ALL CATEGORY

Di Depan Keluarga Pinrang, LaNyalla Sebut Pasal 222 MK Koyak Persatuan Bangsa

Jakarta, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali lagi menegaskan Mahkamah Konstitusi harus menghapus Presidential Threshold yang diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain tidak derifatif dengan Konstitusi, pasal tersebut menjadi salah satu faktor pemicu polarisasi di masyarakat yang mengoyak semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, DPD RI sebagai Lembaga Negara yang secara resmi telah mengajukan gugatan Judicial Review ke MK terkait pasal tersebut masih menunggu sikap MK sebagai lembaga penjaga konstitusi. “Apakah MK akan membiarkan Pasal 222 tersebut terus-menerus menjadi pemicu polarisasi di masyarakat dan merugikan bangsa? Ataukah akan berdiri bersama rakyat Indonesia,” kata LaNyalla secara virtual dalam Pelantikan Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Pinrang (BPP KKP) 2022-2027, di Jakarta, Ahad (26/6/2022). Dijelaskannya, aturan presidential threshold memaksa partai politik bergabung untuk dapat mengusung calon. Sehingga dalam dua kali pilpres, rakyat hanya diberi dua pasang calon. “Saya selalu sampaikan bahwa polarisasi bangsa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir harus kita akhiri. Polarisasi di masyarakat jelas sangat tidak produktif dan menurunkan kualitas kita sebagai bangsa yang beradab dan beretika. Polarisasi juga mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa,” papar dia. Selain itu, ambang batas juga menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi untuk ikut membiayai proses Pilpres yang mahal. Hal inilah yang kemudian menyandera Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam mengambil kebijakan dan mewujudkan janji kampanye. “Siapapun capres dan cawapres tahun 2024, selama oligarki ekonomi terlibat membiayai, maka akan sulit untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya. Sudah menjadi watak oligarki ekonomi, apalagi yang sudah menyatu dengan oligarki politik, untuk menyandera kekuasaan dan memaksa kebijakan negara berpihak kepada kepentingan mereka,” ucapnya lagi. Itulah inti dari permasalahan kebangsaan hari ini. Permasalahan yang bersifat fundamental dan berada di wilayah Hulu, bukan di wilayah Hilir. Sehingga penyelesaiannya juga harus dengan pendekatan yang fundamental. “Pendekatan fundamental yang saya maksud adalah dengan memurnikan kembali demokrasinya. Yaitu mengembalikan demokrasi dari kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur,” tegasnya. Dan untuk dapat melakukan itu, kita harus kembali kepada Pancasila sebagai falsafah dari Konstitusi kita. Sebagai sumber inspirasi dari semua Pasal-Pasal yang ada di dalam Konstitusi kita. “Karena Pancasila yang disepakati oleh para pendiri bangsa adalah grondslag yang paling sesuai dengan karakter dan DNA asli bangsa ini,” imbuhnya. Makanya LaNyalla menegaskan, organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan masyarakat seperti Kerukunan Keluarga Pinrang mutlak diperlukan sebagai bagian dari yang menggugah kesadaran kita sebagai bangsa. Bahwa oligarki ekonomi yang menyatu dengan oligarki politik adalah musuh utama Kedaulatan Rakyat. Sebab, Kedaulatan Rakyat semakin terkikis sejak Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002 silam. “Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila, dimana semua elemen bangsa yang berbeda-beda harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara. Kita telah meninggalkan mazhab ekonomi pemerataan, meninggalkan perekomian berdasar azas kekeluargaan, dan membiarkan ekonomi tersusun oleh mekanisme pasar,” tukas LaNyalla. Makanya, untuk menghentikan kerusakan di negara ini, LaNyalla mengajak kembali kepada sistem Demokrasi Pancasila dan sistem ekonomi Pancasila. Hadir dalam acara itu Ketua Umum BPP KKP Abdillah Natsir beserta jajaran pengurus, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, perwakilan Gubernur Sulawesi Selatan, Rektor Universitas Hasanuddin selaku Ketua Dewan Pakar BPP KKP, Bupati Pinrang, Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten Pinrang, Pengurus KKP Tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota se-Indonesia, tokoh masyarakat Pinrang dan warga KKP se-Jabodetabek. (mth/*)

Damaikan Ukraina-Rusia: Indonesia Bahaya, Bisa Diabaikan Amerika!

