POLITIK

Ansor Jatim Nilai Khofifah Layak Kandidat di Bursa Pilpres 2024

Surabaya, FNN - Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur Syafiq Syauqi menilai Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa layak sebagai kandidat di bursa Pemilihan Presiden 2024. "Saya kira Ibu Gubernur punya kans besar untuk mengambil tampuk kepemimpinan Nasional, baik itu presiden atau wakil presiden," ujarnya ketika dikonfirmasi di Surabaya, Jumat. Menurut Gus Syafiq, sapaan akrabnya, peluang itu ada karena Khofifah merupakan figur yang bisa merepresentasikan perempuan dan Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, pihaknya mengaku bangga jika Khofifah benar-benar maju ke kancah nasional dan GP Ansor turut mendukung penuh. "Kami akan support Ibu Khofifah. Siapapun pasangannya, akan kami dukung. Yang penting bisa menjadikan republik ini selalu kondusif," ucapnya. Sementara itu, mencuatnya nama Khofifah Indar Parawansa untuk bursa Pilpres 2024 setelah namanya selalu muncul pada hasil survei beberapa lembaga. Selain itu, pertemuannya dengan sejumlah tokoh yang juga digadang-gadang bakal maju di pilpres ditafsirkan publik sebagai persiapan menuju 2024. Khofifah Indar Parawansa sudah beberapa kali bertemu Gubernur Provinsi lain, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Bahkan, Ridwan Kamil sudah dua kali bertemu dalam kurun waktu sebulan, yang pertama di Kota Bandung dan pertemuan kedua di Kota Surabaya akhir pekan lalu. Ridwan Kamil saat di Surabaya mengaku heran setiap kunjungannya ke luar daerah dalam rangka kedinasan selalu ditafsirkan ke 2024 yang dikenal sebagai tahun politik. "Tapi, saya juga tidak bisa menyalahkan karena memang tak bisa dihindari," kata Kang Emil (sapaan akrab Ridwan Kamil) di Surabaya pada Sabtu (29/5). Tahun 2024 disebut tahun politik karena dijadwalkan digelar pesta demokrasi secara serentak, yakni Pemilihan Umum Legislatif beserta Pemilihan Presiden, serta digelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tahun sama.

Pertemuan AHY-Ridwan Kamil di Bandung Tak Terkait Pilpres 2024

Bandung, FNN - Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Gubernur Jawa Barat (Jabar) M Ridwan Kamil melakukan pertemuan di Kota Bandung, Jumat. Kedua tokoh tersebut membantah jika pertemuan itu tidak terkait dengan pembicaraan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. "Berbicara 2024, saya pikir masih cukup jauh ya. Saya tidak ingin terlalu banyak spekulasi kalau politik sudah pasti berbicara isinya nanti saja," kata AYH seusai pertemuan di Nara Park Bandung. Bantahan serupa juga diutarakan oleh Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil. "Belum bisa dijawab karena politik bukan matematik. Nanti saja menjelang," kata Kang Emil. AHY mengatakan hingga saat ini dirinya sedang fokus bekerja di partai dalam menangani sejumlah permasalahan di Indonesia. "Kalau berbicara sejauh itu tidak ya. Kita sendiri mencoba realisitis fokus tadi dikatakan Kang Emil kita harus benar memahami situasi dan kita lebih baik fokus menangani Indonesia hari ini. Saya sendiri dalam kapasitas pimpinan politik bisa menyuarakan di parlemen misalnya. Masuk juga ke kepala daerah di Partai Demokrat, termasuk Kang Emil juga memimpin ini," kata AHY. Sementara itu, Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Barat Irfan Suryangara menyampaikan terima kasih atas kedatangan Ketua Umum Partai Demokrat ke Jawa Barat. "Kami ucapkan terima kasih atas kehadiran Pak Ketum. Pengurus dan kader semakin solid. Kedatangan Pak Ketum AHY menemui banyak kelompok masyarakat untuk mendengarkan langsung apa yg mereka rasakan akan menjadi referensi bagi DPD PD Jabar agar semakin mengukuhkan komitmen untuk terus bersama denyut dan suara rakyat di Jawa Barat," kata dia. Irfan juga ingin memastikan bahwa kebangkitan Partai Demokrat secara keseluruhan akan bermula dari Jawa Barat sebagaimana kecenderunganya dari hasil sejumlah lembagai survei yang ada. "Dari beberapa hasil survei yang telah dirilis saja, potensi kenaikan suara Partai Demokrat di Jawa Barat itu kan jauh lebih tinggi dari rata-rata kenaikannya secara nasional. Ini menjadi bukti bahwa konstribusi Demokrat di Jabar telah cukup signifikan," kata dia. Sehingga ke depannya, lanjut Irfan, kondisi eksisting ini yang akan terus dipertahankan dan ditingkatkan. "Prinsip saya, sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Saya tidak akan terlena oleh seberapa baik hasil yang telah diperoleh Demokrat di Jabar. Saya dengan seluruh pengurus, kader dan simpatisan Partai Demokrat se-Jabar akan berupaya memberikan konstribusi terbaik untuk Ketum AHY," kata Irfan.

