POLITIK

Brutus di Sekeliling Jokowi, Sikat Saja

Istana yang kotor saatnya dibenahi. Ganti para penghuni dengan orang yang lebih cerdas, jujur, dan suci. Sekurang-kurangnya manusia yang memiliki hati nurani. Oleh M Rizal Fadillah Bandung, FNN - Ketika Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa korupsi kini lebih gila daripada masa Orde Baru, warga masyarakat berbicara dalam hati, ya berantas saja, Pak. Tugas Pemerintah itu bukan beropini atau membuat indikasi, tetapi dengan otoritas yang dimilikinya menumpas korupsi yang dilihat dan diketahuinya itu. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk memerintahkan seluruh perangkatnya termasuk aparat penegak hukum. Saat ini muncul pula pernyataan dari Jokowi Mania (Joman) bahwa Brutus korup berada di sekeliling Jokowi. Tentu saja mudah untuk dijawab sama dengan kepada Mahfud MD, yaitu tumpas dan singkirkan Brutus-Brutus itu. Jokowi sebagai Presiden punya kewenangan besar. Jika membiarkan mereka maka muncul dugaan bahwa Jokowi tersandera atau mungkin berada dalam komplotan yang sama-sama korup. Agar tidak menjadi yang terakhir, maka Jokowi harus berani dan punya nyali untuk menyingkirkan para pencuri itu. Bagus sebenarnya Joman pimpinan Noel menginformasikan keberadaan Brutus. Kiranya hal ini tersampaikan pada Jokowi. Aturlah strategi bagaimana mengatasi para Brutus itu. Prinsipnya tentu "kill or to be killed". Nah sebelum Jokowi yang disingkirkan maka tak ada jalan lain selain mereka yang harus segera disingkirkan Penghianat istana tentu berbahaya meski penghianat negara jauh lebih berbahaya. Siapapun, apakah pejabat negara biasa, anggota DPR, Menteri, bahkan Presiden jika melakukan korupsi, maka harus disikat. Kini KKN, sebagaimana sinyalemen Mahfud MD, sudah semakin menggila. Lucu dan sayangnya justru Pemerintah sendiri yang melemahkan sapu pembersih korupsi. KPK yang telah dikebiri habis. Jadi banci kemayu. Dalam drama Julius Caesar karya William Shakespeare digambarkan pemberontakan nyata orang sekitar istana. Julius Caesar terbunuh oleh penghianatan lingkungan. Caesar tidak menyangka temannya Brutus ikut dalam komplotan, sehingga kaget ketika mengetahui Brutus ikut membunuhnya "Et tu Brute ?" Bahkan, engkau Brutus ? Brutus Istana Merdeka yang dinilai korup sudah terdeteksi sejak dini baik identitas, karakter, hingga ambisinya. Pisau pembunuhnya pun sudah diketahui. Jadi berbeda dengan Brutus drama Shakespiere yang tak disangka dan mengagetkan Caesar sehingga ia harus berujar "Et tu Brute ?" Karenanya, ayo Pak Jokowi berantas habis itu Brutus Brutus korup penghianat Istana, penghianat negara, dan penggerus uang rakyat. Jangan biarkan mereka menggila, sebab kejahatannya sangat luar biasa. Membangun budaya yang merusak karakter dan moral bangsa. Jawab keraguan dan penilaian rakyat bahwa sebenarnya Pak Jokowi itu sama saja sebagai komplotan "destroyer" perusak negara. Karenanya deklarasikan segera pemberantasan KKN dan jalankan secara konsisten dengan keteladanan. Anak cucu famili dan kroni yang korupsi habisi. Rakyat akan mendukung operasi implementasi deklarasi. Akan tetapi jika itu hanya basa-basi, maka keraguan rakyat memang terbukti. Korupsi sudah ke sana-sini termasuk kepada diri sendiri. Tak ada pilihan lain selain harus bunuh diri. Caesar dibunuh dan Brutus pun akhirnya mati bunuh diri. Istana yang kotor saatnya dibenahi. Ganti para penghuni dengan orang yang lebih cerdas, jujur, dan suci. Sekurang-kurangnya manusia yang memiliki hati nurani. Bukan hewan yang buta dan tuli atau hantu yang hanya wara wiri di ruang tersembunyi. Tak berani membangun silaturahmi dengan rakyat yang lapar, miskin, menganggur. Berteriak serak menyampaikan aspirasi. Istana mendesak untuk dicuci atau direkonstruksi, penghuninya layak untuk segera diganti. Meliorem domum habitator--Perbaiki penghuni Istana ! Penulis, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Tidak Pernah Solid, Suara NU tak Boleh Diremehkan

