ALL CATEGORY

Defend ID Perkuat Industri Pertahanan

Jakarta, FNN - Anggota Komisi I DPR Fadli Zon menilai pembentukan holding BUMN pertahanan yang bernama Defend ID dapat memperkuat industri pertahanan dalam negeri.“Indonesia adalah negara dengan jumlah pulau sangat banyak, agak sulit jika kita mempunyai sistem pertahanan yang berbeda, misalnya hanya daratan saja. Jadi memang kita perlu memperkuat industri pertahanan, salah satu caranya dengan membuat holding ini,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.Dia menilai jika Defend ID bisa berjalan secara efisien sebagai sebuah holding, maka Indonesia bisa menghasilkan produk-produk pertahanan yang sangat dibutuhkan untuk darat, laut, udara.Menurut dia, ancaman fisik serangan terhadap Indonesia tetap ada, misalnya di Laut Cina Selatan yang merupakan ancaman nyata karena sampai sekarang kapal-kapal negara asing masuk di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.“Jumlahnya puluhan mungkin ratusan. Sementara nelayan kita berada di teritorial kita, itu salah satu (ancaman) yang nyata,” ujarnya.Fadli menilai berbagai ancaman tersebut memerlukan alat utama sistem senjata (Alutsista) yang kuat, seperti kapal, kapal cepat, drone, dan satelit.Dia mencontohkan alutsista tersebut dapat digunakan untuk memantau kondisi di LCS, seperti kapal-kapal yang memasuki wilayah teritorial Indonesia dan ZEE.Sebelumnya, Presiden Joko Widodo secara resmi meluncurkan holding BUMN industri pertahanan yang bernama Defence Industry Indonesia atau disingkat Defend ID dalam acara peluncuran di hanggar fasilitas kapal selam PT PAL Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (20/4).Menurut Presiden, pembentukan Defend ID sejalan dengan kebutuhan Indonesia dalam upaya membangun kemandirian industri pertahanan yang bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri dan siap memasuki pasar luar negeri. (Ida/ANTARA)

Masyarakat Tidak Perlu Ragu untuk Vaksinasi Saat Puasa

Jakarta, FNN - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak ragu melakukan vaksinasi COVID-19, meskipun tengah berpuasa di bulan Ramadhan 1443 Hijriah ini.Menurut Gus Yahya, sapaan akrab KH Yahya Cholil Staquf, masyarakat tidak perlu ragu karena PBNU melalui Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) telah mengadakan pembahasan terkait dengan hukum vaksinasi pada siang Ramadhan bagi orang yang sedang berpuasa dan mereka menetapkan bahwa hal tersebut tidak membatalkan puasa.\"Berdasarkan kajian yang dilakukan LBMNU, dinyatakan dan telah diumumkan pula oleh Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar bahwa menerima vaksin pada siang hari di bulan Ramadhan saat puasa tidak membatalkan puasa. Dengan demikian, tidak perlu ada keraguan dalam diri masyarakat,\" ujar Gus Yahya saat memberikan sambutan dalam acara Peluncuran Program \"1 Juta Vaksin Booster\", di Kantor Pusat PBNU, Jakarta, Kamis.Bahkan, ujar Gus Yahya melanjutkan, untuk menegaskan ketetapan itu, PBNU bekerja sama dengan Kepolisian RI dan Kementerian Agama RI meluncurkan prorgam \"1 Juta Vaksin Booster\".Program itu berupa kegiatan vaksinasi booster yang menyasar 1 juta orang di seluruh Indonesia secara serentak dan dilaksanakan pada siang hari.Kegiatan vaksinasi dilakukan mulai hari ini di kantor-kantor NU, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan di seluruh Indonesia, serta di beberapa pesantren, lembaga pendidikan NU, dan gereja-gereja. Masyarakat secara umum dapat berpartisipasi.\"Jadi, kami menyelenggarakan kegiatan ini pada siang hari sekaligus untuk menegaskan bahwa menerima vaksin di siang hari bulan Ramadhan tidak membatalkan puasa,\" ujar Gus Yahya.Pada kesempatan yang sama, dalam sambutannya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan bahwa kegiatan vaksinasi tersebut adalah bukti bahwa Pemerintah menyayangi warganya dan warganya pun menyayangi Pemerintah.Selanjutnya, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengatakan kegiatan vaksinasi memang perlu senantiasa dioptimalkan karena pandemi COVID-19 belum usai. Bahkan, ujar dia melanjutkan, beberapa negara seperti China tengah mengalami kembali pelonjakan kasus positif COVID-19.\"Dengan kondisi global yang ada, seperti China yang meningkat kembali kasus COVID, jadi ini belum selesai,\" kata Sigit. (Ida/ANTARA)

Dilema Puan Menjadi Presiden

Ketika Presiden Jokowi salah dalam kebijakannya, yang diolok-olok atau disalahkan oleh kaum Islam politik itu bukan Jokowi, atau Luhut Binsar Pandjaitan. Tetapi kalau tidak Megawati, ya bisa PDIP sendiri. Oleh: Uchok Sky Khadafi, Direktur, Center For Budget Analysis (CBA) PUAN Maharani adalah Ketua DPR. Ia terkenal bukan karena anak kandung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri atau cucu dari Presiden Soekarno. Puan Maharani, dikenal dan dikenang, lantaran sengaja mematikan Mic saat Sidang Paripurna Omnibus Law. Dan, satu lagi yang tidak bisa dilupakan kepada lelaku Puan, adalah air matanya. Ternyata Puan bisa terisak-isak menangis, mengeluarkan air mata, air mata politik di depan publik. Air mata Puan menetes pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bukan masa Presidennya Joko Widodo meskipun sama sama tukang menaikan BBM. Setelah air mata politik, dan mematikan mic, kini Puan sedang digadang- gadang untuk menjadi calon Presiden. Calon Presiden dari kaum abangan, yang partainya PDIP itu. Yang sampai saat ini pencalonan Puan, tidak ada saingan sama sekali dari internal partai tersebut. Meskipun ada nama GP (Ganjar Pranowo) muncul sebagai saingan kuat Puan untuk calon Presiden, tetapi nasib GP tidak seberuntung seperti Jokowi. Nasib GP bakalan dicuekin PDIP walau elektabilitas GP sangat tinggi dibandingkan Puan. Sebentar lagi GP akan “ditampar” partai sendiri. Dan, disuruh pergi jauh meninggal PDIP jika ingin tetap GP bersaing dengan Puan. Dengan demikian Puan tinggal sendiri. Yang saat ini, sedang menimbang- nimbang mencari atau memilih pasangan yang cocok untuk “dinikahkan” dengannya. Bisa saja dengan Prabowo Subianto atau bisa juga dengan Anies Baswedan. Kedua calon pasangan ini salah satunya layak disandingkan dengan Puan. Apalagi kedua calon pasangan Puan ini mempunyai elektabilitas yang tinggi untuk memenangkan Puan sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Dari selera Puan sepertinya lebih nyaman dan menguntungkan berpasangan atau dinikahkan dengan Anies Baswedan dibandingkan Prabowo Subianto. Ketika Puan berpasangan dengan Anies Baswedan, Puan bisa memilih sebagai nomor satu atau menjadi calon Presiden. Tapi, ketika berpasangan dengan Prabowo Subianto, Puan harus puas hanya sebagai wakil Presiden. Selain itu, ketika Puan sudah berpasangan dengan Anies Bawesdan, maka Anies diharapkan bisa sebagai magnet yang menarik kaum oposisi dan massa Islam Politik atau “Islam Radikal” untuk masuk ke dalam barisan koalisi Puan - Anies tersebut. Dengan modal massa Islam ini, dan akan ditambah dengan massa PDIP, diprediksi mereka bisa menang dalam Pilpres 2024 nanti. Memilih Anies Bawesdan sebagai pasangan Puan karena dianggap sebagai ikon oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Kaum oposisi dan Islam Politik menganggap Anies satu-satunya Gubernur yang selama ini berani melawan pemerintahan Jokowi. Dengan alasan inilah, mereka sangat mengidola Anies dibandingkan Prabowo sebagai Presiden selanjutnya untuk mengantikan Presiden Jokowi. Prabowo dianggap oleh kaum oposisi dan Islam Politik sudah bunuh diri politik setelah menjadi menterinya Jokowi. Prabowo lebih mengejar jabatan menteri daripada menjadi pemimpin umat untuk mengontrol jalannya kekuasaan Pemerintahan Jokowi. Makanya banyak dari mereka lari atau meninggalkan Prabowo, dan lalu mendekati dan mengangkat Anies sebagai pemimpin mereka. Dengan pertimbangan Anies lebih dekat dengan kaum oposisi dan Islam politik, Puan sepertinya lebih memilih Anies dibandingkan Prabowo. Prabowo dianggap sudah ditinggalin massa Islam politik sebagai pendukung utama. Dan, massa Islam politik tersebut sudah menjadi pendukung fanatik Anies Bawesdan. Dan ketika Persekutuan Puan - Anies sudah terbentuk, maka hal ini menjadi fenomena luar biasa dalam politik. Sekali lagi, betul-betul luar biasa bisa menyatukan massa pendukung Puan dan Anies dalam bingkai kepentingan bersama. Padahal sebelumnya kedua massa pendukung ini adalah musuh bebuyutan dalam politik pratisi yang tidak bisa didamaikan. Oleh karena, yang namanya musuh Islam politik ialah orang orang PDIP itu sendiri, bukan pribadi Presiden Jokowi. Ketika Presiden Jokowi salah dalam kebijakannya, yang diolok-olok atau disalahkan oleh kaum Islam politik itu bukan Jokowi, atau Luhut Binsar Pandjaitan. Tetapi kalau tidak Megawati, ya bisa PDIP sendiri. Jadi, menyatukan massa Puan dengan Anies seperti mempertemukan air dan minyak yang tidak akan bersatu selamanya dalam dunia politik persilatan. Tetapi, kalau ingin ngotot mempersatukan Puan - Anies di KPU, maka prediksi yang terjadi adalah massa Islam politik akan kabur meninggalkan Anies dan Puan, dan akan kembali mendukung Prabowo lagi. (*)