Ketua MK Mengaku Dihujat di Kampung Halaman Pascaputusan Pilpres

Jakarta, FNN - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Anwar Usman mengaku orang yang paling dihujat oleh masyarakat di kampung halamannya Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pascaputusan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. "Orang yang paling dihujat waktu itu adalah saya," kata Anwar Usman saat memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Jumat. Hujatan terhadapnya karena NTB, terutama Kota Bima, merupakan lumbung suara dari Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Anwar Usman menyadari hujatan dari pendukung Prabowo-Sandi kepadanya karena Tanah Bima, NTB, tempat kelahirannya sehingga hal itu berimbas pada personalnya. Menurut dia, hal yang perlu dipahami bahwa tidak mungkin seorang hakim bisa memutuskan sebuah perkara yang dapat memuaskan semua pihak. Pasalnya, dalam memutus sebuah perkara ada dua pihak yang berkepentingan saling bertolak belakang. Selanjutnya, dalam memutus sebuah perkara, hakim akan menjadikan fakta yang terungkap di persidangan sebagai dasar dalam mengambil keputusan. "Apa pun isu dan fakta yang terjadi di lapangan tetapi tidak bisa dihadirkan atau diungkap di persidangan maka yang akan lahir adalah sebuah keputusan yang berbeda," katanya. Pada kesempatan itu, Anwar Usman memberikan sebuah contoh saat baju perang milik Ali bin Abi Thalib salah seorang khalifah sekaligus sahabat Nabi Muhammad saw. yang kehilangan baju tersebut. Suatu ketika Ali bin Abi Thalib mendapati baju perang miliknya berada di tangan seorang Yahudi. Ketika meminta baju itu, orang Yahudi tadi menolak dan mengatakan bahwa baju tersebut merupakan kepunyaannya. Ali yang merasa tidak terima membawa perkara itu ke pengadilan. Namun, saat di meja hijau, gugatan sang khalifah ditolak oleh hakim meskipun Ali menghadirkan dua orang saksi, yakni anak dan pembantunya. Pelajaran dari perkara tersebut, lanjut dia, ialah meskipun anak, pembantu, orang-orang sekitar, hingga sang hakim sendiri mengetahui bahwa baju perang itu merupakan milik Ali, dia gagal membuktikannya di persidangan. "Terus terang saya orang yang paling dihujat karena palu di tangan saya. Oleh sebab itu, perlu pencerahan kepada masyarakat," katanya.

PDIP Cabut Dukungan Terhadap Bupati Alor

Kupang, FNN - Bupati Alor, Nusa Tenggara Timur, Amon Djobo menyatakan bahwa pencabutan dukungan PDI Perjuangan terhadap dirinya merupakan hak dari partai berlambang banteng moncong putih tersebut. "Itu sah-sah saja, itu hak dari PDIP namun saya sangat menyesalkan hal tersebut," katanya saat menghubungi ANTARA di Kupang, Kamis. Hal ini disampaikan berkaitan pencabutan dukungan dari PDI Perjuangan terhadap dirinya pascavideo viral memarahi staf Kementerian Sosial berkaitan dengan penyaluran bantuan untuk korban bencana alam di kabupaten itu. Amon menyesalkan bahwa kebersamaan antara dirinya dengan PDI Perjuangan yang sudah lama terjalin dengan baik terpaksa harus terhenti. Bupati Alor tak menyangka bahwa PDI Perjuangan akan terpengaruh dengan rekaman video yang sebenarnya diunggah tidak secara utuh hanya mengambil saat dirinya memarahi staf Kemensos. Ia mengaku bahwa dalam video viral itu dirinya sama sekali tak pernah menyebutkan PDI Perjuangan. "Jadi kemarahan saya itu karena adanya tata kelola penyaluran bantuan sosial kepada korban bencana Seroja yang dilakukan Kemensos," kata dia. Ia mengaku bahwa sebenarnya kasus memarahi staf Kemensos dan menyebut Menteri Sosial itu sudah terjadi sejak April lalu, bahkan dirinya sudah menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada Mensos saat ke Alor beberapa waktu lalu. Terkait surat pencabutan dukungan itu, Amon mengaku belum mendapatkan surat pemberitahuan resmi dari DPP PDI Perjuangan tentang pencabutan rekomendasi atau dukungan mereka terhadap bupati dua periode itu. Meskipun dukungan dicabut, katanya, saat ini masih ada 14 kursi DPRD Alor yang masih mendukung posisinya sebagai kepala daerah. Sementara PDI Perjuangan Alor hanya memiliki empat kursi di DPRD Alor. Sebelumnya anggota DPR RI asal Dapil NTT 1 Flores Lembata dan Alor Andreas Hugo Parera menyatakan bahwa DPP PDI Perjuangan mencabut rekomendasi dan dukungan kepada Bupati Alor, Nusa Tenggara Timur, Amon Djobo, setelah video viral yang bersangkutan memarahi anak buah Menteri Sosial Tri Rismaharini. "Surat pencabutan dukungan dilakukan karena DPP PDI Perjuangan pada November 2017 sempat mengeluarkan rekomendasi dukungan kepada Amon Djobo untuk maju pada Pilkada Alor 2018," katanya. Melalui surat pencabutan dukungan ini, DPP menginstruksikan DPC PDI Perjuangan Alor untuk berkoordinasi dengan seluruh jajaran Fraksi PDI Perjuangan di DPRD setempat untuk mengambil sikap terhadap bupati dalam proses penyelenggaraan pemerintah di Kabupaten Alor.

