POLITIK

Analis: UUD 45 Tidak Mengatur Detail Waktu Pelaksanaan Pemilu

Semarang, FNN - Analis politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono mengatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur detail bulan atau tanggal pelaksanaan pemilihan umum, sebagaimana konstitusi Amerika Serikat. "Jadi, bulan dan tanggal fleksibel pada Pemilu Presiden/Wakil Presiden RI dan pemilu anggota legislatif pada tahun 2024," kata Dr. Teguh Yuwono, M.Pol. Admin. di Semarang, Kamis. Menurut alumnus Flinders University Australia itu, yang penting begitu habis masa kerja presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sudah harus ada pejabat baru yang dilantik. "Jadi, mau Februari, April, atau Mei, bahkan Juni 2024 tidak berpotensi melanggar konstitusi. Namun, yang penting pada bulan Oktober atau November harus sudah ada pelantikan," kata Teguh Yuwono yang juga Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang. Begitu pula dengan pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi 2013—2015 Hamdan Zoelva. Menurut pakar hukum tata negara ini, yang terpenting adalah disesuaikan dengan masa jabatan untuk jabatan yang dipilih melalui pemilu, yaitu presiden/wakil presiden serta DPR, DPD, dan DPRD. "Yang penting masih dalam range 5 tahun tidak ada masalah," Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin meminta DPR, Pemerintah, KPU, dan Bawaslu RI perlu berhati-hati dalam menentukan jadwal Pemilu 2024. Said Salahudin di Jakarta, Senin (20/9), mengemukakan bahwa mengubah waktu pelaksanaan pemilu berpotensi inkonstitusional karena UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22E Ayat (1) tegas menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Said menjelaskan bahwa frasa "lima tahun" itu mudah sekali menghitungnya, yaitu 12 bulan dikali 5. Kalau pada tahun 2019 Pemilu dilaksanakan pada bulan April, 60 bulan berikutnya jatuh pada bulan April 2024. Menurut dia, semestinya semua pihak patuh dan konsisten pada perintah konstitusi karena negara harus dibangun dengan sistem yang ajek agar agenda kenegaraan lima tahunan bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya. (sws, ant)