Gugatan PT 20 Persen Kembali Ditolak, Mahkamah Konstitusi Penjaga Tirani?

 Jakarta, FNN - Dalam Sidang borongan pada hari Senin (20/42022) Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan sebanyak 12 perkara yang berbeda dalam satu hari. Untuk perkara Presidential Treshold, ambang batas pencalonan Capres 20%, MK tetap menolak gugatan dari 7 warga Bandung dengan dasar penggugat tidak punya legal standing, sehingga pokok perkara tidak dilanjutkan. Menurut Syafril Sjofyan, 1 dari 7 warga Bandung yang mengajukan gugatan mengatakan walaupun semua dalil yang kami ajukan  dengan argumen yang kokoh dan kuat serta sangat berbeda dengan dalil-dalil  dari 16 perkara gugatan yang sama yang pernah ditolak oleh MK sebelumnya, tetapi tak mengubah pendirian MK. “Dalil-dalil tersebut tidak sepenuhnya dibahas secara konperhensif oleh hakim MK. Memang ada beberapa hakim yang menerima bahwa kami sebagai warga negara biasa punya legal standing, namun tentunya mereka kalah suara dalam memutuskan,” kata Syafril kepada FNN, Kamis, 21 April 2022. Syafril menegaskan bahwa UUD 1945 telah memberikan peranan strategis kepada partai politik untuk mengajukan calon yang akan dipilih oleh rakyat. Peran strategis partai politik ini harus diartikan dalam rangka kedaulatan rakyat, dalam rangka pelaksanaan hak pilih rakyat. Karena itu keberadaan partai politik tidak boleh justru menghambat hak pilih rakyat. “Yang lebih menguntungkan bagi warga negara sebagai pemilih, atau yang lebih memungkinkan terakomodirnya aspirasi pemilih, adalah tersedianya lebih banyak alternatif calon Presiden dan Wakil Presiden. Kami sangat kecewa dengan putusan Hakim MK,” papar Syafril kepada wartawan setelah mengikuti  sidang MK secara Daring. Sebenarnya, lanjut Syafril jika dikupas lebih teliti Undang Undang Dasar 1945 tidak menghendaki adanya Presidential Treshold, beberapa ketentuan di dalam pasal-pasal UUD 1945 tentang Pemilu dan hal tersebut bisa dibahas dan akan menang jika sampai kepada pembahasan pokok perkara. Namun, kata Syafril dalil pokok perkara yang ia ajukan tidak bisa diteruskan, begitu juga untuk menghadirkan saksi ahli karena pihaknya terganjal dengan keputusan penolakan legal standing. Menurut Syafril, mahkamah di berbagai negara maju sudah menganut legal standing test dalam arti yang lebih luas, yaitu memperluas test dari direct interest menjadi public interest (kepentingan publik), di mana kedudukan hukum pemohon dianggap relevan mewakilkan kepentingan publik (kepentingan umum) yang dirugikan akibat berlakunya sebuah UU. “Alasannya, konstitusi adalah hukum publik yang dibuat untuk melindungi kepentingan publik, bukan untuk kepentingan individu semata. Pendapat bahwa hanya mereka yang memiliki “kepentingan langsung” yang dapat mengajukan permohonan uji material sepenuhnya salah memahami fungsi konstitusional Mahkamah. Demikian penjelasan Syafril Sjofyan lebih lanjut, yang juga sebagai aktivis 77-78 dan sekjen FKP2B,” tegasnya. Syafril menilai, MK RI menganut kriteria yang sangat ketat (bisa juga dianggap ketinggalan zaman) artinya, masyarakat “biasa” dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai legal standing.  Yang jadi pertanyaan, di manakah letak kedaulatan rakyat seperti tercantum dalam UUD 45. Menghalangi atau terhalangnya permasalahan uji materi ke pembahasan lanjut ke pokok perkara karena kriteria ketat menurut Syafril melumpuhkan tugas Mahkamah sebagai penegak supremasi hukum. “Saya sependapat dengan pengamat politik dan ekonomi Anthony Budiawan bahwa terkesan MK RI sebagai penjaga Tirani, bukan lagi penjaga kedaulatan rakyat  dan the Guardian of the Constitution,” papar Syafril. Syafril menegaskan bahwa banyaknya permohonan ke hadapan Mahkamah Konstitusi untuk meniadakan ketentuan tentang presidential treshold 20%, menunjukkan sebagian warga negara tidak menghendaki dan merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya ketentuan tersebut. Syafril berharap Mahkamah Konstitusi dapat meninjau kembali syarat adanya kepentingan spesifik atau khusus dan aktual dari Pemohon guna dikabulkannya suatu permohonan pengujian Undang Undang, ternyata sia-sia. Belum lagi menuntut dan berharap agar peradilan seharusnya berimbang, bukan hanya para  pemohon saja yang harus membuktikan bahwa PT 20% merugikan secara konstitusional, akan tetapi seharusnya hakim konstitusi juga menunjukan keunggulan dan keuntungan apa dengan adanya Preshold 20%  secara spesifik, dipandang dari sisi penguatan Kedaulatan Rakyat. Negara-negara yang menjalankan sistem presidential dan memiliki multi partai, kata Syafril tidak memiliki persyaratan Presidential Treshold baik 1% ataupun 20% bagi kandidat Presiden, termasuk di Amerika Serikat. Menjadi pertanyaan kenapa “keukeuh” di Indonesia dibatasi dengan Presidential Treshold  20% apakah kepentingan tirani? Syafril mengaku banyak kenalan sewaktu mengajukan gugatan menyatakan “hopeless”, karena beberapa penolakan MK terhadap gugatan yang sama. Mereka malah mendesak dengan unjuk rasa ke MK. “Tentu akan menyebabkan gejolak yang sifatnya bisa mengarah yang tidak bisa terukur. Namun kembali dengan harapan dengan dalil baru dan argumen yang kokoh kami ajukan sekarang, Hakim MK menolak menerima gugatan kami.  Jika demikian halnya kami pulangkan kepada publik saja,” pungkasnya. (ida, sws)

LBP Mundur dan Menyerahlah!

