POLITIK
Jokowi dan Prabowo Sama-sama Haus Kekuasaan
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan TENTU membuat tertegun sesaat setelah teka-teki Raja Jawa yang mengerikan diungkap Bahlil Lahadalia kini muncul lagi teka-teka yang dilempar Prabowo soal orang yang haus kekuasaan. Pihak yang haus kekuasaan menurutnya dapat merugikan negara. Untuk kekuasaan segala cara dilakukan termasuk membeli dan melakukan operasi-operasi intelijen. Prabowo mengkritisi tajam perilaku ini saat melakukan penutupan Kongres VI PAN di Hotel Kempinsky Jakarta. Presiden terpilih ini memang sudah seperti Presiden definitif saja jalan dan sambut sana sini. Mungkin mulai mengimbangi pengaruh Jokowi yang sedang sibuk mengamankan kekuasaan di penghujung masa jabatan. Teka-teki Bahlil maupun Prabowo mudah ditebak secara politik. Tentu saja Jokowi, sebab tidak mungkin Donald Trump. Meski sama-sama ngeri-ngeri sedap dan dapat membeli kekuasaan tetapi dia itu orang Amerika bukan Jawa. Mc Donald menghadapi boikot soal Palestina, Donald Duck sedang piknik ke China menyamar Peking Duck. Bahlil dan Prabowo \"mewekwek\" menyinggung orang yang punya kekuasaan. Bahlil menjilat sedangkan Pabowo berkhianat. Jilatan Bahlil sampai ke alam ghaib, Golkar ditakut-takuti agar pohon beringin dapat berguncang dan gemetar lalu berlindung kepada Raja Jin penguasa kegelapan. Prabowo berkhianat jika bacaan itu terarah ke Jokowi. Prabowo itu tokoh unik yang bisa habis-habisan menjilat lalu tega menyindir bahkan mengecam. Jokowi dan Prabowo sama-sama haus kekuasaan. Rakyat hanya diatasnamakan atau batu loncatan. Prabowo pernah lari dan sembunyi dari rakyat pendukungnya sendiri demi kursi Menteri. Ambisi melompat ke tempat yang lebih tinggi. Memeluk Gibran demi kasih sayang dan bantuan Jokowi. Strategi Prabowo untuk jabatan Presiden yakni harus berlindung kepada Jokowi. Memang di samping sebagai negara konoha atau wakanda Indonesia ini dikenal juga sebagai negara para bedebah dan para pengkhianat. Jokowi menjual kedaulatan negeri dan mengkhianati Megawati. Awalnya Megawati mengkhianati Jokowi soal Ganjar. Prabowo mengkhianati Jokowi sampai harus mengecam haus kekuasaan. Rakyat dikhianati oleh partai-partai politik, DPR, dan lembaga-lembaga yang diberi amanah untuk melayani. Mereka hanya sibuk melayani dirinya sendiri. Jokowi, Prabowo, dan pemimpin lain yang mengaku muslim lalu haus akan kekuasaan, sadarlah bahwa kekuasaan itu hanya ujian untuk ditunaikan sebaik-baiknya. Kelak di akherat berakibat pada kesia-siaan dan penyesalan. \"maa aghnaa annii maaliyah, halaka annii sulthooniyah\" (tidak berguna atasku harta kekayaan, telah hilang dariku kekuasaan)--Al Haqqah 28-29. \"Innakum satahrishuuna \'alaal imarah. Satakuunu nadaamatan yaumal qiyaamah\" (Nanti engkau begitu haus akan kekuasaan. Kelak di hari kiamat engkau benar-benar menyesal)--HR Bukhori. (*)
Peringatan Kemerdekaan Dilakukan dengan Menyembah Api, bukan Berdoa untuk Pahlawan
Jogjakarta | FNN - Kelompok sepuh Jogjakarta merasa perlu mengeluarkan peringatan keras terhadap rezim Jokowi. Salah satu pemicunya adalah pada saat peringatan Kemerdekaan RI di Istana IKN, upacara dimulai dengan menyembah api, bukan mendoakan arwah para pahlawan. Demikian rilis yang diterima redaksi FNN Sabtu, 24 Agustus 2024. Adapun penggagas dan pencetus Maklumat Yogyakarta adalah Jenderal TNI (Purn.) Tyasno Sudarto, Prof. Dr. Rochmat Wahab M.Pd., M.A., Prof. Dr. Sofian Effendi, B.A.(Hons.), M.A., M.P.I.A., Ph.D., dan Prof. Dr. Kaelan, M. S PDF. Mereka mendadak harus bertemu kembali pada Jumat siang, 23 Agustus 2024, pukul 14.00 sampai 17.00 di ruang 210 lantai 2 Gedung MAP FISIPOL UGM Unit II, Jl. DR. Sardjito, Sekip, Yogyakarta. Para pencetus Maklumat Yogyakarta mengingatkan kembali memberikan peringatan keras bahwa negara dalam kondisi berbaya bahwa : 1. Negara Kesatuan RI sudah tidak berdasarkan Pancasila dan UUD 45 2. Konstitusi Negara RI sudah tidak memiliki Roh Proklamasi.3. Negara Proklamasi sudah di bubarkan 4. Amandemen UUD 45 adalah ilegal dan makar terhadap NKRI5. Sebutan UUD 45 NRI hanyalah rekayasa politik dari sebutan nama UUD 45 palsu 6. Sebutan UUD 2002 hanyalah manipulasi sebutan nama dari UUD 45 palsu7. Amandemen