Koalisi Golkar-Nasdem Bisa Usung Paslon Presiden

Jakarta, FNN - Sekretaris Fraksi Partai NasDem DPR RI Saan Mustofa menilai apabila partainya berkoalisi dengan Partai Golkar pada Pemilu 2024 sudah bisa untuk mengusung pasangan calon presiden-calon wakil presiden. "Koalisi Golkar dan NasDem sudah cukup untuk mengusung pasangan calon presiden. Itu sudah lebih dari 20 persen syarat gabungan parpol mengajukan capres," kata Saan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis. Dia mengakui NasDem menjalin komunikasi intensif dengan Golkar karena keduanya memiliki persamaan platform partai dan historis. Namun, menurut dia, partainya tetap menjalin komunikasi politik dengan partai politik lain untuk membangun koalisi agar kontestasi Pilpres 2024 bisa memenuhi persyaratan. "Secara matematis bisa menghadirkan tiga pasangan calon kalau asumsi ambang batas pencalonan capres sebesar 20 persen. Idealnya bisa lima pasang namun kalau tiga pasang sangat memungkinkan," ujarnya. Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu menilai ruang munculnya tiga pasangan calon pada Pilpres 2024 sangat terbuka karena dari sisi kandidat belum ada sosok yang sangat menonjol sehingga elektabilitasnya setara. Hal itu, katanya, membuka ruang masing-masing tokoh yang muncul dari berbagai hasil survei untuk bisa menjadi capres dan tidak mengerucut dua nama. "Namun menurut saya ini nanti tergantung kepada formulasi pengerucutan dari masing-masing partai," katanya. Saan mengatakan saat ini partainya sedang mempersiapkan format Konvensi Capres 2024 dan secara teknis akan mulai berjalan pada tahun 2022. (ant)

Jangan Paksakan Puan Maharani (Calon) Presiden!

