HUKUM

Penimbun Alkes dan Obat-obatan Bisa Dijerat UU Perlindungan Konsumen

Jakarta, FNN - Pemerintah mengingatkan kembali sanksi bagi oknum-oknum, yang menimbun dan melipatgandakan harga obat-obatan dan alat kesehatan (alkes). "Pelaku akan dikenakan sanksi berdasarkan UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen," kata Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi dalam keterangan pers yang disiarkan Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu. Jodi mengingatkan agar tidak bermain-main dengan nyawa orang lain. Menurut dia, kesembuhan dan kesehatan pasien harus didahulukan sebagai upaya menyelamatkan bangsa. Ia juga meminta agar jangan sampai ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain. "Bagi para penyalur, distributor dan penyedia obat-obatan untuk selalu mengikuti peraturan atau akan ditindak oleh aparat hukum atau lebih buruk lagi akan dimusuhi oleh bangsa Indonesia," katanya. Sementara itu, dalam konteks terapi bagi kesembuhan pasien, Menko Marves yang juga Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dan Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto melakukan konferensi pers yang menyatakan pemerintah telah mengeluarkan keputusan Menteri Kesehatan mengenai harga eceran tertinggi (HET) obat dalam masa pandemi COVID-19. Penetapan HET obat-obatan yang digunakan dalam masa pandemi COVID-19 dan diterbitkan dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021. Pengaturan HET itu untuk mencegah para spekulan memanfaatkan kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia dengan meraup keuntungan yang tak masuk akal dan malah menghambat penanganan COVID-19.

Habib Rizieq Shihab Tak Serahkan Bukti Baru Saat Banding Kasus RS UMMI

Jakarta, FNN – Habib Rizieq Shihab dan tim kuasa hukum tidak menyerahkan bukti baru dalam banding perkara tes usap RS UMMI Bogor. Anggota tim kuasa hukum Habib Rizieq Shihab, Aziz Yanuar, mengatakan pihaknya menggunakan bukti lama yang sebelumnya disampaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. "Tidak ada bukti baru. Bukti yang lama saja, tidak dilihat," kata Aziz Yanuar saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat. Aziz Yanuar mengatakan bahwa seharusnya bukti-bukti yang telah dihadirkan dalam sidang tes usap RS UMMI Bogor di Pengadilan Negeri Jakarta Timur sudah membantah dakwaan dan tuntutan jaksa. Sementara itu, Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Timur Alex Adam Faisal mengatakan pihaknya telah menerima pernyataan banding para terdakwa tes usap RS UMMI. Alex Adam Faisal mengatakan Habib Rizieq Shihab dan Hanif Alatas menyerahkan surat pernyataan banding pada Rabu (30/6). Sedangkan dr. Andi Tatat menyerahkannya pada Selasa (29/6). Nantinya surat pernyataan banding itu akan diserahkan kepada jaksa yang membuat kontra memori sebelum Pengadilan Negeri Jakarta Timur melimpahkan berkas perkara ke tingkat Pengadilan Tinggi Jakarta DKI Jakarta. "Lalu prosesnya lagi, akan ada pemberitahuan untuk inzage (melihat atau memeriksa berkas perkara), yaitu pemberitahuan untuk melihat berkas. Mereka akan dipanggil melihat berkas, ada catatan atau tidak dari mereka," tutur Alex. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan ketiga terdakwa tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemudian menjatuhkan vonis empat tahun penjara untuk Habib Rizieq Shihab, sedangkan dua terdakwa lainnya divonis satu tahun penjara. (mth)

