ALL CATEGORY
KH Abdurrahman Wahid: Sampul Bernama Buloggate dan Bruneigate
Gus Dur dipaksa meninggalkan Istana Negara setelah dimakzulkan. Anehnya, sampai kini belum ada bukti bahwa Gus Dur korupsi dana Bulog dan sumbangan Sultan Brunei. Oleh Dimas Huda - Wartawan Senior FNN KH Abdurrahman Wahid adalah presiden Indonesia yang mengenyam pemakzulan pasca-reformasi. Presiden ke-4 ini diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Ia dituding terlibat dalam skandal Bulog dan Brunei atau Buloggate dan Bruneigate. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 15.00 Waktu Indonesia Barat. MPR menggelar rapat paripurna untuk pemungutan suara pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid. Hasil pemungutan suara adalah 591 suara mendukung pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid serta mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden pengganti. Sidang Istimewa MPR digelar setelah melalui memorandum pertama pada 1 Februari 2001. Kemudian disusul memorandum kedua pada 30 April 2001, disertai permintaan DPR kepada MPR agar diadakan sidang istimewa. Presiden Abdurrahman Wahid menanggapi memorandum itu dengan mengeluarkan ketetapan yang menyatakan pembubaran MPR/DPR, penyelenggaraan pemilu dalam setahun, dan penangguhan Partai Golkar. Inilah yang mempercepat kejatuha Gus Dur. MPR menyetujui pemberhentian Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001. Sebelum SI digelar, sudah didahului suasana mencekam di Ibukota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 29 Januari 2001, DPR menggelar Sidang Paripurna membahas hasil kerja Panitia Khusus (Pansus) investigasi dugaan penyimpangan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog). Pansus DPR menyerahkan laporan setebal 27 halaman kepada Ketua DPR Akbar Tandjung yang berisi dua kesimpulan utama. Pertama, Presiden Abdurrahman Wahid diduga berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog. Kedua, Presiden inkonsisten dalam pernyataannya mengenai aliran dana dari Sultan Brunei. Sidang Paripurna itu berjalan alot. Akbar Tandjung selaku pemimpin sidang beberapa kali terpaksa menghentikan sidang dan memberi waktu untuk lobi karena kebuntuan pembahasan. Sidang juga diwarnai aksi walk out enam anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) yang tak setuju sidang dilanjutkan. Meski begitu, Sidang Paripurna dilanjutkan dan tetap memutuskan menerima laporan Pansus DPR yang menurut F-KB tidak memenuhi asas legal formal Tata Tertib DPR. Rapat Paripurna DPR yang dimulai sejak pukul 09.40 itu baru mencapai kata sepakat pada pukul 20.30, setelah seluruh anggota Dewan yang hadir bisa menghindari voting yang sudah membayang-bayangi saat break dan lobi intensif dilakukan. Sementara sidang krusial itu berlangsung, suasana di luar Gedung DPR/MPR juga tak kalah menegangkan. Belasan ribu orang dari elemen mahasiswa dan masyarakat umum berdemonstrasi di halaman Gedung DPR/MPR. Ini bukan demonstrasi tunggal. Mereka terbelah dalam dua kubu: pro dan anti-Presiden Abdurrahman Wahid. Kubu anti-Gus Dur tentu saja meneriakkan tuntutan agar Gus Dur turun dari jabatan presiden. Lain itu mereka juga meneriakkan slogan “reformasi sampai mati”. Sementara kubu pro-Gus Dur selain mendengungkan dukungan, juga meneriakkan slogan-slogan anti Orde Baru dan Golkar. Untunglah demonstrasi dengan jumlah massa yang tergolong besar itu berakhir tertib. Menjelang petang hari, kedua kubu demonstran membubarkan diri dengan mengambil jalan terpisah. Meski demikian hari itu memang sungguh menegangkan. Demonstrasi besar tak hanya terjadi di Jakarta saja. Aksi massa juga terjadi Purwokerto dan nyaris pecah jadi bentrokan antarkubu. Di Makassar ratusan mahasiswa anti-Gus Dur menggeruduk Gedung DPRD dan melakukan aksi pencopotan foto presiden. Sementara itu, sekitar 2.500 massa pro-Gus Dur juga berunjuk rasa memenuhi Gedung DPRD DI Yogyakarta. Situasi gawat di ibu kota dan beberapa kota itu tak membuat Presiden Abdurrahman Wahid terusik. Dari kantornya di Bina Graha, Gus Dur dengan santai memberi komentar bahwa tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Juga terhadap segala tuntutan mundur dari jabatan presiden dari mahasiswa, masyarakat, dan sebagian anggota DPR , Gus Dur bergeming. \"Saya tidak akan mundur karena yang mengangkat saya adalah MPR,\" ujar Gus Dur. Sejak awal terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999, banyak kalangan politik yang meragukan prospek kepemimpinan Gus Dur. Di masa transisi menuju demokrasi banyak harapan muluk yang musti dipikulnya. Ia diharap bisa mengakhiri krisis ekonomi, mereformasi militer dan birokrasi tinggalan Orde Baru, hingga memperbaiki hubungan antarkelompok masyarakat yang terpecah. Greg Barton dalam bukunya berjudul “Biografi Gus Dur” (Januari 2020) melukiskan, dalam kondisi demikian Gus Dur nyaris sendirian. Gaya Gus Dur yang eksentrik dan sulit ditebak sering menyulitkan dirinya sendiri. Langkah-langkah politiknya yang sering dianggap “ugal-ugalan”. Ambil contoh, ia memecat Wiranto atau memperbolehkan orang Papua mengibarkan bendera bintang kejora, sangat meresahkan. Situasi jadi makin sulit bagi Gus Dur sejak April 2000. Saat itu Gus Dur memecat Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Greg Barton menyebut Gus Dur menilai Laksamana tak maksimal bekerja. Namun begitu, alasan yang beredar di media menyebut bahwa keduanya dipecat karena terindikasi melakukan korupsi. Gus Dur membantah alasan itu. Namun, pemecatan itu sendiri adalah langkah yang salah. Gus Dur memecat Laksamana tanpa berkonsultasi dengan Megawati dan itu membuat hubungan keduanya menjadi dingin dan canggung. Pasalnya, kala itu Laksamana adalah “anak kesayangan” Megawati dan bintang cemerlang di PDI-P. “Pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla telanjur tak bisa diterima dan dipahami oleh PDIP dan Golkar yang kemudian mengajukan hak interpelasi di parlemen,” tulis Virdika Rizky Utama dalam bukunya berjudul “Menjerat Gus Dur” (Numedia Digital Indonesia, 2020). Hanya berbilang pekan, posisi dan reputasi politik Gus Dur jadi kian gawat gara-gara dua skandal yang muncul hampir bersamaan: Buloggae dan Bruneigate. Menurut Barton, kendati banyak orang tak percaya Gus Dus korupsi, dua skandal ini amat merugikan reputasinya. Musuh-musuh politiknya di DPR lantas memanfaatkan skandal ini untuk menekan kepemimpinan Gus Dur lebih keras lagi. Virdika menyebut musuh-musuh politik Gus Dur datang dari empat kelompok. Dua kelompok adalah mereka yang kecewa karena kalah dalam Pemilu 1999 dan sisa-sisa Orde Baru. Tak ketinggalan juga jenderal-jenderal yang gusar dengan supremasi sipil yang dilaksanakan Gus Dur. Kelompok keempat adalah kelompok Poros Tengah. Semula mereka adalah pendukung Gus Dur dalam pemilihan presiden 1999. Kelompok ini lalu berbalik jadi oposan karena gagal memperoleh konsesi politik dan ekonomi setelah Gus Dur naik jadi presiden. Langkah-langkah untuk menjegal Gus Dur pun mulai bergulir sejak September 2000. Itu ditandai dengan terbentuknya Pansus DPR untuk menyelidiki kasus Buloggate dan Bruneigate. Barton juga menyebut adanya langkah-langkah yang lebih konkret untuk mendelegitimasi kepemimpinan Gus Dur di DPR pada akhir November. Sebanyak 151 anggota dewan menyerahkan sebuah dokumen kepada Ketua DPR Akbar Tandjung yang berisi sejumlah alasan yang dinilai kuat untuk menjatuhkan Gus Dur dari kursi presiden. Dari seluruh penandatangan dokumen itu, yang terbanyak adalah dari PDI-P (47 orang), Golkar (37 orang), dan Fraksi Reformasi yang berafiliasi dengan PAN atau Amien Rais (34 orang). Alasan lain yang diajukan kelompok ini adalah perihal usulan Gus Dur untuk mencabut Tap MPR tentang larangan doktrin komunisme dan izin pengibaran bendera Bintang Kejora. Kembali ke Buloggate dan Bruneigrate. Sampai saat ini Gus Dur tidak terbukti melakukan korupsi dalam skandal tersebut. Itu sebabnya, banyak pihak menduga Gus Dur dilengserkan bulan karena kasus korupsi itu. Kiai ini dicabut mandatnya karena ketegangan antara DPR/MPR dan pemerintah. Buloggate dan Bruneigate Hanya Sampul. (*)