UUD 45 bukan kehendak rakyat dan partai politik8. Tumpah darah dan Tanah air kita sudah di gadaikan dan di jajah kolonial baru ( bentuk pemerintahan saat ini adalah penjajahan ).9. Pembentukan IKN telah memutus sejarah NKRI Kondisi di atas telah menampakkan beberapa kejadian yang tidak menghargai para pahlawan kemerdekaan negara : - Peringatan 17 Agustus 2024 bukan di awali renungan jasa para arwah pejuang kemerdekaan yang terjadi bahkan di warnai upacara menyembah api. - Jokowi Presiden yang memperparah kerusakan penyelenggaraan dan tata kelola pemerintahan dan negara. Oleh karena itu Negara Kesatuan RI harus segera diselamatkan dengan jalan: 1. NKRI mutlak harus kembali ke UUD 45 ( asli )2. Alternatif addendum yang diperlukan di lakukan dengan ketat dan terbatas atas persetujuan rakyat Indonesia 3. Tidak boleh ada amandemen ke 5 yang akan memperparah keadaan.4. Satukan kembali kekuatan Bangsa Indonesia dan segarkan kembali sumpah setia kepada Pancasila dan UUD 45 Apabila rezim saat ini tetap nekad akan melakukan kerusakan NKRI, sesuai Maklumat Yogyakarta tentang Penyelamatan Bangsa Dan Kesatuan Negara RI, \"Jogjakarta, 18 Mei 2024\"_. Pada points 3 dan 4 : - Apabila Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap berjalan di luar kendali UUD 45 dan Pancasila maka keadaan yang tidak terkendali harus diserahkan kembali kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; - Dalam kondisi darurat Revolusi Rakyat adalah salah satu cara yang syah menentukan dan mengambil kebijakan negara sebagai pemilik kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)
Waspadai Manuver Lanjutan Jokowi dan DPR Setelah Revisi UU Pilkada Batal Disahkan
Oleh Faisal S Sallatalohy | Mahasiswa Doktor Hukum Trisakti SETELAH batal gelar Paripurna sahkan revisi UU Pilkada, DPR dan pemerintah masih punya 2 cara ilegal-inkonstitusional untuk anulir keputusan MK. Salah satunya, lewat Revisi dan Penatapan Peraturan Komisi Pemelihan Umum (PKPU) No 8 tahun 2024. Kita tahu sampai hari ini, tehitung 4 hari menjelang pendaftaran calon kepala daerah pada Selasa 27 Agustus, KPU belum juga merevisi dan menetapkan PKPU sesuai keputusan MK. KPU mengkonfirmasi, saat ini draft PKPU tentang syarat Pilkada sudah dikirimkan ke komisi II DPR untuk dikonsultasikan. Dalam kaitan ini, perlu diwaspadai. Dalam sejarahnya, KPU dan Komisi II seringkali memaksakan sejumlah ketentuan yang berbeda dengan keputusan MK. Contoh paling mutakhir, Komisi II dan KPU tidak merevisi usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Atas perilaku inkonstitusional tersebut, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI pada tanggal 5 Februari 2024 menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy\'ari kala itu. Masyarakat harus mengawal dengan ketat proses revisi PKPU yg saat ini sedang dikonsultasikan pembentukannya di Komisi II. Jangan sampai, KPU dan DPR tidak menyesuaikan proses revisi sesuai keputusan MK. Justru menggunakan pendekatan tafsir lain untuk menambahkan frasa yang melemahkan putusan MK. Terutama terkait penyesuaian pasal yang mengatur ambang batas pencalonan dan syarat usia calon kepala daerah. Soal ambang batas, lewat putusan No.60/PUU-XXI/2024 telah diturunkan, misalnya untuk Jakarta 7,5% dari 20%. Sementara untuk syarat usia, minimal 30 Tahun pada saat penetapan pasangan calon. Dua ketentuan ini, wajib dimasukan KPU dan Komisi II ke dalam revisi PKPU 8 Tahun 2024. Jangan sampai KPU dan Komisi II kembali melakukan manuver, siasat licik, memaksakan penafsiran berbeda untuk melenyapkan atau melonggarkan bunyi putusan MK itu. Kita tahu dalam revisi UU Pilkada Kemarin, Baleg DPR memang tidak melenyapkan keputusan MK sepenuhnya. Tapi melonggarkan ketentuan dalam putusan tersebut. Menggunakan penafsiran lain, Baleg memutuskan, ambang batas 7,5% hanya diperuntukan untuk partai yg tidak punya kursi di Parlemen. Sementara partai basis parlemen tetap wajib memenuhi syarat 20% yang diatur dalam aturan sebelumnya. Padahal dalam keputusan MK jelas sekali tertulis, penurunan ambang batas 7,5%, diperuntukan bagi semua partai, baik yang punya kursi di parlemen maupun tidak. Keputusan MK ini sangat jelas. Bunyi norma yang sangat terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain yang berbeda selain dari norma yang sudah ditetapkan MK. Hal ini juga berlaku untuk PKPU, dalam proses revisinya, KPU dan Komisi II DPR berkewajiban menyerap norma dalam keputusan MK tanpa diperbolehkan menafsirkan atau menambahkan frasa lain yang justru akan bermuara pada perbedaan norma yang dimaksud dalam putusan MK. Sementara untuk syarat usia pencalonan, bunyi keputusan MK sangat jelas, minimal 30 tahun pada saat penetapan pasangan calon. Kemarin, dalam revisi UU Pilkada, panja di Baleg DPR merubahnya menjadi: \"usia minimal 30 tahun pada saat pelantikan pasangan calon\". Padahal sangat jelas bunyi keputusan MK. Tidak ada unsur multitafsir yang memungkinkan DPR menggunakan pemaknaan lain. Selain itu, menurut MK, penambahan frasa \"usia minimal 30 tahun pada saat pelantikan pasangan calon terpilih\" bertentangan dengan maksud pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yg menyatakan: Usia minimal 30 tahun saat penetapan pasangan calon. Sekalipun MK tidak mencantumkan secara eksplisit, historis, sistematis, praktik selama ini dan perbandingan dengan pemilihan lain, penentuan batas usia minimum calon kepala daerah selalu dihitung menggunakan titik atau batas sejak penetapan calon. Penentuan titik atau batas pada saat penetaoan calon menjadi semacam postulat atau asumsi, menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya. Artinya, dalam pembentukan PKPU, keputusan MK terkait syarat usia minimal calon, tidak memberi peluang kepada KPU dan Komisi II DPR menambahkan frasa atau pemaknaan lain selain apa yang sudah ditulis MK dalam putusannya. Termasuk mengecualikan putusan MK tersebut dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Satu-satunya kewajiban KPU dan Komisi II adalah menerapkan asas lex posterior derogat legi priori atau peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Pertauran terbaru yg dimaksud untuk diterapkan dalam pembentukan PKPU adalah putusan MK. Secara konstitusional keputusan MK menduduki derajat paling tinggi, final dan tidak dapat dikesampingkan oleh aturan yang dikeluarkan lembaga apapun. Termasuk keputusan MA yang kemarin menjadi rujukan Panja Baleg DPR dalam merevisi UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan. Secara ketatanegaraan, dari sisi relasi kewenangan, MA menguji PKPU terhadap UU Pilkada. Sedangkan MK menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, putusan MK memiliki hirarki yang lebih tinggi, mengesampingkan putusan MA. Oleh karena itu, dalam pembahasan revisi PKPU Pencalonan Kepala Daerah dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI, KPU bersama anggota dewan, Kemendagrii, Bawaslu RI dan DKPP, jangan sampai mengabaikan atau menganulir putusan MK. Jangan sampai tunduk di bawah manuver dan intimidasi licik kekuasaan untuk memuluskan kepentingan dinasti politiknya. Masyarakat tetap waspada dalam mode siaga onfire mengawal pembahasan, revisi dan penetapan PKPU. Awas kecolongan. Kemarin kita tau, pasca revisi UU Pilkada, sebelum ditetapkan dalam paripurna tingkat II DPR, muncul demonstrasi masif di berbagai daerah yang berpusat di Gedung DPR RI dan MK. Bisa jadi, peristiwa di Baleg DPR adalah bagian dari skenario kekuasaan melakukan \"stress test\", mengukur besarnya gelombang tekanan dan perlawanan masyarakat. Hasilnya seperti yang terlihat, gelombang perlawanan masyarakat, masih terbilang lemah dibandingkan yang sudah-sudah. Jauh lebih rendah dibandingkan aksi 212 yang menghadirkan 7 juta orang kepung Ibu Kota atau demonstrasi penolakan hasil pilpres 2019. Boleh jadi, setelah ini kekuasaan akan kembali manuver lewat PKPU dengan mode ketahanan dan daya tekan yang sudah terancang dengan baik untuk melemahkan perlawanan rakyat, secara diktator memaksa, membungkan rakyat mengandalkan kekuatan militer dan kepolisian untuk menerima PKPU hasil manuver mereka. Apapun itu, semua kemungkinan harus dilertimbangkan dan diwaspadai dengan baik. Kita sedang berhadapan dengan rezim culas yang sudah putus urat malunya, menghalalkan segala cara loloskan syahwat kekuasaan. Sejarahnya banyak, faktanya sudah tak terhitung, betapa untuk memenuhi ambisinya, kekuasaan tidak akan segan mengintimidasi, mengorbankan, bahkan melukai rakyat sendiri. Semoga, tidak terjadi. Revisi PKPU dilakukan sesuai perintah dan keputusa MK. Indonesia dijauhkan dari segala tragedi, perpecahan, intimidasi akibat ulah para elit yang serakah, rakus dan bajingan. (*)
