ALL CATEGORY

Pejabat Negara Bermental Jongos

Perang asimetris saat ini sudah menelan korban MPR digusur bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara musyawarah, oleh partai politik melalui pemilu langsung one-man one-vote dalam rekrutmen eksekutif.  Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih DRAKOR berjudul The Emperor: Owner of the Mask. Kisahnya tentang raja palsu yang dijadikan boneka. Namun ketika raja asli hendak kembali ke Istana, justru terjadi perebutan tahta antara keduanya. Serangan Oligarki makin ganas, semua potensi yang akan menggangu kekuasaannya mencengkeram negara dengan segala cara akan dilibas dan dihabisi. Aspirasi masyarakat agar negara kembali ke UUD 1945 asli, akan dijadikan mangsa politik oleh para bandar dan bandit politik untuk menunda pemilu dan menambah masa jabatan presiden. Model pencitraan masih saja dilakukan oleh Presiden, bergaya lugu, lugas dan seolah-olah tampil sebagai negarawan. Presiden Joko Widodo menegaskan tak setuju dengan usul masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tiga periode. Ia pun merasa curiga pihak yang mengusulkan wacana itu justru ingin menjerumuskannya. “Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” ungkap Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12/2019). Beda waktu dalam hitungan detik dan menit sudah kembali kewatak aslinya. Dengan percaya diri dan dibalut diplomasi gaya katak tanpa beban dan dosa, Presiden mengatakan bahwa itu terserah rakyat, saya akan taat pada undang undang. Logika dan nalar politik normal diterabas, seolah-olah semua manusia dungu tidak bisa menangkap ke-dungu-an yang muncul. Begitu ada aturan yang menghambat segara diganti dengan instrumen aturan baru melindas aturan lama. Semua masalah kenegaraan yang melibas dan menabrak konstitusi bersumber dari Presiden sendiri, lepas karena tekanan atau apapun alasan politiknya. Menambah masa jabatan tiga tahun atau nafsu keinginan berkuasa 3 periode atau seumur hidup, sama saja dengan, akan menabrak konstitusi. Tampaknya rekayasa ini setali tiga uang (drie pennies). Artinya, sepaham atau sama dan tidak ada bedanya, rekayasa Oligarki dengan keinginan Jokowi sendiri. Bahwa Negara Indonesia itu saat ini tidak ada atau tidak hadir, karena negara, rezim, dan presiden saat ini hanya boneka kapitalis yang tidak sesuai dengan cita cita kemerdekaan bangsa Indonesia (Emha Ainun Najib alias Cak Nun). Sesungguhnya setelah penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002, kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin menjauh dari amanat para pendiri bangsa sudah makin jelas bagi mereka yang jeli, peka dan terlatih. UUD45 adalah pernyataan kehendak bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, kehendak itu kini makin surut karena dikalahkan dalam perang asimetris yang dilancarkan kekuatan  asing nekolimik yang bersekongkol dengan para kaki tangan domestiknya. Perang asimetris saat ini sudah menelan korban MPR digusur bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara musyawarah, oleh partai politik melalui pemilu langsung one-man one-vote dalam rekrutmen eksekutif. Parpol berubah menjadi algojo rakyat memonopoli secara radikal, aristektur legal politik dirancang untuk mengkonsentrasikan kekuasan ke segelintir elit parpol, sementara itu Pemilu dijual murah bahkan seperti dihibahkan secara cuma-cuma kepada para bandit, bandar, dan badut politik. Perlu diingat bahwa Pemilu yang jujur dan adil hanya mungkin dilaksanakan oleh bangsa yang merdeka, bukan bangsa yang bermental jongos yang mudah diintimidasi oleh politik uang, BLT dan bagi-bagi sembako menjelang pemilu dan hidup dari hutang.  Para pejabat dengan logika politik pas-pasan karena minimnya pengalaman dan miskin wawasan serta kering kerontang dari kognisi pemahaman sejarah serta kosong dari asupan betapa sakralnya UUD 1945, malah berjoged ria dengan bergaya manusia kesurupan dan bertingkah laku seperti jongos neokolonialisme. Kondisi ini diperparah oleh partai politik tidak pernah mampu melakukan pendidikan politik, bahkan partai politik hanya bisa hidup dari political illiteracy dan penjongosan politik konstituen mereka. Bergaya seperti raja, the government can do no wrong (Daniel M Rosyid). Para pejabat negara yang bermental jongos telah menyeret, membuat dan membawa Republik ini kehilangan akal sehat dan kemampuannya untuk beradaptasi secara cepat dan tangkas sehingga menjerumuskan bangsa ini ke tepi jurang failed state. (*)

Gde Siriana Ingatkan Bahaya Manipulasi Media dan Medsos yang Dipakai untuk Membelah Masyarakat

