POLITIK

Stafsus Presiden Koordinasikan Kebutuhan Difabel Saat Vaksinasi

Jakarta, FNN - Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia melakukan koordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Dinas Kesehatan (Dinkes) terkait kebutuhan dari ragam penyandang disabilitas (difabel) saat vaksinasi. “Saya sudah berkoordinasi dengan beberapa pihak tentang kebutuhan penyandang disabilitas,” kata kata Angkie Yudistia dalam seminar daring bertajuk Pemenuhan Hak dan Perlindungan Penyandang Disabilitas Saat Pandemi, Jumat. Koordinasi tersebut akan disampaikan kepada para vaksinator dan panitia vaksinasi agar berbagai lokasi vaksinasi dapat menangani penyandang disabilitas dengan tepat. Angkie juga menjelaskan bahwa terdapat berbagai kebutuhan penyandang disabilitas yang harus diakomodir. Oleh karena itu, panitia pelaksana program vaksinasi harus dapat memahami dasar-dasar sensitivitas disabilitas berdasarkan ragam disabilitas yang dimiliki. Untuk disabilitas fisik, dibutuhkan fasilitas yang mudah diakses. Contohnya, pengguna kursi roda dan tongkat kruk (tongkat ketiak) tidak bisa mengakses tangga, sehingga panitia penyelenggara harus menyediakan tanjakan yang memadai. Selanjutnya, untuk disabilitas intelektual dan mental akan membutuhkan tenaga pendamping yang terlatih. Oleh karena itu, Angkie meminta agar para panitia menyediakan tenaga pendamping di lokasi vaksinasi. “Dapat bekerja sama dengan berbagai stakeholders, utamanya adalah organisasi atau komunitas penyandang disabilitas,” ucap pendiri ThisAble Enterprise tersebut. Kemudian, untuk disabilitas sensorik dibagi menjadi dua kebutuhan. Pertama, untuk tunanetra dapat disediakan fasilitas audio yang memadai dan memastikan semua informasi dapat didengar oleh para penyandang tunanetra. Panitia juga bisa menyediakan tanda alur vaksinasi yang jelas bagi penderita gangguan penglihatan sehingga tanda alur vaksinasi masih dapat terlihat. “Untuk tunarungu dapat disediakan tenaga juru bahasa isyarat agar dapat berinteraksi dengan jelas kepada mereka,” tuturnya. Selain melakukan koordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan, Angkie Yudistia juga melakukan koordinasi dengan Kementerian Sosial dan Dinas Sosial untuk menjangkau target sasaran pendataan penyandang disabilitas terkait percepatan vaksinasi dan penyaluran bantuan sosial. “Kami juga merekomendasikan kolaborasi aktif dengan organisasi penyandang disabilitas di daerah masing-masing,” ucapnya. Ia juga berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) untuk mempercepat proses pembuatan dokumen kependudukan. “Agar setelah selesai vaksin kedua, para penyandang disabilitas sudah mempunyai NIK yang bisa diinput ke sistem Kementerian Kesehatan,” kata Angkie. (sws)

Wapres: Selain Ibadah, Wakaf Berperan Dorong Pembangunan Negara

Jakarta, FNN - Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan wakaf memiliki peran penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi negara untuk pembangunan nasional, selain sebagai sarana umat beribadah. "Wakaf tidak hanya berfungsi sebagai sarana ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun juga memiliki peran yang penting sebagai dana abadi umat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian negara," kata Wapres saat memberikan arahan pada acara Gerakan Sadar Wakaf: Sumatera Berwakaf secara virtual, Jumat. Manfaat wakaf untuk pembangunan tersebut telah dibuktikan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Singapura, Thailand, Kuwait dan Mesir. Di Amerika Serikat, masyarakat muslim membentuk Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF), sedangkan di negara lain juga ada organisasi serupa. "Peran dan manfaat wakaf yang begitu besar telah dirasakan oleh negara-negara di dunia; manfaat wakaf terus berkelanjutan dan mendukung target Sustainable Development Goals 2030 yaitu, mengurangi kemiskinan," jelas Wapres. Sementara itu di Mesir, dana wakaf dikembangkan melalui investasi infrastruktur seperti pengelolaan terusan Suez dan untuk pembiayaan pengembangan Universitas Al-Azhar. "Di Kuwait, dana wakaf terus berkembang dalam berbagai proyek investasi pembangunan properti, pertokoan, pemukiman selain masjid-masjid," tukasnya. Bahkan di Indonesia, lanjut Wapres, gerakan wakaf pernah dilakukan oleh masyarakat Aceh untuk membeli pesawat pertama kali di Indonesia, kata Wapres. "Pada awal kemerdekaan Indonesia, gerakan wakaf pernah dilakukan oleh masyarakat Aceh berupa pembelian pesawat pertama Republik Indonesia, yang kemudian menjadi cikal bakal Garuda Indonesia," katanya. Oleh karena itu, Wapres berharap masyarakat muslim di Indonesia mulai mengembangkan wakaf yang memberikan manfaat kepada seluruh umat dan pembangunan nasional. "Dengan demikian dana wakaf dapat terus berkembang dan memberikan manfaat kepada umat. Oleh karena itulah, maka wakaf dinamakan sebagai sedekah jariyah yang pahalanya mengalir terus kepada pemberi wakaf atau wakif," ujarnya. (sws)