Memaksa PDIP Pasang Badan Untuk Aksi Mahasiswa dan Rakyat
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) PDI Perjuangan harus menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh rakyat yaitu: mahasiswa, siswa, aktivis, akademisi, dewan guru besar, jurnalis, dan seluruh individu maupun kelompok masyarakat pro demokrasi. Aksi bersama melawan elit politik DPR RI dan pemerintah pelaku pembangkangan konstitusi, pembegalan hukum, dan pembelokan arah reformasi berhasil. DPR RI dan pemerintah dengan terpaksa membatalkan niat melawan putusan MK karena tekanan rakyat. Sikap jumawa DPR RI saat rapat di Badan Legislasi (Baleg) pun hilang saat masuk Sidang Paripurna Pengambilan Keputusan. Revisi UU Pilkada akhirnya batal, dan Pilkada akan diselenggarakan sesuai jadwal berdasarkan UU Pilkada dengan sejumlah pasal yang diubah oleh MK. Maka KPU RI harus segera melakukan persiapan pendaftaran pasangan calon sesuai putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 secara utuh. Meski tuntutan rakyat akhirnya dipenuhi, namun rakyat sebagai basis utama demokrasi masih terus menyuarakan kemarahan terhadap perilaku elit politik yang memuakkan. Aksi mahasiswa dan rakyat terus bergulir di berbagai kota untuk memastikan rencana busuk para pembegal hukum, pembelok arah reformasi, dan pembangkang konstitusi berhenti. Terhadap aksi mahasiswa dan rakyat, maka PDIP menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut: Pertama, bahwa aksi mahasiswa dengan rakyat sah dan dilindungi oleh konstitusi. Negara pun alat negara seperti Polri dan TNI tidak boleh melakukan tindakan refresif dalam menangani aksi mahasiswa dan rakyat. Kedua, bahwa penanganan aksi oleh Polri dan TNI tidak boleh menggunakan senjata api dengan peluru tajam maupun peluru karet. Jika di lapangan ditemukan selongsong peluru maupun peluru karet, maka pelakunya akan kita seret ke pengadilan. Ketiga, bahwa PDIP sebagai partai milik rakyat diminta menyediakan makanan dan minuman bagi peserta aksi dengan membuka dapur umum di kantor- kantor PDIP. Aksi mahasiswa dan rakyat saat ini adalah perlawanan terhadap kelompok elit perusak negara. Penyediaan makan dan minum bagi para aktivis adalah wujud solidaritas sesama anak bangsa dan tidak masuk kategori perbuatan melawan hukum. Keempat, bahwa PDIP sebagai partai rakyat harus membuka kantor- kantornya sebagai tempat berlindung para aktivis mahasiswa dan rakyat yang dicari dan dikejar akibat dinamika aksi di lapangan. Termasuk merawat mereka yang terluka akibat gesekan dalam aksi. Kelima, bahwa PDIP harus membuka dapur umum di setiap kantor- kantor partai demi memberi dukungan logistik makanan dan minum kepada mahasiswa dan rakyat peserta aksi. Kantor- kantor PDIP juga dapat digunakan para aktivis sebagai tempat istirahat setelah lelah gelar aksi. Keenam, bahwa PDIP harus memberi jaminan dan perlindungan hukum kepada mahasiswa yang ditangkap oleh alat negara saat aksi. Semua peserta aksi tidak boleh kuatir, ragu, cemas atas keselamatan jiwa nya. Jika ada peserta aksi yang ditangkap dan ditahan, maka PDIP harus memberi dukungan dan membebaskannya. Ketujuh, bahwa aksi mahasiswa dan rakyat adalah aksi murni tanpa ditunggangi oleh pihak mana pun, termasuk PDIP. Tidak ada campur tangan PDIP terkait materi aksi, tuntutan aksi, maupun pengorganisasian aksi rakyat dan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dan rakyat adalah deklarasi #kamimuak atas buruknya tata kelola hukum, demokrasi, dan kekuasaan pemerintah. Kedelapan, bahwa semua peserta aksi terutama mahasiswa diminta untuk tidak melakukan kekerasan dan perusakan fasilitas umum dan pemerintahan. Tetap menggunaka perjuangan ide, gagasan, bukan fisik. Kita percaya sinergi antara mahasiswa, rakyat dan kelompok pro demokrasi dengan PDIP akan terus berjalan. Maka mahasiswa, rakyat, pers, akan menjadi kekuatan untuk memastikan perjalanan bangsa berada pada rel yang benar. Satyam Eva Jayate, Merdeka!. (*)
Mungkinkah PKS Rujuk?