Kebohongan LBP bukan semata-mata ingin mempertahankan jabatannya dan mempertahankan jabatan Presiden Joko Widodo, tetapi ada misi besar dan beresiko besar sesuai perannya sebagai “Man of gate-nya China”. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih LUHUT Binsar Pandjaitan (LBP) mengaku capek mengurus negeri ini. Hal itu dilontarkannya ketika berbincang dengan Deddy Corbuzier, saat membahas tentang pihaknya yang memiliki big data soal sekitar 110 juta percakapan di media sosial yang mendukung wacana penundaan Pemilu 2024. LBP mengaku lelah dan capek juga mengurus negeri ini, jangan dipikir gampang. Memang berbeda big data sesuai pengakuannya dan big lies (kebohongan besar) dalam faktanya. Pengakuan memiliki big data wajar dan normal akan membuat lelah dan capai karena harus berhadapan dengan percakapan publik, apalagi masuk ke dunia maya, yang menuntut kebenaran datanya. Seseorang bisa berbohong kecil-kecilan dengan small data, tetapi kalau itu tidak akan bisa meyakinkan. Untuk lebih meyakinkan seseorang harus berbohong besar (big lies) dengan data besar (big data) - (How To Lie With Statistics). Big data yang digembar-gemborkan LBP indikasinya kuat bahwa klaim Luhut Binsar Pandjaitan dalam menyikapi Pemilu 2024, bahwa berisi 110 juta orang menghendaki penundaan Pemilu 2024, adalah bohong. Dalam percakapan dengan publik akhirnya benar harus berhadapan dengan data temuan Evello yang merupakan lembaga analitik data dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Data tersebut menyebut bahwa hanya 693.289 akun media sosial saja yang membahas tentang penundaan Pemilu 2024. Sementara jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 110 juta akun. Semua harus terlibat rasa capai dan lelah karena banyak sekali kebohongan data yang disampaikan pejabat negara tak terkecuali oleh Presiden, tanpa beban dan merasa bersalah disampaikan di alam yang terang benderang sedangkan rakyat tahu kalian semua sedang berbohong. Mungkin di luar kalkulasi politik LBP pernyataannya tiba-tiba menjadi magnet lahirnya gelombang demo di mana-mana. Menyeret bukan hanya soal big data tetapi rakyat membongkar banyak kebohongan rezim selama berkuasa. Pejabat negara biasanya berbohong sebagai bentuk perlindungan diri dan berbohong untuk menghindari masalah. Ini bentuk perlindungan diri atau self defence saat merasa terancam. Daripada bicara jujur akan muncul banyak masalah, lebih baik berbohong mengira bisa mengatasi masalahnya. Ini kebiasaan pejabat kita ingin mengatasi masalah melahirkan masalah baru yang lebih besar. Berbohong juga dilakukan dalam rangka untuk melindungi orang lain supaya terhindar dari hukuman, atau perasaan terluka. LBP sepertinya mendapatkan mandat yang di luar kemampuannya untuk mengamankan kekuasaan oligarki dan misi OBOR China.  Jika LBP tak berbohong soal dukungan data setuju Pilpres ditunda mungkin akan ada yang terluka. Bahkan, bisa merubah akan menjadi ancaman atas keselamatan dirinya. Ia lupa setelah berbohong justru memunculkan banyak luka dan mendatangkan bahaya yang lebih besar. Berbohong juga untuk mempertahankan kekuasaan memang harus dilakukan dan mungkin dianggap sebagai salah satu cara mudah untuk mendapatkan kekuasan rencana perpanjangan masa jabatan dan 3 periode untuk jabatan Presiden, dibandingkan cara lain, dengan terang-terangan memaksakan kehendak secara vulgar. Seperti selama ini banyak aturan dan UU yang dipaksakan melawan aspirasi rakyat. Terobsesi selama ini merasa jauh lebih mudah berbohong dalam berkuasanya daripada dengan cara melakukan kekerasan. Para peneliti juga percaya bahwa kebohongan dilakukan untuk memanipulasi orang lain demi mendapatkan yang diinginkan tanpa memerlukan kekerasan. Ketika berdialog dengan para mahasiswa UI, LBP menolak untuk membuka big data penundaan pemilu. LBP hanya bertahan dengan pertahanan klasiknya, jangan paksa saya untuk membuka big data-nya. Jelas, LBP tidak akan bisa membuka karena datanya indikasi kuat memang bohong. Kebohongan LBP bukan semata-mata ingin mempertahankan jabatannya dan mempertahankan jabatan Presiden Joko Widodo, tetapi ada misi besar dan beresiko besar sesuai perannya sebagai “Man of gate-nya China”. Konon pemerintah China akan menyeret atau membuat perhitungan dengan LBP jika sampai 3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden sampai gagal. Karena syarat untuk meneruskan program OBOR antara lain adalah perpanjangan masa jabatan dan/atau 3 periode. Suasana psikologis dalam kondisi terjepit biasa orang yang berbohong suka cepat-cepat bersumpah bahwa datanya ada dan benar. Salah satu ungkapan yang dinisbahkan kepada al-Muhasibi: Indikasi seseorang yang berbohong itu adalah murah bersumpah meski tidak dimintai sumpah. “Pejabat kita sumpah bersikap jujur dan benar itu sampah, jangankan takut dengan sumpah Tuhan saja sudah tidak ditakuti. Apa lebih takut dengan  Xi Jinping daripada takut kepada Tuhannya”. Kalau merasa lelah dan capai apalagi tugas yang diembanya sudah di luar kemampuannya dan membahayakan negara pilihannya mundur dari jabatan sebelum alam bertindak. Hanya saya mengira dia akan terus bertahan dengan segala resikonya. “Oye kalau tetap nekad lanjutkan”. (*)

Ada Apa di Balik Rusuh Papua dan Pindah Ibu Kota?