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Puan Maharani, putri Megawati Soekarnoputri yang menjabat Ketua DPR RI itu, bakal bersaing dengan Ganjar Pranowo yang masih menjabat Gubernur Jawa Tengah, untuk mendapatkan tiket maju sebagai Calon Presiden 2024 mendatang. Persaingan kedua kader PDIP itu tampak ketika Ganjar tak diundang untuk acara penting partai yang berlangsung di Semarang, 22 Mei 2021 lalu. Padahal, acara itu sangat penting. Yaitu, pengarahan soliditas kader internal PDIP. Dihadiri oleh seluruh kepala daerah asal PDIP se-Jateng. Sangat tidak masuk akal jika Ganjar tidak diperlukan hadir. Ganjar malah pergi menemui Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jakarta saat Puan mengarahkan elit PDIP di Semarang. Apakah yang dilakukan Puan itu sebagai upaya membendung Ganjar yang namanya semakin populer kader PDIP yang layak maju Pilpres 2024? Mengapa Ketum PDIP itu menerima Ganjar di Jakarta hanya untuk menyerahkan lukisan? Meski Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto mengatakan, Ganjar sudah kelewatan, terlalu maju, dan sok pintar, hal itu bukan berarti Ganjar benar-benar mau “disingkirkan”. Jika mau disingkirkan, Megawati tidak akan menemuinya. Bambang mengatakan semua ini terkait pencapresan 2024. Dalam berbagai survei, Ganjar memang dipandang prospektif untuk ikut pilpres. Dia sangat agresif. Dia tunjukkan ambisi pilpres 2024 melalui medsos dan menjadi host di YouTube. Sebaliknya, elektabilitas Puan nyaris tak tampak. Padahal, Megawati menginginkan dia maju bersama Prabowo Subianto sebagai pasangan capres atau cawapres. Popularitas Ganjar dirasakan mengancam Puan. Makanya, Megawati harus hentikan Ganjar! Menghentikan langkah Ganjar justru bisa merugikan PDIP sendiri! Pasalnya, prestasi Puan nyaris tak ada sama sekali, meski pernah menjabat Menteri dan kini Ketua DPR RI. Tidak ada pengalaman politik dan prestasi yang sangat menonjol! Tinggal kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya. Bagi Megawati dan PDIP sangatlah mudah sekali menyingkirkan Ganjar. Tinggal “perintahkan” KPK agar mengusut aliran dana proyek e-KTP senilai US$ 500 ribu ke kantong Ganjar.. Seperti dilansir Tempo.co, Kamis (8 Februari 2018 16:20 WIB), Setya Novanto dalam sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta menyebut mantan koleganya di DPR RI, Ganjar Pranowo, turut menerima aliran dana proyek e-KTP. Menurutnya, informasi bahwa Ganjar menerima duit e-KTP US$ 500 ribu didapatnya dari mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Mustokoweni Murdi; politikus Hanura Miryam S. Haryani; dan terpidana e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong. “Yang pertama pernah Mustokoweni saat ketemu saya menyampaikan uang dari Andi untuk dibagikan ke DPR dan itu disebut namanya Pak Ganjar,” kata Setnov, saat menjadi terdakwa e-KTP, di Pengadilan Tipikor, Kamis, 8 Februari 2018. Selain Mustokoweni, Miryam menyampaikan keterangan yang sama. Adanya pemberian duit itu semakin diperkuat dengan pengakuan Andi kepada Setnov. Ia mengaku telah memberikan uang untuk beberapa politikus di Komisi II DPR, termasuk Ganjar. Untuk itu Setnov ketemu, dia penasaran apakah sudah selesai dari teman-teman. “Pak Ganjar bilang, itu yang tau Pak Chairuman Harahap (Ketua Komisi II DPR saat itu),” ujar Setnov. Pengakuan Setnov ini menanggapi adanya pertemuan tidak disengaja antara dia dan Ganjar. Dalam kesaksiannya itu, Ganjar mengaku pernah bertemu Setnov di lounge keberangkatan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali, pada 2011 atau 2012. Saat itu, Setnov mengatakan agar Ganjar tak galak-galak sehubungan dengan proyek e-KTP. Namun, Ganjar tak menjelaskan rinci apa maksud pernyataan Setnov. “Dia (Setnov) pernah bilang, 'Ganjar sudah selesai. Jangan galak-galak lah',” kata Ganjar menirukan ucapannya. Jaksa Penuntut Umum KPK memiliki bukti arsip perjalanan Setnov dan Ganjar. Keduanya memang hendak meninggalkan Denpasar dengan tujuan keberangkatan yang berbeda pada 6 Februari 2011. Ganjar membantah pernyataan Setnov. Menurutnya, Mustokoweni justru pernah menjanjikan uang, tapi ditolak. Begitu juga dengan Miryam Haryani. “Keterangan Pak Setya Novanto itu tidak benar,” kata Ganjar. Menghentikan langkah Ganjar dikaitkan dengan kasus e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu juga sangat beresiko. Pasalnya, Puan juga disebut-sebut kecipratan duit panas proyek e-KTP sebesar US$ 500 ribu. Setnov mengetahui adanya aliran dana haram uang e-KTP ke Puan Maharani dan bahkan Pramono Anung dari pernyataan dua pengusaha, Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Masagung, saat keduanya berkunjung ke kediaman Setnov. Hal itu diungkapkan Setnov ketika menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa perkara dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis, 22 Maret 2018. Jika Ganjar diganjal dengan kasus ini, pasti dia akan seret Puan juga. Bahkan, Pramono Anung juga bakal terseret. Setnov ketika itu menjabat Ketua Fraksi Golkar saat‎ proyek e-KTP berlangsung. Sedangkan Puan, saat itu menjabat Ketua Fraksi PDIP dan Pramono Anung sebagai Wakil Ketua DPR. Untuk mengganjal Ganjar yang tidak menyentuh Puan, kasus Apel Kebangsaan yang digagas oleh Ganjar Pranowo dan Pemprov Jateng yang pernah menjadi perhatian publik, menjelang Pilpres 2019, bisa dipakai Megawati dan PDIP. Konon, puluhan pengacara yang tergabung dalam Advokat Bela Keadilan (Abeka) ketika itu akan melaporkan Ganjar ke KPK terkait penggunaan dana apel kebangsaan yang bersumber dari Pemprov Jateng sebesar Rp 18 miliar. ”Kita sudah kumpulkan data, tinggal laporan ke KPK. Tinggal koordinasi apa saja bahan yang sudah dikumpulin, yang jelas banyak,” kata Tim Advokat Bela Keadilan, Listyani, Senin (18/3/2019) ketika itu. Ia menjelaskan bahwa bukti yang dimiliki berupa daftar pemenang tender acara, kemudian ada daftar undangan dari berbagai instansi di semua daerah. Apel kebangsaan yang digelar Pemprov Jateng di Simpang Lima, Semarang, diisi dengan orasi kebangsaan dari sejumlah tokoh pejabat hingga ulama. Biaya penyelenggaraan Apel Kebangsaan mencapai Rp 18 miliar. Menurut Ganjar, anggaran itu sebagian besar digunakan untuk konsumsi, transportasi, dan atribut para pengunjung. Sebab, Ganjar menargetkan Apel Kebangsaan dihadiri sekitar 100 ribu orang. Apel Kebangsaan bertajuk “Kita Merah Putih” berlangsung pada Minggu, 17 Maret 2019. Namun, acara yang bakal berlangsung selama setengah hari dengan menutup jalan tersebut mendapat kritikan karena alokasi anggarannya dinilai terlalu fantastis. Berdasarkan data Satuan Kerja (Satker) Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jateng, nilai pagu anggaran kegiatan itu senilai Rp 18.764.420.000. Menurut Koordinator Lembaga Advokasi Hukum dan Kebijakan, Omah Publik, Nanang Setyono, anggaran Rp 18,7 miliar terlalu fantastis jika hanya untuk kegiatan pengumpulan masyarakat. Ia mempertanyakan sumber anggaran 18,7 miliar itu dari mana? Jika bersumber dari APBD murni 2019 yang sudah disahkan pada 2018, lalu bagaimana itu sesungguhnya. “Karena kami lihat, rencana Apel Kebangsaan ini dibuat setelah anggaran APBD disahkan,” ujarnya. Nanang menyebut, anggaran belasan miliar itu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk program yang lebih real yang manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat luas. “Karena kami melihat dari rundown acara, duit Rp 18,7 miliar itu hanya digunakan untuk ‘anggaran makan, anggaran hiburan, anggaran doorprize’,” celetuk Nanang. Jika Ganjar “dibidik” dengan kasus Apel Kebangsaan yang menelan biaya Rp 18,7 miliar itu diluncurkan, dapat dipastikan Ganjar bakal terjengkang dan Puan melenggang. PDIP sadar betul rendahnya kapasitas Puan untuk dicapreskan. Jadi Menko PMK tidak bunyi. Menjadi Ketua DPR juga sunyi. Karena itu, perlu adanya skenario khusus untuk memuluskan rencana pencapresan Puan, Sang Putri Mahkota pada 2024. DR. Arief Munandar menyebut caranya. Bangun koalisi besar partai-partai. Pastikan hanya ada 2 pasang calon. Satu Puan. Satu lagi calon boneka. Jika rakyat tidak waspada dan segera bergerak, lagi-lagi kedaulatannya akan dirampok! *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

