POLITIK

Bachtiar Chamsyah Kasihan Sama Jokowi

Bukan hanya rakyat enggan menyematkan panggilan 'pak' pada Jokowi. Akan tetapi, sebutan-sebutan lain yang lebih bernada ejekan. Suatu yang tak pernah terjadi pada kepala-kepala negara sebelumya. by Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - PERJUANGAN Koalisi Aksi Mnyelamatkan Indonesia (KAMI) sungguh tak mudah. Sejak dideklarasikan di Tugu Proklamasi 18 Agustus tahun lalu, kehadiran KAMI langsung dianggap 'musuh negara' oleh pemerintah. Bukan hanya deklarasi-deklarasi di daerah-daerah yang dihalangi, pentolan-pentolan KAMI pun ditangkapi dan diadili. Beberapa di antara mereka adalah Komite Eksekutif KAMI Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat, serta salah satu deklarator KAMI Anton Permana. Total 8 orang ditangkap pada 12-13 Oktober 2020. "Terus terang, reaksi pemerintah yang demikian membuat sebagian dari anggota KAMI mundur teratur. Tapi sebagian besar memilih terus berjalan," kata Bachtiar Chamsyah pada FNN, Jumat (30/4). Bachtiar yang mantan menteri sosial dan politis kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengaku terkadang mereka harus kucing-kucingan dengan aparat untuk suatu yang sebenarnya kegiatan pertemuan yang biasa saja. "Asal deklarasi atau pertemuannya tidak dihadiri Pak Gatot (Gatot Nurmantyo, satu dari tiga presidium KAMI) pasti acaranya lancar. Sebaliknya kalau ada, pasti akan dihalang-halangi. Baik dengan pendemo bayaran atau aparat," ujar Bachtiar lagi. Di lain waktu mereka juga harus selalu siap untuk berpindah-pindah lokasi deklarasi karena ada pihak-pihak yang sengaja melemparkan berita hoax. Misalnya, di tempat yang akan mereka jadikan tempat deklarasi akan ada pembagian sembako atau tabligh akbar yang akan memancing masyarakat untuk datang berkerumun. "Kami pernah berganti lokasi sampai tiga hingga empat kali," katanya dengan nada kegelian. Meski lumayan melelahkan, tapi Bachtiar mengaku justru banyak yang mereka dapatkan dari perjalanan ke berbagai daerah. "Masyarakat resah dan lelah. Tingkat kepercayaan pada pemerintah melorot drastis. Sebagai orang yang pernah sembilan tahun di pemerintahan (jadi Mensos). Ini sangat berbahaya," jelas pria kelahiran Aceh itu. Ia mengaku belum pernah melihat bagaimana tidak hormatnya masyarakat menyebut kepala negaranya seperti saat ini. Bukan hanya rakyat enggan menyematkan panggilan 'pak' pada Jokowi. Akan tetapi, sebutan-sebutan lain yang lebih bernada ejekan. Suatu yang tak pernah terjadi pada kepala-kepala negara sebelumya. "Saya kasihan sama Pak Jokowi. Saya ingin baik saat menjabat atau pun nanti sesudahnya ia tetap dipanggil dengan penuh rasa hormat," ujarnya. Tentu bukan maksud Bachtiar dan KAMI untuk menakut-nakuti. Karena sesungguhnya keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat pada Jokowi dan pemerintah justru sangat gamblang dan terlihat jelas di media sosial yang saat ini menjadi media mainstream alias media arus utama. Media yang amat mempengaruhi banyak orang dan menjadi refleksi keadaan yang tengah terjadi. Pemerintah sendiri saat ini suka tidak suka juga mengakui kalau media sosial adalah media mainstream, terbukti dengan dikeluarkannya dana 'unlimited' bagi buzzer-buzzer yang mereka kerahkan di medsos untuk memuji-muji kinerja Jokowi dan pemerintah. Pujian berbayar yang sangat berbahaya, mengaburkan fakta, dan bisa menggiring ke tepi jurang bencana. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Sebanyak 99 Pendiri Deklarasikan Partai Ummat