Bandung, FNN - Musyawarah Wilayah V IMSII (Ikatan Mahasiswa Sistem Informasi Indonesia) mengadakan Seminar Nasional dengan judul “Mahasiswa, Kampus dan Politik: Menuju Demokrasi Ideal dengan Membawa Perubahan Melalui Teknologi Informasi” di Auditorium Gedung Miracle Universitas Komputer Indonesia, di Bandung, Kamis (15/12/22). Seminar diikuti oleh sekitar 200 mahasiswa dari 5 kampus di Jawa Barat dan dihadiri oleh Kakesbangpol Provinsi Jawa Barat mewakili Gubernur, Ridwan Kamil dan Rektor Unikom dengan pembicara Hendi Budi Satrio (Direktur Eksekutif Kedai Kopi) dan Gde Siriana Yusuf (Direktur Eksekutif INFUS, Indonesia Future Studies). Dalam paparannya Gde menegaskan bahwa sosial media (sosmed) hari ini tidak hanya media untuk menyampaikan gagasan atau pendapat, akan tetapi juga media framing dan manipulasi untuk membelah masyarakat. Dari kasus Sambo, Tambang ilegal dan Kanjuruhan, serta kasus lainnya membuktikan bahwa setelah terjadi polarisasi yang tajam di masyarakat, itu dapat berubah menjadi solidaritas sosial. Artinya ada isu tertentu yang dapat membatasi upaya-upaya membelah masyarakat yaitu isu kemanusiaan. “Dan ini harus diperhatikan Gen Z yang saat ini berstatus mahasiswa, terkait isu-isu yang dapat mendapat dukungan masyarakat. Oleh karena itu peran Gen Z dalam demokrasi bukan hanya terkait Pemilu 2024, namun juga demokrasi digital dalam kehidupan sehari-hari,” papar penulis buku Keserakahan di Tengah Pandemi itu. Gde menegaskan bahwa ada empat indikator dalam demokrasi yakni: Pemilu, Kebebasan Pers dan Kebebasan Pendapat, Law Enforcement, dan upaya yang sungguh dari pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Adapun tantangan mahasiswa di era demokrasi digital, kata Gde adalah apakah mahasiswa masih berperan sebagai agent of change di era digital? Seperti apa peran mahasisws di tengah kondisi bahwa setiap orang dapat menjadi citizen journalism atau sumber berita yang dapat mempengaruhi opini publik. Di sisi lain, lanjut Gde, mahasiswa yang adalah bagian dari digital natives, hari ini justru belum bisa memanfaatkan medsos untuk menyuarakan kebenaran secara optimal. Gde menambahkan pemanfaatan medsos untuk melakukan kritik atau tuntutan terhadap pemerintah, dan membangun solidaritas sosial, saat ini juga belum masif. Berbeda dengan yang terjadi pada fenomena solidaritas masyarakat di Mesir. Rezim berganti diawali oleh gerakan medsos, kemudian diakhiri dengan jatuhnya Hosni Mubarak. Lebih lanjut Gde menegaskan bahwa yang dibutuhkan mahasiswa hari ini adalah sistem informasi untuk mengawal demokrasi, bukan hanya skill saja, tetapi kesadaran sosial dan politiknya. “Tugas mahasiswa Zilenial hari ini, masih sama dengan tugas mahasiswa di era sebelumnya, yakni menyuarakan kebenaran dan melawan ketidakadilan,” paparnya. Sementara terkait Pemilu 2024, Gde berpesan bahwa mahasiswa jangan terjebak dengan agenda parpol dan relawannya. “Justru mahasiswa harus mampu menjelaskan manipulasi Pemilu, sebagai kelompok yang rasional,” pintanya. Jadi, lanjut Gde, tantangan Zilenial di era digital dalam konteks politik, apakah pengetahuan, skill dan keterlibatan zilenial dalam medsos otomatis membangun kesadaran sosial dan politik Zilenial? Karena itu Zilenial tidak cukup belajar otodidak di sosmed, akan tetapi diperlukan literasi-literasi melalui kelompok-kelompok diskusi mahasiswa lintas kampus, agar mahasiawa memahami konteks secara utuh dan ada pisau analisis teorititisnya. Gde menegaskan bahwa peran Zilenial dalam membangun demokrasi sangat penting, mereka bertugas sebagai gerakan  moral dan agen perubahan. “Karena pengawasan terhadap kekuasaan tidak dapat mengandalkan institusi negara saja, tetapi harus day to day dilakukan oleh civil society,” pungkas kandidat Doktor Ilmu Politik Unpad, Bandung itu. (sws)

Partai Gelora Sudah Memiliki 'SIM, STNK dan Plat Nomor' untuk Ikut Pemilu 2024

Jakarta, FNN- Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia secara resmi ditetapkan sebagai Pemilu 2024 dan mendapatkan nomor urut 7. Sehingga ibarat sebuah mobil, maka Partai gelora telah memiliki SIM, STNK dan Plat Nomor untuk mengemudikan mobil tersebut, di jalan raya. \"Ini hari bersejarah bagi Partai Gelora berhasil lolos menjadi peserta Pemilu. Sekarang sudah dapat SIM, STNK dan Plat Nomor untuk maju di Pemilu 2024,\" kata Rico Marbun, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Gelora dalam keterangannya, Kamis (15/12/2022). Hal itu disampaikan Rico Marbun saat menjadi narasumber Gelora Talks Edisi Spesial \'Peluang Partai Gelora pada Pemilu 2024\' yang digelar secara daring Rabu (14/12/2022). \"Jadi setelah kerja keras ini, Partai Gelora harus 100 kali kerja keras lagi, sehingga bukan hanya lolos parliamentary threshold (PT) saja, tapi juga dapat suara dan kursi di DPR secara signifikan,\" katanya. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Median ini, Pemilu 2024 menjadi peluang bagi Partai Gelora untuk meraih kemenangan, meskipun dalam perpolitikan di Indonesia sebagai pendatang baru. \"Jadi kita telah melakukan survei, dan saat publik ditanya mengenai situasi krisis sekarang, apakah membutuhkan partai baru atau tidak. Ternyata yang membutuhkan partai baru itu, sebanyak 40,6 persen dibandingkan yang tidak 30 persen,\" ungkapnya. Artinya, publik menginginkan partai baru yang bisa membawa perubahan, mengingat kondisi rumah tangga masyarakat saat ini semakin berat. \"Jadi Partai Gelora ini didirikan, karena kegelisahan akan terjadinya krisis, yang saat itu tidak tahu kapan terjadinya dan ternyata krisis itu terjadi sekarang. Dari survei ini, nyambung antara kegelisihan Partai Gelora dengan situasi krisis sekarang,\" katanya. Ketua Pokja Verifikasi Partai Gelora Achmad Chudori menegaskan, seluruh DPD yang diikutkan dalam proses verifikasi faktual 100 persen telah memenuhi syarat (MS). \"Pada awalnya memang ada beberapa daerah di tiga provinsi, yang belum memenuhi syarat (BMS) seperti di Kota Sabang dan Kabupaten Bandung. Kemudian kita lakukan perbaikan, dan alhamdulillah semua Memenuhi Syarat 100 persen,\" kata Chudori. Bahkan dalam proses verfak, kata Chudori, Partai Gelora mendapatkan penghargaan dari beberapa KPUD di daerah seperti di Nabire dengan predikat verifikasi tercepat. \"Saat diverifikasi, kader kita ada yang lagi kerja di sawah, cari ikan di laut, lagi nyupir, lagi di rawat di rumah sakit, bahkan ada yang lagi nikahan seperti di Sumedang diverifikasi, karena memang teman-teman KPU tidak pernah kasih tahu kapan datang verifikasi. Jadi verifikasi di kita itu, bener-bener, bukan kaleng-kaleng,\" ujarnya. Ketua DPW Partai Gelora DKI Jakarta Triwisaksana mengatakan, dengan adanya verifikasi administrasi dan verifikasi faktual ini, juga membawa berkah bagi Partai Gelora DKI. Sehingga prosesnya verifikasinya cepat dan tidak ada perbaikan sama sekali. \"Kita menyebut berkah tersebut dengan 3T, yakni T pertama Tekad, T kedua Terbukti dan T ketiga Telaten,\" katanya. Menurut dia, dampak dari verifikasi partai politik ini, membuat tekad kader Partai Gelora DKI naik tajam, karena mereka semua harus fokus mengorbankan waktunya, tenaga, dana dan lain-lain agar Partai Gelora menjadi peserta Pemilu 2024. \"Dan terbukti, pengurus dan anggota kita saat diaudit melalui verpol, nggak kaleng-kaleng. Kita juga telaten saat menyetor data ke Sipol, semua kita sisir mulai dari umur, alamat dan lain-lain, karena begitu salah memasukkan langsung TMS,\" katanya. Hal senada juga disampaikan Sekretaris DPW Partai Gelora Riau Iskandar. DPW Riau, kata Iskandar, juga mendapatkan berkah dari pelaksanaan verifikasi parpol, dengan mengikuti dua kali tahapan verfak, verfak pertama dan verfak perbaikan. \"Sehingga kita mendapatkan panggung dua kali untuk melakukan konsolidasi seluruh sumber daya kita. Ini jadi latihan kita untuk lebih siap memenangi Pemilu 2024,\" kata Iskandar. Sementara Ketua DPW Partai Gelora Kalimantan Timur (Kaltim) Hadi Mulyadi menambahkan, Partai Gelora memiliki tim yang sangat solid di setiap wilayah, termasuk di Kaltim. Sehingga ketika diverifkasi, semua bisa terlewati. \"Kalimantan Timur luas wilayah lebih luas dari Pulau Jawa, tetapi alhamduillah semua struktur dan anggota bisa terverifikasi. Partai Gelora satu-satunya partai di Kalimantan Timur tidak ada perbaikan saat verifikasi parpol,\" tutup Hadi. (Lia)