KSP Apresiasi Inisiatif Penanganan Pandemi di Papua

Jakarta, FNN - Kantor Staf Presiden mengapresiasi inisiatif Dinas Kesehatan di Papua menggerakkan partisipasi anak muda untuk memperkuat upaya penanganan COVID-19 di masyarakat. "KSP mengapresiasi inisiatif yang dilakukan oleh Dinkes menggerakkan partisipasi anak-anak muda untuk memperkuat upaya penanganan COVID-19 di masyarakat," ujar Tenaga Ahli KSP Rini S Modouw dalam keterangan tertulis KSP, di Jakarta, Jumat. Hal tersebut disampaikan Rini seusai memantau penanganan COVID-19 di beberapa wilayah di Kota Jayapura, Papua. Menurut Rini, inisiatif yang dilakukan Dinkes Papua adalah bentuk kolaborasi yang sangat dibutuhkan saat inj. Dia berharap inisiatif tersebut dapat menjadi model untuk daerah-daerah lainnya. Berdasarkan laporan yang diterima tim KSP, penanganan pandemi COVID-19 di Papua tidak hanya gencar dilakukan oleh pemerintah daerah. Sejumlah relawan yang terdiri dari para pemuda dan anggota komunitas religi turut aktif berkontribusi dalam penanganan COVID-19 melalui gerakan Pemuda Anti-COVID-19. Gerakan yang melibatkan kolaborasi antara pemuda Gereja, pemuda Masjid, komunitas masyarakat dan pemerintah daerah ini sudah diinisiasi sejak tahun 2020 oleh Dinas Kesehatan Jayapura dan Dinas Kesehatan Papua. Para relawan ini turun ke lapangan untuk melakukan proses penyemprotan desinfektan di rumah-rumah penduduk, melakukan kampanye imbauan protokol kesehatan 5M, kampanye kebersihan lingkungan dan lain-lain. Sejauh ini, inisiatif gerakan Pemuda Anti COVID-19 difasilitasi oleh pihak kelurahan di masing-masing daerah. Namun dana operasional dari Kelurahan yang cukup terbatas menjadi kendala bagi keberlanjutan inisiatif ini. Lurah Hedam, Distrik Heram, Jayapura Soleman Young mengatakan pihaknya telah membentuk tim Pemuda Anti-COVID sejak 2020, namun dalam perjalanannya terkendala dengan biaya operasional yang terbatas. Terkait kendala tersebut, Rini menyampaikan, tim KSP akan mempelajari lebih lanjut terkait permasalahan dana operasional bagi keberlanjutan gerakan Pemuda Anti-COVID-19 tersebut. Rini menekankan penanganan COVID-19 di Jayapura membutuhkan penguatan karena angka penularan yang masih cukup tinggi ditambah dengan keterbatasan alat tes PCR COVID-19, keterbatasan vaksinator dan tingkat kepatuhan masyarakat yang masih sangat rendah terhadap protokol kesehatan 5M. Di Puskesmas Abepura di Kota Jayapura, misalnya, kata Rini, program vaksinasi sudah tidak berjalan selama satu bulan karena sebagian besar tenaga kesehatan dan vaksinator terpapar COVID-19. "KSP akan mendorong penguatan upaya vaksinasi dengan penambahan vaksinator agar target Presiden yaitu vaksinasi 100 persen pada saat Pekan Olahraga Nasional Papua tercapai. Selain itu, peran tokoh agama dan adat juga sangat diharapkan keterlibatannya untuk memberikan kesadaran publik tentang pentingnya vaksinasi,” ujar Rini. Sementara itu mengenai program vaksinasi, Kepala Puskesmas Abepura dr. Grace Juliet Pangendahen, mengungkapkan antusiasme masyarakat terhadap program vaksinasi sudah cukup tinggi. Selain itu, kolaborasi yang baik antara TNI/Polri dengan pihak rumah sakit dan Kelurahan/RT/RW dalam pengadaan sentra vaksinasi “Gebyar Gebyar” dan upaya tracing pasien COVID-19, cukup berdampak signifikan dalam menekan penambahan kasus COVID-19 di Kota Jayapura. Walaupun ketersediaan vaksinator yang sangat terbatas masih menjadi perhatian di Jayapura, namun penanganan COVID-19 di Jayapura secara umum sudah cukup terkendali dengan adanya tambahan tempat isolasi terpusat yakni di kapal KM Tidar. Adapun Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura Ni Nyoman Sri Antari mengatakan bahwa keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Rates/BOR) di Kota Jayapura kini telah menurun hingga ke level 59 persen, dari level 96 persen pada Juli lalu. (sws)