Oleh Anton Permana - Direktur Executive Forum Musyawarah Majelis Bangsa Indonesia BANYAK yang bertanya dan belum puas dengan ulasan penulis terkait isu di atas. Yakni tentang rusuh Papua yang masih membara hingga saat ini, dengan gema gempita pindah ibu kota ke Kalimantan. Kenapa dua hal krusial ini bisa terjadi beriringan. Tidak mungkin insiden besar ini terjadi tanpa ada perencanaan ataupun aktor yang menggerakkan.  Untuk menjawab dua hal ini lebih spesifik, akhirnya penulis memutuskan mencoba membuat analisa lebih lanjut dan juga menukik lebih dalam, sebagai bentuk sharing informasi dan pengayaan pemahaman kita bersama, untuk Indonesia negeri tercinta.  Empat tahun yang lalu di awal masa pemerintahan Jokowi. Ketika penulis melakukan perjalanan dan mendampingi Wagub Sumbar ketika itu (Alm) Muslim Kasim. Penulis dikenalkan dengan seorang pria (penulis lupa namanya) warga keturunan asal Kalimantan yang ketika itu mengaku sebagai aktor utama yang menggerakkan dan merancang ‘cyber force’ tim Jokowi-Ahok di Pilkada Jakarta dan berlanjut ke Pilpres. Atau umum dikenal dengan sebutan Jasmev.  Singkat cerita. Percakapan kami ketika itu di Plaza Indonesia lantai 4, pria tersebut membuka I Pad nya yang memperlihatkan sebuah gambar animasi rancangan kota modern dengan design 4 dimensi yang begitu luar biasa. Sebuah design kota (meskipun belum sempurna ketika itu) sudah memperlihatkan sebuah tatanan kota metropolis yang moderen, hijau, artistik futuristik, lengkap dengan segala fasilitas digital, community centre, kondo apartemen, gedung pencakar langit, MRT, monorel, pelabuhan udara (dengan konsep aerotropolis), pelabuhan besar, jembatan-jembatan indah, serta sebuah Istana nan megah lengkap dengan bangunan perkantoran disekitarnya.  Karena penasaran dan takjub, penulis bertanya rancangan kota dimanakah itu?. Kemudian si pria sambil setengah ketawa menjawab, “ ini adalah konsep Jakarta kedua 10 tahun kedepan setelah Ahok jadi Presiden. Hahahaa... “. Meskipun kedengarannya setengah bercanda, tetapi obrolan hari itu cukup berkesan bagi penulis hingga hari ini, ternyata gambar animasi sebuah kota besar yang beredar banyak di sosial media hari ini tentang Kalimantan, boleh dikatakan mirip dengan gambar empat tahun yang lalu penulis lihat. Walaupun ketika itu si pria sudah mengatakan bahwa rencana Jakarta kedua itu akan dibangun di Kalimantan.  Ketika si pria berkata demikian, penulis jujur ketika itu kurang yakin dan percaya. Bahkan anggap angin lalu saja. Baru setelah presiden Jokowi mengumumkan secara terbuka bahwa akan memindahkan ibu kota ke Kalimantan barulah penulis ‘ngeh’ dengan apa yang dikatakan si pria warga keturunan tersebut.  Cuma yang akhirnya menjadi catatan penting bagi penulis adalah, berarti wacana pindah ibu kota ini dudah dirancang, dipersiapkan, sejak lama dengan demikian matang. Bukan kaleng-kaleng. Buktinya, Jokowi begitu percaya diri, optimis akan memindahkan ibu kota ditengah kerusakan ekonomi, tata kelola pemerintahan hari ini. Desakan hutang, defisit anggaran, BUMN bangkrut dan mau dicaplok China, seolah tak ada masalah dengan ini.  Yang menarik lagi, pengumuman pindah ibu kota pada tanggal 16 Agustus yang lalu, langsung disambut dengan insiden rusuh Papua yang berdarah-darah penuh anarkisme, jatuh korban jiwa dari aparat bahkan sampai ke depan istana negara.  Pada titik inilah, sebenarnya pokok bahasan judul di atas bisa kita cari benang merah untuk menganalisis apa motif dan orientasi dari dua kejadian besar dihari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 74 tahun ini. Berikut hasil analisis penulis yang dikumpulkan dari beberapa sumber dan refrensi data terpercaya.  1. Pindah ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan adalah skenario besar dari China. Kenapa ? Karena Kalimantan mempunyai peran penting dan posisi strategis bagi program OBOR (One Belt One Road) sebagai pintu masuk China untuk menancapkan hegemoninya lebih dalam di kawasan Asia. Dan kalimantan secara geografis juga sangat dekat dari China, dan juga secara demografis (data kependudukan) komposisi warga keturunan china di Kalimantan cukup dominan dan kuat. Jadi Kalimantan memang sangat seksi dimata China dan wajib dikuasai.  2. Sesama kita ketahui. Ibu kota adalah ‘centre of gravity’ sebuah negara. Didalam peperangan militer, ibu kota adalah simbol penaklukan dari sebuah negara. Apabila ibu kota negara berhasil direbut dan ditaklukan, berarti itu akan sama dengan keberhasilan menaklukan dan menguasai negara.  Kondisi Jakarta yang begitu padat dan mengakar secara geokultural dan geografis (berada pada lingkar dalam pertahanan negara). Tentu akan sulit menembus dan menaklukan Jakarta yang begitu besar dan sudah berurat berakar dikuasai banyak negara (tidak saja Indonesia) lainnya berdasarkan kepentingannya masing-masing.  Di sinilah cerdiknya China. Trauma akan lengsernya Ahok dan gagalnya proyek reklamasi Jakarta dan Meikarta. Menjadikan China mempercepat agenda pemindahan Ibu kota Indonesia ke Kalimantan. Tujuannya apa? Kalau ibu kota dipindah, maka Jakarta akan lumpuh. kekhususannya pun akan dipreteli dan dicabut. Semua kendali negara dipindahlan ke tempat ibu kota baru yaitu di Kalimantan.  Nah apabila ibu kota baru sudah berdiri dan berjalan, maka secara otomatis ‘remote control’ negara Indonesia yang selama ini berada di Jakarta akan berpindah tangan ke Kalimantan. Dan ini sama artinya, semua kendali negara kita akan berpindah tangan ke Kalimantan. Secara paralel, seiring proses pembangunan ibu kota ini berjalan, China dengan mudah akan memobilisasi rakyatnya untuk masuk dan migrasi ke Kalimantan. Agar kemudian menjadi mayoritas dan menguasai mutlak Kalimantan secara penuh. Mulai dari fisik ekonomi, politik, dan komposisi jumlah penduduk seperti sejarah berdirinya Singapore dengan menyingkirkan pribumi melayu. Dan ini bukan hoax atau halusinasi karena fakta dan data ke arah itu sudah terbuka terang benderang.  3. Skenario peta jalan perpindahan ibu kota ini langsung terbaca oleh si adi kuasa Amerika bersama aliansinya. Kalau Kalimantan menjadi pintu masuk program OBOR China, Maka Papua adalah pintu masuk program TPP (Trans Pasific Partnership) Amerika dan aliansinya untuk membendung hegemoni China di Asia-Pasific. Papua sejak masa perang dunia pertama dan kedua pun sudah memiliki arti penting bagi Amerika.  Bahkan juga, secara kebijakan pertahanan, Amerika sudah menjalanka konsep US INDOPACOM, yaitu membentuk border aliansi segitiga India-Australia-Jepang untuk menghadapi China.  4. Jadi, perpindahan ibu kota ke Kalimantan ini sangat berdampak besar bagi masa depan Indonesia  diantara jepitan dua kekuatan besar (raksasa dunia). Perpindahan ibu kota ke Kalimantan adalah symbol kemenangan China atas Amerika dalam merebut dan menguasai Indonesia. Kalau ibu kota pindah ke Kalimantan yang notabonenya semua fasilitas, konsep, design, biaya, berasal dari China, maka Amerika bersama sekutunya akan gigit jari. Indonesia lepas dari kontrol dan hegemoni Amerika. Wajah Indonesia akan berganti menjadi Indochina. Indonesia yang selama ini ‘American Boy’ hanya tinggal sejarah dan cerita lama.  So pasti, dampak perpindahan Ibu kota ke Kalimantan, semua yang terkait penguasaan atas tanah, bumi, air, birokrasi, sumberdaya alam, aparatur, semua bergeser serta juga pindah berada dibawah kendali ibu kota baru ‘made in China’.  5. Melihat skenario ini, Amerika langsung memainkan skenario tandingan rusuh Papua untuk memecah konsentrasi, menjegal, rencana perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Atau juga akan memutilasi Papua dari Indonesia dengan ancaman Papua merdeka, dan menjadi milik Amerika sebagai basis dan pintu masuk hegemoninya di kawasan Asia-Pasific. Karena pasti Amerika tidak akan rela ‘ladang’ suburnya selama ini akan diambil alih China. Karena sumber kekayaan alam Papua yang melimpah, serta letak grografis Papua yang tepat berada ditengah kawasan yang menghubungkan Amerika dengan Asia-Pasific-Australia.  6. Pihak Istana tentu sangat paham dan hati-hati dalam menghadapi manuver propaganda rusuh Papua yang begitu massive dan terencana ini. Makanya jangan heran, aparat Khususnya Polri, serta Istana seperti gagap menghadapi situasi ini. Bayangkan hanya dalam hitungan menit dan jam, rusuh anarkisme Papua begitu cepat meluas, massive bahkan sampai ke depan Istana dan Mabesad TNI mengibarkan bendera bintang kejora menuntut merdeka secara terbuka. Padahal kalau kita lihat antara perbandingan kekuatan TNI-Polri dengan perusuh Papua bukanlah apa-apanya.  