Menyesakkan Dada, Tagihan Air Tiba-tiba Naik Ribuan Persen

Tangerang, FNN – Sejumlah pelanggan air Perusahaan Umum Daerah Tirta Benteng, Kota Tangerang, Provinsi Banten, kaget karena tagihan air yang melonjak sampai ribuan persen. Mereka tidak paham, tagihan tiba-tiba melompat, padahal pemakaian biasa. Bahkan, ada yang tidak menggunakannya, tetapi tagihan naik luar biasa dan menyesakkan dada. Lonjakan tagihan itu mulai terasa sejak Agustus 2022. Akan tetapi, yang mengagetkan tagihan Oktober, November, dan Desember 2022. Seorang pelanggan di Poris Pelawat, H. Suyusi sangat kaget ketika tagihan November menjadi Rp 2 juta. Padahal sebelumnya cuma Rp 75.000. Ketika menyampaikan pengaduan ke kantor Perumda Tirta Benteng, di Jln. Kompleks PU Prosida Bendung Pintu 10, Mekarsari, ia mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan. “Disuruh mencicil. Masak tiba-tiba naik tinggi sekali,” katanya. Kenaikan tagihan air serupa juga dialami Yanto Efendi, Mairizal, dan sejumlah pelanggan lainnya yang ditemui di tempat pengaduan. Demikian juga beberapa pelanggan yang ditemui di rumahnya di kawasan Cipondoh. Mereka kaget tagihan air tiba-tiba naik selangit. Seorang pelanggan di Poris Plawat Utara menyebutkan, tagihan November 2022 tiba-tiba menjadi Rp 860.000. Padahal, biasanya paling tinggi Rp 269.000. Yang lebih mengagetkan lagi, seorang pelanggan di daerah Cipondoh tiba-tiba ditagih Rp 6 juta. Alasan pihak Perumda Tirta Benteng, karena ada kebocoran halus selama enam tahun. “Saya juga heran, kok enam tahun baru ketahuan sekarang. Aneh juga,” kata pelanggan yang enggan disebutkan namanya itu. Selain mengeluh karena tagihan tiba-tiba melonjak, sejumlah pelanggan lain juga mempertanyakan pelayanan air dari perusahaan daerah tersebut. Sebab, air yang mengalir ke rumah pelanggan sering kecil, tidak hanya di pagi hari, tetapi juga di siang hari. Seperti Kamis, 15 Desember 2022 siang kemarin, air yang mengalir sangat kecil. “Lebih gede kucuran air kencing,” kata seorang pelanggan. Selain kecil, air yang mengalir juga sering mati terutama hari Sabtu dan Ahad. Tanpa sebab dan pemberitahuan, tiba-tiba air mati. “Padahal, sedang mencuci pakai mesin cuci. Mati tiba-tiba kan bisa merusak mesin cuci,” kata seorang ibu rumah tangga. Keluhan lainnya, air yang mengalir sering kotor atau keruh. Kejadian seperti itu biasanya malam hari. “Waktunya kayak diputar. Kadang pukul 23.00, kadang pukul 01.00, kadang pukul 03.00. Kadang menjelang subuh,” kata seorang pelanggan yang ketika pulang dari kantor pkl 22.30, dan ketika mau mencuci muka sekitar pukul 23.00 airnya keruh. Pihak Perumda Tirta Benteng yang dihubungi belum memberi jawaban. Syarif yang mengaku bagian Hubungan Masyarakat (Humas) perusahaan tersebut belum menjawab pertanyaan yang diajukan lewat WhatsApp. Dia hanya menanyakan nomor langganan yang mengeluh tersebut. Aneh juga. Sudah tagihan dan pelayanan menyesakkan dada dan sadis, malah yang diminta nomor langganan. (Anw)