Wakil Ketua DPR: Pemerintah Tidak Mungkin Sendiri Tangani Pandemi

Jakarta, FNN - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Abdul Muhaimin Iskandar mengatakan Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam penanganan COVID-19, sehingga harus melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan generasi muda. "Pemerintah tidak mungkin sendiri dan harus melibatkan unsur tokoh, tokoh masyarakat, agama, hingga pemuda. Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam penanganan pandemi," kata Muhaimin dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Jumat. Hal itu disampaikan Muhaimin saat melakukan Roadshow Politik Kesejahteraan bersama warga Kalimantan Barat secara virtual, Kamis (12/8). Pandemi COVID-19 memberi tantangan bagi pembangunan nasional yang terhambat karena berbagai kebijakan yang diambil Pemerintah untuk memutus rantai penyebaran. Namun, Muhaimin mengatakan, tantangan dalam pembangunan nasional di masa pandemi tersebut memberikan hikmah dalam pemberdayaan negara. "Hikmah dari pandemi ini sangat luar biasa. Di satu sisi kita kesulitan, tapi (di sisi lain) dapat menjadi evaluasi keberdayaan kita sebagai negara, sebagai bangsa dan pelaku pembangunan agar terus eksis dan berdaya," kata Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut. Selain itu, lanjutnya, pembangunan nasional di tengah keterbatasan kondisi pandemi dan anggaran, harus mengutamakan pada pelaksanaan vaksinasi guna mencapai kekebalan komunal atau herd immunity. Sementara itu, warga Kalimantan Barat yang mengikuti Roadshow tersebut secara virtual menyampaikan aspirasi mereka, antara lain terkait vaksinasi COVID-19 yang belum merata, pembagian bantuan sosial (bansos), pertanian, pendidikan dan kelangkaan oksigen. "Kami meminta agar penyaluran bansos, seperti BLT (bantuan langsung tunai) dan PKH (program keluarga harapan) dipercepat dan langsung dirasakan oleh masyarakat yang berhak menerima," kata salah seorang kepala desa setempat. Turut mengikuti acara tersebut secara virtual ialah Anggota DPR Fraksi PKB Daniel Johan, tokoh masyarakat dan tokoh agama Kalimantan Barat. (sws)

Bupati Aceh Barat Minta DPRA Perjuangkan Pengembalian Dana Otsus

Meulaboh, FNN - Bupati Aceh Barat Haji Ramli MS meminta kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar memperjuangkan pengembalian Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) ke 23 kabupaten/kota di Aceh. “Saya berharap anggota DPRA memperjuangkan dana DOKA agar dikelola oleh masing-masing daerah, hal ini untuk menghindari minimnya serapan anggaran setiap tahun di Anggaran Pendapatan Belanja Aceh,” kata Ramli MS di Meulaboh, Kamis. Penegasan itu ia sampaikan saat menerima kunjungan kerja Tim Panitia Khusus (Pansus) Daerah Pemilihan X Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang di ketuai oleh Fuadri, dalam rangka evaluasi terhadap Kegiatan Dana Otsus Aceh Tahun 2020 dan dana transfer dari provinsi serta dana Refocusing COVID-19 yang digelar di Ruang Rapat Bupati Aceh Barat. Ramli MS mengatakan, selama ini pengelolaan dana otonomi khusus Aceh setiap tahunnya selalu menjadi SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) karena tidak bisa dihabiskan anggarannya di tahun berjalan, akibat dikelola oleh masing-masing Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA). Akibatnya, pembangunan di setiap daerah di Aceh menjadi terganggu dan terhambat karena jumlah SILPA pada tahun 2020 lalu mencapai Rp3,96 triliun, dan pada tahun 2019 lalu SILPA Aceh mencapai Rp1,8 triliun. Agar serapan anggaran dana otonomi khusus Aceh bisa diserap secara maksimal, kata Ramli MS, maka pengelolaan dana tersebut agar dikembalikan lagi kewenangannya ke setiap kabupaten/kota di Aceh. Karena apabila dana tersebut terus dikelola oleh masing-masing SKPA di Aceh, maka kejadian rendahnya serapan anggaran di Aceh akan kembali terulang di tahun mendatang. Dengan banyaknya beban kerja di SKPA, maka ia berharap agar pengelolaan setiap kegiatan dana Otsus Aceh agar dikelola oleh masing-masing daerah, sehingga setiap rencana pembangunan di kabupaten/kota bisa dilaksanakan secara maksimal dan sesuai dengan keinginan masyarakat. “Pak Gubernur Aceh juga sudah setuju agar dana Silpa Otonomi Khusus Aceh agar ditransfer ke setiap kabupaten/kota di Aceh, kami berharap SKPA di Aceh segera merealisasikan hal ini,” kata Ramli MS. Dalam kesempatan ini, ia juga menegaskanh kemajuan daerah seperti di Aceh Barat dapat tercapai apabila adanya sinergitas yang baik antara pemerintah kabupaten dengan provinsi, dan didukung oleh DPRA. Dengan adanya sinergitas tersebut, diharapkan serapan dana otonomi khusus Aceh dapat dimaksimalkan, sehingga tidak terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) di tahun sebelumnya. Sementara itu Ketua tim Pansus DPRA Fuadri mengatakan pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap dana transfer dari Pemerintah Aceh, serta dana refocusing COVID-19 di setiap wilayah daerah pemilihan X Aceh seperti di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Simeulue. Menurutnya, kunjungan kerja ini bertujuan untuk mendengar paparan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Barat terkait dengan kegiatan yang telah dilaksanakan di tahun 2020 lalu, sekaligus berdiskusi tentang kegiatan prioritas yang akan didukung oleh provinsi. Fuadri juga mengapresiasi program Bupati Aceh Barat dalam penanganan COVID-19, salah satunya pemberian dana bantuan kepada masyarakat yang terdampak pandemi, tuturnya. (sws)