Beberapa "oknum politisi" sering memainkan emosi warga NU dengan mengangkat isu-isu yang sensitif semacam ini. Misalnya: "dia Wahabi, dia nggak qunut, dia anti ziarah kubur, dan sederet lainnya". Setiap pemilu, isu ini suka ada yang mengangkatnya. Bagi warga NU, terutama di pelosok-pelosok desa, ini bisa berpengaruh sangat kuat pada pilihan politik. By Tony Rosyid Jakarta, (FNN) - SEJAK 1984, NU (Nahdlatul Ulama) kembali ke Khittah. Artinya, tidak terlibat lagi dalam politik praktis. Meski demikian, secara struktural, NU selalu digoda dan ditarik-tarik ke politik praktis. Dalam konteks Khittah, banyak yang menilai, PBNU dianggap kurang tegas. Banyak aktor struktural yang bermain mata dan terang-terangan terlibat dalam politik praktis. Terutama dalam proses pemilu. Kepada mereka, tidak ada teguran atau saksi organisatoris. Akan tetapi, inilah khas dan keunikan NU. Ikatan dan solidaritas sosial berbasis kulturalnya yang lebih kental. NU adalah organisasi terbesar di Indonesia. Jumlah anggotanya sekitar 108 juta atau 49,5 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut berarti 87,8 persen dari total jumlah umat Islam di tanah air. Termasuk diantaranya adalah aktifis eks FPI (Front Pembela Islam). Apakah mereka semua punya keanggotaan resmi organisasi? Tentu tidak. Secara politik, massa NU sangat cair. Tidak satu komando. Ribuan hingga jutaan ulama, masing-masing punya pengaruh. Termasuk dalam urusan politik. Gus Dur (alm) punya pengaruh, K.H. Maemoen Zubair (alm) punya pengaruh, Habib Luthfi punya pengaruh, Ustaz Abdussomad punya pengaruh, begitu juga ulama-ulama yang lain. Mereka semua yang masuk ulama NU. Sebagian berafiliasi ke PKB, sebagian ke PPP, dan ada yang pilih PKS. Ke partai-partai lain juga ada. Maka, PKB yang diklaim sebagai partainya wong NU, tidak sepenuhnya dipilih oleh warga NU. Perolehan suara PKB di Pemilu 2019 hanya 13.570.097 (9,69 %). Ini bukti, warga NU dalam urusan politik sangat heterogen. Maksudnya: tidak solid. Apakah ini karena faktor NU telah kembali ke Khittah? Tidak juga. Sebab, tahun 1955, partai NU juga tidak menang dalam pemilu. Hanya mendapatkan suara 6.989.333. Ini lebih disebabkan karena ikatan solidaritas dan emosional warga NU itu bersifat kultural. Tidak dalam komando struktural. Konsekuensinya, banyak tokoh yang masing-masing menggunakan pengaruhnya, baik secara lokal maupun nasional, terkait dengan urusan politik praktis. Akab tetapi satu hal, jangan pernah membuat tersinggung warga NU. Baik menyinggung organisasinya, ajarannya, ritualnya, atau tokohnya. Sekali Anda masuk dalam isu itu, kelar! Ini wilayah sakral dan sangat sensitif. Untuk empat isu ini, warga NU kompak. Partai dan para politisi sudah sangat memahami hal tersebut. Kalau tidak, ini akan jadi resistensi cukup berarti dalam relasi sosial dan politik. Beberapa "oknum politisi" sering memainkan emosi warga NU dengan mengangkat isu-isu yang sensitif semacam ini. Misalnya: "dia Wahabi, dia nggak qunut, dia anti ziarah kubur, dan sederet lainnya". Setiap pemilu, isu ini suka ada yang mengangkatnya. Bagi warga NU, terutama di pelosok-pelosok desa, ini bisa berpengaruh sangat kuat pada pilihan politik. Cairnya suara NU itu hal yang berbanding lurus dengan semangat Khittah. Hanya saja, godaan berpolitik praktis di struktural mesti dikendalikan, bila perlu ditertibkan. Ini bagian dari bentuk komitmen Khittah. Di samping permainan isu sensitif bagi warga NU yang semestinya dihindari, supaya tidak ada yang berselancar dan mengambil keuntungan dari isu ini. Sekaligus ini penting sebagai upaya menjaga hubungan baik dengan ormas dan kelompok di luar NU. Menjaga stabilitas ukhuwah kebangsaan dan memelihara keutuhan NKRI. ** Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Amandemen UUD 1945 Kebiri Hak Non-Partisan