PRESIDEN Joko Widodo bertolak mengunjungi empat negara, yakni Jerman, Ukraina, Rusia hingga Uni Emirat Arab (UEA), dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Ahad (26/6/2022). Dalam keterangannya sebelum keberangkatan, yang disaksikan secara daring dari Jakarta, dia menyampaikan bahwa kunjungan ke Jerman dalam rangka menghadiri KTT G7 yang diselenggarakan pada 26-28 Juni 2022.Posisi Indonesia dalam G7 adalah sebagai negara mitra sekaligus diundang sebagai negara Ketua G20. Agendanya, setelah itu, Jokowi akan menemui Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky di Kiev, Ukraina, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin di Moskow, Rusia, untuk mengajak keduanya membuka ruang dialog perdamaian atas perang yang terjadi antara kedua negara.Kemudian setelah itu Jokowi akan berkunjung ke Uni Emirat Arab untuk melanjutkan kembali pembahasan kerja sama ekonomi dan investasi antara Indonesia dengan Uni Emirat Arab. Jokowi berinisiatif ingin menjadi “juru damai” masalah Ukraina dengan Rusia. Topik menarik ini dibahas wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Senin (27/6/2022). Berikut ini petikannya. Jokowi kemarin terbang ke Jerman itu menghadiri acara G7. Sebenarnya fokus G7 lebih pada kredensial, ketemu-ketemu soal kerjasama. Tapi ada yang serius yaitu Jokowi ke Ukraina dan Rusia. Sebenarnya apa agendanya yang diharapkan Jokowi dari kunjungannya itu, mengingat bagaimanapun profil Indonesia sekarang ini di dunia internasional bukan high-profile lagi. Ini beliau bukan diundang tapi mencoba menginisiatif untuk mengupayakan perdamaian di kawasan itu. Ya itu problemnya karena bagi publik atau pengamat politik internasional kita akan jadi penengah di situ. Apalagi yang datang figur Presiden Jokowi, yang dianggap oleh dunia internasional kemampuan dia untuk berdiplomasi rendah sekali. Kan kalau kita menjadi penengah kita musti punya moral standing yang kuat bahwa bangsa ini juga utuh sehingga akan didengar oleh internasional. Bahwa ekonomi kita cukup tangguh untuk menjadi landasan, kita tidak ada problem dalam negeri, lalu ingin keluar negeri menyelesaikan masalah orang lain. Kan dia disebut sebagai daya tahan dalam negeri untuk dijadikan profil dalam diplomasi internasional. Kalau sekedar ingin ketokohannya, Jokowi bisa kirim beberapa orang yang mungkin justru lebih diterima di dunia internasional, Pak JK (Jusuf Kalla) atau Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) misalnya, yang punya pengalaman diplomasi. Jadi kalau langsung Presiden Jokowi datang ke Ukraina dan Rusia, itu artinya dia mau bikin headline di dalam negeri, bukan di luar negeri. Kan tidak akan dianggap oleh luar negeri, ini ngapain presiden. Lain kalau misalnya ada keputusan PBB minta beberapa negara, termasuk Indonesia, untuk jadi semacam yang dulu biasa disebut komisi penengah. Jadi ini sebetulnya orang akan anggap pencitraan saja. Apalagi kalau politik internasional itu dikaitkan dengan financial player yang melihat Indonesia ini negara yang bakal mengikuti Sri Lanka, mau bangkrut, karena enggak mampu mengolah inflasi, enggak mampu mengelola utang, segala macam. Jadi soal-soal semacam ini akan diulas dengan sangat tajam oleh masyarakat internasional. Tapi okelah karena Indonesia punya semacam prinsip ikut serta dalam membangun perdamaian dunia, lalu dianggap sebagai itu sesuatu yang sensasional. Padahal, sebetulnya waktu kita menyebutkan Indonesia itu non-blok dan ikut memberi perdamaian dunia, itu betul-betul karena faktor figur dari Presiden Soekarno yang sangat kuat kemampuan dia untuk tampil secara profesional dan intelektual di forum internasional. Nah ini Jokowi bisa berbahaya kalau ada wawancara dengan Jokowi tentang apa sebetulnya yang sekarang relevan untuk dijadikan dasar Indonesia ikut dalam perdamaian dunia. Enggak ada. Enggak ada point-nya nantinya. Itu bahayanya di Asia Tenggara, Indonesia sudah bukan lagi pemimpin Asia Tenggara, Indo-Pasifik, Indonesia diabaikan oleh Amerika Serikat. Jadi soal-soal semacam itu. Tapi kita mau lihat ini sebagai seperti yang saya terangkan, akan jadi berita di dalam negeri lalu dieksploitasi oleh buzer atau pendengung bahwa kita berhasil bertemu. Bukan bertemu point kita, apa yang akan diusulkan. Amerika Serikat tentu tetap dalam posisi, Indonesia ini mencla-mencle. Tak tahu apa posisinya tiba-tiba ada di sana di tengah-tengah ketegangan NATO dan Rusia. Padahal Amerika Serikat menginginkan posisi Indonesia dalam politik proksi. Indonesia ambil inisiatif. Inisiatif itu nggak ada basisnya. Kira-kira begitu jika saya gambarkan percakapan yang sekarang berlangsung. Mungkin pers Eropa sekarang udah dapat redaksi untuk cari tahu apa point-nya yang akan kita tanyakan pada presiden Indonesia. Kira-kira kita perlu mengucapkan ini dengan serius, bukan kemudian dianggap kita selalu nyinyir kepada Jokowi. Tapi serius kita pertanyakan soal ini karena sekali ini buzer tidak mungkin bisa menggoreng seperti biasa saja karena pers International pasti langsung menyoroti itu. Dan saya kira ini sangat berbahaya. Itu bisa menjadi satu dari itu beberapa hal yang (kalau memang tidak ada pokoknya) akan semakin memperburuk citra