Gerakan Impeachment Menguat, Mengukur Kekuatan Jokowi
Denny Indrayana menyerukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Sementara pimpinan Parpol masih sibuk mempersiapkan pengganti presiden pada 2024. Oleh Dimas Huda - Wartawan Senior FNN APES menimpa Ibu Negara Iriana Jokowi. Ia terjatuh saat turun di tangga pesawat Kepresidenan RI 1 pada 14 November 2022. Untung ada sang suami yang menggenggam erat tangannya. Peristiwa ini terekam saat Iriana bersama Presiden Jokowi turun dari pesawat di Bandara Ngurah Rai, Bali jelang gelaran KTT G20. Jatuhnya Iriana jelas tidak serius. Ini jika dibandingkan, misalnya, jika Presiden Jokowi yang jatuh. Bukan dari tangga pesawat, melainkan dari jabatannya sebagai presiden. Hal itu bukan hal yang musykil. Prof H Denny Indrayana, SH, LLM, PhD telah menyerukan pemakzulan atas Presiden Jokowi. Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011-2014) ini memandang Jokowi telah melakukan tiga pelanggaran konstitusional. “DPR RI harus memulai proses impeachment,” ujar Denny dalam surat terbuka yang ditujukan kepada DPR RI. Surat terbuka itu diunggah Denny di akun Twitternya. Denny Indrayana membeberkan sederet perilaku Jokowi yang dianggap dapat merusak konstitusi Negara. Misalnya, Jokowi melakukan cawe-cawe politik untuk mendesign agar Pilpres 2024 hanya diikuti oleh dua kontestan. Kemudian, membiarkan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menganggu Partai Demokrat melalui gerakan pengambilaihan partai. Lalu kasus Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang dicopot dan dijerat kasus hukum setelah Suharso empat kali bertemu Anies Rasyid Baswedan. Yang pada intinya, gerakan-gerakan Jokowi itu menurut Denny Indrayana bertujuan untuk menjegal Anies Baswedan ikut Pilpres 2024. \"Itu sebabnya saya berkirim surat kepada Mega (Megawati Soekatnoputri) untuk mengingatkan petugas partainya di Istana, jangan gunakan tangan kuasa untuk cawe-cawe merusak konstitusi bernegara,\" tulis Denny Indrayana dalam tulisannya berjudul \'Awas, Krisis Konstitusi di Depan Mata!\'. Persoalannya, proses pemakzulan bukan hal yang murah dan mudah untuk saat ini. Apalagi jika seruan itu dilakukan ketika partai politik tengah gencar-gencarnya memanaskan mesin partainya. Kasat mata sudah tampak, bahwa mayorias partai politik kini berhubungan mesra dengan Presiden Jokowi. Mereka sudah sekendang sepenarian dengan Presiden Jokowi. Nah, itu sebabnya perlu kiranya mengukur kekuatan Jokowi saat ini. Kasus Sukarno Dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, impeachment atau pemakzulan yang berujung pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, telah terjadi dalam dua rezim pemerintahan yakni pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Hal itu terjadi sebelum perubahan UUD 1945. Presiden Sukarno diberhentikan oleh MPRS berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Hal tersebut dilakukan MPRS setelah Sukarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban dengan judul Nawaksara yang oleh Sukarno disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela, karena faktanya pertanggungjawaban tersebut diberikan bukan atas permintaan MPRS. Setelah pidato pertanggungjawaban tersebut disampaikan, MPRS meminta agar Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya yang kemudian dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara. Adapun hal-hal yang diinginkan oleh MPRS untuk meminta Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya adalah agar Presiden menjelaskan mengenai sebab-sebab terjadinya G-30-S/PKI beserta epilognya dan kemunduran ekonomi serta akhlak. “Pertanggungjawaban yang menyangkut tindakan moral yang dilakukan oleh rakyat seharusnya bukan merupakan bagian yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang Presiden,” tulis Soewoto Mulyosudarmo dalam bukunya berjudul “Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997). Dalam pemberhentian Presiden Sukarno tidak dikenal adanya penyampaian memorandum oleh DPR. Karena pada waktu itu belum ada ketentuan yang dibuat secara jelas dan tegas mengenai proses pertanggungjawaban Presiden dalam masa jabatannya karena dianggap telah melanggar haluan negara. Adapun yang dijadikan dasar pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu hanyalah Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa jika DPR menganggap bahwa Presiden melanggar haluan negara, maka DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk mengadakan persidangan istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden. Apabila dicermati proses penyampaian pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu terungkaplah bahwa MPRS sejatinya tidak pernah meminta pertanggungjawaban Presiden. Itulah yang kemudian membuat pertanggungjawaban tersebut disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela. Namun setelah penyampaian pidato sukarela tersebut, MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi pidato pertanggungjawabannya. Atas permintaan tersebut Sukarno menyampaikan pidato yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara. Pidato ini kemudian juga mendapat penolakan dari MPRS yang pada akhirnya memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden. Kasus Gus Dur Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya juga terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid. Proses pemberhentian ini dilakukan ketika proses Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945 dilakukan. Akibatnya, proses pemberhentiannya tetap berpedoman kepada Penjelasan UUD 1945 serta Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Saatnya Sidang Istimewa MPR” yang dilansir Harian Republika, Kamis 1 Februari 2001, menjelaskan dalam kasus Abdurrahman Wahid, setidaknya terdapat lima peristiwa yang dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa. Pertama, Abdurrahman Wahid pernah meminta agar Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan-pelarangan Penyebaran Ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme dicabut. Padahal apabila ditinjau dari sisi ketatanegaraan usulan ini tidak tepat, karena Presiden terikat untuk menjalankan haluan negara termasuk ketetapan MPRS tersebut. Hal ini juga bertentangan dengan sumpah dan janji yang diucapkan di hadapan MPR sebelum ia dilantik menjadi Presiden. Dalam negara demokrasi modern pelanggaran seperti ini merupakan pelanggaran yang sangat prinsipil dalam penyelenggaraan negara. Kedua, pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa hak interpelasi DPR merupakan tindakan inkonstitusional. Hak interpelasi tersebut berkaitan dengan tindakan Presiden yang memberhentikan beberapa orang menteri di kabinetnya. Bahkan sebelumnya Presiden juga pernah menilai bahwa DPR seperti taman kanak-kanak. Ketiga, penggantian Kapolri dari Jenderal S. Bimantoro kepada Komjen. (Pol). Chaeruddin Ismail yang dilakukan secara sepihak oleh Presiden dinilai telah melanggar ketetapan MPR, karena penggantian tersebut mengharuskan adanya persetujuan DPR. Tindakan jelas melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh MPR. Keempat, adanya pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa semua pansus yang ada di DPR adalah ilegal sehingga apapun yang dihasilkan oleh pansus tidak sah secara hukum. Hal ini terkait dengan beberapa kasus seperti adanya indikasi keterlibatan Presiden