POLITIK

Pengamat: Pengkritik Presiden Bukan Berarti Menghina

Semarang, FNN - Analis politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono menegaskan mengkritik presiden dalam negara demokrasi adalah hal biasa sehingga jangan terburu-buru menuduh pengkritik menghina kepala negara, apalagi sampai ada tuduhan untuk memakzulkannya. "Kalau orang yang mengkritik atau menghina presiden, kemudian memaknainya untuk pemakzulan presiden, tentu overacting, ya," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Minggu. Untuk membuktikan apakah orang tersebut mengkritik atau menghina kepala negara, kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang ini, adalah lembaga peradilan. Teguh Yuwono lantas mengingatkan kembali bahwa negara demokrasi basis pertama adalah negara hukum. Jadi, apakah seseorang itu mengkritik, menghasut, melakukan hoaks, atau provokasi, majelis hakim pengadilan yang akan membuktikannya. Menyinggung soal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal-pasal penghinaan terhadap presiden di dalam KUHP, alumnus Flinders University Australia ini menyatakan tidak perlu pasal-pasal tersebut masuk dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Meski MK melalui putusannya Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007 telah mencabut Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 serta Pasal 154 dan 155 KUHP tentang Penghinaan Presiden dan Pemerintah, menurut Teguh Yuwono, hakim bisa menggunakan undang-undang lainnya. Ia lantas mencontohkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di dalam UU ITE Pasal 27 Ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

SUPSEMAR Jokowi kepada Luhut

By M Rizal Fadillah Bandung, FNN - Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan ditunjuk sebagai Koordinator PPKM Darurat untuk Jawa dan Bali sementara Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk di luar Jawa dan Bali. Khususnya penunjukan Luhut menjadi perhatian menarik karena untuk kesekian kali Jokowi mempercayakan pekerjaan strategis kepada Luhut Binsar Panjaitan. Publik menilai "Luhut Lagi Luhut Lagi". Apakah keadaan ini menjadi sinyal dari peristiwa semacam Super Semar sebagaimana saat Presiden Soekarno membuat Surat Perintah Sebelas Maret kepada Soeharto ? Mungkin terlalu jauh, tetapi bisa juga didekatkan. Kondisi yang diprediksi adalah Jokowi memang panik dengan penanganan pandemi Covid 19 yang dinilai gagal. Alih alih menurun nyatanya semakin melonjak tingkat keterpaparan masyarakat. Rumah sakit dan Rumah Isolasi merata penuh. Memang Luhut dan Airlangga yang menjadi Koordinator. Luhut tentu lebih dominan di samping seloroh "Luhut Lagi Luhut Lagi", juga Luhut ini dipandang sebagai "The Real President" atas pengaruh besarnya dalam pemerintahan Jokowi. Dalam hubungan dominan dengan RRC, Luhut menjadi LO nya. Proteksi atas nama investasi mampu mengabaikan kritik dan kegelisahan rakyat. Luhut adalah benteng pertahanan Jokowi. Pandemi menjadi beban berat Jokowi. Uang yang digunakan sangat besar, hutang membengkak, ekonomi tidak bergerak, investasi macet, dan lempar-lemparan kue tidak membantu. Korupsi juga terjadi dan mungkin juga saweran komisi. Prediksi normal kembali ternyata tak terealisasi bahkan Jokowi menyatakan jujur "ngeri dan gemetar" melihat BOR tinggi Wisma Atlet yang 92 % bed terisi. Di tengah pandemi yang membuat ngeri dan gemetar, Jokowi terus diserang kritik dari delapan penjuru angin. Mulai gelar pembual hingga desakan untuk mundur. Suara desakan semakin terdengar nyaring. Kepercayaan rakyat yang semakin melemah dan upaya untuk memperpanjang jabatan menjadi tiga periode mendapat perlawanan. Pandemi tidak mampu meng-upgrade kewibawaan karena tidak menggaet hati rakyat. Fikiran hanya ekonomi dan bisnis. Padahal pertumbuhan ekonomi ambruk. Pandemi menyalakan sinyal bahaya dan Jokowi mulai panik. Penunjukkan Luhut dan Airlangga adalah wujud dari kepanikan itu. Airlangga masih bersinetron ikatan cinta, Luhut lebih serius. Kepanikan adalah kegoyahan. Antisipasi disiapkan melalui amandemen perpanjangan, dekrit beralasan pandemi, serta "Super Semar". Luhut adalah orang Presiden yang paling dipercaya setelah kepercayaan lain Moeldoko ambyar. Pengalihan kekuasaan secara bertahap dimulai. Ujiannya dengan penanganan Jawa dan Bali. Luhut sangat siap. Semar adalah ayah Gareng, Petruk, dan Bagong (Jawa) atau Cepot, Dawala, dan Gareng (Sunda). Petruk atau Dawala berhidung panjang. Mereka ada dalam dunia pewayangan sebagai Punakawan. Kapan muncul dan kapan disimpan ditentukan oleh sang Dalang. Semar yang sakti tergantung Dalang yang "super". Jadi Super Semar akan dikeluarkan tergantung Dalang yang mengatur lakon permainan di Istana. Penunjukan Luhut Binsar Panjaitan apakah menjadi sinyal bahwa kedaruratan pandemi telah bergeser menjadi kedaruratan ekonomi dan politik sehingga diperlukan semacam Super Semar itu ? Dalang yang tentu lebih tahu. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Pimpinan MPR: Wacana Presiden 3 Periode Ubah Konstelasi Politik