Deddy Corbuzier Terancam Dipecat dari Militer

Jakarta, FNN – Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional (UNAS) Selamat Ginting menegaskan, sebagai militer Tituler, pesohor Deddy Corbuzier terancam dipecat dari dinas militer, jika tetap menjalankan usaha dan bisnisnya sebagai youtuber, podcaster, maupun content creator. Hal ini dengan tegas diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. “Sudah jelas dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Pasal 39 Ayat 3, prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis. Deddy bisa dipecat jika terus menjalankan bisnisnya. Saya maklum, karena barangkali Mas Deddy tidak memahami hal tersebut,” tegas Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (15/12/2022). Ia menanggapi pernyataan Deddy Corbuzier dalam akun media sosialnya @mastercorbuzier yang dikutip sejumlah media massa, Rabu (14/12/2022). “Just to confirm, saya tidak akan mengambil gaji dan tunjangan apapun,” tulis Deddy Corbuzier. Diterangkan Deddy, gaji dan tunjangan yang seharusnya didapatkannya akan dikembalikan kepada negara dan dipakai untuk prajurit TNI yang lebih membutuhkan. “Semua saya kembalikan ke negara untuk yang lebih membutuhkan,” tandasnya. Menurut Selamat Ginting, persoalannya bukan pada kalimat akan mengembalikan gaji dan tunjangannya sebagai militer tituler, melainkan pada larangan bisnis bagi anggota TNI, seperti dalam UU tentang TNI. “Substansinya bukan menolak gaji atau tunjangan, melainkan larangan berbisnis bagi anggota TNI itu sudah diatur dan ada konsekuensi hukum pidana maupun disiplin militer,” kata Ginting yang selama 30 tahun menjadi wartawan bidang politik pertahanan keamanan negara. Dikemukakan, jika melihat informasi yang beredar di sejumlah media bahwa penghasilan Deddy Corbizier sebagai pesohor, sebulannya bisa mencapai lebih dari Rp 5 miliar. Silakan nanti Deddy yang menjelaskan hal ini. Sementara jika sebagai Letnan Kolonel (Letkol) Tituler, penghasilan sebulannya berkisar Rp 13 juta, karena tituler dengan militer aktif gajinya agak berbeda. Untuk Letkol non tituler sekitar Rp 15 juta. “Apakah sanggup Deddy menerima gaji Letkol Tituler yang (bedanya) seperti bumi dengan langit dibandingkannya sebagai pesohor,” tanya Ginting. Ia menceritakan saat meliput di lingkungan TNI, ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Wismoyo Arismunandar pada sekitar 1993-1995 memerintahkan Asisten Pengamanan (Aspam) KSAD (kini disebut Asisten Intelijen KSAD) untuk memeriksa sejumlah perwira menengah yang diduga memiliki bisnis.  “Ada sejumlah kolonel yang memiliki bisnis penginapan kelas melati juga kontrakan rumah. Kolonel-kolonel itu beralasan gaji militer tidak cukup, sementara anak-anaknya sedang melanjutkan perguruan tinggi. Ada juga yang kaya, karena mertuanya sultan di suatu daerah,” ungkap Selamat Ginting. Namun, lanjut Ginting, pimpinan TNI Angkatan Darat, tidak menerima alasan-alasan tersebut. Mereka diminta memilih tetap menjadi anggota aktif Angkatan Darat atau menjadi pebisnis yang memiliki penghasilan di luar dinas militer. “Mereka akhirnya dengan berat hati meninggalkan dunia militer dengan konsekuensi pensiun dini. Padahal para kolonel itu lulusan Akademi Militer dan sudah lulus sekolah Seskogab (kini disebut Sesko TNI) serta tinggal selangkah lagi menjadi perwira tinggi,” ungkap Ginting, menceritakan. Maka, lanjut Ginting, jika Letkol (Tituler) Deddy Corbuzier tetap menjalankan bisnisnya sebagai pesohor, masyarakat bisa mengadukannya ke polisi militer untuk diproses hukum menggunakan hukum pidana militer dan disiplin militer. Informasi seperti ini harus diketahui Deddy sebagai bagian dari dinas militer. “Karena Deddy bagian dari Angkatan Darat, maka Asisten Intelijen KSAD bisa segera memanggil Deddy untuk meminta kepastian akan terus menjadi militer tituler atau sebagai pebisnis. Harus pilih salah satunya. Semoga Deddy bisa memilih secara bijaksana kondisi ini,” ungkapnya. Jalan lainnya, menurut Ginting, Kementerian Pertahanan, Mabes TNI dan Mabes Angkatan Darat, bisa menyelesaikan atau menyudahi posisi Deddy sebagai tituler, sebab militer tituler itu ada batas waktunya. “Deddy pilih mengundurkan diri dengan hormat atau pilih diberhentikan dengan hormat? Semua pihak mesti bijak dalam kasus ini, jangan sampai menjadi preseden tidak bagus bagi institusi militer maupun bagi Deddy yang kemungkinan tidak paham tentang aturan militer yang sangat ketat,” ujar Ginting. Selamat Ginting memberikan contoh bagaimana Letkol CAJ (Tituler) Ahmad Idris Sardi menjalankan tugas di Pusdik Ajudan Jenderal Angkatan Darat selama lebih dari tiga tahun menjadi guru militer bagian musik. “Idris Sardi menerima tanda jasa negara berupa Satyalancana Dwidya Sistha dari Presiden RI, dalam jabatannya sebagai guru atau instruktur militer di Pusdikajenad sekurangnya tiga tahun. Jadi tidak sembarangan menerima pangkat maupun tanda jasa negara,” kata Ginting, Ketua Bidang Politik Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas. (mth/sgo)

Qatar dengan Rp 2.880 Triliun Bisa Membangun Infrastruktur Modern, Tapi Indonesia dengan Hutang Rp 6.000 Triliun Sudah Bangun Apa?

Kasihan rakyat Indonesia hidup mereka tidak diberkahi Allah, sehingga hidup rakyat Indonesia makin hari makin susah ditambah lagi dengan bencana yang datang bertubi-tubi. BUKAN mau banding-bandingkan tapi ini kenyataan dan fakta. Qatar memang negara kecil di Timur Tengah. Sumber kekayaan alamnya tidak kalah, justru  lebih banyak Indonesia. Mereka hanya punya minyak dan gas alam. Tapi, kita punya segala-galanya. Kalau kata Koes Plus, orang bilang tanah kita tanah surga tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Juga kita punya minyak dan gas serta tambang melimpah. Namun yang membedakannya, meski Qatar negara kerajaan monarki dan kita Indonesia republik tapi kedua negara ini banyak sekali perbedaan yang sangat mencolok, diantaranya adalah dari orang yang diberi amanat pegang jabatan memerintah. Qatar konstitusi mereka diambil dari Al-Quran. Kalau kita konstitusinya buatan manusia. Bahkan, sekarang setelah diubah lagi menjadi berbau oligarki setan jahannam. Dan orang yang memegang jabatan di Indonesia tidak seamanah dari para Sultan dan Raja di Qatar. Walaupun Sultan di Qatar sudah kaya tajir melintir tapi mereka tetap masih ibadah shalat 5 waktu karena takut sama Tuhan. Kalau di Indonesia, sedangkan Tuhan gak ditakuti, sebagaimana kata Prof. Dr. Salim Said. Apalagi shalat 5 waktu. Bahkan Tuhanpun dibohongin. Kelihatan pakai baju koko, kopiah, dan sorban tapi nyatanya musuh utamanya adalah Ulama dan Islam. Qatar negeri yang diberkahi Allah, sehingga rizkinya melimpah hingga mereka berani menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepakbola. Coba lihat hanya dengan Rp 2.880 triliun Qatar bisa membangun rumah sakit, rel kereta api, stadion, jalan bandara baru dan infrastuktur-infrastruktur lain. Kesemuanya dibangun dengan megah dan super modern. Nah, bagaimana dengan Indonesia yang hutangnya sampai Rp 6.000 triliun bahkan mau ditambah lagi. Apa yang sudah dibangun pemerintah Indonesia? Jangankan membangun, membayar pesanannya ke rakyat berupa alat pertaniannya saja gak bisa. Itu karena pemimpin Indonesia hidup dalam kebohongan dan maling uang rakyat. Kalau gak gitu Bupati dari daerah gak ngamuk-ngamuk di DPR dengan menyebut Departemen Keuangan itu diisi oleh para setan dan iblis. Bukan hanya setan dan iblis lagi tapi mereka kumpulan bandit-bandit berdasi yang suka menguras harta rakyat. Kasihan rakyat Indonesia hidup mereka tidak diberkahi Allah, sehingga hidup rakyat Indonesia makin hari makin susah ditambah lagi dengan bencana yang datang bertubi-tubi. Sudah susah penuh bencana lagi dan presiden gak mau tahu tetap bikin pesta meriah bagai peri dari kayangan dengan kereta kuda kencananya. Dia pikir dia raja. Dan mau berusaha menjabat 3 periode, padahal menyiksa rakyatnya. Kepemimpinan rezim ini harus segera dihentikan kalau negeri ini mau berkah. Karena gak akan berkah kalau negeri ini bergaya-gaya kayak komunis. Kapan People Power ya?  Sebelum negeri ini hancur dijual ke China. Wallahu A\'lam ... (*)