DPR Meminta KPU Bikin Alternatif Skenario Pemilu 2024

Jakarta, FNN - Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat alternatif skenario jadwal Pemilu 2024, karena sebelumnya lembaga penyelenggara pemilu itu mengusulkan pelaksanaannya dipercepat dari 21 April 2024 menjadi 21 Februari 2024. "Saya minta kepada KPU jangan skenario itu hanya di bulan Februari. Lihat alternatif lain, paling tidak dua alternatif," kata Guspardi Gaus di Jakarta, Rabu. Dia mengatakan, usulan KPU sudah dikemukakan pada rapat dengar pendapat (RDP) secara tertutup di DPR pada Senin (24/5). Dalam RDP tersebut menurut dia, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga mengusulkan jadwal pelaksanaan pemilu yaitu digelar Maret 2024 dengan pertimbangan terkait anggaran dan kondisi cuaca. "Februari musim hujan, partisipasi pemilih (dikhawatirkan) berkurang. Kemudian tempat pemungutan suara (TPS) tidak semua bangunan permanen," ujarnya. Politisi PAN itu menilai tidak masalah pelaksanaan pemilu tidak berlangsung pada 21 April 2024, namun skenario pelaksanaannya harus dirancang secara matang agar tidak berbenturan dengan jadwal pemilihan lainnya. Karena itu menurut dia Komisi II DPR akan membahasnya pada waktu yang tepat, karena perlu masukan saran dari berbagai elemen. "Terutama akan berlangsung pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang diusulkan 20 November 2024," ucap-nya. Selain itu menurut dia adanya potensi dua putaran pemilu, gugatan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), dan pemungutan suara ulang. Dia menilai semua hal tersebut akan menyita waktu dalam rangkaian proses Pemilu sehingga jadwal-nya harus disusun secara matang. (sws/ant)