Jakarta, FNN - Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid mengatakan perubahan periodesasi masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode dapat mengubah konstelasi politik nasional. Hal itu disampaikan Jazilul saat menjadi narasumber dalam acara Ngaji Kebangsaan dengan tema ”Membaca Aspirasi Warga Nahdiyin dan Nasionalis pada Pilpres 2024” secara virtual yang digelar Forum Cendekiawan Muslim Muda (FCMM), Kamis. ”Kalau perubahan muncul, Pilpres 2024 beda cara bacanya karena Pak Jokowi bisa maju lagi. Mudah-mudahan konstitusi tidak ada perubahan terkait dengan masa jabatan presiden sebab itu luar biasa dampak, efeknya terhadap partai politik untuk menyongsong Pilpres 2024,” katanya Jazilul dalam siaran pers yang diterima di Jakarta. Wacana yang beredar di ruang publik saat ini, lanjut dia, adalah perubahan periodesasi masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode serta menjadi 8 tahun setiap periodenya. Menurut pria yang akrab disapa Gus Jazil ini, hingga saat ini belum ada pengajuan resmi ke MPR soal wacana tersebut. "Ini santer juga isu amendemen UUD. Terus terang saya sampaikan sampai hari ini, di MPR yang sedang dikaji hanya soal memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara. Kalau soal usulan perpanjangan masa jabatan presiden, belum ada secara resmi," ujar Gus Jazil. Karena sampai hari ini belum ada pengajuan secara resmi ke MPR, secara konstitusi Jokowi tidak bisa maju lagi sebagai calon presiden pada pemilu mendatang. Ia mengutarakan bahwa banyak tokoh yang punya hak konstitusional menjadi presiden. "Kalau di PKB, memiliki Ketum Abdul Muhaimin Iskandar, panglima santri, tentu kami menimbang-nimbang, berfpkir serius memohon masukan Forum Cendekiwan Muslim Muda apakah sudah waktunya maju atau ada saran-saran yang bisa kami terima," kata Gus Jazil. Gus Jazil mengatakan bahwa hanya PDIP yang memiliki peluang mengusung sendiri. Namun, karena Indonesia yang majemuk ini, kemungkinan PDIP tidak akan mengusung sendirian karena untuk mengatur bangsa sebesar ini masa sendirian. Karena pada Pilpres 2024 kemungkinan tidak ada calon petahana, partai politik memiliki tugas untuk mencari sosok yang mampu memberikan harapan baru untuk mengatasi keadaaan saat ini. Ia mengaku belum bisa membaca apakah pada tahun 2024 pandemi sudah selesai. Masalahnya, banyak yang mengatakan pandemi turun Juli ini tetapi justru meningkat. "Pilpres 2024 akan dibayang-bayangi oleh dampak dari pandemi. Siapa pun calon presidennya harus mampu mengatasi dampak pandemi, baik dampak kesehatan maupun ekonomi," katanya. Terkait dengan isu politik aliran sesuai dengan tema yang dibahas dalam webinar tersebut, Gus Jazil mengatakan bahwa pascareformasi politik aliran mulai mengendur. Saat ini tantangan yang berat dan bisa menjadi benalu demokrasi adalah praktik politik transaksional. "Zaman Bung Karno kuat politik ideologi, politik aliran. Hari ini yang popular adalah politik transaksional, itu yang popular dan itu penyakit," ujarnya. Sejak 2015, lanjut dia, pemerintah sudah memutuskan adanya Hari Santri Nasional (HSN) sehingga tidak perlu ada lagi pemisahan antara kaum santri dan nasionalis. ”Nahdiyin itu pasti nasionalis. Santri itu pasti nasionalis. Kalau santri tidak nasionalis, itu berarti bukan nahdiyin. Di mana-mana digaungkan NKRI harga mati, Pancasila Jaya," katanya. Gus Jazil berharap diskusi yang dilakukan FCMM bisa memberikan masukan untuk mematangkan format dan harapan bangsa ke depan. ”Kalau PDIP sudah pasang gambar Bu Puan di mana-mana, itu kami hormati sebagai bagian pendidikan politik karena seorang figur memang harus muncul untuk menyampaikan visi dan misi. Tidak perlu malu-malu karena itu memang cara berpolitik yang ada," katanya. Menurut dia, pandemi COVID-19 tidak akan menghalangi bangsa untuk mencari cocok pemimpin yang terbaik. "Pada hari ini belum kelihatan sosoknya. Kalau puasa gitu hilal belum kelihatan, jadi belum bisa dibaca siapa sosok capres. Namun, setidaknya bisa membuat harapan ciri-ciri siapa yang paling pas. Saat ini sosoknya siapa masih kabur," tutur Gus Jazil. (sws)