Dewan Pers Akan Cabut Kartu PWI Pak Kapolsek, 14 Tahun Nyamar Jadi Wartawan

Jakarta, FNN - Berita tentang seorang wartawan atau kontributor TVRI  yang bikin kaget karena tiba-tiba saja diangkat menjadi Kapolsek di Karadenan, Blora, Jawa Tengah, kembali dibahas dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Rabu (14/12/22) bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.   Seperti diketahui bahwa selama 14 tahun terakhir, Umbaran Wibowo memang dikenal sebagai wartawan, yaitu sebagai kontributor TVRI wilayah Jawa Tengah. Tetapi, Senin,12 Desember 2022, kemarin Umbaran bikin geger karena dia tiba-tiba dilantik menjadi Kapolsek dengan jabatan perwira. Soal ini mendapat banyak sorotan dari kalangan netizen dan tentu para pemerhati pers, khususnya yang konsen dengan kemerdekaan dan independensi pers. Dewan Pers menyatakan bahwa mereka akan meneliti dan kalau terbukti melakukan pelanggaran maka kartu keanggotaan Iptu Umbaran sebagai anggota PWI akan dicabut. Tentu harus berkomunikasi terlebih dahulu dengan lembaga pengujinya atau lembaga tempat dia bernaung sebagai wartawan, dalam ini adalah Persatuan Wartawan Indonesia. “Saya kira ini memang pasti akan dilakukan karena sudah diakui statusnya sebagai anggota Polri,” ujar Hersubeno Arief. Dengan statusnya sebagai anggota Polri aktif, dia tidak boleh lagi merangkap sebagai seorang wartawan. Dalam situs Dewan Pers juga sudah diketahui bahwa status Umbaran Wibowo jelas memang diakui sebagai wartawan PWI yang tergabung dalam PWI sebagai wartawan madya. Ini termasuk wartawan senior karena satu jenjang lagi menjadi wartawan utama. Jika sudah menjadi wartawan utama maka dia bisa menjadi pemimpin di lembaga penerbitan. Misalnya bisa menjadi Pemimpin Redaksi atau Pemimpin Umum. Polda Jawa Tengah juga sudah mengakui bahwa Inspektur Satu Umbaran Wibowo adalah anggota intelijen. Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, Komisaris Besar Polisi M. Iqbal Al Qudusi sudah membenarkan bahwa Iptu Umbaran Wibowo adalah anggota Polri. Penjelasan Iqbal ini sekaligus membantah rumor bahwaUmbaran dipecat dari anggota Polri setelah kasusnya meledak ke publik. Menurut Iqbal, Umbaran memang pernah bekerja sebagai kontributor TVRI untuk wilayah Pati. Dia bukan pegawai tetap TVRI, tetapi dia pernah ditugaskan untuk melaksanakan tugas intelijen di wilayah Blora. “Jadi, clear bahwa dia ini anggota Polri yang melaksanakan tugas intelijen dan menggunakan wartawan sebagai covernya,” ujar Hersu. Bahwa dia merupakan anggota Polri sebelumnya juga sudah diakui oleh Umbaran. Dia menyatakan bahwa menjadi wartawan adalah penugasan dari pimpinan. Umbaran adalah anggota satuan intelijen keamanan dari Polri. Artinya, Umbaran memang anggota Polri yang sengaja disusupkan ke lingkungan dunia jurnalistik. “Soal ini yang saya kira harus kita bahas dan ini serius, perlu dipersoalkan oleh komunitas media, terutama saya kira PWI, karena organisasi ini disusupi oleh Umbaran dengan menjadi anggotanya,” usul Hersu.  Dikutip dari kumparan.com, ternyata Umbaran pernah terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa di Desa Tutup, Blora. Tidak dijelaskan apa posisinya dalam penyelenggaraan Pilkades tersebut. “Pertanyaannya, apa diperbolehkan seorang anggota Polri aktif terlibat dalam kontestasi politik, sekalipun itu pada tingkat desa?” tanya Hersu. Berkaitan dengan kontestasi politik ini, Dewan Pers pernah menerbitkan edaran bahwa seorang wartawan yang maju dalam pilkada dan atau menjadi tim sukses pasangan calon, diminta untuk segera nonaktif atau mundur sebagai wartawan. Dalam aturan Dewan Pers, seorang wartawan juga tidak boleh sedang menjadi anggota partai politik, anggota legislatif, atau rangkap jabatan dengan profesi lain, termasuk di instansi swasta,  menjadi anggota Polri, atau menjadi anggota TNI. Wartawan itu juga tidak boleh menjadi humas instansi, baik swasta maupun pemerintah. Menurut Ghersu, hal ini berkaitan dengan konflik kepentingan dan independensi dari seorang wartawan, dan saya yakin Polri sebagai kelembagaan pasti sudah mengetahui. “Pertanyaannya, dengan pengakuan Polda Jawa Tengah itu, berapa banyak anggota Polri yang menyamar menjadi wartawan? Apakah praktik semacam ini biasa dan telah berlangsung lama?” tanya Hersu. Kalau mengacu pada kasus itu Umbaran Wibowo, setidaknya kasus ini sudah berlangsung selama 14 tahun. “Saya yakin ini pasti bukan satu-satunya polisi yang ditugaskan sebagai wartawan. Ini pasti ada semacam kebijakan untuk menyusupkan anggota polisi sebagai wartawan,” tegas Hersu. Sebagai lembaga penegak hukum, lanjut Hersu, harusnya Polri juga mengetahui bahwa praktik semacam itu melanggar hukum dan sangat berbahaya karena mencederai praktek demokrasi. Karena bagaimanapun juga kemerdekaan pers harus dijunjung tinggi dan itu menjadi salah satu ciri utama dari sebuah negara demokrasi. Soal lain yang disorot Hersu adalah mengapa akhirnya Polri, meskipun secara tidak langsung, membongkar penyamaran Umbaran dengan melantiknya menjadi Kapolsek. Bukankah dalam dunia intelijen, seperti CIA di Amerika, misalnya, ada kredo yang dijunjung sampai mati?  Kredonya seperti ini: “Jangan buat pengakuan apapun, bantah semuanya, dan buat serangan balik dengan berbagai tuduhan”. Sedangkan kredo intelijen Indonesia seperti ini kira-kira: “Mati tidak dicari, sukses tidak dipuji, jika sampai gagal dimaki-maki”. Tapi mungkin itu prinsip Badan Intelijen Negara. Kalau polisi mungkin menganggap kalau penugasannya selesai maka ditarik kembali dan kembali masuk organik. (sof)

