ALL CATEGORY
Wajah Politisi Dadu Sintir
Dengan kekuatan finansialnya, Bandar Politik bisa mengatur resonansi, gerakan, dan oskestrasi hampir semua partai. Juga, digendam harus mengikuti remot mereka, berjoged ria gaya Budak Oligarki. Dengan penuh percaya diri, pasang dasi merah, hijau kuning di dadanya, seraya masih membela diri inilah gaya politik reformasi. Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih ARTI kata dadu sintir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dadu pusing. Bawah permukaan dadu diberi tangkai untuk memutar (sintir). Kalau dadu sudah beputar di atas piring, baru ditutup tempurung. Itulah gambaran partai sekarang ini. Dengan kata lain, partai-partai harus terus-menerus berputar tetapi tetap dalam tempurung yang dimainkan oleh bandar Politik Oligarki. Bandar politik oligarki memang canggih dan licik. Hampir semua partai dipaksa harus masuk dan mau bermain dadu Politik Sintir. Pertarungan yang seolah-olah heroik berpacu taktis dan strategi untuk meraih kemenangan pada Pilpres 2024, sibuk luar biasa beradu cerdas membuat koalisi, membidik dan menjaring capres. Mereka sadar bahwa dalam politik ada dalam pertaruhan menang atau kalah. Menang berarti untung, kalah berarti buntung, atau menang berarti kondang dan kalah harus menanggung wirang. Tetapi mereka tidak sadar semua seperti bebek lumpuh dalam kendali remot Bandar Oligarki. Wajah perpolitikan di Indonesia, sangat buram bahkan hitam pekat - tidak seindah layaknya partai harus berjuang memenangkan Pilpres dengan kesatria dalam alam demokrasi yang wajar. Hampir semua partai terperangkap permainan politik dadu Bandar Politik. Dengan kekuatan finansialnya, Bandar Politik bisa mengatur resonansi, gerakan, dan oskestrasi hampir semua partai. Juga, digendam harus mengikuti remot mereka, berjoged ria gaya Budak Oligarki. Dengan penuh percaya diri, pasang dasi merah, hijau kuning di dadanya, seraya masih membela diri inilah gaya politik reformasi. Di samping terperangkap finansial dari Oligarki, sebagian partai gurem buka lapak menawarkan sewa partainya kepada para Capres dengan harga Rp 1 triliun, belum termasuk biaya operasional. Saat pilpres berlangsung mereka semua berada di belakang layar tidur semua. Dalam kondisi kesurupan partai dan para politisi membentuk koalisi dan capres kesana-kemari tanpa akal sehat, itu ciri politisi amatiran tak punya disiplin berpikir. Sesungguhnya politisi dituntut disiplin, memahami perilaku politik dan mutlak harus memiliki kepekaan memahami sinyalnya dengan akurasi tinggi. Kalau tidak, berarti cuma muter-muter macam dadu sintir. Dalam kajian komunikasi politik dikatakan, \"Inti pesan komunikasi sering berada pada pernyataan yang tidak diungkapkan\". Tipu sana-sini sesuai nafsu politik hitamnya, menyihir masyarakat agar bisa menjadi pengikutnya. Rakyat dibuat ribet dengan tingkah laku politisi. Seolah merasa hebat tak ubahnya wajah partai dan para politisi di negeri ini seperti pelaku dadu sintir yang sedang dikendalikan oleh para bandar politik. Benar yang dikatakan Bung Hersubeno Arief, wartawan senior FNN bahwa: \"Rakyat pemilih hanya menjadi justifikasi. Siapa yang menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota dan semua jabatan publik lainnya sudah mereka ditentukan\". \"Mereka lah para oligarki yang menjadi penguasa sesungguhnya negeri ini. Para politisi, pejabat negara mulai pusat sampai daerah, sesungguhnya hanya sebaga jongos dibayar murah oleh oligarki\". (*)
Relawan di Padang Deklarasi LaNyalla Capres 2024
Padang, FNN – Popularitas Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti semakin berkibar. Relawan Indonesia Tageh di Padang, Sumatera Barat, mendeklarasikan LaNyalla sebagai Calon Presiden (Capres) 2024. Ia didukung karena dinilai berani menyuarakan kepentingan rakyat. Deklarasi terhadap LaNyalla itu berlangsung di GOR Prayoga Padang, Rabu (22/6/2022). “Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur demi mewujudkan keadilan sosial, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia maka dengan ini, kami membulatkan tekad untuk mendukung AA LaNyalla Mahmud Mattalitti maju sebagai Calon Presiden Republik Indonesia pada Pemilihan Presiden 2024,” kata Koordinator Relawan Indonesia Tageh Sumatera Barat, Muhammad Suhandi kepada wartawan.Relawan Indonesia Tageh Sumatera Barat terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari pelaku UMKM, pemangku adat, aktivis, Ibu rumah tangga dan kaum millenial. Suhandi menyebut latar belakang masyarakat Sumatera Barat mendukung LaNyalla adalah karena keberanian Ketua DPD RI itu dalam menyuarakan kepentingan rakyat.Jadi, “Masyarakat menginginkan pemimpin yang berani, independen dan tidak mudah untuk diintervensi oleh kepentingan golongan dan kelompok manapun kecuali kepentingan rakyat,” kata Suhandi.LaNyalla disebutnya mampu memperjuangkan kepentingan rakyat sehingga pantas didorong untuk tampil sebagai kontestasi pada Pilpres mendatang. “Kami percaya bahwa pak LaNyalla adalah sosok yang tegas dan konsisten dalam memperjuangkan hak-hak keadilan rakyat,\" lanjutnya.Suhandi juga menyebut jika LaNyalla adalah sosok yang dapat menyatukan elemen bangsa ke depan utamanya dalam kondisi bangsa yang mulai terpecah belah dengan polarisasi saat ini. “La Nyalla adalah pemimpin yang konsisten memperjuangkan konstitusi negara\" tambahnya. Apalagi, sebelumnya, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno sudah berwasiat kepada LaNyalla untuk menyelamatkan Indonesia. (mth/*)