Namun yang terjadi sebaliknya. Korban nyawa dan pembakaranpun sudah merebak terjadi di Papua. Sorong, Manokrawi, Fak Fak, Wamena, Jayapura semua membara serentak bergerak menuntut merdeka. Anehnya lagi. Sudah jelas rusuh ini begitu radikal, anarkis, dan tuntutannya merdeka, Menkopolhukam Wiranto yang dulu juga menjabat Panglima ABRI ketika rusuh mei 1998, meminta aparat persuasif tanpa senjata. Apa yang terjadi kemudian, aparat tak bersenjata menghadapi perusuh pakai senjata ya habis dibantai dengan parang, panah dan tombak.  Jadi aneh juga kalau penanganan rusuh Papua rezim saat ini bagai putri malu alias macan jadi kucing. Sangat berbeda ketika memghadapi aksi 212 dan rusuh 21-23 mei pada Pilpres yang lalu. Negara kelihatan begitu ganas, perkasa, malah semena-mena terhadap ummat Islam yang datang membawa sajadah dan kopiah.  Ketimpangan dan perbedaan ini terjadi, karena negara pasti sudah tahu siapa aktor dan pemain dibelakang rusuh Papua.  Artinya. Rusuh papua tidak lebih bentuk perlawanan Amerika melalui proxy dan aliansinya di Papua terhadap manuver China yang mau pindahkan ibu kota ke Kalimantan.  Cuma yang kita sayangkan adalah sikap pemerintah hari ini yang tidak jelas alias pengecut.  Seharusnya, Indonesia pandai memainkan prinsip politik luar negeri negara kita yaitu “ Bebas dan aktif “. Sehingga tidak perlu terkungkung dibawah ketiak satu negara secara total.  Seharusnya, Indonesia bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menjadi peluang bargainning yang paling menguntungkan dari tarik menarik dua raksasa dunia ini. Bukan malah terjepit tak berdaya seperti sekarang ini.  Untuk itu penulis mempunyai beberapa pemikiran terhadap apa yang harus dilakukan Indonesia dalam menyikapi dua kejadian besar ini.  1. Ketika sudah berbicara kedaulatan. Apapun itu masalahnya, pemerintah harus berani dan tegas bersikap dan menyatakan bahwa aksi dan rusuh Papua itu adalah tindakan makar dan saparatisme. Dimana sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus memperlihatkan wibawanya sebagai sebuah bangsa yang besar dan terhormat. Caranya ; Stop komando operasi dari tangan Polri, dan serahkan penanganan rusuh Papua kepada TNI. Karena saparatisme adalah termasuk dalam dimensi pertahanan, maka ini sudah menjadi Tupoksinya TNI. Jangan paksakan lagi Polri dengan topeng bahasa klise KKSB (Kelompok Kriminal Bersenjata) untuk mengatasi hal ini. Polri itu ranahnya penegakan hukum, mengejar bandit (perampok) bukan melawan saparatisme bersenjata yang ingin merdeka dan buat negara.  2. Kalau sudah berbicara kedaulatan. Abaikan HAM yang menjadi standar ganda negara adi kuasa. NKRI harga mati mesti di implementasikan. Jangan cuma jadi slogan untuk gebuk PFI.  Penulis heran, seharusnya disaat Indonesia sekarang ini menjadi anggota tidak tetap PBB, Indonesia semestinya mempunyai posisi tawar yang kuat dalam menangkis isu HAM dalam penindakan rusuh Papua. Mainkan peran diplomasi luar negeri untuk meyakinkan bahwa Indonesia dalam rangka penegakan kedaulatan negaranya dari ancaman pemberontakan. Dan negara lain tidak bisa ikut campur apalagi mendikte urusan dalam negeri Indonesia.  3. Copot Panglima TNI, Kapolri, KaBIN, Menkopolhukam serta aparat terkait lainnya yang gagal meredam dan mengatasi rusuh Papua sampai meluas ke depan Istana. Insiden memalukan ini bisa terjadi berarti fungsi inteligent, TNI-Polri tidak berfungsi sama sekali. Atau ada yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan tertentu ?  Perlu penyegaran aparatur dan pucuk pimpinan TNI-Polri agar clear dari segala bentuk ‘titipan’ dan infiltrasi kepentingan luar.  4. Indonesia harus kembali kepada jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang mandiri dan berdaulat. Yaitu prinsip politik bebas aktif dan tegas terhadap negara manapun kalau itu terkait kedaulatan bangsa dan negara.  Indonesia adalah negara yang besar dan lahir dari tumpahan darah pejuang serta syuhada. Jadi Indonesia tak perlu lagi bertindak seperti pelayan atau calo dari kepentingan negara lain.  5. Menunda rencana perpindahan Ibu kota dan fokus penataan kembali kondisi sosial politik, ekonomi negara yang sudah hancur. Tidak ada sebaik memperkuat diri sendiri, berdikari, dari pada menggantungkan nasib bangsa ini kepada negara lain. Tak akan ada itu negara lain yang akan mensejeahterakan kita. Omong kosong itu semua. Semua pasti ada upeti dan imbalannya. Fakta sejarah Nusantara ini pernah berjaya karena berdikari. Seperti kejayaan masa Majapahit, Sriwijaya, dan fase kesulthanan kerajaan Islam.  Kenapa ini penting, karena secara prinsip hubungan Internasional, kondisi perebutan dua raksasa saat ini terhadap Indonesia akan bisa jadi peluang dan menaikkan posisi tawar Indonesia, kalau bangsa ini kuat dan mandiri. Tapi kalau kepemimpinan negara ini lemah dan banci, maka Indonesia akan jadi bancahan atau bulan-bulanan bangsa asing.  6. Para kelompok idealis, nasionalis, kalangan ulama dan aktifis Islam perlu mengantisipasi kondisi terburuk yang akan terjadi dengan menyiapkan segera skenario ke tiga diluar dari skenario dua raksasa dunia tersebut.  Inilah saatnya kita melihat siapa yang Indonesia sejati itu sebenarnya. Siapa yang memang setia, loyal, terhadap Indonesia secara faktanya. Dan siapa sejatinya kelompok yang munafik dan para pengkhianat negara sebenarnya.  Mana yang selama ini teriak NKRI harga mati, mengaku Pancasilais, anti radikalisme dan merah putih ? Semua bungkam membisu.  Artinya, rakyat mesti sadar bahwa jargon-jargon diatas hanyalah topeng dalam menutupi kebusukan mereka selama ini. Jargon jargon manis diatas hanyalah senjata untuk melampiaskan kedengkian, kebencian mereka kepada Islam sebagai penduduk mayoritas dinegeri ini. Islam yang selama ini difitnah radikal, jahat, anti NKRI, ehh malah hari ini Papua yang terang-terangan memborong tuduhan itu semuanya.  Pemerintah tidak bisa menganggap remeh atas insiden rusuh Papua ini. Khususnya bagi para aktifis 212. Papua yang gerakannya hanya segelintir itu saja, bisa begitu perkasa membantai aparat dengan panah dan parang bahkan didepan hidung Istana, markas besar TNI AD.  Bayangkan juga kalau pada masa aksi 212 atau pada masa demonstrasi 21-23 mei yang lalu ummat Islam juga melakukan hal yang sama? Pasti sudah bubar negara ini.  Artinya adalah. Semua pihak harus tobat dan sadar khususnya aparat negara. Kurang baik apalagi ummat Islam Indonesia. Bukan berarti ummat Islam tidak bisa bertindak seperti orang Papua. Tapi ummat Islam karena sangat cinta terhadap negeri ini dan tidak mau terjebak dalam adu domba antar sesama. Tapi kebaikan ini dibalas dengan perlakuan semena-mena dari rezim dan aparat.  Nah dengan kejadian rusuh Papua saat ini. Hati-hati, telah membuka mata hati dan pikiran para aktifis dan mujahid Islam atau jadi inspirasi besar. Bahwa yang tertanam dalam benak rakyat hari ini adalah, “ Kalau aksi itu damai dan baik-baik saja. Maka aparat akan semena-mena dengan tuduhan makar dan radikal. Tetapi kalau aksi itu radikal, anarkis, maka aparat yang akan minta maaf. Parahnya lagi, diskriminasi antara perlakuan kepada perusuh Papua dengan ummat Islam sangat jauh berbeda. Dan diskriminasi perlakuan ini sangat menyakitkan hati ummat Islam Indinesia. Mereka baru sadar, bahwa selama ini telah dibodoh-bodohi dengan penjara stigma bahasa anti toleransi, anti bhineka. Padahal semua itu hanyalah cara licik rezim hari ini membungkam dan melemahkan Islam secara sistematis “.  Untuk itu kembali kepada kesimpulan kita. Inilah saatnya bangsa Indonesia menyiapkan skenario ketiga untuk membebaskan Indonesia dari jepitan dua raksasa dunia ini.  Cukup rakyat yang jadi korban. Negara diobok-obok, kita diadu domba. Indonesia harus bangkit dari kondisi keterjajahan ini. Mari rakyat Indonesia bersatu padu, untuk mendesak pemerintah agar berani bertindak tegas, menumpas saparatisme Papua dengan tuntas. Karena kalau tidak, rusuh Papua bisa menjadi pemicu utama dari disintegrasi bangsa.  Selanjutnya masyarakat juga mendesak agar presiden serta legislatif untuk membatalkan wacana pindah Ibu kota ke Kalimantan. Karena ide ini hanyalah ibarat Indonesia memberikan lehernya kepada China. Stop jangan lagi jadi pengkhianat bangsa dengan menjadikan diri pelayan, penjilat, kepentingan China.  Mari kita kembalikan Indonesia sebagaimana amanah konstitusi kita yaitu, menjadi bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dibawah panji Pancasila. NKRI Harga Mati !. InsyaAllah.  Jakarta, 30 Agustus 2019.  (Penulis adalah Alumni Lemhannas PPRA LVIII Tahun 2018).  Dipost ulang, pada 21 April 2022.

