaan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Partai Demokrat yang sah. Moeldoko, seperti ditirukan SBY, mengaku "hanya ngopi-ngopi biasa. Hanya ngobrol-ngobrol biasa". Ngobrol sambil ngopi antara Moeldoko dengan beberapa orang kader dan pecatan Partai Demokrat itu, diakui Moeldoko tidak membahas rencana jahat politik. Namun apa lacur. Beberapa waktu sesudah itu, yang dilakukan Moeldoko dari hasil ngobrol dan ngopi itu membuahkan hasil? Meletuslah malpraktek politik di Deli Serdang Sumatera Utara. Moeldoko diangkat menjadi Ketum PD dengan cara bermain sulap. Malahan, menurut gelora.co (15/03), Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, secara pribadi mendukung wacana penambahan masa jabatan presiden hingga tiga periode. Itulah sebabnya anak bangsa yang menaruh peduli atas keselamatan NKRI, bahu-membahu berteriak keras. Mereka berdiri atas nama kebenaran dan keselamatan demokrasi. Deretan nama yang berani mengambil posisi di zona oposan diantaranya Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas, Din Syamsudin, Rocky Gerung, Rizal Ramli, Fadli Zon serta kaum melek bernegara lainnya. Kecuali para tokoh tersebut, terdapat jurnalis yang tergabung di media massa kritis. Diantaranya TEMPO.co, FNN.co.id, Gelora.co, indonesialeaks dan TV One. Memang sedikit jumlahnya dibanding cacah media massa yang beredar. Para pengkritik maunya diminta diam oleh para buzzeRp. Inginnya mereka para buzzerRp, bernegara seperti yang kini kita rasa dan alami bersama saat ini. Jadi teringat filosofi, "kalau sekedar hidup, babi di belantara itu juga hidup. Kalau sekedar kerja, kerja, kerja, kera yang joget ikut pengamen jalanan itu juga kerja". (Buya Hamka, Tokoh Muhammadiyah). Sulit dibayangkan, seandainya perjalanan negeri ini tanpa diimbangi campur tangan pengkritik. Ibarat penanganan suatu penyakit oleh tenaga medis. Negara ini dalam kondisi illness akibat sepsis yang telah menyeluruh menjangkit organ tubuh. Yang prognosisnya adalah kematian. Nah, keberadaan Amien Rais dan sejumlah pihak yang memiliki selera politik sama, berperan sebagai obat yang bekerja secara paliatif. Mengulur ulur umur. Sambil menunggu mukjizat Allah Subhaanahu Wata’ala untuk sembuh dari penyakit. Akhirnya, seperti apa rupa dan warna dalam gambar serta bacaan di halaman-halaman berikutnya. Kita tunggu saja bersama. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Memikirkan Ulang Periode Jabatan Presiden

by Tamsil Linrung Jakarta, FNN - Wacana presiden tiga periode kembali muncul. Isu lawas ini mencuat dengan tensi yang seketika meninggi, menjadi bahan diskusi di banyak tempat. Diskursus politik era demokrasi memang memungkinkan membicarakan segala hal. Tetapi tema-tema yang memunggungi konstitusi seharusnya tabu, tidak boleh dibiarkan beranak pinak. Selain membahayakan demokrasi, juga mengancam kelangsungan bangsa. Bagaimana mungkin kita mendiskusikan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi? Konstitusi telah membatasi kepemimpinan nasional hanya dua periode, titik. Kekuasaan yang terlalu lama berpotensi menyuburkan oligarki, melanggengkan korupsi, selain melahirkan diktator baru. Wacana presiden tiga periode tak lebih akal bulus dari pikiran yang dahaga kekuasaan. Memberikan tempat pada diskursus tersebut bukan tidak mungkin justru melecut momentumnya. Dan kita tahu, politik adalah tentang momentum. Kalau momentumnya pas, kalkulasi politik bisa berjalan lancar. Jamak terdengar, menciptakan momentum adalah bagian dari seni berpolitik. Wacana presiden tiga periode telah beberapa kali memburu momentum dalam dinamika politik tanah air. Penghujung 2019 lalu, isu ini mengedepan seiring bergulirnya wacana amandemen UUD NKRI 1945. Untung saja tidak kejadian. Yang menggelontorkannya bukan orang sembarangan. Jejak digital mencatat, yang pertama kali mewacanakan adalah Wakil Ketua MPR Asrul Sani. Kita tahu, MPR adalah lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD NKRI 1945. Lebih mengerikan lagi, Ketua DPR Puan Maharani tercatat juga mewacanakan. Walau sempat tenggelam, wacana tiga periode tidaklah mati. Malah diduga menggelinjang di bawah tanah. Dugaan ini disampaikan terbuka oleh Pendiri Partai Umat Amien Rais. Konon, ada usaha pemerintahan Jokowi menguasai seluruh lembaga tinggi negara. Amien Rais rupanya mendeteksi sinyal politik atau skenario yang mengarah agar Presiden Jokowi bisa terpilih lagi hingga tiga periode. Pasca-viralnya pernyataan Amien di kanal youtube, mengalir aneka kritikan tajam kepada tokoh gerakan reformasi 98 ini. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Tjahjo Kumolo, misalnya, menilai tudingan Amien Rais sebagai manuver murahan. Tetapi, tak sedikit pula yang bersimpati. Lepas dari kontroversi tersebut, pernyataan Amien Rais ada hikmahnya juga. Paling tidak, pernyataan ini telah menggedor dan mengembalikan sikap kehati-hatian kita terhadap upaya-upaya melawan konstitusi. Soalnya, perhatian rakyat selama ini dibuai atraksi berbagai manuver di panggung politik nasional. Muncul Dukungan Kita mengapresiasi penolakan Presiden Jokowi terhadap wacana presiden tiga periode. Presiden bilang, tidak ada niat dan juga tidak berminat. Presiden juga menegaskan, konstitusi mengamanahkan dua periode dan harus kita jaga bersama. Namun, politik punya banyak wajah. Wajah yang lain, sejumlah elit partai pendukung pemerintah menyatakan dukungannya. Sebutlah Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono lebih ekstrim lagi. Dia meminta Presiden Jokowi menerima keinginan rakyat untuk memimpin hingga tiga periode. Alasannya, demi menyelamatkan rakyat dari bencana pandemi dan dampaknya. Kita tidak tahu rakyat mana yang dimaksud Poyuono. Bila yang dimaksud anggota dewan terpilih sebagai representasi rakyat, mungkin logikanya tidak sepenuhnya benar. Sebab, manuver politik penghuni Senayan tidak selalu muncul karena keinginan rakyat. Terkadang manuver itu dipicu oleh inisiatif pribadi atau permintaan partai. Dengan begitu, dukungan elit politik tidak serta merta paralel atau merepresentasikan dukungan akar rumput. Lagi pula, sejarah mencatat bahwa kemunculan wacana presiden tiga preiode telah memperlihatkan penolakan rakyat dari waktu ke waktu. Pertanyaannya, atas dasar dan tujuan apa wacana ini bersemi kembali? Kantor Staf Presiden mencurigai ada pihak yang ingin menjerumuskan Presiden. Sementara itu, pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin berpendapat ada kemungkinan orang terdekat Jokowilah yang