dalam skandal Bullogate dan Bruneigate. Kelima, penolakan Presiden terhadap dua orang calon ketua Mahkamah Agung (MA) yang diusulkan DPR. Tindakan ini membuat Presiden tidak menjalankan ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang MA yang menyatakan bahwa Ketua MA diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan DPR. Hal ini juga mengindikasikan bahwa Presiden mencoba mengintervensi MA sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi serta bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya yang bersifat ekstra yudisial. Hanya saja, yang jadi alasan di luar itu semua. Gus Dur dijerat dengan skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei kepada Aceh yang ngetop disebut Buloggae dan Bruneigate. (Lihat: Bulogate dan Bruneigate Hanya Sampul) Mengontrol Kekuasaan Sidang Istimewa menjadi salah satu instrumen untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan Presiden. UUD 1945 memang tidak mengatur secara jelas mengenai prosedur hingga Sidang Istimewa dilaksanakan oleh MPR. Hanya saja, untuk kasus Abdurrahman Wahid agak sedikit berbeda, karena pada era ini telah terdapat ketentuan yang memberikan pengaturan mengenai penyelenggaraan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Ketentuan tersebut lahir pada masa pemerintahan Orde Baru yang berbentuk ketetapan MPR. Meskipun kehadiran ketetapan ini terkesan mempersulit dilaksanakannya Sidang Istimewa, tetapi di sisi lain ada upaya untuk memperjelas mekanisme pelaksanaan Sidang Istimewa. Mekanisme Sidang Istimewa tersebut tercantum di dalam Pasal 7 Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Ketentuan tersebut menghendaki bahwa sebelum Sidang Istimewa dilakukan harus melalui proses penyampaian memorandum pertama dan memorandum kedua oleh DPR kepada Presiden. Dalam kasus Abdurrahman Wahid, proses penyampaian memorandum tersebut juga telah dilakukan. Namun hal tersebut tidak diindahkan oleh Presiden. Bahkan ia mengeluarkan maklumat pada dini hari tanggal 23 Juli 2001, hal ini menjadi puncak kepanikan Presiden dalam menghadapi tekanan politik yang menginginkan dirinya untuk turun dari tampuk kekuasaannya. Salah satu isi dari maklumat tersebut adalah membekukan lembaga MPR. “Pembekuan MPR sebagai lembaga yang posisi konstitusionalnya berada di atas Presiden, jelas lebih mencerminkan kepanikan ketimbang rasionalitas melembagakan demokrasi,” tulis Syamsuddin Haris dalam bukunya berjudul “Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia” (Grafiti, Jakarta 2007). “Hal ini juga cukup menjadi alasan bagi MPR untuk mempercepat Sidang Istimewa,” tambah Saldi Isra. Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR akhirnya menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid, namun ia tidak hadir dan juga tidak menyampaikan laporan pertanggungjawabannya secara tertulis. Akhirnya MPR mengeluarkan ketetapan pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden karena ketidakhadiran dan penolakan memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR serta tindakan penerbitan maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001. Tindakan ini dipandang oleh MPR sebagai pelanggaran terhadap haluan negara. Pemberhentian presiden dalam masa jabatannya menjadi kewenangan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia pada masa itu. Kekuasaan yang sangat besar ini secara hukum telah tercantum dalam UUD 1945 yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi:”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Sistem kekuasaan di Indonesia menganut supremacy of parliament atau supremasi MPR, karena MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki wewenang tak terbatas. Seluruh kekuasaan dan tanggungjawab penyelenggaraan negara harus dipertanggungjawabkan kepada MPR. Pertanggungjawaban ini tidak terkecuali bagi seorang Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah MPR. “MPR berwenang mengangkat dan mengesahkan suatu pemerintah (eksekutif) dan sekaligus memberhentikan pemerintah yang diangkatnya itu apabila ia gagal atau tidak mampu lagi melaksanakan kehendak rakyat melalui majelis itu,” tulis Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia” (Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1983). Majelis dalam menjalankan kekuasaannya sebagai pemegang kedaulatan rakyat berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Negara. “Jadi tidak hanya ditujukan kepada Presiden saja, tetapi ini ditujukan bagi semua lembaga negara agar tidak melakukan tindakan-tindakan di luar kewenangannya,” Sri Soemantri dalam “Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945” (Alumni, Bandung) menambahkan. Aturan Saat Ini Hanya saja, UUD 1945 yang berlaku dalam tiga periode yakni periode 1945- 1949, periode 1959-1966, dan periode 1966-1998 dipandang telah terbukti tidak pernah menghadirkan pemerintahan yang demokratis. Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali telah membawa perubahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam perubahan tersebut salah satu kesepakatan dasar yang menjadi agenda adalah mempertegas system pemerintahan presidensial. Hal tersebut dapat dicermati dari semakin kuatnya kedudukan Presiden dalam pemerintahan. Ia tidak mudah diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR kecuali ia terbukti telah melanggar ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dasar. Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya diatur secara eksplisit di dalam Pasal 7A dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI 1945). Dalam Pasal 7A dinyatakan bahwa Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR sebelum masa jabatannya berakhir hanya mungkin dilakukan apabila Presiden sungguh-sungguh telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menjelaskan mengenai prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya tersebut. Perubahan ini telah menggeser dominasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadikan konstitusi sebagai pemegang kedaulatan. Proses pemberhentian Presiden inipun tidak hanya melalui forum politik di MPR, tetapi juga harus melalui proses peradilan di Mahkamah konstitusi. Dalam masa periode pasca-perubahan ketiga UUD 1945 memang belum ada praktik ketatanegaraan dalam hal pemberhentian presiden dalam masa jabatannya (pemakzulan). Namun setidaknya terdapat beberapa peristiwa yang berpotensi terjadinya pemakzulan Presiden. Seperti bergulirnya hak angket DPR atas kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan terakhir kasus Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Keduanya terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penahanan yang dilakukan Kepolisian terhadap kedua tokoh ini memancing simpati tidak hanya dari kalangan masyarakat umum tetapi juga dari para tokoh nasional untuk menjamin pembebasan keduanya. Kala itu, Prof Dr Mahfud MD yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI mengingatkan bahwa gerakan ini bisa berujung kepada ancaman bagi kedudukan presiden melalui proses pemakzulan. Presiden memang tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tetapi pelemahan terhadap lembaga KPK bisa diartikan terlibat korupsi. Keterlibatan Presiden juga dapat dipandang dari segi pembiaran yang dilakukan oleh Presiden atas penahanan terhadap kedua Pimpinan non-aktif KPK ini oleh kepolisian. Jadi tergantung bagaimana memformulasikan hukumnya. Hal senada diungkapkan Pengamat Hukum Tata Negara Saldi Isra. “Sekecil apapun kesalahan yang dilakukan oleh Presiden, gerbang pemakzulan bisa dimulai dan amat mungkin terjadi dengan memberi tafsir terbuka atas klausul Pasal 7A UUD Negara RI Tahun 1945,” tulis Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Gerbang Menuju Pemakzulan” (Media