Dalam politik, kata Agung, integritas dan kapabiliitas saja tidak cukup. “Namun lebih dari itu, loyalitas kepada partai juga sangat penting. Insya Allah semua kriteria di atas sudah ada pada Mas Ridho. Oleh Tjahya Gunawan Jogjakarta, FNN – SEBANYAK 99 orang pendiri Partai Ummat dari 34 provinsi berkumpul di Yogyakarta mendeklarasikan partai baru yang diinisiasi oleh tokoh reformasi Amien Rais. Sebelum deklarasi, para pendiri menandatangani dokumen pendirian partai di hadapan notaris dan melakukan konsolidasi awal dalam rangka memperkuat jaringan keummatan di seluruh pelosok tanah air. Jaringan keummatan Partai Ummat tidak melulu bersifat politis, tetapi juga melibatkan aspek-aspek ekonomi, sosial dan budaya yang memungkinkan semua elemen bangsa, khususnya kaum Muslimin, merasa memiliki partai baru ini. Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais membacakan deklarasi di hadapan para pendiri yang ditayangkan melalui akun Youtube Amien Rais Official tepat pukul 13.00, Kamis, 29 April 2021, bertepatan dengan 17 Ramadhan 1422 Hijriyah. “Bismillahirrahmanirrahim, saya deklarasikan kelahiran Partai Ummat di persada bumi pertiwi Indonesia yang kita cintai bersama,” kata Amien Rais dengan suara mantap. Deklarasi berbunyi : “Kami Partai Ummat bersama anak bangsa lainnya insyaAllah akan bekerja, berjuang, dan berkorban apa saja untuk melawan kezaliman dan menegakkan keadilan." “Kami sadar bahwa menggerakkan Al-Amru Bil Ma’ruf Wannahyu Anil Munkar yakni memerintahkan tegaknya kebajikan dan memberantas keburukan serta memobilisasi Al-Amru Bil Adli Wannahyu Anil Dzulmi yakni menegakkan keadilan dan melawan kezaliman memerlukan kesabaran, ketekunan, dan ketangguhan." “Kami abdikan seluruh shalat kami, seluruh ibadah kami, kehidupan kami, dan kematian kami, kami persembahkan hanya untuk Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam. Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamiin." “Kami yakin seluruh mekanisme demokrasi kita dan konstitusi kita lebih dari cukup untuk melakukan perbaikan kehidupan nasional, sehingga kita tidak perlu cara-cara ekstra parlementer dan cara-cara ekstra konstitusional.” Deklarasi ditutup Amien Rais dengan takbir tiga kali dan pekik merdeka. Malam harinya pada pukul 20.30 pada hari yang sama film “Harapan Ummat” diyangkan untuk pertama kalinya pada akun Youtube Amien Rais Official. Film ini bercerita mengenai perjuangan melawan kezaliman dan menegakkan keadilan yang diharapkan dapat memantik ghirah umat Islam dalam berjuang. Keesokan harinya, yaitu pada Jumat, 30 April, video deklarasi dari 34 provinsi ditayangkan untuk pertama kalinya pada akun Youtube Partai Ummat Official. “Yang mengharukan dari acara deklarasi dari daerah ini adalah para kader partai urunan untuk membiayai acara mereka masing-masing. Mereka bantingan untuk bikin spanduk, seragam partai, kaos, sampai makanan untuk buka puasa,” kata Wakil Ketua Partai Ummat Agung Mozin. Agung Mozin menambahkan bahwa Partai Ummat mempunyai masa depan di tengah kondisi politik yang tidak menentu saat ini. Ia mengutip hasil survei terakhir yang menunjukkan bahwa tingkat elektabilitas Partai Ummat sudah mencapai 1,5 persen padahal belum dideklarasikan. Padahal, kata Agung, sejumlah partai lama hanya mencapai tingkat elektabilitas dalam hitungan nol koma. Pengakuan Agung bukan tanpa alasan karena sekitar sebulan terakhir media sosial diramaikan dengan kemunculan Partai Ummat. Media sosial depenuhi oleh logo Partai Ummat, artikel analisis, dan pernyataan dukungan dari sebagian kaum Muslimin. Pengurus Partai Kepengurusan Partai Ummat terdiri dari dua bagian yaitu Majelis Syuro dan Dewan Eksekutif. Majelis Syuro menunjuk Dewan Eksekutif atau pelaksana partai untuk menjalankan kebijakan partai. Ketua Majelis Syuro dipegang oleh Amien Rais sendiri dengan sekretaris Ustad Sambo, sementara Ketua Umum dipegang oleh ahli teknologi informasi Ridho Rahmadi yang mendapatkan gelar PhD-nya dari Radboud University, Belanda. Ketua Umum dibantu oleh tiga orang Wakil Ketua yaitu Agung Mozin, Sugeng, dan Chandra Tirta Wijaya. Ketiganya adalah politisi senior yang sudah sangat berpengalaman mengelola partai. Sekretaris Umum Partai Ummat diamanahkan kepada Ahmad Muhajir yang juga politisi senior. Pada satu pertemuan di Hotel Grand Keisha Yogyakarta, Ridho sangat terharu atas penunjukan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Ummat. Karena karirnya selama ini ia fokuskan untuk berkhidmat dalam bidang teknologi informasi. “Tetapi pangggilan mulia untuk berjuang melawan kezaliman dan menegakkan keadilan ini tidak bisa saya tolak,“ kata Ridho. Ridho mendapatkan dua gelar master dalam bidang artificial intelligence (kecerdasan buatan) dari Czech Technical University di Praha, Republik Ceko dan Johannes Kepler University di Austria. Setelah menyelesaikan PhD-nya di Belanda, Ridho sempat menjadi peneliti tamu di Carnegie Mellon University, AS. Ridho aktif mengajar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta sebelum bergabung dengan Partai Ummat. Namun sekarang dia mengundurkan diri untuk memenuhi peraturan yang berlaku. Wakil Ketua Partai Ummat Agung Mozin mengatakan ditunjuknya ahli teknologi informasi Ridho Rahmadi adalah keputusan Majelis Syuro yang sangat tepat karena partai politik sekarang memerlukan kepakaran dalam bidang ini untuk bisa bersaing dengan partai lain. “Kita harapkan Mas Ridho membuatkan kita beberapa aplikasi yang berguna untuk pemenangan Partai Ummat,“ kata Agung. Tidak cuma itu, Agung menambahkan, usia Ridho yang masih milenial merupakan daya tarik tersendiri yang menjadi pertimbangan. “Insya Allah Mas Ridho akan mampu menggaet sesama milenial untuk masuk Partai Ummat. Mereka mempunyai aspirasi, keinginan dan cita-cita yang sama. Mas Ridho sangat pas,“ kata Agung. Dalam politik, kata Agung, integritas dan kapabiliitas saja tidak cukup. “Namun lebih dari itu, loyalitas kepada partai juga sangat penting. Insya Allah semua kriteria di atas sudah ada pada Mas Ridho.” Tokoh Bergabung Di tengah tingginya animo masyarakat dengan kemunculan Partai Ummat, sejumlah tokoh sudah menyatakan diri bergabung dengan partai baru ini. Di antaranya adalah artis Neno Warisman yang selama ini dikenal sebagai aktivis yang banyak memiliki jaringan di seluruh tanah air. Di samping Neno, ada juga MS Kaban, mantan Menteri Kehutanan dan salah satu Ketua Partai Bulan Bintang, dan Buni Yani, korban UU ITE yang mengalami penzaliman dengan tuduhan dan vonis hukum yang tidak dia perbuat. “Partai Ummat adalah harapan saya yang terakhir untuk memperjuangkan dan mendapatkan keadilan,” kata Buni Yani. Wakil Ketua Partai Ummat Agung Mozin sangat optimis bahwa akan semakin banyak tokoh Islam yang bergabung dengan partainya. Agung mengatakan dia sedang menjajaki untuk bersilaturahmi dengan banyak kalangan. “Insya Allah Partai Ummat akan bisa menampung aspirasi saudara-sadara kita ini,“ pungkas Agung. ** Penulis, wartawan Senior FNN.co.id.