memunculkannya. Untungnya, isu amendemen UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode dibantah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meyakinkan itu. Kita berharap pimpinan MPR konsekuen. Pun dengan Anggota DPR dan DPD yang juga merupakan Anggota MPR RI, agar saling menjaga, menutup peluang sidang istimewa MPR RI. Cukup Satu Periode Jadi, perbincangan soal masa periode jabatan presiden sebaiknya dihentikan saja. Kalau pun ingin membahasnya lebih serius, wacana yang dikedepankan harusnya yang relevan dengan demokrasi dan percepatan pertumbuhan regenerasi kepemimpinan. Dalam perspektif itu, ada baiknya yang dipikirkan secara bersama adalah memangkas periode jabatan presiden, bukan malah menambahnya. Pakar hukum tata negara Refly Harun pernah menggagas ide ini, dengan usulan masa jabatan tujuh tahun atau cukup lima tahun saja. Selebihnya, ia mengusulkan mantan presiden dapat mengajukan diri kembali, tetapi tidak berurutan. Hemat saya, periode presiden dibatasi cukup satu periode atau lima tahun saja. Namun, dengan satu opsi tambahan yakni masa jabatannya dapat diperpanjang hingga dua atau maksimal tiga tahun. Opsi tambahan masa jabatan ini tidak otomatis. Kewenangan diperpanjang atau tidaknya dikembalikan kepada MPR. Dengan begitu, anggota legislatif sebagai pengawas pemerintah punya peran tambahan dalam mengevaluasi hasil kerja presiden. Artinya, opsi itu sekaligus menjadi reward atau punishment bagi presiden. Bila MPR menganggap kinerja presiden selama lima tahun di bawah standar, jatah dua tahun perpanjangan jabatan boleh tidak diberikan. Sebaliknya, jika kinerja presiden terlihat baik atau berhasil, masa jabatan itu dapat diberikan sebagai penghargaan. Ke depan, bila penerapannya memenuhi ekspektasi, keran diskursus selanjutnya dapat dibuka untuk kemungkinan penerapan di level kepemimpinan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Setidaknya, ada tiga hal yang mendasari pikiran tersebut. Pertama, regenerasi kepemimpinan dapat berjalan dengan cepat. Berbarengan dengan itu, pertumbuhan oligarki kekuasaan sekaligus bisa diminimalisir. Kedua, dua periode jabatan menyita banyak waktu dan konsentrasi presiden pada periode pertama guna menyiapkan diri pada perebutan kekuasaan selanjutnya. Hampir separuh dari periode pertama biasanya dihabiskan untuk konsolidasi menuju tampuk kekuasaan periode kedua. Ketiga, dalam konteks pemilihan presiden, petahana dipandang mempunyai nilai lebih karena menguasai sistem dan pemerintahan. Terbuka potensi menyalahgunakan wewenang dalam perhelatan Pilpres yang melibatkan dirinya. Satu periode jabatan presiden menutup kemungkinan tersebut. Jadi, persoalan periode jabatan presiden bukan sebatas pertimbangan ditambah atau dikurangi. Yang lebih mendasar adalah alasan di balik penambahan atau pengurangan itu. Pemilik gagasan presiden tiga periode perlu ditanya, apa relevansi gagasan itu terhadap demokrasi dan pembangunan bangsa? Penulis adalah Senator DPD RI.

Jokowi-Prabowo 2024 Jadi Puncak Onani Direktur Indo Barometer

by Asyari Usman Medan, FNN - Ada yang berkhayal bahwa pasangan Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 bisa melenyapkan perpecahan politik rakyat. Yang bermimpi itu adalah Direktur Eksekutif lembaga survei Indo Barometer, Muhammad Qadari. Dia langsung mengklaim “copy rights” sebagai deklarator. Qadari menyampaikan klimaks orgasme siang bolongnya itu seperti dikutip oleh CNNIndonesia dan Kompas hari ini, Selasa, 16 Maret 2021. Qadari mungkin berharap Jokowi dan Prabowo akan menelefon dia untuk membeli hak cipta tag-line deklarasi itu. Soal harga, tentu bisa dibayangkan berapa banyak nolnya. Sebab, tag-line ini merupakan "maha karya" Qadari untuk persatuan bangsa. Kita lihat saja perkembangan selanjutnya. Mari kita lihat beberapa hal serius tentang Jokowi-Prabowo 2024 yang diyakini Qadari bisa menghilangkan polarisasi. Namun M. Qadari lupa bahwa sampai hari ini perpecahan yang lebar dan dalam itu masih belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Qadari ini tidak melihat atau pura-pura tak melihat bahwa jika Jokowi-Prabowo bisa menyatukan rakyat, tentu sejak hari pertama Prabowo menekukkan lututnya di depan Jokowi, polarisasi itu langsung lenyap. Kenyataannya, itu tidak terjadi. Keterbelahan tak berubah. Itu artinya, bukan ikut atau tidak ikutnya Prabowo ke kubu Jokowi yang menjadi masalah. Persaoalannya adalah rakyat tidak menerima cara-cara Jokowi mengelola pemerintahan. Rakyat tidak setuju dengan sebagian besar kebijakan Jokowi. Tidak usah dulu kita bicarakan amandemen UUD 1945 pasal 7 yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua (2) periode. Katakanlah perubahan pasal itu bisa dilakukan dalam satu hari. Kemudian Jokowi-Prabowo mendeklarasikan diri dengan dukungan 8 parpol, misalnya. Rakyat akar rumput tidak akan mendukung. Seperti biasa, mereka tentu bisa saja dipaksakan menjadi presiden dan wakil presiden 2024-2029 lewat tangan ketua KPU. Tapi, perpecahan malah akan semakin panjang. Karena, sekali lagi, rakyat tak sudi memberikan mandat kepada Jokowi. Jadi, Mister Qadari, yang menjadi masalah bukan ada-tidaknya Prabowo di kubu Jokowi. Yang menjadi problem adalah keberatan rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi. Kalian ciptakan pun 20 kloningan Prabowo untuk dimasukkan ke kubu Jokowi, tidak akan ada pengaruhnya terhadap polarisasi bangsa ini. Anda, Pak Qadari, masih menyangka bahwa Prabowo punya gerbong pengikut seperti di masa kampanye Pilpres 2019. Wake up, Sir! Mr Prabowo had totally been deserted by most of his supporters. Pak Prabowo itu sudah ditinggal pergi oleh sebagian besar pendukungnya tempohari. Segelintir loyalis masih ada. Tapi, sangat tidak signifikan. So, stop your day light dream, Pak Qadari. Berhentilah bermimpin siang bolong. Tapi, silakan terus beronani dan berorgasme dengan terori Jokowi-Prabowo 2024 akan melenyapkan polarisasi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi Lalu Lihat Kebalikannya