Tersangka Pengaturan Proyek Indramayu Dikonfirmasi Usulan Bantuan Pemprov

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi dua tersangka mengenai barang bukti berupa dokumen pengusulan bantuan dana Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk Pemerintah Kabupaten Indramayu. KPK, Rabu (30/6), memeriksa Anggota DPRD Jabar Ade Barkah Surahman (ABS) dan mantan Anggota DPRD Jabar Siti Aisyah Tuti Handayani (STA) sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengaturan proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Tahun 2019. "Masing-masing diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka, tim penyidik mengonfirmasi antara lain terkait dengan berbagai barang bukti berupa dokumen mengenai pengusulan bantuan dana pemprov untuk Pemkab Indramayu," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya di Jakarta, Kamis. Selain itu, kata dia, tim penyidik juga mengonfirmasi soal dugaan aliran sejumlah uang terhadap dua tersangka tersebut. "Dan dugaan adanya aliran sejumlah uang untuk para tersangka dan pihak-pihak lainnya," ungkap Ipi. KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 15 April 2021. Ade Barkah diduga menerima suap Rp750 juta. Sedangkan Siti Aisyah diduga menerima Rp1,050 miliar. Keduanya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ayat 1 ke-1 KUHP. Diketahui, kasus tersebut adalah salah satu dari banyak kasus yang diawali dari kegiatan tangkap tangan KPK. Pada 15 Oktober 2019, KPK menggelar kegiatan tangkap tangan di Indramayu. Hasilnya, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu Bupati Indramayu 2014-2019 Supendi, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Indramayu Omarsyah, Kepala Bidang Jalan di Dinas PUPR Kabupaten Indramayu Wempy Triyono, dan Carsa ES dari pihak swasta. Saat ini, empat orang tersebut telah divonis Majelis Hakim Tipikor dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut dan pada Agustus 2020, KPK menetapkan tersangka lain, yakni Anggota DPRD Jabar Abdul Rozaq Muslim. Saat ini, masih dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung. Dalam konstruksi disebut bahwa Carsa diduga menyerahkan uang kepada Ade Barkah secara langsung dengan total sebesar Rp750 juta. Carsa juga diduga memberikan uang secara tunai langsung kepada Abdul Rozaq maupun melalui perantara dengan total sekitar Rp9,2 miliar. Dari uang yang diterima Abdul Rozaq tersebut kemudian diduga diberikan kepada Anggota DPRD Jabar lain diantaranya Siti Aisyah dengan total sebesar Rp1,050 miliar. (mth)

P-21 dan Pengawalan Serius

By M Rizal Fadillah Bandung, FNN - P-21 bukan nomor bus kota tetapi kelengkapan berkas perkara agar Jaksa siap mendakwa tersangka dalam persidangan Pengadilan. Dengan P-21 sebagaimana keterangan pihak Kejaksaan Agung, maka 2 (dua) tersangka kasus pembunuhan enam laskar FPI telah matang untuk ditingkatkan status menjadi terdakwa. Meskipun dinilai sangat lambat akan tetapi hal ini adalah satu kemajuan. Mengingat tersangka adalah aparat penegak hukum yang secara institusional beririsan dengan Kejaksaan, maka perlu pengawasan publik yang lebih serius. Meski sistem peradilan kita tidak mengenal keterlibatan publik (Juri, misalnya) namun pengawalan publik dalam kasus pelanggaran HAM ini menjadi sangat perlu. Demi transparansi dan obyektivitas peradilan itu sendiri. Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI walaupun memiliki pandangan sendiri mengenai status pelanggaran HAM yang terjadi, harus tetap mengawal tahap peradilan ini. Tempatkan peradilan saat ini sebagai tahap pertama menuju tahap kemudiannya, bukti bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat. TP3 penting untuk bekerjasama dengan banyak elemen baik itu Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Amnesty Internasional Indonesia, YLBHI, Komnas HAM atau lembaga lain yang bergerak dalam bidang penegakan hukum dan HAM. Media menjadi elemen strategis pula bagi pengawasan. Perlu kerja "keroyokan" untuk mengawal kasus besar yang menimpa dan memalukan bangsa Indonesia ini. Di sisi lain pengaduan yang dilakukan baik kepada "Internasional Criminal Court" (ICC) atau "Committee Against Torture" (CAT) tetap dipantau perkembangannya sebagai antisipasi jika terjadi peradilan sesat (rechterlijke dwaling) yang mencerminkan bahwa pemerintah "unwilling" dan "unable" dalam menuntaskan kasus yang berhubungan dengan "crime against humanity" ini. Pembunuhan Enam laskar FPI adalah kasus serius kejahatan HAM. Dengan dua tersangka FR dan MYO sebenarnya rawan. MYO adalah driver sehingga posisinya hanya sebagai pembantu perbuatan jahat. Fokus menjadi hanya pada satu pelaku yaitu FR. Jika FR mengalami sesuatu, misalnya seperti Elwira kecelakaan yang menimbulkan kematian, maka akan tamatlah kasus ini. Sejak awal saran terbaik bagi kedua tersangka ini adalah ditahan. Untuk mengurangi risiko. Meskipun demikian, publik belum tentu percaya bahwa pembunuhan enam anggota laskar hanya dilakukan oleh dua (atau satu) tersangka saja, dugaan sejumlah aparat terlibat juga cukup kuat. Tuntutan untuk pengusutan mungkin berkelanjutan. Lagi pula kasus pelanggaran HAM, apalagi HAM berat, tidaklah mudah lapuk oleh zaman. Satu rezim mungkin bisa saja menutupi kejahatannya, namun suatu saat rezim lain akan membukanya kembali. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Polisi Tetapkan Guru Besar USU Prof Yusuf Henuk Tersangka UU ITE