Oleh Bayu Anggara | Sekjen Persaudaraan Pemuda Islam Baru saja kita menyaksikan sebuah pelajaran berharga dalam politik Indonesia—bahwa kehendak rakyat dapat mengalahkan kecanggihan kongkalikong para elit politik. Kehendak rakyat telah terbukti menjadi kekuatan yang tak terbendung saat berhadapan dengan kehendak para elit politik yang manipulatif. Peristiwa ini menunjukkan bahwa, sebesar apa pun kekuatan elit politik, ketika berhadapan dengan kehendak rakyat, mereka harus beradaptasi atau tersingkir. Namun, bukan berarti para elit politik akan dengan mudah mengubah haluan. Mengingat perjalanan yang telah terbangun sejak Pilpres dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), wajar jika mereka masih bersikukuh bertahan dengan pendiriannya. Mereka telah berinvestasi banyak dalam koalisi ini, baik secara politik maupun materi. Akan tetapi, harapan mereka untuk mensiasati proses Pilkada tampaknya telah pupus. Kini, mereka dihadapkan pada satu pilihan: bertarung! Yang kini menjadi pusat perhatian adalah sikap partai-partai yang sebelumnya bukan bagian dari KIM. Bagaimana mereka akan bersikap di tengah dinamika politik yang terus berkembang? Apakah mereka akan tetap bertahan di kapal KIM atau justru memanfaatkan peluang yang ada untuk melakukan manuver politik yang lebih menguntungkan? Pertanyaan ini menjadi krusial, terutama ketika kita melihat situasi di Jakarta. Sebagai partai pemenang di Jakarta, PKS sebaiknya mengubah haluan politiknya. Memilih untuk tetap berlayar bersama KIM bukan lagi langkah yang menguntungkan, baik bagi PKS maupun KIM itu sendiri. Bagi KIM, PKS sudah tidak lagi relevan, dan bagi PKS, bertahan dalam KIM hanya akan semakin menjauhkan mereka dari basis pemilihnya. Putusan MK terkait UU Pilkada sebenarnya telah menyelamatkan \"muka\" PKS di hadapan para pemilihnya yang tidak setuju dengan keputusan PKS untuk bergabung dengan KIM. Sebaliknya, jika PKS kembali memilih berlayar bersama Anies Baswedan, ini akan menjadi kesempatan bagi mereka untuk merebut kembali dukungan dari para pemilihnya. PKS masih memiliki waktu untuk membuka kembali komunikasi dengan Anies dengan mengedepankan aspirasi dari para pemilihnya. Biarlah peristiwa politik kemarin menjadi bahan evaluasi bagi kedua belah pihak. Yang paling penting momentum ini dapat dimanfaatkan untuk membangun kembali kepercayaan dan relevansi politik mereka. Pilkada Jakarta, yang berpotensi diikuti oleh lebih dari dua pasang calon, membuka peluang bagi berbagai kekuatan politik untuk bersaing. Jika KIM mengusung kandidatnya sendiri, PDIP juga akan mengajukan kandidat kuat, PKS memilih untuk berlayar bersama Anies, ditambah kandidat independen, maka kalkulator politik tampaknya lebih berpihak kepada PKS dan Anies. PKS, sebagai partai pemenang di Jakarta dengan perolehan 18 kursi DPRD, dipadukan dengan Anies, yang memiliki elektabilitas teratas menurut hasil survey SMRC 8-12 Agustus 2024 (Anies 42,8% vs RK 34,9% dan Anies 37,8% vs Ahok 34,3%), menjadi kombinasi yang sulit untuk dikalahkan. Dalam dinamika politik yang terus berubah ini, PKS harus segera menentukan haluan. Apakah mereka akan tetap bersama KIM, atau kembali kepada basis pemilihnya dan berlayar bersama Anies? Pilihan ini tidak hanya menentukan masa depan PKS, tetapi juga masa depan Pilkada Jakarta dan arah politik nasional ke depan. (*)
PDIP Sudah Bagus, Bisa Jelek Lagi
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan SETELAH di depan publik PDIP berwajah jelek karena menjadikan petugas partainya Jokowi menjadi Walikota, Gubernur dan Presiden yang praktenya ternyata jelek, maka menjadi bagus setelah tidak bersama lagi dengan Jokowi. Lebih menjadi harapan ketika menempatkan diri sebagai oposisi, berlawanan dengan rezim Jokowi. Sekjen Hasto melawan permainan Jokowi. Megawati di belakangnya. Dalam kasus pembantaian Anies Baswedan oleh 12 partai politik, PDIP bermain bagus dan jelek. Bagusnya PDIP mendukung habis Putusan MK 60 dan 70 yang menghidupkan Anies dan mematikan Kaesang. PDIP pun disebut-sebut akan mendukung Anies untuk Gubernur Jakarta. Jeleknya PDIP pasang harga untuk mendukung Anies. Harga politik \"kepatuhan dan ketundukan\". Bahkan mengejek Anies sebagai \"peminta-minta\". Anies Baswedan justru dapat menjadi peruntuh PDIP khususnya di Jakarta walau PDIP diuntungkan oleh Putusan MK 60. Suport bagus karena posisi oposisi PDIP akan berubah kembali menjadi caci maki PDIP dan Megawati jika mengedepankan arogansi apalagi menista Anies sebagai pengemis. PDIP jangan lupa termasuk partai perusak bangsa dan penggerus ideologi. Pemanipulasi Pancasila, wakil dari wajah Orde Lama. Wajah buruk Soekarno. Nasakom, PKI dan Demokrasi Terpimpin. Jika PDIP santun dalam menempatkan potensi Anies Baswedan, apalagi mengusungnya, maka caci maki kepada PDIP dapat diredam. PDIP secara bertahap akan mendapat tempat dan simpati. Adalah cerdas jika