Membantah sama artinya mengiyakan atau menyetujui masa jabatan presiden tiga periode. Begitulah kira-kira bacaan masyarakat saat ini terhadap ucapan dan tindakan Presiden Jokowi. by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - AKHIR-AKHIR Ini ribut perdebatan soal rencana perpanjangan jabatan Presiden Jokowi hingga tiga periode. Melalui akun Youtube Sekretariat Presiden yang diunggah, Senin (15/3/2021), Jokowi menegaskan dirinya tidak berminat menjadi Presiden untuk tiga periode. Ia juga meminta untuk tidak membuat kegaduhan baru karena kini sedang fokus pada penanganan pandemi. "Apalagi yang harus saya sampaikan? Bolak-balik ya sikap saya tidak berubah. jangan membuat kegaduhan baru, kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi," ujar Jokowi. Pernyataan tersebut hampir mirip dengan ucapan Jokowi saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, bulan September 2012. Ketika itu, Jokowi mengaku tidak pernah memikirkan jadi calon Presiden (Capres). "Copras-capres, copras-capres. Gak mikir. Mikir banjir, mikir macet saja pusing," ujar Jokowi kepada para wartawan ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Nah, sekarang pernyataan yang hampir sama terulang kembali terkait dengan jabatan Presiden tiga periode. Menurut para netizen di media sosial, untuk membuktikan pernyataan Jokowi cukup dengarkan pernyataannya kemudian lihat kebalikannya. Apa yang dikatakannya terbalik dengan apa yang dilakukannya alias tidak sinkron antara pernyataan dengan perbuatan. Antara janji-janjinya dengan realitanya. Misalnya, dalam kampanye Pilpres 2014 berjanji untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi 7 persen per tàhun, tapi kenyataannya hanya mampu tumbuh sekitar 5 persen. Lalu dia juga berjanji untuk tidak melakukan impor kebutuhan pangan, sekarang malah pemerintah merencanakan untuk mengimpor 1.000.000 ton beras. Padahal, para petani sekarang sedang melakukan panen raya. Masih banyak janji-janji Jokowi lainnya yang kalau diurut satu per satu hanya akan menyesakkan dada saja. Ruwet bos. Oleh karena itu, sekarang masyarakat umumnya sudah apatis dan tidak peduli lagi dengan apa yang sedang dan akan dilakukan pemerintah karena mereka melihat banyak inkonsistensi dari pernyataan dan langkah yang dilakukan pemimpinnya dalam hal ini Jokowi sebagai Presiden RI. Apalagi saat ini, pemimpin dan para elite partai politik juga asyik berebut kepentingan mereka masing-masing. Sedangkan masyarakat berkutat dengan berbagai permasalahan hidup mereka sehari-hari mulai dari kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga naiknya biaya pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini terjadi di tengah kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Antara pribumi dan non pribumi. Tidak hanya itu, para taipan bahkan mampu bersekongkol dengan oknum pejabat dan aparat untuk melakukan korupsi uang negara. Jika memperhatikan perdebatan para elite politik dan pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan tentang perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, sesungguhnya komentar mereka sarat dengan kepentingan politik. Saya lebih mengapresiasi komentar dan penilaian yang diungkapkan para netizen di media sosial. Mereka lebih jujur dan objektif dalam menilai kinerja pemerintahan sekarang, khususnya Presiden Jokowi. Untuk membuktikan pernyataan Jokowi, cukup dengarkan kemudian lihat kebalikannya. Tidak berlebihan jika Jokowi dijuluki presiden terbalik. Publik umumnya sudah maklum dan terbiasa dengan berbagai pernyataan presiden yang kerap berbohong. Oleh Karena itu, apa pun bantahan yang disampaikan Jokowi tentang perpanjangan jabatannya sebagai presiden menjadi tiga periode, publik justru meyakini sebaliknya. Membantah sama artinya mengiyakan atau menyetujui masa jabatan presiden tiga periode. Begitulah kira-kira bacaan masyarakat saat ini terhadap ucapan dan tindakan Presiden Jokowi. Betapa tidak, sebelumnya mantan Wali Kota Solo tersebut berhasil membuat sandiwara politik yang memukau sekaligus menipu rakyat Indonesia. Saat menjadi Gubernur DKI, Jokowi selalu mengaku tidak memikirkan urusan capres, meski realitanya dia menyatakan diri siap menjadi capres dari partainya yakni PDIP. Dalih yang disampaikan Jokowi berikutnya, "Saya kan petugas partai, jadi harus tunduk pada putusan partai". Sekarang pun dia menyatakan tidak berminat jadi presiden tiga periode. Akan tetapi, jika pada.akhirnya PDIP memutuskan mengubah UUD 1945 yang isinya memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode, kalimat yang diucapkan Jokowi bisa berubah. Nah, lalu Jokowi mau apa ? Sebelumnya isu tentang jabatan Presiden 3 Periode, diungkapkan tokoh nasional yang juga pendiri Partai Ummat, Amien Rais, yang diunggah melalui kanal berbagai video YouTube, Sabtu (13/3/2021). Amien Rais menyebutkan, akan ada skenario mengubah ketentuan dalam UUD 1945 soal masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Rencana mengubah ketentuan tersebut akan dilakukan dengan menggelar Sidang Istimewa MPR untuk mengubah atau mengamendemen UUD 1945. "Jadi, mereka akan mengambil langkah pertama meminta sidang istimewa MPR yang mungkin 1-2 pasal yang katanya perlu diperbaiki, yang mana saya juga tidak tahu," kata Amien Rais. Menurut Amien, skenario ini muncul karena ada opini publik yang menunjukkan ke arah mana pemerintahan Presiden Jokowi melihat masa depannya. "Kalau ini betul-betul keinginan mereka, maka saya kira kita sudah segera bisa mengatakan ya Innaillaihi Wa Innailaihi Ro'jiun," ujarnya. Isu perpanjangan masa jabatan presiden di era pemerintahan Jokowi bukan saja muncul sekali ini saja. Sebelumnya, pada akhir 2019, isu serupa ramai diperdebatkan soal ini seiring dengan wacana amandemen terbatas UUD 1945. Jadi kalau para pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan mewanti-wanti Amien Rais agar tidak melontarkan pernyataan yang menjurus ke arah fitnah, maka seharusnya mereka juga mendorong Jokowi untuk melaporkan Amien Rais ke polisi. Sebelumnya Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian meminta Amien Rais berhati-hati atas isu perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang ditudingkan kepada pemerintah. Sebelum Jokowi menyampaikan bantahannya, para pejabat di sekitar Istana Kepresidenan kompak membantah Jokowi berkeinginan untuk menjabat presiden selama tiga periode. Juru bicara Kepresidenan Fadjroel Rahman di akun Instagramnya menyebutkan Presiden @Jokowi tegak lurus UUD 1945, masa jabatan presiden dua periode. Ingin Mencari Muka Hal senada disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD. "Presiden Jokowi tak setuju adanya amendemen lagi," ungkap Mahfud melalui akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, Senin (15/3). Presiden Jokowi, ujar Mahfud, tidak setuju terhadap rencana amendemen kembali UUD1945. Mengutip apa yang dikatakan Jokowi kepada Mahfud, ada tiga kemungkinan jika ada pihak yang menghendaki Jokowi menjadi presiden tiga periode. "Satu, ingin