Eks Timnas Sepak Bola Octo Maniani Gabung ke Partai Gelora

JAKARTA, FNN -- Mantan pemain tim nasional (timnas) sepak bola Indonesia, Oktovianus Maniani (Okto), resmi bergabung dengan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia. Ketua Bidang Rekrutmen Anggota DPN Partai Gelora Indonesia, Endy Kurniawan, mengatakan, Okto mengaku gembira dan bersemangat bisa bergabung dengan Partai Gelora. "Saya sempat berkomunikasi langsung melalui video call dengan Okto begitu mendapat kabar bahwa dia gabung ke Partai Gelora, Kamis (12/8) siang. Cerah wajahnya," kata Endy dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/8). Endy menyampaikan ucapan terima kasih kepada Okto yang mau bersedia gabung ke partai besutan Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfuz Sidik tersebut. Partai Gelora berpandangan, Okto yang kini berusia 30 tahun merupakan representasi dan semangat Indonesia Timur. "Kami berharap Okto bisa menjadi duta dan role model yang membawa aspirasi masyarakat yang berjuang bersama Partai Gelora," ujarnya. Endy juga mengapresiasi Dewan Pimpinan Wlayah (DPW) Papua yang secara gigih berhasil merekrut tokoh-tokoh Papua seperti Okto Maniani bergabung bersama Partai Gelora. "Saya juga mendengar akan cukup banyak nama atlet nasional dari Papua yang akan bergabung bersama Gelora, termasuk kolega-kolega Okto. Partai Gelora sebagai partai terbuka akan menyiapkan ruang partisipasi yang besar," jelas Endy. Oktovianus Maniani, lahir di Jayapura pada 27 Oktober 1990 silam. Sebelum pandemi Covid-19, Okto bermain untuk Persiba Balikpapan di Liga 2 pada 2020 lalu. Okto dipanggil untuk memperkuat timnas Indonesia U-23 di ajang SEA Games 2011 saat Indonesia menjadi tuan rumah. Pada Indonesia Super League (ISL) tahun 2010/2011, Okto dipinang oleh klub Sriwijaya FC yang dilatih oleh Ivan Kolev. Okto juga pernah memperkuat Arema Cronus, Madura FC, Perserang, Persewar Waropen, dan lain-lain. Okto juga pernah tergabung dalam Indonesia untuk persiapan Piala AFF 2010 di bawah asuhan Alfred Riedl. Ia pun masuk skuad pemain timnas senior dan memperkuat Indonesia dalam even-even internasional. (ant)