Referendum Jokowi Pembual atau Berprestasi

By M Rizal Fadillah Badung, FNN - Mulai hangat pro dan kontra soal pandangan bahwa Jokowi itu pembual atau Jokowi berprestasi. Karena pembual maka wajar jika Jokowi mundur cepat. Tetapi argumen lain menyatakan bahwa Jokowi itu berprestasi karenanya layak untuk diberi kesempatan menambah periode Jabatan satu kali lagi. Pro kontra hanya buang enerji dan jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi friksi, konflik atau bahkan ledakan politik. Kasus postingan BEM UI "The King of Lip Service" mendapat dukungan BEM lain, bahkan dukungan kelompok atau tokoh-tokoh seperti Rizal Ramli, Faisal Basri, dan lainnya. Sementara pendukung Jokowi seperti Ruhut Sitompul dan Qadari mengkampanyekan perpanjangan tiga bahkan sampai lima periode. Suara rakyat suara Tuhan, kata Ruhut. Nah untuk membuktikan kebenaran suara Tuhan itu kemana, maka kita tanyakan saja kepada rakyat langsung melalui Referendum. Opsinya Jokowi pembual atau Jokowi berprestasi. Konsekuensinya jika menang suara "pembual" maka Jokowi turun secepatnya. Sebaliknya jika suara rakyat adalah "berprestasi", maka opsi perpanjangan periode dilegitimasi. Partai politik dan parlemen baik DPR maupun MPR mesti siap menangkap dan menindaklanjuti apa yang diputuskan oleh "suara tuhan'" yang didapat secara fair dan jujur. Jika "pembual" menang maka Pasal 7A UUD 1945 berkaitan dengan Presiden melakukan "perbuatan tercela" dapat diterapkan dan jika "berprestasi" yang menang maka MPR bersiap melakukan amandemen terhadap Pasal 7 UUD 1945 soal jabatan Presiden. Pendidikan politik dalam rangka membangun iklim yang demokratis harus terus diupayakan. Demokrasi kini telah tercuri oleh para penghianat oligarkhis, kapitalis dan kleptokratis. Mereka mengendalikan negara dan para politisi. Rakyat harus melakukan terobosan politik dalam menghadapi kebuntuan yang menyengsarakan. Referendum adalah bagian atau proses dari upaya itu. Ujungnya tidak lain apakah amandemen pasal 7 UUD 1945 atau penerapan Pasal 7A UUD 1945 yang rakyat kehendaki saat ini. Langkah konstitusional harus dijalankan dan untuk mengetahui aspirasi rakyat yang sebenarnya maka referendum adalah salah satu metode atau jalannya. Mengandalkan survey atau polling sudah tidak dapat dipercaya akan akurasinya. Sarat kepentingan. Pasal 7 UUD 1945 atau Pasal 7A adalah pilihan menarik, diawali oleh opsi Jokowi pembual atau Jokowi berprestasi. Negara tidak boleh dibiarkan tidak menentu, selalu menjadi gunjingan, bahkan olok-olok. Situasinya bagai anomali. Jokowi harus cepat ditentukan statusnya, diganti atau diperpanjang. Referendum bukan aturan baku tetapi terobosan. Bangsa ini perlu mengambil keputusan cepat agar dapat selamat. Pemilu 2024 butuh landasan penguat sebab bisa saja tidak terlaksana. Jika terlaksanapun harus signifikan berdaya guna bagi perbaikan bangsa dan negara. Referendum adalah "starting point'" untuk perubahan dan perbaikan itu. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Wapres Bersurat ke Menkeu dan BPJPH Guna Percepat Kodifikasi Halal