Pengamat Intelijen Jagokan Laksamana TNI Yudo Margono Jadi Panglima TNI

Jakarta, FNN - Pengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan, Ngasiman Djoyonegoro menyatakan Laksamana TNI Yudo Margono layak menjadi Panglima TNI untuk menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang pensiun pada akhir tahun 2021. "Tentang loyalitas, tak ada yang bisa membantah loyalitas Kasal ke-27 ini. Seluruh tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya selalu dilaksanakan dan diselesaikan dengan baik dan paripurna," kata Ngasiman dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu. Menurut dia, Yudo yang mulai menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) pada 20 Mei 2020, tidak sembarang menjadi prajurit TNI AL. Serangkaian kemampuan dan kecakapan, serta loyalitas adalah sebagian syarat yang harus dimiliki. Menurut Simon, panggilan akrab Ngasiman Djoyonegoro, bahwa rekam jejak atau track record ini dibuktikan Yudo bahkan jauh sebelum dirinya menjadi Kasal. Dia mencontohkan, saat menjabat sebagai Panglima Koarmada 1 (Pangkoarmada 1), Yudo dengan kesigapannya memimpin Satgas Laut dalam SAR pencarian bangkai pesawat Lion Air JT 160 yang jatuh di perairan Laut Jawa pada tahun 2019. Sehingga dengan kesigapan satgas di bawah pimpinannya tak butuh lama untuk menemukan serpihan dan CVR pesawat nahas tersebut. "Kesuksesan pada saat menjabat Pangkoarmada 1 menghantarkannya menjabat sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan 1 (Pangkogabwilhan 1)," kata Simon. Sebagai Pangkogabwilhan 1, lanjut dia, yang merupakan organisasi baru TNI untuk mengantisipasi tantangan keamanan ke depan, wilayah kewenangannya bukan hanya di laut tetapi meliputi darat, laut, dan udara. Hal itu tentu tantangan dan permasalahan yang dihadapi semakin besar. Menjalani jabatan ini pun bukan masalah yang besar bagi sosok Yudo Margono. "Dengan wawasan dan pengalamannya memimpin, Yudo berada posisi terdepan di kisruh perairan Natuna yang diklaim sebagai wilayah China. Berulang kali ia memerintahkan kapal-kapal TNI untuk melakukan penegakan hukum di wilayah yang masuk hak berdaulat Indonesia tersebut. Sebagai Pangkogabwilhan 1, ia punya pengalaman membawahi AD, AL dan AU," tutur Simon. Lebih lanjut, Simon menjelaskan bahwa saat virus corona merebak di berbagai penjuru dunia dan Indonesia harus memulangkan WNI dari Wuhan, Yudo kembali dipercaya untuk memimpin proses rehabilitasi di hanggar Lanud Raden Sadjad, Natuna. Tak hanya itu, ABK kapal pesiar yang diobservasi di Kepulauan Seribu juga dikomandoi olehnya. Pemerintah lalu membangun RSD di Wisma Atlet Kemayoran. Setelah beroperasi, Yudo juga dipercaya memimpin operasional RSD sampai akhirnya diserahkan ke Pangdam Djaya Mayjend TNI Eko Margiyono kala itu. Begitu juga dengan RSD Pulau Galang, Yudo juga yang mengomandoi. Bahkan, saat dirinya menjabat Kasal, perhatian kepada relawan tenaga medis COVID-19 di Wisma Atlet terus diberikan. Hingga pada akhirnya, kata dia, sebagai apresiasi dan pemenuhan komitmen, Yudo Margono mengangkat relawan COVID-19 menjadi prajurit TNI AL. "Pengalamannya memimpin di jajaran Kogabwilhan 1 membuktikan bahwa Laksamana TNI Yudo Margono adalah seorang prajurit sejati yang dapat mengomandoi lingkup 3 matra. Darat, laut, dan udara," katanya. Selain itu, sebagai Kasal, tak perlu lagi ditanya tentang loyalitasnya. Garis lurus, itulah jawaban yang akan didapat. "Loyalitas yang tegak lurus, baik ke atas maupun ke bawah. Ke atas dibuktikan dengan tugas-tugas yang diselesaikannya dengan baik dan paripurna. Ke bawah dibuktikan dengan perhatiannya kepada keluarga besar TNI AL yang menjadi tanggung jawabnya," jelas Simon. Jika ditengok peristiwa musibah KRI Nanggala-402, kata dia, akan dimengerti bagaimana loyalitasnya kepada keluarga korban. Bersama Panglima TNI, Yudo ikut melaut untuk mencari keberadaan KRI Nanggala-402. "Saat KRI Naggala-402 dipastikan tenggelam, Yudo menyambangi beberapa keluarga korban dan bersama Presiden, Menhan, dan Panglima TNI mengadakan pertemuan dengan para keluarga korban," tutur Simon. Simon mengatakan bahwa Yudo punya keunggulan jika nanti menjadi Panglima TNI untuk mengatasi masalah di tanah air. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, kata dia, pengamanan wilayah laut dan kepulauan dari pencaplokan oleh negara-negara lain. Akibat potensi eskalasi konflik lintas negara di Laut China Selatan ke depan yang cukup tinggi serta dukungan penjagaan laut yang merupakan garda terdepan dalam menjaga kedaulatan, tentu upaya diplomasi tetap dijalankan. Disamping itu, kejahatan trans-nasional, seperti penyelundupan senjata juga terjadi di laut. "Yang pertama tentu pengamanan wilayah laut dan kepulauan dari pencaplokan oleh negara-negara lain," tuturnya. Dan yang kedua, menurut Simon, adalah visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia perlu dilanjutkan. Poros Maritim Dunia bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia. Ketiga, Yudo dinilai bisa membangun sinergisitas dan soliditas dengan tiga Matra dan Polri. Keempat, Yudo juga punya pengalaman memimpin penanganan COVID-19. Saat memimpin, tambah Simon, Yudo memahami bagaimana perkembangan dunia teknologi kesehatan yang diperuntukkan bagi kekuatan militer. Artinya, dalam upaya mencegah ancaman biowarfare (perang biologi) ke depan, menurut Yudo, sangat diperlukan. "Dan yang terakhir, tentu saja karena pengalaman serta loyalitasnya yang tak terbantahkan," tutupnya. Tak hanya Kasal Laksamana TNI Yudo Margono yang memiliki peluang untuk menjabat sebagai Panglima TNI, melainkan Kasad Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kasau Marsekal TNI Fadjar Prasetyo juga memiliki peluang yang sama.(sws/ant)

Partai Baru: Popularitas dan Elektabilitas Partai Gelora Tertinggi

Jakarta, FNN - Tingkat pengenalan atau popularitas, dan elektabilitas Partai Gelora besutan politisi Anis Matta tertinggi di antara partai-partai baru. Disusul oleh Partai Umat, Partai Masyumi Reborn, dan urutan paling buncit adalah Partai Hijau. Data tersebut disampaikan oleh Project Manager Rekode Research Center (RRC) Lisdiana Putri pada pemaparan Survey Nasional dengan tajuk “Peluang Partai Baru Mewarnai Politik Indonesia 2024,” di Jakarta, Selasa 1 Juni 2021. Survei dilaksanakan dari tanggal 26 April sampai 8 Mei 2021 dengan sampel 1.210 responden, tersebar di 34 provinsi. Usia minimum sampel 17 tahun, atau sudah memenuhi syarat sebagai pemilih. Margin error 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95%. Dari total 1.210 responden ada sebanyak 190 responden atau 15,7% menyatakan belum/tidak memilih partai-partai yang ada. Dari total responden yang belum/tidak memilih tersebut mereka menyatakan tahu Partai Gelora (32,1%), Partai Umat (30.0%), Partai Masyumi Reborn (30.0%) dan Partai Hijau (9.5%). Sementara yang tertarik memilih Partai Gelora (14.2%), Partai Umat (10.5%), Partai Masyumi Reborn (10.0%), dan Partai Hijau (9.5%). “Data survei tersebut menunjukkan partai-partai baru punya peluang untuk tampil. Angka Undiceded Voters masih cukup besar,” ujar Lisdiana Putri. Tinggal bagaimana partai membangun infrastruktur, dan mesin partai bekerja meningkatkan popularitas dan meyakinkan publik. End