Demokrasi dan Rule of Law, Cara Oligarki Kendalikan Penguasa

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN - State regulatory body atau commission, yang dalam studi tata negara juga disebut “auxelarry body”, bukan badan yang diatur UUD. Sama sekali bukan. Badan yang status organiknya bersifat independen ini, merupakan temuan terhebat oligarki Amerika. Badan ini disodorkan oleh kelompok penghisap seluruh sumberdaya ekonomi sebagai cara mereka melepaskan diri dari pengawasan langsung pemerintah. Dalam kasus Amerika, hambatan non tarif dagang antar negara bagian, monopoli angkutan barang, dan diskriminasi harga, semuanya tersambung dengan perilaku korporasi. Rockeffeler dengan standard Oilnya, berada di jantung utama menjadi salah satu sebab pembentukan Interstate Commerce Commission Act (ICC) tahun 1887. Sebab lain adalah adanya kenyataan korporasi telah megambil watak “trust.” Konsep yang saat itu belum menggema di Amerika, merupakan temuan hebat J.P. Morgan. Kombinasi sebab-sebab itu dipakai oleh Grover Cleveland (1885-1889), sang Presiden pro bisnis besar Sherman Act 1890. UU ini melarang semua bentuk monopoli, kombinasi, konspirasi pengaturan harga antar beberapa orang atau monopoli perdagangan di negara-negara bagian. Sukses? Tidak juga. Standar Oil jatuh tahun 1911 bukan karena UU ini. Investigasi Ida Tarbel, investigasi wartawan kawakan Majalah McLure’s menjadi sebab utamanya. Kala itu investigasi khas Ida Tarbel disebut “muckraker.” Terbuai dengan ide institusionalisasi, muncul lagi gagasan mengontrol lebih keras kelakuan para oligarkis ini. Korporasi terlihat seolah-olah mau dipukul habis melalui penciptaan sejumlah UU. Nyatanya yang terjadi adalah UU yang dibuat dalam masa krisis ekonomi hebat 1913-1921 itu justru menebalkan cengkeraman korporasi besar. Itulah dekorasi utama pemerintahan Woodrow Wilson. Wilson dan kongres merespon kenyataan itu melaui gagasan Federal Trade Commission (FTC 1914). Ini diatur dalam Clayton Act (Hendry Clayton, chairman house judiciary committee sebagai pemrakarsa). Nama resmi UU ini adalah Anti Trust Act. Sukseskah? Tidak juga. Korporasi naik lagi bersamaan dengan datangnya krisis ekonomi hebat tahun 1929-1933. Pemerintahan Franklin Delano Rosevelt (FDR) merespon krisis itu. Sangat agresif. Berbeda jauh dengan Herbert Hoover. Franklin D. Rosevelt, memang bukan kaki tangan oligarkis. FDR segera melukis pemerintahannya dengan Monetary dan Reconstruction Finance Corporation Policy. Kerbijakan itu diawali dengan pembentukan The Banking Act 1933. Belum cukup mengeliminasi laissez-faire ineviciency, dua tahun kemudian UU ini direvisi. Kongres segera membentuk The Banking Act 1935. Reymon Moley, Rex Tugel, Adolf Berle yang dilebeli “Brain Trust” dan “Trust Busting”, berada dibalik lahir kebijakan itu. Berle misalnya mengadvokasi pembentukan The Banghkin Act 1935. Menututnya, itu merupakan cara tepat menyingkirkan infesiensi ekonomi, khususnya di bidang keuangan. Berputar disekitar monetary policy untuk macro economy stabilization, pemerintah FDR segera keluarkan kebijakan yang terlihat melindungi masyarakat. Disodorkanlah kebijakan-kebijakan penukaran emas dengan surat berharga. Surat berharga itu dapat diuangkan di bank. Tetapi, ini yang menarik. Ketika surat-surat berharga itu dibawa ke bank, mereka menemukan kenyataan Bank telah diliburkan. Ini dikenal dengan “Bank Holiday”. dikenal juga sebagai “massacre day”. Kemana saja perginya emas-emas itu? Pergi ke Bank of England. Korporasi terus berpesta. Dengan dalih memukul omong kosong free market, Kongres segera membentuk The Securities and Exchange policy. Segera dibentuklah The Securities and Exchanges Commission (SEC; 1934). Kebijakan itu dikokohkan dengan Federal Deposit Insurance Corporation. Juga Federal Home Bank Loan, Federal Saving and Loan Insurance Corporation, Federal Kredit Union, dan the National Mortage Association. Semua kebijakan di atas melengkapi Federal Homes Loan Bank Act 1932 yang diteken oleh Hoover. Pemerintah FDR mengeluarkan Home Owners Loan Act (HOLA). Dalam HOLA ini, diatur pembentukan Federal Housing Administration. Terlihat manis, pemerintah FDR segera mengidfentifikasi komunikasi sebagai satu masalah di tengah putaran waktu krisis itu. Ini harus dibereskan. Kongres merespon. Kongres membuat the Federal Communication Commission (FCC 1934). Ini dituangkan dalam Federal Communication Act. Tahu bahwa kekacauan sosial selalu memanggil partner utamanya, yaitu instabilitas politik, maka masyarakat harus diberikan perhatian. Itulah gagasan yang harus dimengerti dari “Social Infrastructure Policy.” Dalam kerangka itulah dibentuk Social Security Act, dan lainnya yang sejenis dalam sifatnya. Memang secara teknis, Social Security Act itu bertujuan