menjerumuskan. Dua, ingin menampar muka. Tiga, ingin mencari muka. Kita konsisten saja, batasi jabatan presiden dua periode," jelas Mahfud. Nah, ternyata Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid secara pribadi mengaku mendukung wacana penambahan masa jabatan presiden Indonesia hingga tiga periode. Padahal, UUD 1945 mengatur masa jabatan presiden hanya boleh dua periode. "Secara pribadi saya setuju adanya wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode sepanjang atas dasar kehendak rakyat yang tercermin dari fraksi dan kelompok DPD," kata Jazilul dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Minggu (14/3) malam. Jika mengacu pada kriteria yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, apakah pernyataan Wakil Ketua Umum PKB ini termasuk kedalam orang yang hendak menjerumuskan, menampar muka atau mencari muka kepada Jokowi ? Silahkan disimpulkan sendiri. Yang jelas kita semua mengetahui, PKB bagian dari partai pendukung pemerintah. *** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kader PDI-P Samosir Melawan Megawati Soekarnoputri

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - DI tengah kisruh yang terjadi di tubuh Partai Demokrat, ternyata juga ada konflik di tubuh PDI-P. Hanya saja pemberitaannya tidak riuh seperti kudeta yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jend (Purn) TNI Moeldoko terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Seperti diberitakan portal Kompas tanggal10 Maret 2021, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri digugat oleh mantan kader partai banteng ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu dilayangkan oleh Rismawati Simarmata yang belum lama ini dipecat dari PDI-P. Namanya ada kemiripan dengan Tri Rismaharani, mantan Walikota Surabaya yang sekarang menjadi Menteri Sosial. Sama-sama bernama Risma, keduanya juga kader PDIP, tetapi berbeda peran dan posisi. Rismawati Simarmata ini berani menggugat Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri setelah dirinya dipecat dari Partai Banteng Moncong Putih itu. Selain Megawati, gugatan tersebut juga ditujukan kepada Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, Ketua DPD PDI-P Sumatera Utara Djarot Saiful Hidayat, dan Ketua DPC PDI-P Samosir Sorta Ertaty Siahaan. Dalam petitum gugatannya, Rismawati meminta majelis hakim membatalkan pemecatannya, baik sebagai kader PDI-P maupun sebagai anggota DPRD Kabupaten Samosir. Ketua DPC PDI-P Samosir Sorta Siahaan menyebutkan, pemecatan itu karena Rismawati mendukung calon kepala daerah di luar PDI-P pada Pilkada 2020. Pemecatan terhadap kader PDIP Rismawati menggambarkan aturan di organisasi partai tersebut bersifat feodal dan otoriter. Gugatan yang diajukan kader PDIP Samosir tersebut, menunjukkan bahwa penerapan aturan di internal PDI-P itu dilakukan secara sewenang-wenang. Sehingga wajar kalau kemudian Rismawati menggugat Megawati Soekarnoputri selaku pimpinan tertinggi di PDIP. Dia mengajukan gugatan ke pengadilan karena diyakini Rismawati memiliki argumentasi hukum yang kuat. Saya mengapreasiasi keberanian Rismawati yang berani melayangkan gugatan kepada Megawati, sebagai pimpinan partai penguasa saat ini. Di atas kertas, memang kecil kemungkinan bagi kader PDI-P Samosir tersebut untuk bisa memenangkan gugatan di PN Jakarta Pusat. Namun, di tengah kultur feodal di tubuh PDI-P serta kuatnya kekuatan oligarki partai saat ini, keberanian Risma menggugat Megawati perlu diacungi jempol. Bagi kader partai seperti Rismawati Simarmata pemecatan dirinya dari keanggotaan partai boleh jadi merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat dirinya. Oleh karena itu, gugatan yang diajukan Risma kepada para petinggi PDIP merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap perlakuan sewenang-wenang di tubuh partai tersebut. Jangankan kasus pemecatan kader partai, ada kasus penyalahgunaan organisasi parpol yang dilakukan pimpinan tertinggi partai bisa kok digugat ke pengadilan. Ini menunjukkan bahwa parpol bukan milik perseorangan atau miliki keturunan dari tokoh tertentu. Dua tàhun lalu, salah seorang kader Partai NasDem, Kisman Latumakulita, menggugat keabsahan Surya Paloh sebagai Ketua Umum Nasdem . Kisman menyebut masa jabatan Surya Paloh seharusnya berakhir pada 6 Maret 2018. "Mengguggat keabsahan Pak Surya Paloh sebagai ketum. Periodisasi jabatan ketum untuk 5 tahun," kata Kisman setelah mendaftarkan gugatan perdata selisih internal parpol ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 6 Februari 2019. Kisman berpatokan pada Surat Keputusan Kemenkum HAM tentang pengesahan kepengurusan Nasdem yang diteken MenkumHAM saat itu Amir Syamsuddin pada 6 Maret 2013. Sedangkan pada Pasal 21 Anggaran Dasar Nasdem, diatur periodisasi kepengurusan selama 5 tahun. Kasus tersebut sempat disidangkan di PN Jakpus. Namun dalam sidang tersebut majelis hakim menolak gugatan yang diajukan kader Partai Nasdem, Kisman Latumakulita. Kemudian Kisman mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di MA pun gugatan yang diajukan Kisman ditolak. Meski gugatan tersebut ditolak lembaga peradilan, namun kader partai seperti Kisman Latumakulita telah menggunakan hak politiknya secara tepat dan proporsional. Di alam demokrasi yang berlaku di Indonesia sekarang ini, sah-sah saja seorang kader partai menggugat pimpinan partai yang dianggap menyimpang dari ketentuan hukum dan aturan organisasi. Jangankan kasus pemecatan seperti yang dialami Rismawati Simarmata dari keanggotaan PDIP, pimpinan tertinggi partai yang melampaui masa jabatannya seperti pada kasus Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, bisa dipersoalkan dan digugat secara hukum oleh kader partainya. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus diatas, dalam sistem demokrasi pimpinan parpol tidak bisa bertindak seenaknya sendiri. Mereka harus taat dan patuh pada ketentuan internal organisasi (AD/ART Parpol) serta mematuhi aturan hukum yang ada. Semua warga negara Indonesia memang memiliki hak dan kedudukan yang sama didepan hukum, namun realita hukum menunjukkan pada kita bahwa putusan hukum kerap lebih berpihak pada kepentingan penguasa dan pemilik uang. Apakah Rismawati Simarmata bisa memenangkan gugatannya di PN Jakarta Pusat ? Kita lihat saja nanti. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Oligarki Cukongi Capres Demokratis (Bagian-2)