SURABAYA, (FNN) -Amandemen ke-5 UUD 1945 yang diwacanakan Dewan Perwakilan Daerah (DPI) RI, merupakan sebuah ikhtiar untuk mengembalikan atau memulihkan hak konstitusional DPD RI dalam mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Sebab, amandemen yang sudah dilakukan empat kali (dari 1999 sampai 2002) telah mengebiri hak bagi non-partisan.maju sebagai calon RI1 dan calon RI-2. Hal tersebut disampaikan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam focus group discussion (FGD) di Universitas Airlangga, Surabaya, Selasa (8/6/2021). Para pembicara dalam acara tersebut antara lain Prof Kacung Marijan (Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga), Prof Badri Munir Sukoco (Direktur Sekolah Pascasarjana Unair) dan Dr Rahadian Salman (Koordinator Prodi Magister Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Unair). Senator yang mendampingi Ketua DPD Sylviana Murni (Ketua Komite III DPD), Bustami Zainudin ( Wakil Ketua Komite II), Eni Sumarni (senator Jawa Barat) dan Adilla Azis (senator Jatim). LaNyalla mengatakan, pihaknya mewacanakan amandemen UUD 1945 yang ke lima sebagai pemulihan. “Disebut memulihkan karena bila melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, hilangnya hak DPD RI untuk mengajukan kandidat capres-cawapres adalah kecelakaan hukum yang harus dibenahi,” tuturnya. Dijelaskan Senator asal Jawa Timur ini, sebelum amandemen UUD 1945 terdahulu, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon. Kemudian pada amandemen ketiga UUD 1945, DPD RI lahir menggantikan utusan daerah dan utusan golongan dihilangkan. “DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Maka, hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dikebiri. Termasuk hak mengajukan capres-cawapres,” ujarnya. Lagipula, kata LaNyalla, DPD memiliki legitimasi yang kuat. Menurutnya, bola Utusan Daerah dipilih secara eksklusif oleh anggota DPRD Provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. “Ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif Non-Partisan yang memiliki akar legitimasi kuat. Sehingga hak DPD untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah rasional,” tegas LaNyalla. Ketua DPD RI pun berbicara mengenai hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 lalu. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa 71,49% responden ingin calon presiden tidak harus dari kader partai. Sementara itu hanya 28,51% yang menginginkan calon presiden dari kader partai. LaNyalla menilai hasil studi tersebut harus direspons dengan baik. “Seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49% responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai. Makanya saya menggagas bahwa Amandemen ke-5 nanti, harus kita jadikan momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima FNN.co.id, Selasa, 8 Juni 2021. (SP) **

Menpan RB: Jabatan Wamen Tidak Perlu Jadi Polemik

Jakarta, FNN - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo mengatakan rencana penunjukan jabatan wakil menteri untuk kementerian tersebut tidak perlu menjadi polemik. “Tidak perlu dipolemikkan (tentang) perlu atau tidaknya posisi wamen. Pembantu presiden adalah jabatan politis, sehingga sah saja diambil dari unsur mana pun,” kata Tjahjo Kumolo dalam keterangannya di Jakarta, Senin. Tjahjo mengatakan Presiden Joko Widodo sudah mempertimbangkan hal penting dan mendesak apabila diperlukan posisi wakil menteri dalam kementerian. Tjahjo menyatakan pihaknya mempersiapkan kemungkinan adanya posisi wakil menteri, seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2021 tentang Kemenpan RB. “Terkait berita keluarnya Perpres Kemenpan RB yang sudah ditandatangani presiden pada prinsipnya Kemenpan RB mempersiapkan saja dulu sebagaimana arahan Sekneg,” jelasnya. Menurut dia, setiap perpres kementerian yang terdapat pasal terkait jabatan wamen bertujuan agar presiden dapat sewaktu-waktu menunjuk seseorang untuk mengisi posisi tersebut. “Memang semua perpres tentang kementerian negara diminta untuk mencantum jabatan wakil menteri, agar supaya sewaktu-waktu presiden mengangkat wakil menteri tidak perlu mengubah perpres,” tambahnya. Oleh karena itu, terkait kapan jabatan Wakil Menpan RB tersebut diisi, Tjahjo mengatakan hal itu merupakan hak prerogatif Presiden Joko Widodo. “Soal kapan adanya wamen dalam kementerian hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden. Kapan saja bisa terisi atau tidak,” tukasnya. Sebelumnya, Tjahjo menilai Perpres dan penugasan Wamenpan RB tersebut bertujuan untuk penguatan tugas Kemenpan RB dalam upaya mempercepat reformasi birokrasi. Sementara itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 47 Tahun 2021 tentang Kemenpan RB yang ditandatangani presiden pada 19 Mei 2021. Pada Pasal 2 Ayat 1 Perpres tersebut dijelaskan bahwa dalam memimpin Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menteri dapat dibantu oleh wakil menteri sesuai dengan penunjukan presiden. Tugas wamen, menurut perpres tersebut, adalah membantu menteri dalam perumusan dan/atau pelaksanaan kebijakan Kemenpan RB. Selain itu, wamen bertugas membantu menteri dalam koordinasi pencapaian kebijakan strategis lintas unit organisasi jabatan pimpinan tinggi madia atau eselon I di lingkungan Kemenpan RB. (sws)