melakukan “stabilisasi ekonomi makro”. UU ini menyediakan jaminan untuk meraka yang tidak mempunyai pekerjaan, unemployment insurance, jaminan bagi para pensiunan, bantuan kepada anak-anak, dan program jaminan sosial lainnya. UU dalam gagasan awalnya dirancang sebagai cara memberi kepastian berkerlanjutan dan permanen terhadap peningkatan stok rumah secara nasional. Program ini tampak memungkinkan semakin banyak orang memiliki rumah. Ditujukan terutama kepada mereka yang berusia diatas 33 tahun. Bahu-membahu dengan pemerintah, Felix Frankfurther, Tomy Corcoran, James Landis dan Ben Cohen, eksponen utama “korporatis group,” seperti Merle dan kawan-kawan mengadvoksasi pembentukan National Labor Relation Act. Canggih cara kerjanya. Sebab mereka hanya mengadvokasi, dan Senator Robert Wagner yang memprakarsai pembentukan UU itu. Itu sebabnya UU sering disebut Wagner Act. UU ini memberi pekerja priveleg. UU ini mengatur apa yang dikenal dengan Labour Relation Board, yan bersifat independen. Apakah kehidupan berubah setelah itu? Mereka tetap saja buruh. Upah tetap saja menjadi soal. Satu-satunya yang terlihat hebat dari UU ini adalah buruh diberi kebebasan berserikat. Itu saja. Tidak lebih. Itulah demokrasi dan rule of law khas kaum oligarki. Pembaca FNN yang budiman, The Bankin Act 1933-1935 benar-benar merupakan cara licik oligarki mengisolasi, membatasi dan memotong ruang lingkup jangkauan kewenangan presiden. Kewenangan presiden itu dipotong dengan cara memberi sifat “independen” pada badan yang disebut regulatory body atau commission itu. Tidak mengherabnkan American Bar Aassociation (ABA) menemukan kenyataan New Deal Policy adalah cara pemerintah federal, yang bekerja dibawah kendali oligarki memperluas kekuasaan pemerintahan federal. Administrative agency, termasuk badan-badan independen itu diidentifikasi sebagai siasat institusional pemerintah pusat memperluas kekuasaannya. ABA atas dasar penilaian itu segera membentuk special committee on administrative law. Mereka memeriksa semua UU itu. Enam tahun mereka bekerja, adminsitrative agency segera diidentifikasi sebagai “administrative absolutism.” Amerika di sepanjang periode ini, dalam identifikasi mereka, ditarik dan dijatuhkan ke dalam totalitarianism. Roscou Pound, sosiolg kenamaan yang pandangannya tentang hukum begitu populer di Indonesia, kala itu bertindak sebagai salah satu chair-nya. Pound menyangkal independent commission yang diagungkan para politisi, karena diisi oleh para expert. Dalam kenyataan, Pound menilai tidak ada korelasi signifikan antara para expert dengan eksistensi independent commission. Pembaca FNN yang Budiman. Pemerintahan Franklin D. Rosevelt dengan New Dealnya dikenal juga sebagai “pemerintahan korporatis”. Bukan demokrasi, periode ini dilebel dengan korporatokrasi. Begitulah demokrasi dan rule of law di negara demokrasi sekelas Amerika. Rakyat menari dengan demokrasi sejauh bicara-bicara di satu sisi. Pada sisi oligarki, demokrasi memungkinkan mereka mendikte pemerintah membuat kebijakan dan menulis huruf-huruf dalam setiap UU. Bagaimana dengan demokrasi dan rule of law dinegeri kita? Mirip dalam banyak aspek. Kemiripan ini terlihat pada tampilan emprik KPK. Badan ini dirancang sedemikian canggih sehingga harus benar-benar berada di luar jangkauan UUD 1945 dan kekuasaan Presiden. Pembaca FNN yang berbahagia. Konsep independen untuk badan yang disebut regulatory body sejenis KPK dan Bank Indonesia itu, dalam sejarahnya digagas oleh Kolonel Edward Mandel House, mentor politik Presiden Wodroow Wilson. Orang ini juga yang berada dibalik gagasan Internatization liberty, pijakan kebijakan“self determination” untuk negara-negara yang hingga tahun 1919 itu masih terjajah. Konsep independent itu diambil dari pengadilan, dan disematkan untuk pertama kalinya pada The Fed. Sebagai konsekuensinya Presiden tidak bisa mengurus urusan-urusan pemerintahan itu. Ini yang di tahun 1935 ditunjukan oleh special committee American Barr Association sebagai totalitarianism dan administrative absolutism. Di jalan itulah Indonesia mutakhir merenda dengan takdir demokrasi dan rule of law-nya. Rakyat terus berpesta dengan kritik demi kririk kepada pemerintah di satu sisi. Namun di sisi lain pemerintah terus asyik dengan nadanya sendiri. Sistem politik, setidaknya sistem pengisian anggota DPR, terdekorasi manis sekali dengan diskriminasi yang level primitifnya begitu telanjang. Diskriminasi tersebut diinstitusionalisasi ke dalam parlementary treshold dan presidential treshold. Hukum itu? Namun sama busuknya. Mempertahankan hak, mulai kehilangan pijakan keabsahannya. Itulah sumbangan kecil mematikan dari UU Cipta Lapangan Kerja. Konyol sekali bangsa ini. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