Jakarta, FNN - Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama Mastuki agar segera merumuskan kodifikasi terhadap produk halal dalam negeri. Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi di Jakarta, Rabu, mengatakan surat tersebut disampaikan melalui Kepala Sekretariat Wapres (Kasetwapres) Mohamad Oemar pada Kamis (24/6). "Ini adalah bagian dari rangkaian yang terus didorong Pemerintah, dalam hal ini Wapres yang bertanggungjawab untuk meningkatkan produk halal Indonesia, supaya makin hari makin besar," kata Masduki dalam keterangannya di Jakarta, Rabu. Surat kepada Mastuki isinya menyampaikan arahan Wapres agar BPJPH segera mempercepat proses kodifikasi terhadap produk-produk halal untuk kepentingan ekspor dan impor. Kodifikasi tersebut merupakan perumusan dan penyesuaian nomor sertifikasi halal terhadap produk-produk dalam negeri, sesuai dengan harmonized system (HS) yang berlaku secara internasional. "Wapres juga meminta agar BPJPH segera berkoordinasi dengan jajaran Kementerian Keuangan terkait, yakni Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Lembaga National Single Window (LNSW) untuk membuat aturan teknisnya," katanya. Sementara itu, kepada Sri Mulyani, Wapres meminta Kemenkeu segera menyelesaikan landasan hukum dan regulasi terkait kodifikasi ekspor dan impor terhadap produk-produk halal. "Ini guna mendukung tersedianya data perdagangan produk halal yang akurat," tukas Masduki. Masduki juga mengatakan selama ini banyak produk halal dari dalam negeri yang diekspor tanpa menyertakan label kehalalannya. Hal tersebut sangat disayangkan karena tidak selaras dengan upaya Pemerintah untuk mencapai target sebagai produsen halal terbesar dengan berbagai kemampuan sumber daya yang dimiliki. Sebelumnya, Wapres Ma’ruf juga meminta segera ada sertifikat halal berstandar internasional sehingga ekspor produk halal dari Indonesia dapat diterima di negara asing. "Pemerintah sedang mengupayakan untuk membuka pasar ekspor di negara-negara OKI tersebut melalui penghapusan hambatan perdagangan, baik berupa tarif maupun non-tarif," ujar Wapres. (sws)