Parlementary Treshold Itu Konstitusionalisme Bar-bar & Abal-abal

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Makassar FNN - Kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak selalu digerakan oleh kaidah-kaidah konstitusi. Sistem partai misalnya digerakan berdasarkan kalkulasi-kalkulasi praktis politisi. Indonesia bukan hanya tak terkecuali, tetapi menampilkan sesuatu yang, untuk beberapa alasan sama, dan cenderung bar-bar. Bahkan sangat abal-abal dan kampungan. Entah disebabkan oleh kegagalan mengenal esensi republic. Namun di dalamnya gagal dalam mengenal hak sebagai esensi republic. Parlementary threshold dilembagakan sebagai cara menyederhanakan partai politik. Cara ini, memiliki watak hantu. Bukan saja menghambat, tetapi malah cara ini telah menghancurkan esensi republik. Konyol Sekonyol-Konyolnya ​Politisi kacangan berdansa dengan ketidaktahuan dan kedunguan tentang hak dan esensinya dalam korelasi fungsionalnya dengan kerinduan orang menciptakan republik. Ketidaktahuan politisi tolol dan dongo yang tipikalnya adalah banyak bicara, selalu terangsang memukul lawan. Prilaku yang hanya demi menggelorakan kepentingan kelompoknya sendiri. ​Tidak perduli dengan adanya soal kebangsaan. Sama sekali tidak. Yang terlintas di kepalanya hanyalah kepentingan mereka sendiri. Interaksi antar partai yang tercipta berputar pada kesamaan kepentingan praktis semata. Dengan perhitungan untung-rugi buat mereka. Hanya sebatas itu. Tidak lebih. Prilaku ini sebagai akibat dari kedangkalan pengetahuan mereka mengenai politik, sistem politik dan sistem partai politik. Sialnya lagi, tabiat buruk ini tidak bakal menghambat mereka untuk memasuki arena pengambilan keputusan yang berdampak besar, dan fundamental untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Konyol dan bebal. Kebodohan dan ketololan politisi yang tak terlihat itu, ternyata tidak menghambat mereka terjun ke dalam pengambilan keputusan. Dalam kasus Indonesia, hal ini telah mengakibatkan sistem politik Indonesia terdekorasi sepenuhnya menjadi bar-bar, primitif dan kampungan. Tipikal sistem politik yang bar-bar dan abal-abal itu tersaji pada kenyataan partai-partai politik yang memperoleh suara. Yang bila dikonversi ke kursi di DPR hanya menghasilkan 5 atau 10 (lima atau sepuluh) kursi, bahkan 15 (lima belas) kursi di DPR. Mereka disingkirkan ole parlementary threshold. Mereka terlempar dari pembentukan pemerintahan, juga pembuatan keputusan politik. Pembaca FNN yang budiman. Parlementary threshold disodorkan sebagai cara untuk mencapai dua hal sekaligus. Pertama, mencegah Indonesia terdekorasi dengan rimba raya partai politik. Kedua, sistem pemerintahan presidensial dapat bekerja efektif. Ini dalih yang pada semua aspeknya terlihat sangat bodoh, tolol, picisan dan konyol. Dua argumen yang mengada-ada itu, sejauh ini didendangkan dengan manis oleh politisi-politisi picisan, kampungan tak kompeten. Sialnya kini telah terkonsolidasi ke dalam sistem. Padahal dua argumen itu, untuk alasan apapun, merusak. Bar-bar, abal-abal dan primitif karena sejumlah alasan. Pertama, pemilihan umum mana di dunia ini yang diikuti oleh kerbau dan kambing? Sejak kapan kerbau dan kambing menjadi citizen, atau warga negara? Kapan kerbau dan kambing itu menyandang hak, yang dengannya kerbau-kerbau dan kambing-kambing itu membentuk dan membubarkan pemerintahan? Jelas tidak ada. Yang ada adalah pemilu diikuti oleh manusia. Pemilu diikuti orang yang menyandang status warga negara dengan kualifikasi usia tertentu atau atribut civilian lainnya yang sah. Apa yang mau dikatakan dengan pernyataan pemilu tidak diikuti oleh kerbau dan kambing? Yang mau dikatakan dengan itu adalah tidak ada pemilu yang tidak berbasis elektoral. Konsep elektoral tidak pernah memiliki substansi lain apapun itu, selain “suara pemilih.” Politisi buta alam, yang selalu terbakar kepentingan bar-bar dan abal-abal, untuk alasan kebangsaan, hemat saya harus dituntut untuk mengerti dan memahami hakikat suara pemilih. Kelompok politisi jenis rendahan ini, harus diberitahu bahwa hakikat “suara pemilih” adalah pantulan murni dari harkat dan martabat mereka sebagai manusia merdeka. Suara pemilih merupakan cerminan kehendak dan kemauan sadar, yang mengalir