Medan, FNN - Penyidik Polres Tapanuli Utara (Taput), Sumatera Utara, menetapkan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Yusuf L Henuk sebagai tersangka kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran UU ITE karena diduga mencemarkan nama baik pelapor atas nama Alfredo Sihombing dan Martua Situmorang," kata Kasubag Humas Polres Taput Aiptu Walpon Baringbing yang dikonfirmasi Rabu. Kasus tersebut berawal dari laporan Alfredo Sihombing pada tanggal 22 April 2021 terkait unggahan di akun Facebook milik Prof Yusuf Henuk yang dianggap mencemarkan nama baik. Dalam postingan tersebut, ia menuliskan 'Saya buat surat terbuka saya ke presiden Jokowi pada tanggal 24 Maret 2021, lalu meminta ijin Prof. Lince Sihombing untuk beri kesempatan saya untuk tampil melawan para bandit yang dipimpin Bupati Taput & hebatnya Alfredo Sihombing sok jagoan kampung datang cari saya di IAKN-Tarutung jadi saya tampil semakin beringas buat surat/laporan polisi di Polres Taput pada tanggal 26 April 2021'. Kemudian pada 17 Mei 2021, Prof Yusuf Henuk dilaporkan oleh Martua Situmorang atas postingan Facebook yang diduga mencemarkan nama baik. Atas laporan tersebut, penyidik melakukan penyelidikan dan menemukan bukti permulaan yang cukup atas laporan tersebut Kemudian penyidik melakukan gelar perkara dan hasilnya meningkatkan penyelidikan tersebut menjadi penyidikan dan menetapkan Prof Yusuf Henuk sebagai tersangka UU ITE. "Penetapan tersangka ini sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) Jo 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," ujarnya. (mth)

Ada Mafia Proyek dan Jabatan di Kota Cilegon, KPK Harus Turun!

Jakarta, FNN - Center for Budget Analysis (CBA) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera turun ke Kota Cilegon. Hal ini berkaitan dugaan jual beli jabatan dan praktik mafia proyek dalam internal pemerintahan Kota Cilegon. Di mana KPK diminta melakukan pendalaman atas dugaan praktik jual beli jabatan yang dilakukan oleh oknum ASN berinisial F. Oknum ASN ini diduga memiliki hubungan dengan salah pejabat di pemerintahan Kota Cilegon sehingga berani melakukan praktik kotor tersebut Di mana semua ASN Kota Cilegon yang mau naik pangkat atau pengen jabatan basah harus melalui seorang pejabat berinsial F. Tanpa melalui F, kemungkinan susah mendapat jabatan yang diinginkan meskipun ASN tersebut sangat berpretasi. Selain dugaan praktik jual beli jabatan, KPK juga harus segera melakukan penyelidikan atas dugaan mafia proyek oleh pelaku berinisial AA. AA diduga sebagai orang kepercayaan Walikota Cilegon sehingga berlagak jawara ia datang ke setiap OPD Kota Cilegon meminta jatah proyek. Dan Praktik preman minta jatah proyek sangat merugikan APBD Kota Cilegon, karena APBD Kota Cilegon, bukan punya insial AA. APBD Kota Cilegon adalah punya rakyat Cilegon. CBA juga mengingatkan dengan jargon dan cita-cita Walikota Cilegon Helldy Agustian yang selalu didengungkan yakni “mencanangkan Cilegon Baru dan bermartabat”, sayangnya jargon dan praktif di lapangan ternyata berlawanan. “Maka untuk itu, adanya dugaan mafia proyek APBD dan Jual beli jabatan, sudah sebaiknya KPK untuk segera mengirim Tim pemtauan di Kota Cilegon,” tegas Direktur CBA Uchok Sky Khadafi. (mth)