Indonesia, Rabu 04 November 2009). Lalu, apakah yang dilakukan Jokowi sudah layak untuk dimakzulkan? “Saya berpendapat, Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024,” jelas Denny Indrayana yakin. Kini, semua pimpinan partai politik sudah tunduk pada Presiden Jokowi. Dan menurut Denny justru inilah yang bisa dijadikan dalih mengapa Jokowi harus dimakzulkan. “Ada dugaan Presiden Jokowi memanfaatkan kekuasaan dan sistem hukum untuk mencengkram para pimpinan parpol untuk maksud tertentu terkait Pilpres 2024,” ujarnya. Tetap saja, hal ini tergantung apakah DPR yang didominasi oleh partai pendukung pemerintah akan melakukan pemakzulan atau tidak. (*) Boks, Impeachment Bukan Berarti Pemecatan Dalam dunia hukum tata negara ada dua konsep pemberhentian seorang presiden yakni melalui impeachment dan forum previlegiatum. Berikut ini tentang impeachment. Impeachment atau pemakzulan adalah sebuah proses di mana sebuah badan legislatif secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Pemakzulan bukan berarti selalu pemecatan atau pelepasan jabatan, namun hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal. Dalam praktik impeachment yang pernah dilakukan diberbagai negara, hanya ada beberapa proses impeachment yang berakhir dengan berhentinya seorang pimpinan negara. Salah satunya adalah Presiden Lithuania, Rolandas Paskas. Proses impeachment itu berakhir pada berhentinya Paskas pada tanggal 6 April 2004. Di Amerika pernah terjadi beberapa kali proses impeachment terhadap presiden misalnya pada Andrew Johnson, Richard Nixon, dan terakhir pada William Clinton. Namun, tidak semua tuduhan impeachment yang dilakukan di Amerika itu berakhir pada berhentinya presiden. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Dalam perkembangan hukum tata negara dewasa ini pranata impeachment menjadi populer sebab ada beberapa presiden dari beberapa negara di dunia yang masing-masing negara mempunyai sistem politik dan ketatanegaraannya yang berbeda, ingin melakukan impeachment terhadap presidennya karena dituduh telah melakukan suatu tindak pidana. Dengan kata lain, negara-negara itu meski sebagian belum memasukkan dalam konstitusinya tetapi melaksanakannya dalam praktik. Misalnya, kasus impeachment yang telah dihadapi Presiden Joseph Estrada, Presiden Taiwan Chen Shui-bian yang dituduh membatalkan proyek pembangkit tenaga nuklir; Presiden Paraguay Raul Cubas yang dituduh melakukan tindak kriminal penyalahgunaan kekuasaan. Boks, Tugas MPR Terkait Penghentian Presiden Berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandeman, MPR dapat memberhentikan presiden dan/atau Wakil presiden dalam masa jabatannya setelah ada usulan dari DPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usulan tersebut. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. MPR melantik wakil presiden menjadi presiden, jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai berakhir masa jabatannya. Jika terjadi kekosongan jabatan presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik wakil presiden menjadi presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, maka presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat, maka presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 hari untuk memilih wakil presiden dari 2 calon yang diusulkan oleh presiden apabila terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya. Apabila presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 hari untuk memiih presiden dan wakil presiden, dari 2 pasangan calon presiden dan wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. Dalam hal presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. (***)
Pemakzulan Bill Clinton, Kasus Sejengkal di Bawah Perut
Oleh Dimas Huda - Wartawan Senior FNN PRESIDEN ke-42 Amerika Serikat, Bill Clinton, dimakzulkan oleh Kongres Amerika Serikat pada 19 Desember 1998, karena \"kejahatan dan pelanggaran berat\". DPR mengadopsi dua pasal pemakzulan terhadap Clinton: berbohong di bawah sumpah dan penghalang keadilan. Pemakzulan Clinton terjadi setelah penyelidikan resmi DPR, yang diluncurkan pada 8 Oktober 1998. Pemakzulan atas Clinton menyusul gugatan Paula Jones yang menuduh Clinton melakukan pelecehan seksual. Selama penemuan praperadilan dalam gugatan tersebut, Clinton memberikan kesaksian yang menyangkal bahwa dia telah melakukan hubungan seksual dengan pegawai magang Gedung Putih Monica Lewinsky. Katalisator pemakzulan presiden adalah Laporan Starr, laporan September 1998 yang disiapkan oleh Ken Starr, Penasihat Independen, untuk Komite Kehakiman DPR. Laporan Starr memasukkan detail yang menguraikan hubungan seksual antara Clinton dan Lewinsky. Pasal-pasal pemakzulan yang disetujui, diajukan ke Senat Amerika Serikat pada 7 Januari 1999. Sidang di Senat kemudian dimulai, dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung William Rehnquist. Pada 12 Februari, Clinton dibebaskan dari kedua tuduhan karena tidak ada yang menerima dua pertiga suara mayoritas yang diperlukan dari senator yang hadir untuk hukuman dan pencopotan dari jabatan — dalam hal ini 67. Pada Pasal 1, sebanyak 45 senator memilih untuk menghukum sementara 55 memilih untuk membebaskan. Pada Pasal 2, sebanyak 50 senator memilih untuk menghukum sementara 50 memilih untuk membebaskan. Clinton tetap menjabat selama sisa masa jabatan keduanya. Pada tahun 1994, Paula Jones mengajukan gugatan yang menuduh Clinton melakukan pelecehan seksual ketika dia menjadi gubernur Arkansas. Clinton berusaha untuk menunda sidang sampai setelah ia meninggalkan kantor, tetapi pada Mei 1997 Mahkamah Agung dengan suara bulat menolak klaim Clinton bahwa Konstitusi mengimunisasi dia dari tuntutan hukum perdata, dan tak lama kemudian proses penemuan pra-sidang dimulai. Terpisah dari ini, pada Januari 1994, Jaksa Agung Janet Reno menunjuk Robert B. Fiske sebagai penasihat Independen untuk menyelidiki kontroversi Whitewater. Pada bulan Agustus tahun itu, Ken Starr ditunjuk untuk menggantikan Fiske dalam peran ini. Pada tahun 1997, upaya pertama di Kongres untuk memulai pemakzulan terhadap Clinton diluncurkan oleh anggota Kongres dari Partai Republik Bob Barr. Pengacara Jones ingin membuktikan Clinton terlibat dalam pola perilaku dengan wanita yang mendukung klaimnya. Pada akhir tahun 1997, Linda Tripp diam-diam mulai merekam percakapan dengan temannya Monica Lewinsky, mantan pekerja magang dan pegawai Departemen Pertahanan. Dalam rekaman tersebut, Lewinsky membocorkan bahwa dia pernah melakukan hubungan seksual dengan Clinton. Tripp membagikan informasi ini dengan pengacara Jones, yang menambahkan Lewinsky ke daftar saksi mereka pada Desember 1997. Menurut Starr, laporan pemerintah federal AS yang ditulis oleh Penasihat Independen yang ditunjuk Ken Starr tentang penyelidikannya terhadap Presiden Clinton, setelah Lewinsky muncul sebagai saksi. Clinton mulai mengambil langkah untuk menyembunyikan hubungan mereka. Beberapa langkah yang dia ambil termasuk menyarankan kepada Lewinsky agar dia mengajukan surat pernyataan palsu untuk menyesatkan penyelidikan, menyembunyikan hadiah yang dia berikan padanya, dan mencoba membantunya menemukan pekerjaan yang menguntungkan untuk mencoba memengaruhi kesaksiannya. Pada tanggal 17 Januari 1998, dalam pernyataan tersumpah, Clinton membantah memiliki \"hubungan seksual\" dengan Lewinsky. Pengacaranya, Robert S. Bennett, menyatakan dengan hadirnya Clinton bahwa affidavit Lewinsky menunjukkan tidak ada hubungan seks dalam bentuk apa pun antara Clinton dan Lewinsky. Laporan Starr menyatakan bahwa keesokan harinya, Clinton \"melatih\" sekretarisnya Betty Currie untuk mengulangi penyangkalannya seandainya dia dipanggil untuk bersaksi. Setelah rumor skandal itu sampai ke berita, Clinton secara terbuka mengatakan, \"Saya tidak melakukan hubungan seksual dengan wanita itu, Nona Lewinsky.