Ketua DPD RI Sebut Empat Implikasi dari Presidential Threshold

Yogyakarta, FNN - Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan ada empat implikasi dampak dari presidential threshold yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). "Setidaknya ada empat implikasi dari presidential threshold. Pertama adalah bagaimana pemilihan presiden (pilpres) hanya akan memunculkan dua pasangan calon yang head to head," kata LaNyalla dalam siaran pers saat pada FGD dengan tema "Presidential Threshold: Antara Manfaat dan Mudarat" di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (5/6). Presidential threshold atau ambang batas capres merupakan syarat pasangan calon di pilpres, di mana pasangan harus diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Keadaan tersebut, kata Ketua DPD RI, dapat mempersempit kemungkinan lahirnya lebih dari tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). "Meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasangan calon, tetapi tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya, dalam pemilu yang lalu-lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon," kata LaNyalla. Dampak dengan hanya ada dua pasangan calon dalam pilpres, kata dia, adalah bisa menyebabkan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. "Kondisi itu masih dirasakan hingga detik ini, meski sudah ada rekonsiliasi. Tentu sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa dan negara ini," katanya. Menurut dia, implikasi kedua dari presidential threshold adalah menghambat putra-putri terbaik bangsa yang hendak maju di pilpres, tanpa naungan partai politik. "Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik," kata LaNyalla. Kemudian implikasi ketiga adalah bagaimana presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat, sebab dikatakan LaNyalla, pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih. "Peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi, karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju. Sehingga kedaulatan rakyat melemah digerus kedaulatan partai yang semakin menguat," katanya. Implikasi keempat dari presidential threshold, yakni tidak berdayanya partai kecil di hadapan partai besar mengenai pasangan calon yang akan diusung bersama. Padahal, partai politik seharusnya didirikan untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional. "Tetapi dengan aturan ambang batas presiden itu, maka peluang kader partai politik untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres," kata mantan Ketua Umum PSSI ini. Dari argumentasi tersebut, LaNyalla menganggap aturan presidential threshold sebenarnya lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Apalagi dalil bahwa presidential threshold disebut untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah. "Karena partai politik besar dan gabungan menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu, bukan di hilir," kata LaNyalla. LaNyalla menjelaskan, UU Pemilu sendiri merupakan buah dari amandemen UUD 1945 terdahulu. Menurutnya, amandemen konstitusi dari tahun 1999 hingga 2002 menjadi dasar lahirnya undang-undang yang menjadikan wajah Indonesia seperti hari ini. Oleh karenanya, senator asal Jawa Timur itu mengajak seluruh masyarakat untuk jujur menjawab dengan hati nurani, apakah arah perjalanan bangsa Indonesia semakin menuju kepada apa yang dicita-citakan oleh founding fathers bangsa ini atau semakin menjauh?. "Karena itulah, kenapa saya menggulirkan wacana amandemen ke-5, sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Sehingga kita harus mendorong MPR RI untuk bersidang dengan agenda amandemen, tetapi dengan suasana kebatinan untuk melakukan koreksi dan perbaikan atas amandemen yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002," katanya. Menanggapi presidential treshold, Rektor UMY Gunawan Budiyanto mengatakan bahwa hal tersebut tergantung dilihat dari aspek mana. Jika dilihat dari sisi kekuasaan tentu bermanfaat, karena sebagai sarana untuk menguasai kepentingan sebagai penguasa. "Kalau dari sisi rakyat tentunya ya dilihat sendiri. Banyak mudharatnya. Sebab adanya tirani kekuasaan akan menyebabkan kepentingan rakyat tertinggal," katanya. Sedangkan pembicara dalam FGD, Zainal Arifin Mochtar yang juga pakar hukum Tata Negara UGM mengatakan presidential threshold hanya untuk mengonsentrasikan kekuasaan untuk kepentingan tertentu. "Ini tidak bisa dilepaskan dari permainan oligarki. Yang kemudian kita takutkan adalah jangan-jangan kita dimainkan oleh sistem yang oligarki yang seakan-akan bagus dan dijamin MK (Mahkamah Konstitusi)," katanya. Meski demikian, menurut Zainal sebenarnya tidak perlu dengan amandemen guna menjawab soal Presidential Threshold, namun lebih mudah dengan Revisi UU tentang Pemilu, terutama pasal-pasal soal ambang batas itu. "Amandemen jangan sampai merusak sistem presidensiil. Presidensiil itu yang memilih presiden adalah rakyat. Jangan sampai presiden dipilih lagi oleh MPR atau parlemen," katanya. Dosen Fakultas Hukum UMY, Iwan Satriawan mengatakan banyak barikade-barikade yang harus dilalui dalam menggugat Presidential Threshold, karena pasti ada pihak-pihak yang menguncinya. "Semoga barikade itu bisa dibuka oleh DPD RI, tetapi DPD tidak bisa sendiri, harus dengan bantuan dari gerakan mahasiswa, organisasi-organisasi masyarakat atau civil society lainnya," katanya. Iwan sepakat semua partai harus bisa mencalonkan presiden, dan tidak dikunci dengan adanya ambang batas pencalonan presiden. "Kalau menurut saya, presidential threshold harus dihapuskan, agar muncul calon-calon potensial. Perlu tekanan publik yang kuat agar parpol memikirkan kepentingan negara bukan menghamba pada oligarki," katanya. (sws)