Indonesia di mata internasional. Karena kemarin kita juga membahas bahwa Jokowi ini sudah mulai disorot dunia internasional dalAm soal menggunakan isu radikalisme untuk menindak musuh-musuhnya di dalam negeri. Yang kedua, ini kan juga masuk ke wilayah yang sangat berbahaya kalau kita masuki. Meskipun ada pengamanan yang sangat ketat, risikonya sangat tinggi. Jadi jujur memang, saya dalam beberapa hari ini bertanya-tanya kenapa Pak Jokowi tetap mengambil langkah itu. Okelah kalau bertemu dengan dengan Zalensky mungkin itu bisa dianggap sebagai sebuah dukungan, tapi bertemu dengan seorang Putin yang profilnya di dunia internasional luar biasa tinggi, yang dia dengan negara-negara besar seperti Amerika dan negara Eropa pun dia bisa abaikan, apalagi dengan Indonesia? Ini yang bahaya adalah pasca-kunjungan itu, yang nggak ada point. Kan tetap orang melihat point Indonesia apa? Mungkin Putin juga akan memakai kaus oblong. Ellon Musk saja pakai kaos doang. Putin bagaimanapun juga ingin memanfaatkan posisi Indonesia sebagai bemper di dalam persaingan dengan Amerika Serikat. Jadi idenya tentu bagi Putin ya gue manfaatin saja, mumpung Presiden Jokowi datang, lalu dia puter headline-nya nanti bahwa Indonesia itu sebetulnya lebih cocok bergaul dengan Rusia karena Presiden Soekarno dulu juga ada di dalam blok Rusia. Itu lebih gila lagi. Lalu Amerika marah besar dan kita nggak punya kemampuan untuk menahan kemarahan Amerika. Karena, bahkan satu peluru pun kita masih tergantung pada Amerika dalam soal persenjataan. Jadi hal-hal semacam ini memungkinkan kita untuk pada akhirnya harus merumuskan bahwa Presiden Jokowi sedang berupaya untuk menaikkan elektabilitasnya, yang sebetulnya nggak perlu lagi itu. Justru itu berbahaya bagi bangsa ini karena kan tetap ketegangan itu soal keputusan, mau pro NATO atau pro Blog Rusia dan proksinya China itu. Jadi, sekali lagi, bagi mereka yang ingin mengamati politik dunia di dalam gejala kita sekarang kita masuk dalam realisme itu bahwa NATO sudah siap-siap buat menyerbu; Amerika Serikat sebagai superpower menganggap China sebagai pengganggu sementara, walaupun China pasti blingsatan juga kalau diancam betul-betul secara resmi oleh Amerika. Karena ekonomi China nggak mampu untuk membiayai perang yang panjang, sementara Amerika menguasai ekonomi dunia, walaupun ada stagnasi tapi tetap orang pakai parameter Amerika, terutama kekuatan dolarnya. Jadi kita balik lagi tadi bahwa Indonesia kalau mau menyatakan diri misalnya, kami ingin ada perdamaian. Di dalam negeri sendiri Islamofobi masih tumbuh, pembelahan-pembelahan segmented antara kaya dan miskin itu juga kuat sekali terjadi. Jadi tidak ada dasarnya Indonesia ikut campur atau berupaya menunjukkan diri sebagai mampu untuk jadi jembatan konflik di Eropa. Jadi, sekali lagi, ya bagus juga sekedar memberitahu bahwa ya kita peduli, tapi kepedulian itu kan basisnya adalah kematangan politik dalam negeri yang justru fatal dalam banyak hal. Ya, saya sepakat dengan Anda tadi bahwa harusnya begini ini mestinya level-levelnya, jangan langsung presiden. Presiden ini kan (kalau istilah permainan sepakbola) tinggal mengegolkan. Kalau ada proses, di level-level bawah atau ministing tingkat kementerian baru kemudian ke level presiden. Ini kan langsung Pak Jokowi terjun bebas. Tapi, apapun kita berharap Pak Jokowi bisa pulang dengan selamat, dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, meskipun jujur kita mesti mengatakan kita pesimis. Itu point kita selalu. Kan dalam diplomasi ada yang dibereskan supaya begitu presiden datang mutunya itu tinggalkan wawancara, atau tinggal deklarasikan bahwa sudah ada point yang dibuat Indonesia. Di sini nggak ada satu berita bahwa Departemen Luar Negeri sudah lakukan semacam pertemuan Menteri Luar negeri, Departemen Pertahanan sudah bujuk-bujuk Putin supaya nahan sedikit-sedikit. Itu tidak terjadi. Tiba-tiba presiden datang ke situ. Itu artinya, sama seperti pionnya belum berjalan, rajanya sudah maju ke depan. Lalu sasaran tembaknya terbuka di dalam the fields yang masuk ke ranah bidiknya. Kan berbahaya itu. Ya, dalam hal ini, karena Pak Jokowi ini ke dunia internasional, ke luar negeri, ini mewakili bangsa Indonesia, mewakili kita semua juga. Tetapi kita musti menyuarakan itu karena ini wajah kita juga dipertaruhkan oleh Pak Jokowi di dunia internasional. Itu point kita sudah begitu. Bahwa wajah Presiden itu adalah wajah bangsa. Tiba-tiba datang ke sana dan orangnya cerca atau orang lecehkan. Ngapain ini anak kecil ngikut-ngikut pertarungan orang gede-gede. Kira-kira begitu. Itu kalkulasi yang musti kita hitung. Lain kalau kita memang sudah pastikan kita punya profil kuat maka kita akan didengar oleh Putin dan itu akan menjadi point bagi Amerika untuk mengukur kembali kekuatan Putin. Jadi kita mau kasih pesan pada Amerika sebetulnya, bukan pada Putin. Dan Putin menganggap ya apa iya dia boleh, tapi ya ini kayak lampiran yang ditaruh di nomor 12 mungkin dalam desain politik Rusia. Atau jangan-jangan lampiran yang nggak sempat dijepret sehingga tercecer di mana-mana. Mudah-mudahan pesimisme kita ini enggak terbukti. Kita selalu berharap yang terbaik untuk bangsa. (mth/sws)