Wapres Dorong Percepatan Kodifikasi Produk Halal

Jakarta, FNN - Wakil Presiden Ma’ruf Amin mendorong percepatan pemberian sertifikat halal kepada produk-produk Indonesia sehingga dapat tercatat sebagai produk halal untuk ekspor. Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengatakan selama ini banyak produk halal dari dalam negeri yang diekspor tanpa menyertakan label kehalalannya. "Selama ini banyak produk-produk halal itu yang sebenarnya diekspor, tetapi kemudian tidak dicatat sebagai bagian dari produk halal," kata Masduki di Jakarta, Rabu. Hal tersebut sangat disayangkan karena tidak selaras dengan upaya Pemerintah untuk mencapai target sebagai produsen halal terbesar dengan berbagai kemampuan sumber daya yang dimiliki. "Agar tercatat dengan baik bahwa produk halal Indonesia itu sebenarnya besar," tukasnya. Wapres Ma’ruf Amin, selaku Ketua Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), juga telah mendesak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk mempercepat proses kodifikasi produk halal Indonesia tersebut. Masduki menegaskan penting ada koordinasi antara KNEKS dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu untuk menindaklanjuti arahan Wapres tersebut. "Makanya penting ada koordinasi antara KNEKS dengan pihak (Dirjen) Bea dan Cukai, dalam konteks ini diperkuat oleh surat kepada Menteri Keuangan, yang tujuannya adalah pihak Bea dan Cukai dan begitu juga kepada pihak BPJPH," ujar Masduki. Sebelumnya, Wapres Ma’ruf juga meminta segera ada sertifikat halal berstandar internasional sehingga ekspor produk halal dari Indonesia dapat diterima di negara asing. Ekspor produk-produk halal buatan Indonesia dikirimkan ke negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), kata Wapres. "Pemerintah sedang mengupayakan untuk membuka pasar ekspor di negara-negara OKI tersebut melalui penghapusan hambatan perdagangan, baik berupa tarif maupun non-tarif," kata Wapres. Industri halal kini tidak hanya memiliki pasar domestik, melainkan juga di tingkat global yang menjadi potensi besar bagi Indonesia untuk meningkatkan produk halal, ujar Wapres. (sws)

Presiden Joko Widodo Lakukan Kunjungan Kerja ke Sultra

Kendari, FNN - Presiden Joko Widodo bersama rombongan terbatas bertolak menuju Provinsi Sulawesi Tenggara dengan menggunakan pesawat Boeing 737-500 TNI AU pada pukul 07.15 WIB dari Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu. Setibanya di Pangkalan TNI AU Haluoleo, Kabupaten Konawe Selatan pada pukul 10.45 WITA, Presiden disambut oleh Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, Kapolda Sulawesi Tenggara Irjen Pol. Yan Sultra Indrajaya, dan Danrem 143/Haluoleo Brigjen TNI Jannie Aldrin Siahaan. “Kunjungan kerja Bapak Presiden ke Kendari kali ini untuk memastikan pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota di Provinsi Sulawesi Tenggara ini aktif dalam penanganan COVID-19,” ucap Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono. Untuk itu, kata Heru, Presiden akan meninjau pelaksanaan vaksinasi COVID-19 yang dilaksanakan di halaman Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara, Kota Kendari. "Seperti kita ketahui Bapak Presiden ingin mendorong vaksinasi massal terus digalakkan mengejar target 1 sampai 2 juta vaksin per hari," ujar Heru menambahkan. Setelah itu, Presiden diagendakan untuk memberikan pengarahan kepada Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) se-Provinsi Sulawesi Tenggara di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara. “Di sini, Presiden memberikan pengarahan kepada gubernur, bupati, dan wali kota se-Provinsi Sulawesi Tenggara dalam penanganan COVID-19,” kata Heru. Heru menjelaskan bahwa dalam pertemuan tersebut, Presiden akan mengingatkan kepala daerah untuk mengoptimalkan posko-posko PPKM Mikro yang ada di wilayah desa dan kelurahan dalam mengatasi penyebaran COVID-19. “Bapak Presiden mengingatkan bahwa fungsi posko adalah untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat agar disiplin menjalankan protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan,” ujar Heru. Selain itu, fungsi posko tersebut juga untuk menguatkan pelaksanaan 3T (testing, tracing, treatment) hingga ke tingkat desa atau kelurahan. Sebelum kembali ke Jakarta, Kepala Negara akan menghadiri Pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) VIII Kamar Dagang dan Industri Indonesia Tahun 2021. Turut mendampingi Presiden dalam penerbangan menuju Provinsi Sulawesi Tenggara antara lain, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono, Sekretaris Militer Presiden Marsda TNI M. Tonny Harjono, Komandan Paspampres Mayjen TNI Agus Subiyanto, dan Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin. (sws)