by Dr. Margarito Kamis SH. M.hum Ternate FNN - Pada masa John Tyler naik menjadi Presiden inilah Amerika memiliki Bank Charter Act 1844. UU ini diidentifikasi Thomas Tookeim, sebagai pioner lender of the last resort. Uniknya, keadaan keuangan tak juga kunjung membaik. Tahun 1857 terjadi lagi krisis keuangan besar. Utara-Selatan memanas oleh isu slavery. Situasi itu diidentifikasi Coleman, sejarahwan top ini sebagai ciptaan oligarki. Dengan mitra Inggrisnya, oligarki ini merancang perang saudara, Utara-Selatan di Amerika. Pilpres pun tiba. Partai Republik menemukan Abraham Lincoln sebagai salah satu kandidatnya. Lincoln menang pilpres, dan menemukan kenyataan, perang memerlukan uang. Sementara kas negara defisit besar-besaran. William P. Chase, kandidat republik yang gagal, diangkat Lincoln menjadi Menteri Keuangan . Kelak Chase juga dinominasikan Lincoln menjadi Ketua Mahkamah Agung. Dikenal sebagai banker dimasa lalu, Chase diperintah Lincoln mengekstensifikasi pajak. Tetapi Chase bergerak ke arah lain, meminjam uang dari bank-bank. Sayang tidak tercapai. Mimpi oligarki segera terealisasi. Pada tahun 1862 Lincoln membutuhkan tanda tangannya untuk Banking Act. Disusul setahun kemudian dengan National Banking Act 1863. Terlembagakanlah prinsip bank sentral. Pada tahun 1863 ini J.P Morgan telah memainkan peran menentukan, mengusahakan pengakuan korporasi berbentuk “trust” sebagai subyek hukum. Tahun 1873 terjadi lagi kepanikan keuangan. Dikenal dengan Black Friday Panic. Berhentikah sampai di situ? Tahun 1890 krisis keuangan terjadi lagi. Krisis terakhir ini mendekatkan Mark Hannah, salah satu financial oligarchy mendekat ke William McKinley. Setelah menjalin persahatan yang hangat, McKinley menjadi Capres tahun 1896 dari Partai Republik. Pilpres ini benar-benar menjadi pilpres pertama para oligarki keuangan mencukongi capres. Berada di barisan Hannah adalah Andrew Carnige, Henry Clay Frick, Philander Knox, George Pulman, Philipe Aermour (orangnya J.P Morgan), termasuk dari Standar Oil yang menjadi holdingnya Rockefeller. Mereka membiayai McKinley. Total uang cukong-cukong ini ke McKinley sebesar U$ 3,5 juta. Jauh lebih besar dari William Jenning Bryan, capres dari Partai Demokrat, yang hanya punya uang sebesar U$ 400 ribu dolar. Pola penciptaan kepanikan terus digunakan. Tahun 1907 terjadi lagi krisis keuangan. Cukong-cukong ini beraksi perlahan-lahan. Pilpres tahun 1908 dibiarkan dimenangkan oleh William Howatrd Taft, Profesor Tata Negara. Dikenal sanga anti dengan yang namanya Bank sentral. Tetapi Howatrd Taft tidak dapat berkelit dari rencana kelompok ini. Presiden Taft harus membubuhkan tanda tangannya pada National Currency Act 1908. Undang-undang ini memerintahkan Taft membentuk National Currency Commitee. Komita ini dipimpin oleh John Aldrcih, Senator Republik, bersama Paul Warburg dan lainnya, Komite ini dibiayai negara melakukan studi ke Bank sentral di Eropa. Eugene Mullin dalam bukunya Secret The Federal Reserve, menulis kembali dari Eropa, mereka tak melapor ke pemerintah. Mereka malah ke Jackyl Island. Nah, di Jackyl Island inilah mereka menyiapkan deteil langkah pembentukan The Federal Reserve Bank. Ini dikenal dengan Aldrich Plan. Memasuki pilpres tahun 1912, Theodore Rosevelt, mantan presiden digalang mengikuti konvensi Partai Republik, melawan Presiden Howatrd Taft. Tedy Rosevelt kalah. Tetapi dia tetap didorong maju dengan partai progresif. Praktis Partai Republik punya dua kandidat ketika itu. Sementara Kelompok Wall Street (Bursa Saham New York) ini menyiapkan Woodrow Wilson melalui Partai Demokrat. Mereka membiayai Wilson. Kenyataannya Wilson menang pilpres. Tindakan otoritatif pertama Wilson adalah menandatangani The Federal Reserve. Top markotop Wilson. Setelah Wilson masuk White Hose, keadaan ekonomi tidak juga membaik. Lalu perang dunia pertama pun tiba. Oligarki menarik Amerika masuk dalam perang ini. Dalam pemerintahan Wilson, Paul Warburg diangkat jadi direktur Board of War Industry. Board inilah yang dikenal sebagai executive agency. Efek ekonomi dari perang harus ditangani presiden demi persiden sesudah itu hingga pilpres 1928. Menarik, Anthony Sutton, sejarawan Inggris ini menemukan besaran uang cukong oligarki ini pada pemilu 1928 untuk Herbert Hoover. Sutton menulis, Melon Family (Melon National Bank) sebesar U$ 50.000. Rockefeler family (standar oil) sebesar U$ 50.000. Guggenheim Family (Copper Smelting) sebesar U$ 75.000. Eugene Meyer (Federal Reserve Bank) sebesar U$ 25.000. William Nelson Cromwel (Wall Street Attorney) sebesar U$ 25.000. Otto Khan (Equitable Trust Company) U$ 25.000. Mortimur Schif (Banker) sebesar $25.000. Total dana yang dikumpulkan para oligarki untuk Hoover U$ 275. 000. Kesal dengan Hoover, yang dianggap terlalu lambat, kelompok ini mengubah haluannya. Mereka mengalihkan dukungannya ke FDR pada pemilu 1933. Sutton menulis, Herbert Lehman and Lehman Brothers memberi uang kepada FDR sebesar U$ 135.000 Jacob J Roscob dari (Dupont and General Motor) sebesar U$ 110.000. Thomas S. Riyan (Presiden Bankers & Mortage Corp. Huston ) sebesar U$ 75.000. Harry P. Whitney (Garanty Trust) sebesar U$ 50.000. Piere S. Dupont (Dupont Company, General Motor) sebesar U$ 50.000. Bernard Baruch (Brodway) U$ 37.590. Robert Sterling Clark (Singgre Sewing Machine Co) sebesar U$ 35.000. John D. Riyan (National City Bank) U$ 27.000. William H. Woodin (General Motor) sebesar U$ 25.000. Itulah sekelumit wajah oligarki pada pilpres yang dibilang demokratis itu. Pilpres demokratis terlihat jelas sebagai wajah asli mainan oligarki. Itu sebabnya tampilan tata negara Amerika pada periode ini disebut sebagai state corporatism. Seluruh kepentingan, tidak hanya perbankan, tetapi korporasi terakomodasi penuh pada pemerintahan Franklin Delano Roseveltr (FDR). Menariknya demokrasi memungkinkan FDR berkelit dengan pernyataan “Welfare constitution” berdampingan dengan “social constitution citizenship” pada pemerintahannya. Sebagian ahli hukum tata negara malah menyebut periode FDR sebagai peralihan radikal dari classical liberalism ke modern liberalism, nama lain dari “welfare state”. Itulah canggihnya cukong-cukong oligarkis bekerja di pilpres yang demokratis tersebut. Sayang sekali, demokrasi Indonesia tidak mencatat besaran uang yang digunakan oligarki dalam pilpres dan pilkada. Malah tak boleh dibicarakan. Sial, demokrasi menyediakan tempat terhpormat untuk segala kepicikan, keculasan, ketamakan dan kebusukan. (habis). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Moeldoko Sebaiknya Menyerahlah !