Megawati: Saya Punya Hak Prerogatif, Kader Mbalelo Saya Pecat
Jakarta, FNN – Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menekankan kepada semua kader PDIP untuk tidak ada yang bermanuver dalam pencalonan Presiden dari PDIP yang hanya berada di tangan ketua umum. Ucapan itu dilontarkan Megawati di hadapan para Kader PDIP dimana juga ada Presiden Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam Rakernas II PDIP, Selasa (21/6/2022). Beberapa hari menjelang Rakernas PDIP, publik dihebohkan dengan cuplikan video dari akun resmi instgaram Puan Maharani. Terlihat dalam video tersebut Pak Jokowi sedang dengan posisi duduk berhadapan dengan Ketum PDIP Megawati. Puan Maharani memberi keterangan bahwa percakapan Pak Jokowi dengan Ibu Mega terkait pentingnya ketahanan pangan, penanganan pasca Covid, dan penanganan Covid varian baru. Tetapi tetap saja kalau melihat dari posisi duduk Jokowi, gestur tubuh, memang ini posisi Jokowi subordinat dari Ibu Mega. Tidak salah media mengaitkan tegangnya hubungan Jokowi-Megawati beberapa waktu belakangan ini. Pada saat berlangsungnya Rakernas PDIP II, Ketum PDIP berpidato dengan suara keras seolah menyindir Jokowi dan Ganjar terkait kader yang bermanuver. Sikap Megawati yang tidak berkenan dengan langkah Jokowi dan Ganjar ini sangat jelas pada saat rakernas ia menyampaikan pidato bahwa Jokowi ini hadir sebagai kader partai, artinya dengan menegaskan posisi jabatan sebagai kader partai dengan itu soal capres 2024 Jokowi dan Ganjar harus tunduk kepada keputusan partai tidak boleh memanuver apapun. Telihat jelas yang bikin tegang lagi, Pak Jokowi ikut skenario Capres Ganjar sebagai cadangan bila Jokowi gagal memeperpanjang masa jabatan, wajar Ibu Megawati tersinggung. Sikap Megawati yang menganggap Jokowi petugas partai dan yang berkuasa di negara ini adalah Ketua Umum PDIP ini sangat jelas karena Megawati menyinggung sistem pemerintah kita yang presidensial bukan parlemneter. “Ada tigas alasan yang membuat Ibu Mega tersinggung, Pertama, Jokowi ingin perpanjang masa jabatannya dan ini dalam penilaian Ibu Mega sudah melanggar kontitusi, bertantangan dengan prinsip yg dipegang Ibu Mega. Kedua, Ibu Mega tersinggung karena kewenangan menentukan capres itu diambil ahli oleh Jokowi. Ketiga, karena Jokowi mendukung Ganjar menjadi capres dan hal ini berarti bertentangan dengan putrinya Puan Maharani untuk maju pada capres 2024,\" ungkap Hersubeno Arief wartawan senior Forum News Network (FNN) dalam kanal Youtube Hersubeno Point, Rabu (22/6/2022) Ganjar juga sudah menunjukkan sikapnya untuk berserah diri seperti anak nakal ke Megawati, karena ketika namanya disebut oleh partai NasDem, ia langsung menengaskan saya PDIP, saya tegak lurus pada ibu Ketum PDIP artinya dia akan menuruti semua perintah Ketum, kalau disuruh maju presiden ya ayok kalo engga ya sudah. “Ini politik bro politik Indonesia yang dikuasai oligarki, saya setuju dengan Rocky bahwa untuk capres 2024 jangan melihat hasil rakernas parpol yang menyebutkan nama capres, yang dilihat itu hasil rapat kordinasi terbatas oligarki yang menjadi presiden itu, kalau sistem politiknya masih seperti sekarang. Begitulah nasib bangsa kita yang demokrasinya sudah dibajak oleh oligarki,\" kata Hersubeno Arief (Lia)
Perjanjian Internasional Pertama: Portugis dan Sunda Kalapa 1521
Oleh Ridwan Saidi Budayawan Pernjanjian Internasional pertama yang dilakukan pihak di Indonesia (Sunda Kalapa) dengan Portugis Malacca tahun 1521. Pihak kerajaan Sunda sebagai avalis yang diwakili Samyam (utusan). Trip pertama ke Malacca tahun 1518. Rombongan dari Indonesia: 1. Syahbandar Wa Item, dapat berbahasa Portugis 2. Patih Majakatera Mundari, tandam atau mitra Syahbandar. 3. Samyam. Misi mereka menjajagi kemungkinan Portugus mau investasi pembangunan Kalapa II karenak Kalapa I rusak dilanda rob. Tegen prestatie bagi Portugis monopoli perdagangan lada. Pihak Portugis mempelajari butir2 dengan serius. Baru tahun 1520 pembicaraan lanjut di Bogor. Tahun 1521 perjanjian ditanda tangani. Pihak Sunda Kalapa tiga nama di atas. Portugis diwakili cukup banyak pihak baik pebisnis dan mereka yang newakili Laksmana d\'Albuquerqe. Uang diserahkan tunai pada pihak Sunda Kalapa. Yang kelak pada tahun 1540 pemakaian uang diaudit dan dinyatakan WTP wajar tanpa pengecualian yang dalam Portugis disebut fico. Pada 23 Agustus 1522 sebagai tanda perjanjian disepakati Portugis menasang padrao (monumen stone), photo atas. Lokasi simpang Jl Cengkeh dan Jl Kunir. Naskah asli perjanjian sendiri ada di Portugis. Tanda tangan Wa Item huruf Arab waw. Nama-nama Wa Item dan Patih Mundari, mengingat jasanya, patut dijadikan nama jalan di Jakarta. (RSaidi)
Rocky Gerung: Bahwa di Atas Raja Masih Ada Ratu!