Selamat Datang Partai Ummat

by Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Hari Sabtu, Tanggal 24 April 2021, Partai Ummat menyelenggarakan semacam gladi resik dengan mengumpulkan seluruh pengurus dan anggota Dewan Syuro. Acara yang berlangsung dari pagi hingga sore di Hotel Grand Keisia Jogyakarta telah berjalan santai, lancar dan dipenuhi warga yang menjadi simpatisan. Dimana salah satu momentum penting dari acara ini adalah pengambilan gambar (shooting) deklarasi Partai Ummat. Pendirian Partai Ummat nampaknya bukan karena pendirinya yaitu Dr. Amien Rais yang dikenal sebagai tokoh reformasi mulai kehilangan pengaruh di partai amanat nasional. Namun sebagai akademisi politik dan nyaris kiprahnya yang hampir 100 persen diabadikan pada dunia politik telah mengetahui dan merasakan denyut politik yang ada di masyarakat. Karenanya, beliau bersama sejumlah tokoh masyarakat dan politik akhirnya memutuskan untuk membentuk Partai Ummat secara simbolik. Setelah hampir 20 tahun menjadi tokoh dibalik partai amanat nasional, nampaknya beliau sulit dilepaskan dari politik dalam kehidupannya. Tantangan ke Depan Kehadiran partai baru memang disadari belum tentu mendapat respon (dukungan) dari masyarakat. Dari pengalaman pemilu 2019, tercatat ada 20 partai politik yang mendapat pengesahan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bertarung memperebutkan dukungan masyarakat. Namun dari hasil pemilu 2019, hanya terdapat 8 partai politik yang memenuhi syarat untuk mendudukkan wakilnya sebagai anggota DPR. Sementara 12 partai lainnya terpaksa menunggu sampai pada pemilu 2024. Namun tidak berarti peluang bagi kehadiran Partai Ummat di pentas politik nasional tahun 2024 juga akan berakhir. Bahkan kelak tenggelam sebelum waktunya. Dalam survei yang dilakukan oleh Indonesia Elections and Strategic (indEX) yang dirilis 12 Maret 2021, menunjukan bahwa Partai Ummat berada di posisi 10 dengan perolehan 1,3 persen. Sekalipun masih kecil, dukungan terhadap Partai Ummat ini ternyata jauh lebih besar ketimbang suara PAN yang hanya meraih 1,1 persen. Sementara di sisi lain, keraguan terhadap Partai Ummat dalam menyemarakan kehidupan politik Indonesia juga tidak sedikit. Peneliti politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan bahwa pemilihan 'Ummat' sebagai nama partai, dianggap sebagai retorika keislaman. Seolah-olah dengan nama Ummat ini sebagai wujud dari korban sebuah kezaliman. Menurut Wasisto Raharjo Jati, beliau terkesan menyimbolkan bahwa partainya adalah payung umat Islam, akan tetapi justru akan membuat suara pemilih umat Islam menjadi tidak solid. Titik lemah lain adalah ketiadaan figur selain Amien sendiri. Banyak partai Islam yang hanya mengandalkan satu tokoh, tanpa basis loyalis yang kuat (Partai Ummat Amien Rais Akan Layu Sebelum Berkembang, 2 Oktober 2020, https://tirto.id/f5rZ). Namun apa yang disampaikan oleh Amien Rais menunjukan bahwa pendirian partai ummat lebih didasarkan untuk menegakan kebajikan, keadilan, dan memberantas keburukan dan kezaliman. Nampaknya cita-cita ini lebih dimaksud untuk diberlakukan secara pribadi di tingkat anggota, keluarga dan komunitas. Dengan demikian, perjuangan dalam mewujudkan kebajikan, keadilan dan memberantas kezaliman dapat berjalan di tingkat bawah, keluarga, masyarakat hingga bangsa. Suatu nilai perjuangan yang sangat luar biasa jika melihat masalah pengelolaan kekuasaan yang masih diwarnai praktek korupsi dan ketidakadilan. Karena itu, partai ummat akan semakin mendapat dukungan luas dari masyarakat pemilih jika dari awal bertekad memberantas korupsi. Setidaknya dimulai dari dalam diri pengurusnya. Pemberantasan korupsi merupakan nilai penting karena dampak pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati elite tertentu melalui praktek penyimpangan. Sehingga mengakibatkan ketidaksetaraan kekayaan diantara warga masyarakat. Dr. Martin Luther King, dalam pidatonya di National Cathedral, Washington, D.C., 31 Maret 1968. menyatakan bahwa “busur semesta moral itu panjang tetapi ia mengarah pada keadilan.” Pesannya jelas yaitu dimaksudkan untuk membangkitkan semangat, namun kemajuan menuju keadilan harus dilakukan meski bersifat sangat bertahap. Semoga partai ummat dapat berkembang dengan dimulai dari kecil, namun semangatnya besar yaitu menegakan keadilan dan membasmi praktek korupsi dari hasil penyimpangan kekuasaan di semua lini. Jika tidak, maka partai ummat akan dicatat sejarah bahwa pernah berdiri namun tidak mampu berlari. Penulis adalah Peneliti LP3ES.

Apa Sebab Jurubicara Prabowo Melecehkan Habib Rizieq

by Asyari Usman Medan, FNN - Ramai di Twitter. Tiba-tiba saja, tak ada angin tak ada petir, Dahnil Anzar Simanjuntak (DAS) melecehkan Habib Rizieq Syihab (HRS). Entah apa sebabnya, belum tahu. Jurubicara Menhan Prabowo Subianto (PS) ini menulis komentar balasan di linimasa Facebook-nya yang bernada sangat arogan. Kepada pemilik akun “Sugeng” di FB, Dahnil mengatakan bahwa HRS bukan siapa-siapa. DAS menggunakan kata-kata yang menunjukkan bahwa dia telah berjasa besar terhadap HRS. Meskipun kalimat-kalimat DAS tak menghiraukan kadiah bahasa Indonesia, tapi untaian komentarnya bisa dipahami sebagai ucapan yang mengerdilkan Habib. Begini Dahnil berbahasa: “Sugeng, dia siapa? Bukan2 siapa (maksudnya Bukan siapa-siapa, red) bagi sy justru sy yg bantu dan bela imam mu dulu, tapi sebaliknya dia tak pernah berkontribusi untuk membantu saya. persamaanya sy pernah lawan Ahok sama dg dia, dan dia pernah dukung PS sama dg saya. selebihnya sy bantu hak2 dia, tapi dia tak pernah bantu hak2 saya. itu terang. jelas ya.” Komentar inilah yang dibawah ke Twitter. Intinya, DAS ingin mengatakan beberapa poin. Pertama, dia sekarang menganggap HRS tidak ada apa-apanya. Kedua, dia pernah membantu dan membela Habib. Ketiga, Habib tidak pernah membantu dia. Untuk poin pertama, tentu sikap anggap enteng kepada HRS ini adalah hak Dahnil sepenuhnya. Orang hanya bisa geleng kepala mengapa begitu drastis perubahan jalan pikiran DAS. Kita semua pantas merasa kasihan melihat transfromasi Dahnil yang pasti banyak menggerogoti pikiran jernih dan akal sehatnya. Tidak terlalu mengherankan, sebetulnya. Sebab, Dahnil harus melecehkan Habib untuk menunjukkan dirinya lebih radikal dari para pendukung Jokowi. Dia harus bisa meyakinkan para pengawal senior Jokowi bahwa dia benar-benar telah masuk secara ‘kaffah’ (sempurna) ke kolam re-edukasi kubu Jokowi. DAS juga wajib ikut ‘vaksinasi ideologi’ agar dia utuh menjadi seorang Jokower. Sekarang ini efek vaksinasi itu telah menampakkan bentuknya. Dia mulai memusuhi ulama. Ini adalah ‘trade mark’ para Jokower. Poin kedua. Dahnil mengatakan dia pernah membantu HRS. Tak jelas bantuan apa yang dia maksud. Dan tak jelas pula kapan itu terjadi. Tampaknya lebih tepat disebut bahwa Dahnil merasa dirinya sudah sangat besar sehingga Habib memerlukan bantuan dari dia. Poin ketiga. DAS mengatakan Habib tak pernah membantu dia. Kalau ini memang benar. Soalnya, HRS mau bantu apa untuk Dahnil yang sudah menjadi orang besar. Yang agak berlebihan adalah pernyataan DAS bahwa suara besar yang diperoleh Prabowo dan Gerindra tidak ada kaitannya dengan dukungan umat Islam yang dikerahkan oleh HRS dan para ulama. Untuk menyikapi pernyataan seperti ini, orang tidak perlu reaktif. Biarkan saja. Arogansi macam ini akan terjawab dengan sendirinya nanti. Jadi, untuk menjawab pertanyaan di judul tulisan ini: apa sebab jurubicara Prabowo melecehkan Habib Rizieq, kita semua sudah paham. Dahnil Anzar merasa suara para ulama tidak diperlukan. Dan para ulama pun sudah tahu jauh sebelum Dahnil merasakan itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Di Lokasi Bencana, Jokowi Kampanye Tiga Periode