Amandemen Bukan Sesuatu yang Tabu, Tapi Harus Komperhensif

Jakarta, FNN - Amandemen UUD 1945 bukan sesuatu yang tabu. Menjadi lumrah jika pikiran dan wacana itu secara periodik mewarnai dinamika politik Indonesia. Mengingat sudah dua dekade usia amandemen terakhir. Namun jika amandemen ingin direalisasikan, maka tidak bisa hanya parsial. Amandemen harus komperhensif. Merefleksikan kepentingan bangsa dan negara. Bukan kepentingan kelompok yang temporer. Pandangan itu disampaikan oleh Koordinator Panitia Musyawarah DPD, Tamsil Linrung dalam sambutannya ketika membuka agenda focus group discussion (FGD) Panmus DPD di Bandung. Menurut senator asal Sulawesi Selatan ini, diantara problem yang hangat jadi sorotan di tengah wacana amandemen adalah soal presidential threshold dan penataan kewenangan DPD. "Setting aturan menggiring skenario pembatasan kontestan Pilpres, mengakibatkan polarisasi politik yang sangat tajam. Masyarakat terbelah. Sistem politik menciptakan dinamika yang bising tapi tidak subtansial," papar Tamsil. Padahal, dengan membuka ruang kontestasi seluas-luasnya, termasuk melalui jalur capres independen, republik ini diuntungkan. Kontestasi lebih kompetitif. Selain itu, imbuhnya, bakal muncul banyak kandidat serta mencegah keterbelahan politik. Ketua Kelompok DPD di MPR ini juga menyoroti sistem ketatanegaraan yang dinilai tidak pada format ideal. Menurutnya, demokrasi perwakilan bikameral masih jauh dari harapan. Hasil kajian MPR selama 10 tahun terakhir, bahkan merekomendasikan penataan kewenangan DPD. “Para ahli yang telah kita ajak berdiskusi di MPR, juga memandang kiprah DPD sebagai representasi daerah perlu diberi ruang proporsional. DPD dapat menguatkan legitimasi produk legislasi serta meneguhkan peran pengawasan dan akuntabilitas budgeting yang diputuskan parlemen," imbuhnya. Tamsil memandang wacana Amandemen UUD jadi momentum untuk mengkomunikasikan hal tersebut secara politik. Sejauh ini, DPD terus melakukan roadshow ke kampus-kampus. Berdialog dan mendengar pendapat serta masukan para rektor, pakar dan akademisi. Pakar hukum tata negara, Indra Perwira yang hadir sebagai narasumber berpendapat, DPD tidak harus berlomba dalam membuat UU. Tapi fokus pada pengawasan hak-hak daerah. Akademisi Universitas Padjajaran ini juga menyoroti banyak kewenangan daerah yang ditarik lagi ke pusat, sehingga terkesan ada upaya menyeragamkan semua daerah melalui keputusan-keputusan politik pemerintah pusat. Menurutnya, pemerintah harus menjaga keberagaman daerah. Karena eksistensi bangsa Indonesia adalah kerelaan daerah yang beraneka ragam untuk menjadi NKRI. Sementara itu, pengamat hukum Universitas Pasundan, Atang Irawan menilai wacana amandemen dengan agenda utama Pokok Pokok Haluan Negara berpotensi mempersempit ruang gerak DPD. "PPHN menjadi monolitik. Milik MPR," imbuhnya. Karena itu, Atang menyarankan agar DPD menimbang lagi wacana PPHN yang kini bergulir di kajian internal MPR. (JD)

KPU Diminta Hati-Hati Tentukan Jadwal Pemilu 2024

Jakarta, FNN - Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin meminta DPR, Pemerintah, KPU, dan Bawaslu supaya berhati-hati dalam menentukan jadwal Pemilu 2024. Sebab, jadwal Pemilu ditetapkan oleh UUD 1945, sehingga mengubah waktu menyebabkan pelaksanaannya berpotensi inkonstitusional. "Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah tegas menyatakan 'Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali'," kata Said di Jakarta, Senin, 20 September 2021. Dia menjelaskan, frasa "lima tahun" itu mudah sekali menghitungnya, yaitu 12 bulan dikali 5, sehingga kalau pada tahun 2019 Pemilu dilaksanakan di bulan April, maka 60 bulan berikutnya jatuh di bulan April 2024. Menurut dia, semestinya semua pihak patuh dan konsisten pada perintah konstitusi. Sebab, negara harus dibangun dengan sistem yang "ajeg" agar agenda kenegaraan lima tahunan bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya. "Kalau ada alasan yang bersifat force majeure, seperti bencana alam atau bencana non-alam yang terjadi di seluruh Indonesia atau ada unsur kedaruratan serta alasan khusus lainnya, itu bisa saja dijadikan sebagai pertimbangan untuk memajukan atau memundurkan jadwal Pemilu sehingga tidak harus dilaksanakan di bulan April," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Antara. Namun menurut dia, kalau alasannya hanya karena ada Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak 2024, itu tidak masuk akal karena jadwal Pilkada serentak nasional di bulan November 2024 hanya diatur di level undang-undang. Dia menjelaskan, berbeda halnya dengan Pemilu yang jadwalnya ditetapkan langsung oleh UUD 1945. Hal itu sudah menjadi konvensi yaitu selalu dilaksanakan di bulan April sejak empat kali Pemilu terakhir. "Jika Pemilu dilaksanakan di bulan Februari atau Mei 2024 seperti wacana yang muncul selama ini, itu artinya Pemilu tidak genap dilaksanakan setiap lima tahun sekali," katanya. Dia khawatir bisa muncul permasalahan hukum yang serius jika jadwal Pemilu yang diatur dalam UUD 1945 dikalahkan oleh jadwal Pilkada yang hanya diatur di level undang-undang. Kalau terpaksa harus ada yang "dikalahkan", semestinya jadwal Pilkada yang dimundurkan, bukan jadwal Pemilu. Dia menjelaskan, kalau pelaksanaan Pilkada pada bulan November dianggap terlalu dekat dengan pelaksanaan Pemilu di bulan April, bisa saja jadwal Pilkada dimundurkan oleh DPR dan Pemerintah melalui revisi undang-undang. "Atau cukup dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) oleh Presiden dalam hal ada unsur kegentingan yang memaksa," ujarnya. Artinya, perubahan jadwal Pilkada lebih mudah dilakukan ketimbang mengubah jadwal Pemilu. Sebab, jika Pemilu tidak dilaksanakan lima tahun sekali, maka MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) harus bersidang untuk melakukan amendemen Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. (MD).