Jakarta, FNN – SOAL Megawati dan Jokowi di Rakernas PDIP yang bicara keras yang tampak diarahkan kepada Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo diulas oleh wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam dialog dengan Rocky Gerung dalam kanal Rocky Gerung Official, Rabu (22/6/2022). Petikannya. Ini Anda kelihatannya mengikuti kehebohan netizen soal bagaimana Pak Jokowi menghadap Megawati? Bagaimana menurut Anda? Saya ingin tahu bagaimana tafsiran Anda melihat video-video itu. Ya, kita akhirnya tidak bisa membedakan itu pertemuan privat atau publik. Kalau itu ruang publik, enggak di situ tempat Presiden. Presiden itu punya formalitas sendiri. Jokowi bukan Presiden, tapi tubuh presiden dia, itu harus dihormati. Kalau Pak Jokowi datang sebagai kader PDIP ya oke saja. Tapi, jangan itu di-vlog-kan bahwa itu Pak Presiden sedang bertemu dengan Ibu. Ya apa point di situ tuh. Mau melecehkan Presiden. Itu sinyalnya begitu kan? Itu yang disebut sebagai kita mendua menafsirkan itu. Bahasa psikologi nausea, rasa mual melihat foto itu kan. Seolah Ibu Mega lagi ngajari dan Pak Jokowi posturnya memang minta diajari. Jadi, kirim-mengirim bahasa tubuh itu membuat kita merasa ya ada point-nya juga Bu Mega. Kenapa dia musti panggil Pak Jokowi, karena sebelumnya Pak Jokowi nantang-nantangin kan dengan melalui proksi Ganjar. Itu bahasa tubuh kita. Tapi juga kita anggap Ibu Mega kurang sopan sebetulnya. Dia itu Presiden. Jadi kemenduaan itu membuat kita disgusting atau mual bahkan melihat politik. Apalagi itu kemudian diviralkan vlog-nya itu. Jadi, mungkin sekali disengaja supaya diperlihatkan bahwa di atas Raja masih ada Ratu. Kira-kira begitu. Tapi realitasnya tidak seperti itu sebenarnya. Karena jauh sekali, kelihatannya Pak Jokowi sekarang ini juga sudah jadi kekuatan sendiri. Pak Jokowi sudah bisa memilih kekuatan sendiri, Pak Jokowi bisa memilih koalisi sendiri. Itu seperti yang disinggung oleh Bu Megawati. Bu Mega mengingatkan juga soal sistem pemerintahan kita ini presidensial. Tidak ada koalisi-koalisi. Saya kira ini maksudnya mungkin mengingatkan Jokowi bagaimanapun juga ini partai pemenang Pemilunya adalah PDIP. Dan Anda itu adalah petugas partai PDIP. Jadi sebenarnya yang memerintah itu PDIP, bukan partai lain atau figur lain. Kalau itu Ibu Mega juga salah. Kalau PDIP yang memerintah sebagai partai pemenang, itu artinya PDIP membentuk koalisi partai pemenang. Itu artinya sistem parlementer juga jadinya. Kalau dia bilang dia menang, memenangkan Pak Jokowi, orang bertanya berapa persen Pak Jokowi menang pada waktu itu. Tentu pasti di atas 50%. Mungkin 56%. Sekarang suara PDIP itu berapa, 56%? Kan enggak juga. Suara PDIP kan 20%, bahkan secara nasional 19%. Jadi, PDIP cuma dapat 19 persen, Jokowi dapat 56 persen. Itu artinya, ada kira-kira 30% persen bukan suara PDIP. Suara siapa? Ya suara Muslim, suara partai lain, dan macam-macam. Jadi tidak bisa Ibu Mega klaim bahwa dia adalah petugas partai PDIP. Karena setelah diujikan ke publik, suara Jokowi waktu itu melampaui suara PDIP. Kan matematiknya begitu. Kenapa Ibu Mega menyebut itu koalisi ya karena dia jengkel saja kok koalisi nantangin dia. Itu kan? Jadi, yang dimarahin Ibu Mega itu koalisi yang petentang-petenteng di depan PDIP. Padahal PDIP sendiri bikin koalisi. Kalau nggak bikin koalisi yang tidak bisa dapat juga yang 20 persen itu. Kalau misalnya Ibu Mega bilang saya bisa nentuin sendiri, ngapain masih main mata dengan Gerindra. Lebih berbahaya lagi kalau Ibu Mega bilang, ini sistem presidensial. Nah, Ibu Mega musti bilang, dalam sistem presidensial tidak ada kuota 20% maka PDIP musti maju untuk mempersoalkan 20% itu. PDIP sendiri juga terima 20%. Itu artinya PDIP juga suka sistem parlementer dalam praktik. Itu inkonsistensi dalam pidato Ibu Mega. Ibu Mega musti bilang, ini sistem presidensial, Pak Jokowi nggak boleh punya koalisi. Oleh karena itu, 20% musti dihilangkan. Kan begitu. Jadi harus berhati-hati. Justru karena 20% ya semua orang akhirnya berkoalisi. Dari bahasa tubuh tersebut, kemudian pidato Ibu Mega juga menyinggung soal pencapresan bahwa itu adalah hak prerogatif yang diberikan kepada beliau dan kemudian menyatakan kalau ada kader PDIP yang mendua, bermain dua kaki, itu dipersilakan out. Di situ kan jelas yang dimaksud pasti Pak Jokowi dan Ganjar. Kan dua-duanya, Pak Jokowi punya agenda tiga periode, Ganjar ingin jadi presiden. Ya, itu point saya. Selalu Ibu Mega mustinya konsisten saja. Tidak usah minta mereka mundur. Ya pecat saja. Kan Ibu Mega mengatakan bahwa hanya saya yang menentukan siapa yang boleh jadi presiden. Nah Pak Jokowi masih ingin menjadi presiden sebelum minta izin Bu Mega, kenapa musti dipecat sebagai kader. Ganjar juga begitu. Berkomplot dengan Jokowi bikin tandingan dengan Mega. Ya dipecat dong. Bukan dikasih sinyal. Supaya