Pemkot Tanjungpinang Tanggapi Soal Arogansi Wali Kota dan Ajudan

Tanjungpinang, FNN - Pemerintah Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menanggapi pemberitaan soal arogansi Wali Kota Rahma dan ajudannya terhadap sejumlah wartawan yang hendak melakukan kegiatan wawancara pada Selasa (10/8). “Tidak seperti yang digambarkan pada pemberitaan yang ada, ajudan atau pengawalan hanya melakukan tugasnya agar wali kota segera ke lokasi kegiatan selanjutnya karena sudah terlambat,” kata Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokompim) Bobby Wira Satria, Kamis. Bobby juga menjelaskan bahwa saat itu tidak ada aksi dorong-dorongan untuk menghalangi kerja rekan-rekan jurnalis. Menurut dia, sang ajudan sedang fokus bekerja dengan menjalankan tupoksi sebagai pengawalan kepala daerah. Ia tak menampik terkadang bentuk profesionalisme pekerjaan saat petugas pengawalan kepala daerah melakukan tugasnya, dianggap menghalangi orang lain untuk mendekati atau mewawancarai kepala daerah yang sedang dikawalnya. “Saat itu protokol, ajudan dan pengawalan melakukan tugasnya dengan baik, tidak ada kekerasan atau bahasa yang tidak sopan. Mereka hanya mengarahkan agar wali kota segera masuk ke dalam mobil agar secepatnya menuju pada kegiatan berikutnya,” jelas Bobby. Sementara itu, Bobby juga menanggapi terkait penyebaran informasi mengenai agenda kepala daerah kepada publik. Pihaknya mengklaim selalu memberikan informasi mengenai jadwal harian kepala daerah, lengkap dengan waktu dan tempatnya. "Tetapi jika kegiatan bersifat konsolidasi internal atau rapat terbatas, tidak kami sebarkan kepada rekan-rekan jurnalis untuk dilakukan peliputan atas kegiatan tersebut,” ungkapnya. Lebih lanjut Bobby menyampaikan akan selalu mengevaluasi seluruh kinerja stafnya agar selalu mengikuti aturan, protap, dan mengedepankan pelayanan prima. "Kami menyampaikan permohonan maaf apabila masih ada sikap yang kurang berkenan pada saat pelaksanaan tugas dan kami senantiasa menerima kritik serta saran yang membangun dalam rangka evaluasi kinerja Prokompim," demikian Bobby. (sws)

Jakarta Defence Studies Sambut Baik Kurikulum Sains Pertahanan Menhan

Jakarta, FNN - Kelompok kajian masalah pertahanan dan wacana-wacana strategis Jakarta Defence Studies menyambut baik langkah Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang mendorong kurikulum sains pertahanan di Indonesia. "Saya senang Pak Prabowo fokus kepada kurikulum sains pertahanan untuk sarjana di Universitas Pertahanan," kata Co Founder Jakarta Defence Studies Edna Caroline kepada wartawan di Jakarta, Kamis. Kendati demikian, ia menilai hal itu saja belum cukup. Sebab, Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih luas. Sebagaimana diketahui, saat ini Universitas Pertahanan memiliki program studi Kedokteran Militer, Farmasi Militer, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Militer, dan Fakultas Teknik Militer yang dibuka pada 2020 guna menyiapkan sumber daya manusia pertahanan negara serta merespons ancaman dan perang di masa depan, termasuk ancaman biologi. Edna Caroline mengatakan adanya kurikulum sains pertahanan penting untuk masa depan pertahanan negara, namun selama ini pemerintah masih terlihat enggan berinvestasi dalam bidang sumber daya manusia pertahanan negara. Edna mengakui investasi di sektor sumber daya manusia memang memakan waktu yang cukup lama. China misalnya, membutuhkan sekitar 50 tahun untuk membangun kualitas sumber daya manusia di sektor pertahanan yang mumpuni. "Kita butuh kerja sama tentang pendidikan. Negara atau produsen yang bisa membagikan ilmu teknologi pertahanan kepada kita. Jadi memang butuh pendekatan yang lebih komprehensif," ujar dia. Pada April 2020 Menhan Prabowo Subianto meminta Rektor Universitas Pertahanan Laksamana Muda TNI Amarulla Octavian untuk membuka kurikulum sains pertahanan guna menghasilkan para perwira Korps Kesehatan TNI yang cakap melaksanakan operasi militer, termasuk menghadapi wabah penyakit seperti COVID-19. "Perlu mencetak kader terbaik yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi, sekarang terjadi pandemi. Kita berupaya keras menguasai ilmu di bidang kedokteran," kata Prabowo. Harapannya, semakin banyak sarjana di bidang farmasi dan kedokteran yang nantinya bisa memproduksi obat di dalam negeri sehingga tidak bergantung kepada negara lain. (sws)