bermain Pilkada dengan wajah manis bersama Anies daripada pasang muka cemberut berdasar arogansi. PDIP bakal menjadi musuh rakyat atas dosa politik mengutus petugas partainya sebagai Presiden. Megawati adalah nenek politik Jokowi sekaligus pencipta monster yang bebal dan buta tuli. Ada yang menyebut psikopat. Wajah cemberut, sinis dan arogan tentu kontra-produktif. Rakyat marah bukan hanya kepada Jokowi tetapi juga pada semua perampok, perusak dan pemerkosa kedaulatan rakyat. Tidak terkecuali PDIP dan Megawati.Saatnya bangun simpati bukan antipati. Jakarta merupakan wilayah pertaruhan. Kemenangan PKS yang sia-sia akibat berubah menjadi penjilat rezim, tidak bermanfaat bagi PDIP jika ia bertindak bodoh dan angkuh. Sebentar lagi akan masuk era kesuksesan oposisi dan kehancuran status quo. Ikut hancur kelompok yang tidak berpendirian atau penyelundup politik. Reformasi Jilid 2 sulit dibendung. Apalagi ada spirit Srilangka dan Bangladesh. Indonesia sangat terpicu oleh kesamaan kecurangan pemilu, korupsi dan politik dinasti. PDIP harus konsisten dengan isu simpatik bukan menistakan pimpinan, kelompok dan pendukung perubahan. Megawati jangan seolah-olah berpaket dengan Jokowi. Bakal digilas oleh rakyat yang sudah sangat muak dan jijik dengan kesombongan, kepalsuan dan kerakusan rezim Jokowi. PDIP yang sudah bagus, bisa jelek lagi. Sangat jelek sekali. (*)
Jangan Main-main dengan Raja Jawa
Oleh Prihandoyo Kuswanto | Ketua Pusat Study Kajian Rumah Pancasila Jangan main-main dengan Raja Jawa. Ucapan itulah yang memicu kesadaran rakyat dan alam semesta untuk menumbangkan Raja Jawa dan kroni- kroninya. Berawal dari perbuatan jahat para pengamandemen UUD 1945 yang mengabaikan rakyat pemilik negara tanpa persetujuan rakyat dan didahului penghapusan Tap MPR dan UU tentang Referendum sehingga rakyat tidak diajak bicara apalagi diikuti sertakan dalam mengamandemen UUD 1945. Itu adalah penghinaan pada amanat penderitaan rakyat. Bukan hanya rakyat yang marah, roh pendiri bangsa dan alam semesteran marah atas kemungkaran ini. Merusak negara yang dirahmati Allah diubah menjadi sekuler dan padahal negara ini didirikan atas berkat rahmat Allah dan didorongkan ke inginkan luhur. Yang menyedihkan justru NU dan Muhammadyah tidak bisa melihat keadaan bangsa ini, justru mau diajak melanggar konstitusi dengan menerima konsensi tambang. Padahal Pasal 33 ayat 3 \"Berbunyi Bumi air dan kekayaan yang ada didalam nya dikuasai Negara dan sebesar besar nya untuk kemakmuran rakyat.\" Rupanya NU dan Muhammadyah dijebak seakan madu padahal racun. Ukurannya bukan asing Oligarkhy menguasai tambang, masak NU dan Muhammadyah tidak boleh. Harusnya NU dan Muhammadyah itu pemilik negara justru harus menegakkan konstitusi, habisi semua asing dan oligarkhy yang menggarong kekayaan ibu pertiwi. Dan menegakkan konstitusi harusnya tidak terjebak pada hal yang demikian. Berhentilah semua partai politik, lembaga negara dan penguasa membohongi rakyatnya yang mengatakan negara berideologi Pancasila. Padahal sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 negara sudah diganti dengan sistem Presidensiil yang basisnya individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Kekuasaan diperebutkan dengan banyak -banyakan suara, kalah menang, pertarungan, kuat kuatan, curang curangan, caci maki dan permusuhan yang jelas bertentangan dengan nilai -nilai Pancasila. Dari kajian kami di Rumah Pancasila usul tersebut kurang tepat sebab selama ini penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002 justru yang harus diselamatkan bukan hanya soal pilpres tetapi mengembalikan negara ini semua untuk semua, mengembalikan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, mengembalikan kedaulatan adalah rakyat bukan kedaulatan ketua partai politik. Negara tidak boleh lagi hanya dimiliki oleh satu golongan yaitu golongan partai politik. Negara harus dikembalikan pada kedaulatan rakyat yang tercermin di dalam konfigurasi MPR yang mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak boleh ada Raja Jawa ya harus ditumbangkan sebab yang mendirikan negara ini adalah amanat penderitaan rakyat bukan Raja Jawa . Jika pendahulu kita misal HOS Tjokroaminoto mendapat julukan Raja Jawa tanpa mahkota sebab seluruh jiwa raganya untuk mengangkat harkat dan martabat Rakyat Indonesia asli dengan kesadaran untuk merdeka. Begitu juga dengan Hamangkubuono ke IX sebagai raja Jawa asli justru beliau mengatakan \"Tahta untuk Rakyat\". Semua rakyat Jogya mencintai beliau karena kepeduliannya terhadap rakyatnya. Bukan Raja Jawa Palsu yang justru negara dibangun dinasti untuk kemakmuran keluarga dan anak-anaknya dengan model glembuk sana glembuk sini. Mungkin hari hari ke depan akan ada peristiwa besar, sebab rakyat sudah marah, sudah dalam titik nadir, tidak ada jalan lain selain mengembalikan kedaulatan rakyat kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. (*)