juga Ganjar enak itu. Dia akan diminta oleh Nasdem, misalnya, atau Gerindra. Jadi lebih fair. Ibu Mega juga musti ketat di dalam asas berpikir dan konsisten dalam keputusan politik. Kalau dibiarkan kasihan Ganjar juga. Ganjar tidak mungkin mengundurkan diri itu. Karena prinsipnya adalah dia enggak tahu kalau dia bersalah kan? Kalau dia tahu dia bersalah maka dia mengundurkan diri. Tapi dia enggak tahu apa kesalahan dia. Nah, Ibu Mega yang tahu apa kesalahan Ganjar. Ibu Mega yang pecat. Kan ada mahkamahnya tersendiri di PDIP. Jadi hal-hal semacam itu kalau dipertontonkan ke publik lalu orang boleh menganalisis juga bahwa PDIP juga tidak konsisten. Masih mau ngintip peluang tukar tambah. Nggak benar kan. Padahal orang juga ingin Ibu Mega itu tegak lurus dengan prinsip yang ada di dalam partai dan prinsip di dalam konstitusi. Prinsip dalam partai siapa yang sudah menentang dipecat, tadi tidak dipecat. Prinsip dalam konstitusi sistem presidensial 20%, Ibu Mega enggak mau, itu berarti Ibu Mega sistem parlementer juga. Jadi kita hanya ingin melihat itu, lepas dari kepentingan PDIP, saya tidak ada urusan. Tapi cara berpikir itu yang mau kita koreksi. (mth/sws)
Rocky Gerung: Jangan Larang Orang-Orang Punya Aspirasi Negara Islam
Jakarta, FNN – HARI Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Pada 22 Juni 1527 ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Kota Jakarta berdasarkan waktu terjadinya penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah dan pasukannya. Menurut wartawan senior FNN Hersubeno Arief, selain ulang tahun Jakarta, hal yang sangat penting juga pada 22 Juni 1945, Tim 9 yang dibentuk oleh BPUPKI kemudian merumuskan dasar negara kita yang namanya Pancasila. Mengapa menjadi penting? Ikuti dialog antara Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung, akademisi dan pengamat politik dalam kanal Rocky Gerung Official, Rabu (22/6/2022). Ini penting kita bahas sejarah, karena banyak sekali keluhan bahwa anak-anak sekarang ini tidak paham sejarah. Karena kalau kita tidak paham sejarah maka pemahamannya terhadap persoalan negara kita jadi bermasalah juga. Oh iya, itu saya ingat bahwa tanggal 20 Juni itu perumusan naskah Piagam Jakarta. Selalu dianggap bahwa Pancasila itu pertama kali diucapkan dalam upaya untuk menghasilkan kemajemukan. Tapi kemajemukan itu adalah hasil perdebatan karena fakta antropologi kita betul-betul ini masyarakat majemuk. Dan hasil perdebatan merumuskan apa yang disebut Piagam Jakarta, yaitu Pancasila, yang sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Di SD juga diajarin. Jadi ini musti tahu, sejarah Pancasila itu ada sejarah Piagam Jakarta juga. Karena itu kalau sekarang masih ada Islamophobi itu ajaib karena justru bangsa ini didasarkan pada kesepakatan yang merupakan kelegaan hati dari mayoritas Muslim waktu itu, untuk tidak lagi mencantumkan tujuh kata itu, yaitu “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” itu dihapus dari naskah, tetapi tidak mungkin dihapus dari sejarah. Itu masalahnya. Kemudian juga pada tanggal 22 Juni inilah Bung Karno yang menjadi ketua tim perumus menyampaikan soal rumusan Pancasila yang sebenarnya rumusan Pancasilanya tidak seperti yang sekarang. Pak Karno itu menyebutkan antara yang sekarang coba dimunculkan oleh PDIP bisa diperas menjadi Trisila, lalu menjadi Ekasila. Kalau sekarang disepakati bahwa lahirnya Pancasila itu pada 6 Juni, di mana Bung Karno mengucapkan itu. Saya kira kini kenapa menjadi perdebatan. Karena kalau kita baca-baca risalahnya dari BPUPKI itu, harusnya tanggal 18 Agustus yang disebutkan sebagai hari lahir Pancasila. Iya, Pancasila ada dalam alam pikiran Bung Karno, alam pikiran Muhammad Yamin, macam-macam. Kan itu semua ide yang kompilasi sebetulnya, bahkan alam pikiran dunia itu. Karena nasionalisme itu bukan asli Indonesia itu. Itu pikiran Sujat Saint. Demikian juga soal “kemanusiaan adil dan beradab” itu ada setelah revolusi Perancis baru kita tahu. Jadi mereka pada waktu itu founding parent kita, orang yang belajar sejarah dan tahu seluruh macam perkembangan di dunia. Dunia Islam terutama sedang bangkit karena itu ide Negara Islam muncul. Jadi, adalah hasil kompilasi pikiran dunia, bukan pikiran Bung Karno sendiri. Bahkan Bung Karno bilang saya hanya menggali dari bumi Indonesia. Ya ada bagian yang digali dari bumi Indonesia karena Bung Karno itu juga mengerti bumi yang lain, sebutlah bumi Tiongkok, bumi Rusia, bumi Perancis, bumi Revolusi 1776 di Amerika. Jadi, semua itu adalah hasil kompilasi. Nah itu yang seringkali dilupakan. Kalau disebut lahirnya Pancasila, ya lahir secara formil pada 18 Agustus. Kalau yang informal ya banyak tanggalnya. Semua orang yang berpidato dengan tema Pancasila itu bisa melahirkan Pancasila. Itu pentingnya kita pisahkan antara hari lahir formil dan hari lahir