Menata Parlemen, Menguatkan Peran Civil Society

Oleh: Tamsil Linrung *) CHECK and balances. Dua kata ini acapkali menjadi pemanis dalam diskursus ketatanegaraan. Dengan prinsip saling kontrol dan saling imbang (check and balances) ini, lembaga-lembaga negara atau cabang-cabang kekuasaan dapat menghindari pemusatan kekuasaan yang sewenang-wenang. Semua negara di dunia selalu menerapkan prinsip check and balances. Pun Indonesia. Reformasi politik 1998 yang disusul reformasi konstitusi sebanyak empat kali amandemen UUD 1945 menyepakati diadopsinya prinsip check and balances ke dalam sistem pemerintahan. Tetapi, mekanisme check and balances tentu hanya dapat berjalan jika lembaga negara dimaksud punya kewenangan berimbang. Bila tidak, jangankan saling check, untuk balance saja jelas mustahil. Dari perspektif ini, prinsip check and balances antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan lembaga negara lainnya menjadi sulit tercapai karena kewenangan DPD begitu timpang ketimbang yang lain. Padahal, dalam sistem pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat sangat sentral. DPD dibentuk untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. DPD dibentuk juga agar prinsip check and balances dapat berlangsung paripurna. Tentu DPD berusaha maksimal menjalankan amanah ini. Namun dengan kewenangan terbatas, langkah-langkah politik menjadi terbatas pula. Mandat konstitusi kepada DPD hanya sebatas menyarankan, memberi pertimbangan dan dapat ikut serta saja. Konstitusi hanya memberikan fungsi perwakilan kepada DPR, yang tercermin dari kepemilikan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran yang secara kuat dimiliki DPR. Meski DPD juga memiliki fungsi tersebut, namun fungsi yang dimilikinya tidak bersifat otoritatif. Itulah sebabnya keberadaan DPD yang tadinya menjadi lembaga penyeimbang DPR justru hanya menjadi pelengkap dan bahkan subordinat DPR. Padahal, legitimasi anggota DPD sangat kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. DPD sebagai kamar kedua tidak memiliki kewenangan memadai untuk mengontrol proses legislasi di DPR. Sebaliknya, DPR sebagai kamar pertama mempunyai kewenangan mengontrol secara penuh usulan RUU. Masalahnya, bukan tidak mungkin terjadi konflik kepentingan antara pemerintah dan partai-partai pendukung pemerintah yang begitu dominan di DPR. Ingatan kita tentu masih segar pada pengesahan UU Omnibus Law yang tempo hari diusulkan pemerintah. Di tengah berbagai kecurigaan rakyat atas proses legislasi UU Omnibus Law yang super kilat itu, DPD tidak bisa berbuat banyak. Ini hanya satu contoh kecil betapa ketiadaan double check antara DPD dan DPR harus dikritisi kembali, sebab konstitusi tegas menyerukan semangat check and balances. Namun kita terpaksa menegasinya karena ketimpangan kewenangan. Penguatan DPD Jawaban persoalan di atas sudah pasti penguatan kewenangan lembaga DPD melalui amandemen kelima UUD 1945. Namun, proses politik ini tidak hanya memerlukan persetujuan politik bersama antara DPR dan DPD, tetapi juga kemampuan melawan ego, syahwat, dan nikmat kekuasaan. Kini, terbuka jalan amandemen kelima menyusul digagasnya rumusan norma Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) oleh MPR. DPD tentu menyambut baik, dengan tetap mawas terhadap potensi penumpang gelap amandemen. Bila kotak Pandora amandemen sepakat kita buka, sekalian saja