Harus Diungkap Aktor Intelektual Ekspor CPO

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik KEJAKSAAN Agung (Kejakgung) menetapkan empat tersangka pelanggaran ekspor CPO. Ada seorang direktur jenderal (dirjen), dan tiga pejabat senior dari tiga raksasa sawit dan CPO. IWW (Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag), SMA (senior manager corporate affairs Permata Hijau Group), MPT (komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), dan PT (general manager PT Musim Mas) diduga terlibat dalam konspirasi untuk mendapatkan izin ekspor CPO yang melanggar berbagai peraturan. Good job! Bisalah diapesiasi. Tapi, apakah cukup sampai di empat orang itu saja? Jelas sekali tak cukup. Jauh dari memadai. Kejaksaan jangan cuma menghibur publik. Seolah keempat orang itu saja yang membuat heboh minyak goreng se-Indonesia. Sudah lelah rakyat menonton sinetron aparat penegak hukum selama ini. Ekspor CPO yang melanggar ketentuan itu melibatkan nominal yang sangat besar. Belasan atau bahkan ratusan trililiun rupiah. Tidak mungkin sebatas dirjen, manajer umum atau komisaris saja. Sebab, pelanggaran ekspor itu telah menghasilkan keuntungan besar bagi banyak perusahaan. Dipastikan ada aktor-aktor intelektual yang membidaninya. Merekalah yang patut diduga memberikan gagasan cemerlang untuk meraup untung besar. Merekalah yang diduga memberikan otoritas kepada keempat tersangka yang dijerat Kejaksaan Agung itu. Jadi, Kejakgung seharusnya naik ke orbit yang lebih tinggi dari keempat tersangka tersebut. Telusurilah orbit yang lebih tinggi itu. Sebab, keempat tersangka yang diumumkan dengan serius oleh Jaksa Agung itu hanya pejabat teknis administratif saja. Mereka hanya pelaksana. Mereka hanya orang-orang yang menandatangani dokumen-dokumen yang terkait dengan ekspor ilegal CPO. Mereka hanya jururunding alias negosiator. Berhentilah menyuguhkan tayangan penghibur. Rakyat ingin melihat agar Kejakgung membongkar tuntas kasus ini. Hadirkan semua orang yang patut diduga terlibat. Jangan ada yang dilindungi.  Bukan hanya pemukulan, kerusuhan, penyiraman air keras, dan kejahatan-kejahatan serupa ini saja yang wajar diduga melibatkan para aktor intelektual. Para pelaku ekspor ilegal CPO itu pun mirip dengan berbagai posisi dalam pembuatan film. Ada “director” (sutradara), ada “producer” (penanggung jawab utama), ada “executive producer” (penanggung jawab khusus), ada “script writer” (penulis cerita), dll. Ada lagi “casting director” (yang mencari para pemeran yang tepat), dan sebagainya. Jadi, untuk membuat “film eskpor CPO” yang kemarin tampil sebagai “box office” dengan keuntungan siluman puluhan triliun itu, seharusnya melibatkan banyak awak (crew). Tidak mungkin dilakukan empat orang saja. Hari ini rakyat ingin melihat aktor intelektual kasus CPO dan kelangkaan minyak goreng. Carilah sutradaranya. Temukan dalangnya. Yang empat orang tersangka itu mungkin saja terlibat. Tetapi, jangan-jangan mereka hanya ‘crew’ biasa saja.[] Medan, 21 April 2022