sebagai wacana. Dan ini pentingnya memahami sejarah karena juga memang ada adagium yang sudah kita kenal cukup lama bahwa sejarah itu ditulis oleh para pemenang. Tapi sekarang ini kalau ‘45 masih terlalu banyak dokumen-dokumennya. Jadi kalau muncul perdebatan sah-sah saja dan untuk memahaminya saya kira penting untuk buka-buka kembali. Tidak hanya baca Twitter yang 140 karakter dan kemudian berdebat di media sosial. Saya kira itu yang penting, generasi baru ini tahu geneologi, asal-usul dari rumusan dasar negara kita. Bung Karno tidak pernah menyebut Pancasila itu ideologi. Dia menyebut sebagai landasan filosofi, filosofi grounds low. Tapi semua ini kemudian seolah-olah dianggap Pancasila itu ideologi negara, bukan. Bahkan Pak Harto tidak pernah menyebut sebagai ideologi. Pak Harto bilang asas, walaupun dia tambahin asas tunggal. Jadi pilihan kata itu bahkan di dalam undang-undang kita tidak ada ideologi Pancasila. Itu kesepakatan umum untuk mengatakan itu panduan, tapi bukan ideologi dalam pengertian setara dengan ideologi dunia komunisme, marxisme, liberalisme, sosialisme, Islamisme. Itu lain. Karena itu Pancasila harus dianggap sebagai percakapan untuk menghasilkan kebersamaan, bukan suatu yang sudah final. Apalagi (telah) difinalkan dengan Ekasila. Itu kan berbahaya sekali. Jadi, pandangan itu yang memungkinkan kita justru lega dengan menyebut Pancasila adalah panduan kebudayaan. Itu lebih tepat sebetulnya kalau tidak mau pakai istilah asas tunggal. Bagian ini yang Presiden Jokowi juga nggak paham. Seringkali dia bilang, ini ideologi negara. Nggak ada. Di mana ada keputusan bahwa Pancasila ideologi negara. Nggak ada. Dasar negara, asas tunggal, nggak ada. Tapi hal-hal semacam ini seolah membuat kita berhenti, seolah-olah dengan adanya Pancasila semua soal selesai. Itu Pancasila panduan saja tuh. Kalau mau Pancasila ya 20% dihilangin dulu tuh. Kira-kira begitu kan, supaya sama rata. Jadi banyak hal yang setiap kali tanggal 22 Juni itu kita sebut sebagai hari Piagam Jakarta, kita ingat asal-usul piagam Jakarta adalah kesepakatan, justru kelegaan masyarakat Muslim pada waktu itu untuk melihat Indonesia tumbuh sebagai negara kebangsaan. Jadi itu intinya. Tetapi, sekali lagi, pikiran itu tetap hadir di kita. Karena itu, jangan larang orang-orang punya aspirasi negara Islam. Itu biasa saja. Jangan berupaya untuk menutupi sejarah. Apa yang pernah disebutkan, kalau disembunyikan justru dia akan masuk kembali dalam memori kita dan timbul sebagai sebuah harapan saja. Dan seperti ketel yang dipanaskan, kalau tidak ada lubang keluar biasanya bisa menimbulkan ledakan. Jadi kalau dibiarkan, katalisnya aman sebenarnya. Iya, jadi itulah pentingnya kalau musti ada katup volve, yang disebut katup pengaman. Ya mustinya dibuka. Jadi jangan ditutup dengan satu interpretasi tunggal bahwa Pancasila itu adalah apa yang diucapkan Bung Karno. Enggak. Itu sudah jauh dari itu. Pancasila itu sudah berkembang dan kita musti mampu juga mengoneksikan pengertian dari Pancasila itu ke dalam konteks kekinian dan itu juga hak dari milenial untuk menafsirkannya. Kita musti pelajari sebetulnya cara pendiri bangsa ini berdebat, bukan cara membangun koalisi. Cara berdebat dan cara bagaimana berkomunikasi antar sesama anak bangsa meskipun berbeda pilihan politik. Saya kira itu penting sekali. Itu pentingnya. Karena Piagam Jakarta maupun Pancasila itu hasil perdebatan di antara orang-orang yang setara Tersebut. Tidak ada feodalisme. Tidak ada seseorang menghadap pada orang lain lalu manggut-manggut di situ. Itu hasil perdebatan. Mungkin juga kalau kita masih bisa melihat beberapa arsipnya, itu masih ada berdebatnya keras betul. Bukan pakai Vlog atau TikTok. Ini betul-betul debat intelektual dari para pendiri bangsa. (mth/sws)
Saya Belum Pernah Lihat Mega Semurka Itu
Dulu, Mega pernah menyindir wartawan seakan bukan orang Indonesia. Yang terbaru, belum sepekan berlalu, ia menyindir kerja wartawan seakan tak mematuhi kode etik jurnalistik. Saat seorang kawan mau menanggapi, saya larang. Alasannya, kita yang salah kalau berdebat dengan pihak yang tidak mengetahui persis prinsip kerja wartawan. Catatan Ilham Bintang , Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat SAYA belun pernah melihat Megawati semurka itu. Kasihan! Padahal, di usia lanjut, 75 tahun (lahir 23 Januari 1947) harusnya Mega hidup tenang. Tinggal duduk manis menikmati buah perjuangannya membesarkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P). Tinggal memperbanyak ibadah sebagai sikap sebaik-baiknya mensyukuri nikmat Allah. Mega sudah mengantar partainya menang Pemilu dan berhasil mengantarkan kadernya menjadi Presiden RI dua periode (Jokowi). Lembaga -lembaga survei tetap menempatkan PDI-P pada posisi tertinggi. Tak sedikit pun goyah walau beberapa kadernya, bahkan setingkat menteri, menjadi