\" Namun beberapa bulan kemudian, Clinton mengakui hubungannya dengan Lewinsky \"salah\" dan \"tidak pantas\". Lewinsky melakukan seks oral dengan Clinton beberapa kali. Hakim dalam kasus Jones kemudian memutuskan masalah Lewinsky tidak penting, dan membatalkan kasus tersebut pada bulan April 1998 dengan alasan Jones gagal menunjukkan kerugian apapun. Setelah Jones mengajukan banding, Clinton setuju pada November 1998 untuk menyelesaikan kasus tersebut sebesar US$850.000 sambil tetap tidak mengakui kesalahan. Laporan Starr dirilis ke Kongres pada 9 September 1998, dan kepada publik pada 11 September. Dalam laporan tersebut, Starr berargumen bahwa ada sebelas kemungkinan alasan pemakzulan Clinton, termasuk sumpah palsu, penghalang keadilan, perusakan saksi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Laporan tersebut juga merinci detail eksplisit dan gamblang dari hubungan seksual antara Clinton dan Lewinsky. Kasus Andrew Johnson Clinton adalah presiden Amerika Serikat kedua yang dimakzulkan, yang pertama adalah Andrew Johnson, yang dimakzulkan pada tahun 1868. Pemakzulan bertumpu pada tuduhan bahwa dia telah melampaui kekuasaan jabatannya dan gagal menghormati hak prerogatif Kongres. Gara-garanya, Presiden Johnson mencopot Sekretaris Perang Edwin M. Stanton. Tiga hari kemudian Johnson pun dimakzulkan. Sembilan pasal pemakzulan awalnya dipilih melawan Johnson, semuanya terkait dengan pencopotan Stanton dan penunjukan penggantinya tanpa nasihat dan persetujuan Senat. Artikel pertama, misalnya, menuduh Presiden Johnson, tanpa menghiraukan tugas tinggi jabatan ini, sumpah jabatannya, dan persyaratan Konstitusi bahwa dia harus berhati-hati agar melaksanakan undang-undang dengan setia, dilakukan secara tidak sah, dan melanggar Konstitusi dan undang-undang Amerika Serikat, perintah tertulis pemberhentian Edwin M. Stanton dari jabatan Sekretaris Departemen Perang. Dua pasal lagi diadopsi oleh DPR pada hari berikutnya. Pasal 10 menuduh bahwa Johnson, \"tidak menghiraukan tugas-tugas tinggi dari jabatannya, dan martabat serta kepatutannya,\" telah membuat pidato-pidato yang menghasut yang mencoba mencemooh dan mempermalukan Kongres. Pasal 11 menuduhnya dengan upaya untuk mencegah pelaksanaan Undang-Undang Kepemilikan Kantor, undang-undang alokasi Angkatan Darat, dan undang-undang Rekonstruksi yang dirancang oleh Kongres \"untuk pemerintahan negara-negara pemberontak yang lebih efisien.\" Sepintas lalu, artikel ini melibatkan pelanggaran undang-undang, tetapi juga mencerminkan tantangan mendasar terhadap semua kebijakan Johnson pascaperang. Pencopotan Stanton lebih merupakan katalis untuk pemakzulan daripada penyebab mendasar. Isu antara Presiden dan Kongres adalah siapa di antara mereka yang harus memiliki kekuatan konstitusional-- dan bahkan militer-- untuk membuat dan menegakkan kebijakan Rekonstruksi di Selatan. Pemakzulan Johnson, seperti pemakzulan menteri-menteri besar di Inggris, melibatkan isu-isu negara yang masuk ke jantung pembagian konstitusional kekuasaan eksekutif dan legislatif. (*)
Politik Indonesia Terkini dan Julius Caesar
Oleh Hendrajit - Direktur Eksekutif The Global Future Institute Membaca gelagat politik negeri kita saat ini, enaknya baca sejarah politik Romawi era Julius Caesar sebagai analogi. Karena ada beberapa sosok yang tipikal mirip Julius Caesar, ada yang mirip Pompeous, dan ada juga yang mirip Crassus. Tiga serangkai penguasa kediktatoran Romawi masa itu, yang sebenarnya saling nggak suka tapi sama-sama suka masakannnya, sehingga mereka bersekutu. Namun sejatinya Caesar, Pompey, dan Crassus, merupakan suatu persekutuan yang rapuh bin aneh. Tapi di sisi lain yang boleh dibilang setengah di dalam tapi juga setengah di luar, yaitu Cicero. Cicero, pasang naik dan pasang surut nasib politiknya sebagai pemain kunci di Senat atau DPR, memang berkaitan dengan konstelasi politik Roma yang diwarnai oleh tiga serangkai Caesar, Pompey dan Crassus. Pada saat situasi kemudian berpihak pada Caesar sehingga kemudian menjadi primus interpares di antara tiga serangkai, Cicero dianggap ancaman bagi Caesar, sehingga sebelum orang nomor satu Romawi ini memasuki kota Roma setelah memenangkan peperangan di Galia, Cicero harus sudah disingkirkan dari ibukota itu dalam entah terbunuh atau lari ke pengasingan. Pokoknya jangan sampai pas dirinya masuk Roma, Cicero masih sekota dengannnya. Maka karena tidak mau terlihat bermusuhan secara langsung dengan Cicero, Caesar mendorong Clodius, salah satu dari keluarga Crassus, yang punya dendam kesumat pada Cicero, sebagai Tribunus, jabatan yang ditunjuk Raja, dan berwenang bikin undang2 dan aturan. Dan berwenang memanggil para anggota senat atau anggota DPR untuk bersidang. Nah melalui tangan Clodius inilah, Caesar menyingkirkan Cicero, sehingga Cicero daripada mati, mendingan menyingkir ke luar Roma. Sementara itu, Crassus dan Pompey, karena sama-sama berkepentingan menjaga persekutuannya dengan Caesar, seakan tutup mata dan nggak berani membela Cicero, apalagi mencegah Cicero lari ke pengasingan. Namun setelah beberapa tahun, rupanya antar tiga serangkai ini diam-diam mulai rapuh persekutuannya, sehingga Pompey diam-diam lewat seorang utusan terpercaya, menemui Cicero di pengasingan, dan membujuk Cicero untuk berdamai dengan Caesar supaya bisa kembali ke Roma. Perhitungan Pompey, adanya kembali Cicero di kancah politik Roma, Pompey dapat mengimbangi Crassus yang sama ambisiusnya untuk jadi nomor satu, seraya memelihara Cicero sebagai anak nakal, sehingga sekali-sekali bisa mengganggu Caesar. Agar supaya Pompey yang di mata Caesar merupakan orang dekat Cicero, bisa menaikkan harga tawarnya karena bisa menjinakkan Cicero. Sementara itu, karena Cicero kembali ke Roma, setelah Caesar menyetujuinya, asal nggak bikin onar, otomatis kembali jadi aktor kunci di parlemen Roma. Dan negarawan Romawi yang diperhitungkan kawan maupun lawan. Namun sepulangnya dari pengasingan, intuisi politik Cicero sudah tidak seligat waktu masa jayanya dulu, sehingga sering meleset dalam membuat perhitungan politik jangka panjang. Meskipun untuk siasat atau taktik politik jangka pendek, masih cukup cemerlang. Salah satu kesalahan strategis Cicero, memandang tiga serangkai Caesar-Pompey dan Crassus sebagai persekutuan yang tak tergoyahkan dan tetap solid, sehingga langkah2 dan keputusan politik strategisnya selalu bertumpu pada fakta yang dia yakini tersebut. Apalagi ketika tiga serangkai ini semakin meniti puncak kejayaannya, meski diwarnai oleh praktek bagi-bagi kekuasaan antar ketiganya yang cukup rumit dan penuh ketegangan. Nah pada situasi inilah, Cicero yang selama ini jeli dan cermat membaca konstelasi dan konfigurasi, meremehkan sikap Cato dan para anggota keluarganya, yang secara terang-terangan mengambil posisi melawan tiga serangkai tersebut. Cicero memandang tindakan dan sikap Cato yang berani melawan triumvirat tersebut, konyol dan tidak taktis. Rupanya Cicero lupa pada falsafah yang dia anutnya sendiri, bahwa ketika penguasa berikut formasi kekuasaan yang melekat padanya semakin meniti titik puncak, maka di situlah awal kehancuran. Artinya, kehancuran pada tahap ini hanya soal waktu. Cicero tidak memperhitungkan pemunculan dinamika Black Swan (angsa hitam) sepeti diistilahkan Nassem Taleb, peristiwa yang muncul tak terduga, yang berakibat efek berantai ke depan yang tak bisa didorong surut kembali ke belakang. Cato, dan dinasti keluarganya, termasuk keponakannya yang kelak terkenal dengan sebutan Brutus, nama yang kerap diidentikkan dengan sosok penghianat dan suka main tikam dari