Anggota DPR Minta Penyelenggaraan Pemilu 2024 Dilaksanakan Minimalis

Jakarta, FNN - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang meminta agar penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) serentak 2024 diselenggarakan secara minimalis, sebagai upaya untuk menghemat anggaran yang harus ditanggung negara. Menurut dia, semakin lama tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang terdiri dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) akan semakin besar anggaran negara nantinya yang dihabiskan. "Anggaran penyelenggaraan pemilu ini harus kita perhatikan, karena menyangkut situasi ekonomi sekarang. Sehingga sebaiknya penyelenggaraan tahapan pemilu dibuat minimalis saja. Menyangkut anggaran semakin lama tahapan maka akan semakin tinggi anggaran yang dihabiskan," tutur Junimart di Jakarta, Kamis. Dia mengatakan, dalam tahapan Pemilu 2024 sebaiknya untuk masa kampanye Pilpres dan Pileg penyelenggaraannya dapat dipersingkat menjadi 3 bulan dan untuk masa kampanye Pilkada cukup selama 45 hari saja. Menurut dia, hal itu dengan pertimbangan bentuk dukungan kita terhadap Pemerintah dalam menurunkan penyebaran kasus COVID-19. Selain itu dia juga menyoroti terkait potensi konflik yang terjadi pasca-pemilu yang sebelumnya menjadi alasan bagi KPU, Bawaslu, dan DKPP meminta agar tahapan penyelenggaraan pemilu diselenggarakan dengan durasi panjang seperti Pemilu 2019. Junimart menilai hal tersebut hanya sebatas produk politik yang semestinya dapat dicegah agar tidak terjadi pada Pemilu 2024. "Terkait konflik politik dan irisan-irisan yang terjadi pasca-pemilu, menurut saya ini adalah sesuatu yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Dan irisan-irisan atau konflik ini sebenarnya juga bisa kita antisipasi agar tidak terjadi," ucap dia. Dia juga menilai seharusnya penggunaan anggaran pada Pemilu 2024 lebih dioptimalkan peruntukannya kepada pembayaran honor dari para tenaga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Sebelumnya KPU mengusulkan masa kampanye pemilihan umum (Pemilu) 2024 diperpanjang menjadi 7 bulan. Ketua KPU Ilham Saputra beralasan, masa kampanye perlu diperpanjang untuk menyesuaikan dengan waktu persiapan distribusi logistik ke tempat-tempat pemungutan suara (TPS). (mth)

Konflik Konstitusional Mengenai PPHN Munculkan Tanda Tanya

Semarang, FNN - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengemukakan, konflik konstitusional mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) memunculkan sejumlah pertanyaan. Antara lain, apakah penambahan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan PPHN/GBHN ada jaminan menyelesaikan masalah kesinambungan pembangunan? "Apakah tidak ada pendekatan lain untuk menjamin kesinambungan itu selain amendemen konstitusi?," kata dia dalam webinar bertajuk Membangun Budaya Konstitusi untuk Penguatan Demokrasi Indonesia yang diselenggarakan Salam Radio, Selasa, 14 September 2021. Menanggapi sebagian besar pendapat para politikus yang melihat amendemen UUD NRI Tahun 1945 sebagai sebuah keharusan, Hamdan Zoelva mengatakan, pendapat mereka merupakan cara pandang legalistik konstitusional pada problem legal substance (substansi hukum). Ketika menghadapi konflik dan problem konstitusional, menurut dia, akan selalu merujuk pada teks konstitusi, undang-undang, dan putusan pengadilan sebagai satu-satunya pendekatan dalam melihat apakah yang merupakan konstitusi dan apa yang tidak merupakan konstitusi. "Saya berangkat dari satu asumsi dasar bahwa lahirnya teks hukum, termasuk konstitusi, tidak dalam ruang hampa. Akan tetapi, dipengaruhi lingkungan sosial, budaya, dan sejarah bangsa itu," kata dia, sebagaimana dikutip dari Antara. Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam itu menekankan, "Teks konstitusi adalah refleksi budaya sekaligus cita ideal yang dikehendaki." Ia menegaskan, dalam pelaksanaannya tidak berada di menara gading, tetapi berhadapan kondisi politik dan sosial budaya yang dinamis. "Tantangannya tidak sama antara satu masa dan masa yang lain. Implementasi norma konstitusi harus mengalami adaptasi," kata Zoelva. Begitu juga terkait dengan liberasasi politik dan ekonomi. Banyak pandangan akademikus dan politikus yang mempersoalkan liberasi politik dan ekonomi sekarang ini adalah akibat perubahan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, untuk menghentikannya mereka berpendapat harus melakukan perubahan konstitusi dengan menghilangkan ayat (4) pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Bahkan, mereka beranggapan, penambahan ayat (4) itulah sebagai biang masalahnya. Dalam ayat (4) menyebutkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Menanggapi hal itu, dia menilai paradigma berpikir dalam mengatasi problem atau konflik konstitusional hanya berlandaskan pada pendekatan legalistik formal, yang dalam kerangka sistem hukum L Friedman, yaitu hanya melihat aspek legal substance. Ia menjelaskan, segala masalah konstitusional ditimpakan pada teks dan norma konstitusi yang harus diubah direformulasi. Bahkan, peran pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang memberi tafsir atas problem konstitusional tidak menjadi pilihan. "Cara berpikir seperti inilah yang saya sebut sebagai cara berpikir yang tidak imbang," kata Zoelva. Menurut dia, mereka hanya memandang hukum dari norma yang ada dalam teks. Tidak melihat pada aspek lain dari hukum, yaitu dalam konteks berkerjanya dari kerangka budaya dalam mengatasi problem atau konflik konstitusional. (MD).