PSI Soroti Anggaran KPI Capai Rp60 Miliar di Tengah Pandemi

Jakarta, FNN - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyoroti besaran anggaran untuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mencapai Rp60 miliar pada 2021 di tengah kesulitan Indonesia menghadapi bencana non-alam pandemi COVID-19. "Anggaran sebesar itu mestinya akan lebih bermanfaat jika dialihkan untuk penanganan pandemi COVID-19 dari pada membiayai KPI," kata Juru Bicara DPP PSI Dara Nasution melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu. Apalagi, lanjut dia, besarnya anggaran yang digelontorkan pemerintah pusat melalui alokasi pendapatan dan belanja negara (APBN) masih berbanding terbalik dengan capaian KPI selama ini. Melihat situasi pandemi COVID-19 saat ini, pengurus DPP PSI mendorong pemerintah dan DPR untuk mengkaji keberadaan KPI. Anggaran tersebut dinilainya jauh lebih bermanfaat jika dialihkan untuk penanganan pandemi COVID-19. "Lebih baik anggaran KPI kita alihkan untuk mempercepat penanganan pandemi," ujar dia. Menurut dia, jika dialihkan, anggaran Rp60 miliar tersebut dapat membantu warga miskin yang terdampak pandemi COVID-19. Apalagi, di masa-masa sulit sekarang ini efisiensi anggaran sangat diperlukan. Sesuai amanat Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, KPI terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah. Pembiayaan program KPI Pusat berasal dari APBN sementara KPI Daerah dibiayai APBD masing-masing daerah. "Kalau kita telaah Undang-Undang Penyiaran, Rp60 miliar rupiah dari APBN digunakan untuk program kerja oleh KPI Pusat saja. KPI Daerah sudah ada skema pembiayaan masing-masing, terutama berasal dari APBD," kata dia. Sebelumnya, DPP PSI juga meminta pemerintah agar meninjau ulang keberadaan KPI. Hal itu buntut dari beredarnya surat edaran KPI Pusat tentang pembatasan jam tayang 42 lagu berbahasa Inggris yakni hanya boleh diputar di radio setelah pukul 22.00 WIB. Pada 2019, PSI juga mengkritik KPI setelah muncul rencana KPI yang hendak menyensor iklan Shopee dan ingin mengawasi isi siaran di platform digital yakni YouTube, Netflix, Facebook, dan lain sebagainya. PSI menilai KPI telah melampaui kewenangan dengan mengawasi konten hiburan di platform digital yang bukan menjadi cakupan tanggung jawabnya. Di saat bersamaan, KPI justru gagal mengawasi kualitas isi siaran televisi yang menayangkan mata acara yang tidak mendidik dan ditonton jutaan rakyat setiap hari. (sws)

Anggota DPR: Kritik Mahasiswa Jangan Dibawa ke Proses Hukum

Jakarta, FNN- Anggota Komisi III DPR RI Heru Widodo meminta kritik yang disampaikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia terhadap Presiden Jokowi dan diunggah di media sosial, jangan dibawa ke proses hukum. "Itu (kritik mahasiswa) adalah bagian dari ekspresi berpendapat yang sudah diatur dalam demokrasi, jangan disangkutpautkan ke ranah hukum," kata Heru Widodo dalam keterangannya di Jakarta, Rabu. Dia mengingatkan semua pihak agar melihat kasus tersebut secara utuh dan urgensi. Hal itu menurut dia karena merupakan kritikan terhadap pemerintah dari kalangan mahasiswa yang selama ini dinilai sebagai bagian perjuangan demokrasi di Indonesia. "Saya tidak menghendaki persoalan ini masuk ke ranah hukum, tapi jika ada aduan, saya sarankan kepolisian melihat urgensi dari persoalan ini," ujarnya. Ketua Umum DPN Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) itu mengingatkan kembali pesan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit yang punya prioritas kerja memimpin institusi Kepolisian. Menurut dia, Kapolri sering mengingatkan agar masyarakat jangan sedikit-sedikit lapor Polisi karena masih banyak kasus penting lain yang harus dituntaskan. "Kapolri sering ingatkan, jangan sedikit-sedikit lapor dan sedikit-sedikit pelanggaran hukum. Masih banyak kasus penting lain yang harus dituntaskan, salah satu contoh hukuman WNA terpidana mati justru dicabut, itu perlu dikaji," ujarnya. ​​​​​​​ Heru menilai peran mahasiswa juga perlu digarisbawahi dan diingatkan kembali yaitu sebagai salah satu pilar membangun sekaligus mengawal demokrasi di Indonesia. Karena itu menurut dia jangan abaikan peran strategis mahasiswa yang merupakan pengawal demokrasi dan adanya reformasi adalah peran nyata mahasiswa. Sebelumnya, BEM UI yang memberikan kritikan terhadap Pemerintahan Presiden Jokowi. Kritikan tersebut berupa poster bermuatan satire yang menyebut Presiden RI Joko Widodo sebagai "King of Lip Service". Poster tersebut diunggah di media sosial BEM UI. (sws)