tahanan KPK. Hasil survei Litbang Kompas teranyar yang baru kemarin diumumkan, bukan hanya masih di puncak, tetapi PDIP mengalami kenaikan persentase jauh meninggalkan parpol kompetitornya di bawah. Kurang apa lagi? Gelar doktor dan professor kehormatan pun sudah diraih. Coba lihat video pendek yang (dengan sengaja diedarkan) merekam pertemuannya dengan Presiden Jokowi, Selasa 21 Junk 2022, pas ayahanda Kaesang dan Gibran itu berulangtahun ke 61. Video itu kini viral. Semakin menyempurnakan berkah kenikmatan yang diperoleh Megawati di usia tigaperempat abad. Mega menerima Jokowi di ruang kerjanya. Meja kerja Mega membatasi keduanya dengan posisi presiden menghadap di depannya. Tidak beda dengan posisi Ratu Inggris ketika menerima perdana menterinya menghadap, seperti biasa kita tonton di film. Lihat juga Puan Maharani. Kita bisa komen, enak benar hidup Puan. Dia tampak leluasa membuat video selfie yang merekam pertemuan ibunya dengan Presiden Jokowi tanpa pengawalan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden). Puan sangat istimewa dalam peristiwa istimewa itu. Puan seperti cucu kita yang tetiba datang bermain mobil-mobilan remote control di ruangan saat kita berbincang serius dengan tamu. Siapa kira- kira yang berani menegur cucu seperti itu? \" Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)? \" Demikian Allah berfirman dalam surat Ar Rahman yang diulang sampai 31 kali. Ekspresi Marah Dengan setting pertemuan yang divideokan itu, wajar kita terkejut menyaksikan Megawati sesudahnya, di hari yang sama, saat berpidato di dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P. Ia seperti banteng terluka mengancam menyeruduk siapa saja yang dinilai mengganggu dan merintanginya. Dalam potongan pidatonya yang beredar luas, Megawati menyinggung banyak hal. Mulai dari meminta kader tidak mencoba bermanuver hingga masalah kewenangannya menentukan capres PDI-P. Video itu fokus mengambarkan kemurkaannya. Tidak jelas siapa yang mengedarkan video yang berpotensi jadi bumerang itu. \"Kalian siapa saja yang berbuat manuver-manuver, keluar! Daripada saya pecati! Tidak ada di dalam PDI Perjuangan yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver,\" kata Megawati lantang. Dia tidak menyebut nama, tetapi rasanya semua orang tahu siapa yang dituju., \"Kalau ada kader yang masih ngomong koalisi, Out !,\" sambungnya dalam tone sama lantangnya. Kontras dengan kenyamanan yang ditampakkan Mega ketika menerima Jokowi. Di ruangan itu, ia dikelilingi elit lingkar dalam Teuku Umar, antara lain Pramono Anung, Prananda dan Puan (lagi selfie ), Olly Dondokambey, dan Budi Gunawan (Kepala Badan Intelijen Nasional/KaBIN). Menyindir wartawan Saya baru pertama kali melihat Mega semurka itu di depan publik. Yang sering saya saksikan, sebatas hanya sindiran ke berbagai pihak. Tidak terkecuali kepada wartawan atau pers. Dulu, Mega pernah menyindir wartawan seakan bukan orang Indonesia. Yang terbaru, belum sepekan berlalu, ia menyindir kerja wartawan seakan tidak mematuhi kode etik jurnalistik. Saat seorang kawan wartawan mau menanggapi, saya larang. Alasannya, kita yang salah kalau berdebat dengan pihak yang tidak mengetahui persis prinsip kerja wartawan. Puluhan tahun lalu, saya pernah ngobrol dengan Sukmawati, adik Megawati, di Taman Ismail Marzuki. Dari Sukma ada sedikit gambaran mengenai pembawaan asli Mega yang sebenarnya pendiam. “Mbak jarang bicara. Makanya kami adik-adiknya sempat rasanin Mbak, khawatir bagaimana nanti kalau memimpin partai,” kata Sukma. Waktu itu Megawati belum menjadi Ketua Umum PDI-P. Tetapi sudah terjud ke dunia politik, walau elum lama. Video pendek yang memperlihatkan Megawati murka kemarin berulangkali saya putar. Versi panjangnya ditayangkan berkali-kali di semua stasiun televisi. Saya mencoba menyelami mengapa sosok pendiam itu sampai meledak. Dalam diskusi kecil di WAG komunitas Pemimpin Redaksi Indonesia, saya mengutarakan beberapa hal. Pilpres 2024 merupakan kesempatan (mungkin terakhir) bagi PDI-P untuk menguji kembali calonnya dari trah Soekarno. Benar, PDI-P telah berhasil mengantarkan kader PDI-P yaitu Jokowi menjadi presiden, namun semua orang tahu, itu bukanlah yang sesungguhnya PDI-P inginkan. Jokowi bukan pendiri partai tersebut dan bukan trah Soekarno. Mega sudah merasakan kesulitan \"mengendalikan\" kader yang bukan trah Soekarno yang menjadi Presiden RI. Jokowi sendiri pun dalam pengakuannya baru-baru ini mengkonfirmasi dia kerap berbuat \"seperti anak nakal\" tidak menurut Megawati. Ada juga persoalan Ganjar Pranowo yang mengganjal. Banyak persoalan lagi. Sejak reformasi, baru Partai Demokrat yang berhasil mengantar calon sendiri dari trah pendiri parpol menjadi presiden RI, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). DR Acep Iwan Saidi, Pakar Semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang biasa membaca ekspresi orang memperkuat analisis saya. \"Ini ekspresi langka dari Bu Mega, agak serius, eksplisit, sensi. Mega biasanya bersikap sebaliknya dari ini. Padahal, pilpres dan masa pencalonan juga relatif masih lama. Mungkin perebutan di internal PDI-P tajam membuat Mega sedang gelisah karena Puan terancam,\" ujar Asep. Ilmu Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion , yang berarti tanda. Ilmu yang mempelajari tanda (sign). Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Dan tanda tidak terbatas pada benda (Zoest, 1993:18). Anda mungkin bisa berbohong lewat kata-kata tetapi, tidak bisa dengan ekspresi wajah. Alasannya, ekspresi wajah adalah bentuk komunikasi nonverbal yang bisa muncul begitu saja tanpa mungkin Anda kontrol sebelumnya. Ekspresi wajah yang digunakan oleh manusia memiliki sejuta makna dan mungkin berbeda jika diaplikasikan dalam konteks yang berbeda pula. Rentang makna dari ekspresi tersebut bisa sangat sederhana (misalnya terkejut) atau mencerminkan situasi yang lebih kompleks (seperti tidak peduli). Ekspresi wajah yang umumnya Anda kenal, misalnya marah, sedih, senang, kaget, maupun jijik. Namun, secara lebih rinci, ada ekspresi lain yang sifatnya tersembunyi dan menyimpan arti emosi yang lebih beragam. Sayang sekali. Mega mungkin lebih tepat me- replay kejadian hampir dua puluh tahun lalu ketika berkonflik dengan SBY. Kemarahan berlebihan kepada Ganjar Pranowo justru akan bisa mengantarkannya ke istana dan mendudukkannya di kursi presiden. Persis seperti jalan yang dulu dilalui SBY menjadi Presiden RI. Pemilihan presiden dalam sistem demokrasi kita adalah wilayah yang sepenuhnya menjadi daulat rakyat. Sedangkan rakyat yang kita tahu \"banyak muka\" dan suka cepat berubah berempati kepada pihak yang teraniaya, pihak yang tidak mendapat keadilan.
Adu Mulut Edy Mulyadi dan Saksi hingga Jaksa Menuding Hakim Berpihak
Jakarta, FNN – Suasana memanas pada saat berlangsugnya sidang lanjutan terdakwa kasus ‘jin buang anak’ Edy Mulyadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022). Perselihan ini tidak hanya terjadi antara Edy Mulyadi, tim pengacara Edy dan tim Jaksa, tetapi juga antara majelis hakim dan jaksa. Hal ini bermula ketika Edy Mulyadi mengeluarkan suara tinggi ketika bertanya kepada saksi Hengky Primana selaku Kabid Kepemudaan Kemahasiswaan SEMMI. Edy bertanya soal pernyataan BAP Hengky yang menilai asset-aset negara dijual adalah pernyataan bohong. “Saya katakan di video tolak IKN, negara menjual asset, saudara katakan itu bohong betul?,” tanya Edy Hengky menekankan bahwa pernyataan Edy adalah bohong, karena ia tidak pernah melihat kwintasi jual-beli aset negara. Kemudian Edy melanjutkan dengan mengibaratkan aset negara dengan sebuah mobil. “Karena saudara nggak lihat kwitansi. Misalnya jaksa X punya mobil, Anda pernah lihat kwintansinya?\" tanya Edy \"Karena mobil beliau itu bukan hak milik saya,\" jawab Hengky. Ketika itu juga suara Edy meninggi. Edy teriak meminta jawaban Hengky. \"Anda pernah atau tidak!\" ujar Edy. \"Itu bukan hak milik saya!\" timpal Hengky. \"Anda pernah atau tidak, jawab pernah atau tidak!,\" teriak Edy Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar langsung mengetuk palu dan meminta agar Edy lebih sopan lagi. Edy Mulyadi langsung menggerakkan kedua tangannya ke kepala dan langsung meminta maaf karena mengeluarkan suara tinggi. Tiba-tiba jaksa menyampaikan keberatan dengan pertanyaan Edy Mulyadi yang membahas kasus UU ITE, padahal kasus ini tidak ada kaitannya dengan UU ITE, tetapi hakim mempersilahkan Edy untuk melanjutkan pertanyaan itu kepada saksi. Tim jaksa juga menganggap bahwa hakim mendiamkannya. “Loh bukan mendiamkan. Kalau pertanyaannya (pengacara) nggak ini, saya cut kok. Silahkan bilang bahwa majelis ini tidak bermartabat lagi kalau saudara bilang sepeti itu,” kata Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar. Hakim Adeng kemudian meminta jaksa menuliskan surat keberatan, lalu hakim Adeng juga meminta panitera mencatat keberatan jaksa. “Silakan kalau Saudara keberatan dengan majelis ini, saudara adukan kepada ketua kami, dengan senang hati, dengan senang hati. Silakan melalui Jaksa Agung sekalipun ya agar majelis ini diganti karena sudah tidak fair. Dicatat, Pak, karena (jaksa) menilai kami sudah berpihak,” kata Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar. Tim jaksa pun meluruskan pernyataannya yang dimaksud bukan menilai hakim berat sebelah. \"Izin majelis kami menyampaikan, jadi bukan kami menjustifikasi majelis berpihak, cuma kami kan menunggu dimana tadi kan terdakwa menanyakan terkait substansi ke saksi terkait dengan sangkaan ITE. Makanya kami menanyakan bahwa sangkaan kami bukan hanya ITE, itulah yang jadi pertanyaan kami majelis, seperti itu kurang lebih. Mohon maaf majelis hakim Yang Mulia,\" kata jaksa. \"Nggak, ini saya minta agar saudara mengajukan keberatan. Kami dengan senang hati pak. Perkara ini mau bebas, mau terbukti, nggak ada urusan lagi, kami hanya memandang dari sisi hukum. Jadi tolong dicatat di berita acara, ini jamnya jam sekian, catat kalau ada keberatan, ditunggu sampai sebelum ada persidangan, berarti Kamis, kami dengan senang hati, Pak, oke kita sudahi dulu,\" jawab Hakim Adeng Abdul Kohar. \"Kita sudahi ya daripada kita memeriksa terus tapi kami dianggap tidak netral, tidak fair, jadi sidang kita tunda Kamis pukul 09.00 WIB, demikian sidang ditutup,\" tegas hakim. (Lia)