dari kenyataan mereka sebagai mahluk manusia merdeka. Sebagai cermin harkat dan martabat, suara pemilih adalah cara pemilih menyatakan kehddaknya melalui orang-orang yang dipercaya mengurus kehidupannya kini, esok dan sesudahnya. Itu cara adil setiap orang merdeka memastikan pembentukan republik memang didedikasikan untuk kehidupan, yang selaras dengan harkat dan martabat mereka. Itu sebab yang layak dijadikan pijakan menertawakan parlementary threshold. Praktis parlementary threshold tidak lain merupakan cara minoritas konyol menyingkirkan dan menciptakan minoritas politik. Sungguh bar-bar. Tidak Adil, Harus Ditiadakan ​Terlalu bodoh berdansa dengan parlementary threshold, termasuk dengan nada-nada penyederhanaan parpol. Bodoh juga berdansa dengannya, dengan menggunakan nada demi memudahkan pengambilan keputusan. Semua nada itu, semanis apapun komposisinya, tidak bakal mampu untuk menghilangkan “ketidakadilan” yan melekat dalam konsep parlenmentary treshold itu. ​Ratusan ribu pemilih telah memilih seseorang, tetapi mereka harus terkapar, tersingkir hanya karena partai politik mereka tidak mecapai level parlementary threshold. Itu ketidakadilan, apapun alasannya. Polarisasi idiologi, dalam kasus Indonesia, andai mau disodorkan sebagai justifikasi atas kebijakan parlementary threshold itu, hemat saya sangat bar-bar, abal-abal, dungu dan dongo. ​Indonesia mutakhir memperlihatkan dengan sangat jelas betapa polarisasi idiologis yang dikahawatirkan itu, tidak lebih dari khayalan belaka. Tidak ada idiologi yang cukup jelas terlihat dalam kehidupan politik partai. Apalagi untuk partai yang bekerja pada pembentukan dan pengambilan keputusan, sejauh ini. Praktis tidak ada partai politik Indonesia sejauh ini, yang nyata-nyata bergerak dengan panduan idiologis mereka. Partai-partai yang menarik garis sejauh mungkin dari pemerintah, atau mereka tidak ikut dalam pemerintahan, tidak pernah dapat menyajikan eksistensinya sebagai penantang produktif. Tidak ada gagasan alternatif, yang jangankan membuat pemerintah terkapar, melirik pun tidak, yang disajikan partai-partai berada diluar gabungan partai pemerintah. PKS dan Partai Demokrat, sejauh ini, tidak terlihat sebagai dua partai yang datang dan keluar dengan gagasan oposisional. Apalagi menantang secara produktif keputusan-keputusan pemerintah. Relasi antar partai yang terlihat oposisional, dalam kenyataannya tidak memberi efek apapun. Jadi untuk apa bicara sistem politik, yang tidak lain adalah sistem partai politik? Toh sejauh ini tidak ada partai yang saling bersaing dalam gagasan-gagasan alternatif yang mengoreksi gagasan-gagasan pemerintah. Koor oke dengan kembang-kembang khas politisi, telah terukir nyata dalam politik mutakhir sebagai tipikal partai politik dalam kehidupan bernegara. Ukuran dan kekuatan, sesuatu yang biasanya sangat diperhitungkan dalam membicarakan partai, kini terlihat kehilangan relefansinya. Toh semuanya sama. Tetapi bukan soal itu yang mengakibatkan munculnya kebutuhan untuk menyingkirkan parlementary threshold yang konyol dan tolol itu. Bukan. Soalnya adalah bangsa ini tertipu, karena ketidakadilan itu dibuat seolah adil. Dengan argumen bahwa hanya itu cara yang tersedia dalam mencegah tumbuhnya multi partai di satu sisi, dan disisi lain mengefektifkan presidensial sistem. Dalam kasus Inggris misalnya, terdapat 10 (sepuluh) partai politik yang memperoleh suara satu koma dan nol koma pada pemilu 2005. Tetapi wakil-wakil partai satu koma dan nol koma itu, semuanya dikirim ke parlemen. Mau disebut sistem partai 13, karena ada tiga belas partai? Tidak juga tuh. Tetap saja disebut two party system. Inggris sangat waras dalam soal ini. Mereka mengenal hakikat suara pemilih. Mereka tahu dan apresiatif terhadap harkat dan martabat manusia. Itu menjadi sebab hilangnya alasan untuk menyangkal bahwa cara Inggris itu terhormat dalam mengisi rerpublik. ​Politisi-politisi Indonesia, untuk alasan tuntutan republik, harus mau mengambil pelajaran hebat yang disajikan Ingrgris itu. Menyingkirkan parlemntary threshold yang konyol, abal-abal bar-barbarian itu, mesti disegerakan. Parlementary threshold, apapun alasannya, tetap tidak adil. Harus ditiadakan. Penulis adalah Dosen Universitas Khiarun Ternate.