Senja Kala Propaganda Islamophobia

Proyek Islamophobia telah terang benderang merusak tatanan kebangsaan. Bukan cuma membelah masyarakat secara politik. Tapi juga mempreteli kemewahan kita sebagai bangsa demokratis. Melanggar HAM. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD-MPR RI PROPAGANDA Islamophobia perlahan terbenam. Semburan stereotipe dan stigma terhadap umat Islam memasuki fase senja kala. Islamophobia bergerak terbenam. Teregelincir di balik horizon kesadaran jika kampanye Islamophobia merupakan proyek gagal. Kontraproduktif dengan misi membangun peradaban dunia yang humanis dan bermartabat. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merespons serius situasi sosial yang menegangkan. Kebencian dan keterbelahan masyarakat terjadi di berbagai belahan dunia. Letupan-letupan kebencian rasial seperti api dalam sekam. Membakar harmoni kemanusiaan. Melalui Sidang Umum, PBB menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamophobia. PBB menyerukan penguatan upaya internasional untuk mendukung dialog global yang mempromosikan budaya toleransi dan perdamaian, berlandaskan pada penghargaan terhadap HAM dan keberagaman beragama dan berkeyakinan. Efektivitas seruan ini memang masih tanda tanya. Pasalnya, Islamophobia telah menjadi proyek politik. Kampanye hitam menebar ketakutan terhadap umat Islam dinikmati di panggung kekuasaan. Preferensi politik salah satu pemicu maraknya Islamophobia yang satu sama lain bersenyawa dengan kebencian rasial. Di Amerika Serikat, ketegangan bermotif latar belakang suku, agama dan ras mendapatkan momentumnya di era Donald Trump. Secara promotif, Trump lantang menyerukan aksen aksen politik diskirminatif. Bahkan dilegitimasi melalui kebijakan publik. Tahun 2017 Trump melansir kebijakan Travel Ban. Melarang orang-orang dari enam negara Islam masuk ke AS. Tak sedikit warga AS bergembira dan merayakan hal itu sebagai kemenangan. Poling yang dilakukan oleh POLITICO dan Morning Consult misalnya, mengungkap jika sebanyak 57% responden menyatakan jika pelarangan warga dari enam negara Islam masuk ke AS merupakan kebijakan yang tepat. Temuan itu dikuatkan oleh poling Reuters dan Ipsos. Sebanyak 33% responden menyatakan merasa lebih aman dengan Travel Ban tersebut. Kebijakan imigrasi tersebut memang tidak secara spesifik disebut sebagai bentuk ekspresi politik pemerintahan Trump terhadap Islam. Namun pelarangan warga dari negara-negara Islam masuk ke AS sarat pesan Islamophobia. Sejalan dengan jargon-jargon kampanye Trump dan Partai Republik yang konservatif. Promosi Islamophobia dari negara yang katanya kiblat demokrasi dunia, berbuntut panjang. Gaung rasial dan Islamophobia berdegung ke seantero dunia. Jadi tunggangan politik populisme. Selain latar belakang politik, kampanye global mendiskreditkan Islam juga tumbuh subur dengan memboncengi isu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Terutama di Eropa. Kebebasan berpendapat dan berekspresi ditumpahkan melalui aksi-aksi provokatif. Terlihat sangat tendensius. Bahkan berupaya memicu kegaduhan. Teranyar, di bulan April ini, pendiri gerakan Garis Keras di Swedia, Rasmus Paludan menyiarkan secara langsung video streaming membakar Alquran di berbagai kota di Swedia. Publik, khususnya umat Islam bereaksi. John L. Esposito dan Karen Armstrong, ilmuwan yang banyak menjadi advokat aspirasi Islam di Barat, menyebutkan bahwa Islamophobia salah satunya timbul sebagai respons terhadap fenomena gerakan revivalisme Islam. Merujuk pada kelompok yang membawa bendera purifikasi. Respons itu lahir dari konstruksi pemberitaan dan opini secara terus menerus. Media-media Barat membangun stereotip, bahwa muslim yang taat berarti radikal. Mereka yang menampakkan simbol-simbol keislaman dianggap gandrung melakukan kekerasan dan anti perdamaian. Stereotip seperti ini ditelan mentah-mentah oleh para petualang politik yang larut dalam proyek memerangi apa yang disebut oleh Anthony Bubalo dan Greg Fealy sebagai gerakan revivalisme Islam. Melihat perkembangan kontemporer, tesis tentang pemicu Islamophobia tampaknya perlu mendapatkan pengayaan. Pemicu Islamophobia perlu direvisi dan dilengkapi. Fenomena  memupuk Islamophobia dan dijajakan sebagai komoditas politik satu fragmen baru dalam etalase akademis yang menarik digali lebih dalam. Lucu dan ambivalen. Kelompok pengasong Islamophobia kerap membawa-bawa jargon perang terhadap politik identitas. Namun pada saat yang sama mereka menikmati dan berselancar memanfatkan isu-isu Islamophobia. Seni berbohong Paltering ini tampaknya digemari sebagai sajian komplementer fabrikasi distorsi informasi ala buzzer politik. Paltering yang dipopulerkan oleh John F. Kennedy School of Government merupakan satu bentuk penipuan berbasis cherry picking. Memilah informasi atau sebuah fakta untuk menyesatkan dan digunakan secara luas dalam negosiasi maupun propaganda. Dalam isu politik identitas, sekelompok petualang politik getol melawan aspirasi yang mereka labeli sebagai populisme Islam. Politik yang berwarna dianggap sebagai ancaman keberagaman  cuma lantaran corak Islam turut mengambil peran. Jika di internal kampanye Islamophobia diembuskan dengan narasi terorisme, radikalisme, fundamentalisme dan sederet jargon lainnya, maka di ekstrenal, kemasannya atas nama toleransi. Penyebaran Islamophobia menumpang pada isu kebinekaan dan keberagaman. Masyarakat Indonesia yang heterogen dan telah lama hidup rukun, tiba-tiba dibuat tegang. Dibelah oleh momok utopia kelompok intoleran. Sebuah metafora politik yang jahat, mereka ciptakan sendiri melalui propaganda dan opini-opini menyesatkan. Karena itu, Islamophobia tumbuh subur di Indonesia. Disambut suka cita. Kebencian pada simbol-simbol Islam bahkan dipelihara. Aneka konotasi mendiskreditkan digaungkan. Toa masjid dipermasalahkan. Budaya takbiran di malam lebaran yang sudah ada sejak zaman dahulu dihilangkan atas nama ketertiban. Istilah kadal gurun (kadrun) dipopulerkan. Labeling itu merujuk pada masyarakat muslim kritis yang menampakkan identitas keislaman. Baik melalui gaya berbusana (fashion) maupun kerangka berpikir (fikrah) namun memiliki pilihan politik berseberangan. Penyematan konotasi-konotasi negatif intens dilakukan seiring populisme kampanye Islamophobia yang seolah mendapatkan sambutan dari entitas masyarakat tertentu. Gejala tidak sehat semakin intens. Ruang-ruang publik disesaki ujaran kebencian. Media sosial jadi arena melontarkan stigma. Pelabelan (labeling) disematkan ke kepada orang atau kelompok-kelompok lain. Di saat yang sama, mengglorifikasi diri sebagai kelompok paling toleran, terbuka dan religius. Ada kelompok dan elit masyarakat tertentu yang diuntungkan secara politik dan ekonomi oleh proyek perang melawan terorisme, radikalisme dan segala komoditas turunannya. Sialnya, negara turut mengambil peran mengusung semangat Islamophobia. Pemerintah mengamini argumen-argumen yang menjual jargon anti radikalisme dan sederet dengung propaganda lainnya dengan memberi ruang kepada kelompok-kelompok tersebut. Pengistimewaan perlakuan secara hukum diobral. Beberapa buzzer yang getol mengasong Islamophobia dan bahkan disinyalir melanggar hukum, namun tidak diproses oleh aparat. Hal itu mengakumulasi perasaan tidak adil di hati maryarakat. Mereka menciptakan pengadilan dengan caranya sendiri. Di saat bersamaan, kelompok-kelompok kritis yang menampakkan simbol-simbol keislaman begitu cepat diproses secara hukum. Dua organisasi kemasyarakatan, HTI dan FPI bahkan dibubarkan tanpa melalui proses pengadilan. Secara teknis hanya dengan modal secarik argumen bahwa izin kedua ormas tersebut sudah kedaluarsa. Di luar itu, keduanya dianggap mengusung ideologi Islam yang bertentangan dan mengancam eksistensi negara. Tuduhan sumir dan prematur yang sayangnya tidak diuji di pengadilan. Pembubaran ormas secara serampangan akhirnya mempermalukan bangsa Indonesia. Dalam laporan berjudul \"2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia” yang diterbitkan kedutaan Besar AS di Indonesia, disebutkan jika sejumlah lembaga HAM terkemuka menilai pemerintah tidak konsisten dalam penegakan HAM. Pembubaran dan pelarangan FPI merupakan potret ketidakadilan atas hak berserikat dan berekspresi. Kita bisa menerka. Spirit pembubaran FPI tersebut adalah Islamophobia. Proyek Islamophobia telah terang benderang merusak tatanan kebangsaan. Bukan cuma membelah masyarakat secara politik. Tapi juga mempreteli kemewahan kita sebagai bangsa demokratis. Melanggar HAM. Kumandang perang terhadap Islamophobia membawa secercah harapan. Jika seruan tersebut diimplementasikan secara konsekuen, maka kerusakan yang ditimbulkan oleh propaganda Islamophobia bisa mulai dipulihkan. Ketegangan, rasa curiga dan disharmoni bisa direstorasi. Kita rindu wajah ramah Indonesia. Wajah itu sudah cukup lama tertutup tabir propaganda buzzer. Benalu demokrasi yang kita harapkan terbenam bersama senja kala Islamophobia. (*)