Penjualan Minyak Goreng di Atas HET Masih Ditemukan di Lampung
Bandarlampung, FNN - Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga dalam kunjungannya ke Pasar Jatimulyo, Kabupaten Lampung Selatan masih menemukan adanya penjualan minyak goreng curah di atas harga eceran tertinggi (HET) pada tingkat pedagang.\"Kedatangan saya hari ini ingin melihat kondisi harga di lapangan, salah satunya di Lampung secara langsung,\" ujar Jerry Sambuaga, di Lampung Selatan, Rabu.Ia mengatakan, dalam pemantauan harga secara langsung di pasar tradisional tersebut, masih ditemukan penjualan minyak goreng curah yang melebihi ambang batas harga tertinggi yang ditetapkan pemerintah.\"Beberapa komoditas ini saya lihat harganya terjaga, namun ada catatan untuk minyak goreng curah ini masih dijual Rp15 ribu per liter, harusnya HET Rp14 ribu per liter ini lebih mahal Rp1.000 per liter,\" katanya.Dia menjelaskan, adanya penjualan minyak goreng curah tidak sesuai dengan ketentuan harga yang ditetapkan pemerintah tersebut terjadi karena tingginya harga dari tingkat distributor.\"Saya sempat bertanya kepada pedagang eceran tentang harga ini, dan ternyata memang di tingkat distributor harganya tinggi jadi pedagang kecil tidak bisa menjual sesuai ketentuan pemerintah,\" ujarnya lagi.Menurut dia, dengan adanya hal tersebut pihaknya berupaya terus menjaga stabilitas harga komoditas dan bahan pangan, salah satunya minyak goreng.Tanggapan lainnya diutarakan oleh salah seorang pedagang di Pasar Jatimulyo, Lampung Selatan, Husna.\"Tadi sempat ditanya tentang harga minyak yang mahal sedikit dari harga yang ditetapkan pemerintah. Dan sembari membeli telur ayam satu kilogram, ada pesan yang diberikan oleh Pak Wakil Menteri Perdagangan kepada pedagang tadi agar bisa menjaga stabilitas harga,\" kata Husna.Dia mengatakan, dirinya menjual minyak goreng curah seharga Rp75 ribu per lima liter tersebut, karena harga beli tingkat distributor yang tinggi pula.\"Ya bagaimana kita hanya rantai terbawah dari proses jual beli, kalau harga dari distributor dan tingkat atasnya masih tinggi, kami pun tidak bisa menjual di bawah itu,\" ujar dia. (Sof/ANTARA)
Presidensi G20 Indonesia "on the right track"
Jakarta, FNN - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan bahwa di tengah situasi dunia yang rumit dan kompleks dukungan terhadap presidensi Indonesia di G20 masih sangat kuat dan berbagai diskusi di semua working group masih berjalan dengan baik.“Sehingga dapat saya sampaikan bahwa everything is on the right track,” kata Menlu dalam pengarahan pers yang diikuti dari Jakarta, Rabu.Dia mengatakan bahwa saat ini dunia tengah menghadapi situasi yang sangat sulit.Hal tersebut terkait dampak dari pandemi COVID-19 di mana dunia tengah berupaya untuk kembali pulih dalam segala aspek, dan upaya tersebut yang terdampak oleh peperangan yang terjadi di Ukraina.Meski demikian, hal itu tak menyurutkan semangat Indonesia dalam membawa isu-isu prioritasnya sebagai presiden G20 pada 2022 ini.“Situasi ini justru mendorong presidensi Indonesia untuk lebih aktif dalam menjadikan G20 sebagai katalis bagi pemulihan ekonomi global,” ujarnya.Menurut Retno, pihaknya terus melakukan komunikasi secara intensif dengan para Menlu G20 dan mitra dari negara-negara lain.Dalam berbagai kegiatan di luar negeri selama beberapa bulan terakhir ini dia juga mengambil kesempatan untuk membahas isu yang terus diangkat dalam presidensi Indonesia, termasuk rencana pertemuan para Menlu G20 yang akan diselenggarakan di Bali pada 7-8 Juli mendatang.Lebih lanjut dia mengatakan bahwa di tengah situasi yang sulit dan kompleks seperti saat ini, Indonesia “memilih untuk tidak menggunakan megaphone diplomacy agar tujuan besar yang bermanfaat di dunia dapat terwujud.”Perang yang berkelanjutan, tambahnya, tentu akan memberikan dampak bagi kemanusiaan, termasuk munculnya krisis pangan, energi, dan keuangan.“Tiga krisis ini yang harus segera ditangani oleh negara dunia agar krisis tidak terus memburuk,” tegasnya.Dia menjelaskan bahwa memburuknya krisis pangan, energi, dan keuangan dapat dipastikan akan sangat berdampak bagi negara berkembang dan negara dengan pendapatan rendah. (Sof/ANTARA)