belakang, memang terlalu naif kalau dianggap akan jadi pesaing bagi Caesar. Namun Cicero yang biasanya penuh perhitungan dan jitu membaca langkah politik ke depan, sama sekali tidak membayangkan bahwa kelak Cato dan keluarganya, termasuk Brutus, akan jadi katalisator percepatan keruntuhan Caesar. Berikut tiga serangkai itu sendiri. Namun pada saat yang sama, muncul sebuah kekuatan baru yang tidak diperhitungkan Cicero maupun kubu tiga serangkai: Pemunculan tak terduga dari Augustus, keponakan Caesar, yang selama ini luput dari radar pengawasan para aktor2 utama dalam pentas politik Romawi. Dan ironisya, dalam perpolitikan pasca Caesar, setelah Caesar ditikam oleh beberapa anggota senat, termasuk Brutus, yang tak disangka-sangka oleh Caesar, Cicero harus membuat kesepakatan politik baru dengan keluarga Cato, yang sementara itu sudah menjalin persekutuan taktis dengan Augustus, sang keponakan Caesar. Pelajaran penting dari sejarah Romawi ini, kadang dalam mengantisipasi munculnya perubahan peta politik baru, yang kita harus jeli bukan menduga siapa aktor baru yang muncul ke depan. Melainkan siapa atau kekuatan kekuatan mana saja yang sedang memainkan peran sebagai katalisator percepatan terjadinya perubahan. Di sinilah tragedi Cicero. Ia tidak memperhitungkan kekuatan kekuatan yang sedang mematangkan percepatan perubahan sehingga tidak membayangkan bahwa pengaruh bisa melahirkan penyebab meski pengaruh dan penyebab tak saling bersinggungan secara langsung. (*)
Fahri: MK Lebih Baik Buat Putusan Pemilu Berbasis Distrik Kabupaten/Kota
JAKARTA, FNN - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak akan menyampaikan putusan pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi tertutup, dalam putusannya yang akan dibacakan pada Kamis (15/6/2023). Sebab, putusan pemilu tertutup akan membawa banyak implikasi. Sehingga Fahri Hamzah yakin MK akan memutuskan pelaksanaan Pemilu 2024 tetap terbuka. \"Ada dugaan kayaknya MK tidak akan menyampaikan putusan sistem tertutup, karena implikasinya sangat banyak,\" kata Fahri Hamzah saat memberikan pengantar Gelora Talks bertajuk \'Menyambut Putusan MK dan Masa Depan Demokrasi Kita, Rabu (14/6/2023) sore. Menurut Fahri, kalaupun ada putusan sistem pemilu tertutup, kemungkinan baru akan diberlakukan pada Pemilu 2029. \"Daripada membuat sistem tertutup, lebih baik MK membuat putusan dalam ultra petitanya mengenai penyelenggaraan pemilu dengan sistem distrik, di kabupaten/kota,\" katanya. Sehingga calon legislatif (caleg) yang diusung oleh partai politik akan semakin dekat dengan rakyatnya, karena dipilih secara riil oleh rakyat dalam skala lebih kecil. \"Kalau sekarang jumlah anggota dewannya ada 580, maka harus ada pemekaran kabupaten/kota menjadi 580, karena basisnya distrik. Tapi kalau DPD berbasis kepada provinsi dan jumlah provinsi sekarang ada 38 provinsi,\" ujarnya. Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menegaskan, MK tetap akan memutuskan bahwa sistem Pemilu 2024 tetap terbuka, karena masyarakat demokrasi adalah masyarakat yang terbuka. \"Membuat sistem tertutup adalah langkah awal mengembalikan Indonesia kepada masa kelam. Segelitir elite percaya, bahwa komunisme yang ada contoh suksesnya di negara lain bisa di adopsi. Ini sangat berbahaya, dan menjadi alarm pengingat bagi kita semua untuk waspada di hari-hari ke depan,\" katanya. Ketua Bidang Hukum DPN Partai Gelora Amin Fahrudin mengatakan, Partai Gelora mendorong DPR untuk menggunakan Hak Angket apabila MK memutuskan Pemilu 2024 menjadi tertutup. \"Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR menggunakan perangkat instrumen politik hukum untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja lembaga negara. Kita mendorong agar MK dibekukan, kalau membuat putusan tertutup,\" kata Amin. Jika putusannya adalah pemilu tertutup, kata Amin, maka MK telah memberikan penafsiran tersendiri mengenai Living Constitution terhadap aturan perundang-undangan. \"Sehingga DPR bisa menggunakan legislatif review seperti pada Perppu yang disampaikan. Putusannya bisa menyatakan menerima atau menolak terhadap putusan MK tersebut,\" katanya. Amin menilai MK bisa dikatakan melanggar konstitusi, apabila dalam putusannya memutuskan Pemilu 2024 dilaksanakan tertutup. Sebab, pembuat undang-undang adalah Presiden dan DPR, bukan Mahkamah Konstitusi. \"Terhadap sistem yang seharusnya harusnya open legal policy, tetapi diputuskan sistem tertutup. Maka, sekali kami mendorong DPR untuk menerapkan Living Constitution dengan legislatif review dan menggunakan Hak Angket. Kewenangan MK perlu dievaluasi, tidak sampai dibubarkan, tapi dibekukan untuk diatur lagi kewenangannya,\" katanya. Dirumuskan Ulang Sementara itu, Anggota Komisi III DPR dari Faksi Partai Gerindra Habiburohman mengatakan, DPR akan mungkin membuat legislatif review untuk merumuskan ulang mengenai kewenangan MK. \"Kita saat ini tengah membahas revisi UU MK, apabila terjadi krisis konstitusi apabila ada keputusan berbeda, sangat mungkin DPR juga membuat legislatif review merumuskan ulang MK, nggak perlu sampai lewat Angket. Kita bisa atur ulang kedudukan MK, kewenangannya seperti apa,\" kata Habiburohman. Habiburohman menilai keberadaan MK saat ini terlalu powerfull, sehingga tugas pokok dan fungsi MK perlu dikembalikan agar sesuai dengan konstitusi. \"MK ini perlu dievaluasi kok begitu powerfull saat ini. Tapi bukan membubarkan, tapi mengembalikannya apa tugas pokok dan fungsi MK sebagaimana seharusnya dalam kesepakatan konstitusional,\" ujarnya. DPR, kata Habiburohman, menginginkan agar sistem proporsional pemilu, tetap terbuka, bukan tertutup. Sebab, hal ini sesuai dengan aspirasi masyarakat dan upaya menyelamatkan demokrasi. \"Kita mengingatkan MK, kalau DPR itu punya kewenangan berdasarkan undang-undang mulai dari budgeting, pengawasan dan penyusunan undang-undang. Kewenangan tersebut, bisa kita gunakan untuk mengevaluasi MK. Tapi kita berpikiran positif, saudara-saudara kita hakim konstitusi bisa membuat keputusan yang sesuai dengan keinginan masyarakat,\" katanya. Direktur Eksekutif Open Parliament Institute Yadi Surya Diputra mengatakan, pasal tertutup dan terbuka di dalam undang-undang merujuk kepada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar tentang kedaulatan rakyat, sementara pasal tentang kepesertaan Pemilu yang menjadi batu uji gugatan sistem proporsional pemilu adalah pasal 22. \"Pasal 22 yang dijadikan batu uji itu tidak ada hubungan dengan tertutup terbuka, sehingga sangat tidak mungkin keputusannya menjadi putusan tertutup,\" kata Yadi Surya Diputra. Ia menilai, putusan pemilu tertutup akan membawa implikasi pada penundaan Pemilu 2024. \"Dampaknya ada 24 pasal dalam UU Pemilu yang membutuhkan sikap legislasi untuk direvisi yang harus dilakukan oleh presiden dan DPR harus membuat undang-undang baru,\" katanya. \"Timeline Pemilu itu sampai 14 Februari, kalau kita bahas revisi undang-undang Pemilu menjadi tertutup, tentu tidak akan cukup waktu, kecua jika Mahkamah Konstitusi menginginkan Pemilu 2024 tertunda. Saya kira putusan tertutup patut dicurigai untuk menunda Pemilu,\" pungkasnya. (ida)
AHY Paling Realistis Dampingi Anies, Ginting: Dia Cucu Penumpas PKI