Terbuai Kemunafikan Demokrasi

Survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis 22 Mei 2021 baru-baru ini menemukan, 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai. Studi ini harus direspon dengan baik. Oleh Tamsil Linrung Jakarta, (FNN) - ADA banyak kemunafikan yang memompa denyut demokrasi di negeri ini. Hipokrasi itu membuai. Salah satunya berdetak pada pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Di hilir, rakyat dihipnotis seolah bebas dan berdaulat memilih pemimpin. Tetapi di hulu, daulat dan kebebasan itu dipasung secara konstitusional melalui aturan bernama Presidential Threshold (PT) alias ambang batas pencalonan presiden. Tak perlu mengulang-ulang mudharat PT yang lebih dominan ketimbang manfaatnya. Tentang hal ini, analisisnya telah banyak berserakan di media massa. Pun, sejarah telah memberi alarm. Setelah PT diangkat ke level 20 persen, pelaksanaan Pilpres 2014 dan 2019 terbukti hanya sanggup melahirkan dua pasang kandidat. Rakyat tidak punya pilihan lain. Terpaksa berikhtiar memilih satu dari dua pasang kandidat yang disuguhkan. Politik Kongsi harus pula diantisipasi. Dalam sebuah tulisan berjudul "UU Pemilu: Menakar Politik Kongsi," saya memaparkan potensi fenomena ini. Intinya, rekonsiliasi elitis Prabowo-Sandi dengan Jokowi-Ma'ruf Amin, meski dipandang baik, namun dapat mengilhami lahirnya cara-cara buruk berpolitik di masa yang akan datang. Berkongsi dalam politik adalah lumrah. Namun, menjadi jahat ketika kongsi dilakukan dengan mendesain hanya dua pasang kandidat Capres-Cawapres, bisa benar-benar berlawanan, bisa pula seolah-olah berseteru. PT membuka peluang menuju dua kemungkinan itu. Terlebih ketika oligarki terendus semakin menguat. Didukung jaringan dan sokongan finansial, oligarki bisa mengatur badut politik pada dua kubu bersebelahan. Siapa pun yang terpilih, pada akhirnya tetap menguntungkan sang cukong. Syukur-syukur, keuntungan itu bisa dibuat berlipat dengan mengondisikan semua kandidat dalam satu pemerintahan yang sama, kelak. *** Sebagai upaya menjaga muruah kedaulatan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terpanggil bergerak. Dalam beberapa pekan terakhir, Pimpinan DPD RI dan sejumlah Anggota DPD turun gunung. Menggalang dukungan masyarakat, pemda, pihak kampus, dan sejumlah stakeholders (pemangku kepentingan) bangsa lainnya. Langkah itu dipandang perlu karena belum terlihat greget, baik dari DPR maupun eksekutif untuk lebih serius membahas dan menakar PT secara rasional. Bila Presiden Joko Widodo berkomitmen pada demokrasi, seharusnya ada inisiatif eksekutif review sekaligus lobi-lobi politik. Kita menunggu political will presiden. Pun demikian dengan partai atau fraksi di DPR. Ketimbang menunggu hal yang tidak pasti, DPD bergegas. Hanya beberapa pekan, telah empat provinsi yang disambangi Ketua dan sejumlah Anggota DPD RI. Safari politik ini bermula di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, lalu berlanjut di Tarakan, Kalimantan Utara; Makassar, Sulawesi Selatan; dan DIY Yogyakarka. Melalui Focus Group Discussion (FGD) dan sejumlah kegiatan lain di daerah tersebut, terbaca keinginan rakyat untuk disajikan kandidat pemimpin nasional yang beragam dan proporsional dari sisi jumlah pasangan calon, sehingga mereka dapat pula berkontemplasi dalam menetapkan pilihan. Dulu, kalau seorang pemilih tidak senang dengan pasangan A, maka aternatifnya hanya dua, yakni golput atau terpaksa menjatuhkan pilihan pada kandidat pasangan B. Golput tentu tidak sehat bagi demokrasi. Sementara menjatuhkan pilihan pada kandidat B hanya karena tidak menyenangi kandidat A, juga bukan langkah yang sepenuhnya tepat. Rakyat tidak ingin dikekang dan dibuai demokrasi pura-pura lagi. Mereka ingin disajikan beberapa opsi sehingga nalar politiknya juga berkembang. Oleh karena itu, DPD berpendapat PT sebaiknya 0 (nol) persen saja, sehingga semua partai dapat mengusulkan calon presiden. Semakin banyak kandidat yang muncul, semakin besar peluang menghasilkan pemimpin berkualitas. Bagi DPD, salah satu langkah konstitusional yang bisa ditempuh adalah Amandemen Kelima UUD 1945. Pertimbangannya, pertama, karena amandemen pertama hingga keempat masih menyisakan frasa kalimat dan norma yang memungkinkan lahirnya UU yang merugikan bangsa. Lahirnya UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur soal PT, misalnya. Kedua, amandemen kelima membuka langkah penguatan DPD guna menyeimbangkan dua kamar dalam sistem bikameral secara proporsional. Kita tahu, kewenangan DPD di bidang legislasi yang hanya sebatas mengusulkan dan membahas, tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Atau dalam bidang pengawasan, DPD hanya sebatas memberikan masukan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan. Ketiga, amandemen kelima membuka peluang kemungkinan memulihkan hak konstitusional DPD RI mengajukan pasangan Capres-Cawapres. Disebut memulihkan karena bila melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, ketiadaan hak DPD mengajukan kandidat Capres-Cawapres adalah kecelakaan hukum yang harus dibenahi. Dulu, sebelum amandemen ketiga UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah. Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon. DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan utusan daerah. Maka, hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dikebiri. Termasuk hak mengajukan Capres-Cawapres. Lagipula, DPD istimewa dalam hal legitimasi. Bila utusan daerah dipilih secara eksklusif oleh anggota DPRD Provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui Pemilihan umum (pemilu) secara langsung oleh rakyat. Ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif non-partisan yang memiliki akar legitimasi kuat, sehingga hak DPD untuk mengajukan calon presiden dan wakil adalah rasional. Berbeda dengan DPD RI, DPR RI tentu sebagai unsur partai sudah terwakili dalam usulan partainya, sehingga tidak perlu ada pembenturan dan kekhawatiran akan keharusan adanya juga calon tersendiri dari unsur DPR RI. Bahkan, menjadi pembenaran rasional ketika masyarakat merindukan kandidat di luar pilihan partai, salah satu pilihannya adalah calon usulan DPD RI, atau dari keterwakilan unsur non partisan. Survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis 22 Mei 2021 baru-baru ini menemukan, 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai. Studi ini harus direspon dengan baik. Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat. Maka penguatan lembaga DPD secara tidak langsung adalah penguatan kedaulatan rakyat. ** Penulis adalah anggota DPD RI.