Partai Politik Mencengkeram, L’etat C’est Moi: Negara adalah Saya

Presiden terpilih harus berani memacu Mahkamah Konstitusi agar berani memproses gugatan masyarakat terhadap partai politik yang melanggar konstitusi, untuk dibubarkan atau dibekukan. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PARTAI Politik mencengkeram. Merusak demokrasi, Konstitusi dan bangsa dan negara, menjelma dan membentuk pemerintahan otoritarian dan tirani, dengan cara melanggar konstitusi. Perusakan bangsa dan negara dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Menurut konstitusi, pasal 6A ayat (2), calon pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh satu atau gabungan partai politik. Arti “gabungan” harusnya bersifat suka rela, bukan memaksa. Artinya, kalau ada partai politik tidak mau bergabung dengan yang lain dalam pencalonan presiden, tetapi mau mengusulkan capres sendiri, maka menurut konstitusi dibolehkan. 2. Ketentuan konstitusi tersebut kemudian dilanggar. Undang-undang pemilu menetapkan presidential threshold 20 persen dari perolehan kursi di parlemen. Artinya, partai politik tidak bisa mencalonkan presiden kalau perolehan kursinya di parlemen kurang dari 20 persen. Maka itu, mereka dipaksa bergabung dengan partai politik lain agar dapat memenuhi threshold 20 persen. 3. Pelanggaran konstitusi pencalonan presiden ini mengakibatkan Partai Politik membentuk kartel, atau persekongkolan, yang dibungkus dengan bahasa “koalisi”. Persekongkolan ini membuat jumlah calon presiden menjadi terbatas, dan partai politik dengan mudah menguasai calon presiden, dan kemudian menguasai presiden terpilih (eksekutif), dan kabinetnya. 4. Karena partai politik menguasai legislatif (DPR) dan eksekutif (kabinet), maka check and balances tidak berfungsi: fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah tidak berfungsi. Bahkan undang-undang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan anggota DPR dan pemerintah: artinya untuk kepentingan partai politik dan kroninya (pengusaha oligarki). Antara lain, UU KUHP, KPK atau Ciptakerja. Dan sekarang sedang proses pembuatan UU PSPP (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan): penguatan atau pelemahan? 5. Selain itu, lembaga independen juga lumpuh. Semua pimpinan lembaga independen dicalonkan dan diseleksi oleh DPR maupun pemerintah. Lembaga independen dibuat menjadi tidak lagi independen, tetapi wajib mengikuti aturan main DPR dan eksekutif: partai politik dan kroninya. Misalnya KPU, Bawaslu, BPK, Komnas HAM, KPK, OJK, dan lainnya, semuanya sulit dikatakan masih independen, termasuk Bank Indonesia sudah tidak murni lagi independen? 6. Pengusaha terlibat politik secara langsung, menjadi menteri dan anggota DPR, ikut mengatur dan menentukan calon pemimpin boneka yang bisa diatur dan bisa bekerja sama dengan keinginan partai politik dan pengusaha oligarki, meskipun harus melanggar undang-undang dan konstitusi. Pengusaha oligarki tersebut berfungsi sebagai bandar, mendanai pemilu, pilpres maupun pilkada. Modal Bandar akan kembali dengan bonus berkali-kali lipat, melalui berbagai proyek APBN, “dilindungi” dengan UU. 7. Persekongkolan atau kartel ini semakin sempurna dengan menguasai yudikatif, khususnya Mahkamah Konstitusi, yang fungsinya kini berubah, dari yang seharusnya menegakkan konstitusi menjadi mengabadikan pelanggaran konstitusi, dengan membatalkan setiap upaya uji materi terhadap undang-undang yang terindikasi melanggar konstitusi. 8. Kekuasaan partai politik sangat besar dan kokoh. Presiden tidak bisa membubarkan atau membekukan partai politik. Yang bisa membubarkan DPR hanya Mahkamah Konstitusi, yang notabene terdiri dari orang-orang pilihan mereka, untuk melindungi kepentingan mereka. Terbukti, belum lama ini ada hakim Konstitusi dicopot, karena tidak sependapat dengan salah satu UU usulan partai politik. Padahal hakim konstitusi tersebut sedang menjalankan tugasnya secara profesional: Terbukti, l’etat c’est moi, negara adalah saya. Atau I am the Law: saya adalah tiran. 9. Kekuasaan presiden juga sangat besar dan kokoh. Presiden tidak perlu bertanggung jawab kepada pihak manapun, atas semua janji kampanye maupun janji selama berkuasa. Misalnya, janji pemberian tax amnesty 2016/2017 akan meningkatkan pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi. Janji tersebut ternyata tidak terbukti. Walaupun demikian, tidak ada konsekuensi sama sekali terhadap jabatan presiden. Malah Jokowi terpilih kembali pada 2019. Maka itu, (calon) presiden bisa dengan mudah mengumbar janji, yang bahkan tidak mungkin bisa terpenuhi. Tapi secara politik aman-aman saja. Presiden juga tidak bisa diberhentikan oleh DPR/MPR, kecuali melalui Mahkamah Konstitusi, diajukan oleh DPR. Ketentuan ini tentu saja menjadi double protection bagi presiden. Karena DPR tidak akan mengajukan pemberhentian presiden, dan Mahkamah Konstitusi akan melindungi presiden. Semua ini demi kepentingan partai politik dan kroninya (pengusaha oligarki), bukan untuk kepentingan rakyat dan negara. 10. Oleh karena itu, demokrasi saat ini hanya ada di atas kertas, karena sudah dimanipulasi oleh kekuasaan partai politik, yang sudah di luar batas. Partai politik sudah menjelma menjadi hukum dan konstitusi. Apa yang diinginkan dan dikatakan akan terjadi. Perpaduan I am the law: Saya adalah tiran dan l’etat, c’est moi: negara adalah saya. Otoritarian, Tirani. 11. Dengan kondisi sistem parpol yang mencengkeram seperti ini, presiden terpilih, siapapun itu, akan sangat sulit mengubah dan memperbaiki Indonesia, meskipun yang bersangkutan merupakan antitesa rezim saat ini. Karena, presiden dapat dimakzulkan oleh DPR, oleh kartel atau persekongkolan partai politik, melalui Mahkamah Konstitusi. 12. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini. Presiden terpilih harus berani membuat yudikatif independen, sehingga dapat menegakkan konstitusi, dan membersihkan UU yang melanggar konstitusi. Presiden terpilih harus berani memacu Mahkamah Konstitusi agar berani memproses gugatan masyarakat terhadap partai politik yang melanggar konstitusi, untuk dibubarkan atau dibekukan. Hanya dengan cara ini, bangsa dan negara dapat diselamatkan. Kalau tidak, Indonesia akan terus dalam cengkeraman: l’etat c’est moi. (*)