Jakarta, FNN - Secara realitas politik Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) paling masuk akal menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Anies Rasyid Baswedan bakal calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan. “Realitas politiknya AHY paling masuk akal menjadi bakal cawapres pendamping Anies Baswedan, bakal capres dari Koalisi Perubahan,” kata analis politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting kepada FNN di Jakarta, Rabu (14/6/2023). Menurut Selamat Ginting, nama AHY menjadi kandidat terkuat setelah melewati dinamika politik yang panjang sejak Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara bertahap mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal capres Koalisi Perubahan pada Maret 2023 lalu. Sehingga, tidak ada pilihan paling realistis secara politik, selain menjadikan AHY sebagai bakal cawapres. “Memang ada nama lain yang cukup kuat selain AHY, yang mengemuka di Koalisi Perubahan, yakni Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher). Namun, AHY memiliki kekuatan politik sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang memungkinkan terjadinya Koalisi Perubahan,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas tersebut. Dikemukakan, apabila Demokrat tidak bergabung dalam koalisi itu, maka Anies Baswedan tidak memenuhi syarat untuk dijadikan bakal capres. Koalisi Perubahan memenuhi aturan batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen. Gabungan Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS mewakili 28,5 persen kursi di parlemen. Dalam UU No. 7/2017 (UU Pemilu) parpol atau koalisi parpol setidaknya harus punya 20 persen kursi di DPR RI untuk bisa didaftarkan dalam pemilihan presiden. “Dari tiga nama yang menguat, tampaknya Khofifah lebih konsentrasi untuk kembali menjadi Gubernur Jawa Timur pada pilkada 2024. Sementara Aher secara politis sudah turun elektabilitasnya setelah tidak lagi menjadi Gubernur Jawa Barat. Tidak ada pilihan lain yang masuk akal secara politik, yakni AHY,” ungkap kandidat doktor ilmu politik itu. Lagi pula, kata Ginting, AHY memiliki nilai tambah untuk bisa menaikkan elektabilitas Anies Baswedan jika dia menjadi bakal cawapresnya untuk berkontestasi dalam pilpres 2024. Sejumlah lembaga survey menempatkan bakal cawapres yang beredar, seperti: Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, AHY, dan Khofifah Indar Parawansa. “Dari lima nama itu, hanya AHY yang masuk dalam partai politik Koalisi Perubahan. Ridwan Kamil kini kader Partai Golkar, Sandiaga Uno segera masuk ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Erick Thohir disorongkan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk koalisi yang berbeda. Sedangkan Khofifah tampaknya lebih ingin menjadi Gubernur Jawa Timur periode kedua,” ungkap Ginting yang lama berkiprah menjadi wartawan bidang politik. Khofifah, lanjut Ginting, sangat membutuhkan Demokrat dan Nasdem untuk kembali masuk menjadi kandidat Gubernur Jawa Timur. Kerjasama Nasdem dan Demokrat, terbukti mampu mengalahkan dua partai besar di Jawa Timur, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) serta Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). “Jika dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 2018, Nasdem dan Demokrat bekerjasama mampu mengalahkan calon dari PDIP, PKB, dan Gerindra, maka bukan tidak mungkin pada pilpres 2024 pun Nasdem dan Demokrat juga bisa unggul di Jawa Timur,” ujar Ginting. Keunggulan AHY Ginting mencatat setidaknya ada enam keunggulan AHY dibandingkan dengan kandidat bakal cawapres lainnya di Koalisi Perubahan. Pertama; elektabilitas AHY senantiasa masuk dalam urutan 3-4 besar bakal cawapres, hampir di semua lembaga survey. Sehingga AHY akan mampu mendongkrak suara Koalisi Perubahan. Kedua; AHY memiliki kekuatan politik, karena posisinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Ketiga; AHY memiliki kekuatan logistik untuk menopang baiaya kampanye. Keempat; pemilih saat ini lebih dari 55 persen akan diisi generasi milenial. AHY masuk dalam bakal cawapres muda dibandingkan dengan nama-nama yang beredar di sejumlah lembaga survey. Kelima; salah satu lumbung suara yang diperebutkan adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Anies akan kuat di DKI Jakarta dan Jawa Barat. AHY akan dapat membantu meraih suara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ayahnya AHY, Jenderal (Hor) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai mantan Presiden dan lahir di Pacitan, Jawa Timur, memiliki pengaruh kuat di wilayah Mataraman. Mataraman merupakan wilayah kebudayaan yang meliputi Provinsi Jawa Timur bagian barat-selatan, karena pernah dikuasai Kesultanan Mataram. Kebudayaan Mataraman Kulon, meliputi: Ngawi, Madiun, Magetan, Pacitan, dan Ponorogo. Mataraman Wétan, meliputi: Kediri, Blitar, Nganjuk, Trenggalek, dan Tulungagung. Mataraman Pesisir, meliputi: Bojonegoro, Tuban, dan bagian barat Lamongan di Jawa Timur. Keenam; kakeknya AHY, yakni almarhum Jenderal (Hor) Sarwo Edhie Wibowo, kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Sarwo Edhie dikenal sebagai tokoh anti komunis. Sehingga orang Jawa yang anti komunis kemungkinan akan bersimpati terhadap cucu penumpas komunis di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Menurut Selamat Ginting, dari enam keungggulan yang dimiliki AHY, maka pantas ia bisa diumumkan menjadi bakal cawapres Koalisi Perubahan untuk mendampingi Anies Baswedan. Bekas Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203 Kodam Jaya itu juga memiliki rekam jejak pendidikan yang memadai. Saat ini, AHY merupakan kandidat doktor. Sejak SMA hingga berkarier di militer, ia kerap menjadi lulusan terbaik, termasuk saat kuliah di Amerika Serikat. “AHY ini kandidat cawapres yang seksi, sehingga Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang merupakan anak dari Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri ingin menemuinya. Ini pertemuan yang sangat politis mengingat hubungan antara Megawati dan SBY hingga saat ini terasa dingin,” pungkas Ginting. (*)
Kita Butuh Pemimpin Berani
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih TUNTUTAN people power terus menggema, masyarakat sudah mengetahui situasi makin memburuk, keadaan mulai rusak dan membusuk, berbahaya untuk kehidupan yang damai dan berkeadilan. Sekelompok masyarakat nanar, bingung, putus asa dan kehilangan arah, pasrah tersisa hanya berharap ada pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Keadaan yang makin memburuk tidak bisa hanya dilawan hanya dengan narasi semangat harapan. Harus dihadapi dengan tindakan cepat dan realistis. Keadaan harus dengan tindakan riil, akan menunjukkan kekuatannya sebagai pejuang yang termotivasi mampu bergerak dan menurunkan mental penguasa. Datang dan munculnya gerakan masih mencari bentuknya. Ragu-ragu bertindak sama artinya sedang masuk dalam kondisi yang fatal. Seruan people power bisa menjadi Imun, rezim tetap besar kepala karena meyakini people power tidak akan terjadi Tanpa perlawanan akan sama sedang menyamarkan diri karena ketakutan, itu petunjuk perjuangan akan jalan di tempat. Tanpa riil melakukan perlawanan tidak akan pernah mendapatkan kemenangan dan perdamaian Keadaan akan bisa berbalik arah, penguasa zalim akan membunuh kita ketika mereka menemukan momentumnya. Tokoh sepuh dari Jogjakarta Prof. Dr. H. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. memberikan secercah saran; \"melihat kondisi sekarang menurut hemat saya sangat dibutuhkan people power (PP) untuk stop keberingasan rezim yang semakin menyengsarakan rakyat. Untuk gerakkan PP ada 4 syarat utama, (1) ada sejumlah issue penting yang menyangkut hajat rakyat dan bangsa, (2) ada pimpinan PP yang handal, (3) ada dukungan dana cukup, di samping dukungan setiap warga, dan (4) time frame (akumulasi) gerakan pendudukan kantor strategis (Istana dan Senayan/gedung MPR/DPR/DPD, sebagai simbol perlawanan.\" Sedangkan dari tokoh dan aktifis kampus, Managing Director · Political Economy and Policy Studies (PEPS) Prof. Anthony Budiawan: \"Minta pendapat mereka bagaimana kondisi negara saat ini menurut mahasiswa. Kalau mereka berpendapat masih normal saja, maka tidak akan ada gerakan atau protes masif\". Prof. Rizal Ramli mengatakan, \"Saat ini kita butuh pemimpin yang berani, sikap yang tegas dengan segala konsekuensi dan resikonya. Sudah tidak waktunya lagi bicara soal teori ini itu, saat berdialog yang lebih riil riil selesaikan Jokowi. Perubahan bukan karena kita ingin perubahan tetapi kondisi objektif yang memaksa harus terjadinya perubahan. Saat ini kondisi objektif sudah matang untuk terjadinya perubahan\" ***