Bersatu Kita Runtuh, Bercerai Kita Teguh

Tak ada kata yang lebih pas dan lebih tepat utuk melukiskan Indonesia,  selain dengan sebutan sebagai negara kontradiksi atau paradoks. Dasar negara dan falsafah hidup bangsanya Pancasila, tapi kehidupan rakyatnya ditopang prinsip-prinsip kapitalisme dan komunisme. Konstitusinya pun secara substansi dan esensi, bahkan  telah berubah dari UUD 1945 menjadi UUD 2002, meski secara tersurat masih menggunakan penamaan lama. Sementara NKRI, menjadi seolah-olah  di tengah dominasi kelompok minoritas, etnis tertentu yang berkuasa penuh  dan begitu maraknya dramatisasi  primordialisme, sektarianisme  serta politik identitas. Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  SEGELINTIR orang kaya terus bertumbuh dan berkembang.  Di lain sisi kebanyakan rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan. Sumber daya alam yang berlimpah yang dikuasai negara, terlanjur diberikan dengan mudah dan cuma-cuma pada kalangan terbatas. Ada pejabat negara, ada politisi dan ada juga korporasi yang menikmati fasilitas dan aset negara secara berlebihan. Mereka semua yang secara perlahan namun cepat, telah menjadi mioritas yang menguasai mayoritas. Meniadi predator kecil yang mampu menerkam mangsa yang besar. Kekuatan oligarki dengan segala persekongkolannya dengan aparatur pemerintahan, secara terstruktur, sistematik, dan konstitusional berhasil menjadi kolonialis baru bagi rakyat, negara dan bangsa  Indonesia. Prose penyelengaraan negara mutlak dirasuki praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hukum telah menjadi senjata efektif dan mematikan bagi orang-orang berpengaruh. Membutan luka yang menyayat bagi rakyat jelata menjadi obat yang menyembuhkan bagi sakitnya para kelompok lingkar kekuasaan.  Jabatan dan harta telah menjelma menjadi agama baru, disembah dan menghadirkan ritual yang membunuh kemanusiaan. Politik diterjemahkan secara kotor dan keji sebatas siapa yang menguasai dan siapa yang dikuasai. Siapa yang menang dan  siapa yang dikalahkan, juga siapa yang memangsa dan siapa yang dikorbankan. Soal ekonomi, seperti perlombaan merebut sumber daya  makanan dan enegi, harus ada monopoli pasar yang berhak menentukan mana yang harus disuplai dan mana yang boleh ditelantarkan. Siapa saja yang boleh dipertahankan hidup sebagai manusia dan siapa saja yang wajar  harus mati layaknya binatang. Realitas obyektif suatu negara bangsa dimana hanya ada keuangan yang maha kuasa. Betapa mengerikan kehidupan rakyat yang menyerahkan jiwa raga sepenuhnya kepada yang memiliki otoritasa negara. Sepanjang sejarah dan peradabannya, rakyat utamanya yang kecl-kecil dan berada di pinggiran, akan selalu menjadi budak dan korban eksploitasi. Menjadi orang-orang tertindas dan teraniaya, dari jaman kuno hingga jaman modern. Dari kebijakan sistem dan perilaku bangsa asing maupun oleh bangsanya sendiri. Rakyat sepertinya harus rela  dan ikhlas,  menjadi babu di negara lain dan menjadi jongos di negeri sendiri. Hidup sebagai bangsa yang begitu berlimpah kewajibannya namun cekak haknya sebagai warga negara. Kalau sudah begini dan kejadiannya seperti itu, rakyat  negara dan bangsa Indonesia mau apa lagi dan bisa bikin apalagi?. Kemana perginya cita-cita proklamasi yang didengungkan para pendiri bangsa tentang kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas?. Lalu bagaimana dengan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang dijamin konstitusi?.  Kemudian bagaimana juga dengan persatuan dan kesatuan bangsa, tentang gotong-royong, dan soal-soal keadilan yang ada pada manisnya slogan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI?. Kemana semua narasi dan jargon-jargon nasionalisme serta patriotisme yang  begitu memesona dan menggugah?. Di mana letak  tersembunyi kemanusiaan dan Ketuhanan  di negeri yang katanya religius?. Tampaknya, bangsa ini tak bisa lagi berhubungan mesra dengan Tuhan Yang Maha Esa, karena begitu intim dan dalamnya merasakan kehangatan dan kenkimatan  liberalisasi dan sekulerisasi. Begitupun juga  kultur dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, yang telah lama tenggelam, terseret arus deras degradasi dan disintegrasi  sosial. Rakyat begitu mengabaikan  nilai-nilai ideal  dan terasa nyaman menikmati yang tidak ideal. Mungkin individualitas dan egosentris yang telah berkembangbiak lebih subur dalam negara yang masyarakatnya sarat spiritualitas. Boleh jadi yang perlu diprioritaskan selama ini berupa *\'terserah gue dan yang penting gue selamat\'*, telah menjadi nilai-nilai massal dalam masyarakat Indonesia. Hidup berkumpul dalam komuitas besar republik, namun mengambil lakon hidup masing-masing tanpa keharmonisan dan keselarasan. Terlanjur sayang dan larut dalam mabuknya suasana bersatu kita runtuh bercerai kita teguh.  Seakan membawa kenangan polemik klasik saat awal kelahirannya, Republik Indonesia lebih tepat sebagai negara kesatuan atau negara federalis?. Munjul-Cibubur, 27 Juni 2022.