PDIP Berjuang Bersama Rakyat (Lagi)
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) AKROBAT politik partai politik (Parpol) koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus kandas akibat tekanan publik. Pembangkangan konstitusi, pembelokan hukum, dan pembegalan demokrasi melalui revisi UU Pilkada layu sebelum berkembang. Pesan darurat berantai yang digerakkan secara massif oleh kelompok pro demokrasi membuat ketakutan para anggota DPR RI, hingga tidak berani hadir di ruang sidang paripurna. Akhirnya sidang paripurna DPR RI tidak memenuhi kuorum dalam pengambilan keputusan. Kemudian Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco, Fraksi Gerindra yang belakangan mendominasi pimpinan DPR RI, akhirnya menyerah lewat pernyataan pers. Dasco menyatakan Pilkada serentak tahun 2024 digelar berdasarkan putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 pada UU Pilkada. Dengan demikian PDIP terbuka untuk melakukan revisi terhadap semua surat tugas dan surat mandat yang diberikan kepada calon dan pasangan calon dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa PDIP dengan syarat baru (10%, 8,5%, dan 6,5%) dapat mengusung sendiri pasangan calon di berbagai provinsi, kabupaten dan kota. Peluang tersebut harus diambil oleh PDIP meski harus berhadapan dengan KIM Plus. Kedua, bahwa PDIP berpeluang besar mendapat dukungan dari rakyat akibat perlakuan kasar KIM Plus. Maka seluruh kerjasama yang sempat dibangun dengan Parpol anggota KIM Plus sebaiknya dibatalkan. Koalisi bersama rakyat lebih kuat dibanding koalisi dengan KIM Plus. Ketiga, bahwa PDIP harus mengakui secara terbuka bahwa MK dan rakyatlah yang menyelamatkan PDIP. Tanpa MK dan rakyat, maka PDIP akan dihabisi dengan tidak memiliki mitra koalisi untuk memenuhi syarat lama (20%). Keempat, bahwa mitra kerjasama politik (koalisi) PDIP yang utama adalah rakyat pro demokrasi dan Parpol kecil (non parlemen) yang bukan anggota KIM Plus, dan tidak tersandera “raja Jawa”. PDIP harus merangkul Partai Buruh, Partai Hanura, Partai Ummat, Partai Perindo, PPP, dan PKN. Kelima, bahwa pasangan calon yang diusung oleh koalisi PDIP harus kongruen (sebangun). Pasangan calon gubernur/ wakil gubernur dengan calon bupati/ wakil bupati, walikota/ wakil walikota harus berada pada kubu yang sama. Selain untuk memudahkan sosialisasi, pun untuk menegaskan perbedaan antara koalisi rakyat dengan KIM Plus. Keenam, bahwa tidak bermanfaat bagi PDIP mengusung dan mendukung calon kepala/ wakil kepala daerah kader Parpol anggota KIM Plus sekalipun berpeluang menang. Mengusung kader sendiri jauh lebih bermanfaat bagi PDIP meskipun akhirnya kalah. Ketujuh, bahwa untuk daerah yang tidak memenuhi syarat minimal jumlah kursi (10%, 8,5%, atau 6,5%) pun PDIP lebih baik mendukung calon yang maju lewat perseorangan (independen) daripada bekerjasama dengan KIM Plus. Kedelapan, bahwa PDIP harus berubah dengan menjadi alat perjuangan rakyat. Sikap- sikap eksklusif dan gaya elitis harus dihilangkan. Rangkul dan peluk rakyat secara jujur dan terbuka. Sebab ketika PDIP membuka diri kepada semua kebutuhan dan kepentingan politik rakyat, maka PDIP akan mendapat kesetiaan dari rakyat. Kesembilan, bahwa dalam waktu singkat dan terbatas, PDIP perlu membuka akses kepada rakyat untuk memberi masukan nama- nama calon kepala/ wakil kepala daerah yang diusung PDIP, sehingga calon- calon yang dikehendaki oleh rakyat akan memiliki kesempatan ikut bertarung melalui PDIP. Kegaduhan politik yang diakibatkan oleh KIM Plus harus menjadi amunisi tak terbatas bagi PDIP untuk meraih simpati dari rakyat. Sehingga kemenangan demi kemenangan dapat diraih bersama dan untuk rakyat. (*)
Putusan MK Membuyarkan Rencana Jahat Jokowi
Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Putusan MK No 60 dan No 70 pada 20 Agustus membuat rencana besar, dan jahat, Jokowi menjadi berantakan. Jokowi mau memborong pencalonan kepala daerah, menghancurkan salah satu partai politik, PDIP, agar tidak bisa mencalonkan sendiri kepala daerah. Jokowi mau menguasai kepala daerah di seluruh Indonesia, dengan memaksa partai politik bergabung ke koalisi atau kartel besar KIM Plus. PKS sudah menyerah. Nasdem sudah bertekuk lutut. PKB sedang digarap. Cak Imin akan digeser melalui PKB tandingan kalau tidak mau mendukung. Nampaknya, rencana jahat Jokowi untuk menguasai kepala daerah, dan Indonesia, akan berjalan mulus. Partai Golkar sudah dikuasai, untuk menjadi kendaraan yang nantinya akan memimpin kartel partai politik besar tersebut. Bukan Gerindra. Karena perolehan suara Golkar secara nasional lebih besar dari Gerindra. Tiba-tiba, Putusan MK membuyarkan rencana jahat Jokowi. Putusan MK membuat kartel partai politik Jokowi berantakan. PDIP sekarang bisa mencalonkan kepala daerah sendiri. Anies Baswedan yang sangat ditakuti oleh Jokowi menjadi “hidup” kembali. Anies