Iti Jayabaya: Ini Banten, Bung! Pendukung Moeldoko Jangan Main-main Dengan Demokrat!

Tangerang, FNN - Beredar undangan Pelaksanaan HUT Partai Demokrat dengan kop surat Pendiri Partai, yang salah satu rangkaian acaranya tertera nama Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang akan memberikan sambutan, dan menerima Penitipan Partai dengan mencatut nama salah seorang pendiri Partai Demokrat. Kegiatan illegal ini direncanakan berlangsung di sebuah hotel kawasan Tangerang, Banten, pada Jumat malam, 10 September 2021, pukul 19.00 WIB. Menyikapi hal tersebut, beberapa saat sebelum acara dimulai, Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Banten, Iti Jayabaya, yang didampingi ratusan kader, yang mendatangi lokasi tempat diselenggarakannya peringatan HUT Partai Demokrat “abal-abal” itu. “Ini Banten, Bung! Jangan coba-coba ganggu kedaulatan dan kehormatan Partai kami dengan acara illegal yang provokatif seperti ini. Pemerintah telah nyata-nyata menolak mengesahkan KLB illegal Deli Serdang, lantas mengapa masih ada pihak yang terang-terangan melawan Pemerintah?” tegas Iti, yang juga Bupati Lebak, Banten ini. Setelah difasilitasi oleh pihak kepolisian dan manajemen hotel, akhirnya spanduk dan backdrop acara berhasil diturunkan sebelum acara dimulai. “Pada hari ini (Jum’at, 10/9 2021), seharian kita berkumpul, mencoba menegosiasikan apa yang kita inginkan terhadap marwah partai kita, yang kita cintai dan Alhamdulillah tadi mereka sudah melakukan kesepakatan untuk membubarkan dan mencopot atribut Demokrat yang berada di lokasi acara,” ungkap Iti, melalui pengeras suara di hadapan kader dan simpatisan Partai Demokrat, di pelataran parkir hotel tersebut. Selain dibantu para kader, pencopotan atribut Partai Demokrat di lokasi acara juga dibantu oleh Polres Tangerang Selatan. Apresiasi juga disampaikan kepada pihak kepolisian yang turun tangan dengan sigap mentertibkan atribut tersebut karena pihak penyelenggara tidak bisa menunjukkan surat pemberitahuan. Iti mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada para kader atas kesigapan dan loyalitas dalam menjaga kedaulatan dan kehormatan Partai Demokrat. ‘ “Saya mengucapkan terima kasih atas soliditas, komitmen yang ditunjukkan oleh saudara-saudara semua, keluarga besar Partai Demokrat. Saya yakin kita punya niat yang sama untuk membangun demokrasi yang lebih baik, terutama dalam membangun kejayaan Partai Demokrat di Provinsi Banten,” tutupnya. Selain jajaran Partai Demokrat Banten, tampak pengurus teras DPP Partai Demokrat yang hadir di lokasi acara, diantaranya Wasekjen DPP Partai Demokrat Irwan (DPR RI), Kepala BPJK Zulfikar Hamongan (DPR RI), dua Deputi Bakomstra, Ricky Kurniawan dan Cipta Panca Laksana, serta jajaran pengurus Demokrat lainnya yang tinggal di seputaran lokasi. Hingga pukul 22.00 WIB malam, (10/9), Iti dan para kader masih berada di sekitar lokasi untuk memantau perkembangan. (mth)