Arsitektural Pembangunan Indonesia : Menata Ulang Indonesia

Jakarta, FNN – Sekolah Legislatif Tamsil Linrung mengadakan edisi Dialog Pakar dengan tema “Arsitektural Pembangunan Indonesia : Menata Ulang Indonesia” oleh Prof. Dr. Eko. Prasojo, Mag. rer. publ (Akademisi Universitas Indonesia / Wakil Menteri PANRB 2011-2014), Ahad (26/6/2022) di Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong. Prof. Eko menyambut dengan baik dan gembira bahwa sekolah legislatif melakukan pendidikan politik kepada kader anak bangsa sebagai calon anggota legislatif dan calon pimpinan eksekutif dalam tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota. Pendidikan politik yang dilaksanakan sekolah legislatif ini sangat diperlukan dalam konteks pengembangan demokrasi dan birokrasi Indonesia. Ada tiga hal yang dibahas untuk menata ulang arsitektur Indonesia, pertama demokrasi itu sendiri, kedua ketatanegaraannya, ketiga birokrasinya. Sebab ada ketimpangan antara percepatan kita di dalam kehidupan demokrasi dengan kemampuan kita untuk melembagakan demokrasi di dalam layanan publik di masyarakat. Dalam hal ini, Prof. Eko menekankan ada dua ilmu yang paling penting untuk dipelajari yakni ilmu kebijakan publik dan ilmu manajemen publik. Kedua ilmu ini sangat penting untuk para anggota dewan, kalau ilmu politik tentu sudah banyak dipelajari. Indeks Demokrasi Indonesia menurut indikator 2020-2021 menurun di bawah enam puluh. Global Governance Index meliputi aktivitas pemerintahan dan bagaimana pemerintahan itu bisa memberi pelayanan kepada masyarakat. Dalam proses demokrasi Indonesia memiliki tiga problem, pertama penggunaan kekuasaan, kedua lemahnya kelembagaan pemerintahan, ketiga lemahnya persoalan kapabilitas kepemimpinan. Sebagai contoh, di Indonesia ini tidak ada lembaga yang betul-betul mengawasi uang dan kinerja, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu lebih ke financial audit bukan performance audit. Prof. Eko juga menyampaikan bahwa penyakit negara kita yang paling besar adalah korupsi. Penyakit sentralnya korupsi dan turun dengan berbagai macam penyakit turunan, seperti penyakit di ranah hukum dan di birokrasi. Biasanya korupsi itu melibatkan politik, birokrasi, dan penegak hukum, di belakangnya ada pengusaha yang tidak kelihatan (shadow government) yang biasa kita sebut oligarki. Kalau persoalan mengenai Pilpres, saat ini orang-orang hanya fokus pada popularitas, padahal seharusnya bukan hanya soal popularitas saja namun dengan capability untuk memimpin Indonesia seperti apa. Syarat menjadi presiden itu ada tiga, pertama memiliki popularitas yang tinggi, kedua memiliki partai politik yang mendukung, ketiga memiliki modal. Lebih lanjut, Prof. Eko mengusulkan untuk pilpres itu harus seimbang antara popularitas dan kapasitas, memang problem pilpres itu lebih ke modal. “Karateristik birokrasi kita itu patronis atau patronase atasan dan bawahan, kalau atasan bagus, cepat sekali bawahan mengikuti,” tegas Prof. Eko yang merupakan profesor termuda di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ketika masih berumur 33 tahun. Ia juga ahli di bidang Kebijakan Publik dan  merupakan guru besar Fakultas Ilmu Administrasi UI. (Lia)

Syahganda: Sutiyoso Sudah Kasih Tahu, Presiden Sekarang Asli atau Tidak

Bandung, FNN – Sebuah pengakuan menarik disampaikan Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan. Syahganda mengaku telah mendapatkan bocoran dari intelijen soal apakah Presiden Joko Widodo benar-benar asli pribumi atau tidak. Hal tersebut diungkapkan oleh Syahganda dalam acara diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komite Peduli Indonesia (KPI) bersama DPD RI berjudul “Koalisi Rakyat untuk Poros Perubahan” di Ballroom Masjid Agung Trans Studio, Kota Bandung, Jawa Barat maupun melalui virtual, Ahad (26/6/2022). Awalnya, Syahganda menjelaskan, poros perubahan bertujuan agar negeri ini dikembalikan kepada konstitusi sesuai dengan tujuan Proklamator Soekarno-Hatta memerdekakan Republik Indonesia, yaitu untuk kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, Syahganda merasa heran, saat ini justru banyak oligarki yang telah menguasai harta dan tanah di Indonesia. Padahal, Indonesia bukan seperti Amerika yang sudah ditinggalkan oleh pribuminya.“Di Indonesia ini masih ada keturunan raja-raja seperti Jumhur ini. Kita banyak yang asli Indonesia, jadi Indonesia asli itu ada. Makanya Soekarno dan Hatta mengatakan Pasal 6 UUD 1945 itu harus presidennya orang Indonesia asli pribumi. Yang sekarang asli enggak? Yang bisa jawab dunia intelijen nih,” ujar Syahganda, Ahad (26/6/2022).Syahganda mengaku sudah pernah mendapatkan bocoran soal ini dari Letjen TNI Purn Sutiyoso yang merupakan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).“Saya sih sudah pernah dikasih tahu sama Sutiyoso. Apa dia benar pribumi, apa enggak. Biar Sutiyoso saja-lah yang harus mengungkapkan, jangan saya, karena saya bukan intelijen. Tapi Sutiyoso sudah kasih tahu saya, apakah yang sekarang asli (pribumi) atau tidak,” ungkap Syahganda.Syahganda lantas membandingkan kondisi di Indonesia dengan di Malaysia. Di mana, di Malaysia ketika pribumi berkuasa, harga minyak goreng bisa lebih murah dibanding di Indonesia.“Di Malaysia ketika pribumi Malaysia berkuasa, minyak goreng sampai sekarang harganya cuma Rp 7.600 per liter. Sementara pengkhianat bangsa ini membuat minyak goreng harganya puluhan ribu per liter. Yang sudah diungkapkan sendiri oleh menterinya, bahwa mereka itu ada mafia minyak goreng, yang mungkin menterinya juga bagian daripada mafia minyak goreng itu,” pungkasnya.Selain Syahganda, acara diskusi ini dihadiri oleh Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang memberikan pidato kebangsaan. Juga sambutan dari Ketua KPI, Tito Roesbandi. Dilanjutkan dengan acara diskusi yang menghadirkan lima narasumber lainnya, yaitu Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Mohammad Jumhur Hidayat; Pendiri Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa (FKP2B), Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman; Sekretaris Jenderal Syarikat Islam, Ferry Joko Juliantono; Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indra Perwira; dan pemerhati Kebangsaan, Muhammad Rizal Fadillah. (mth)