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Dalam sejarah bencana di Indonesia, baru pertama kali badai tropis melanda negeri ini. Badai itu kemudian dinamakan Badai Seroja yang telah meluluhlantakan sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa hari lalu. Akibat bencana ini, setidaknya 150 orang meninggal dan puluhan warga lainnya hilang. Banyak pula rumah warga yang rusak, jembatan putus dan hewan ternak yang lenyap terbawa arus banjir bandang. Bencana yang memilukan ini kemudian mengundang Presiden Jokowi untuk datang ke sana. Meski dalam suasana keprihatinan dan rasa duka akibat bencana, tidak mengurangi semangat warga untuk datang menyambutnya. Sayangnya, warga yang antusias menyambut kedatangan Jokowi bergerombol di berbagai lokasi yang didatangi kepala negara. Sementara Presiden Jokowi terlihat suka ria dan menikmati menyaksikan antusias warga yang mendatanginya sambil berkerumun. Pada momen itu, Jokowi, dan para pejabat yang mendampingi serta petugas keamanan memang menggunakan masker, tapi massa yang datang mengabaikan aturan prokes. Bahkan sebagian dari mereka berdesak-desakan agar bisa mendekat ke Jokowi. Ironisnya, Jokowi sendiri datang ke lokasi bencana bagaikan pahlawan perang yang datang ke lokasi yang hancur diluluhlantakkan oleh bencana banjir bandang dan longsor. Raut wajah Jokowi tidak terlihat sedikitpun adanya kekhawatiran terpapar Covid19 saat melihat antuasiasme massa yang bergerombol menyambut kedatangannya. Yang terlihat sibuk hanya petugas keamanan terutama paspampres. Mereka hanya berusaha menghalau massa yang berusaha merangsek agar bisa mendekati Jokowi. Sementara Presiden sendiri tenang saja, seolah tidak merasa bersalah berada ditengah kerumunan di massa pandemi Covid19 ini. Bahkan beliau menikmati suasana tersebut. Hal itu terlihat dari aksi Jokowi yang memberikan jaket kepada seorang pemuda di daerah Adonara bernama Jackson, yang tiba-tiba berteriak: "Lanjutkan 3 Periode !" Mendengar teriakan itu, Jokowi kemudian memanggil Jakcson dan sempat berbincang dengan pemuda yang mengaku pengangguran itu. Setelah beberapa saat berbincang, Jokowi kemudian membuka jaket yang dipakai pada saat itu dan langsung memberikannya kepada Jakcson. Melihat drama itu, secara spontanitas, warga berteriak histeris meminta Jokowi untuk melanjutkan kepemimpinan periode ke 3. Dari drama tersebut, warga setempat seolah lupa dengan bencana yang telah menderanya. Mereka pun lupa dengan pandemi Covid19 sehingga bebas bergerombol menyambut kedatangan Jokowi. Beda Jokowi & PM Norwegia Saat kunjungan ke Maumere NTT, aturan prokes juga diabaikan oleh Presiden Jokowi. Saat seperti itu, protokol kesehatan seolah tidak berlaku bagi masyarakat maupun bagi Jokowi sendiri. Prokes hanya berlaku untuk masyarakat lain yang melakukan kerumunan namun tidak dihadiri Jokowi. Acara pernikahan Youtuber terkenal Atta Halilintar dengan artis Aurel Hermansyah tidak jadi masalah besar bagi para elite bangsa ini karena dihadiri Presiden Jokowi, Menhan Prabowo dan Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo. Sebaliknya pernikahan putri Habib Rizieq Shihab, dipersoalkan hingga dibawa ke ranah hukum dan saat ini sedang dalam proses persidangan di PN Jakarta Timur. Tidak hanya itu, akibat persoalan prokes itu pula enam anak muda laskar FPI dibunuh secara keji. Belum lagi rekening tabungan keluarga Habib Rizieq dan pengurus FPI dibekukan oleh rezim penguasa melalui PPATK. Tidak cukup sampai disitu, organisasi FPI pun ikut dibubarkan. Itu semua terjadi hanya karena mereka dituduh telah melanggar prokes. Seharusnya kalau Habib Rizieq sudah membayar denda Rp 50 juta, terbebas dari ancaman hukuman pidana. Tapi ternyata realitanya berbeda. Ini tentu kontras dengan pemandangan yang dilihat publik saat menyaksikan Presiden Jokowi berkunjung ke sejumlah daerah dan lokasi bencana di NTT belum lama ini. Dalam kunjungan itu, prokes tidak berlaku terutama tentang aturan menjaga jarak aman. Aturan prokes sebenarnya bukan hanya distancing antara Jokowi dengan massa tapi seharusnya aturan menjaga jarak aman diberlakukan bagi masyarakat yang datang menyambut kedatangan Jokowi. Kalau kemudian alasannya petugas tidak bisa melarang massa yang ingin bertemu dengan Jokowi maka aturan Prokes seharusnya tetap dijalankan. Bukankah massa umat Islam yang ingin menyaksikan sidang Habib Rizieq di PN Jaktim juga sangat banyak ? Bahkan sebenarnya massa dari berbagai daerah ingin datang ke Jakarta, tapi karena petugas di pengadilan menjalankan tugasnya dengan ketat akhirnya hanya sebagian kecil saja massa yang datang ke PN Jaktim. Itupun mereka dihalau petugas agar menjauh dari lingkungan PN Jaktim. Dalihnya, lagi-lagi soal prokes. Sekali lagi, jika melihat rangkaian peristiwa kunjungan Presiden ke berbagai daerah, aturan Prokes ini tidak berlaku bagi Jokowi. Potret perilaku Jokowi kontras dengan Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg. Seperti dilansir kantor berita Reuters, Jumat (9/4/2021), Kepolisian Norwegia menjatuhkan hukuman denda terhadap PM Erna Solberg karena melanggar aturan social distancing yang diberlakukan selama pandemi virus Corona (COVID-19). PM Solberg dihukum denda karena menggelar acara perkumpulan keluarga untuk merayakan ulang tahunnya di saat pandemi Corona merajalela. Kepala Kepolisian Norwegia, Ole Saeverud, dalam konferensi pers mengatakan, hukuman denda untuk PM Solberg ditetapkan sebesar 20 ribu Krone Norwegia, atau setara Rp 34 juta. Bulan lalu, PM Solberg yang menjabat selama dua periode ini meminta maaf kepada publik setelah menggelar acara untuk merayakan ulang tahunnya ke-60 tahun. Kita seperti melihat bumi dan langit. Memang sangat kontras jika kita menyaksikan perilaku Jokowi dengan sikap dan keteladanan yang ditunjukkan PM Norwegia Erna Solberg. Sebenarnya Jokowi bisa menunjukkan rasa peduli kepada masyarakat NTT yang menjadi korban bencana dengan cara elegan tanpa khawatir dicap sebagai kepala pemerintahan yang membuat aturan sekaligus pelanggar aturan prokes Covid19 seperti sekarang ini. Caranya, datang ke Ibu Kota NTT di Kupang. Lalu melalui kewenangannya sebagai Kepala Negara, dia bisa mengumpulkan Gubernur NTT Viktor Laiskodat, para pejabat terkait, dan para kepala daerah di sana. Jangan lupa juga memerintahkan Mensos Tri Rismaharini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) M. Basuki Hadimoeljono dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo, untuk hadir. Kemudian adakan rapat secara efektif untuk menentukan tahapan bantuan dalam masa tanggap darurat maupun masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Saya kira, secara umum tahapan dalam menghadapi bencana alam seperti itu. Sayangnya, langkah seperti itu tidak nampak dalam penanganan bencana di era rezim Jokowi. Akhirnya, yang terjadi kita hanya menyaksikan aksi show off seorang Mensos Tri Rismaharini dan atau aksi tebar pesona seperti yang ditunjukkan Jokowi selama ini. Padahal, bencana alam tidak bisa dikerjakan sendirian oleh satu instusi pemerintah. Juga tidak bisa diselesaikan hanya dengan aksi pencitraan dari seorang presiden. Sebaliknya penanganan bencana perlu dilakukan melalui kerja sama-sama. Terkoordinasi diantara instansi pemerintah pusat dan daerah. Perlunya dilakukan kolaborasi dengan organisasi kemanusiaan atau lembaga bantuan sosial. Kalau cara kerja Presiden Jokowi selama ini masih menonjolkan aspek pencitraan, jangan berharap mendapat apresiasi yang luas dari masyarakat bangsa Indonesia. Mungkin bagi masyarakat lapisan bawah seperti di NTT sosok dan perilaku Jokowi bisa saja dipuja puji dan dielu-elukan. Tetapi bagi lapisan masyarakat yang berpikiran waras, sosok pemimpin yang lebih mengutamakan pencitraan akan merugikan masyarakat sendiri. Jika Jokowi masih mengutamakan pencitraan demi meraih ambisinya memperpanjang masa jabatan hingga tiga periode. Maknya maka semua hal bisa dilanggar termasuk aturan soal Prokes Covid19. Oleh karena itu jika sekarang masyarakat dan warga +62 ingin mengadakan hajatan atau keramaian, cara yang paling aman agar terhindar dari jebakan aturan tentang Prokes adalah dengan mengundang Jokowi. Dijamin tidak akan didenda atau dihukum seperti yang dialami Habib Rizieq.* Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Sabar, Ada Saatnya Nanti Jokowi Urus Rakyat Kecil