Golkar DIY Pelopor Utama Jagokan Airlangga sebagai Capres 2024

Bantul, FNN - Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi pelopor utama yang menjagokan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. "DPD Golkar DIY pelopor utama menjagokan pak Airlangga sebagai capres, jadi belum meriah seperti ini kita sudah mengajukan capres, termasuk doa-doa rutin kita panjatkan," kata Ketua DPD Partai Golkar DIY Gandung Pardiman usai menghadiri Pelantikan Badan dan Lembaga DPD Partai Golkar Kabupaten Bantul, di Bantul, Sabtu. Oleh karena itu, kata dia, saat ini jajaran DPD Golkar kabupaten dan kota se-DIY mendukung langkah-langkah Ketua Umum (Ketum) Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar Ahmad Dolly Kurniawan yang sedang melakukan kajian dan simulasi pemasangan capres. "Sekarang baru dikaji dan disimulasi pak Airlangga itu cocoknya dengan siapa, kita dukung sekali, mudah-mudahan simulasi tidak sekadar bagaimana bisa memimpin Indonesia itu bersatu betul," kata Gandung. Selain itu, lanjut dia, bagaimana Pancasila sebagai ideologi negara tetap aman, negara bisa 'ayem tentrem' (tenang dan tenteram) tidak ada agenda-agenda yang tersembunyi dalam mengelola negara. "Itu salah satu perhitungan pemasangan pak Airlangga, jadi tidak sekadar bagaimana harus menang, tapi bagaimana memimpin negara ini dengan baik. Pak Dolly yang melakukan kajian," kata anggota DPR RI dari DIY tersebut. Ketua DPD Golkar DIY menjelaskan bahwa dalam menggaungkan Airlangga sebagai Capres 2024 dalam waktu dekat intenal partai akan mengadakan prarapat koordinasi (rakor) pemenangan pemilu untuk merumuskan bersama dan memberi masukan kepada Ketua Umum. "Jadi, pak Airlangga cocok dengan siapa, kita akan memberikan kriteria simulasi, kriteria akan kita berikan kepada Pak Dolly, mudah-mudahan ada yang bisa memenuhi kriteria yang dicanangkan DPP Partai Golkar, tanggal 10 Juni 2021," katanya. Dia mengatakan, segala kemungkinan untuk berpasangan dengan kandidat dari luar Golkar yang kini muncul bisa terjadi, asalkan punya jiwa pancasilais sejati, bisa pertahankan NKRI, dan mempunyai wawasan kebangsaan kuat serta jiwa kenegarawan. "Kalau dengan pak Anies (Anies Baswedan) bagaimana, dengan Pak Ganjar (Ganjar Pranowo) bagaimana, plus-minusnya bagaimana sekarang baru digodok di DPP Partai Golkar, jadi ini digodok oleh satu tim, bagaimana yang cocok untuk jago kita ini," kata Gandung. (sws)