BI Mengingatkan Risiko Stagflasi Global yang Masih Akan Membayangi Ekonomi RI

Jakarta, FNN - Bank Indonesia (BI) mengingatkan risiko stagflasi global masih akan membayangi ekonomi Indonesia ke depan, meskipun telah banyak pemeringkat internasional yang masih sangat yakin dengan ekonomi di Tanah Air salah satunya S&P Global Ratings.Adapun S&P baru saja menaikkan peringkat proyeksi ekonomi Indonesia dari negatif ke stabil.\"Kami melihat situasi global ini masih sangat rentan sekali sehingga memang asumsi makro kita masih sangat rentan,\" kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam Rapat Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta, SeninIa menegaskan BI sendiri akan sangat berfokus kepada inflasi yang tahun ini kemungkinan akan melewati target dua persen sampai empat persen di tahun 2022, yakni di atas empat persen.Namun, inflasi akan kembali ke target pada tahun 2023 yakni dalam rentang dua persen sampai empat persen.Oleh karena itu, BI akan terus mewaspadai tekanan inflasi ke depan, khususnya dari inflasi harga bergejolak dan dampak pada ekspektasi inflasi\"Dalam hal ini kami akan gunakan seluruh kebijakan yang kami miliki, termasuk penyesuaian suku bunga apabila terdapat tanda-tanda kenaikan inflasi inti,\" tuturnya.Destry mengatakan saat ini inflasi inti masih berada dalam kisaran 3,6 persen dan BI akan terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah melalui Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).Selain itu, fokus bank sentral lainnya saat ini adalah nilai tukar rupiah yang saat ini sedang mengalami tekanan cukup tinggi.Kendati kini terdepresiasi, dirinya memperkirakan tekanan kurs Garuda pada tahun 2023 akan lebih reda didukung kondisi fundamental dalam negeri, defisit transaksi berjalan yang lebih relatif kecil tahun 2022 dan 2023, cadangan devisa yang masih kuat, serta prospek perekonomian yang tetap baik.Adapun kebijakan BI ke depan adalah akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai bekerjanya mekanisme pasar dan fundamental dari kurs Garuda tersebut untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan makro ekonomi. (Ida/ANTARA)  

Anggota DPD RI Mendorong Dilakukannya Revolusi Perilaku Berlalu Lintas

Purwokerto, FNN - Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Abdul Kholik mendorong semua pihak untuk melakukan revolusi berlalu lintas agar kecelakaan yang berakibat fatal tidak terus terjadi.\"Dalam dua hari terakhir ini banyak terjadi kecelakaan yang berakibat fatal dan jatuh banyak korban jiwa,\" katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.Ia mencontohkan kecelakaan lalu lintas yang dialami anak-anak sekolah dasar yang tengah berwisata dan terakhir kecelakaan beruntun di jalan tol akibat rem bus blong.Menurut dia, hal itu semakin mengarah bahwa kondisi lalu lintas di jalan raya sudah darurat akibat munculnya berbagai aksi kecelakaan dan kekerasan.\"Jika tidak diatasi maka jalan raya berpotensi menjadi salah satu penyumbang peristiwa angka korban kematian,\" kata senator dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah itu.Terkait dengan hal tersebut, Kholik mengingatkan munculnya berbagai kecelakaan maut yang melibatkan bus tidak hanya jadi tanggung jawab sopir semata.Menurut dia, hal itu karena terkait dengan faktor penyebab yang sesungguhnya berasal dari berbagai pihak, misalnya para pemangku kepentingan pengelolaan lalu lintas jalan.\'\'Sopir bus terlihat hanya sebagai korban semata. Pihak lain, yakni perusahaan otobus, lembaga pemberian operasional perizinan, lembaga pengawasan lalu lintas jalan, dan instansi penegak hukum harus ikut bertanggung jawab,\'\' katanya.Sebab, kata dia, sejatinya berlalu lintas itu cermin budaya masyarakat sekaligus manajemen pemerintahan.Oleh karena itu, lanjut dia, semua pihak harus melakukan revolusi perilaku berlalu lintas agar kasus kecelakaan maut tidak terus terjadiMenurut dia, pemerintah sebagai regulator dan pemberi izin harus bertanggung jawab mengurai dan mengatasi masalah tersebut sehingga beban kesalahan jangan hanya dilimpahkan kepada sopir bus semata.\"Ingat, selama ini bila terjadi kecelakaan dan sopir sudah ditindak, seolah-olah masalah sudah selesai. Pihak lain seolah bebas dari tanggung jawabnya, padahal pihak tersebut seperti perusahaan otobus, pemerintah, dan aparat penegak hukum juga memiliki andil,\'\' katanya.Kholik mengatakan perusahaan angkutan seharusnya memiliki sistem dan prosedur yang menjamin keselamatan mulai dari standar kelayakan kendaraan, kualitas sopir, beban kerja, dan jaminan hidup layak bagi pengemudi.Menurut dia, pemerintah harus bertanggung jawab dari perizinan hingga pemenuhan standar keselamatan, sedangkan kepolisian harus tegas di dalam menegakkan hukum berlalu lintas,.\'\'Keterbatasan pemerintah pusat dalam mengawasi karena adanya keterbatasan SDM (sumber daya manusia) dan cakupan wilayah yang terlalu besar sehingga seharusnya kini mulai didesentralisasi kepada pemerintah daerah,\" katanya.Menurut dia, hal itu perlu dilakukan dengan tujuan agar lebih dekat dan mudah melakukan pengawasan perizinan untuk angkutan.\"Ke depan, sebaiknya urusan ini diserahkan kepada pemerintah daerah saja, biar daerah bisa menjalankan secara optimal status otonominya. Jadi, kini terbukti pemerintah pusat tidak efektif dalam mengelola pengawasan dan perizinan angkutan,\'\' kata Kholik. (Ida/ANTARA)

Perubahan Tak Bisa Dikompromi, Harus Segera Dilakukan!