by Asyari Usman Medan, FNN - Semakin banyak yang kecewa. Presiden Joko Widodo (Jokowi) diduga hanya melayani sebagian orang-orang besar. Besar partai, besar duit, besar mulut (buzzer), besar follower (Youtuber), besar khianat, dlsb. Sejumlah pendukung loyal Jokowi ikut kecewa terhadap perlakuan istimewa dari Presiden kepada Youtuber 26 juta follower: Atta Halilintar. Entah mengharapkan apa, Jokowi menghadiri acara akad nikah Atta dan Aurel pada 3 April 2021. Kepada yang kecewa, jangan berkecil hati. Bersabarlah. Ada saatnya nanti Jokowi melayani orang-orang kecil. Pada waktu yang tepat. Yaitu, ketika rakyat kecil diperlukan untuk melegitimasikan kekuasaan beliau, atau para pewarisnya, lewat kotak suara. Dan itu tak lama lagi –-2022 dan 2024. Jokowi akan keliling kampung sambil lempar-lempar hadiah. Akan terlihatlah nanti pemandangan yang sangat merakyat. Dan itu pasti akan diunggah di akun-akun medsos resmi presiden dan instansi-instansi lain. Sama seperti ketika Jokowi menyaksikan pernikahan Atta-Aurel. Meriah di akun Sekretariat Negara. Tunggu saja giliran Pak Jokowi merapat ke rakyat kecil. Untuk waktu ini, mohoh pengertian. Prioritas harus diberikan kepada rakyat besar. Lagi pula, dengan menghadiri pernikahan super-mewah itu berarti Presiden Jokowi mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis pesta mahal. Sehingga nantinya hotel-hotel kelas mewah bisa bangkit kembali. Kalau ekonomi perpestaan mewah marak di mana-mana, maka investasi perhotelan akan masuk deras. Sukur-sukur investasi dari China yang masuk. Supaya rakyat kecil bisa ongkang-ongkang, tak perlu bekerja. Ada tenaga kerja China yang selalu dibawa untuk melaksanan proyek yang mereka modali. Jadi, Jokowi hadir ke pesta mewah Youtuber besar itu bukan tanpa strategi komprehensif. Semuanya sudah dipikirkan oleh Jokowi dan para penasihat senior beliau. Atta adalah pelopor ekonomi kreatif. Dia bisa dapat duit banyak dari kanal Youtube. Jokowi senang ekonomi seperti ini. Jika, misalnya, ada 10 juta Youtubers milenial dengan follower 25 juta, berarti akan berlangsung 10 juta pernikahan super mewah di hotel bintang lima. Akan tumbuh ribuan hotel lagi yang sekelas dengan Raffles. Nah, berapa itu nilai investasinya? Berapa juta pula tenaga kerja China yang bisa dibawa masuk? Itu maksud Jokowi mempromosikan Atta. Jangan curiga dulu. Jangan berprasangka Jokowi merangkul Atta untuk membantu sosialisasi amandemen UUD agar Jokowi bisa tiga periode. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Pak Jokowi Mau Husnul Khatimah atau Su'ul Khatimah