Menemukan Titik Tengah Pilpres 2024, “Say Good Bye To Oligarchie

Idealisme di dalam mengusung perubahan adalah suatu keharusan, tapi kalau dengan idealisme yang ada ternyata menimbulkan banyak korban di antara rakyat, maka jalan tengah menjadi pilihan. Oleh: Isa Ansori, Kolumnis PILPRES adalah sebuah peristiwa konstitusi yang sudah diatur dalam UUD 1945, dilaksanakan selama 5 tahun sekali dan masa jabatan dibatasi selama dua periode. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, dan anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 7. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali, diubah menjadi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Setidaknya bila merujuk pada UUD 1945, Pilpres adalah sebuah arena kontitusi untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat. Tidak boleh ada kecurangan atau memanipulasi aturan untuk kepentingan kekuasaan dan kepentingan golongan apalagi kepentingan pribadi. Pilpres adalah arena memilih pemimpin yang berintegritas yang bertugas melayani dan menjalankan amanah kontitusi sebagaimana tertuang didalam Pembukaan UUD 1945, mencerdaskan, mendamaikan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keterlibatan pihak-pihak lain yang selama ini memanipulasi kepentingan rakyat dan ternyata hanyalah kepentingan diri sendiri dan kelompoknya mesti harus dikurangi atau dihabisi, sehingga dibutuhkan keberanian untuk mengatakan selamat tinggal pada para oligarki, “Say Good Bye To Oligarchie”. Oligarki selama masa pemerintahan Joko Widodo mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa, sehingga mereka acapkali melakukan upaya-upaya manipulasi suara rakyat, sabotase konstitusi atas nama lembaga survey dan opini para pakar tukang dengan satu tujuan agar kekuasaan tetap berpihak pada keserakahan yang selama ini dilakukan. Setidaknya ada dua jalan yang dilakukan dalam rangka memotong pengaruh oligarki, pertama rakyat yang mengusung isu perubahan bergotong-royong untuk menjalankan agenda perubahan yang sudah disusun. Rakyat bisa bergotong-royong menyumbang tema perubahan yang sedang berjalan ini. Tentu saja dalam menjalankan agenda ini dibutuhkan sosok yang bisa dipercaya. Anies Baswedan adalah satu-satunya bakal Capres 2024 yang mengusung agenda perubahan dan keberlanjutan, “Change and Continuity”. Apalagi Anies seringkali dianggap sebagai antitesa atau bahkan sintesa dari kepemimpinan Jokowi. Anies Baswedan sangat diuntungkan dengan harapan perubahan yang diinginkan rakyat. Dana sangat dibutuhkan, karena selama ini, para Oligarki dan penguasa kotor menjalankan agenda busuknya dengan memanipulasi suara rakyat. Untuk itu setidaknya dibutuhkan energi besar untuk mengawal suara rakyat dan mencegah terjadinya cara-cara manipulatif yang dilakukan. Yang kedua adalah dengan melakukan kompromi yang dibenarkan dalam konstitusi. Pilihannya adalah mencari dampak negatif yang paling kecil. Dampak negatif yang dimaksudkan adalah perubahan tetap harus terjadi tapi jangan sampai mengorbankan rakyat. Yang bisa dilakukan dalam konteks transisi kekuasaan adalah adanya jaminan keselamatan bagi para penguasa terdahulu dan tentu saja terjaminnya agenda-agenda pembangunan yang sudah dan sedang berjalan. Lalu siapa mereka para capres yang termasuk diantara kelompok ini. Jokowi secara terbuka sudah memberi sinyal bahwa mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto. Ada juga para capres yang tidak harus mematok sebagai capres, di sana ada Erick Thohir, Sandiaga Uno, ada juga nama lain seperti Panglima TNI Andika Perkasa. Dari partai politik pemenang pemilu 2019, PDIP ada nama Puan Maharani, ada nama Airlangga Hartarto dan ada juga nama Gubernur Jawa Timur, Khofifah. Sebagai seorang presiden, Jokowi tentunya sangat berharap di akhir masa kepemimpinannya, dia bisa meletakkan pondasi menuju Indonesia emas, sehingga sikap negarawan Jokowi sangat diharapkan. Jokowi tidak lagi sibuk “berkampanye” untuk dirinya dan calon-calon tertentu, Jokowi cukup menjadi guru bangsa yang bisa mengawal proses transisi ini dengan baik tanpa percikan darah. Menemukan titik tengah dua kutup yang ada, perubahan dan menjamin keberlangsungan pembangunan yang sedang berjalan ini menjadi sesuatu yang harus layak untuk dipertimbangkan. Idealisme di dalam mengusung perubahan adalah suatu keharusan, tapi kalau dengan idealisme yang ada ternyata menimbulkan banyak korban di antara rakyat, maka jalan tengah menjadi pilihan. Jalan tengah seperti apa yang diharapkan? Dalam hemat penulis, dengan menyandingkan kepentingan perubahan dan keberlangsungan yang sedang dijalankan bisa diwakili oleh Anies dan dari kelompok Istana adalah mereka yang relatif bisa meredam kerakusan para oligar. Pasangan Anies dan pilihan Istana yang dianggap bisa meredam keserakahan oligar, pasangan itu bisa dielaborasi seperti Anies - Ganjar Pranowo, Anies Prabowo, Anies - Sandiaga Uno, Anies - Erick Thohir, Anies - Andika Perkasa, Anies - Airlangga Hartarto atau mungkin juga Anies - Khofifah. Mengapa Anies harus presidennya? Anies mampu membuktikan bahwa dirinya ketika memimpin Jakarta, mampu menahan kerakusan oligarki dan mewujudkan keadilan sosial bagi warga Jakarta, sehingga dengan Anies menjadi presiden, ambisi rakus oligarki bisa ditahan dan dikendalikan. Rekam jejak Anies terhadap oligarki sangat jelas. Wapres bisa dipilih diantara nama-nama mereka yang dapat dukungan Istana atau dari partai pemenang pemilu 2019. Hal tersebut merupakan bagian untuk menjamin bahwa program-program pembangunan yang sedang berjalan masih bisa dilanjutkan, kecuali kalau memang pembangunan yang sedang berlangsung dirasa salah jalan, maka harus dilakukan upaya-upaya perbaikan dan perubahan. Rakyat dipersilahkan menimang-nimang, sehingga demokrasi kita bisa selamat, rakyat tidak menjadi korban dan partai politik akan menjadi saluran sehat aspirasi rakyat. Surabaya, 15 Desember 2022. (*)