Bandung, FNN – Amandemen Konstitusi telah membuat kedaulatan rakyat semakin tergerus. Karena dominasi partai politik menjadi sangat besar. Sehingga perubahan mutlak dilakukan. Hal itu tersimpulkan dalam diskusi bertema ‘Koalisi Rakyat untuk Poros Perubahan yang diselenggarakan ‘Komite Peduli Indonesia, Minggu (26/6/2022) di Bandung, Jawa Barat. Sejumlah narasumber dihadirkan, di antaranya Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle Syahganda Nainggolan, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat, Pendiri Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa (FKP2B) Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indra Perwira dan Pemerhati Kebangsaan, Muhammad Rizal Fadillah. Ketua Komite Peduli Indonesia, Tito Roesbandi, mengatakan perubahan sudah tak bisa lagi dikompromikan. Sebab, katanya, kedaulatan harus ada di tangan rakyat.  “Bersama rakyat kita perjuangkan dan kita rebut kembali konstitusi yang dikudeta,” tukas aktivis tahun 70-an itu. Tito bersyukur masih ada Lembaga Negara, dalam hal ini DPD RI, yang ikut memperjuangkan nasib rakyat. Ia mengajak agar seluruh rakyat ikut mendukung perjuangan DPD RI.  “Kita harus dukung DPD RI yang masih peduli dan menyuarakan kepentingan kita. Kita harus kembali rebut demokrasi dan konstitusi kita,” tegas Tito. Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, tak menampik jika ada pengkhianatan terhadap demokrasi Indonesia.  “Problem pokok kita, demokrasi dikendalikan oligarki ekonomi dan oligarki politik. Mereka melakukan kejahatan konstitusional,” tutur Syahganda.  Hal itu berkaitan dengan Presidential Threshold 20 persen yang bertentangan dengan konstitusi. Dikatakannya, setiap orang berhak menjadi Presiden. Namun yang terjadi saat ini, melalui Presidential Threshold 20 persen ada upaya untuk menghalangi figur terbaik untuk masuk ke dalam pasar politik bersih.  “Itulah rusaknya demokrasi kita,” papar Syahganda. Syahganda menilai problem lainnya adalah kemiskinan yang terus dipertahankan.  “Mereka memang mempertahankan kemiskinan agar rakyat lemah, dan menjadi pekerja murah,” paparnya. Jika demikian kondisinya, Syahganda menilai pertanyaannya adalah, apa guna Indonesia merdeka. “Kita ini merdeka bohong-bohongan, tak sesuai sila kelima Pancasila,” beber dia. Saat ini, Syahganda menilai tengah berkejaran dengan waktu. Oleh karenanya Poros Perubahan harus segera dibangun. “Poros itu sentrum. Perubahan harus kita hitung. Harus ada yang mengukur perubahan, skalanya dan arahnya,” ucap Syahganda. Dikatakannya, dari yang diketahuinya, DPD RI saat ini justru jauh lebih progresif ketimbang DPR RI. Di bawah pimpinan LaNyalla, DPD RI menjelma menjadi lembaga yang peduli dengan perjuangan dan nasib rakyat.  “Kita butuh tokoh besar yang membawa dan membimbing bangsa ini. Kita harus bersatu dalam konstitusi. Konstitusi harus dikembalikan untuk membuat kemakmuran dan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia,” tutur dia. Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indra Perwira menegaskan jika tanggung jawab moral kita sebagai anak bangsa belum usai. Sebab, pasca Soeharto tahun 1998, mahasiswa kembali ke kampus untuk menyelesaikan studinya.  “Kekosongan kekuasaan saat itu diisi oleh para kucing garong. Sekarang, kita lagi yang harus membenahinya. Artinya, tanggung jawab kita belum selesai,” tutur dia.  Hari ini, faktanya rakyat seperti penumpang di negeri ini. Sentralisasi yang terjadi menjauhkan dari partisipasi sebagai syarat sebuah demokrasi. “Kita harus back to basic. Untuk apa Republik ini didirikan,” katanya. Pendiri Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa (FKP2B) Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman mengatakan, saat ini kita dihadapkan pada penjajahan oligarki dan komunisme. Sementara TNI sebagai penjaga negeri dikebiri perannya. “TNI saat ini menunggu keputusan politik dalam bertindak. Padahal dulu, NKRI merdeka karena perjuangan bersama,” tutur dia. Saat ini, ada banyak pihak yang ingin mengubah Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila. “Tujuan nasional sulit tercapai kalau kita dibajak seperti ini,” katanya. Oleh karenanya, harus ada pembenahan dari awal dan fundamental. Silaturahmi nasional harus dibangun. Semua lintas elemen harus dipersatukan. “Alam pikiran kita harus diluruskan untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli dan Pancasila. Sasarannya apa, memutus hubungan oligarki dan neo-komunisme,” tegas Deddy. Sekretaris Jenderal Syarikat Islam, Ferry Joko Juliantono menyatakan hal serupa. Menurutnya, UUD 1945 sudah dikecilkan, utamanya di pasal ekonomi. “Ada empat ayat. Semuanya jelas memperlihatkan ekonomi kita disusun bukan seperti sekarang, kekayaan negara bukan diatur seperti sekarang dan seterusnya. Ada pula pasal masuknya liberalisasi dan korporasi swasta menjadi pemain paling besar dan dominan dibanding BUMN dan koperasi,” imbuh Ferry. Di sisi lain, aset bangsa ini dikuasai oleh segelintir orang. Sedangkan kemiskinan terus meningkat. Pun halnya dengan utang negara yang terus bertambah. “Terjadi de-industrialisasi. Kita jadi negara importir yang paling besar, bukan hanya produk mentah, setengah jadi dan bahan jadi. Bagaimana mungkin kita mau membangun industri kalau kita impor. Kita sedang membual bicara pertumbuhan ekonomi,” tutur Ferry. Dalam kondisi saat ini, Ferry menyebut kita tak hanya sedang berhadapan dengan penguasa, tetapi juga dengan yang mengatur penguasa. “Kita harus memperkuat diri dan lebih hebat lagi untuk bersama bersatu. Kekuatan rakyat adalah kekuatan massa,” urai Ferry. Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat menegaskan, saat ini seluruh lapisan pekerja mulai dari pekerja kerah putih dan biru bersatu padu dengan pekerja pada umumnya karena dirugikan oleh UU Omnibus Law. “Kenapa UU Jahat ini bisa lahir? UU Omnibus Law ini untuk melayani investor. Untuk membayar hutang kepada oligarki, untuk membiayai politik mereka,” papar Jumhur. Jumhur tak mempersoalkan penguasa meminta dan mengemis pada oligarki. “Tapi jangan mengorbankan rakyat. MK sudah mengatakan UU Omnibus Law in-konstitusional. Kok dibiarkan. Artinya, ada kejahatan dua tahun. Kami berkomitmen tetap menuntut UU Omnibus Law dicabut,” pinta Jumhur. Sementara Pemerhati Kebangsaan, Muhammad Rizal Fadillah menegaskan jika dahulu ada istilah raja tak pernah salah, maka saat ini yang terjadi adalah raja menjadi sumber masalah. “Solusinya adalah perubahan. Berhenti sampai sini, cukup Pak Jokowi. Kita tak boleh bertele-tele, rakyat harus bergerak. Ini konstitusional,” ajak Rizal. Soal Presidential Threshold, Rizal menilai tak boleh ada lagi penetapan angka 20 persen. “Itu kepentingan oligarki, itu kejahatan politik dan harus dihentikan,” pinta Rizal. (Ida/Lanyalla center)