Edhy Prabowo Dituntut 5 Tahun Penjara

Jakarta, FNN - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dengan 5 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa meyakini terbukti menerima 77 ribu dolar AS dan Rp24,625 miliar sehingga total-nya mencapai sekitar Rp25,75 miliar dari para pengusaha pengekspor benih benur lobster (BBL) terkait pemberian izin budi daya dan ekspor. "Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP," kata JPU KPK Ronald Worotikan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan," lanjut Ronald. Adapun hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa Edhy tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan KKN dan terdakwa Edhy selaku penyelenggara negara, yaitu sebagai menteri tidak memberikan teladan yang baik. Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa Edhy bersikap sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan sebagian aset telah disita. Selain itu, jaksa menuntut Majelis Hakim menjatuhkan pidana tambahan terhadap Edhy untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.447.219 dan 77 ribu dolar AS dengan ketentuan dikurangi seluruhnya dengan uang yang dikembalikan terdakwa dan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap maka harta bendanya akan disita jaksa dan dilelang untuk menutupi hal tersebut. Dalam hal jika terdakwa tidak mempunyai harta maka dipidana penjara selama 2 tahun. Terhadap Edhy, jaksa juga menuntut Majelis Hakim menjatuhkan pidana tambahan terhadap berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya. Jaksa menyebut Edhy menerima suap melalui Andreau Misanta Pribadi dan Safri (staf khusus Edhy Prabowo), Amiril Mukminin (sekretaris pribadi Edhy), Ainul Faqih (sekretaris pribadi istri Edhy, Iis Rosita Dewi) dan Siswadhi Pranoto Loe (pemilik PT Aero Cipta Kargo). Selain itu, jaksa juga menuntut Andreau dan Safri selama 4 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan, Amiril selama 4 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan serta Ainul dan Siswadhi selama 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan. ( sws)

Vonis Mati Belasan Bandar Narkoba Dibatalkan Hakim

Jakarta, FNN - Hakim kembali berulah dengan membatalkan vonis mati bandar narkoba. Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Polisi Wadi Sa'bani menyesalkan hakim membatalkan vonis mati terhadap para terpidana kasus narkoba di Banten dan Bandung. "Pembatalan tuntutan hukuman mati terhadap bandar besar narkoba ini melukai rasa keadilan masyarakat," kata Wadi Sa'bani di Jakarta, Senin. Apalagi, saat momentum peringatan Hari Anti Narkoba Internasional (HANI) 2021, lanjut dia, bertentangan dengan semangat memberantas barang haram itu. Sebelumnya, penyelundupan sabu-sabu seberat 402 kg ke Indonesia melalui Sukabumi, Jawa Barat digagalkan Satgas Merah Putih pada 3 Juni 2020. Narkotika golongan I itu diselundupkan jaringan internasional dengan dikemas mirip bola. Sebanyak 14 warga Iran, Pakistan dan Indonesia dibekuk. Pengadilan Negeri Cibadak kemudian memvonis 13 dari 14 terdakwa dengan hukuman mati. Namun, Pengadilan Tinggi (PT) Bandung meloloskan enam dari 13 terpidana kasus sabu 402 kg dari hukuman mati menjadi kisaran hukuman 15-18 tahun penjara. Tak hanya di Bandung, Pengadilan Tinggi (PT) Banten juga menganulir hukuman mati dua terpidana Bashir Ahmed dan Adel menjadi 20 tahun penjara. Keduanya terjerat kepemilikan sabu-sabu seberat 821 kilogram yang dikirim dari Iran melalui perairan Tanjung Lesung, Banten Selatan. Bashir Ahmed bin Muhammad Umear adalah WNA asal Pakistan dan Adel bin Saeed Yaslam Awadh WNA asal Yaman. (sws)