PDIP Minta Kader Turun Raih Simpati Warga Sumbar

Padang, FNN - Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Keagamaan Hamka Haq meminta kader partai turun ke bawah untuk meraih simpati masyarakat daerah ini guna menjaga elektabilitas partai. "Seluruh struktur partai harus turun ke seluruh lapisan masyarakat dan fokus menggalang generasi milenial yang jumlahnya sekitar 51 persen," kata dia saat memberikan arahan pada Rapat Kerja Daerah (Rakerda) PDIP Sumatera Barat, di Padang, Sabtu. Ia meminta kalangan kader partai untuk selalu menjaga citra partai. Menurut dia, dalam beberapa waktu terakhir ini elektabilitas partai naik turun dari 24 persen kemudian jadi 19 persen. Hal ini disebabkan sejumlah kader terkena prahara. Namun saat ini elektabilitas partai sudah pada angka 22 persen merujuk sejumlah hasil survei beberapa lembaga survei, katanya. "Seluruh kader jangan sampai terbuai dengan hasil survei sebagaimana sering ditegaskan ibu Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dalam berbagai kesempatan," kata dia. Ia mengingatkan seluruh kader partai agar tidak terlibat korupsi dan narkoba apabila terlibat dua hal ini maka akan langsung dipecat. "Perilaku korupsi dan narkoba merupakan perbuatan tercela secara agama dan hukum di negara kita," kata dia.

Ketua DPD RI Tekankan Pentingnya Amandemen Kelima UUD 1945

Yogyakarta, FNN - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menekankan pentingnya amendemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. LaNyalla menyampaikan hal tersebut saat menjadi pembicara kunci dalam "focus group discussion" (FGD) dengan tema "Presidential Threshold: Antara Manfaat dan Mudarat" di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu. "Saya menggulirkan wacana amendemen kelima sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan Bangsa sehingga kita harus mendorong MPR RI untuk bersidang dengan agenda amendemen, tetapi dengan suasana kebatinan untuk melakukan koreksi dan perbaikan atas amendemen," kata dia. Menurut LaNyalla, perjalanan amendemen pertama hingga keempat UUD 1945 yang terjadi dari tahun 1999 hingga 2002, berbuntut negatif terhadap kedaulatan rakyat. Ia menilai banyak frasa kalimat dan norma yang harus dikoreksi dari hasil amendemen konstitusi terakhir. Sebab, akibat amendemen tersebut lahirlah sejumlah undang-undang yang merugikan bangsa. Salah satunya, ia menyebutkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur soal ambang batas calon presiden-wakil presiden atau presidential threshold. Menurut dia, aturan tersebut mengebiri kedaulatan rakyat dengan membatasi calon-calon pemimpin terbaik untuk mendapat hak yang sama bisa tampil pada pemilihan umum. "UUD hasil Amendemen di Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang," ujarnya. Kemudian Pasal 6A Ayat (2) menyebutkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. "Nah, perintah membuat syarat-syarat melalui Undang-Undang di Pasal 6 Ayat (2) dan frasa kalimat 'sebelum pelaksanaan pemilihan umum' yang tertuang di Pasal 6A ayat (2) menyebabkan lahirnya Undang-Undang tentang Pemilu, yang memberi syarat ambang batas atau Presidential Threshold dan memberikan kewenangan kepada partai politik peserta pemilu sebelumnya atau periode yang lalu untuk mengajukan usulan calon presiden dan wakil presiden," kata dia. Padahal menurut para pelaku amendemen, kalimat "sebelum pelaksanaan pemilihan umum" hasil amendemen itu normanya adalah partai politik peserta pemilu saat itu. Artinya, partai politik yang telah lulus verifikasi sebagai peserta pemilu ketika itu. Disebutkan juga, frasa kalimat "sebelum pelaksanaan pemilihan umum" bermakna pasangan capres-cawapres sudah diajukan partai politik sebelum pilpres dilaksanakan karena pilpres dilaksanakan melalui pemilihan umum, maka di amendemen dituliskan dengan frasa tersebut. "Dan frasa tersebut juga mengandung norma bahwa pileg dan pilpres tidak dilakukan serentak. Kalau pun dilakukan serentak, tetap saja pengajuan nama capres dan cawapres dilakukan oleh partai politik peserta pemilu tahun itu juga, yaitu partai politik yang sudah dinyatakan lulus verifikasi oleh KPU sebagai peserta pemilu, bukan partai politik periode pemilu sebelumnya atau partai politik lima tahun sebelumnya," kata LaNyalla. Atas dasar itu, Senator asal Jawa Timur ini menilai menjadi sangat tidak logis bila pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2019 diajukan oleh partai politik peserta Pemilu 2014. Begitu juga dengan Pilpres 2024, menurut dia, akan menjadi tidak logis apabila pasangan capres-cawapres diajukan oleh partai politik peserta Pemilu 2019. "Pertanyaannya bagaimana dengan partai politik pada tahun 2019 yang sudah tidak berada di parlemen? Atau seandainya ada partai politik yang sudah bubar. Berarti masih bisa mengusung capres dan cawapres," kata dia. "Atau sebaliknya, bagaimana dengan partai baru yang lahir dan lulus verikasi sebagai peserta Pemilu 2024 nanti? Tentu tidak bisa mengusung capres dan cawapres. Padahal dikatakan capres dan cawapres diajukan atau diusung oleh partai politik dan atau gabungan partai politik peserta pemilu," tambah LaNyalla. Sementara itu produk UU Pemilu mengeluarkan syarat pasangan calon pada pilpres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya yang tertuang dalam pasal 222. "Padahal di Pasal 6A Ayat (2) UUD hasil amendemen, kalimatnya adalah 'sebelum pelaksanaan pemilihan umum', bukan 'Pemilu anggota DPR sebelumnya' karena dua kalimat itu jelas berbeda artinya," ujar dia. LaNyalla mempersoalkan penambahan substansi syarat perolehan suara sah partai politik untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres. Aturan itu didalilkan atas perintah UUD hasil amendemen pasal 6 Ayat (2) yang menyebutkan "syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang". "Ini persoalan yang menyebabkan kedaulatan rakyat dikebiri, dengan membatasi calon-calon pemimpin terbaik untuk mendapat hak yang sama untuk bisa tampil di gelanggang," ujar LaNyalla. Tak hanya itu, Mantan Ketua Umum PSSI itu menilai presidential threshold memiliki dampak negatif lainnya di tengah-tengah masyarakat. Terbukti saat Pilpres 2019 muncul dua kubu yang menimbulkan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput pasangan calon. "Polarisasi ini bahkan tak kunjung mereda, meski elit telah rekonsiliasi. Akibatnya, dengung kebencian merajalela. Dan itu masih kita rasakan hingga detik ini," tuturnya. Amandemen keempat UUD 1945 juga menyebabkan calon presiden dan calon wakil presiden non-partisan tidak bisa berlaga di Pilpres. Setelah dihapuskannya utusan golongan dan diubahnya utusan daerah menjadi DPD sehingga hanya perwakilan dari partai politik yang bisa mengusung calon. "Padahal DPD ini jelmaan dari utusan daerah. Tapi kewenangannya untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden ikut dihilangkan, dan ini merugikan putra putri terbaik bangsa dari luar partai politik untuk maju sebagai calon di Pilpres. Maka ini yang sedang kami perjuangkan, agar DPD bisa menjadi sarana bagi calon-calon non-partisan maju sebagai capres maupun cawapres," kata LaNyalla. FGD yang dilaksanakan secara luring dan daring via zoom, dihadiri Rektor UMY, Gunawan Budiyanto dengan pembicara Zainal Arifin Mochtar (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada), Ridho Al-Hamdi (dosen ilmu pemerintahan UMY) dan Iwan Satriawan (dosen fakultas hukum UMY).