mengoptimalisasi konstruksi sistem parlemen yang ada. Kita berharap, DPR dengan segala kesadaran politik dan kerendahan hatinya menyambut baik gagasan itu. Namun, guna mendorong upaya politik ini lebih kencang, DPD perlu merangkul masyarakat sipil, sekaligus memberi jalan agar civil society bertumbuh menjadi faktor penyeimbang di parlemen. Jejaring masyarakat sipil bisa berperan melahirkan reformasi kelembagaan parlemen melalui pergumulan ide, gagasan, dan desakan kepada pemangku kebijakan. Pelibatan masyarakat sipil secara intens, sekaligus menambah energi agar cahaya demokrasi yang mulai meredup kembali berkilau. Bagaimana pun juga, institusi masyarakat sipil masih dipandang sebagai simpul pembela kepentingan rakyat. Artinya, pelibatannya masyarakat sipil secara tak langsung merupakan upaya melebarkan representasi rakyat secara optimal. Syukurnya, DPD belakangan terlihat intens bertukar pikiran dengan mereka. Tak hanya di Ibukota, dalam beberapa kesempatan, Ketua DPD didamping sejumlah Anggota DPD bahkan menyambangi institusi masyarakat sipil dengan melakukan roadshow ke daerah-daerah. Selain menyerap aspirasi daerah, roadshow ini juga menerima masukan urgensi penguatan DPD. Tidak sedikit diantaranya menginginkan strong bikameral, di mana kewenangan DPD sebanding dengan DPR. Pemikiran ini tentu sangat ideal. Namun, pemikiran ideal itu muncul dari harapan masyarakat yang menginginkan DPD melanjutkan perjuangan presidential threshold atau ambang batas pemilihan presiden 0 persen sehingga masyarakat dapat disajikan beragam pilihan calon presiden dan wakil presiden. Selama ini, DPD memang tengah memperjuangkan ambang batas 0 persen. DPD juga menggagas pemikiran calon presiden perorangan atau non partai. Dua cita-cita ini tidak hanya membutuhkan energi besar tetapi juga kewenangan yang memadai. Jadi, kata kuncinya kembali kepada penguatan DPD melalui amandemen UUD 1945. Syukurnya, dukungan masyarakat terlihat besar, baik personal maupun dari organisasi masyarakat sipil. Dukungan ini menjadi support moral bagi DPD untuk bekerja lebih maksimal menuju cita-cita itu. Saran lainnya, ada pula yang mengusulkan agar DPD menjadi satu fraksi di DPR, sebagaimana disampaikan pakar hukum tata negara Dr. Maruarar Siahaan. Ide ini cukup menarik. Jika konstitusi memberi ruang kepada DPD dalam konteks itu, maka segala hak dan kewenangan DPR juga melekat pada DPD, dari soal legislasi hingga hak mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Apapun formatnya, yang jelas penataan relasi kerja yang baik dan berimbang antara DPR dan DPD perlu dikaji ulang. Bila tidak, sulit mencapai kinerja parlemen yang efektif. Kata kuncinya ada pada frasa berimbang. Jika dua kamar dalam sistem parlemen bikameral ini dibiarkan terus-menerus tidak sebanding, mustahil berharap saling kontrol dan saling imbang (check and balances), baik antara parlemen dengan lembaga tinggi negara lainnya maupun di internal parlemen sendiri. Masalahnya, setiap kali isu penguatan DPD bergulir, maka di saat yang sama muncul anggapan adanya pengurangan kewenangan DPR. Padahal tidak demikian. Kuatnya DPD akan menguatkan parlemen secara keseluruhan karena saling kontrol dan saling imbang tentu berpengaruh pada kualitas produk legislasi yang dihasilkan. Terkecuali bila sudut pandangnya kepentingan kelompok, nah, itu beda lagi. *) Penulis adalah Anggota DPD RI