Pengkhianatan Kaum Intelektual

Oleh: Abdurrahman Syebubakar Ketua Dewan Pengurus IDe Jakarta, FNN - Jatuh bangungnya sebuah bangsa, bahkan peradaban manusia, tidak lepas dari peran dan tanggungjawab kaum intelektual, terutama dalam hubungannya dengan kekuasaan. Seperti terungkap dalam riset sejarah komparatif oleh Ahmet T. Kuru (2019), dari San Diego State University, bahwa “aliansi ulama dan intelektual dengan negara” menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam sejak abad ke-12. Sebaliknya, menurut Kuru, Eropa Barat mencatat kemajuan pesat dalam berbagai bidang hingga sekarang, karena kaum intelektual di Benua Biru ini mampu menjaga jarak dari otoritas politik. Padahal, sebelum abad ke-12, ia tertinggal jauh dari dunia Islam yang identik dengan ulama, intelektual progresif dan filsuf besar. Sebut saja, Ibnu Sina, al-Biruni, al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Khaytham, Miskawayh, al-Razi, al-Khawarizmi (Algoritmi, juga penemu aljabar dan angka nol), dan masih banyak yang lain. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia, Indonesia kini menjadi contoh sempurna dari temuan riset Kuru. Alih-alih menjadi produsen pengetahuan dan katalis perubahan, kaum terdidik Indonesia jutsru berperan sebagai corong kekuasaan dan modal. Meminjam tesis Noam Chomsky (1967, 2016) tentang tanggung jawab intelektual, kaum terdidik ini berada di barisan intelektual konformis, atau intelektual tradisional versi Antonio Gramsci (1971). Intelektual antek penguasa yang mengabaikan, bahkan merasionalisasi, kejahatan negara. Kiprah mereka, jauh dari nubuah Julien Benda, dalam karya klasiknya “The Treason of the Intellectuals” atau Edward Said dalam “Representations of the Intellectual” (1996), bahwa kaum intelektual memiliki sifat altruistik yang senantiasa memburu kebenaran demi kemaslahatan bersama, dan menjadi pencipta bahasa dalam menyampaikan yang benar kepada penguasa, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Dosa terbesar seorang intelektual tidak dilihat dari kesalahannya, tetapi dari ketakutan dan kebohongannya dalam menyampaikan kebenaran. Jalan ketiga peran intelektual yang ditawarkan mendiang Cornelis Lay, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu politik UGM (Februari 2019), dimana intelektual bisa keluar masuk kekuasaan berdasarkan penilaian matang dan menyeluruh, jauh panggang dari api. Tawaran ini memiliki pijakan teoritik yang lemah, jika tidak dikatakan rapuh, dan berjarak cukup jauh dari realitas. Faktanya, terlalu banyak kaum intelektual yang terjerat nikmat dan empuknya jabatan hadiah dari penguasa. Entah posisi di pemerintahan, perguruan tinggi, BUMN, atau jabatan penting di perusahan-perusahan swasta penyokong kekuasaan. Seketika atau lambat-laun para intelektual ini berputar haluan, dari pola pikir dan sikap kritis, menuju fatalisme dan sikap permisif (serba memaklumi). Bahkan, berdiri di barisan terdepan membela semua kebijakan negara, dan kemudian sepenuhnya menjadi antek kekuasaan. Bagi mereka, “the king can do no wrong, no matter what!” Pada saat yang sama, tidak sedikit kaum intelektual di lingkungan perguruan tinggi, lembaga think-tank/riset dan kelompok masyarakat sipil, yang belum mendapat jatah jabatan atau uang, berlomba lomba memuji penguasa dan membela agenda kekuasaannya. Tidak peduli apakah agenda kekuasaan masuk akal atau tidak, merugikan rakyat banyak atau sebaliknya. Sebagian