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Prahara Patia Demokrat merupakan pengejawantahan dari kekuasaan yang korup "corrupt absolutely". Korupsi yang bukan disebabkan oleh kekurangan. Tetapi berbasis keserakahan. Keserakahan politik dari Istana. Semua parpol mesti dikuasai dan di bawah kendali istana. Istana secara standar membantah keterlibatan dalam prahara Partai Demokrat. Apalagi sampai menjadi pengatur agenda segala. Itu urusan internal partai, katanya. Namun publik menganggap hal itu adalah cara instana ngeles politik. Rasanya tidak mungkin Moeldoko bermain sembunyi-sembunyi karena sebagai seorang prajurit ia biasa menjalankan perintah. Moeldoko tidak sedang berkator di Ambon Maluku, Papua, Balipapan Kalimantan Timur atau Medan Sumatera Utara. Namun Moeldoko itu bernator di dalam pagar dan halaman istana negara. Sementara istana negara menjadi simbol dan kebesaran Presiden Jokowi melaksanakan tugas-tugas kenegaraan sehari-hari. Jarak kantor Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) hanya sekitar 100-200 meter dari kantor presiden. Bantahan dari istana muncul setelah kontelasi politik agak berbalik. Misi kudeta yang nyaris gagal. Moeldoko bukan hanya berhadapan dengan anak-bapak Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) saja. Tetapi Moeldoko dan istana juga berhadapan dengan opini publik yang mengecam pembegalan politik dan perampokan politik yang dilakukan Moeldoko. Kenyataan ini diperkuat oleh peristiwa sebelumnya, dimana Ketum Partai Demokrat AHY pernah membuat surat kepada Presiden Jokowi untuk mempertanyakan gerakan Moeldoko yang terendus. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa. Hingga kini Moeldoko pun belum mendapat teguran apalagi dipecat. Istana diduga kuat sangat tahu langkah pembegalan dan perampokan politik yang dilakukan Moeldoko terhadap Partai Demokrat. Hanya apakah Mooldoko juga sebagai inisiator atau bukan? Itu persoalan lain. Namun orang kuat di belakang Moeldoko tentu saja "inner circle" Istana. Mereka adalah kelompok oligarkhis yang bermain di ruang intelijen dengan semangat pecah belah dan kuasai. Para taipan adalah elemen strategis yang siap "all out" untuk membiayai gerakan ini. Hanya saja indikasi kesuksesan Moeldoko dan inner circle istana mulai terganggu karena rakyat ikut berteriak. Akibatnya, dana yang sebelumnya telah dijanjikan oleh para taipan busuk, licik, picik dan rakus seret keluar. Terbukti peserta Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara menjerit atas ingkar janji pembayaran. Peserta yang semula dijanjikan Rp. 100 juta, hanya bisa diberikan Rp. 10 juta setiap delegasi. Moeldoko hanya alat permainan yang nampaknya juga senang berjudi politik. Berharap menang juga, siapa tahu hoki, bisa ikut nyapres. Tawaran kepada Jenderal Gatot yang terkuak menunjukkan gerakan kudeta memiliki misi dan perencana. Masif dan terstruktur. Perubahan kepemimpinan 2024 adalah keniscayaan. Taipan tetap ingin berkuasa untuk Presiden ke depan itu Petruk atau Gareng? Single Party System adalah canangan untuk membangun model pemerintahan Orde Lama (Orla) yang ditentang oleh rakyat Indonesia. Keinginan untuk menerapkan demokrasi terpimpin, penghancuran kekuatan agama, bersahabat dengan Cina Komunis, serta pengendalian Partai Politik. Dahulu dibentuk Front Nasional berbasis Nasakom dukungan PKI, kini "Koalisi Nasional", dengan partai-partai politik yang satu arah sebagai mendukung Pemerintahan Jokowi. Disini obsesi seperti inilah, makna bahwa Partai Demokrat harus dilumpuhkan bahkan direbut. Seperti peristiwa G 30 S PKI, percobaan kudeta melalui KLB abal-abal nampak dibayang-bayang kegagalan. SBY mengambil alih perlawanan perang dan melakukan counter attack. Istana mulai blingsatan. Pasukan Moeldoko kocar-kacir, petinggi mulai membelot, prajurit teriak mengaku dibayar, tetapi takut dipecat. Moeldoko mulai diam, dan tak mampu bermanuver. Publik tetap keras ikut mendesak Presiden untuk mencopot Moeldoko dari KSP, agar ada efek jera. Jangan lagi ada model gerakan pembegalan dan perampokan politik yang memalukan bangsa dan negara seperti ini. Sangat jijik dan primitif untuk dilakukan oleh seorang mantan Panglima TNI. Jelas-jelas mempermalukan institusi TNI yang pernah membesarkannya. Apalagi TNI sangat menjunjung tinggi etika dan menghormati sportivitas dalam berdemokrasi. Jika partai politik bisa dibegal, ormas dibubarkan, tokoh politik dipenjarakan, maka lampu merah untuk demokrasi telah menyala. Demokrasi Terpimpin mulai merayap dan menguat. Moeldoko tentu semakin berat, harapan sukses menipis. Gerak gerik terpantau dan mudah untuk dihajar lawan. Daripada babak belur tak keruan, sebaiknya Moeldoko give up, menyerahlah...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pelajaran dari Kemelut Partai Demokrat

by Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, maka Gubernur Mesir yang dipimpin Amr bin Ash menempati sebuah istana yang megah. Ironisnya, persis di depannya terdapat sebuah gubuk reyot yang dimiliki oleh seorang lelaki tua dan beragama Yahudi. Karena itu, dengan kekuasaannya sebagai Gubernur, Amr bin Ash berniat menggusur gubuk tersebut dan rencananya akan dibangun sebuah masjid agar sebanding dengan istananya. Namun pemilik lahan menolak digusur. Sekalipun lahan tersebut telah diganti dengan harga 5 kali lipat. Sebagai penguasa Amr bin Ash, akhirnya secara sepihak menggusur gubuk tersebut. Tidak menerima putusan dan merasa dirugikan, membuat dirinya memutuskan untuk mengadu ke Khalifah Umar bin Khattab di Madinah, meski dengan perjalanan dan waktu yang panjang untuk mencapainya. Ketika sampai di Madinah, lelaki Yahudi ini sedikit ketakutan karena wibawa khalifah Umar. Dirinya menceritakan betapa berat waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan untuk membangun dan memiliki rumah meski bentuknya sekedar gubuk. Namun karena bertahan tidak dijual, maka gubugnya digusur oleh Gubernur. Amr bin Ash. Mendengar keluhan ini, Umar bin Khattab marah dan meminta lelaki tua itu untuk mengambil tulang bekas dan huruf alif di tengah-tengahnya. Dan meminta kepada lelaki tua untuk menyerahkan kepada Amr bin Ash. Sesampainya di Mesir, dirinya bertemu dengan Gubernur Amir Bin Ash dan langsung menyampaikan tulang yang berasal dari Umar bin Khattab. Begitu menerima tulang tersebut, Gubernur Mesir terkejut dan langsung meminta stafnya untuk merobohkan masjid yang sudah hampir berdiri. Hanya saja lelaki tua ini mencegahnya dan bertanya kepada Amir bin Ash “Sebentar tuan, mengapa engkau ingin merobohkan masjid itu gara-gara sepotong tulang" Gubernur Amir bin Ash menjawab “tulang ini merupakan surat dari Khalifah Umar yang mengingatkan agar aku selalu ingat bahwa betapa pun tingginya pangkat dan kekuasaan, suatu saat nanti pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindak adillah kepada setiap orang seperti huruf alif yang lurus, Sebab, jika engkau tidak bertindak lurus, maka kutebas dan kupalang batang lehermu di tengah-tengah badanmu” Kudeta Partai Demokrat Cerita di atas menunjukkan betapa pentingnya seorang pemimpin mendengar keluhan atau masalah rakyatnya. Terlebih jika masalah yang ada terkait dengan kelangsungan kehidupan. Pengambilan hak seseorang, sekalipun untuk kepentingan umum dan pembangunan jelas melanggar dan merugikan aturan yang ada. Dan di negara Indonesia, kebiasaan melanggar ketentuan dan bahkan aturan yang ditetapkan, acapkali sudah menjadi kebiasaan di lingkungan pemerintah. Tradisi ini juga dapat terlihat dari kasus pengambilalihan kepemimpinan di Partai Demokrat melalui KLB yang diselenggarakan di Deli Serdang tanggal 5 Maret 2021. Banyak pihak menilai bahwa KLB ini sebagai anomali politik di tengah demokrasi. Selain dipandang sangat kurang lazim mengingat penyelenggaraannya jelas tidak bersandar pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Termasuk juga melibatkan pihak luar (pejabat negara) yang akhirnya didaulat sebagai ketua umum. Sementara pada sisi lain, kubu Moeldoko menyatakan bahwa Konggres Luar Biasa (KLB) adalah sah dan konstitusional. Bahkan menyebut kubu AHY adalah cacat karena posisi Ketua Umum yang memiliki kekuasaan penuh sebagai alasannya. Sementara keberadaan pengurus yang lain seperti Sekjen tak lebih hanya bendera (pembantu). Lebih jauh, kubu Moeldoko juga menyebut bahwa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai juga sangat berlebihan karena memiliki kekuasaan yang menentukan calon Ketua Umum dan waktu pelaksanaan konggres maupun konggres luar biasa. Terlepas dari alasan yang disampaikan oleh penyelenggara KLB di Deli Serdang, yang jelas menunjukkan bahwa apa yang dilakukan dilandasi oleh niat dan kepentingan buruk dan sulit diterima. Bukan saja menyalahi ketentuan yang tertuang dalam AD/ART Partai, melainkan juga ada unsur politik di baliknya yaitu mengambil alih partai untuk memperkuat kekuasaan. Karena itu, wajar saja, jika AHY (Ketua Umum Demokrat) menyebut bahwa KLB ini adalah illegal karena tidak disetujui, didukung dan dihadiri dua per tiga dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan setengah dari jumlah Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Peristiwa KLB Partai Demokrat memang ditengarai untuk memecah partai dengan membelah kekuatannya menjadi dua. Dimana pemerintah selaku penguasa yang kelak memutuskan siapa yang dianggap sah. Sehingga dapat mempengaruhi integritas dan kekuatan partai di masyarakat pemilihnya. Bisa jadi kondisi keterbelahan ini akan dibiarkan dan akhirnya berpengaruh terhadap eksistensi partai hingga pemilu 2024. Mengingat pola politik kekuasaan yang membelah partai sudah lazim di Indonesia. Meski sesungguhnya praktek semacam ini dipandang menjadi bencana besar dalam demokrasi akibat cara berpolitik yang tidak sehat. Karena itu, tuntutan kepada pemerintah agar bertindak jujur dan adil serta tidak memihak menjadi penting dalam penyelesaian partai Demokrat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam menangani kasus penggusuran lahan milik orang Yahudi oleh Gubernur Mesir kala itu. Jika tidak, tragis sekali demokrasi Indonesia. Penulis adalah peneliti LP3ES

Oligarki Cukongi Capres Produk Demokratis (Bagian-1)

by Dr. Margarito Kamis SH. M.hum Ternate FNN- Didunianya, para oligarkis mungkin tertawa terbahak-bahak dengan ekspresi merendahkan setiap kali mendengar orang-orang bicara capres ini dan capres itu. Capres ini tinggi elektabilitasnya, dan capres itu rendah elektabilitasnya, boleh jadi merupakan lelucon paling murah untuk kalangan ini. Boleh jadi itu mainan oligarki juga. Sebagai cukong capres ini, oligarki memang memiliki alasan untuk menertawakannya. Tidak ada capres yang bisa keliling negerinya begitu saja. Pakai pesawat dan mobil, itu semua pake duit besar. Tidak bisa pakai daun cengkeh.Pemilihan walikota di daerah yang luasnya tidak lebih dari 45 Km, sekelas Kota Ternate saja harus pakai duit. Bagaimana mungkin keliling satu negara sebesar Amerika, apalagi Indonesia tidak pakai duit? Tak masuk akal. Selalu indah bagi filosof, yang suka merintih meminta ini dan itu atau harus begini dan begitu menurut timbangan etis. Tidak salah. Tetapi kenyataan terus bergerak menyangkalnya. Disana-sini disetiap sudut kenyataan tersedia begitu banyak argumen, yang dalam kenyataannya tidak selalu mampu disangggah. Uang kaum oligarkis telah bicara sejak pertama kali di demokrasi dipraktekan direpublik Romawi. Itu sebabnya Aristoteles, filosof kawakan melihat demokrasi sebagai barang busuk. Sama busuknya dengan tirani dan oligarki. Membeli suara, itu praktek pemilihan demokratyis Republik Romawi. Itu ditakutkan Cicero, dan menjadi sebab Cicero menemui Vigulus, senator, memintanya memprakarsai pembuatan UU yang melarang praktek ini. Vigulus menyambutnya. Terbentuklah Lex Vigula, lex yang menggunakan namanya. Berabad-abad kemudian oligarki muncul dengan suara yang sama, tetapi berbeda tampilannya di Inggris. Praktek Inggris ini terlihat menjadi pola standar oligarki mengarahkan pemerintahan. Polanya? Ciptakan krisis politik atau ekonomi, lalu kendalikan pemerintahan demi pemerintahan sesudahnya. Pertentangan bercorak agama antara Raja Charles II dengan Parlemen benar-benar melelahkan Inggris. Itu dimanfaatkan, dalam makna diperparah kaum oligarki ini. Hasilnya, raja Charles II tersingkir dari tahtanya. Bahkan harus meninggalkan Inggris. Inilah Glorius Revolution 1688. Tahu tahta kerajaan kosong, Parlemen meminta William, suaminya Marry, sepupu raja Charles, yang bermukim di Belanda kembali ke Inggris untuk dinobatkan. Begitu tiba di Inggris, keduanya menemukan kenyataan kas kerajaan minus, untuk tak mengatakan tak ada. Oligarki yang mengetahui keadaan ini, muncul bak pahlawan. Mereka menyediakan uang untuk dipinjam oleh kerajaan. Seperti biasa, mereka menyertakan satu syarat kecil. Syaratnya, parlemen memberi mereka hak menampung pendapatan dari bea. Walau ada yang tak setuju, namun kenyataannya tahun 1694 Parlemen membuat UU. Dikenal dengan Duane Act 1694. Ini cikal bakal Bank of England. Kelak setelah Amschel Meiyer Roschild naik ke gelanggang dunia keuangan, dia dengan caranya berhasil mengonsolidasi Bank of England sebagai British Central Bank. Dikontrol sepenuhnya oleh dia. Ini terjadi tahun 1815, seiring berakhirnya perang Waterloo. Itu cara Inggris. Bagaimana Amerika, negeri pengeksport demokrasi yang diarsiteki oleh Presiden Wodrow Wilson itu? Tidak ada data kongkrit yang menunjukan praktek ini beroperasi sejak George Washington. Sama sekali tidak ada data itu. Mari melihat sisi tak langsungnya pada periode pertama Amerika setelah