Empat Belas (14) Tahun Disusupkan Jadi Wartawan, Polisi Rusak Kepercayaan Publik ke Media

Jakarta, FNN - Seperti sudah diberitakan sebelumnya bahwa masyarakat dibuat terkejut dengan pelantikan seorang wartwan, tepatnya kontributor TVRI, menjadi Kapolsek. Peristiwa yang terjadi di Blora, Jawa Tengah, yang sempat viral itu, sampai sekarang masih berlanjut. Belakangan, ternyata diketahui dan diakui bahwa dia memang sebenarnya wartawan yang diberi tugas penyamaran. Yang menjadi persoalan, penyamarannya sangat serius. Hal itu ditandai dengan punya kartu PWI dan tercatat sebagai wartawan madya dan selama ini dia menjalankan profesi sebagai jurnalistik. Akibatnya, banyak orang bertanya-tanya, karena bagaimanapun ini merupakan dua hal yang berbeda. Jurnalisme identik dengan kebebasan dan perlu kemerdekaan, yang merupakan bagian dari demokrasi independensi media. Jika ternyata media sudah disusupi oleh para anggota kepolisian, orang pasti akan bertanya-tanya, jangan-jangan peristiwa di Blora ini yang baru terbuka. Mungkin di daerah lain juga banyak polisi yang menyamar sebagai wartawan. Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Kamis (15/12/22) membahas hal tersebut bersama Rocky Gerung dengan dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN. “Di negara otoriter, semua wartawan itu adalah intel sebetulnya. Jadi, kalau di sini ada satu, orang anggap jadi etika demokrasi kok nggak berlaku ya,” ujar Rocky Gerung mengomentari peristiwa tersebut. Pada zaman Jepang, menurut Rocky, tukang rokok di pojok-pojok Menteng adalah intel. Bahkan, di daerah-daerah jika tiba-tiba misalnya ada orang Jepang jualan kelontong, di Sulawesi Selatan, misalnya, ternyata itu adalah persiapan Jepang untuk masuk ke Indonesia. “Jadi, hal-hal itu tidak etis sebetulnya. Walaupun itu keahlian intelijen, tapi kita negara demokratis. Kenapa mesti disusupkan di situ? Apa enggak percaya pada pers? Itu artinya negara tidak percaya pada institusi yang akan mengawasi dia, yaitu pers, dengan memasukkan seorang intel,” tambah Rocky. Sekarang kita sudah berada di era reformasi. Kita tidak lagi berada dalam otoriterian seperti di zaman Soeharto di mana pemerintahan dikendalikan oleh militer supaya stabil. Jadi, buat apa mengikuti pola yang sama, meskipun dalam skala yang mungkin kecil. “Seharusnya, kalau dia intelijen, mestinya seterusnya jadi intelijen saja. Jangan tiba-tiba pindah lalu orang kaget,” tegas Rocky. Menurut Rocky, hal itu akan memungkinkan orang saling curiga. Mungkin sekarang para wartawan juga curiga jangan-jangan Pemimpin Redaksinya adalah intel sehingga timbul ketidakpercayaan pada institusi negara. Mungkin juga di lembaga-lembaga lain dimasuki intel, di Perguruan Tinggi, misalnya. Jadi, tida ada kepercayaan pada kemerdekaan institusi untuk mengatur dirinya sendiri. Apalagi pers. “Pers itu harus mengatur dirinya sendiri, bukan diintai dan diintip. Itu konsekuensi etisnya,“ kata Rocky. Yang juga menjadi pertanyaan publik sekarang adalah selama 14 tahun menggunakan cover itu, wartawan ini melakukan tugas intelijen lain atau justru untuk memata-matai wartawan yang lain? “Ya, itu selama era reformasi kok ada institusi ekstranegara ada di situ. Kalau institusi negara jelas itu intelijen. Tapi, kalau dia masuk ke wilayah demokrasi, itu artinya dia disusupkan di situ. Jadi ekstra power ada pada dia,” jawab Rocky.   Menutut Rocky, perintahnya pasti Anda jadi wartawan, tapi sekaligus melaporkan apa yang ada di meja redaksi atau berupaya untuk mendekati narasumber dan pengaruhi cara berpikirnya. “Jadi, pengendalian opini publik juga akan terjadi kalau aparat intelijen beroperasi di wilayah yang terbuka,” tegas Rocky. Jurnalisme kita adalah jurnalisme terbuka, sementara intelijen beroperasi di wilayah tertutup. Walaupun prinsipnya sama, yaitu mengumpulkan keterangan, tapi jurnalisme melakukannya secara terbuka dan diatur oleh undang-undang. Dalam undang-undang tugas jurnalisme tidak boleh dilakukan oleh seseorang yang punya profesi lain, apalagi profeksi alat keamanan negara. “Jadi kita mau dengar apa nanti keterangan dari pihak kepolisian sebetulnya. Kepentingan apa seseorang disusupkan ke dalam institusi pers dan kepentingan apa yang akhirnya seolah-olah dibocorkan bahwa dia adalah intel,” tanya Rocky. (ida)