PERNYATAAN Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor tentang Presiden Joko Widodo mengundang kehebohan. Dalam kuliah umum di Universitas Indonesia, Isran menyatakan berani menjamin Jokowi pasti masuk surga. Tak perlu ibadah lagi. Luar biasa! Isran berani memberi garansi ilahiah itu karena Jokowi dinilainya telah mengambil langkah dan kebijakan besar. Membangun dan memindahkan ibukota negara ke Pasir Penajam, Kaltim. Isran tidak hanya memuji Jokowi setinggi langit. Dia mejamin langsung tembus ke surga. Tanpa perlu dihisab lagi. Tak ada lagi perhitungan dosa dan pahala. Dalam urusan akhirat, Jokowi mengalahkan para ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh sufi yang sudah berada dalam taraf ma’rifat. Jokowi, dalam pandangan Isran, levelnya sudah ma’shum. Terbebas dari dosa. Levelnya sama dengan 10 orang sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW yang dijamin pasti masuk surga. Jokowi menurut Isran, lebih hebat dari semua Presiden Indonesia yang pernah ada. Termasuk dibandingkan dengan Sang Proklamator Bung Karno, dan Soeharto. Apalagi dibandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jauh. Tidak ada apa-apanya. Bung Karno, dan Pak Harto, kata Isran juga ingin memindahkan ibukota. Sampai keduanya mati —kata mati ini perlu diberi tanda petik “mati” — karena iu kalimat langsung Isran, tak berhasil mewujudkan mimpi itu. Sementara SBY yang masih hidup,—dalam kalimat langsung Isran “belum mati” — juga tidak berhasil memindahkan ibukota, walau juga punya keinginan. Jika menggunakan bahasa para pendukung Jokowi garis keras, “hanya Jokowi yang bisa. Presiden lain ngapain aja.” Pernyataan Isran ini, walau kemudian coba diluruskan oleh Humas Pemerintah Provinsi Kaltim, levelnya sudah kelewatan. Keblinger. Dia telah berani mengambil otoritas ilahiah. Masuk surga atau neraka, dalam pandangan Islam, dan juga agama-agama lain, merupakan hak prerogatif Tuhan, Allah SWT. Karena itu para sufi menggambarkan dalam sebuah syair “Aku tak berhak masuk surgamu. Tapi aku juga takut masuk nerakamu.” Syair itu menunjukkan, orang-orang sufi yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia saja bersikap sangat rendah hati. Di hadapan Allah SWT mereka merendahkan diri, serendah mungkin. Sikap Isran ini sungguh sangat berbahaya. Ada tanda-tanda yang sangat jelas bahwa Jokowi telah dikultuskan. Menjadi manusia suci yang tak tersentuh dosa. Apa yang disampaikan Isran super kacau. Jauh lebih kacau dari wacana mendorong Jokowi menjadi presiden tiga periode. Ini menunjukkan sebuah kegilaan para pendukung Jokowi sudah menyentuh ubun-ubun. Melalui forum ini kita perlu mengingatkan Jokowi, jangan sampai tergoda. Apalagi sampai terlena oleh pujian, dan sanjungan yang menyesatkan. Jokowi perlu belajar dari para presiden terdahulu. Termasuk yang disebut oleh Isran. Bung Karno, Pak Harto, dan SBY. Bung Karno melalui TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 menjadi Presiden Seumur Hidup. Ingat ya seumur hidup. Bukan hanya tiga periode. Apa yang terjadi? Hanya empat tahun berselang, melalui TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 dia diberhentikan sebagai presiden. Semua kekuasaannya dicabut. Selesailah sudah masa jabatannya selama 22 tahun. Begitu juga dengan Pak Harto. Dia ditetapkan sebagai Bapak Pembangunan melalui TAP MPR No V Tahun 1983. Pada tanggal 11 Maret 1998 dia pilih dan ditetapkan oleh MPR menjadi Presiden Indonesia untuk periode ke-7. Hanya dua bulan berselang, karena desakan publik pada tanggal 21 Mei 1998 dia terpaksa meletakkan jabatannya. Kita pasti sepakat, dari sisi _legacy_ tak bisa membandingkan Jokowi dengan Bung Karno dan Pak Harto. Tidak apple to apple. Kalau tetap dipaksakan, perbandingannya seperti apel dengan durian. Lepas dari berbagai kekurangannya, Bung Karno adalah Bapak Proklamator. Dia juga punya peran besar dalam geo politik global. Pendiri Gerakan Non Blok. Demikian juga dengan Pak Harto. Dia berhasil membangun ekonomi Indonesia. Menjadi negara yang mampu berswasembada pangan. Di tataran global juga disegani. Menjadi big brother di negara-negara ASEAN. Dua-duanya, dengan segala warisan besarnya untuk bangsa dan negara, harus turun dari jabatannya dengan cara yang tidak menyenangkan. Dalam bahasa agama disebut su’ul khatimah. Akhir yang buruk. Bagaimana dengan SBY? Lepas dari berbagai kekurangannya, SBY turun dari jabatannya selama dua periode dengan mulus. Berakhir baik. Husnul khatimah. SBY dikenang sebagai seorang demokrat. Dia tidak pernah campur tangan urusan parpol lain. Dia tak pernah memenjarakan lawan politiknya. Masyarakat juga guyub. Tak ada pembelahan dalam masyarakat. Kalau Jokowi? Anda bisa menilai sendiri. Apa warisannya? Utang yang menggunung? Proyek-proyek mangkrak? Dan yang sangat parah adalah pembelahan dalam masyarakat. Silakan Jokowi mau memilih turun dari jabatan dengan cara yang mana? Cara Bung Karno dan Pak Harto? Atau cara SBY? Sejarah telah mengajarkan. Mau husnul khatimah atau su’ul khatimah. **

Sisyphus dan Pemimpin Pembohong

by Sutoyo Abadi Jogjakarta, FNN - Kisah legenda Sisyphus atau sisifus dalam mitologi Yunani menjadi sebuah pembelajaran akan kesia-siaan, sesuatu yang tak masuk akal, mustahil atau disebut absurdity. Sisyphus bahkan telah dipandang sebagai simbol dari paham absurdisme, ini adalah paham dimana usaha untuk mencari arti dari kehidupan akan berakhir dengan kegagalan, kesia-siaan, perbuatannya selalu konyol absurd., Sudah konyol perbuatan licik, pembohongan dan penipu. Akhirnya dewa menyeret paksa Sisyphus dan Zeus yang muak dengan trik dan kelicikannya memberikan ia hukuman, karena turus mengulangi tugas yang sia-sia, dimana ia harus mendorong bongkahan batu besar ke puncak gunung. Namun, begitu dia mencapai puncak bukit, batu besar itu akan berguling dan Sisyphus harus mendorongnya kembali. Mitologi Sisyphus, memberi pesan / mengajarkan tentang manusia bergumul dengan absurdisme. "Oleh Bung Rocky Gerung saat berceloteh bersama Bung Harsubeno Arif, ditempelkan ke Om Jokowi dengan apik dan menarik yang selalu berbuat konyol, negara dikelola dengan absurd - management gorong gorong, licik dan statemennya selalu bersayap - ujungnya menipu" Jokowi bukan hanya absurd karena super lemah kemampuan akalnya dalam mengelola negara berpotensi membawa kerusakan di mana-mana. Kerusakan yang nyata dihilangkan atau dimatikannya kritik dr masyarakat (under current) dan oposisi, negara berubah menjadi otoriter dan represif. Presiden atau istana kehilangan kemampuan memproduksi pikiran yang sehat sekalipun hanya untuk menyapa rakyat. Pengalaman sebagai bakul mebel apalannya hanya transaksi, gawatnya yang ditransaksikan adalah kedaulatan negara, stempel kesan masyarakat hanya berperan sebagai boneka sudah sulit untuk disetip (dihapus). Seperti tidak tahu apa apa dalam mengelola negara ini, yang terjadi reaksi kasar terhadap siapapun yang tidak sejalan dengan kebijakan oligarki. Narasi ini sebenarnya konyol juga di karena sudah menjadi menu setiap hari. Hanya karena Jokowi dianalogkan dengan kutukan Sisiphus menjadi benar - dari kutukan ini negara terus berjalan di lorong-lorong gelap. Hanya Rocky Gerung juga pernah mengatakan cuaca paling gelap adalah menjelang fajar. Maknanya dari gelap itu akan muncul matahari dari ufuk timur menghalau memusnahkan suasana gelap. Sekalipun pintunya hanya lahirnya "People power atau Revolusi". Kapan ia muncul tidak bisa di paksa dan tidak akan bisa di mundurkan. End. Penulis adalah Sekretaris KAMI se-Jateng