Rocky Gerung : Amandemen Seperti Renovasi Rumah yang Bikin Kegerahan

Jakarta, FNN - Pengamat kebangsaan, Rocky Gerung menganalogikan rencana amandemen UUD sebagai program renovasi rumah yang membuat pemilik rumah tidak nyaman. Hal itu merujuk pada suara penolakan yang mencuat atas isu yang bergulir dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tersebut. Menurut Rocky, percuma ada amandemen jika malah membuat rakyat kegerahan. Karena itu, amandemen semestinya diarahkan untuk perombakan total kehidupan kebangsaan. Tidak parsial pada rencana Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) semata. Apalagi dikaitkan dengan isu penambahan periode kepemimpinan dan masa jabatan Presiden yang diinginkan segelintir elit. Rocky menyebut berbagai masalah kebangsaan justru dipendam. Kejahatan bahkan dikunci rapat, seperti kisah klasik kotak pandora. Ia mencontohkan posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang saat ini justru tidak diberi peran. “Padahal DPD ini suara paling murni dari rakyat. Dia tidak diedit. Tidak diiintervensi dan diatur-atur (oleh parpol). Semestinya, DPD yang mengatur MPR,” terangnya. Kritik Rocky terhadap rencana amandemen disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Presiden Perseorangan, Presidential Threshold, dan Penataan Kewenangan DPD”, Jumat (10/9) di Tangerang. Selain Rocky, sederet tokoh penting hadir dalam diskusi yang digelar oleh Kelompok DPD di MPR tersebut. Antara lain, ekonom senior Rizal Ramli, Senator DPD RI Tamsil Linrung, pakar hukum Refly Harun, dan aktivis HAM Natalius Pigai dan Gregerius Seto Hartanto. Dalam sambutannya, Ketua Kelompok DPD di MPR, Tamsil Linrung menyampaikan kegundahan rakyat. Menurutnya, masyarakat justru mempertanyakan jika isu amandemen yang bergulir dikaitkan dengan penambahan periode ketiga jabatan presiden, atau perpanjangan masa jabatan presiden merujuk pada isu penundaan pemilu. Menurut politisi senior ini, agak aneh jika ada niat perpanjangan jabatan presiden. Sementara tidak ada indikator keberhasilan pemerintah yang diapresiasi rakyat, meski telah diberi waktu lebih dari satu periode. Yang logis malah, pemerintah bisa saja ada yang meminta berhenti di tengah jalan karena dianggap telah gagal, seperti sering disuarakan publik. Merespons upaya DPD mendorong kontestasi elektoral yang lebih kompetitif, pakar hukum Refly Harun menguraikan salah satu alasan mendasar pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Yaitu menghilangkan trauma pada masa Orde Baru dimana jumlah calon dibatasi sedemikian rupa. Capres hanya itu-itu saja. Menurut Refly, dengan membuka kran yang seluas-luasnya, maka republik dapat menjaring putra terbaik bangsa. Karena itu, ia mengapresiasi upaya mendorong presidential threshold nol persen, atau diturunkan dari ambang batas 20 persen yang berlaku saat ini. Senada, ekonom senior yang juga aktif bersuara tentang presidential threshold, Rizal Ramli melontarkan perspektif kritis terhadap sistem pemilu yang hanya menghasilkan pemimpin karbitan. “Dibiayai oleh orang-orang kaya, oleh cukong dan bandar. Akibatnya, ketika terpilih, harus tunduk dan mengabdi mengikuti mereka dibandingkan memperhatikan kepentingan rakyat,” ujarnya. Hal serupa, menurut Rizal, juga terjadi di level partai politik yang tadinya diharapkan menjadi medium seleksi kepemimpinan dan kaderisasi. “Sumbangan kepada partai politik tidak pernah di audit dan tidak ada transparansi. Sistem kita ini seperti diijon, sehingga pembangunan ekonomi hanya untuk membiayai para cukong,” terang mantan Menteri Koordinator Kemaritiman ini. Aktivis dan mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai berpendapat bahwa sistem pemilu saat ini belum merefleksikan keseriusan negara dalam menegakkan hak asasi manusia. Hal itu lantaran sistem perwakilan yang diterapkan tidak representatif sehingga sebagian besar masyarakat tidak terwakili aspirasinya dalam kebijakan-kebijakan politik. Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR, Gregerius Seto Hartanto menyatakan, amandemen merupakan keputusan hukum, namun harus ditempuh dengan konsensus politik. DPD sebagai unsur politik elementer di MPR, dapat berperan strategis dalam isu amandemen UUD. (JD)