Ketua DPD RI Soroti Terpidana 402 Kg Sabu Lolos Hukuman Mati

Jakarta, FNN - Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud menyoroti lolos-nya enam terpidana kasus narkoba jenis sabu-sabu seberat 402 kilogram dari hukuman mati. AA La Nyalla Mahmud Mattalitti dalam keterangannya di Jakarta, Senin, mempertanyakan Pengadilan Tinggi Bandung yang meloloskan para terpidana tersebut, mengingat Indonesia darurat narkoba dan bahayanya sudah merusak berbagai sendi kehidupan. Enam orang terpidana kasus narkoba jenis sabu-sabu seberat 402 kilogram itu diungkap oleh Satgas Merah Putih pada Rabu 3 Juni 2020. Barang haram dari kasus tersebut diselundupkan jaringan internasional dengan dikemas mirip bola. Pihak berwajib membekuk sebanyak 14 warga Iran, Pakistan dan Indonesia. Sebelumnya, para pelaku mendapat vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Cibadak pada 6 April 2021, namun mendapat keringanan hukuman jadi belasan tahun penjara setelah pengajuan banding yang dilakukan oleh kuasa hukum pelaku diterima majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Meski kecewa dengan putusan hakim, LaNyalla mengaku menghormati proses hukum yang berjalan. Menurutnya, independensi hakim harus dihormati, namun dia berharap agar dilakukan upaya hukum selanjutnya. "Masih ada langkah Jaksa untuk melakukan kasasi. Saya kira hal itu perlu diambil. Ini demi keadilan dan melindungi generasi yang lebih besar lagi," ucap La Nyalla. La Nyalla mengatakan, para pelaku kejahatan narkoba seharusnya diberikan hukuman yang berat. Hal ini perlu dilakukan karena sudah menjadi tugas negara untuk melindungi masyarakat dan menyelamatkan anak-anak bangsa dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. "Kita sekuat tenaga berjibaku menangkap pengedar narkoba, diperlukan tenaga yang ekstra juga agar dapat menekan laju peredaran barang yang merusak anak bangsa tersebut. Tetapi dengan mudahnya terpidana narkoba dengan barang bukti dalam jumlah besar terhindar dari hukuman mati. Sangat ironis," ucap La Nyalla. Senator Jawa Timur itu menilai, dengan ringannya hukuman pengedar atau bandar narkoba kelas kakap, hal tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan Indonesia dalam penegakan hukum terkait narkoba. "Bagi saya pribadi, ini tentu cukup mengherankan dan menimbulkan tanda tanya besar. Saya kira perlu ditelusuri keputusan hakim ini. Jangan-jangan ada mafia peradilan yang bermain," ucap-nya menduga. Indonesia sendiri, menurut La Nyalla, telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam Undang-undang Narkotika. Dengan kondisi tersebut, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjaga warganya dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. "Dalam konvensi internasional itu Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa. Sehingga, penegakan hukumnya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satunya dengan penerapan hukuman berat pidana mati," tutur La Nyalla. Mantan Ketua Umum PSSI itu juga meminta masyarakat untuk ikut serta mengawasi proses hukum dalam setiap peradilan narkotika. Jika ada proses yang tidak sepantasnya terjadi, apalagi memberikan hukuman ringan kepada terpidana narkoba, menurut La Nyalla masyarakat bisa melaporkan ke pihak yang berwajib atau kepada Komisi Yudisial. "Bukan tidak percaya pada hakim, tetapi sudah sewajarnya Komisi Yudisial juga terus melakukan pengawasan intensif terhadap hakim-hakim, ini kan tugas pokoknya, tugas rutin," ujarnya. Apalagi menurut La Nyalla keputusan Pengadilan Tinggi Bandung membebaskan terpidana narkoba yang menyelundupkan 402 kilogram sabu-sabu dari hukuman mati jadi sorotan dan banyak dipertanyakan. (mth)