Masih Soal Ancaman Politik Uang

By Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Saya mulai tulisan ini dengan mengutip penggalan catatan PBNU dalam Muhasabah 2017 dan Resolusi 2018, ikhwal residu demokrasi bahwa “mekanisme demokrasi telah menghasilkan dua ekses yang merusak, yaitu politik uang dan politik identitas. Jika politik uang merusak legitimasi, politik identitas merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak anyaman kebangsaan.” Pada saat yang sama, seorang politikus senior PDIP dalam sebuah dialog di TV One menyatakan dampak negatif politik uang bersifat terbatas dan jangka pendek. Sedangkan politik identitas menyebabkan kerusakan yang sangat luas dalam jangka panjang. Baik PBNU maupun politikus PDIP cenderung menyederhanakan dampak negatif politik uang. Sebaliknya, melebih lebihkan dan “mendemonisasi” politik identitas. Saya menduga pernyataan tersebut terlontar karena tidak memahami seluk beluk politik uang dengan segala daya rusaknya. Mungkin juga terselip agenda stigmatisasi Islam politik. Di lain pihak, menyepelekan praktek kotor politik transaksional berbasis pertukaran materi dan jasa, yang membusuki dunia politik Indonesia. Pun, politik gentong babi (pork-barrel politics) dianggap biasa, di mana para politikus menghambur-hamburkan uang negara demi dukungan politik, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Gagal paham tentang daya rusak politik uang yang berhimpitan dengan fobia Islam politik, juga merasuki kalangan dengan sebutan pengamat politik, yang sebagiannya merangkap sebagai “industrialis survei” atau buzzerp kekuasaan. Bagi mereka, ancaman politik identitas lebih berbahaya daripada politik uang, karena tiga sebab. Pertama, politik uang bersifat temporal, hanya berlaku pada waktu tertentu. Kedua, malpraktik politik ini bersifat lokal, terjadi di daerah pemilihan saja. Terakhir, menurut mereka, berbeda dari politik identitas, politik uang tidak memicu keterbelahan di tengah masyarakat. Tentu saja, pendapat tersebut sangat menyesatkan, jauh dari kaidah ilmiah dan fakta. Minus basis teoritik, dan bertolak belakang dengan begitu banyak hasil riset tentang politik elektoral, khususnya politik uang, di berbagai belahan dunia. Sebagaimana saya kutip dalam tulisan bertajuk “Politik uang memicu ketegangan politik identitas” (fnn.co.id, 27 Maret 2021). Laporan Pembangunan Dunia 2017 oleh World Bank mencatat bahwa politik klientalistik [dimana politik uang menjadi komponen utama] merupakan sumber berbagai tantangan pembangunan global, mulai dari korupsi dan penyediaan layanan publik yang tidak memadai hingga kekerasan etnis dan penegakan hukum yang lemah. Amerika Serikat, yang dijuluki “kampiun demokrasi”, tidak luput dari hantaman politik uang. Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi asal AS, menyebut demokrasi di negaranya sebagai demokrasi "one dollar one vote" bukan lagi "one man one vote". Menurut Stiglitz, demokrasi one dollar one vote ini menjadi penyebab memburuknya ketimpangan sosial-ekonomi. Bahkan menguatnya politik identitas dan hiper-nasionalisme disertai kekerasan rasial di AS, akhir akhir ini, disebut sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari demokrasi one-dollar one-vote. Tidak lepas dari peran negatif komersialisasi politik ini, Noam Chomsky dan Francis Fukuyama, dua pemikir terkemuka rekan senegara Stiglitz, mendakwa negara mereka sebagai negara gagal. Dalam buku “Democracy for Sale: Elections, Clientelism and the State in Indonesia” (2019), Edward Aspinall dan Ward Berencshot dari the Australian National University (ANU) mengonfirmasi bahwa politik klientalistik adalah akar dari berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia, mulai dari kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial yang persisten, perencanaan tata ruang yang buruk hingga layanan publik yang tidak memadai, dan korupsi. Memang, sejak reformasi bergulir, terutama pasca pemilu langsung pertama 2004, praktik politik uang meningkat tajam. Naik tiga kali lipat, dari sekitar 11 persen pada pemilu 2009 menjadi sepertiga pemilih, masing-masing, pada pemilu 2014 dan 2019. Pada saat yang sama, terjadi kemerosotan di berbagai bidang, seperti terungkap dalam riset politik Aspinall dan Berenschot di atas. Dan daftar masalah selama enam tahun terakhir masih panjang, termasuk demokrasi dan kebebasan yang dibajak oligarki dan dan otoritarianisme, menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta meluasnya friksi dan ketegangan sosial. Mengapa politik uang sangat berbahaya? Politik uang mendatangkan ancaman serius terhadap berbagai sektor pembangunan melalui berbagai jalur, langsung maupun tidak langsung, dengan dampak negatif sistemik dan luas. Secara ringkas, berikut penjelasan logis dibalik ancaman politik uang. Politik uang merupakan wujud ketimpangan politik antara rakyat dan elit politik. Rakyat diposisikan tidak berdaya (powerless), dengan pilihan yang nyaris tidak ada, kecuali mempertukarkan aspirasi dan hak politik mereka dengan imbalan materi atau jasa. Ketimpangan politik, yang saling mempengaruhi secara negatif dengan ketimpangan ekonomi (lihat Joseph Stiglitz dalam the Great Divide 2015, Amartya Sen dalam Development as Freedom 1999), menghambat mobilitas sosial, terutama masyarakat lapisan bawah. Pada gilirannya, mobilitas sosial yang rendah memicu makin parahnya ketimpangan ekonomi dan politik, seperti lingkaran setan. Politik uang menegasikan kewajiban negara untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang rasional, inklusif dan responsif terhadap kepentingan rakyat, terutama kelompok miskin dan marjinal. Dengan kata lain, penyelenggara negara merasa lepas dari tanggungjawab untuk merespon aspirasi dan kepentingan rakyat karena telah dipertukarkan dengan materi/jasa. Pada saat yang sama, pertukaran hak politik dengan materi/jasa menyebabkan rakyat merasa tidak berhak ikut serta mewarnai dan memastikan kebijakan/program pembangunan berpihak pada kepentingan mereka. Dalam hal ini, kesempatan rakyat untuk meraih kehidupan sosial-ekonomi yang lebih baik, dengan sendirinya tersingkir. Politik uang merusak prinsip dan kaidah demokrasi elektoral yang menjunjung tinggi “fair play” bagi kontestan politik kekuasaan, guna menjamin terpilihnya pemimpin berkualitas yang mampu mengelola potensi dan tantangan pembangunan. Sebaliknya, politik uang berpotensi memenangkan calon berkantong tebal atau yang didukung para pemodal sehingga melahirkan pemimpin defisit kualitas dan integritas. Lebih jauh, pemimpin cacat legitimasi dan moral, sehingga tidak mampu memimpin jalannya roda pemerintahan secara efektif. Politikus berbasis politik uang cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Jual beli jabatan dan obral proyek negara kepada para pemodal menjadi pilihan para politikus ini. Dengan pola seperti ini, korupsi makin merajalela (lihat Syebubakar dalam Vote-buying breeds Indonesia’s ubiquitous corruption, observerid.com 19/03/2021), dan oligarki bebas mengendalikan kebijakan negara. Politik uang mendorong parpol memainkan politik dagang sapi dalam merekrut anggota, caleg dan calon pemimpin di pusat dan daerah. Akibatnya, parpol disesaki politikus pemburu rente. Niatnya hanya menumpuk uang dan meraih kekuasaan. Setelah itu, uang dan kekuasaan lagi, begitu seterusnya. Sebagai penutup, saya berharap tulisan ini dapat membantu meluruskan klaim yang tidak berdasar dan “bias sentimen politik identitas” dari sejumlah kalangan, yang cenderung meremehkan bahaya politik uang. Penulis Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe) dan Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-korupsi

Politik Identitas, Mengapa Dipersoalkan?