Sebanyak 13.092 Anak Terdaftar Berkewarganegaraan Ganda

Jakarta, FNN - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mencatat sebanyak 13.092 anak, yang lahir dari perkawinan campuran orang tua warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA), terdaftar sebagai anak dengan kewarganegaraan ganda.\"Mereka terdaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Kewarganegaraan,\" kata Direktur Jenderal Administrasi Hukum dan Umum (AHU) Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.793 anak di antara terdata tidak atau terlambat memilih salah satu kewarganegaraan yang harus diajukan ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).\"Sementara terdapat 507 anak yang tidak didaftarkan berdasarkan Pasal 41 sebagai anak berkewarganegaraan ganda,\" tambah Cahyo.Dengan demikian, lanjutnya, terdapat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Indonesia yang dapat mengakomodir anak dengan permasalahan kewarganegaraan.Hal tersebut memberikan kesempatan kembali kepada mereka untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dalam jangka dua tahun sejak PP Nomor 21 Tahun 2022 diterbitkan atau hingga 31 Mei 2024.Cahyo menjelaskan penyempurnaan hukum melalui PP Nomor 21 Tahun 2022 tersebut sejalan dengan berbagai upaya perbaikan iklim kondusif negara untuk menarik berbagai pihak datang ke Indonesia guna memberikan kontribusi positif bagi pembangunan nasional.Beleid tersebut diharapkan mendorong para diaspora Indonesia, termasuk anak keturunan WNI yang terampil, memiliki rasa cinta besar terhadap Tanah Air, serta ingin berkontribusi terhadap Indonesia.Selain itu, kebijakan yang diatur dalam PP Nomor 21 tersebut juga sejalan dengan desain besar berbagai kebijakan lainnya dalam mendorong upaya pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19.Termasuk dalam hal mempermudah layanan keimigrasian, kebijakan visa dan penyederhanaan perizinan tinggal yang mencakup peruntukan jenis kegiatan lebih luas dan lebih beragam.Dengan demikian, investor termasuk dari diaspora Indonesia diharapkan memiliki keinginan berinvestasi, mempunyai properti sesuai ketentuan, dan/atau menghabiskan masa tua di Indonesia. (Ida/ANTARA)

KPU RI Menerima Permohonan Pembukaan Akses Sipol dari 22 Parpol

Jakarta, FNN - Komisi Pemilihan Umum RI sampai 27 Juni 2022 telah menerima pembukaan akses Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) dari 22 parpol yang telah mengajukan.\"Jadi total jumlah parpol yang sudah memiliki akun Sipol adalah sebanyak 22 parpol,\" kata Anggota KPU RI Idham Holik di Jakarta Senin.Dia menjelaskan permohonan pembukaan akses Sipol per 27 Juni 2022 tersebut yakni dari Partai Golongan Karya, Partai Bhinneka Indonesia, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Bulan Bintang, Partai Swara Rakyat Indonesia, Partai Rakyat Adil Makmur, Partai Persatuan Indonesia, Partai Demokrat.Kemudian, Partai Nasdem, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Keadilan dan Persatuan, Partai Ummat, Partai Gelombang Rakyat Indonesia, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Pandu Bangsa.Selanjutnya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Republikku, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Pergerakan Kebangkitan Desa, Partai Garda Perubahan Indonesia, dan Partai Gerakan Indonesia Raya.\"Jadi kini sudah ada 7 parpol (peserta Pemilu 2019 melampaui PT), 5 parpol (peserta Pemilu Legislatif 2019 tidak melampaui PT), dan 10 parpol (belum pernah jadi Peserta Pemilu Legislatif 2019),\" kata dia.Komisi Pemilihan Umum RI telah meluncurkan Sistem informasi partai politik yang akan dimanfaatkan untuk penyelenggaraan Pemilihan umum 2024 pada Jumat 24 Juni 2022.\"Kami menyampaikan bahwa hari ini 24 Juni sampai berakhirnya masa pendaftaran partai politik, mulai membuka akses Sipol. Kami menetapkan Sipol sebagai alat bantu proses pendaftaran dan verifikasi partai politik, pada hari ini kita akan luncurkan,\" kata Idham.Sipol tersebut kata dia merupakan kewenangan atributif KPU RI yang diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa KPU diberikan kewenangan untuk mengatur pelaksanaan pendaftaran dan verifikasi partai politik.Data-data yang harus diunggah ke dalam aplikasi Sipol lanjut Idham yakni profil partai politik, keanggotaan partai politik, kepengurusan dan kantor tetap partai politik.Lebih lanjut, dia menyampaikan dalam rangka memperlancar proses pendaftaran partai politik KPU dengan semangat melayani juga membuat help desk atau meja bantuan layanan yang bisa diakses parpol. (Ida/ANTARA)