bertindak sebagai pollster atau industrialis survei, merangkap buzzerrp, yang dibayar dari uang rakyat atau dimodali para taipan. Dengan kata lain, kaum intelektual ini bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika mereka berada di luar status quo kekuasaan. Sementara itu, segelintir intelektual dalam pusaran kekuasaan, yang tidak mau mengorbankan idealisme politik dan tanggungjawab moralnya demi jabatan, seringkali harus tersingkir dengan sendirinya. Tidak saja disisihkan, terkadang mereka dipersekusi dan dikriminalisasi oleh “kaki tangan” kekuasaan. Nasib naas mereka tidak jauh dari apa yang dialami oleh sedikit kaum intelektual yang konsisten menjadi manusia merdeka, dan tetap bersuara kritis dari luar kekuasaan, terlepas dari siapapun yang berkuasa. Tipe intelektual ini memainkan peran “intelektual organik”nya Gramsci, atau “intelektual berbasis nilai” ala Chomsky, yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator transformasi multidimensi atas panduan cahaya kebenaran dan keadilan. Dengan absennya “peran organik dan transformatif” kaum intelektual, tak pelak Indonesia didera berbagai masalah yang tak berkesudahan. Disertai stagnasi pembangunan manusia, demokrasi membusuk ditangan pemimpin plastik yang dikelilingi para pialang politik dan pemodal. Seturut dengan itu, terjadi kemerosotan di hampir semua bidang, mulai dari meluasnya korupsi, kemiskinan dan ketimpangan yang makin dalam, anjloknya tingkat kebahagian, hancurnya tatanan hukum, terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan, hingga mengentalnya mentalitas feodal dan ketegangan sosial. Lebih jauh, bangsa Indonesia tidak saja kehilangan jejak untuk kembali ke cita-cita reformasi, jalan yang dipilih atas pengorbanan mahasiswa dan segenap elemen bangsa yang menubuatkan demokratisasi, supremasi hukum, dan pemberantasan korupsi. Tetapi, kompas negara ini telah jauh melenceng dari tujuan bernegara untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial. Untuk itu, reformulasi hubungan antara intelektual dan negara menjadi kebutuhan mendesak. Hubungan patron-klien dari dua anasir maha penting ini harus digeser menuju pola hubungan yang kritis dalam bingkai demokrasi, yang menjamin independensi and integritas kaum intelektual. Sebagai benteng nalar dan moral bangsa, dunia perguruan tinggi mesti bebas dari jeratan pragmatisme politik, yang menjual murah gelar kehormatan akademik kepada para elit politik. Dalam jangka panjang, sistem dan kebijakan pendidikan mengedepankan materi berpikir kritis (critical thinking) dan pembangunan karakter (character building), bukan sekedar mencetak SDM sebagai faktor produksi – subordinat pertumbuhan ekonomi, terlebih menjadi hamba sahaya dari kepentingan relasi antara penguasa dan pengusaha. Terakhir, perlu digarisbawahi, jebakan subordinasi otoritas politik atas kaum intelektual hanya bisa dieliminir dan dihilangkan jika kaum intelektual sendiri bersama elemen-elemen progresif lainnya (seperti kelompok buruh dan masyarakat sipil), melakukan tekanan. Sebab, kendati raut mukanya beragam di sebarang tempat dan waktu, kekuasaan tidak pernah bisa menyembunyikan naluri dasarnya untuk mensubordinasi yang lain, ungkap Russel seperti dikutip Cornelis Lay. ___________________ Tulisan ini adaptasi dari penggalan tulisan saya Stagnasi Pembangunan Manusia Indonesia dan Pengkhianatan Kaum Intelektual, yang dimuat fnn.co.id pada 2 April 2021.