Arkaeologi: Bang Puasa Menunggu Digantung

Oleh Ridwan Saidi - Budayawan Pada tahun 1707 VOC selesai bangun Stadhuis di lokasi yang sekarang disebut Kota Tua.  Stadhuis sebenarnya kantor Gouverneur Generaal VOC. Bangunan ini dilengkapi di lantai dasarnya dengan enam buah ruang untuk tahanan yang menunggu hukuman gantung. Photo atas tempat tahanan oleh Iwan Aswan. Luas lantai 2 x 3 meter. Tahanan kakinya dirantai dengan dilengkapi bandul besi. Makan dan minum di tempat, buang hajat small or big size juga di tempat. Yang pernah di tempat ini a.l: 1. Tahun 1821 Bang Puasa alamat Gg Mendung, Kwitang. Ia seorang guru silat. Polisi Belanda paksa Puasa mengaku membunuh Nyai Dasima. Sesungguhnya Samiun yang bunuh Dasima. 2. Tahun 1851 Oei Tambahsia. Ia dalangi pembunuhan seorang gadis nama Aria yang melawan untuk jadi wanita simpanan Oei. Dan Oei juga suka menyimpan istri orang. Hukuman gantung berakhir tahun 1869. Dapat dikatakan VOC tak banyak membangun gedung di Jakarta kecuali a.l Stadhuis itu. Bangunan kolonial banyak dibangun Perancis baik di Jakarta mau pun Bogor.  Belanda mengaku membangun istana Bogor dan Jakarta. Keduanya dibangun pada era Indie Batav Perncis 1800-1825 Itu dapat diciri dari gaya arsitekturnya yang Renaissance. Bahkan tempat penggantungan pun Belanda gunakan halaman gedung yang dibangun Daendels yang sekarang museum Seni Rupa. Walau dalam pemerintahan Daendels, anehnya tugas polisionil masih di tangan Belanda. Tradisi hukum gantung diawali dengan ucapan terhukum gantung, semacam farewel speech.  G. Francais,1856, orang yang menuturkan kisah Puasa dan Nyai Dasima, tentu dengan sentuhan novel. Jelang dihukum gantung tahun 1821 dikisahkah Puasa bicara depan penonton sbb:  \"Gué ini satu jago, ga ada adatnyé jago bunu perempuan, apelagi Dasima dipegangin ama Samiun, gue tinggal godot doank. Najis! Ga bakal gue bikin begitu. Emangnye Dasima kambing apah. Kejem amat lu orang padah ama orang asli. Tunggu lu pembalesan Tuhan\". Dasar claim Belanda atas istana Bogor karena kata mereka desain istana dibuat van Imhoff tahun 1774. Van Imhoff jadi Gubernur Jenderal Nederlandsch Indie tahun 1826, berarti usianya sudah 80-an. Sejarah itu logika, kalau tak logis bukan sejarah. Sejarah Indonesia versi Belanda penuh sesak dengan hoax. (*)

Menggulingkan Pemerintah dengan Golok

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERITA sensasi muncul di media yakni penangkapan kelompok NII di Sumbar yang katanya bervisi seperti NII Kartosuwiryo. Ditemukan senjata berupa golok diantara salah satu tersangka. Hebatnya kelompok ini katanya akan menggulingkan Pemerintah Jokowi sebelum 2024. Dengan bermodal visi, sebilah golok  dan usaha untuk mencari pandai besi.  Fadli Zon meragukan kelompok di Sumbar ini benar-benar ingin menggulingkan Pemerintahan Jokowi. \"Golok biasanya digunakan untuk mengambil kelapa dan berbuka puasa\",  selorohnya. Bukan hanya orang dewasa tetapi Densus 88 juga menyasar anak-anak. Keraguan itu lebih kuat ternyata yang berniat akan menggulingkan itu hanya satu orang.  Penangkapan kelompok NII ini bersamaan momen dengan maraknya aksi mahasiswa yang memprotes agenda penundaan Pemilu dan perpanjangan 3 periode. Ada pula aspirasi yang mendesak Presiden untuk mundur. Di tengah memanasnya tekanan pada Presiden Jokowi maka keterkaitan gerakan penggulingan oleh NII sepertinya dicoba untuk didekat-dekatkan.  Bila melihat sejarah penggulingan Pemerintahan dan agenda penggantian ideologi oleh PKI pada tahun 1926, 1948, dan terakhir 1965 maka \"penggulingan golok\" NII di Sumbar ini nampaknya lebih pada halusinasi daripada benar-benar aksi. PKI jauh lebih matang dan terkonsolidasi. Kesiapan kekuatan jauh lebih nyata.  Untuk agenda penggulingan, kekuatan riel jutaan massa PKI telah siap mendukung. Tentara disusupi dan berada di lingkaran Istana. Cakrabirawa menjadi pasukan penyusup yang solid. Belum  lagi Angkatan Udara. Aparat birokrasi yang terafiliasi PKI juga cukup banyak termasuk Menteri. Jadi kondisi seperti ini yang memang siap untuk melakukan penggulingan. Dan itupun ternyata dapat digagalkan.  Terlalu menyederhanakan dan memalukan jika sedemikian ketakutan atas puluhan orang NII yang baru diduga hendak melakukan teror, entah bagamaina caranya, dan hanya satu orang yang terkuak ingin menggulingkan Pemerintahan. Modal untuk itupun  hanya satu golok panjang. Densus 88 terlalu mahal untuk klaim murahan seperti ini.  Jika aksi mahasiswa atau elemen masyarakat lainnya mendesak Presiden untuk mengundurkan diri atau menyampaikan aspirasi ke DPR/MPR agar melakukan proses pemakzulan Presiden, maka hal itu sah-sah saja. Tak perlu ada penangkapan seperti terhadap kekuatan \"berlevel Kecamatan\" di Sumbar atas nama kelompok NII.  Aksi mahasiswa atau elemen masyarakat di atas tidak bisa di kualifikasi penggulingan yang bernama makar atau kudeta. Oleh karenanya Densus 88 tidak perlu terlalu cepat mengumbar ancaman \"penggulingan\" pada Pemerintahan Jokowi atas penangkapan mereka yang menamakan dirinya sebagai NII di Sumatera Barat.  OPM yang menjadi KKB dan Teroris di Papua saja Pemerintah ragu untuk bertindak padahal aksi kekerasan mereka nyata. Tentara dan masyarakat sipil banyak yang terbunuh sebagai korban dari kelompok separatis yang sebenarnya adalah \"upaya penggulingan\". Ini NII di  Sumbar yang belum terdengar ada kekerassn kerusuhan, atau pembunuhan  sudah diposisikan sebagai \"akan menggulingkan\".  Di masa Orde Baru munculnya kelompok seperti Komando Jihad, NII dan sejenisnya disinyalir sebagai buatan. Bahan untuk menciptakan hantu dan memecah belah umat Islam. Semoga saja dipopulerkan kembali NII, JI dan sejenisnya bukan mengambil oper pola Orde Baru dulu. Dengan tujuannya yang jelas adalah fitnah dan memecah belah.  Jadi menggulingkan Pemerintah dengan hanya bersenjatakan golok jelas absurd dan tidak nyambung...golok !  Bandung, 21 April 2022