Tanamkan Prinsip Toleransi Sejak Dini

Jakarta, FNN - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Hidayat Nur Wahid meminta prinsip dan perilaku toleransi harus ditanamkan terutama kepada anak-anak sejak usia dini melalui lembaga pendidikan. Dia mengatakan Indonesia sebagai negara besar yang terdiri atas beragam suku, budaya, agama, ras, dan warna kulit pasti memiliki berbagai tantangan berat dalam perjalanan sejarah hingga sekarang. Salah satu ancaman menipisnya nilai toleransi antarsesama anak bangsa. "Minimnya, bahkan hilangnya toleransi berganti dengan intoleransi akan sangat berbahaya terhadap keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena intoleransi membuat setiap rakyat menjadi individualistik sehingga akan mempersulit bangsa ini menghadapi berbagai permasalahan internal dan eksternal seperti bencana pandemi Covid-19," kata Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Ahad, 12 September 2021. Hal itu dikatakan Hidayat Nur Wahid (HNW) saat hadir menjadi narasumber secara virtual acara ‘Sosialisasi Empat Pilar MPR RI’ Kerja Sama MPR RI dengan Yayasan Al-Barakah Abepura, Papua, Sabtu (11/9). Hidayat mengatakan lembaga pendidikan menjadi sangat dibutuhkan untuk penguatan nilai toleransi karena menjadi tempat generasi muda akan belajar sejarah bahwa prinsip dan praktik toleransi yang luar biasa telah ditunjukkan para pendiri bangsa. "Dengan perbedaan suku, agama, ras, pandangan politik, pendidikan, dan latar belakang profesi, mereka bisa menyatu sehingga Indonesia mampu meraih kemerdekaannya. Toleransi juga yang menyebabkan terbentuknya NKRI dan Pancasila," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Antara. Menurut dia, melihat pentingnya langkah penguatan nilai-nilai toleransi, maka perlu ada satu upaya lagi untuk memaksimalkan teori dan prinsip seputar toleransi, yakni keteladanan. Hidayat mengajak seluruh elemen bangsa terutama orang tua, lembaga pendidikan, para tenaga pendidik, dan pemerintah supaya mendukung serius upaya itu dengan memberikan contoh nyata implementasi toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Dia mengajak semua pihak agar sama-sama menjadi teladan bagi diri sendiri dan orang lain karena tanpa keteladanan maka upaya memperkuat nilai toleransi akan sia-sia. (MD).

Dikabarkan Sakit, Megawati Ternyata Sehat

Jakarta, FNN - Rumors yang menyebutkan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sakit, terbantah sudah. Jumat (10/9/2021) kemarin, ia hadir secara virtual dari kediamannya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, dalam pembukaan Sekolah PDIP, di Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Dalam acara tersebut, Megawati menyapa masyarakat, terutama kader PDIP dan mengabarkan dirinya dalam keadaan sehat walafiat. Megawati berada di Teuku Umar bersama Bendahara Umum PDIP, Olly Dondokambey dan Ketua DPP PDIP, Eriko Sotarduga. Sedangkan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristyanti berada di Lenteng Agung bersama Kepala Sekolah Partai PDIP, Komaruddin Watubun, Wasekjen Sadarestuwati, dan Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, Sukur Nababan, serta Ribka Tjiptaning. Megawati mengaku Hasto memintanya untuk membolehkan acara yang awalnya akan diadakan tertutup, untuk dilaksanakan terbuka. Sebab dua hari terakhir, ramai beredar isu bahwa Megawati sedang sakit dan dirawat akibat situasi kritis di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. "Pak Sekjen bilang, Ibu nanti acara pembukaannya terbuka supaya umum juga bisa melihat kalau alhamdulillah saya dalam keadaan sehat walafiat, tidak kurang suatu apa pun. Dan terimakasih atas perhatiannya dan doanya," kata Megawati dalam siaran persnya. Megawati mengaku bingung karena ada saja orang yang menyebarkan berita bohong. Hingga Jumat pagi, sekretaris pribadinya menyampaikan kiriman gambar dari seseorang yang menyebutkan dirinya kritis. Seseorang itu adalah mantan menteri saat Megawati menjabat presiden. "Sampai menanyakan sama sekretaris saya, sampai mengatakan jangan ditutup-tutupi, ini saya dapat dari teman saya. Seperti seseorang sedang berbaring di rumah sakit tetapi tubuh saja, wajahnya tertutup. Saya bilang sama sekretaris saya, kamu ndak usah ngamuk-ngamuk lah. Biarkan saja lah orang," kata Megawati. "Sampai saya bilang kita ini kan ada yang punya. Serahkan saja sama Yang Punya (Tuhan, red). Kalau mereka sendiri mungkin lupa sampai bisa membuat hoaks yang sangat mengarah kepada saya, kalau menurut saya, sesuatu yang berlebihan," ujarnya sebagaimana dikutip dari Antara. Hasto pun setelah beredar isunya Megawati sakit dan dirawat sampai menangis. "Saya bilang kenapa nangis. Orang itu tahu kalau itu tidak benar. (Hasto bilang) Saya jengkel banget bu. Ya kenapa jengkel? Anggap saja lah yang namanya menunjukkan, orang tentunya ada yang suka ada yang tidak suka kepada kita," tutur Presiden ke-5 RI itu. Kepada pengurus dan kader PDIP dari seluruh Indonesia yang hadir secara virtual, Megawati mengatakan kejadian ini memperkuat prinsip. Semuanya harus tetap teguh, solid, sabar serta tegar dalam menjalankan prinsip partai. "Yang namanya soliditas, teguh, sabar, tegar, adanya di sini (Megawati menunjuk dada). Jadi bukan kayak dinding, dinding yang bisa dijebol," ucap Megawati. (MD).