Mahfud MD: Panglima Tertinggi TNI Tidak Akan Netral Itu Pasti
Jakarta, FNN – Pernyataan-pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD, hampir selalu quotable, sehingga selalu dikutip oleh berbagai media. Mahfud yang kadang bisa kita baca sebagai seorang etikus, kadang berubah menjadi politikus. Mahfud juga kadang berada di dalam dilema, tapi kadang berfungsi sebagai pembisik keadaan istana. Baru-baru ini, dalam forum literasi digital yang dibuka oleh Mahfud MD dan dihadiri juga oleh Panglima TNI, Mahfud sempat berbisik kepada Panglima TNI, Yudho Margono, dan menyatakan bahwa Pemilu 2024 akan aman kalau TNI dan polisi netral. Mahfud wanti-wanti agar polisi dan TNI netral. Ini berarti, Mahfud membaca ada kecenderungan bahwa polisi tidak netral. “Jadi, kalau Mahfud kita masukkan ke dalam psikogram, peta batin Mahfud, kita bisa lihat bagaimana Mahfud itu mencemaskan keadaan sebenarnya. Jadi, kecemasan Mahfud menyebabkan dia harus bicara atau mengungkapkan sesuatu supaya bisa di-quote oleh publik,” ujar Rocky Gerung dalam YouTube Rocky Gerung Official edisi Rabu (14/5/23), menanggapi pernyataan Mahfud MD. Jadi, lanjut Rocky, sebetulnya pernyataan Mahfud ini mengarah pada kecemasan dirinya, bukan kecemasan Jokowi. Dia cemas bahwa publik tidak tahu apa yang sedang berlangsung. Untuk itu, pernyataan Mahfud harus kita terjemahkan secara psikologi terbalik bahwa kalau Mahfud mengatakan Pemilu akan damai jika TNI atau Polri tidak ikut campur atau cawe-cawe, itu artinya Mahfud sebetulnya tahu secara sadar apa yang sedang berlangsung. Itu sejajar dengan aktivitas presiden sekarang yang ikut cawe-cawe. “Kalau presiden ikut cawe-cawe, itu artinya presiden menginginkan intervensi dia ke dalam politik. Tentu melalui kekuasaan yang dimiliki, karena bagaiamanapun dia adalah Panglima tertinggi TNI, Polri sekarang berada di bawah presiden. Jadi, Mahfud bagus juga tuh, mengatakan bahwa cawe-cawe presiden bisa berakibat penggunaan TNI dan Polri untuk kepentingan dia. Jadi bagus sebagai pesan tersembunyi,” ujar Rocky. Dalam diskusi bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu Rocky juga mengatakan bahwa sebetulnya Mahfud mau bilang memang presiden tidak akan netral karena presiden sudah mengatakan bahwa dia tidak netral, dia akan berpihak. Bagian ini tentu dimengerti oleh Mahfud sebagai kondisi riil di istana. Tetapi, Mahfud juga mengerti bahwa presiden tidak netral kalau misalnya TNI bisa dipengaruhi. Tetapi, TNI tidak mungkin bisa dipengaruhi. TNI sudah mengambil jarak. Lain halnya dengan polisi. Menurut Rocky, Polisi masih dianggap bagian dari kekuasaan Jokowi karena masih ada semacam kenangan samar-samar bahwa pada tahun 2019 polisi terlihat memihak. Walaupun dibantah, tetapi publik sudah mengambil kesimpulan bahwa polisi berpihak. “Jadi, Mahfud mau mengingatkan bahwa polisi pernah tidak netral. Itu dengan maksud sekarang netral dong,” ujar Rocky. Mahfud, kata Rocky, tahu semua laporan tentang inetralitas Polri, baik dari laporan langsung atau cerita-cerita yang dia kumpulkan dari daerah, yang menunjukkan bahwa pola itu masih ada. Sementara itu, kita tahu bahwa memang dalam segi pengendalian politik, polisi terlihat tidak netral atau terasa tidak netral. Itu peristiwa di 2019 yang mungkin sekali sudah berubah hari ini, tetapi kenangan itu ada pada Mahfud. “Jadi, Mahfud sebetulnya hanya mengompilasi kondisi di 2019, lalu bikin proyeksi. Proyeksi itu sebetulnya dia lakukan supaya jangan terjadi pengingkaran fungsi polisi dan tentara, sehingga rakyat akhirnya enggak percaya bahwa Pemilu bakal netral. Tetapi, Mahfud omongkan atau tidak omongkan memang sudah terlihat Pemilu tidak akan netral. Justru Panglima tertinggi sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak akan netral. Jadi Jokowi tidak akan netral itu pasti,” pungkas Rocky. (sof)
PT DKI Jakarta Menguatkan Vonis 15 Tahun Surya Darmadi
Jakarta, FNN - Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap pemilik Darmex Group Surya Darmadi, yakni 15 tahun penjara dan membayar uang pengganti sekitar Rp42 triliun.“Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 23 Februari 2023 nomor 62/Pid.Sus-TPK/2022/PN Jkt Pst,” ujar majelis hakim PT DKI Jakarta yang diketuai Mohammad Lutfi, dikutip dari salinan putusan nomor 18/PID.SUS-TPK/2023/PT DKI, diakses di Jakarta, Rabu.Sebelumnya, pada 23 Februari 2023, Hakim Ketua Fahzal Hendri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis Surya Darmadi dengan hukuman 15 tahun penjara dalam perkara tindak pidana korupsi usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin di Provinsi Riau periode 2004—2022.Majelis hakim menilai Surya terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer pertama Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta dakwaan primer ketiga Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Selain itu, terdakwa juga dituntut membayar uang pengganti sebesar uang yang dia dapatkan dari perbuatan pidana tersebut sebesar Rp2.238.274.248.234,00 dan uang pengganti kerugian perekonomian negara sebesar Rp39.751.177.520,00.\"Apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti selambat-lambatnya dalam kurun waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta benda dapat disita dan dilelang atau diganti dengan pidana tambahan selama 5 tahun,\" kata Fahzal.Terkait dengan hal yang memberatkan, di antaranya majelis hakim menilai perbuatan Surya tidak mendukung program pemerintah terkait dengan pemberantasan korupsi. Kedua, tindakan terdakwa telah memicu kemunculan konflik antara perusahaannya dan masyarakat setempat.Sementara itu, hal-hal yang meringankan, di antaranya Surya telah lanjut usia, bersikap sopan di persidangan, melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan seperti membangun infrastruktur, perumahan karyawan, sekolah, dan rumah ibadah, memiliki 21.000 karyawan, dan taat dalam membayar pajak.(ida/ANTARA)
KPK Menyelidiki Dugaan Korupsi di Kementerian Pertanian
Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini telah membuka penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Informasi tersebut dibenarkan Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu. \"Saat ini KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di Kementan,\" kata Asep saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Selasa. Meski demikian Asep belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kasus tersebut karena prosesnya masih dalam tahap penyelidikan. \"Betul, masih dalam proses penyelidikan, mohon maaf belum ada informasi yang bisa kami sampaikan,\" ujarnya.Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri membenarkan perihal penyelidikan tersebut dan KPK telah memeriksa sejumlah pihak terkait dugaan tindak pidana korupsi tersebut. \"Sejauh ini yang kami ketahui benar, tahap proses permintaan keterangan kepada sejumlah pihak atas dugaan korupsi di Kementan RI,\" kata Ali. Ali menyebut penyelidikan tersebut sebagai tindak lanjut laporan masyarakat yang diterima KPK dan ditindaklanjuti dengan proses penegakan hukum. Ali mengatakan dirinya belum bisa memberikan penjelasan detail soal kasus tersebut karena prosesnya masih dalam tahap penyelidikan. \"Karena masih pada proses penyelidikan tentu tidak bisa kami sampaikan lebih lanjut,\" tuturnya.(ida/ANTARA)