Adelin Lis Jalani Eksekusi Pidana 10 Tahun di Lapas Gunung Sindur

Jakarta, FNN - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (JAMPidsus Kejagung) memindahkan terpidana kasus pembalakan liar Adelin Lis dari Rutan Salemba cabang Kejagung ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus Kelas II A Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan pemindahan Adelin Lis ke Lapas Gunung Sindur mendapat pengamanan maksimal (maximum security), mengingat terpidana merupakan buronan dengan risiko tinggi yang pernah melarikan diri dari Rutan sebanyak 2 (dua) kali yakni pada tahun 2006 dan pada tahun 2008. "Jaksa Eksekutor segera membawa terpidana Adelin Lis ke Lapas Khusus Kelas II A Gunung Sindur Kabupaten Bogor guna menjalani hukuman badan berupa pidana penjara selama 10 tahun," kata Leonard dalam keterangan tertulis-nya. Berdasarkan putusan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, Adelin Lis diputus bersalah pada tanggal 31 Juli 2008 dan dihukum dengan pidana antara lain, pidana penjara selama 10 tahun, denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan, uang pengganti Rp119,8 miliar, dan 2.938.556,24 dolar AS. "Jika dalam waktu satu bulan uang tidak dibayar dikenai hukuman lima tahun penjara," ucap Leonard. Adelin Lis berhasil dipulangkan dari Singapura ke Jakarta pada Sabtu (19/6), setelah menjadi buronan selama 10 tahun lebih. Adelin Lis merupakan terpidana tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Pengusaha asal Sumatera Utara ini dipindahkan ke Lapas Gunung Sindur setelah dinilai cukup dalam menjalani masa karantina kesehatan dan menjalani pemeriksaan kesehatan maupun swab antigen dan PCR ("Polymerase Chain Reaction") setelah proses pemulangannya ke Tanah Air. Selama menjalani karantina kesehatan di Rumah Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung, terpidana Adelin Lis menempati ruang sel isolasi seorang sendiri dengan pengawasan kesehatan maksimal, dimana sejak pulang dari Singapura Sabtu (19/6) lalu, telah dilakukan pemeriksaan kesehatan dan tes cepat anti-COVID-19 sebanyak empat kali. Setelah berhasil mengamankan Adelin Lis, Jaksa Eksekutor Kejaksaan Negeri Medan telah bergerak melakukan penelusuran harta benda ("asset tracing") milik terpidana di Kota Medan. Hari ini Tim penelusuran asset Kejari Medan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan dan unsur terkait lainnya untuk menemukan aset-aset milik Adelin Lis. Leonard menjelaskan, penelusuran aset (asset tracing) dilakukan untuk mengetahui keberadaan dan jenis aset yang disembunyikan oleh terpidana yang akan digunakan untuk penggantian kerugian negara. "Dideteksi ada tiga aset harta berupa tanah dan bangunan yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU) / Sertifikan Hak Milik (SHM) yang tercatat atas nama Adelin Lis di Kota Medan," tutur-nya. Terhadap barang bukti milik terpidana Adelin Lis yang sita pada tahap penyidikan, pada tahun 2007 dan 2009 telah dilakukan lelang, yakni tanggal 05 Maret 2007 oleh Penyidik Dari Polda Sumut. Nilai aset yang telah dilelang dan disetor ke Kas Negara sebesar Rp 1,4 miliar. Berikutnya lelang aset tanggal 30 Oktober 2009 oleh Kejaksaan Negeri Medan. Nilai asset yang telah dilelang dan disetor ke Kas Negara sekitar Rp 1 miliar. Sehingga total nilai asset milik Adelin Lis yang telah dilelang dan disetor ke Kas Negara adalah Rp25 miliar. "Tim Jaksa Eksekutor pada Kejaksaan Negeri Medan terus bergerak melaksanakan pencarian / penelusuran aset-aset milik Adelin Lis," kata Leonard. (mth)