Tjahjo Apresiasi Jabatan Wamen di Kementerian PANRB

Jakarta, FNN - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo mengapresiasi jabatan wakil menteri (wamen) PANRB yang akan ditunjuk Presiden Joko Widodo. “Pada prinsipnya saya, sebagai pembantu Presiden, mengapresiasi dan siap melaksanakan tugas sesuai dengan Perpres tersebut,” kata Tjahjo Kumolo dalam keterangannya di Jakarta, Jumat. Penunjukan jabatan orang nomor dua di Kementerian PANRB tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2021 tentang Kementerian PANRB. Terkait tokoh yang akan ditunjuk sebagai wamen, Tjahjo mengatakan akan menerima dan siap bekerja sama dengan siapa saja. “Terkait siapa yang nanti akan ditugaskan Bapak Presiden sebagai wamen, saya sebagai Menteri PANRB siap saja menerima penugasan wamen PANRB oleh Presiden,” tukasnya. Tjahjo menilai Perpres dan penugasan wamen PANRB tersebut bertujuan untuk penguatan tugas Kementerian PANRB dalam upaya mempercepat reformasi birokrasi. “Hal itu semata-mata untuk penguatan tugas Kemenpanrb yang salah satu tugas utamanya adalah menjabarkan visi misi Bapak Presiden yaitu reformasi birokrasi,” jelasnya. Dia menambahkan reformasi birokrasi merupakan salah satu program pembangunan nasional yang perlu percepatan untuk mencapai tujuan tersebut. “Kunci sukses pembangunan nasional program kerja pemerintah Jokowi (Joko Widodo) dan Ma’ruf Amin ada pada penguatan reformasi birokrasi secara utuh,” ujarnya. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 47 Tahun 2021 tentang Kementerian PANRB yang ditandatangani Presiden pada 19 Mei 2021. Pada Pasal 2 Ayat 1 Perpres tersebut dijelaskan bahwa dalam memimpin Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menteri dapat dibantu oleh wakil menteri sesuai dengan penunjukan Presiden. (sws)