sangat berpeluang besar memenangi Pilkada Jakarta. Tidak ada tandingan. Meskipun harus melawan kartel partai politik besar rancangan Jokowi. Sebagai konsekuensi, rancangan jahat Jokowi lainnya, untuk menguasai kawasan ekonomi Jakarta dan sekitarnya yang dinamakan kawasan aglomerasi, juga ikut berantakan. Tidak heran, Jokowi yang merasa mempunyai kekuasaan tanpa batas, merasa bisa mengobrak-abrik partai politik dengan mudah, dengan menggunakan aparat penegak hukum untuk mengancam elit partai politik dengan kasus korupsi, melawan keras dan brutal Putusan MK tersebut. Jokowi dan kroninya di Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah merancang revisi UU Pilkada yang pada intinya menganulir Putusan MK, dan melanggar Konstitusi, untuk melanggengkan kekuasaan kartel partai politik rancangannya. Kali ini Jokowi dan kroninya terbentur beton rakyat yang sangat keras. Rakyat di seluruh Indonesia bangkit melawan. Beberapa gedung DPRD di daerah jebol, termasuk pagar depan dan pagar belakang gedung DPR/MPR di Jakarta, ikut jebol. Rakyat marah besar. Akhirnya, rencana rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada kemarin, 22/08/24, untuk melawan Putusan MK, batal. Istana (baca Jokowi) dan kroni Jokowi di Baleg DPR sekarang berkicau, akan taat pada Putusan MK. Tetapi, semua itu sudah terlambat. Niat jahat dan aksi kejahatan, mens rea dan actus reus, sudah terjadi, melalui rancangan revisi UU pilkada yang tidak jadi diundangkan. Untuk itu, rakyat tidak bisa melupakan betapa tirani rezim Jokowi ini. Rakyat tidak bisa memaafkan upaya pembegalan dan pembangkangan Konstitusi yang dilakukan Jokowi, dan kroninya, untuk membawa Indonesia ke rezim kekuasaan, yang akan menghancurkan masa depan Indonesia. Rakyat juga menuntut Jokowi mempertanggung-jawabkan semua dugaan penyimpangan kekuasaan yang dilakukannya selama 10 tahun menjabat presiden. https://news.detik.com/pilkada/d-7503421/istana-tegaskan-ikut-aturan-mk-selama-revisi-uu-pilkada-belum-sah https://nasional.kompas.com/read/2024/08/22/17441111/istana-tegaskan-akan-ikuti-putusan-mk-soal-pencalonan-pilkada. (*)
Bahlil Menghina Raja Jawa
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih BAHLIL layaknya seperti demit suruhan boneka Oligarki setelah berhasil mengkudeta Golkar, saat dikukuhkan sebagai ketua umum partai Golkar pidato dleming tanpa pakem yang jelas asal cuap cuap soal Raja Jawa. Penampilannya dekil, hitam pecicilan seperti demit yang baru nyangsang di pohon beringin. Pernyataan Bahlil Lahadalia soal Raja Jawa turut menyedot perhatian Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sri Sultan HB X dengan bijak mengaku tidak tahu maksud pernyataan sosok yang baru ditunjuk sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada gelaran Munas XI Golkar, urusannya apa (soal Raja Jawa), tutur Sri Sultan yang juga Gubernur DIY ini ( Rabu kemarin (21/8). Tidak perlu basa basi yang di maksud Raja Jawa oleh Bahlil adalah Jokowi yang selama ini dikenal sebagai boneka Taipan Oligarki. Kebodohan Bahlil adalah gambaran dalam otaknya tentang Raja Jawa (Jokowi) mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang bisa dipakai untuk menundukkan siapapun yang tidak patuh. Bahkan bisa mengerahkan kekuatan aparat hukum untuk memenjarakan siapapun yang melawannya. Tanpa rasa bersalah menggambarkan Raja Jawa itu representasi figur tertentu yang punya power, jabatan yang bisa menghukum atau melakukan tindakan kejam, bengis memenjarakan yang tidak mengikutinya. Kader-kader Golkar agar hati-hati kalau tidak nurut bahaya, ngeri loh. Sudah banyak yang masuk penjara. Bahkan mewanti-wanti agar pengurus Partai Golkar tak bermain-main dengan sosok yang ia sebut sebagai Raja Jawa. Menurutnya Raja Jawa merupakan sosok yang ngeri-ngeri sedap. Bahlil seperti demit kurang sajen mengancam para kader di Partai Golkar agar tidak berbuat macam-macam yang tidak disenangi sang Raja Jawa. Apa urusannya Golkar dengan hayalan Raja Jawa (Jokowi) yang sebentar lagi akan lengser dengan resiko hukum yang sangat berat harus di pertanggung jawabkan. Apalagi dalam nasab kehidupannya tidak memiliki trah darah biru (Raja). Beraninya mendikte Prabowo akan meneruskan kepemimpinan Jokowi bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai merupakan kelanjutan dari pemerintahan saat ini yang dipimpin Presiden Jokowi. Celakalah Golkar yang akan di pimpin demit yang sempit wawasan politik sebagai negarawan bahkan tercermin dengan jelas kedangkalan politik Bahlil yang sering disebut sebagai penjilat. Ucapan Bahlil sebenarnya menggambarkan ketakutan Bahlil yang tidak berkutik dipimpin Jokowi yang lalim dan bengis saat bersamaan harus menerima tugas sebagai demit begal politik pohon beringin. Pidato Bahlil tidak bisa hanya dianggap kelakar politik tetapi merupakan penghinaan terhadap eksistensi Raja Jawa, karena ketololannya sebagai penjilat. (*)