Menggugat Hegemoni Ambang Batas Calon Presiden

Presidential threshold nyata mengebiri peluang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon pemimpin negeri. Sebaliknya, calon perseorangan mengusung semangat meluaskan alternatif pilihan rakyat dalam menemukan pemimpinnya. Oleh: Tamsil Linrung PRESIDENTIAL threshold (PT) tidak hanya menggerogoti demokrasi, tetapi juga mengamputasi amanat konstitusi. Meski seringkali menjadi polemik, namun segala upaya korektif terhadap ambang batas pencalonan presiden tidak pernah mempan. Segenap gugatan ditolak, semua langkah hukum dimentahkan, dan seluruh analisa pakar menguap terbawa angin. Kita tidak mengerti, kekuatan apa di balik aturan ambang batas pencalonan presiden itu. Di belakangnya, konon, oligarki berkelindan dengan sejumlah klan politik, bahu-membahu mempertahankan presidential threshold. Tujuannya, sebagai siasat meloloskan pasangan capres-cawapres partai politik tertentu, sekaligus mengebiri pasangan kandidat dari parpol lain. Indonesia bukan milik kelompok tertentu. Indonesia milik kita, dibangun di atas pondasi demokrasi dan hukum. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menggaransi agar proses pengambilan keputusan akomodatif terhadap peran serta masyarakat. Sedangkan hukum menjadi aturan main. Hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik." Bunyi dan maknanya terang, sehingga minim potensi dipersepsikan keliru. Tegasnya, konstitusi membebaskan parpol memilih satu dari dua alternatif, hendak mengusung calon sendiri atau memilih bergabung bersama parpol lainnya. Tetapi aturan presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menginterpretasi berbeda. Untuk dapat mengusung calonnya sendiri, Parpol wajib memenuhi kuota minimal 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional. Kalkulasi suara tersebut berbasis pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Terlihat jelas, ada pertentangan antara dua pasal di atas. Karena konstitusi adalah sumber hukum tertinggi, maka aturan yang bertentangan di bawah harus dipandang inkonstitusional. Inkonstitusionalitas presidential threshold sekurangnya ada tiga. Pertama, presidential threshold mengekang kebebasan parpol mengajukan pasangan calon secara mandiri atau bersama, yang oleh UUD 1945, parpol justru diberi keleluasaan. Kedua, angka 20% jumlah kursi DPR dan 25% suara sah nasional terasa ajaib karena muncul secara tiba-tiba. Angka ajaib itu tidak punya cantolan kepada UUD 1945. Ketiga, jumlah minimal kursi DPR atau suara sah nasional disebut didasarkan pada pemilu sebelumnya. Ambil contoh Pilpres 2019. Dasar hitung-hitungan kuota partai untuk mengusung pasangan calon presiden berangkat dari hasil Pemilu 2014. Padahal, hasil Pemilu itu telah digunakan untuk pencalonan presiden 2014. Jadi, satu tiket dipakai untuk dua event berbeda. Lagi pula, bila kalkulasi suara didasarkan pada Pemilu periode sebelumnya, lalu bagaimana jika ada partai baru dalam rentang 5 tahun belakangan? Bagaimana dengan hak konstitusional mereka mengajukan calon? Jawabannya, hak konstitusional ini harus bertekuk lutut dalam kendali presidential threshold. Perlawanan DPD DPD (Dewan Perwakilan Daerah) selaku lembaga perwakilan rakyat tentu memiliki beban moral untuk ikut andil meluruskan kekeliruan presidential threshold. Ini sebuah kekeliruan berjamaah yang kemungkinan besar disadari oleh semua jamaahnya. Namun, langkah dan kepentingan politik jangka pendeklah yang mengharuskan sebagian pihak memunggungi fakta, lalu menundukkan hati pada kebatilan. Saya tak bermaksud mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkali-kali menolak uji materi pasal 222 UU Pemilu adalah batil. Bila dicermati, putusan penolakan MK diwarnai pertimbangan open legal policy, yang berarti kebijakan mengenai pasal dimaksud merupakan kewenangan pembentuk UU alias DPR. Selain itu, putusan MK juga disertai dissenting opinion. Pada uji materi pasal 222 UU Pemilu yang diajukan Rhoma Irama, Hakim Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat berbeda. Keduanya menilai ambang batas presiden 20% tidak adil. Sedangkan dalam putusan uji materi yang diajukan Rizal Ramli, ada empat hakim setuju gugatan pemohon, yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Manahan MP Sitompul, dan Enny Nurbaningsih. Sebagai hukum yang mengikat, yang menjadi acuan tentu saja amar putusan MK, bukan pendapat perseorangan hakim. Namun, situasi di atas kiranya memberi gambaran tersendiri tentang presidential threshold. Artinya, sangat beralasan DPD memutuskan melawan hegemoni presidential threshold dengan menawarkan gagasan ambang batas 0 (nol) persen, sebagaimana amanat konstitusi. Senapas dengan langkah tersebut, DPD sekaligus mencoba merumuskan rekonstruksi model penguatan sistem presidensiil melalui upaya alternatif pengajuan calon presiden dan wakil presiden non-partai atau perseorangan. Ide itu setidaknya berangkat dari dua pertimbangan. Pertama, sebagai upaya DPD membuka keran seluas-luasnya bagi partisipasi politik anak negeri untuk berkompetisi bagi kemajuan bangsa. UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mendefenisikan pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Melalui pemilu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi menyerahkan kedaulatannya kepada lembaga negara. DPD menjadi salah satu pemegang amanat itu, sehingga menjadi kewajiban DPD menghadirkan sistem pelaksanaan pemilu yang secara konsisten memijak UUD 1945. Presidential threshold nyata mengebiri peluang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon pemimpin negeri. Sebaliknya, calon perseorangan mengusung semangat meluaskan alternatif pilihan rakyat dalam menemukan pemimpinnya. Memang, yang harus dirumuskan kemudian adalah syarat calon presiden independen. Bobot, kualifikasi, dan prosedurnya harus sebanding dengan syarat calon presiden yang diusung parpol. Misalnya saja, bila calon presiden partai atau gabungan partai otomatis telah mendapat rekomendasi dan jaminan parpol, maka untuk sebanding dengan syarat ini, calon presiden independen harus melalui fit and proper test. Kedua, kalau usulan calon non partai dapat kita setujui, maka DPD diharapkan dapat mengajukan calon presidennya sendiri. Dulu, sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon. DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Meski Utusan Daerah tidak persis sama dengan DPD, namun hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak diamputasi. Termasuk hak mengajukan Capres-Cawapres. Lagi pula, DPD memiliki legitimasi kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. Dengan begitu, hak DPD mengajukan calon sendiri adalah rasional. Kini, semua berpulang pada satu hal, yakni terbukanya kotak pandora bernama amandemen UUD 1945. Di sanalah semua perjuangan ini bermula. * Penulis adalah Anggota DPD RI.