by Tony Rosyid Jakarta FNN - "Jangan pilih calon yang nggak qunut". Ini politik identitas bukan? "Jangan pilih calon yang nggak ziarah kubur?". Ini jelas-jelas narasi politik identitas. Hal yang seperti ini lumrah terjadi di kampung saya Jawa Tengah, dan tempat saya pernah kos di Jawa Timur. Lucunya, para politisi yang teriak seperti inilah yang sering mempersoalkan politik identitas. Satu sisi mereka mempraktekkan politik identitas. Sementara disisi lain mereka mengutuknya. Semacam ada kemunafikan ganda dalam diri para politisi ini. Preferenai sosiologis adalah fakta yang ada dalam masyarakat. Dan seringkali gaungnya membesar ketika musim pemilihan umum. Ini natural, dan berlaku di sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia. Orang Nahdlatul Ulama (NU) pilih calon dari NU. Disini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selalu dapat limpahan suara terbanyak dari warga NU. Orang Muhammadiyah pilih calon dari Muhammadiyah. Partai Amanat Nasional (PAN) yang paling banyak menikmatinya. Orang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pilih kader HMI. Orang Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) pilih kader GMNI. Begitu juga dengan Ansor dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). "Al-ijtima' dharuriyun linauil insan", kata Ibnu Khaldun. Solidaritas adalah keniscayaan sosial. Apakah berbentuk mekanik atau organik. Solidaritas sosial akan selalu ada di sepanjang sejarah, kata Emile Durkheim. Lalu apa masalahnya? Itu baru bicara ormas. Belum lagi bicara etnis. Terutama saat pilkada, "putra daerah" seringkali menjadi isu utama dalam ritual demokrasi lima tahunan. Setiap daerah merasa nyaman dengan dipilih oleh putra daerahnya. Satu etnis, satu budaya dan satu bahasa. Nggak usah heran jika Umat Islam pilih calon muslim seperti yang terjadi di wilayah Jawa. Umat Kristiani pilih calon Kristen, seperti yang terjadi di Papua dan Menado, Umat Hindu pilih calon dari Hindu sebagaimana yang terjadi di Bali. Selama ini, pilihan politik semacam ini dianggap wajar dan diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari kewajaran sosiologis. Solidaritas sosial akan selalu ada, dan terbentuk secara natural sesuai ikatan dan kekuatan hubungan yang terjadi di kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Tanpa disuruh sekalipun, sudah terjadi secara alami. Sehingga tidak perlu untuk dipersoalkan lagi. Solidaritas sosial itu bisa agama, bisa etnis, bisa daerah, bisa organisasi atau profesi. Mereka yang menyoal politik identitas umumnya karena tak memiliki identitas yang kuat. Atau berada dalam kelompok minoritas yang tak bisa memberi dukungan suara signifikan untuk menang dalam pemilihan. Cara efektif untuk meruntuhkan kekuatan lawan adalah dengan mengutuk politik identitas, agar solidaritas kelompok pendukung lawan bisa beralih suaranya. Disini, isu politik identitas dimainkan. Dan yang paling sensitif dari isu identitas itu adalah agama, kemudian etnis. Politik identitas bukan harga mati, kemutlakan politik, dan satu-satunya penjamin kemenangan. Banyak kasus dimana calon dari kubu mayoritas dikalahkan dalam pemilihan oleh calon dari kelompok yang minoritas. Faktor kekuatannya ada pada prestasi. Idealnya, calon terpilih adalah yang paling berprestasi. Jika prestasinya bagus, dan sudah mendapat pengakuan masyarakat, maka politik identitas tidak terlalu efektif lagi pengaruhnya. Politik identitas hanya berpengaruh jika para calon yang beekompetisi tidak mampu menunjukkan prestasi yang kuat dan menonjol. Secara teoritis, politik identitas hanya bisa dinetralisir pengaruhnya dengan kekuatan prestasi. Jika anda punya prestasi yang diterima publik, maka akan banyak kelompok yang memberikan simpati. Tanpa menyoal identitas, anda akan mendapatkan dukungan dari banyak kelompok tersebut. Lintas agama, lintas etnis, lintas profesi dan lintas golongan. Sekat-sekat identitas itu hanya akan terbuka pintunya dengan prestasi. Kasus kekalahan Ahok di pilgub DKI, jangan kambinghitamkan politik identitas. Sebab, dua gubernur sebelumnya yaitu Fauzi Bowo dan Jokowi terpilih menjadi Gubernur di DKI tak bisa lepas dari faktor identitas. Seandainya Fauzi Bowo bukan Betawi dan Jokowi bukan Jawa, mungkinkah terpilih jadi gubernur? Berat juga! Di Pilgub DKI 2009, Fauzi Bowo menang. Saat itu basis analisis saya tertumpu pada preferensi sosiologis, dimana Fauzi Bowo Betawi-Jawa dan NU. Selain faktor incumbent (Wagub) dengan dana dan jejaring yang lebih kuat. Begitu juga dengan Jokowi. Jawa dan didukung PDIP (partai terbesar di DKI), selain ada heroisme Mobil Esemka dan punya profil antitesa incumbent. Jadi, bukan karena prestasi spektakuler yang membuat mereka menang. Jadi, tak perlu menyoal dan mempermasalahkan politik identitas. Soal ini justru memicu kegaduhan. Menciptakan keterbelahan dan konflik di masyarakat. Kasihan rakyat yang sudah menderita akibat pandemi covid-19. Selalu menjadi obyek adu-domba para perebut kekuasaan. Kalau anda selalu sibuk menyoal politik identitas, boleh jadi, selain identitas anda tidak kuat, mungkin karena prestasi anda juga tidak bisa diandalkan. Minimnya prestasi mendorong para calon bertumpu dan mengandalkan politik identitas, atau mengutuk politik identitas bagi-bagi reziki yang tidak memiliki kekuatan identitas. Cukup tunjukkan prestasi diri, kerja yang bagus, program yang menyentuh dan bisa dirasakan langsung. Setidaknya dianggap mampu menjadi solusi oleh rakyat, maka secara alamiah, rakyat (lintas sektoral) akan memberi dukungan. Jika anda punya prestasi cemerlang, bersikap tidak sektarian, nggak terikat dengan fanatisme kelompok, maka batas-batas identitas akan dengan sendirinya terbuka untuk anda. Cukup dengan prestasi begitu saja, rakyat tidak lagi melihat anda dari kelompok mana? Dari agama dan etnis apa? Yang rakyat lihat hanya prestasi anda. Bukan yang lainnya. Makanya bekerja yang baik-baik. Perlihatkan keberpihakan kepada rakyat. Hilangkan pemikiran mengadu-domba rakyat hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Sebab bisa kualat lho. Emha Ainun Najib, Arif Budiman, Anies Baswedan adalah beberapa nama yang tidak memerlukan identitas kelompok. Tetapi mereka adalah orang-orang yang punya dedikasi, sibuk dengan berkontribusi dan memberikan prestasinya untuk bangsa ini. Tidak terus bermimpi menjadi orang besar dengan memperkosa identitas kelompok, atau sebaliknya. Tidak juga sibuk dengan mengutuk sana kutuk sini politik identitas. Karena itu yang biasa-biasa saja hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.