berubah dari Konfederasi ke Serikat. Alexander Hamilton, menteri keuangan sekaligus arsitek doktrin “implied power” presiden, yang jadi rujukan ilmuan tata negara, untuk beberapa alasan terlihat sebagai bagian dari oligarki. Hamilton dikenal sebagai pendiri Bank of New York 1784. Pria dengan pengetahuan teknis perbankan yang hanya bisa disaingi Robert Morris, pemimpin Bank of Nort Amerika, menjadi figur sentral dalam urusan ini. Setelah Morris terlempar dari pilihan Washington, karena alasan politik, Hamilton diambil Washington jadi Menkeu pada Februari 1790. Diakui Marta Washington (istri George Washington) sebagai pria yang punya hubungan sangat dekat dengan suaminya. Tak salah pilih, Hamilton segera merealisasikan Hamilton Plan, National Bank. Pria diidentifikasi Bradley T. Timmit melalui disertasinya “Hamilton and American National Bank” sebagai instrumental in constructing an American/British trading alliance. Sebagai penulis hampir semua pidato George Washington, langkah Hamilton tak terhentikan. Sukses, tanggal 4 Juli 1791, Amerika memiliki First National American Bank. Bank ini hanya berusia 20 Tahun. Ketika berakhir, kelompok financial oligarchi membuat perang pada tahunn 1812. Perang ini menempatkan pemerintah pada situasi harus mendapatkan uang. Banklah yang paling mungkin menyediakannya. Tahun 1816, Presiden James Madison, penantang Hamilton plan harus menandatangani UU yang memberi legalitas operasi bank inin hingga tahun 1836. Seperti biasa, sebelum benar-benar berakhir, Amerika telah jatuh lagi ke dalam krisis keuangan tanun 1825. Niocolas Bidle, Prersiden Unitesd Stat Bank, muncul dengan gagasan bank sebagai lender of the last resort. Ditengah proses, oligarki menemukan kenyataan Amerika telah berada dalam kepresidenan Presiden Andrew Jackson. Sebagai pengagum berat Thomas Jefferson dan Madison, Jackson menolak recharter bank ini. Bidle yang bersahabat dengan Presiden James Monro, terdepan menantang Jackson. Hebatnya Bidle tidak sendirian. Dia ditemani William P. Chase, kandidat Capres Republik pada pilpres tahun 1860, yang gagal ini. Tahun-tahun kepresidenan Jackson dikenal sebagai Bank War. Jackson tak menyerah. Jackson mengidentikan Bank sebagai pencipta kepanikan keuangan -krisis keuangan. Paper money bankin diidentifikasi Jackson sebagai creat a great financial oligarchy of bankers. Jackson akhirnya tempatkan bank dibawah Kementerian Keuangan, dan diatur dalam Conage Act 1834. Ini luar biasa. Mengapa? Thomkas Jefferson, James Madison dan Edmund Randolp, penantang terkuat Hamilton pada perdebatan pembentukan Firts American Bank tahun 1790 gagal dalam urusan ini. Membaikah keadaan keuangan setelah itu? Tidak. Thomas Ewing menggambarkan keadaan Amerika hampir bangkrut. Ini harus dibereskan oleh Presiden William Henry Horison. Sayang Horison terlalu cepat meninggal dunia. Wakilnya, John Tyuler, naik menggantikannya. bersambung. Penulis adalah Pengajar HTN Univesitas Khairun Ternate.

“Tumbal Politik” Dibalik Kisruh Partai Demokrat

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Setelah melihat perkembangan beberapa hari terakhir, penulis cenderung menyebut kisruh Partai Demokrat (PD) sebagai kompetisi atau pertarungan sengit antara Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan lingkaran istana untuk berebut pengaruh kepada tuannya masing-masing. Lalu faksi Anas Urbaningrum yang dimainkan. Asumsi bahwa adanya kompetisi itu makin nyata terlihat. Kongres tidak berizin. Namun tidak juga dibubarkan oleh polisi. Katanya sudah dipulihkan keanggotannya di Kongres Luar Biasa (KLB), tetapi masih juga menggugat pemecatan ke pengadilan. Artinya mereka sendiri yang tidak yakin kalau KLB di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara itu sah. Karena tidak percaya dengan keabsaahan kongres, makanya mereka yang menjadi penyelenggara KLB perlu menggugat ke pengadilan. Belum lagi, banyaknya peserta KLB yang bukan pemilik suara, sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Apalagi Ketua Umum yang ditunjuk oleh KLB, yaotu Moeldoko tidak memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) Partai Demokrat. Terlihat kalau Nazaruddin cs hanya dimanfaatkan. Akibatnya, masing-masing pihak yang berkompetisi berusaha mengambil keuntungan politik sesuai dengan kadar kepentingan mereka. Walaupun Moeldoko harus banyak menelan pil pahit untuk dibully. Sepekan ini Moledoko sumbunyi dari publik. Bahkan jadi tumbal politik. Dihujat sana-sini oleh publik. Tampaknya Moeldoko hanya menjalankan perintah. Ada lagi gank politik lain yang sangat berpengaruh di belakang Moeldoko. Skenario kompetisi dikeperkirakan semakin panas. Apalagi jika Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menelikung di tengah jalan. Bila KLB Moeldoko disahkan, maka suhu politik memanas. Partai seteru SBY ikut mengompori dari luar arena. Endingnya adalah kompromi politik. Lingkaran istana mulai melirik SBY untuk join politik pada 2024 nanti. Rumor akhir tahun kemarin kemarin Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)santer diisukan masuk kabinet. Namun gagal karena tidak direstui salah seorang Ketua Umum partai. Bagi Presiden Jokowi, kisruh Partai Demokrat berhasil mengalihkan berbagai isu yang merugikan Pemerintahan Jokowi.Misalnya, cekaknya kantong penerimaan pemerintah, gonjang gajing ekonomi, kasus pembunuhan enam laskar anggota Front Pembela Islam (FPI), kerumunan Jokowi di Maumere, berbagai skandal mega korupsi dan suap pajak, yang katanya ada jejak mantan timses Jokowi. Yang perlu ditelusuri lebih lanjut adalah, saat kisruh Partai Demokrat lagi panas, ada kapal perang milik China komunis masuk perairan Indonesia. Test the water, pangkalan militer China komunis di Indonesia? Sepi pemberitaan. Dengan adanya kisruh Partai Demokrat, maka Presiden Jokowi juga bisa melihat peta koalisi pertai politik yang mendukungnya. Mana partai yang loyalis? Mana juga yang partai yang pragmatis, sehinga yang harus dilepas untuk agenda politik lingkaran istana di tahun 2024. Mana juga hanya numpang untuk bisa eksis sampai dengan Pilpres dan Pileg 2024 nanti. Sedangkan situasi ini bagi SBY, sudah meraih simpati publik. Lagunya seperti 2004 yang lalu. Senang untuk mendapat stigma sebagai orang yang didzalimi. Berharap ada efek elektoral. Bisas membuka jalan menuju kerjasama politik lingkaran istana dengan SBY untuk 2024 nanti. Sebab, Jokowi dan lingkaran terdekatnya di istana telah terkunci oleh PDIP untuk 2024. Terpaksa harus melirik partai lain. Terakhir, bakal terjadi kompromi dua kutub politik. Jokowi yang condong ke China komunis. Sedangkan SBY lebih condong ke Amerika Serikat. Ajang perang tersembunyi antara Amerika Serikat dan China komunis bakaln terjadi di 2024 nanti. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.